THE GREEN KNIGHT Review

“A man was defined not by his flaws, but by how he overcame them”

 

Mendengar kata Ksatria, yang terlintas di pikiran kita adalah sikap yang terhormat. Tangguh, berani, jujur, dan kuat. Jika mencari sosok, pikiran kita akan mendarat kepada Arthur dan Para Ksatria Meja Bundar. The Green Knight, dari sutradara David Lowery, bukanlah epos perjuangan menarik pedang dari batu, melawan naga dan penyihir atau apa. Lowery lebih tertarik kepada kisah Sir Gawain, anak muda keponakan Sang Raja. Gawain belum sepenuhnya menyandang gelar Ksatria karena dia belum punya petualangannya sendiri. Dia belum membuktikan keberanian dan kegagahannya. Dia belum punya cerita kepahlawanan untuk dikisahkan. Dalam film ini, Lowery bahkan membuat Gawain semakin relate lagi kepada kita yang rakyat jelata. Tes yang harus dilalui Gawain di sini, di balik semua simbolisme dan fantasi-fantasi sureal, adalah perjalanan manusia mengarungi godaan. Entah itu godaan gender, harta, atau godaan duniawi lainnya. Sehingga hampir seperti sebuah perjalanan spiritual. Karena jikapun ada musuh yang harus dikalahkan Gawain dalam ujian yang membuatnya bertualang mencari Green Knight, maka musuh itu adalah dirinya sendiri. 

green9c8f83a3bc6101c545f061461a157533384de909
Dirinya yang pejuang procastination, seperti kita

 

Duh, Gawain ini ya, adegan pertamanya aja dia diperlihatkan diguyur air oleh pacarnya, karena bangun kesiangan. Ketika ditanya tentang menjadi Ksatria, Gawain hanya menjawab enteng bahwa dia masih punya banyak waktu. Ibu Gawain sendiri (dalam cerita Lowery, ibu Gawain adalah Morgan si Penyihir) mulai mencemaskan sikap putranya yang kayak enggak serius untuk membuktikan diri sebagai Ksatria. Makanya ibu tanpa sepengetahuan seorangpun, lantas mempersiapkan tes untuknya. Saat jamuan malam Natal bersama Raja Arthur dan para Ksatria di Istana, ibu Gawain meng-summon Green Knight – setengah manusia setengah pohon – ke tengah-tengah meja bundar mereka. Green Knight mengajukan sebuah permainan. Bagi seorang Ksatria yang berani maju dan melukainya, Green Knight akan memberikan Ksatria tersebut senjata sakti. Dengan syarat dan ketentuan berlaku: setahun ke depan si Ksatria tadi harus ke Green Chapel enam malam di utara, di mana Green Knight akan menunggu untuk melukai Ksatria tersebut dengan cara yang persis sama dengan yang dilakukannya kepada Green Knight pada malam ini.

Aku gak bangga dengan ini, tapi aku tau kalo aku ada di sana, aku gak akan mengajukan diri. Kalopun terpaksa, aku hanya akan menebas pelan tangan si Green Knight, atau semacam itulah. Dan itulah sebabnya kenapa Gawain adalah karakter yang lebih memorable dan menarik. Dan juga kenapa Dev Patel seribu kali lebih pantas jadi karakter ini. Karena karakternya kompleks, dan Patel mampu berbicara – menyampaikan banyak – lewat bahasa tubuh dan pancaran matanya saja. Gawain bukan semata seorang yang gak mikirin masa depan. Lewat tatapannya saat ditanya Raja, kita paham Gawain sebenarnya pengen sekali menyandang gelar Ksatria. Dia ingin dipandang terhormat. Tapi dia meragukan dirinya sendiri, yang penuh oleh sikap-sikap yang ia tahu bukan sikap pahlawan banget. Dia meragukan keberaniannya, dia bahkan gak yakin dirinya cukup berani atau cukup tabah menghadapi tantangan. Gawain ini jadi setengah-setengah.

Sikapnya tersebut langsung kita lihat saat dia dengan berani menjawab tantangan Green Knight, tapi kemudian ragu untuk menyerang. Si Green Knight harus menyerahkan diri dulu, lalu membuang senjatanya dulu, dan itupun belum cukup untuk membuat Gawain berani menyerang. Dia masih takut. Ragu. Ketika Green Knight menyodorkan batang leher, barulah si Gawain beraksi. Dan dalam usaha untuk menyelamatkan muka, Gawain melakukan hal yang sedikit berlebihan dengan menebas putus leher si Green Knight. Si Ksatria sihir itu bangkit tanpa merasa sakit, dan pergi meninggalkan Gawain yang menyadari tahun depan giliran kepalanya-lah yang menggelinding di tanah. Namun bahkan dengan nasib yang sudah ditetapkan seperti itu, Gawain masih belum gerak. Setahun yang diberikan bukannya dia habiskan dengan menempa keberanian, melainkan malah membuatnya semakin ‘meringkuk’ ketakutan. Begitu udah deket-deket deadline, setelah dibujuk-bujuk oleh Raja, dihibur dan disemangati oleh pacar, dan dibekali oleh ibu sabuk ajaib yang membuatnya tak akan bisa terluka, barulah Gawain berangkat menyelesaikan tantangannya.

Inilah kenapa buatku film ini lucu sekali. Lucu dalam artian tragis dan miris sih. Karena Gawain ini udah kayak sentilan kepada kita semua. Kita juga tahu kita semua akan mati. Kita tahu waktu kita terbatas di dunia, tapi apa yang kita lakukan dalam mengisinya? Berapa banyak dari kita yang masih berkubang dalam meragukan diri. Yang menunda-nunda beraksi karena gak yakin kita ini good enough. Berapa banyak dari kita yang menyerah pada godaan, yang melipir dalam perjalanan mengejar tujuan, karena kita takut gagal dan takut pada apa yang ada di ujung sana. Cerita Gawain boleh jadi adalah tentang perjalanan menemukan kehormatan dengan menerima kelemahan-kelemahan diri, tapi bagi kita cerita ini juga bisa jadi cermin refleksi atas sebetapa sedikitnya hal yang baru berani kita lakukan dalam kurun hidup yang terbatas ini. 

 

Bahkan dalam perjalanannya pun, Gawain tampak seperti belum sadar bahwa sekaranglah saatnya dia membuktikan diri. Babak kedua film ini adalah adventure Gawain yang bertemu dengan beragam orang, beragam kejadian (bayangkan petualangan Kera Sakti mencari kitab suci dan bertemu dengan banyak siluman di sepanjang jalan) Sebenarnya semua yang ditemui Gawain tersebut adalah bagian dari tes dari sang ibu, yang aku bayangkan pastilah risau sekali melihat anaknya gak benar-benar belajar. Dalam setiap tantangan, Gawain lulus tapi tidak dengan, katakanlah, perfect skor. Beberapa kali dia seperti nyerah gitu aja, sebelum akhirnya bangkit karena ‘bantuan’ ilusi. Ketika dia membantu seorang hantu mencari kepala di dasar danau, Gawain dengan ‘polosnya’ nanyain imbalan. Ketika dia digoda oleh perempuan kaya yang wajahnya mirip dengan sang pacar (sama-sama dimainkan oleh Alicia Vikander, dengan sama sukses pula), mulut Gawain memang menolak tapi badannya enggak. Dan ketika ada kawanan raksasa, Gawain gak ragu untuk mintak numpang. Aku ngakak.

Greengreen-knight-зеленый-рыцарь-фильм-2020
Beginilah akhirnya kalo malah jadi Ksatria Meja Blunder

 

Tentu saja, film bukan sekadar tentang apa, membaca film bukan saja tentang membahas makna sebenarnya. Melainkan adalah membahas tentang bagaimana film tersebut menjadi apa yang ia sampaikan. Membaca pilihan-pilihan yang diambil pembuatnya dalam menceritakan gagasan. The Green Knight ciptaan Lowery ini adalah dongeng dari dunia yang berbeda. Begitulah kesan yang muncul saat kita menyaksikan film ini. Lowery membuatnya sangat indah. Abstrak. Sureal. Seumpama melihat puisi yang bergerak. Teknik visual dan sinematografi yang ia lakukan di sini benar-benar beda. Benar-benar ajaib. Yang seiring jauhnya perjalanan Gawain, menjadi terasa semakin surealis. Di awal-awal kita ‘hanya’ dimanjakan dengan komposisi warna alam seperti salju putih, kabut abu dan debu. Tapi perlahan warna lain mulai muncul saat film membawa kita ke dunia terbuka. Khayalan dan fantasi semakin tak jelas batasnya. 

Ngomong-ngomong soal warna, yang menarik di sini ternyata bukanlah warna hijau. Melainkan kuning. Yea, I know, kalian mungkin bakal bandingin ama film Indonesia baru-baru ini yang katanya dominan warna/filter kuning. Aku gak nonton film itu, jadi gak bisa bandingin. Tapi yang mau aku bahas di sini adalah warna kuning pekat (nyaris orange) yang digunakan Lowery sebagai warna selempang Gawain, sebagai warna yang mengecat pemandangan saat adegan Gawain menemui Green Knight di Green Chapel, bukanlah digunakan tanpa alasan. Lowery menggunakan kuning dengan shade gelap karena warna tersebut melambangkan sikap pengecut. Yang memang konstan ditunjukkan oleh Gawain. Sesuai sekali dengan konteks adegan saat di Green Chapel tersebut. Dan filter warna tersebut memang hanya muncul pada layar saat Gawain menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Kecemasan, kebingungan, sehingga akhirnya dia kabur. Setelah Gawain berubah menjadi berani, warna itu tidak kita jumpai lagi.

Itulah, di samping dialog-dialog yang memang berima dan diksi njelimet kayak bacaan puisi, film ini memilih untuk bersuara lewat simbol-simbol seperti warna ataupun benda. Karena dedikasinya untuk menunjukkan detil-detil simbol tersebut, maka film ini cenderung akan terasa lambat. Mereka butuh bermenit-menit untuk satu adegan saja. Jika kita ambil poin-poin kejadian, maka kita akan menemukan jumlah yang enggak banyak. Karena poin-poin itu dielaborate dengan segenap detil dan rasa dan makna, sehingga masing-masingnya jadi serupa seni yang ganjil. Sehingga juga, meskipun lambat, film ini tidak akan membosankan. Begitu banyak hal yang bisa kita nikmati, yang bisa kita gali maknanya berseliweran. Lambatnya itu tidak pernah jadi kekurangan. Melainkan, jadi karakter bagi filmnya.

Karena memang film ini, menuruti perkembangan karakternya yang penakut itu, jadi berprokastinasi ria juga. Film petualangan yang normal kan biasanya, seiring tantangan yang ditemukan di jalan, karakternya bakal nambah pembelajaran. Tapi The Green Knight memang tidak pernah diniatkan sebagai film normal. Di sini, udah mau masuk dua jam, tapi Gawain tidak benar-benar belajar apapun. Pembelajaran itu enggak disebar, melainkan ditunda-tunda untuk kemudian ditumpuk; pada adegan krusial menjelang akhir. Gawain mendapat semacam penglihatan dan dia baru belajar dari sana. Karakternya baru berubah menjadi lebih baik – langsung beres – di momen tersebut. Perlakuan development yang seperti ini menunjukkan kepada kita bahwa film ini tidak terpaku pada struktur bercerita, sementara juga turut menguatkan rasa ganjil yang jadi bumbu utama film ini sendiri. Yang sebaliknya, melihatkan dalam bentuk penglihatan tanpa peringatan kepada kita, juga bisa membuat penonton jadi merasa terkecoh, sehingga sedikit terlepas dari cerita.

 

 

Jadi untuk menyimpulkan, aku kayaknya udah kehabisan kata-kata. Sebuah film bisa menjadi sangat ajaib. Mendongeng kisah pahlawan yang relate sambil tampil abstrak layaknya puisi. Kalian yang meragukan kemampuan film untuk bisa mencapai itu, film ini hadir untuk menantang keraguan tersebut. Untuk menantang storytelling tradisional, dan bahkan menantang legenda itu sendiri. Dan meskipun memang tidak semua tantangan bisa ia menangkan, tapi tidak bisa dipungkiri juga, film ini adalah penceritaan tentang epos kemanusiaan yang sangat gemilang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE GREEN KNIGHT.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang kekesatriaan Gawain pada versi film ini? Mengapa menurut kalian dia pantas/tidak pantas menyandang gelar Ksatria? Bagaimana makna Ksatria itu sendiri di dalam dunia modern ini?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

THE KID WHO WOULD BE KING Review

“United we stand”

 

 

Membela teman yang di-bully dan pada gilirannya tidak mengadukan apa-apa – kepada ibunya, kepada guru, kepada orang dewasa – tentang hal tersebut lantaran ia enggak mau perpecahan semakin besar karena mengungkit masalah; mungkin itu sebabnya Alex (Louis Ashobourne Serkis, temuan baru sang sutradara) mampu mencabut pedang Excalibur dari batu. Alex, seorang anak dua-belas tahun di era modern Britania Raya, telah menunjukkan sikap dan semangat yang tak-pelak dihargai oleh seorang kesatria seperti Raja Arthur dalam legenda. Kesetiaan, keberanian, pendirian untuk menegakkan persatuan sebagai prioritas utama. Kalian tahulah; sikap-sikap kepahlawanan.

Pedang Excalibur yang ia dapatkan mengingatkan Alex pada buku cerita yang seingatnya dulu diberikan oleh Ayah kepadanya. Tapi tidak sebatas rasa rindu yang diberikan oleh pedang tersebut. Masalah juga. Alex diserang oleh makhluk seperti zombie kesatria yang datang menyala bara api dari dalam tanah. Berkat informasi dan gemblengan dari seorang penyihir yang mengambil wujud anak muda berbodi kutilang (paling tidak sampai dia bersin, yang mengubah wujudnya menjadi seekor burung hantu), Alex mengerti bahwa dirinya terpilih sebagai Arthur masa modern. Tugas yang harus ia lakukan adalah mengalahkan Morgana, penyihir jahat berwujud monster yang ingin merebut Excalibur dan memecah belah dunia saat gerhana bulan empat malam lagi tiba. Untuk itu, Alex musti mengumpulkan Ksatria Meja Bundar versi dirinya sendiri, dari teman maupun lawan, dan berkelana bersama mencari sosok Ayah yang diyakini Alex adalah Raja Arthur yang sebenarnya.

Alex dan keadaan sosial tempatnya tinggal dijadikan perbandingan menarik terhadap kode-kode kekesatriaan tradisional oleh film ini. Sebagai cara mereka mempertanyakan ke mana perginya nilai-nilai luhur tersebut. Namun misi utama film ini sebenarnya adalah memperlihatkan dongeng kesatria kepada anak-anak seusia Alex yang mungkin sudah terlalu disibukkan (kalo tidak mau disebut dimanjakan) dengan kemudahan dan kenyamanan. Dalam film ini kita akan melihat Alex dan teman-temannya bertualang, dan bukan monster-monster perut bumi itu yang mengancam keutuhan mereka – melainkan kenyataan bahwa begitu gampangnya kelompok mereka terpisah; begitu banyaknya hal-hal yang membuat mereka terpecah.

Anak-anak jaman sekarang disebut lemah dan manja bukan exactly karena fisik dan tenaganya. Bukan karena mereka gendut kebanyakan duduk main gadget. Melainkan karena keogahan mereka untuk bersusah payah main keluar, mencari teman beneran, dan bersama-sama melakukan sesuatu yang mereka percaya. Anak-anak sekarang hanya kurang bersemangat menunjukkan sikap-sikap kesatria yang mungkin tak mereka sadar mereka miliki.

chivalry is not dead, Superman is

 

Film ini dibuka dengan sekuen animasi yang menawan yang memaparkan kisah Raja Arthur yang melandasi petualangan Alex. Babak penutup film ini pun tak kalah menariknya; ketika Alex dan teman-teman menjadikan sekolah sebagai benteng pertahanan – mereka mengenakan baju zirah, dengan pedang-pedang, menyulap papan gym menjadi kuda-kuda gauntlet, dan memasang jebakan untuk pasukan monster yang datang menyerbu. Pertempuran dalam film ini selalu berat oleh CGI tapi cukup memuaskan untuk dilihat, terlebih pertempuran terakhir yang melibatkan anak-anak berterbangan ke sana kemari berusaha mendaratkan monster terbang yang mengerikan. Pembuka dan penutup; itulah momen-momen terbaik yang bisa diusahakan oleh film ini. Sementara bagian di antaranya; bagian yang punya porsi paling lama – mengingat film ini berdurasi dua-jam, begitu datar sehingga hampir membosankan jika kita tidak dibawa keliling dataran Inggris yang punya pemandangan menawan.

Bukan sebab karena penulisannya – The Kid Who Would Be King ditulis dengan struktur yang bener. Kita dengan jelas dapat melihat motivasi Alex, kita melihat tantangan yang harus ia hadapi, kita melihat dia menyimpulkan apa yang harus ia lakukan, kita melihat dia belajar tentang apa yang harus ia lakukan, kita juga menyaksikan bagaimana dia mengambil jalannya sendiri. Hanya saja, Alex tidak pernah tampil benar-benar menarik. Untuk mencolok saja, dia butuh jaket merah sementara teman-teman di sekitarnya memakai jaket berwarna gelap. Selain bergantung kepada buku cerita yang berfungsi sebagai petunjuk baginya – yang merupakan aspek yang dibutuhkan dalam formula cerita semacam ini, Alex tidak punya kebiasaan yang membuat dirinya menarik. Kita tidak tahu hobinya apa. Aku akui, Alex ini adalah tipe anak baek-baek yang aku biasanya ledekin di sekolah, bukannya aku termasuk tukang bully, tapi sama-sama tahulah, akan ada satu anak pendiem di setiap sekolah yang jadi bahan candaan anak-anak lainnya. Anak itu adalah si Alex, dan Bedders – sohib Alex. Tidak ada yang unik dari kedua anak ini. Saat ‘berantem’ dengan para ksatrianya, Alex akan membuat kita menguap dengan kata-kata ‘sok baik’nya yang membuat kita memohon mereka langsung saja jotos-jotosan.

Bicara soal dialog, film ini membuat adegan animasi keren di pembuka itu menjadi tidak berguna, karena apa-apa yang sudah dijelaskan dengan visual menarik tetap saja diulang kembali saat para tokoh mengucapkan dialog-dialog eksposisi. Film seharusnya memfokuskan dialog untuk pengembangan karakter saja, tidak perlu lagi menjabarkan tentang dunia Arthur. Atau malah, animasi pembuka itu enggak usah ada aja sekalian. Memilih, hanya itu yang harus dilakukan, enggak susah kok.

Sekali-kali Patrick Stewart akan muncul untuk membuat kita berpikir film ini penting

 

Adegan yang lebih banyak gerakan – seperti mereka latihan berantem melawan pohon, melatih anak-anak untuk menjadi prajurit, kejar-kejaran dengan monster – masih mampu untuk menghibur kita. Aku jadi menunggu-nunggu gerakan tangan annoying yang dilakukan oleh Merlin yang flamboyan sebab aku tahu bakal ada sihir dan keasikan menonton akan sedikit terangkat oleh keajaiban. Beberapa lelucon juga sanggup menghadirkan cekikikan di sana-sini. Aku suka sindiran yang film ini lakukan terhadap ayam goreng fast-food, paling enggak sampai film ini memutuskan untuk menjelaskan sindiran tersebut lewat omongan. Yang mana semakin menunjukkan sutradara Joe Cornish tidak sepede sebelumnya saat dia menggarap Attack the Block (2011) thriller alien yang begitu segar dengan arahan yang berhasil membuat perjuangan anak-anak remaja yang tak berkekuatan khusus – sama seperti The Kid Who Would Be King ini – sangat mencengkeram sehingga termasuk ke dalam Top-8 film favoritku tahun itu.

Ketimpangan antara penulisan struktur naskah dengan pengarahan ini semakin terlihat ketika pada setelah sekuens false-resolution, film menjadi seperti berakhir dan kembali dimulai. Seperti ada sekat yang memisahkan, yang membuat petualangan yang sebelumnya tidak lagi berarti meskipun sebenarnya kita paham ada pembelajaran yang dikenai kepada tokoh utama, ada kepentingan dalam perjalanan sia-sia yang mereka semua lakukan. Namun seperti yang aku tulis di atas, babak terakhir yang menarik ketimbang pertengahan yang bahkan ternyata mereka hanya mengejar hal yang basically tak ada – ada pembangunan yang runtuh seketika sehubungan dengan siapa ayah Alex – membuat kita berpikir seharusnya film ini fokus saja di sekolah. Jika ada yang menjanjikan petualangan aksi medieval dengan anak sekolah sebagai tokohnya, maka tentu hal unik yang kita pikirkan adalah membawa aksi tersebut ke lingkungan mereka, atau mungkin membawa mereka ke zaman yang bersangkutan. Benar-benar membentrokkan mereka. Bukannya malah membawa mereka jalan-jalan sebagian besar waktu.

 

 

 

 

Terasa lebih bermain aman ketimbang sebelumnya, Cornish membuat film fantasi anak-anak ini kurang menantang. Ia seperti tidak begitu mengimbangi bangunan naskah yang ditulis dengan baik. Film ini kurang exciting. Meski ia berhasil menjalankan fungsinya sebagai dongeng kekinian yang membandingkan moderen dengan tradisional dalam rangka menjunjung tinggi nilai persatuan. This is an okay film. Aman dan berbobot ditonton bersama keluarga. Hanya dengan sedikit terlalu banyak aspek-aspek yang datar, seperti hubungan Alex dengan ibunya, dengan teman-temannya yang lain, and heck, Alex barely has anything to do with Morgana, yang mestinya bisa dieksplorasi dengan lebih emosional lagi.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for THE KID WHO WOULD BE KING.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Coba tanyakan kepada diri sendiri, apakah kalian mampu mencabut Excalibur dari batu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

BEAUTY AND THE BEAST Review

“Sometimes, if you truly love somebody, you have to let them go their own way. And if it’s true love, it will find it’s way back to you.”

 

 

Buatku, menyongsong film Beauty and the Beast ke bioskop ini rasanya seperti menjemput kembali seorang teman lama. Bersama Petualangan Menuju Pusat Bumi karya Jules Verne, cerita bergambar Beauty and the Beast adalah buku cerita pertama yang aku punya. Aku bahkan dapat dua buku itu sebelum aku bisa membaca. Aku masih ingat tampang kesel orangtuaku setiap kali aku minta bacain ulang ceritanya, setiap hari. Jadi terkadang aku cuma melototin gambar-gambarnya. Scene Beast berantem ama serigala, Beast diobatin oleh Belle, Beast kena panah Gaston, cerita dongeng ini strike the little me sebagai pengantar tidur yang magical. Dan setelah bertahun-tahun kemudian, aku duduk, sekali lagi diceritakan – kali ini oleh gambar-gambar manusia yang bergerak — tentang kisah yang sudah familiar, hanya saja sekarang aku sudah bisa ‘membaca sendiri’. Actually, sekarang aku menontonnya sembari mengeksaminasi ceritanya. It’s like being jugemental to an old friend. Dan aku sangat puas, karena teman lamaku ini tidak banyak berubah.

Film ini pretty much MENGIKUTI FORMULA CERITA ORIGINALNYA nyaris pada setiap aspek. Dari adegan ke adegan. Lokasi ceritanya sama, kejadian demi kejadian pun sama. Sebuah istana kerajaan yang dapet hadiah kutukan berkat ulah selfish dan kasar dari si pangeran. Seluruh penghuni istana itu sekarang menjadi benda-benda kayak jam, cangkir teh, lemari, dan candlestick. Kemudian ada si Belle, cewek kutu buku yang harus tinggal di dalam istana tersebut. Belle ‘dikurung’ di sana lantaran para penghuninya ingin Belle bisa jatuh cinta kepada si pangeran yang kini berbulu dan bertanduk dan bertaring. Dengan harapan kutukan terhadap mereka bisa hilang. Hanya ada beberapa adegan baru yang diselipin yang enggak kita temukan pada versi animasi klasiknya. Mereka menambah sedikit elemen baru, mengupdate beberapa sehingga lebih sesuai dengan modern day. Namun secara keseluruhan, ini adalah film yang sama dengan versi animasi tahun 1991, bedanya kali ini diceritakan dalam format live action. Yang mana semuanya terlihat sangat good-looking.

“after all, this is France”

 

Tapinya lagi, keterlalusamaan tersebut bukanlah tergolong cela. Maksudku, kalo enggak ada yang udah rusak, kenapa mesti diperbaiki, ya gak sih. Beauty and the Beast yang sendirinya adalah adaptasi dari kisah rakyat Perancis adalah memang cerita yang udah bagus dan indah. Bukan tanpa ada alasan loh animasi klasik Disney tersebut jadi film animasi pertama yang sukses nembusin diri berkompetisi di nominasi Best Picture Academy Awards. Aku senang (dan honestly, lega) film ini enggak sok-nekat dan mengubah formula gila-gilaan. Beauty and the Beast 2017 adalah FILM JELITA YANG BIKIN BAHAGIA setiap mata yang melihatnya.

Lagu-lagu yang sudah begitu dicintai are still there in the film. Emma Watson dan Dan Stevens, malahan seluruh pemain melakukan kerja yang sangat baik dalam menampilkan musical numbers mereka. Musik film ini begitu asik untuk didendang. Ada beberapa tambahan lagu juga, namun enggak kerasa jomplang dengan lagu klasik, karena film ini actually menghadirkan komposer dari film original untuk nanganin departemen musik dan lagu.

Lagu Evermore yang dinyanyikan oleh Beast dalam film ini bener-bener hits me hard. Tidak lagi aku melihat cerita ini sebagai “kita enggak boleh ngejek orang jelek, nanti kita jadi jelek juga” kayak yang dinasehatin mamaku setiap kali beliau selesai bacain bukunya. Beauty and the Beast juga adalah cerita tentang unrecruited love; tentang berkorban demi sesuatu yang kita cintai. Beast belajar memenjarakan Belle tidak akan menumbuhkan cinta, dia perlu untuk membiarkannya pergi. Karena letting people go so they can be happy adalah salah satu bentuk paling nyata dari cinta sejati.

 

Seluruh pesona magis dari film originalnya berhasil ditangkap dengan sangat permai. Musik, production design, dan penampilan para pemain terasa fantastis. Bill Condon dalam film ini membuktikan bahwa Twilight Breaking Dawn bukanlah salah arahannya hahaha. Di bawah penanganannya, Beauty and the Best tampil dengan kostum cantik dan set yang glamor. Semuanya stunning banget. Tentu saja ada banyak penggunaan CGI dalam film ini, dan dilakukan dengan begitu terinkorporasi ke dalam elemen live-action sehingga semuanya tampak mulus. Tokoh-tokoh benda anthropomorphic digambarkan, tidak dengan imut, tetapi lebih kepada agak-menyeramkan karena film ingin menekankan kepada tema lihat-lebih-jauh-dari-sekedar-tampang-di-luar. Motion capturenya juga bekerja dengan fluid dan sangat baik. Aku suka pembawaan Dan Stevens sebagai Beast. Dia tampak sangat simpatis, namun pada saat yang sama kita enggak benar-benar kasihan padanya hanya karena dia sudah dikutuk.

Tokoh manusia juga terasa sangat hidup. Desa kecil mereka tampak vibrant sekali ketika Belle berkeliling, nyanyi bareng penduduk. Emma Watson sebagai Belle yang mandiri, strong, independen, tapi matanya kelihatan merindukan sesuatu – always long for more terlihat sangat comfort memainkan perannya. Meski begitu, Emma tampak sedikit terlalu pintar buat menyampaikan efek terperangah ketika melihat sesuatu yang ajaib. Cerita sepertinya memang meniatkan buat Belle tampak lebih nyaman berada di istana dibandingkan di kampungnya yang penuh prasangka terhadap persona yang berbeda, but it just sometimes kita ngarepin ada sedikit lebih banyak lagi emosi terkuar dari ekspresi Belle. Salah satu delivery Emma yang aku suka adalah ketika ngeliat tampangnya saat dibawa masuk oleh Beast ke dalam perpustakaan istana. Gaston, however, adalah tokoh yang sangat sempurna dibawakan oleh Luke Evans. Entertaining, deh. Si narsis ini napsu banget ngejar Belle, tapi Belle just want nothing to do with him. Dan dia enggak segan-segan ngebully hanya untuk memperkuat poinnya.

Jika kalian udah pernah nonton atau baca animasinya originalnya (aduh, masa ada yang belum sih?), kalian akan tau ada sedikit dark message dari cerita Beauty and the Beast. Bahwa benih cinta Belle dan Beast tumbuh dari perasaan mutual seseorang yang dikucilkan. Belle dikata-katain karena suka baca buku, ayah Belle dianggap gila karena sedikit eksentrik. Penduduk desa instantly ingin membunuh Beast setelah melihat wujudnya. Lewat Gaston, film ini mendemonstrasikan kecenderungan masyarakat untuk lebih ‘menghargai’ pembully selama mereka punya karakteristik yang sama dengan society.

 

 

Salah satu dari sedikit elemen yang dibengkokkan oleh film ini adalah gimana hubungan Belle dan Beast terbentuk. Dua tokoh sentral ini diberikan backstory yang baru. Kita melihat sejarah keluarga Belle lebih jauh dalam sekuen adegan yang aku sebut dengan sekuen Buku-adalah-Jendela-Dunia. Hahaha, beneran, aku suka gimana film ini RESPEK BANGET SAMA BUKU. Jaman sekarang buku udah mulai ditinggalin, majalah aja banyak yang pindah ke online, aku harap setelah nonton Beauty and the Beast, penonton muda jadi penasaran pengen ngerasain gimana rasanya bertualang bersama buku. Dalam film ini, Beast dikutuk saat dia udah gede dan ketika dia suda menjadi monster, dia masih bersikap sama dengan ketika dirinya masih manusia. Dia cerdas. Dan dia juga suka baca buku. Belle dan Beast berbagi saling kecintaan mereka terhadap buku, saling berbagi pengetahuan, bertukar pikiran, mereka tidak tumbuh jatuh cinta karena Belle kasian dan ngajarin Beast banyak hal kayak di versi 1991. Dalam film ini hubungan mereka terasa lebih mutual dan lebih grounded. Adegan Belle bilang dia suka Shakespeare dan Beast pasang tampang “lu mainstream banget sih, buku lain banyak kali” adalah salah satu adegan termanis buatku.

Begini jualah tampangku ketika pertama kali tahu dan diajak masuk ke toko buku Kinokuniya

 

 

Film ini juga mutusin buat ngetweak certain character. Ada portrayal yang bakal bikin orangtua merasa awkward udah ngebawa anak-anak nonton film ini. Peran tersebut ‘disamarkan’ dengan baik sebagai comic relief, meski saga nya actually berjalan beriring dengan tema unrecruited love yang jadi salah satu bahasan utama film ini. Disney udah ngambil keputusan yang berani buat masukin elemen tertarik-kepada-sesama-jenis ke dalam film buat keluarga. Kita boleh saja bersikap open-minded, namun kita juga gak bisa nyalahin kalo ada yang sampe ngelarang film ini tayang di negara mereka. Ataupun kalo ada orangtua yang enggak suka. Ini adalah masalah yang bisa dimaklumi meski padahal sebenarnya sejak dulu Beauty and the Beast selalu jadi korban becandaan soal bestiality.

 

 

 

Film ini menambah daftar keberhasilan Disney dalam mengadaptasi animasinya ke dalam live action setelah Cinderella (2015), The Jungle Book (2016), dan Pete’s Dragon (2016). I was very happy with what I got. Jejeran castnya really on-point. Ini adalah film yang cantik, menawan kita kayak Beast menawan Belle, fantasi yang ajaib, cerita cinta yang manis dan mengharukan. Punya inklinasi yang jauh lebih dalem dari sekedar “buruk di luar belum tentu buruk di dalam”. Namun buat yang ngarepin tontonan yang lebih original dan yang benar-benar berbeda dari versi sebelumnya mungkin bakal kecewa karena urgensi magisnya memang jadi berkurang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BEAUTY AND THE BEAST.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.