“A man was defined not by his flaws, but by how he overcame them”
Mendengar kata Ksatria, yang terlintas di pikiran kita adalah sikap yang terhormat. Tangguh, berani, jujur, dan kuat. Jika mencari sosok, pikiran kita akan mendarat kepada Arthur dan Para Ksatria Meja Bundar. The Green Knight, dari sutradara David Lowery, bukanlah epos perjuangan menarik pedang dari batu, melawan naga dan penyihir atau apa. Lowery lebih tertarik kepada kisah Sir Gawain, anak muda keponakan Sang Raja. Gawain belum sepenuhnya menyandang gelar Ksatria karena dia belum punya petualangannya sendiri. Dia belum membuktikan keberanian dan kegagahannya. Dia belum punya cerita kepahlawanan untuk dikisahkan. Dalam film ini, Lowery bahkan membuat Gawain semakin relate lagi kepada kita yang rakyat jelata. Tes yang harus dilalui Gawain di sini, di balik semua simbolisme dan fantasi-fantasi sureal, adalah perjalanan manusia mengarungi godaan. Entah itu godaan gender, harta, atau godaan duniawi lainnya. Sehingga hampir seperti sebuah perjalanan spiritual. Karena jikapun ada musuh yang harus dikalahkan Gawain dalam ujian yang membuatnya bertualang mencari Green Knight, maka musuh itu adalah dirinya sendiri.
Duh, Gawain ini ya, adegan pertamanya aja dia diperlihatkan diguyur air oleh pacarnya, karena bangun kesiangan. Ketika ditanya tentang menjadi Ksatria, Gawain hanya menjawab enteng bahwa dia masih punya banyak waktu. Ibu Gawain sendiri (dalam cerita Lowery, ibu Gawain adalah Morgan si Penyihir) mulai mencemaskan sikap putranya yang kayak enggak serius untuk membuktikan diri sebagai Ksatria. Makanya ibu tanpa sepengetahuan seorangpun, lantas mempersiapkan tes untuknya. Saat jamuan malam Natal bersama Raja Arthur dan para Ksatria di Istana, ibu Gawain meng-summon Green Knight – setengah manusia setengah pohon – ke tengah-tengah meja bundar mereka. Green Knight mengajukan sebuah permainan. Bagi seorang Ksatria yang berani maju dan melukainya, Green Knight akan memberikan Ksatria tersebut senjata sakti. Dengan syarat dan ketentuan berlaku: setahun ke depan si Ksatria tadi harus ke Green Chapel enam malam di utara, di mana Green Knight akan menunggu untuk melukai Ksatria tersebut dengan cara yang persis sama dengan yang dilakukannya kepada Green Knight pada malam ini.
Aku gak bangga dengan ini, tapi aku tau kalo aku ada di sana, aku gak akan mengajukan diri. Kalopun terpaksa, aku hanya akan menebas pelan tangan si Green Knight, atau semacam itulah. Dan itulah sebabnya kenapa Gawain adalah karakter yang lebih memorable dan menarik. Dan juga kenapa Dev Patel seribu kali lebih pantas jadi karakter ini. Karena karakternya kompleks, dan Patel mampu berbicara – menyampaikan banyak – lewat bahasa tubuh dan pancaran matanya saja. Gawain bukan semata seorang yang gak mikirin masa depan. Lewat tatapannya saat ditanya Raja, kita paham Gawain sebenarnya pengen sekali menyandang gelar Ksatria. Dia ingin dipandang terhormat. Tapi dia meragukan dirinya sendiri, yang penuh oleh sikap-sikap yang ia tahu bukan sikap pahlawan banget. Dia meragukan keberaniannya, dia bahkan gak yakin dirinya cukup berani atau cukup tabah menghadapi tantangan. Gawain ini jadi setengah-setengah.
Sikapnya tersebut langsung kita lihat saat dia dengan berani menjawab tantangan Green Knight, tapi kemudian ragu untuk menyerang. Si Green Knight harus menyerahkan diri dulu, lalu membuang senjatanya dulu, dan itupun belum cukup untuk membuat Gawain berani menyerang. Dia masih takut. Ragu. Ketika Green Knight menyodorkan batang leher, barulah si Gawain beraksi. Dan dalam usaha untuk menyelamatkan muka, Gawain melakukan hal yang sedikit berlebihan dengan menebas putus leher si Green Knight. Si Ksatria sihir itu bangkit tanpa merasa sakit, dan pergi meninggalkan Gawain yang menyadari tahun depan giliran kepalanya-lah yang menggelinding di tanah. Namun bahkan dengan nasib yang sudah ditetapkan seperti itu, Gawain masih belum gerak. Setahun yang diberikan bukannya dia habiskan dengan menempa keberanian, melainkan malah membuatnya semakin ‘meringkuk’ ketakutan. Begitu udah deket-deket deadline, setelah dibujuk-bujuk oleh Raja, dihibur dan disemangati oleh pacar, dan dibekali oleh ibu sabuk ajaib yang membuatnya tak akan bisa terluka, barulah Gawain berangkat menyelesaikan tantangannya.
Inilah kenapa buatku film ini lucu sekali. Lucu dalam artian tragis dan miris sih. Karena Gawain ini udah kayak sentilan kepada kita semua. Kita juga tahu kita semua akan mati. Kita tahu waktu kita terbatas di dunia, tapi apa yang kita lakukan dalam mengisinya? Berapa banyak dari kita yang masih berkubang dalam meragukan diri. Yang menunda-nunda beraksi karena gak yakin kita ini good enough. Berapa banyak dari kita yang menyerah pada godaan, yang melipir dalam perjalanan mengejar tujuan, karena kita takut gagal dan takut pada apa yang ada di ujung sana. Cerita Gawain boleh jadi adalah tentang perjalanan menemukan kehormatan dengan menerima kelemahan-kelemahan diri, tapi bagi kita cerita ini juga bisa jadi cermin refleksi atas sebetapa sedikitnya hal yang baru berani kita lakukan dalam kurun hidup yang terbatas ini.
Bahkan dalam perjalanannya pun, Gawain tampak seperti belum sadar bahwa sekaranglah saatnya dia membuktikan diri. Babak kedua film ini adalah adventure Gawain yang bertemu dengan beragam orang, beragam kejadian (bayangkan petualangan Kera Sakti mencari kitab suci dan bertemu dengan banyak siluman di sepanjang jalan) Sebenarnya semua yang ditemui Gawain tersebut adalah bagian dari tes dari sang ibu, yang aku bayangkan pastilah risau sekali melihat anaknya gak benar-benar belajar. Dalam setiap tantangan, Gawain lulus tapi tidak dengan, katakanlah, perfect skor. Beberapa kali dia seperti nyerah gitu aja, sebelum akhirnya bangkit karena ‘bantuan’ ilusi. Ketika dia membantu seorang hantu mencari kepala di dasar danau, Gawain dengan ‘polosnya’ nanyain imbalan. Ketika dia digoda oleh perempuan kaya yang wajahnya mirip dengan sang pacar (sama-sama dimainkan oleh Alicia Vikander, dengan sama sukses pula), mulut Gawain memang menolak tapi badannya enggak. Dan ketika ada kawanan raksasa, Gawain gak ragu untuk mintak numpang. Aku ngakak.
Tentu saja, film bukan sekadar tentang apa, membaca film bukan saja tentang membahas makna sebenarnya. Melainkan adalah membahas tentang bagaimana film tersebut menjadi apa yang ia sampaikan. Membaca pilihan-pilihan yang diambil pembuatnya dalam menceritakan gagasan. The Green Knight ciptaan Lowery ini adalah dongeng dari dunia yang berbeda. Begitulah kesan yang muncul saat kita menyaksikan film ini. Lowery membuatnya sangat indah. Abstrak. Sureal. Seumpama melihat puisi yang bergerak. Teknik visual dan sinematografi yang ia lakukan di sini benar-benar beda. Benar-benar ajaib. Yang seiring jauhnya perjalanan Gawain, menjadi terasa semakin surealis. Di awal-awal kita ‘hanya’ dimanjakan dengan komposisi warna alam seperti salju putih, kabut abu dan debu. Tapi perlahan warna lain mulai muncul saat film membawa kita ke dunia terbuka. Khayalan dan fantasi semakin tak jelas batasnya.
Ngomong-ngomong soal warna, yang menarik di sini ternyata bukanlah warna hijau. Melainkan kuning. Yea, I know, kalian mungkin bakal bandingin ama film Indonesia baru-baru ini yang katanya dominan warna/filter kuning. Aku gak nonton film itu, jadi gak bisa bandingin. Tapi yang mau aku bahas di sini adalah warna kuning pekat (nyaris orange) yang digunakan Lowery sebagai warna selempang Gawain, sebagai warna yang mengecat pemandangan saat adegan Gawain menemui Green Knight di Green Chapel, bukanlah digunakan tanpa alasan. Lowery menggunakan kuning dengan shade gelap karena warna tersebut melambangkan sikap pengecut. Yang memang konstan ditunjukkan oleh Gawain. Sesuai sekali dengan konteks adegan saat di Green Chapel tersebut. Dan filter warna tersebut memang hanya muncul pada layar saat Gawain menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Kecemasan, kebingungan, sehingga akhirnya dia kabur. Setelah Gawain berubah menjadi berani, warna itu tidak kita jumpai lagi.
Itulah, di samping dialog-dialog yang memang berima dan diksi njelimet kayak bacaan puisi, film ini memilih untuk bersuara lewat simbol-simbol seperti warna ataupun benda. Karena dedikasinya untuk menunjukkan detil-detil simbol tersebut, maka film ini cenderung akan terasa lambat. Mereka butuh bermenit-menit untuk satu adegan saja. Jika kita ambil poin-poin kejadian, maka kita akan menemukan jumlah yang enggak banyak. Karena poin-poin itu dielaborate dengan segenap detil dan rasa dan makna, sehingga masing-masingnya jadi serupa seni yang ganjil. Sehingga juga, meskipun lambat, film ini tidak akan membosankan. Begitu banyak hal yang bisa kita nikmati, yang bisa kita gali maknanya berseliweran. Lambatnya itu tidak pernah jadi kekurangan. Melainkan, jadi karakter bagi filmnya.
Karena memang film ini, menuruti perkembangan karakternya yang penakut itu, jadi berprokastinasi ria juga. Film petualangan yang normal kan biasanya, seiring tantangan yang ditemukan di jalan, karakternya bakal nambah pembelajaran. Tapi The Green Knight memang tidak pernah diniatkan sebagai film normal. Di sini, udah mau masuk dua jam, tapi Gawain tidak benar-benar belajar apapun. Pembelajaran itu enggak disebar, melainkan ditunda-tunda untuk kemudian ditumpuk; pada adegan krusial menjelang akhir. Gawain mendapat semacam penglihatan dan dia baru belajar dari sana. Karakternya baru berubah menjadi lebih baik – langsung beres – di momen tersebut. Perlakuan development yang seperti ini menunjukkan kepada kita bahwa film ini tidak terpaku pada struktur bercerita, sementara juga turut menguatkan rasa ganjil yang jadi bumbu utama film ini sendiri. Yang sebaliknya, melihatkan dalam bentuk penglihatan tanpa peringatan kepada kita, juga bisa membuat penonton jadi merasa terkecoh, sehingga sedikit terlepas dari cerita.
Jadi untuk menyimpulkan, aku kayaknya udah kehabisan kata-kata. Sebuah film bisa menjadi sangat ajaib. Mendongeng kisah pahlawan yang relate sambil tampil abstrak layaknya puisi. Kalian yang meragukan kemampuan film untuk bisa mencapai itu, film ini hadir untuk menantang keraguan tersebut. Untuk menantang storytelling tradisional, dan bahkan menantang legenda itu sendiri. Dan meskipun memang tidak semua tantangan bisa ia menangkan, tapi tidak bisa dipungkiri juga, film ini adalah penceritaan tentang epos kemanusiaan yang sangat gemilang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE GREEN KNIGHT.
That’s all we have for now
Bagaimana pendapat kalian tentang kekesatriaan Gawain pada versi film ini? Mengapa menurut kalian dia pantas/tidak pantas menyandang gelar Ksatria? Bagaimana makna Ksatria itu sendiri di dalam dunia modern ini?
Share with us in the comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA