JUMBO Review

 

“We all have voice, and they are all worth listening to.”

 

 

Semua orang punya cerita. Semua merasa ceritanya masing-masing pantas untuk disuarakan. Tapi kalo setiap orang berebut untuk bercerita, siapa yang bakal mendengarkan cerita-cerita tersebut? Nenek dalam film Jumbo, debut karya Ryan Adriandhy, sungguhlah telah membuat point yang teramat valid. Point yang juga jadi tema yang membungkus cerita film animasi anak ini. Karena Jumbo adalah dongeng anak-anak modern tentang empati. Melihat yang ada tapi selama ini tidak-terlihat. Mendengar yang ada tapi selama ini tidak-sempat-terdengarkan karena kita semua begitu sibuk dengan drama masing-masing. Maka luangkanlah waktu sedikit untuk ke bioskop dan biarkan film yang digarap lima tahun ini mengisahkan kepada kita pembelajaran hidup tersebut. Ssstt, dengarkan.

Jumbo itu julukan yang diberikan oleh teman-teman kepada Don, karena badan bocah itu memang, ah katakanlah “chubby”. Julukan juga sebenarnya terlalu positif sih, karena actually Jumbo itu ledekan. Teman-teman Don agak males kalo Don ikutan main bareng mereka lantaran Don kurang gesit dan omongannya soal buku dongeng Ksatria Gelembung melulu. Don just can’t help it. Buku dongeng bergambar itu satu-satunya yang ia punya yang ngingetin dia pada kedua orangtuanya. Buku itu begitu penting bagi Don, sehingga sekarang dia mendaftar untuk ikut festival; Don ingin mementaskan cerita di buku itu. Harapannya supaya teman-teman yang lain senang padanya jika ia juara. Itulah masalah Don, dia merasa tidak punya teman, padahal selama ini ada Nurman dan Mae yang selalu membantunya. Bocah bongsor ini pun akhirnya harus membuktikan bukan cuma badannya yang jumbo, saat dia belajar untuk balik membantu hantu cilik yang sudah menolong dirinya.

My new dream tag team: Don dan Steven Universe!!

 

Yeah, aku pun gak expect loh. Kirain Jumbo ini cerita anak-anak yang ngangkat keseharian yang ‘normal’. Tapi ternyata film ini punya elemen fantasi yang kuat. Ada cerita dongeng, keajaiban, dan bahkan hantu. Sosok hantu di dunia-ceritanya memang tidak digarap jadi menyeramkan yang membuat film ini jadi horor. Tapi lebih kayak fantasi seperti magic yang kilau kemilau. Ceritanya juga di luar ekspektasi. Jumbo punya layer dan karakter-karakternya tidak satu-dimensi. Semua karakter sentral punya backstory, film meluangkan waktu untuk membahas backstory tersebut. Dengan berlapisnya cerita dan elemen fantasi yang mengangkat cerita grounded ini menjadi “fantastik”, maka gak muluk kalo kita bilang, Jumbo ini punya kualitas storytelling yang bisa nyaingin Pixar. At least, dalam kotak yang sama. Karena Jumbo bukan cuma tentang kejadian atau petualangan, tapi narasinya berisi. Padet oleh pembelajaran, ada world building, dengan karakterisasi yang kuat. Sehingga, anak-anak dan orang dewasa penontonnya dapat belajar sesuatu yang berharga tentang empati.

Film anak-anak di Indonesia jumlahnya gak banyak, film animasi apalagi. Dari jumlah yang sedikit itupun, biasanya film yang menyasar untuk anak-anak terlalu bermanis-manis. Satu dimensi. Mengganggap anak kecil penontonnya tidak akan mampu mengerti jika ceritanya tidak konyol, apalagi serius. Dan tokoh utamanya biasanya akan, wuih, dimuliakan. Sosok teladan yang tidak ada salah. Padahal pada formula naskah yang bagus, tokoh utama itu harus ada celanya. Harus ada kesalahan yang dia percaya, sehingga nanti pembelajaran dia menjadi orang yang lebih baik dengan menyadari kesalahannya jadi terasa dan itu yang bakal membuat cerita filmnya manusiawi dan dramatis. Jumbo sama sekali enggak pandering ke penonton cilik dan berani menuliskan flaw atau cela pada karakter utamanya, Don. Makanya nonton film ini tuh sedih, kita merasa ikut belajar bersama Don. Karena cela Don itu grounded dan relate kepada kita. Don bukan cuma korban bully dikatain gendut – yang aku yakin banyak anak relate juga – tapi yang bikin kita lebih-lebih simpati lagi sama dia adalah ketika dia nunjukin flaw yaitu dia ngerasa dia yang  ‘si paling menderita’. Don overlook teman-teman yang selalu ada di sampingnya. Don mengejar crowd yang salah, dan dia take for a granted jasa sahabat baiknya. Don malah sempet enggan memenuhi janji kepada si hantu cilik karena dia ngerasa pentasnyalah yang lebih penting. Kesel sih ngeliat Don sedikit egois tapi kita ga sepenuhnya bisa marah karena cerita tidak terbentuk supaya kita nyalahin Don, melainkan untuk membuat kita merefleksikan diri. Bahwa tak jarang kita juga seperti dia.

Kita cenderung kurang bisa berempati di tengah kesusahan kita sendiri. Tidak lagi punya orang tua, selalu diejek dan enggak diajak bermain oleh teman-teman; bukan cuma Don, setiap kita yang berada di posisi itu akan gampang merasa kita yang paling menderita. Ngerasa kita yang paling kurang. Kesusahan teman? lebih susah aku kok! Kisah Don membuka mata dan telinga untuk merasakan kehadiran dan ‘cerita’ teman-temannya ini bakal ngajarin kita soal yang namanya empati. Semua orang punya cerita yang sama pantasnya untuk kita dengar dan dibereskan bersama.

 

Makanya film ini punya banyak backstory. Supaya kita bisa memahami dari mana setiap karakter itu berasal. Atta si anak bandel yang suka mengganggu Don, ternyata anak yang tak kalah cerdas dan juga sebatang kara bersama abangnya di bengkel radio. Mereka bermusuhan bukan karena yang satu jahat, yang satu baik, melainkan hanya belum saling mengenal ‘peran’ satu sama lain saja. Cara film memunculkan backstory cukup baik. Perspektif utama tidak pernah benar-benar berpindah dari Don meskipun kita sering melihat apa yang dilakukan atau dipikirkan oleh karakter lain. Secara visual pun, film ini melakukannya dengan variasi. Bukan sekadar dijadikan flashback. Jumbo hebatnya sanggup untuk bermain-main dengan kreasi animasi. Sehingga penceritaan film semakin fluid. Bercorak khas. Ini sekaligus adalah showcase betapa film ini punya visi yang kuat sebagai animasi. Secara detil dan ekspresi, teknisnya memang belum dewa kayak Pixar, tapi yang disajikan film ini sama sekali tidak buruk. Justru ada di level yang lebih tinggi dari yang kita semua bayangkan, untuk standar animasi Indonesia. Sehingga film ini bisa dibilang breakthrough. Bisa kok film animasi Indonesia sebagus ini! Animasi dan vokal aktingnya klop sehingga dunia Jumbo beneran kerasa hidup dan ngalir saat ditonton. Kudos buat para pengisi suara.

Also, ada Aubrey Plaza hahaha

 

 

Dan sama seperti animasi-animasi Pixar, Jumbo ini pun begitu penuh hati sehingga jago mengaduk emosi penonton. Ada adegan nyanyi juga, yang menurutku sangat well done, incorporating elemen fantasi yang dimiliki oleh ceritanya. Honestly, yang bikin aku agak kecele cuma strukturnya. Aku agak kaget juga saat tau ternyata ‘makhluk ajaib’ yang ditanam film untuk ngeset up fantasi itu ternyata simply a ghost, tapi naskah dengan cepat recover dan aku gak permasalahin lagi bahwasanya tiba-tiba ada hantu di cerita yang awalnya seperti kehidupan nyata ini. Malahan berbalik jadi pujian karena film ini bisa ngangkat ‘hantu’ tanpa membuat film jadi horor. Kecele yang kumaksud adalah soal pentas seninya. Mungkin karena keburu bandingin film ini dengan Pixar, maka aku nyangka Jumbo bakal ngikutin formula tradisional. Yakni ditutup dengan penampilan seni para karakter, ultimately nunjukin mereka jadi sahabat setelah ngelaluin banyak hal bersama. Tapi ternyata bagian pentas seni – yang cantik dan penuh emosi itu – adanya di tengah. Film ternyata bikin mold cerita sendiri, dan kita harus hargai itu. Toh cerita Jumbo juga finish dengan strong, delivering emosi dan aksi yang gak kalah serunya. Persahabatan para karakter ciliknya bener-bener kerasa membantu mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya.

 




Yang punya hati besar ternyata bukan cuma karakter di dalam cerita, tapi juga film ini sendiri. Bener-bener di luar ekspektasi film animasi dalam negeri bisa ngasih pengalaman nonton seperti ini. Bukan karena teknisnya loh, melainkan lebih kepada karena biasanya film untuk anak-anak buatan Indonesia itu gak dalem, bermanis-manis, dan satu dimensi. Film ini sebaliknya, bener-bener ngasih yang terbaik dari gimana cerita untuk anak-anak dan keluarga itu seharusnya. Kalo dari narasinya sih sepertinya film ini ngincer untuk tayang agustusan, tapi tayang lebaran adalah langkah berani yang tepat. Senang sekali ngeliat studio penuh oleh keluarga. Yang bercucur nonton ini bukan hanya anak kecil tapi juga orang dewasa pendamping mereka. Ini sungguh pencapaian yang luar biasa buat perfilman kita.  
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JUMBO

 

 




That’s all we have for now.

Film ini juga sepertinya punya concern soal penggusuran tanah atau lahan. Yang boleh jadi memang dinilai seperti bentuk dari kurangnya empati kepada sesama. Bagaimana menurut kalian?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SEWU DINO Review

 

“Scratch my back and I’ll scratch yours”

 

 

Cerita horor sebenarnya memang simple, gak perlu diperibet. Tarok karakter dalam ruangan bersama mayat, jadi cerita horor. Mayatnya mungkin hidup, si karakter mungkin berhalusinasi. Tarok karakter berdua saja di dalam ruangan, bisa juga jadi cerita horor. Mereka bisa saling bunuh hingga yang satu jadi hantu. Mereka bisa saling curiga dan parno sendiri. Heck, tarok karakter seorang diri saja dalam ruangan kosong, dia bisa jatoh dalam kegilaaan, dan jadilah juga cerita horor. Kejadian horornya bisa sederhana, tapi penggaliannya harus mendalam. Ketakutan yang dirasakan itu harus dieksplor hingga ke akarnya. Jika ketakutan itu tidak digali ke personal karakternya, tidak direlatekan kepada kita, horor hanya akan jadi rangkaian kejadian tak-masuk akal yang menjengkelkan. Hantunya hanya akan jadi monster yang harus dikalahkan seperti pada cerita superhero. Karakternya hanya akan jadi si bego yang kita teriakin karena dia tidak melakukan hal yang dilakukan orang beneran. Tapi kebanyakan horor kita sekarang kebalikan dari itu. Banyak cerita yang berumit-rumit ria dengan lore dunia, intrik kubu-kubu, simbolisme, twist and turns, dan sebagainya, tapi pada pembahasannya malah menyederhanakan cerita sebagai wahana jumpscare dan kesurupan kayang-kayang. Jarang yang menyentuh ‘kegelapan’ di dalam sana.

Sewu Dino, untungnya digarap oleh Kimo Stamboel yang memang penggemar horor tulen. Cerita yang sebenarnya ribet karena menyangkut perang santet antara dua kubu, dia fokuskan kepada karakter yang harus mandiin orang yang sudah kesurupan selama hampir seribu hari. Dan aku yang awalnya kurang antusias, ternyata jadi menikmati ini. Kupikir film ini bakal sama seperti KKN di Desa Penari tahun lalu. Cerita dari thread Twitter yang turns out hanya mega marketing gimmick; enggak pernah menggali ceritanya yang actually relate – mahasiswa kota kkn ke desa – dan malah asyik bergumul dengan kejadian-kejadian mistis konyol. Karakter journey-nya dibiarkan dangkal. Sewu Dino ternyata dikembangkan berbeda dari threadnya oleh Kimo. Kudengar banyak pembaca thread yang kurang suka sama film ini, but screw them. Karena, memang Sewu Dino bukan film horor terbaik. Tapi cerita ini adalah versi yang  punya decent horror story di tengah-tengah kemelut santetnya.

Menghitung hari, dino demi dino

 

Ceritanya tentang Sri, gadis yang mencari nafkah untuk pengobatan ayahnya. Dia mencoba melamar jadi pembantu di tempat Mbah Karsa, yang dikenal warga sebagai orang sukses yang punya banyak tempat usaha sehingga selalu butuh banyak tangan tambahan. Nyatanya, Mbah Karsa butuh ‘stok’ perempuan dengan set kemampuan khusus untuk melaksanakan ritual menyelamatkan cucunya yang kena santet. Sri diterima karena gadis ini punya sesuatu yang ia sendiri tak tahu gunanya apa. Sri lahir di jumat kliwon, dan itu adalah syarat kunci untuk membebaskan cucu Mbah Karsa. Jadi, Sri bersama dua perempuan lain ditempatkan di pondok tengah hutan. Mereka harus memandikan Dela yang kesurupan setiap senja. Pekerjaan yang jelas berbahaya, karena setan yang telah bersemayam nyaris seribu hari itu selalu berusaha untuk lepas dan menyerang para pemandinya.

Di bagian pondok inilah Sewu Dino benar-benar fun. Film actually meluangkan banyak waktu untuk set up dan build up kerjaan horor yang harus dilakukan para gadis tukang mandiin itu. Salah satu set up penting yang dilandaskan film adalah kenapa Sri mau-maunya mandiin Dela. Kayaknya lebih aman mandiin harimau sirkus deh, ketimbang mandiin orang kesurupan yang suka menggigit dan mencekek manusia. Motivasi Sri bukan hanya karena duit, tapi kita dikasih info soal Sri yang berusaha tidak mengulangi kejadian yang membuat adiknya sendiri tiada. Sri tidak ada di sana, makanya sekarang dia ingin membantu gadis muda ini. Meskipun gak gampang baginya. Kita melihat Sri yang justru jadi orang pertama yang pengen kabur saat melihat ‘job desk’ dan resiko yang menantinya. Tapi itulah yang nanti jadi konflik. Yang fun lagi buatku adalah gimana film ngebuild up ‘ritual memandikan’ tersebut. Cara-caranya, batas waktunya, dan sebagainya. Banyak aturan yang harus Sri dan dua temannya ikuti. Salah satunya mereka harus mandiin Dela sambil dengar kaset rekaman suara Mbah Karsa yang bacain langkah-langkahnya. Tentu saja ini nanti bakal berkaitan dengan momen-momen scare yang dipunya oleh film. Like, mereka harus ngiket dulu tangan dan kaki si Dela sebelum membuka keranda bambu. There’s no way hal akan baik-baik saja saat mereka melakukannya hahaha…

Kimo gas pol di sini. Gak ada sensasi ‘adegan datar’ di film ini. Horor yang ia suguhkan benar-benar main fisik. Beberapa kali film ini hampir jadi body horor saking banyaknya ‘abuse’ yang diberikan on-cam kepada tubuh para karakter. Aku sampai heran masa iya film ini ‘cuma’ dikasih rating 13+ sama lembaga sensor. In my opinion, this should be higher. Apalagi tayangnya di masa lebaran. Jadi tontonan keluarga deh, pasti. Anyway, sensasi horor di sini terasa lebih well-crafted ketimbang pada KKN. Momen-momen kecil seperti suara rekaman yang tiba-tiba mati sukses bikin kita semakin mengantisipasi kengerian, untuk kemudian dipecahkan oleh ‘punchline’ seperti jumpscare atau serangan setan. Kimo sendiri pernah publicly bilang dia menggemari dan terinspirasi sama Sam Raimi (Evil Dead, Drag Me to Hell). Dan di Sewu Dino ini pun pengaruh Sam Raimi pun kelihatan. Lucunya, selain itu, aku juga menangkap ada pengaruh game survival horor Jepang pada film ini. Khususnya seri game Fatal Frame. Serius. Begitu banyak momen yang bikin aku teringat sama game itu, I’ll just go ahead and say it: Sewu Dino buatku kayak adaptasi tak-resmi dari Fatal Frame. Ritual yang gagal (kurang elemen disaster doang). Desain antagonis yang pake tali menggelantung di anggota badan, ngingetin sama Rope Maiden. Setiap kali tidur, Sri menjelajahi dunia lain dan melihat gubuk di sana – ini kayak main plot di Fatal Frame 3 yang karakter kita akan bertualang di Manor of Sleep setiap tidur dan nanti hantu-hantu di ‘mimpinya’ itu akan berdampak physically di dunia nyata. Rekaman dan suara-suara mengerikan bicara ke karakter? Udah staple di game dan film horor Jepang kayaknya. Sri harus ke hutan mengecek payung-payung pagar gaib, easily bisa jadi misi dalam game. Dan, berapa kali coba dalam game-game Fatal Frame kita dapat sekuen escape lari-lari dramatis bareng orang yang kita selamatkan? Sekuen escape di film ini, juga punya treatment yang dramatis seperti itu. Yang bikin beda ya Sri di film ini benar-benar melawan dengan fisik, bukan dengan kamera haha

Kayaknya aku kebanyakan main game puasa-puasa….

 

Bahkan Sri pun mirip sama karakter utama game, dalam hal, dia gak banyak bicara. Agak kurang aktif, unless ‘tombolnya’ dipencet. Kalo yang ini sih, sebenarnya kekurangan film ini menurutku. Namun bukan exactly kekurangan dari karakter ataupun dari Mikha Tambayong memerankannya. Mikha melakukan cukup banyak; sebagai protagonis horor dia didera cukup banyak di babak akhir. Sekali lagi, Kimo tahu gimana harus ngetreat cerita horor.  Hanya saja, di momen Sri mulai ‘gerak’ film udah habis. Di awal-awal, aku mengerti Sri diarahkan untuk jadi karakter yang rasional. Dia kabur duluan. Dia gak ‘seringan tangan’ itu mau melakukan kerjaan mengerikan. Tapi ini juga membuatnya jadi kurang dominan. Apalagi karena film ternyata malah menyiapkan ‘twist’ di tengah, regarding ada di antara mereka ada yang ingin menyabotase ritual mandi. Di tengah itu, alih-alih fokus mengembangkan karakter Sri, film malah sibuk bercocok tanam clue. Ngebuild up momen ‘siapa yang jahat’. Kita terputus dari Sri di bagian tengah. Dan ini membuat kita butuh agak lama untuk bisa konek lagi dengan motivasi dan journey karakternya. Makanya momen-momen ketika Sri terpukul telah membunuh satu karakter enggak benar-benar kena. Padahal secara teorinya dia telah ngelakuin something opposite dari tujuannya pengen membantu.  Momen ketika dia menolak duit pun jadi tidak benar-benar nendang. Padahal itu momen puncak yang juga mengusung gagasan cerita. Yang mengaitkan Sri dengan bigger things dalam universe cerita ini.

Menolak duit yang harusnya adalah upah dirinya adalah pembelajaran Sri soal bagaimana ‘cara kerja’ Mbah Karsa. Bahwa semua itu merupakan lingkaran setan. Lingkaran setan di sini bukan hanya soal kau menyerangku, maka aku menyerangmu – seperti Mbah Karsa dengan musuhnya. Tapi juga soal aku membantumu, maka kau harus membantuku. Yang dilakukan Sri sebenarnya adalah menolak untuk terus terikat dengan Mbah Karsa. Dia ingin lepas dari lingkaran itu, karena baginya goal sudah tercapai. Dia sudah meredeem diri dengan membantu Dela.

 

Film ini sempat dipermasalahkan soal bahasanya. Yang campur-campur Jawa Indonesia. Buatku, aku gak terlalu ngeh ke bahasa saat menonton. Mungkin karena terbiasa nonton film asing, yang bahasanya ku gak tau. Jadi for me, yang ‘terdengar’ itu ya cuma subtitle dan emotions yang mau diceritakan. Tapi memang, kalo mau pake bahasa tertentu, film harus komit dan benar-benar menjadikan bahasa itu sebagai identitas. Bukan sebagai gimmick. Pada Sewu Dino, memang Jawanya masih kayak gimmick, belum terlalu jadi identitas atau karakter. Tapi buatku gak nganggu. Menurutku yang tidak benar-benar perlu itu ya, ada ‘twist’ di tengah. Cerita terasa lebih ‘natural’ dan  fun ketika ketiga karakter di pondok itu merasa dipermainkan oleh setan di dalam tubuh Dela. Akan lebih menarik melihat gimana setan itu membuat mereka malah jadi saling serang di hari terakhir tugas mereka, misalnya, ketimbang masukin alur seseorang dengan sengaja sabotase dan si setan membiarkannya. Aku senang aja sama situasi horor tertutup mereka setiap hari harus masuk ke sana mandiin orang kesurupan. Malah aku pengennya jangan tiga hari doang, tapi full seribu hari aja sekalian. Repetitif, repetitif, deh!

Namun lore soal ada dua kubu di luar mereka semua itu memang akhirnya membayangi cerita yang sudah berusaha dibuat simpel oleh Kimo. Di momen akhir saat Sri mulai menguat sebagai karakter, Sewu Dino mulai tercampur aduk. Akan ada karakter yang tau-tau muncul. Akan ada lebih banyak misteri untuk dipecahkan. Ini membuat film jadi tidak berakhir memuaskan, walaupun journey karakter utama kita selesai dengan gemilang. Sewu Dino tetap terasa jadi sesuatu yang belum selesai, dan ini bukan cara yang benar-benar tepat untuk mengirim penonton pulang. Tidak cukup membuat penasaran, melainkan hanya ya gak puas saja. Terakhir kali aku ngerasa puas nonton horor yang ada cult-cultnya itu ya pas nonton akhir dari season 4 serial Servant di Apple TV+ Momen psikologikal horor dan turn around karakternya terasa banget. Kalian bisa langsung klik link berikut ini untuk langganan Apple TV+ dan catch up banyak lagi tontonan original lainnya https://apple.co/40MNvdM

Get it on Apple TV

 




Journey karakternya memang gak sampai terlalu dalam, film ini masih sebagian besar berfokus kepada kejadian horor yang terjadi, alih-alih menelisiknya. Tapi seenggaknya film ini menolak jadi terlampau ribet dengan lore dan segala macam perang santet yang membayangi alur karakter utamanya. Melihat dari si protagonis saja, film ini actually adalah cerita horor yang decent, dan digarap ke arah yang fun. Ingin mencuatkan pada situasi horor yang ngeri-ngeri sedap untuk ditonton. Tapi dijamin bikin ngompol kalo kita yang ngalamin. Enggak jelek, meski gak great juga karena masih berusaha catering buat jadi wahana bagi penonton. Ada twist yang gak perlu dijadiin seperti itu, misalnya. Yang jelas secara keseluruhan, film ini lebih baik dari KKN di Desa Penari. While it’s not saying much – karena standar KKN rendah banget – nilai plus film kali ini buatku adalah banyak elemen-elemen dari sini yang membuatnya jadi kayak something dari universe game Fatal Frame 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SEWU DINO

 




That’s all we have for now.

Kalo menurut kalian kenapa Sri gak mau nerima uang bayarannya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA