SESAT Review

“You’re not yourself when you’re angry.”

 

 

 

Keluarga Amara pindah ke sebuah desa yang sejauh mata memandang semua penghuninya adalah orang lanjut usia. Kakek-kakek dan nenek-nenek. Nyai-nyai. Mbah-mbah. Jadi ya, film ini bermula dari setting yang sangat menarik. Amara (dalam debut protagonis layar lebar, Laura Theux berhasil menyampaikan emosi yang diembankan kepadanya)  menyaksikan para penduduk desa – termasuk Opanya – pada berperilaku aneh dengan sesajen dan ayam hitam begitu maghrib tiba. Eventually, Amara menemukan sebuah sumur di hutan, persis seperti yang tergambar oleh lukisan yang terpajang di dinding rumahnya. Ada misteri yang menyelimuti desa Beremanyan tersebut. Namun sayangnya, semua elemen unik itu ternyata tak-lebih dari device untuk mengarahkan cerita ke ranah yang lebih familiar.

Amara, dan adiknya; Kasih, dan ibu mereka (yang mana bakal hilarious sekali kalo bernama Cinta) sedang dirundung duka. Papa baru saja meninggal dunia. Kehilangan ini teramat telak terasa buat Amara, karena dia sangat dekat dengan ayahnya. Mereka latihan lari bareng, sharing kebiasaan konyol bersama. Selain di satu waktu tidak dapat menepati janji menjemput lantaran nyawanya keburu dicabut, Papa selalu ada buat Amara. Ketika mengetahui sumur serem di hutan tadi ternyata digunakan penduduk untuk meminta kemakmuran desa, Amara tergoda untuk melakukan ritual pemanggilan – dia ingin minta ayahnya kembali, dia ingin ngobrol satu kali lagi dengan orang yang paling ia sayangi tersebut. Tapi seperti yang sudah kita ketahui, meminta kepada setan itu ‘harga’nya beda dengan minta kepada orangtua. Amara kudu membayar semuanya, dengan darah, dengan lebih banyak kehilangan.

Papa doang yang abis lari mesti mandi, Amara nya enggak

 

Sesat actually menyesatkan karena ceritanya banyak berbelok. Kupikir ceritanya bakal begini, ternyata malah fokus di begitutonenya pun sering bergeser; dari drama, ada arahan ke komedi juga, lantas kita merasakan suasana surealis di shot-shot lukisan, kemudian menyerembet ke body horror, balik lagi ke drama, dan gak taunya berakhir dengan twist. Kadang belokan cerita Sesat dilakukan untuk alasan yang bagus – it’s a good thing film membuat kita merasa sedang melihat sesuatu yang belum pernah ditonton sebelumnya, namun sering juga cerita Sesat berkembang menjadi sesuatu yang bikin mata kita terangkat heran, like, masa iya cuma begitu, they could do better than this. Atau kalo mau gamblang, dengan setting dan backstory yang lebih kompleks, film ini semestinya bisa mencapai lebih dari sekadar menjadi versi yang sedikit lebih baik dari Slender Man (2018).

Amara di film ini juga diperkenalkan sebagai atlet lari, dan tidak seperti protagonis di Slender Man, Amara beneran diperlihatkan ‘jago’ berlari. Dia jogging keliling hutan. Dia menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan lari di lapangan olahraga. Tapi tetep aja sih, kerjaannya berlari itu enggak benar-benar relevan dengan konteks cerita. Tema kedua film inipun mirip; di sini hantunya, alih-alih Slender Man, bernama Beremanyan dan datang karena dipanggil. Entitas serem yang tinggi dan tinggal di hutan ini akan membawa pergi apa-apa yang disayangi oleh si pemanggil. Bahkan penyelesaian kedua film ini basically dari peraturan yang sama. Hanya hasil akhirnya yang berbeda. Untungnya, Sesat fokus kepada satu tokoh, kepada motivasi dan perjalanan karakternya, sembari dengan lumayan seksama mengembangkan tokoh-tokoh pendukungnya. Simmaria Simanjuntak kentara punya mata yang lebih jeli untuk mengangkat nilai-nilai drama ketimbang sense horornya yang terasa seperti masih dalam sebatas melakukan sesuatu yang sudah pernah, dalam rangka memuaskan apa yang popular di pasaran horor. Ada satu adegan jumpscare paling biadab yang pernah aku temui di horor sepanjang tahun ini, aku sudah akan tepuk tangan untuk itu kalo bukan ternyata adegannya cuma adegan mimpi.

Interaksi para tokoh sangat menyenangkan. Film ini mengacknowldge perbedaan Amara dan keluarganya dengan sekitar. Sedikit perbedaan kata yang mereka gunakan ketika ngobrol, kayak ketika Amara dengan Kasih akan terdengar berbeda dengan ketika Amara berbincang dengan teman di sekolah barunya. Percakapan antara para tokoh tedengar meyakinkan, meski tak sempat mengeksplorasi dalam tingkatan Amara seperti fish-out-of-water di desa, meski tokoh-tokoh yang lain itu sebatas device. Tokoh-tokoh lain tak terflesh out dengan sebaik-baiknya, mereka hanya ditaruh di sana saat adegan membutuhkan. Horor dan dialog-dialog film ini kadnag terasa seperti pada film-film 90an, bahasanya, atau juga lonceng – aku suka sekali adegan seram dengan bunyi lonceng sekolah, lonceng beneran loh, di film modern manalagi kita melihat sekolah masih pakai lonceng. Suasana yang tercipta seolah desa tersebut masih stuck di periode lampau, dan ini menambah nuansa mistis dan misteri pada latar belakang yang sayangnya dimentahkan oleh kenyataan bahwa film ini bukan memasang ketakutan dari sana.

Dialognya terdengar menyenangkan, jika tidak terlalu sibuk dengan nyebutin apa sebenarnya tak perlu disebut. Kayak, akan lebih seram kalo kita yang eventually belajar sendiri bahwa ternyata hanya Amara dan Kasih anak muda yang ada di desa mereka. Film malah menyebut ini sedari awal mobil mereka masuk gerbang desa. Dialog yang sering ‘frontal’ begini bikin film jadi seperti ‘Nanya sendiri, Jawab sendiri’. Tapi kemudian, kita akan belajar alasannya kenapa dibuat seperti itu, kita akan ngerti kenapa baru babak satu aja semua misteri yang mestinya akan menarik jika dipelajari pelan-pelan oleh Amara sudah malah dibeberkan gitu aja oleh teman sekolahnya. Atmosfernya hilang, berganti menjadi horor memanggil kembali orang mati dengan teror dan trope yang standar.

Sumur itu tak ubahnya papan jailangkung

 

 

Amara dan Kasih. Ada alasannya kenapa nama tokohnya begitu. Karena Amara yang diliputi kesedihan sebenarnya sudah dikuasai oleh amarah. Dia berang kenapa yang pergi mesti seorang yang ia lihat paling baik dan perhatian kepadanya. Marah menumpulkan kemampuan manusia untuk bersikap rasional. Makanya, Amara meledak ngomong kasar kepada ibunya. Makanya, ia yang makhluk kota, millennial pula, mau percaya dan ngelakuin ritual kuno lengkap dengan mantra-mantra yang terdengar konyol. Horor datang dari Amara melihat apa yang terjadi kepada orang-orang yang ia ‘marahi’ – setan Beremanyan itu actually personifikasi dari hal tersebut. Untuk menyampaikan semua ini, howeverm film sedikit terlalu mendadak. Seharusnya mereka membangun karakter dengan lebih baik lagi, sehingga begitu Amara menyebut hal kasar kita juga dapat merasakan sakit dan penyesalan yang menyusulnya. Supaya berantem dengan ibunya enggak tampak terjadi begitu saja.

Ketika marah, sedapat mungkin jangan adu argument dengan orang lain. Sebab akan berakhir dengan kita meneriakkan hal yang tak kita maksudkan, dan hasilnya sungguh berantakan. Seperti Amara yang marah kepada ibunya. Seperti Kasih yang marah kepada Amara sehingga dia lupa kalo Amara sudah memperlihatkan perhatian kepada dirinya saat gak pede masuk sekolah yang baru. Setan Beremanyan bereaksi tatkala Amara merasakan amarah, dia membunuhi orang-orang, merupakan metafora bahwa saat marah kita kehilangan kendali terhadap diri sendiri – dan yang paling menakutkan, marah dapat menyebabkan kita kehilangan control terhadap apa yang kita percaya.

 

 

 

 

Apa yang ingin diceritakan oleh film ini sebenarnya simpel. Ini adalah soal orang yang begitu ingin dicintai merasa kehilangan saat sumber cintanya itu direnggut. Amara, dan kita semua, musti belajar untuk memberikan cinta terlebih dahulu sebelum menerima balasnya. Jika kita bisa menyintai banyak orang, kita tak akan pernah lagi merasa kehilangan. Sebenarnya bisa dibilang gak jelek-jelek amat sih, film Simmaria selalu punya gaya, aku masih tertarik nunggu karyanya yang berikut. Sayangnya film ini mengambil begitu banyak cabang dalam menceritakan topik utama tersebut. Beberapa elemennya kadang jadi tidak menyampur dengan baik. Sehingga pahamnya kita terhadap cerita lebih oleh long reach yang kita lakukan alih-alih karena aspek-aspek yang saling mendukung. Dialognya mestinya bisa ditulis dengan lebih tight lagi. Revealing atawa twist di akhir; sama sekali enggak perlu, membuat sikap tokoh utama kita jadi gak masuk akal. Buatku, kepentingan sekuen itu hanya untuk ngehighlight nama satu karakter sebagai shout out. Sekiranya untuk memberikan jawaban terhadap kenapa mereka harus pindah ke desa pun, malah tampak seperti feeble attempt film ini ingin menyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka punya semua jawaban.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SESAT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

JAILANGKUNG 2 Review

“The captain goes down with the ship.”

 

 

 

Jailangkung 2 dibuka dengan tak bisa lebih menarik lagi buatku yang sudah hopeless mengingat performa film pertamanya tahun lalu. Kita dibawa mundur ke Sumatera tahun 1948, ke sebuah anjungan kapal besar yang sedang rame orang-orang menaikkan muatan. Mengenyahkan pandangan menembus asap komputer – sebuah efek malas yang tidak diperlukan, jika mau harusnya mereka bikin asap beneran – maka kita akan melihat nama kapal yang bakal bikin para penggemar misteri dunia menggelinjang heboh. Kapal S.S. Ourang Medan. Kapal hantu ‘legendaris’ yang cerita tentangnya sudah barang tentu dikenal para pelaut di seluruh dunia. Diceritakan kapal ini ditemukan dengan seluruh awaknya mati dalam ekspresi ketakutan, sebelum akhirnya kapal tersebut terbakar dalam cara yang sama anehnya. Aku membaca tentang kapal ini beberapa tahun yang lalu dari blog Enigma, kalian bisa baca artikel lengkapnya di sini. Karena Jailangkung 2 menghadirkan misteri ini cukup mendetil, kecuali bagian lokasi yang disesuaikan meskipun gak begitu masuk akal. Tapi paling tidak film ini benar-benar menempel tentang kapal itu sesuai dengan mitos yang diberitakan, hingga ke pesan-pesan morsenya. So actually I was interested, sampai ke pertanyaan itu timbul; bagaimana cara mereka mengikat misteri kapal itu dengan mitos jailangkung yang menjadi tajuk utama cerita?

Jawabannya adalah, mereka tidak bisa.

Jailangkung 2 nyaris membahas tentang jailangkung itu sendiri. Film ini berusaha memasukkan begitu banyak misteri, tetapi mereka begitu tak mampu membangun cerita sehingga durasi yang hanya delapan-puluh-menit lebih sedikit saja terasa amat membosankan. Jailangkung 2 kembali mengambil Mati Anak sebagai entitas yang harus dikalahkan. Ceritanya langsung tancap gas menyambung film yang pertama. Dengan flashback yang menghighlight kejadian di film pertama, film berusaha membuat penonton yang nyasar ke bioskop menonton ini mengerti apa yang terjadi. Kita melihat Bella (Amanda Flawless… eh salah, Rawles) masih berkutat menjaga keutuhan keluarganya dengan mencemaskan sang ayah dan adik yang masih merindukan almarhumah ibu mereka. Kali ini rundung keluarga mereka ditambah oleh kakak Bella yang berperilaku aneh (aneh as in bisa memporakporandakan meja makan hanya dengan melotot) semenjak ia mengasuh anak-tanpa-ayah yang ia lahirkan di pekuburan pada episode cerita yang silam

Setelah melihat si bayi bertumbuh dengan cepat menjadi anak seusia adiknya, Bella lantas melakukan riset bersama pacar tersayang, Rama (Jefri Nichol kembali memerankan tokoh eksposisi yang tak punya tugas apa-apa selain membawa follower instagramnya yang bejibun untuk nonton) yang punya akses ke buku-buku klenik semacam ensiklopedia hantu. Si Mati Anak tentu saja tidak diterima di keluarga Bella. Stake datang dari adik Bella yang kesepian karena kakak-kakaknya sibuk sama hantu. Si adik yang ngikutin jejak sang ayah, terobses sama kernduan akan ibunya, main jailangkung dan kemudian hilang ke alam goib. To fix all of this occult problems, Bella dan Rama tetap membaca buku dan internet sampai menemukan informasi bahwa Mati Anak yang dituduh Bella jadi sumber semua ini bisa dikendalikan dengan sebuah mustika yang hilang. Masalah dari mustika yang hilang itu adalah, tidak ada yang tahu tempatnya di mana. Jadi, Bella menabrak seorang anak baru yang ternyata mengetahui di mana mereka bisa menemukan the same exact mustika yang mereka butuhkan tersebut. Yup, tak perlu jenius untuk bisa menebak, Bella dan Rama harus terjun ke dasar selat untuk mencari mustika yang jadi penyebab kapal S.S. Ourang Medan tenggelam.

saking berantakan, aku nonton nyaris jungkir balik kayak setannya

 

Sesungguhnya cerita Jailangkung 2 ini bisa saja menjadi menarik. Di tangan pembuat film yang lebih kompeten, Jailangkung 2 jelas akan berdurasi lebih panjang demi memfasilitasi elemen-elemen cerita yang ada dengan lebih baik, untuk mengembangkan tokoh-tokohnya, membuat mereka lebih dari sekedar di sana tanpa karakterisasi. Pembuat film yang peduli terhadap ceritanya tentu akan mengerti kakak Bella yang begitu terattach sama si anak setan akan bisa menjadi tokoh utama yang lebih layak. Pembuat film yang memegang teguh idealisme ceritanya sejatinya paham bahwa psikologis adik Bella yang pada satu adegan tampak creepy sekali main boneka sendirian sambil bertanya “Mana Ibumu? Mana ibumu?” akan memberikan sudut pandang dan penggalian cerita yang lebih menantang. Tapi tidak, film ini berpendapat lain. Mereka hanya peduli sama angka jumlah perolehan penonton, jadi tokoh dan fokus haruslah ke yang cakep, yang muda, yang lagi hits, dan punya jumlah penggemar aktif di sosial media yang banyak, meskipun tokoh-tokoh tersebut tidak diberikan bobot atau hal yang benar-benar make sense untuk dilakukan. Alih-alih menggali cerita dari drama yang berakar trauma, film mendudukkan kita di belakang Bella yang dikejar-kejar pasukan ghoul/demit kuburan. Beberapa adegannya aku akui serem, aku suka ama adegan di supermarket, namun semua kesereman tersebut terasa sia-sia, pointless, karena kejadian menyangkut tokoh-tokoh di rumahlah yang sebenarnya lebih berarti.

Seorang kapten tidak dibenarkan untuk duluan meninggalkan kapal yang tenggelam. Dia haruslah yang terakhir pergi, karena dia yang  bertanggungjawab atas tenggelamnya kapal. Kita bisa menarik perbandingan antara kapal dengan keluarga. Dalam kasus ini keluarga Bella sudah akan tenggelam karena masalah yang  bermula dari sang kapten, ayah mereka, bermain jailangkung. Mengetahui hal tersebut, Bella adalah penyelamat yang mampu bertindak di luar sang kapten; memastikan ‘kapal’ keluarga mereka tidak bermasalah sehingga bakal tenggelam lagi.

 

Isi film ini tak lain dan tak bukan adalah eksposisi dan kejadian seram yang pointless. Semua ‘petualangan’ mereka dibuat mudah. Tokoh paranormal, investigasi lewat internet, itu semua tak lebih dari device untuk maju cerita dengan begitu gampang. Permainan perannya begitu minimalis. Kemajuan dari film sebelumnya adalah Bella actually menjadi orang yang hit the last nail ke hantunya, tapi kejadiannya dibuat begitu gampang – tidak ada tantangan. Yang ada hanyalah twist yang semakin membuat kita teringat sama film Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati (2018) yang sama parahnya. Para pemain hanya perlu untuk pasang tampang cemas dan takut sepanjang waktu. Tapi aku mengerti. Kalo aku bermain di film seperti ini, aku pastinya juga akan merasa cemas terus menerus. Aku akan mencemaskan karirku, karena film ini sama sekali tidak membantu apa-apa untuk pemain-pemainnya.  Naskahnya tidak memberikan tantangan, tidak memberikan kesempatan. Ada alasannya pemain waras seperti Butet Kertaradjasa tidak muncul lagi di film ini. Tidak ada pengembangan karakter di sini. Hubungan Bella dan Rama hanya diperlihatkan sebatas mengikat gelang keberuntung sesaat sebelum mereka menyelam. Film berusaha menampilan sedikit tantangan cinta dari orang ketiga, tapi itupun terasa datar dan tampak film menyerah di tengah jalan.

doooo betapa romantis bakal satu masker berduaaa

 

Penulisannya begitu malas dan ngasal. Banyak sekali dialog yang membuatku tertawa terbahak-bahak. Untuk menyelamatkan kalian semua dari menonton film ini, berikut aku salin beberapa kutipan yang keluar dari mulut tokohnya:

“Papa enggak mau kamu mikirin urusan soal itu” – Pemborosan kalimat , Papaaaaa

“Buku ini menarik, Bell” / “Tentang apa?” / “Membahas salah satunya tentang Mati Anak” / “Kalo itu aku sudah tahu!” –Nice try, Ram. Nice try.

“Ambil obor itu dan alihkan perhatiannya” / “Tapi di sini enggak ada obor, Bu” / “Obor itu ada di tanganmu, Verdi” –Lah Ibu, ngasih obor aja belibet amat, mau membuat saya tampak bego ya?!

 

 

 

 

Film ini bagaikan kapal yang tenggelam. Namun tidak seperti S.S. Ourang Medan, film tenggelam dengan sebab yang kita ketahui. Sebab kaptennya tidak kompeten, namun begitu salut karena si kapten tidak meninggalkan kapalnya begitu saja. Masih kelihatan sisa-sisa perlawanan dari sang kapten berupa adegan-adegan dengan visual yang creepy. Akan tetapi, tentu alangkah baiknya lain kali sang kapten berani dengan tegas menolak untuk membawa kapalnya menuju nasib naas yang kita semua sudah bisa lihat.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for JAILANGKUNG 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017