JOJO RABBIT Review

When you know love then that is the time you forget hate”
 

 
Setiap film perang sebenarnya adalah film-film anti-perang yang menyamar. Buktinya ya kayak Jojo Rabbit ini. Kisah dalam film ini diadaptasi dari novel serius karangan Christine Leunens yang berjudul Caging Skies. Membahas tentang prejudis dan diskriminasi Yahudi oleh Nazi Jerman, sebagai pembuka mata bahwa perang yang mereka lakukan selama itu sesungguhnya sebuah kehilangan besar dari kemanusiaan yang satu. Oleh Taika Waititi pesannya tersebut disamarkan lebih dalam lagi. Jojo Rabbit dihadirkan dengan nada komedi, gagasannya difokuskan lagi olehnya menjadi sebuah pesan anti-kebencian. Yang membuat film ini menjadi lebih relevan lagi dengan keadaan dunia sekarang; dunia tempat di mana kebencian digunakan sebagai propaganda dan api untuk menakuti-nakuti dan mengontrol kepentingan politik beberapa pihak.
Tantangan pertama cerita ini adalah bagaimana cara membuat tokoh utamanya yang seorang kadet nazi yang udah benar-benar terpatri untuk membenci dan menghabisi setiap yahudi yang ia lihat menjadi simpatik. Sebagai film, tentu saja ini akan menjadi journey sangat menarik; perjalanan seorang yang penuh kebencian menjadi menyadari hal-hal indah yang membuat dia mengubah pandangannya. Dan menjadi berkali lipat menarik karena tokoh dalam Jojo Rabbit adalah anak kecil yang masih berusia sepuluh tahun. Waititi sudah berpengalaman menangani cerita dalem yang bertokoh anak-anak (tonton juga Hunt for the Wilderpeople yang keluar 2018) sehingga ia mengerti menampilan ‘penuh kebencian’ ini dengan cara dan takarannya sendiri.

bukankah kita semua adalah anak kecil yang polos di hadapan doktrin-doktrin kebencian?

 
 
Jojo Rabbit dibuka dengan set up Jojo si calon tentara Nazi yang dilatih di kamp pelatihan. Pelatihan di kamp yang kita bayangkan bakal intens dan penuh disiplin dan jenderal galak ternyata tampil lucu. Waititi menekankan posisi dan sudut pandang anak kecil untuk menggambarkan dan mengomentari doktrin kebencian yang menjadi api perang ini dengan sarkas. Informasi yang diberikan film persis seperti kita mengingatkan kepada anak-anak, simpel. Pisau itu berbahaya. Granat apalagi. Semuanya dihampar lewat pengadeganan yang lucu, lewat tokoh-tokoh yang ‘ajaib’. Namun dunia Jojo adalah dunia yang mengharuskan perang. Jojo hidup dengan pemahaman bahwa semua hal ironi (berbahaya namun sia-sia), semua peperangan dan kebencian terhadap yahudi adalah hal yang patriotis.
Opening film ini ‘meledek’ salam Nazi dengan menampilkannya diiringi lagu I Wanna Hold You Hand-nya The Beatles yang dibahasa-jermankan. Ada adegan petinggi-tinggi Nazi yang saling menyapa “Heil, Hitler!” setiap kali bertemu dilakukan Waititi dengan adegan satu menit dan salam itu terdengar lebih dari dua puluh kali. Tokoh Nazi dalam film ini gak ada yang sadar yang mereka lakukan itu tak lebih dari kebencian dan perbuatan kosong. Mereka bahkan gak ngeh kalo dunia mereka vibrant dan begitu berwarna, kota itu seperti bukan tempat yang kita bayangkan jika mengimajinasikan kebencian. Salah satu elemen penting yang dipunya film ini adalah percakapan antara Jojo dengan Hitler yang diperankan oleh sang sutradara sendiri. Aku membaca banyak kritikus ataupun penonton luar yang gak suka dengan portayal Hitler dalam film ini. Mereka mengatakan menjadikannya parodi, seperti tokoh kartun, adalah langkah tidak-sensitif oleh film; mengecilkan dosa dan perbuatan laknat Hitler itu sendiri. Dan hal tersebut tidak lucu. Well, mengkartunkan Hitler bukan pertama kali terjadi di sini. Charlie Chaplin sudah lebih dahulu mempermalukan sang diktator di tahun 1940 lewat film The Great Dictator. Lagipula, yang dilakukan oleh Waititi bukan sekadar menghumorkan. Karena ketika kita teliti, Hitler yang di film ini bukan Hitler ‘asli’. Melainkan Hitler yang ada di kepala Jojo.
Tokoh ini penting karena dia adalah perwujudan dari doktrin yang bersarang di dalam kepala Jojo – yang sama sekali belum tau dunia dan pilihan lain di luar mindset swastika yang dipaksakan kepadanya. Bagi Jojo, Hitler asli adalah tokoh idola, pemimpin yang harus dihormati, ditakuti. Yang tak boleh dilawan kehendaknya. Relasi antara Jojo dengan Hitler imajinasi tersebut bukan menunjukkan bahwa si Jojo gila, ngomong sendirian. Melainkan untuk menunjukkan anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, — eh salah, itu lirik lagu, maksudku anak kecil juga – ralat lagi; AJA! – bisa berpikir, bisa bergumul dengan pikirannya, mempertimbangkan rasa. Ia tidak menutup pintu debat. Ia, tanpa ia sadari, berani mempertanyakan sifat-sifat bentukan doktrin yang bersarang di benaknya.

Musuh terburuk kemanusiaan yang sesungguhnya adalah doktrin yang didasarkan pada kebencian. Doktrin yang membuat kita menutup mulut, mata, telinga. Menjauhkan kita dari argumen karena menyangka doktrin tersebut tidak bisa diperdebatkan. Padahal dunia tidak pernah sesatu dimensi itu. 

 
Film di balik quirkiness-nya menunjukkan kepada kita bahwa doktrin kebencian sudah meraga ke pribadi Jojo, namun belum ke jiwanya. Jojo masih punya harapan. Malah, semua orang sesungguhnya masih punya harapan. Jojo payah dalam latihan perang, dia ngebom dirinya sendiri. Jojo gak tega membunuh kelinci, sehingga giliran dia yang diejek kelinci – makanya judul film ini Jojo Rabbit. Simbolisme bermain di sini; kelinci adalah hewan yang berani, cerdas, kuat, dan panjang akal. Jojo sesungguhnya benar seperti kelinci. Hanya saja, semua sifat itu belum terbentuk karena masih ada dilema pada moralnya. Dilema yang terbentuk oleh doktrin Nazi yang penuh kebencian tadi.
Enter Elsa. Bukan Ratu Salju dari Arendelle. Melainkan gadis Yahudi dari balik tembok di atap rumah Jojo. Awalnya tentu saja Jojo jauh dari Elsa, takut malah. Elsa (Thomasin McKenzie mencuri perhatian dengan begitu wonderful) juga enggak punya keinginan untuk berakrab-akrab. Mereka musuh, Nazi dan Yahudi. Jojo menyalurkan semua kebenciannya dengan menulis buku tentang Yahudi, hasil observasinya alias imajinasinya atas apa yang diceritakan Elsa – hanya supaya Jojo tetap takut dan tidak mengadukannya kepada tentara. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa Jojo hanya mempraktekkan kebencian tanpa actually merasakan kebencian itu. As the story goes, dia merasakan sesuatu dan perlahan kebencian-buta itu memudar. Film menunjukkan kepada kita bahwa apapun yang kita perbuat akan kalah sama apa yang kita rasakan di dalam hati. Inilah kunci dari semua kebencian tersebut. Hati yang dipupuk oleh cinta (bagi Jojo itu berarti dari ibunya dan perasaan genuine yang tumbuh dari interaksinya dengan Elsa) jauh lebih bermakna daripada benak yang ditempa oleh kebencian. Perasaan ini bukan hanya tumbuh pada Jojo. Film dengan nekat memperlihatkan satu tindakan pahlawan dari seorang panglima Nazi yang diperankan oleh Sam Rockwell.

Besar kemungkinan film ini bakal dihujat karena ingin menggambarkan Nazi sebagai sosok simpatik. Namun justru di sinilah poin yang ingin diutarakan oleh film. Bahwa nun jauh di hati kita semua sama. Bukan hanya yahudi yang harus dilihat manusia, bukan sebagai monster bertanduk. Tentara Nazi juga. Pandangan mereka terhalang oleh doktrin kebencian, dan begitu juga kita. Padahal seharusnya kita semuanya cukup dengan merasakan rasa. Tidak ada gunanya saling menebar kebencian. Lebih baik tumbuhkan cinta dan benci itu akan hilang dengan sendirinya.

 

karena ini film dengan anak-anak, maka: “Make friends, not war!”

 
 
Soal feel itulah yang dihamparkan dengan kuat. Meskipun filmnya bernada satir, tapi kita akan merasakan banyak hal sekaligus ketika menonton film ini. Kita bisa meraksakan bangganya Jojo sebagai Nazi. Malunya dia ketika dianggap pengecut. Marahnya dia ketika dia enggak mengerti apa yang ia banggakan sebagai Nazi. Takutnya dia ketika berada di tengah-tengah peperangan beneran. Uwiiih, kerasa benar bagi Jojo perang itu jauh seperti latihannya, jauh seperti yang ia bayangkan – dan ia gak siap. Ia menolak. Adegan perangnya terlihat mengerikan deh pokoknya. Waititi juara di sini menyatukan berbagai tone cerita, membawa kita mengarungi masing-masingnya dengan mulus. Ketika Jojo rindu dengan hangatnya cinta sang ibu, kita juga akan terhenyak.
Wajar dan pantes banget makanya jika si Roman Griffin Davis mendapatkan penghargaan di debutnya sebagai aktor cilik ini. Setiap emosi berhasil ia sampaikan lewat ekspresinya yang juga sama luwesnya. Davis mengimbangi penampilan Scarlett Johansson yang berperan sebagai ibunya. Kita akan melihat sisi lain dari Johansson karena di sini dia memainkan peran yang sedikit berbeda dari yang biasa ia tangani. Masih sok galak, dan pinter sih, tapi there are lot more to it. Ada satu adegan monolog darinya yang keren karena butuh  banyak range emosi dan ekspresi. Hubungan Jojo dengan ibunya jelas adalah yang paling penting, bahkan mungkin inti dari journey Jojo. Film memperlakukan hubungan ini juga dengan unik. Memanfaatkan sepatu sebagai simbol adegan. Gestur sesimpel mengingatkan tali sepatu dijadikan bentuk cinta yang luar biasa. Di luar iti, aku gak mau bilang banyak, tapi kujamin; it’s beautiful. Kalo menurut kalian enggak indah dan menyengat di hati, boleh jitak pala Hitler.
 
 
 
Karikatur komedi itu tidak lagi terlihat sedangkal yang kita bayangkan, di menjelang akhir babak kedua. Film ini punya niat yang begitu, menyebarkan semangat anti-kebencian, dan bermaksud memekarkan bunga-bunga cinta di hati kita. Dan semua ini dilakukan oleh film dengan melewati begitu banyak emosi. Horor dan humor bisa jadi datang bergantian, namun tak sekalipun kita merasakan film terbata menceritakannya. Waititi mengambil resiko dan upaya yang besar dalam membentuk ulang cerita adaptasi ini. Alhasil, semua yang mestinya jadi aneh malah tampak begitu indah. Satir itu punya makna yang mengena. Semua itu karena film ini berhasil menyentuh hati kita.
The Palace of Wisdom gives 9 gold stars out of 10 for JOJO RABBIT.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kenapa doktrin kebencian bisa begitu tertanam pada diri manusia? Apakah membenci sesuatu memang lebih mudah daripada mencinta?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SIN Review

“Never play with the feelings of others”
 

 
Perasaan tidak bisa dipaksakan. Tapi bisa dipermainkan. That’s why it is so dangerous. Metta belajar secara langsung untuk tidak lagi memainkan perasaan teman-teman dan orang di sekitarnya ketika hidup mengambil giliran untuk gantian bercanda dengan perasaannya. —-Wow, kalimat barusan terdengar kayak narasi pembuka episode serial Twilight Zone ya. Kesannya serius, seram, unworldly. Adegan pembuka film Sin toh memang tampak bertempat di dunia yang lain. Kita melihat seorang cewek bergaun merah melayang di dalam air. Sayangnya, sisa film setelah bagian ini terasa lebih dekat ke sinetron atau ftv karena pendekatan simpel-namun-bejibun-twist yang dipakai.
Sin yang diadaptasi dari novel yang diangkat dari cerita platform Wattpad punya cerita luar yang cukup kontroversial. Baca saja tagline yang mejeng pada posternya. Tapi kontroversi mendatangkan rating, so yea.. Cerita film ini adalah tentang Metta, siswi SMA yang cantik – and she knows it. Metta (Mawar Eva de Jongh dalam peran utama yang mengharuskan dirinya menyimpan kesan ‘cewek baik-baik’ di dalam lemari) ini tinggal sebatang kara di apartemen mewah. Ibunya sudah meninggal dan dia tak pernah tahu siapa ayahnya. Metta hingga sekarang bahkan tidak pernah bertemu dengan orangtua asuh yang membiayai hidupnya. Punya harta, rupa, tapi belum mengenal cinta sejati, Metta menjadikan mainin cowok sebagai hobi. Kerjaannya dugem dan matahin hati anak-anak di sekolah. Bahkan teman satu geng pun agak risih dengan sikapnya. Metta kena batunya ketika dia beneran jatuh cinta kepada Raga yang pernah menyelamatkan Metta dari cowok yang tak terima dicampakkan olehnya. Untuk mendekati Raga yang petinju itu saja, Metta masih belum seutuhnya jadi gadis baek-baek, she practically blackmailed him to get a date. Namun toh mereka berdua sepertinya memang ditakdirkan untuk bersama. Kemudian sesuatu yang ‘tragis’ terjadi; Ketika lagi sayang-sayangnya, Raga (Bryan Domani lebih meyakinkan tampil sebagai kakak yang perhatian ketimbang sebagai petinju jalanan) menghindar dari hidup Metta. Menghilang. Metta belum tahu aja. Bahwa Raga sudah menemukan siapa ayah Metta — yang ternyata adalah ayah kandung dirinya sendiri.

bayangkan jika Darth Vader duduk ngomongin asal usulnya baek-baek ama Princess Leia

 
Lapisan luar cerita film ini memang sangat ftv; cewek usil ketemu cowok keren, kemudian saling jatuh cinta dan berubah menjadi lebih baik, hanya untuk twist demi twist menyerbu sehingga penonton semakin geregetan. I wish sutradara Herwin Novianto mengambil pendekatan yang lebih dewasa. Karena tema cerita ini memang cukup matang dan lebih cocok untuk dieksplorasi dengan lebih grounded. Babak set up Sin sangat bosenin. Film memfokuskan kepada pertemuan Metta dan Raga dan mereka saling jatuh cinta. Build up ini diperlukan untuk nanti; dua orang yang saling cinta ternyata adalah kakak-adik adalah tujuan dari cerita ini. Namun film melakukan set up dengan sangat sederhana. Coba tebak mereka ketemunya gimana? tabrakan saat lagi jalan di lorong sekolah! Siapa mereka tak benar-benar dibahas siapa diri karena backstory masing-masing tokoh itu disiapkan untuk babak akhir, untuk twist nanti. Dan ini membawa kita jauh dari semua yang bisa dipegang untuk peduli sama tokoh-tokoh tadi. Well, they all have pretty faces, jadi kupikir film menyangka itu saja sudah cukup untuk membuat kita peduli kepada mereka.
Film ini memang punya tampilan yang sangat cantik. Penggunaan lampu-lampu, cahaya yang terpantul pada objek-objek gelap – karena beberapa adegan terjadi di tempat-tempat shady tatkala Metta ikut Raga ke arena tinju underground. Sekalipun bosan, kita tidak akan pernah tertidur lantaran visual yang memancing seperti begini. Film mengontraskan kecantikan dengan kekerasan. Sin could get really ‘ugly’ ketika menghadirkan elemen-elemen violence, entah itu adegan bertinju atau, Metta sendiri menghajar cowok yang mengejarnya ataupun kehidupan jetset yang dihadirkan lewat tokoh-tokoh yang masih remaja berpesta dan mabuk-mabukan.  Tapi narasi film baru terasa bekerja ketika sudah lewat bagian tengah. Ketika kita mengerti siapa itu siapa. Dan persoalan mereka bertemu, menjalin kasih, yang dilakukan dengan standar cinta remaja – bahkan karakter cewek galak tapi manja dipasangkan bersama cowok pendiam tapi penuh kasih sayang itu bukanlah barang baru – tak pernah hadir benar-benar menarik. ‘Daging’ cerita sebenarnya adalah melihat apa yang mereka lakukan ketika bersama sebagai kakak adik, dengan saling memendam rasa. Yang membuat kita bergairah justru persoalan Metta dengan salah satu sahabatnya. In fact, sahabat Metta ini adalah satu-satunya kejutan yang aku suka, karena benar-benar tak disangka dan film membangun arc tokoh ini dengan baik.
Kembali ke adegan pembuka Metta yang menyelam; kita pun sebenarnya perlu untuk menyelami cerita Sin lebih dalam daripada sekadar apa yang terlihat di luar. Cinta kakak-adik itu hanya ‘jualan’ untuk menarik perhatian penonton, bahkan film ini sendiri tak begitu peduli sama elemen kakak-adik itu; terbukti dari twist puncak yang disuguhkan – we’ll talk about that later in the end portion of this review. Untuk sekarang, aku ingin membahas apa yang menurutku merupakan gagasan utama yang ingin disuarakan oleh film ini.
Simbol pertama yang hadir di depan mata kita adalah gaun merah yang dikenakan oleh Metta. Aku pinjam kata-kata Taylor Swift untuk menjelaskan ini; Warna merah adalah warna yang menarik untuk dikorelasikan dengan emosi atau perasaan. Karena warna ini punya dua spektrum. Pertama adalah cinta, gairah, kebahagiaan. Sementara spektrum satunya lagi adalah kemarahan, frustasi, dan obsesi.  Metta benar adalah tokoh yang berada di dua spektrum ini sekaligus. Dia yang hidup sendiri ingin merasakan cinta, tapi dia tidak bisa mendapatkannya, sehingga dia menjadi terobsesi. Juga ada neon pink yang menjadi warna utama film, yang bisa berarti cinta, sesuatu yang didambakan Metta. Dia melampiaskan hal tersebut kepada cowok-cowok di sekolah dengan menjadi playgirl. Membuat mereka menjadi terobsesi kepadanya. Makanya interaksi murid-murid di sekolah (diwakili oleh Metta, beberapa cowok, dan sahabat cewek Metta yang akan spoiler berat jika kusebutkan yang mana) tampak begitu ‘berbahaya’. Karena obsesi memang berbahaya. Dan menurutku memang soal obsesi dan bahayanya memainkan perasaan orang itulah yang menjadi bahasan utama film Sin.

Jangan bermain-main dengan perasaan orang lain. Karena dari perasaan yang dipermainkan itulah timbul obsesi. Kita terobsesi pada hal yang tidak bisa kita dapatkan.

 
Inilah yang menjadi trigger sahabat cewek Metta. Inilah yang menyebabkan Raga yang tadinya tidak tertarik kepada Metta menjadi semakin jatuh cinta; terjadi saat dia mengetahui Metta adalah adiknya. Cerita film ini bertindak sebagai hukuman buat Metta karena selama ini selalu nge-flirt tapi cuma buat nyampahin orang. Tapinya lagi, Metta sendiri adalah produk dari perasaan yang dimainkan. Dia diberikan secercah cinta tanpa benar-benar merasakan cinta – dia tidak pernah bertemu orangtua asuhnya. Film ini menggambarkan hukuman secara mental dan fisik. Makanya Raga yang suka bertinju menjadi pelengkap sempurna untuk Metta, karena tinju adalah total opposite dari bermain perasaan yang dilakukan oleh Metta.

siap-siap ditonjok oleh surprise status kalian

 
Makanya ending film ini terasa sangat tak bernyali. Gutless. So many twists and turns yang pada akhirnya menegasi gagasan dan elemen kakak-adik itu sendiri. Satu hal yang tampak menjadi jualan utama, yang menjadi point vocal cerita, ternyata dibuang oleh si film sendiri. Mungkin film ini menyasar ingin menjadi seperti ala M. Night Shyamalan; film buatannya selalu berujung ternyata bukan seperti film yang kira pada awalnya. It could’ve worked tho. Film ini bisa menjadi seperti demikian jika tidak dilakukan demi membuat senang penonton dengan merendahkan cerita dan penonton itu sendiri. Menonton Sin kita akan merasa dikhianati. Merasa sia-sia sudah tertarik untuk mengikuti kisah cinta kakak-adik mereka. Sekaligus juga merasa konyol dengan beberapa pengadeganan. Di babak akhir, adegan-adegan khas ftv itu muncul kembali. Berantem slow motion di tengah derasnya hujan. Dan hujan itu hanya berlangsung di tempat mereka berantem. Laughable. Dan pada adegan terakhir, film akan membuat kita mengerang.
 
 
 
Kalolah ini ftv, maka ini akan menjadi ftv yang hebat. Penampilan para pemainnya not half-bad. Aktor-aktor muda menunjukkan range emosi yang lumayan meyakinkan. Sinematografinya cantik sehingga kesannya mahal dan kinclong. Semua orang suka barang yang kinclong. Tapi ini adalah film bioskop. Yang seharusnya sinematik. Yang seharusnya tak ada adegan-adegan tabrakan, ketemu di supermarket, dikuntit, kenalan, jadian, oh my god poin-poin plot film ini sungguh sesederhana itu. Padahal gagasannya cukup dewasa, bahasannya cukup bermakna. Film ini akan jauh lebih baik jika dilakukan dengan pendekatan yang benar-benar seperti sinema – bukan seperti wahana roller coaster dengan banyak belokan twist; mengombang-ambingkan penonton dengan ‘ternyata’ alih-alih rasa. Harusnya Metta yang membuat film ini, she surely knows how to play with our feelings.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SIN.

 
 

IT CHAPTER TWO Review

“Often it isn’t the initiating trauma that creates seemingly insurmountable pain, but the lack of support after”

 

 

Setelah dua-puluh-tujuh tahun, Si Badut Pennywise muncul kembali di kota Derry. Dia merindukan anak-anak yang dulu pernah hampir menjadi mangsanya. Tujuh anak yang pernah mengalahkan dirinya itu, ia pancing kembali untuk datang ke kota lewat serangkaian teror. Dan setelah dua-tahun dari film chapter pertamanya, kita datang untuk menagih janji cerita horor yang benar-benar berdaging.

Serius, ‘menagih janji’ itu adalah kalimat penutup reviewku untuk It (2017). Karena dua film It adalah adaptasi dari satu buku Stephen King, dengan ‘daging’ cerita sebenarnya terletak pada bagian saat para Losers’ Club yang sudah dewasa ditarik kembali ke Derry untuk menghadapi trauma masa kecil mereka. Sutradara Andy Muschietti nekat membagi menjadi dua film, dan actually did a great job pada chapter pertama. Kisah anak-anak menjelang remaja yang tadinya kelam, diubah cerita persahabatan yang uplifting. Mengajarkan kita akan pentingnya persahabatan untuk saling menutupi kekurangan dan kelemahan. Pada Chapter Kedua, Muschietti menyambung gagasan King dengan horor yang dibuat lebih dewasa. Dengan pertanyaan yang lebih menantang untuk makna persahabatan itu sendiri.

Mudah untuk kita bersatu ketika sedang sama-sama susah. Penderitaan mendorong kita untuk menemukan dan berpegangan kepada kawan yang senasib. Namun ketika semua masalah sepertinya sudah terhindari, ketika hidup kita sudah berlanjut menjadi lebih baik, sudikah kita kembali untuk mengalami lagi semuanya. Ketika kita sudah hidup mapan sendiri-sendiri, maukah kita kembali untuk bersama-sama berkubang dalam masalah?

 

Sepindahnya mereka dari kota Derry, pentolan Losers’ Club memang sudah tergolong sukses. Bill Denbrough kini jadi penulis cerita misteri yang ngehits, dia tidak lagi tergagap, dan punya istri seorang bintang film. Ben Hanscom sudah gak gendut lagi, dia jadi arsitek kaya yang meeting online sama klien. Richie Torzier menggunakan mulutnya sebagai aset jadi komedian terkenal. Eddie Kaspbrak berkarir di bidang risk assesment real-estate yang cocok sama kebiasaannya yang selalu mencemaskan berbagai hal. Beverly Marsh jadi perancang busana. Dan Stan juga tampak cukup sukses di kediamannya. Mereka semua sudah lupa akan kejadian di film pertama, meskipun masih terus dibayangi oleh trauma masa kecil. Bill tak pernah lupa akan Georgie, Bev tetap tak lepas dari sosok pria yang kasar padanya. Dan saat Mike, satu-satunya dari geng mereka yang menetap di Derry, menelfon mereka, mengingatkan akan perjanjian berdarah yang mereka lakukan saat masih kecil; bahwa musuh mereka muncul kembali, semuanya seperti tersentak. Seperti bangun dari mimpi indah, masuk ke mimpi buruk. Bill malah jadi gagap lagi. Masing-masing mereka dipaksa untuk menjalani masa lalu yang mengerikan demi mengambil relik yang akan digunakan untuk ritual mengalahkan Pennywise untuk selama-lamanya.

untung yang nelfonin mereka ‘cuma’ Mike, bukan Bapak

 

Selain Bill, Mike dalam film ini diberikan porsi yang lebih besar. Dia tidak terbaring di kasur rumah sakit seperti pada novel saat teman-temannya turun ke sarang Pennywise. Dialah yang paling dekat dengan posisi tokoh utama karena dia punya arc yang melingkar di antara tokoh-tokoh yang lain. Mike adalah orang yang pertama kali tahu tentang kembalinya Pennywise. Dia yang memutuskan untuk tetap tinggal di Derry. Dia yang lebih dahulu siap untuk menerjang kembali trauma masa lalu. Atau mungkin, dia yang paling menolak untuk move on, dan ini menarik karena biasanya orang akan berlomba-lomba untuk bisa move on dari kenangan buruk. Film mencoba untuk memberikan peran yang lebih besar kepada Mike dibandingkan dengan novel. Ketika semua orang punya masalah sendiri, berjuang melawan kembali apa yang sudah berusaha mereka lupakan dalam proses menjadi dewasa, Mike berada di sana seperti tak tersentuh oleh Pennywise. Kita tidak melihat dia sebanyak tokoh lain dikerjai oleh si Badut Pengubah Bentuk. Teror bagi Mike justru adalah ketika grup mereka mulai terpecah. Saat dia berjuang untuk mempersatukan mereka kembali, walaupun itu berarti dia harus berbohong. Dia seperti agen pemersatu yang berkontras dengan Pennywise si agen pemisah. Ini membuat Mike dan Pennywise adalah dua poros yang paling penting dalam narasi.

It Chapter Two memang melakukan lumayan banyak perubahan terhadap versi novel. Salah satunya lagi adalah soal ending – tapi dibuat masih menghormati dan sejalan dengan materi asli – sehingga para pembaca buku dapat tetap mendapat kejutan menyenangkan saat menonton. Soal ending buku malah dijadikan candaan yang terus berulang karena di film disebutkan bahwa Bill yang novelist selalu mendapat kritikan terhadap ending yang ia tulis. Akan ada banyak adegan ketika ada orang yang menyebut buku tulisannya bagus, tapi mereka enggak suka dengan endingnya. Bahkan Stephen King sendiri muncul sebagai cameo dan mengucapkan dialog seputar pilihan ending tersebut. Lewat running gag tersebut, film ingin mewanti-wanti kepada kita bahwa mereka juga sudah melakukan sesuatu kepada ending film, yang menurut mereka adalah perbaikan dari ending pada buku. And it’s kinda true. Ending film ini membawa rasa kepuasan dan kelegaan yang menghangatkan. Hanya saja perjalanan menuju endingnya yang luar biasa membinasakan.

Tentu, interaksi antar-tokoh tampak akrab dan menyenangkan. Aktor-aktor dewasa seperti Jessica Chastain, James McAvoy, Bill Hader, James Ransone memainkan peran mereka persis kayak aktor-aktor cilik memainkan mereka. Tokoh mereka terasa familiar bagi kita yang sudah mengikuti perjalanan mereka dari film pertama. Mereka beneran seperti bertumbuh dewasa. Permainan akting mereka semakin on-point berkat film yang kerap membawa kita berflashback ke masa kecil mereka dua-puluh-tujuh tahun yang lalu. Seolah film ingin menyombong kepada kita “lihat, ini beneran mereka sudah jadi orang gede” Seru melihat tokoh-tokoh berkembang, mereka melakukan gerakan dan bereaksi seperti yang sudah akrab dengan kita. Film sangat hebat memperlihatkan itu semua. Si Pennywise pun digambarkan sebagai tokoh yang punya sedikit kedalaman sekarang, aku senang dialog tokohnya diperbanyak, karena Bill Skarsgard memang memainkannya dengan penuh penghayatan dan tampak bersenang-senang. Makhluk-makhluk CGI hasil ilusi dan jelmaan dari Pennywise enggak benar-benar seram, melainkan seru abis lantaran begitu random dan di luar logika. Hampir seperti kartun. Mungkin visual monster-monster itu tampaknya sengaja dibuat kasar untuk menimbulkan kesan seram yang hilarious karena film ini menunjukkan mereka sanggup menampilkan CGI yang begitu mulus ketika menggunakannya untuk memudakan kembali tokoh anak-anak yang pemerannya sudah jauh mendewasa ketimbang peran mereka.

Hanya saja ketika menapaki trauma-trauma yang semestinya bernada lebih dewasa, film juga tetap memilih untuk tampil seperti teror wahana rumah hantu, seperti pada film pertama. Dan ini mengecilkan makna dan ‘daging’ yang ada pada cerita horor saat mereka dewasa ini. Teknik jumpscare dan permainan makhluk horor CGI dari Muschietti memang efektif, memberikan hiburan horor yang konstan, tetapi substansi harus diletakkan di depan karena terus-terusan hanya melihat jumpscare-jumpscare dengan makhluk-makhluk random akan membuat kita kehabisan energi. Terutama di film dengan durasi hampir tiga jam seperti ini.

membuat kita galau mestinya film ini durasinya dipangkas atau malah ditambah – dijadikan serial aja

 

 

Film tidak memperhitungkan pace dengan baik. Meninggalkan kita menjadi semakin tidak sabar saat flashback demi flashback, horor ngagetin demi horor ngagetin, terus berputar di layar. I mean, kita ngerti kok mereka punya trauma yang dibangkitkan lewat halusinasi oleh Pennywise yang suka untuk melemahkan mental mangsanya, film tidak harus melandaskan poin yang sama berulang kali. I mean, musti berapa kali lagi kita melihat mereka di masa kecil sebelum film benar-benar menyudahi ceritanya. Ada enam tokoh, ada tiga babak, dan di setiap babak kita diperlihatkan masing-masing berurusan dengan Pennywise dan trauma mereka. Di luar bagian Mike, kalo dikali, jumlahnya ada lima belas kali kita melihat teror Pennywise. Ini melelahkan. Mengganggu tempo cerita karena elemen horor tersebut tak bekerja banyak di luar untuk ajang kaget-kagetan. Adegan-adegan itu tak punya bobot urgensi karena kita tahu semua hanya ilusi dari Pennywise yang tak benar-benar berbahaya. Malah ada beberapa flashback yang menunjukkan mereka waktu masih kecil dikejar-kejar oleh berbagai wujud It. Flashback pengisi gap tahun yang pointless karena kita tahu para tokoh tidak dalam bahaya di adegan tersebut karena toh mereka sudah tumbuh jadi dewasa – mereka survive dari kejadian itu. Mereka tidak mati saat masih kecil itu. Menuju ke ending yang merupakan perbaikan dari ending novel, terasa ngedrag, film ini bahkan punya dua sekuen ‘false resolution’. Dua setengah jam itu benar-benar terasa.

Narasi yang melingkupi banyak tokoh seperti ini haruslah diikat oleh satu benang merah. Film ini, dengan kodratnya sebagai cerita lanjutan, memang sangat tergantung pada penonton untuk menyaksikan dulu film pertamanya. Atau membaca novelnya. Film tidak necessarily mengikuti buku tetap berjalan dengan arc Bill sebagai sumbu utama. Tapi film ini cukup berani memasukkan elemen penting pada buku yang bahkan tak disadur oleh It versi miniseri tv yang tayang tahun 1990an. Yakni seputar peristiwa kejahatan sadis yang dialami oleh seorang pemuda gay. Adegan ini actually jadi adegan pembuka dalam It Chapter Two, persis seperti chapter dua pada novelnya. Sempurna untuk melandaskan horor seperti apa yang bakal kita temukan, kengerian semacam apa. Salah satu Losers’ Club juga diindikasikan LGBT. Hanya saja, film tidak benar-benar komit. Baik itu terhadap elemen LGBT, maupun horor yang serius. Ketika cerita berjalan, tokoh-tokoh kita dibawa kembali ke lingkungan masa kecil mereka, film juga seperti revert back. Melupakaan kedewasaan dan hal-hal baru yang sepertinya akan mereka jalani. kehidupan masa kini yang ditinggalkan para tokoh tidak dibuat ikut mengejar mereka ke Derry. Tidak seperti pada buku. Sehingga stake kehidupan yang mereka tinggalkan tidak pernah terasa. Beverly tidak berkonfrontasi lagi dengan suami dan hubungan abusive yang selalu menimpanya. Kita hanya melihat istri Bill satu kali, bahkan persoalan pilihan ending novel yang ia tulis tidak disebutkan lagi di akhir.

Kekalahan Pennywise pun tidak menunjukkan kedewasaan atau keseriusan emosi yang seperti diisyarakatkan bakal ada oleh pembuka film. Yang ada malah terasa dikonyolkan. Mungkin film berbalik pengen bermain dengan ironi. Lantaran Pennywise yang pada film pertama seperti simbol dari kedewasaan yang merundung anak-anak, pada film ini malah berbalik menjadi yang dirundung oleh anak-anak yang sudah dewasa tersebut. Mereka seperti bertukar tempat. Pennywise yang sekarang menjadi seperti anak kecil. Alih-alih memisahkan mereka lewat memanfaatkan rasa takut, Pennywise pada akhir cerita berubah menjadi sosok insecure, sendirian, tak berteman, yang diejek hingga literally menciut. Pennywise sudah seperti Boggart yang dihajar oleh enam mantra Riddikulus hingga aku tak paham lagi keberanian seperti apa yang ingin diajarkan oleh film ini.

Lebih sering daripada tidak, yang paling mengerikan dari menghadapi trauma itu adalah ketika kita menyadari bahwa kita menghadapinya sendiri. Semua orang butuh support. Dari teman. Dari saudara. Dari orang lain. Tiliklah Losers’ Club, mereka kuat bukan karena sendirian. Mereka lemah menghadapi masalah sendiri. Tetapi mereka tak-terkalahkan saat mendukung masalah teman-temannya.

 

 

 

Sehingga tak tampak lebih berdaging, buatku film pertamanya masih lebih kuat dan lebih berisi padahal seharusnya cerita bagian kedua inilah yang lebih berbobot. Film yang kedua ini kurang berhasil membuat drama dan aspek emosional cerita menjadi vocal point yang konsisten. Sebab cerita film ini pada dasarnya bergantung pada film pertama yang merupakan backstory. Film jadi memuat terlalu banyak, antara aspek yang lebih dewasa, tuntutan buku sumber adaptasi, dan kebutuhan untuk mengingatkan penonton kepada film yang pertama. Hasilnya adalah film yang bekerja pada tingkatan film pertama, dengan materi yang sebenarnya sudah berada di atas level tersebut. Lain kata, film stuck pada gaya yang tidak mampu mengimbangi kematangan ceritanya yang sudah dewasa. Tetap memberikan horor yang menghibur, jumpscare-jumpscare yang efektif, tapi terasa melelahkan dan membuat tak-sabar. Karena poin yang sama diulang berkali-kali. Pengalaman terpisah para tokohnya terasa mengambang kayak balon-balon merah si Pennywise. Mereka perlu diikat menjadi satu narasi yang benar-benar koheren dan film perlu komit di sana.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IT CHAPTER TWO.

 

 

 

TWIVORTIARE Review

“Fighting is a part of healthy relationships”

 

 

Twivortiare agaknya permainan kata dari  sebuah kata bahasa rumania; divortiare (di-vor-ti-a-re) yang berarti perceraian. Dan memang, Twivortiare diangkat dari novel tulisan Ika Natassa yang actually adalah kelanjutan dari novelnya yang berjudul, you guessed it; Divortiare. Fiksi metropop tentang putus-nyambungnya pasangan suami-istri. From what I’ve gathered around the net, novel Twivortiare punya konsep yang unik. Kisahnya diceritakan melalui postingan twitter si tokoh utama. Pembaca dibuat seolah meng-scroll timeline si tokoh, membaca tweet demi tweet berisi curhatan, keluhan. Konsep yang menarik sebagai penceritaan untuk media visual.

Film, media audio-visual, ada juga yang menggunakan postingan sosial media sebagai alat utama untuk bercerita, tapi itupun ceritanya kudu mengandalkan misteri atau thriller. Karena gak ada deh pasti yang sudi datang ke bioskop hanya untuk membaca tulisan sepanjang waktu. Film-film yang menyisipkan chattingan seringkali dikritik males atau dituding sebagai usaha murahan untuk membuat ceritanya tampak modern. Makanya ketika di menit-menit awal menonton Twivortiare, aku udah mau meledak teriak “booo!”; satu layar bioskop itu hanya menampilan percakapan pesan twitter! Untungnya pembuat film masih waras dan wajah Raihaanun Soeriaatmadja dan Reza Rahadian kembali dimunculkan.

Karena kedua aktor tersebut were literally the BEST DECISIONS this entire film has ever made.

Penampilan akting Raihaanun dan Reza Rahadian benar-benar mengangkat film ini. Membuat materi yang membosankan menjadi seperti worth it untuk diikuti. Aku kaget sekali mendapati aku tersedot ke dalam cerita film ini. Yang gak punya misteri, gak punya aksi, yang literally nothing big happened. Aku, di luar kuasaku, jadi begitu peduli kepada dua tokoh sentral cerita. Well, setidaknya aku tertarik sampai akhir paruh pertama.

“nyebutin filmnya yang jelas biar gak disangka ngomong ‘twit wor diare’ sama mbak penjual tiket”

 

Raihaanun berperan sebagai Alexandra Rhea Wicaksono, seorang banker. A wife to Reza Rahadian’s Beno Wicaksono, seorang dokter kardiologi yang memandang pekerjaannya dengan serius. Beno memerhatikan para pasiennya. Beno kepada pasien sama seperti cerita-cerita Ika Natassa kepada nama lengkap tokohnya; harus! Jadi Alex merasa dinomorduakan. Kehidupan rumah tangga mereka dengan cepat hambar. Ditambah lagi, keduanya hobi banget bertengkar. Alex meminta cerai, dan Beno karena cintanya terpaksa mengabulkan. The story hasn’t ended yet, karena Beno tak pernah benar-benar hilang dari hati Alex. Dari hidup Alex. Setelah beberapa kali pertemuan pasif-agresif, mereka berdua saling jatuh cinta kembali. Semesta pun mendukung. Alex dan Beno rujuk. But still, the story hasn’t ended here. Alex dan Beno harus mengalahkan ‘penyakit’ lama mereka. Karena rumah tangga mereka sudah bubar satu kali. Masa sih mereka bakal terjatuh ke dalam lubang yang sama?

See, this is not the kind of story that I usually enjoyed. Tapi aku tak bisa memalingkan kepala dari tokoh-tokohnya, karena Raihaanun dan Reza mainnya bagus banget. Twivortiare ini mungkin contoh yang tepat sebuah film terangkat derajatnya oleh penampilan pemain. Kalo yang meranin pemain level menye-menye, aku mungkin sudah berteriak-teriak ngomenin setiap kalimat yang mereka ucapkan. Tapi film ini tidak. Dialog demi dialog mereka hidupkan dengan natural. Chemistry mereka menarik perhatian kita, dan menahannya supaya enggak kemana-mana. Pesona paling kuat jelas datang hubungan unik antara Alex dan Beno. Mereka musuhan tapi saling membutuhkan. Menyaksikan mereka berantem, adu argumen, low-key saling menyalahkan, sudah seperti candu. I mean, aku benar-benar menikmati siklus mereka perang-mulut, kemudian kontemplasi lewat masalah pekerjaan masing-masing, dan kemudian merasa amat sangat butuh untuk bertemu dan akhirnya baikan lagi. Ada adegan mereka berpura-pura masih suami istri ketika hendak menjual rumah, dan kemudian kompakan nyari alesan untuk tidak menjual rumah, karena masing-masing sadar mereka sebenarnya tak ingin menjual rumah yang menjadi saksi cinta mereka. Aku juga suka Beno tidak bertanya kenapa Alex balik lagi ketika dia melihat Alex yang tadinya mau jalan dengan pacar baru. Beno hanya menatap Alex, menyapa, dan mereka ngobrolin hal lain. Deep inside, Beno dan Alex tahu mereka masih saling cinta, namun mereka tidak tahan karena mereka terlalu sering bertengkar.

Great relationship disebut hebat bukan karena tidak pernah ada masalah. Semua hubungan pasti akan mengalami ketidaksetujuan, perbedaan, pertengkaran, kecemburuan. Great relationship justru ditempa dari semua itu. Dari cara pasangan menyelesaikan semuanya dengan cinta mereka. Tanpa itu semua yang menguji, tidak akan ada hubungan yang erat.

 

Pertengkaran-pertengkaran kecil sesekali diperlukan. Inilah yang perlu disadari oleh Alex. Karena dia selalu ‘kabur’ dari masalah. Cek-cok sedikit, ngajak pisah. Over the course of film, Alex tak tahu bahwa yang teman-temannya lihat, yang orangtua dia dan Beno lihat, bukan dia dan Beno berantem hebat. Mereka berantem sesungguhnya adalah di mata dan kepala mereka sendiri. Bagi orang yang luar, bahkan kita yang nonton, yang terlihat adalah dua orang yang saling mengingatkan, yang saling mengomunikasikan perasaan – apa yang mereka suka, apa yang tak mereka suka – yang saling berusaha untuk kompromi. Sebuah ciri hubungan yang sangat sehat, justru. Teman-teman Alex menggoda dirinya dengan istilah ‘drama’, tontonan seru.   Tak ada satupun yang mencemaskan Alex. Dan ini juga sebabnya kenapa kita begitu betah menonton dua orang yang ribut melulu.

hal positif berantem adalah; make up sex is the best sex

 

Bagian itulah yang tak tertranslate dengan baik ke dalam bahasa dan kebutuhan film. Cerita Alex dan Beno berusaha menyadari kuatnya hubungan mereka ini tidak punya stake. Kita percaya tidak ada yang bisa mengancam hubungan mereka. Cowok-cowok kantor yang datang mengirimi Alex bunga, tidak sedikitpun mereka tampak punya kesempatan. Kita sudah dibuat terlampu percaya bahwa dua tokoh ini saling cinta, dan pertengkaran-pertengkaran mereka itu bukan masalah. Melainkan bukti kuatnya cinta. Anggika Borslterli yang jadi sohibnya Alex bilang “Setiap kali lo curhat ada masalah ama Beno, gue gak pernah khawatir.” It’s true. Itu jugalah yang kita sebagai penonton rasakan. Tak pernah sekalipun aku mencemaskan Alex dan Bono bakal pisah lagi. Kecuali mungkin oleh kematian. Tapi bahkan kematian tak jadi soal karena ini adalah cerita tentang dua orang yang merasa gak cocok padahal mereka sudah ditakdirkan untuk bersama.

Jika Twivortiare adalah cerita yang dibuat khusus untuk film, katakanlah tidak ada novelnya, aku yakin pembuat film ini setelah midpoint akan mencari masalah baru – yang masih paralel dengan tema dan journey – dan memperbesar stake alias taruhan untuk para tokoh supaya cerita tetap menyala dan punya tantangan. Mungkin tokohnya dibuat pengen punya anak sebagai cara tak bertengkar lagi tapi gak bisa punya anak, so their choices will be limited sehingga konflik semakin menajam. Atau apalah, pokoknya yang membuat cerita berkembang dari paruh pertama. Tapi Twivortiare toh adalah novel pada aslinya. Konflik berulang tidaklah mengapa di sana. Namun pada film, jadinya membosankan.

Setelah midpoint, pertanyaan yang dipancing adalah apakah Alex dan Beno bakal terjauh ke lubang yang sama, dan ternyata justru ceritalah yang jatuh di lubang yang sama. Alias, kejadian yang datang menghadang Alex dan Beno basically sama saja dengan kejadian pada paruh pertama. Ada pria yang deketin Alex. Beno yang masih sibuk ngurusin pasien. Hanya variasi dari hal yang itu-itu melulu. Buat film, ini melelahkan untuk ditonton. Semenakjubkannya akting pemain, mereka overstay their welcome jika memainkan kondisi yang sama berulang-ulang. Not even cameo penulis Ika Natassa saat Alex dan Beno membahas ikan salmon menolong film untuk menjadi menarik kembali. Cerita seperti berlalu tanpa ujung. Dengan semua jawaban sudah kita ketahui, cerita hanya meninggalkan kepada kita sebuah pertanyaan baru; kapan selesainya nih film?

 

 

 

 

Aku bakal ngasih tujuh bintang, jika film ini berakhir pada midpoint ceritanya. Bahkan bisa saja delapan jika mereka melanjutkan dengan raising the stake and upping the ante. Tapi mungkin jadinya bakal lain dari gagasan awal cerita. Kalo aku jadi sutradara Benni Setiawan, aku pasti udah gatel setengah mampus untuk memberikan tantangan yang lebih, karena melihat para pemain mewujudkan tokohnya dengan luar biasa. Sayang aja gitu, udah punya sekaliber Reza dan Raihaanun tapi tidak diberikan sekuens yang benar-benar wah. Tapi yah mau gimana. Ini adalah kisah adaptasi cerita novel and it settled itself at being what it is. Tak lebih. Tak kurang.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for TWIVORTIARE.

 

PERBURUAN Review

“He who is prudent and lies in wait for an enemy who is not, will be victorious”

 

 

Perburuan yang ditayangkan serentak bersama Bumi Manusia (2019) oleh Falcon Pictures benar-benar memenuhi fungsinya sebagai alternatif. Keduanya merupakan adaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, sama-sama berlatar zaman penjajahan , sama-sama menggambarkan ketimpangan kelas manusia, tapi cerita bercerita keduanya terletak di dua spektrum yang berbeda. Perburuan diserahkan kepada Richard Oh, yang meraciknya dengan menyuguhkan lebih banyak kreasi sehingga muncul sebagai penyeimbang buat Bumi Manusia yang hadir lebih ngepop. It’s nice, dan langka, menonton film tentang kemerdekaan dari dua penulis sumber yang sama tapi digarap dengan berbeda. Meski menurutku agak ‘jahat’ juga Falcon ‘mengadu’ keduanya. Aku nonton dua film ini secara berturut-turut di hari yang sama (Bumi duluan, baru Perburuan), dan ketika Bumi aku langsung bisa menuliskan ulasannya pada hari itu juga, maka untuk Perburuan aku butuh untuk memikirkannya terlebih dulu. Karena ada banyak kandungan yang tak bisa langsung dijabarkan. Banyak pilihan yang dilakukan oleh film yang sepintas tampak seperti keputusan yang buruk, tapi ada subteks yang membayanginya, yang membuatku tak ingin buru-buru mengambil kesimpulan.

Saat ditulis untuk novel, sepertinya memang cerita ini diniatkan sebagai alternatif sejarah. Di buku pelajaran kita tertulis pemberontakan PETA terhadap pasukan Jepang dipimpin oleh Soeprijadi pada tanggal 14 Februari 1945 di Blitar, Jawa Timur. Pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh kejamnya penjajah Jepang terhadap rakyat pribumi. Perbuatan semena-mena bahkan di kalangan tentara dan janji-janji yang tak kunjung ditepati memantik api agresi Soeprijadi. Namun buku sejarah kita tak menulis tentang Hardo. Pribumi asal Blora, Jawa Tengah, yang juga serdadu PETA. Yang masih memegang harap, namun tak bisa lagi menunggu. Maka ia mendukung gerakan Soeprijadi. Malang, ada pemberontak di dalam barisannya sendiri. Pasukan Hardo kocar-kacir ditembaki. Sejak malam itu, Hardo dan orang-orangnya buron. Kali berikutnya kita melihat Hardo, pemuda itu sudah hampir tak dapat dikenali. Ia berjalan di malam hari seperti gelandangan yang hilang kewarasan. Dan selagi Hardo menunggu harapan merdeka itu di dalam gelap, orang-orang yang ia kasihi mulai terancam karena kepala Hardo masih terus dicari oleh Jepang.

Ketika kau tahu Kempetai rindu pada batang lehermu

 

Begitu menjadi film, Perburuan oleh Oh diperkecil skalanya. Kita hanya akan melihat lewat mata nanar Hardo. Sisi buruk penjajahan akan kita lihat lewat Hardo saat dirinya menyusuri padang jagung bergelimang mayat-mayat rakyat. Karena Hardo yang dalam pelarian hanya keluar di waktu malam, jadi semuanya gelap. Suasana dimainkan menjadi rasa yang disampaikan kepada kita. Menonton ini kita akan merasa kelam, bingung, sendirian (karena besar kemungkinan kita beneran sendiri nyaksiin ini di dalam studio bioskop), persis seperti yang dirasakan oleh Hardo. Kita menanti cercahan cahaya. Kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seperti Hardo yang menanti kabar kemerdekaan, karena ia percaya – ia janjikan ini kepada tunangannya – bahwa keadaan akan membaik setelah Indonesia merdeka.

Bagi Hardo tentu saja penantian itu terasa sangat lama. Dia belum tahu Indonesia bakal merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Dia mungkin sudah tidak tahu lagi hari apa saat itu. Untuk menyampaikan perasaan kecamuk demikian, film pun dengan sengaja membuat kita disorientasi terhadap waktu dan tempat. tidak pernah tahu di mana persisnya Hardo, atau ke arah mana dia berjalan. Di bawah jembatan, di ladang jagung, di sungai besar, kita tidak mengerti lokasi dunia Hardo. Yang kita mengerti adalah dia kembali ke Blora. Dia ketemu dengan orang-orang yang mengenalnya, dia reuni dengan rekan pelarian, tapi kita tidak pernah diberikan sense of direction yang benar. Pergerakan kamera akan bolak-balik, seperti adegan maju-mundur yang acap dimasukkan. Flashback adalah cara film mengaburkan dimensi waktu. Kita dipindah begitu saja antara masa lampau ke masa kini. Dengan bahkan petunjuk waktu masa kini tidak dapat dipercaya. Bekas luka yang disebut sebagai penciri Hardo tampak hilang-timbul saat dia sudah brewokan. Kadang ada kayak pas di adegan akhir, kadang tidak ada seperti saat ‘reunian’ di bawah jembatan

Disorientasi berfungsi untuk menambah suspens cerita. Sebagai cara film menyampaikan kepada kita susahnya hidup dalam pelarian, yang menunggu kesempatan untuk keluar dan menampakkan diri. Perburuan menggunakan benturan antara berburu dan menunggu sebagai gagasan utama cerita. Di adegan pembuka kita melihat Hardo berhasil menang kendo atas komandan Jepang karena dia menunggu celah serangan dan balas menyerang dari sana. Lantas kemudian kita melihat dampaknya ketika Hardo terburu napsu marah sehingga malah memimpin pemberontakan alih-alih menunggu badai reda. Hardo mengkhianati kepercayaannya sendiri. Membuatnya berada di titik rendah dalam hidupnya. Secara lowkey, film juga menyinggung soal menunggu ketimbang kesusu dari percakapan Ayushita dengan anak muridnya yang terluka karena berlari takut terlambat ke sekolah. Akibatnya kita melihat adegan kontemplasi dia dengan korek api yang digambarkan film dengan sungguh magis. Api yang hidup mati itu bagai harapan Hardo yang meredup, kemudian menyala kembali, kemudian mati lagi, dan seterusnya. Adipati Dolken diberikan kesempatan untuk bermain ekspresi gila untuk menunjukkan penguasaan range. Ada banyak versi Hardo di film ini, mulai dari Hardo yang optimis penuh harap, Hardo yang nyaris putus asa, Hardo yang menemukan kembali harapan. Dolken mampu menggapai note yang diminta. Tapi kemudian dia tidak diuntungkan ketika harus memakai brewok palsu yang kadang menutupi ekspresinya. Di saat-saat itu aku berharap kamera lebih banyak lagi melakukan close up wajah.

Lamurkah mataku atau did Rizky Mocil just shot two enemies, in the dark?

 

Adegan satu lagi yang niscaya membuat kita menggelinjang jelas adalah adegan Hardo mengobrol dengan his aware-but-not-so-sure father. Lokasi dan suasananya di gubuk tengah ladang jagung yang temaram benar-benar menakjubkan. Bahasa mulut dalam film ini terbagi menjadi tiga macam; monolog puitis, bantering filosofis, dan paparan informasi. Ketiga-tiganya muncul sekaligus dalam adegan tersebut. Resiko dialog-dialog tersebut adalah film praktis akan menjadi berat. Tapi film melakukannya dengan indah, karena paham kuncinya adalah menghadirkan latar yang menawan untuk mengakomodasi kalimatnya.

Gagasan yang diangkat film ini seperti mengacu pada filsuf dan ahli perang dari Cina, Sun Tzu, yang pernah menuliskan dalam buku The Art of War bahwa salah satu kunci kemenangan adalah bersabar dan tidak gegabah. Dengan bijaksana memperhatikan langkah musuh sambil mempersiapkan diri. Siapa yang bergerak sembaranganlah yang akan kalah. Dalam film ini kita melihat wujud dari itu semua. Kemenangan datang kepada Hardo saat dia sendiri muncul di saat yang tepat. Jepang kalah karena mereka terlalu gegabah dan merasa di atas angin

 

Masuk babak tiga, jelas sudah film lebih berfokus kepada psikologi Hardo ketimbang suasana sosial Indonesia secara menyeluruh. Dan di sini jualah film terasa berhenti bekerja. Justru di saat teranglah, film seperti tidak tahu lagi cara menampilkan cerita sesuai fokusnya. Maka film kembali menoleh kepada buku, dia berusaha menjadi lebih ‘gampang’ dari sebelumnya. Mencoba keluar dari Hardo. Lantaran Hardo yang literally dan figuratively menemukan jalan pulang menjadi pasif. Dia tidak melakukan apa-apa untuk menang, karena memang jalan benar baginya adalah dengan menunggu. Ini tentunya tidak menarik untuk akhir film karena film butuh satu cekcok yang besar. Maka sorotan pindah ke temannya yang tadi berkhianat, untuk memberikan dia pembenaran, meskipun di titik itu kita mengerti Hardo tidak lagi menganggap dia salah. Intensitas film ini lenyap terlebih ketika Hardo tiba-tiba sudah tidak dalam bahaya. Aku tidak mau bilang banyak, tapi ini adalah jenis cerita ‘diselamatkan oleh bel’. Untuk memberikan final big moment, film yang sedari awal sudah membuat Jepang kayak penjahat dalam komik yang kejam tanpa nilai baik – dia bahkan tidak mengenal rasa terhormat apalagi harakiri – membuat semuanya sederhana; Hardo benar, Jepang jahat, dan teman-teman Hardo salah.

Mungkin, cara ini masih bisa berhasil memberikan momen final besar yang diincar. Sayangnya, film ini sendiri seperti tidak mendapat perhatian yang cukup dari pihak studio. Pengadeganan bagian terakhir itu mestinya epik karena melibatkan banyak orang banyak, tapi tampak kecil dan awkward. Sepertinya melihat pertunjukan di panggung teater. Suasananya tidak semegah yang film ini pantas dapatkan. Tapinya lagi, ini adalah keputusan film untuk memilih kembali ke jalur yang lebih accessible.

 

 

 

Meski berlatar zaman penjajahan, film ini sebenarnya bekerja dalam skala yang lebih kecil. Skala personal seorang tokoh. Dan kita hanya melihat dari tokoh itu. Film melakukan banyak kreasi saat mengadaptasi untuk kepentingan itu. Sengaja memilih untuk tidak menjadi lebih besar, tidak membahas lebih luas soal sosial yang menjadi kekuatan cerita-cerita Pram. Jadi, film ini adalah alternatif dari cerita yang total ngepop, yang punya pesona sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for PERBURUAN

 

 

 

BUMI MANUSIA Review

“Be afraid not to try”

 

 

Sebagai novel, Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer sempat dilarang beredar karena penguasa Orde Baru mengaitkan buku dan pengarangnya dengan paham Marxisme-Leninisme alias ajaran komunis. Sebagai film, Bumi Manusia yang ditulis oleh Salman Aristo dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo sempat dihujat karena tokoh utamanya diberitakan bakal dimainkan oleh Iqbaal ‘Dilan’ Ramadhan. Maan, lihatlah ketika orang mencoba berkarya, pasti bakal ada saja halangannya. Beruntung, tidak ada orang-orang di balik Bumi Manusia yang berprinsip seperti Homer Simpsons. Yang takut sebelum benar-benar mencoba.

Malahan, film ini adalah tentang mencoba itu sendiri. Tokoh-tokohnya berhadapan dengan kenyataan bahwa seberapapun kuatnya mereka mencoba, resiko gagal dan kalah dan semakin nelangsa itu tidak semakin berkurang. Film berkata jangan takut untuk terus mencoba, untuk melihat kehormatan dalam perbuatan untuk mencoba melakukan sesuatu menuju yang lebih baik. Indonesia pernah dijajah. Lama sekali. Bayangkan jika pahlawan-pahlawan takut mati – takut untuk mencoba menggapai kemerdekaan. 

 

Hanung Bramantyo jelas tidak gentar. Malahan he actually did a really great job as a director here. Keraguan beberapa penggemar novel aslinya akan kemampuan Iqbaal memerankan Minke terpatahkan dengan manis. Dan bukan hanya Iqbaal, pemain-pemain muda seperti Mawar Eva de Jongh yang berperan sebagai Annelies bermain dahsyat. Tantangannya di sini sangat berat, Mawar dituntut bermain dengan ekspresi dan tokohnya benar-benar ‘tertutup’ oleh gejolak mental; itu semua tersampaikan dengan sangat mulus. Dia juga disuruh beradegan jatuh, hihihi lucu sekali. Kuhitung ada empat kali Annelies ini beradegan lagi jalan gak taunya jatuh. Lima kalo ditambah satu adegan dia jatuh saat sedang duduk. Tokoh teman-teman Minke juga ditangani tidak main-main, pemeran-pemeran mereka menampilkan performa yang jauh dari kelas ‘sinetron’. Aktor yang lebih senior juga enggak kalah edannya. Sha Ine Febriyanti  benar-benar seperti ditakdirkan untuk bermain sebagai Nyai Ontosoroh. Meskipun karakternya mirip sama Nyai di film Nyai/A Woman from Java (2016) garapan Garin Nugroho – latar belakangnya sama, statusnya sama, keadaan suaminya sama Sha Ine memberikan nafas tersendiri yang menguar kuat. Dia bahkan tampak lebih dominan ketimbang Minke. Hanung really directs the shit out of everyone. Maka aku yakinkan kepada para penggemar novel Bumi Manusia yang mungkin masih was-was; Tokoh-tokoh favorit kalian berada di tangan yang benar. Aman. Hidup. Bernyawa dengan penuh karakter.

Mereka bilang, Saya Minke!

 

Menghidupkan zaman sebelum masa kolonial, film ini tampak sungguh menawan. Tampilan visual seperti ini memang sudah diharapkan dari produksi Falcon Pictures yang berbudget gede. Jadi mungkin porsi pujian lebih besar baiknya kita sampaikan kepada usaha menghidupkan keadaan sosial cerita ini. Bumi Manusia semarak oleh ragam bahasa (melayu, belanda, jawa, madura, dan sedikit cina) dan tingkatan sosial yang tergambar tanpa tedeng aling-aling. Satu frame menunjukkan orang pribumi dan anjing duduk bareng di depan dinding tempat makan yang bertuliskan “Pribumi dan hewan dilarang masuk” Sejak dari adegan pertama film sudah melandaskan tangga sosial yang bekerja di lingkungan cerita; tempat di mana karakter-karakter kita hidup. Yang lantas menjadi device utama untuk kemunculan konflik-konflik. Bumi Manusia memang dijual sebagai kisah cinta tragis antara Minke dan Annelies. Tapi konteks kehidupan sosial yang menjadi habitat tokoh-tokohnyalah yang membuat film ini menarik dan menantang untuk disaksikan. Karena mirip dengan kehidupan kita sekarang.

Minke hidup pada masa peradaban Barat lagi maju-majunya. Gaya hidup Eropa pun dijunjung tinggi oleh masyarakat. Minke salah satu yang kagum pada peradaban Barat tersebut. Dia menyebut dirinya, yang pribumi anak bupati, sebagai manusia modern. Dia tidak mau terikat peraturan. Teman karibnya adalah seorang campuran (Indo) yang disebut bakal jadi orang pertama yang mencuci darah pribuminya saat teknologi cuci darah itu ditemukan. Tapi Minke tak bisa lari dari kenyataan kulitnya gelap, rambutnya hitam, badannya kecil. Minke adalah bangsa jajahan yang mencoba menjadi kaum kulit putih yang berada di puncak kelas sosial. Minke belajar keras, ia menghapal peradaban modern dan sejarah-sejarah kaum penjajah. Ketika dia bertemu dengan Annalies dan Nyai Ontosoroh-lah, pandangan dirinya terhadap semua itu mulai berubah. Annalies adalah Indo berwajah bule (cantik kayak dewi, kalo boleh mengutip kata Minke) yang dengan naifnya mencoba untuk mewujudkan mimpinya dianggap sebagai pribumi. Sedangkan ibunya, Ontosoroh, adalah istri tak-sah dari pedagang Belanda (gelar Nyai hanyalah sebutan yang lebih sopan untuk kata ‘gundik’) yang di mata Minke sudah mencapai posisi yang ia idam-idamkan; sejajar dengan bangsawan Eropa. Perkenalan itu membawa Minke kepada pandangan bahwa sikap dan mutu orang tidak diukur berdasarkan bahasa yang diucapkan, pakaian yang dikenakan, warna kulit-mata-rambut, dan apapun itu yang selama ini ia percaya.

Karena diadaptasi dari novel setebal lebih dari tiga ratus halaman, dengan banyak tokoh di sekitar tiga sentral (Minke – Annalies – Ontosoroh), film melakukan banyak manuver untuk memasukkan elemen-elemen yang sejatinya bikin pembaca sejati yang nonton ini bakal ngamuk jika ditinggalkan. Backstory tokoh dimunculkan dalam flashback-flashback yang berusaha tampil berbeda dari kebanyakan. Enggak sekedar membuat frame blur atau dengan bunyi ‘krincing-krincing’. Set up dilakukan dengan sangat baik sehingga kita jadi langsung mengerti hubungan dan derita yang harus ditanggung oleh para tokoh sembari tetap mencoba membuat hidup lebih baik. Setelah midpoint – sekitar Minke setuju untuk menjadi ‘dokter’ dari penyakit aneh Annelies – intens cerita semakin naik. Ada lebih banyak sejarah tokoh yang terungkap. Untuk tidak menspoil terlalu banyak; Keluarga Annelies benar-benar fucked up, alias celaka. Peran Minke semakin kalah dominan sebab dia hanya sekadar beraksi terhadap kejadian-kejadian yang menimpa Annelies dan keluarga.

“Dunia saya; bumi, manusia dan segala persoalannya”.. mas Minke sudah coba jadi hippie belum?

 

Film benar-benar mencoba untuk memberikan ‘kerjaan’ kepada tokoh utamanya. Minke yang cerdas diperlihatkan menulis sebagai upaya perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan Belanda terhadap keluarga Annalies. Seolah ada perang jurnalistik antara dia dengan temannya. Montase dari Minke menulis menggunakan nama pena, hingga dia berani menggunakan nama asli, dilakukan untuk membuat Minke ada kerjaan. Dalam film akan ada dua adegan persidangan, dan Minke terlibat di dalamnya. Tapi tidak benar-benar banyak yang ia lakukan karena drama dan konflik datang menghujam pihak Annelies dan Ontosoroh. Hal menarik terjadi di mereka, bukan lagi pada Minke. But film really tried. Hingga ada satu dialog yang menyebut Minke berhasil menyelesaikan kasusnya di persidangan. Padahal kenyataannya adalah Minke tidak melakukan hal penting; kasusnya selesai karena salah satu tersangka mengaku begitu saja. Dan ada satu ketika Minke mendadak menulis tentang hukum Islam. Film menggambarkan dia brilian karena mengadu hukum Eropa dengan hukum Islam. Ini menarik sebenarnya, hanya saja soal Islam tidak dibangun sedari awal. Minke tidak diperlihatkan berhubungan dengan agama, namun tahu-tahu dia menulis tentang Islam. Yang pada akhirnya elemen ini terasa lebih seperti untuk menunjukkan desperatenya seseorang ketika ia mencoba untuk melakukan sesuatu.

Pun begitu, perlawanan Minke dan Ontosoroh terhadap Belanda terasa tidak masuk akal. Kita bisa paham mereka merasa diperlakukan tidak adil. Apalagi konteksnya adalah mereka yang pribumi sedang berurusan dengan Belanda si kulit putih puncak rantai makanan. Secara natural kita akan mendukung dan bersimpati pada pihak yang kelihatan lebih susah; mereka baik, pihak yang satunya jahat. Kita memang harus mencoba tapi mbok ya harus sesuai, jangan baper. I mean, yang Minke lakukan ialah dia berusaha menjegal hukum yang sah. Beberapa kali aku malah mengiyakan tuntutan Belanda, karena yang mereka pinta lebih masuk akal dibanding pembelaan Minke. Status Ontosoroh yang tidak dinikahi sah tentu membuat ia tidak punya hak legal terhadap anaknya yang bapaknya Belanda. Tentu hukum Belanda yang dipakai karena tentu saja Belanda ingin melindungi hak warga negaranya. Tapi perlawanan Minke seolah mengotakkan peradaban dan ilmu pengetahuan bisa dilawan dengan kemanusiaan dan agama. Belanda yang mutakhir harus tetap dipandang jahat meski ia hanya mau mengantarkan dokter dari pihak mereka kepada Annalies. Dan ini mendapat sedikit perlawanan dari naskah yang mengetengahkan “Belanda gila sama parahnya dengan pribumi gila”. Ada kesan seolah film ingin membuat kita melihat bahwa yang ‘jahat’ itu sesungguhnya adalah pribumi yang gila-barat.

Sepanjang durasi film ada banyak hal-hal yang megecoh pada film ini. Yang membuatku jadi berpikir yang tidak-tidak, seperti seolah tertanam hal-hal lucu, padahal mungkin film tidak meniatkan seperti itu. Dan pikiran itu timbul karena film seolah mengarah ke sana. Seperti misalnya soal penyakit Annelies. Ada adegan-adegan yang menekankan tentang penularan penyakit sifilis yang bakal membuat kita menghubungkan ini kepada Annelies. Ataupun soal Annelies yang tampak seperti meminta ibunya menikah dengan Minke. Kenapa aku bisa mikir ke sana? Karena di adegan perkenalan, Minke dibuat lebih terpesona melihat Ontosoroh ketimbang melihat Annelies. Dan kemudian sepanjang cerita, Minke diledek jadi simpanan seorang Nyai. setiap kali Minke diundang datang, keluarga Annelies ribut – saling bertengkar. Kalo aku Minke aku bakal curiga jangan-jangan mereka semua lagi belajar sandiwara dan aku diundang sebagai penonton percobaan. Heck, saat Surhoof dengan jelas tampak cemburu meski dia bilang hanya suka cewek Belanda tulen, aku langsung kepikiran jangan-jangan Surhoff – yang menggoda Minke dengan “Ih kamu bau” – sebenarnya cemburu sama Annelies… Sukurlah soal Surhoof ini eventually beneran dibahas oleh cerita.

Ketika selesai menonton ini, dalam perjalanan menuju mall lain untuk menonton Perburuan (2019), aku memikirkan ulang cerita. Apa yang sebenarnya jadi pertanyaan utama pada narasi. Apa yang dijawab terakhir sebagai kesimpulan. Juga rentetan kejadian-kejadian pada Bumi Manusia. A whole lot of them. Yang ternyata tidak semuanya terbahas tuntas. So in retrospect, aku bertanya kepada diri sendiri; apa cerita ini benar-benar harus untuk menjadi tiga jam. Tidakkah ada elemen yang bisa dihilangkan tanpa mengubah tujuan cerita. Tidakkah ada tokoh yang mestinya bisa dirangkum supaya tidak ada yang muncul dan hilang tanpa penjelasan. Tentunya adaptasi tidak harus menyadur utuh semua materi asli kan.

 

 

Yang jelas, film berhasil menangkap daya tarik dari cerita ini. Konteks sosial yang masih saja relevan, hubungan cinta yang manis walaupun tragsi (in fact, semakin tragis semakin manis), menghidupkan tokoh-tokoh yang dicintai oleh pembaca novelnya. Dan tentu saja dialog yang quotable banget. Hanya saja penceritaan sepertinya bisa dilakukan dengan lebih efisien. Ada banyak karakter, Mellema, Mellema, yang membuat cerita melemah karena Minke si tokoh utama tidak lagi sesignifikan mereka. Seharusnya penyesuaian yang lebih dilakukan di sini. Tapi ini tetaplah sebuah film yang epik, tidak banyak yang berani tampil sebesar ini. Jikapun mulai merasa bosan, jangan khawatir karena kita masih bisa menemukan lucu-lucu yang tak sengaja tersirat (kuharap tak-sengaja) di dalam cerita.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BUMI MANUSIA

 

SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK Review

“The only thing worse than being abandoned is knowing that you’re not even worth an explanation”

 

 

Cerita seram yang paling seram itu biasanya adalah cerita-cerita yang kita dengar langsung dari teman (“tau enggak, kakakku punya teman, nah temannya itu punya tetangga, yang punya kakak yang ngeliat hantu di kamar mandi sekolah saat dia ngaca sambil nyebut nama Mary tiga kali”) atau dari keluarga (yang ini biasanya semacam nasehat terselubung). Cerita-cerita semacam itu dapat dengan cepat mendarah daging sehingga munculah urban-urban legend atau mitos lokal. Yang meskipun ceritanya gak make-sense, tapi kita tetap ‘percaya’ karena ada kesan familiar. Cerita-cerita demikian banyak yang lantas dijadikan ide untuk media seperti video game, buku, ataupun film. Tapi tidak banyak media yang mampu untuk menimbulkan kesan seram yang sama dari cerita seram yang kita dengar langsung. Karena media, khususnya film, cenderung untuk membuat cerita seram yang sebenarnya simpel menjadi rumit. Ingat bagian ‘kakakku punya teman blablabla’? itu adalah backstory needlesly rumit yang tak bisa terhindarkan bahkan jika cerita seram diceritakan secara langsung. Dalam media film, bagian tersebut dapat berkembang menjadi lebih rumit lagi.

Novel klasik Scary Stories to Tell in the Dark adalah salah satu yang berhasil bercerita horor. Sebagai kumpulan cerita pendek seram untuk anak-anak dan remaja,  buku tersebut tidak menyediakan ruang untuk berlama-lama mengarang backstory. Cerita seramnya langsung dihamparkan sehingga tepat sasaran. Misalnya, salah satu cerita yang paling kuingat adalah tentang wanita yang lagi ngendarain mobil di malam hari, yang terus diikuti oleh mobil misterius yang mengedip-ngedipkan lampu depannya. Si wanita kontan menjadi parno tapi ternyata si mobil misterius sebenarnya berusaha memberi tahu bahwa ada seseorang berpisau yang lagi ngumpet di jok belakang mobil si wanita. Berkat cerita itu sampai sekarang aku selalu lebih memilih untuk duduk di kursi paling belakang setiap kali naik mobil, biar langsung ketahuan kalo ada yang ngumpet di sono. Banyak cerita dalam Scary Stories to Tell in the Dark yang bahkan tidak repot-repot memberi nama pada tokohnya. Kita tidak benar-benar butuh untuk tahu siapa nama tokoh dalam cerita seram, yang kita butuhkan adalah lingkungan atau situasi yang akrab dengan kita. Dan kebanyakan cerita seram yang efektif memang seperti demikian, seperti cerita orang-orang tua kita.

Keberadaan film adaptasi buku Scary Stories merupakan fenomena mengerikan tersendiri buatku. Karena aku tahu aku pasti bakal nonton, terlebih karena diproduseri – juga turut ditulis – oleh Guillermo del Toro. Nama tersebut sudah seperti jaminan kita bakal melihat banyak makhluk-makhluk seram yang benar-benar memanjakan fantasi horor kita. Tapinya lagi, aku juga ragu untuk nonton karena sangsi mereka bisa keluar dari batasan ‘horor untuk anak-anak’ pada film komersil. Horor untuk anak-anak cenderung ditranslasikan sebagai horor jinak yang berat oleh eksposisi, yang dihidupi oleh tokoh-tokoh kodian alias sebatas trope-trope tokoh cerita remaja. Ketakutanku tersebut terkabul menjadi nyata.

silakan berfantasi

 

Menunggangi ombak kesuksesan Stranger Things dan hype IT Chapter 2, Scary Stories to Tell in the Dark bermain kuat di unsur nostalgia. Ketika mereka menghidupkan cerita pendek demi cerita pendek ke layar lebar, fantasi kita akan cerita-cerita tersebut seperti terpanggil keluar. Terwujudkan oleh sosok-sosok yang bikin kita berkeringat dingin. Remaja dalam cerita film ini adalah geng yang bisa saja seperti geng kalian di sekolah, di lingkungan rumah. Mereka suka cerita seram. Mereka pengen ngerjain tukang bully. Menit-menit awal film ini tampak menarik. Lingkungannya terasa hidup. It was America in 1968, presiden mereka masih Nixon, perang Vietnam baru dimulai, lagi suasana halloween dan seperti yang dikumandangkan oleh soundtrack – it was a season of the witch.

Setting seharusnya memang tidak hanya berfungsi layaknya backdrop dalam sebuah pagelaran, namun juga mesti mampu menyediakan konteks budaya dan sejarah yang menambah pemahaman penonton terhadap karakter di dalam cerita. Dalam kata lain, film yang baik akan berusaha membuat setting waktu dan tempat menjadi karakter tersendiri, yang hidup dan berkembang seiring tokoh-tokoh cerita. Waktu dan tempat itu menyimbolkan keadaan emosional yang memotivasi bahkan menghantui para tokoh. Scary Stories to Tell in the Dark, meskipun diniatkan untuk penonton muda, tidak lantas melupakan kepentingan setting waktu dan tempat. Tentu, anak kecil atau remaja yang menonton sebagian besar akan melewatkan hal ini, tapi film tidak punya niat untuk merendah demi para penonton tersebut. Settingnya tetap dibuat kuat dan penting sebagai ‘pembentuk’ tokoh kita.

Ada narasi soal child-abandonment yang dihamparkan untuk semua penonton – tua ataupun muda – di balik cerita tentang sekelompok remaja yang nekat memasuki rumah angker dan membawa pulang buku yang setiap malam menuliskan kisah kematian yang dengan segera menjadi nyata. Karena tokoh utama kita, Stella (tokoh Zoe Margaret Colletti ini bisa menjadi role-model yang bagus untuk remaja yang bercita-cita menjadi penulis), ditinggalkan oleh ibu kandungnya semenjak kecil. Begitupun dengan sosok hantu utama – yang menulis semua kisah horor tersebut – disekap oleh keluarga besarnya. Dan di dunia nyata seperti yang dilatarkan oleh film, anak-anak muda ‘dibuang’ begitu saja oleh negara ke Vietnam untuk berperang entah demi apa.

Hal yang paling mengerikan dari diabaikan oleh orang, oleh keluarga, tempat kita menggantungkan diri, adalah engkau dianggap tidak ada. Tidak ada yang menceritakan dirimu. Tapi semua orang butuh untuk didengar. Semua orang punya cerita untuk diceritakan. Film ini menunjukkan betapa pentingnya peranan suatu cerita. Pentingnya suatu kejadian untuk dikabarkan dengan benar. Kita akan lebih rendah dari hantu jika tidak ada catatan, jejak keberadaan kita, yang diketahui oleh orang lain.

 

Tangan sutradara Andre Ovredal tentu saja enggak cukup untuk mengakomodasi semua kepentingan film ini. Dia harus memasukkan banyak cerita-cerita pendek, mengikatnya dengan gagasan sehingga elemen cerita berjalan paralel, sekaligus harus memikirkan target penonton. Ketika di awal-awal film berjalan menyenangkan, masuk ke babak kedua, film yang memilih buku dan hantu yang menulis sebagai device untuk memasukkan banyak cerita pendek klasik, mengempis menjadi sajian horor standar yang meskipun berani menampilkan konsekuensi kematian tapi tidak lagi terasa segar. Alih-alih menjadi antologi berbenang merah setting seperti Trick ‘r Treat (2007), Ovredal menyetir film menjadi ke arah Goosebumps (2015). Semua monster dan kejadian ikonik pada cerita-pendek dimunculkan bergantian untuk mengeliminasi para tokoh, membangun stake tokoh utama karena berikutnya bisa saja giliran dia. Akibatnya untuk cerita-cerita itu adalah mereka hanya jadi ada di sana untuk diperkenalkan kepada penonton muda. Padahal materi horor ini mengerikan karena di setiap cerita kita diberi kesempatan untuk menyelami apa yang terjadi kepada tokoh. Seperti ketika seorang tokoh yang memukuli orang-orangan sawah yang diberi nama Harold, lalu kemudian Haroldnya hidup dan menyerang si tokoh tadi. Kita terinvest sama kejadian horor yang pertama ini karena kita melihat alasan dan koneksi cerita dengan kita. Tapi di cerita-cerita berikutnya, film seperti tergopoh-gopoh untuk menakuti lewat visual semata. Cerita jempol di dalam sop menjadi kehilangan kedekatan karena kita tahu sopnya muncul begitu saja. Cerita Red Spot tidak lagi berbobot psikologi karena kita tahu itu bukanlah jerawat. Cerita Pale Lady bahkan tidak terbangun properly karena hanya sekilas disebutkan tokohnya mimpi

Menonton mereka tidak lagi seperti mendengar cerita seram secara langsung – yang merupakan pesona dari materi aslinya. Kita hanya jadi takut melihat makhluk-makhluk seram. Padahal toh sudah gamblang tertulis. Scary Stories. Cerita. Seram. Yang seram seharusnya adalah ceritanya. Meskipun bertempat di setting yang sesuai dengan sejarah nyata, film menjadi petualangan investigasi misteri yang terlalu fantastis untuk terasa dekat dengan siapa saja.

seperti kata orangtuaku saat aku nanya jawaban PR; semua ada di buku

 

 

 

 

Berusaha untuk setia dengan materi aslinya, tapi cerita-cerita pendek itu sesungguhnya tidak butuh untuk diceritakan ulang lewat narasi berlatar belakang yang kompleks. Karena pada akhirnya – lantaran diniatkan untuk penonton muda – film ini mengambil wujud horor yang pasaran, yang penuh oleh trope dan stereotype. Dia malah tampak seperti tiruan versi lebih nekat dari film tentang buku horor yang semua ceritanya menjadi nyata. Film berusaha memberi gambaran soal keadaan mengerikan yang bisa menimpa anak-anak dan yang berusia remaja – dia bisa saja berdiri sendiri membahas ini. Tapi ada tuntutan sebagai adaptasi untuk mengakomodir banyak cerita dari tiga buku. Film ini seperti menggigit lebih banyak dari yang bisa ia kunyah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Beberapa waktu lalu aku membaca majalah dari Lembaga Sensor Film soal horor bukan tontonan untuk anak-anak.

Apakah kalian setuju? Menurut kalian seperti apa sih sebaiknya film horor untuk anak-anak dibuat?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

PET SEMATARY Review

“Death is a mystery and burial is a secret”

 

 

Bahkan Stephen King sendiri – penulis novel source materi film ini – pernah bilang bahwa Pet Sematary adalah satu-satunya cerita buatan dirinya yang beneran membuatnya ketakutan. Meskipun aku belum pernah baca bukunya (aku mungkin bakal mencarinya sesegera mungkin), tapi aku sudah menonton film adaptasi pertamanya, Pet Sematary (1989). Film tersebut sukses menanamkan banyak hal mengerikan di benakku; seperti jalanan yang lengang itu lebih berbahaya ketimbang jalanan yang padet lantaran mobil bakal lebih leluasa ngebut, dan aku actually tinggal di daerah yang sering dilewati truk-truk besar seperti pada cerita Pet Sematary. Film tersebut juga sedikit-banyak berjasa dalam membuatku sempat takut sama kucing. Dan hingga sekarang, aku gak belum lupa sama adegan “no fair, no fair” menjelang penutup filmnya.

Dari sekian banyak film adaptasi novel misteri Stephen King, film yang bagus sesungguhnya bisa dihitung dengan jari. Tapi kenapa Pet Sematary yang udah bagus malah diadaptasi dua kali mungkin bakal membuat kita mengernyitkan dahi. Pet Sematary yang baru ini masih bercerita tentang keluarga yang pindah dari Boston ke rumah baru mereka di pinggir jalan negara bagian Maine. Kemudian mereka menemukan sebidang tanah yang oleh anak-anak setempat dijadikan pekuburan untuk hewan-hewan peliharaan yang tertabrak mobil. Makanya judul film ini typo, karena ceritanya nama tersebut diberikan oleh anak kecil. Kematian adalah hal yang alami. Seharusnya tidak ada yang mengerikan pada pekuburan, hanya tempat orang mati disemayamkan. Paling tidak itulah yang dimengerti oleh Louis, kepala rumah tangga yang bekerja sebagai seorang dokter di unversitas. Tapi lantas hal supranatural terjadi, Louis didatangi oleh pasiennya yang meninggal karena kecelakaan. Sebagai ucapan terimakasih, sang pasien bermaksud untuk memperingatkan Louis untuk tidak melanggar batas di area pekuburan. Untuk tidak tergoda sama kekuatan tanah Indian yang misterius yang mampu membangkitkan makhluk tak-bernyawa yang dikuburkan di dalam tanahnya yang kasar dan jahat.

bisakah kita mengajarkan trik baru kepada kucing yang telah mati?

 

Tema ceritanya memang kelam. Pet Sematary pada intinya adalah cerita tentang orangtua yang berusaha memperkenalkan kematian kepada anak-anak mereka. Mati tentu saja adalah konsep yang berada di luar nalar anak kecil. Kenapa kita harus mati. Kemana kita setelah mati. Film Pet Sematary membawa suara novelnya, berbicara tentang hal tersebut. Kita akan melihat Ellie, putri dari Louis mempertanyakan soal kematian. Dan kita melihat gimana Louis dan Rachel, istrinya, sedikit berbeda pendapat. Ada sedikit pertentangan dari Louis saat Rachel menjelaskan kepada Ellie bahwa ada yang namanya ‘afterlife’; ada surga. Sementara Louis tidak percaya akan hal tersebut. Ini menciptakan dua sudut pandang yang menarik dan akan bermain ke dalam perkembangan tokoh. Tapi paling tidak, suami istri ini setuju untuk mengajarkan satu hal kepada putra-putri mereka; bahwa kematian harus diikhlaskan.

Tetapi bagaimana caranya mengingatkan, mengajarkan ikhlas menghadapi kematian kepada anak-anak, jika kita sendiri sebenarnya belum mengerti benar tentang kematian – belum bisa mengikhlaskan kematian? Alih-alih truk, sebenarnya pertanyaan inilah yang akan menabrak kita keras-keras.

 

 

Film Pet Sematary yang pertama bukanlah film yang sempurna. Jika dikasih nilai, aku akan memberinya nila 6.5 dari 10 lantaran banyak yang mestinya bisa dikembangkan. Pet Sematary yang baru ini, bukanlah sebuah remake, melainkan adaptasi berikutnya dari novel yang sama. Jadi, ya, film ini menawarkan beberapa hal baru – perubahan baik besar maupun kecil jika dibandingkan dengan materi asli maupun film pertamanya. Jadi kupikir, mungkin ini alasan film ini dibuat lagi, karena mereka ingin mengangkat sudut-sudut yang lemah. Melakukan perubahan atas nama pembaruan. Tapi apakah itu lantas membuat film jadi lebih baik?

Ada beberapa yang aku suka. Pada film yang dulu, Louis ini tokoh utama yang lumayan bland. Dia tidak punya backstory semenarik dan semengerikan Rachel, dan juga Jud – tetangga mereka. Dalam film kali ini, Louis yang diperankan oleh Jason Clark diberikan sudut pandang yang lebih kuat, tapi memang sepertinya tokoh ini sudah mentok. Aku berharap mungkin mereka bisa mengganti tokoh utamanya menjadi Rachel yang dihantui trauma masa lalu berkaitan dengan saudaranya yang sakit keras. Sutradara Kevin Kolsch dan Dennis Widmyer memberikan lebih banyak porsi kepada Rachel yang dimainkan oleh Amy Seimetz dibandingkan Rachel di film yang dulu. Dan benar membuat ceritanya lebih menarik dan mengerikan, kita bisa melihat keparalelan sehubungan dengan ikhlas menerima kematian dengan lebih jelas. Kita juga diberikan lebih banyak interaksi dengan Ellie – aktris cilik Jete Laurence actually punya tantangan range di sini. Tapi tetap saja, tokoh utama haruslah Louis, karena dialah yang melakukan penggalian. Dan ini membuat film jadi sedikit ‘kacau’ di perspektif. Set upnya jadi terasa agak aneh.

Adegan tabrakan setelah midpoint adalah perubahan yang paling signifikan dalam narasi. Efek perubahan cerita ini tak-pelak akan terasa maksimal oleh penonton yang familiar dengan film Pet Sematari yang dulu. I know I did. Perubahan yang dilakukan cukup drastis dan membuka peluang untuk penggalian sudut yang baru, yang mungkin lebih dalam. Dan aku semakin excited melihat seperti apa film akan berakhir. Yang bikin aku ngakak adalah film sempet-sempetnya memasukkan easter-egg, sebegitu singkat, yang aku yakin yang pernah menonton film yang dulunya pasti tahu. Dalam film yang dulu, adegan tabrakan ini terjadi karena supir truk yang lagi asik dengerin lagu Sheena is Punk Rocker (oh boy, lagu Ramones ini jadi bahan candaan waktu aku masih sekolah). Dan di film yang baru ini, kita bisa melihat supir truknya mendapat panggilan dan sekilas kamera menunjukkan “Sheena is..<calling>” pada layar teleponnya hihi

Memang baru pada adegan tabrakan inilah film terasa mulai bergerak bebas. Karena separuh awal itu hanya berisi eksposisi. Orang-orang yang duduk bercerita tentang sejarah kuburan hewan. Tentang legenda sour ground, tentang cara kerja dan efeknya. Buat yang sudah tahu, ini tentu akan membosankan. Bahkan yang belum pernah baca atau nonton film yang dulunya pun, tidak seperlu itu mendapat penjelasan yang bertubi-tubi seperti yang dilakukan film ini pada babak pertama dan awal babak keduanya. Tokoh tetangga, Jud, yang diperankan simpatik oleh John Lithgow, seperti buku manual yang terus berbicara. Untung saja aktornya cakap sehingga tidak terdengar monoton.

mimpi buruk setiap orangtua adalah mengubur anaknya sendiri…dua kali!

 

Babak ketiga film ini sebenarnya cukup keren. Kengeriannya itu berada di tanah yang berbeda. Namun itu jugalah yang menjadikannya aneh, film ini seperti missing the point. Fokus cerita seperti berubah jadi tentang roh-roh jahat Wendigo itu ketimbang masalah pengikhlasan kematian yang menjadi tema utama cerita. I mean, bukankah poin utama film ini adalah tentang ngajarin anak ikhlas, dan betapa ngajarin itu lebih gampang daripada melakukan – justru orangtua yang paling susah menerima jika kematian tersebut menimpa anak mereka. Akan tetapi, dari arahan yang menutup cerita, seperti tidak ada yang belajar pada akhirnya. Anak Louis dan Rachel tidak pernah sadar menerima kematian saudaranya – karena film ini mengganti secara besar-besaran. Louis pun malah mendapat ‘hukuman’ ketika dia mencoba untuk mengikhlaskan dan mengambil jalan yang benar.

Selain itu juga film ini terasa begitu berusaha untuk menjadi seram. Atmosfernya dibuat sangat kelam. Bahkan ada sekelompok anak-anak yang memakai topeng yang tidak benar-benar menambah bobot selain menghasilkan imaji yang seram. Mereka seharusnya dipergunakan dengan lebih maksimal, karena idenya udah keren. Yang paling tidak aku suka adalah film ini tidak benar-benar membangun lokasi ceritanya. Truk-truk besar yang ngebut itu hanya ada ketika naskah butuh device dan butuh momen jumpscare. Pada film yang dulu, daerah rumah mereka hidup oleh suasana. Saat mereka ngobrol kita mendengar suara truk lewat. Mengingkatkan kita bahwa kematian tidak pernah jauh dari mereka. Pada film kali ini, daerah mereka seperti sunyi. Mati dalam artian yang pasif. Tempat yang mengancam itu tidak dibangun, padahal justru di situlah letak kekuatan cerita-cerita horor Stephen King; Tempat yang diam-diam mengancam. Film yang dulu tidak perlu gelap dan jumpscare dan semua itu, tapi toh tetep atmosfer seramnya menguar.

 

 

Seperti mayat kucing yang dikubur itu, horor re-adaptasi ini kembali ke tengah-tengah kita dengan tak lagi sama. Dengan perubahan drastis, film ini menawarkan horor yang mencekam meskipun sedikit lebih artifisial. Karakter-karakternya lebih dalam terjamah. Ada bagian yang bikin kita terenyuh juga. Endingnya bisa dibilang keren. Tapi aku tidak bisa bilang aku menyukainya. Bukan lantaran dia berbeda, justru bagus ada adaptasi yang benar-benar melakukan tindakan adaptasi – tidak melulu membuat tok sama. Aku gak suka karena film ini jadi seperti lupa pada poinnya sendiri. Sehingga narasinya jadi aneh. Jadi malah lebih seperti cerita tentang makhluk jahat yang mau merebut tempat manusia alih-alih tentang menerima kematian itu sendiri. Penceritaannya pun tidak menjadi lebih baik. Tokoh utamanya tetap kalah menarik. Separuh awal film ini akan membosankan bagi yang sudah tahu ceritanya. Dan kalo ada yang nanya ‘kalo udah tau kenapa nonton?’, maka baliklah bertanya ‘kalo sudah pernah kenapa dibuat lagi?’ Kalo sudah mati kenapa dihidupkan lagi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PET SEMATARY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian mengubur hewan peliharaan yang kalian sayangi sewaktu masih kecil? Bagaimana perasaan kalian saat itu?

Menurut kalian adaptasi buku Stephen King mana yang perlu dibuat ulang?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

[Readers’ NeatPick] – THE GREEN MILE (1999) Review

“Frank Darabont berhasil membius pikiran saya hingga masuk ke dalam setiap karakter-karakter yang disajikan. Hingga akhirnya Darabont dengan cerdas menciptakan kekuatan dari setiap karakter….”Mochamad Ridwan Alamsyah, pemilik akun instagram @m.ridwanalamsyah

 


Sutradara: Frank Darabont
Penulis Naskah: Frank Darabont, Stephen King (penulis novel aslinya)
Durasi: 3 jam 9 menit

 

 

The Green Mile, satu lagi cerita berlatar penjara adaptasi novel Stephen King yang disutradarai oleh Frank Darabont. Tapi tidak seperti The Shawshank Redemption (1994), Green Mile punya elemen supernatural dalam ceritanya. Ini adalah cerita tentang Paul Edgecomb, seorang sipir penjara di blok khusus terpidana mati, yang menyaksikan dan mengalami sendiri, literally, keajaiban di dalam sel yang ia jaga. Keajaiban berupa sesosok raksasa kulit hitam tinggi besar – yang pandangan mencela akan cepat memandangnya sebagai seorang dengan cacat mental – yang ditahan di sana karena tuduhan sudah membunuh dua gadis cilik. Dalam hari-hari menjelang eksekusi matinya, John Coffey ternyata tidak seseram pandangan mata. Bagi Paul tentu saja jadi beban apakah Coffey benar-benar membunuh atau bukan, sementara dalam hati dia sudah yakin jawabnya. Bagaimana mungkin orang yang mengorbankan diri demi menghidupkan kembali tikus yang sudah mati, yang menyembuhkan penyakit kelamin Paul – dan keharmonisan keluarganya – adalah seorang pembunuh. Bagi Paul, seperti yang selalu ia lakukan terhadap tahanan di sana, adalah bagaimana memperlakukan mereka tetap sebagai manusia yang punya martabat, dan konflik yang ia rasakan setiap kali dirinya menggiring mereka melewati lantai hijau – mil terakhir di hidup para terpidana, menuju kursi listrik yang mengakhiri nyawa mereka.

“Film ini menyuguhkan drama yang rapi. Dialog-dialog yang berwarna. Kadang serius dan penuh isi, kadang satir dan lucu.”

“Durasinya termasuk panjang banget, udah jarang kita temuin film Hollywood dengan durasi melewati tiga-jam. Kalo film ini dibuat di masa-masa sekarang, aku gak yakin mereka bakal berani membuatnya sepanjang ini. Remake It (2017) saja kan, adaptasi Stephen King juga, difilmkan jadi dua film. Studio gak ada yang berani lagi bikin film sepanjang ini. Dan hebatnya, tiga jam film ini buatku terasa sekejap.”

“180 menit yang saya habiskan di depan layar tidak sekalipun membuat saya ingin beranjak meninggalkan film ini. Saya sangat menyukai sekali film yang mempunyai cerita yang menarik, fresh, berbobot, dan mempunyai gaya tersendiri dalam menyampaikan cerita tersebut kepada penonton tidak peduli film itu panjang atau pendek. Bagiku film ini mempunyai plot yang sangat baik sekali dan ceritanya juga tidak klise, dari awal film sampai akhir kita akan menemukan beberapa plot twist yang cukup mengejutkan.” 

“Efektif sekali memang film mengisi durasinya. Kita merasakan waktu berjalan di balik sel-sel penjara tersebut dengan kuat. Perubahan karakternya, baik dari para penjaga maupun para tahanan. Dan Coffey sebagai pusat perubahan itu memang terasa hidup sekali”

“John Coffey juga Paul Edgecomb adalah tokoh yang berkesan buat saya. Peran mereka berdua di film ini paling dominan tetapi peran pendamping lainnya juga tidak kalah penting. Banyak adegan-adegan memorable, salah satu adegan yang paling emosional tentu saja ada pada bagian menjelang akhir cerita dari film ini di mana John Coffey akan dieksekusi mati”

“Ya benar, ada banyak sekuens adegan yang benar-benar powerful. Menurutku ini satu lagi pembeda waktu buat film ini; sekali lagi, kalo The Green Mile dibuat di tahun 2019 aku gak yakin mereka benar-benar akan memperlihatkan eksekusi di kursi listrik, ataupun adegan Mr. Jingles yang diinjak, dengan benar-benar gamblang seperti yang ditampilkan oleh film ini. The Green Mile sangat intense, suspensnya begitu menguar dan terbuild up dengan rapi karena film memanfaatkan waktu untuk kita mengenal setiap karakternya. Si Coffey ini memang dibangun untuk pancingan emosional kita, dan di akhir itu .. maaan… aku nonton ini pertama kali sekitaran 2014 yang lalu, disaranin ama seorang teman, katanya “this will broke your heart”, dan setelah nonton itu aku… aku masih memunguti pecahan hatiku saat temanku nongol dan bilang “I told you so, Kak””

“The Green Mile bukanlah film drama tragis yang bisa dengan mudah membuat saya mengeluarkan air mata di setiap adegannya. Sedangkan air mata dan kesedihan yang ada justru berada hampir di penghujung film, saat semua kisah sudah terangkum dan kita mengerti dan mengetahui banyaknya hal hal yang sudah dibangun oleh Darabont untuk membangun emosi tersebut di setiap menit dan menitnya. Menurut saya sangatlah tidak adil bila John Coffey harus dieksekusi mati atas perbuatannya karena ia tidak bersalah atas segala tuduhan pembunuhan terhadap dirinya dia hanya ‘A right man in the wrong place and situation’. Namun, ada satu pertanyaan dasar yang tidak saya dapatkan disini. Yaitu tentang asal kekuatan magis yang dimiliki Coffey. Melalui dialog, film ini hanya mampu menjelaskan jika kekuatan magis yang dimiliki Coffey semata-mata mukjizat dari Tuhan. Saya berasumsi jika hal ini sengaja dilakukan oleh penulis supaya penonton dapat memutuskan secara bebas menggunakan imajinasi mereka.” 

“Mungkin memang bukan tanpa alasan kenapa tokoh yang dimainkan penuh penghayatan oleh si Michael Clark Duncan itu diberi nama John Coffey. Yang jelas bukan karena mirip ama kopi, seperti yang disebut oleh si tokoh sendiri haha.. Banyak teori yang menyandingkan inisial Coffey; J.C. dengan Jesus Christ. Apa yang dilakukan Coffey dengan mukjizat-mukjizat itu juga sama. Dia menyembuhkan orang lain dengan menelan ‘penyakit’ itu, membuat dirinya sendiri sakit. Dan dia melakukannya dengan tulus.”

“Mungkin karena unsur supranaturalnya yang spiritual seperti demikian itu film berlatar penjara ini bisa disebut sebagai film religi, ya”

“Mungkin juga. Tapi toh ada juga kan adegan di mana Coffey ‘menghukum’ tokohnya si Sam Rockwell – dan film ini membiarkan kita memutuskan apakah yang dilakukan Coffey kepadanya itu sebuah tindak ‘main hakim’ sendiri atau memang sebuah ‘balasan dari Tuhan’. Tapi mungkin memang di situlah letak kekuatan film ini. Dia menggambarkan perjuangan yang besar antara melakukan perbuatan baik dengan melakukan perbuatan yang  buruk. Serta ganjaran yang kita terima terhadap perbuatan kita kadang tidak seadil yang kita harapkan. Film ini juga bicara tentang prasangka, makanya secara fisik Coffey digambarkan ‘kontroversial’ menurut standar tokoh-tokoh yang lain.”

“Dengan prasangka tersebut, bisa jadi film ini cukup kontroversi bila dibuat tahun 2019, tetapi mengingat banyaknya film yang mengangkat tema isu rasisme terhadap orang kulit hitam seperti BlackKklansman (2018) mungkin kontroversi tersebut tidak akan terlalu diperbincangkan.”

“Tokoh Coffey ini sebenarnya masuk ke dalam trope ‘Magical Negro’; sebutan yang dicetuskan oleh Spike Lee untuk tokoh-tokoh kulit hitam dalam film yang tidak diberikan bangunan cerita yang kuat, selain mereka punya kekuatan khusus dan berfungsi untuk membantu tokoh utama kulit-putih menjadi pribadi yang lebih baik. I do think tokoh Coffey ini mestinya bisa dikembangkan dengan lebih baik lagi, mungkin kita bisa dikasih tahu siapa dirinya sebelum semua itu terjadi, apa yang dia inginkan dalam hidup, mungkin dia dibuat sedikit mengadakan perlawanan terhadap hukum mati yang ia terima. But then again, jika memang tokoh ini diniatkan sebagai simbol yang mewakili Yesus, masuk akal juga kenapa kita tidak diberikan lebih banyak soal backstory dirinya. Dia di sana untuk membuat Paul dan semua tokoh lain melihat dan berprasangka lebih baik lagi. Mungkin hukuman mati justru adalah jalan pembebasan yang selama ini ia cari.”

“Hukuman mati, dalam dunia nyata, memang sangat diperlukan tetapi saya juga terkadang tidak setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati karena saya ingin mereka memetik pelajaran juga mengambil hikmah serta menyadari atas apa yang mereka perbuat agar mereka dapat menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Di sisi lain kita juga harus mendukung adanya pemberlakuan hukuman mati di dunia ini agar orang-orang yang melakukan tindak kejahatan seperti menghilangkan nyawa orang lain harus dibayar sesuai dengan mereka perbuat atau istilah lainnya yaitu ‘nyawa dibayar nyawa’, tapi tentu saja harus dilakukan dalam cara yang manusiawi yaitu dengan cara hukuman suntik mati atau Lethal Injection, dilakukan melalui tiga tahapan. Tahap pertama adalah memberikan suntikan untuk anasthesi (pembiusan). Tahap kedua adalah memberikan suntikan untuk melumpuhkan tubuh dan menghentikan pernafasan. Tahap ketiga atau terakhir adalah memberikan suntikan untuk menghentikan detak jantung. Tanpa Anastesi, terhukum akan mengalami asphisiasi, sensasi terbakar pada seluruh tubuh, nyeri pada seluruh otot, dan akhirnya berhentinya detak jantung. Oleh karena itu, anastesi yang memadai diperlukan untuk meminimalisir penderitaan dari terhukum dan untuk memperkuat opini publik bahwa hukuman suntik mati itu relatif bebas rasa sakit.”

“Dalam film ini juga benar-benar ditunjukkan prosedur hukuman mati dengan kursi listrik yang dilakukan dengan memastikan si terpidana bisa langsung isdet tanpa berlama-lama menanggung sakit. Tapi di film ini mereka membuat hukuman mati sebagai tontonan. Buatku hal tersebut kurang manusiawi. Juga, menurutku, sebaiknya terpidana mati langsung dieksekusi saja, jangan lagi menunggu hari-hari mereka dipanggil. The Green Mile menekankan cerita pada soal ‘hari-hari menunggu’ ini. Istilahnya sendiri kan merujuk pada jarak. Buatku gak adil aja seseorang yang sudah berbuat salah dan dijatuhi hukuman, diberikan ruang untuk introspeksi – antara hari-hari itu mereka bisa saja insaf dan berperilaku laksana malaikat – hanya untuk dimatikan tanpa bisa mengurangi hukuman. Bukankah mengetahui batas akhir umur kita itu sesungguhnya adalah suatu keuntungan?”

“Mengetahui batas akhir dari umur kita menurut saya memang bisa jadi menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi kita karena hal tersebut membuat kita menjadi orang yang lebih baik lagi dari hari ke hari dan dapat membuat kita meningkatkan keimanan kita kepada tuhan kita sebelum kematian itu tiba saatnya, jadi kita senantiasa mempersiapkan diri untuk berbuat kebaikan. Tapi itu juga tergantung bagaimana orang tersebut menyikapi tentang kematian itu sendiri. “

“It was unfortunate apa yang terjadi pada Coffey, tapi di sisi lain mungkin dia bebas dan justru Paul-lah yang menderita setelah mendapat anugerah dari dirinya. Aku bayangin konflik banget buat Paul ketika dia tidak bisa mendapatkan apa yang diperoleh oleh kriminal-kriminal yang ia eksekusi, dan mungkin Coffey bukanlah yang terakhir yang duduk di kursi listrik itu dalam keadaan tidak bersalah. Umur panjang memang sering dikaitkan sebagai musibah dalam film-film, tak terkecuali di sini”

“Bagi saya itu adalah sebuah anugerah yang tuhan berikan melalui perantara si John Coffey kepada Paul agar ia dapat menikmati hidupnya dengan penuh harapan, cinta, dan kedamaian seperti Coffey yang selalu membantu orang-orang yang sedang kesulitan. Mungkin Coffey memberikan umur panjang kepada Paul agar paul dapat menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang.”

“Coffey tentu tidak meniatkannya sebagai kutukan. Paul adalah penjaga paling baik dan hormat kepada para tahanan. Tentu, tokoh yang diperankan Tom Hanks ini awalnya tidak percaya keajaiban, tapi dia tahu hidup sangat berharga. Coffey yang respek sama tokoh ini hanya ingin memberikan waktu yang panjang kepada Paul supaya Paul bisa memanfaatkan umur-umur orang yang dieksekusi sebagai penebusan. Tapi bagi Paul jelas ini jadi beban. Karena dengan umur panjang, tidak seperti para tahanan yang harus meninggalkan orang-orang yang mereka sayangi, justru Paul harus ditinggalkan oleh orang-orang yang ia sayangi. Justru ia yang merasakan Green Mile yang paling panjang. Mungkin dia baru bisa menemukan kedamaian entah berapa tahun lagi haha. Ada loh fans yang niat menghitung berapa tahun lagi Paul bakal meninggal..”

“Haha kira-kira 125 tahun lagi kali yah”

“Mungkin malah jutaan, mengingat banyaknya yang sudah ia eksekusi. Ngomong-ngomong soal eksekusi, it’s scoring time! The Green Mile adalah salah satu film favoritku sepanjang masa, ini adalah film yang mungkin tak-akan berani dibuat lagi, begitu intensnya mengobrak-abrik perasaan, aktingnya flawless, tapi memang pengkarakteran seharusnya bisa lebih dikembangkan lagi. Aku putuskan untuk memberinya 7.5 bintang emas dari 10.”

“I give this movie 8.5/10 stars. Film paling emosional yang pernah saya saksikan.” 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Mochamad Ridwan Alamsyah udah berpartisipasi dan ngusulin film ini, sudah lama aku ingin membahas film-film kayak The Green Mile.

Apakah menurut kalian ini adalah film religi? Apakah umur panjang adalah suatu anugerah? Atau apakah lebih mending kita tahu batas umur kita, walaupun pendek?

 

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

DILAN 1991 Review

“It’s hard to resist a bad boy who’s a good man”

 

 

Dilanjutkan langsung dari timeline pada film pertama yang tayang satu tahun lalu, film Dilan 1991 sukses – sukses dalam membuatku merasa seperti peramal. Ya, peramal kayak Dilan. Tetapi Dilan sepertinya ogah disamain sama aku, maka di film kedua ini dia berubah menjadi tukang hipnotis. But still, aku yang bukan peramal merasa seperti peramal. Lantaran yang kutuliskan sebagai saran-saran pada apa yang kumaknai sebagai kekurangan pada Dilan 1990; Milea yang sebagai tokoh utama enggak benar-benar melakukan apa-apa, konflik yang begitu sederhana sehingga nyaris ada, kenapa kita merasa tidak melihat Dilan dalam ‘cahaya’ yang benar – apa yang kutuliskan sebagai cara untuk ‘memperbaiki’ film tersebut, dilakukan oleh film ini.

Dilan 1991 terasa lebih punya ‘sesuatu’ untuk kita tonton. Konfliknya lebih terasa, meskipun memang semua itu semestinya sudah ada tapi tidak digali pada film pertama. Milea sendiri akhirnya banyak beraksi, kita bisa merasakan karakternya seperti apa di sini. Cewek ini tidak lagi terasa seperti kertas putih yang menunggu untuk ditulisi oleh karakter lain, karena sekarang kita bisa melihat jelas inginnya apa, pilihan dan tindakan apa yang ia ambil kita paham kenapa diambil olehnya. Walaupun, ya memang, tidak ada perubahan antara Milea di sini dengan di film sebelumnya. Hanya ‘kelihatan’ saja. Dalam film pertama kita melihat secercah kecil keinginan Milea sehubungan dengan Dilan; apa yang menjadi konflik pada dirinya. Dalam review pertama itu aku menuliskan sebenarnya adegan Milea membersihkan kamar Dilan tanpa izin merefleksikan keinginan Milea untuk ‘memperbaiki’ Dilan, namun film tersebut mangkir dari pembahasan itu. Kita baru mendapatkannya di Dilan 1991 ini.

Milea adalah gadis baik-baik yang jatuh cinta sama cowok anak geng motor. Mereka berdua akhirnya jadian, sepertinya tidak ada yang bisa memisahkan hubungan mereka, dan mulailah drama relationship itu. Milea ingin Dilan berhenti dari hobi berantem antar geng, dia tidak mau Dilan terlibat masalah lagi. Dan bentuk-bentuk tindakan Milea membawa Dilan ke jalan yang lurus inilah yang menyebabkan konflik dalam hubungan asmara mereka yang baru seumuran biji jagung. Babak kedua adalah bagian terbaik yang dimiliki oleh film ini. Karena kita benar-benar melihat naiknya intensitas tindakan yang dilakukan oleh Milea. Dia ngambek, ngancem putus, berusaha kenal Dilan lebih dekat lewat keluarga cowok tersebut. Mungkin memang terlihat silly, atau mungkin sepele, but that’s pretty much an ordinary school girl can do. Film bekerja dengan benar dalam lingkup dunianya.

reference/easter egg menyenangkan yang kutemukan kali ini; Milea baca majalah Gadis jadul! You know, Vanesha kan alumni Gadis Sampul

 

Film ini paham betul pentingnya membuat cerita yang bisa gampang beresonansi kepada anak-anak muda, atau bahkan ibu-ibu; romantisasi yang dilakukannya gencar sekali. Bukan hanya dari gombalan yang dilontarkan Dilan, bukan sebatas dialog yang bikin geli, melainkan juga dari gestur-gestur kecil. Seperti gestur tangan sebagai pengganti ciuman; menurutku hal tersebut efektif dan well-done sekali. Babak pertamanya mungkin bakal terasa sedikit giung, terutama oleh penonton-penonton cowok yang ‘dipaksa’ nonton ama pacar atau sengaja nonton biar dapat pacar. Karena memang struktur ceritanya agak aneh. Di awal-awal itu kita bahkan gak yakin inciting incident-nya apa, benturannya apa. Semua yang terjadi di film adalah sudut pandang dari seorang cewek sehingga masuk akal ketika momen-momen manis jatohnya jadi kayak dengerin gadis cilik main rumah-rumahan ama boneka. Itulah yang harus kita endure di babak awal.

Kepentingan film ini datang dari relasi antara Milea dengan Dilan itu sendiri, namun bukan dari gombal-gombalannya.

Cerita Milea pada Dilan 1991 menunjukkan ‘ngerinya’ seorang cewek polos yang jatuh cinta. Lumrahnya selalu cewek baik merasa tertarik kepada bad-boy, karena mereka ingin memperbaiki si badboy. Memang banyak kisah cinta manis datang dari tema seperti begini. Tapi yang dialami oleh Milea jadi mengerikan, rasa ingin memperbaiki orang yang dialami oleh gadis-gadis di luar sana jadi berbahaya, tatkala mereka jadi merasa bertanggungjawab atas perbuatan atau perilaku yang dilakukan oleh si badboy. Manis segimanapun, bukan hubungan yang sehat untuk Milea. Karena dia tanpa sadar menciptakan kekangan emosional pada dirinya, dan terutama kepada Dilan.

 

Bukan tanpa alasan aku mengatakan film ini sebenarnya bercerita tentang bagaimana cewek lebih tertarik pada cowok gak bener. Mari kita lihat cowok-cowok di sekitar Milea. Kang Adi, guru les privat yang naksir padanya, tokoh ini manipulatif dengan gampangnya dia menukar saran ketika Milea pura-pura kesal kepada Dilan – bagaimana dia berusaha ikut campur lewat keluarga Milea hanya untuk mendapatkan Milea. Terus ada si Guru Bahasa Indonesia yang sok kecakepan, ngirim-ngirimin Milea puisi (selain alasan ini, aku benar-benar gak ngerti kenapa elemen guru naksir murid SMA ini musti ada di cerita). Lalu ada Yugo, sepupu jauh Milea yang kurang ajar itu clearly seorang psikopat, I mean dia pakek sweater turtleneck kayak Ted Bundy, senyumnya pun mirip senyum Ted Bundy. Tiga cowok tersebut masing-masing melambangkan machiavellianism, narcissism, dan psychopathy. Tiga traits yang membentuk personalitas yang dinamakan Dark Triad. Sisi gelap pada manusia. Dan coba tebak? Dilan punya ketiga sifat tersebut; dia sering bohong tentang kegiatan geng motornya, dia suka gombal seolah dirinya yang paling cinta sama Milea, dan dia gak segan-segan berbuat kasar kepada orang lain. Dan ya, Milea jauh lebih tertarik kepada Dilan dibandingkan ketiga cowok tersebut. Tapi Dilan bisa saja seorang bad boy tapi Milea melihatnya sebagai cowok jantan. Milea melihat secercah sisi terang Dilan yang disinari kepadanya, and she wants more, yang membuatnya di mata Dilan tampak seperti mengekang.

Dalam menangani relasi berbahaya tersebut, film menurutku mengambil arahan yang benar. Film berulang-ulang menyebut ‘jadian’, ‘menikah’, gak mau kehilangan Dilan, dan fakta bahwa pertanyaan pada utama yang berusaha dipancing naskah adalah apakah Milea bakal terpisah dari Dilan mewanti-wanti kita bahwa semua hal tersebut adalah pembangunan yang dilandaskan sehingga perpisahan mereka akan terasa emosional. Buat yang pengalaman menonton, yang jeli melihat naskah, jelas cerita ini akan berakhir dengan kedua tokoh berpisah karena hanya dengan itulah pembelajaran yang melandasi journey tokohnya dapat tercapai.

Karena terkadang kita harus menerima bahwa kita tidak bisa mengubah orang secara total. Lebih sehat bagi Milea untuk melepaskan semua tangisnya dan pada akhirnya melepaskan Dilan.

 

Membuat pasangan yang memenangkan Couple of the Year My Dirt Sheet Awards 8Mile awal tahun ini berpisah adalah hal yang benar. Dalam review Dilan 1990 aku menyebut film tersebut barulah akan terasa punya arti jika kita melihat seperti apa Milea dewasa; antara dia bersama Dilan, atau mungkin tidak bersama – bahkan tidak bersamanya pun masih bisa berarti banyak; Dilan meninggal atau apa. Konklusi tersebut kita dapat di film ini, kita akhirnya tahu kenapa Milea menceritakan kisahnya kepada kita, namun keputusan akhirnyalah yang membuatku sedikit heran. Mungkin memang film ingin gali drama sebesar-besarnya, tapi menurutku pilihan akhir cerita tersebut adalah pilihan yang ‘berani’. Selalu bagus ada film yang berani, namun tidak senantiasa terasa selalu benar. Ini bukan cerita kemenangan dalam kegagalan yang biasa aku sukai. Milea gagal, akan tetapi dia juga tidak menang. Lantaran di akhir cerita dia masih belum bisa melihat apa yang dia butuhkan. Film melakukan lompatan waktu di babak ketiga (actually walaupun judulnya berangka 1991, hanya tiga puluh menit terakhir yang berlatar di waktu tersebut) di mana tidak ada perubahan pada Milea. Film ditutup dengan kegagalan mencapai yang diinginkan serta Milea juga tidak berhasil melihat apa yang sebenarnya ia butuhkan. It’s really a bold choice to end a story like this. Kenapa film membuat Milea dan Dilan seperti tidak bahagia dengan keadaan mereka sekarang. Milea tidak mendapat kemenangan apapun dari cerita ini.

mungkin ceritanya dibuat seperti itu sebagai ‘pukulan’ telak dari si jagoan berantem lantaran Dilan gak bakal pernah literally mukulin cewek

 

Dan juga, membuat babak akhir tersebut benar-benar seperti diseret-seret. Sama seperti pada film pertama, cerita seperti sudah usai namun film tak kunjung berakhir. Masih ada aja adegan yang tidak mengubah apa-apa. Dalam kasus film kedua ini, aku bisa membayangkan penonton yang mengharapkan Milea dan Dilan bersatu terus tertarik ulur perasaannya, diphp-in sama adegan yang seolah happy ending. Keseluruhan bangunan cerita film ini menurutku masih bisa dibuat lebih rapi lagi, dengan lebih menguatkan lagi konflik dan apa yang harus dilalui Milea. Tapi memang, buatku beginilah seharusnya film Dilan yang kita saksikan dahulu. Menurutku jika film ini digabung dengan film pertama yang bland dan nyaris tak ada kejadian yang terjadi, maka akan menghasilkan cerita yang lebih padat dan film yang menarik. Karena pemisahan kedua film ini tampak aneh, baik dari segi timeline (banyak lompatan waktu yang seolah narasinya benar-benar harus sesuai waktu di buku) dan juga dari segi karakter. Mereka bisa bikin satu film yang benar-benar bagus dari dua film ini.

 

 

Kita harus menunggu satu tahun, satu film lagi, untuk mendapat penceritaan tentang Milea dan Dilan yang dilakukan dengan lebih baik. Menurutku, film ini lebih terasa seperti rewrite dari cerita sebelumnya ketimbang sebuah sekuel. Karena sebenarnya semua poin alurnya sama. Bedanya cuma di film pertama, film dan aksinya tak tampak. Sedangkan pada film ini, semuanya lebih jelas. Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla mendapat kesempatan range yang lebih banyak; Iqbaal actually ditantang untuk lebih jauh bermain emosi yang subdue, lewat ekspresi, Vanesha juga dikasih banyak adegan nangis – yang mana adalah bagian terlemah dari aktingnya. Ceritanya memang lebih emosional. Selebihnya tidak banyak perubahan, karena film masih memilih untuk berada di taraf yang gak benar-benar kompleks.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold star for DILAN 1991.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Benarkah cewek lebih tertarik pada bad-boy? Apakah cowok baik memang kurang menarik?

Dan bagaimana menurut kalian tentang Hari Dilan? Apakah praktek menguasai bioskop bisa termasuk ke dalam bentuk penjajahan terhadap konsumen?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.