TEXAS CHAINSAW MASSACRE Review

“To live is to be haunted”

 

Rekuel, istilah untuk sekuel-reboot seperti yang sudah disebutkan oleh Scream (2022), sepertinya beneran sudah jadi go-to plan oleh studio yang ingin menghidupkan kembali franchise atau judul ikonik miliknya. Rekuel ini menjadi hits terutama dalam genre horor. Bikin sekuel dari cerita original puluhan tahun yang lalu dengan judul yang sama dengan original dan meniadakan sekuel-sekuel lain mereka sebelumnya, telah dilakukan oleh Halloween, Candyman, Wrong Turn, Child’s Play, hingga ke Scream itu sendiri. Dan sekarang, giliran Texas Chain Saw Massacre turut serta. Nyaris lima-puluh tahun sejak film originalnya. Tentu saja ini adalah taktik untuk nyari duit yang lebih gampang; alih-alih bikin cerita atau tokoh horor original yang belum tentu disukai orang, kenapa tidak bikin kembali dari yang sudah ada. Scream, being meta dan suka ngejek genrenya sendiri, sudah ngasih tahu ke kita bahwasanya rekuel ada yang bagus dan gak sedikit juga yang cuma cash-grab murahan. Rekuel yang bagus adalah yang menghadirkan stake, gak sekadar munculin karakter lama lalu lantas either mendewakan atau membunuh mereka gitu aja. Dan Texas Chainsaw Massacre, sayangnya, termasuk ke dalam bagian rekuel yang disebut Amber dalam Scream sebagai “bullshit, cash-in, run of the mill sequel.”

texasthe_texas_chainsaw_massacre_netflix
To be fair, film ini berontak dari aturan rekuel karena judulnya ama film original beda di ‘The’ dan spasi doang

 

 

The original The Texas Chain Saw Massacre (1974) jadi kesayangan kritikus dan penggemar horor karena film tersebut tidak pernah cuma sekadar tontonan ‘pembantaian dengan gergaji mesin di Texas’. Film tersebut dipertimbangkan banyak orang sebagai horor seni sebab di balik kekosongan plot dan beberapa breakthrough yang dilakukan pada jaman itu, sutradara Tobe Hooper memang bercerita dengan implisit.  Film itu kita kenang sebagai film yang sadis bukan karena menonjolkan darah dan bunuh-bunuhan secara terang-terangan. Coba deh kalian tonton lagi. Sebenarnya adegan pembantaiannya dilakukan dengan cut dan editing yang sangat precise, horor itu sesungguhnya ada di imajinasi kita, film ini ‘hanya’ menceritakan dan ngebuild upnya dengan sempurna. Tidak hanya itu, ada anyak lapisan yang bisa kita kupas saat menelurusi narasi dan elemen-elemen horor tadi. Bahkan pernah dilaporkan sutradara horor fantasi asal Spanyol Guillermo del Toro sampai sempat berhenti makan daging untuk beberapa waktu setelah menonton film ini. Bukan karena jijik, tapi karena pembicaraan para karakter seputar perilaku manusia dalam konsumsi daging benar-benar telah merayap menghantui dirinya.

David Blue Garcia, selaku sutradara untuk Texas Chainsaw Massacre baru ini bukannya tidak mencoba untuk memberikan lapisan. Film ini berusaha mencuatkan keadaan masa kini supaya filmnya relevan, seperti film original yang memotret kawula muda pada jamannya. Bahasan hidup bebas, dinamika keluarga, dan sedikit komentar soal rasis/kependudukan yang marak di tahun 1970an kini berganti dengan bahasan yang secara esensi tidak banyak berubah, tapi ya terasa dekat dengan permasalahan dunia modern. Kelompok anak muda yang ada di sentral narasi adalah influencer, yang punya visi untuk mengubah kota mati Harlow di pinggiran Texas menjadi tempat hidup untuk komunitas anak-anak muda. Istilah yang tepat sepertinya adalah gentrifikasi (bahasan yang juga ada di film Candyman terbaru). Jadi, mereka datang ke tempat asing, dan mau mengubah tempat itu jadi galeri seni dan segala macam. Cekcok dengan warga lokal tentu tak dapat dihindarkan (meskipun bisa diatasi dengan terbuka). Real problem datang ketika salah satu bangunan panti asuhan yang ada di kota itu ternyata masih dihuni sama nenek tua yang menolak untuk dipindahkan. Malang bagi para anak muda, sosok besar yang telah melupakan naluri pembunuhnya ternyata tinggal dan nurut sama si nenek. Dan ketika si nenek akhirnya tiada karena ribut-ribut, si sosok itu mengenakan kulit wajah si nenek sebagai topeng, mengambil senjata pusakanya yang disimpan di balik tembok rumah, dan mulai membunuhi orang-orang muda yang mengusik kota tempat tinggalnya.

Nonton ini aku jadi seperti mengerti kenapa film-film horor tu selalu bikin karakter-karakter mereka bego. Karena film mau kita menikmati pembantaian para karakter. Menurutku, asal bukan karakter utama yang bego sih, oke-oke aja. Keasikan film ini datang dari menyaksikan Leatherface menghabisi anak muda yang kita gak tahu siapa mereka. You know, semacam keasikan yang kosong. Film justru makin napsu dengan memasukkan ‘penanda jaman’ semakin lanjut. Adegan ketika para turis kejebak di dalam bus bersama Leatherface jadi adegan paling menghibur karena begitu dungu. Kita tidak bersimpati, malahan di momen itu kita justru seperti berada di pihak Leatherface. 

Lapisan dramatis dan emosional film ini juga diniatkan datang dari karakter Lila (Kasian banget Elsie Fisher jadi kayak turun kelas main di film ini) yang diceritakan sebagai seorang penyintas dari peristiwa penembakan massal di sekolahnya. Karakter inilah yang diparalelkan ke karakter legend, Sally Hardesty (diperankan oleh Olwen Fouere karena Sally yang ‘asli’ telah berpulang ke Rahmatullah), protagonis di film original yang jadi satu-satunya survivor rumah jagal Leatherface. Sayangnya niat tersebut tidak benar-benar berbuah karena kedua karakter ini justru kurang matang dikembangkan oleh film. Selain sering melirikkan kamera ke bekas luka tembak Lila, film gak pernah benar-benar mengeksplorasi trauma karakter Lila. Hubungannya yang renggang dengan karakter kakaknya pun jarang dicuatkan. Film yang durasinya cuma 80 menit ini lebih banyak berkutat di adegan kucing-kucingan dengan Leatherface. Sudut pandang dipindah-pindah antara Lila, dan kakaknya, Melody (Sarah Yarkin berakting standar karakter horor) sehingga film ini gak punya karakter utama yang jelas. Sally pun tak tampak sebanding dengan Laurie Strode di rekuel Halloween ataupun dengan Sidney Prescott di rekuel Scream. Kemunculannya hanya supaya ada karakter legend, arc-nya kayak dipaksain ada, dan penyelesaiannya pun lemah. Film mau bikin rivalry antara Sally dengan Leatherface, tapi gak mampu untuk menulisnya. Jadi kayak berantem biasa aja, interaksi spesial itu tidak bisa film ini ciptakan. Ending film original malah jadi biasa aja saat kita tahu ternyata dia selamat hanya untuk jadi yang ia lakukan di film ini.

texas67562-1643705072
Sinopsis singkat, cek! Muji ala kadar, cek! Time for the caci maki!!!

 

Sesuatu yang gak membunuhmu, akan membuatku kuat. Tapi itu kalo kita tidak tenggelam dalam rasa trauma. Hidup akan terus dihantui oleh sesuatu yang mengerikan di masa lalu. Bagi Lila itu adalah penembakan, dan bagi Sally itu adalah si Leatherface. Lila perlu belajar untuk seperti Sally, yang kini sudah jauh lebih capable ketimbang dirinya berpuluh tahun yang lalu.

 

Gore dan bunuh-bunuhan yang sangat eksplisit jadi satu-satunya elemen yang membuat film ini watchable. Namun tentu saja itu gak bakal bikin film ini memorable. Gak akan bisa menjejak sekuat film originalnya. Apalagi film rekuel ini hadir di platform; sekarang jaman platform, kita bisa tinggal skip ke bagian bunuh-bunuhan aja. Aku bisa nonton bagian pembunuhan di menjelang akhir yang gokil itu beratus kali tanpa nonton film utuhnya. Penonton bisa gak peduli pada cerita dan actual things yang disampaikan film ini secara setengah-setengah. This is not good, bukan hanya untuk film ini, tapi juga untuk genre slasher horor keseluruhannya ke depan nanti. Jangan sampai penonton hanya ingin mencincang film dan skip ke bunuh-bunuhannya aja. Maka cerita dan karakter itu haruslah ditulis dengan kuat. Texas Chainsaw Massacre perlu lebih fokus dan menguatkan kengerian dari narasi, dari suspens, dari lingkungan dan konflik. Kota mati di film ini enggak menarik, mereka hanya nampilin kota yang kosong. Yang suasananya bahkan enggak seram. Atmosfer ini yang harusnya dibangun oleh film. Enggak semata mengeksploitasi Leatherface dan sadisnya saja.

Karena memang yang paling insulting untuk fans adalah si Leatherface itu. Dalam film original, karakter yang terinspirasi dari serial killer beneran ini diberikan lapisan psikologis. Dia kayak orang dewasa yang mentalnya masih anak-anak, yang besar di keluarga ‘tradisional’. Sedikit simpati yang kita rasakan untuk karakter penjahat utama ini datang dengan natural, dari momen-momen kecil yang menampilkan kevulnerableannya sebagai anggota keluarga tersebut. Dan Leatherface di original itu enggak superhuman. Bisa sakit, bisa dikalahkan. Tidak tertinggal di belakang, dan bisa mendadak muncul di tempat lain dengan cepat. Sedangkan di film terbaru ini, Leatherface udah kayak orang yang berbeda. Hanya kayak penyendiri. Dia sekarang kayak gabungan antara Michael Myers dengan Norman Bates. Mulanya film seperti pengen menarik simpati dari dia yang kehilangan pengasuh yang ia sayangi, dari dia yang terusir dari rumah, tapi kelamaan dia jadi semakin inhuman, dan film harus membuat karakter-karakter lain ignorant nan bego supaya kita ‘ada rasa’ ke Leatherface. Film bahkan membuatnya menari dengan chainsaw, meniru ending film original, tapi melihatnya itu ada feeling yang beda. Jika di original rasanya kompleks, hubungan korban yang kabur dengan mangsa itu menghantam kita dengan perasaan bercampur. Maka di film ini, rasanya yang datar aja, kita bahkan mungkin sudah full mendukung si Leatherface karena dia kuat, dia berhasil membantai orang-orang yang mengusik.

 

 

 

Bar-bar aja gak cukup. Yea, ketakutan penonton mungkin bisa terceklis dengan menghadirkan adegan pembunuhan yang openly brutal, bisa bikin nahan napas dengan adegan sembunyi-sembunyian, tapi film juga harus punya suspens dan tensi yang natural, yang berasal dari dinamika karakter. Itulah yang tidak dipunya oleh rekuel yang digarap dengan sangat basic ini. Naskah pengen memuat banyak lapisan, tapi tidak ada yang berhasil dikembangkan dengan drive yang alami. Film ini hanya seperti menempelkan gagasan, dan meng-overdid the characters. Kita tidak lagi takut dan peduli karena karakternya membunuh karena merasa terusik. Film meninggalkan semua itu dan memilih untuk mengubah semua elemen ceritanya menjadi inhuman dan datar. Se-uninspired setnya. Hampir seperti film ini sendiri dipasangi topeng yang membuatnya amat sangat jelek. Just ugly. 
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for TEXAS CHAINSAW MASSACRE

 

 

 

That’s all we have for now

Adegan pembunuhan mana yang jadi favoritmu di film ini? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA