FINCH Review

“If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough”

 

 

Finch-nya Tom Hanks berharap robot buatannya bisa hidup layaknya manusia. Akan tetapi, tidak seperti Pak Tua Geppetto si Tukang Kayu, Finch tidak butuh Peri Biru untuk membuat keinginannya itu terkabul. Karena Finch adalah enginer robot yang handal. Dia telah membuat robot sederhana, sebelumnya. Dia hanya perlu step up his game, dan membuat robot cerdas yang bisa bicara, bergerak, dan berpikir. Dan, tidak seperti Geppetto yang membuat boneka kayu karena kesepian, Finch membuat robot bukan untuk cari teman. Finch memang sendirian (satu-satunya manusia di tengah mesin, perkakas rongsok, dan anjing peliharaan), tapi Finch tidak merasa kesepian. Finch justru nyaman dengan keadaannya. Satu-satunya alasan dia ingin menciptakan robot seperti manusia, adalah karena Finch merasa hidupnya sudah tak lama lagi, sehingga dia harus segera mencari pengganti. Pengganti siapa dan buat apa? Pengganti dirinya untuk menjaga anjing peliharaan kesayangannya.

finch202109211022-main.cropped_1632194537
Kayaknya aku butuh juga belajar bikin robot untuk jagain kucingku

 

 

Jika cerita tersebut terdengar datar bagi kalian, maka itu hanyalah karena aku memang belum menyebut settingnya. Di sini, aku ingin memperlihatkan bahwa setting suatu cerita ternyata memanglah sangat berperan. Sehingga tak jarang, setting tersebut menjadi bagian dari karakter dalam cerita. Gini, bayangkan cerita Finch itu bertempat di masa sebelum pandemi. Lalu coret itu, dan bayangkan cerita tersebut berada dalam situasi lockdown. Ya, narasi keseluruhan yang bermain dalam kepala kalian pastilah akan sangat berbeda – tentu saja akan ada perbedaan stake, tantangan, dan bukan tak mungkin juga perbedaan solusi. Bobot motivasi Finch mencarikan teman bagi anjingnya saja bisa berbeda antara saat dia bisa menemukan banyak manusia dengan saat harus bersusah payah untuk keluar rumah. Semua perbedaan tersebut dapat muncul hanya dengan mengganti situasi yang melatarbelakangi cerita. Sutradara Miguel Sapochnik enggak mau tanggung-tanggung. Dia menempatkan cerita Finch ke setting distopia.

Lapisan ozon Bumi sudah demikian parah (jadi kayak keju swiss, kata Finch) sehingga semua makhluk hidup yang terpapar sinar matahari, bakal kebakar seolah mereka adalah vampir. Situasi ini membuat kesendirian Finch beralasan, karena sejauh yang ia tahu (dan kita lihat) tidak ada manusia yang selamat. Situasi ini juga menghantarkan kita kepada kesehatan Finch. Lewat informasi visual, kita tahu dia terkena radiasi yang cukup parah. Dan di atas semua itu, makanan pun menipis. Situasi ini menciptakan stake yang menggencet. Yang membuat Finch harus bergerak setiap hari, mencari makanan di tempat-tempat terbengkalai, mempertaruhkan nyawa dengan keluar – ke tengah cahaya matahari – dengan pelindung baju UV yang sudah rombeng, menemukan tempat-tempat yang aman – bagi dirinya dan anjingnya – dari serangan badai berikutnya. So we see Finch is in a pinch situation. Situasi itulah yang enventually mengharuskan, mendesak, karakternya untuk membuat robot dan meletakkan kepercayaan yang ia tahu amat sangat berharga.

Setelah premis manusia membuat robot untuk menjaga anjing, membangun dunia yang memuat itu sekaligus menyediakan tantangan dan desakan yang kuat, tugas Miguel berikutnya adalah memberikan tema. Gagasan apa yang ingin ia sampaikan sebagai ruh dari konflik cerita. Ibarat jika bikin robot, sutradara Miguel kini harus memberikan robot itu baterai. Trust atau kepercayaan, dipilih olehnya sebagai ‘baterai’ tersebut. Dan ini berhasil jadi motor penggerak yang efektif. Pembelajaran tentang trust yang dilalui oleh para karakter; Finch sendiri, Jeff si Robot, dan Goodyear si anjing kesayangan (hanya tiga inilah karakter yang muncul dalam cerita) itulah yang membuat cerita jadi punya hati, yang membuat narasi film menjadi sedemikian berbobot sehingga film Finch bisa mencuat melebihi statusnya sebagai film distopia biasa yang menceritakan soal bencana umat manusia.

Robot itu diciptakan Finch sebagai makhluk cerdas, setia, punya daya tangkap luar biasa (meskipun sebenarnya terpaksa berjalan dengan kekuatan 72% dari potensi aslinya) supaya si robot tinggal meniru apa yang dilakukan Finch. Ngasih makan anjing, ngendarai mobil van, bikin shelter dan segala macamnya. Satu hal yang tidak bisa diprogramkan adalah, membuat robot itu dipercaya oleh Goodyear, sang anjing. Jadi, Finch dalam sisa umurnya harus mengajarkan si robot berlaku, supaya mendapat kepercayaan. Masalahnya, Finch sendiri adalah orang yang punya trust issue. Dari pengalaman masa lalu yang ia ceritakan kepada robot dalam berbagai kesempatan, kita paham bahwa Finch enggak percayaan sama orang, bahkan sebelum bencana matahari menimpa bumi. Dalam keadaan mereka yang sekarang, ketidakpercayaan Finch terhadap orang lain semakin besar. Bukannya tidak ada lagi manusia, namun kondisi manusia berebut untuk survive telah meruntuhkan sisa-sisa tembok kepercayaan di dalam diri Finch. Terlebih karena dia dan si anjing telah hidup sebagai saksi betapa jahatnya manusia saat kondisi memaksa mereka. Jadi, pertanyaan besar yang membuat interaksi karakter-karakter ini menarik adalah bagaimana bisa seseorang mengajari sesuatu hal kepada orang lain, saat dia sendiri tidak paham sama hal yang hendak ia ajarkan.

Tentu saja tidak bisa. Finch bahkan gak bisa menjelaskan makna trust dengan sederhana dan tepat, saat si robot bertanya. Finch hanya menjawab trust adalah trust. Dia either menjawab terlalu singkat, atau menjawab dengan cerita yang sangat panjang. Finch gak tahu, karena dia sendiri gak pernah percaya sama orang lain sebelumnya.  Inilah yang harus disadari oleh Finch, dalam waktunya yang terbatas. Finch sendirilah harus yang lebih dulu belajar memahami apa itu trust, bagaimana mempercayai orang lain kembali, sebelum ia berusaha mengajarkannya kepada Jeff si Robot.

 

Banyak penonton dan kritikus yang mengatakan film ini tidak original dan membanding-bandingkannya dengan film distopia lain, dan bahkan juga dengan film Tom Hanks lain, Cast Away (2000) hanya karena setting dan situasinya. Padahal sebenarnya, Finch ini pada intinya justru lebih mirip dengan Finding Nemo (2003). Si Finch adalah Marlin yang harus belajar untuk mempercayai Dory (dan eventually Nemo) – yang dalam film ini adalah Jeff si Robot. Akan ada adegan ketika Finch harus membuat keputusan, dan Jeff mengusulkan sesuatu tapi Finch menolak karena tak percaya. Akibatnya mereka berada pada tempat yang semakin parah. Tentu saja, film ini punya pesonanya tersendiri.

finch.ucmki3.image.qoh
Robotnya mirip mukak Deadpool, dan pas ngomong kayak lagi di Red Roomnya Twin Peaks

 

 

Sebagian besar, film ini ditopang oleh kepiawaian akting Tom Hanks. Aktor satu ini, batuknya aja meyakinkan! Hanks memainkan pria terluka luar dalam dengan power yang membuat kita tidak memandang karakternya dengan beriba-iba ria. Kita bisa melihat perjuangan dan desakan. Kita bisa melihat betapa dia tidak menyerah meskipun di lubuk hati dia pesimis sama dunia. Kita bisa merasakan dia hanya hidup untuk menjamin anjingnya berada di tangan yang benar. Hanks bersinar memainkan karakter ini, dia membuat akting dengan banyak dialog itu dengan berbagai range emosi itu tampak mudah. Momen-momen ketika dia ‘mendongeng’ untuk Jeff, aku merasa gak sabar dan ikutan duduk di sana mendengarkan cerita. Hanks gak butuh flashback, cukup dia bercerita aja, semua emosi yang diniatkan, semua pembelajaran yang dikandung, sudah tersampaikan kepada kita. Maka, tugas akting Caleb Landry Jones pun tak kalah berat. Dia harus bisa mengimbangi Hanks, sekaligus sebagai robot yang satu-satunya cara menunjukkan ekspresi dan perkembangan adalah lewat suara. Caleb berhasil terdengar seperti anak yang polos ke seorang yang penuh rasa optimis, hingga menyerempet ke komedi lewat kontras karakternya dengan Finch. Developmentnya semakin terasa saat film mendekati akhir. Jeff terasa sekali perbedaannya dengan saat di awal, kita merasakan progresnya dalam belajar menjadi semakin ‘manusiawi’.

Interaksi Finch dengan Jeff, Jeff dengan Goodyear, Finch dengan Goodyear menghantarkan kita melewati naik turunnya perasaan hangat, haru, intens, dan juga kocak. Film memang gak berniat menjadi sepenuhnya depressing. Malah, lebih banyak momen-momen ringan. Momen-momen yang lebih manusiawi. Mengingat ini cerita distopia dengan tokoh manusia dan robot dan hewan, maka pencapaian manusiawi tersebut jelas merupakan feat yang luar biasa. Saat menonton, seiring perjalanan yang dilakukan para karakter menuju Golden Gate Bridge (yang membuat film ini semacam road-trip movie) kita akan merasakan cemas, dan sedikit gak tega karena kita tahu cerita mengarah kepada Finch yang harus pergi. Alias mati. Bagi naskah, inilah yang dijadikan pertanyaan untuk dijawab di babak terakhir. Apakah usaha Finch berhasil?

Enggak banyak film yang berhasil tetap stabil saat ‘mencabut’ karakter utamanya saat cerita berlangsung. Kebanyakan langsung jatuh bebas, alias sudut pandangnya jadi kacau, dan tidak terjustifikasi kenapa karakter utama tersebut harus hilang atau diganti atau semacamnya. Contoh teranyar adalah The Medium (2021), horor Thailand yang bangunan ceritanya langsung runtuh saat karakter utama dibikin tewas dan ujug-ujug diganti oleh karakter dukun yang random. Finch adalah contoh yang berhasil. Suprisingly, film ini berhasil mencapai ending yang memuaskan meskipun karakter utamanya harus undur diri. Karena naskah benar-benar ditulis dengan matang. Keseluruhan babak terakhir adalah untuk menunjukkan keberhasilan Finch. Kita melihat aftermath dan apa yang ia ‘wariskan’ kepada Jeff. Masih ingat ketika di awal ulasan disebut setting sebagai bagian dari karakter? Seiring Finch belajar tentang trust, bahwa masih ada yang bisa diharapkan di muka bumi, situasi dunia cerita pun berubah. Membantu Finch menyadari semua itu. Gampang untuk overlook dan mengatakan film ini random tiba-tiba dunianya udah gak bahaya lagi. Sesungguhnya, film meminta kita untuk percaya bahwa ada yang mendasari semua itu. Bahwa sebenarnya yang diperlihatkan bahwa masih ada harapan. Sepeninggal Finch, cerita tidak berakhir karena lewat interaksi Jeff dan Goodyear film memperlihatkan bahwa perjalanan karakter Finch sudah melingkar sempurna. Jeff mendapat kepercayaan Goodyear karena Finch telah berhasil membuka hatinya untuk sebuah trust.

 

 

 

Buatku film robot ini hangat sekali. Action dan komedi dan ketegangannya tidak pernah berlebihan, melainkan fokus kepada cerita karakter. Perjalanan manusiawi yang harus ditempuh oleh karakternya. Sebagai road-trip, memang film ini adalah salah satu yang cukup langka, karena menunjukkan karakternya sampai di tujuan, bahwa tujuan itu sama berharganya dengan prosesnya. Secara terpisah film ini memang bisa terasa kurang original. Premisnya kayak sudah banyak. Settingnya apalagi. Namun secara gambaran besar, semua elemen di film ini berada pada tempat dan memenuhi fungsinya masing-masing. Dihidupi oleh tema yang menggugah dan penampilan akting yang memukau. Mata kita pastilah kelilipan pasir jika tidak melihat indahnya film ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FINCH.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian termasuk yang susah mempercayai orang? Mengapa menurut kalian itu bisa terjadi?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE MITCHELLS VS. THE MACHINES Review

“A father must lead his children; but first he must learn to follow.”

 

Cita-cita setiap remaja di seluruh dunia sebenarnya sama; pengen orangtua mendukung cita-cita mereka. Entah itu mau jadi pemusik, atlet, seniman. Pembuat film. Konten Kreator. Atau bahkan Youtuber. Buat kalian yang menyipitkan mata mendengar konten kreator sebagai cita-cita? See, inilah yang exactly dibahas oleh film The Mitchells vs. The Machines. Orangtua, sebagian besar, tidak mengerti pentingnya ‘cita-cita’ tersebut bagi anak mereka. Atau bahkan gak ngerti gimana ‘cita-cita’ tersebut termasuk sebagai kerjaan-asli. Animasi keluarga garapan Michael Rianda dan Jeff Rowe ini mengeksplorasi langsung ke inti permasalahan tersebut, yakni generation gap. Jurang antara anak dengan orangtua, yang terbentuk salah satunya oleh perkembangan teknologi. Rianda dan Rowe menceritakan persoalan itu lewat potret keluarga Mitchell yang aneh dan kocak. Dengan efektif ngeset tone dan menciptakan desain (cerita dan visual) sehingga cerita yang mereka angkat ini tidak pernah terasa seperti nasehat yang menggurui, melainkan literally sebuah perjalanan yang fun, seru, dan penuh warna. Petualangan yang relate sekali dengan identitas, dan juga selera remaja kekinian, beserta keluarganya sekalian!

Katie Mitchell udah gak sabar masuk kuliah. Bukan saja karena dia bakal bisa terus mengasah kemampuan membuat-filmnya, tapi juga karena akhirnya dia bakal berada di lingkungan yang benar-benar mengapreasiasi bakat dan hobinya tersebut. Di rumah, yang mau nonton film-film konyol buatannya cuma adik dan ibu. Sementara ayahnya, cuek. Gak ngerti ama film Katie. Khawatir, malah, sama pilihan Katie. Padahal dulu Katie ama ayahnya deket banget. Kini mereka seperti ada jarak. Gak nyambung, apalagi kalo udah ngomongin film dan tetek bengek teknologi. Makanya, untuk menghabiskan waktu bersama-sama lagi, Ayah memutuskan untuk mengantar Katie ke kampus. Naik mobil sekeluarga. Namun, saat keluarga Mitchell itu lagi seru-serunya bonding on the road, dunia diambil alih oleh A.I. di smartphone yang dendam sama perlakuan manusia terhadap teknologi. A.I. itu memerintahkan pasukan robot untuk menangkapi semua orang. Sampai hanya keluarga Mitchell-lah yang tersisa untuk menyelamatkan dunia.

mitchellscon_cld110.1170_lm_v1-1280
Tanyalah ke hatimu yang paling dalam, maukah kalian mempercayakan dunia kepada mereka?

 

Memang sih, cerita tentang hubungan anak dan orangtua yang merenggang, kemudian mereka berusaha untuk saling dekat kembali ini udah sering kita temukan bersemayam dalam film-film, apalagi untuk keluarga. Yang bikin The Mitchells vs. the Machines adalah karakterisasi yang mencerminkan gaya komedinya itu sendiri. Film ini punya selera humor yang quirky abis. Dan itu tercermin ke dalam pembentukan karakter-karakternya.

Karakter-karakter cerita itulah yang ultimately menjadi kekuatan film ini. Membuat kita gak capek dan terus mau peduli sama rintangan-rintangan yang mereka hadapi. Entah itu rintangan dari dalam, ataupun dari robot-robot. Katie (Abbi Jacobson menghidupkan karakter remaja awkward ini dengan penuh konfiden sehingga gak klise) adalah remaja cewek yang sangat kreatif, hobinya bikin video – actually video seriesnya di Youtube sukses menjadi viral – menggunakan properti bikinan sendiri seperti sarung tangan dan boneka dan sebagainya. Katie menjadikan anjing keluarga mereka, si Monchi, sebagai bintang. Si Monchi itu sendiri gak kalah unik. Dia anjing jenis pug yang matanya kaga sinkron, penampilan konyolnya ini nanti jadi running gag dan malah jadi salah satu kunci keberhasilan mereka mengalahkan pasukan robot. Ayah Katie, Rick (Danny McBride berhasil menjadi seorang ayah yang seimbang antara kocak dengan menyentuh) bener-bener seseorang yang gaptek, tapi dia bukan tipe boomer yang sok bener. Melainkan seorang ayah yang baik, yang mau berjuang demi keluarga yang ia sayangi, meskipun seringkali dengan caranya sendiri. Rick adalah satu-satunya ayah yang kutahu menghadiahi obeng kepada semua anggota keluarganya haha…  Rick berjuang menggunakan komputer dan teknologi juga jadi running gag yang gak pernah bosenin. Ibu dan adik Katie jatohnya lebih seperti karakter pendukung yang lebih minor. Tapi mereka juga punya keunikan, dan masalah, tersendiri. Ibu Katie pengen keluarga mereka tampil perfecto seperti tetangga sebelah. Dan si adik punya ‘penyakit’ nerd akut sama yang namanya dinosaurus. Mereka berperan besar membuat cerita terus bergulir dengan cara fun dan di-luar-perkiraan.

Namun sebenarnya yang membuat film ini terasa sangat unik, seperti film spesial sendiri, adalah lapisan yang membungkus drama keluarga yang harus belajar saling mengerti tersebut. Lapisan soal bagaimana manusia sudah menjadi begitu bergantung kepada teknologi. Kepada handphone. Kepada internet. Adegan paling ngakak buatku adalah ketika A.I. smartphone yang jadi antagonis (bayangkan Siri atau Alexa yang jadi jahat dan bergerak sendiri) mematikan wi-fi dan seluruh dunia langsung geger. Reaksi para manusia yang tiba-tiba terdiskonek dari internet yang udah jadi gaya hidup sehari-hari digambarkan dengan sangat kocak. Para manusia itu dengan mudah ditangkapi karena terjebak oleh tanda ‘wifi gratis’ hihihi.

Hebatnya, film ini menampilkan elemen cerita tersebut dengan berimbang. Para robot dan teknologi tidak ditampilkan semena-mena jahat. Film ini tidak berniat untuk memaksakan bahwa teknologi itu jahat, telah memisahkan orangtua dan anak, dan betapa manusia akan hidup lebih baik tanpanya. Tidak. Melainkan, film memperlihatkan dari dua sisi. Hidup dengan teknologi juga dipersembahkan sebagai hal positif dan unggul. Bukan salah teknologinya. Salah kita yang kurang bijak memanfaatkannya. Permasalah gap yang bikin renggang Katie dan ayahnya kan juga ditulis paralel dengan ini. Ayah Katie tidak pernah sekalipun menyalahkan teknologi. Malahan dia berusaha untuk mengenali teknologi. Berusaha menonton apa yang Katie bikin, dan berusaha mengerti apa arti kreasi tersebut bagi hidup putrinya.

Menjadi ayah yang baik ternyata sama dengan menjadi pengguna teknologi yang baik, Harus mau dan bisa belajar mengikuti. Sembari paham bahwa dirinya lah yang memegang kendali. Kita tidak boleh membiarkan diri terlena dalam menggunakan teknologi. Begitu juga ayah kepada anak-anaknya. Anak-anak itu berkembang. Ayah harus bisa untuk mengikuti perkembangan tersebut, aware sama masa depan anaknya. Itulah sebabnya kenapa ayah juga harus kuat. Karena ia harus melakukan semua itu sambil terus mengingat masa kecil anak-anaknya.

 

mitchells-vs-the-machines-monchi-1618568457
Kalo lagi puasa memang anjing ini diliat-liat mirip roti sih haha

 

Karakter unik, elemen cerita berlapis, dua hal tersebut menjadikan film ini keren dan kocak banget. Tapi, bahkan di samping itu semua, ada satu lagi yang istimewa. Hal yang jadi kekuatan utama film ini. Fondasi yang menjadi nyawa bagi film ini. Visualnya. Serius, ketika kita bicara tentang film animasi, hal pertama yang menjadi perhatian kita; hal pertama yang membedakan film tersebut dengan film lain adalah tampilan. Gaya gambar. Desain dan kreasi. Film ini juara. The Mitchells vs. the Machine diproduksi oleh Phil Lord dan Christopher Mille, yang sebelum ini memproduksi animasi Spider-Man: Into the Spiderverse (2018), animasi yang memorable lewat gaya visualnya (menang Oscar animasi terbaik!!). Pengaruh kreatif film tersebut lantas diturunkan ke The Mitchells vs. the Machines ini. Kelembutan animasi komputer dipadukan dengan shade-shade kayak buatan tangan, membuatnya gambar-gambar itu bukan saja menjadi semakin mulus dan hidup, tapi juga sekaligus pop up di layar.

Jika pada film Spiderverse itu animasinya menggunakan gaya ala komik dan grafiti alias seni jalanan, maka di film kali ini visual yang digunakan, dibuat dengan referensi kultur internet. Filter sosial media, Youtube, dan sebagainya. Membuat film ini semakin dekat dengan remaja yang ingin mereka representasikan. Leluconnya diinkorporasikan ke dalam bentuk visual, ke dalam gaya yang membuat film ini seperti dibuat oleh remaja seperti Katie yang sedang main sosial media. Dan itu memang jadi nilai plus yang dilakukan oleh film ini. Memang ada dua jenis gaya animasi yang dilakukan. Pertama, animasi dunia-nyata Katie. Dan kedua, animasi ketika film harus menampilkan video atau film viral kreasi Katie. Kedua gaya ini punya pembeda masing-masing. Namun seiring berjalannya cerita, ada masa ketika keduanya bercampur, dan film berhasil menghandlenya dengan seimbang.

Gaya dan lelucon yang katakanlah ‘kekinian’ itu kadang memang bisa terasa sedikit terlalu berlebihan. Ada resiko bakal membuat film ini kehilangan bobotnya. Film Pixar, sebagai perbandingan, menangani cerita seperti begini biasanya dengan memasukkan momen-momen slow. Untuk membiarkan kita mengambil napas dan mengapresiasi pesan cerita dengan lebih khusyuk. The Mitchells vs. the Machines enggak punya momen seperti demikian. Pacingnya superkencang. Membawa kita melaju melihat drama, filter, dan lelucon-lelucon lain. Tapi juga, tidak sekalipun film ini terasa kehilangan bobot. Seluruh desain tersebut (pacing dan visual dan lelucon) dilakukan sesuai dengan konteks yang sudah diniatkan. Untuk menimbulkan kesan yang hingar bingar. Dan film ini perlu kesan tersebut mengingat elemen ceritanya saja suda sedemikian ‘tabrakan’; hubungan ayah-anak dan ketergantung teknologi itu udah kayak dua cerita berbeda, belum lagi elemen road-trip dan petualangan pertempuran. Film ini sudah punya bobot emosional di dalam cerita. Dia hanya butuh perekat. Dan gaya desainnya itulah yang merekatkan. Kekinian dan segala macam itu tak lagi jadi supaya relate saja (dan nanti akan kemakan usia), tapi sudah menajdi seperti karakter tersendiri.

 

Film ini sebenarnya bisa saja mencukupkan dirinya menjadi animasi hura-hura yang bermain dalam budaya internet kekinian. Umur film ini bisa saja jadi sangat singkat. Bakalan outdated seiring munculnya budaya/tren baru. Tapi cerita yang dikandungnya ternyata terlalu penting dan terlalu beresonansi. Baik untuk remaja sekarang, maupun remaja jaman dulu (alias yang udah jadi orangtua). Kalo ada jembatan yang menghubungkan antargenerasi, maka film ini adalah bagian dari jembatan tersebut. Kocak, pintar, self-aware, dan menyentuh emosi dalam gayanya yang quirky. Desainnya lah yang jadi kekuatan utama. Menjadikan film ini tidak hanya sekadar rentetan referensi demi referensi internet. Melainkan jadi karakter tersendiri. Ini adalah tontonan spesial, yang tentu saja layak disaksikan bersama orang-orang terspesial di hidup kita. Keluarga.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE MITCHELLS VS. THE MACHINES.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah benar teknologi membuat hubungan di dalam keluarga menjadi renggang?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

UNPREGNANT Review

“If you want something done, ask a woman”
 

 
 
Dua remaja putri melakukan perjalanan lintas negara-bagian. Secara diam-diam tanpa sepengetahuan orangtua masing-masing. Karena salah satu mereka memilih untuk melakukan aborsi. Dalam perjalanan yang mereka tempuh, keduanya mendapat cukup banyak rintangan, yang menyimbolkan betapa sukarnya bagi seorang wanita untuk mendapatkan kembali otonomi dirinya sen… Tunggu. Kenapa rasanya deja vu. Perasaan belum lama ini kita udah pernah deh nyaksiin cerita seperti ini..
Itu karena Unpregnant hasil adaptasi sutradara Rachel Lee Goldenberg dari novel ini memang punya premis yang persis ama film Never Rarely Sometime Always (2020) karya Eliza Hittman. Beda kedua film ini terletak pada arahan dan tone cerita secara keseluruhan. Jika Never Rarely Sometime Always diarahkan untuk bicara lantang dalam kesunyian karakternya mengarungi keadaan yang lebih realistis, maka Unpregnant ini lebih dekat ke kalimat ‘karena because selalu always’, alias bernada komedi. Karakter-karakter dalam Unpregnant ‘membicarakan’ masalah mereka dengan suara keras; film ini diarahkan seperti road trip movie pada umumnya.
Yang diketahui hamil pada cerita ini adalah Veronica. Siswi SMU yang bukan cuma pintar, tapi juga termasuk geng populer di sekolah. Setelah hasil test packnya menunjukkan dua garis biru, Veronica mulai panik. Karena gendong bayi sudah barang tentu bakal mengandaskan kesempatannya untuk kuliah di universitas favorit. Jadi kedua orangtuanya yang penganut taat agama itu tentu tidak boleh sampai tahu. Weekend ini, Veronica nyusun rencana untuk road trip ke kota terdekat yang memperbolehkan aborsi tanpa persetujuan orangtua. Veronica lantas minta dianter sama mantan-sahabat baiknya, Bailey. Keduanya bakal menempuh perjalanan penuh debat konyol dan mereka bertemu dengan banyak orang-orang dengan pandangan yang berwarna-warni, menjadikan weekend itu sebuah petualangan komikal sebelum pagi aborsi.

Cerita aborsi kini lebih ceria dengan lagu Since You Been Gone!

 
Hati dari cerita ini jelas adalah hubungan persahabatan antara Veronica dan Bailey. Bayangkan dinamik antara dua tokoh sentral film Booksmart (2019), Veronica dan Bailey persis seperti demikian, dengan tambahan bumbu mereka berdua kini sudah tak sedekat dulu lagi. Chemistry Haley Lu dan Barbie Ferreira klop banget ngidupin kedua tokoh ini. Veronica-nya Haley digambarkan kontras dengan Bailey-nya Ferreira. Veronica ini kayak tipikal remaja yang sedikit memaksa diri jadi yang terbaik; dia mulai memilih pergaulan seperti dia memilih sekolahnya ke depan, dia clearly careful dan memikirkan masa depan. Sementara Ferreira lebih nyantai dan blak-blakan apa adanya, dia yang gamer itu juga tergolong cupu atau ‘freak’ di mata teman-teman Veronica yang populer. Persahabatan keduanya bakal gampang untuk relate dengan penonton, karena sebagian besar dari kita pasti pernah punya sahabat akrab yang kini hubungan kita dengannya sudah jauh karena perbedaan pandang itu mulai terasa memberikan jarak. Makanya, persoalan Veronica dan Bailey yang kemudian menjadi perlahan akrab kembali – dalam nostalgia masa kecil di perjalanan, mereka seakan sama-sama mengakui saling rindu satu sama lain – akan terasa menyentuh.
Film juga melandaskan bahwa kedua karakter ini punya kesamaan. Jika Veronica punya orangtua konservatif dan merahasiakan ke-geek-an (dan tentu saja kehamilannya), maka Bailey yang dibesarkan oleh single mother juga memendam ‘kejutan’ bahwa dia suka ama cewek. Kedua karakter ini adalah sama-sama wanita muda yang berjuang dalam lingkungan yang masih mengeja mereka harus bertingkah dan bertindak seperti apa. Perjalanan yang mereka lakukan bukan hanya penting karena mendekatkan mereka berdua karena benar-benar memposisikan mereka sehingga kesamaan keduanya mencuat, dan mereka harus worked through that. Menunjukkan support kepada masing-masing, despite their differences.

Itulah yang mendasari gagasan atau tema yang diusung. Bahwa perempuan itu ya sudah seharusnya saling support. Karena merekalah yang biasanya paling gercep merasakan simpati – dan juga karena permasalahan mereka selalu kurang lebih sama. Bailey adalah orang yang paling tepat untuk diminta bantuan oleh Veronica. Bukan semata karena mereka dulunya sobatan. Melainkan lebih karena dua-duanya ternyata berada dalam posisi yang sama. And they surely will get the job done.

 
 
Misadventure mereka menghasilkan banyak cerita yang membuat film ini asik untuk diikuti. Mereka akan bertemu, ditolong, dan disusahkan oleh berbagai karakter dan mereka belajar banyak dari pengalaman tersebut. Terlalu banyak cerita seperti begini kadang membuat kita lupa sesaat bahwa ini adalah perjalanan seorang perempuan muda yang ingin menggugurkan kandungannya. Unpregnant bukan mau menyepelekan soal aborsi. Paling tidak, film ini masih menampilkan prosedur dan syarat-syarat yang beneran berlaku di dunia nyata. Bahwa praktik tersebut memang tidak digampangkan untuk remaja sekolahan seperti Veronica. Cuma memang, sama seperti Never Rarely Sometime Always, Unpregnant pun tidak menjadikan aborsi itu sebagai sebuah keputusan besar yang harus diputuskan oleh Veronica. Dalam film ini, bagi Veronica, jauhnya jarak tempuh dan susahnya untuk ke klinik yang memperbolehkan itu  sudah seperti hukuman. Dan aborsi itu sendiri akan menjadi reward bagi dirinya yang telah belajar banyak dari rintangan alias hukuman-hukuman yang ia tempuh tersebut.

Entah bagaimana ceritanya jadi seolah hamil dan punya anak itu jadi penghalang seorang wanita untuk maju, sehingga setiap wanita berhak untuk aborsi

 
 
Unpregnant menampilan rintangan atau hukuman tersebut dalam wujud yang lucu, yang komikal. Yang unrealistis – kalo boleh dibilang. Misalnya, di satu kota, Veronica dan Bailey menumpang mobil milik pasangan suami istri, yang ternyata mereka adalah golongan pro-life, alias golongan yang tidak setuju dengan praktik aborsi. Oleh film, kejadian dengan pasangan ini dibuat over-the-top. Dibikin seolah mereka adalah pasangan fanatik atau semacam cult freak. Humor yang ditampilkan memang tidak pernah terlalu receh apa gimana, melainkan masih berakar pada emotional feeling yang dirasakan oleh para tokoh. Namun tetap saja, melihatnya sebagai gambar besar, Unpregnant ini tampak seperti petualangan sepihak yang tidak menggali dua sudut pandang terhadap aborsi, melainkan berat ke satu paham dan menjadikan sudut pandang lain sebagai bukan hanya antagonis melainkan juga lucu-lucuan.
Toh ada satu hal menarik yang diangkat oleh Unpregnant, yang menurutku berakhir menjadi bumerang bagi film ini sendiri. Soal laki-laki yang bertanggungjawab atas kehamilan Veronica. Dalam Never Really Sometime Always, tokoh utamanya diberikan backstory kehamilan yang membuat si tokoh ini mau gak mau harus menggugurkan janin. Karena benar-benar sebagai sesuatu yang tidak diinginkan – ada sedikit hint bahwa janin itu adalah buah dari sebuah paksaan dan relationship yang buruk alias toxic. Dalam Unpregnant ini, cerita kehamilannya tidak seperti itu. Veronica, meskipun gak berganti-ganti pasangan, tapi hubungan yang ia lakukan semuanya atas dasar suka sama suka. Namun dia hamil karena kondomnya bocor, cowoknya tahu dan sengaja gak ngasih tahu karena si cowok bersedia bertanggungjawab. Dengan kata lain, kehadiran si bayi tidak akan menjadi masalah, tetapi Veronica tetap ingin menggugurkan karena pertama; punya anak akan berpengaruh kepada statusnya sebagai pelajar top. Kedua; dia gak berencana untuk hidup mengasuh bayi bersama si cowok – film lantas bertindak semakin jauh dengan membuat si cowok ini rada bloon dan jadi bahan candaan.
Ini membuat tokoh utama kita jadi tampak egois, dan agak munafik. Karena plot utama si Bailey adalah soal dia mengunjungi ayahnya, tapi si ayah mengacuhkan dan gak nganggep. Dan Veronica membela Bailey dan langsung memberi pelajaran pada si ayah. Veronica gak sadar, bahwa dengan menggugurkan dia sebenarnya jadi sama dengan ayah Bailey; hanya mementingkan diri sendiri dan cuek sama nyawa yang harusnya jadi tanggungjawabnya. Mestinya cerita film ini lebih berfokus kepada mencari jalan tengah dari semua persoalan aborsi dan bayi itu.
 
 
 
Sajian yang lebih asik untuk ditonton ternyata tidak lantas menaikkan kualitasnya sebagai sebuah film. Jika aku menyebut Never Rarely Sometime Always mirip iklan layanan masyarakat yang serius untuk mendukung aborsi, maka cerita Veronica ini tuh kusebut udah kayak iklan tentang aborsi, yang lucu. Benar-benar tidak ada argumen, selain menunjukkan yang kontra itu sebagai sebuah candaan. Film ini justru bekerja terbaik saat menampilkan dua orang perempuan yang belajar untuk saling support.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UNPREGNANT.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Masih adilkah sesuatu kita sebut sebagai otonomi tubuh atau mengambil keputusan atas tubuh sendiri jika itu ternyata berkaitan dengan hidup orang lain?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA