BUDI PEKERTI Review

 

“Never explain yourself to anyone. Because the person who likes you doesn’t need it. And the person who dislikes you won’t believe it.”

 

 

Tujuh belas nominasi FFI dikantongi oleh film-panjang kedua Wregas Bhanuteja ini. Fakta prestasi tersebut kentara bisa mess with ekspektasi dan ‘tuntutan’ kita – terutama aku yang prefer nonton film tanpa tahu banyak tentangnya, Apa iya film ini sebagus itu. Yang jelas setelah ditonton, ternyata Budi Pekerti juga merupakan sebuah gambaran yang sangat relevan. Sama seperti Penyalin Cahaya tahun lalu. Wregas kembali menghadirkan potret, yang mungkin lebih lugas, karena cerita kali ini terasa lebih grounded tanpa elemen kasus ala thriller whodunit. Budi Pekerti berada di dalam kotak yang sama dengan film-film seperti Not Okay (2022) dan John Denver Trending (2019); film-film  yang khusus menelisik perilaku sosial di era internet sekarang ini. Budi Pekerti mengangkat persoalan dari gimana society modern kita yang katanya ‘melek sosmed’ bekerja dan dinamika positif-negatif yang menyertainya. Mungkin sosmed banyakan negatifnya, karena konflik di cerita ini justru mulai menggunung ketika protagonisnya mencoba melakukan the supposedly right thing to do, di internet.

Bayangkan seorang guru BK SMP yang begitu lovable sampai-sampai mantan murid dari angkatan 10 tahun yang lalu masih bisa mengenali beliau walau dari balik masker, harus terancam batal diangkat jadi wakasek, hanya karena videonya sedang ribut dengan seorang penyerobot antrean diambil ke luar konteks, disalahartikan, dan jadi viral. Dengan premis tersebut, Budi Pekerti literally mempertanyakan ‘apa perlu mata pelajaran budi pekerti diajarkan kembali?’ Di pasar itu, Ibu Prani tadinya hanya coba menegakkan hal yang benar, seperti yang biasa dilakukannya saat mendidik murid di sekolah. Dia akan menegur murid yang melakukan kesalahan, lalu memberikan hukuman – yang ia sebut refleksi – supaya murid bisa mengerti dan memahami perbuatan mereka salahnya di mana. Namun gak semua orang senang mendapat pelajaran berharga seperti itu. Video viralnya membuat Ibu Prani diserang netijen, beliau panik dan berusaha menjelaskan keadaan dengan membuat video klarifikasi. Video yang lantas jadi bumerang. Sehingga bukan hanya kerjaannya, kehidupan personal Bu Prani dengan keluarga, dengan dua anaknya yang influencer juga terkena imbas.

Ini juga kenapa anak-anak muda agak males kalo orangtua mereka main sosmed

 

Inilah bagian yang paling menarik dari Budi Pekerti. Perilaku sosial media masyarakat kita benar-benar ditelanjangi. Perilaku yang makin menjadi-jadi sejak kita semua terkurung oleh pandemi. Dan pada kurun itulah persisnya cerita ini menempatkan diri. Some say kini kita hidup di era post-truth. Jaman di mana kebenaran itu bukan lagi soal yang beneran benar. Film ini bulat-bulat menyebut bahwa salah dan benar sekarang ini adalah cuma perkara siapa yang paling banyak omong. Penghakiman netijen-lah yang memutuskan yang mana yang ‘benar’. Dan mereka menilai itu dari potongan-potongan video, cacah-cacahan narasi. Tindak apapun yang dilakukan Ibu Prani dalam upaya membersihkan namanya hanya akan jadi materi kulikan dan asumsi liar dari netijen.  Yang akan mengambil hanya yang sesuai dengan narasi masing-masing. Satu lagi yang berhasil tergambar oleh film ini tentang perilaku bersosmed masyarakat adalah, masyarakat hanya ikut-ikutan. Bahwa kita memposting sesuatu bukan lantas berarti kita peduli sama permasalahannya. Sebagian besar waktu, yang dipedulikan adalah citra masing-masing.

Inilah makanya sosmed jadi ‘berbahaya’.  Smartphone dibuatnya tak ubah seperti pistol. Kita bisa membidikkannya kepada orang lain, dan menjepret kelakuan-kelakuan buruk mereka. Atau kita bisa point that thing ke wajah sendiri. Dan dor! Hasilnya ya fifty-fifty. Antara orang jadi kasihan dan menempel ke narasi kita. Atau kita ‘mati’ ngebuka aib sendiri. Aku menebak pastilah proses riset dan nulis naskah film ini sangat mengasyikkan. Film ini benar-benar paham perilaku-perilaku tersebut, mereka menjadikannya ke dalam plot-plot poin, dan sukses memasukkannya ke dalam bangunan cerita yang terus ngebuild up ke drama. Yang terus jadi rintangan yang bikin susah hidup protagonis kita yang punya sense moral tersendiri. Ngeliat Bu Prani tetap membuat video klarifikasi meskipun sudah dilarang menghasilkan dramatic irony. Kita tahu dia benar, tapi kita juga tahu bahwa dia akan ditelan bulat-bulat di jagat sosmed. Anak-anak Bu Prani berusaha ‘menyelamatkan’ muka ibu mereka sambil juga mengamankan muka sendiri, ngeliat apapun counter video yang mereka lakukan selalu dicounter lagi, membuat keadaan justru semakin memburuk — cerita film ini berkembang ke hal-hal yang sebenarnya deep inside sudah kita antisipasi karena film ini begitu dekat dengan sosial kita sekarang, tapi sekaligus kita juga kasihan dan ikut benar-benar merasakan outcome yang tak terkontrol yang dialami oleh para karakter yang sedang berjuang tersebut.

Karena nature cerita yang seperti demikian, setiap karakter di sini ngalamin perjalanan personal masing-masing. Membuat film jadi punya banyak adegan yang unik. Para aktor dipersilakan oleh Wregas untuk menggali momen-momen ‘seru’ yang mungkin gak bisa mereka dapet pada film-film yang lebih mainstream. Angga Yunanda dan Prilly Latuconsina, misalnya. Mereka jadi anak-anak Bu Prani. Denger mereka ngomong jawa aja udah fresh. Sebagai influencer daerah, Angga di sini dilepaskan dari image karakter remaja yang cool, di sini rambutnya pirang jamet. Prilly, jadi kakak, karakter yang lebih jutek dan contained dibanding tipikal peran utama yang biasa diberikan kepadanya. Kekuatan akting mereka jadi keluar, untuk kita nikmati. Angga dikasih adegan nangis kecewa sama diri sendiri. Prilly dikasih ngomel sendiri, ada monolognya di kolam lele yang menurutku scene yang memorable. Dwi Sasono sebagai ayah yang depresi karena usahanya bangkrut efek pandemi ngasih tambahan elemen volatile bagi permasalahan keluarga mereka, Dwi Sasono perfect fit buat karakter tak-tertebak semacam ini. Tapi yang paling tak terduga adalah Omara Esteghlal. Karakternya, Gora, muncul di awal sebagai mantan murid yang dulu pernah kena ‘hukuman refleksi’ khas Bu Prani. Cerita nanti bakal circle back ke Gora, karena actually hubungan guru dan murid Prani dengan Gora jadi kunci bagi perkembangan Prani sebagai karakter utama.

Main-main di sosmed itu kadang kayak menggali kuburan sendiri

 

Satu lagi yang ditunjukkan oleh Wregas sebagai bentuk kepiawaiannya bercerita selain punya ritme membuild up rintangan dan gencetan untuk karakter utama, adalah dia paham untuk membuat ceritanya balance. Di Penyalin Cahaya, Suryani yang posisinya korban tidak serta merta selalu benar, bahwa ada momen ketika Suryani genuinely merasa dia telah melakukan pilihan yang salah. Budi Pekerti juga begitu. Ini bukanlah ujug-ujug kisah tentang guru baik yang terjebak dalam situasi sulit. Bu Prani memang disukai murid-murid dan kolega, tapi langkah yang diambilnya, aksi yang dia lakukan, adalah aksi yang genuine. Dia manusia yang bisa salah. Runyamnya masalah keluarga mungkin telah membuat aksinya sedikit keterlaluan. Metode ajarnya, mungkin, berdampak buruk ke murid. Momen-momen Bu Prani meragukan diri, bergulat dengan nurani, dengan apa hal yang benar dan apa hal yang harus ia lakukan ternyata boleh jadi tidak sejalan, terdeliver nyata lewat akting Sha Ine Febriyanti. Aku sendiri sebenarnya, dulu sebagai murid, gak suka dengan tipe ‘guru baik’ seperti Bu Prani. Aku lebih suka sama guru yang terang-terangan killer dan suka ngasih hukuman tegas ketimbang guru yang metodenya pasif agresif. Tapi Bu Prani berhasil bikin aku peduli, dan membuatku bisa melihat kenapa guru yang seperti dia dibutuhkan oleh murid-murid.

Orang yang mendukungmu tidak perlu penjelasanmu. Orang yang membencimu tidak akan mau mendengarkan penjelasanmu. Oleh karena itu, kita sebenarnya tidak perlu menjelaskan perbuatan kita. Apalagi di internet. Karena orang hanya akan mengambil apa yang mereka mau dengar. Apa yang masuk ke dalam narasi mereka masing-masing. Itulah sebabnya kenapa video klarifikasi sama sekali tidak membantu Bu Prani. Yang dia perlukan hanyalah menyelesaikan persoalannya dengan orang-orang terdekat. “Maaf”nya Bu Prani cukup dialamatkan kepada mereka-mereka saja.

 

Walau sudah berimbang sehingga drama kisah ini jalan dan kita duduk di sana mengikuti dengan gamang dan penuh harap sepanjang durasi, tapi masih terasa film ini kasihan terhadap Bu Prani. Dan ini buatku agak sedikit memflatkan journey Bu Prani. Pilihan yang dilakukan film sebagai ending, sudah cocok. Benar sebagai akhir journey Prani. Ibu itu sudah minta maaf kepada orang-orang yang tepat. Dia sudah mengenali ‘kesalahannya’ apa. Hanya saja film-lah yang seperti tidak benar-benar tega kepada Bu Prani. Padahal menurutku sebenarnya tidak masalah jikalau memang metode hukuman refleksi Bu Prani berdampak sedikit negatif kepada muridnya ketika mereka sudah dewasa. Namun cara film memperlakukan ‘dampak sedikit negatif’ tersebut, buatku seperti sedikit menyepelekan case yang mereka angkat sendiri. I would like to see Bu Prani maafnya itu benar-benar pure maaf ketimbang masih ada sedikit kesan “Ibu gak salah kok” dari muridnya. Apalagi setelah adegan dia menyelami kata hatinya sendiri. Supaya koneksi mereka bisa lebih ‘manusia’. Lebih daripada frame antara guru dan murid.

 




Seperti pesannya, film juga tak harus menjelaskan dirinya. Kenapa dia bisa dapat banyak nominasi. Pecinta film akan tetap menonton. Dan baru saat menonton itulah, kita bisa menilai sendiri. Film ini dibuat sebagai potret, sebagai komentar, tentang perilaku masyarakat kita dalam berjejaring sosial. Tempat di mana interaksi sosial tidak lagi genuine sebagaimana mestinya. Tempat di mana hal yang benar bisa jadi sebuah kesalahan, karena semua orang punya agenda personal, yang bikin kita hanya melihat sepotong-potong. Bahkan permintaan maaf saja bisa cuma dijadikan kedok citra semata. Bukan sebuah maaf yang tulus. Dengan penceritaan yang berimbang, film ini mengingatkan seperti apa interaksi sosial sesungguhnya. Identitas dan perspektifnya yang dekat, membuat kisah film ini mudah dicerna. Benar-benar terasa urgent untuk ditonton sekarang. Ada minor-minor nitpick tapi pesan dan kerelevanan ceritanya outweight that.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BUDI PEKERTI

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian pelajaran budi pekerti khususnya di media sosial memang harus diadakan kembali?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru bisa coba serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



NOT OKAY Review

 

“The sorry is not the solution for every problem”

 

 

“We all live in public now, we’re all on the Internet. How do you think people become famous any more? You don’t have to achieve anything. You just gotta have fucked up shit happen to you.” Tahun 2011, Jill dalam film Scream 4 meneriakkan kata-kata yang jadi motif kejahatannya kepada Sidney. Bahwa orang gak lagi harus punya prestasi untuk bisa terkenal, cukup jadi korban sesuatu aja. Fast forward ke tahun 2022 sekarang, ternyata keadaannya tidak semakin bertambah baik. Malah semakin menjadi-jadi. Mau itu disengaja atau tidak, semua orang kini berusaha ngegedein brand atau presence social media dengan menjual hal-hal negatif yang katanya terjadi pada diri mereka. Not Okay garapan sutradara Quinn Shephard sekilas seperti tontonan ringan, tapi sebenarnya hadir sebagai komedi yang khusus menyindir tentang hal tersebut. Menyoroti perbuatan influencer-influencer yang saling berlomba untuk eksis di dunia maya dengan menjadikan tragedi sebagai batu pijakan.

Baru mulai saja, film ini sudah langsung ngasih kita wanti-wanti. Bahwa protagonis cerita bukanlah orang yang likeable. Danni (walau cakep dimainkan oleh Zoey Deutch) adalah tipikal cewek yang tone-deaf dan sangat dangkal. Dia tidak benar-benar peduli soal tragedi atau kemanusiaan yang ia jadikan bahan tulisan. Danni kerja jadi content creator di media edgy, tapi hanya supaya bisa jadi influencer tenar. Supaya bisa deket ama influencer idolanya di kantor, Colin (karakter Dylan O’Bryen ini adalah gabungan dari hal-hal terburuk yang dimiliki Youtuber/Influencer di real world) Tadinya memang Danni cuma pengen terlihat asik di mata Colin. Cewek itu berbohong ikut tur penulis di Perancis. Danni menggunakan skill photoshopnya untuk bikin foto seolah dia beneran liburan ke sana. Kebetulan yang lucu (bagi kita!) pun lantas terjadi. Beberapa menit setelah Danni mengupload foto di depan Arc Perancis yang ikonik itu dari dalam kamarnya, tempat tersebut – di Perancis sono – diserang aksi teroris. Pengeboman dan segala macem.  Jadi berita internasional. Maka postingan Danni lantas mendapat begitu banyak perhatian; it’s a perfect victim narrative buat media. Dan Danni bak mendapat durian runtuh, tentu saja memilih untuk menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dia memparadekan kejadian tersebut seolah benar-benar terjadi kepadanya, kepada semua orang yang either beneran peduli, atau ada juga yang memanfaatkan tragedi yang menimpa Danni untuk entah itu konten yang happening, atau juga tempat beramal. Yang penting bagi Danni adalah dia sekarang jadi seleb dadakan dan mendapat semua yang ia inginkan!

Gak nyangka ternyata ada karakter yang lebih parah daripada Britta di Community

 

Benar-benar sebuah resiko gede mempersembahkan protagonis utama ceritamu sebagai seseorang yang gak-disukai. Yang bisa dibilang enggak punya kualitas yang bikin simpati. Kemungkinan terburuknya ya, si karakter jadi gak konek ama penonton, cerita dan segala permasalahannya juga jadi gak nyampe. Penonton hanya akan kesal, kalo di film horor, penonton justru mendambakan sang karakter cepet mati (dengan superduper mengenaskan). Film Not Okay paham bahwa itu kondisi yang not okay untuk sebuah tontonan dramatis. Film mendesain Danni seperti itu bukan tanpa sebab. Karakter utama diperkenalkan sepayah itu karena di sini si Danni diposisikan sebagai subjek satir.  Kita diberi tahu bahwa she’s not a decent human being justru karena yang Danni lakukan bisa jadi tampak normal di jaman sekarang, mengingat influencer-influencer di real life memang banyak dan mereka populer. Film ini mengenali bahwa bisa jadi society adalah bagian dari problem, maka mereka membuat – dan menyatakan dengan gamblang – bahwa karakter protagonisnya bukan orang yang baik untuk membuka mata penonton sekaligus menimbulkan dramatic irony. Karena sekarang, seiring melihat keputusan Danni, penonton tahu bahwa seseorang rela menggali lubang dan menjerat diri dalam jejaring kebohongan yang terus membesar hanya demi ketenaran. Bahwa isu-isu sosial mereka gunakan semata untuk keuntungan personal.

Jadi secara materi, memang Not Okay adalah komedi satir yang harus dikembangkan dengan hati-hati. Film ini akan jadi problematik kalo protagonisnya itu nanti dapat redemption. Ini akan jadi problematik hanya dengan menjadikan karakter seperti Danni sebagai tokoh utama, sedangkan isu-isu sosial yang lebih penting dan urgen untuk dibahas hanya dijadikan latar. Quinn Shephard memang mengetahui cerita ini luar-dalam. Sutradara kita paham karakter cewek kulit putih, kaya, cakep, penuh privilege, yang bahkan gak bersentuhan langsung dengan problem-problem seperti serangan teroris dan serangan humanity lainnya, melainkan hanya peduli sama like dan view di Instagram, tidak punya kepentingan yang mendesak. Ada beberapa kali film ini menjadi meta dengan menyebut lewat dialog bahwa ini bukanlah cerita redemption untuk Danni. Namun juga sebaliknya, Shephard paham untuk tidak lantas ngejudge dan hanya menjadikan Danni sebagai teladan yang buruk. Redemption karakter ini ia lakukan dengan cara yang lain. Pembelajaran ia berikan dalam bentuk yang secara bangunan naskah tidak mengurangi kepentingan karakter utama, dan juga secara pesan tidak mengurangi sense of reality dan hati di dalam cerita komedi ini.

Danni masih diberikan kesempatan untuk mengenali apa yang sebenarnya dia lakukan. Karakter Colin dihadirkan sebagai pembanding bagi Danni, Colin adalah contoh influencer yang gak benar-benar ngasih influence yang baik. Karena Colin hanya peduli sama isu dan tragedi sebagai jualan untuk brand sosmed. Hati cerita sebenarnya datang dari relasi Danni dengan satu karakter lagi, yaitu Rowan (Mia Isaac mencuri perhatian di sini), gadis remaja kulit-hitam penyintas penembakan di sekolah. Jadi supaya tulisan dia sebagai korban teroris believable, Danni menyusup ke grup konseling para penyintas tragedi. Danni pengen nyuri-nyuri perspektif-lah istilahnya. Di kelas konseling itulah dia bertemu Rowan, yang memanfaatkan tragedi yang ia alami untuk aktivitas sosial yang beneran raise awareness. Dengan kata lain, Rowan adalah influencer ‘beneran’ yang menggunakan posisinya untuk usaha mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Rowan ini membuka banyak sudut pandang baru bagi Danni, terutama soal berbuat baik. Danni akhirnya memang jadi sahabatan ama Rowan. Dan dengan dramatic irony yang telah dibangun baik sedari awal, kita tahu akhir persahabatan mereka akan pedih dan emosional saat kebohongan Danni terbongkar nantinya.

But before that, a wild Avril Lavigne’s song appear! Love this scene lol

 

Inilah yang kumaksud ketika tadi menyebut film bakal problematik kalo malah terus menjadikan Danni – outsider dari real problem – sebagai orang yang lebih baik ketika ada karakter yang lebih mewakili isu yang lebih aktual dan urgen untuk dibahas, yaitu Rowan. Not Okay menemukan jalan tengah, yang pada akhirnya membuat keseluruhan kisah ini jadi lebih dari sekadar oke. Karakter utama tidak dipinggirkan dan tetap diberikan kesempatan menjadi manusia (dengan pembelajaran) dan Rowan beserta isu yang lebih urgen tetap mencuat sebagai hal yang lebih urgen. Ending yang dilakukan film, menurutku adalah yang terbaik. Juga sangat relevan dengan yang kita lihat sehari-hari di sosial media. Nah, berhubung ini bahasannya adalah ending, maka paragraf yang menyusul di bawah ini akan SANGAT SPOILER. Bagi yang belum nonton, beware….

Ending film memperlihatkan Danni yang kini sudah jadi orang paling dicancel sedunia maya berusaha memperbaiki kesalahannya. Dia berhenti nulis. Dia berhenti main sosmed, menghapus semua akunnya. Dia tidak meminta simpati karena dikucilin, melainkan berusaha kuat dan ikut kelas untuk orang-orang yang kena shaming dalam upaya jadi pribadi yang baru. Salah satu solusi yang kepikiran oleh Danni adalah memberanikan diri untuk minta maaf kepada Rowan. Maka datanglah dia ke teater tempat Rowan perform bermaksud minta maaf. Ini yang aku suka, tindakan Danni relevan banget. Lihat saja betapa banyaknya fenomena public figur ataupun influencer yang bikin konten minta maaf begitu bikin salah, seolah dengan maaf semua beres. Saking banyaknya, netijen sudah apal dan menyindir. Tinggal minta maaf. Tinggal keluarin materai. Malah sekarang dicurigai orang-orang sengaja bikin salah dulu, sengaja shitposting dulu, biar viral lalu minta maaf dan tinggal menikmati efek keviralan. Ada juga yang lantas diangkat jadi duta setelah ngelakuin salah dan openly minta maaf. Danni dalam Not Okay benar-benar memperlihatkan itu adalah hal yang buruk, karena film ini menjadikan itu sebagai false resolution untuk Danni. The real resolution yang diperlihatkan film adalah Danni, setelah mendengar puisi yang begitu menohok dan natural dari Rowan tentang yang telah Danni lakukan selama ini, memilih untuk pergi tanpa meminta maaf. Apa sebenarnya makna dari itu semua?

Bahwa maaf bukanlah solusi. Maaf tidak akan bikin segalanya lebih baik. Karena dalam konteks ini, meminta maaf itu hanyalah tindakan dari pelaku seperti Danni untuk merasa lebih baik. Minta maaf itu untuk diri sendiri, yang berarti Danni masih mikirin dirinya sendiri. Yang harusnya dilakukan adalah memahami kenapa yang ia lakukan itu salah, memahami apa yang dirasakan oleh orang yang sudah dibohongi, dikhianati, dijahati. Meminta maaf seharusnya adalah untuk ketentraman pihak yang satunya.

Journey Danni komplit dengan meninggalkan teater karena dia telah memahami apa yang telah ia lakukan kepada Rowan. Dia menumbuhkan respek yang baru terhadap Rowan. Dia sadar bahwa ini adalah ‘cerita’ Rowan. Dan dengan melakukan itu, Danni telah menjadi orang fiktif terbuang yang jadi lebih baik daripada influencer-influencer palsu di dunia asli kita.

 

 

 

 

Tadinya kupikir ini cuma film receh tentang perempuan yang berbohong supaya dirinya populer dan dapat sahabat dan cowok idaman. Ternyata, film ini memang adalah itu, dan lebih lagi. Lebih dalam, lebih real. Lebih bergizi. Dan juga lebih menyenangkan berkat penampilan akting yang meskipun karakternya didesain untuk gak simpatik tapi tetap dibawakan natural. Karakter-karakter mereka terasa real dan urgen, di balik fungsi sebagai parodi ataupun sindiran. Ada beberapa kali aku merasa gak sanggup untuk melanjutkan nonton. Bukan karena khawatir kebohongan karakter utamanya ketahuan, tapi karena menyangka si karakter itu akan mendapat redemption yang menganulir segala hal penting lain yang diangkat film. Tapi ternyata akhir film ini diikat dengan respek terhadap hal-hal tersebut, karakternya dapat konsekuensi, dan benar-benar menohok– I think ini salah satu ending terkuat tahun ini. Filmnya definitely masuk list favoritku tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOT OKAY

 

 



That’s all we have for now.

Kenapa orang gemar sekali menjual tragedi? Apakah menurut kalian secara moral itu benar? Bagaimana pikirmu para influencer palsu seperti Danni tidur di malam hari?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 


EIGHTH GRADE Review

“Confidence is not ‘they will like me’, confidence is ‘I’ll be fine if they don’t’.”

 

 

 

Seorang youtuber, yang kerjaannya nyerocos di depan kamera, ngasih nasihat ini itu kepada sejumlah viewer dan subscriber, memenangkan penghargaan berupa Anak Cewek Paling Pendiam di Kelas. Aneh, namun juga sekaligus tidak-aneh. Karena beginilah realita kita.

 

Seminggu lagi, Kayla yang anak kelas delapan bakal lulus dan siap memasuki masa SMA. Dan untuk menyintasi masa-masa yang mengerikan, itu Kayla harus bisa tampil konfiden. Hidupnya yang memalukan tidak boleh kelihatan sama orang. Kita semua – anak-anak maupun dewasa – yang pernah berusaha untuk jadi populer karena kita tahu tampang kita enggak keren, badan kita enggak tinggi dan enggak atletis, rambut kita lepek setiap waktu, sehingga kita merasa malu bahkan untuk ngomong keras-keras di antara teman-teman, tapi kita masih tetap mencoba untuk reaching out, pasti merasakan hubungan yang kuat terhadap Kayla. Karena kita tahu betapa sengsaranya hidup sebagai anak tiga belas tahun.

Sudah banyak film yang mengambil tema seperti begini. Namun Eighth Grade mengambil pendekatan yang berbeda. Tokoh utama kita tak lebih tua daripada tokoh di buku cerita Goosebumps, you know, yang masalahnya cuma diganggu setan. Kayla, however, sebagai seorang generasi kekinian menghadapi masalah yang jauh lebih kompleks dari anak-anak tahun ’90-2000an. Karena keberadaan internet dan sosial media. Jadi, Eighth Grade menggali dari sudut pandang yang baru, dan sangat relevan dengan keadaan masa sekarang. Mengetahui itu semua, film ini pun tak main-main dalam menuliskan ceritanya. Kejadian dalam Eighth Grade terasa sangat realistis, sungguh-sungguh otentik. Kita akan melihat apa yang dilakukan Kayla juga dilakukan mungkin oleh adek kita, keponakan kita, atau mungkin malah kita sendiri. Di satu adegan, Kayla dandan cakep, mencatok rambutnya hingga ikal, kemudian dengan amat berhati-hati dia kembali ke tempat tidur – merebahkan diri, untuk kemudian berpose centil selfie dengan kamera smartphone. “I woke up like this” captionnya di Instagram. Silahkan tanya kepada diri kita sendiri: Berapa kali kita melakukan hal yang serupa; mengarang apa yang mau kita perlihatkan, mencoba membuat kita tampak menarik di sosial media?

bahkan meracau pada review ini pun karena aku ingin terlihat pintar

 

 

Film ini tidak dibuat supaya kita bisa memecahkan persoalan anak kecil yang baru mau jadi ABG. Bo Burnham tidak mengarahkan Kayla untuk menjadi lebih baik dengan keluar dari zona introvert. Tidak ada solusi seperti demikian ia hadirkan. Film ini memperlihatkan kepada kita, mungkin juga mengingatkan, bagaimana rasanya menjadi sekecil Kayla. Aku seketika teringat masa-masa sekolahku, di mana semua anak literally lebih gede daripada diriku. Dan percayalah, dari tempat aku berada kala itu, kepercayaan diri sungguh jauh jaraknya. Aku harus senantiasa memporsir diri, I have to do better than others, nilaiku harus lebih bagus, dan pada tingkatan lebih lanjut aku merasa harus lebih lucu, harus lebih unik daripada yang lain. Yang pada akhirnya hanya akan membuat diriku menjadi semakin aneh di mata anak-anak yang lain. Dan exactly pelajaran itulah yang bisa kita tangkap dari cerita Kayla dalam Eight Grade.

Kita menyangka kita perlu untuk punya banyak teman dulu baru bisa konfiden menjadi diri sendiri. Kita mati-matian berusaha membuat orang lain percaya bahwa kita ini pede, kita ini orang yang menarik untuk dijadikan teman. Lihat aku, follower ku banyak. Lihat aku, hidupku asik. Best things happened to me, let’s be my friend. Tapi kita semua salah jika kita mengira konfiden itu pemberian dari orang lain. Sebelum kita bisa meyakinkan orang lain, kita sejatinya harus percaya dulu kepada diri sendiri. Diri kitalah yang mestinya kita yakinkan, bukan teman-teman. Apa yang dilakukan Kayla terhadap dirinya di akhir cerita, tak pelak begitu indah. Jika ada satu orang yang harus kita yakinkan, maka itu adalah diri kita sendiri.

 

 

Semua itu ditangkap dengan sangat menarik. Film ini tahu bagaimana memvisualisasikan ketakutan anak seusia Kayla terhadap lingkungan sosial. Shot yang sangat menarik ketika Kayla menatap keluar dari balik pintu kaca, kamera memperlihatkan teman-temannya lagi pesta, tertawa-tawa di kolam renang, tapi begitu sampai ke kita, perasaan yang ada seolah Kayla sedang menyaksikan zombie-zombie bangkit dari kubur. Eksperiens yang dirasakan Kayla benar-benar tersampaikan kepada kita. Sepanjang film, Kayla gak selalu ‘galau’. Ada momen ketika dia diundang ke pesta, ketika dia diajak hang-out ke mall sama teman-teman yang sedikit lebih tua. Pada momen-momen seperti ini kita turut dibuat merasakan kesenangan Kayla. And while at it, kita dapat merasakan kecemasan yang perlahan timbul. Karena Kayla juga sebenarnya masih insecure. Semua merupakan pengalaman baru baginya, ‘out there’ ia deskripsikan sebagai tempat yang masih belum ‘nyaman’, tapi dia tahu untuk harus berani pergi ke sana.

Sekuen di dalam mobil benar-benar dieksekusi dengan kuat, buatku susah aja untuk disaksikan. Arahannya begitu tepat. Semua yang dirasakan Kayla, semua tentang adegan-adegan tersebut membuatku menahan napas. Karena bukan saja film ini paham mengenai apa yang dirasakan oleh Kayla, film ini juga membiarkan Kayla menjadi Kayla. Menjadi anak menginjak remaja sebenar-benarnya. Kita melihat dia berusaha terlihat lebih dewasa, tapi aura anak kecil – sikap dan cara pandangnya yang masih bocah itu tetap saja menguar. Film ini bergantung kepada Kayla dan aktor muda Elsie Fisher bermain dengan sangat luar biasa. She’s completely real. Aku hanya bisa membayangkan seberapa berat baginya memainkan semua emosi tersebut; dengan usia yang dekat dengan permasalahan yang ia perankan.

Lewat perangai Kayla, film ini mengomentari soal perilaku orang di sosial media. Kayla bicara di channel youtubenya soal bagaimana untuk menjadi percaya diri, bagaimana membawa diri dalam bergaul, tapi di dunia nyata dia sendiri tidak benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Semua yang ia jadikan tips itu benar, hanya saja melakukannya tidak segampang membicarakannya. Oleh film, kita akan mendengar narasi suara Kayla berbicara di youtube. Sementara visualnya dikontraskan dengan kita melihat Kayla really having a hard time mencoba melakukan apa yang ia ‘sedang’ katakan. Ini enggak serta merta membuat Kayla terlihat hipokrit, film ini tidak ngejudge kita, melainkan kita bisa melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang menyedihkan. Dan fakta bahwa film tidak pernah benar-benar menyinggung jumlah pemirsa yang menyaksikan youtube Kayla membuat semua terasa lebih miris lagi. Semua itu menambah teramat banyak, bekerja dengan sangat baik dalam lingkup konteks ceritanya.

Status: “Otw” / Reality: masih ngulet cantik di kasur

 

Kita melihat Kayla in her private self – yang ditulis dengan sangat nyata. Kita juga dikasih lihat hubungan Kayla dengan keluarga dan lingkungan sekolah. Di kedua elemen inilah letak batu sandungan buat Eighth Grade. Kayla tinggal bersama ayahnya, kita melihat gimana hubungan keluarga teramat penting bagi karakter Kayla. Ada adegan dengan dialog yang sangat menawan datang dari Kayla dengan ayahnya, yang buatku terasa sedikit berkurang kejlebannya karena si Ayah ini ditulis sedikit terlalu ‘baik’. Semua hal pada film ini ditulis dan terasa begitu real, kecuali sikap ayahnya. Practically he was the best dad ever. Aku mengerti mungkin film gak mau jadi mainstream dengan masukin orangtua yang pemarah, yang ikut-ikutan jadi palu yang ngegencet tokoh utama, sementara film ini membicarakan soal bagaimana semua itu adalah sudut pandang Kayla semata. Tapi ada yang gak klop dari sifat ayahnya yang membuat keotentikan cerita menjadi berkurang.

Dalam lapisan Kayla dengan teman-teman sekolahnya, film tidak bisa mengelak dari menggunakan formula yang sudah usang. Mereka mencoba untuk membuatnya sekocak dan semenyenangkan mungkin, dan aku menghargai usaha tersebut. Kayla tentu saja dibuat naksir sama cowok paling keren di kelas. Setiap kali Kayla melihat anak ini, kita akan mendapat close up mata dan dentuman musik techno, ya kekinian banget. Lucu sih. Kita melihat Kayla memikirkan apapun supaya bisa ngobrol dengan si cowok, sementara ada anak cowok lain yang berusaha temenan sama Kayla dan kita semua pasti udah tahu cowok mana yang mestinya dijadiin temen oleh Kayla.

 

 

 

Penulisan yang cerdas, dengan komedi dan komentar yang tajam soal kehidupan sosial media masa kini menjadi faktor utama kita terhibur menonton film ini. Hampir semua bagian terasa sangat real. Kita semua mengerti ama Kayla karena kita pernah berada di dalam sepatunya. Film ini membawa kita kembali ke masa mengerikan itu, dengan memperlihatkan tantangan baru yang dihadapi oleh anak-anak. Aku sangat menikmati film ini, karena dia tidak meremehkan anak-anak, pun tidak memberikan jalan keluar yang mudah.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for EIGHTH GRADE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana kehidupan kalian di usia 13 tahun? kira-kira masih ingat tidak hal apa yang menurut kalian paling penting di umur segitu? apa yang paling menakutkan buat kalian dulu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

GILA LU NDRO! Review

“The absurd is the essential concept and the first truth.”

 

 

 

 

Seorang alien bernama Alien datang jauh-jauh dari planetnya yang berbulu ke Jakarta demi mencari sumber damai. Sudah pada lihat belum, lucunya premis ini di mana?

Ke Jakarta.

Mencari damai.

Lelucon yang lucu!!

 

 

Konsep dari sebuah komedi yang hebat selalu berupa penabrakkan hal-hal yang berlawanan.  Gila Lo Ndro! punya akar komedi yang kuat, yang berfungsi dua arah; sebagai sentilan, maupun sebagai gambaran. Seperti Aamir Khan yang berkeliling mencari Tuhan pada PK (2014), Alien di Gila Lo Ndro! sesungguhnya membawa kita berkeliling Jakarta untuk melihat fenomena-fenomena absurd. Seorang makhluk planet berwarna orange dengan kepala kayak ditempelin helm (aku gak pernah nyangka Indro Warkop bisa tampil lebih aneh lagi) bukan lagi hal yang paling langka. Kedamaianlah yang lebih langka di sana, di dunia kita yang sebenarnya.

Film ini sebenarnya punya tujuan yang mulia. Lebih mulia daripada batu mulia yang dijual Pak Slamet. Kebiasaan-kebiasaan orang jaman sekarang yang diperlihatkan oleh film benar-benar relevan. Gimana orang sukarela tersulut dan gemar ribut. Gimana media sosial adalah jalan pintas untuk menjadi terkenal buat orang-orang yang satu-satunya bakat yang mereka punya adalah mencari masalah dan kontroversi. Dan pada sisi lain uang logam tersebut terdapat khalayak masa kini begitu gampang disetir oleh hoax. Dalam sebuah sekuen yang kocak kita akan melihat gimana berita tentang marmut berwarna pelangi berubah menjadi marmut yang bisa menembak. Aku pikir film ini menjadi gede, sejujurnya aku berharap demikian.

Wagelasih lo Ndro!

 

 

Baru-baru ini Sacha Baron Cohen (alias si Borat) ngeluarin serial TV bergaya dokumenter yang sangat berani. Dalam serial bertajuk Who is America? tersebut Sacha menyamar menjadi beberapa orang – mulai dari aktivis, pasukan anti teroris, hingga vlogger mainan, dan dia mengadakan sesi interview dengan politisi, seniman, artis, serta orang-orang ‘biasa’ di Amerika. Sacha mengekspos pola pikir dan sudut pandang orang-orang Amerika tersebut. Lewat komedi satir yang bahkan lawan bicaranya enggak sadar sedang diolok-olok, Sacha memperlihatkan kepada kita kondisi sebenarnya di sana.

Gila Lo Ndro? punya potensi untuk menjadi kritik sekuat serial tersebut, karena tentu saja negara kita tak luput dari masalah – kita punya masalah politis dan kemanusiaan sendiri di sini. Jakarta bisa dibilang kota terpanas di Indonesia sekarang ini, ketika kita mendengar tentang Jakarta biasanya berupa tentang keributan, ketidak adilan, moralitas yang semakin bobrok pada setiap lapisan masyarakatnya. Apalagi menjelang masa pemilihan presiden, semua saling menjatuhkan. Keadaan planet asal Alien dalam film ini sebenarnya adalah cerminan langsung dari keadaan Jakarta, dan mungkin seluruh Indonesia. Tapi ada sesuatu dari Gila Lu Ndro? yang seperti terasa hilang, yang membuatnya malah menjadi seperti upaya tak-sampai. Film ini lebih terasa pretentious ketimbang punya suara yang valid. Komedinya bagus, tapi tidak pernah terasa otentik. Sepertinya bisa lebih kuat jika yang mereka perlihatkan pada film ini adalah kejadian asli (ayolah, hare gene tidak susah mencari orang ribut karena hal sepele di Jakarta atau bahkan di mana saja), membuatnya seperti Sacha yang berinteraksi dengan orang-orang asli yang tak tahu mereka sedang bermain film. Dan menyerahkan komedi itu sepenuhnya kepada dua pemain utama. Si Alien dan Indro.

Cara bercerita film inilah yang terasa sangat lemah. Actually ada satu lapisan lagi pada narasi. dari nama pemainnya, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya ini adalah kisah antara Indro Warkop dengan Nita, istrinya. Indro yang dimainkan Tora Sudiro pada cerita ini adalah beneran Indro Warkop yang punya teman nongkrong bernama Dono dan Kasino (as in our very own legendary comedic trio). Situasinya adalah Indro yang pulang telat, diinterogasi oleh istrinya. Kenapa, darimana, abis ngapain. You know, tipe pertanyaan yang diajuin oleh cewek seolah berharap menangkap bahas cowok mereka berbuat salah. Karena, seperti yang dengan gamblang diperlihatkan oleh film ini lewat tulisan di cangkir; cewek selalu benar. Jadi, Indro lantas bercerita tentang pertemuannya dengan makhluk planet asing dan gimana mereka berdua bertualang keliling kota mencari sumber damai. Dari konteksnya, ada aspek kejujuran yang ingin ditonjolkan. Ada hook ‘apakah sebenarnya Indro bohong atau tidak’ yang digunakan untuk menarik penonton. Seperti pada Big Fish (2003) ataupun pada Life of Pi (2012). Tapi storytelling film ini tidak membuat pertanyaan tersebut menjadi penting. Film seperti sengaja untuk menghilangkan hooknya sebab dari adegan awal kita sudah dibuat yakin bahwa si Alien memang ada. Yang sebenarnya tidak masalah jika selanjutnya diolah dengan bener. Sayangnya, narasi yang berupa lapisan Indro dengan istrinya, lapisan Indro dengan Alien dan orang-orang yang mereka temui, tidak pernah terceritakan dengan kohesif.

 

Memang kadang tampak aneh. Mungkin malah ganjil. Sukar dipercaya. Namun bisa saja hal yang tampak asik untuk kita tertawakan itu justru adalah kebenaran yang sesungguhnya. Tidak ada cara untuk kita mengetahui hal tersebut. Yang kita bisa adalah untuk tetap membuka pikiran. Untuk tetap menjaga kepala tidak panas. Karena, meskipun kita masih ragu, paling tidak kita bisa untuk tetap saling damai.

 

Penyuntingan adegan ketika cerita berpindah dari petualangan Indro ke cerita di rumah lumayan kreatif, mulus pula. Tapi keseringan. Jadinya sedikit menyebalkan, lantaran kita yang sedang melihat kejadian yang lucu, ataupun ironis, seringkali seperti ditarik begitu saja ke dalam percakapan yang gak maju-maju antara Indro dengan istrinya. Ah kamu bohong. Beneran. Terus lanjutannya gimana. Repetitif dan memperlambat cerita, membuat kita terlepas dari ceritanya. Juga seolah menciptakan dinding pemisah antara satu kejadian dengan kejadian lain, sehingga film terasa seperti potongan episode atau sketsa. Indro dan Alien tidak kelihatan karakternya. Kita sepanjang film melihat mereka berdua, tapi mereka jarang melakukan hal yang menarik. Mereka hanya ada di sana untuk menjelaskan konteks adegan yang sedang berlangsung. Atau dalam kalimat lain; mereka di sana untuk memaparkan pesan-masyarakat tentang kedamaian, dengan sedikit sekali usaha untuk membuatnya subtil.

kedamaian hakiki hanya milik orang yang sudah meninggal, sepakat?

 

 

Seharusnya film bisa ditulis dengan lebih baik lagi. Hubungan antara Indro dengan Alien semestinya bisa digali lebih, terutama dengan  menajamkan karakter mereka. Lucu sekali bahwa Alien yang datang ke Bumi lantaran ingin belajar damai malah jadi seperti juru damai bagi penghuni lokal. Kalo dia memang bisa, kenapa masih pergi mencari? Mereka bisa saja membuat Alien itu orang yang suka kekerasan, untuk menunjukkan dia benar-benar tidak tahu mengenai konsep damai, tapi film memilih penulisan yang lebih datar. Indro bahkan tampak seperti kumpulan dari pesan-pesan mengenai perdamaian daripada seorang karakter. Kata-kata yang terucap dari mulut berkumisnya kadang jadi terasa dipaksakan, dan enggak nyambung, dan eventually jadi tidak lucu. Seperti ketika anaknya bertanya kenapa Alien naik bemo, Indro menjawab dengan “Karena semua sama di mata hukum.” Di mana nyambungnya? Dua tokoh tersebut membuat aspek filosofis yang dipunya oleh cerita menjadi tumpul sebab mereka sendiri tidak punya kedalaman.

 

 

 

Kita tidak bisa tahu pasti mana yang paling benar, kita hanya bisa percaya. Dan open-minded terhadap sudut pandang orang lain. Begitu pun dengan film; sebuah cerita bukan masalah apakah idenya seusai dengan pikiran/moral kita atau tidak, karena siapa tahu justru keyakinan kita yang salah. Pada sebuah film yang terpenting adalah bagaimana cara mereka menyampaikan ide mereka. Menakjubkan gimana mereka kepikiran cerita begini sarat hanya dari jargon sepele, sayangnya film garapan sutradara Herwin Novianto ini seringkali gagap dalam bercerita. Pesan-pesannya begitu in-the-face, tokohnya tidak punya inner journey. Seharusnya cerita bernapas satir seperti ini diceritakan se-real mungkin, dengan tetap difasilitasi oleh konsep dan humornya. Tapi film ini jatohnya terlihat dibuat-buat. Humornya bahkan tidak tersampaikan menjadi lucu – penonton di studio aku nonton tadi tak ada yang tertawa karena semuanya tampak pretentious.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for GILA LU NDRO!

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah hobi kita menawar di pasar atau kaki lima tapi tidak di kafe atau mall ada hubungannya dengan kita suka memandang orang lebih rendah supaya kita terus terlihat tinggi dan benar? Kenapa kita mencela ide orang lain yang tidak kita setujui? Bagaimana sikap kalian jika kebenaran yang kalian selama ini percayai ternyata terbukti salah?

Apakah kalian percaya ada alien? Dalam film ini, Alien punya bahasa sendiri, kita akan melihat dia dan istrinya berbincang di akhir; jika Ka-ga-lo-go yang mereka ucapin itu artinya ‘kalo’, kira-kira arti gagay yang selalu diucapkan si Alien ini apa ya?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE CIRCLE Review

“The price for safety is the loss of privacy.”

 

 

Teknologi berfungsi untuk mendekatkan yang jauh. Dan sebagai timbal baliknya, teknologi juga dapat menjauhkan yang dekat. Mae Holland merasakan langsung kebenaran pepatah masakini tersebut. Cewek muda yang diperankan oleh Emma Watson itu keterima kerja di sebuah perusahaan supergede yang bernama The Circle. Sebagai seorang cutomer service di company tak-ternama, Mae tentu saja girang ketika dia berhasil dapet posisi serupa di The Circle. Gini, bayangkan kantor Google, kemudian campurkan dengan social media, dan letakkan di lingkungan kerja yang sangat modern di mana semua ide akan dihormati dan pencetusnya akan dielukan seolah mereka adalah keturunan Albert Einstein. Begitulah lingkungan perusahaan The Circle; tempat yang sangat kekinian dan menyenangkan.

Dan semua pekerja di sana saling terhubung satu sama lain. Mae dan para karyawan yang dipanggil Circler digebah untuk selalu aktif di akun media sosial dan memberitahukan semua yang mereka lakukan ke semua pengguna. Dan eventually, Mae yang dengan cepat naik pangkat, setuju untuk menjadi seratus persen transparan. Dalam artian, dia secara sukarela memasang kamera canggih segede bola mata di badannya supaya orang-orang bisa ngikutin semua kegiatannya setiap detik dua-puluh-empat-jam sehari.

kecuali saat dia ke toilet, you pervert!

 

Elemen thriller coba dibangkitkan oleh film ketika Mae mulai bekerja di The Circle. Aku enggak mau repot-repot nonton trailer, jadi sebelumnya aku enggak tau ini film tentang apaan. Kesan yang datang saat melihat gestur dan aktivitas para eksekutif membuatku berpikir bahwa kantor Mae ini adalah semacam cult terselubung. Semua orang terlihat gembira ‘menjual’ kehidupan pribadi dan privasi mereka. Pemimpin dari organisasi ini; Eamonn Bailey, adalah pembicara yang begitu karismatis, membuat kita terbayang sosok Steve Jobs, hanya dengan sedikit nuansa jahat. Sepanjang film berlangsung kita akan melihat gimana mereka sama sekali tidak peduli dengan privasi, malahan mereka tampak ingin membuat ketiadaan privasi sebagai hal yang lumrah karena kita akan diperlihatkan sisi positif dari memasang kamera kecil di setiap sudut di berbagai tempat. Mae dapat banyak followers baru, posisinya kian naik, dan dia benar-benar suka dengan gagasan criminal bisa tertangkap hanya dalam beberapa menit saja. Tapi kita juga bisa melihat apa yang tidak terlihat oleh Mae, apa yang membuat keluarga dan sahabat Mae menolak online berlama-lama; semua ini mengarah kepada invasi privasi dan banyak lagi komplikasi hak-hak asasi.

Perkembangan teknologi sudah demikian pesatnya, sampai-sampai film yang didaptasi dari novel terbitan 2013 ini terasa agak ketinggalan jaman. Kita sudah tahu dan aware akan apa yang ingin disampaikan oleh film. Kata-kata “teknologi mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat” sudah kita dengar sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi tetap saja, setiap hari perkembangan tersebut semakin gencar. Sekarang kita punya banyak aplikasi seperti Facebook Live, Insta-Story, atau malah Bigo live, yang pada beberapa kesempatan bikin kita geleng-geleng “wah, lagi liburan privasi juga liburan.”

Konsep sharing is caring adalah hal yang lumrah buat generasi milenial, namun sejatinya kita kudu berhenti sejenak dan berpikir; Apakah kita perlu ngeshare segalanya? Apakah semua pantas untuk dibagikan?

 

Ketakutan yang dirasakan oleh orang-orang sehubungan dengan teknologi digunakan oleh film sebagai pemancing drama. Ada ELEMEN SATIR yang lumayan kuat yang mampu mengundang sejumlah tawa. Ada elemen politik juga, di mana The Circle, demi hajat hidup orang banyak, ingin mengawasi kerja pemerintah secara langsung sehingga tidak ada penyelewengan. Namun, cara film ini mengeksplorasi elemen thriller dan dramanya sangat kacau sehingga ceritanya nyangkut di level aneh, alih-alih menarik, let alone thought-provoking. Susah aja bagi kita nerima kenyataan film bahwa ratusan orang – atau malah milyaran, seperti yang disebutkan film – mendukung ide soal kamera yang benar-benar meniadakan privasi. Iya, kita melihat beberapa komen yang enggak setuju, orang-orang terkasih dari Mae juga enggan untuk terlibat, namun film ini tidak pernah dengan mulus membahas konflik yang mestinya muncul dari potensi invasi privasi gede-gedean ini.

Instead, dari awal sampai akhir kita hanya mendapat satu insiden. Satu momen konflik. Sebagian besar film ini adalah tentang Mae ataupun pemimpin organisasi yang berbicara mempersembahkan ide mereka di depan karyawan dan eksekutif. Kita bisa melihat beberapa gagasan mereka ada yang benar, ada yang salah. Hanya saja tidak pernah berkembang menjadi konflik. Semuanya mengempis begitu saja; terlupakan, karena di adegan berikutnya semua tampak menjadi normal dan termaafkan. Di tengah-tengah film aku ngarep ada kejadian apa kek, paling enggak Mae sama sahabatnya berantem jambak-jambakan. Aku ingin lihat orang-orang itu mendapat pelajaran dan berubah. Tapi enggak ada kejadian apapun di film ini. Tidak ada resolusi yang menohok, tidak ada jawaban. Pada beberapa adegan terakhir, film mencoba untuk menjadi dramatis, hanya saja dengan absennya set up, satu konflik tersebut malah jadi abrupt dan tetep saja membuat film ini sebagai tontonan yang gampang untuk kita lupakan.

MINIMNYA KONFLIK tentu selaras dengan MINIMNYA KEPUTUSAN YANG DIBUAT OLEH KARAKTER. Inilah masalah terbesarku terhadap film The Circle. Tokoh utama kita, ‘pahlawan’ yang mestinya kita relasikan dengan diri sendiri, enggak banyak ngapa-ngapain. Mae ditulis dengan datar dan enggak menarik. Emma Watson adalah aktris yang cakap dan believable jika diberikan peran yang sesuai. Tetapi sebagai Mae, dia terdengar monoton, dengan banyak ekspresi bingung menatap layar. Interaksinya dengan karakter lain tidak lebih hanya sebagai sebagai device.

Film ini punya kebiasaan untuk memperkenalkan karakter tanpa memberinya plot ataupun hook buat kita pegang. Tom Hanks is barely in this film padahal perannya cukup penting; Bailey adalah yang terdekat yang kita punya dari seorang antagonis. Tapi meski demikian, bahkan karisma Tom Hanks enggak membantu banyak. John Boyega malah tampil lebih sedikit lagi, dengan peran yang selalu tenggelam ke background. Perannya di sini adalah sebagai Circler misterius yang mulai ‘curiga’ dan berontak terhadap organisasi. However, film menerjemahkan tokohnya ini hanya sebagai orang yang sesekali muncul untuk memperingatkan Mae. Tokoh favoritku di film ini justru adalah kedua orangtua Mae; Ayahnya (rest in peace Bill Paxton) yang mengidap MS dan Ibu yang setia mendampingi. Mereka berdua sangat penasaran sama kerjaan Mae, dan mereka adalah the voice of reason yang actually lebih mudah untuk kita dukung, dan punya relationship yang lebih menarik untuk diikuti.

ngestalk siapa lagi yaa kali ini?

 

Secara visual, ini adalah film yang mentereng. Namun secara teknis, film ini terasa kurang professional. Kita bisa melihat film ini dibuat dengan cakap, akan tetapi hasilnya secara keseluruhan tidak tampak seperti demikian. Yang paling kentara tentu saja adalah arahannya; sama sekali enggak spesial. Talenta para aktor disiasiakan, enggak satu pun dari mereka menyuguhkan penampilan yang memuaskan. Bahkan Tom Hanks terdengar lumayan monoton di sini. Aku baru saja pulang dari ngintip proses syuting film, maka mau tak mau aku memperhatikan gimana struktur pengambilan gambar; buat yang suka memperhatikan editing ataupun teknik ngesyut, maka pastilah bisa mengerti bahwa film ini menggunakan teknik yang enggak baik. Particularly, the way mereka menyambung adegan terasa kasar. Contohnya di adegan ketika Mae dan sahabatnya ngobrol di dalam bilik toilet terpisah. Film ini menggunakan sudut pengambilan standar untuk kedua tokoh, di mana Mae dan sahabatnya sama-sama diposisikan di tengah shot. Dan kemudian mereka ditampilkan bergantian, dengan sudut yang sama. Hasilnya cukup menggelikan, seolah Mae dan temannya itu muncul bergantian di bilik yang sama, padahal itu adalah bilik yang berbeda.

Mengetahui semua tidak pernah adalah hal yang baik. Karena itu berarti tidak ada ruang bagi kita untuk mempertanyakan sesuatu. Yang ultimately berarti tidak ada kesempatan untuk berkembang menjadi lebh baik lagi. Dan tentu saja mengetahui semua berarti tidak ada rahasia, sedangkan manusia perlu untuk menyimpan rahasia. Karena setiap kita sejatinya punya dua kehidupan, personal dan sosial. Dan di dunia di mana semuanya sudah overexposed,hal paling keren yang bisa kita lakukan adalah menjaga kemisteriusan diri.

 

 

 

Jika ini adalah cerita satir tentang society yang memutuskan untuk menjadi transparan sehingga tidak ada yang ditutupi, maka aku akan blak-blakan bilang ini adalah film yang membosankan. Penampilan datar dari barisan aktor yang sangat cakap. Arahan yang biasa aja dari sutradara yang mumpuni. Editing yang awful. Penulisan yang poor. Film ini is a complete mess, ia terlihat amatir padahal digarap oleh orang-orang yang bisa kita katakan sudah professional di bidangnya. Pesannya pun tidak seprovokatif yang diniatkan, lantaran we already know that.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE CIRCLE.

 

 
That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.