THE CALL Review

“The past cannot be changed, it can only be accepted”
 
 

 
 
Pernahkah kalian ngerasa ingin kembali ke masa lalu, untuk mengubah hal kecil yang kalian lakukan dahulu – seperti ngunci pintu sebelum pergi atau ngelarang seorang untuk pergi – supaya kalian bisa memperbaiki masa depan sehingga gak suram-suram amat? Well, jika pernah, maka nonton thriller berjudul The Call dari Korea ini akan bisa memberikan peringatan kepada kalian.

Untuk tidak bermain-main dengan masa lalu. Untuk menerima kehidupan dan bersyukur atas apa yang hidup gariskan kepada kita. Karena masa lalu sejatinya bukan untuk diubah, melainkan untuk diterima, supaya kita bisa belajar kesalahan darinya.

 
The Call adalah dongeng supernatural yang mengisahkan Seo-yeon, seorang wanita muda yang meratapi kehidupannya yang sekarang. Ayahnya meninggal sewaktu ia kecil karena kejadian yang ia yakini sebagai kelalaian dari sang Ibu. Membuat Seo-yeon belum bisa memaafkan Ibunya. Dia sulit menerima kenyataan. Kecuali di satu waktu ketika kenyataan itu menawarkan suatu kesempatan unik kepada dirinya. Pesawat telepon di rumah masa kecil Seo-yeon berdering, gadis bernama Young-sook menelepon dari rumah yang sama – dari tahun 1999! Telepon itu jadi penghubung Seo-yeon dan Young-sook; penghubung masa kini dengan masa lalu. Membuat mereka bisa mengubah keduanya, untuk mereka berdua. Kedua wanita yang sama-sama bakal menghadapi peristiwa mengenaskan itu akhirnya memang jadi berteman. Young-sook membantu menyelamatkan ayah Seo-yeon, sehingga masa depan itu – masa kini Seo-yeon – berubah total. Jadi ceria dan bahagia. Kini giliran Seo-yeon, membantu Young-sook menghindari percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh ibu si sahabat lintas-waktunya. Masalahnya adalah; Young-sook ternyata tidak se-innocent yang dikira. Dan boleh jadi sudah terlambat bagi Seo-yeon untuk menyadari bahwa masa kininya sekarang sudah berada di bawah kendali Young-sook si pembunuh berantai!

Hallo, the 90’s called, and she wants your reciprocation back!

 
 
Saat kuliah di Teknik Geologi dulu aku belajar prinsip yang berbunyi “The present is the key to the past”, yang bermakna sebuah struktur batuan atau fenomena kenampakan alam yang kita lihat di masa sekarang dapat memberikan informasi seperti apa kejadian alam di masa terdahulu, sehingga struktur dan kenampakan itu bisa terbentuk. Kita bisa belajar banyak tentang masa lalu dengan meneliti ‘result’nya di masa depan. Film The Call garapan Chung-Hyun Lee agaknya membalikkan itu semua, karena dalam thriller bunuh-bunuhan ini masa lalu-lah yang dijadikan kunci. Kengerian dalam cerita ini muncul dari ketidakberdayaan Seo-yeon atas kehidupannya. Memang, ada beberapa adegan di mana dia mempelajari banyak catatan, guna menyimpulkan kejadian di masa lalu dan menggunakan informasi itu untuk membantu Young-sook. Akan tetapi, semua itu di bawah perintah si Young-sook yang kerap mengancamnya. Dalam titik yang paling intens, kita akan menyadari betapa mudahnya bagi Young-sook untuk menghabisi hidup Seo-yeon hingga ke akar-akarnya. Ini adalah pertarungan antara masa depan dengan masa lalu, dan masa lalu itu ditampilkan menang karena masa depan itu naturally adalah hasil dari masa lalu. Film bahkan nampilin adegan Seo-yeon berusaha menjebak Young-sook, tapi gagal. Ketidakberdayaan karena gak punya kendali atas masa lalu itulah yang dijadikan konsep dari bangunan cerita The Call. Menjadi tontonan menarik, saat seorang tokoh berusaha melawan hal yang tidak bisa ia kendalikan.
Bukan kalimat geologi itu saja yang dimainkan oleh film ini. Chung-Hyun Lee juga bermain-main dengan konsep timeline, atau dua periode cerita yang disatukan. Memang bukan hal yang baru, tapi Chung-Hyun Lee berhasil menyuguhkan thriller yang seru dari sana. Dalam anime Your Name (2016) kita juga sudah melihat gimana komunikasi antara dua orang dari zaman berbeda bisa terbentuk dan mengakrabkan, tapi film tersebut berujung romansa sedangkan dalam The Call ini kita melihatnya bukan saja sebagai cerita serial-killer yang unik, melainkan sekaligus sebagai sebuah hubungan aksi-reaksi peristiwa yang berkesan benar-benar mengerikan. Di film ini, alur bolak-balik disulam untuk menghasilkan revealing dan surprise yang membuat suspens dan intensitas cerita semakin naik seiring berjalannya durasi. Editing yang digunakan untuk menguatkan feel cerita juga sangat precise, sehingga setiap kali berpindah periode, emosi ataupun intensitas cerita tidak ada yang ketinggalan. Tidak sekalipun kita merasa terlepas dari film ini berkatnya.
Untuk aturan-dunianya sendiri, film memang tidak mau repot-repot menjelaskan. Dengan membuat karakter ibu Young-sook berprofesi sebagai shaman alias dukun, secara subtil film ini ingin mengarahkan logika kita kepada hal-hal supernatural. Bahwa semua itu dapat saja terjadi karena cerita ini berada dalam dunia di mana shaman, premonisi, ritual, dan hal-hal gaib adalah hal yang ‘nyata’. Sehingga meskipun medianya berupa telepon-tanpa-kabel, logika kita tidak lantas menuntut penjelasan ilmiah ala sci-fi atas peristiwa koneksi yang terjadi antara kedua karakter sentral. Melainkan, ya, ini adalah peristiwa supernatural. Dan kurasa, bagi mindset orang kita – dan orang mereka karena sama-sama Asia – minimnya penjelasan logis soal itu sama sekali bukan dalam artian menggampangkan-cerita, melainkan kita melihatnya sebagai bagian dari latar. Ini juga yang mengakibatkan film ini gak jadi needlessly ribet dengan aturan dan cara kerja dunianya. Membuat kita jadi lebih mudah menyimak apa yang terjadi kepada karakter, baik secara inner maupun outer journey. Dan aku lebih suka mikirin soal karakter manusia itu ketimbang berpusing ria mikirin ‘how pseudo-technology atau science gaib atau time-inverse works’.
Untung kedua tokohnya gak mirip, bisa-bisa ntar ada sutradara yang bikin tulisan panjang lebar soal teori kenapa muka orang Korea sama semua

 
 
Namun, penutup film ini toh memang bikin bingung setengah mati. Aku baca di timeline Twitter, banyak penonton yang ngeluhin soal extra-ending film ini. Banyak juga yang membahas teori-teori kejadian sebenarnya yang mungkin terjadi. Untuk tidak menge-spoil keasyikan kalian ikut berteori, maka aku hanya akan nulis ngambang aja soal pendapatku terhadap adegan tersebut, dan maknanya. Menurutku adegan ekstra tersebut bisa saja diniatkan untuk membuka peluang sekuel – karena toh interaksi kedua karakter sentral ini menarik dan bikin nagih – tapi honestly, buatku ending di ekstra itu adalah akhiran yang paling pas untuk mengikat arc si Seo-yeon. She totally deserves whatever she got in the end. Karena dia-lah yang duluan ingin mengubah masa lalunya. Dia-lah yang nyalahin ibu dan gak mau menerima kenyataan – yea, kupikir si Young-sook berkata jujur saat mengungkap kejadian sebenarnya di tragedi ayah Seo-yeon. Sedari awal Young-sook yang gila itu enggak pernah memanipulasi Seo-yeon untuk berbuat sesuatu, dia hanya menelepon. Aksi dan pilihan tindakan Seo-yeon lah yang memutarbalikkan semua. Buatku memang film ini sangat powerful jika dipandang sebagai cerita peringatan.

Orang yang berkubang di masa lalu pada akhirnya enggak akan mendapat masa depan, dan itulah yang persisnya terjadi kepada Seo-yeon di ending itu. Sementara orang yang beraksi di masa kininya, akan bisa ‘mengendalikan’ masa depannya sendiri nanti, seperti yang kita lihat terjadi pada Young-sook.

 
Sesuai dengan perkembangan/development karakternya itu, kita akan menemukan bahwa si Seo-yeon makin ke belakang, akan semakin ‘lemah’ posisinya sebagai tokoh utama. Dalam konfrontasi final, misalnya, protagonis ini malah tidak berbuat apa-apa. Tidak ikut beraksi. Cuma duduk di sana menyaksikan dua karakter lain berantem. Secara pengembangan cerita, aku bisa paham. Namun protagonis seharusnya tidak bisa diposisikan seperti itu. Buatku ini jadi nilai minus yang tak bisa dihindari karena gagasan film mengharuskan kejadiannya seperti itu. Mungkin yang bisa film ini perbaiki adalah efek visualnya. Saat masa lalu berubah, masa kini Seo-yeon turut mengalami perubahan drastis. Film memvisualkannya dengan efek yang ‘wah’, seperti mobil yang tiba-tiba menyerpih menghilang, kaca-kacanya pecah, dan segala macam. Efek ini buatku agak sedikit over dan kurang mewakili perasaan karakter. Mestinya efek menghilang itu bisa dibikin lebih kuat lagi ‘merenggut’ karakter yang ada bersamanya.
 
 
 
Cerita yang bolak-balik masa kini dengan masa lalu ternyata bisa diolah menjadi sesuatu yang mengerikan. Memparalelkan dua waktu tersebut ternyata tidak selalu harus dibikin ribet. Film ini berhasil menyajikan thriller yang menegangkan, dengan interaksi yang menarik antara karakter dari dua periode waktu berbeda. Secara teknis, film ini didukung oleh penampilan akting dan editing yang sangat cakap. Membuat arahan film berjalan dengan mulus. It does work really well as a warning story, buat orang-orang yang merasa gak bahagia karena tragedi di masa lalu. Akhir ceritanya memang bisa membingungkan, tapi jika kita berpegang kepada pemahaman terhadap apa yang dipelajari oleh karakter, bagian membingungkan tersebut bisa terjelaskan dengan sendirinya, dan bukanlah jadi masalah besar, at all.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE CALL.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya teori sendiri tentang apa yang terjadi di adegan credit? Bagaimana pendapat kalian tentang Seo-yeon yang harus kehilangan segalanya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PINTU MERAH Review

“People may spend their whole lives climbing the ladder of success..”

 

 

Jika pintu bisa dianggap sebagai simbol kesempatan, maka Pintu Merah sudah punya kesempatan untuk menjadi sajian horor yang berbeda dari kebanyakan. Karena debut film panjang dari sutradara Noviandra Santosa ini akan membawa kita semakin dalam ke ranah misteri melalui perjalanan mengerikan yang nyaris tiada akhir. The problem is, perjalanan tersebut toh pada akhirnya harus berakhir, dan kita malah menemukan diri kita berada di ranah horor yang biasa-biasa saja.

Pintu kesempatan, bagi Aya (Aura Kasih menunjukkan kemampuan deduksi dan investigasi), adalah kasus kematian misterius di hutan pinus. Dia ‘memaksa’ untuk menulis berita tentang ini karena baginya ini adalah pembuktian dirinya sebagai jurnalis. Penyelidikan membawa Aya ke bangunan terbengkalai. Tempat dia menemukan sebuah pintu merah. Yang ketika dimasuki ternyata bukan membawa Aya ke Narnia. Melainkan ke lorong lantai tiga rumah sakit. Dan hanya lorong lantai tiga tersebut. Aya terjebak, bersama seorang pria yang dulu pernah bekerja sebagai perawat di sana. Gak peduli mau naik lift atau tangga darurat, Aya terus mendapati dirinya di tempat yang sama. Jikapun ada yang berbeda, maka itu adalah lorong tersebut – setiap kali Aya berusaha keluar lewat pintu exit – menjelma menjadi semakin mengerikan. Aya tak bisa keluar sebelum memecahkan misteri dan membongkar apa yang sebenarnya terjadi pada rumah sakit dan kasus kematian di hutan. Dia harus melakukannya dengan segera, sebab bukan saja deadline tulisan dua hari lagi, melainkan juga lantaran makhluk berkuku panjang di dalam sana bakal membawa Aya ke deadline umurnya

Dari judulnya kirain ini tentang hotel, ternyata tentang rumahsakit

 

Pengalaman Aya terjebak di lorong rumah sakit dengan anak tangga yang terus nge-loop tidak membawanya ke atas maupun ke bawah actually adalah gambaran mengerikan dari keadaan Aya di tempat kerja. Pada babak awal, film mengambil waktu untuk melandaskan posisi Aya di kehidupan profesionalnya. Kita tahu bahwa karir Aya mentok, gak bisa naik, gak sudi turun. Kita melihat dia mengeluhkan laporannya selalu dipotong karena kolom yang disediakan untuknya semakin sedikit. Bayangkan Tangga Penrose; tangga-mustahil hasil ilusi optik dua dimensi ciptaan Lionel Penrose dan putranya, Roger Penrose. Karir Aya persis seperti demikian, dan kemudian Aya beneran menaiki tangga itu saat terjebak di rumah sakit. Jadi memecahkan kasus misteri di sana menjadi lebih personal baginya. Aspek inilah yang membuat Pintu Merah tampak berbeda dan punya pesona untuk ditonton. Melihat dia dan pria yang ditemuinya di sana bekerja sama mencari petunjuk, melakukan percobaan untuk mengetahui detil apa yang berubah pada lorong yang sekarang dari lorong yang sama yang baru saja mereka tinggalkan. Film punya modal untuk mengeksplorasi kefrustasian dan kengerian, horor di sini semestinya bisa bersumber kuat dari psikologi Aya karena semua kejadian tersebut benar-benar mencerminkan posisi kerja yang ia ingin keluar dari sana.

Sebuah pekerjaan disebut sebagai dead-end job jika: kau tidak bisa melihat bagaimana pekerjaan tersebut bisa menghantarkanmu kepada tujuan karirmu; jika pekerjaan tersebut tidak memberikan ruang untukmu berkembang, tidak menantangmu, dan beneran membuatmu tidak puas terhadap diri sendiri; jika kau merasa atasanmu memperlakukanmu dengan tidak adil. Setiap orang berusaha menaiki jenjang kesuksesan, tapi tak jarang terjebak dalam jenjang karir tak-berujung seperti begini. Toh, sebagian orang memilih untuk tetap dalam posisi itu, mempertahankan apa yang sudah didapat. Dan sebagian lagi, orang-orang seperti Aya, memilih untuk sesuatu yang lebih – maka mereka mengambil resiko demi pembuktian diri dan keluar dari dead-end job mereka.

 

Tapi tentu saja, penggemar video game seperti aku langsung bisa menarik kesamaan konsep terjebak di lorong nge-loop pada film ini dengan konsep loop pada teaser game Silent Hill: P.T. (contoh gameplaynya bisa ditonton di sini). Video game psychological horor keluaran Konami yang menggunakan sudut pandang orang-pertama ini tadinya dicanangkan sebagai proyek kolaborasi antara pembuat game Hideo Kojima dengan sutradara film Guillermo del Toro. Duet maut! P.T. yang judul aslinya Silent Hills itu menjanjikan eksplorasi misteri dan kedalaman cerita karena di teaser tersebut player akan bermain sebagai seorang pria yang terbangun di basement sebuah rumah dalam keadaan amnesia. Player lalu mengendalikan si pria mencari berbagai petunjuk di sepanjang lorong, sebelum akhirnya bertemu dengan pintu yang jika dibuka akan membawa pemain ke tempat tokoh ini muncul semula – tentu saja dengan kondisi lorong yang berbeda berikutnya. Persis seperti Aya dan pria misterius pada Pintu Merah. Hanya, tempatnya berbeda. Pada P.T. stake datang dari hantu yang bisa muncul tiba-tiba dan mengakibatkan game over, kurang lebih sama seperti makhluk seperti hantu begu ganjang yang muncul membuat Aya jejeritan pada Pintu Merah. Sayangnya, proyek full game P.T. yang sudah dinanti-nanti itu dicancel oleh pihak Konami. Sayang memang. Karena kita malah dapat versi reinkarnasinya (reinkarnasi tak-resmi) dalam wujud film horor, yang gak mampu mengimbangi sisi menarik dari konsepnya sendiri.

Film ini berusaha menghadirkan cerita yang linear. Cerita dimulai dari sebelum kejadian terjebak. Kita diperkenalkan dari awal siapa tokoh utama, apa pekerjaan, apa motivasinya, apa kasusnya. Kita belajar misteri berbarengan dengan tokoh utama. Hanya saja misteri yang dihadirkan tidak cukup menarik. Tidak ada kaitannya dengan tokoh utama, kecuali soal keadaan yang dicerminkan yang kutulis di atas. Aya adalah outsider yang berusaha memecahkan misteri untuk kepentingan karirnya. Kita tidak dibuat peduli apa dia bisa memecahkan misteri ini. Kita hanya tertarik sama lingkungan dan keadaan loop yang menjebak Aya. Mungkin jika kasusnya dibuat berkaitan dengan pribadi Aya – somehow it’s connected to who she is – maka film bisa menjadi lebih menarik.

Tidak membantu juga gimana film memperlakukan aspek-aspek investigasi dan pengungkapan misteri supernaturalnya. Dialog saat mereka terjebak ditulis standar, kayak percakapan dua orang pengunjung wahana rumah hantu yang masuk sambil main detektif-detektif. “Ayo kita selidiki”. Misterinya menarik tapi tidak banyak hal-hal yang memancing kita untuk ikutan berpikir. Kita hanya menonton mereka ngobrol ala kadar dan tau-tau misterinya selesai. Investigasi di babak awal melingkupi menanyai orang yang sok-sok misterius dan melarang – mengakibatkan percakapan mereka membosankan – dan juga shot demi shot layar komputer ketika tokoh utama ngegoogle berita-berita terkait. Biasa banget, effort untuk membangun misterinya sangat minim. Di awal-awal itu film malah mendedikasikan dialog untuk membuat kita ingat bahwa kasus kematian itu adanya di hutan. Aku ketawa setiap kali tokoh film ini menyebut “kasus mayat di hutan”. Udah kayak, karena sebagian besar nanti adegan di lorong rumah sakit maka film akan takut kita lupa bahwa mayat-mayat ditemukan di hutan. Jadi semua tokoh terus menerus menyebut mayat di hutan. I mean, kasus itu kan kasus misterius yang melegenda, mereka mestinya ngebuild legitnya misteri dengan menamakannya dengan istilah; Kasus Pinus misalnya, atau Kasus Pohon Bertopeng (aku suka pemandangan pohon-pohon pake topeng yang diperlihatkan pada intro kedua film ini), atau apa kek yang lebih kreatif. Tapi tentu saja mencari nama adalah proses ekstra, jadi film lebih memilih yang gampang dengan “kasus mayat di hutan”.

Huy Penonton! Mayatnya ada di manaaaaaa *sodorin mic*

 

 

Maka film ini tidak pernah tampil menyeramkan. Desain hantunya sendiri keren, tapi gak membuat bulu kuduk kita meremang. Kayak Slenderman dengan kuku panjang. Aku nyebutnya mirip begu ganjang karena aku pengen hantunya bisa dilokalin. Karena hantu film ini tidak berciri khas. It’s just a computer animation. Enggak seram. Aku nonton ini literally sendirian di studio, enggak ada penonton lain, dan tidak sekalipun aku merasa takut dan merinding menonton ini. Sebelum film mulai aku sempat ngeri juga, kalo hantunya sebangsa kunti atau hantu-hantu cewek lain, aku mungkin bakal melambaikan tangan. Tapi ternyata enggak. Hantunya sama sekali tidak menakutkan. Film berusaha untuk tidak terlalu ngandelin jumpscare, ini nilai plus kuberikan buat film ini, tapi mereka juga tidak punya kemampuan untuk membangun kengerian. Musiknya memberi spoiler terlalu banyak. Kita tahu bakal ada yang muncul ketika musik film ini berhenti.

Mungkin jika film ini setia pada Aya, membangun cerita psikologis yang fokus pada dirinya, memberikan koneksi langsung antara Aya dengan kasus misteri – membuat film ini beneran mirip game P.T. – maka semuanya akan lebih menarik. Tapi jika del Toro dan Kojima saja ternyata enggak sanggup melanjutkan bikin, maka apa harapannya buat tim penulis yang bahkan males mencari nama yang legit untuk kasus di film ini bisa membuat yang sama atau lebih menantang. Maka film menggali ke luar. Diberikan banyak tokoh-tokoh pendukung yang semuanya satu-dimensi yang tak banyak memberikan kontribusi selain penampilan akting yang biasa banget. Setelah menutup plot dengan susah payah, film bermaksud undur diri dengan heboh. Maka mereka menampilkan adegan tambahan yang sukur-sukur bisa bikin penonton penasaran sehingga punya pintu kesempatan untuk dibuat sekuel. But at that point, penonton-penonton seperti ku sudah melirik-lirik pintu exit supaya bisa ngibrit pas kredit.

 

 

 

Punya konsep yang berbeda dari kebanyakan horor lokal yang beredar sekarang. Tapi dari cara film menceritakan dan mengembangkan konsepnya, kita jadi meragukan apakah konsep tersebut benar-benar dicomot dari konsep video game yang batal dirilis. Bahkan beberapa kali film berpindah menggunakan kamera sudut pandang orang-pertama seperti pada game. Cerita film ini tidak bisa mengimbangi keunikan konsepnya. Elemen investigasi dan misteri yang dihadirkan tidak betul-betul menarik. Film ini bahkan enggak seram.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for PINTU MERAH.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Where do you see yourself in five years? Apakah kalian akan membiarkan diri terjebak oleh dead-end jobs? 

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BURNING Review

If you play with fire you will get burned.”

 

 

 

Ketika kedinginan, menyalakan api berarti menimbulkan kehangatan. Secara metafora, menyalakan api berarti menimbulkan perubahan terhadap seseorang. Memberikan mereka entah itu harapan, semangat, ataupun gairah.

Seperti Jong-Su yang api cintanya menyala setelah bertemu dengan Hae-mi. Tadinya Jong-su ini hidupnya garing banget. Dia tinggal sendirian di rumah peternakannya di pinggiran Korea Selatan. Hae-mi, yang mengaku teman lama yang dulu tetanggaan ama Jong-su, mengajak cowok yang pengen jadi novelis itu main ke apartemennya. Mereka jadi intim. Tapi kangen-kangenan mereka enggak berlangsung lama. Hae-mi pergi liburan ke Afrika. Jong-su dengan sabar menunggu si cewek kece, mengasuh kucing Hae-mi yang tak pernah ia lihat setiap hari, sebelum akhirnya Hae-mi pulang bareng cowok yang seratus delapan puluh derajat berbeda ama dirinya. Ben, si cowok baru berdompet tebel, ‘boil’nya porsche, tinggal di Gangnam, orangnya super supel, dan semua-semuanya yang bikin Jong-su iri. Api kecemburuan itu berkobar dan dengan cepat berubah menjadi api kecurigaan. Ini memang tampak seperti kisah cinta segitiga normal, tapi enggak pernah ada yang sesimpel dan senormal itu dalam hidup. Jong-su ingin membuktikan ‘kejelekan’ Ben kepada Hae-mi. Masalahnya adalah, sebelum sempat membuktikan kecurigaannya, Hae-mi malah hilang entah kemana dan hanya Tuhan yang tahu penyebab hilangnya kenapa! Tapi itu tidak menghentikan pikiran Jong-su menyimpulkan kengerian apa yang terjadi

“….membakar jiwa yang meranaaa”

 

 

Menakjubkan, malah hampir seperti sihir, gimana film ini membuat misteri dari cerita yang sebenarnya begitu dekat dengan kita. Susah untuk mendeskripsikan perasaan yang dihasilkan olehnya setelah kita menonton. Ini SEPERTI MELIHAT ILUSI OPTIK. Pernah gak kalian melihat gambar ilusi optik berupa barisan kotak-kotak  yang jika kita memperhatikan gambar tersebut lekat-lekat, kemudian kita lihat titik-titik hitam muncul begitu saja di antara sudut-sudut antarkotak seperti titik rintikan air hujan (klik di sini untuk ilustrasi Grid Illusion). Atau gambar ilusi optik berupa tiga gambar pacman dan tiga sudut lancip yang diposisikan sedemikian rupa sehingga mata kita menangkap sebentuk segitiga di tengah (Kanizsa Triangle). Hanya saja tidak ada segitiga di sana. Titik hitam pada ilusi pertama juga sebenarnya tidak ada. Tapi mata kita terkecoh oleh persepsi dan menganggapnya ada. Dan saat sadar akan yang sebenarnya, kita tertohok sekaligus takjub pada saat yang bersamaan. Tema melihat apa yang tak ada seperti demikianlah yang mendasari cerita film ini. Petunjuk mengenai ini bisa kita dapatkan dari adegan Hae-mi yang berpantomim makan jeruk di depan Jong-su yang melongo di awal-awal cerita. Saking kayak realnya, Jong-su bisa ikut merasakan manisnya jeruk yang lagi dimakan oleh Hae-mi, tapi sebenarnya tidak ada jeruk sama sekali di sana. Film ini membingungkan, mencengkeram kita erat, bikin kita nelangsa oleh pikiran buruk kita sendiri, it’s so good and entertaining dalam caranya sendiri.

Adegan favoritku adalah ketika Hae-mi menari berlatar belakang keunguan langit senja dan musik jazz yang bikin suasana semakin magis. Ini berasa adegan David Lynch banget, buatku film-film Lynch punya gaya disturbing yang sangat kuat merekat. Burning berhasil nyaris menyamainya. Hanya kurang ‘aneh’ saja. Yang diomongin dalam film ini adalah misteri kenapa kita begitu mudah terbakar. Dan seperti lidah api itu sendiri, Burning dengan eloknya meliuk-liuk, menjilat pikiran dan hati kita, semua emosi kita akan berkobar di penghujung cerita.

Api dapat melalap habis apa saja tanpa bersisa, bahkan dalam kitab suci saja, dosa dengki disimbolkan sebagai api mampu melenyapkan pahala-pahala kita. Toh kita membutuhkan api; kecil menjadi teman, kata pepatah. Tapi yang harus kita sadari adalah betapa rentannya api tersebut menjadi besar. Terlalu dekat dengannya, kita pun sedemikian mudah terbakar. Dinamika manusia dengan api disejajarkan oleh film sebagai suatu attachment yang begitu emosional. Saat kita terbakar emosinya; kita akan berubah completely. Jadi apa? Paling sering sih, jadi abu.

 

Hae-mi adalah api dalam cerita Jong-su. Dan cewek itu bukan satu-satunya. Tokoh utama kita practically hidup di dalam lingkaran bara api, Jong-Su punya masa lalu yang tidak menyenangkan sehubungan dengan keluarganya. Banyak hal yang berarti siraman bensin buat dirinya. Rasa-rasanya aku belum pernah melihat tokoh utama yang begitu combustible seperti Jong-su, tapi kemudian film membuat kita berefleksi, dan bam! Jong-su mungkin tidak begitu jauh dari kita secara manusiawi.

hayoo siapa yang golongan sumbu pendek kayak si Jong-su?

 

 

Kejadian dalam film ini diniatkan sebagai misteri, terbuka bagi interpretasi setiap penontonnya, bagaimana masing-masing kita melihat suatu hal. Ketidakpastian akan apa yang sebenarnya terjadi adalah kekuatan utama film ini. Jadi, sampai di sinilah ranah non-spoiler ulasan ini. Karena jika kita ingin menyelam lebih dalam, aku tidak bisa melakukannya tanpa menyebut poin-poin plot penting yang sebenarnya tidak akan asik jika tidak kalian saksikan sendiri. Peringatanku adalah, jangan sampai kalian terbakar rasa penasaran dan membaca lebih lanjut sebelum menonton film ini, karena nanti pengalaman misterinya bakal berkurang. Kalian bisa saja tidak bakal merasakan apa-apa jika baru menonton filmnya setelah membaca.



 

With that being said; kecurigaan, kecemburuan, dan ketidakpastian benar-benar membakar habis Jong-su. Dia adalah pria yang insecure sedari awal karena dia tidak bisa mengingat sama sekali kenangan masa kecil yang Hae-mi bilang dialami oleh mereka berdua. Tambahkan faktor tragedi keluarganya, dosa terbesar Jong-su adalah dia selalu melihat yang terburuk dari semua orang. Dia percaya pada yang terburuk dari segala hal. Juga tidak membantu fakta bahwa di rumahnya, Jung-so digambarkan secara subtil dengan konstan mendengar siaran propaganda Korea Utara yang mengudara. Ketika Ben datang dan akrab dengan Hae-mi, Jong-su seketikanya melihatnya sebagai rival yang berbahaya. Momen-momen penyelidikian Jong-su adalah untuk mencari keburukan dari Ben. Dia terbakar oleh ide Ben seorang psikopat yang suka membakar rumah kaca. Terkadang, bikin frustasi gimana kita tidak diberikan kesempatan masuk ke dalam kepala Jong-su. Kita hanya melihat dari luar, kita melihat apa yang tidak ia lihat, kita punya kesimpulan berbeda dengannya, dan buatku menjelang babak tiga, sudah cukup jelas aku sedang melihat bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan tidak ada jalan untuk mencegahnya. Kadang film membuat kita powerless seperti demikian.

Beberapa petunjuk penting sudah sukses disebar oleh film, yang bisa kita jadikan pegangan untuk merangkai teori apa yang sesungguhnya terjadi. Kucing Hae-mi misalnya; apa makhluk ini beneran ada? apa dia benar kucing yang sama dengan kucing yang dipelihara oleh Ben setelah Hae-mi menghilang? Buatku, kucing itu ada dan dia bukan kucing yang ada di apartemen Ben. Kucing itu menurut ketika dipanggil tidak membuktikan apa-apa, karena dari mana kita tahu pasti kucing itu mengenali bahasa manusia? Ada adegan di awal yang membuktikan dugaanku ini, yaitu ketika Hae-mi memanggil kucingnya, si kucing tidak nongol – jadi kenapa kita mesti percaya itu kucing yang sama ketika dia mendekat kepada Jung-so yang memanggil namanya? Film tidak pernah menunjukkan si kucing mengenali namanya sendiri.

Dari situ aku mendapat kesimpulan, Hae-mi tidak pernah berbohong kepada Jung-so. Soal operasi plastik dan teman dekat itu benar adanya, dibuktikan dengan keluarga Hae-mi. Soal kucing, bener ada karena ada bukti kotoran dan makanan. Soal sumur, ibunya sendiri mengonfirmasi benar ada sumur di daerah rumah mereka. Soal Hae-mi yang jatuh ke dalam sumur, perlu kita ingat, ini adalah kebohongan Hae-mi, tapi tidak ditujukan kepada Jong-su. Melainkan kepada Ben. Hae-mi ingin Jong-su berpartisipasi dalam kebohongan ini, tapi Jong-su enggak mengerti. Dari perkataan Ben di kafe setelah dikonfrontasi oleh Jong-su begitu Hae-mi menghilang, ada pengungkapan bahwa Hae-mi menganggap Jong-su sangat penting – ada indikasi cewek ini beneran naksir – dan Ben merasa cemburu (meski cemburunya kepada siapa masih bisa diperdebatkan lagi) Jong-su tidak melihat semua ini. Dia hanya melihat ‘bukti-bukti’ lemah yang tidak menyimpulkan apa-apa. Ben bisa saja memang punya banyak teman cewek, mungkin dia beneran klepto sehingga punya banyak barang cewek di lemarinya, tapi yang pasti kita diperlihatkan satu adegan Ben mengenakan riasan kepada teman ceweknya. Jadi, di mana Hae-mi dalam cerita ini? Kebenaran mungkin lebih simpel dari yang ingin kita percaya. Pembahasan soal debt collector yang sempat diangkat boleh jadi cuma satu-satunya jawaban karena film tidak menampilkan kontradiksi terhadap hal ini, malahan didukung oleh pernyataan orangtua Hae-mi sendiri.

 

 

 

 

Adaptasi dari cerita pendek Murakami yang terinspirasi cerita pendek William Faulkner ini memang bukan film pertama tentang cewek yang menghilang pas lagi sayang-sayangnya. Tapi ini adalah salah satu yang pertama kali menggarapnya dengan keindahan balutan misteri dengan berakar kepada ketidakpastian yang menyulut berbagai perasaan dan pikiran jelek dalam hati seorang manusia. Penceritaannya yang subtil menghasilkan ilusi sebuah misteri yang begitu captivating. Para pemain pun berdedikasi sekali dalam ‘pertunjukan sihir’ ini, memberikan kemampuan terbaik mereka. Mengerikan gimana kita tidak bisa benar-benar paham isi kepala mereka. Tetapi terkadang hal tersebut tidak sepenuhnya menyenangkan jika kita membawanya kepada tokoh utama. Secara perlahan dimekarkan, kita tidak tahu motivasi protagonis sebelum peristiwa utama terjadi. Kita melihat dia mengaku pengen menulis novel, kita lihat dia banyak referensi bacaan, tapi sepanjang film yang ‘berhasil’ ia tulis hanya sebuah petisi untuk kasus ayahnya. Di bagian-bagian awal sebelum ‘api’ itu membesar, kita mungkin bakal susah mengikuti cerita. Tapi setelahnya – setelah beberapa kali pergantian tone dengan mulus tersebut – film ini akan membekas parah di benak kita, seperti jejak branding dari bara api panas pada sapi-sapi ternak.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BURNING.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Share dong menurut kalian apa yang sebenarnya terjadi pada Hae-mi dan siapa sebenarnya Ben. Apa Jong-su sudah melakukan hal yang benar?

Apa menurut kalian, seorang cowok yang ditinggalkan, pantas menuntut kejelasan kenapa ia ditinggalkan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

KAFIR: BERSEKUTU DENGAN SETAN Review

“Don’t shake hands with the devil”

 

 

 

Mengabdi setan boleh jadi memang banyak untungnya. Prospek apa saja bisa kita dapatkan, semua masalah bisa sekejap dilenyapkan, tak pelak begitu menggiurkan. Tinggal datang ke dukun. Film garapan Azhar Kinoi Lubis yang biasa bermain di ranah drama ini berusaha mendramatisasi horror yang datang dari perihal dukun berdukun tersebut. Di dalam Kafir kita akan melihat satu keluarga yang dihantui oleh kekuatan tak terlihat yang bermaksud menghabisi satu persatu nyawa mereka, sebagai bagian dari skema grande sebuah balas dendam.

Ibu (Putri Ayudya dengan penampilan terbaik yang bisa kita saksikan dalam genre horror lokal) tidak mau lagi mendengar lagu kesukaan Bapak diputar di rumah. Ibu tidak mau memasak ayam gulai lagi. Belum empat-puluh hari sejak Bapak memuntahkan beling di meja makan. Arwah Bapak masih di rumah. Begitu kata Ibu. Ingin meyakinkan dirinya sendiri, lebih kepada meyakinkan anak-anaknya, Andi dan Dina, yang tak tahu apa-apa. Ibu yang hobi pake daster putih malam-malam ini ingin kejadian aneh yang ia lihat di rumah pasca kematian Bapak benar-benar disebabkan oleh arwah gentayangan, karena ia menyadari ada kemungkinan satu ilmu jahat sedang mengintai mereka dari balik derasnya hujan yang senantiasa mengguyur.

Jangan sekali-kali ke dukun, nanti disuruh nyari ayam hitam berbulu putih, bingung ente!

 

Suasana gelap dan sambaran cahaya kilat dengan efektif dimanfaatkan oleh film ini dalam mengeksplorasi gambar-gambar yang memancing bulu kuduk kita untuk berdiri. Akan ada banyak shot ketika kita berusaha melihat satu objek dalam pencahayaan yang minim dan kemudian sepersekian detik ruangannya terang oleh sambaran kilat. Efektif sekali membuat imajinasi kita melayang ke sudut-sudut tergelap yang bisa terpikir oleh kita. Suara-suara diegetic (yang didengar oleh para tokoh) akan turut membuat kita merasa was-was. Film ini pun dengan bijak tidak semudah itu menyalurkan rasa takut kita. Mereka menghimpun dulu untuk beberapa adegan. Kita hampir tidak melihat wajah seram dalam film ini. Hantu-hantunya hanya berupa bayangan-bayangan ganjil. Nonton Kafir, mestinya kita senang, karena film ini percaya kita bakal memperhatikan. Kengerian datang dari saat kita melihat , dan memahami konteks cerita.

Kafir punya gambar-gambar yang begitu memukau. Entah itu pemandangan pepohonan dari sudut rendah, maupun close up dua tokoh yang lagi berbincang dengan tegang. Semua gambarnya mengundang kita untuk masuk ke dalam dunianya. It is unfortunate, tho, karakter film ini tidak dirancang sebagai sinematografinya. Tokoh utama dalam cerita ini adalah Ibu, namun seolah ada tembok yang dibangun untuk mencegah kita menyelami pikirannya.  Disantet, tidak tahu dari siapa, seharusnya adalah pengalaman yang menyeramkan. Tapi kita hanya takut demi si Ibu Sri. Kita tidak takut bersamanya. Karena cerita membutuhkan sebuah pengungkapan, siapa Sri, bagaimana cara pikirnya, kita tidak diberikan kesempatan untuk mengetahui ini hingga akhir cerita. Mungkin jika ditonton dua kali, kita bisa lebih menikmati, karena kita jadi tahu bahwa Sri ini sebenarnya punya dugaan – dia enggak sehelpless yang terlihat. Sri punya rencana sendiri untuk melawan balik. Tapi sebagai tontonan pertama, kita akan merasa seperti tamu yang diundang masuk ke rumah, lalu diabaikan. Tidak ada yang bisa kita ikuti.

Bersekutu dengan setan itu gak mesti jauh-jauh pergi ke dukun dulu. Ungkapan tersebut sebenarnya berarti jika kita melakukan sesuatu yang jahat, kita akan menunai hasil yang tidak baik pula. Dengan berbuat jahat, praktisnya kita sama saja seperti setan – atau paling tidak, berteman dengannya. Apa yang terjadi pada tokoh film ini adalah buah dari perbuatannya di masa lampau. Karena kita tidak akan bisa lari dari konsekuensi setiap perbuatan yang kita kerjakan.

 

 

Tokoh Dina yang diperankan oleh Nadya Arina mestinya bisa dijadikan karakter utama. Kita lihat dia suka baca novel detektif. Dia tertarik sama misteri, ia tidak menutup diri pada klenik. Tidak seperti abangnya yang punya karakter begitu tak tertahankan; keras kepala gak jelas. Yang satu suka misteri, yang satu percaya pada dokter. Tapi tidak satupun dari mereka yang melakukan hal yang masuk akal. Kenapa tidak ada yang berpikir untuk membuang beling, misalnya. Dina dan Andi adalah contoh dari karakter yang terkungkung oleh narasi. Mereka punya sifat namun aksi dan keputusannya sengaja dihambat-hambat untuk kepentingan twist di akhir cerita. Like, kalo mereka benar-benar bertindak seperti sifat mereka, cerita pastilah sudah maju karena seseorang akan ketahuan lebih cepat. Kita actually akan melihat Dina menelusuri misteri masa lalu keluarga bak detektif, mengunjungi tempat-tempat yang ia dapat dari petunjuk-petunjuk. Hanya saja kita tidak mecahin misteri bersamanya. Kita bahkan tidak melihat semua  apa yang ia lihat, ada yang disimpan untuk bagian pengungkapan di akhir.

Twist film ini sebenarnya ditulis dengan bagus, ia ditanam sedari awal. Twist itu bukan semata karena gak bisa kita tebak, tapi twist adalah satu-satunya kelokan yang bisa diambil oleh cerita. Kafir paham bahwa twist perlu dibangun terlebih dahulu, enggak lantas belok saja di akhir. Masalahnya adalah untuk sampai ke pengungkapannya film terpaksa mengorbankan banyak.

Salah, Andi! Lebih tepatnya adalah “Jadi selama ini kamu…kakakku!!”

 

Ketika seseorang dipercaya kafir, warga yang lain pun akan menjauhi sampai-sampai mayatnya pun ditolak untuk dikuburkan bersama dengan pemakaman warga yang lain. Elemen ini sebenarnya menarik. Film bisa bicara toleransi, kesempatan untuk meninggalkan zona hitam-putih, tapi film dengan lantas berpaling. Elemen ini hanya menjadi afterthought, karena dijatuhkan kepada seorang dukun di desa tempat tinggal mereka. Tokoh yang benar-benar minor karena dianggap sebagai sosok ‘mentor’ buat tokoh utama pun, si dukun ini enggak nyampe penulisan tokohnya. Meski begitu Sudjiwo Tedjo memainkannya dengan sangat over-the-top. Ah, itulah kata yang cocok untuk menggambarkan film ini. Over-the-top. Lebay. Tokoh antagonisnya pun nanti akan berubah bersikap over, mereka lebih kayak orang gila daripada orang yang mau balas dendam.

Sumbernya memang pada arahan. Film bermaksud subtil dalam menakuti. Kita dapatkan gamabr-gamabr kayak noda di atap yang paralel dengan memar di betis Sri. Namun kita juga masih mendapati fake jumpscare kayak orang dikagetin oleh tokoh lain yang bukan hantu. Kalo ada yang bilang film ini gak ada jumpscare, itu semata karena fake jumpscare pada film ini beneran enggak seram.  Kita dianugerahi gambar-gamabr keren yang menambah bobot cerita, namun masih ada juga shot yang dilakuan dengan sedikit di luar kebutuhan. Aku  gak tau apa memang ada maksud subtil tertentu, tapi adegan ngobrol di meja makan bersama pacar Andi di awal-awal itu membingungkan sekali untuk dilihat. Kamera ditaruh di dua titik tengah (antara satu tokoh dengan tokoh lain), kita melihat keempat orang ini kayak melihat dari titik tengah X yang diposisikan  horizontal. Kemudian kamera berpindah-pindah gitu aja di antara dua titik tengah tersebut, membuat mata kita bekerja ekstra terus mencari siapa sekarang sedang berbicara.

Gestur di opening begitu mengganjal buatku hingga aku mengetik ulasan ini. Mengganjal karena tampak ganjil. Yaitu ketika si Bapak berusaha mengeluarkan beling dari tenggorokannya. Coba ya, apa yang kita lakukan kalo lagi tersedak, mencoba mengeluarkan sesuatu dari mulut? Secara normal kita akan membungkuk, menjulurkan leher ke depan. Orang yang melihat mungkin akan datang menepuk punggung kita. Tapi Bapak dalam film ini justru menengadah kayak pesulap di sirkus yang sedang menarik pedang dari tenggorokan dalam sebuah atraksi nelan pedang. Bukannya kalo bendanya gak dipegang, benda tersebut akan tertelan ya, kalo dibawa menengadah? Ini penting buatku karena saat melihat adegan ini, aku otomatis menganggap si Bapak sedang melakukan sebuah trik. Like, dia sebenarnya gak sakit bahkan mungkin dia penjahatnya. Tapi kan enggak. Dampaknya ini membuat filmnya agak gak meyakinkan buatku.

Kalian tahu, film ini punya satu adegan lebay ultimate yang bisa dimasukin sebagai adegan klasik khas cult horror movie; Andi menendang tokoh jahat yang kembali hidup dengan tubuh penuh kobaran api. Laughable banget, tinggal tambah punchline kata-kata cheesy aja tuh! hihihi

 

 

 

Mengecewakan cerita filmnya tak digarap sebaik gambarnya yang bagus-bagus. Penampilan para pemain terbilang oke, hanya arahannya saja yang entah kenapa mengincar titik over-the-top. Aku ingin percaya film ini lebih baik daripada Pengabdi Setan (2017) yang dipuja-puja. I want this film to be good, ceritanya udah nutup dan segala macem. Tapi enggak. Jatuhnya malah menggelikan. Seramnya subtil, namun pada akhirnya hanya akan dikenang sebagai perang santet dengan dukun dan ilmu-ilmu yang lebay.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for KAFIR: BERSEKUTU DENGAN SETAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017