THE MONKEY Review

 

“All persons, living and dead, are purely coincidental”

 

 

Kematian pasti akan datang kepada setiap orang, ga ada tawar menawar. Tapi kepastian dari sebuah kematian itu justru sering dianggap sebagai misteri, atau kecelakaan, atau kebetulan. Karena gak ada yang tau kapan dirinya, temannya, atau siapapun bakal mati. Kematian itu pasti tapi tidak bisa dikendalikan, maka jadilah dia momok yang mengerikan. Dan seperti apa coba treatment sutradara Osgood Perkins ketika diserahkan cerita dari horor pendek Stephen King tentang gimana kematian yang pasti datang tanpa bisa dikendalikan ini? Well, alih-alih horor serius, dia membuatnya jadi horor komedi!

The Monkey merujuk kepada mainan monyet terkutuk yang didapat oleh si kembar Bill dan Hal Shelburn saat membuka-buka barang peninggalan ayah mereka. Meskipun pusatnya adalah gimana si mainan monyet ini membawa petaka setiap kali ia selesai menabuh gendang, tapi cerita film ini sebenarnya adalah tentang hubungan si anak kembar tadi. Bill dan Hal kurang akur. Hal sering ngebully Bill sampai-sampai Bill berfantasi mengenyahkan abang yang hanya beberapa menit lebih dulu keluar dari rahim ibu mereka itu. Ketika mengetahui ‘kekuatan’ mainan monyet, Bill berusaha memanfaatkan benda terkutuk itu untuk mewujudkan fantasi gelapnya. Tapi si monyet bukanlah benda pengabul permintaan. Kekuatan si monyet membuat korban-korban random berjatuhan. Hingga 25 tahun kemudian saat Bill yang kini sudah punya anak dan Hal sudah tidak pernah komunikasi lagi, monyet yang harusnya udah mereka buang itu kembali membuat orang-orang di sekitar mereka mati dalam kejadian yang tidak terduga.

Aslinya sih si monyet main simbal, tapi karena Disney maka jadi drum

 

Perkins kayaknya udah ngabisin semua stok disturbing dan seriusnya di Longlegs (2024), karena yang dia sajikan di The Monkey benar-benar kayak berkebalikan. Adegan-adegan horor di The Monkey melibatkan adegan-adegan mati, tapi semuanya begitu random dan diceritakan dengan tone humor yang kuat di baliknya. Bayangkan nonton Final Destination, tapi adegan matinya dibangun lalu dilepaskan tapi bukan untuk hanya kengerian, melainkan lebih ke ngajak kita ngetawain random atau misterinya kematian. Adegan matinya tetep ngeri dan berdarah-darah, cuma disajikannya dalam gambar yang lucu. Kayak ketika ada seseorang yang terbakar, dia berlarian panik di dalam rumahnya. Yang kita lihat actually adalah pantulan dirinya berlari dengan kepala terbakar dari kacamata hitam yang dipakai patung di dalam rumah. Lalu bahkan saat berlari, sebelah kakinya masuk ke baskom, udah kayak adegan di film warkop banget ga tuh. ‘Freak Accident’ harusnya memang super freaky dan film ini tepat sasaran soal itu.

Selain dari adegan kematian, dialog-dialog film ini juga lucu. Hampir nihilistic bahasan film ini menyoal kematian jika ditinjau dari obrolan para karakter. Mereka akan menyebut mati itu pasti terjadi, mati itu menakutkan, random, tapi kadang juga karakternya pengen seseorang mati. Kayak Bill kepada Hal, saudara kembarnya sendiri. Dinamika dua bersaudara yang jadi karakter sentral ini enggak seperti karakter anak kembar pada umumnya. Mereka basically saling benci, yang satu tipikal anak cupu, yang satunya tipikal anak sok bandel. Bahkan ketika mereka ‘bersatu’ untuk mengalahkan mainan monyet itu pun, mereka saling “aku akan pura-pura sedih jika kau terbunuh” to each other face. Sorotan utamanya adalah Bill, si cupu yang terbully. Perjalanan Bill dipotret dari saat mereka kecil hingga loncat 25 tahun kemudian saat Bill punya keluarga sendiri, saat dia harus bangun koneksi dengan putranya sendiri sambil menjaga jarak karena dia takut keluarganya dalam bahaya jika suatu saat mainan monyet itu kembali. Dan semua itu dia lakukan sambil menjaga rahasia yaitu dia tidak punya sodara. Bill dan Hal, keduanya, sama-sama semacam menjalani kehidupan yang tertutup – for slightly different reasons – tapi benang merahnya sama. Tentang takut sama kematian yang di titik itu mereka belum bisa sepenuhnya memahami randomness dan kepastian dari kematian itu sendiri.

Jadi in way, keacakan dan kepastian dari kematian itu seperti sisi kembar yang seperti cerminan dari mereka sendiri Dua sisi yang berlawanan. Yang jelas, mau segimana pun gak cocoknya, kehidupan tidak pernah kebetulan.

 

Perkara kutukan monyet, The Monkey memang sepertinya berangkat dari istilah Monkey’s Paw. Itu loh, cerita pendek horor tentang cakar monyet pengabul permintaan tetapi kejadian akhir setiap permintaan itu selalu punya dampak mengerikan. Seperti cerita pengabulan permintaan pada umumnya, cerita itupun bersifat cautionary tale supaya kita berhati-hati dengan harapan, supaya kita lebih bijak dalam menginginkan sesuatu. Di film ini, benda terkutuknya juga monyet, tapi monyet mainan penabuh drum. Setiap kali kuncinya diputar, si monyet akan menabuh drum, dan setelahnya, akan jatuh satu korban. However, kapan si monyet mulai bermain musik, ataupun siapa yang bakal mati, itu sangat random dan tidak bisa ditebak. Apalagi dikendalikan. Materi aslinya dari Stephen King sebenarnya lebih serius menjadikan makhluk terkutuk ini kayak mainan setan dan ngasih dread ke seluruh kota. Versi filmnya juga gitu, seisi kota Maine kena demam ‘freak accident’, tapi film ini menggiringnya ke vibe komikal, dari gimana kerandoman freak accident itu terjadi di background saat karakter utama berjalan melintas kota. Sutradara memilih untuk mengembrace sisi konyol dari mainan yang menyebabkan kematian – yang bahkan at one point nonton ini aku kepikiran sendiri apa monyet itu benar menyebabkan kematian atau mungkin malah sebaliknya, dia hanya main drum ketika mau ada kematian di sekitar yang memutar kunci. Dia beneran penyebab atau cuma messenger? Ketakutan kita terhadap hal konyol seperti pertanda kematian itulah yang dikuarkan oleh pilihan kreatif film ini.

Jadi menurutku, pilihan film untuk menjadi lebih ke horor komedi membuat hasilnya jadi lebih fresh tanpa benar-benar mengurangi muatan ataupun kehororan film ini sendiri. Malah bisa dibilang membuatnya jadi lebih mantap secara tematik.

Pemanasan sebelum nonton Final Destination.

 

Yang bikin film ini agak kendor sebenarnya adalah dramanya. Look, I know ini horor hiburan dan targetnya adalah adegan-adegan kematian yang absurd, tapi tetap saja tulang punggung cerita ini adalah relasi antara Bill dan Hal. Bahasan inilah yang tidak mendalam dilakukan oleh naskah. Simpelnya, kita tidak tahu kenapa mereka begitu berlawanan, kenapa Hal sampai senang membully Bill. Film hanya mengestablish dinamika mereka, dan meminta kita untuk menerimanya tanpa ada eksaminasi lebih lanjut. Sehingga karakter-karakter ini masih di permukaan.  Alasan kenapa Bill merahasiakan Hal aja gak begitu kena ke kita. Kita hanya tahu kenapa, tapi tidak ikut merasakan bobotnya. Seperti apa dampak dia merahasiakan itu kepada dirinya sendiri. Pilihan-pilihan dramatis yang dibuat oleh si karakter jadi ikut tersaru ke dalam kejadian-kejadian random akibat ‘ulah’ si mainan monyet. Menurutku film ini harusnya bisa lebih nendang lagi jika lebih mengetatkan bahasan drama antarkarakternya.

 




Kalo udah urusan kematian, gak ada yang namanya permintaan. Kita tidak bisa mengharapkan seseorang untuk mati begitu saja, karena kematian tidak bisa dikendalikan. Pasti, tapi bergerak dalam desain misterius yang tidak kita ketahui. Sehingga tidak pernah sebagai sebuah kebetulan. Beda ama film. Film yang tayang di bioskop, bisa kita prediksi ‘umurnya’ berapa. Tinggal lihat jumlah penonton di hari pertama. Film ini, menurutku punya potensi yang bagus untuk bertahan lama, karena walau gak seram secara konvensional, tapi punya banyak adegan kematian yang seru. Ngeri tapi cara kamera ataupun film menceritakannya sangat kocak. Bisa dibilang film ini punya selera humor yang agak laen. Di balik cerita kutukan mainan, film ini punya drama antara saudara kembar yang gak akur. Kegakakuran mereka dipotray dengan fresh dan kocak juga, tapi butuh ataupun bisa untuk dibahas lebih mendalam mengenai hubungan mereka untuk membuat film lebih padet. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE MONKEY.

 




That’s all we have for now.

Jadi bagaimana menurut kalian tentang si mainan monyet itu, apakah dia memang pembawa petaka atau dia hanya ‘peniup sangkakala’?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



NOCTURNE Review

“No one remembers who came in second.”
 

 
 
Enggak ada yang bakal ingat sama pemenang kedua. Saat juara pertama dielukan, dikenang sebagai hero dan pemenang sejati, si rangking dua hanya akan dipandang sebagai lawan yang dikalahkan. Rintangan yang berhasil dilewati. Bagaimana pun juga yang ada di urutan kedua tetaplah akan berada di dalam bayang-bayang urutan kesatu. Berapa banyak yang bicarain Neil Amstrong dan berapa banyak yang ingat duluan sama Buzz Aldrin ketika membicarakan manusia yang menjejakkan kaki di bulan. Pokoknya jadi yang kedua itu gak enak deh. Plek. Bagi kalian yang merasa seperti demikian, yang setuju tidak ada yang peduli sama si nomor dua, yang mengkhawatirkan diri sendiri karena berada di posisi tersebut, maka horor karya Zu Quirke akan lebih beresonansi dan powerful. Karena film ini bercerita tentang si Nomor Dua yang sudah muak berada di bawah bayang-bayang keberhasilan, yang sudah eneg dibandingkan. Yang memutuskan untuk keluar mencuatkan diri karena dia merasa mampu dan bosan mengalah.
Juliet (menakjubkan range negatif dan melankolis yang mampu ditunjukkan oleh Sidney Sweeney) terlahir dua menit lebih lama dari saudara kembarnya, Vivian. Posisi yang kemudian dia sesali ini tampak sudah digariskan kepadanya sejak di dalam kandungan. Juliet selalu menjadi nomor dua terhadap apapun yang dilakukan Vivian (Madison Iseman dengan klop memainkan kontras bagi karakter Juliet). Kedua saudari ‘wombmate’ ini sama-sama kepincut piano saat masih balita. Keduanya terus berlatih sehingga menjadi jago. Namun hanya Vivian yang mendapat ‘hadiah’. Vivian dapat undangan masuk universitas musik ternama. Vivian dapat pacar. Vivian digembleng guru terbaik (dan termirip Chef Juna). Vivian dapat kepercayaan ditunjuk sebagai pianist utama dalam konser musik klasik yang udah jadi tradisi kelulusan di sekolah musik mereka. Sementara Juliet dapet apa? Nihil. Selain perasaan tertinggal, kurang percaya diri, dan iri terhadap Vivian. Juliet bahkan tidak punya teman karena sibuk menutup diri. Menempa diri supaya bisa keluar dari bayang Vivian, supaya bakatnya direcognize oleh orang. Belakangan, Juliet mendapatkan sesuatu yang bahkan tidak dipunya oleh Vivian. Sebuah buku memo musik berwarna hitam, dengan simbol matahari dan gambar-gambar seram di dalamnya. Buku tersebut memberikan ‘semangat’ baru bagi Juliet. Yang menjadi nekat untuk terang-terangan berkompetisi dengan Vivian, meskipun gambar-gambar seram di buku itu mulai terwujud satu per satu ke kehidupan Juliet dan sekitarnya.

Bukunya mirip Death Note, cuma ini notenya not balok.

 
 
Nocturne mengeksplorasi gagasan horornya tentang berada di posisi kedua tersebut ke dalam nada-nada suram. Membuat ceritanya terasa efektif sebagai horor yang manusiawi, meskipun ada unsur supernatural di dalam. Efektif, dan juga cerdas. Supernatural tersebut dimainkan sedemikian rupa sehingga membuat kita penasaran. Tidak pernah dijelaskan terlalu gamblang; film tidak menghamparkan semua jawaban. Aku senang sekali film ini berhasil mengelak dari trope ‘research misteri supernatural’ seperti yang biasa dilakukan oleh film-film horor. Kita tidak melihat ada karakter yang meriset lewat google ataupun paranormal sebagai device gampang ketika naskah butuh untuk memaparkan informasi atau ‘aturan dunia’. Karena memang film ini bijak sekali, dia tahu dia tidak perlu memaparkan berlebihan. Justru film menguatkan psikologi karakter, sehingga mental dan supernatural itu secara alami bakal beririsan. Eventually membuka ruang bagi kita para penonton untuk memikirkan misterinya.
Kompetisi dan kecemburuan antarsaudara digambarkan oleh film ini jauh dari gaya-gaya mainstream. Interaksi antara Juliet dan Vivien berkembang, mulai dari akrab saling membutuhkan hingga apart saat mereka mulai jujur terhadap ‘uneg’ masing-masing. Film tidak berlebihan menggambarkan konfrontasi mereka. Sudut pandang Juliet tetap nomor satu di sini (yea, meskipun tokohnya adalah si nomor dua – loser dari saudaranya). Bahasa visual film tergambar kuat. Sekali lihat saja kita bisa tahu bahwa saudari kembar ini begitu berbeda, yang satu tertutup, kurang gaul, sedangkan yang satunya lagi bagai matahari dalam lingkungan pergaulannya. Dan seketika itu juga kita ditarik ke pertanyaaan kenapa mereka begitu berbeda dan bagaimana masing-masing memaknai perbedaan mereka tersebut. Di sinilah elemen horor menjalankan fungsi. Sebagai kepingan jawaban dari pertanyaan tadi. Kepingan yang kita susun lewat adegan demi adegan surealis. Menyaksikan film ini persis seperti menonton seorang penari yang melenggak lenggok mistis, mengundang kita untuk menyelami makna tariannya.
Sebagai sebuah cerita horor dalam kehidupan pemusik, maka sudah barang tentu musik itu sendiri berperan besar di dalam penceritaan. Sebagai ‘teman’ dari visual ngeri, dengan cahaya-cahaya menyilaukan, menjembatani persepsi kita soal mana yang nyata mana yang bukan, dihadirkanlah musik yang benar-benar unik. Menjadi nyawa bagi film ini. Kepentingan musik latar itu semakin menjadi-jadi tatkala film menyelaraskannya dengan editing. Dengan sesekali membentrokkan musik dengan peristiwa yang sedang kita lihat. Ini merupakan teknik membangun ekspektasi. Ketika kita secara natural mengharapkan adegan tertentu bakal diisi oleh musik klasik seperti yang sebelumnya dilakukan oleh film, mendadak film tidak melakukannya. Melainkan dengan musik lain, yang lebih ngetekno. Menciptakan sensasi gak-cocok yang creepy, yang secara konteks cocok sekali dengan perasaan yang ingin dihantarkan oleh adegan tersebut. Dan meski bersandar pada kekuatan ‘magis’ musik, film ini tidak sekalipun menggunakan jumpscare. Padahal ada banyak adegan yang nature-nya adalah untuk bikin kaget. Seperti pundak yang dicolek dari belakang dan ternyata yang nyolek itu temannya, atau adegan horor beneran ketika wajah menyeramkan mendadak muncul di cermin. Film ini imannya kuat. Dia tidak menyerah pada napsu mainstream untuk bermain kaget-kagetan. Musiknya dibiarkan mengalun minimalis. Menjaga kita tetap dalam posisi siaga, tanpa ampun, karena tidak memberikan outlet untuk melepaskan himpunan kengerian tersebut lewat teriakan kaget yang singkat.

Posisi dua sebenarnya tidak buruk, melainkan sebuah posisi mulia. Sebuah tempat yang seringkali menjadi rumah untuk sebuah pengorbanan. Jika saja Juliet mengingat pepatah bahwa mengalah bukan berarti kalah, maka tentulah ia tidak akan jadi secemburu itu. Mengalah bukan berarti tidak mampu. Namun memang benar adanya bahwa tidak semua orang mampu untuk tetap positif berada di posisi itu.

 

Malah ada studi yang mengungkap, orang-orang justru lebih bahagia berada di posisi tiga dibanding posisi dua.

 
 
Pembahasan tentang ‘nomor-dua’ di film dilakukan dengan subtil dan juga tidak pernah berlebihan. Naskah juga memparalelkannya dengan dunia musika yang jadi panggung cerita. Yang nyatanya adalah sikap sang pembuat terhadap masalah dalam menjadi nomor dua tersebut. Sikap dan gagasan ini dapat kita simak saat adegan jamuan ulang tahun si Kembar. Pada adegan tersebut, para karakter berdiskusi soal musik klasik yang kini telah kalah populer dengan musik elektronik, atau rap, atau apapun yang diimplikasikan oleh salah satu karakter. Jawaban karakter satunya mengenai keadaan tersebut – musik klasik adalah nomor dua dalam hal ini – menjadi pernyataan yang layak kita semua renungkan. Karena bagaimanapun juga, purpose sesuatu di dunia ini bukanlah mutlak untuk menjadi yang ter-nomor satu, entah itu terbaik, terpopuler atau apalah. Seringnya berbagai hal menempati posisi tertentu sebagai suatu bagian dari desain yang lebih besar, dan enggak semua hal berhak untuk berada di posisi tersebut. Karena posisi tidak selamanya mencerminkan kita medioker atau bukan. Adegan obrolan ini punya bobot yang besar, diceritakan dengan subtil pula. Tak lain, ini membuktikan kehandalan sutradara dan penulis dalam bercerita.
Perjuangan Juliet akan begitu menghantui. Kelam dan lantang oleh ‘bisikan-bisikan’ yang bikin kita merinding juga menontonnya. Dengan pacing yang sebenarnya cukup terjaga, ada beberapa momen di film yang sekiranya bisa dibuat lebih dinamis lagi. Bayangkan Suspiria (1977) dan Black Swan (2010), film ini nuansa creepynya persis kayak gabungan dua film itu. Maka ia bisa menjadi sedikit terlalu banyak untuk penonton. Film mestinya bisa lebih go easy sedikit, kita perlu lebih banyak melihat interaksi Juliet dan Vivian, terutama saat mereka masih akrab – atau setidaknya Juliet masih mampu menahan kecemburuannya. Dan kupikir kita memang perlu melihat lebih banyak lagi mereka akrab karena percakapan terakhir mereka seharusnya merupakan kebalikan penuh dari dinamika mereka di awal cerita. Plot/perkembangan mereka harusnya ‘berakhir tengkar namun Juliet memahami kesalahannya’ dari yang tadinya ‘akrab tapi Juliet masih diliputi kecemburuan’. Pada bagian awal, film lebih dari cukup dalam menampilkan Juliet masih diliputi kecemburuan. Hanya soal ‘akrab’nya saja yang tak benar-benar kelihatan karena cerita dimulai saat Juliet sudah krisis diri seperti yang kita saksikan. Jadi, buatku plot cerita ini mestinya bisa lebih melingkar lagi.
 
 
 
Dari empat film yang dikeluarkan Blumhouse sebagai kwartet di Halloween tahun ini (tayang di Amazon) aku baru nonton dua film. Dan setelah kecewa berat sama The Lie (2020), semangatku untuk meneruskan nonton kwarter ini menggebu lagi begitu kisah Juliet dan Vivian ini beres aku saksikan. Film ini jauh lebih baik daripada The Lie. Horornya benar-benar terasa, menghantui psikologis kita yang merasa tidak dihargai ataupun merasa kecil karena harus mengalah di dalam bayang-bayang si nomor satu. Film ini bermain dengan pribadi manusia lewat audio dan visual yang sama-sama creepy. Lebih dari satu kali, aku senang film ini memilih opsi yang membuat dirinya tidak terjauh ke jurang horor-mainstream dengan jumpscare ataupun suara jeger-jeger ataupun twist murahan. Film ini punya irama horor sejati, yang bisa jadi sudah dinomorduakan oleh industri sinema horor, tapi film ini tetap mempertahankannya. And I like it!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NOCTURNE

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan studi yang mengungkap orang-orang cenderung lebih senang di peringkat ketika dibandingkan kedua. Mengapa kira-kira bisa seperti itu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA