“No one remembers who came in second.”
Enggak ada yang bakal ingat sama pemenang kedua. Saat juara pertama dielukan, dikenang sebagai hero dan pemenang sejati, si rangking dua hanya akan dipandang sebagai lawan yang dikalahkan. Rintangan yang berhasil dilewati. Bagaimana pun juga yang ada di urutan kedua tetaplah akan berada di dalam bayang-bayang urutan kesatu. Berapa banyak yang bicarain Neil Amstrong dan berapa banyak yang ingat duluan sama Buzz Aldrin ketika membicarakan manusia yang menjejakkan kaki di bulan. Pokoknya jadi yang kedua itu gak enak deh. Plek. Bagi kalian yang merasa seperti demikian, yang setuju tidak ada yang peduli sama si nomor dua, yang mengkhawatirkan diri sendiri karena berada di posisi tersebut, maka horor karya Zu Quirke akan lebih beresonansi dan powerful. Karena film ini bercerita tentang si Nomor Dua yang sudah muak berada di bawah bayang-bayang keberhasilan, yang sudah eneg dibandingkan. Yang memutuskan untuk keluar mencuatkan diri karena dia merasa mampu dan bosan mengalah.
Juliet (menakjubkan range negatif dan melankolis yang mampu ditunjukkan oleh Sidney Sweeney) terlahir dua menit lebih lama dari saudara kembarnya, Vivian. Posisi yang kemudian dia sesali ini tampak sudah digariskan kepadanya sejak di dalam kandungan. Juliet selalu menjadi nomor dua terhadap apapun yang dilakukan Vivian (Madison Iseman dengan klop memainkan kontras bagi karakter Juliet). Kedua saudari ‘wombmate’ ini sama-sama kepincut piano saat masih balita. Keduanya terus berlatih sehingga menjadi jago. Namun hanya Vivian yang mendapat ‘hadiah’. Vivian dapat undangan masuk universitas musik ternama. Vivian dapat pacar. Vivian digembleng guru terbaik (dan termirip Chef Juna). Vivian dapat kepercayaan ditunjuk sebagai pianist utama dalam konser musik klasik yang udah jadi tradisi kelulusan di sekolah musik mereka. Sementara Juliet dapet apa? Nihil. Selain perasaan tertinggal, kurang percaya diri, dan iri terhadap Vivian. Juliet bahkan tidak punya teman karena sibuk menutup diri. Menempa diri supaya bisa keluar dari bayang Vivian, supaya bakatnya direcognize oleh orang. Belakangan, Juliet mendapatkan sesuatu yang bahkan tidak dipunya oleh Vivian. Sebuah buku memo musik berwarna hitam, dengan simbol matahari dan gambar-gambar seram di dalamnya. Buku tersebut memberikan ‘semangat’ baru bagi Juliet. Yang menjadi nekat untuk terang-terangan berkompetisi dengan Vivian, meskipun gambar-gambar seram di buku itu mulai terwujud satu per satu ke kehidupan Juliet dan sekitarnya.
Nocturne mengeksplorasi gagasan horornya tentang berada di posisi kedua tersebut ke dalam nada-nada suram. Membuat ceritanya terasa efektif sebagai horor yang manusiawi, meskipun ada unsur supernatural di dalam. Efektif, dan juga cerdas. Supernatural tersebut dimainkan sedemikian rupa sehingga membuat kita penasaran. Tidak pernah dijelaskan terlalu gamblang; film tidak menghamparkan semua jawaban. Aku senang sekali film ini berhasil mengelak dari trope ‘research misteri supernatural’ seperti yang biasa dilakukan oleh film-film horor. Kita tidak melihat ada karakter yang meriset lewat google ataupun paranormal sebagai device gampang ketika naskah butuh untuk memaparkan informasi atau ‘aturan dunia’. Karena memang film ini bijak sekali, dia tahu dia tidak perlu memaparkan berlebihan. Justru film menguatkan psikologi karakter, sehingga mental dan supernatural itu secara alami bakal beririsan. Eventually membuka ruang bagi kita para penonton untuk memikirkan misterinya.
Kompetisi dan kecemburuan antarsaudara digambarkan oleh film ini jauh dari gaya-gaya mainstream. Interaksi antara Juliet dan Vivien berkembang, mulai dari akrab saling membutuhkan hingga apart saat mereka mulai jujur terhadap ‘uneg’ masing-masing. Film tidak berlebihan menggambarkan konfrontasi mereka. Sudut pandang Juliet tetap nomor satu di sini (yea, meskipun tokohnya adalah si nomor dua – loser dari saudaranya). Bahasa visual film tergambar kuat. Sekali lihat saja kita bisa tahu bahwa saudari kembar ini begitu berbeda, yang satu tertutup, kurang gaul, sedangkan yang satunya lagi bagai matahari dalam lingkungan pergaulannya. Dan seketika itu juga kita ditarik ke pertanyaaan kenapa mereka begitu berbeda dan bagaimana masing-masing memaknai perbedaan mereka tersebut. Di sinilah elemen horor menjalankan fungsi. Sebagai kepingan jawaban dari pertanyaan tadi. Kepingan yang kita susun lewat adegan demi adegan surealis. Menyaksikan film ini persis seperti menonton seorang penari yang melenggak lenggok mistis, mengundang kita untuk menyelami makna tariannya.
Sebagai sebuah cerita horor dalam kehidupan pemusik, maka sudah barang tentu musik itu sendiri berperan besar di dalam penceritaan. Sebagai ‘teman’ dari visual ngeri, dengan cahaya-cahaya menyilaukan, menjembatani persepsi kita soal mana yang nyata mana yang bukan, dihadirkanlah musik yang benar-benar unik. Menjadi nyawa bagi film ini. Kepentingan musik latar itu semakin menjadi-jadi tatkala film menyelaraskannya dengan editing. Dengan sesekali membentrokkan musik dengan peristiwa yang sedang kita lihat. Ini merupakan teknik membangun ekspektasi. Ketika kita secara natural mengharapkan adegan tertentu bakal diisi oleh musik klasik seperti yang sebelumnya dilakukan oleh film, mendadak film tidak melakukannya. Melainkan dengan musik lain, yang lebih ngetekno. Menciptakan sensasi gak-cocok yang creepy, yang secara konteks cocok sekali dengan perasaan yang ingin dihantarkan oleh adegan tersebut. Dan meski bersandar pada kekuatan ‘magis’ musik, film ini tidak sekalipun menggunakan jumpscare. Padahal ada banyak adegan yang nature-nya adalah untuk bikin kaget. Seperti pundak yang dicolek dari belakang dan ternyata yang nyolek itu temannya, atau adegan horor beneran ketika wajah menyeramkan mendadak muncul di cermin. Film ini imannya kuat. Dia tidak menyerah pada napsu mainstream untuk bermain kaget-kagetan. Musiknya dibiarkan mengalun minimalis. Menjaga kita tetap dalam posisi siaga, tanpa ampun, karena tidak memberikan outlet untuk melepaskan himpunan kengerian tersebut lewat teriakan kaget yang singkat.
Posisi dua sebenarnya tidak buruk, melainkan sebuah posisi mulia. Sebuah tempat yang seringkali menjadi rumah untuk sebuah pengorbanan. Jika saja Juliet mengingat pepatah bahwa mengalah bukan berarti kalah, maka tentulah ia tidak akan jadi secemburu itu. Mengalah bukan berarti tidak mampu. Namun memang benar adanya bahwa tidak semua orang mampu untuk tetap positif berada di posisi itu.
Pembahasan tentang ‘nomor-dua’ di film dilakukan dengan subtil dan juga tidak pernah berlebihan. Naskah juga memparalelkannya dengan dunia musika yang jadi panggung cerita. Yang nyatanya adalah sikap sang pembuat terhadap masalah dalam menjadi nomor dua tersebut. Sikap dan gagasan ini dapat kita simak saat adegan jamuan ulang tahun si Kembar. Pada adegan tersebut, para karakter berdiskusi soal musik klasik yang kini telah kalah populer dengan musik elektronik, atau rap, atau apapun yang diimplikasikan oleh salah satu karakter. Jawaban karakter satunya mengenai keadaan tersebut – musik klasik adalah nomor dua dalam hal ini – menjadi pernyataan yang layak kita semua renungkan. Karena bagaimanapun juga, purpose sesuatu di dunia ini bukanlah mutlak untuk menjadi yang ter-nomor satu, entah itu terbaik, terpopuler atau apalah. Seringnya berbagai hal menempati posisi tertentu sebagai suatu bagian dari desain yang lebih besar, dan enggak semua hal berhak untuk berada di posisi tersebut. Karena posisi tidak selamanya mencerminkan kita medioker atau bukan. Adegan obrolan ini punya bobot yang besar, diceritakan dengan subtil pula. Tak lain, ini membuktikan kehandalan sutradara dan penulis dalam bercerita.
Perjuangan Juliet akan begitu menghantui. Kelam dan lantang oleh ‘bisikan-bisikan’ yang bikin kita merinding juga menontonnya. Dengan pacing yang sebenarnya cukup terjaga, ada beberapa momen di film yang sekiranya bisa dibuat lebih dinamis lagi. Bayangkan Suspiria (1977) dan Black Swan (2010), film ini nuansa creepynya persis kayak gabungan dua film itu. Maka ia bisa menjadi sedikit terlalu banyak untuk penonton. Film mestinya bisa lebih go easy sedikit, kita perlu lebih banyak melihat interaksi Juliet dan Vivian, terutama saat mereka masih akrab – atau setidaknya Juliet masih mampu menahan kecemburuannya. Dan kupikir kita memang perlu melihat lebih banyak lagi mereka akrab karena percakapan terakhir mereka seharusnya merupakan kebalikan penuh dari dinamika mereka di awal cerita. Plot/perkembangan mereka harusnya ‘berakhir tengkar namun Juliet memahami kesalahannya’ dari yang tadinya ‘akrab tapi Juliet masih diliputi kecemburuan’. Pada bagian awal, film lebih dari cukup dalam menampilkan Juliet masih diliputi kecemburuan. Hanya soal ‘akrab’nya saja yang tak benar-benar kelihatan karena cerita dimulai saat Juliet sudah krisis diri seperti yang kita saksikan. Jadi, buatku plot cerita ini mestinya bisa lebih melingkar lagi.
Dari empat film yang dikeluarkan Blumhouse sebagai kwartet di Halloween tahun ini (tayang di Amazon) aku baru nonton dua film. Dan setelah kecewa berat sama The Lie (2020), semangatku untuk meneruskan nonton kwarter ini menggebu lagi begitu kisah Juliet dan Vivian ini beres aku saksikan. Film ini jauh lebih baik daripada The Lie. Horornya benar-benar terasa, menghantui psikologis kita yang merasa tidak dihargai ataupun merasa kecil karena harus mengalah di dalam bayang-bayang si nomor satu. Film ini bermain dengan pribadi manusia lewat audio dan visual yang sama-sama creepy. Lebih dari satu kali, aku senang film ini memilih opsi yang membuat dirinya tidak terjauh ke jurang horor-mainstream dengan jumpscare ataupun suara jeger-jeger ataupun twist murahan. Film ini punya irama horor sejati, yang bisa jadi sudah dinomorduakan oleh industri sinema horor, tapi film ini tetap mempertahankannya. And I like it!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NOCTURNE
Setujukah kalian dengan studi yang mengungkap orang-orang cenderung lebih senang di peringkat ketika dibandingkan kedua. Mengapa kira-kira bisa seperti itu?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA