BLOOD RED SKY Review

“Stop hate spread”

 

 

Baru saja kita mengira genre vampir sudah mati, datanglah hemoglobin fresh yang dipompakan oleh film ini ke aliran darah genre tersebut. Blood Red Sky memang bukan baru yang baru banget. Melainkan terasa unik karena hadir seperti gabungan dari Snakes on the Plane, thriller pembajakan pesawat, dan Train to Busan! Film ini juga nyatanya adalah thriller di ruang tertutup yang terjalin sempurna dengan horor vampir dengan muatan komentar keadaan sosial kita. Oh betapa sutradara dan penulis naskah Peter Thorwarth paham betul mencerminkan keadaan di dunia nyata ke dalam cerita genre yang ia buat, seperti yang sudah dibuktikannya saat menulis skenario untuk The Wave/Die Welle (2008); film yang bercerita tentang guru yang menjadikan kelasnya sebagai negara fasis sebagai eksperimen untuk murid-murid. 

Dalam pesawat Translantic di Blood Red Sky ini, Thorwarth mempertemukan mitologi vampir dengan kapitalis dan juga agama. Secara simpel dia mempertanyakan siapa yang sebenarnya teroris di sini, si vampir ataukah si Islam, atau malah ada jawaban yang lain. Blood Red Sky dari Jerman ini ditampilkan sarat dan serius (bayangkan membuat vampir sebagai sesuatu yang senyata teroris penyebar kebencian) tapi tidak pernah terasa berat karena film ini masih bernapas thriller yang brutally fun

bloodSQKmHr5zTG-4ATTegl4WzDHLO1DrjxPX9y
Antara jadi kangen dan tidak kangen naik pesawat

 

Seperti yang sudah direveal oleh posternya, film ini tidak membuang waktu dan energi untuk menjadikan kondisi protagonisnya sebagai sebuah twist yang gak perlu. Film ingin supaya kita bisa langsung merasakan beban dramatis dan kesulitan yang bercokol pada ibu-anak Nadja dan Elias. Mereka menumpangi pesawat malam ke Amerika, untuk mencari pengobatan terhadap kondisi Nadja. Sementara orang-orang di sekitar, seperti Farid, menyangka Nadja mengidap Leukimia, kita penonton sudah merasa gamang melihat Nadja sebagai orang yang lagi ‘nahan selera’ masuk ke toilet untuk menginjeksikan obat yang tampak menyakitkan baginya. Hal tidak menjadi semakin mudah bagi Nadja, sebab pesawat yang mereka tumpangi ternyata berisi kelompok teroris yang ingin menabrakkan/menjatuhkan pesawat, dengan menjadikan penumpang muslim seperti Farid sebagai kambing hitam. Serius deh, kita belum pernah melihat pesawat yang membawa segitu banyak combustible elements, literally and metaphorically, sebelumnya. Dan ‘ledakan’ pertama akhirnya beneran terjadi; Nadja yang terdesak oleh keselamatan Elias akhirnya mau tak mau untuk menunjukkan taringnya.

Jangan kira dengan adanya vampir baik-sayang-anak di atas pesawat, masalah akan bisa cepat beres. Terorisnya tinggal dibunuh satu persatu kan? Nope! Naskah Thorwarth tidak pernah menetapkan ‘Vampir lawan Teroris’ di sini sebagai sesuatu yang sederhana. Di atas pesawat yang mengudara yang basically ruang-tertutup itu tidak membuat naskah ikut-ikutan sempit. This is the most amazing part of the movie. Thorwarth berhasil untuk terus menggali masalah, tidak pernah sekalipun ada kemudahan. Suspens cerita terus naik dengan konsisten sepanjang dua jam durasi. Nadja tidak bisa begitu saja membunuh para teroris yang cukup pintar dan gak blo’on tersebut. Karena dia harus memastikan bad blood-nya tidak nurun ke mereka; dia harus memastikan tidak ada yang jadi vampir karena ulahnya. Dan itu baru ‘langkah/tantangan termudah’ dalam skenario. Rintangan terus memuncak, terutama karena vampir bukanlah pahlawan. People won’t just cheer for them. Cerita mencapai point-of-no return saat teroris yang paling psikopat punya ide liar untuk mengubah dirinya sendiri menjadi vampir.

Semua itu berlangsung dengan hubungan antara Nadja-Elias sebagai inti emosional cerita. Jika ada yang kita belum yakin di awal cerita, maka itu adalah soal apakah Elias tahu tentang keadaan ibunya. Sementara kelihatannya akan tragis kalo Elias baru tahu di atas pesawat ini dan jadi takut kepada Nadja, tapi ternyata untungnya film ini tahu lebih baik. Mereka terbukti mampu menggali lebih banyak momen dramatis dengan membuat bukan saja Nadja yang ingin melindungi Elias dengan merelakan dirinya semakin menuruti naluri vampir, tapi juga sebaliknya. Momen-momen Elias mengkhawatirkan keselamatan sang ibu yang semakin inhuman dan berbahaya bagi orang sekitar – membuat nyawa Nadja sendiri semakin terancam juga berperan besar untuk menyampaikan feelings. Kita jadi benar-benar merasakan stake yang berlaku dua arah. Kita bukan hanya jadi peduli dan ingin mereka selamat, tapi more importantly kita ingin mereka bisa bersama-sama. Peri Baumeister sebagai Nadja hebat banget di sini mainin ekspresi menembus make up yang harus dia kenakan sebagai ibu vampir. Dan kemudian the dramatic irony hits. Kita sadar kita tahu apa yang bakal terjadi. Emosi yang melanda turut kita rasakan sangat besar saat adegan Nadja dan Elias di dekat pintu pesawat yang terbuka, pada menjelang akhir.

Nonton film orang naik pesawat ini akan membuat kita justru seperti sedang naik roller coaster. Kita takut, kemudian kita ikut senang, kemudian takut lagi. Karena film selalu menemukan tantangan dan kesusahan untuk dilalui oleh protagonis yang vulnerable. Pada beberapa waktu film yang make up dan violencenya sudah seram ini menjadi terlalu dark, seperti Nadja yang harus memakan anjing yang tak bersalah. Terkadang film juga menjadi terlalu komikal dengan menampilkan teroris psikopat bernama Eightball yang penampilan aktingnya memang over-the-top. Hebatnya film enggak pernah struggle untuk mengembalikan tone menjadi ke titik imbang. Blood Red Sky ini juga mengemban tugas untuk membuat vampir dan agama hadir bersama tanpa jadi lawan bagi yang lain. Vampir di sini tidak digambarkan sebagai makhluk fantasi, melainkan lebih seperti produk berdosa dari sebuah dark-sains. Rule vampir dikembangkan dengan hati-hati sehingga berhasil tetap make sense bagi kita ketika ada vampir yang masih bisa punya kesadaran dengan yang total haus darah dan lebih bertindak kayak zombie. Film nge-treat vampir dan agama dengan sama respeknya. Dan semuanya dimainkan untuk menambah konteks dalam narasi. Ke dalam komentar yang dilakukan oleh film. Kayak, gimana seorang muslim kesusahan menerangkan dirinya bukan teroris sementara kita tahu konsekuensinya jika dia tidak dipercaya maka vampir-vampir itu akan membahayakan dunia luar.

Sebenarnya yang paling diparalelkan di sini, adalah kutukan vampir dan kebencian. Protagonis cerita ingin memastikan kutukannya tidak tersebar, Nadja tidak ingin menciptakan vampir baru, dia percaya vampir harus disembuhkan. Sementara para pembajak pesawat, mereka ingin menyebarkan virus kebencian mereka terhadap satu agama, dengan framing ‘teroris’ yang mereka lakukan kepada sekelompok bangsa. Film dengan mantap memilih posisinya berpijak.

 

Hal sepele yang dilakukan oleh film ini, yang menurutku tak kalah amazing adalah film ini berani untuk benar-benar menuntaskan ceritanya. Enggak nyimpan benih-benih sekuel kalo-kalo ntar filmnya laku. Semuanya selesai. Mereka merapikan chaos di akhir cerita. Jarang kayaknya zaman sekarang ada film horor, yang dibuat untuk pasar mainstream yang tidak berakhir dengan twist, atau cliffhanger yang memohon untuk kita menginginkan dibikin sekuelnya. Dan ini memang sesuai dengan konteks yang diusung oleh pesan atau value yang dipercaya oleh film. Kutukan itu harus dihentikan. Kebencian itu harus distop. Diberangus. 

Blood-Red-Sky-1
Vampir di sini wujudnya ngereference Nosferatu, yang merupakan film vampir pertama yang pernah dibuat (1922)

 

Meskipun punya aksi menegangkan yang superseru dan statement yang kuat, sebagai result dari penulisan yang matang, sayangnya film ini belum dibarengi dengan arahan bercerita yang solid. Untuk membuat ceritanya tampil lebih engaging, Thorwarth menggodok naskahnya ke dalam bangunan cerita yang banyak flashback. Blood Red Sky dimulai dari salah satu adegan klimaks, kemudian mundur kembali ke awal, you know kayak standar thriller-thriller Hollywood. Sayangnya ini justru membuat perspektif cerita tumpang tindih. Jadi aneh ketika cerita ini ditampilkan seolah kisah yang dituturkan oleh Elias yang sedang ditanyai oleh perawat, tapi nanti kita juga melihat flashback berupa asal muasal Nadja menjadi vampir saat Elias bayi. Dan lagi, keseluruhan cerita kejadian di atas pesawat itu lebih terasa seperti sudut pandang Nadja, tidak pernah terasa seperti perspektif dari Elias. Jadi bangunan berceritanya terasa bahkan lebih kacau daripada saat nanti vampir-vampir zombie mulai beringas di dalam pesawat.

Padahal sebenarnya bisa saja mereka melakukan dengan linear. Mulai dari origin Nadja, ke kejadian di pesawat, terus penyelesaian. Perpindahan perspektif dari Nadja dan Elias akan bisa terlihat lebih natural dengan diceritakan secara linear begitu. Akan lebih menguatkan degradasi kemanusiaan Nadja jika perspektifnya tidak lagi bisa lanjut dan cerita harus pindah ke Elias. Atau, kalau memang maunya pake flashback dan cerita yang bermaju-mundur ria, kenapa tidak semuanya saja dibikin sebagai flashback memory dari Nadja, sesaat sebelum dia benar-benar udah total jadi vampir buas. Dengan dibuat kayak gitu, tidak akan ada pergantian atau malah tumpang tindih perspektif seperti yang kita lihat di film ini. Karena memang sebenarnya gak perlu ada pergantian. Toh karakter yang benar-benar ada pengembangan memang hanya si Nadja seorang kok.

 

 

 

Menilai film ini buatku rasanya kayak jantungku ditusuk ama pasak kayu. Aku benar-benar suka film ini. Aku enjoy nonton sepanjang durasinya. Ini adalah perfect horor thriller ruang-tertutup dengan suspens yang berhasil terus ditingkatkan tanpa terasa ngada-ngada atau dipanjang-panjangin. Interaksi dan reaksi para karakter di sini terasa genuine. Seimbang antara serius dengan seru/menghibur. Dan juga, film ini tidak terasa kayak korporat punya. It is so freeing menonton cerita utuh, yang semuanya kerasa tuntas tas tas! tanpa ada meninggalkan beberapa hal ‘lewat’ untuk sekuelnya nanti. Karena itulah maka rasanya perih sekali melihat film ini punya kelemahan yang cukup fundamental. Yakni struktur penceritaan. Perspektifnya di sini tumpang tindih. Berupa kisah yang diceritakan tapi juga ada flashback dari yang bukan si pencerita. Pergantian sudut pandang utama juga tidak mulus dikarenakan bentukan penceritaannya ini. Film ini benar-benar seperti vampir si Nadja. Bermaksud baik, tapi kasar dan ‘deadly’ dalam penyampaiannya
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BLOOD RED SKY

 

 

 

That’s all we have for now

Film ini punya poin menarik bahwa teroris yang sebenarnya ternyata hanyalah orang-orang rakus yang hendak mengatur ekonomi dan politik, dan tak ragu untuk ngeframe orang-orang demi melakukannya. Bagaimana pendapat kalian tentang ini? Mengapa bisa-bisanya orang menyebar kebencian seperti demikian?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

JAKOB’S WIFE Review

“It is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages”

 

 

Menurut kalian horor yang bagus itu yang gimana sih? Jawaban yang kerap aku dengar setiap kali ngajuin pertanyaan itu adalah yang hantunya serem, atau yang pembunuhnya jahat, lagi sadis. Tentu saja, yang pasti, horor yang bagus itu adalah yang bisa bikin kita ngeri.  Persoalannya justru terletak pada bagaimana membuat kita merasa ngeri tersebut. Tidak bisa dengan hanya menampilkan hantu atau zombie atau psycho-killer. Mereka sebenarnya cuma bikin kaget. Ngeri itu datang dari kedekatan drama yang menjadi situasi pada cerita. Ya, drama. Horor yang bagus seringkali adalah horor yang berhasil membumbui drama yang relate terhadap banyak penonton dengan elemen horor semacam hantu, monster, dan kawan-kawannya.

Sutradara Travis Stevens mencoba untuk membuat Jakob’s Wife sebagai horor yang bagus. Di sini, dia meletakkan elemen vampir penghisap darah  ke dalam permasalahan suami-istri yang telah menikah demikian lama tanpa pernah merasakan compassion dalam berumah tangga.

Jadi menurut kalian pernikahan yang bagus itu yang gimana sih? Yang langgeng? Yang suami-istrinya gak pernah berantem? Pasalnya, Anne sudah tiga-puluh tahun menikah dengan Jakob, seorang pendeta terkemuka di kota mereka. Mereka gak pernah ribut, tapi tetap saja Anne merasa hidupnya menyedihkan. Hampa. Dia hanya duduk di sana, setia mendampingi suaminya. ‘Istri Jakob’, itulah identitasnya selama ini. Sampai akhirnya peristiwa mengerikan itu menimpanya. Anne digigit vampir. Perempuan itu merasa ada sesuatu yang bangkit di dalam dirinya. Dia merasa lebih hidup seiring perubahan yang terjadi di dirinya dan korban-korban berjatuhan di sekililingnya. Dan sekarang, pernikahannya yang menjemukan mungkin bisa berubah menjadi lebih sehat.

Jakobs-Wife-Trailer
Sekarang dia bisa dikenal sebagai si Vampir Tikus

 

Jakob’s Wife ini baru proyek film panjang kedua bagi Stevens. Film pertamanya tayang tahun lalu, dan juga telah kureview, berjudul Girl on the Third Floor (2020). Horor juga, dan aku suka meskipun film tersebut agak ‘segmented’. Alias agak susah dicerna oleh selera pasar. Sedari film tersebut, Stevens sudah mulai ngebuild up kelincahannya bergelut dengan budget yang gak banyak-banyak amat. Girl on the Third Floor berisi banyak praktikal efek untuk menghidupkan rumah yang seperti tubuh-hidup sendiri, mengeluarkan banyak cairan dan hal-hal bikin gak enak lainnya. Majukan satu tahun ke depan, Stevens ternyata masih cakap dalam bermain efek-efek seperti demikian. Jakob’s Wife juga meriah oleh efek-efek (kali ini lebih ke arah gory ketimbang nasty) yang membuat horor ala kelas B ini menjadi semakin grounded seramnya. Kita akan melihat vampir dengan mata merah berdarah-darah, kita akan melihat vampir yang meminum darah langsung dari leher korban yang kepalanya terbelah. Kita akan melihat luka-luka seperti gigitan di leher yang masih berdenyut, mulut yang menghitam terbakar sinar ultraviolet. Penonton yang punya perut sedikit lebih tebal, akan mengapresiasi film ini dengan nilai lebih. Untuk penonton yang perutnya ‘normal’, film ini masih punya hal lain yang bisa diapresiasi. Khususnya di bagian kedalaman dan bobot cerita.

Dua dari dua film horor Travis Stevens ini sebenarnya punya agenda kekinian. Filmnya yang pertama tadi membahas masalah toxic masculinity dari sudut pandang seorang pria. Sementara, filmnya yang kedua ini menilik soal perempuan yang identitasnya ditentukan oleh pria yang menjadi pasangannya. Sebagai manusia, Anne hanyalah istri seorang Jakob. Sedangkan saat sudah jadi vampir pun, dirinya menjawab kepada Master yang mengendalikan. Tidak sekalipun pada kedua film tersebut, Stevens bersikap terlalu mengagungkan agenda-agenda tersebut. Dalam film Jakob’s Wife ini, ya Anne si perempuan terkukung dalam relasi yang gak sehat. Zona nyaman yang dituntutkan baginya adalah sebagai pendamping pasif sang suami. Suami yang bahkan enggak pernah mendengarkan opini dirinya sampai selesai. Anne selalu disela dan dikecilkan. Suami yang kata Anne bahkan tidak pernah berjuang untuk dirinya. Namun film ini menggali dengan seimbang. Kita juga diperlihatkan seperti apa bagi suami yang pendeta tersebut.

Jika biasanya cerita seperti ini akan berakhir dengan pihak yang ‘bersalah’ akan kalah dan dihilangkan. Diberi ganjaran. Solusi tergampangnya tentu saja adalah dengan menunjukkan perempuan tidak perlu lelaki. Maka tidak ada jalan gampang yang diberikan oleh film ini. Baik Anne maupun Jakob, mereka tampak mau berjuang demi pernikahan mereka. Kita dapat melihat bahwa mereka sebenarnya memang saling cinta. Dan mereka memang berusaha untuk memperbaiki apa yang salah. Pada hubungan Anne dan Jakob inilah film mencapai kedalaman yang membuat ceritanya worthy untuk kita saksikan dan kita pedulikan.

Kebebasan seorang perempuan diperlihatkan cukup dengan perubahan sikapnya terhadap transformasi yang terjadi. Melihat Anne mengubah penampilan (bukan untuk gaya-gayaan melainkan untuk menutupi luka gigitan dan sebagainya), memindahkan sofa dan perabotan berat di ruang tamu rumahnya sesuka hati, berusaha berkompromi dengan nafsu laparnya terhadap darah; Melihat Anne menyukai dirinya yang sekarang, lebih terasa ketimbang harus melihat dia menaklukan orang-orang yang selama ini mengecilkannya. Anne tidak pernah bersikap seperti korban. Dan sikapnya ini mendorong Jakob untuk ‘bertransformasi’ juga. Pria itu kini harus belajar untuk mempercayai perempuan, untuk menganggap sosoknya sebagai seorang yang sejajar. Tipe kompromi ini jelas lebih kuat daripada kompromi protagonis dengan antagonis di I Care a Lot (2021) yang terasa dipaksakan, karena tidak ada dasar kemanusiaan yang relate di sana. Anne dan Jakob punya cinta, sehingga kita bisa paham darimana konflik dan aksi mereka berasal.

Rumah tangga Anne dan Jakob adalah salah satu bentuk dari rumah tangga yang abusif. Meskipun tidak dengan kekerasan, tapi nyatanya it sucked the life outta them, terutama Anne. Sesungguhnya ini adalah komentar untuk rumah tangga serupa di luar sana. Film ini ingin mengingatkan bahwa penyebabnya bukan karena tidak ada cinta. Melainkan masing-masing perlu untuk merasakan kembali sebagai teman, bahkan mungkin bisa juga sebagai lawan.

 

Untuk menghidupkan relasi utama yang menjadi poros film ini, Stevens mempercayakan Anne dan Jakob kepada dua aktor ikon horor 80-90an; Larry Fessenden dan Barbara Crampton (Barbara juga merupakan salah satu produser film ini). Dua aktor yang sudah berpengalaman di genre ini, dikawinkan naskah yang subtil dan karakter yang tidak satu-dimensi; now that is the perfect marriage untuk sebuah sinema! Mereka beneran terlihat sebagai pasangan tua yang udah mulai gerah hingga ke ubun-ubun, dan mencoba hidup rutin sebiasa mungkin. Tapi efeknya terasa ketika kita melihat mereka dalam ruang pribadi masing-masing. Barbara menghapus lipstik yang baru saja dikenakan oleh Anne karakternya. Larry yang ngasih ceramah soal menyayangi istri tapi tidak sekalipun melirik ke istrinya di barisan depan. Dan ketika mereka actually berinteraksi, dalam ‘setting’ yang udah berbeda, maaan interaksi dan chemistry Barbara dan Larry ini adalah kunci. They played off each other so good.  Mereka bisa tampak vulnerable, bisa tampak intens (ngomongin masalah rumah tangga dan vampir tentu tak bisa tanpa melibatkan hubungan badan yang hot), dan malah juga bisa lucu.

jakobcm-punk-wwe-1000x600
CM Punk muncul sebagai surprise entra.. eh salah, surprise cast

 

Naskah film memang bermain di garis komedi selain di garis dramatis. Selera komedi film ini boleh dibilang cukup lucu juga. Demi membuild up nafsu, sekaligus transformasi Anne, misalnya. Film menggunakan banyak shot gigi. Entah itu karakter yang lagi gosok gigi, ataupun saat mengunyah makanan. Dialog-dialog lucu juga digunakan, seringnya untuk mengomentari persoalan perempuan  yang didominasi atau di bawah power laki-laki. Aku ngakak ketika mendengar Anne kesel telah dipersalahkan oleh Jakob. Anne jadi korban diubah jadi vampir, namun tetap dia juga yang dipersalahkan karena itu. Komentar-komentar dalam film ini menyerang seperti demikian. Tidak terasa annoying, melainkan sangat cerdas.

Meskipun memang, komedi-komedi itu membuat film menjadi kurang imbang, secara tone. Ada adegan yang kesannya seram sekali, yang kesannya sangat serius, namun kemudian momentum itu terasa seperti sirna dengan adegan yang ‘nyeletuk’ seperti komedi tadi. Konsekuensi yang datang menyusul beberapa tindakan karakter juga seperti lenyap begitu saja ketika film menjadikan penyambungnya berupa komedi. Film ini belum sepenuhnya berhasil membangun jembatan yang pas untuk menyatukan dua tone yang berbeda jauh tersebut. Horor dengan komedi sesungguhnya memang dua elemen yang sukar untuk dimainkan. Banyak horor yang lebih bijak sebelum ini yang tergagap juga ketika berpindah dari drama ke komedi. Film ini mencoba, dan memang masih belum mulus. Mungkin hasil akhirnya bisa lebih baik jika film ini langsung fokus jadi komedi aja, atau jadi drama aja sedari awal. Sehingga style-nya lebih mencuat dan kentara. But that’s okay, ini baru karya kedua. Masih punya banyak ruang untuk menjadi semakin bagus.

 

 

 

 

Horor yang digarap Travis Stevens kali ini lebih terjangkau untuk penonton, tidak lagi ‘segmented’ seperti film pertama. Karena yang dibahas di sini di balik elemen vampirnya adalah soal rumah tangga yang enggak sehat. Juga menyinggung soal peran perempuan bagi lelaki. Semua itu dimainkan dengan dramatis yang menyerempet komedi. Menghasilkan tontonan yang menghibur, walau terkadang terasa kurang balance. Film ini didukung pertama oleh permainan akting yang hebat dari dua ikon horor pada masanya. They hit a lot of range together. Aspek genre horornya sendiri, tak ketinggalan, juga dibuat dengan sama menghiburnya. Ada makhluk menjijikkan, ada misteri, ada darah dan potongan tubuh. Penggemar horor sejati jelas tidak akan melewatkan film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for JAKOB’S WIFE.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Jadi setelah menonton ini, apakah kalian sudah punya gagasan perihal pernikahan yang bagus itu yang seperti gimana?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA