“Celebrate our differences”
Monster juga sama kayak manusia. Punya rasa, punya hati. Buktinya, Dracula yang kini sudah menjomblo beratus-ratus tahun mulai merasa kesepian. Kita lihat dia diam-diam main Tinder versi monster. Namun dari sekian banyak “Ping”, Drac belum juga menemukan yang benar-benar nge-”Zing!”. Meskipun belum tahu soal gundah gulana ayahnya, toh Mavis kasian juga demi ngelihat gelagat Drac. Vampir cewek ini mikir, mereka sekeluarga butuh liburan, Drac butuh jalan-jalan keluar dari kesibukan di Hotel. Jadi, Mavis nge-book perjalanan naik kapal pesiar untuk seluruh keluarga dan kerabat monster. Liburan mewah khusus monster sehingga Drac bisa bertemu dan kenalan ama mahluk-makhluk baru. Mulai dari yang seram, yang berbulu, yang bermata banyak, yang manusia, hingga ke yang berusaha membinasakan keluarga mereka.
Sutradara Genndy Tartakovsky – yang kali ini juga turut menulis naskahnya – mempertahankan keunggulan yang dimiliki Hotel Transylvania sejak film pertama; keunikan desain para tokohnya. Pada film ketiga ini, bahkan animasi mereka tampak lebih ‘liar’ lagi. Aku benar-benar menikmati level kreativitas yang dihadirkan oleh film ini, karena hal itulah yang sebagian besar membuat kita bertahan menonton film ini. Kita akan penasaran komedi apalagi yang bakal mereka eksplorasi in regards of karakteristik dan kemampuan dari masing-masing monster. Lelucon dan animasi film ini bukan tipikal animasi normal, katakanlah seperti Pixar. Menonton film ini akan lebih terasa seperti menonton kartun konyol Bugs Bunny ketimbang Toy Story. Latar belakang Tartakovsky sebagai pembuat kartun-kartun Nickelodeon semacam Dexter’s Laboratory dan Samurai Jack benar-benar menunjukkan taringnya. Salah satu sekuen ‘gila’ favoritku adalah ketika Drac dan dunsanaknya terbang naik pesawat, yang dikelola oleh makhluk-makhluk Gremlin. Banyak sekali candaan sehubungan dengan apa yang Gremlin lakukan – you know, bahwa mereka adalah makhluk perusak. Di penerbangan paling-tak-nyaman tersebut, pramugara pramugari kru kabin Gremlin gak peduli sama penumpangnya, lihat saja gimana cara mereka menangani koper dan masker udara. Ada banyak momen seperti demikian, yang membuat kita tertawa tanpa merendahkan IQ, lantaran ada kreativitas dan tentu saja pesan di dalamnya.
Satu hal lagi yang dilakukan berbeda oleh Tartakovsky adalah gimana dia membuat kontinuitas terhadap tokoh, dengan tidak mengorbankan komedi yang ia sampaikan. I mean, detil seperti Dracula yang tertancap sejumlah anak panah, dan di adegan berikutnya anak panah tersebut masih ada di badannya – tidak lantas menghilang kayak di animasi kebanyakan – adalah bukti bahwa kekonyolan yang ada di permukaan tersebut enggak dibuat asal-asalan. Ada pemikiran di baliknya, ada perhatian ekstra yang diberikan oleh pembuatnya. Dalam istilah singkat, filmnya boleh tampak ugal-ugalan, tapi tidak sembarangan receh.
Hotel Transylvania 3 benar-benar total – lebih sebagai film kartun yang menghibur, akan tetapi tidak membuat kita merasa seperti orang blo’on. Kita bisa menikmati keunikan tokoh-tokohnya, kita menertawakan situasi yang menimpa mereka. Sekaligus kita bisa mengapresiasi imajinasi dan pesan tersembunyi yang dimiliki film seputar manusia dan monster dapat hidup berdampingan.
Dari segi cerita, memang Hotel Transylvania 3 ini bisa dengan mudah kejegal. Jika film pertama membahas mengenai halangan cinta antara vampir dan manusia, dan film kedua menelaah soal ketakutan Drac apakah keturunannya malah menjadi makhluk mortal ketimbang mengikuti garis darah abadinya, maka film kali ini tak lebih dari sekadar liburan keluarga. Khas Adam Sandler banget! Kita bisa mengritik gimana film ini udah gak sesuai ama judulnya lagi, karena tempatnya udah bukan di Hotel. Kita bisa nyeletuk bahwa cerita film ini hanya sekedar rentetan lelucon dan seri sketsa komedi konyol tentang monster. Tubuh utama cerita adalah tentang teman dan keluarga Drac yang berusaha untuk membantu si “Blah-blah-blah” mendapatkan pasangan baru, dan enggak banyak yang bisa kita salami dari permukaan cerita ini. Dalam cahaya yang positif, bagaimana pun juga, film ini mencoba untuk mencari keseimbangan antara hiburan untuk anak kecil dan orang dewasa. Karena film ini diniatkan untuk menjadi ‘Liburan Keluarga’ yang sesungguhnya.
Ketika anak-anak terhibur oleh wajah-wajah seram yang sudah mereka anggap lucu, karakter-karakter yang sudah mereka kenal, para orang dewasa niscaya akan bisa mendapat lebih dari humor yang dituturkan oleh film ini. Sebab banyak humor ‘bapak-bapak’ yang diselipin dalam adegan-adegan film ini. Seperti misalnya ketika keluarga manusia serigala yang punya anak satu RT melihat tempat penitipan anak di kapal. Anaknya segitu banyak, beberapa mereka gendong, atau lebih tepatnya gelayutan di badan begitu saja, dan sisanya berlarian ke sana ke mari. Dua pasang manusia serigala ini tak punya waktu kosong, sibuk ngurusin anak, muka mereka kelihatan letih sekali. Dan ketika mereka mendengar penitipan anak itu bilang mau mengurusin anak mereka, by choice – you know – reaksi mereka mendengar “by choice” ini benar-benar bikin terbahak. Yang aku paham anak kecil gak akan ngerti karena ini merujuk kepada pemahaman bahwa anak-anak mereka itu semua karena ‘kecelakaan’ sebab mereka adalah werewolve yang ‘buas’. Jadi, memang film ini memfokuskan diri dalam menyeimbangkan lelucon yang bisa mereka gali dari karakteristik tokoh-tokohnya, alih-alih kedalaman cerita. Bahkan ada lelucon mengenai tentakel yang seratus persen anak kecil belum ngeh di mana lucunya.
Semua makhluk diciptakan berbeda, bahkan manusia punya warna kulit, rambut, bentuk wajah yang berbeda. Kita tidak harus meniadakan perbedaan tersebut, embrace it. Karena yang terpenting adalah bukan bagaimana kita dan mereka adalah sama, melainkan adalah kita bisa mengapresiasi setiap orang meskipun berbeda dengan kita. Pesan inilah yang bisa dibawa pulang oleh anak kecil, dan semoga mereka mengaplikasikannya dalam hidup mereka yang masih tak-berdosa.
Sesuka-sukanya aku sama arahan kreatif film ini. Sama gimana presisinya timing dan editing dan penyampaian yang mereka punya. Toh, kurangnya elemen kebaruan masih terasa mengganggu buatku. As far as the storytelling goes, nyaris tahap demi tahap ceritanya bisa kita tebak. Siapapun yang pernah menonton film bakal bisa menyimpulkan ke arah mana cerita akan berjalan. Kita akan mengantisipasi pilihan-pilihan yang bakal diambil oleh para tokoh dan apa yang terjadi sesudahnya. Yang bikin beda cuma karena film ini bergerak dengan cepat, dan betul-betul edan. Mereka mengerahkan semuanya demi kekocakan dan hiburan. Satu hal yang took me by surprise, dan aku gak bisa bilang aku menyukainya, adalah ujung-ujungnya masalah selesai lewat tarian dan nyanyian. Jenaka, tapi aku akan lebih suka kalo film mengeset elemen ini sedari awal, sedari sepuluh menit pertama. Sebab, dari saat aku menonton, adegan flashback di awal tersebut terlihat kayak melandaskan film ke arah yang totally berlawanan dengan nyanyi-nyanyian. Mereka ngebuild Dracula dengan musuh bebuyutannya, Abraham Van Helsing, manusia yang sangat membenci monster dan bagaimana Dracula bisa meloloskan diri darinya. Dan later, kita mendapat konfrontasi di antara kedua orang ini dalam sebuah show down yang terasa seperti out-of-place buatku.
Film yang banyak memakai referensi monster-monster bersejarah sebagai materi komedinya ini memang tidak akan tercatat di dalam buku sejarah sebagai animasi klasik yang berpengaruh besar dalam dunia perfilman. Ia bahkan tak sanggup melebihi film pertamanya, meski aku pikir seimbang dengan film yang kedua. Tapi dia digarap dengan perhatian khusus sehingga menjadi sajian yang total menghibur, namun tidak terasa totally receh. Gila dan tampak kacau, memang, tapi bukan sesuatu yang tidak bisa diapresiasi oleh seluruh anggot akeluarga yang menontonnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HOTEL TRANSYLVANIA 3: A MONSTER VACATION.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017