DILAN 1991 Review

“It’s hard to resist a bad boy who’s a good man”

 

 

Dilanjutkan langsung dari timeline pada film pertama yang tayang satu tahun lalu, film Dilan 1991 sukses – sukses dalam membuatku merasa seperti peramal. Ya, peramal kayak Dilan. Tetapi Dilan sepertinya ogah disamain sama aku, maka di film kedua ini dia berubah menjadi tukang hipnotis. But still, aku yang bukan peramal merasa seperti peramal. Lantaran yang kutuliskan sebagai saran-saran pada apa yang kumaknai sebagai kekurangan pada Dilan 1990; Milea yang sebagai tokoh utama enggak benar-benar melakukan apa-apa, konflik yang begitu sederhana sehingga nyaris ada, kenapa kita merasa tidak melihat Dilan dalam ‘cahaya’ yang benar – apa yang kutuliskan sebagai cara untuk ‘memperbaiki’ film tersebut, dilakukan oleh film ini.

Dilan 1991 terasa lebih punya ‘sesuatu’ untuk kita tonton. Konfliknya lebih terasa, meskipun memang semua itu semestinya sudah ada tapi tidak digali pada film pertama. Milea sendiri akhirnya banyak beraksi, kita bisa merasakan karakternya seperti apa di sini. Cewek ini tidak lagi terasa seperti kertas putih yang menunggu untuk ditulisi oleh karakter lain, karena sekarang kita bisa melihat jelas inginnya apa, pilihan dan tindakan apa yang ia ambil kita paham kenapa diambil olehnya. Walaupun, ya memang, tidak ada perubahan antara Milea di sini dengan di film sebelumnya. Hanya ‘kelihatan’ saja. Dalam film pertama kita melihat secercah kecil keinginan Milea sehubungan dengan Dilan; apa yang menjadi konflik pada dirinya. Dalam review pertama itu aku menuliskan sebenarnya adegan Milea membersihkan kamar Dilan tanpa izin merefleksikan keinginan Milea untuk ‘memperbaiki’ Dilan, namun film tersebut mangkir dari pembahasan itu. Kita baru mendapatkannya di Dilan 1991 ini.

Milea adalah gadis baik-baik yang jatuh cinta sama cowok anak geng motor. Mereka berdua akhirnya jadian, sepertinya tidak ada yang bisa memisahkan hubungan mereka, dan mulailah drama relationship itu. Milea ingin Dilan berhenti dari hobi berantem antar geng, dia tidak mau Dilan terlibat masalah lagi. Dan bentuk-bentuk tindakan Milea membawa Dilan ke jalan yang lurus inilah yang menyebabkan konflik dalam hubungan asmara mereka yang baru seumuran biji jagung. Babak kedua adalah bagian terbaik yang dimiliki oleh film ini. Karena kita benar-benar melihat naiknya intensitas tindakan yang dilakukan oleh Milea. Dia ngambek, ngancem putus, berusaha kenal Dilan lebih dekat lewat keluarga cowok tersebut. Mungkin memang terlihat silly, atau mungkin sepele, but that’s pretty much an ordinary school girl can do. Film bekerja dengan benar dalam lingkup dunianya.

reference/easter egg menyenangkan yang kutemukan kali ini; Milea baca majalah Gadis jadul! You know, Vanesha kan alumni Gadis Sampul

 

Film ini paham betul pentingnya membuat cerita yang bisa gampang beresonansi kepada anak-anak muda, atau bahkan ibu-ibu; romantisasi yang dilakukannya gencar sekali. Bukan hanya dari gombalan yang dilontarkan Dilan, bukan sebatas dialog yang bikin geli, melainkan juga dari gestur-gestur kecil. Seperti gestur tangan sebagai pengganti ciuman; menurutku hal tersebut efektif dan well-done sekali. Babak pertamanya mungkin bakal terasa sedikit giung, terutama oleh penonton-penonton cowok yang ‘dipaksa’ nonton ama pacar atau sengaja nonton biar dapat pacar. Karena memang struktur ceritanya agak aneh. Di awal-awal itu kita bahkan gak yakin inciting incident-nya apa, benturannya apa. Semua yang terjadi di film adalah sudut pandang dari seorang cewek sehingga masuk akal ketika momen-momen manis jatohnya jadi kayak dengerin gadis cilik main rumah-rumahan ama boneka. Itulah yang harus kita endure di babak awal.

Kepentingan film ini datang dari relasi antara Milea dengan Dilan itu sendiri, namun bukan dari gombal-gombalannya.

Cerita Milea pada Dilan 1991 menunjukkan ‘ngerinya’ seorang cewek polos yang jatuh cinta. Lumrahnya selalu cewek baik merasa tertarik kepada bad-boy, karena mereka ingin memperbaiki si badboy. Memang banyak kisah cinta manis datang dari tema seperti begini. Tapi yang dialami oleh Milea jadi mengerikan, rasa ingin memperbaiki orang yang dialami oleh gadis-gadis di luar sana jadi berbahaya, tatkala mereka jadi merasa bertanggungjawab atas perbuatan atau perilaku yang dilakukan oleh si badboy. Manis segimanapun, bukan hubungan yang sehat untuk Milea. Karena dia tanpa sadar menciptakan kekangan emosional pada dirinya, dan terutama kepada Dilan.

 

Bukan tanpa alasan aku mengatakan film ini sebenarnya bercerita tentang bagaimana cewek lebih tertarik pada cowok gak bener. Mari kita lihat cowok-cowok di sekitar Milea. Kang Adi, guru les privat yang naksir padanya, tokoh ini manipulatif dengan gampangnya dia menukar saran ketika Milea pura-pura kesal kepada Dilan – bagaimana dia berusaha ikut campur lewat keluarga Milea hanya untuk mendapatkan Milea. Terus ada si Guru Bahasa Indonesia yang sok kecakepan, ngirim-ngirimin Milea puisi (selain alasan ini, aku benar-benar gak ngerti kenapa elemen guru naksir murid SMA ini musti ada di cerita). Lalu ada Yugo, sepupu jauh Milea yang kurang ajar itu clearly seorang psikopat, I mean dia pakek sweater turtleneck kayak Ted Bundy, senyumnya pun mirip senyum Ted Bundy. Tiga cowok tersebut masing-masing melambangkan machiavellianism, narcissism, dan psychopathy. Tiga traits yang membentuk personalitas yang dinamakan Dark Triad. Sisi gelap pada manusia. Dan coba tebak? Dilan punya ketiga sifat tersebut; dia sering bohong tentang kegiatan geng motornya, dia suka gombal seolah dirinya yang paling cinta sama Milea, dan dia gak segan-segan berbuat kasar kepada orang lain. Dan ya, Milea jauh lebih tertarik kepada Dilan dibandingkan ketiga cowok tersebut. Tapi Dilan bisa saja seorang bad boy tapi Milea melihatnya sebagai cowok jantan. Milea melihat secercah sisi terang Dilan yang disinari kepadanya, and she wants more, yang membuatnya di mata Dilan tampak seperti mengekang.

Dalam menangani relasi berbahaya tersebut, film menurutku mengambil arahan yang benar. Film berulang-ulang menyebut ‘jadian’, ‘menikah’, gak mau kehilangan Dilan, dan fakta bahwa pertanyaan pada utama yang berusaha dipancing naskah adalah apakah Milea bakal terpisah dari Dilan mewanti-wanti kita bahwa semua hal tersebut adalah pembangunan yang dilandaskan sehingga perpisahan mereka akan terasa emosional. Buat yang pengalaman menonton, yang jeli melihat naskah, jelas cerita ini akan berakhir dengan kedua tokoh berpisah karena hanya dengan itulah pembelajaran yang melandasi journey tokohnya dapat tercapai.

Karena terkadang kita harus menerima bahwa kita tidak bisa mengubah orang secara total. Lebih sehat bagi Milea untuk melepaskan semua tangisnya dan pada akhirnya melepaskan Dilan.

 

Membuat pasangan yang memenangkan Couple of the Year My Dirt Sheet Awards 8Mile awal tahun ini berpisah adalah hal yang benar. Dalam review Dilan 1990 aku menyebut film tersebut barulah akan terasa punya arti jika kita melihat seperti apa Milea dewasa; antara dia bersama Dilan, atau mungkin tidak bersama – bahkan tidak bersamanya pun masih bisa berarti banyak; Dilan meninggal atau apa. Konklusi tersebut kita dapat di film ini, kita akhirnya tahu kenapa Milea menceritakan kisahnya kepada kita, namun keputusan akhirnyalah yang membuatku sedikit heran. Mungkin memang film ingin gali drama sebesar-besarnya, tapi menurutku pilihan akhir cerita tersebut adalah pilihan yang ‘berani’. Selalu bagus ada film yang berani, namun tidak senantiasa terasa selalu benar. Ini bukan cerita kemenangan dalam kegagalan yang biasa aku sukai. Milea gagal, akan tetapi dia juga tidak menang. Lantaran di akhir cerita dia masih belum bisa melihat apa yang dia butuhkan. Film melakukan lompatan waktu di babak ketiga (actually walaupun judulnya berangka 1991, hanya tiga puluh menit terakhir yang berlatar di waktu tersebut) di mana tidak ada perubahan pada Milea. Film ditutup dengan kegagalan mencapai yang diinginkan serta Milea juga tidak berhasil melihat apa yang sebenarnya ia butuhkan. It’s really a bold choice to end a story like this. Kenapa film membuat Milea dan Dilan seperti tidak bahagia dengan keadaan mereka sekarang. Milea tidak mendapat kemenangan apapun dari cerita ini.

mungkin ceritanya dibuat seperti itu sebagai ‘pukulan’ telak dari si jagoan berantem lantaran Dilan gak bakal pernah literally mukulin cewek

 

Dan juga, membuat babak akhir tersebut benar-benar seperti diseret-seret. Sama seperti pada film pertama, cerita seperti sudah usai namun film tak kunjung berakhir. Masih ada aja adegan yang tidak mengubah apa-apa. Dalam kasus film kedua ini, aku bisa membayangkan penonton yang mengharapkan Milea dan Dilan bersatu terus tertarik ulur perasaannya, diphp-in sama adegan yang seolah happy ending. Keseluruhan bangunan cerita film ini menurutku masih bisa dibuat lebih rapi lagi, dengan lebih menguatkan lagi konflik dan apa yang harus dilalui Milea. Tapi memang, buatku beginilah seharusnya film Dilan yang kita saksikan dahulu. Menurutku jika film ini digabung dengan film pertama yang bland dan nyaris tak ada kejadian yang terjadi, maka akan menghasilkan cerita yang lebih padat dan film yang menarik. Karena pemisahan kedua film ini tampak aneh, baik dari segi timeline (banyak lompatan waktu yang seolah narasinya benar-benar harus sesuai waktu di buku) dan juga dari segi karakter. Mereka bisa bikin satu film yang benar-benar bagus dari dua film ini.

 

 

Kita harus menunggu satu tahun, satu film lagi, untuk mendapat penceritaan tentang Milea dan Dilan yang dilakukan dengan lebih baik. Menurutku, film ini lebih terasa seperti rewrite dari cerita sebelumnya ketimbang sebuah sekuel. Karena sebenarnya semua poin alurnya sama. Bedanya cuma di film pertama, film dan aksinya tak tampak. Sedangkan pada film ini, semuanya lebih jelas. Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla mendapat kesempatan range yang lebih banyak; Iqbaal actually ditantang untuk lebih jauh bermain emosi yang subdue, lewat ekspresi, Vanesha juga dikasih banyak adegan nangis – yang mana adalah bagian terlemah dari aktingnya. Ceritanya memang lebih emosional. Selebihnya tidak banyak perubahan, karena film masih memilih untuk berada di taraf yang gak benar-benar kompleks.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold star for DILAN 1991.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Benarkah cewek lebih tertarik pada bad-boy? Apakah cowok baik memang kurang menarik?

Dan bagaimana menurut kalian tentang Hari Dilan? Apakah praktek menguasai bioskop bisa termasuk ke dalam bentuk penjajahan terhadap konsumen?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

FOXTROT SIX Review

“Why don’t presidents fight the war?”

 

 

 

Lirik lagu band System of a Down tersebut mungkin bakal terngiang-ngiang di kepala kita saat menyaksikan film laga distopia Indonesia garapan Randy Korompis. Foxtrot Six pada performa terbaiknya memuat komentar politik tentang bagaimana dalam setiap kekacauan, selalu rakyat jelata yang menjadi korban. Film ini bicara tentang kelaparan dalam rentang mulai dari lapar makanan beneran hingga lapar kekuasaan di mana pemimpin terus saja menyuapi rakyat dengan kebohongan alih-alih makanan. Ada satu adegan menjelang akhir yang membuatku tertawa sinis ketika setelah bak-bik-buk dan gencatan senjata di ruang presiden, salah satu pintu ruangan tersebut terbuka dan masuklah sang pemimpin negara dengan biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa beberapa detik sebelumnya. Tak-terluka. Tak-bernoda. Tak tesentuh oleh semua padahal rakyat menderita atas namanya.

Kenapa bukan presiden yang ikut berperang? Bukankah pada cerita-cerita jaman dahulu para raja langsung turun dengan kudanya ke medan tempur? Karena bukan begitu cara kerja dunia sekarang. Presiden tidak ikut berperang karena bukan tugasnya, presiden harusnya adalah orang yang mencegah terjadinya perang sedari awal. Dia yang memastikan keamanan rakyat, kestabilan nasional bisa tercapai melalui perjuangannya di balik meja.

 

Presiden Indonesia tahun 2031 dalam Foxtrot Six toh memang berusaha untuk menstabilkan keadaan. Namun demi keuntungan dirinya sendiri. Dia ingin terlihat sebagai pahlawan sejati di mata rakyat. Aku mengira film akan mengembangkan motivasi tokoh ini lebih lanjut, kupikir tujuan besar si presiden adalah ingin menguasai dunia, sebab di sepuluh-menit awal kita diperlihatkan serangkaian klip-klip yang berfungsi sebagai eksposisi yang menjelaskan keadaan Indonesia saat itu di mata seluruh dunia. Gimana Indonesia jadi pusat pangan, tetapi rakyatnya menderita kelaparan sehingga tindakan kepala negara tak pelak akan jadi sorotan. Tapi ternyata cerita menguncup tatkala kita mulai memasuki wilayah tokoh protagonis; Angga, anggota Dewan yang seorang mantan tentara. Angga tadinya punya rencana untuk ‘menyelamatkan’ dunia. Kemudian rencananya tersebut disabotase, diambil alih. Dan malah Angga yang dituduhkan sebagai teroris, rencana yang ia bikin malah berbalik menyerang dirinya.

sekarang coba pikir cerita manga apa yang seperti itu, aku hitung sampai enam ya.. satu…dua…

 

Aku benar-benar langsung kepikiran manga 20th Century Boys buatan Naoki Urasawa saat menonton film ini. Kejadiannya memang gak mirip seratus persen, tapi bentukan konflik Angga dengan Presiden sangat mirip apa yang terjadi pada Kenji dan sosok pemimpin yang ia ‘lawan’; Sahabat. Rencana kanak-kanak Kenji juga dicuri oleh Sahabat, yang balik menggunakannya untuk menimpakan kesalahan pada Kenji dan kelompok. Mereka dituduh teroris dan Sahabat akan dielu-elukan rakyat dengan membasmi teroris yang ia sebut Faksi Kenji. Persis seperti apa yang terjadi pada Angga. Angga dan teman-teman mantan tentaranya diburu oleh pasukan Presiden, lantaran mereka dituduhkan sebagai teroris yang udah membuat kekacauan nasional. Hanya saja film ini bekerja dalam skala yang lebih simpel. Padahal seperti yang kubilang tadi, cukup aneh presiden hanya ingin berkuasa di negara yang kacau – maksudku, kalo memang udah mirip ya miripin aja semua sekalian. Angga pun, sebagai tokoh utama, mendapat pengembangan yang nanggung. Kita diperlihatkan bagaimana cerita menjadi personal buatnya karena ini menyangkut keluarga dan teman-temannya – seperti Kenji, hanya saja film melewatkan banyak hal penting.

Bibit drama yang mestinya berkembang dari persahabatan Angga dan rekan-rekan seketika menjadi tumpul lantaran pilihan aneh yang dilakukan oleh cerita; menge-skip bagian di mana mereka menjadi sahabat, malah langsung membawa kita ke sekuen Angga berusaha mengajak kembali satu-persatu dari mereka untuk bergabung menumpas rencana jahat negara. Tak pernah kita lihat mereka di momen-momen akrab sehingga apa yang terjadi pada masing-masing mereka sepanjang cerita akan susah untuk kita pedulikan. kasihan sih ada melihat seorang vlogger yang berusaha berbuat benar musti mati ketusuk – selalu sedih melihat orang mati – tapi sedih itu tidak sama dengan kita peduli sama karakternya. Keenam pasukan protagonis ini terlihat canggung, dan itu bukan semata karena pemerannya. Aktor-aktor kayak Oka Antara, Rio Dewanto, Verdi Solaiman, Chicco Jericho, Mike Lewis, Arifin Putra – mereka bukan aktor yang buruk, kita sudah pernah melihat mereka bermain menakjubkan di film-film sebelum ini. Hanya saja kedangkalan tokoh di Foxtrot Six membuat bahkan sekelas mereka saja tampak bingung dan enggak nyaman dalam berakting. Meskipun diberikan sifat yang berbeda, semua tokoh film ini terdengar sama. Sama-sama sarkas. Suka ngomong keras-keras. Suka tampak sok-jago. Sama-sama stoic, lifeless.

Hubungan Angga dengan anaknya – ya seperti Kenji yang punya Kanna untuk dijaga – juga tak pernah berbuah manis dan menghangatkan hati. Film sempat mengambil waktu untuk menghadirkan momen khusus untuk kedua tokoh ini, hanya saja follow-upnya tidak terasa sama sekali. Ada adegan di mana Angga harus memilih menyelamatkan anak atau Julie Estelle yang mestinya bisa banget dibuat hangat dan mengharukan sebagai kerjasama keluarga yang sudah lama terpisah. Tapi film tidak menggali adegan ini; dipersembahkan dengan datar. Angga bahkan tidak berinteraksi dengan anak tersebut sampai ke adegan konyol di dalam elevator.

Telunjuk kita mungkin akan dengan cepat menuding kepada bahasa saat kita membicarakan tentang betapa kikuknya film ini terdengar. Aku sebenarnya tak pernah melarang keputusan-kreatif menyangkut penggunaan bahasa – kalian tahu sendiri bahasa blog ini seperti apa. Yang aku pertanyakan adalah keuntungan apa yang ingin dicari dalam membebankan para aktor untuk berakting seluruhnya dalam bahasa inggris? Pikirkan seperti begini, Crazy Rich Asians (2018) sedapat mungkin menyisipkan kata bahasa Melayu dalam dialognya supaya daya tariknya tersebut langsung menonjol dan dapat dikenali oleh orang luar. Bahkan Buffalo Boys (2018) dengan sengaja menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dialog yang tadinya ditulis dengan mindset orang luar. Menggunakan bahasa inggris seluruhnya pada cerita yang bertempat di Indonesia, dengan semua aktor adalah orang Indonesia, pada film yang ditayangkan di Indonesia – apa yang mau mereka ‘jual’ dari hal tersebut? Menurutku pilihan ini tidak akan membantu banyak film ini dikenali di luar negeri. Karena tidak lagi dirinya tampak dan terdengar unik. Kalolah memang supaya terdengar akrab buat penonton luar, jangan paksakan kepada para aktor. Maksudku, anime saja dibuat dahulu versi bahasa aslinya. Kemudian saat dijual di negeri barat, dibuat dubbing resmi oleh pengisi suara yang bahasa ibunya adalah bahasa inggris. Kenapa Foxtrot Six tidak dibuat seperti demikian – kenapa tidak dibuat bener-bener supaya orang luar tertarik membuat versi dub oleh sebab melihat nuansa Indonesia yang ditampilkan. Kenapa bergerak mendahului mimpi, belum ada yang minta bahasa inggris tapi sudah dibuat untuk orang luar duluan.

mari kita berkontemplasi sambil bertelanjang dada ngeliatin papan iklan sponsor

 

Tren sinema Indonesia kepada dunia luar memang sepertinya tersemat kepada genre horor dan laga. Namun begitu, bahkan laga di film ini pun tidak memiliki jurus yang ampuh sehingga terlihat spesial. Generik banget koreografi maupun kerja kameranya. Menjadi penuh kekerasan dengan darah dan tulang belulang yang patah belum cukup untuk menyebut film ini sebuah laga yang bagus. Karena dengan duit dan CGI yang memadai, semua itu bisa tercapai. Yang terpenting tetap adalah bagaimana dunia dan ceritanya terbangun. Foxtrot Six punya teknologi yang cukup untuk menghadirkan jubah tembus-pandang ala thermoptic suit dalam Ghost in the Shell (2017) tapi tetap saja mereka ‘berhasi’ bikin adegan berlogika konyol yang bikin guling-guling sehubungan dengan jubah tersebut. Ada adegan ketika si tak-kelihatan berhadapan dengan sejumlah orang bersenjata api, dan yang ia lakukan malah ‘mengumumkan’ di mana posisi dirinya dengan mengambil tubuh satu orang dan menggerakkannya seperti perisai untuk melindungi diri dari peluru. Kenapa? Tidakkah lebih gampang kalo dia tetap tak kelihatan dan mengendap membunuh ala ninja? Lagian, kenapa orang-orang itu begitu begonya non-stop menembak padahal yang kelihatan adalah teman mereka sendiri?

 

 

 

“Quick. Simple. Graphic.” Benar-benar cocok mendeskripsikan dirinya. Dan tampaknya kitalah orang miskin yang disebut oleh film ini, yang mengira kita akan mudah terpuaskan oleh tiga hal tersebut, oleh dirinya. Kalo aku sih lapar terhadap film yang lebih berdaging. Dengan semua dialog dibawakan dalam bahasa asing dan adegan yang penuh CGI, akan jarang sekali kita menemukan hal yang tampak asli dalam film ini. Ambisi untuk menjadi spesial tersebut tak berbuah karena pada akhirnya film ini tampak seperti laga kelas-B Hollywood dengan aktor-aktor dari Indonesia. Dunia distopianya tampak seperti dunia The Purge, ceritanya kayak versi ringkasan simpel dari 20th Century Boys, dengan ending pengen dramatis seperti Glass (2019), tidak ada lagi yang spesial dipunya oleh film ini.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold star for FOXTROT SIX.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah salah jika presiden lebih memilih untuk berbohong demi menenangkan suasana di mata rakyat? Apakah pemimpin negara seharusnya langsung turun tangan memimpin perang alih-alih berdiplomasi untuk menghentikan perang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

[Readers’ NeatPick] – HIJAB (2015) Review

“Jenaka tanpa perlu menggurui. Hijab adalah bukti film mampu melucu tanpa harus menghadirkan sketsa ala komika yang belakangan ini sering menghiasi film komedi Indonesia saat ini.”Raja Lubis, Komandan Komunitas Forum Film Bandung – Pengamat Film, FTV dan Serial Televisi Indonesia.

 

 

Setiap orang tentu punya film favorit sendiri, film yang ketika ditonton pengen disebarin ke orang lain. Namun, favorit enggak mesti karena filmnya bagus loh, bisa jadi kita suka karena filmnya lucu, atau mungkin geli. Yang jelas, selama bikin blog ini aku sering dapet rekues review; mulai dari yang nyaranin film yang bagus, yang pusing, hingga yang konyol. Dan percayalah, biasanya aku langsung nyari dan nontonin film yang direkues, cuma ya memang tak sempat kutuliskan reviewnya. Kalo ada waktu ketemu temen-temen sih enak, kami bisa langsung obrolin bareng film yang ia rekues. Kalo sama temen-temen di dunia maya, gimana? Maka lantas aku kepikiran untuk bikin segmen khusus review bareng. Dinamakan [Readers’ NeatPick] karena segmen ini terbuka untuk setiap pembaca My Dirt Sheet mengajukan usulan film, dan akan kuhubungi langsung untuk mereview film tersebut bersama-sama.

Di edisi perdana ini, aku menerima usulan Raja Lubis untuk menonton film Hijab, komedi besutan sutradara Hanung Bramantyo yang dibuat dengan gaya unik, ala-ala dokumenter, yang menilik kisah sukses empat cewek mendirikan bisnis hijab. Kita akan mendengar cerita persahabatan mereka, gimana mereka memulai bisnis lantaran pengen punya ‘sesuatu’ di luar nafkah dari pasangan masing-masing, dan eventually apa yang membuat mereka mengenakan hijab.

“Film Hijab penting karena bisa dijadikan pembelajaran dari banyak aspek.”

“Jadi komedi bisa, jadi religi bisa juga ya, Mas.”

“Justru Hijab ini bisa dikatakan salah satu standar film religi yang dituturkan jenaka. Dan saya memang selalu suka pada film komedi yang punya daya untuk melakukan kritik atas isu sosial budaya yang terjadi di lingkungan sekitar. Hijab melakukannya dengan sangat baik.”

“Dan sepertinya ini memang ranahnya Hanung, kan. Dia selalu bisa menemukan cara untuk menyelipkan komentar-komentar di balik hal dan fenomena hits (saat itu).”

“Hahaha kontroversi gitu ya maksudnya? Kontroversi itu datangnya bukan dari filmnya melainkan dari sudut pandang orang yang menilainya. Terlepas dari itu, sebagai sebuah karya saya kira Hijab hanya memotret, mengkritisi fenomena sekitar dengan gayanya sendiri. Namun jika ada yang mempermasalahkan film ini dengan sudut pandangnya juga, itu pun hak mereka.”

“Gaya ala dokumenter – yang bukan dari tokoh real – ini menurutku tepat digunakan oleh Hanung, karena dia ingin memperlihatkan banyak sudut tentang hijab. Meskipun tema yang berulang di sini jelas adalah favoritnya Hanung; isu kesetaraan. Selalu soal kesetaraan. Dia, seperti yang mas bilang, memotret sehingga filmnya terasa relevan.”

“Hijab memotret dan menunjukkan tentang peran suami-istri yang berbeda-beda. Apa yang ditunjukkan oleh Hijab bukan hanya masalah relevan atau tidak relevan dengan masa kini. Tapi lebih ke menunjukkan bagaimana suami istri bekerja sama dalam berumah tangga. Dan prinsip itu akan terus berjalan sampai dunia ini berhenti berputar”

“Dinamika suami-istri di film ini mulai bergeser ketika istri merasa bosan gak ngapa-ngapain. Mereka pengen berkarya sendiri. Dan akhirnya malah jadi lebih sukses daripada suami. Film ingin membuka mata kita melihat apa sih masalah yang bisa timbul dari istri yang bekerja. Buatku film ini cukup materialistis, sih. Uang di cerita ini berperan penting; ia yang memulai dan jadi middle-ground. Suami-suami di film ini enggan ngasih izin para istri bekerja lantaran mereka punya ego. Intensitas cerita naik saat para istri ketahuan bekerja, namun jadi adem lagi begitu usaha mereka itu sukses. Aku pengen melihat apa yang terjadi kalo usaha hijab itu gagal, menurutku pembelajarannya bisa lebih besar lagi jika uang dikeluarkan dari ekuasi – seperti apa dinamikanya nanti.”

“Uang memang penting banget! Nggak ada uang hidup bakal nggak jalan. Film ini nyata seperti demikian. Makanya para istri berbisnis hijab agar bisa leluasa menggunakan uang untuk keperluan pribadinya. Dibawa ke saya sendiri; Saya mempersilakan istri bekerja selama tidak mengganggu dan menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Di zaman sekarang ini banyak profesi yang bisa dilakukan seorang istri tanpa harus keluar rumah. Tapi intinya saya memberikan kebebasan kepada istri untuk berekspresi, tentu dengan izin suaminya.”

“Hmm.. ya.. ya, aku juga kalo udah nikah kayaknya bakal bolehin istri kerja tetapi tidak saat anak masih kecil banget, aku gak bisa soalnya ngurus anak ahahaha.. Film ini juga seperti menunjukkan izin suami masih berperan besar ya. Menurutku menarik gimana dengan segala pesan kesetaraan itu, poster film malah menampilkan keempat tokoh kita sebagai boneka marionet yang dikendalikan tangan. Buatku ini low-key ngasih liat bahwa masih ada yang mengatur mereka – entah itu aturan; suami atau agama atau sosial, atau malah duit itu sendiri”

“Saya hanya melihat poster itu sebagai bentuk karikatural yang menandakan bahwa Hijab adalah film komedi. Lebih lanjutnya saya enggan berkomentar.”

“Memang sih, yang aku gak nyangka adalah betapa ringannya ternyata Hanung mengemas. Enggak sampai ke level receh, film ini punya nyali dan tidak meninggalkan rasa hormat sama sekali terhadap yang ia bicarakan, tapi memang film Hijab ini terasa beda dengan film-film Hanung lain yang lebih ‘serius’.”

“Adegan yang paling bikin ngakak banyak sih ya, secara delapan aktor utamanya bermain bagus semua. Tapi kalau yang paling saya ingat sih adegan Dijah Yellow, meski sedikit perannya tapi memorable. Kalo dari tokoh utama, saya suka sama karakter Anin (Natasha Rizky), karena dia adalah karakter yang paling banyak mengalami perubahan sekaligus juga bisa dikatakan menjadi inti cerita filmnya.”

“Anin udah kayak tokoh penentu di film ini. Aku suka gimana Anin dibuat kontras di film ini; dia satu-satunya yang gak berhijab, dia satu-satunya yang belum menikah. Dan dia belajar dari keadaan di sekelilingnya, dia menemukan sesuatu, seperti wakil dari penonton untuk menangkap apa yang sedang diceritakan. Anin mengalami transformasi. Benar-benar berbeda dari tiga tokoh lainnya, kita diperlihatkan proses dirinya mengenal hijab – baginya bukan sebagai pelarian, atau keharusan, tapi sebagai pilihan. Dan di sinilah istimewanya film, dia memberikan ruang bagi hijab untuk dilihat dari banyak segi. Bukan sebatas busana muslimah.”

“Menurut saya Hanung juga memotret Hijab dari sisi budaya. Kan memang sekarang Hijab itu seperti sudah menjadi tren di kalangan wanita Indonesia. Bahkan ada satu dialog juga yang memperkuat fenomena ini. Yakni dialog yang bilang bahwa Hijab menggantikan konde yang biasa dipakai di zaman order baru.”

“Jadi tidak semata hijab adalah simbol kungkungan atau peraturan kan ya. Karena perkembangan dunia, sudut pandang kita pun juga mesti berkembang.”

“Benar. Sejauh yang saya tahu dan saya imani, hijab adalah kewajiban bagi setiap wanita muslim yang ketentuannya sudah diatur dalam Islam. Adapun ketika Hijab menjadi fashion, itu sebuah pergeseran budaya. Namun dengan berubahnya hijab menjadi tren hijab ini jadinya banyak hijab yang diproduksi kurang memperhatikan ketentuan yang sudah mengaturnya.”

“Benar, dari film ini kita juga bisa lihat ada garis pembeda antara hijab sebagai fashion dan sebagai budaya. Adalah pilihan nurani masing-masing, mau memparalelkannya atau tidak. Meski kalo aku sih, aku gayakin juga kalo misalnya aku ini cewek aku bakal makai hijab dari dulu atau enggak hahaha.. mungkin aku kayak Anin atau malah kayak Tata hhihi”

“Waaah itu andai-andai yang sulit dibayangkan karena nggak akan pernah terjadi, kecuali atas izin Allah.”

“Hahaha benar juga. Jadi kalo mau diangkain, dari skala satu sampai sepuluh, Mas Raja ngasih skor berapa nih buat Hijab?”

“Saya berikan 8.5/10. Hijab digunakan judul dan inti utama film ini sebagai bisnis, sekaligus menyindir banyak hal lain. Sebagai jalan bagaimana Hanung melalukan kritik pada aspek kehidupan sosial budaya yang nggak semata-mata soal Hijab. Misal soal karir dan pekerjaan dan peran suami istri dalam rumah tangga.”

“Dalem dan menggelitik ya. Kalo aku ngasih 7/10 karena buatku memang filmnya terasa sedikit ‘main aman’, gaya bercerita yang dipilih bikin berbeda, kreatif, tapi jadi sedikit ‘menyimpan’ tokoh utama atau tokoh sebenarnya yang jadi poin vokal cerita.”

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Raja Lubis untuk edisi perdana segmen ini. 

Bagaimana menurut kalian tentang film Hijab? Apa kalian setuju dengan yang disampaikan oleh film ini?

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

INSTANT FAMILY Review

“There’s nothing temporary about the love or the lesson.”

 

 

Gampang untuk tidak menyakiti orang lain, atau merasa kasihan melihat kondisi orang lain, karena kita membayangkan jika itu terjadi kepada anggota keluarga sendiri. Kita cukup dengan menjauhkan diri dari masalah orang, enggak ikut campur, hanya membantu jika diminta. Dibutuhkan usaha yang lebih keras, lebih susah, untuk secara nyata menyayangi dan peduli sama orang lain. Menganggap mereka seperti anak sendiri. Tidak sembarang yang bisa, yang rela, mengurus anak orang. Tahukah kalian penelitian menyebutkan seorang ibu akan menganggap pup anak kandungnya enggak sebau dan semenjijikkan pup anak orang lain. Bayangkan ada seorang ibu yang punya cinta begitu besar sehingga mau mengurusi pup yang bukan dari pantat anaknya.

Adopsi jelas bukan perkara sepele. Lewat Instant Family, sutradara Sean Anders membagi cerita dan pengalaman suka-duka yang ia alami ketika dirinya memutuskan mengadopsi anak. Dan Anders cukup bijak untuk mengajak kita tertawa bersamanya karena film ini diceritakan dengan begitu ringan dan lucu. Kita akan melihat langkah-langkah yang harus dilalui oleh pasangan yang berniat menjadi orangtua asuh, dimulai dari konseling, masa percobaan, bagaimana mereka memilih anak (film bilang “udah kayak belanja!”), fakta bahwa tidak banyak yang mau memilih anak remaja karena kita bisa bayangkan lebih merepotkan karena mereka sudah mulai memasuki usia ‘membandel’, dan tentu saja drama yang muncul ketika orangtua asuh sudah bertemu dan membawa anak asuhnya ke rumah. Anders, tak pelak, mengerti semua hal tersebut dan ia paham di mana harus menggali kelucuan. Meskipun lucu, bukan berarti film harus kehilangan hati.

berlawanan dengan judul; sebenarnya tak ada yang instan dalam membangun keluarga

 

Mark Wahlberg dan Rose Bryne memerankan sepasang suami istri yang memutuskan untuk mencoba membesarkan anak, tapi Mark menolak punya anak sendiri lantaran tokohnya, Pete, sudah berumur dan dia enggak mau dia udah tua banget saat anaknya remaja. Jadi dengan berkelakar dia semacam bilang kita curi start saja, adopsi anak yang sudah sekolah. Di balik kekonyolan, naskah berhasil membuat kedua tokoh ini – Pete dan istrinya Ellie – sebagai tokoh yang manusiawi; terkadang kita dapat melihat mereka pada awalnya tidak benar-benar serius pengen punya anak – mereka mengadopsi hanya untuk membuat diri mereka merasa lebih baik di mata sanak dan kerabat. Seperti ketika mereka tadinya cukup kaget tatkala mengetahui Lizzie, remaja hispanic yang menurut mereka ‘cocok’ ternyata punya dua adik dan itu berarti mereka harus menanggung tiga anak. Namun kita tidak pernah kehilangan simpati kepada mereka. Kita mengerti ketika mereka melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati anak asuhnya, mereka benar-benar pengen membuat anak-anak tersebut senang. Bahwa mereka berusaha menjadi orangtua yang baik. Wahlberg dan Bryne benar-benar tampak meyakinkan; ketika mereka ragu kita juga ikut ragu, ketika mereka marah kita tahu mereka melakukannya sebagai pilihan yang menurut mereka terbaik.

Aku suka naskah memparalelkan ini dengan pekerjaan profesional yang mereka geluti. Pete dan Ellie mencari nafkah sebagai fixer upper; mereka membeli rumah yang sudah bobrok, memperbaikinya, untuk dijual kembali dengan keuntungan yang besar. Ini pada ujungnya memberikan konflik karena mereka terbiasa ‘membangun’ rumah, mempercantik untuk dihuni oleh orang lain. Betapa mengejutkan bagi mereka ketika menyadari bahwa dalam adopsi anak, tidak sama seperti yang mereka lakukan pada rumah. Karena anak berarti menyangkut ‘rumah tangga’. Ada perasaan yang terlibatkan. Plot pasangan tokoh utama kita ini adalah tentang mereka menyadari betapa desperate-nya mereka sebenarnya untuk jadi ayah dan ibu. Lihat betapa takjub dan nagihnya Pete dan Ellie ketika salah satu anak asuh tersebut memanggil mereka dengan “daddy” dan “mommy”. Film tidak mempermudah keadaan dengan membuat ketiga anak yang mereka asuh masih memiliki ibu kandung. Pertanyaan yang menggantung di plot poin kedua nyatanya berhasil membawa cerita ke dalam warna emosional; Apakah Pete dan Ellie bisa merelakan anak yang sudah mereka urus pulang kembali ke ibu kandung yang sudah keluar dari penjara. Apakah itu adil bagi mereka yang sudah meluangkan banyak. Tentu saja itu juga tergantung pada pilihan ketiga anak, namun jika mereka memilih Pete dan Ellie, apakah itu tidak sama saja dengan Pete dan Ellie merampas mereka dari ibu sah yang tentunya juga berjuang untuk anak-anak tersebut. Moral dilema dan drama yang bikin hati anget ini tak sekalipun terselip keluar dari cerita. It’s still there all along, terbungkus dengan rapi oleh pita-pita komedi. Sehingga film akan membuat kita tertawa dan menyeka mata sekaligus.

Jangan pernah meremehkan seberapa besar kau bisa mencintai seseorang dan bagaimana cinta tersebut mampu mengubah mereka. Kita mungkin hanya sementara di dalam hidup mereka. Mereka mungkin tak seberapa lama di hidup kita. Tapi tidak ada yang namanya numpang lewat dalam urusan cinta. Pun pelajaran dan waktu yang kita luangkan bersamanya akan terus terpatri selamanya.

 

Aku suka gimana film ini tidak menggali hubungan Pete dan Ellie dengan anak-anak asuhnya seperti cerita ‘strangers yang menjadi teman’ kebanyakan. Cerita tidak exactly dimulai dengan benci berubah menjadi cinta. Ketiga anak asuh tersebut enggak langsung melawan, enggak seketika distant dan gak respek. Kita melihat kedua belah pihak sama-sama seperti ‘mengetes air’ di awal-awal mereka satu rumah. Film mengambil waktu untuk mengembangkan reaksi mereka. Pete dan Ellie yang merasa bisa dengan gampang ‘memperbaiki’ anak-anak ini, dan the kids, aku suka film tidak membuat mereka menyusahkan bagi Pete dan Ellie. Film tetap membuat ini sebagai tugas Pete dan Ellie; bahwa mereka perlu memahami bagaimana cara yang tepat menunjukkan cinta kepada anak-anak, seperti keluarga normal.

Tokoh anak-anak juga tak kalah meyakinkannya. Isabela Moner menyuguhkan penampilan yang benar-benar kerasa sebagai Lizzie, tertua dari tiga bersaudara. Film memberikan kesempatan baginya untuk menjangkau banyak rentang emosi, dan Moner mengeksekusinya dengan baik. Remaja yang bermasalah, namun Lizzie tidak jatoh annoying dengan akting yang berlebihan. Tokoh ini bisa kita tarik perbandingan dengan Euis di Keluarga Cemara (2019), karena sama-sama paling dekat sebagai sosok antagonis bagi tokoh utama; Lizzie tampak lebih luwes karena rangenya lebih luas, sedangkan Euis sedikit tertahan. Yang lebih bandel sebenarnya Lizzie namun Euis tampak lebih ‘hard to deal with’, menurutku ini disebabkan oleh perbedaan eksplorasi karakter yang bisa jadi berhubungan dengan kemampuan akting pemainnya. Moner begitu natural, sehingga aku jadi penasaran pengen melihat seperti apa dia memainkan Dora later this year. Lain Lizzie, lain pula dengan dua adiknya; Juan dan Lita. Dua tokoh ini kocak banget sebagai karakter komedi. Yang satu tukang merengek, yang satu bego namun super-sensitif. Film membuat kita tertawa oleh tingkah mereka, meskipun aku kadang merasa jahat juga sih terbahak melihat Juan kesakitan karena ulahnya sendiri.

Boleh gak adopsi Moner jadi adek?

 

Dengan tone komedi dan drama yang ngeblend, kadang bikin kita ‘bingung’ juga seperti yang kita rasakan pada tokoh Juan. Is it okay to laugh at children getting hit? Apa sopan mentertawakan seorang wanita yang belum berhasil menemukan anak asuh? Atau menuduh sepasang suami istri yang wajahnya amat mirip sebagai saudara kandung? Film yang tak malu-malu menyinggung berbagai persoalan ini bergerak dengan cepat sehingga kita tertawa dan baru berpikir kemudian. Menakjubkan gimana satu montase bisa hadir dalam berbagai feeling seperti yang dilakukan oleh film ini. Dan betapa randomnya kemunculan cameo Joan Cusack di menjelang akhir itu seolah duo Octavia Spencer dan Tig Notaro belum cukup untuk menggelitik kita semua. Tapi menurutku memang itu semua bergantung kepada selera humor masing-masing penonton. I could laugh at some of it. Dan nyengir buat sebagian kecil yang lain.

Yang benar-benar kepikiran buatku adalah pilihan resolusinya. Di bagian-bagian awal Pete sempat meracau soal white-savior, gimana yang mereka lakukan bukanlah sekedar pencitraan orang kulit putih yang mau menyelamatkan anak-anak. Buatku penyelesaian film ini justru menguatkan aspek white-savior yang berusaha dihindari oleh Pete tersebut. Alih-alih memperlihatkan interaksi untuk mencapai kesepakatan bersama, kita mendapati jalan keluar yang berasal dari keadaan luar; dari seorang ibu yang masih belum keluar dari jerat narkotika. Film berusaha mengalihkan kita dari ras si ibu dengan membuat ada satu tokoh amerika yang juga terikat masalah yang sama; bahwa narkoba bukan stereotipe ras. Tapi tetap saja aspek ini membuat Pete dan Ellie menjadi tampak keluarga paling ‘sempurna’ di antara keluarga lain yang ditampilkan oleh film. Menurutku cerita seharusnya menggali ‘cacat’ dari dalam dengan lebih dalam lagi dari sekadar masalah pencitraan.

 

 

 

Prestasi terbaik yang dicapai oleh film ini adalah membuat kita sadar bahwa wajar saja jika semua keluarga itu ‘gila’. Justru semakin ‘gia’ maka semakin besar pula cinta di dalamnya. Dan yang namanya cinta tak melulu datang dari rantai DNA. Film ini membawa sudut pandang yang unik, dan mencoba untuk menceritakan sesuatu yang mengharukan dengan tawa. Sukses luar biasa. Makanya walaupun adopsi-adopsian enggak terlalu ngetren di sini, film ini tetap terasa relatable dan mampu menyentuh kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold star for INSTANT FAMILY

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Mengapa orang yang mengangkat anak asuh sering dikatakan sebagai pahlawan? Apakah makna orangtua bagi kalian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

11:11 APA YANG KAU LIHAT? Review

..subconscious perception from your numbers is able to influence your life.

 

 

 

Dengan judul yang unik, seketika film ini menangkap perhatian kita. Kenapa angka? Di abad pertengahan, berkembang ilmu yang khusus meneliti hubungan antarangka-angka dengan kemungkinan makna di baliknya. Bahwa aspek positif dan negatif yang terkandung dalam setiap barisan angka. Meskipun kita mengulum senyum membacanya, praktek numerologi tak bisa disangkal masih sering diterapkan di dunia modern seperti sekarang. Orang ngadaian pesta di nikah pada tanggal-tanggal yang dinilai ‘cantik’. Bioskop dan pesawat yang enggak punya baris ke-13, atau gimana orang Jepang membangun apartemen dengan sengaja mengeskip lantai empat. Dan aku masih ingat, belum lama banget, berkembang tren ngepos angka kembar yang tak sengaja terlihat dan mengaitkannya dengan lambang abjad dari nama orang yang dipercaya saat itu lagi kangen ama yang melihat angka.

Film 11:11 garapan Andi Manoppo bukan film pertama yang menyinggung horor yang terkandung pada angka sebelas. Pernah ada film Hollywood, 11-11-11 (2011) yang mengkapitalisasi betapa angka sebelas kembar merupakan lambang terbukanya gerbang neraka. Dalam film Manoppo yang menceritakan empat anak muda pencinta diving, waktu sebelas lewat sebelas juga menandakan petaka yang bakal datang. Meskipun memang hanya sedikit sekali build-up mengenai kepentingan waktu tersebut; kita hanya melihat sebelum menyelam, seseorang dari mereka melihat angka tersebut pada jam tangan – dan nantinya keadaan menjadi buruk di dalam air sana. Namun ada satu mitos lagi, sesuatu yang mereka lakukan di dalam sana – yang melanggar larangan – yang actually menjadi trigger sebenarnya kemunculan petaka. Jadi, angka 11:11 pada judul hanya tampak seperti lapisan pengecoh yang enggak benar-benar penting dengan adegannya yang menunjukkan ini seperti ditambahkan supaya judulnya ‘terbayar’. Bahkan tokohnya saja tidak digambarkan punya reaksi apa-apa saat melihat angka penting tersebut.

jelas mereka gak bisa bikin film ini berjudul Karang Hiu karena takut disalahsangka ini adalah film tentang hiu.

 

 

Mungkin juga ini adalah cara film menyentil kebiasaan ajaib kebanyakan orang. Bahwa tidak ada yang spesial pada sebaris angka, termasuk angka kembar. Pikiran kitalah yang membuatnya menjadi spesial. Berkembangnya banyak fenomena dan kebiasaan berdasarkan angka atau waktu menunjukkan betapa kita, manusia, suka menyelami makna. Kita merasa puas jika menemukan kepentingan dan alasan di balik hal apapun dalam hidup.

 

Namun begitu, tawaran 11:11 memang bukan main-main. Horor di bawah laut, penonton dibawa menyelam bersama para tokoh, bukanlah suatu sajian yang mudah merekam dari dalam laut. Ini adalah teritori yang enggak berani dilakukan oleh kebanyakan film. Mereka harus membangun momen-momen mengerikan, kita tidak bisa membuat jumpscare begitu saja, dan lagi para aktor juga akan terbatas geraknya. Film ini punya ambisi yang besar untuk menampilkan itu semua. Mereka kelihatan berusaha untuk menyajikan yang terbaik yang mereka bisa. Hanya saja, tantangannya memang terlalu sulit.

Dengan pakaian selam lengkap, akan susah sekali untuk kita melihat ekspresi para tokoh. Untuk memahami apa yang mereka rasakan, mereka katakan. Butuh usaha dan kemampuan yang tinggi dari pembuat filmnya jika ingin membuat narasi yang utuh dari sekelompok penyelam yang menemukan bangkai kapal, dan punya bermacam reaksi terhadap temuan tersebut. Aku bukan mau bilang kemampuan mereka masih dangkal, tetapi kenyataan berkata lain. Film seperti pasrah untuk menjadi ‘bego’ dengan eventually membuat para tokoh tersebut saling mengobrol di dalam air. Mengobrol yang pake suara biasa, bukan pake bahasa isyarat. Setiap obrolan diakhiri dengan bunyi kresek seolah mereka ngobrol lewat transmiter radio, tapi kita bisa lihat mereka sama sekali enggak punya radio. Mereka menyelam, bicara dengan suara yang jelas, dan kemudian ada candaan seorang tokoh melihat ada cewek dan ngikutin dia nyelam ke sisi lain kapal. Adegannya seperti adegan yang terjadi di darat, hanya saja mereka membawanya ke bawah air. Pun airnya tak pernah menjadi hambatan. Ketakutan dan horor tetap datang dari jumpscare hantu yang muncul. Pada akhirnya kita tetap tidak mendapatkan pengalaman baru, kita tidak tahu seremnya menyelam itu gimana. Ada banyak hambatan yang bisa dilakukan; oksigen habis, kaki tersangkut, buta arah, tapi film hanya melakukan apa-apa yang juga sudah sering kita lihat dalam horor yang bertempat di darat.

Film berusaha keras mengisi durasi satu-jam-lebih-sedikitnya dengan cerita yang menarik mengenai hubungan antara keempat tokohnya. Ada persahabatan yang terjalin di antara tiga cowok, ada cinta segitiga yang mulai merasuk tatkala si cewek baru yang manis itu bergabung. Tokoh utama kita ditulis punya keinginan untuk bertemu kembali dengan ibu, yang sudah mengenalkan dia dengan pantai dan air, yang menghilang saat dia masih kecil. Mengutip lirik lagu Lady Gaga; kupikir “we’re far from the shallow now”. Tapi ternyata, tiga lapis cerita itu tidak benar-benar punya kedalaman. Hilangnya ibu tidak menambah apa-apa pada perkembangan tokoh utama; dia hanya belajar bahwa dia adalah bagian dari tugas sang ibu.  Persahabatan dan cinta pun ternyata cuma untuk jadi pemancing drama yang tak pernah benar-benar mekar. Ada satu adegan di menjelang akhir ketika si saingan cinta udah koit, si tokoh malah bilang semacam begini ke si cewek; “kamu cocok sama dia, kamu tahu kan dia suka sama kamu?” I mean, apa yang mau dicapai dari penenangan yang waktunya sudah telat itu? Ceritanya berlabuh dengan aneh.

Ketika orang menilai film dan mengatakan filmnya bagus karena relasi tokohnya terlihat nyata – mereka seperti temenan beneran, itu bukan berarti mereka berinteraksi biasa-biasa aja kayak bukan dalam film. ‘Temenan beneran’ itu berarti kita merasakan chemistry, seolah para aktor yang memainkan juga temenan baik beneran. Keempat aktor tampak berusaha menghidupkan tokoh mereka, hanya saja tak banyak yang bisa mereka lakukan. Ada satu adegan di meja makan yang terasa genuine akrab. Selainnya, dialog dalam film ini tak pernah terdengar penting. Seperti obrolan biasa yang biasanya kalo dalam kelas menulis naskah disuruh hapus karena bukan dialog film karena tak menghantarkan cerita ataupun menambah karakter. Menurutku, akar masalah ini justru pada karakter itu sendiri. Karakter pada film ini hanya sebaris kalimat. Cewek vlogger, yang kerjanya ngerekam video (aku paling tidak mengharap di videonya ia menangkap sesuatu, ternyata tidak). Cowok botak yang suka menggoda cewek. Cowok satu lagi yang dibuat ‘sok misterius’. Dan tokoh utama yang pendiam dan selalu mikirin ibunya yang hilang. Setiap mereka ngobrol selalu tentang cewek yang berusaha ngedeket tapi agak dijauhin, terus ada yang sirik, dan yang godain. Tidak membahas sesuatu yang lebih dalam, padahal bisa saja kesempatan development dilakukan untuk membangun mitos daerah atau apa.

Menurutku juga kocak sekali gimana si tokoh utama digambarkan kangen ibu dengan membawa pigura fotonya ke tempat penginapan. Tidak bisakah pakai loket atau disimpai di dalam dompet, atau tarok di hape. Hal ‘seaneh’ demikian mestinya berujung pada satu penjelasan atau dimanfaatkan untuk sesuatu, tapi enggak.

11:11.. K! k..k… k… kuntilanak!

 

Mengenai setannya sendiri, juga menurutku masih sangat standar. Penampakannya memang seram. Tapi tidak pernah ada bangunan untuk tokoh ini. Dia cuma ada sebagai teror. Namanya pun biasa sekali; Siluman. Makhluk penjaga pusaka bawah laut yang mampu menimbulkan ombak gede, mahluk yang harus dikalahkan, wujud mengerikan dengan kuku panjang yang mampu membunuh manusia. Siapa bagusnya nih namanya? / Siluman aja, Siluman. Udah serem. Yang kocak dari setan ini adalah pada saat di bawah laut kita sempat diperlihatkan pov shot dari sudut pandang dia, dan itu treatment kameranya biasa aja. Tapi kemudian, di darat kita juga diperlihatkan pov shot miliknya, hanya saja kali ini layarnya berwarna merah. Dan aku; well, yea masuk akal mata hantunya mungkin merah karena kelamaan di dalam air.

 

 

 

Dunia horor perfilman kita mungkin sudah mulai masuk masa jenuh-jenuhnya. Film-film yang berbeda seperti ini diharapkan bertindak sebagai ‘vitamin sea’ yang membawa suasana segar. Sayang, film ini gagal. Ada sedikit usaha yang terlihat, tapi belum cukup. Pengembangannya masih sangkat dangkal. Film masih seperti plot poin dengan pengembangan seadanya, sehingga geraknya masih gak mulus. Tapi menurutku, cerita ini toh punya potensi, hanya saja masih terlalu besar untuk kemampuan pembuatnya yang sekarang.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold star for 11:11 APA YANG KAU LIHAT?

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya angka keramat?

Mumpung setan di film ini belum punya nama, yuk kira-kira apa ya nama yang kalian kasih kepadanya jika kalian yang menulis cerita film ini?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

CALON BINI Review

“Freedom is the ability to choose”

 

 

Begitu lulus SMA, Ningsih yang gadis desa langsung disuruh nikah. Sama bujang anak kepala desa yang kaya dan terhormat. Ningsih lebih memilih mengejar mimpinya ke kota. Di Jakarta ia bekerja sebagai asisten rumah tangga, dan coba tebak – di sana ia juga dijodohin nikah oleh nenek majikannya sama sang cucu yang tentunya juga kaya raya. Siapa yang dipilih Ningsih? Apakah semua masalah kehidupan Ningsih terselamatkan berkat cowok kaya yang jatuh cinta padanya? Seorang cewek yang mengerjakan tugas rumahan, masak, membersihkan lantai, yang dikekang mimpinya, kemudian muncullah seorang pria, dan kita mendapatkan pernikahan sempurna. Ujung-ujungnya tetap jadi bini. Sepertinya memang cerita yang familiar. Drama komedi garapan Asep Kusnidar ini cocok sekali mengenakan sepatu kaca Cinderella. Bahkan, actually, sepatu juga memegang peranan penting dalam Calon Bini, meskipun memang bukan terbuat dari kaca, melainkan ‘bersayap’. Dan hal tersebut bukanlah hal yang buruk.

Cinderella dari Bantul

 

Selama ini, Cinderella (1950) menuai cukup banyak kritikan. Dikatain anti-feminisme karena dari luar ceritanya seperti tentang  cewek pasif, cewek lemah yang pada akhirnya diselamatkan oleh kekayaan. Calon Bini dan Ningsihnya dari luar juga seperti demikian. Aku agak telat, sih, menonton film ini. Aku sudah banyak mendengar pujian terhadap film ini pada umumnya datang dari penampilan akting yang benar-benar total; dari penggunaan bahasa Jawa yang benar-benar ada usaha untuk terlihat meyakinkan sehingga memperkuat nilai budayanya. Aku setuju sama pujian itu. Michelle Ziudith luar biasa natural sebagai Ningsih, medhoknya tak kedengeran dibuat-buat. Para aktor senior juga memberikan banyak bobot dan nilai plus untuk penampilan film ini. Mungkin para aktor senior seperti Niniek L. Karim, Slamet Raharjo, Butet Kertaradjasa, Cut Mini, mereka sudah dapat melihat kedalaman dan tidak menganggap remeh cerita ini. Yang aku tidak setuju adalah sama banyaknya pendapat yang menyebut Ningsih hampir senada dengan yang disebutkan orang terhadap Cinderella. Karena baik Cinderella maupun Ningsih bukan sekedar tokoh cantik yang beruntung. Sebab kedua cerita ini sebenarnya adalah cerita tentang wanita yang kuat. Inilah yang luput dilihat sebagian besar orang; Lupa melihat konteks hidup Ningsih, dan Cinderella.

Cinderella malah ‘dipersalahkan’, dicemooh karena tidak melakukan apa-apa terhadap situasinya; dia tetap kerja mesti ibu tirinya jahat. Padahal sebenarnya Cinderella melawan, dia tidak kabur dari masalah, lebih memilih kebaikan dan sifat optimis sebagai senjata terhadap kondisi yang sulit, dia menggunakan imajinasi dan kreativitas untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Dan perlu diingat, Cinderella hidup di tahun 1950 di mana wanita belum sepantasnya bekerja, atau hidup sendiri. Inilah hal ‘kuno’ yang terdapat pada Cinderella – bagaimana dia diposisikan sebagai korban, dan dia berjuang atasnya. Calon Bini, buatku, tampak seperti  menjawab kritikan terhadap Cinderella – bukan serta merta meniru cerita impiannya. Film bekerja sesuai zaman ia dilahirkan. Kita lihat Ningsih yang wanita modern tahu ia punya pilihan. Maka ia kabur dari kampungnya, dia pergi ke Jakarta. Bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk melawan opresi berupa paksaan kawin. Dia diantar ayah dan ibunya, tidak pergi diam-diam. Ningsih menawarkan solusi terhadap kemiskinan keluarga. Dia ingin bekerja, wants to be able to provide for herself sehingga gak nyusahin keluarga. Daripada disuruh kawin demi kemakmuran semu keluarga besar di kampung yang menekan dia dengan aturan-aturan sosial beserta segala keterbatasan yang datang bersamanya. Ningsih juga punya imajinasi dan kreativitas. Kita melihat bukti hal ini dari gimana filosofisnya dia mencari nama untuk akun sosial media yang ia gunakan. Sayap yang tadi sempat kusinggung adalah simbol imajinasi yang muncul dari dunia yang menghargai dirinya. Ningsih ini postif dalam melihat apapun, bahkan melihat kesepian dan kematian. Inilah yang membuat dirinya serta merta diterima oleh Oma. Tokoh Oma, sama halnya dengan tokoh Ibu Peri dalam Cinderella, adalah amplifikasi dari sifat-sifat positif dan kekuatan yang dimiliki oleh Ningsih, yang pada akhirnya memberikan tokoh utama kita ini kesempatan untuk menggapai impian.

Setelah nonton ini, aku tak bisa melihat ini sebagai cerita ftv tentang cewek miskin yang diselamatkan oleh cowok kaya. Calon Bini berjuang untuk mengangkat derajat ceritanya, dia ingin membuat kita semua dapat melihat lebih jauh di balik apa yang kita lihat.  Alih-alih seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, film membuat Ningsih dan Satria saling terkoneksi lewat hubungan emosional sedari awal, sedari saat mereka belum tahu lawan berbalas-komen mereka itu kaya atau miskin. Film memainkan aspek chat dan emotional intimacy dengan lebih baik dan lebih ngefek daripada yang dilakukan oleh The Way I Love You (2019) . Catatan kecil; menurutku lucu juga Rizky Nazar memainkan dua tokoh lawan chat yang simpatik namun misterius dalam waktu tayang yang berdekatan haha. Anyway, aspek modern dimanfaatkan benar supaya tak lagi ada celah orang salah membaca film ini, seperti orang misreading film Cinderella. Chat-chat Ningsih bukanlah mimpi-mimpi siang bolong pasif. Terkait ini, perhatikan gimana film dengan gamblang membuat perbandingan antara Ningsih dengan rekan kerjanya, Marni, yang literally hobi tidur siang. Malah ada satu adegan Marni lagi di dunia mimpi tatkala Ningsih menyuarakan impian tepat di atasnya. Semua yang dilakukan Ningsih di internet adalah penampakan dari kekuatan, harapan, dan keberanian yang ada di dalam dirinya.

Ningsih independen. Dia menemukan kesenangan dalam dunia imajinasi, atau katakanlah dunia maya. Foto-foto dengan caption puitis yang ia pos menyuarakan kekuatan, harapan dan impiannya. Hal-hal yang merupakan traits yang paling dihargai dalam femininitas. Tidak banyak orang yang bisa sekuat Ningsih, cewek maupun cowok, yang lebih memilih mengejar impian ketimbang uang di depan mata. Semua ini adalah tentang kebebasan, kemandirian, untuk memilih apa yang terbaik untuk dirinya sendiri sebagai perwujudan dari wanita yang kuat.

 

 

Istilah ‘kisah Cinderella’ seringkali dipakai untuk menggambarkan situasi ketika pihak yang tak dikenal, tak diunggulkan, mendapat kemenangan besar di luar ekspektasi semua orang. Namun sebenarnya cinderella-cinderella dalam cerita tersebut berhasil mewujudkan mimpi mereka bukan tanpa perjuangan dan kerja keras. Ningsih dalam Calon Bini, sederhananya menuai hadiah atas kerja keras, kesederhanaan, dan ketabahan mengejar mimpi yang dilepehkan oleh banyak pihak. I mean, dia kabur dari potensi hidup enak di kampung! Perihal ‘pangeran’nya kaya dan tampan itu bonus untuk sikap baik yang ia miliki. Naskah turut mengerahkan usaha untuk keluarga Ningsih melihat di luar faktor uang. Makanya melihat ada drama usir-usiran yang juga nyambung dengan mulus dengan komedi yang datang sebelumnya. Film menunjukkan compassion Ningsih dari bagaimana dia tekun bekerja dan peduli sama keluarga di tempat ia bekerja, dia melakukan tugasnya dengan baik, penuh perhatian. Sekali lagi film membandingkan Ningsih dengan Marni yang ngasih gula kebanyakan. Cinta Ningsih adalah geunine. Sapto adalah perwujudan dari antagonis baginya, sebuah opresi di mana hanya ingin memiliki tanpa cinta. untuk Sapto ini aku agak kasihan juga sih, tapi dia juga benar-benar kocak – like, aku bisa maklum dia nyiumin foto, tapi dia nempelin foto wajah itu di badan Ramboo benar-benar gila ngakak buatku. Ningsih, sebaliknya, tak sekalipun ngajak cowok teman onlinenya untuk ketemuan, atau bahkan jadian. Dia sudah cinta hanya dengan mengobrol saja.

juga menakjubkan jumlah orang cadel dalam satu film ini hhaha

 

Namun, memang masih banyak elemen yang di-shoehorn masuk ke dalam cerita. Yang meminta kita untuk angguk-angguk saja tanpa memikirkannya lebih lanjut hanya karena cerita pengen seperti begitu. Seperti misalnya kenapa Ningsih bisa kebetulan banget kerja untuk keluarga Oma. Ataupun kenapa Oma yang jelas-jelas ngerti cara media sosial bekerja – dia membuat akun palsu di aplikasi cari jodoh, dia punya grup chat dengan teman-temannya yang tinggal seberapa – tidak ngobrol online saja dengan cucunya yang ia sebut teman baik. Pada lapisan luar, juga tidak begitu banyak yang dilakukan oleh Ningsih; kejadian dan kelakuan orang-orang di sekitarnyalah yang justru membuat maju cerita. Ningsih masih bereaksi ketimbang beraksi. Menurutku naskah dan tokohnya bisa ditulis lebih baik lagi. Ningsih diceritakan punya mimpi, tapi kita tidak pernah diperlihatkan apa yang sebenarnya ia kejar, apa cita-citanya sebagai wanita. Buatku cerita ini kurang memuaskan karena di akhir Ningsih malah jadi ngikut calon suami. Dan terutama, hilangkan saja elemen-elemen yang seolah gak pede untuk cerita tampil tanpa twist. Karena bukanlah twist lagi sedari awal. Kita tahu. Pengungkapan yang dilakukan oleh film hanya bekerja buat Ningsih seorang. Di poin tersebut kita tidak lagi satu sepatu dengannya, kita tidak bergerak bersamanya karena kita sudah tahu duluan.

 

 

 

 

Kitalah yang dangkal melihat Cinderella sekadar cerita tentang ukuran kaki. Kitalah yang luput melihat Calon Bini hanya seperti FTV yang ditayangin di layar lebar. Karena seperti yang diperlihatkan oleh Ningsih, it’s what’s inside that matter. Pun menurutku, di samping komedi yang mengena karena dibawakan dengan baik, film ini benar mencerminkan masa kita, dia tak lupa budaya, dia juga memperlihatkan aspek-aspek yang tak bisa dimiliki oleh kisah Cinderella. Pendekatan ceritanya moderen meskipun kita masih dapat melihat hidup yang masih tradisional dan simpel untuk orang-orang berpikiran sempit. Dan ya, kupikir kita masih butuh satu cerita Cinderella lagi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for CALON BINI

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian Ningsih adalah wanita yang kuat? Atau malah lemah? Seberapa penting cerita Cinderella buat para wanita, benarkah ia masih diperlukan di masa kini? Mengingat Ningsih yang pada akhirnya jadi ngikut aja, apakah kemandirian nyatanya adalah hal yang masih menakutkan untuk wanita?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

Elimination Chamber 2019 Review

 

Kesempatan biasanya digambarkan terletak di luar sangkar. Simbolisasinya adalah dengan bebas dari sangkar, kita bisa terbang mengejar berbagai kemungkinan; kesempatan tak-terhingga akan terbuka bagi kita, akan dapat kita cari, jika kita sudah terbebas dari kurungan. Elimination Chamber 2019 adalah anti- dari hal tersebut. Kerangkengnya boleh jadi didesain untuk menciptakan rasa sakit tatkala tubuh terhempas ke dinding rantai atau kaca tebalnya. Namun acara ini sejatinya didesain untuk menunjukkan kepada kita perjuangan orang-orang mencari kesempatan, menggenggam dan memanfaatkannya, selagi mereka masih terkurung di dalam kerangkeng penyiksa tersebut. Orang-orang yang melawan siksa dan derita mereka demi kesempatan hidup yang lebih baik.

Kebebasan itu tidak ditunggu. Kesempatan itu tidak datang sendiri. Kitalah yang harusnya terus berjuang membuka pintu kesempatan dalam ruang kungkungan personal kita masing-masing sebelum akhirnya mendobrak gerbang pembatas menyongsong kesuksesan.

 

Dulu sekali pernah ada kejuaraan tag team untuk pegulat wanita, tercatat ada setidaknya delapan superstar yang pernah menyandangnya, tetapi kejuaraan ini lantas ditinggalkan begitu saja oleh WWF. Karena situasi dan arahan produknya. Februari tanggal empat-belas tahun 1989 kejuaraan tersebut dinonaktifkan. Tiga puluh tahun kemudian, dengan semangat dan gerakan revolusi di dunia yang baru ini, WWE menciptakan kembali kesempatan untuk superstar-superstar cewek berkompetisi dalam semangat tim. Dan kita mendapatkan salah satu partai elimination chamber terbaik yang pernah ada.

Kita bisa melihat kedelapan superstar cewek yang beruntung untuk terpilih terlibat dalam pertandingan bersejarah tersebut merasa begitu terhormat sehingga mereka bermain dengan penuh respek, spot-spot yang sloppy suprisingly sangat minimal dalam partai pembuka ini. Semua yang terlibat berada dalam kondisi prima; ya superstarnya, penulisan atau bookingnya, ya arahan aksinya. Masing-masing tim dapat kesempatan bersinar. Ada sekuen keren di mana mereka bergantian menyerang dengan jurus pamungkas, yang dimainkan dengan begitu baik. Sekuen kayak gini sebenarnya cukup sering dipake dalam match ramean, tapi biasanya banyak botch tapi tidak untuk kali ini.  Sekuen semacam ini susah untuk dieksekusi karena harus memperhitungkan timing, kurang lebih ekivalen sama long take (shot yang gak di-cut) dalam film.

Aku nonton WWE kayak aku nonton film. Aku akan memperhatikan penulisan cerita, simbolisasi, keparalelan gerakan dengan emosi dan psikologi yang berusaha diceritakan. Satu hal menarik yang terperhatikan olehku adalah enam tim dalam pertandingan ini seperti melambangkan genre; komposisi match tag team cewek tersebut adalah tiga tim aksi, satu tim horor, serta 1 tim drama. Dan kayak di Oscar, genre drama selalu jadi peringkat pertama. Ngelihat tim Nia dan Tamina (usulan nama: Tim Tamia hihihi) dikeroyok ngingetin aku ke film horor Hereditary (2018) yang dibantai oleh awards musim ini. Tapi di sini, aku enjoy melihatnya. Ada spot bikin takjub Nia Jax lari gitu aja menerobos kaca chamber, wuihh!

Billie Kay dan Peyton Royce kayak kakak senior cewek pas ospek: Cakep. Berisik. Galak. Pedes.

 

Film yang baik selalu adalah film yang punya pertumbuhan karakter, kejadian yang ia alami selalu ‘balik’ mengingatkan dia – dan juga kita – akan masa lalu yang menjadi titik balik konfliknya. Elimination chamber cewek ini punya semua itu. Pertandingan dimulai dan diakhiri oleh empat superstar yang tahun lalu juga ‘bermain’ dalam environment kandang ini. It all comes back to us soal gimana ini adalah tentang Sasha Banks dan Bayley yang tahun lalu berantem sedangkan sekarang mereka satu tim. Cerita membangun pentingnya kerja sama tim; kita diperlihatkan tim Iconic sukses mengeliminasi tim Fabulous Glow dengan ngepin berdua – menunjukkan chemistry yang dibangun sejak lama lebih kuat dari hubungan yang baru dimulai. Kemudian cerita berlanjut dengan menunjukkan betapa bahayanya jika satu tim terpisah lewat Tamina yang perkasa harus kalah ketika Nia Jax tak sadarkan diri. Semua kejadian ini secara tak-sadar nempel di kita. Jadi ketika kemudian kita melihat Sasha yang berusaha menolong Bayley manjat chamber (throwback dari kejadian tahun lalu di mana dia ngeScarMufasain Bayley di atas kandang) – Sasha yang mulai mengerti pentingnya tim, dia memberikan kesempatan untuk Bayley menjadi timnya – harus bertempur sendirian ketika Bayley terluka, kita bisa merasakan intensitas yang besar, dan ketika Sasha berhasil menang rasanya high banget meskipun kita mungkin udah jenuh sama tim Sasha dan Bayley. Pertandingan ini menawarkan drama roller-coaster yang merayap diam-diam lewat setiap adegan/spot yang dieksekui dengan amat baik. Drama persahabatan yang dibangun dalam jangka satu tahun. Aku suka ketika WWE memperhatikan pertumbuhan karakter seperti begini, yang sebaliknya juga menurutku sering luput oleh kita semua.

Susunan partai pun biasanya dibuat oleh WWE mengikuti alur naik-turun dalam penulisan struktur film. Fase ‘kekalahan’ ditampilkan mereka lewat cerita Miz. Kita melihat Miz gagal mengkapitalisasi kesempatan di depan mata istri dan rekannya. Kemudian keseruan kita dibawa naik kembali oleh match Finn Balor. Cerita Balor adalah soal gimana dia disebut tidak bisa memanfaatkan kesempatan – dia pernah terpaksa menggugurkan kejuaraan yang ia dapatkan susah payah karena cedera, dia kalah dengan sukses setelah dikasih kesempatan merebut kembali kejuaraannya. Tantangan yang harus ia jawab sekarang adalah bisakah Balor memanfaatkan kesempatan menjadi juara Intercontinental yang sudah dibuat untuk menguntungkan dirinya. Match ini jika disamakan dengan film berfungsi sebagai penghantar kita ke sekuens ‘romantis’. Karena setelah ini, kita akan melihat kemunculan Becky Lynch, tokoh utama dari cerita utama WWE dalam musim Wrestlemania kali ini.

Aku suka-suka aja dengan cerita Becky, tapi arahannya memang agak aneh. WWE membuat dua superstar Smackdown mengejar sabuk Raw. Dengan efektif sekali membuat juara cewek Smackdown seperti tidak berharga. Dalam acara ini, ternyata bukan cuma Asuka yang direndahkan, melainkan juga Ruby Riott. Dan tak pelak mungkin saja keseluruhan superstar cewek di RAW selain yang memegang sabuk. Arahan cerita dipilih oleh WWE ini terbukti merugikan banyak aspek. Bahkan Ronda Rousey si juara yang diperebutkan pun malah jadi kayak berdiri aja di sana – tegak manis dengan kostum Sonya Blade game Mortal Kombat – alih-alih ‘ribut’ dengan Lynch.  Satu-satunya aku bisa setuju dengan angle Vince memasukkan Charlotte ke dalam feud Lynch-Rousey adalah jika nanti pada akhirnya kita akan mendapati Lynch sebagai Stone Cold Steve Austin versi cewek.

Sekuens ‘Taktik Baru’ datang lewat pertandingan Braun Strowman. Di partai ini WWE berusaha mengambil sudut baru dari feud Strowman dengan Corbin yang hampir selalu berakhir dengan cara yang sama. Di sini kita melihat sesuatu yang lumayan baru terjadi kepada Strowman. Dan ini membuat ketertarikan kita tetap relatif di atas. Sejauh ini, memang belum lagi ada partai yang bercerita dan beraksi sekuat dan seseimbang selain partai pembuka yakni Elimination chamber tagteam cewek tadi. Akan tetapi semua partai tersebut dibuat ada ‘mainan’nya. Gak ada yang terasa ‘normal’. Berkat bookingan, acara ini jadi punya pace yang lebih baik dari kebanyakan acara WWE yang biasa kita saksikan. Kemunculan aneh dari Lacey Evans pun tak berarti banyak untuk menjatohkan suasana, dan ini dapat kita artikan sebagai sekuens ‘Resolusi Palsu’ lantaran Evans datang seolah dia bakal bertarung.

Terakhir kali WWE Championship diberikan kehormatan untuk menutup acara adalah sebelas bulan yang lalu, tepatnya pada acara Fastlane 2018. Ini, dan fakta bahwa kejuaraan cewek Smackdown gak kebagian nampil, menunjukkan bahwa meskipun masing-masing brand punya sabuk tertinggi tetep saja kasta Raw lebih ditinggikan. Padahal kita tahu Smackdown selalu punya superstar yang lebih jago dalam urusan aksi di dalam ring, hanya saja WWE seringkali bingung mau ngapain terhadap mereka. Elimination Chamber untuk kejuaraan WWE yang dibuat ramah-lingkungan oleh juara The New Daniel Bryan ini seperti tersusun atas tiga action, satu horor, satu twist (RKO outtanowhere!!)

dan satu kartun anak-anak 80an

 

Alur pertandingannya sendiri gak begitu membekas kayak chop Samoa Joe yang meninggalkan jejak merah di dada Bryan. Terlihat seperti random saja berjalan hingga menjelang akhir saat Kofi Kingston mulai mendapat sorotan. It’s nice to see Kingston finally got a big push. Sebelas tahun loh dia di WWE, dan untuk match ini ‘sejarah’ Kingston benar-benar dipake untuk membangun karakternya. WWE ingin mengubahnya dia menjadi ‘drama’. Secara teori, bekerja dengan amat baik. Hanya saja, I never buy it. Karena aku tahu Kingston ada di sana untuk menggantikan Mustafa Ali yang cedera hanya beberapa hari sebelum acara ini berlangsung. Drama Kingston yang berusaha menggapai kesempatan yang akhirnya datang lagi ini sebenarnya adalah drama untuk Ali seorang underdog yang berusaha memanfaatkan kesempatan untuk menembuskan diri ke puncak. Tentu, Kingston pantas sekali mendapatkan semua itu, namun tak sekalipun aku bisa percaya Kingston bakal menang – despite the last minutes yang dramatis tersebut. Yang menakjubkan sebenarnya di sini adalah kemampuan WWE untuk menggiring opini dan reaksi kita. Mereka ingin kita percaya ini sudah waktunya bagi Kingston, dan mereka konsisten membangun ini, sehingga banyak dari kita termakan pancingannya. Sehingga konten yang kita saksikan di akhir itu tetap tampak keren dan terasa menggugah meskipun kita sudah punya pemahaman terhadap konteks yang dibuat oleh WWE.

 

 

 

Bakal lain ceritanya kalo Ali yang mati-matian berjuang di sana. Bahkan lain ceritanya kalo Kingston sudah terpilih untuk ikut sedari awal. Tapi tetap saja, menakjubkan gimana WWE mengubah ‘perubahan di detik terakhir’ menjadi drama yang mencapai ketinggian sepert yang kita saksikan. Berhasil membuat penonton menitikkann air mata meskipun dalam hati kita tahu Kingston gak bakal menang. Dari segi pertandingan yang bakal paling diingat, The Palace of Wisdom turut menobatkan Elimination Chamber for WWE Championship sebagai Match of the Night, meskipun real craft pada malam itu, Pertandingan Terbaik Malam Itu yang sebenarnya adalah Elimination Chamber for Women’s Tag Team Championship. Salah satu kandidat acara terbaik WWE karena practically kita dapet dua MATCH OF THE NIGHT.

 

 

 

 

Full Results:
1. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER Sasha Banks dan Bayley menang setelah mengeliminasi Sonya DeVille dan Mandy Rose di final-two.
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos merebut sabuk dari The Miz dan Shane McMahon.
3. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP HANDICAP ONE-ON-TWO Finn Balor jadi juara baru ngalahin Lio Rush dan Bobby Lashley.
4. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Ronda Rousey cepet banget ngalahin Ruby Riott.
5. NO-DQ Baron Corbin dan teman-teman mengeroyok Braun Strowman.
6. WWE CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER juara bertahan The New Daniel Bryan tetep juara setelah ngeleminasi Kofi Kingston di final-two.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ANTOLOGI RASA Review

“Too often, the thing you want most is the one thing you can’t have.”

 

 

Antologi Rasa, dalam kapasitasnya sebagai kisah kepahlawanan orang-orang yang terjebak dalam ‘zona teman’, boleh saja mendorong orang untuk jadi lebih berani ngungkapin perasaan mereka atau jadi cermin supaya orang bisa lebih peka pada apa yang dirasakan oleh sahabat mereka yang diam-diam mendamba. Tapi sebagai film, Antologi Rasa tidak pernah berkembang menjadi sesuatu yang spesial dengan absennya lapisan cerita, dengan tokoh utama yang pasif dan terlihat canggung dengan kedua tokoh ‘pasangannya’, pun doesn’t break any grounds dengan arahan dan tekniknya. Aku tidak merasakan apa-apa saat menonton ini. Ya, bahkan dengan pemandangan wisata dan kota-kotanya.

Atau… mungkin memang akunya saja yang sudah mati rasa di dalam sana.

 

With that being said, Antologi Rasa adalah cerita tentang Keara (Carissa Perusset sungguhlah temuan yang fresh sekali dari si empunya cerita) yang merasa ia sangat mencintai Ruly, yang wajahnya selalu terbayang setiap dia memejamkan mata. Tapi begitu ia membuka matanya, senyum cengengesan Harris-lah yang dengan ge-er selalu menyambutnya. Keara gak tau sih kalo Harris yang ia lebih suka panggil Rasyid itu cinta banget ama dia. Ketika Ruly batal ikut trip, Harrislah yang menemani Keara cuci mata di Singapura. Tapi tanpa Ruly yang biasanya jadi designated person mereka saat klubbing, di kota seberang ini Keara dan Harris mabok tanpa ada yang mengawasi. Terbangun dari hangover dan rasa kesalnya kepada Ruly, Keara mendapati dirinya tercelup ke dalam masalah perasaan yang pelik di antara mereka bertiga. Bisakah cewek ini mengenali mana cinta mana yang sekadar suka, sebelum cinta sejatinya tersebut pergi merelakan demi kebahagian dirinya.

sebelum cium bibir berubah menjadi cium bubur

 

 

Meskipun begitu nyampe plot poin pertama pertanyaan yang muncul di benakku adalah “kapan film ini usai?” alih-alih jadi peduli sama konflik cerita, toh setidaknya film ini punya struktur cerita yang lebih bener ketimbang Critical Eleven (2017) saudaranya yang sesama adaptasian dari novel Ika Natassa. Jika mau diungkit, memang kedua film ini punya unsur yang sama; sama-sama ada pesawatnya, sama-sama kisah cinta yang dewasa, sama-sama dihidupi oleh tokoh yang gak masalah bergaya hidup lebih bebas daripada aturan agamanya. Buatku pribadi, ada satu lagi kesamaannya; aku tidak bisa membawa diriku untuk menyukai ini. Film cukup bijak untuk memperlihatkan ketiga kehidupan Keara; pribadi, personal, dan profesional. Yah, walaupun hobi fotografinya tidak menambah banyak ke dalam cerita. Aku bisa mengerti apa yang cerita ini pengen sampaikan, aku mengerti tahapan perubahan yang dialami Keara – karena film ini punya naskah yang mengeset itu semua dalam sekuens-sekuens yang normal – yang works sebagai sebuah struktur drama. Akan tetapi penyajiannya, kesatuan yang membentuk tampilan film ini dalam bercerita; membosankan – tidak pernah menantang.

Menit-menit pertama, yang diceritakan dengan gaya narasi benar-benar mentah seperti masih dalam bentuk novel. Tokoh yang melafalkan deskripsi seseorang sementara kita melihat langsung orang tersebut. Tokoh yang menyebutkan suatu kegiatan, sementara kita sudah lihat lebih dulu. Atau bahkan kita tidak melihat apa yang sedang ia sebutkan. Film bisa menghemat banyak waktu, bisa lebih mengefektifkan durasi jika pengenalan dilakukan lewat visual. Karena dialog itu terlalu gampang, dan mubazir jika kebanyakan, seperti yang kita lihat di sini. Selain itu, ia juga merasa teramat sangat perlu untuk menyampaikan rasa lewat lantunan lagu-lagu dengan lirik yang dipas-pasin, yang muncul setiap kali tokoh dalam keadaan yang emosional.  Film Antologi Rasa mengincar terlalu rendah, tidak mengambil resiko apa-apa. Dalam cahaya yang lebih positif, bisa dikatakan film ini hanyalah sebuah tontonan berikutnya yang bisa kita nyalain untuk mengisi hari kasih-sayang.

Pemandangan demi pemandangan cantik ditangkap oleh kamera. Para pemain juga udah kayak antologi dari insan-insan paling sedap dipandang seantero muka bumi. Tetapi betapa dangkalnya kalo kita hanya membicarakan penampilan. So I won’t pull any punches; bahwasanya performa akting di sini tidak ada yang memuaskan. Bahkan Herjunot Ali yang paling berpengalaman di antara para cast tampak kesusahan membangun chemistry, memancing kehidupan yang natural dari lawan-lawan mainnya. Interaksi antara tiga tokoh ini; baik itu Keara-Harris, Keara-Ruly, maupun Harris-Ruly, tampak begitu canggung. Seperti menyaksikan orang-orang yang dipaksa bersosialisasi di luar keinginan mereka. Mereka tidak membawakan dengan lepas. Saat pusing, atau mabok, mereka seperti dikomandoi – enggak natural. To be fair, sekiranya aku jadi Carissa pun sepertinya akan bingung juga harus bagaimana ketika tokoh Keara tidak dibuat jelas antara dia merasakan cinta atau hanya tidak mau ditinggal sendiri. Tiga tokoh yang mejeng di poster dengan gaya blocking yang mengingatkanku pada barisan Power Rangers itu sesungguhnya punya masalah yang sama; mereka jatuh cinta kepada orang yang tak-bisa mereka miliki. Ini adalah masalah yang sangat emosional, begitu konfliknya pasti perasaan di dada masing-masing. Tapi bangunan yang disiapkan untuk mewadahi semua itu sangat sederhana. Perubahan karakternya tidak dikembangkan dengan maksimal.

mendingan mijitin Keara daripada … (isi sendiri)

 

 

 

Dua tokoh cowoknya berakhir seperti jerk ketimbang simpatis. Mereka dua-duanya menggunakan rasa cinta mereka yang tak bersambut itu sebagai pembenaran untuk took advantage of her. Keara di film ini didominasi oleh pria – dia berpindah dari satu cowok ke cowok lain, bukan karena pilihan, melainkan karena kondisi kerapuhannya yang dimanfaatkan. Bertengkar dengan Ruly, Keara mabok dan ‘jatoh’ ke tangan Harris. Tidak mau menerima Harris, Keara menjauh dan didekati oleh Ruly, orang yang selama ini ia idam-idamkan. Mungkin ini cara film untuk menunjukkan betapa berbahayanya ketika kita terus mendamba cinta alih-alih menerima cinta yang datang. Tapi tetap saja keseluruhan film ini terasa seperti cerita seorang cewek pasif yang gak melakukan apa-apa terhadap prinsip “cewek nunggu dilamar” yang dipanjang-panjangkan. Terasa outdated karena kita tahu lebih menarik jika Keara enggak tunduk sama kalimat tersebut dan segera mengambil aksi.

Adalah sebuah hubungan yang sangat menyiksa jika kalian jatuh cinta dengan seseorang yang kalian berteman baik dengannya, tetapi dia tidak tahu/ tidak bisa membalas perasaan kalian. Akibatnya kita akan merasa kehilangan diri sendiri, karena untuk terus bisa ‘berteman’ kita akan dibuatnya rela memberikan apapun, termasuk kebahagiaan diri sendiri. Kita akan meyakinkan diri ‘tak apa tak berbalas’ asalkan masih tetap bisa ngobrol, bertemu, bercanda. Kita akan lupa bahwa kita pantas untuk mendapatkan lebih baik daripada itu – seperti yang dikonfirmasi Keara ketika dia bertanya “better what?”. 

 

Film ini sedikit ada miripnya dengan cerita film pendekku Lona Berjanji (2018). Sama-sama tentang cewek yang tak melihat cinta di dekatnya. Yang melihat ke arah yang salah. Meskipun kualitas teknis filmku tersebut jauh lebih amatir, aku pikir protagonis cewekku lebih menarik karena dia yang beraksi mencari cinta, justru dia merasa ‘lemah’ disodorkan perhatian yang sudah ia salah sangka sebagai cinta. Tapi cinta tentu saja tidak membuat kita lemah. Akhiran filmnya pun Antalogi Rasa ini kalah nyali dengan filmku yang kayak buatan anak sekolahan. Keara seperti tak punya pilihan selain mana di antara dua yang ‘lesser evil’; taking advantage bisa dengan yakin dimaafkan asalkan pelakunya lagi mabok asmara. Di akhir film, Keara practically memohon untuk satu tokoh tetap cinta kepadanya. This is so… I mean, masa sih gak ada cara lain untuk memperlihatkan Keara akhirnya enggak lagi menunggu ‘ditembak’ – masa iya gak ada cara ‘nembak’ yang lebih ber-dignity yang bisa dipakai Keara. She’s deserved that after all of the emotional humiliations she’s been through, don’t you think? 

 

 

It gets better at the end, but the whole journey feels pretty uninteresting. Dengan konflik yang dewasa, dan penuh pancingan emosional, sayang ceritanya berjalan selempeng emosi yang dihantarkan oleh para pemainnya. Padahal dia mengangkat masalah yang lumayan menarik, juga relatif relatable, aku sempat mendengar ada yang sesenggukan juga di studio saat menonton. Buatku, however, ini cerita yang rasanya biasa-biasa saja, didukung oleh performa dan arahan yang juga sama hambarnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for ANTOLOGI RASA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernah naksir ama sahabat sendiri? Apa sengaja sahabatan sama ama yang ditaksir biar ada alasan deket-deket karena gak berani nembak? Kenapa kita suka ama sahabat sendiri? Menurut kalian siapa sih yang menciptakan friendzone?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

HAPPY DEATH DAY 2U Review

“To the world you may be one person; but to one person you may be the world.”

 

 

 

Yang aku inginkan adalah terbangun dalam keadaan sehat wal’afiat. Bahwa hari ini akan baik-baik saja. Aku tidak akan tewas dengan sukses dalam perjalanan ke bioskop demi menonton sekuel dari Happy Death Day (2017) yang seru dan kocak dulu. Semua orang pastinya pengen harinya berjalan mulus, tetapi hidup tidak pernah segampang itu. Toh, aku bersyukur juga, lantaran Happy Death Day 2U ini enggak benar-benar memberikanku masa yang sulit.

Menyambung langsung satu hari setelah kejadian di film pertama, kita melihat Ryan (tokoh minor dari film tersebut) mengalami kejadian loop yang persis sama seperti yang dialami oleh Tree (protagonis cewek paling feisty yang kita saksikan dalam horor baru-baru ini). Ryan bahkan mati juga dibunuh sama orang misterius yang mengenakan hoodie dan topeng bayi maskot kampus mereka. Maka Ryan yang lebih pinter dari kelihatannya itu berkonsul dengan Tree. Mereka bekerja sama menangkap si pembunuh, Tree menemukan kejutan dan kenyataan bahwa kejadian loop tersebut disebabkan oleh alat ciptaan Ryan. Dan bahwasanya teori multiverse itu benar adanya. Eventually, dalam usaha membereskan kekeliruan dan menutup loop, Ryan gak sengaja ‘mengirim’ Tree ke dunia paralel. Di mana Tree mendapat diri terbangun dalam kejadian film pertama, hanya saja di dunia tersebut keadaan sedikit berbeda. Ibu Tree masih hidup; itu perbedaan baiknya, yang bikin Tree girang dan betah di sana. Buruknya – si pembunuh bertopeng bayi yang dulu sudah ia kalahkan juga masih hidup dan masih berniat membunuh, tentu saja. Tree kembali terjebak dalam lingkaran kematian di hari ulangtahunnya!

Reaktor Kuantum Sisyphus, as in Raja Sisyphus yang dihukum mendorong naik batu raksasa ke atas bukit

 

Tadinya aku langsung pengen cemberut, tapi gak jadi. Film membuka diri dengan sudut pandang tokoh Ryan, yang kupikir adalah langkah yang berani sebab jarang ada genre horor yang tokoh utamanya seorang minoritas. Kupikir film ini akan membahas tentang gimana ia menyingkapi proyek sains berbahaya yang ia lakukan. Namun meskipun memang film ini bakal mengarah ke sci-fi dengan teori multiverse dan alat kuantum dan persamaan fisika segala macem (membuatnya lebih mirip Back to the Future 2 ketimbang Groundhog Day), status tokoh utama itu seperti dikembalikan lagi kepada Tree. Ini ternyata masih cerita Tree. Ini masih kekurangrapihan dalam penulisan skenario menurutku, tapi aku seratus persen bisa memaklumi kenapa mereka kembali melempar Jessica Rothe ke dalam cerita. Karena aktris inilah yang jadi kekuatan utama. Dia begitu kocak di film pertama, dialah alasan kenapa penonton meminta adanya sekuel; kita masih ingin dihibur oleh tingkah berani dan nekat Tree yang ia mainkan dengan begitu alami.

Energi dan kharisma ‘kegilaan’ Rothe sebagai Tree dilipatgandakan oleh sutradara Christopher Landon yang meningkatkan dosis komedi dalam ceritanya. Kita akan terbahak ngeliat reaksi Tree begitu sadar dirinya terjebak lagi. Kita akan guling-guling oleh montase-montase berlatar lagu pop seputar Tree melakukan berbagai aksi bunuh diri karena enggak sudi mati dibunuh pada setiap penghujung hari. Film ini juga tidak melupakan sisi emosional, yang datang dari dilema yang harus dihadapi oleh Tree. Elemen multiverse digunakan untuk menambah bobot pada karakter Tree, membuat dirinya semakin menarik lagi; karena di dunianya sekarang semua hal baru bagi dirinya. Dia punya pilihan yang tak ia miliki sebelumnya. Ultimately dia harus memilih antara dua orang yang ia sayangi. Jarang loh horor komedi punya lapisan cerita emosional seperti ini.

kini kalian tahu kenapa aku mengutip lirik Paramore di paragraf pembuka

 

Bagi dunia kita hanya seorang. Atau mungkin enam, jika menganut teori multiverse film ini. Tapi berapa banyak itu, mau tak-hingga sekalipun, sesungguhnya tak jadi soal karena ‘dunia’ kita terbangun atas kecintaan terhadap satu orang yang begitu spesial. Pilihan yang ditawarkan setiap hari kepada kita memang beragam, selalu ada kesempatan untuk memiliki kembali apa yang sudah hilang dari kita. Tapi seperti halnya Tree, yang harus kita ingat adalah, jangan sampai kita kehilangan ‘dunia’ yang masih kita punya hanya demi mengejar kembali ‘dunia’ yang telah hilang.

 

 

Porsi komedi dan drama benar-benar digadang sehingga elemen horornya sudah seperti beda dunia dengan dua elemen pertama tadi. Tidak banyak kengerian, tidak banyak bunuh-bunuhan yang kita saksikan. Setiap momen konfrontasi dengan si pembunuh pun tidak ada yang memorable lantaran dieksekusi dengan begitu standar. Tidak ada peningkatan dalam cara film ini membangun keseraman. Formulanya itu-itu melulu; selalu berjalan pelan ke tempat yang dicurigai, kemudian ternyata enggak ada siapa-siapa, dan si pembunuh muncul dari tempat lain. Kengeriannya hanya dibangun dari musik, sementara adegannya ya gitu-gitu aja. Konfrontasi final yang kita nanti-nanti setelah sekuens yang begitu panjang yang terdiri dari banyak adegan perpisahan juga gagal menorehkan efek yang membekas. Terutama buatku adalah karena motif si pembunuh di dunia paralel ini berbeda dari yang Tree kira. Pembunuhnya juga beda. Aku gak bakal nyebutin di sini, tapi setelah mengetahui motifnya, aku merasa aneh aja. I mean, Tree bisa aja lanjutin hidup di sana karena gak ada yang bunuh dia, dia bisa banget lanjutin dengan milih ngeloop sekali saja khusus untuk nyelametin satu temennya sekaligus nangkep tuh pembunuh, dia lalu gak usah bunuh diri biar bisa keluar dari loop (since loopnya aktif hanya kalo dia mati) dan nerusin hidup dengan Ibu sambil menumbuhkan cinta dengan cowok yang ia sukai. Solusi win-win kan?

Memang, kalo dia gak melakukan hal tersebut, film gak jalan – dia gak belajar. Tapi kemungkinan dia melakukan itu toh tetap ada. Dan film tidak bisa menjelaskan kenapa Tree tidak memilih itu saja. Kita hanya diminta untuk setuju dengan apa yang ditawarkan film, kita diminta percaya. Banyak adegan di film ini yang meminta kita melakukan hal tersebut. Seperti gimana bisa Tree membuat empat temannya percaya dia jenius yang tahu rumus kuantum yang benar sehingga mereka rela mempertaruhkan kena DO dari kampus, padahal kita tahu empat orang tersebut otomatis tidak punya ingatan apa-apa lagi mengenai apa yang mereka lakukan setiap kali loop terjadi. Memperlihatkan adegan Tree menjelaskan kepada mereka memang akan membuat film menjadi repetitif, namun semakin ke sini aku semakin sulit percaya Tree bisa melakukan dan tidak ada ‘perlawanan’. Kita diminta untuk percaya mereka melakukannya karena ‘takut’ dengan Tree yang mean girl.

Kita diminta untuk tidak bertanya apa yang terjadi pada Ryan yang datang dari dunia yang lain; kenapa bisa ada dua Ryan di dunia yang sama, namun ketika Tree nyebrang ke dunia yang lain kita tidak melihat ada dua Tree di sana. Apa yang terjadi kepada Tree B di dunia yang didatangi oleh Tree A? Convenient sekali dia tidak ada. Padahal jika ada enam dunia, bukankah mestinya ada enam Tree, ada enam SISY, ada enam Ryan, ada enam loop? Tidak mungkin Tree B sudah meninggal karena teman-temannya tidak heran melihat Tree A. Kompleksnya kejadian di film ini membingungkan karena cerita film ini menawarkan jawaban kenapa bisa terjadi loop in the first place. Kita mendapat cerita yang berbau sci-fi, namun jawaban itu sendiri tidak dibuat dengan matang. Film hanya ingin punya ‘alasan’ tanpa benar-benar detil membangunnya. Middle-credit scenenya mengisyaratkan seolah bakal ada sekuel, meng-tease seputar mencari kelinci percobaan untuk uji coba loop, dengan kocak Tree mengajukan satu tokoh yang lantas membuatku heran gimana caranya menargetkan loop kepada satu orang – bukannya Tree dan Ryan kena loop secara random?

 

 

 

 

Menurutku itulah kesalahan terbesar dalam film ini. Menjadikannya sebagai usaha untuk menjelaskan sesuatu yang tidak pernah ditanyakan ‘kenapa’. Film pertama bekerja efektif dengan keambiguannya. Tidak diperlukan penjelasan. Namun jika ingin menjelaskan, maka lakukanlah dengan sebenar-benar jelas. Film kedua ini punya landasan sains untuk memasukakalkan semua kejadian, hanya saja landasan tersebut dibangun dengan lemah sehingga justru jadi menimbulkan banyak pertanyaan lain. Pada akhirnya film menyuruh kita untuk menelan bulat-bulat pertanyaan tersebut. Kita disuruh untuk ikut saja, percaya saja, pada kejadian yang mereka susunkan sebagai alur cerita, tidak usah memikirkan alternatif lain. Ironis sebenarnya untuk sebuah cerita tentang multiverse dan pilihan manusia yang begitu beragam. Di samping semua itu, film ini masih mempertahankan pesona yang membuat film pertamanya disukai dan aspek yang membuat dirinya ada; selera humor dan penampilan Jessica Rothe. Makanya film ini bakal bekerja paling baik jika ditonton maraton langsung setelah film pertamanya.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for HAPPY DEATH DAY 2U.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Punyakah kalian ‘dunia sempurna’ yang sering kalian bayangkan sehubungan dengan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan? Maukah kalian menukar apa yang saat ini dimiliki dengan kesempatan untuk tinggal di ‘dunia sempurna’ tersebut? Dan bicara tentang multiverse, kira-kira bisakah kalian menang melawan diri kalian dari dunia yang lain?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

THE LEGO MOVIE 2: THE SECOND PART Review

“When did my life stop being fun?”

 

 

 

Adek itu niruin kamu. Kalimat tersebut sering banget aku dengar, saat masih kecil, ketika aku berantem sama adek cewekku yang meminta mainan apapun yang aku pegang. Tapi aku kesal, maka aku berantakin boneka-bonekanya. Eh, adek yang jaraknya denganku empat-tahun itu malah kesenangan, dikiranya itu bagian dari permainan; dia lempar-lempar juga robot-robotku yang bisa berubah bentuk. Dari yang tadinya dari robot bisa berubah menjadi mobil, sekarang robot tersebut berubah menjadi tidak bisa berubah sama sekali. Semakin dia gede, adekku semakin semangat ngikutin apa-apa yang aku mainin. Dia ngotot ikut main power rangers-power rangersan, padahal kami sudah ada enam orang; Dia maksa jadi ranger oren. Ngarang banget! Main video game pun dia ngikut, padahal mainnya tuh gim fighting atau gim balap CTR. Kalo kalah dia maksa tukeran stik. Masih kalah juga? dia nyiptain peraturan sendiri; dia gak boleh ditembak, dia gak boleh diserang kalo lagi ngisi tenaga (ini pas main dragon ball), dan gak boleh ditangkis kalo lagi membanting. Dan aku gak boleh pakai satu ‘karakter’ jika menurutnya ‘karakter’ yang aku pilih itu adalah pasangan dari ‘karakter’ yang ia pakai. Kalo lagi main petualangan antariksa (kami jadikan tempat tidur sebagai pesawat dan ngayalin ruangan rumah jadi planet asing yang penuh bahaya), dia ngotot untuk kebal dari serangan monster.

The Lego Movie 2 benar-benar membawaku, dan abang-abang yang punya adek, kembali ke masa-masa kecil. Ke waktu-waktu ketika kita rebutan mainan. Ketika kita adu teriak ngedebatin aturan main gak make sense yang kita ciptain sendiri. Mengingatnya sekarang, ya lucu juga. Soalnya apa yang salah sama semua itu. Kenapa kita gak mau ngalah sama anak kecil. Film ini mengatakan tidak ada cara yang salah dalam berimajinasi, dan dalam kapasitasnya sebagai alat untuk sekalian ngejual brand mainan balok, semua lapisan umur boleh untuk bersenang-senang; Tidak ada cara yang salah dalam bermain Lego.

kecuali kalo kita memakan bloknya. atau menginjaknya. ITU. SAKIT. BANGET.

 

 

Film pertama Lego yang tayang 2014 sukses memukau kita semua berkat kejutan yang disiapkan di penghujung cerita; bahwa semua yang dilalui Emmet, segala petualangan di dunia animasi seperti stop-motion (namun bukan) yang semuanya terbangun dari blok-blok Lego itu, ternyata oh ternyata merupakan ‘versi hidup’ dari sandiwara permainan Lego oleh anak kecil, Finn. Tahu dong gimana kita ngayal cerita saat main perang-perangan dengan robot, nah kejadian di film pertama itu adalah ‘khayalan’ si Finn saat dia nyusun Lego dengan ayahnya. Tapi pengungkapan ini bukan sekedar ‘sok-keren’ yang membuat cerita jadi sia-sia, melainkan diparalelkan dengan cerita utama. Bagaimana Finn membuat ayahnya melihat main Lego jadi awesome lagi, karena ayahnya begitu terpaku sama petunjuk. Lego mestinya disusun dengan kreativitas dan imajinasi sendiri, dalam film pertama ini Emmet adalah Finn yang super kreatif.

Cerita tersebut lantas dilanjutkan dalam film kedua – yang berjarak lima tahun dari akhir film pertama; adik cewek Finn diajak ikutan bermain, yang berujung porak porandanya dunia Lego karena si adik mencampur adukkan Lego dengan Duplo (permainan susun-balok yang serupa-tapi-tak-sama). Dalam dunia imajinasi yang kita kenal sebagai dunia tempat tinggal Emmet dan teman-teman makhluk Lego, kita langsung diperlihatkan dampak kedatangan balok-balok Duplo yang dimainkan oleh adeknya (mereka digambarkan sebagai alien); kota Lego berubah menjadi kota mati, wasteland. Dystopia seperti dunia Mad Max. ‘Twist’ dalam film kedua ini dihadirkan langsung di awal; bukan lagi Emmet yang paralel dengan Finn – si empunya dunia, si Tuhan bagi semesta Lego. Melainkan Lucy, tokoh pendukung di film pertama, cewek yang beraksi lebih banyak meski yang dianggap pahlawan adalah Emmet. Berperan juga untuk menaikkan nilai femininitas (rendahnya nilai tersebut jadi kritikan utama untuk film Lego pertama yang mendulang sukses secara finansial), Lucy alias Wyldstyle dijadikan tokoh utama.

Lucy ingin Emmet yang selalu ceria (“Hufflepuff banget!”) beradaptasi dengan kekerasan dunia mereka yang kini tak lagi ‘awesome’. Hidup di sana, haruslah tangguh. Mandiri. Benturan pertama terhadap keinginannya tersebut datang dari Emmet yang diam-diam membangun rumah ceria untuk mereka, bangunan warna-warni yang tentu saja menarik kembali para alien Duplo ke dunia mereka. Kali ini bukan saja merusak, tapi sekalian menculik para-para jagoan di dunia Lego, untuk dibawa ke dunia mereka di Systar System (permainan kaca yang kocak, karena ‘systar’ adalah plesetan dari ‘sister’). Lucy, Batman, Unikitty, termasuk salah satu yang kena angkut untuk menghadap Ratu Watevra Wa’Nabi yang bermaksud untuk menikahi jagoan terkuat. Lucy paralel dengan Finn yang beranjak dewasa, di mana ia mulai merasa hal-hal imut dan ceria itu norak dan memalukan, sehingga dia berusaha untuk meninggalkannya. Di lain pihak, Systar System adalah adek Finn yang membawa mainan Lego ke kamarnya, sebagai upayanya untuk bermain bersama. Dan Emmet? Tinggallah Emmet yang bertekad menyelamatkan teman-temannya, dan untuk itu ia harus berusaha mengubah dirinya menjadi pria yang kuat dan tangguh.

Apa yang harus kita lakukan ketika dunia kita tak lagi keren? Ketika masalah mulai banyak merundung. Menjadi tangguh dan enggak manja bukan berarti musti berhenti untuk bersenang-senang. Seperti pertengkaran dua kakak beradik; seharusnya ada ranah kompromi, di mana kita bisa menjadi dewasa tanpa perlu melupakan siapa diri kita; apa yang membuat kita pernah bahagia.

 

VFF – Vest Friend Forever!!

 

 

Begitu masuk ke babak kedualah, cerita terasa aneh. Tidak banyak yang dilakukan Lucy selain melihat hal-hal baru yang tadinya ia tinggalkan, hal-hal yang menurutnya harus Emmet tinggalkan juga, dan mendengar hal-hal eksposisi dan lagu-lagu. Aksi beralih ke Emmet yang bepergian sendiri ke ‘luar angkasa’ dengan rumah pesawat ciptaannya di mana dia akan bertemu dengan tokoh yang bakal mengajarkan dirinya bagaimana menjadi maskulin, tangguh, dan jantan. Emmet terasa seperti serpihan kecil diri si Finn yang masih tersisa, dan ini membuat bingung karena Finn masih memainkan dirinya sebagai Emmet, namun tokoh utama cerita ini sekaligus adalah Lucy. Sudut pandang naskah kusut di sini. Furthermore, kita akan mendapat cerita berunsur time-travel yang sebenarnya enggak benar-benar diperlukan; dan film hanya sanggup meletakkan satu pembelaan terhadap elemen ini – mereka menyebutnya secara subtil di awal-awal sehingga tidak muncul begitu saja – ini cerita dari kepala Finn, anak kecil, jadi wajar imajinasinya ke mana-mana.

Tapi tetap saja, sebagai cerita film, Lego 2 berjalan dengan tidak selancar yang semestinya mereka bisa jika sudut pandang itu tetap ada pada Lucy. Pacing cerita pun bisa menjadi lebih seimbang karena tak lagi harus berpindah antardua tokoh yang seperti berebut spotlight emosional. Aku mengerti kepentingan untuk membagi Finn menjadi dua tokoh, namun dua tokoh ini tidak dibuat benar-benar berkonfrontasi secara langsung. Bikin saja langsung Emmet yang jadi antagonis; yang harus dikembalikan menjadi ceria oleh Lucy karena kata-kata Lucy di awallah yang membuat Emmet jadi begitu. Dengan begini, time-travel yang terasa dicekokin ke dalam cerita tanpa ada pembelaan untuk menyokongnya bisa ditiadakan.

 

 

 

 

 

Dialognya antara kocak dengan konyol. Lagu-lagunya antara kocak dengan ngeselin, tapi ngeselinnya karena disengaja. Referensi budaya pop yang berlimpah, selalu adalah anugerah dan penikmat rasa. Buatku, menarik sekali menonton film ini jika diserangkaikan dengan nonton Mirai (2018) sebelumnya, karena sama-sama membahas tentang bagaimana seorang anak kecil berinteraksi dan menyingkapi adiknya; sesuatu yang kita semua pernah alami. Ada banyak momen manis dan emosional, meski memang kita harus menggalinya dalam-dalam di balik humor yang tampak lebih tinggi prioritasnya di sini. Namun naskah film ini membuat semua jadi terlalu ribet bagi filmnya sendiri. Ada pendekatan yang lebih terarah dari ini yang bisa kita pikirkan. Film sempat bicara tentang menghancurkan supaya bisa membangun yang lebih baik, well, kupikir elemen time-travel itu mestinya bisa dihancurkan dan cerita dibangun ulang untuk menjadi lebih baik.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE LEGO MOVIE 2: THE SECOND PART.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah punya adik berarti hidup kita berhenti menyenangkan? Bagaimana pendapat kalian tentang hubungan kakak-adik, kenapa sering bertengkar?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.