PENGUIN HIGHWAY Review

“It is not the answer that enlightens, but the question.”

 

 

 

Beberapa ekor pinguin muncul begitu saja di taman, di kota yang bukan saja panas, tapi juga bahkan jauuuh dari aroma laut. Fenomena yang aneh tersebut jelas saja mengundang banyak reaksi. Orang dewasa akan garuk-garuk kepala, mereka berusaha memindahkan pinguin-pinguin tersebut ke tempat yang lebih layak. Bagaimana dengan anak-anak kecil seusia Aoyama? Wuih suasana ruang kelas empat tersebut riuh oleh semangat anak-anak yang bertanya-tanya ada apa gerangan. Seru sekali mereka membincangkan makhluk-makhluk lucu tersebut. Sebagai seorang anak sepuluh-tahun, yang dibilang dewasa juga belum, tapi punya kecerdasan yang jauuuuuuhhh di atas teman sebayanya, Aoyama mencatat detil-detil tentang pinguin yang bisa ia temukan di buku. Dia membandingkannya dengan yang ia lihat sendiri. Aoyama membuat teori-teori. Saking sibuknya, Aoyama mungkin tak sadar bahwa ia juga sama anehnya dengan para pinguin itu di mata teman-temannya.

Penguin Highway nyata-nyatanya adalah salah satu film teraneh yang bisa dibuat orang untuk anak-anak. Film menggali rasa penasaran yang didera oleh anak kecil dengan enggak malu-malu. Karena bagi mereka hampir semua hal di dunia adalah misteri. Pinguin itu justru bukan ‘masalah’nya sebenarnya bagi Aoyama. Karena sebenarnya ini adalah cerita tentang Aoyama berkembang menuju remaja, dewasa. Aku punya adek berusia sepuluh-tahun dan memang dia ‘pervert’ seperti tokoh film ini. Aoyama having a first crush kepada Kakak cantik asisten dokter gigi, wanita yang jauh lebih dewasa daripada dirinya. Dia sudah menetapkan akan menolak cewek-cewek yang ‘menembak’nya karena pilihan sudah ia tetapkan. Aoyama yang cerdas bahkan rela jarang gosok gigi biar bisa ke dentist terus; bertemu dengan Kakak yang juga jadi guru main caturnya. Salah satu observasi ilmiah yang diamati Aoyama terhadap Kakak adalah bagaimana cewek itu punya payudara yang berbeda dibanding punya ibunya. Dan karena film ini mengambil sudut pandang Aoyama, maka bukan saja kita mendapat sejumlah close-up shot dada Kakak, namun juga semua hal tampak seperti payudara. Aoyama memilih kue yang bulet, memandangi gunung-gunung yang bulet, mangkok yang… you guessed it, bulet! Hal menjadi semakin menarik tatkala Aoyama menemukan hubungan antara si Kakak dengan kemunculan para pinguin dan juga gelembung air besar yang Aoyama dan teman-temannya temukan di padang rumput di dalam hutan.

di umur sekecil itu Aoyama sudah bisa menyimpulkan memandangi boobs, berpikir tentangnya, akan membawa ketentraman hati.

 

Secara teknis, film ini tergolong cerita fiksi ilmiah, karena Aoyama dan teman-temannya memandang pinguin dan semua peristiwa yang mengikutinya dari sudut keilmuan. Aoyama senang bereksperimen, dia membuat gadget dari mainan, dia menyimpulkan teori-teori berdasarkan data dan keilmuan yang ia riset. Aoyama membuat catatan yang membandingkan  waktu metamorfosis kupu-kupu dengan hitungan hari menjelang dia tumbuh dewasa. Didukung oleh ayahnya yang kerap menyemangati dengan coklat tatkala Aoyama berhasil membuat kesimpulan terhadap suatu peristiwa, Aoyama percaya dia akan meraih hal-hal yang hebat untuk dunia. Tapi actually, elemen fiksi ilmiah ini cuma latar karena sesungguhnya ini adalah cerita tentang coming-of-age. Filosofi hubungan antara Aoyama dengan si Kakak lah yang menjadi penggerak utama cerita. ‘Kamera’ akan menangkap perjalanan inner karakter, disuguhkan lewat animasi yang kawaii dan mempesona. Sementara kita hanya sekelebat melihat catatan teori yang dibangun oleh Aoyama – antara itu atau lewat dialog cepat yang ia sebutkan. Ceria penuh warna seperti mata anak-anak memandang dunia. Ketika dunia mereka menjadi aneh atau sedikit menyeramkan, warna-warna tersebut tidak absen, tidak lantas membuat film menjadi suram. Melainkan animasinya dibuat mengundang rasa penasaran kita, mewakili perasaan Aoyama yang selalu ingin tahu.

Saat menonton ini, memang pada awalnya aku menganggap cerita film ini lumayan mengganggu buatku. Setelah ekspektasi kita dibangun terhadap ilmu pengetahuan di sepuluh menit pertama, kita secara alami akan menganggap film akan memberi kita jawaban yang logis terhadap semua fenomena yang terjadi. Tapi bukan saja ternyata elemen sci-finya terkesampingkan, penjelasan masuk-akal terhadap semua itu bahkan tidak ada! Alih-alih melihat jawaban, aku malah melihat orang melempar kaleng kola dan kaleng tersebut berubah menjadi pinguin di udara. Aku pun merasa dicuekin karena Aoyama dan teman-temannya tidak pernah mengajakku berteori bersama, heck, bahkan main caturpun aku tidak dilibatkan. Namun kemudian aku sadar, aku masih melihat film ini dalam posisi sebagai orang dewasa. Belum kembali menjadi anak-anak seperti yang film ini niatkan. Ini sama sekali bukan masalah apa jawaban yang benar, tidak pernah seperti demikian bagi anak-anak. Ini adalah soal mencari jawaban. Tidak perlu ada stake, tidak perlu dikejar waktu karena anak-anak punya semua waktu yang mereka butuhkan untuk eksplorasi. Film meminta kita untuk mengistirahatkan pikiran dewasa dan biarkan naluri kanak-kanak kita memegang kendali, supaya kita bisa melihat lebih banyak. Bahkan si Kakak dalam cerita, dia belajar banyak dan merasa kembali muda dengan berada di sekitar Aoyama dan teman-teman yang sedang melakukan eksperimen.

Kebebasan untuk tidak terlalu memusingkan hal-hal yang terjadi, merupakan anugerah yang dimiliki oleh anak kecil. Orang dewasa akan terdistraksi kepada hasil sehingga fokusnya teralihkan dari hal-hal yang membuat kita tertarik, dan yang menginspirasi pada awalnya. Bukan soal benar atau salah, mustahil atau logis, ini adalah soal mencari, memuaskan sendiri rasa penasaran kita dengan terus mengasah kreativitas dan segala kemungkinan. Karena kritis itu bukan semata bertanya dan berharap mendapat penjelasan yang memuaskan. Kritis adalah memuaskan diri dengan mencari jawaban atas tanya-tanya yang terus kita ajukan sebab dunia begitu membuat penasaran. 

 

Aoyama boleh saja gagal menemukan jawaban yang logis, sebab semua perjalanan yang ia lalui itu telah membuat dirinya humble. Menjadikannya manusia yang lebih baik pada akhir cerita. Penguin Highway adalah salah satu contoh cerita ‘kemenangan dalam kegagalan’ yang baik. Perubahan karakter Aoyama di awal dengan di akhir cerita dapat kita rasakan dengan kuat mengalir. Sutradara Hiroyashu Ishida melakuan kerja yang sangat baik mengarahkan cerita yang kompleks dan aneh dalam film panjang pertamanya ini. Film ini terasa lucu dan menghibur, tetap teramat dekat meskipun menangani masalah yang di luar logika. Aoyama tidak tampak seperti Conan, yang kita tahu dia adalah orang dewasa dalam tubuh anak kecil. Aoyama memang terhadirkan sebagai seorang bocah yang pintar dan penuh keingintahuan, dia memandang semua fenomena sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik lagi.

Sesungguhnya orang yang pintar tahu banyak hal yang tak ia tahu.

 

 

But I do thing film ini mestinya bisa dikembangkan dengan lebih baik lagi. Terutama pada karakter Kakak Cantik. Tokoh ini sengaja dibuat misterius, karena dia adalah salah satu ‘misteri’ bagi Aoyama secara fisik. Tapi film turut membuat eksistensi si Kakak sebagai tanda tanya, bahkan bagi dirinya sendiri. Ini membuat tokoh Kakak jatuh ke dalam trope “Manic Pixie Dream Girl” – tokoh cewek yang di mata protagonis cowoknya begitu sempurna dan hanya berfungsi sebagai dorongan ataupun pembelajaran si protagonis untuk menjadi tokoh yang lebih baik. Trope ini menandakan naskah tidak berhasil menggali karakter pendukung, dan memang kelihatan jelas film ini hanya berpusat pada Aoyama. Naskah membiarkan Aoyama jadi tokoh utama meskipun ada tokoh lain yang lebih punya stake untuk mencari jawaban. It’s okay jika film memutuskan seperti demikian dan konsisten terhadapnya, tapi aku berpikir film tidak mesti membuat Kakak sebagai Manic Pixie Dream Girl yang mengurangi penilaian – bisa diberi bobot lebih banyak, atau melakukan hal simpel seperti yang dilakukan Love for Sale (2018) kepada tokoh Arini; Love for Sale membuat Arini ‘termaafkan’ karena dia tidak seujug-ujug ada di sana sebagai pembelajaran untuk Richard, dia ada sebagai bentuk pilihan dari Richard. Kakak di Penguin Highway, menurutku seharusnya bisa dibuat seperti demikian alih-alih ada dan kemudian tidak ada.

 

 

Diadaptasi dari novel karangan Tomihiko Morimi, si pengarang ini sering disebut sebagai Virgin Writer karena kekhususannya memasukkan hal-hal lugu yang bisa dianggap ‘pervert’ oleh sebagian orang. Dan memang, film ini jelas adalah salah satu teraneh yang bisa ditonton oleh anak-anak. Mengusung cerita coming-of-age dengan bungkus sci-fi. Benar-benar menaruh penonton dalam bingkai pandang tokoh utamanya yang masih kelas empat. Film ini melempar semua logika dan meminta kita untuk mengikuti perjalanannya dengan santai, karena dirinya adalah potret yang mengingatkan kembali bagaimana rasanya kembali menjadi anak kecil yang penuh rasa ingin tahu. Unik dan menyegarkan, seperti pinguin.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for PENGUIN HIGHWAY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kapan terakhir kali kalian membaca untuk menambah ilmu, alih-alih biar dapat nilai bagus? Kapan terakhir kali kalian bertanya untuk membuka wawasan, bukannya bertanya untuk nyinyir atau malah nyindir orang lain?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

 

Comments

Leave a Reply