TERRIFIER 2 Review

 

“Evil wants what it wants and won’t stop until it’s won or you kill it. And the only way to kill it is to be meaner than evil.”

 

 

Ini pertama kali aku kenal Art the Clown. Aku gak nonton film pertamanya. But, sekarang halloween, dan aku dengar sekuel dari film 2016 lalunya tayang, dan jadi hit box office di Amerika. Awalnya aku mutusin ikut nonton, mau bandingin aja horor laku di negara kita ama negara mereka sama-sama bego atau tidak. So, yea. Art the Clown ternyata badut yang lebih gila dari yang kusangka. Jahat. Sadis. Setan. Brutal. Jijik. Sinting. Edan. Busuk. And I like it!

Aku pun lantas tahu bahwa aku baru saja ‘berkenalan’ dengan ikon slasher modern yang sebenarnya. Art the Clown seperti didesain menjadi gabungan sekaligus berlawanan dengan ikon-ikon slasher dari 80-90an. Dia pendiam seperti Jason dan Michael Myers, tapi sekaligus usil dan berisik seperti Freddy Krueger. Bisa dibayangin tidak? Baiknya jangan deh, ntar mimpi buruk. Art juga dibikin gak bisa mati, dan seperti punya kekuatan mistis yang membuatnya bisa masih ‘aktif ya bun’ walau di kepalanya sendiri ada lubang menganga bekas peluru. Art juga bisa muncul di tempat-tempat yang mustahil, seolah bisa berteleport. Senjata pembunuhnya dibikin komikal, Art ke mana-mana membawa karung plastik berisi berbagai perkakas yang digunakannya untuk menyerang, mulai dari pisau berkarat hingga rantai.  Seperti badut-badut kebanyakan, Art memang hobi memainkan trik dan ketawa-ketawa, tapi ‘selera humor’ Art sungguh-sungguh menyakitkan bagi orang lain. Badut setan ini menganggap orang kesakitan itu lucu! Jadi, Art akan menyiksa korbannya, dan dia melakukannya seolah sedang bermain-main. Setelah mengelupasin batok kepala orang sehingga keliatan otak dalam salah satu adegan film ini, misalnya, Art akan ketawa dan tepuk tangan melihat korbannya itu menjerit kesakitan sejadi-jadinya. Ketawanya si Art bukannya nyaring dan mengerikan menyumpah serapah kayak Freddy, melainkan ketawa tanpa suara. Namun film membuatnya seolah jeritan korban menjadi suara tawa Art. Di lain adegan, suara rekaman di rumah hantu dijadikan seolah suara Art menikmati ‘show berdarah’ buatannya sendiri. David Howard Thornton benar-benar great menghidupkan psikonya, jahatnya, badut ini lewat mime yang seringjuga kocak tapi dijamin selalu creepy. Pennywise jadi kayak anak pesantren jika dibandingkan dengan Art.Film ini actually ngasih eksplorasi soal siapa – atau lebih tepatnya – apa sebenarnya si Art ini, ada pengembangan lore yang dilakukan sekaligus dengan mengaitkannya dengan apa yang sepertinya sebuah gagasan yang dikandung oleh cerita di balik semua pembunuhan berdarah itu.

Michael Myers bisa istirahat dengan tenang, karena ini waktunya era badut!!

 

Oh boy, menyebut ‘pembunuhan berdarah’ sebenarnya sangat-sangat mengecilkan apa yang ditampilkan oleh film ini. Berita soal banyak penonton bioskop di Amerika yang muntah, hingga sampai pingsan, yah sekarang aku yakin itu bukan strategi marketing biar viral. Aksi kekerasan film ini sungguh-sungguh di level repulsive yang tinggi seperti demikian. Kayaknya sudah lama aku enggak panas-dingin nonton horor yang gore. Sutradara Damien Leone gak sungkan-sungkan! Dia menampilkan adegan potong kepala, full on-cam. Adegan ngelupas-ngelupasin kulit. Kepala meledak. Body horror dengan efek yang jijik. Kekerasan kepada anak – Art gak pandang bulu, cowok, cewek, anak kecil, orang dewasa, semuanya disayat-sayat dan dibikinnya bermandi darah. Leone tahu persis bikin horor – apalagi slasher ampe gore-gorean (istilah serem buat jor-joran, hihihi) – kudu bikin protagonisnya tersiksa luar dalam. Itulah yang ia pastikan. Protagonis cerita ini, si Sienna, dan adiknya, dan juga manusia-manusia lain yang ketemu dengan Art (baca: yang jadi korban) bener-bener dibikin berdarah-darah. Efek praktikal yang digunakan menambah pekatnya level sadis dan jijik film ini. Membuat semua ‘pembunuhan berdarah’ film ini terasa real, maka jadi makin menyeramkan. Satu adegan yang buatku benar-benar merasa gak nyaman adalah ketika Art muncul menyambut dan membagikan permen kepada anak-anak yang lagi trick or treat. Permennya ditarok di kepala korban dong! Kepala yang sudah dipenggal itu, dibuka batoknya, trus ditempat yang tadinya otak, diganti jadi buat naro permen-permen, dan si Art dengan gaya biasa aja bagiin permen seolah kepala itu adalah baskom yang sudah dihias kayak kepala. Salah satu anak yang ngambil permen dengan polosnya bilang “Ih, jijik lengket” karena di permennya masih ada darah beneran (atau malah sel otak, ewwww) dari orang yang baru saja diacak-acak isi kepalanya! Sick man!!

Bukan cuma darah, there’s literally shit in this movie. Aku yang udah antisipasi bakal ketemu adegan menjijikkan saja gak siap begitu si  Little Pale Girl, tahu-tahu menumpahkan limbah coklatnya ke lantai. Just “Proottt!!”. ‘Ya Allah lindungilah kami dari setan yang terkutuk’ moment banget!! Di film ini Art diberikan semacam sidekick yaitu badut anak kecil, yang interesting, bukan saja karena diperankan tak kalah meyakinkan oleh Amelie McLain (kok anak-anak barat bisa bagus sih kalo akting?) tapi juga karakternya yang dibentuk sebagai ambigu. Gak jelas apakah cewek cilik ini hantu atau sesuatu yang lebih simbolik dan lebih sinister. Kalo kalian pengen tahu, mungkin nanti malam bisa tanya langsung PAS DIA DAN ART DATANGKEKAMARMU!!!

Yang jelas kalo kalian bertanya kepadaku, jadi apakah ini film eksploitatif yang ‘murahan’ yang hanya gore-fest saja? Maka aku akan menjawab “Iya dan tidak”. Soal murah, memang film ini tipikal low-budget movie, namun dia berpesta pora dengan apa yang ia punya. Film ini menyuguhkan yang terbaik dari segi visual, kebrutalan, desain produksi dan estetiknya, hanya dengan budget yang tidak di level studio raksasa. Malah konon, film ini difund  sum-sum oleh para penggemar yang menginginkan sekuel dari cerita Art. Dari orang-orang sakit yang mendukung film ini jadi lebih sadislah kita mestinya berterima kasih. Serius. Jangan ngarep deh studio gede bikin yang penuh resiko dan melanggar batas kayak yang film ini lakukan. Makanya penggemar horor harusnya merayakan ini. Lalu, untuk soal ‘hanya gore-fest’, aku dengan bangga bilang tidak karena film ini actually berusaha menjadi lebih daripada itu. Terrifier 2 berusaha untuk menjadikan elemen mistisnya bukan sekadar cheap supernatural, melainkan jadi surealis yang ARTsy (alias banyak si Art-nya hihihi) Sureal film ini terutama datang dari si Little Pale Girl, ketika eksplorasi power Art, dan terutama ketika menggali koneksi antara Art dengan protagonis cerita. Film ini ada meggunakan menakuti lewat mimpi, yang adegannya cukup panjang. Biasanya aku gak suka adegan mimpi, tapi film ini melakukannya dengan benar karena mimpi tersebut tidak dibentuk untuk mengecoh ‘udah serem-serem taunya mimpi’, melainkan kita diingatkan ini mimpi. Adegannya seramnya diselingi shot si Sienna lagi tidur, dan tidurnya gelisah. Mimpi ini adalah bagian dari galian karakterisasi, karena inilah waktu film menyelami psikologis Sienna. Dia memimpikan Art, dan mimpinya itu crossover dengan dunia nyata. Adegan tersebut jadi mengsetup banyak elemen cerita, tanpa kita merasa terkecoh melainkan jadi berpikir. Film ini bukan tipe gore yang kita tinggal istirahatin otak untuk bisa menikmatinya.

 

Aku, ketika teror sudah usai, tapi ternyata ada mid credit scene dengan Chris Jericho!

 

Film slasher biasanya tak ngembangin karakter karena tahu penonton bakal lebih suka untuk peduli sama karakter pembunuh maniaknya. Terrifier 2 gak mau jadi fllm slasher yang biasa. Adegan mimpi yang panjang itu jadi bukti Terrifier 2 peduli sama karakter manusia, dan benar-benar punya plot dan pengembangan untuk protagonisnya. Jadi ceritanya, Sienna dan adik cowoknya, Jonathan, yang masih 12 tahun, masing-masing sedang dealing with kematian ayah mereka yang sepertinya seorang komikus. Apa yang terjadi pada ayahnya mereka ini penting, dan direveal bertahap oleh film. Tapi tidak pernah sepenuhnya. Film masih menyisakan ruang untuk misteri dan kita berteori.  Yang jelas, si ayah meninggalkan buku yang berisi kasus-kasus si Art kepada Jonathan dan karakter superhero (wanita berarmor dan bersayap ala Valkyrie) kepada Sienna, yang actually membuat sendiri kostum sang superhero untuk halloween. Implikasinya adalah si ayah tahu tentang Art dan percaya Art bisa dibunuh dengan pedang si superhero. Koneksi ini, plus kedua kakak beradik ini juga bisa melihat The Little Pale Girl membuat Art menjadikan mereka sasaran utama. Sienna (Lauren LaVera tampak perfect di kostu, eh di perannya ini) kini harus berjuang untuk benar-benar bisa menjadi superhero bagi keluarganya, menyelamatkan mereka dari Art.

Ada drama keluarga yang legit membahas grief dan koneksi dari anggota keluarga yang ditinggalkan misteri di balik ini gore-fest yang memang jadi sajian utama. Drama dan konflik yang lebih personal yang dibuat oleh film tidak punya easy answer. Terrifier 2 tidak memberikan jawaban apa-apa. Melainkan membuat kita lebih berpikir lagi karena sekarang drama dan mistis dan lore dan koneksi ajaib para karakter, dan bahkan something dari film pertamanya, jadi satu. Jadi puzzle besar, yang setiap kepingannya begitu aneh, untuk kita susun. Film ini bijak tidak memberikan jawaban, melainkan memastikan ceritanya masuk ke dalam logika dunia yang mereka ciptakan. Inilah yang harusnya dilakukan oleh film-film horor. Bukan semata menciptakan misteri, kemudian memberikan jawabnya – or worse, bertingkah seolah ada jawaban untuk misterinya (“Ayo penonton yang bisa menangkap clue-cluenya berarti kalian cerdaasss”). Melainkan memberi ruang bagi penonton untuk menyelami misteri tersebut. Untuk berteori, kemudian merasa ngeri sendiri. Terrifier 2 memberikan itu semua kepada kita. Momen untuk jerit-jerit. Momen untuk mual. Momen untuk bergidik. Momen untuk refleksi ke karakter. Momen untuk menebak dan berteori, tanpa harus tahu mana yang benar-mana yang salah.

Teoriku, alasan Sienna dan Jonathan bisa melihat The Little Pale Girl seperti Art, adalah karena selain sebagai sosok ‘hantu’ si badut cilik ini adalah simbol darkness dalam diri. Sienna dan Jonathan bisa melihat karena mereka punya sisi kelam akibat ditinggal ayah. Itulah kenapa Art menyasar mereka. Karena untuk membunuh setan, manusia harus melakukan hal yang lebih kejam daripada setan itu sendiri. Sienna dan Jonathan bisa melihat si cilik, jadi bukti bahwa mereka berpotensi jadi ‘bahaya’ bagi Art. Terutama si Sienna, yang punya jiwa pemberani yang belum ia sadari. Jiwa yang jadi pembeda dirinya dengan Art. Makanya juga si karakter dari film pertama dimunculkan, karena dia survivor Art, yang actually jadi sinting seperti Art. Dia tidak punya yang dimiliki Sienna. Sifat pemberani dan heroik, yang lebih lanjut disimbolkan oleh armor, sayap, dan pedang kostum Valkyrie yang Sienna kenakan.

Art the Clown yang tak bisa mati sejatinya diniatkan oleh film sebagai perwujudan dari evil itu sendiri. Dan yang namanya evil tidak bisa dibunuh. Kenapa? karena untuk membunuh evil, seseorang harus bertindak lebih setan daripada si evil itu sendiri. Sehingga jadi semacam kejahatan melahirkan kejahatan. Ya, melahirkan. Menurutku itulah makna yang disimbolkan film ketika memperlihatkan kepala Art terlahir dari survivor kebrutalan dirinya. Orang yang selamat dari dirinya yang evil, berarti sendirinya telah menjadi evil yang bahkan lebih brutal. Siklus kejahatan akan terus berulang, jika tidak banyak yang seperti Sienna.

 




Totally, film ini bukan untuk yang faint-hearted, definitely tidak untuk ditonton saat makan (kecuali kalian lagi bikin video challenge try not to vomit) Karena film ini memberikan semua yang diminta, yang diidam-idamkan oleh penggemar horor slasher berdarah, yakni gore brutal yang kelewat real. Badanku literally panas-dingin nonton ini. Tapi aku suka, karena inilah yang kurindukan dari horor sadis. Karakter yang konyol tapi super seram. Suasana yang mencekam tapi ada surelisnya juga. Film ini memberikan itu semua, and more! Karena di sini, karakterisasi, plot, benar-benar diberikan pengembangan. Kita tidak hanya menonton orang-orang mati dibunuh dalam cara yang semakin bikin meringis. Film ini memang ngasih itu, tapi juga ada cerita – drama yang mumpuni di baliknya. Aktingnya juga gak jelek dan cheap kayak film-film horor biasa yang menjual wahana. Malah aku bisa bilang film ini berhasil menciptakan karakter yang bakal ikonik di horor. Antagonis, maupun protagonisnya. Ini adalah kontender legit untuk horor terbaik 2022, asal kita sanggup menguatkan diri untuk bertahan hingga durasinya habis. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TERRIFIER 2

 

 




That’s all we have for now.

Apa yang membuat karakter horor bisa menjadi ikon? Apakah kalian punya kriteria tertentu?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

      • Albert says:

        Kalau di Wikipedia kulihat Art the Clown ini pertama muncul di film All Hallows Eve tahun 2013. Lalu muncul lagi di 2 film Terrifier. Tapi ya aku belum nonton sama sekali. Tau aja baru dari review Mas Arya ini. Hehehe.

        Terrifier is a 2016 American slasher film[3][4] written, produced, and directed by Damien Leone. It stars David Howard Thornton, Jenna Kanell, Samantha Scaffidi, Catherine Corcoran, Matt McAllister, and Michael Leavy. Thornton portrays the murderous Art the Clown, who hunts three young women, played by Kannell, Scaffidi, and Corcoran, on Halloween. It is the second feature-film appearance of the Art the Clown character, after Leone’s 2013 anthology film All Hallows’ Eve,[5] which incorporated footage from previous short films he also directed and which featured the character. Ini kucopas.

        • Arya says:

          Oooh berarti dari antologi itu karakter ini munculnya yaa. Wah boleh juga tuh sekalian cari filmnya Hallow Eve itu buat halloween.
          Sama, aku pun baru di sekuel ini nonton Art. Film pertamanya dulu malah tak tertarik nonton, soalnya ngirain horor-horor kelas B, yang niru2in Purge haha
          Yang kedua ini nonton penasaran aja, karena jadi sensasi box office di amrik. Malah, tadi aku baru baca artikel si Stephen King ngasih praise buat Terrifier 2

          • Arya says:

            Enggak. Hahahaha.. Jauh di bawah film kedua ini. Yang pertama tu bunuh-bunuh aja, semacam Halloween Kills-lah. Ceritanya gak punya protagonis yang jelas. Filmnya basically cuma introduce si Art kepada pemirsa horor gore, dan liatin what he can do. Tapi ya, yang he can do itu memang gore yang satisfying-refreshing buat penggemar bloody horor.

          • Albert says:

            Baru kutonton film pertamanya. Bener jelek mas. Ga ada ceritanya. Korban2nya bodoh2. Menangnya aja cuma ditangkap polisi hahaha. Berarti yang kedua jauh lebih bagus dong ya, film terbaik nih di 2022? Ga cuma bunuh2an kan? Nonton yang pertama ini aku banyak meremnya. Apalagi yang dibelah 2 itu. hahaha.

          • Arya says:

            Adegan belah duren ya? Hahaha aku merem-pun belum cukup, harus ngecilin suara. Sama, di kedua juga ada yang sadis banget, denger jeritannya aja ku gak tega.

            Iya, yang kedua lebih berisi. Lore Art-nya dikembangin lagi, karakternya juga diberikan purpose dan kait personal yang menghubungkan dia dengan Art. Tapi ya gak menjawab dengan eksak banget, masih kepingan-kepingan puzzle yang belum disusun sampai akhir film. Malah kalo diliat lagi yang pertama, kayaknya film itu cuma tes-drive doang. Sama sekali gak ada isi kan. Kejadian yang pertama pun lebih rapi dimunculin di film kedua.

          • Albert says:

            Udah selesai kutonton Mas. Kalau film pertama yang belah duren, film kedua paling ga kuat pas dikuliti kepala.pas masih hidup. Udah gitu kepalanya buat bagi permen. Hiii. Final fightnya panjang, kalau udah Sienna yang lawan aku ga merem lagi, kan pasti menang endingnya hehehe.

            Filmnya rada gaib ya. Art kayaknya ga bisa mati, dari film pertama sampai sekarang. Sienna udah mati juga bisa hidup lagi. Lalu beda sama Scream, ga ada yang pakai kostum Art pas Halloween. Jonathan yang mau pakai udah batal gara2 dihukum di rumah. Sedih juga ibunya udah saling bilang I love you sama Sienna akhirnya mati. Tapi mendinglah sekali tembak ga sampai disiksa banget kayak yang dikuliti.

          • Arya says:

            Aku sampai ngecilin volume, gak tega dengar suara teriak-teriak temen Sienna pas dikuliti itu. Gila, belum lagi adegan yang liatin dia tinggal tengkorak manggil-manggil emaknya. Barbar abis tuh imajinasi pembuatnya hahahaha… Berasa kayak horor-horor lokal 80an, pilu korbannya tu nyampe. Kalo gore kebanyakan kan biasanya, luka fisiknya aja yang bikin kita meringis.

            Ya kayaknya masih banyak elemen fantasi yang belum dikupas soal hubungan Sienna – ayahnya – dan origin Art itu sendiri. But for now, film did enough dalam konteks journey perempuan yang menemukan keberanian demi keluarga.

          • Arya says:

            Tadinya kupikir dia itu symbolic, either darkness atau tanda-tanda orang psycho, like, cuma Art yang bisa lihat karena dia badut jahat. Sienna dan adiknya bisa lihat kerena mereka lagi dirundung kematian ayah yang misterius (also, mungkin bokap mereka ini ‘edan’ dan nurunin ke anak). Tapi ternyata film ngasih lihat backstory tambahan, bahwa ada korban Art, anak kecil yang mirip si Little Pale Girl. Jadi yaaa.. masih misteri banget ni anak setan hahaha

  1. Iksan says:

    Wah kalo aq 8,5 ni nilainya. Lebih bagus dr yg pertama. Misterinya dapet, konflik antar karakternya jg pas. Yg salut msh mempertahankan gaya kamera statisnya seperti film pertamanya. Kalo teoriku ini berkaitan dg mitholgy sih spertinya. Cm harus ntn ulang2 dulu biar ktmu clue nya.

  2. Iman says:

    Bukan semata menciptakan misteri, kemudian memberikan jawabnya – or worse, bertingkah seolah ada jawaban untuk misterinya (“Ayo penonton yang bisa menangkap clue-cluenya berarti kalian cerdaasss”).
    sepertinya aku tahu film ini, dan setelahnya aku merasa kotor telah ikut2an hype nonton. Like….naoon siiih?
    Oh iya, ini nonton dimana?

    • Arya says:

      Hahaha jadi marketing doang kesannya. Kayak, penonton tuh jadi gak genuine lagi nonton dan merasa ada misteri dan terdorong untuk mengungkap. Melainkan dikomandoi. Kalo di Terrifier 2 ini, ya bener mystery for the sake of mystery. Dan ketika gak ngasih jawaban pasti, ceritanya gak lantas jadi aneh gak jelas. Ada landasan logika-dalam sendiri yang dibangun.

      Nontonnya kayaknya belum ada legalnya deh ini haha, tadi liat di Twitter streamingnya baru bakal launch halloween ini di US.

    • Arya says:

      Hahaha sumpah si Pennywise masih ‘sopan’ ama anak-anak Derry. Masih dikasih selamat. Sama Art mana bisa begitu, kalo belum mati gak bakal pergi xD

  3. Arlene says:

    Art si badut, punya seni (yang dia pikir) menghibur orang dengan caranya sendiri. Filmnya cukup mengeksplor dinamika konflik keluarga Sienna, cewek tokok utama yang jadi target dari Art dan juga relasi Sienna sama kedua temennya itu. Film bisa berprogress portraying Sienna yang awalnya keliatan rapuh & labil, akhirnya bisa punya keberanian, berjuang mempertahankan yang berharga. Keberanian nampilin aksi badass dengan kostum ala Xena nya.

    Unsur slashernya, karena diintegrate lumayan baik ke dalam story filmnya, jadinya pas porsinya. Adegan kepala jadi tempat permen kuanggap kaya itu properti dari toko Halloween aja, kaya si Art yang juga sempet pura-pura jadi properti toko Halloween sambil pegang kepala itu.

    Btw, tertarik nonton Skinamarink ga? Kayanya unik horornya (Tapi jujur aku ngantuk liat trailernya)

    • Arya says:

      Hahaha reaksi anak-anak yang ngambil permennya yang jadi punchline pas adegan tempat permen itu. Gila si Art tega banget ngerjain anak-anak pakai mayat XD
      Skinamarink? lucu juga kayak judul lagu anak-anak barat. Sudah tayangkah filmnya?

  4. Arlene Florencia says:

    Iya tuh, menghayati banget dia ngerayain Halloweennya. Mungkin Art Halloween-an tiap hari ya, dengan kostumnya itu.

    Iya bener kaya judul lagu anak. Kalo baca reviewnya, filmnya ngajak nostalgia tentang childhood nightmare. Uda main di festival apa gitu di Kanada.

    Menurutku, untuk yang bisa relate dengan nightmarenya, filmnya bisa membawa horor psikologis ke mereka. Tapi untuk yang ngga, akan ngantuk sepanjang 100 menit filmnya.

    • Arya says:

      Ini masih jadi misteri cerita, karena film gak ngasih jawaban sama sekali, melainkan cuma petunjuk-petunjuk kecil untuk kita susun secara bebas masing-masing.

      Teoriku adalah pedang itu bukan menyembuhkan secara harfiah, tapi simbolis. Menurutku kekuatan pedang itu adalah seperti semacam penghubung antara dunia nyata dengan dunia fantasi; mengingat kekuatan pedang ini muncul dua kali dan dua-duanya terjadi di lokasi yang sama, yaitu di set clown cafe yang kita tahu muncul pertama kali di mimpi Sienna. Di mimpi pertama itu pedang jadi senjata Sienna saat mau dibakar; pedang itu mantulin api dan kamar Sienna beneran terbakar, Sienna terbangun. Ini kan mirip sama yang di akhir itu. Sienna ditusuk, masuk ke kotak air yang ada di mimpinya, dan pedang itu lagi-lagi menyelamatkan Sienna; lukanya menutup, Sienna terbangun.

      Kayaknya kuncinya ada di hubungan antara ayah Sienna dan Art itu sendiri. Apa sebenarnya Art. Film juga gak jelasin ini, jadi ya cuma berteori lagi. Menurutku, sesuai namanya, Art sebenarnya tokoh yang dibuat oleh ayah Sienna. ‘Magic’nya sebenarnya ada di ayah Sienna. Art yang dia buat sebagai darkness, jadi beneran hidup, sehingga ayah Sienna harus membuat lawannya. Dia menciptakan pedang itu, satu-satunya senjata yang bisa ‘melukai’ Art. Klasik kegelapan vs. cahaya. Menciptakan ‘fantasi hidup’ semacam itulah yang kayaknya bikin kacau otak ayah Sienna, sehingga dia mati, dan Sienna lah yang diwarisi pedang dan segala macam.

      Jadi ya, menurutku kalo ketusuk pedang itu, Sienna dan Art sama-sama masuk ke dunia ‘fantasi’. Terkurung dan terlukanya di sana. Bedanya, Sienna bisa kembali lagi ke dunia ketika hatinya beresonansi dengan kekuatan positif pedang. Keberanian, kepahlawanan, dan sebagainya. Sienna nunjukin itu saat melawan Art sebelum dibakar, dan saat dia mendengar suara adiknya minta tolong. Sedangkan si Art, setelah dilukai pedang, bisa kembali lagi ke dunia lewat perantara darkness dari manusia. Makanya dia terlahir dari korban yang di adegan kredit itu.

Leave a Reply to fattyCancel reply