RAHASIA RASA Review

 

“It’s not the secret sauce of the recipe per se that is treasured but the connection you share with your heritage”

 

 

Sebagai yang pernah menggeluti keduanya, persamaan antara masak dan main yugioh adalah, meskipun kita udah tahu resepnya, tapi belum tentu menang atau rasanya enak. Kita tetap harus mampu dulu mengolah bahan-bahannya. Dalam mengolah, itu berarti kita harus paham dulu bahannya, harus mengerti dulu propertinya, dan ini berarti kita harus punya koneksi dengannya. Proses memahaminya itulah yang dibentuk jadi journey karakter dalam Rahasia Rasa, karya terbaru Hanung Bramantyo. Karena ternyata film ini bukan cuma tentang masak-memasak. Film ini at heart adalah drama karakter yang mangkir dari jati diri, tapi juga ceritanya punya cita rasa action dan bumbu sejarah politik, Inspirasinya saja ternyata adalah buku resep masakan Mustikarasa, buku berisi dokumentasi lebih dari 1600 resep nusantara yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno. Aku bahkan gak tau kalo buku yang sejarahnya berkaitan dengan gerakan PKI disebut dan jadi sentral cerita film ini, ternyata beneran ada!

Bumbu fiktifnya ya di cerita karakter utama. Ressa (Jerome Kurnia tampang matang aktingnya di sini) celebrity chef yang jadi kepala di restoran Italia. Kayak chef-chef gede kebanyakan, Ressa cenderung tegas dan galak kalo udah urusan dapur. Peraturan nomor satu baginya adalah tidak ada masakan Indonesia. Ketidaksukaan Ressa terhadap makanan nusantara begitu besar, sampai-sampai tubuhnya menolak sampai ikut mual kalo terbayang makanan Indonesia. Ressa memang ternyata punya trauma. Tantangan datang ketika bosnya – yg juga adalah ayah dari kekasihnya – Pak Broto mengsyaratkan Ressa untuk bisa mengawinkan masakan Itali dengan bumbu-bumbu Indonesia. Kacau oleh banyak kemelut, Ressa kecelakaan dan mendadak lidahnya mati rasa. Ini membuat Ressa harus kembali ke tempat masa kecilnya. Tempat yang sengaja dia lupakan karena awal dari trauma. Tempat yang sekian lama menunggunya dengan sejuta rahasia dan cinta yang kini sudah dingin. Tempat yang penuh oleh bumbu-bumbu makanan khas Indonesia.

Dan for some reason, tempat itu akan jadi tempat perebutan harta karun berupa lembar-lembar resep rahasia

 

Aku terutama kagum sama ide ceritanya sih. Waktu ikut kelas nulis skenario dulu, kelasku kebagian tugas bikin cerita tentang makanan nusantara,  sebagian besar ide yang muncul memang adalah tentang resep rahasia dan organisasi atau klub masak underground, namun tidak ada satupun yang kepikiran untuk ngaitin ceritanya ke persoalan buku resep dari Soekarno ataupun kejadian saat pemberontakan PKI. Ngasih layer karakter chef yang lidahnya mati rasa aja kita gak kepikiran sama sekali. Rahasia Rasa bukan cuma mengaduk semua di dalam wajan ceritanya, film ini juga on point banget dengan tema hingga ke penamaan-penamaan. Ressa yang aslinya bernama Roso – judulnya jadi make sense, dan juga jadi punya arti luas,  nama restorannya aku suka banget, play on word maharaja jadi maharasa, Jadi kita bisa lihat film ini punya visi kuat dan ya, cukup berambisi, karena memang film kayak gini cukup langka.

Dan hal tersebut membuat film ini sendiri agak sedikit kesulitan memposisikan dirinya. Dengan bahan dan resep yang sekompleks itu, Rahasia Rasa  jadi menghidangkan terlalu banyak sajian kepada kita. The best course yang film ini sajikan adalah bagian Ressa berusaha menyembuhkan lidahnya; Ressa balik ke kampung asalnya, berusaha rekonek dengan Tika (finally kita lihat range yang tidak biasa dari Nadya Arina!) dan Mbah Wongso, dua orang yang sangat penting bagi developmentnya. Journey Ressa adalah tentang seseorang yang mengacknowledge kembali heritage dan siapa dirinya sebenarnya. Drama tiga karakter ini begitu hangat sementara di background kita  juga menikmati seluk beluk dunia kerjaan Ressa sebagai chef profesional yang terkenal dan kemudian dia balik ke kampung, try to humble himself. Ini kayak lihat cerita formula Hollywood tapi dengan aroma lokal yang kental. Aku bisa bayangin formula eksaknya kalo ini film Hollywood, ceritanya pasti tentang Ressa akhirnya sadar yang dia butuhkan bukan sembuh dan menangin approval Broto tapi balik ke kampung, realizing cintanya kepada si teman masa kecil, dan stay membantu Tika dan Mbah Wongso gedein warung makanan lokal, dan membuktikan dia udah jad better person dengan menerima siapa dirinya sebenarnya. Mungkin karena gak mau terlalu sama ama formula usang Hollywood itu jugalah, maka film ini menggodok elemen aksi dan sendirinya berusaha menonjolkan elemen politik lokal sebagai heritage dirinya sendiri.

Rahasia bukan terletak pada resep atau formulanya apa. Rahasia itu ada pada apa yang kita lakukan dalam menangani bahan-bahan yang tertera pada resepnya. Sehingga yang bikin ‘resep rahasia’ berharga adalah koneksi yang dimiliki oleh pemiliknya terhadap resep tersebut. Itulah yang tidak bisa diimitasi atau ditiru oleh orang lain. Jadi, itulah rahasia yang harus dibuka Ressa; koneksi antara dia dengan dari mana dia berasal.

 

Membawa cerita ke arah aksi saat Ressa (di titik ini dia udah kembali menggunakan nama aslinya, Roso) dan Tika terancam oleh komplotan yang mengincar sisa resep Mustikarasa tampak seperti pilihan easy yang bisa membuat film lebih mudah diterima masyarakat, after all cerita butuh klimaks yang seru dan menegangkan sebagai finale. Masalahnya adalah, racikannya belum menyatu banget. Masih kayak kalo kita nyampurin air dengan minyak. Terasa banget ada batas yang memisahkan elemen-elemen cerita. Misalnya elemen aksi ini. Film literally nampilin di 30 menit akhir, setelah sebelumnya urusan journey karakter tadi kelar. Jadi 30 menit terakhir film ini jadinya ya aksi dan revealing tapi sudah gak ada journey. Cerita Roso sudah finish, kita hanya nunggu ini cerita ujungnya sedih atau happy aja. Background sejarah politik real memang sudah dibuild up sejak pertengahan – naskah memposisikan ini sebagai bagian “taktik baru” – yang actually bikin film kayak dua episode berbeda. Setelah masalah Roso kelar, kini saatnya urusan mencari resep rahasia. Harusnya elemen-elemen bisa meluruh dengan lebih baik lagi, batasan episodenya harusnya bisa untuk tidak terasa.

Tapi tetep berhasil bikin pengen kulineran selepas dari bioskop

 

Jika bagian awal filmnya tampak begitu runut dan bahkan terlalu detil membangun narasi – like, sampai harus ada dua orang dokter untuk bahas lidah mati rasanya Ressa – sebaliknya paruh akhir film terasa terburu-buru. Middle ground harusnya di effort Ressa saat berada di tengah-tengah Tika dan Mbah Wongso. Bagian ini tidak mesti mentok sebagai babak kedua, sebaliknya menurutku cerita harusnya masuk ke sini lebih cepat. Set up buku Mustikarasa, Ressa terkenal dan downfall hingga dia bisa sakit mati rasa tidak perlu sampai jadi satu babak penuh. Melainkan, cerita butuh waktu lebih banyak Ressa di kampung sehingga persoalan mati rasa, pak Broto dan Mustikarasa, serta kaitan heritagenya dengan semua itu bisa dibangun seiring Ressa berkonfrontasi dengan tempat yang dia sempat tinggalkan karena trauma. Memang bakal jadi kayak ala Hollywood tadi, tapi as long as ujungnya bukan kompetisi/challenge masak yang predictable, film ini masih akan dapat terasa original karena urusan sejarah politiknya tadi.

 




Penyajiannya sebenarnya gak buruk, setiap eksposisi dibikin menarik oleh klip dari dokumentasi sejarah. Film ini bahkan menghindari sebagian besar flashback dengan menyatukan adegannya ke dalam ‘real time’ cerita berupa kenangan ataupun bagaimana cara karakter memandang sebuah momen. Saat menampilkan masakan dan makanan pun, film fluid dengan teknik editing cepat-cepat ala Edgar Wright, dan shot-shot makanan berhasil bikin kita berselera. Problemnya hanya di racikan naskah yang belum terlalu mulus mengaduk setiap elemen cerita. Kalo dinilai dari resep alias ide ceritanya, aku sangat merekomendasikan film ini. Bahasannya beda, tema kuliner jelas cukup langka di film indonesia, apalagi film ini ngawinin banyak, ada aksi hingga sejarah yang gak setiap hari bisa kepikiran untuk dijadiin cerita film. Tapi karena film sama seperti makanan; urusannya adalah rasa, ya kita harus nyobain sendiri. Dan inilah yang kepikiran olehku untuk menilainya. Rasa film ini harusnya bisa lebih baik lagi mengingat resep dan penyajian yang bagus.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for RAHASIA RASA.

 




 

That’s all we have for now.

Aku baru tau ternyata buku Mustikarasa itu beneran ada. Bagaimana dengan kalian? Bagaimana pendapat atau reaksi kalian terhadap buku kumpulan resep dari seantero nusantara yang diprakarsai oleh Bung Karno ini, denger-denger cetakan aslinya sekarang dijual dengan harga jutaan loh!

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



NOSFERATU Review

 

“Death is my lover and he wants to move in.”

 

 

Dalam dunia kita yang relijius, kita mengenal petuah soal gimana dalam sebuah hubungan, orang ketiga adalah setan. Well, di dunia gothic buatan Robert Eggers, tempat di mana melankoli dan supernatural sama nyatanya dengan wabah mematikan, orang ketiga tersebut literally adalah sosok vampir legendaris yang menguasai manusia bahkan lewat mimpi mereka.  Penceritaan modern dari cerita klasik Nosferatu (yang sebenarnya adalah versi ‘ngeles dari copyright’ mitologi Drakula) ini ternyata ditonjolkan banget kelumit romance dan lust yang ‘berdarah-darah’ oleh Eggers, Sehingga aku yang nonton film ini pas tanggal 14 Februari pun ngerasa, kok pas juga ya jadinya horor ini ditonton sekarang!

Pasutri Thomas dan Ellen Hutter udah siap untuk membangun keluarga kecil mereka. Thomas dapat kerjaan khusus, ngurusin penjualan tanah ke bangsawan tua kaya raya di pelosok Jerman-Fiktif. Bayarannya gede. Jadi pergilah Thomas ke sana, ninggalin Ellen. Mereka gak ada yang tau kalo bangsawan bernama Orlok tersebut ternyata adalah makhluk kuno penghisap darah, dan juga adalah ‘mantan’ Ellen saat masih muda. Ellen yang punya bakat supernatural duli sering didatangi oleh Count Orlok di alam mimpi. Jual beli tanah kerjaan Thomas tadi hanyalah bagian dari rencana Orlok untuk memisahkan Ellen dengan sang suami, supaya dirinya bisa kembali menyatroni Ellen, kali ini memiliki perempuan itu seutuh-utuhnya, selahap-lahapnya, for good. Dan Count Orlok, being makhluk terkutuk, membawa bencana ke manapun dia berada.

Pengantin Iblis yang sebenarnya

 

Perbedaan yang terasa secara narasi antara Nosferatu modern dengan Nosferatu tahun 1922 dulu (gile jaraknya seabad!) adalah fokus cerita. Eggers tidak banyak menggunakan simbolisme atau alegori terhadap keadaan dunia. Meskipun memang, lucunya, film modern ini muncul setelah wabah pandemi seolah sebagai echo dari gimana film jadulnya dibuat setelah wabah flu Spanyol – dan kedua film ini sendiri memuat tentang wabah yang diakibatkan oleh tokoh titularnya. Gatau deh itu disengaja atau enggak sama pembuatnya haha.. Tapi yang jelas, Eggers memilih untuk menonjolkan relasi antara tiga karakter sentral, dan bahkan secara berangsur memindahkan fokus utama cerita ke karakter Ellen. Sehingga karakter ini punya pilihan (as opposed to hanya terpilih sebagai ‘korban’) dan background yang misterius yang membuat akhirnya dia jadi karakter yang fully-pledged. Dengan pesan empowering menguar di balik karakternya tersebut.

Bahwa dalam suatu hubungan yang entah itu toxic atau controlling, perempuan bisa kok lepas dari jeratan. Perempuan punya pilihan dan power, meskipun mungkin hasilnya tragis kayak di film ini. Tapi setidaknya, perlawanan cara Ellen menyisakan kehormatan karena merupakan bentuk dari sebuah pengorbanan yang pure dan selfless. 

 

Perbedaan narasi tersebut tentu saja dibarengi dengan perbedaan desain karakter. Di elemen ini Eggers sekali lagi menunjukkan taringnya. Dia berpijak kepada legenda atau mitos tentang Dracula tetapi juga dengan cueknya memperlihatkan desain yang di luar pakem pop culture Dracula ataupun juga Count Orlok itu sendiri yang sudah kita kenal. Mitos soal gimana vampir menghisap darah, misalnya. Film ini berani mengembalikan mitos yang udah populer (vampir menghisap darah dari leher korban) ke akarnya yakni dari lukisan-lukisan klasik; Orlok mengonsumsi manusia dari dadanya. Dan ini dilakukan juga untuk memperkuat kesan take control yang dilakukan oleh si vampir. Melahap dari dada toh memang terlihat lebih primal. Rakus, Penuh Kebuasan. Disturbing. Atau juga soal mitos vampir lemah oleh sinar matahari. Oleh film ini, kelemahan tersebut diolah menjadi adegan yang powerful dan naas sekaligus! Perlakuan Eggers terhadap mitos dan mengaitkannya kepada adegan puncak Orlok dan Ellen berhasil terabadikan menjadi sebuah adegan yang aku yakin juga akan diingat sepanjang masa. Bukan saja dari maknanya, tetapi juga dari gimana adegan tersebut berhasil dicapai lewat kostum, efek, sinematografi, dan sebagainya. Kayaknya kita memang harus bicarain karakter dan desain mereka satu-satu, deh.

Pertama, Thomas yang diperankan oleh Nicholas Hault. Di rumah, family man. Di kantor, pria muda yang gak sabar menunjukkan kemampuannya, pria yang ingin nunjukin ke bosnya kalo dia worthy for the job. Loyal, naif , tapi sayang istri, lah pokoknya. Di tangan sutradara lain mungkin karakter ini akan jatoh cupu atau at least hopeless tapi simpatik kayak Jerry di Rick & Morty. Apalagi memang struktur naskah membuat Thomas seperti dioverpower bukan saja oleh Orlok, tapi oleh istrinya – secara posisi karakter. Tapi film ini berhasil mempertahankan sisi kuat Thomas sebagai karakter yang fungsi pertamanya memang sebagai wakil penonton. Orang yang sama sekali di luar kejadian tapi perlahan-lahan terseret dan dia menemukan kekuatan untuk terus bertahan sehingga kita melihatnya bukan saja pantas berada di sana, tapi juga pantas untuk kita dukung perjuangannya.

Kedua, Ellennya Lily-Rose Depp. Film juga mengevolusi karakter ini, berkebalikan dengan Thomas. Lily awalnya kayak dikasih tugas jadi misterius dan berakting kesurupan – yang memang dilakukannya dengan total sehingga adegan kesurupan film ini creepy semua (opening film ini juga memorable banget karenanya!) Ellen dengan gaun putih udah kayak roh nelangsa yang dipermainkan antara kenikmatan mimpi dan realita sebelum akhirnya dicabik penuh derita. Tapi perlahan film mengubah ‘roh nelangsa’ menjadi simbol sebuah maiden. Ellen dimainkan oleh Lily-Rose seperti penuh kerapuhan, kita khawatir kepadanya – kadang juga takut – tapi power di balik dirinya terasa perlahan terbuild up. Kekurangan karakter ini buatku cuma satu sih, itupun datang dari struktur naskah yang dipilih tadi. Kita kurang banyak ada berkubang di kegelapan pikiran tragisnya. Bahkan setelah cerita udah full memandang dia sebagai karakter utama, Ellen masih tetap harus berbagi waktu dengan karakter lain misalnya si doktor paranormal yang eksentrik demi fungsi untuk menyampaikan eksposisi.

Nangis darah udah paling tepat menggambarkan betapa tragisnya kisah film ini

 

Last but not least tentu saja Count Orlok. Sebelum nonton kupikir Bill Skarsgard nasibnya udah kejebak mainin karakter horor yang creepy, tapi ternyata yang dia lakukan di sini justru bisa dibilang dibutuhkan supaya sosok vampir dalam film menjadi fresh. Tau dong gimana vampir biasanya digambarkan karismatik, bahkan enggak jarang ganteng atau punya pesona sendiri dalam menarik mangsa. Count Orlok original sendiri, walau gak kayak keluarga Cullen, tapi sudah ikonik dengan sosoknya yang mengerikan. Tantangan Nosferatu terutama kayaknya adalah dari gimana sosok Orlok yang baru bisa gak ikonik, supaya mereka gak terlalu dibanding-bandingkan. Skarsgard paham assignment dia. Dan dapatlah kita Orlok yang geraman suaranya seperti bergema di dalam hati, atau kepala, I’m not sure. Yang sosoknya kayak ringkih  tubuhnya rotten kayak mayat beneran, tapi bisa bergerak cepat (editing yang serem banget dilakukan film demi ngasih liat kekuatan Orlok). Dan ya, mana lagi coba makhluk kuno tapi berkumis. Orlok Skarsgard kayak berjalan elegan di garis antara komikal dan legendary, dan itulah yang bakal membuat karakternya ini bakal terus terpatri.

Dan film ini sendiri tu udah kayak si Orlok itu tadi. Dunianya tampak begitu jadul, mistis, dengan pengambilan gambar dan sinematografi yang ngasih vibe seram tradisional namun sangat efektif. Namun ada nuance modern dari ‘nyawa’ karakternya. Mitologi drakula dari Bram Stoker dihidupkan lewat mindset modern, di mana perempuan sudah lebih berdaya, sekaligus ini menghasilkan konklusi yang beautiful tapi tragis.

 




Buat yang belum nonton film Nosferatu original, atau yang sebelumnya cuma tahu Orlok dari kartun Spongebob, sebenarnya gak papa langsung nonton ini tanpa tahu apa-apa, karena ceritanya berdiri sendiri dan reference-nya juga lebih ke arah mitologi vampir secara general. Tapi jika ingin membandingkan, kalo bisa nemu film jadulnya yang bisu dan itam putih itu, silakan saja nonton. Buatku film versi modern ini tragis dan pilunya dapet, creepy supernaturalnya dapet, sungguh sebuah experience horor yang hormat terhadap era klasik. Kekurangannya buatku cuma struktur naskah yang kayak menukar posisi karakter utama antara Thomas dengan Ellen, yang aku totally get it kenapa film melakukan itu. Penampilan akting juga berhasil bikin film ini enak untuk diikuti, di samping juga dunianya yang benar-benar kebangun. Film ini juga ngasih lihat soal wabah dan gimana dunia luar bereaksi terhadap mitologi Count Orlok. Sehingga scale cerita film ini kerasa besar dan hidup.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOSFERATU
.

 

 




That’s all we have for now.

Count Orloknya Bill Skarsgard hanyalah satu dari sekian banyak jelmaan drakula dalam film berdasarkan bukunya Bram Stroker. Di antara semua, mana sosok drakula versi favorit kalian? 

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 23 (EMILIA PEREZ, WICKED, FLOW, VENOM: THE LAST DANCE, RED ONE, A DIFFERENT MAN, Y2K, WOMEN FROM ROTE ISLAND)

 

 

Nominasi Oscar telah diumumkan, beberapa nominenya yang kontroversial pas banget udah aku tonton tapi belum sempat kereview tunggal. Jadi, ya di sinilah kukumpulkan bersama review film-film lain yang juga sama-sama belum ada ulasannya. Enjoy Mini Review pertama di tahun 2025!

 

 

A DIFFERENT MAN Review

A Different Man adalah cerita yang berbeda tentang identitas. Memang sih karya Aaron Schimberg ini menelisik gimana society memandang orang-orang yang “not normal” kayak The Elephant Man, ataupun juga masuk ke psikologis karakter yang ingin mengenyahkan sisi dirinya yang bahkan dia sendiri enggan menerima kayak The Substance, hanya saja sudut pandang yang diambil oleh film ini terasa lebih ironis. Naskahnya benar-benar mengkonfrontasi sisi hipokrit dari karakter yang pengen nunjukin siapa dirinya ke orang, tapi sekaligus dia juga malu ngeliatin apa adanya dirinya kepada orang.

Nonton film ini rasanya berpadu antara kasian ama ‘rasain lu!’. Edward ngerasa karirnya sebagai aktor serta bintang teater gak bakal mulus karena kondisi wajahnya. Jadi ketika dia mendapat kesembuhan, dia mempersembahkan dirinya sebagai “pribadi yang baru”, bukan lagi sebagai Edward. Dia bahkan ikut casting memerankan karakter yang dibuat berdasarkan dirinya waktu dulu masih Edward. Ironis banget kan, padahal si cewek sutradara teater itu suka Edward yang mukanya begitu, tapi Edward sendiri lebih memilih untuk berakting sebagai dirinya, ketimbang apa adanya. Untuk mencapai goalnya, memang naskah film ini ngambil resiko untuk jadi aneh,  bukan ke horor creature tapi like, agak ke “mustahil di dunia nyata” yang lebih grounded gitu. Tapi pilihannya itu memang berbuah plot yang terus menelisik sikap Edward.

Paling ngakak nanti ketika datang karakter Oswald, yang punya kondisi sama seperti Edward, tapi dia orangnya pede. Melihat ‘kompetisi’ Edward yang udah ganteng dengan Oswald tu bener-bener kayak ngeliat gimana seseorang mencoba mengalahkan dia yang seharusnya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A DIFFERENT MAN.

 

 

 

EMILIA PEREZ Review

Emilia Perez berangkat dari film yang mendapat standing ovation 9 menit penuh di Cannes 2024, menjadi film yang paling dilaknat sinefil karena nyabet 13 nominasi Oscar padahal filmnya problematis; sutradaranya, Jacques Audiard, ngaku gak riset Mexico, kurang representasi lokal, pake AI untuk adegan musikal karakter titularnya, serta juga karena katanya Selena Gomez kurang effort. Yah, itu semua cerita ‘kontroversinya’, kita boleh gak suka atau gimana karena itu, tapi di sini aku mau coba menilai dari produk filmnya itu sendiri – di luar hal-hal kontroversial tadi.

Saat pertama nonton ya aku merasa film ini punya sudut pandang unik yang menghasilkan situasi musikal yang unik. Itu karena aku memahami film ini sebagai kisah Zoe Saldana sebagai tokoh utama, sebagai pengacara wanita yang punya prejudice terhadap gender berdasarkan kasus-kasus yang ia tangani, lalu dia dipaksa jadi klien untuk ketua gangster Mexico yang diam-diam ingin meninggalkan dunia kriminal karena si gangster ini ngerasa dirinya yang sebenarnya tuh perempuan, jadi dia ingin jadi trans woman. Sudut pandang Zoe di sini menarik karena prasangka dirinya terhadap gender dan tingkah laku serta merta menjadi semakin kompleks saat dia terlibat dalam hidup si Emilia, sebelum dan sesudah menjadi wanita. Emilia Perez sama seperti A Different Man dalam hal memotret gimana manusia merasa diri mereka berubah setelah ganti ‘sosok’, padahal mungkin sebenarnya tidak ada yang berubah. Bahwa semuanya itu tergantung di dalam kita.

Perkara musicalnya, memang ada juga adegan lagu yang konyol. Wicked yang kita bakal kita bahas nanti, punya musical number yang jauh lebih powerful. Aktingnya memang kadang terasa karikatur, yang sejalan dengan kontroversi film ini masih dalam kotak stereotipe. Buatku, masalah utama pada film ini, adalah naskah yang masih belum firm mematok tokoh utama. Antara si pengacara wanita atau karakter titularnya. Jika pilihan ini lebih exact, bisa jadi film ini lebih kuat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for EMILIA PEREZ.

 

 

 

FLOW Review

Animasi dari Latvia ini rounding up betapa magnificentnya skena film animasi di tahun 2024 kemaren. Flow yang mengambil tempat di dunia fantasi, dihidupi oleh hewan-hewan yang grounded banget ke kita – bukan cuma dari suara mereka yang memang ngambil suara hewan asli!

Gak ada dialog dalam film ini, hanya suara hewan-hewan itu. Namun sutradara Gints Zilbalodis dengan efektif menyampaikan – lewat animasi yang tampak kasar tapi nyatanya begitu fluid – pesannya tentang kerja sama tanpa mengenal ras di balik kisah petualangan seekor kucing di dunia yang dilanda banjir. Kucing yang notabene hewan penyendiri itu harus belajar survive di keadaan sulit bersama hewan-hewan lain yang either dia belum pernah ketemu kayak Capibara atau bangau mitologi, ataupun hewan yang selama ini ia anggap musuh, kayak seekor anjing.

Animasinya serasa benar-benar mengisi keindahan tema cerita yang disampaikan. Kreativitasnya clearly begitu pure dan magical, membangun dunia yang membuat mata kita melekat ke layar. Sementara storynya sendiri, well, jangan harapkan cerita petualangan yang bombastis, cerita film ini ngalir sederhana aja dengan ‘kejutan’ magis di sana sini. Akan mudah bagi kita untuk tersedot masuk dan peduli dan ngerasa jam berlalu bagai terbang saat menonton ini.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for FLOW

 

 

 

RED ONE Review

Buatku ini salah satu film yang suprisingly potensial, tapi jatuh flat on it’s face, karena satu hal: The Rock yang sepertinya kekuatan supernya di dunia nyata adalah membuat film apapun yang ia bintangi menjadi generic. Well, The Rock atau penyakit sutradaranya, Jake Kasdan.

Aku suka konsep dunianya. Makhluk-makhluk mitologi ternyata nyata, dan Sinter Klas kini diculik sehingga bagi-bagi kado saat natal terancam batal. Dan Kapten Ameri..ehm, Chris Evans harus bekerja sama dengan kepala sekuriti sinterklas, The Rock, bertualang mencari siapa yang menculik. Salah satu tersangka utama adalah Krampus, sodara Santa Claws. Tuh aku tertarik banget ketika film mulai bahas hubungan persaudaraan mereka. Sampai-sampai aku lebih pengen ngeliat petualangan karakter Chris Evans yang manusia biasa dengan Krampus, alih-alih dengan The Rock. Pertama, aku ingin mitologi dan relasi karakter lebih dieksplorasi lagi. Film ini tu kayak kurang banget. Karena, kedua, film ini tetap memfokuskan kepada The Rock dan adegan-adegan aksi. Di sinilah film ini jadi generic banget.

Makhluk-makhluk yang dilawan sih cukup kreatif. Cuma ya, adventure nya jadi cookie cutter banget. Apalagi baik itu The Rock maupun Chris Evans keduanya sama-sama masih kayak saling jaim. Bantering mereka kayak standar aja. Mereka masih kayak berlomba mana yang paling cool doang. Aku berharap dua jam dapat something fres, nyatanya ya hiburan yang seperti biasa aja.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for RED ONE

 




VENOM: THE LAST DANCE Review

Beda dengan Chris dan The Rock, bantering antara Tom Hardy sebagai Eddie dan sebagai Venom si symbiote memang terasa lebih ngalir dan lebih fit untuk role “buddy comedy”. Hanya saja, hal tersebut tidak cukup kuat untuk mengangkat film terakhir dari trilogi Venom ini. Karena secara overall, film ini masih terasa berantakan oleh constant pushing universe ceritanya.

Aku gak tau siapa yang minta tapi Venom: The Last Dance is actually punya adegan Venom berdansa. Mungkin kedengarannya memang lucu, dan bisa saja jadi tontonan yang works, tapi tidak kalo kita melihat film ini punya bigger mission yakni tentang pengenalan banyak makhluk symbiote lain dan main antagonis berupa entitas yang jadi ‘predator’ utama bagi symbiote. Bagi film ini, keberadaan karakter-karakter tersebut hanya jadi outer journey. Spektakle aja. Makanya film ini terasa kosong. Momen-momen development Eddie dan Venom terasa begitu sporadis dan seperti berjalan sendiri.

Sebagai sebuah trilogi pun, udah di film terakhir tapi aku masih belum ngerti bentuk gambaran besar trilogi ini seperti apa. Segala hal tentang film ini terasa disjointed, baik itu secara dia stand alone, ataupun sebagai kesatuan dari trilogi. Bisa jadi ini karena peralihan sutradara dan persoalan IP Sony dan Marvel itu. Akhir trilogi ini kembali dipegang oleh Kelly Marcel, dan di point ini sepertinya dia menggigit projek yang terlalu besar untuk dia kunyah. Or may be semua proyek utuhnya udah dikunyah ama Venom hihihi

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for VENOM: THE LAST DANCE

 

 

 

WICKED Review

Fan fiction biasanya recehIt is what it is. Kita begitu suka ama suatu cerita sampai-sampai cerita itu menginspirasi kita untuk mengarang sesuatu untuk mengembangkan lore ceritanya, sesuai maunya kita. Most of fan fiction biasanya cuma muasin kesukaan pembuatnya. Tapi Wicked yang diangkat jadi film oleh Jon M. Chu dari teater play yang ‘cuma’ fan fiction dari The Wizard of Oz, ternyata punya sesuatu.

Sesuatu itu could be yang dibilang orang sebagai ‘movie magic’. Wicked memang film modern, yang fantasinya mulus berkat teknologi, yang juga aku akui terasa agak kepanjangan, tapi vibenya tuh masih kerasa kayak fantasi klasik. You know, dongeng yang sarat pesan berharga. Mengirim kita ke dunia ajaib dengan karakter-karakter ajaib tapi kita masih terasa menapak. Ceritanya sendiri berpusat pada gimana Glinda dan Wicked Witch of the West di jaman sekolah dulu, saat mereka masih berteman. Sesuatu itu bisa juga penampilan akting yang quirky tapi pas. Karakter film ini memang kayak komikal, aku sempat gagal fokus terutama pada Galinda – Ariana Grande maininnya kayak era Cat Valentine banget – tapi mereka gak pernah ninggalin hati mereka. Iya sih agak aneh ngelihat yang udah lama kita kenal sebagai penyihir jahat ternyata baik atau sebaliknya, namun melihatnya sebagai stand alone story, film ini punya karakter yang menarik.

Puncaknya ya adegan musikal. Lagu-lagunya memang gak sampai membuatku berdendang, tapi adegan musikalnya powerful. Cynthia Erivo dan Ariana Grande gak lagi main-main di adegan-adegan musikal dengan range akting – dan tentunya vokal but I don’t know about this – yang mengukuhkan deliverance film ini sebagai penceritaan di dunia ajaib dengan musik yang gak kalah magis.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for WICKED

 

 

 

WOMEN FROM ROTE ISLAND Review

Jawara FFI, jagoan Indonesia buat ke Oscar tahun ini, namun tak pelak, sepanjang tahun kemaren film debut penyutradaraan Jeremias Nyangoen ini juga santer oleh kontroversi. ‘Emilia Perez’nya Indonesia-lah, mungkin bisa dibilang.

Satu hal yang dilakukan dengan benar oleh film ini ketimbang Emilia Perez adalah, Rote Island tidak ada dosa lack of representation. Film ini dengan berani menggunakan aktor-aktor lokal, yang memberikan penampilan akting maksimal, sehingga film ini terasa beneran lokal. Sesekali ada juga ‘jendela’ yang membuat kita melihat kebudayaan lokal Pulau Rote, tapi mainly film ini ingin menilik adat setempat yang membuat gerak kaum perempuan terbatas. Lalu kemudian film ini mulai beat up our head dengan perlakuan yang dialami perempuan di sana, lewat adegan – adegan yang semakin lama semakin brutal. Inilah yang memang jadi akar kontroversi film ini. Penggambaran kekerasan terhadap perempuan yang nyaris bikin film ini kayak film eksploitasi.

Menurutku penyebabnya karena film ini deliberately pindah sudut pandang dari karakter Orpa (seorang ibu) ke ngeliatin kejadiaan naas yang dialami putri-putrinya. Dan aku setuju perpindahan tersebut tidak perlu. Sedari awal naskah dibangun dengan Orpa sebagai tokoh utama, Orpa juga ngalamin perlakuan yang degrading, dia juga sudah harus dealing with ‘misteri’ kenapa Martha, putri sulungnya, jadi punya perilaku aneh kayak trauma mendalam, dan di babak akhir pun Orpa yang ‘beraksi’ mengungkap semua. Untuk karakter utama yang sudah digenjot hambatan dan masalah seperti ini, memindahkan perspektif ke korban lain hanya untuk menegaskan gimana exactly kekerasan itu terjadi kepada mereka hanyalah tindakan overkill yang bikin film tidak kelihatan main cantik.

The Palace of Wisdom gives 6 gold star out of 10 for WOMEN FROM ROTE ISLAND.

 

 

 

Y2K Review

Aku memang belum nonton semua film A24 sih, tapi rasa-rasanya Y2K ini film A24 terjelek yang pernah aku tonton! Filmnya datar banget. Padahal yang dipotret adalah what if scenario di akhir era 90an saat orang-orang was-was apa jadinya jika semua komputer error saat pergantian tahun dari 99 ke 00 alias 2000.

Sutradara Kyle Mooney put all his money ke membawa hal-hal nostalgia 90an sehingga dunia ceritanya bisa genuine, tapi itu tidak lantas tertranslasikan menjadi vibe 90annya dapet. Itulah yang kurang di film ini. Karakter-karakternya gak asik. Para aktor, kecuali Julian Dennison, gak dapet mainin remaja 90an yang awkward. Mereka semua tu kayak jaim, development karakter mereka gak kerasa sama sekali. Kalo sudah begini, satir atau lelucon apapun yang berusaha mereka deliver, jadi miss semua. Jadilah film ini sangat bosenin (padahal durasinya singkat) padahal paruh akhirnya harusnya bisa cukup seru dengan trope manusia vs. komputer pembunuh.

Satu-satunya yang memorable buatku di film ini adalah keputusan aneh mereka ngebunuh karakter paling likeable duluan. Ini tuh berdampak gede banget, bukan hanya dari keseruan kita menonton, tapi dari karakter yang masih idupnya sendiri. Film seperti kehilangan hook gede sehingga karakter yang tersisa kayak berlari dan berusaha survive tanpa kaitan emosional. Atau kaitan lainnya ada, cuma tidak berhasil tercuat oleh naskah. Film yang harusnya main di ranah pesona awkward khas 90an akhirnya hanya kayak cringe dan cheesy tanpa jiwa.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for Y2K

 




 

 

That’s all we have for now

Siapa jagoan kalian di Oscar tahun ini? Silakan share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



1 KAKAK 7 PONAKAN Review

 

“It’s not a burden to make sacrifices for family, it’s a privilege”

 

 

Ngerasa gaji cuma numpang lewat; barusan gajian tapi abisnya cepet banget? Well, bisa jadi kamu adalah sandwich generation, Kawan. Generasi yang kejepit antara biaya untuk hidup sendiri dengan tanggungan orang tua, dan bahkan jenjang keluarga yang lain. Maka tentu saja peran dan tanggungjawab sandwich generation ini sungguh berat, dan berkat film kita semua paham perjuangannya gimana. Tahun lalu ada Home Sweet Loan yang ngebahas, dan di awal 2025, Yandy Laurens ngasih sudut pandang yang lain buat memotret fenomena ini. Yandy mengadaptasi materi cerita Arswendo, memberikan nod kecil buat versi sinetronnya, dan lantas menggodok cerita yang bisa relate dengan generasi sandwich kekinian yang berjuang untuk meringankan beban keluarga sementara bebannya sendiri numpuk hingga ke titik ngerasa bersalah kalo mikirin dirinya sendiri. Puk puk dirimu sendiri, Kawan, karena ini adalah film yang haru lagi hangat menguatkan.

Tanggungan Moko gak tanggung-tanggung. Memang sesuai judulnya aja. Sebagai kakak/paman, Moko harus menghidupi tiga ponakan yang masih kuliah, satu remaja titipan, satu bayi, dan dua orang yang bahkan lebih gede (dan harusnya lebih bertanggung jawab) dari dirinya. Padahal tadinya Moko sudah hendak lanjut kuliah S2, tapi mimpinya sebagai arsitek harus ditunda demi membesarkan bayi sang kakak. Moko juga mengorbankan hubungan asmaranya dengan Maurin, pacarnya yang setia dan sebenarnya ingin membantu tapi she knows better untuk jaga boundary. Naskah film ini memilih fokus bukan di kesulitan ekonomi ataupun konflik luar lainnya, melainkan menekankan ke permasalahan perasaan. Ketika ponakan-ponakan Moko mulai merasa mereka jadi beban bagi paman mereka yang baik hati. Ketika ada satu ‘voice of reason’ mulai menggebah Moko untuk mengejar karir.

Moko nerima ponakan udah kayak karakter di game Suikoden ngerekrut karakter baru -_-

 

Aku ngerasanya film ini beneran kayak versi sudut pandang cowok dari Home Sweet Loan sih. Gimana galian perspektif gender yang berbeda membuat bahasan dan fokusnya pun jadi berbeda. Dan aku lebih relate sama 1 Kakak 7 Ponakan ini. Keduanya sama-sama punya penokohan dan naskah yang kuat, hanya fokus yang lebih less-materialistis, misalnya kayak, ini tidak pernah jadi soal menabung atau pindah rumah dalam 1 Kakak 7 Ponakan. Bertahan di rumah kecil, dengan permasalahan ekonomi yang menggerogoti namun karakternya selalu bilang “Uang bisa dicari” membuat karakter dan cerita film ini lebih beresonansi buatku karena kita benar-benar diajak untuk menyelami root dari problem. Yakni perasaan masing-masing. Dan itu bukan berarti film ini memudahkan masalah ekonomi yang dilanda karakternya, loh. Naskah hanya mengarahkannya ke bentuk lain yang sama-sama masih dalam lingkup kehidupan profesional. Yaitu soal kerjaan sebagai arsitek. Kita masih akan melihat Moko berkutat dengan karirnya. Gimana dia masuk kerja dibantu oleh Maurin yang sudah lebih dulu di sana, gimana visi desain ruangan ajuan Moko terpengaruh oleh pengalamannya sebagai basically orang tua dari anak segitu banyak. Cowok pula.

Bahkan aku ngerasa seperti bahasan single parent inilah harusnya film Dua Hati Biru tahun lalu. Bahasan ketika seorang cowok membesarkan anak bayi, yang sampai membuat dia menunda mimpi dan karir sendiri sementara pasangannya sudah lebih dulu berkarir. 1 Kakak 7 Ponakan ngebingkai perjuangan Moko dalam banyak spektrum. Cowok yang baru saja lulus kuliah tapi harus ngerawat bayi, cek. Adek yang kehilangan kakak, cek. Paman yang harus ngurusin ponakan yang masih remaja, berusaha ngimbangin diri antara jadi orangtua dan kakak mereka – at one point, Moko harus berurusan dengan masalah khas remaja cewek – cek. Orang yang dimintai tolong ngejaga anak gadis mereka, cek. Pacar yang harus rela pisah karena saking cintanya dia gak mau menghambat orang terkasih, cek. Dan tentu saja dirinya yang ngerasa kegencet – tau-tau berada di posisi sandwich generation. Banyak banget ini yang bersarang di pundak begeng Moko. Chicco Kurniawan had never impressed me before, tapi sebagai Moko, di sini dia tampak klop dengan sosok yang menanggung beban seberat itu. Aku pikir dia berhasil ngehandle perannya ini dengan seimbang, terutama ketika dia begitu konsisten ngasih perawakan ‘kusut’ di balik setiap emosi yang ia tampilkan ke luar.

Dengan banyak spektrum begitu, permasalahan utama kisah ini memang dapat terasa agak lama mencuat. Cerita kayak melayang aja mengarungi kehidupan sehari-hari yang sebenarnya mengharukan tapi dipotret dalam nada yang sederhana. Membuatnya terasa dekat dan hangat. Bahkan ada beberapa time skip juga, tapi kita tidak akan ketinggalan banyak, karena pertumbuhan karakternya tetap kelihatan. Dan make sense, gitu, karena tentu saja mereka semua jadi semakin akrab dan menumbuhkan rasa hormat. Buatku, daging drama film ini tu pas nanti ketika Moko mengetahui ponakan-ponakannya diam-diam memilih untuk bekerja. And they all have good reasons jadi Moko gak semudah itu melarang. Dialog mereka ‘sekeluarga’ di ruang tengah jadi salah satu highlight di film ini.

Dalam keluarga itu hanya ada dua. Antara kita ngerasa jadi beban, atau kita merasa terbebani. Mungkin kita merasa sudah terlalu banyak bikin susah orangtua. Mungkin kita ngerasa belum bisa balas budi. Atau di lain pihak kita ngerasa terlalu banyak dituntut; cuma kita yang kerja. Dialog dalam film ini membuka perspektif yang mungkin kalo di dunia nyata tak bakal terungkap. Bahwasanya menanggung beban untuk keluarga itu sebenarnya adalah sebuah privilege. Karena merupakan kehormatan untuk berkorban demi orang yang kita sayang. Orang-orang yang baik sama kita.

 

Karakter menarik buatku adalah Gadis yang numpang tinggal di tempat mereka. Relasinya dengan Moko bakal jadi salah satu relasi yang penting untuk pembelajaran Moko. Karakter satu lagi yang menarik adalah mas Eka, yang diperankan dengan super sotoy oleh Ringgo Agus Rahman. Menarik, karena dia ini kayak voice of reason yang mengutarakan hal yang sounds about right – yang terpikir juga di benak karakter lain seperti Maurin dan bahkan Moko sendiri, tapi mereka hanya terlalu baik untuk mengungkapkannya. Like, di dunia nyata sebenarnya ada kala kita butuh orang kayak Eka. Yang di balik omongannya yang nyelekit. dia toh point out some necessary evil things yang mungkin memang harus Moko lakukan. Tapi itu juga tidak lantas membuat karakternya ini totally benar. Aku pikir ada kekompleksan juga di karakternya ini. Kalo Moko bisa kayak Piccolo yang bisa membuang hati dan perasaan gelapnya ke luar dalam cerita Dragon Ball, maka perasaan gelap Moko itu akan jadi mas Eka ini.

I barely remember the song, but still.. NOSTALGIA!

 

Durasi yang cukup panjang berhasil diisi oleh film ini dengan cukup efektif. Film berusaha maksimalin momen-momen saat para karakter berkumpul bersama. Nature keadaan mereka memang sedih, tapi interaksinya dibuat sehangat dan serelate mungkin dengan keadaan bersaudara beneran yang gak terlalu mendramatisasi keadaan. Pengadeganannya juga dibikin unik, kayak saat Moko curhat ke Maurin soal dia merasa bersalah ingin kerja karena itu bakal berarti dia akan menyuruh ponakannya melakukan hal yang sama dengannya; menunda hidup mereka, adegan tersebut berlangsung di dalam mobil saat mereka masuk ke cuci mobil. Sehingga ada permainan warna dan vibe yang merasuk ke dalam mood dialog tersebut, Membuatnya jadi lebih membekas. Film ini juga menggunakan teknik pengungkapan yang sengaja membawa kita mundur ke adegan yang udah lewat untuk memperlihatkan apa yang sebenarnya ada/dirasakan oleh karakter untuk menyambung perasaan, yang mungkin agak mengganggu pace tapi berhasil bikin emosinya juga lebih membekas.

Namun selain pilihan penceritaan yang estetik, ada juga beberapa yang bisa kita nitpick. Misalnya kayak adegan nyemen tembok yang semennya kok dikit banget itu. Aku khawatir nanti betonnya jatuh nimpa pemain wkwkwk… Atau adegan Moko nolak pemberian sepatu yang menurutku jadi cheesy basa basi karena barangnya udah ada dan mereka beberapa menit sebelum sidang, bukan lagi di toko atau di luaran.  Tapi seperti kata lirik lagu sinetronnya, “Jangan risaukan…” film ini tetap menyenangkan dan aku suka banget momen Moko dan para ponakan main piano sambil nyanyi lagu tersebut.

 




Karena fokusnya pada hardship menjadi guardian bagi ponakan dan itu berarti mengorbankan banyak hidupnya sendiri, serta perasaan terbebani sekaligus juga pandangan tatkala ngerasa jadi beban keluarga, film ini mampu menjadi lebih terjangkau dan emosinya lebih ngena. Yang kompleks bukan sebatas angka karakternya saja, tapi juga perspektif mereka itu sendiri. Film mempersembahkan ceritanya dengan linear, memperlihatkan kehidupan dan permasalahan karakter, dengan beberapa time jump, dan bahkan dengan mundur sedikit untuk mereveal perasaan. Memang bisa agak terasa lama, tapi emotional pay off-nya akan sangat worth it terasa. Film ini cocok sekali untuk ditonton entah itu bareng keluarga beneran atau your new-found family, alias sahabat!
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for 1 KAKAK 7 PONAKAN.

 

 




That’s all we have for now.

Di film ini ada adegan Moko presentasi dan akhirannya nyaris fatal. Apakah kalian punya pengalaman presentasi yang hampir menjadi mimpi buruk seperti itu? 

Silakan share pengalamannya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL