JOKER Review

“Smile even when it hurts”
 

 
Cerita origin Batman sudah kita dengar lebih sering dari yang kita pedulikan. Tapi cerita musuh abadinya, si Joker; well, beberapa orang – termasuk aku tadinya – lebih memilih untuk membiarkan asal-usul Joker tetap misterius. Sepertinya memang lebih ‘menantang’ jika latar tokoh yang kompleks ini dibiarkan terselubung kabut. Plus, rasanya lebih aman dibiarkan begitu ketimbang tokoh ini ‘dirusak’ oleh backstory maksa yang mengakibatkan dirinya menjadi overdramatis – atau malah membuat kita merasa pantas untuk membenarkan segala tindakannya. Karena Joker memang orang ‘gila’. Dia ‘sakit’. Dan beruntung sekali, Todd Phillips ternyata mengerti letak menariknya Joker. Dia membuat kita bersimpati kepada Joker, secukupnya saja, karen kita tahu Joker ‘masih’ jahat. Memang, Phillips justru menantang kita dengan berbagai pertanyaan lewat film yang diniatkan sebagai character-studi – Joker dibuatnya bukan lagi sekadar tokoh penjahat di buku komik. Joker dan Gotham tidak terasa begitu jauh; boleh jadi di dunia kita bakal muncul yang seperti Joker dalam waktu dekat.
Joker tadinya adalah seorang pria bernama Arthur Fleck; yang merasa dilecehkan oleh orang-orang karena dia miskin dan bekerja sebagai badut. Menghibur orang walaupun orang tak pernah peduli sama keadaan hatinya. Di rumah, dia menghibur dan merawat ibunya yang sakit keras – bahkan ibunya tersebut lebih perhatian sama surat-surat yang tak kunjung dibalas oleh calon walikota Gotham. Yang dilakukan Arthur di luar shift kerjanya gak jauh-jauh dari kerjaan badut, yakni memasang senyum palsu. Di dunia yang semakin keras dan beringas, Arthur berusaha untuk tidak melahirkan kekerasan dari kekerasan. Dia tetap tertawa, berusaha membuat orang tertawa, meskipun tidak lucu. Oh, Arthur yang menahan sisi gelap tidak pernah lucu. Ketika diundang jadi bintang tamu acara televisi, Arthur tahu penonton dan orang-orang kaya itu tidak tertawa bersamanya. Mereka menertawakan dirinya.

tikus super yang susah untuk dibunuh

 
Tokoh Joker sendiri memiliki banyak variasi. Semenjak kemunculan perdana di layar lebar, Joker muncul di berbagai film dan serial televisi Batman, dimainkan oleh aktor-aktor yang sebagian besarnya adalah aktor top Hollywood. Masing-masing mereka punya pendekatan yang berbeda dalam memerankan Joker. Sebegitu kompleksnya tokoh ini. Yang paling ramai dibicarakan tentu saja versi Heath Ledger yang berhasil menghantarkan sang aktor kepada Oscar. Hanya satu kesamaan di antara semuanya; Joker itu edan. Dan yang dilakukan oleh Joaquin Phoenix pada Joker kali ini; benar-benar pendekatan yang unik. Inilah yang paling aku suka dari film ini. Jokernya menyayat hati sekaligus mengerikan. Dalam film Joker ini, si Arthur punya kondisi medis yang membuatnya tertawa tak-terkontrol ketika sedang mengalami gejolak emosional. Arthur akan mendadak tertawa, misalnya saat mendapat penolakan dari orang, yang membuat orang semakin menganggap dirinya aneh.  Ini sejalan dengan gagasan utama yang diangkat film yakni orang yang tersenyum terlalu keras sehingga sakit. Meskipun sakit. Dan kita benar-benar melihat sesakit apa tawa itu bagi Arthur. Secara fisik maupun emosional. And it’s up to Phoenix memainkannya dengan begitu meyakinkan. Dia tertawa sambil memegang tenggorokan. Dia seperti tertawa dan batuk bersamaan. Namun tawa sedihnya itu masih tergolong normal. Coba deh dengerin ketika dia beneran tertawa karena hatinya girang. Dijamin bikin gak enak alias merinding. Setiap kali Arthur tersenyum, aku merasakan ada sesuatu yang berbahaya.
Jadi, iya, pujian-pujian yang kita baca di internet seputar penampilan Phoenix dalam film Joker; itu semuanya benar. Akan enggak lucu jika Phoenix enggak masuk nominasi Oscar – heck, dia mungkin bakal menangin Oscar. Jika itu terjadi, itu bakal jadi kali pertama peran adaptasi komik mendapat perhargaan sebagai tokoh utama.  Joker versi Phoenix seperti menari di garis simpati dan mengerikan. Ini sesungguhnya sangat susah untuk dilakukan. Karena jika kita lihat pada naskah, Arthur memang seperti sosok yang pantas untuk kita pedulikan. Untuk kita dukung. Arthur kehilangan semua yang ia cintai, dia ditertawakan, tidak dipedulikan, dia dilepehin oleh orang-orang yang ia bayangkan akan mendukung dan peduli padanya. Tapi kita enggak boleh ‘jatuh hati’ pada Joker. Penampilan Phoenix-lah yang menjaga kita dari itu. Ada kegelapan di balik tingkah badutnya. Setiap kali dia muncul di layar – dan untungnya ini sering sekali – seisi studio bioskop serasa dialiri energi negatif yang ganas. Misalnya pada saat dia dipanggil menjadi bintang tamu televisi, kita sudah tahu dia akan diledek habis-habisan di depan jutaan pemirsa, sekaligus kita juga merasa ngeri sesuatu yang sadis bakal terjadi di sana. Gestur, kata-kata, dan gerak gerik Phoenix menghidupkan Joker yang memberi tahu kita semua itu.

Joker tidak lagi menganggap hidupnya sebagai tragedi. Melainkan sebagai komedi. Tariannya bukan berarti dia berusaha melucu, melainkan sebagai simbol dia menerima kegilaan dan bercanda dengannya. Sebuah mekanisme pertahanan yang tanpa sadar kita ikuti ketika kita melihat ketidakadilan orang-atas di dunia nyata, dan kita berkata “alangkah lucunya negeri ini”

 
Tantangan terbesar film ini memang terletak di tokoh Joker itu sendiri. Bagaimana membuat dia tak justru tampak sebagai pahlawan. Karena aku bisa melihat film ini bakal dihajar gelombang kontroversi. I mean, It Chapter Two (2019) aja kemaren sempat diprotes oleh serikat badut beneran karena membuat imaji yang buruk terhadap profesi tersebut. Bayangkan apa yang bakal mereka katakan ketika melihat badut di sini dijadikan semacam simbol anarki. Arthur menjadi ‘juru selamat’ bagi kaum tertindas yang dianggap sampah oleh pejabat dan konglomerat di kota Gotham. Mereka memakai slogan “kita semua badut” dan mulai melakukan pengrusakan, penjarahan, pembakaran dan segala kriminalitas di akhir cerita. Aku bisa melihat orang-orang bakal memprotes ini, karena memang secara alami ini adalah seorang penjahat yang dijadikan tokoh utama. Namun menurutku film bekerja sangat baik dalam membuat semua hal tersebut tak tersampaikan sebagai sebuah glorifikasi. Joker ‘hanya menampilkan’ seseorang seperti Arthur bisa tercipta – dia hanya beringas ketiak pengobatan dihentikan; ini adalah metafora soal kepedulian sosial. Pemberontakan seperti pada film ini bisa beneran terjadi jika situasi dipertahankan berjalan ke arah sana.
Film seperti ingin menyentil; jika film ini terasa relatable, maka dunia memang sedang kacau. Jika kita nge-cheer Arthur dan persona Jokernya, maka dunia memang butuh sosok seorang pahlawan. Di sinilah letak mengerikannya film ini. Anarki dianggap sebagai jawaban. Sebagai keteraturan di dalam sebuah kekacauan. Tidak ada superhero yang datang dan mengatakan kepada kita bahwa Joker itu salah. Ini relevan sekali dengan keadaan Indonesia baru-baru ini. Bentrok antara pelajar dengan aparat kepolisian.

Apakah ada pahlawan di sana? You be the judge.

 
Ketimbang adaptasi, film ini lebih tepat disebut terinspirasi dari buku komik. Karena sama seperti Gundala (2019) bulan lalu, Joker terasa terlalu kelam untuk sebuah sajian tokoh di komik superhero. Film ini terasa lebih sejajar dengan film-film kriminal seperti The House that Jack Built (2018) ataupun Dragged Across Concrete (2019) yang membuat kita mendalami pemikiran seorang pembunuh ataupun kriminal. Yang diceritakan perlahan sehingga membuat kita mengerti alasan mereka memilih jalan kriminal. Sudah cukup sering kita melihat cerita seseorang yang menjadi lebih buruk daripada dirinya sebelumnya. Di titik ini, Joker tetap masih terasa mencuat berkat penampilan akting yang disuguhkan. Juga didukung oleh sinematografi yang terlihat detail dan cantik oleh pemilihan warna
Dalam pengadeganan, Joker mulai berkutat untuk tak tampak tampil seperti film yang belum-pernah-dilihat. Lalu kemudian berhenti sepenuhnya dalam melakukan hal tersebut. Joker lebih memilih untuk memasukkan banyak referensi  dan terinspirasi dari film Taxi Driver (1976). Aku bukannya mau bilang film ini nyontek, tapi memang terlihat jelas mereka tidak menyembunyikan kenyataan bahwa beberapa gerakan dan pilihan shot yang diambil membuat kita teringat pada Taxi Driver. Film itu juga diserang kotroversi, tokohnya juga tampak ‘edan’ seperti Joker. Seringnya shot-shot yang mirip itu muncul menjadikan referensi-referensi tersebut tidak ‘lucu’ lagi. Dan sebaiknya mereka tidak membuatnya terlalu gamblang seperti demikian.
 
Itulah yang menahanku dari memberikan bintang delapan kepada film ini. Meskipun begitu, ini tetaplah sebuah character studi yang menarik untuk ditonton. Karena menantang kita dengan banyak pertanyaan. Lagipula, yang belum nonton Taxi Driver enggak akan ngeh dan tidak akan mempermasalahkan kesamaan tersebut. Atau mungkin enggak akan sempat untuk membahas hal tersebut lantaran film terasa sangat ganas sedari awal. Dan tidak sekalpun kita merasa ingin menoleh dari layar. Menurutku, sejauh ini, film ini adalah pencapaian tertinggi yang bisa dicapai oleh drama-drama manusia yang terinspirasi dari kisah komik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JOKER.

 
 

DANUR 3: SUNYARURI Review

“Just because you don’t see something doesn’t mean it isn’t there”

 

 

Risa, dalam narasi voice-over menit-menit awal film, mendeskripsikan hantu-hantu yang pernah ia temui salah satunya dengan “… ada yang jadi sahabat dan tak pernah pergi”. Kalimat tersebut tentu saja mengacu kepada Peter dan empat hantu lain yang sudah berteman dengan Risa sedari kecil. Namun nada Risa mengucapkan kalimat tersebut sangat muram. Tidak kedengaran seperti orang yang senang, atau malah tidak seperti orang yang bangga berteman dengan hantu-hantu. Hampir seperti nada orang yang bosan. Yang sudah muak.

Trilogi Danur jika kita menjauh sedikit sehingga melihat gambaran besarnya, sesungguhnya punya tema-tema yang berkembang. Danur pertama (2017) adalah soal Risa belajar untuk menerima kekurangan orang lain, dalam kaitannya dengan pembelajar menjalin pertemanan. Danur 2: Maddah (2018) adalah giliran Risa belajar untuk membuka dirinya dan tidak minder dengan kekurangan diri; Film kedua ini membahas adik Risa yang malu dengan kemampuan kakaknya. Pada Danur terakhir sekarang – mari kita mendekat untuk fokus lagi – yang diangkat adalah soal Risa yang berada di titik terendah dirinya, meskipun hidup Risa udah di titik paling nyaman. Kerjaan nulisnya lancar. Adiknya akrab dengan dia. Risa bahkan sekarang punya pacar seorang penyiar radio. Risa pun kini punya teman-teman manusia. Namun kesulitan yang sempat ia alami dalam bersosialiasi dalam pengalaman-pengalaman terdahulu terus membayangi Risa. Dia takut pacar dan teman-temannya minggat begitu mereka tahu Risa juga berteman dengan hantu. Jadi Risa mulai cuek sama Peter, William, Janshen, Hans, dan Hendrick. Sampai ke titik Risa benar-benar enggak mau melihat mereka semua lagi. To her horror, walau dia sudah tak bisa melihat mereka lagi, dia masih bisa menyium bau danur di rumah yang entah kenapa diguyur hujan sepanjang waktu.

Hantu bagi Risa adalah simbol dari masalah. Jadi dia meminta penglihatannya untuk ditutup supaya tidak bisa melihat mereka lagi, supaya dia tidak lagi terkena masalah. Tapi sesuatu yang tidak kita lihat, bukan berarti tidak ada. Kita tidak bisa terhindar dari masalah hanya karena kita menolak untuk melihat ada masalah di sana. Pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita Risa dalam Danur 3 ini adalah masalah tidak akan lenyap hanya karena kita menolak mengakui keberadaannya.

 

Setelah nunggu tiga film – tiga tahun, barulah kali ini kita benar-benar mendapatkan eksplorasi persahabatan antara Risa dengan hantu. Kita melihat lebih banyak adegan yang melibatkan para hantu Belanda cilik. Karena dalam dua film sebelumnya, kisah Risa dengan Peter cs selalu tergeser ke belakang oleh kisah hantu antagonis yang butuh jangkauan lumayan panjang untuk bisa kita paralelkan dengan kisah inner Risa. Dalam Danur 3: Sunyaruri ini, masalah difokuskan kepada hubungan Risa dengan temannya. Risa banyak melakukan pilihan terkait teman-temannya, baik yang manusia maupun yang hantu.

pemeran hantu anak-anaknya dari film pertama masih sama gak sih? kok mereka gak tampak tumbuh gede ya. Apa jangan-jangan….

 

Bagian-bagian awal film ini cukup bisa dinikmati. Tidak ada jumpscare yang berlebihan – meskipun aku menduga ini karena kali ini aku menonton di bioskop yang terkenal punya sistem audio yang lebih ‘mendem’ daripada bioskop sebelah – Tidak ada kamera yang diputer-puter hanya supaya terlihat nyeni. Set dan desain artistik film ini toh berhasil membangun dunia yang seram. Adegan prolog di dalam gedung teater merupakan salah satu adegan terseram dalam film, walaupun ternyata gak nyambung-nyambung amat sama keseluruhan isi cerita – hantunya pun ternyata beda dengan yang jadi ‘bos’ di cerita film ini – sehingga adegan tersebut sebenarnya bisa saja dibuang. Tampak jelas, bukan hanya sutradara Awi Suryadi, aktor Prilly Latuconsina pun tampak sudah menemukan ‘kadar yang tepat’ dalam kerja mereka untuk semesta horor ini. Sebagai Risa yang mulai menolak kemampuannya, Prilly mendapat tantangan baru. Di sini dia nyaris memainkan protagonis dan antagonis sekaligus, sebab terkadang dia melakukan pilihan yang tak akur dengan kita. Karena kita tahu lebih baik bagi tokoh ini untuk tetap bersama dengan Peter dan hantu cilik lainnya.

Sebagai karakter, Risa di sini diserang bertubi-tubi. Bukan hanya mental – dia tidak tahu lagi yang terjadi, melainkan juga fisik. Sebagian besar adegan dalam film ini mengharuskan Prilly memakai riasan lebam lantaran sebelah mata Risa membengkak  secara ganjil. Riasan yang digunakan tampak cukup meyakinkan; bukan sebatas bengkak memerah, tapi juga berair seperti bengkak beneran. Aku salut juga melihat Prilly mampu berakting konsisten dengan kondisi sebelah mata dibuat seperti demikian, I mean how can she see? Ada banyak adegan horor menarik yang mestinya bisa diciptakan dari keterbatasan Risa sekarang. Namun film malah melakukan hal yang bego seperti membuat Risa yang matanya bengkak sebelah berjalan masuk ke dalam rumah kosong dan melihat lewat layar hape. Kurang logis seseorang yang pandangannya terbatas melihat sesuatu dari alat yang semakin membatasi jangkauan pandangnya.

Actually, hal bego yang dilakukan oleh film ini dimulai jauh sebelum adegan Risa masuk rumah kosong tersebut. Aku yang sudah tersedot masuk ke dalam cerita oleh bahasan yang grounded dan personal bagi tokohnya, dengan set piece yang meyakinkan, tiba-tiba terlontar lagi keluar oleh adegan-adegan yang seperti dipikirkan sekenanya. Kita akan melihat berbagai hal konyol seperti Risa yang memanggil kelima hantu temannya selalu dengan urutan yang sama persis; Peter, William, Janshen, Hans, Hendrick (yea abjad right?) ataupun hantu-hantu yang hilang seperti dijentik Thanos. Semua rangkaian bego itu dimulai dari ketika tokoh Umay Shahab merekam dirinya sesaat sebelum dirinya pengen pipis. Manusia real macam apa yang mengaktifkan kamera, mengetahui persis dirinya pengen ke kamar mandi. Sejak adegan di akhir babak pertama ini, aku mulai khawatir sama perlakuan film ini terhadap tokoh-tokoh baru yang dimiliki. Tokoh-tokoh anak muda teman pacar Risa yang bekerja di radio ini dimainkan oleh aktor-aktor muda yang cukup ternama, tapi pelit sekali dimunculkan. Mereka tidak punya karakter. Satu-satunya yang sedari awal tampak ada ‘cerita’ adalah tokoh yang diperankan Stefhani Zamora; produser radio ini seperti ada suka dengan pacar Risa yang diperankan Rizky Nazar – thus seperti membangun ke cinta segitiga dengan Risa. Namun selain membuat Risa jadi jealous dan makin napsu mempertahankan pacarnya sehingga semakin galak pula ia kepada Peter cs yang ia kurung di loteng rumah, perihal tiga tokoh ini tidak pernah berkembang lebih lanjut.

Sebuah hal yang sia-sia; film punya set baru – lingkungan radio lengkap dengan anak-anak muda yang bekerja di sana, tapi tak pernah membahas apapun dengan latar tersebut. Keren memang, film menggambarkan suasana rumah Risa yang banyak mainan anak cowok berserakan yang bisa saja menunjukkan para hantu sengaja untuk menarik perhatian Risa. Tapi kita sudah melihat set rumah sejak dari film pertama. Danur 3 punya kesempatan mengambil setting baru, tapi dia tidak mengambilnya. Aneh untuk konteks cerita Risa ingin mempertahankan pertemanan dengan manusia, kita malah tidak mendapat kesan Risa benar-benar berteman dengan mereka. Hanya ada satu adegan mereka ngobrol bersama. Masa iya mereka semua cuma cameo? Well, jawaban dari ini semua ternyata lumayan menyakitkan. Film ternyata sengaja menyimpan banyak tentang mereka karena film memaksudkannya untuk twist. Twist yang berjenis murahan dan malas dan seenak udel dan maksa. Twist yang menunjukkan ketidakmampuan sutradara dan penulis menyajikan cerita dan petunjuk yang subtil. Jadi kita dibiarkan enggak tahu dan tanpa informasi sebelum di menit-menit akhir mengungkap lewat flashback. Film yang jauh lebih baik, pembuat yang jauh lebih kompeten – yang kepeduliannya untuk bercerita lebih besar ketimbang kepeduliannya akan duit – akan membuat cerita yang runut. Yang membahas persahabatan mereka sedari awal, melandaskan informasi-informasi penting secara tersirat sehingga ketika twist datang penonton tak merasa terkecoh. Tapi aku yakin film ini merasa sudah memberikan petunjuk ‘cerdas’ dari nama tokoh, jadi mungkin kitalah yang bego karena enggak sadar nama tersebut.

Cara yang dilakukan oleh film ini membuat kita tak tahu apa-apa dan menonton sebagian besar film dengan sesedikit mungkin cerita. Kita hanya tahu ada hantu yang menjauhkan Risa dari Peter, tanpa pernah kita tahu motivasinya apa. Benar-benar enggak jelas tindakan yang dilakukan oleh hantu – yang desainnya jika dibandingkan dengan hantu Danur 2 akan terlihat sangat basic dan seadanya. Jadi si hantu ini membuat Risa tak bisa melihat Peter tapi lalu kemudian teriak-teriak nyuruh Risa memanggil Peter cs kepadanya. Dan aku belum nyebutin soal si hantu yang gemar nyanyiin lagu Boneka Abdi, yang bahkan udah gak terdengar seram lagi setelah dinyanyikan berkali-kali seperti yang film ini lakukan.

Kenapa Rain, kenapa kau acak urutan memanggil nama mereka?

 

Bahkan dengan geng Peter pun, film tidak memperlihatkan Risa bermain dengan mereka. Kita hanya mengandalkan pengetahuan mereka akrab sedari film pertama. Yang membuat efek Peter menghilang nantinya tidak pernah benar-benar kuat, apalagi buat penonton yang benar-benar blank tentang Risa dan Danur – sehingga film ini tidak bisa berdiri sendiri.

Namun begitu, masih ada hal-hal menarik lain yang bisa kita tarik dari film ini. Misalnya seperti betapa besar pengaruh dunia barat. Kita melihat di perayaan ulang tahun, Risa dan teman-teman memakan pizza dan pasta. Kita juga mendengar lagu pengusir hujan yang dinyanyikan Risa sebenarnya adalah lagu inggris anak-anak yang berjudul ‘Rain, Rain, Go Away’. Jika kalian cukup iseng mungkin kalian bisa menarik hubungan antara budaya Jawa Barat dengan budaya barat yang ditunjukkan oleh film ini.  Kalo aku, lebih tertarik melihat gambaran proses kreatif Risa menulis cerita oleh film ini. Karena susah sekali untuk memastikan apakah Risa yang asli menulis dari apa yang ia alami atau hanya dari pikirannya saja. Dalam film ini kita melihat tokoh Risa menulis Canting tapi tak beneran ia alami. Ia menulis duduk di hutan, padahal dia hanya membayangkan dirinya berdasarkan lukisan di dinding. Tapi dia juga menulis tentang Peter dan teman-teman. Mungkin alih-alih menjawab semua itu, tujuan film justru sebenarnya untuk mengangkat kemisteriusan sosok Risa dan cerita-cerita hantu yang ia jual sebagai kebenaran tersebut.

 

 

 

Pujian tertinggi yang bisa kita sematkan kepada film yang sepertinya adalah akhir dari trilogi Danur ini adalah ia merupakan film yang paling mendingan dibandingkan dengan dua film sebelumnya. Scare-nya dilakukan dengan lebih baik. Film ini membahas masalah yang lebih dekat dengan tokoh utamanya, punya gagasan yang lebih menantang. Tapi tak banyak perbedaan dari bangunan cerita yang masih ala kadar. Yang seperti tak begitu peduli menyampaikan cerita yang solid dan tak merendahkan penonton horor melalui misteri yang tak dibangun.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for DANUR 3: SUNYARURI.

IT CHAPTER TWO Review

“Often it isn’t the initiating trauma that creates seemingly insurmountable pain, but the lack of support after”

 

 

Setelah dua-puluh-tujuh tahun, Si Badut Pennywise muncul kembali di kota Derry. Dia merindukan anak-anak yang dulu pernah hampir menjadi mangsanya. Tujuh anak yang pernah mengalahkan dirinya itu, ia pancing kembali untuk datang ke kota lewat serangkaian teror. Dan setelah dua-tahun dari film chapter pertamanya, kita datang untuk menagih janji cerita horor yang benar-benar berdaging.

Serius, ‘menagih janji’ itu adalah kalimat penutup reviewku untuk It (2017). Karena dua film It adalah adaptasi dari satu buku Stephen King, dengan ‘daging’ cerita sebenarnya terletak pada bagian saat para Losers’ Club yang sudah dewasa ditarik kembali ke Derry untuk menghadapi trauma masa kecil mereka. Sutradara Andy Muschietti nekat membagi menjadi dua film, dan actually did a great job pada chapter pertama. Kisah anak-anak menjelang remaja yang tadinya kelam, diubah cerita persahabatan yang uplifting. Mengajarkan kita akan pentingnya persahabatan untuk saling menutupi kekurangan dan kelemahan. Pada Chapter Kedua, Muschietti menyambung gagasan King dengan horor yang dibuat lebih dewasa. Dengan pertanyaan yang lebih menantang untuk makna persahabatan itu sendiri.

Mudah untuk kita bersatu ketika sedang sama-sama susah. Penderitaan mendorong kita untuk menemukan dan berpegangan kepada kawan yang senasib. Namun ketika semua masalah sepertinya sudah terhindari, ketika hidup kita sudah berlanjut menjadi lebih baik, sudikah kita kembali untuk mengalami lagi semuanya. Ketika kita sudah hidup mapan sendiri-sendiri, maukah kita kembali untuk bersama-sama berkubang dalam masalah?

 

Sepindahnya mereka dari kota Derry, pentolan Losers’ Club memang sudah tergolong sukses. Bill Denbrough kini jadi penulis cerita misteri yang ngehits, dia tidak lagi tergagap, dan punya istri seorang bintang film. Ben Hanscom sudah gak gendut lagi, dia jadi arsitek kaya yang meeting online sama klien. Richie Torzier menggunakan mulutnya sebagai aset jadi komedian terkenal. Eddie Kaspbrak berkarir di bidang risk assesment real-estate yang cocok sama kebiasaannya yang selalu mencemaskan berbagai hal. Beverly Marsh jadi perancang busana. Dan Stan juga tampak cukup sukses di kediamannya. Mereka semua sudah lupa akan kejadian di film pertama, meskipun masih terus dibayangi oleh trauma masa kecil. Bill tak pernah lupa akan Georgie, Bev tetap tak lepas dari sosok pria yang kasar padanya. Dan saat Mike, satu-satunya dari geng mereka yang menetap di Derry, menelfon mereka, mengingatkan akan perjanjian berdarah yang mereka lakukan saat masih kecil; bahwa musuh mereka muncul kembali, semuanya seperti tersentak. Seperti bangun dari mimpi indah, masuk ke mimpi buruk. Bill malah jadi gagap lagi. Masing-masing mereka dipaksa untuk menjalani masa lalu yang mengerikan demi mengambil relik yang akan digunakan untuk ritual mengalahkan Pennywise untuk selama-lamanya.

untung yang nelfonin mereka ‘cuma’ Mike, bukan Bapak

 

Selain Bill, Mike dalam film ini diberikan porsi yang lebih besar. Dia tidak terbaring di kasur rumah sakit seperti pada novel saat teman-temannya turun ke sarang Pennywise. Dialah yang paling dekat dengan posisi tokoh utama karena dia punya arc yang melingkar di antara tokoh-tokoh yang lain. Mike adalah orang yang pertama kali tahu tentang kembalinya Pennywise. Dia yang memutuskan untuk tetap tinggal di Derry. Dia yang lebih dahulu siap untuk menerjang kembali trauma masa lalu. Atau mungkin, dia yang paling menolak untuk move on, dan ini menarik karena biasanya orang akan berlomba-lomba untuk bisa move on dari kenangan buruk. Film mencoba untuk memberikan peran yang lebih besar kepada Mike dibandingkan dengan novel. Ketika semua orang punya masalah sendiri, berjuang melawan kembali apa yang sudah berusaha mereka lupakan dalam proses menjadi dewasa, Mike berada di sana seperti tak tersentuh oleh Pennywise. Kita tidak melihat dia sebanyak tokoh lain dikerjai oleh si Badut Pengubah Bentuk. Teror bagi Mike justru adalah ketika grup mereka mulai terpecah. Saat dia berjuang untuk mempersatukan mereka kembali, walaupun itu berarti dia harus berbohong. Dia seperti agen pemersatu yang berkontras dengan Pennywise si agen pemisah. Ini membuat Mike dan Pennywise adalah dua poros yang paling penting dalam narasi.

It Chapter Two memang melakukan lumayan banyak perubahan terhadap versi novel. Salah satunya lagi adalah soal ending – tapi dibuat masih menghormati dan sejalan dengan materi asli – sehingga para pembaca buku dapat tetap mendapat kejutan menyenangkan saat menonton. Soal ending buku malah dijadikan candaan yang terus berulang karena di film disebutkan bahwa Bill yang novelist selalu mendapat kritikan terhadap ending yang ia tulis. Akan ada banyak adegan ketika ada orang yang menyebut buku tulisannya bagus, tapi mereka enggak suka dengan endingnya. Bahkan Stephen King sendiri muncul sebagai cameo dan mengucapkan dialog seputar pilihan ending tersebut. Lewat running gag tersebut, film ingin mewanti-wanti kepada kita bahwa mereka juga sudah melakukan sesuatu kepada ending film, yang menurut mereka adalah perbaikan dari ending pada buku. And it’s kinda true. Ending film ini membawa rasa kepuasan dan kelegaan yang menghangatkan. Hanya saja perjalanan menuju endingnya yang luar biasa membinasakan.

Tentu, interaksi antar-tokoh tampak akrab dan menyenangkan. Aktor-aktor dewasa seperti Jessica Chastain, James McAvoy, Bill Hader, James Ransone memainkan peran mereka persis kayak aktor-aktor cilik memainkan mereka. Tokoh mereka terasa familiar bagi kita yang sudah mengikuti perjalanan mereka dari film pertama. Mereka beneran seperti bertumbuh dewasa. Permainan akting mereka semakin on-point berkat film yang kerap membawa kita berflashback ke masa kecil mereka dua-puluh-tujuh tahun yang lalu. Seolah film ingin menyombong kepada kita “lihat, ini beneran mereka sudah jadi orang gede” Seru melihat tokoh-tokoh berkembang, mereka melakukan gerakan dan bereaksi seperti yang sudah akrab dengan kita. Film sangat hebat memperlihatkan itu semua. Si Pennywise pun digambarkan sebagai tokoh yang punya sedikit kedalaman sekarang, aku senang dialog tokohnya diperbanyak, karena Bill Skarsgard memang memainkannya dengan penuh penghayatan dan tampak bersenang-senang. Makhluk-makhluk CGI hasil ilusi dan jelmaan dari Pennywise enggak benar-benar seram, melainkan seru abis lantaran begitu random dan di luar logika. Hampir seperti kartun. Mungkin visual monster-monster itu tampaknya sengaja dibuat kasar untuk menimbulkan kesan seram yang hilarious karena film ini menunjukkan mereka sanggup menampilkan CGI yang begitu mulus ketika menggunakannya untuk memudakan kembali tokoh anak-anak yang pemerannya sudah jauh mendewasa ketimbang peran mereka.

Hanya saja ketika menapaki trauma-trauma yang semestinya bernada lebih dewasa, film juga tetap memilih untuk tampil seperti teror wahana rumah hantu, seperti pada film pertama. Dan ini mengecilkan makna dan ‘daging’ yang ada pada cerita horor saat mereka dewasa ini. Teknik jumpscare dan permainan makhluk horor CGI dari Muschietti memang efektif, memberikan hiburan horor yang konstan, tetapi substansi harus diletakkan di depan karena terus-terusan hanya melihat jumpscare-jumpscare dengan makhluk-makhluk random akan membuat kita kehabisan energi. Terutama di film dengan durasi hampir tiga jam seperti ini.

membuat kita galau mestinya film ini durasinya dipangkas atau malah ditambah – dijadikan serial aja

 

 

Film tidak memperhitungkan pace dengan baik. Meninggalkan kita menjadi semakin tidak sabar saat flashback demi flashback, horor ngagetin demi horor ngagetin, terus berputar di layar. I mean, kita ngerti kok mereka punya trauma yang dibangkitkan lewat halusinasi oleh Pennywise yang suka untuk melemahkan mental mangsanya, film tidak harus melandaskan poin yang sama berulang kali. I mean, musti berapa kali lagi kita melihat mereka di masa kecil sebelum film benar-benar menyudahi ceritanya. Ada enam tokoh, ada tiga babak, dan di setiap babak kita diperlihatkan masing-masing berurusan dengan Pennywise dan trauma mereka. Di luar bagian Mike, kalo dikali, jumlahnya ada lima belas kali kita melihat teror Pennywise. Ini melelahkan. Mengganggu tempo cerita karena elemen horor tersebut tak bekerja banyak di luar untuk ajang kaget-kagetan. Adegan-adegan itu tak punya bobot urgensi karena kita tahu semua hanya ilusi dari Pennywise yang tak benar-benar berbahaya. Malah ada beberapa flashback yang menunjukkan mereka waktu masih kecil dikejar-kejar oleh berbagai wujud It. Flashback pengisi gap tahun yang pointless karena kita tahu para tokoh tidak dalam bahaya di adegan tersebut karena toh mereka sudah tumbuh jadi dewasa – mereka survive dari kejadian itu. Mereka tidak mati saat masih kecil itu. Menuju ke ending yang merupakan perbaikan dari ending novel, terasa ngedrag, film ini bahkan punya dua sekuen ‘false resolution’. Dua setengah jam itu benar-benar terasa.

Narasi yang melingkupi banyak tokoh seperti ini haruslah diikat oleh satu benang merah. Film ini, dengan kodratnya sebagai cerita lanjutan, memang sangat tergantung pada penonton untuk menyaksikan dulu film pertamanya. Atau membaca novelnya. Film tidak necessarily mengikuti buku tetap berjalan dengan arc Bill sebagai sumbu utama. Tapi film ini cukup berani memasukkan elemen penting pada buku yang bahkan tak disadur oleh It versi miniseri tv yang tayang tahun 1990an. Yakni seputar peristiwa kejahatan sadis yang dialami oleh seorang pemuda gay. Adegan ini actually jadi adegan pembuka dalam It Chapter Two, persis seperti chapter dua pada novelnya. Sempurna untuk melandaskan horor seperti apa yang bakal kita temukan, kengerian semacam apa. Salah satu Losers’ Club juga diindikasikan LGBT. Hanya saja, film tidak benar-benar komit. Baik itu terhadap elemen LGBT, maupun horor yang serius. Ketika cerita berjalan, tokoh-tokoh kita dibawa kembali ke lingkungan masa kecil mereka, film juga seperti revert back. Melupakaan kedewasaan dan hal-hal baru yang sepertinya akan mereka jalani. kehidupan masa kini yang ditinggalkan para tokoh tidak dibuat ikut mengejar mereka ke Derry. Tidak seperti pada buku. Sehingga stake kehidupan yang mereka tinggalkan tidak pernah terasa. Beverly tidak berkonfrontasi lagi dengan suami dan hubungan abusive yang selalu menimpanya. Kita hanya melihat istri Bill satu kali, bahkan persoalan pilihan ending novel yang ia tulis tidak disebutkan lagi di akhir.

Kekalahan Pennywise pun tidak menunjukkan kedewasaan atau keseriusan emosi yang seperti diisyarakatkan bakal ada oleh pembuka film. Yang ada malah terasa dikonyolkan. Mungkin film berbalik pengen bermain dengan ironi. Lantaran Pennywise yang pada film pertama seperti simbol dari kedewasaan yang merundung anak-anak, pada film ini malah berbalik menjadi yang dirundung oleh anak-anak yang sudah dewasa tersebut. Mereka seperti bertukar tempat. Pennywise yang sekarang menjadi seperti anak kecil. Alih-alih memisahkan mereka lewat memanfaatkan rasa takut, Pennywise pada akhir cerita berubah menjadi sosok insecure, sendirian, tak berteman, yang diejek hingga literally menciut. Pennywise sudah seperti Boggart yang dihajar oleh enam mantra Riddikulus hingga aku tak paham lagi keberanian seperti apa yang ingin diajarkan oleh film ini.

Lebih sering daripada tidak, yang paling mengerikan dari menghadapi trauma itu adalah ketika kita menyadari bahwa kita menghadapinya sendiri. Semua orang butuh support. Dari teman. Dari saudara. Dari orang lain. Tiliklah Losers’ Club, mereka kuat bukan karena sendirian. Mereka lemah menghadapi masalah sendiri. Tetapi mereka tak-terkalahkan saat mendukung masalah teman-temannya.

 

 

 

Sehingga tak tampak lebih berdaging, buatku film pertamanya masih lebih kuat dan lebih berisi padahal seharusnya cerita bagian kedua inilah yang lebih berbobot. Film yang kedua ini kurang berhasil membuat drama dan aspek emosional cerita menjadi vocal point yang konsisten. Sebab cerita film ini pada dasarnya bergantung pada film pertama yang merupakan backstory. Film jadi memuat terlalu banyak, antara aspek yang lebih dewasa, tuntutan buku sumber adaptasi, dan kebutuhan untuk mengingatkan penonton kepada film yang pertama. Hasilnya adalah film yang bekerja pada tingkatan film pertama, dengan materi yang sebenarnya sudah berada di atas level tersebut. Lain kata, film stuck pada gaya yang tidak mampu mengimbangi kematangan ceritanya yang sudah dewasa. Tetap memberikan horor yang menghibur, jumpscare-jumpscare yang efektif, tapi terasa melelahkan dan membuat tak-sabar. Karena poin yang sama diulang berkali-kali. Pengalaman terpisah para tokohnya terasa mengambang kayak balon-balon merah si Pennywise. Mereka perlu diikat menjadi satu narasi yang benar-benar koheren dan film perlu komit di sana.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IT CHAPTER TWO.

 

 

 

TWIVORTIARE Review

“Fighting is a part of healthy relationships”

 

 

Twivortiare agaknya permainan kata dari  sebuah kata bahasa rumania; divortiare (di-vor-ti-a-re) yang berarti perceraian. Dan memang, Twivortiare diangkat dari novel tulisan Ika Natassa yang actually adalah kelanjutan dari novelnya yang berjudul, you guessed it; Divortiare. Fiksi metropop tentang putus-nyambungnya pasangan suami-istri. From what I’ve gathered around the net, novel Twivortiare punya konsep yang unik. Kisahnya diceritakan melalui postingan twitter si tokoh utama. Pembaca dibuat seolah meng-scroll timeline si tokoh, membaca tweet demi tweet berisi curhatan, keluhan. Konsep yang menarik sebagai penceritaan untuk media visual.

Film, media audio-visual, ada juga yang menggunakan postingan sosial media sebagai alat utama untuk bercerita, tapi itupun ceritanya kudu mengandalkan misteri atau thriller. Karena gak ada deh pasti yang sudi datang ke bioskop hanya untuk membaca tulisan sepanjang waktu. Film-film yang menyisipkan chattingan seringkali dikritik males atau dituding sebagai usaha murahan untuk membuat ceritanya tampak modern. Makanya ketika di menit-menit awal menonton Twivortiare, aku udah mau meledak teriak “booo!”; satu layar bioskop itu hanya menampilan percakapan pesan twitter! Untungnya pembuat film masih waras dan wajah Raihaanun Soeriaatmadja dan Reza Rahadian kembali dimunculkan.

Karena kedua aktor tersebut were literally the BEST DECISIONS this entire film has ever made.

Penampilan akting Raihaanun dan Reza Rahadian benar-benar mengangkat film ini. Membuat materi yang membosankan menjadi seperti worth it untuk diikuti. Aku kaget sekali mendapati aku tersedot ke dalam cerita film ini. Yang gak punya misteri, gak punya aksi, yang literally nothing big happened. Aku, di luar kuasaku, jadi begitu peduli kepada dua tokoh sentral cerita. Well, setidaknya aku tertarik sampai akhir paruh pertama.

“nyebutin filmnya yang jelas biar gak disangka ngomong ‘twit wor diare’ sama mbak penjual tiket”

 

Raihaanun berperan sebagai Alexandra Rhea Wicaksono, seorang banker. A wife to Reza Rahadian’s Beno Wicaksono, seorang dokter kardiologi yang memandang pekerjaannya dengan serius. Beno memerhatikan para pasiennya. Beno kepada pasien sama seperti cerita-cerita Ika Natassa kepada nama lengkap tokohnya; harus! Jadi Alex merasa dinomorduakan. Kehidupan rumah tangga mereka dengan cepat hambar. Ditambah lagi, keduanya hobi banget bertengkar. Alex meminta cerai, dan Beno karena cintanya terpaksa mengabulkan. The story hasn’t ended yet, karena Beno tak pernah benar-benar hilang dari hati Alex. Dari hidup Alex. Setelah beberapa kali pertemuan pasif-agresif, mereka berdua saling jatuh cinta kembali. Semesta pun mendukung. Alex dan Beno rujuk. But still, the story hasn’t ended here. Alex dan Beno harus mengalahkan ‘penyakit’ lama mereka. Karena rumah tangga mereka sudah bubar satu kali. Masa sih mereka bakal terjatuh ke dalam lubang yang sama?

See, this is not the kind of story that I usually enjoyed. Tapi aku tak bisa memalingkan kepala dari tokoh-tokohnya, karena Raihaanun dan Reza mainnya bagus banget. Twivortiare ini mungkin contoh yang tepat sebuah film terangkat derajatnya oleh penampilan pemain. Kalo yang meranin pemain level menye-menye, aku mungkin sudah berteriak-teriak ngomenin setiap kalimat yang mereka ucapkan. Tapi film ini tidak. Dialog demi dialog mereka hidupkan dengan natural. Chemistry mereka menarik perhatian kita, dan menahannya supaya enggak kemana-mana. Pesona paling kuat jelas datang hubungan unik antara Alex dan Beno. Mereka musuhan tapi saling membutuhkan. Menyaksikan mereka berantem, adu argumen, low-key saling menyalahkan, sudah seperti candu. I mean, aku benar-benar menikmati siklus mereka perang-mulut, kemudian kontemplasi lewat masalah pekerjaan masing-masing, dan kemudian merasa amat sangat butuh untuk bertemu dan akhirnya baikan lagi. Ada adegan mereka berpura-pura masih suami istri ketika hendak menjual rumah, dan kemudian kompakan nyari alesan untuk tidak menjual rumah, karena masing-masing sadar mereka sebenarnya tak ingin menjual rumah yang menjadi saksi cinta mereka. Aku juga suka Beno tidak bertanya kenapa Alex balik lagi ketika dia melihat Alex yang tadinya mau jalan dengan pacar baru. Beno hanya menatap Alex, menyapa, dan mereka ngobrolin hal lain. Deep inside, Beno dan Alex tahu mereka masih saling cinta, namun mereka tidak tahan karena mereka terlalu sering bertengkar.

Great relationship disebut hebat bukan karena tidak pernah ada masalah. Semua hubungan pasti akan mengalami ketidaksetujuan, perbedaan, pertengkaran, kecemburuan. Great relationship justru ditempa dari semua itu. Dari cara pasangan menyelesaikan semuanya dengan cinta mereka. Tanpa itu semua yang menguji, tidak akan ada hubungan yang erat.

 

Pertengkaran-pertengkaran kecil sesekali diperlukan. Inilah yang perlu disadari oleh Alex. Karena dia selalu ‘kabur’ dari masalah. Cek-cok sedikit, ngajak pisah. Over the course of film, Alex tak tahu bahwa yang teman-temannya lihat, yang orangtua dia dan Beno lihat, bukan dia dan Beno berantem hebat. Mereka berantem sesungguhnya adalah di mata dan kepala mereka sendiri. Bagi orang yang luar, bahkan kita yang nonton, yang terlihat adalah dua orang yang saling mengingatkan, yang saling mengomunikasikan perasaan – apa yang mereka suka, apa yang tak mereka suka – yang saling berusaha untuk kompromi. Sebuah ciri hubungan yang sangat sehat, justru. Teman-teman Alex menggoda dirinya dengan istilah ‘drama’, tontonan seru.   Tak ada satupun yang mencemaskan Alex. Dan ini juga sebabnya kenapa kita begitu betah menonton dua orang yang ribut melulu.

hal positif berantem adalah; make up sex is the best sex

 

Bagian itulah yang tak tertranslate dengan baik ke dalam bahasa dan kebutuhan film. Cerita Alex dan Beno berusaha menyadari kuatnya hubungan mereka ini tidak punya stake. Kita percaya tidak ada yang bisa mengancam hubungan mereka. Cowok-cowok kantor yang datang mengirimi Alex bunga, tidak sedikitpun mereka tampak punya kesempatan. Kita sudah dibuat terlampu percaya bahwa dua tokoh ini saling cinta, dan pertengkaran-pertengkaran mereka itu bukan masalah. Melainkan bukti kuatnya cinta. Anggika Borslterli yang jadi sohibnya Alex bilang “Setiap kali lo curhat ada masalah ama Beno, gue gak pernah khawatir.” It’s true. Itu jugalah yang kita sebagai penonton rasakan. Tak pernah sekalipun aku mencemaskan Alex dan Bono bakal pisah lagi. Kecuali mungkin oleh kematian. Tapi bahkan kematian tak jadi soal karena ini adalah cerita tentang dua orang yang merasa gak cocok padahal mereka sudah ditakdirkan untuk bersama.

Jika Twivortiare adalah cerita yang dibuat khusus untuk film, katakanlah tidak ada novelnya, aku yakin pembuat film ini setelah midpoint akan mencari masalah baru – yang masih paralel dengan tema dan journey – dan memperbesar stake alias taruhan untuk para tokoh supaya cerita tetap menyala dan punya tantangan. Mungkin tokohnya dibuat pengen punya anak sebagai cara tak bertengkar lagi tapi gak bisa punya anak, so their choices will be limited sehingga konflik semakin menajam. Atau apalah, pokoknya yang membuat cerita berkembang dari paruh pertama. Tapi Twivortiare toh adalah novel pada aslinya. Konflik berulang tidaklah mengapa di sana. Namun pada film, jadinya membosankan.

Setelah midpoint, pertanyaan yang dipancing adalah apakah Alex dan Beno bakal terjauh ke lubang yang sama, dan ternyata justru ceritalah yang jatuh di lubang yang sama. Alias, kejadian yang datang menghadang Alex dan Beno basically sama saja dengan kejadian pada paruh pertama. Ada pria yang deketin Alex. Beno yang masih sibuk ngurusin pasien. Hanya variasi dari hal yang itu-itu melulu. Buat film, ini melelahkan untuk ditonton. Semenakjubkannya akting pemain, mereka overstay their welcome jika memainkan kondisi yang sama berulang-ulang. Not even cameo penulis Ika Natassa saat Alex dan Beno membahas ikan salmon menolong film untuk menjadi menarik kembali. Cerita seperti berlalu tanpa ujung. Dengan semua jawaban sudah kita ketahui, cerita hanya meninggalkan kepada kita sebuah pertanyaan baru; kapan selesainya nih film?

 

 

 

 

Aku bakal ngasih tujuh bintang, jika film ini berakhir pada midpoint ceritanya. Bahkan bisa saja delapan jika mereka melanjutkan dengan raising the stake and upping the ante. Tapi mungkin jadinya bakal lain dari gagasan awal cerita. Kalo aku jadi sutradara Benni Setiawan, aku pasti udah gatel setengah mampus untuk memberikan tantangan yang lebih, karena melihat para pemain mewujudkan tokohnya dengan luar biasa. Sayang aja gitu, udah punya sekaliber Reza dan Raihaanun tapi tidak diberikan sekuens yang benar-benar wah. Tapi yah mau gimana. Ini adalah kisah adaptasi cerita novel and it settled itself at being what it is. Tak lebih. Tak kurang.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for TWIVORTIARE.

 

MAKMUM Review

“Don’t let the behavior of others destroy your inner peace”

 

 

Jika ada yang bilang film Makmum membuat takut beribadah sholat malam sendirian, maka itu bisa saja benar. Karena memang itulah dilakukan oleh film horor; mengangkat kengerian dari hal sehari-hari yang relatable – yang dekat – dengan penontonnya. Untuk kemudian membuat kita ‘trauma’, terbayang-bayang adegan seramnya. Aku ogah lagi tidur menghadap lemari sejak menyaksikan H.I.M Damsyik muncul menggendong pocong dari dalam lemari Pengabdi Setan original. Justru itulah pencapaian bagi sebuah cerita horor. ‘Trauma’ dan kengerian itu bukan lantas jadi penghalang dan hal yang merugikan. Sebab kita, penontonnya, adalah manusia yang berakal dan bernalar. Aku jadi takut tidur menghadap lemari, bukan menjadi takut tidur. Makmum garapan Hadrah Daeng Ratu hadir mengamplify ketakutan kita sholat sendirian, namun bukan berarti bisa dijadikan kambing hitam kita takut sholat. Saat mati lampu seharian baru-baru ini, aku terbayang film pendek Makmum – yang dibuat oleh Sahabat FFBComm Riza Pahlevi – ketika sholat Isya gelap-gelapan. Sendirian. Merinding, so pasti.  Tapi toh aku tidak nyerah, aku masukkan kucing-kucing ke ruang sholat untuk ‘menemani’. Film horor sebenarnya mengajarkan kita untuk menghadapi ketakutan. Kesadaran akan hal yang ditakuti seharusnya membuat kita berjuang untuk mengatasi ketakutan tersebut. Yang pada akhirnya mendorong kita menjadi manusia yang lebih baik.

Seperti tokoh-tokoh pada film Makmum. Mereka ‘diganggu’ saat sedang sholat tahajud. Tiba-tiba ada suara yang mengikuti bacaan ayat mereka. Namun tak satupun dari mereka yang menghentikan ibadah. Kendati jadi tidak khusyuk lantaran meremang bulu kuduknya, tokoh-tokoh dalam film Makmum tetap melanjutkan bacaan sholat. Menyelesaikan hingga salam. Mereka enggak kabur tereak-tereak. Mereka enggak kapok sholat, atau malah jadi begitu ketakutan sehingga pindah agama. Yang terjadi adalah para tokoh berusaha ‘mengakali’ masalah. Mereka janjian sholat bareng, ke mana-mana barengan. Tidak sampai di sana, kita melihat para tokoh kemudian mencari akar masalah. Mencari tahu siapa sih hantu makmum yang suka ngikutin mereka ibadah.

Gangguan-gangguan dari luar tidak semestinya dibiarkan mengganggu keyakinan terdalam kita. Dalam hal ini, Makmum juga relevan karena mencerminkan keteguhan untuk beribadah meskipun ‘terancam’. Untuk tetap meyakini yang dianut meskipun banyak hal-hal horor seputarnya. Dalam tindak personal, tokoh utama cerita memperlihatkan keteguhan untuk tetap menjadi yang terbaik dari dirinya, walaupun tubuh luarnya bercacat dan dipandang rendah oleh orang-orang lain.

 

kalo aku yang diganggu, hantunya bakal teriak “Bacanya jangan cepet-cepet heiii!”

 

Soal orang yang diganggu hantu saat beribadah jelas adalah gagasan unik-nan-dekat yang jadi appeal utama dari cerita Makmum; alasan utama film pendek itu ditonton berjuta orang sehingga diadaptasi menjadi layar lebar. Makmum punya kesempatan yang sama dengan Lights Out (2016), horor pendek sukes garapan David F. Sandberg yang diangkat ke layar lebar, dengan sama suksesnya. Bagi filmmaker sedunia, tentunya sangat menginspirasi ketika cerita pendekmu dianggap punya nilai istimewa sehingga dijadikan film bioskop. Juga merupakan salah satu kesempatan untuk menerbangkan karir di dunia film. Tapi tentu tidak tanpa tantangan. Memekarkan sebuah kejadian singkat menjadi lapisan cerita utuh yang tersusun dalam tiga-babak, merupakan perkara yang tidak gampang. Butuh kreativitas dan usaha ekstra. Film pendek tadi haruslah bertemu dulu dengan orang-orang yang mengerti betul apa yang diceritakan dan paham kekuatan dari cerita tersebut. Makmum, seperti dimulai dengan langkah yang tepat. Mengikuti Lights Out, orang-orang belakang layar Makmum mengerti untuk mengembangkan cerita.

Makmum diberikan dunia yang benar-benar baru. Cerita film ini berlokasi pada asrama khusus putri yang dipimpin oleh kepala asrama baru yang tegas banget menegakkan disiplin. Satu set tokoh-tokoh sudah disiapkan untuk menghuni dunia ini. Tiga siswi under-achiever tetap tinggal di asrama yang kala itu sedang dalam masa liburan, karena nilai mereka tidak cukup tinggi untuk standar si kepala asrama. Di asrama luas itu, mereka disuruh menyelesaikan tugas sehari-hari sementara gangguan makhluk halus semakin intens. Sholat mereka diganggu. Teman mereka terus disurupi. Kemudian masuklah tokoh utama cerita, Rini (Titi Kamal akhirnya bermain horor juga), perias mayat yang merupakan alumni dari asrama tersebut. Satu tantangan baru yang diset oleh naskah demi mengembangkan film pendek ini adalah Rini harus mengungkap misteri di balik semua yang terjadi di sana. Misteri yang sudah barang tentu bersangkut paut dengan luka masa lalu dirinya.

Jadi, Makmum sudah melakukan semua yang ada pada checklist keberhasilan adaptasi Lights Out. Insiden pada film pendeknya dijadikan semacam teaser, atau semacam penyambung, untuk cerita yang lebih besar. Pada Makmum cerita itu adalah tentang persahabatan. Rini ditulis dengan cukup berkarakter. Dia punya luka bakar pada lengan, yang nantinya penting sekali dalam cerita. Kita melihat dia berpakaian hitam-hitam yang mungkin dipilih untuk menunjang pekerjaannya sebagai perias mayat. Pekerjaan tersebut actually punya bobot ke dalam narasi, terutama pada elemen supernatural yang dimiliki oleh cerita. Dalam film ini, hantu adalah sosok nyata yang beneran ada hidup berdampingan dengan tokoh-tokoh yang berkehidupan relijius. Rini yang bekerja dengan mayat, sering melihat dan berkomunikasi dengan mereka. Pada adegan perkenalan, kita melihat dia membentak lampu yang berkelap-kelip (diganggu oleh hantu), jadi segera terestablish Rini adalah orang pemberani yang percaya akan adanya hantu. Penulisan tokoh Rini yang lumayan menarik ini semakin berkembang saat masa lalunya terungkap sembari durasi berjalan. Dan seketika itu aku merasa dejavu.

Masih ingat film horor Sunyi (2019) yang diadaptasi dari horor Korea Whispering Corridors (1998)? Sepertinya tahun ini kita mendapat dua adaptasi dari Whispering Corridors tersebut karena Makmum juga punya cerita yang seperti adaptasi lokal dan lebih less-dramatic. Whispering Corridors adalah horor kompleks bertempat di sekolah khusus putri, dengan cerita yang membahas soal bullying dan subteks komentar terhadap sistem pendidikan di negara tersebut. Sunyi mengadaptasi soal bullying dengan berfokus pada tokoh anak-anak sekolahnya. Di Whispering Corridors juga dibahas dari sudut pandang guru muda sebagai perwakilan dari sistem pendidikan. Nah, guru itulah yang sangat mirip dengan tokoh Rini di Makmum. Rini dan si guru sama-sama alumni dari asrama/sekolah putri tersebut. Mereka sama-sama enggak setuju dengan cara tempat itu beroperasi, mengenai disiplin yang terlalu ketat. Rini dan si guru sama-sama adalah teman baik dari hantu yang ada di dalam cerita. Cara ‘mengalahkan’ hantu juga mirip; Rini berdialog dengan hantu sebelum ultimately hantunya terbakar oleh ayat suci. Makmum juga bersubteks kejadian malang yang menimpa hantu merupakan kesalahan dari pihak asrama – seperti kesalahan pada pihak sekolah pada Whispering Corridors.

Sepandai-pandainya hantu sholat, tetap kepanasan juga dibacakan Surat pamungkas

 

Mengetahui ini, Makmum yang saduran dari film pendek jadi tidak punya hal orisinil di dalamnya. Elemen reliji yang sudah lumrah (agama melawan setan) dijadikan identitas, dengan gagasan film pendek menjadi penyambung untuk masuk ke pengembangan yang ternyata mirip film lain. Makmum ‘mengambil’ elemen Whispering Corridors untuk dijadikan layer luar. Pesan tentang bullying yang dilakukan oleh asrama ditinggalkan, hanya menyisakan sedikit yang difungsikan untuk twist pengungkapan. Untuk mengisi bobot cerita Makmum memang menambahkan sedikit subteks yang tak terikat dengan baik. Subteks mengenai soal kebakaran; fire warning. Alih-alih membahas lebih dalam soal sistem asrama – kepala asrama yang tegas dan ‘kejam’ dan kepala asrama terdahulu yang baik namun menyimpan rahasia kelam demi citra asrama – film malah menunjukkan kepada kita betapa bahayanya meletakkan api di dekat jendela.

Tiga anak asrama tidak diberikan kesempatan untuk berkembang. Hubungan persahabatan mereka saja tidak tergambar dengan menarik. Dalam Whispering Corridors, persahabatan anak sekolah itu paralel dengan persahabatan guru muda dengan hantu. Dalam Makmum, tiga anak asrama ini hanya ada untuk ditakut-takuti. Backstory mereka hanya terpapar dalam satu kalimat. Mereka di sana untuk menjadi korban. Ada satu anak yang kerjaannya cuma kesurupan. Korban dari sebuah naskah yang dangkal. Banyak kejadian di dalam film ini yang basically memohon kepada kita untuk tidak terlalu memikirkannya karena memang tidak masuk akal. Seperti kenapa reaksi para tokoh begitu lamban. Kenapa mereka bisa keluar dari pintu yang dikunci dari luar – kita bicara soal pintu yang dikunci oleh manusia, bukan oleh kekuatan setan. Kenapa hantunya malah menakut-nakuti orang baik, sedangkan orang judes yang berada di pihak yang menutupi kematiannya tidak diganggu malah dijadikan ‘kendaraan perang’. Pengarahan film juga tidak membantu. For some reasons film yang sudah diharapkan bakal punya momen jumpscare ini menjadi gory, dan penuh oleh trope-trope horor seperti hantu manjat-manjat kayak spiderman dan hantu yang mentransfer muntah ke manusia. Dan oh ya, kamera yang miring-miring.

 

 

Usaha yang dilakukan untuk mengubah materi menjadi film panjang sudah benar, hanya saja film benar-benar tidak tahu mengembangkan apa lagi dari elemen-elemen yang ia sadur. Baik itu yang diadaptasi secara sah, maupun yang ditiru secara ‘sembunyi-sembunyi’. Atau mungkin secara gak sadar? You be the judge. Yang jelas film menyia-nyiakan banyak tokoh dengan memberikan mereka penulisan yang dangkal. Cerita jadi tidak punya bobot di samping elemen reliji dan gagasan film pendek yang identitas. Padahal babak awal hingga pertengahannya ceritanya terangkai dengan menarik. Kita cukup terinvest dalam misteri dan masa lalu tokohnya. Dalam pengembangannya dia bisa saja menjadi salah satu dari tiga; drama persahabatan yang tragis, horor gore yang fun, atau komentar sosial mengenai posisi wanita sebagai pemimpin (dalam Islam, wanita tidak boleh menjadi imam kecuali bagi jemaah wanita). Tapi malah diarahkan menjadi horor generik yang menjual trope-trope. This film has absolutely no idea.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for MAKMUM

 

 

 

 

PERBURUAN Review

“He who is prudent and lies in wait for an enemy who is not, will be victorious”

 

 

Perburuan yang ditayangkan serentak bersama Bumi Manusia (2019) oleh Falcon Pictures benar-benar memenuhi fungsinya sebagai alternatif. Keduanya merupakan adaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, sama-sama berlatar zaman penjajahan , sama-sama menggambarkan ketimpangan kelas manusia, tapi cerita bercerita keduanya terletak di dua spektrum yang berbeda. Perburuan diserahkan kepada Richard Oh, yang meraciknya dengan menyuguhkan lebih banyak kreasi sehingga muncul sebagai penyeimbang buat Bumi Manusia yang hadir lebih ngepop. It’s nice, dan langka, menonton film tentang kemerdekaan dari dua penulis sumber yang sama tapi digarap dengan berbeda. Meski menurutku agak ‘jahat’ juga Falcon ‘mengadu’ keduanya. Aku nonton dua film ini secara berturut-turut di hari yang sama (Bumi duluan, baru Perburuan), dan ketika Bumi aku langsung bisa menuliskan ulasannya pada hari itu juga, maka untuk Perburuan aku butuh untuk memikirkannya terlebih dulu. Karena ada banyak kandungan yang tak bisa langsung dijabarkan. Banyak pilihan yang dilakukan oleh film yang sepintas tampak seperti keputusan yang buruk, tapi ada subteks yang membayanginya, yang membuatku tak ingin buru-buru mengambil kesimpulan.

Saat ditulis untuk novel, sepertinya memang cerita ini diniatkan sebagai alternatif sejarah. Di buku pelajaran kita tertulis pemberontakan PETA terhadap pasukan Jepang dipimpin oleh Soeprijadi pada tanggal 14 Februari 1945 di Blitar, Jawa Timur. Pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh kejamnya penjajah Jepang terhadap rakyat pribumi. Perbuatan semena-mena bahkan di kalangan tentara dan janji-janji yang tak kunjung ditepati memantik api agresi Soeprijadi. Namun buku sejarah kita tak menulis tentang Hardo. Pribumi asal Blora, Jawa Tengah, yang juga serdadu PETA. Yang masih memegang harap, namun tak bisa lagi menunggu. Maka ia mendukung gerakan Soeprijadi. Malang, ada pemberontak di dalam barisannya sendiri. Pasukan Hardo kocar-kacir ditembaki. Sejak malam itu, Hardo dan orang-orangnya buron. Kali berikutnya kita melihat Hardo, pemuda itu sudah hampir tak dapat dikenali. Ia berjalan di malam hari seperti gelandangan yang hilang kewarasan. Dan selagi Hardo menunggu harapan merdeka itu di dalam gelap, orang-orang yang ia kasihi mulai terancam karena kepala Hardo masih terus dicari oleh Jepang.

Ketika kau tahu Kempetai rindu pada batang lehermu

 

Begitu menjadi film, Perburuan oleh Oh diperkecil skalanya. Kita hanya akan melihat lewat mata nanar Hardo. Sisi buruk penjajahan akan kita lihat lewat Hardo saat dirinya menyusuri padang jagung bergelimang mayat-mayat rakyat. Karena Hardo yang dalam pelarian hanya keluar di waktu malam, jadi semuanya gelap. Suasana dimainkan menjadi rasa yang disampaikan kepada kita. Menonton ini kita akan merasa kelam, bingung, sendirian (karena besar kemungkinan kita beneran sendiri nyaksiin ini di dalam studio bioskop), persis seperti yang dirasakan oleh Hardo. Kita menanti cercahan cahaya. Kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seperti Hardo yang menanti kabar kemerdekaan, karena ia percaya – ia janjikan ini kepada tunangannya – bahwa keadaan akan membaik setelah Indonesia merdeka.

Bagi Hardo tentu saja penantian itu terasa sangat lama. Dia belum tahu Indonesia bakal merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Dia mungkin sudah tidak tahu lagi hari apa saat itu. Untuk menyampaikan perasaan kecamuk demikian, film pun dengan sengaja membuat kita disorientasi terhadap waktu dan tempat. tidak pernah tahu di mana persisnya Hardo, atau ke arah mana dia berjalan. Di bawah jembatan, di ladang jagung, di sungai besar, kita tidak mengerti lokasi dunia Hardo. Yang kita mengerti adalah dia kembali ke Blora. Dia ketemu dengan orang-orang yang mengenalnya, dia reuni dengan rekan pelarian, tapi kita tidak pernah diberikan sense of direction yang benar. Pergerakan kamera akan bolak-balik, seperti adegan maju-mundur yang acap dimasukkan. Flashback adalah cara film mengaburkan dimensi waktu. Kita dipindah begitu saja antara masa lampau ke masa kini. Dengan bahkan petunjuk waktu masa kini tidak dapat dipercaya. Bekas luka yang disebut sebagai penciri Hardo tampak hilang-timbul saat dia sudah brewokan. Kadang ada kayak pas di adegan akhir, kadang tidak ada seperti saat ‘reunian’ di bawah jembatan

Disorientasi berfungsi untuk menambah suspens cerita. Sebagai cara film menyampaikan kepada kita susahnya hidup dalam pelarian, yang menunggu kesempatan untuk keluar dan menampakkan diri. Perburuan menggunakan benturan antara berburu dan menunggu sebagai gagasan utama cerita. Di adegan pembuka kita melihat Hardo berhasil menang kendo atas komandan Jepang karena dia menunggu celah serangan dan balas menyerang dari sana. Lantas kemudian kita melihat dampaknya ketika Hardo terburu napsu marah sehingga malah memimpin pemberontakan alih-alih menunggu badai reda. Hardo mengkhianati kepercayaannya sendiri. Membuatnya berada di titik rendah dalam hidupnya. Secara lowkey, film juga menyinggung soal menunggu ketimbang kesusu dari percakapan Ayushita dengan anak muridnya yang terluka karena berlari takut terlambat ke sekolah. Akibatnya kita melihat adegan kontemplasi dia dengan korek api yang digambarkan film dengan sungguh magis. Api yang hidup mati itu bagai harapan Hardo yang meredup, kemudian menyala kembali, kemudian mati lagi, dan seterusnya. Adipati Dolken diberikan kesempatan untuk bermain ekspresi gila untuk menunjukkan penguasaan range. Ada banyak versi Hardo di film ini, mulai dari Hardo yang optimis penuh harap, Hardo yang nyaris putus asa, Hardo yang menemukan kembali harapan. Dolken mampu menggapai note yang diminta. Tapi kemudian dia tidak diuntungkan ketika harus memakai brewok palsu yang kadang menutupi ekspresinya. Di saat-saat itu aku berharap kamera lebih banyak lagi melakukan close up wajah.

Lamurkah mataku atau did Rizky Mocil just shot two enemies, in the dark?

 

Adegan satu lagi yang niscaya membuat kita menggelinjang jelas adalah adegan Hardo mengobrol dengan his aware-but-not-so-sure father. Lokasi dan suasananya di gubuk tengah ladang jagung yang temaram benar-benar menakjubkan. Bahasa mulut dalam film ini terbagi menjadi tiga macam; monolog puitis, bantering filosofis, dan paparan informasi. Ketiga-tiganya muncul sekaligus dalam adegan tersebut. Resiko dialog-dialog tersebut adalah film praktis akan menjadi berat. Tapi film melakukannya dengan indah, karena paham kuncinya adalah menghadirkan latar yang menawan untuk mengakomodasi kalimatnya.

Gagasan yang diangkat film ini seperti mengacu pada filsuf dan ahli perang dari Cina, Sun Tzu, yang pernah menuliskan dalam buku The Art of War bahwa salah satu kunci kemenangan adalah bersabar dan tidak gegabah. Dengan bijaksana memperhatikan langkah musuh sambil mempersiapkan diri. Siapa yang bergerak sembaranganlah yang akan kalah. Dalam film ini kita melihat wujud dari itu semua. Kemenangan datang kepada Hardo saat dia sendiri muncul di saat yang tepat. Jepang kalah karena mereka terlalu gegabah dan merasa di atas angin

 

Masuk babak tiga, jelas sudah film lebih berfokus kepada psikologi Hardo ketimbang suasana sosial Indonesia secara menyeluruh. Dan di sini jualah film terasa berhenti bekerja. Justru di saat teranglah, film seperti tidak tahu lagi cara menampilkan cerita sesuai fokusnya. Maka film kembali menoleh kepada buku, dia berusaha menjadi lebih ‘gampang’ dari sebelumnya. Mencoba keluar dari Hardo. Lantaran Hardo yang literally dan figuratively menemukan jalan pulang menjadi pasif. Dia tidak melakukan apa-apa untuk menang, karena memang jalan benar baginya adalah dengan menunggu. Ini tentunya tidak menarik untuk akhir film karena film butuh satu cekcok yang besar. Maka sorotan pindah ke temannya yang tadi berkhianat, untuk memberikan dia pembenaran, meskipun di titik itu kita mengerti Hardo tidak lagi menganggap dia salah. Intensitas film ini lenyap terlebih ketika Hardo tiba-tiba sudah tidak dalam bahaya. Aku tidak mau bilang banyak, tapi ini adalah jenis cerita ‘diselamatkan oleh bel’. Untuk memberikan final big moment, film yang sedari awal sudah membuat Jepang kayak penjahat dalam komik yang kejam tanpa nilai baik – dia bahkan tidak mengenal rasa terhormat apalagi harakiri – membuat semuanya sederhana; Hardo benar, Jepang jahat, dan teman-teman Hardo salah.

Mungkin, cara ini masih bisa berhasil memberikan momen final besar yang diincar. Sayangnya, film ini sendiri seperti tidak mendapat perhatian yang cukup dari pihak studio. Pengadeganan bagian terakhir itu mestinya epik karena melibatkan banyak orang banyak, tapi tampak kecil dan awkward. Sepertinya melihat pertunjukan di panggung teater. Suasananya tidak semegah yang film ini pantas dapatkan. Tapinya lagi, ini adalah keputusan film untuk memilih kembali ke jalur yang lebih accessible.

 

 

 

Meski berlatar zaman penjajahan, film ini sebenarnya bekerja dalam skala yang lebih kecil. Skala personal seorang tokoh. Dan kita hanya melihat dari tokoh itu. Film melakukan banyak kreasi saat mengadaptasi untuk kepentingan itu. Sengaja memilih untuk tidak menjadi lebih besar, tidak membahas lebih luas soal sosial yang menjadi kekuatan cerita-cerita Pram. Jadi, film ini adalah alternatif dari cerita yang total ngepop, yang punya pesona sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for PERBURUAN

 

 

 

BUMI MANUSIA Review

“Be afraid not to try”

 

 

Sebagai novel, Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer sempat dilarang beredar karena penguasa Orde Baru mengaitkan buku dan pengarangnya dengan paham Marxisme-Leninisme alias ajaran komunis. Sebagai film, Bumi Manusia yang ditulis oleh Salman Aristo dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo sempat dihujat karena tokoh utamanya diberitakan bakal dimainkan oleh Iqbaal ‘Dilan’ Ramadhan. Maan, lihatlah ketika orang mencoba berkarya, pasti bakal ada saja halangannya. Beruntung, tidak ada orang-orang di balik Bumi Manusia yang berprinsip seperti Homer Simpsons. Yang takut sebelum benar-benar mencoba.

Malahan, film ini adalah tentang mencoba itu sendiri. Tokoh-tokohnya berhadapan dengan kenyataan bahwa seberapapun kuatnya mereka mencoba, resiko gagal dan kalah dan semakin nelangsa itu tidak semakin berkurang. Film berkata jangan takut untuk terus mencoba, untuk melihat kehormatan dalam perbuatan untuk mencoba melakukan sesuatu menuju yang lebih baik. Indonesia pernah dijajah. Lama sekali. Bayangkan jika pahlawan-pahlawan takut mati – takut untuk mencoba menggapai kemerdekaan. 

 

Hanung Bramantyo jelas tidak gentar. Malahan he actually did a really great job as a director here. Keraguan beberapa penggemar novel aslinya akan kemampuan Iqbaal memerankan Minke terpatahkan dengan manis. Dan bukan hanya Iqbaal, pemain-pemain muda seperti Mawar Eva de Jongh yang berperan sebagai Annelies bermain dahsyat. Tantangannya di sini sangat berat, Mawar dituntut bermain dengan ekspresi dan tokohnya benar-benar ‘tertutup’ oleh gejolak mental; itu semua tersampaikan dengan sangat mulus. Dia juga disuruh beradegan jatuh, hihihi lucu sekali. Kuhitung ada empat kali Annelies ini beradegan lagi jalan gak taunya jatuh. Lima kalo ditambah satu adegan dia jatuh saat sedang duduk. Tokoh teman-teman Minke juga ditangani tidak main-main, pemeran-pemeran mereka menampilkan performa yang jauh dari kelas ‘sinetron’. Aktor yang lebih senior juga enggak kalah edannya. Sha Ine Febriyanti  benar-benar seperti ditakdirkan untuk bermain sebagai Nyai Ontosoroh. Meskipun karakternya mirip sama Nyai di film Nyai/A Woman from Java (2016) garapan Garin Nugroho – latar belakangnya sama, statusnya sama, keadaan suaminya sama Sha Ine memberikan nafas tersendiri yang menguar kuat. Dia bahkan tampak lebih dominan ketimbang Minke. Hanung really directs the shit out of everyone. Maka aku yakinkan kepada para penggemar novel Bumi Manusia yang mungkin masih was-was; Tokoh-tokoh favorit kalian berada di tangan yang benar. Aman. Hidup. Bernyawa dengan penuh karakter.

Mereka bilang, Saya Minke!

 

Menghidupkan zaman sebelum masa kolonial, film ini tampak sungguh menawan. Tampilan visual seperti ini memang sudah diharapkan dari produksi Falcon Pictures yang berbudget gede. Jadi mungkin porsi pujian lebih besar baiknya kita sampaikan kepada usaha menghidupkan keadaan sosial cerita ini. Bumi Manusia semarak oleh ragam bahasa (melayu, belanda, jawa, madura, dan sedikit cina) dan tingkatan sosial yang tergambar tanpa tedeng aling-aling. Satu frame menunjukkan orang pribumi dan anjing duduk bareng di depan dinding tempat makan yang bertuliskan “Pribumi dan hewan dilarang masuk” Sejak dari adegan pertama film sudah melandaskan tangga sosial yang bekerja di lingkungan cerita; tempat di mana karakter-karakter kita hidup. Yang lantas menjadi device utama untuk kemunculan konflik-konflik. Bumi Manusia memang dijual sebagai kisah cinta tragis antara Minke dan Annelies. Tapi konteks kehidupan sosial yang menjadi habitat tokoh-tokohnyalah yang membuat film ini menarik dan menantang untuk disaksikan. Karena mirip dengan kehidupan kita sekarang.

Minke hidup pada masa peradaban Barat lagi maju-majunya. Gaya hidup Eropa pun dijunjung tinggi oleh masyarakat. Minke salah satu yang kagum pada peradaban Barat tersebut. Dia menyebut dirinya, yang pribumi anak bupati, sebagai manusia modern. Dia tidak mau terikat peraturan. Teman karibnya adalah seorang campuran (Indo) yang disebut bakal jadi orang pertama yang mencuci darah pribuminya saat teknologi cuci darah itu ditemukan. Tapi Minke tak bisa lari dari kenyataan kulitnya gelap, rambutnya hitam, badannya kecil. Minke adalah bangsa jajahan yang mencoba menjadi kaum kulit putih yang berada di puncak kelas sosial. Minke belajar keras, ia menghapal peradaban modern dan sejarah-sejarah kaum penjajah. Ketika dia bertemu dengan Annalies dan Nyai Ontosoroh-lah, pandangan dirinya terhadap semua itu mulai berubah. Annalies adalah Indo berwajah bule (cantik kayak dewi, kalo boleh mengutip kata Minke) yang dengan naifnya mencoba untuk mewujudkan mimpinya dianggap sebagai pribumi. Sedangkan ibunya, Ontosoroh, adalah istri tak-sah dari pedagang Belanda (gelar Nyai hanyalah sebutan yang lebih sopan untuk kata ‘gundik’) yang di mata Minke sudah mencapai posisi yang ia idam-idamkan; sejajar dengan bangsawan Eropa. Perkenalan itu membawa Minke kepada pandangan bahwa sikap dan mutu orang tidak diukur berdasarkan bahasa yang diucapkan, pakaian yang dikenakan, warna kulit-mata-rambut, dan apapun itu yang selama ini ia percaya.

Karena diadaptasi dari novel setebal lebih dari tiga ratus halaman, dengan banyak tokoh di sekitar tiga sentral (Minke – Annalies – Ontosoroh), film melakukan banyak manuver untuk memasukkan elemen-elemen yang sejatinya bikin pembaca sejati yang nonton ini bakal ngamuk jika ditinggalkan. Backstory tokoh dimunculkan dalam flashback-flashback yang berusaha tampil berbeda dari kebanyakan. Enggak sekedar membuat frame blur atau dengan bunyi ‘krincing-krincing’. Set up dilakukan dengan sangat baik sehingga kita jadi langsung mengerti hubungan dan derita yang harus ditanggung oleh para tokoh sembari tetap mencoba membuat hidup lebih baik. Setelah midpoint – sekitar Minke setuju untuk menjadi ‘dokter’ dari penyakit aneh Annelies – intens cerita semakin naik. Ada lebih banyak sejarah tokoh yang terungkap. Untuk tidak menspoil terlalu banyak; Keluarga Annelies benar-benar fucked up, alias celaka. Peran Minke semakin kalah dominan sebab dia hanya sekadar beraksi terhadap kejadian-kejadian yang menimpa Annelies dan keluarga.

“Dunia saya; bumi, manusia dan segala persoalannya”.. mas Minke sudah coba jadi hippie belum?

 

Film benar-benar mencoba untuk memberikan ‘kerjaan’ kepada tokoh utamanya. Minke yang cerdas diperlihatkan menulis sebagai upaya perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan Belanda terhadap keluarga Annalies. Seolah ada perang jurnalistik antara dia dengan temannya. Montase dari Minke menulis menggunakan nama pena, hingga dia berani menggunakan nama asli, dilakukan untuk membuat Minke ada kerjaan. Dalam film akan ada dua adegan persidangan, dan Minke terlibat di dalamnya. Tapi tidak benar-benar banyak yang ia lakukan karena drama dan konflik datang menghujam pihak Annelies dan Ontosoroh. Hal menarik terjadi di mereka, bukan lagi pada Minke. But film really tried. Hingga ada satu dialog yang menyebut Minke berhasil menyelesaikan kasusnya di persidangan. Padahal kenyataannya adalah Minke tidak melakukan hal penting; kasusnya selesai karena salah satu tersangka mengaku begitu saja. Dan ada satu ketika Minke mendadak menulis tentang hukum Islam. Film menggambarkan dia brilian karena mengadu hukum Eropa dengan hukum Islam. Ini menarik sebenarnya, hanya saja soal Islam tidak dibangun sedari awal. Minke tidak diperlihatkan berhubungan dengan agama, namun tahu-tahu dia menulis tentang Islam. Yang pada akhirnya elemen ini terasa lebih seperti untuk menunjukkan desperatenya seseorang ketika ia mencoba untuk melakukan sesuatu.

Pun begitu, perlawanan Minke dan Ontosoroh terhadap Belanda terasa tidak masuk akal. Kita bisa paham mereka merasa diperlakukan tidak adil. Apalagi konteksnya adalah mereka yang pribumi sedang berurusan dengan Belanda si kulit putih puncak rantai makanan. Secara natural kita akan mendukung dan bersimpati pada pihak yang kelihatan lebih susah; mereka baik, pihak yang satunya jahat. Kita memang harus mencoba tapi mbok ya harus sesuai, jangan baper. I mean, yang Minke lakukan ialah dia berusaha menjegal hukum yang sah. Beberapa kali aku malah mengiyakan tuntutan Belanda, karena yang mereka pinta lebih masuk akal dibanding pembelaan Minke. Status Ontosoroh yang tidak dinikahi sah tentu membuat ia tidak punya hak legal terhadap anaknya yang bapaknya Belanda. Tentu hukum Belanda yang dipakai karena tentu saja Belanda ingin melindungi hak warga negaranya. Tapi perlawanan Minke seolah mengotakkan peradaban dan ilmu pengetahuan bisa dilawan dengan kemanusiaan dan agama. Belanda yang mutakhir harus tetap dipandang jahat meski ia hanya mau mengantarkan dokter dari pihak mereka kepada Annalies. Dan ini mendapat sedikit perlawanan dari naskah yang mengetengahkan “Belanda gila sama parahnya dengan pribumi gila”. Ada kesan seolah film ingin membuat kita melihat bahwa yang ‘jahat’ itu sesungguhnya adalah pribumi yang gila-barat.

Sepanjang durasi film ada banyak hal-hal yang megecoh pada film ini. Yang membuatku jadi berpikir yang tidak-tidak, seperti seolah tertanam hal-hal lucu, padahal mungkin film tidak meniatkan seperti itu. Dan pikiran itu timbul karena film seolah mengarah ke sana. Seperti misalnya soal penyakit Annelies. Ada adegan-adegan yang menekankan tentang penularan penyakit sifilis yang bakal membuat kita menghubungkan ini kepada Annelies. Ataupun soal Annelies yang tampak seperti meminta ibunya menikah dengan Minke. Kenapa aku bisa mikir ke sana? Karena di adegan perkenalan, Minke dibuat lebih terpesona melihat Ontosoroh ketimbang melihat Annelies. Dan kemudian sepanjang cerita, Minke diledek jadi simpanan seorang Nyai. setiap kali Minke diundang datang, keluarga Annelies ribut – saling bertengkar. Kalo aku Minke aku bakal curiga jangan-jangan mereka semua lagi belajar sandiwara dan aku diundang sebagai penonton percobaan. Heck, saat Surhoof dengan jelas tampak cemburu meski dia bilang hanya suka cewek Belanda tulen, aku langsung kepikiran jangan-jangan Surhoff – yang menggoda Minke dengan “Ih kamu bau” – sebenarnya cemburu sama Annelies… Sukurlah soal Surhoof ini eventually beneran dibahas oleh cerita.

Ketika selesai menonton ini, dalam perjalanan menuju mall lain untuk menonton Perburuan (2019), aku memikirkan ulang cerita. Apa yang sebenarnya jadi pertanyaan utama pada narasi. Apa yang dijawab terakhir sebagai kesimpulan. Juga rentetan kejadian-kejadian pada Bumi Manusia. A whole lot of them. Yang ternyata tidak semuanya terbahas tuntas. So in retrospect, aku bertanya kepada diri sendiri; apa cerita ini benar-benar harus untuk menjadi tiga jam. Tidakkah ada elemen yang bisa dihilangkan tanpa mengubah tujuan cerita. Tidakkah ada tokoh yang mestinya bisa dirangkum supaya tidak ada yang muncul dan hilang tanpa penjelasan. Tentunya adaptasi tidak harus menyadur utuh semua materi asli kan.

 

 

Yang jelas, film berhasil menangkap daya tarik dari cerita ini. Konteks sosial yang masih saja relevan, hubungan cinta yang manis walaupun tragsi (in fact, semakin tragis semakin manis), menghidupkan tokoh-tokoh yang dicintai oleh pembaca novelnya. Dan tentu saja dialog yang quotable banget. Hanya saja penceritaan sepertinya bisa dilakukan dengan lebih efisien. Ada banyak karakter, Mellema, Mellema, yang membuat cerita melemah karena Minke si tokoh utama tidak lagi sesignifikan mereka. Seharusnya penyesuaian yang lebih dilakukan di sini. Tapi ini tetaplah sebuah film yang epik, tidak banyak yang berani tampil sebesar ini. Jikapun mulai merasa bosan, jangan khawatir karena kita masih bisa menemukan lucu-lucu yang tak sengaja tersirat (kuharap tak-sengaja) di dalam cerita.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BUMI MANUSIA

 

DORA AND THE LOST CITY OF GOLD Review

“The greatest adventure is the search for wisdom”

 

 

Dora, si bolang yang suka nanya-nanya itu, kini sudah gede. Petualangan kartun warna-warni yang kita saksikan di televisi dulu itu, disugestikan oleh film live-action ini, adalah sebagai imajinasi Dora yang tinggal di rumah di hutan bersama ayah dan ibunya yang arkeolog dan sesama petualang. Sebab, Dora juga tinggal di dalam dunianya sendiri. Tempat monyet bisa ngomong. Tas, dan peta bisa bernyanyi. Dan rubah bisa mencuri. ‘keberadaan’ mereka itulah awal masalahnya. Keluarganya khawatir Dora butuh teman yang bukan monyet atau buaya atau ular boa. Dora pun dikirim ke kota untuk tinggal bersama keluarga sepupu karibnya, Diego. Dora yang anak-hutan kayak Tarzan dimasukkan ke sekolah supaya berinteraksi dengan remaja-remaja sebayanya. Dia lalu berteman dengan Regina George dan cewek-cewek ‘plastik’ yang sok kecakepan. Eh, maaf, itu sinopsis Mean Girls (2004) gak sengaja kecampur. Cerita Dora di sekolah sedikit lain. Dora jelas enggak perlu nunggu hari Rabu untuk pakai baju pink. Malahan dia enggak begitu peduli untuk menjadi orang yang bukan dirinya meskipun anak-anak di sekolah – bahkan Diego – menganggapnya aneh.

Aku sebenarnya masih empet sama yang namanya live-action dari animasi atau kartun berkat Lion King 2019 (“Katakan ‘tidak’! Katakan ‘tidak’!”) Live-action seharusnya enggak maksa seperti itu. Harus ada penyesuaian ketika kita memindahkan dari tampilan satu ke tampilan lain, sementara harus tetap mempertahankan elemen yang disukai dari versi aslinya. Dora mengubah cemberutku menjadi senyuman. Paling enggak untuk separuh awal.

Film garapan James Bobin ini memiliki babak pertama dengan banyak kejadian menarik. Bobin paham cara memperlakukan elemen-elemen yang menjadikan kartun Dora spesial ke medium yang lebih ‘nyata’. Untuk kemudian bermain-main dengannya. Momen-momen khas (dan annoying) seperti Dora yang suka break the fourth wall dengan nanya ke kita (padahal jawabannya ada di depan mata!) tidak dihilangkan ataupun disalin mentah-mentah. Film mengenali betapa surealisnya sikap dan kebiasaan Dora, berteman dengan hewan dan benda mati, serta ngobrol seolah ada orang yang melihatnya. Film juga menekankan bahwa Dora adalah petualang yang cerdas, tangkas, dan pemberani. Film menggabungkan, menyesuaikan – ngomong seolah-olah ditonton itu simply paralel dengan kegiatan ngestory/ngevlog, dua unsur tersebut sehingga karakter Dora dalam film ini menjelma menjadi salah satu karakter paling menarik dalam film anak-anak.

Dora adalah remaja yang percaya diri, yang tidak takut untuk menjadi dirinya sendiri. Namun dia juga adalah seorang yang kesepian. Yang ingin disampaikan oleh film lewat karakter Dora adalah betapapun pinternya, kita tetap tidak bisa melakukan semuanya tanpa bantuan orang lain. Petualangan Dora membuka pikirannya terhadap hal tersebut karena Dora terbantu oleh kemampuan ‘khusus’ yang dimiliki oleh teman-teman sekolahnya.

kebayang nonton sama anak-anak, terus mereka ngobrol sama Dora di layar bioskop kayak kita dulu ngobrol ama layar tv hihi

 

I got my eyes set on Isabela Moner sejak Instant Family (2019) awal tahun ini. Pendekatan natural Moner dalam men-tackle tokoh anak rebel yang sebenarnya stereotipe membuat tokoh itu menjadi luwes bergerak dalam range emosi yang jauh. Sebagai Dora, Moner mengemban tugas yang sekilas receh. Tapi ada unsur sureal, karena Dora menggunakan gelagat ceria dan quirky sebagai mekanisme pertahanan dari penolakan ataupun kemungkinan dikucilkan. Semua itu harus cewek ini sampaikan dalam nada komedi. Dan Moner punya penguasaan waktu-komedi yang tepat sehingga elemen-elemen kartun yang tokohnya sampaikan diterima oleh kita sebagai candaan yang menguatkan karakternya. Simak dengan selownya Moner mengucapkan dialog “Hutan bukan tempat berbahaya. Asalkan kita tidak menyentuh apapun. Dan tidak bernapas terlalu dalam”, atau adegan simpel ketika Dora menyapa semua manusia yang ia temui di bandara dan sekolah.

Dora and the Lost City of Gold bekerja terbaik ketika si Dora berada di kota beneran. Cerita fish-out-of-water yang disuguhkan tampak spesial oleh keunikan tokoh Dora. Dia menyebutnya ‘berinteraksi dengan orang lokal’. Aku ngakak ketika isi tas Dora dibongkar di gerbang sekolah, dan kita menemukan banyak benda-benda ‘survival di hutan’ di dalam sana. Film tampak ingin mengomentari bahwa kota tidak lebih baik daripada hutan. Dora mendapat momen ‘welcome to the jungle‘nya justru ketika dia berada di kota. Dia merasa lebih kesepian di sana ketimbang di antara pohon-pohon. Film akan berjalan di arah yang totally berbeda jika terus membahas Dora yang berusaha hidup di kota.

Sayangnya, naskah tidak mengizinkan hal itu terjadi. Naskah melakukan pilihan aneh yang membuat cerita seperti udah maju, terus balik lagi. Dora ditarik kembali ke hutan karena diculik. Dia harus menemukan ayah dan ibunya yang menghilang dalam ekspedisi pencarian Kota Emas Parapata di hutan. Sebelum mereka ditemukan lebih dulu oleh para penculik yang bermaksud menangguk emas dari pengetahuan mereka. Jadi naskah film ini cerita bermula di hutan, kemudian inciting incident menyebabkan Dora harus pindah ke kota, namun plot poin-satunya membawa Dora kembali lagi ke hutan. Cerita fish-out-of-water malah berbalik ke teman-teman Dora yang harus belajar survive di hutan. Melihat Dora beraksi di ranah yang sudah ia jago, kendati exciting dan kocak, tetap tidak sebanding dengan tawaran yang sudah di-tease ke kita tentang Dora berusaha hidup bersosialisasi di kota. Petualangan Dora bersama teman-teman di hutan cukup seru. Seperti Indiana Jones versi cewek. Versi lebih cilik daripada kelihatannya. Eksplorasi mereka melingkupi pemecahan teka-teki hingga aksi meloloskan diri dari jebakan. Porsi aksi ini sebenarnya lumayan punya suspens. Tapi film senantiasa menarik diri kembali, mengingatkan kepada kita bahwa yang kita tonton ini tak lebih dari kartun anak-anak. Misalnya ketika Dora hendak tergencet tembok yang menutup; cara keluar dari situasi ini sangat kartun – melibatkan Boots CGI melakukan tingkah ‘ajaib’. Ada banyak adegan-adegan seperti petualangan beneran yang kemudian didaratkan oleh elemen kartun, meredamkan sense-of-danger. Yang dilakukan supaya tetap senada ama kartunnya, atau juga mungkin dirasa terlalu ‘berat’ untuk konsumsi anak-anak.

Parapata mungkin ada di parampatan depan sono, dek

 

Buat anak kecil memang film ini mengandung pembelajaran. Mereka bisa belajar soal mencari ilmu pengetahuan adalah hal yang mengasyikkan. Harta yang paling berharga dalam film ini bukan hanya keluarga, melainkan teman-teman dan ilmu. Film berpesan untuk tetap mencari ilmu sekalipun kau tampak aneh, diejek ‘nerd’, atau ‘dork‘ seperti Dora karenanya. Anak-anak akan dapat cepat menangkap pesan tersebut karena cerita dan adegan film ini memang dirancang untuk kepentingan mereka.

Tapi juga, menurutku film ini sedikit krisis eksistensi diri. Film tergiur untuk menjadi tontonan nostalgia untuk anak-anak yang dulu menonton kartunnya. Film mengambil tokoh remaja untuk menimbulkan kesan Dora tumbuh bersama mereka. Tapi ceritanya yang masih untuk anak kecil membuat Dora lebih cocok untuk anak kecil jaman sekarang. I mean, film ingin menarik bagi remaja atau yang lebih tua, tapi sekaligus juga hadir sebagai tontonan anak kecil. Ini sedikit membingungkan. Maka kita mendapat adegan Dora menggali lubang untuk buang-air sambil berdendang. Menurutku, keinginan film untuk menggapai lebih banyak lapisan penonton membuat penceritaannya menjadi setengah-setengah. Sepertinya akan lebih bagus jika terarah, Doranya tetap anak kecil dan ceritanya bertualang begini, atau Dora remaja dengan cerita dia di kota. Tapi tentu saja, bukan lagi Dora namanya jika tidak bertualang di hutan.

 

 

 

Jadi film memilih untuk tidak menjadi lebih besar dari yang ia bisa. Film mengadaptasi banyak elemen unik dari kartun, dan mengolahnya untuk menghidupkan Dora-yang-sama tapi dalam lingkungan baru yang supposedly lebih real, untuk penonton anak-anak jaman kekinian. Buatku masalah film ini bukan pada pilihannya menjadi receh atau menjadi film anak-anak banget. Dora justru punya pesona di ranah itu. Tapi adaptasi kartun Nickelodeon ini terbingungkan oleh nostalgia, sehingga naskah jadi sedikit messy. Ini gak akan jadi masalah untuk anak-anak sih, mereka akan senang sekali diajak orangtua dan kakak mereka kenalan ama Dora dan Boots, bernyanyi dan bertualang bersama.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for DORA AND THE LOST CITY OF GOLD

 

SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK Review

“The only thing worse than being abandoned is knowing that you’re not even worth an explanation”

 

 

Cerita seram yang paling seram itu biasanya adalah cerita-cerita yang kita dengar langsung dari teman (“tau enggak, kakakku punya teman, nah temannya itu punya tetangga, yang punya kakak yang ngeliat hantu di kamar mandi sekolah saat dia ngaca sambil nyebut nama Mary tiga kali”) atau dari keluarga (yang ini biasanya semacam nasehat terselubung). Cerita-cerita semacam itu dapat dengan cepat mendarah daging sehingga munculah urban-urban legend atau mitos lokal. Yang meskipun ceritanya gak make-sense, tapi kita tetap ‘percaya’ karena ada kesan familiar. Cerita-cerita demikian banyak yang lantas dijadikan ide untuk media seperti video game, buku, ataupun film. Tapi tidak banyak media yang mampu untuk menimbulkan kesan seram yang sama dari cerita seram yang kita dengar langsung. Karena media, khususnya film, cenderung untuk membuat cerita seram yang sebenarnya simpel menjadi rumit. Ingat bagian ‘kakakku punya teman blablabla’? itu adalah backstory needlesly rumit yang tak bisa terhindarkan bahkan jika cerita seram diceritakan secara langsung. Dalam media film, bagian tersebut dapat berkembang menjadi lebih rumit lagi.

Novel klasik Scary Stories to Tell in the Dark adalah salah satu yang berhasil bercerita horor. Sebagai kumpulan cerita pendek seram untuk anak-anak dan remaja,  buku tersebut tidak menyediakan ruang untuk berlama-lama mengarang backstory. Cerita seramnya langsung dihamparkan sehingga tepat sasaran. Misalnya, salah satu cerita yang paling kuingat adalah tentang wanita yang lagi ngendarain mobil di malam hari, yang terus diikuti oleh mobil misterius yang mengedip-ngedipkan lampu depannya. Si wanita kontan menjadi parno tapi ternyata si mobil misterius sebenarnya berusaha memberi tahu bahwa ada seseorang berpisau yang lagi ngumpet di jok belakang mobil si wanita. Berkat cerita itu sampai sekarang aku selalu lebih memilih untuk duduk di kursi paling belakang setiap kali naik mobil, biar langsung ketahuan kalo ada yang ngumpet di sono. Banyak cerita dalam Scary Stories to Tell in the Dark yang bahkan tidak repot-repot memberi nama pada tokohnya. Kita tidak benar-benar butuh untuk tahu siapa nama tokoh dalam cerita seram, yang kita butuhkan adalah lingkungan atau situasi yang akrab dengan kita. Dan kebanyakan cerita seram yang efektif memang seperti demikian, seperti cerita orang-orang tua kita.

Keberadaan film adaptasi buku Scary Stories merupakan fenomena mengerikan tersendiri buatku. Karena aku tahu aku pasti bakal nonton, terlebih karena diproduseri – juga turut ditulis – oleh Guillermo del Toro. Nama tersebut sudah seperti jaminan kita bakal melihat banyak makhluk-makhluk seram yang benar-benar memanjakan fantasi horor kita. Tapinya lagi, aku juga ragu untuk nonton karena sangsi mereka bisa keluar dari batasan ‘horor untuk anak-anak’ pada film komersil. Horor untuk anak-anak cenderung ditranslasikan sebagai horor jinak yang berat oleh eksposisi, yang dihidupi oleh tokoh-tokoh kodian alias sebatas trope-trope tokoh cerita remaja. Ketakutanku tersebut terkabul menjadi nyata.

silakan berfantasi

 

Menunggangi ombak kesuksesan Stranger Things dan hype IT Chapter 2, Scary Stories to Tell in the Dark bermain kuat di unsur nostalgia. Ketika mereka menghidupkan cerita pendek demi cerita pendek ke layar lebar, fantasi kita akan cerita-cerita tersebut seperti terpanggil keluar. Terwujudkan oleh sosok-sosok yang bikin kita berkeringat dingin. Remaja dalam cerita film ini adalah geng yang bisa saja seperti geng kalian di sekolah, di lingkungan rumah. Mereka suka cerita seram. Mereka pengen ngerjain tukang bully. Menit-menit awal film ini tampak menarik. Lingkungannya terasa hidup. It was America in 1968, presiden mereka masih Nixon, perang Vietnam baru dimulai, lagi suasana halloween dan seperti yang dikumandangkan oleh soundtrack – it was a season of the witch.

Setting seharusnya memang tidak hanya berfungsi layaknya backdrop dalam sebuah pagelaran, namun juga mesti mampu menyediakan konteks budaya dan sejarah yang menambah pemahaman penonton terhadap karakter di dalam cerita. Dalam kata lain, film yang baik akan berusaha membuat setting waktu dan tempat menjadi karakter tersendiri, yang hidup dan berkembang seiring tokoh-tokoh cerita. Waktu dan tempat itu menyimbolkan keadaan emosional yang memotivasi bahkan menghantui para tokoh. Scary Stories to Tell in the Dark, meskipun diniatkan untuk penonton muda, tidak lantas melupakan kepentingan setting waktu dan tempat. Tentu, anak kecil atau remaja yang menonton sebagian besar akan melewatkan hal ini, tapi film tidak punya niat untuk merendah demi para penonton tersebut. Settingnya tetap dibuat kuat dan penting sebagai ‘pembentuk’ tokoh kita.

Ada narasi soal child-abandonment yang dihamparkan untuk semua penonton – tua ataupun muda – di balik cerita tentang sekelompok remaja yang nekat memasuki rumah angker dan membawa pulang buku yang setiap malam menuliskan kisah kematian yang dengan segera menjadi nyata. Karena tokoh utama kita, Stella (tokoh Zoe Margaret Colletti ini bisa menjadi role-model yang bagus untuk remaja yang bercita-cita menjadi penulis), ditinggalkan oleh ibu kandungnya semenjak kecil. Begitupun dengan sosok hantu utama – yang menulis semua kisah horor tersebut – disekap oleh keluarga besarnya. Dan di dunia nyata seperti yang dilatarkan oleh film, anak-anak muda ‘dibuang’ begitu saja oleh negara ke Vietnam untuk berperang entah demi apa.

Hal yang paling mengerikan dari diabaikan oleh orang, oleh keluarga, tempat kita menggantungkan diri, adalah engkau dianggap tidak ada. Tidak ada yang menceritakan dirimu. Tapi semua orang butuh untuk didengar. Semua orang punya cerita untuk diceritakan. Film ini menunjukkan betapa pentingnya peranan suatu cerita. Pentingnya suatu kejadian untuk dikabarkan dengan benar. Kita akan lebih rendah dari hantu jika tidak ada catatan, jejak keberadaan kita, yang diketahui oleh orang lain.

 

Tangan sutradara Andre Ovredal tentu saja enggak cukup untuk mengakomodasi semua kepentingan film ini. Dia harus memasukkan banyak cerita-cerita pendek, mengikatnya dengan gagasan sehingga elemen cerita berjalan paralel, sekaligus harus memikirkan target penonton. Ketika di awal-awal film berjalan menyenangkan, masuk ke babak kedua, film yang memilih buku dan hantu yang menulis sebagai device untuk memasukkan banyak cerita pendek klasik, mengempis menjadi sajian horor standar yang meskipun berani menampilkan konsekuensi kematian tapi tidak lagi terasa segar. Alih-alih menjadi antologi berbenang merah setting seperti Trick ‘r Treat (2007), Ovredal menyetir film menjadi ke arah Goosebumps (2015). Semua monster dan kejadian ikonik pada cerita-pendek dimunculkan bergantian untuk mengeliminasi para tokoh, membangun stake tokoh utama karena berikutnya bisa saja giliran dia. Akibatnya untuk cerita-cerita itu adalah mereka hanya jadi ada di sana untuk diperkenalkan kepada penonton muda. Padahal materi horor ini mengerikan karena di setiap cerita kita diberi kesempatan untuk menyelami apa yang terjadi kepada tokoh. Seperti ketika seorang tokoh yang memukuli orang-orangan sawah yang diberi nama Harold, lalu kemudian Haroldnya hidup dan menyerang si tokoh tadi. Kita terinvest sama kejadian horor yang pertama ini karena kita melihat alasan dan koneksi cerita dengan kita. Tapi di cerita-cerita berikutnya, film seperti tergopoh-gopoh untuk menakuti lewat visual semata. Cerita jempol di dalam sop menjadi kehilangan kedekatan karena kita tahu sopnya muncul begitu saja. Cerita Red Spot tidak lagi berbobot psikologi karena kita tahu itu bukanlah jerawat. Cerita Pale Lady bahkan tidak terbangun properly karena hanya sekilas disebutkan tokohnya mimpi

Menonton mereka tidak lagi seperti mendengar cerita seram secara langsung – yang merupakan pesona dari materi aslinya. Kita hanya jadi takut melihat makhluk-makhluk seram. Padahal toh sudah gamblang tertulis. Scary Stories. Cerita. Seram. Yang seram seharusnya adalah ceritanya. Meskipun bertempat di setting yang sesuai dengan sejarah nyata, film menjadi petualangan investigasi misteri yang terlalu fantastis untuk terasa dekat dengan siapa saja.

seperti kata orangtuaku saat aku nanya jawaban PR; semua ada di buku

 

 

 

 

Berusaha untuk setia dengan materi aslinya, tapi cerita-cerita pendek itu sesungguhnya tidak butuh untuk diceritakan ulang lewat narasi berlatar belakang yang kompleks. Karena pada akhirnya – lantaran diniatkan untuk penonton muda – film ini mengambil wujud horor yang pasaran, yang penuh oleh trope dan stereotype. Dia malah tampak seperti tiruan versi lebih nekat dari film tentang buku horor yang semua ceritanya menjadi nyata. Film berusaha memberi gambaran soal keadaan mengerikan yang bisa menimpa anak-anak dan yang berusia remaja – dia bisa saja berdiri sendiri membahas ini. Tapi ada tuntutan sebagai adaptasi untuk mengakomodir banyak cerita dari tiga buku. Film ini seperti menggigit lebih banyak dari yang bisa ia kunyah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Beberapa waktu lalu aku membaca majalah dari Lembaga Sensor Film soal horor bukan tontonan untuk anak-anak.

Apakah kalian setuju? Menurut kalian seperti apa sih sebaiknya film horor untuk anak-anak dibuat?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

PARIBAN: IDOLA DARI TANAH JAWA Review

“Every story has a beginning, a middle, and an end.”

 

 

 

Ini bakal jadi kali terakhir aku nonton-dan-ngereview ‘film-film’ kayak Benyamin Biang Kerok (2018) dan Pariban: Idola dari Tanah Jawa. Aku pikir semua sudah berakhir ketika episode sambungan Biang Kerok urung ditayangkan di bioskop. Aku pikir pembuat film Indonesia sudah menyadari betapa insulting-nya membuat tontonan seperti yang ‘film’ itu lakukan bagi para penonton bioskop. Kupikir, ya sepertinya perfilman Indonesia masih waras. Tapi ternyata di 2019 ini muncullah Pariban.

Serius, deh, ini mengkhawatirkan. Aku takut sekali kalo ke depan nanti bioskop-bioskop Indonesia diisi oleh video-video panjang komersil yang tak lagi mengindahkan seni pembuatan film serta pengetahuan penulisan naskah, alih-alih film beneran. Jadi aku berharap karya (kalo bisa dibilang sebagai suatu karya) seperti ini stop dibuat sampai di sini. Aku tidak ingin menonton yang seperti ini lagi di bioskop, dan kupikir para penonton pun menginginkan hal yang sama. Kita ke bioskop untuk menonton film. Kita bicara tentang film yang ditonton supaya roda kemajuan itu terus bergulir. Kita menginginkan film-film yang bagus bisa tercipta. Pariban, sama seperti halnya ‘film’ Biang Kerok, adalah kemunduran sinema tanah-air. Jangan sampai ada lagi yang seperti ini. Makanya kali ini biarlah. Aku ingin menekankan, menjelaskan lebih detil poin-poin yang kutulis dalam review Biang Kerok. Biar dua ini cukup menjadi pembelajaran – dan pengingat.

Supaya kita semua dapat melihat bahwa film Pariban ini (juga) bukanlah sebuah film.

“Halo~, Halo Moan… Sekarang telah menjadi produk komersil, Pari-ban! parah sekali”

 

Pariban datang dari orang yang membuat film Love for Sale, salah satu film 2018 yang masuk ke dalam daftar Delapan-Besar Terbaikku di tahun itu. Satu-satunya film Indonesia yang masuk dalam daftar Delapan-Besar Terbaikku tahun itu! It was on the top-three!!! Andibachtiar Yusuf, what happened, mas? Molo adong na salah ini ya, aku gak tahu apa yang terjadi di balik dapur produksi mereka. Tapi kupikir kita memang tidak bisa begitu saja menilai film dari pembuat atau pemain. Toh yang Biang Kerok itu juga dibuat dengan kolaborasi sutradara dan aktor jajaran terdepan dunia film kita. Yang paling terdepan, malah. I mean, belum tentu serta-merta biang keroknya adalah mereka. I really don’t know. Dalam Pariban juga, aku menghormati para pembuat dan pemain film yang profesional sekali. Mulai dari Ganindra Bimo hingga Rizky Mocil; aktingnya enggak ada yang main-main, meski mereka memang tampak have fun sekali memerankan tokoh masing-masing. Enggak gampang tentunya memainkan karakter yang berasal dari latar budaya yang berbeda dari keseharian. Dan juga sebaliknya; actually menyenangkan melihat beberapa aktor seperti Atiqah Hasiholan yang berakting dalam ‘habitat’ asli mereka.

Niat pembuatannya sebenarnya cukup bagus. Pariban mengangkat budaya Sumatera Utara. Aku suka, aku besar cukup dekat dengan orang-orang Batak, keluargaku sendiri ada yang orang Batak. Aku familiar dengan sapaan dan candaan kayak lae, bodat, kenlap! Film ini memberitahu kita satu informasi baru. Memperkenalkan tradisi perjodohan khas Batak, yang basically adalah pernikahan antarsepupu – yang memiliki marga keluarga yang sama. Lewat arahan komedi, ‘film’ menunjukkan kepada kita gimana sistem pariban ini kadang menjadi momok, namun juga seringkali menjadi langkah ampuh dan aman untuk mendapatkan jodoh. Dalam yang ngakunya film ini kita melihat seorang pemuda asli batak tapi lahir di Jakarta, bernama Halomoan yang dituntut mamaknya untuk segera menikah. Lantaran rumor-rumor miring mulai terdengar seputar Moan. Maka, Moan berangkat ke kampungnya di pinggir danau Toba, untuk menemui paribannya – Uli. Elemen fish out of water pun mewarnai cerita tatkala Moan yang perjaka gaul ibukota tinggal berakrab-akrab ria dengan penduduk lokal di sana. ‘Film’ cukup bijak untuk tidak berkubang di penggalian stereotype – orang batak suka main catur dikorporasikan dengan lucu masuk ke dalam cerita – dan memberikan kesempatan penduduk cerita untuk berkembang dalam archetype. Kita melihat batak yang ngomong keras dan kadang kasar tidak selalu ‘jahat’. ‘Film’ ingin menarik budaya, menunjukkannya ke dunia, dan mendukungnya dengan teknologi yang modern. Aku terus menunggu ‘film’ mengangkat pertanyaan dan gagasan tersendiri soal adat pariban, bahkan mungkin menantang eksistensinya. Namun adegan-adegan dengan tokoh yang bereaksi relevan terhadap pariban itu sendiri, sayangnya, ditampilkan minimalis sekali.

Hanya ada satu adegan Uli, wanita modern yang cerdas, menunjukkan sedikit ketidaksetujuannya terhadap pariban. ‘Film’ ternyata lebih tertarik untuk mengisi durasi dengan sebanyak mungkin komedi yang bisa mereka pancing dari cara ngomong dan kosakata khas orang Batak yang lucu. Sebagian besar waktu memang didedikasikan untuk persaingan cinta antara Moan dengan Binsar, bujang asli sono yang mengaku Romeo-Butetan dengan Uli. Bahkan buatku ‘film’ juga melewatkan kesempatan dalam penggarapan si Binsar. Tokoh ini bisa menjadi menarik karena dia actually melambangkan orang asli Batak yang melawan sistem Pariban; Binsar menolak ‘kalah’ dari Moan yang merasa menang dengan status paribannya. Dinamika tiga tokoh sentral ini memang punya aroma menarik, tapi ‘film’ tidak benar-benar menggali mereka. ‘Film’ berhasil membuat Moan yang berlatar eksistensi kompleks ini (dia dipanggil Batak KW oleh orang-orang kampung) menjadi tokoh yang biasa-biasa aja. Kenapa Moan mau-maunya disuruh nemui paribannya aja tidak terjelaskan dengan menarik. Tidak ada stake bagi Moan. Moan seorang pria kaya yang modern, tukang bikin aplikasi, dia punya tujuh pacar sesuai hari. Jadi dia bukannya gak laku, gak mampu nikah. He just doesn’t want to. Tidak ada motivasi dalam diri tokoh ini. Tidak ada intensitas kita menontonnya. Barulah ketika bertemu Uli, dia mengeset goal – untuk menjadikannya istri, memenangkan pertandingan melawan Binsar. It takes a really long time buat karakter Moan berpindah dari satu titik ke titik berikutnya. Penulisan karakternya seperti berjalan di tempat.

kalo dia mau, Moan bisa bikin aplikasi cari-jodoh yang sesuai ama preference dirinya

 

Semua itu karena ‘film’ ini sesungguhnya punya agenda yang mengerikan dalam menyampaikan ceritanya. Yakni membagi diri menjadi dua. Such an evil corporate move! Biarkan penonton membayar dua kali untuk satu cerita. Alih-alih mempertontonkan cerita yang utuh, potong di tengah, buat jadi bersambung supaya penonton datang dan membayar lagi. Aku bukannya bilang sebuah film gak boleh bersambung, hanya saja lakukanlah dengan benar. Tutup arc tokohnya, baru kemudian lanjutkan terserah mau berapa kali sekuel.

Sebuah cerita haruslah punya awal, tengah, dan akhir. Kita melihat awal Moan yang didesak untuk segera cari calon bini, dia disuruh kenalan ama paribannya di kampung. Moan berangkat ke sana dengan confident bahwa dia bisa nikah kalo dia mau, karena dia kaya, tampan, dan besar. Set up awal cerita sudah bagus. Tengahnya berisi benturan-benturan karena ternyata banyak tentang asal daerahnya yang tidak Moan tahu, dan gimana dia mulai merasakan cinta beneran terhadap Uli. Karenanya Moan pun mencoba mengikuti aturan adat dan aturan mamaknya. Melihat arahan seteru Moan dengan Binsar, aku sudah siap untuk mendapatkan satu lagi cerita kegagalan yang manis – Moan was just too overconfident for his own good, dia terlalu aman dalam status pariban. Lalu, ternyata, dengan kurang ajarnya cerita diputus dengan sengaja pada bagian akhir, tepat di ambang pintu resolusi. Plot poin kedua cerita ini dijadikan cliffhanger. Perjalanan inner dan outer tokoh Moan sama sekali belum finish. Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh ‘film’ ini adalah mencabut kita keluar saat kita baru mau masuk ke klimaks. Menjadikan ceritanya tidak komplit. Membuatnya belum bisa disebut sebagai satu film. Karena you gotta to have a beginning, middle, and end walaupun urutannya bisa dibolak-balik. Pariban dan Biang Kerok hanya punya awal dan tengah. Mereka tidak punya syarat pertama suatu tontonan disebut sebagai film. Dan harusnya kita marah, karena jika kita membayar untuk satu film, maka kita harus dapat satu film utuh!

Pemotongan itu dilakukan dengan sengaja. Hanya karena mereka bisa, dan mau nyari untung belaka. I mean, bukan karena durasinya sudah kepanjangan maka mereka terpaksa memotong. Mungkin masih bisa sedikit dimaafkan kalo mereka sudah bercerita dengan efektif namun karena durasi yang terlalu panjang maka mereka memotong. Pariban sama sekali tidak efektif dalam mengisi durasinya. Sepuluh menit pertama adalah eksposisi yang dilakukan dengan sok lucu. Setiap orang ingin jadi kayak Deadpool sekarang. Menggunakan metode breaking the fourth wall, Moan akan sering bicara kepada kita. Hanya saja mereka lupa satu hal; mereka juga lupa meniru kemampuan kamera dalam bercerita dengan baik. Bicara langsung kepada penonton dalam Pariban dilakukan seperti video presentasi, untuk menjelaskan berbagai paparan seperti bagaimana aturan main adat pariban atau backstory Moan, mereka menggunakan adegan ilustrasi – entah itu adegan berupa sketsa atau animasi sederhana – yang membuat kita terlepas dari bangunan narasi. Kreatif tapi tidak berada di dalam bangunan cerita. Adegan tersebut bisa saja dibuang. Bandingkan dengan breaking the fourth wall pada Ferris Bueller; yang menarik kita masuk ke dalam cerita karena secara realtime kita diperlihatkan sisi sebenarnya dari si Ferris. Atau bandingkan dengan pada Deadpool; yang kita lihat pada layar adalah sesuatu yang tidak bisa dibuang, karena masuk ke dalam cerita, dan ditampilkan dengan menarik; masih ingat dong opening Deadpool? Permainan kamera dan editing dan visual humor yang tidak dimiliki oleh Pariban.

 

 

 

 

 

Dengan mengangkat materi tentang adat perjodohan antarsepupu di dunia modern, film ini ternyata hanya berfokus kepada cara bercerita yang sok lucu. Padahal enggak lucu. Sia-sia sudah penampilan yang bagus, dan sedikit pesan yang diselipin dalam dialog. Setiap cerita kudu punya awal, tengah, dan akhir. Dan kuharap film ini adalah awal, tengah, sekaligus akhir dari tren membuat film bersambung. Akan menjadi hari penuh duka bagi perfilman tanah air jika bioskop nantinya ramai oleh film-film yang dibuat dengan mindset sinetron kejar tayang. Film-film yang tak lagi dibuat berdasarkan pengetahuan terhadap sinema, seni penulisan skenario, melainkan insting mencari keuntungan sebesar-besarnya semata. Yang mana karya semacam ini tidak bisa disebut sebagai sebuah film. Jadi, berhenti membuat seperti ini, jangan sampai jadi tradisi.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for PARIBAN: IDOLA DARI TANAH JAWA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Buat yang pengen lebih banyak mendengar tentang film indonesia yang kini krisis ilmu pengetahuan, bisa tonton video dari channel Oblounge ini:

 

Bagaimana pendapat kalian tentang film bersambung ala Pariban dan Benyamin Biang Kerok?

Apakah menurut kalian film bersambung kayak gini perlu dilestarikan?

Dan karena filmnya takut-takut mengangkat; apakah menurut kalian budaya pariban perlu dilestarikan?

 

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.