CRAZY RICH ASIANS Review

“Sometimes you gotta lose something to win something.”

 

 

 

Cewek-cewek, pacar kalian yang biasanya makan cake sepiring berdua ternyata adalah pria super duper kaya di Singapura. Hayo gimana tuh. Apakah kalian bakal girang setengah mati lantaran udah berhasil nangkep ikan gemuk, atau malah akan minder?

Persetujuan keluarga itu penting dalam membina hubungan. Apalagi buat keluarga yang saking berhasilnya memegang teguh tradisi hingga menjadi basically jadi tuan tanah di Singapura seperti keluarga Nick Young (mempesona di debutnya, Henry Golding bikin penonton cewek di sebelahku meleleh). Terkenal, kaya raya, cakep-cakep pula. Mungkin memang hanya Rachel Chu-lah yang enggak kenal siapa Nick dan keluarga. Padahal Rachel (aku konflik di sini lantaran Constance Wu suaranya annoying tapi wajahnya mirip-mirip Dian Sastro) sudah lama pacaran sama Nick. Crazy Rich Asians yang diadaptasi dari novel karangan Kevin Kwan bercerita tentang Rachel yang gede di New York diajak ke Singapura oleh pacarnya demi menghadiri pesta pernikahan sepupu. Yang mana itu berarti Rachel akan bertemu langsung dengan orangtua dan keluarga besar Nick. Yang mana itu berarti Rachel gak punya kesempatan berlama-lama melongo melihat kenyataan Nick bisa beli apapun di Singapura kalo dia mau. Sebab palu judgment akan siap dijatuhkan kepadanya; apakah calon mertua senang dan bisa menerima dirinya. Sudah hampir pasti dia mesti bekerja keras untuk bisa diterima sama calon keluarga barunya. Dan hal tersebut harus dia lakukan sambil berusaha untuk jadi pacar yang baik, menjalin hubungan yang normal, sementara semua hal yang baru terus menderu dirinya.

Di balik lapisan cewek biasa saja yang ternyata punya pacar orang kaya, film ini sesungguhnya membentrokkan budaya Amerika yang mandiri  – dalam artian ‘mengutamakan diri sendiri’ – dengan konsep budaya yang terdengar asing dan terbelakang bagi mereka. Dari aspek inilah datangnya kesignifikansian Crazy Rich Asians hadir dalam dunia sinema, khususnya sinema barat. Satu hal film merupakan produksi gede Hollywood pertama yang seluruh pihak yang terlibat di dalamnya adalah orang Asia. Sungguh-sungguh monumental. Hollywood akhirnya mendengar dengan seksama suara pasar, dan berani mengambil langkah memperlihatkan budaya berbeda dari belahan dunia yang lain. Jika selama ini orang Asia tak sering hanya merupakan peran minor, maka di film ini para audiens Hollywood sana bukan saja diperlihatkan keindahan dan keunikan Asia, bahwa mereka juga powerful. Melainkan juga dibuat melek – tertantang – sama pola pikir yang berakar pada tradisi sebagaimana kita penonton film ini akan berusaha melihatnya dari sisi yang lain.

‘Goh’ Standard atau Self-Made. You be the judge.

 

 

Semua hal yang ditampilkan dalam film ini sungguh sangat baru buat penonton di Barat sana. Makanan, bahasa, budaya, arsitektur, cara pandang, film kuat oleh hal tersebut. Menjadikannya begitu menghibur. Ada banyak momen yang terasa sangat menyenangkan, lucu, bahkan oleh kita yang sama-sama orang Asia. Adegan pesta pernikahan itu benar-benar fascinating. Aku rasa ini adalah adegan wedding paling memesona yang pernah aku lihat dalam film untuk waktu yang lama. Untuk kita-kita, ada nilai plus yang pasti terasa; semuanya terasa akrab dan kita ikutan bangga saat “sate, dua puluh” disebut, saat ada onde-onde. Saat ada Mr. Harimau. Mereka tidak begitu berbeda dengan kita di Indonesia. Dan untuk Hollywood akhirnya mengacknowldege ini, akhirnya memberikan kesempatan untuk orang-orang Asia memegang kemudi, sungguh hal yang menakjubkan. Setelah sekian lama berjuang, membuktikan diri, akhirnya approval terhadap film bertema Asia yang benar-benar patut diperhitungkan dan gak sekedar archetype rasis itu berhasil digenggam. Dan untuk selanjutnya hanya ada hal bagus yang datang dari sini.

Sama seperti Rachel yang harus bekerja keras demi mendapatkan approval dari Eleanor Young, ibu dari Nick. Hubungan kedua tokoh inilah yang sejatinya membuat cerita menarik. Eleanor juga sebenarnya sama ama Rachel, dulu dia juga harus berjuang demi persetujuan nenek Nick. Konflik di antara keduanya terasa gregetnya. Eleanor di tangan Michelle Yeoh terasa sangat mengintimidasi. Sekali lihat saja kita bisa langsung degdegan karena kita tahu dia adalah orang yang harus bisa kita buat terkesan. Dan Eleanor tidak sungkan untuk menunjukkan tingkat kesukaannya secara kontan tanpa tedeng aling-aling. Bayangkan, inilah orang yang harus dihadapi oleh Rachel. Cewek yang ngajar Ekonomi ini harus secara konstan menyenangkan hati si calon mertua, atau kalo gak bisa, dia harus bisa berkelit dari pertanyaan-pertanyaan bernada merendahkan dalam upaya membuktikan dirinya pantas masuk menjadi anggota keluarga mereka.

Sebenarnya konyol sih, gimana kita harus bekerja keras demi mendapat persetujuan orang. Kita harus berusaha menyenangkan hati mereka, hanya demi pengakuan – practically kita memohon untuk kesempatan. Para cast film ini misalnya, mereka harus buktikan diri dulu ke Hollywood bahwa mereka bisa menghasilkan uang sebab film adalah investasi. Mereka berhasil, dan jadilah film ini seluruh castnya Asia. Rachel harus buktiin diri, bermanis-manis di tengah tuduhan supaya bisa dapat restu dan diakui, dianggap pantas menjadi anggota keluarga. Tapi memang begitulah aturan mainnya.

Kita tidak bisa dapat hal yang lebih baik jika tidak membuktikan dulu kita pantas saat kita belum memilik hal yang baik. Kita harus melakukan sesuatu yang pantas untuk mendapat pengakuan, dan untuk itu terkadang kita harus kalah dahulu

 

 

Buat yang mempertanyakan, ya, cerita film ini memang seperti FTV yang sering membuat ibu-ibu kita terbuai. Struktur ceritanya juga formulaik sekali. Pun dipenuhi oleh trope-trope klise, like, tentu saja akan ada adegan fitting gaun pesta disertai musik yang ceria. Cukup bikin bosen kala cerita memasuki lapisan yang di dalam, ketika kita jauh dari distraksi mewah, indah, dan glamornya kehidupan orang kaya di Singapura, terutama ketika romansa Rachel dengan Nick. Karena kita sudah apal cerita model begini. Tidak ada substansi baru yang ditawarkan. Benar-benar kharisma pemain, lokasi dan produksi, lapisan luar yang bikin film ini terasa fresh. Makanya dia jadi gampang untuk disukai. Semua orang akan suka film ini, kurasa. Humor pun dengan tepat ditebar, tidak ada momen yang terasa lebay.

Orang kaya paling suka barang diskonan, it’s funny because it’s true

 

 

Kalopun ada yang gak seneng, kurasa orang Singapura sendiri yang paling mungkin memandang film ini dengan mata menyipit. Karena Singapura kan mestinya negara yang sangat diverse, bukan hanya orang Cina yang ada di sana – orang Asia bukan hanya Cina. Penduduk Singapura yang lain terasa minor banget dalam film ini, lihat saja tamu-tamu pestanya. Bangsa Asia lain sepertinya harus buktiin diri dulu biar bisa dapat peran gede di lanjutan film ini nanti (kalo ada).

Ada beberapa aspek yang mestinya bisa dikasih informasi lebih, supaya kita lebih mudah mengerti. Seperti sekuen main mahyong menjelang akhir cerita. Ini adalah bagian yang penting, dialognya memang sangat jelas menyatakan apa yang kita saksikan, apa makna yang ingin disampaikan. Tapi semestinya impact sekuen ini bisa menjadi lebih kuat jika kita mengerti mereka sedang ngapain dalam terms permainannya. Paling enggak kita harusnya dikasih tahu Rachel menang atau tidak. Dengan demikian, kita ikut terbawa dalam permainan dan dialognya, karena aku yakin kedua hal tersebut berjalan berbarengan. Rachel menggugurkan batu mahyongnya (aku gak yakin karena gak tau aturan permainan tersebut), dia membuat Eleanor menang, itu sebenarnya paralel dengan keputusan yang Rachel lakukan. Aku suka adegan tersebut. Aku hanya butuh sedikit kejelasan terhadap apa yang kurasakan dilakukan dalam adegan tersebut benar-benar sesuai atau enggak.

 

 

 

Komedi romantis yang perfectly entertaining. Ceritanya memang tidak baru, entah sudah berapa kali kita sudah melihat cerita yang sama. Tapi karakter-karakter, set, budaya, yang ditampilkan akan membungkus dengan begitu luar biasa, sehingga film menjadi begitu menyenangkan. Begitu pentingnya film ini karena menjadi bukti bahwa Hollywood sudah membuka pintu kesempatan. Aku akan menantikan sekali film seperti ini muncul dengan cerita yang lebih fresh dan lebih baik lagi. Dan kita, Indonesia, maksudku, tidakkah kita pengen lihat Indonesia-full di Hollywood, dengan pemain, kru, cerita buatan lokal. Tidak lagi hanya sebatas fragmen-fragmen karena kita share kebudayaan yang sama ama negara tetangga. Film ini, sama seperti Wiro Sableng 212 (2018), adalah jalan masuk untuk kesempatan-kesempatan langka. Kita harus bekerja amat sangat keras untuk diakui. Sistem yang mungkin konyol, tapi begitulah aturan hidup di crazy rich world.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for CRAZY RICH ASIANS.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian akankah Indonesia mampu menangkap perhatian Hollywood? Mengingat kita punya banyak sinetron dan FTV yang ceritanya model begini, apakah kita akan ternoticed begitu menggarapnya dengan biaya yang besar? Bagaimana menurut kalian langkah terbaik yang harusnya dilakukan untuk mendapat kesempatan seperti ini, kita punya Iko Uwais, Marlina, dan banyak lagi yang sudah mendunia. Akankah itu cukup?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

UDAH PUTUSIN AJA! Review

“You’re in love with the idea of being in love”

 

 

 

Jilbab tidak mencegah kehamilan. Sama seperti kita pakai helm bukan supaya enggak bakal kecelakaan. Melainkan sebagai tindak untuk melindungi diri. Hal yang lucunya adalah enggak semua orang memilih untuk pake helm. Bahkan tak jarang malah keki disuruh pakai. Buat apa sih? Banyak yang mencari alternatif lain. Pandai-pandai jaga diri aja. Lagian siapa sih yang suka disuruh-suruh. Kalo mau aman, disuruh pake helmlah. Kalo mau masuk surga, disuruh pake jilbab. Kalo mau bertamu, disuruh masuk. Kalo haus, disuruh harus minum air kelapa dingin yang seger. Eh, kalo disuruh begitu mah semua pasti pada mau yaa.

Ketika disuruh untuk melakukan sesuatu, mekanisme pertahanan manusia otomatis akan membuat seseorang masuk ke mode ‘melawan’. Ingin membuktikan bahwa sebenarnya suruhan itu bukan berarti yang nyuruh benar, dan yang disuruh itu salah. Kita cenderung akan berusaha untuk membuktikan sebaliknya. Makanya, semakin dilarang, kita akan semakin nakal. Untuk alasan itu jualah Amanda (Audi Marissa berhasil untuk tidak membuat tokohnya annoying) suka keluar malem. Dia nekat melanggar aturan di depan idung ayahnya yang tertidur lelap. Gak boleh pacaran, eh Amanda tetep aja backstreet-an. Film Udah Putusin Aja! sepertinya paham bahwasanya suruhan hanya akan dijawab dengan perlawanan, maka film ini menyampaikan ceritanya dalam nada komedi. Dari Amanda hingga papanya, dari sahabatnya yang cowok semua hingga ke ibu gurunya, semua akan tampil dengan tingkah yang konyol. Kita mungkin akan geli sendiri melihat rentetan adegan ayah Amanda menemukan pregnant test dalam tas, yang ternyata adalah milik teman dekat Amanda, yang menuntun kita ke peristiwa di mana Amanda harus ikut pesantren kilat yang diadakan oleh Faraz, siswi paling surgawi di sekolah (Elyzia Mulachela paling jago mainin tokoh yang lembut kayak gini). Dari sana adegan-adegan konyol yang sebenarnya adalah sentilan, kalo gak mau dibilang sebagai ceramah terselubung, terus bergulir. Amanda dan gengnya berusaha kabur!

“makin ditolak, makin semangat”

 

 

Tegas di dalam gagasan dan konteksnya, film ini punya treatment aktor yang tidak seperti pada film-film lain. Felix Siauw – pembuat dan pemilik ceritanya – menjelaskannya di kredit penutup film, jadi aku gak akan ceritain di sini. Film benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Di samping itu, film tidak begitu saja menegur dengan drama-drama orang mulia ataupun semata membuat penonton mengucurkan airmata. Yang film ini lakukan adalah mengambil sudut pandang dari seseorang yang akrab dengan remaja sehari-hari. Menarik penonton untuk masuk berkat sifat tokohnya yang menolak untuk diatur. Amanda kuat oleh perspektif, dia punya kompas moral sendiri. Mengatakannya seorang bad girl akan dianggap pujian oleh cewek ini. Ada banyak adegan yang mengundang tawa seputar bentrokan yang dilakukan oleh Amanda. Ketika dia berdoa agar rencananya kabur dari pesantren berhasil, misalnya. Ataupun ketika dia berbalik memutuskan untuk tetap tinggal di pesantren, hanya demi membuktikan bahwa Faraz yang berjilbab sebenarnya tak-lebih baik dari dirinya sendiri. Perubahan yang dialami oleh Amanda, seiring berjalannya cerita, akan membuat kita mengerti pemahaman dan gagasan yang coba diangkat oleh film ini. Ya, film ini memang cukup ambisius, dia ingin membuat kita benar-benar melihat apa yang dirasakan oleh Amanda – dia ingin penontonnya juga berubah. Film ini ingin penontonnya – mereka menargetkan remaja wanita – untuk mencari dari dua sisi; dampak negatif dan dampak positif (kalo ada) dari pacaran. Dan meski tone komedi film ini agak berlebihan, apa-apa yang terjadi pada para tokoh sebenarnya memang mungkin terjadi di dunia nyata.

Romantisasi tidak musti melulu berarti datang dari cewek dan cowok yang lagi kasmaran. Cinta bukan hanya soal berpacaran. Kita melihat di sini Amanda menemukan cinta yang tulus, yang sejatinya adalah perwujudan dari rasa saling peduli, rasa saling mensyukuri, rasa saling menghormati. Tidak kurang tiga kali Amanda jatuh cinta tanpa ia sadari; kepada Faraz yang tadinya ia antagoniskan, kepada ayahnya yang tadinya ia lawan, kepada Tuhan yang tadinya sengaja ia lupakan. Hati pada cerita ini berasal dari hubungan antara Amanda dengan ketiga sosok tersebut. Film ini membuat Amanda sadar bukan dari ceramah-ceramah guru ataupun Kang Guru di Pesantren, kita malah diberikan kesempatan untuk menertawakan mereka bersama-sama. Amanda sadar karena dia berpikir sendiri, karena dia melihat dari sekitarnya.

Wanita moderen adalah cewek yang mandiri, yang tahu bahwa kebahagiaan yang ia cari tak perlu harus berasal dari orang lain. Jika begitu, kenapa masih saja banyak cewek yang merasa perlu untuk punya pacar? Yang sampai berlomba banyak-banyakan jumlah mantan? Karena, seperti Amanda yang merasa disuruh-suruh, dia hanya cinta terhadap gagasan tentang cinta

 

Film juga memperlihatkan gimana pacaran dari sisi cowok, mereka mencoba sejujur-jujurnya memperlihatkan isi pikiran cowok, dengan juga cukup bijak menyuarakan “enggak semua cowok brengsek” meski memang film literally sempat menyebut bahwa penampakan paling seram adalah yang berwujud manusia tampan. Yang agakl mengkhawatirkan adalah minimnya konsekuensi yang dijatuhkan kepada para cowok dalam film ini, karena ceritanya ingin menguatkan poin ceweklah selalu yang paling dirugikan.

kecuali kalo nginjek kotoran sapi itu dianggap konsekuensi

 

 

Menjelang babak ketiga, film menjadi sedikit terlalu preachy. Yang menurutku ada hubungannya dengan pergantian tone cerita yang lumayan drastis. Ada adegan di mana Amanda yang terkantuk-kantuk diajak sholat jam 3 malam oleh ayahnya; doa dari sang ayah membuat Amanda menitikkan air mata. Kemudian ayahnya memberikan kembali barang-barang milik Amanda, seperti hape dan privilage memakai mobil, yang sebelumnya ia sita karena Amanda sudah membuat dirinya bahagia. kemudian Amanda juga turut gembira karena barang-barangnya sudah kembali. Menurutku ini membuat pesan yang ingin disampaikan sedikit melemah. Membuat Amanda seperti belum belajar apa-apa, karena di titik itu seharusnya dia dibuat bahagia meski tanpa barang-barang tersebut, mestinya Amanda sudah tahu dia tidak butuh semua itu – dia tidak butuh pacaran – untuk bahagia. Instead, dari adegan tersebut yang bisa kita simpulkan justru adalah Amanda hanya merasa kasihan kepada ayahnya.

Sepertinya film memang cukup kesulitan merangkai penutup, karena setelah mereka beres dari pesantren, film meninggalkan komedinya dan masuk ke dalam mode yang serius. Kelihatan cerita hilang keseimbangan di poin ini. Menyampaikan cerita yang serius, film seperti sedikit terlalu berhati-hati, mereka tak lagi menyuguhkan rentetan kejadian yang bergulir. Kita malah mendapat adegan Amanda curhat di vlog, seperti gadis yang menulis buku diari, dia benar-benar menceritakan apa yang ia rasakan, dan ini sesungguhnya adalah storytelling yang paling gampang yang bisa terpikirkan oleh pembuatnya – kalo gak mau disebut malas. Seharusnya film membahas elemen prejudice terhadap Faraz dengan lebih dalam lagi, tidak cukup banyak waktu yang diinvestasikan cerita ke sana, padahal sebenarnya ini bagian yang integral dalam konteks memperlihatkan gimana dampak dari hubungan cewek dan cowok bisa terblow up begitu gede di kalangan masyarakat.

Semua orang bebas menentukan jalan hidupnya. Semua orang mestinya tidak perlu ditantang perihal kemampuannya dalam menjaga diri sendiri. Orang bisa melawan. Orang diharuskan mencari kebahagiaan demi dirinya sendiri, baru buat orang lain. Tapi di atas semua itu, seseorang tersebut haruslah bertanggungjawab. Lewat Faraz, film menunjukkan betapa pun baiknya nama kita, jika terjadi apa-apa, kerugian itu lebih banyak jatoh ke wanita. Tapi jika kita benar-benar mandiri, kita akan tahu untuk tidak berbangga sebagai victim.

 

 

 

 

Over-the-top, cheesy (film ini berakhir dengan lagu pop), preachy, tapi paling enggak film ini konsisten dan tegas dengan gagasan yang ia usung. Tone ceritanya sedikit tak seimbang, dengan ada elemen bercerita yang tidak benar-benar menambah banyak untuk narasi – selain menambah keconvenience-an, yang ultimately membuat film ini semakin lebih mirip film televisi dan kurang teatrikal. Komedi sebenarnya bisa/cukup dilakukan dengan gimana Amanda memandang orang-orang dan kebiasaan agamis itu dengan aneh, gaya hidup mereka bisa dibentrokan, dan jadinya juga bakalan lucu sehingga jarak tone cerita di bagian awal dan akhir film ini dapat dipersempit. Penggunaan flashback yang berlebihan juga mengurangi poin untuk film ini. Tapi ini adalah cerita yang berani dengan pesan yang bagus, dan relevan. Kalian bisa nonton ini dan terhibur, atau malah tersinggung dan kesal olehnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UDAH PUTUSIN AJA!

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa yang terjadi jika cewek-cewek di dunia ini pada kompakan untuk gak mau pacaran? Akankah cowok akan semakin kompetitif, atau dunia malah jadi membosankan tanpa ada gosip dan cela yang bisa diumbar?

Sebaliknya, jika kita diharuskan untuk berbaik sangka, kenapa kita tidak bisa berbaik sangka sama pacaran? Benarkah tidak ada sisi baik yang datang dari pacaran?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

WIRO SABLENG 212 Review

“Do not seek revenge and call it justice”

 

 

 

Alasan kenapa Wiro dilatih silat dengan jurus-jurus yang konyol dan menyenangkan sama dengan kenapa pemuda ini diberikan baju berwarna putih; supaya Wiro senantiasa jauh-jauh dari aliran kegelapan. Namun, tak sama dengan baju putih yang gampang kotor, Wiro membuktikan hatinya tidak gampang untuk ternoda. Gemblengan Sinto Gendeng yang meski asik tapi luar biasa keras sudah menempa Wiro menjadi pendekar sakti baik budi. Kekurangannya, ya cuma satu – SABLENG!

Bagi pembaca novelnya, ataupun bagi pemirsa yang (beruntung) pernah menyaksikan serial televisi Wiro Sableng di tahun 90an, tentunya tidak akan asing dengan gimana sih Wiro Sableng itu.  Buat yang sama sekali awam, ada baiknya menyimak penggalan lirik lagu serial tersebut “sikapnya lucu, tingkahnya aneh, seperti orang yang kurang ingatan dan tak sadar – dia slenge’an tapi cinta damai” sungguh tepat menyimpulkan seperti apa Wiro Sableng. Film kerjasama Lifelike Pictures dengan 20th Century Fox ini dengan sangat tepat menghadirkan kembali style dan ruh dari serial lama itu. Film ini exactly terasa seperti menonton serialnya, dengan kualitas visual dan set produksi yang jauh lebih mahal.  Ajiannya sekarang bukan efek tepung, tapi efek komputer. Kostumnya tradisional dan sederhana tapi tak tampak kuno sebab diasimilasikan dengan gaya moderen.

Satu orang yang paling bangga sedunia oleh film ini tentu saja adalah Vino G. Bastian. Jikalau dia sempat merasa beban mengangkat semesta karangan ayahnya ini, maka aku bisa pastikan dengan tayangnya filmnya ini Vino merasa sangat bangga. Dia menangkap passion dan gaya dan esensi Wiro Sableng itu sendiri. Si Bocah Kunyuk kembali hidup di tangannya! Bayangkan Deadpool tapi minus crudeness, bayangkan Sun Go Kong si Kera Sakti namun sedikit dijinakkan. Itulah Wiro Sableng.

Sekuen di kedai itu contohnya; classic Wiro Sableng banget. Gimana aksinya, gimana cara dia ‘menghukum’ penjahat. Wiro selalu seperti orang blo’on yang tampak enggak tahu dengan apa yang ia sendiri lakukan. Ketika orang memandangnya sebelah mata, menghinanya, saat itulah Wiro menyerang, and he was so good at it. Tau-tau musuhnya sudah terkapar kena kacang dari jurus Kunyuk Melempar Buah. Nuts! Film ini kocak dan menyenangkan, persis kayak tokoh Wiro Sableng itu sendiri. Adu mulut Wiro dengan eyang gurunya udah kayak percakapan orang beneran yang lagi tertawa-tawa bercanda, mereka hampir seperti keluar dari karakter, that’s how fun it is. Pose jurus silat – dan nama jurus-jurusnya – yang over-the-top, orang pake jurus terbang dengan gerakan yang kaku, orang ditendang ngerubuhin tembok, dialog yang mungkin akan terdengar cringey, leluconnya mungkin ada yang vulgar, penjahatnya memang bisa tampak sangat bego dan lemah (wong Wironya kuat gitu). Namun memang begitulah fitrah film ini, over-the-top – lebay adalah nadi dari cerita dunia persilatan ini. Wiro Sableng 212 butuh untuk menjadi over-the-top. Jika kita punya cerita di mana tokohnya dijuluki sebagai Dia yang Menertawakan Dunia, film kita tidak boleh berpaling dari semua itu. Jangan sampai menjadi terlalu serius. Karena justru dari sinilah datangnya pesan yang kuat dan rasa terhibur saat menonton.

menggelinjang melihat Vino dan cameo Kenken melakukan pose 212

 

 

Alur ceritanya pun sesederhana dunia persilatan; ada kekuatan baik, dan ada kekuatan yang jahat. Seorang penjahat memimpin gerombolan bandit untuk merusak desa dan Voldemort-in orangtua Wiro yang masih tak lebih dari seorang bocah. Sinto Gendeng muncul dan menyelematkan Wiro kecil dari dekapan penjahat. Wiro dididik untuk mewarisi Kapak Maut Naga Geni 212, sehingga dia bisa mengemban tugas mencari mantan murid Sinto Gendeng yang kini sudah menjadi penjahat kelas kakap – bos dari gerakan “Ganti Raja” di kerajaan sekitar tempat Wiro Sableng. Turung gunung, Wiro harus segera menangkap si Mahesa Birawa ini, yang actually juga adalah orang yang sama dengan yang membunuh ayah dan ibunya tujuh belas tahun yang lalu.

Ilmu Putih atau Ilmu Hitam sebenarnya adalah ilmu yang sama. Bayangkan setiap kepandaian yang kita miliki sebagai jurus silat kita. Adalah terserah kepada kita untuk memilih menggunakan ilmu tersebut untuk apa. Tapi menurutku film sebenarnya berpesan lebih dalam dari ini. Masukkan Mahesa Birawa yang diperankan oleh Yayan Ruhian dengan amat garang dan keji. Sosok ini adalah antagonis yang perfecto buat karakter Wiro Sableng. Mahesa percaya setiap orang berhak mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Jika mereka punya ilmu, maka mereka berhak untuk mengejar harta, nama, ataupun kuasa. Setiap orang mengambil jalan hidupnya masing-masing. Begitulah yang ditapaki oleh Mahesa. Dia merasa pantas, dia ingin punya Kapak Maut, he went for it. Dia ingin mengubah tatanan dunia, dia ingin menjadi raja, dan dia berusaha untuk mengambil apa yang menurutnya sudah jadi haknya. Ini berkebalikan dengan yang Wiro pelajari. Ia bergerak atas dasar tugas. Kewajiban Wiro adalah untuk menegakkan kebenaran, menumbangkan kejahatan. Seperti juga Kapak Maut yang hanya berhak digunakannya setelah ia diakui dan hanya bisa menariknya dalam kondisi hidup atau mati. Moral Wiro lantas bentrok ketika dia mengetahui kenyataan yang disembunyikan oleh Sinto Gendeng; bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya.

Pertanyaan yang mesti dijawab oleh Wiro adalah apakah balas dendam itu merupakan hak? Sesuatu yang menjadi miliknya. Apakah seseorang berhak untuk melakukan pembalasan setimpal. Jawaban film ini jelas; Wiro tak dapat lagi memanggil kapak yang tadinya bisa ia main-mainkan seolah senjata itu pesawat mainan.

 

 

Sayangnya, dibandingkan dengan Mahesa Birawa yang motivasinya mengancam dengan kuat, Wiro Sableng sendiri selalu dilemparkan ke dalam situasi. Dia disetir oleh Sinto Gendeng yang sengaja menyimpan informasi penting tentang Birawa. Wiro hanya tahu informasi dari orang-orang yang ia temui. Tidak sekalipun Wiro tampak bergerak dengan motivasinya sendiri. Dia bahkan tak terasa beneran peduli sama lingkungan sekitarnya yang bukan cewek dan bukan bernama Mahesa Birawa. Dia datang, bertemu orang-orang – yang juga mendadak jadi ikut petualangannya, mereka terlibat pertempuran bareng. Wiro beneran seperti seorang kelana; dia hanya ada di sana. Dia tak tahu banyak, kita bahkan lebih tahu daripada dia. Kita tahu lebih dahulu bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya, kita expect dia akan mendendam, ini sungguh cara yang aneh dalam menuturkan cerita. Akan menjadi lebih menarik jika Wiro belajar sendiri bahwa Birawa adalah orang yang membuatnya tak punya ayah dan ibu, dia kemudian bergerak dengan amarah dan dendam untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya kalah, dan cerita berlanjut sebagaimana yang diperlihatkan oleh film – supaya dia tidak melulu disuapin, agar dia menciptakan kondisi – menyetir cerita alih-alih terbawa arus naskah.

Ada banyak yang sebenarnya bisa dikembangkan lebih jauh perihal karakterisasi. Karena bukan hanya Wiro, semua tokoh di sini tampak datang dan pergi. Nice to see Sherina Munaf terjun kembali ke dunia akting, namun motivasi karakter Anggini yang ia perankan terasa mentah begitu saja. Yang paling parah adalah Bujang Gila Tapak Sakti yang seperti siluman Patkai (aku gak menyangka suara Fariz Alfarazi melengking seperti itu). Sama sekali tidak ada alasan kenapa tokoh ini ada di sana. Bantering dia dengan Wiro memang salah satu yang jadi pemantik tawa, namun karakternya seperti pemanjangan dari karakter lucu Wiro belaka. Hampir seperti tokoh ini ada di sana untuk menjamin Wiro enggak garing. Seperti ketika mereka menyusup dengan menyamar menjadi rombongan penari wanita; kenapa yang menyamar musti Wiro dan Bujang, sedangkan Anggini yang cewek beneran malah masuk lewat jalan lain – kenapa bukan Wiro dan Anggini? Mereka akan menghadapi penjahat yang buaanyak banget, yang udah terkenal di Wiro Sableng Universe. Dan sama seperti mereka, para penjahat juga ada di sana buat berantem doang. Backstory mereka tipis sekali,  keteteran. Mereka hanya jahat. Bahkan enggak semua penonton langsung tahu jahatnya mereka itu sebenarnya gimana. Sebagian mereka hanya tampak jahat by association buat sebagian besar penonton. Padahal mestinya bisa digali lebih, sebab kita tahu mereka berkoalisi untuk meruntuhkan pemerintahan raja saat itu

paling enggak akhirnya kita dapat Pendekar Pemetik Bunga yang kemayunya ke arah cool ketimbang kumisan dan total pervert

 

Sebagai film laga, elemen fantasi benar-benar digunakan untuk mempertajam elemen hiburan di sini. Hal tersebut memastikan koreografinya menarik untuk disimak. Karena setiap orang punya jurus berbeda. Mereka berkelahi di environment yang berbeda-beda. Kamera juga cukup bijak untuk enggak kebanyakan goyang, dan paham apa yang harus diperlihatkan, mana yang enggak. Teknik editingnya pas berantemnya bisa jadi sedikit mengganggu karena sering cut yang berpindah-pindah, yang tadinya kupikir untuk mengakomodasikan keperluan stuntman dengan pemeran asli, seperti Wiro yang harus selalu bertingkah konyol di sela-sela berkelahi.

 

 

 

Jurus-jurus yang dipunya membuat film ini menghibur – dia tidak ingin menjadi lebih dari serialnya dulu, kecuali semuanya sekarang tampak lebih mentereng. Bahkan cerita film ini ditutup dengan para jagoan kita berpisah gitu aja, kayak akhir episode di tv. Ceritanya sepertinya dibuat sama dengan yang di buku, mereka enggak mengubah banyak. Actually film ini adalah bagian pertama dari entah berapa sekuel yang mereka rencanakan. Dan tentu saja ini jadi sumber masalah, sebab film ini pun jadi punya mindset ‘kalo ada yang kurang, nanti dijelasin kok sama sekuelnya’ ataupun ‘di buku dijelasin kok’ Padahal kan mestinya film bisa berdiri sendir, walaupun dia adaptasi atau bagian dari trilogy atau semacamnya. Film ini mestinya bisa diceritakan dengan lebih baik lagi. Enggak seriusnya lumayan bablas, karena kita udah melihat contoh full-bercanda namun bukan berarti tidak serius pada Thor: Ragnarok (2017), film ini mestinya juga bisa mencapai prestasi yang sama.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for WIRO SABLENG 212

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Tapi aku sebenarnya punya satu teori, atau bisa disebut prediksi, karena aku gak yakin film ini berani mengambil langkah yang beda dengan buku. Akan menarik sekali sih kalo berani.
Aku merasa masih ada sesuatu rahasia perihal Mahesa Birawa. There’s more of him dari seorang murid durhaka dan pembunuh. Mahesa tidak bertindak secara acak. Dia kelihatan kenal sama ayah dan ibu Wiro. Motivasinya selalu dia ingin mengambil apa yang menjadi haknya. Di hari naas itu, kita tahu Mahesa ada di sana untuk mengambil sesuatu yang ia percaya adalah miliknya, tapi apa? Dia seperti tak berniat membunuh Suci, sampai dia tertusuk. Begitu pun terhadap Wiro. Dia tampak sedikit terkejut saat melihat Wiro, awalnya dia menyuruh Kalingundil untuk membawa bocah tersebut; tidak membunuhnya. Kemudian saat Wiro gede, dia memanggil Wiro dengan sebutan ‘anak haram’.

Could it be, ayah dan ibu Wiro bukan pasangan suami istri?

Mungkinkah, Mahesa Birawa akan diungkap sebagai ayah tiri Wiro?
To be honest, saat menonton aku sudah siap untuk momen seperti ‘Luke, I am your father.’

Bagaimana menurut kalian soal teori ini?

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SLENDER MAN Review

“Cure for an obsession: get another one”

 

 

 

Dua orang anak cewek mengajak seorang teman mereka ke hutan. Bukan untuk bermain-main layaknya anak berumur dua-belas tahun yang biasa. Mereka mengajak si teman, untuk ditusuk berkali-kali, demi membuat Slender Man senang. Gilanya; cerita tersebut benar-benar terjadi di Winsconsin, Amerika, May 2014 yang lalu. Sayangnya; film Slender Man tidak banyak mengeksplorasi elemen ini, mereka membuat cerita baru yang semakin mengaburkan aspek utama yang bikin sosok Slender Man itu sendiri menarik; Obsesi.

Sejak kemunculannya di kontes photoshop online tahun 2009, Slender Man memang menarik perhatian orang-orang, khususnya fanatik horor. Cerita karangan fans tentang entitas ini, kejadian-kejadian penampakannya, peraturan untuk dapat melihatnya, tips buat selamat darinya, bermunculan di forum-forum internet. Slender Man jadi semacam urban legend era digital. Bahkan sampai dibuatin software gamenya sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak orang yang sudah terobsesi sama makhluk reka ini. Mereka semua ingin percaya makhluk tersebut ada; hingga ke titik puncak; merekalah yang membuat Slender Man eksis di dunia.

Menakjubkan seberapa keras usaha manusia untuk mengejar sesuatu yang kita serahkan hati dan pikiran kepadanya. Obsesi bisa mendorong kita menjadi lebih kreatif, melakukan hal-hal yang tadinya tidak kita bisa. Dan memang menjadi menyeramkan tatkala kita hanya memikirkan satu hal terus menerus dengan berlebihan. Menyangka kita hanya bisa bahagia olehnya saja. Film Slender Man sesungguhnya menawarkan obat untuk obsesi seperti demikian; dengan membuang hal yang kita cinta. Dengan mencari sesuatu yang lain untuk dicintai.

 

 

Selain temanya, film ini punya beberapa ide menarik dan shot-shot gambar creepy untuk membuat kita bertahan menyaksikan. Pencahayaannya membangun suasana gak enak dengan ciamik.Video yang disaksikan para tokoh pada film ini digarap surreal kayak video terkutuk di horor Jepang, Ring (1998) atau The Ring (2002) – versi Amerikanya, jadi gambar-gambarnya yang random itu akan membuat bulu kuduk kita merinding, menghipnotis bukan hanya tokoh film namun jika kita, para penontonnya. Mengenai ide, Slender Man yang menyatroni rumah orang, memanggil mereka lewat video call dan actually menampakkan dirinya lagi melihat apa itu sebenarnya elemen yang serem, lagi seger. Aku akan suka sekali jika bagian tersebut dibahas lebih banyak. Juga ada sekuen horor di perpustakaan, yang memainkan perspektif kamera untuk menghasilkan efek-efek yang disturbing. Tokohnya yang berlarian panik antara rak demi rak, dan gak tau Slender Man bakal muncul di mana. Perasaan ngeri yang hadir saat memainkan gamenya benar-benar terasa di bagian ini.

karena perpustakaan dan buku-buku adalah momok yang nyata bagi remaja

 

Hanya saja Slender Man tidak tahu mau menjadi film seperti apa. Slender Man butuh untuk menjadi film yang senyap. Dalam gamenya, kita gak pernah tahu Slender Man itu munculnya di mana. Kengerian yang menjadi mitos dari sosok ini adalah kita tidak mendengar apa-apa selain suara tapak kaki dan napas kita sendiri. Tapi di film ini, kita tahu setiap kali Slender Man akan muncul. Terima kasih berkat musik gede yang ngasih kisi-kisi dan kesempatan kita untuk membangung antisipasi. Fun nya jadi enggak ada. Terlebih, kita tahu dia bakal muncul, dan yang kita lihat juga adalah sosok CGI. Seramnya musnah sudah.

Mereka bisa saja membuat film found footage atau sesuatu dengan first person point-of-view tentang remaja yang berburu Slender Man, ala Blair Witch, biar sama kayak gamenya. Mereka bisa saja memfokuskan kepada apa sih sebenarnya Slender Man itu, dari mana ia berasal.  It would make a much better movie. Tapi enggak. Alih-alih itu mereka membuat cerita tentang empat cewek remaja yang mempraktekkan apa yang ada pada video ‘bagaimana memanggil Slender Man’ di internet, Slender Man kemudian beneran datang. Mengambil geng cewek tersebut satu persatu, kecuali diberikan sesuatu yang paling dicinta sebagai pertukaran.

makanya yang diculik duluan adalah pemain yang aktingnya paling jago

 

 

Aku seneng juga ngeliat ada Annalise Basso main di sini, karena pemenang Unyu op the Year dua tahun yang lalu punya prestasi nongol di horor yang bagus kayak Oculus (2013) dan Ouija: Origin of Evil (2016). Tapi keberadaannya di Slender Man, meski memang dia yang main paling meyakinkan dan tokohnya yang paling kuat menyuarakan tema obsesi, sama sekali tidak mengangkat banyak buat film ini. Hal tersebut dikarenakan filmnya sendiri demen sekali memindah-mindahkan tokoh utamanya. Katie bisa jadi tokoh utama yang paling menarik dari empat pilihan yang ada, tapi aku juga paham film butuh suatu bukti bahwa stake yang dihadapi tokoh utama enggak main-main. Jadi, kita punya Hallie yang diperankan oleh Julia Goldani Telles yang aktingnya paling biasa aja, Aku gak mengerti kenapa mereka enggak memberikan peran Hallie buat Basso, ataupun kepada Joey King saja – mengingat dia yang paling terkenal di sini. Kenapa harus diserahkan kepada bintang lain, kalo toh hanya untuk membuat penonton melompat-lompat pindah antara Wren (tokoh yang diperankan oleh King) dengan Hallie. Bukannya Hallie gak punya motivasi di cerita, cewek ini punya. Dia atlet lari di sekolah yang gak benar-benar menyukai apa yang ia kerjakan, dia juga punya adik yang look up to her, dia naksir sama cowok di sekolah. Namun dengan menggonta-ganti sudut pandang, arc nya si Hallie ini jadi terasa mentah, kita jadi gak pernah bisa betah di belakang si tokoh. Eksplorasi tokohnya dangkal sekali.

Empat peran sentral ini gak banyak ngapa-ngapain. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan adegan chat layar handphone. Bahan obrolan mereka tak jauh dari seputar cowok. Mereka menghabiskan waktu dengan menonton bokep di laptop bareng-bareng. Di babak ketiga, Hallie malah mangkir dari Slender Man dan pergi kencan ke rumah cowok. Bicara soal pindah obsesi, huh?

Film juga lanjut membuat mereka bego untuk alasan yang tak jelas. Seperti saat mereka menutup mata dengan kain supaya enggak melihat Slender Man, dan di detik pertama ada bunyi di hutan itu, ada satu tokoh yang langsung mengintip dari balik kain penutup matanya. Wren mencemooh Hallie yang enggak mengorbankan piala dan medali larinya kepada Slender Man, terasa datang entah dari mana. Karena meski diceritakan Hallie jago lari, kita tidak pernah benar-benar melihat dia cakap dalam berlari. Malah lucu sekali di adegan akhir; Hallie lari dan dia tertangkap. Lebih lucu lagi, Hallie saat itu sebenarnya lari dari sikap kepahlawanan; like, dia datang untuk menyerahkan diri demi menyelamatkan seseorang, dan ketika Slender Man muncul, tebak apa yang terjadi: Hallie ngibrit – lupa ama niat baik dan pelajaran yang sudah ia sadari. Ngibrit dan ketangkep. Sukses berat film ini bikin protagonisnya terlihat kayak pengecut tanpa nilai baik sama sekali.

 

 

 

Perasaan horor pun semakin merayapiku yang duduk si studio itu, menonton makhluk supranatural yang membuatku penasaran – karena aku tidak pernah bisa menamatkan gamenya. As I watched cerita yang tak benar-benar padu, tema obsesi yang berdenyut lemah di balik hingar-bingar jumpscare, gambar-gambar creepy yang menjadi mentah karena arahan yang tak berjiwa, tokoh-tokoh yang punya karakter sama banyaknya dengan pohon-pohon, sudut pandang cerita yang berganti-ganti, dan mendengar bapak di kursi sebelahku yang mendengkur keras – tertidur, aku sadar akan ketakutanku yang menjadi nyata; bahwa obsesiku soal horor sudah membuatku harus mengorbankan waktu dan duit yang berharga. Tapi kuakui, sebenarnya bisa saja film ini menjadi lebih buruk dari ini, lantaran tema dan ide menarik dan gambar-gambar creepy yang ia punya.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SLENDER MAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE MEG Review

The number one rule is to not become a victim yourself

 

 

 

Laut, meski gak punya pohon-pohon, masih berlaku hukum rimba di sana. Ikan kecil dimangsa ikan yang besar. Ikan yang besar dimakan oleh ikan yang lebih gede. Ikan lebih gede tak ayal kena mamam sama ikan raksasa. Manusia sebagai bagian dari ekosistem, mau masuk hutan atau lari ke pantai pun tak bisa luput dari hukum tersebut. Kita butuh makhluk lain untuk melanjutkan kehidupan. Untuk bertahan hidup adalah tujuan kita di dunia. Tetapi, sebagai makhluk yang dianugrahi hati buat mikirin etika, tentu kita manusia enggak bisa sembarangan ‘memakan’ sesama manusia. Makanya Jason, seorang penyelam penyelamat, di film The Meg dipandang sebelah mata sama rekan-rekannya; lantaran Jason pernah mengorbankan seisi kapal selam untuk menyelamatkan diri beserta segelintir orang yang saat itu bersama dengannya.

Tak ada yang percaya alasannya, membuat Jason mengasingkan diri ke Thailand.  Dia menunggu ilmuwan-ilmuwan biologi laut di kilang lepas pantai Cina itu kembali minta tolong kepadanya karena Jason percaya pada apa yang ia lihat. Well, atau tepatnya yang tidak ia lihat. Ada sesuatu di dasar palung di sana yang menyerang mereka. Makhluk supergede yang menemukan jalan ke permukaan berkat ekspedisi yang dilakukan oleh para ilmuwan. Monster purbakala yang tahu persis dirinya masih meraja di puncak rantai makanan. Tidak seperti Jason, hewan ini gak akan berpikir dua kali, enggak bakal teragu oleh nurani, dalam memakan manusia demi kelangsungan hidupnya.

kebanyakan nonton Steve-O mancing hiu di Jackass nih hhihi

 

 

Survival adalah kebutuhan paling mendasar setiap manusia. Tapi mengapa kita merasa perlu untuk menolong orang, banyak pahlawan yang sudah gugur, dan ada juga yang selamat dan berhasil menolong orang. Sebagai makhluk sosial, sudah kodratnya bagi kita untuk merasa ingin membantu orang lain menyelamatkan diri. Kita memperkirakan resiko, kita menantang diri sendiri untuk bisa selamat bersama mereka. Apapun alasannya kita menolong orang karena keyakinan kita sanggup survive pada akhirnya. Maka dari itu, yang perlu diingat adalah dengan jangan sampai kita sendiri yang menjadi korban. Jangan keburu untuk dianggap pahlawan sehingga kita menyebabkan keselamatan lain justru semakin terancam.

 

Sayangnya The Meg enggak konsisten merenangi perairannya sendiri. Tema yang mereka angkat timbul tenggelam. Umm.. lebih tepatnya, bayangkan sebuah batu yang kalian lempar menyisir permukaan air. Batunya akan loncat-loncat, kan. Begitulah tema film ini terasa. Film enggak konsisten dalam mengeksplorasi konteks ceritanya. Jonas ngorbanin banyak orang supaya bisa menyelamatkan paling enggak beberapa, supaya mereka enggak binasa semua. Kita seharusnya mendukung sudut pandang ini, karena Jonas adalah tokoh utama cerita. Namun film juga secara berlebih berusaha membuat kita sedih. Seperti si pria Asia yang dengan sengaja mengorbankan dirinya; kenapa kita mesti sedih karena tindakannya tersebut, sementara kita tahu – Jonas tahu dan ia dipersalahkan karenanya – bahwa pengorbanan itu kadang diperlukan. Pada satu poin Jonas bilang enggak gampang menjadi orang yang selamat dari musibah. Jadi usaha-usaha film untuk mendramatisasi setiap kematian para tokoh lain enggak ngefek ke kita.

Di momen kita menyadari kebiasaan minum yang menjangkiti Jonas tidak menambah apa-apa ke dalam plot; malahan tidak pernah disinggung lagi selain buat introduksi yang kayak tempelan, kita tahu film ini tidak benar-benar niat untuk memanusiakan para tokoh yang lain. Mereka dibuat sebego-begonya orang yang nyalain lampu meski sudah belajar bahwa cahaya dapat menarik perhatian predator yang mengincar mereka. Ide pintar ilmuwan di film ini adalah menembakkan racun ke mulut hiu alih-alih memancing si hiu dengan daging yang sudah diracuni. Keputusan-keputusan yang mereka buat sama seperti dialog yang mereka ucapkan; it’s either awkwardly cheesy atau blo’on.

Penokohan mereka begitu tipis, gak bakal cukup untuk tersangkut jadi kotoran di gigi hiu yang mau memangsa mereka. Jonasnya Jason Statham adalah hero film aksi paling generik, walaupun dia punya dasar moral sendiri, tapi tak pernah menguar lebih dari titik dia nge-I told you so orang-orang. Rainn Wilson adalah orang kaya yang bersifat egois yang kita nanti-nantikan kematiannya. Page Kennedy menerima tugas sebagai orang hitam yang lucu karena mengeluh setiap saat. Ruby Rose adalah cewek hispster yang jago komputer. Bingbing Li jadi tokoh cewek pendamping utama yang tentu saja bertugas menjadi orang yang perlu diselamatkan oleh Jonas. Begitu banyak tokoh yang gak ngapa-ngapain, ataupun memberi sesuatu yang baru, sudut pandang yang bikin kita enjoy mengikuti dan peduli ama mereka. Ada satu tokoh anak kecil, yang bikin kita “aww lucunya” dan dia gak diberikan apa-apa selain yang sudah kita lihat pada trailer. Juga ada tokoh kepala ilmuwan yang merasa bimbang saat mengetahui ‘musuh’ mereka adalah hewan prasejarah, ia dijangkiti dilema apakah makhluk ini sebaiknya tidak harus dibunuh, melainkan bisa dilestarikan. Namun film sebodo amat, dan tokoh-tokoh lain seratus persen meng-ignore si tokoh dengan menjalankan misi mengebom si hiu.

kenapa lagu Hey Mickey versi Thailand jadi soundtrack benar-benar di luar kuasa logika ku

 

 

Bekerja sama dengan China, film ini berusaha tampak lebih menarik buat pasar di sana.  Yang ada malah, The Meg tampak seperti ‘Made in China’ dari film hiu yang lebih kompeten seperti Jaws (1975). Bagian paruh pertama film ini membosankan dengan banyak penjelasan dan bincang-bincang teknologi dan istilah-istilah semacamnya. Bagian kedua, setelah perahu mereka dibalikkan, memang lebih seru, hanya saja meminjam banyak dari elemen yang sudah pernah kita lihat. Mereka berusaha melakukan hal yang sama, dengan lebih besar, dengan teknologi yang lebih mumpuni. Bahkan dengan mindset itupun, senjata utama film ini adalah ‘monster’nya yang super gede, The Meg tidak pernah benar-benar terasa menyeramkan. Alih-alih menggunakan suasana dan atmosfer bawah laut yang mencekam, film menakut-nakuti kita dengan jumpscare kelebatan hiu. Melihat sirip raksasa itu mendekat menyusur air, tidak membuat kita takut. Malahan greget pengen lihat si hiu bakal ngapain, bagaimana cara si hiu membunuh orang-orang yang tak berkarakter itu. Aksi hiunya pun biasa sekali. Aku mengharapkan mereka berkreasi dengan hiu sebesar itu, namun selain shot CGI yang merupakan versi halus dari photoshop serangan hiu hoax di internet yang sering kita lihat, tidak banyak hal seru yang ditawarkan oleh si hiu. Bahkan gak banyak darah, lantaran film menolak untuk sadar diri dan ngepush untuk dapat rating yang ‘enggak-dewasa’.

Mindless-monster movie yang membosankan. Menonton film ini bagaikan ngobrol sama orang annoying yang sok asik. Mereka pikir mereka lucu, exciting, mereka pikir aksinya keren, tapi semuanya biasa aja. Bahkan nonton Sharknado akan lebih menghibur, karena pembuatnya tahu kekuatan konsep ‘murahan’ yang mereka gunakan, dan mereka paham gimana menargetkannya kepada penonton sasaran pasar mereka. The Meg tidak sanggup untuk seserius dan semenakutkan Jaws, dan merasa gengsi untuk tampil seperti Sharknado. Padahal justru kemindless-annya itu yang semestinya dijadikan kekuatan. Adegan final Jonas actually satu lawan satu melawan hiu itu adalah adegan terbaik; film harusnya embrace kegakmasukakalannya tersebut sedari awal, karena sesungguhnya film ini berenang di kolam yang sama dengan film-film Sharknado.

 

 

 

Palungnya boleh dalam, namun ceritanya dieksplorasi dengan dangkal. Hiu film ini boleh saja gede, tetapi filmnya sendiri bernilai kecil lantaran filmnya terlalu sibuk untuk menjadi ‘Made in China’ dari film-film hiu yang lain. Dia menganggap dirinya seriously keren. Tapi tidak mengolah karakternya dengan baik. Dia tidak mengembrace sisi konyol yang mereka punya. Padahal jika mereka melakukan secara konsisten apa yang mereka lakukan di paruh akhir cerita, it would be a total blast. Akan bekerja sangat baik kalo saja mereka benar-benar total, penuh darah, konyol, dan sebagainya. Tidak konsisten dengan konteks, juga tidak total memainkan konsep. Jadinya adalah film ini seram tidak, kocak dan menyenangkannya juga hilang timbul.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE MEG.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

R – RAJA, RATU & RAHASIA Review

A secret is barrier that keeps a couple from being truly close with each other.”

 

 

 

Lika-liku kehidupan anak SMA yang dadanya bergelora oleh hasrat namun lebih nyaman untuk memendamnya disajikan sebagai lapangan bermain cerita R – Raja, Ratu & Rahasia. Adalah Ratu (Aurora Ribero men-tackle kembali peran keduanya sebagai tokoh yang gak bisa ngomongin ketakutan terdalamnya like a boss), nama seorang cewek yang baru saja ditinggal pergi untuk selamanya oleh kedua orangtua. Ratu yang merasa hatinya kesepian, bergabung dengan komplotan rahasia di sekolahnya, dalam usaha untuk mengisi kembali lubang kosong  menganga pada hidupnya. Masalah timbul ketika sahabat masa kecil Ratu, cowok pebasket bernama Raja (Brandon Salim cukup charming mainin tokoh yang sekilas tampak keras, namun sangat peduli sama teman-temannya), menghimpun benci teramat sangat terhadap komplotan tersebut. Ratu kini harus berahasia agar keikutsertaannya sebagai anggota tidak diketahui oleh Raja. Karena ia tidak akan sanggup jika satu lagi orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya.

Sudah bukan rahasia lagi bahwasanya kepopuleran novel remaja mampu menarik minat pembuat film untuk merealisasikan kesuksesannya ke layar lebar. Tentu dengan harapan meraih taraf pencapaian yang sama, kalau tidak melebihi. Mengekor Dear Nathan (2017) yang besar dari Wattpad sehingga dibukukan, Starvision Plus kali ini menggandeng karya penulis, Wulanfadi, yang juga berawal dari platform penulisan yang sama dan sudah punya penggemar yang sedari 2016 udah tidak sabar menanti filmnya. Materi ini diserahkan kepada Haqi Achmad yang sudah malang melintang di ranah penyaduran cerita teenlit ke dalam scenario film. R – Raja, Ratu & Rahasia sudah barang tentu akan kuat sekali menguarkan pesona remaja, lengkap dengan konflik cinta dan persahabatan yang mewarnainya.

Aku pikir masuk akal sih kalo orangtua-orangtua yang saling sahabatan akan janjian menamai anak mereka selayaknya berpasangan

 

R- Raja, Ratu & Rahasia akan ramai oleh celoteh anak muda. Dengan canda-candaan khas mereka. Oleh persaingan yang sebenarnya sepele namun tampak begitu menekan jika dilihat dalam balutan seragam putih abu. Memberikan sensasi manis-manis nostalgia kepada penonton yang lebih dewasa. Karena cinta itu urusan yang tak lekang oleh waktu, semua orang pasti pernah merasakan dan mengerti pentingnya menyimpan suatu hal ke dalam diri sendiri, karena takut hidup akan berubah begitu rahasia tersebut terbongkar.

Menyimpan rahasia itu memang enggak sama dengan flat-out berbohong. Dengan berahasia kita bukannya enggak jujur, melainkan ‘hanya’ enggak mengatakan semua hal. Tapi tentu saja, rahasia tetaplah suatu pembatas yang menghalangi dua orang untuk benar-benar dekat antara satu sama lain. Dan jenis rahasia yang paling berbahaya untuk dijaga, tampaknya, adalah rahasia seperti Ratu kepada Raja – jenis rahasia yang ditakutkan akan membuat orang yang kita cintai jadi bertentangan dengan kita. Rahasia yang menabir identitas; dan Ratu menutupi kevulnerableannya dari Raja. Dia seharusnya menyadari semakin lama ia menyembunyikannya, akan semakin membahayakan komunikasi di antara mereka berdua.

 

Sutradara Findo Purnowo boleh saja mampu untuk memastikan film ini tidak akan keluar dari jalurnya, sebagai sebuah cerita untuk remaja. Tapi kehangatan dan senda gurau, atau bahkan lagu jazz itu, mestinya ia sadari tidak akan mampu untuk menutupi kelemahan film ini yang sebagian besar berasal dari kurangnya intensitas dan emosi yang real. Dan ini berarti adalah masalah pada arahannya. R – Raja, Ratu & Rahasia sesungguhnya punya dua elemen menarik, yang membuatnya berbeda dengan drama cinta remaja yang lain. Ini bukan exactly tentang cewek baek-baek yang naksir sama cowok badboy di sekolah. Ratu dan Raja sudah berteman sejak kecil, orangtua mereka sahabatan, but recently Ratu develop  perasaan khusus buat Raja – yang ternyata berbalas – namun keadaan membuat Ratu menumbuhkan satu perasaan lagi. Takut ditinggal. Salah satu elemen menarik yang dipunya oleh film ini adalah kita benar-benar diperlihatkan ketakutan yang dirasakan oleh hati Ratu dalam bentuk visual. Satu lagi elemen menariknya adalah sekolah mereka punya komplotan rahasia, tempat di mana Ratu mencoba untuk kembali ceria dan melupakan rasa takutnya itu.

Sayangnya, pada saat menangani dua elemen inilah, arahan Purnowo tidak kelihatan berhasil mengangkat film ini menjadi sesuatu tontonan yang remarkable. Direksinya sangat bland. Sudah cukup aneh memulai sebuah cinta remaja dengan adegan pemakaman – yang mana secara otomatis mengeset mood sedih dan rapuh yang menempel hingga akhir ke tokoh utama. Apa yang dilakukan film ini kepada adegan-adegan rasa takut Ratu membuatnya terlihat sangat fake dan menggelikan. Susah untuk menganggap sesuatu sebagai hentakan emosi yang serius jika sesuatu tersebut dihiasi oleh kelap-kelip dan latar efek komputer yang sangat kasar. Aku percaya mereka memaksudkan adegan tersebut sebagai peristiwa yang surreal, tapi hasil akhirnya jauh sekali. Adegannya pun itu-itu melulu. Ekspresi Ratu setelah ia membayangkan adegan pun tidak membantu kita untuk bisa menyelami adegan ini lebih dalam, karena ia terlihat seperti kebingungan, seolah hal tersebut semacam premonisi dari luar yang datang menghantamnya; lebih kayak sesuatu yang baru saja kepikiran alih-alih perasaan yang merayap membayangi hatinya.

Komplotan rahasia yang diikuti oleh Ratu, yang konon didirikan oleh abang Ratu… well, bagaimana komplotan tersebut seusatu yang big deal juga tidak berhasil diceritakan oleh arahan film ini. Tidak pernah ada build up ke komplotan tersebut. Film yang baik akan memperlihatkan kepada kita kenapa komplotan ini punya pengaruh di sekolah. Tapi film ini, set upnya datar sekali. Bahkan untuk bisa masuk ke dalam komplotan tersebut pun terlihat sangat gampang. Dibilang kelompok nerd, enggak. Kelompok siswa-siswa yang populer juga tidak. Dia tidak tampak sebagai seusatu yang ekslusif. I mean, selain Raja kita tidak melihat tokoh lain yang bukan anggota dari perkumpulan ini. Teman-teman Raja, semua masuk. Teman-teman Ratu pun semuanya diundang, meski cuma si Ratu yang punya alasan yang masuk akal bisa diundang. It was supposed to be an exclusive, elite club, tapi apa yang mereka lakukan di sana? Pertemuannya cuma pesta topeng, olahraga bareng, kenapa harus jadi kumpulan rahasia segala kalo toh kegiatannya tampak kayak kegiatan afterschool bareng teman-teman biasa. Seharusnya kelompok ini dibangun semisterius dan sepenting mungkin, sehingga ketika Ratu harus memilih, kita merasakan keterikatan terhadap kelompok ini. The way this film goes, Ratu dan Raja bisa keluar masuk sesukanya, kelompok ini tidak lagi tampak sebagai hambatan.

“Aja gak bakal ninggalin Ratu. Aja gak bakal blablabla”.. Gimana kalo filmnya udahan AJA?

 

Cerita punya banyak kejadian yang menyangkut banyak tokoh, dan kita bisa melihat film ini tidak mampu menangani semuanya dengan baik. Banyak adegan yang jatuhnya konyol dan gak penting. Ya, aku bicara tentang adegan ‘mengejar ke bandara’. Ada tokoh anak baru yang jadi sahabat Raja, yang titik puncak eksistensi karakter ini hanya ke Raja main basket yang tiangnya pendek sama om-om. Ada tokoh yang kerjaannya cuma nabokin tokoh lain, dan berakhir dengan dia jadian sama tokoh yang lain lagi. Menjelang akhir, ada satu tokoh lagi yang meninggal, dan kupikir ini untuk nunjukin bahwa Ratu sudah belajar untuk kuat, namun ternyata hanya dipakai untuk mengangkat drama, dan Ratunya sendiri masih seperti sedia kala; dia tetap rapuh dan masih membayangkan ketakutannya yang penuh gestur manis dan sparkle-sparkle.

Akan sangat susah untuk berusaha menetapkan apa sebenarnya yang ingin diamanatkan oleh cerita film ini. Karena secara logika, jika kita ingin bercerita tentang seorang yang takut untuk sendirian, maka mestinya cerita akan berlabuh ke tokoh tersebut menjadi berhasil mengovercome ketakutannya. Aku gak bilang dia harus tetap sendiri di akhir. Film did the right thing dengan membuat Ratu giliran berada di posisi dia yang ninggalin orang, akan tetapi membuat tokoh ini masih mengkhayalkan yang ia tinggalkan, kinda messed up with the whole journey. Benar juga soal, biarkan kali ini orang yang datang kepadanya, tapi pikirku film yang berani akan membuat Ratu berakhir dengan orang baru yang menyatakan cinta padanya. Hanya dengan begitu tokoh ini bisa menutup sempurna. But I guess, film ini butuh untuk memuaskan target pasarnya, jadi mereka memilih jalan yang paling meromantisasi meski itu berarti karakternya belum benar-benar tampak belajar.

 

 

 

Hadir sebagai bentuk dari usaha mengapitalisasi kisah remaja yang serba berahasia, terlebih kepada orang yang dicinta. Punya semua elemen yang disukai remaja, romantisasi, dramatisasi, candaan khas anak muda. Tapi akan bisa menjadi tontonan yang jauh lebih baik di tangan penggarap yang lebih kompeten. Arahan film ini begitu bland, bener-bener sangat bergantung pada musik untuk menyampaikan rasa. Sepertinya ia tidak peduli pada apapun selain tampak cantik dan menyentuh, terbukti dari adegan seorang abang yang berusaha menenangkan hati adiknya dengan berbicara ke puncak kepala sang adik, hanya karena shot tersebut tampak manis dilihat dari depan.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for R – RAJA, RATU & RAHASIA.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LOVE, SIMON Review

“Everyone can find love.”

 

 

Simon punya rahasia.

Iya, Simon yang hidupnya bahagia itu. Yang punya ayah dan ibu yang suka menggoda, tapi sebagai tanda peduli dan sayang kepadanya. Yang punya adik cewek hobi masak dan seneng menjadikan Simon sebagai kelinci percobaan resep-resep ‘maut’nya. Simon yang kalo di sekolah selalu terlihat barengan empat sohib karibnya ke mana-mana. Makanya, gak ada yang nyangka kalo si Simon menyimpan satu ketakutan besar.

Rahasia besar Simon menyangkut reputasinya sebagai anak remaja. Dia enggak bisa curhat begitu saja karena, bayangkan jika orangtuanya tahu.. wuih, Simon yakin kedua orangtuanya akan oke saja mengetahui rahasia tersebut, mereka tak akan marah. Simon paham kedua orangtuanya berpikiran cukup terbuka sehingga tidak akan menghukumnya. Apalagi adiknya, dan teman-teman, Simon pokoknya tahu deh  mereka semua pasti akan mengerti. Hanya saja Simon takut dia akan diperlakukan berbeda, gimana orang-orang di sekitarnya akan membuatnya merasa seperti Simon yang berbeda. Jadi, ketika dalam dunia maya, Simon menemukan satu orang di sekolahnya yang punya rahasia serupa – yang juga punya ketakutan yang senasib dengannya, Simon segera reach out ke pengirim pesan misterius tersebut. Mereka pun akhirnya saling berkorespondensi dengan menggunakan nama samaran.

enggak ada orang normal yang menggunakan nama aslinya saat chatting random di internet

 

Keakraban dan rasa cinta mekar di antara keduanya, film dengan indah dan hangat menumbuhkan rasa tersebut dari rasa saling peduli, dari gimana Simon dan sahabat ‘pena elektronik’nya saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Koneksi di antara mereka jauh melebihi sekadar koneksi internet, eh salah maksudku koneksi perasaan yang bisa dibuat-buat. Adalah koneksi hati dan jiwa yang berperan di sini. Begitu nyata senyata-nyatanya. Rasa cinta Simon memuncak, dia butuh untuk mengetahui siapa yang selama ini membalas keluh kesah dan mengerti ketakutannya. Salah satu aspek yang membuat film yang diadaptasi dari buku karangan Becky Albertalli menarik adalah karena pada denyut nadinya, film ini membahas tentang hal yang bisa direlasikan oleh banyak orang mengenai pergaulan dan jati diri. Melihat Simon mencoba mencari tahu, menerka-nerka, dan salah – semua usaha subtil Simon itu adalah adegan-adegan yang hebat, memberikan ELEMEN INVESTIGASI yang sama sekali tidak kuharapkan ada pada film ini.

Karena sejujurnya aku tidak tahu apa-apa mengenai cerita film ini. Ada bukunya saja aku baru ngeh setelah lihat internet. Aku nonton karena ada Hannah Baker main di sini. Ketika cerita dibuka dengan Simon menarasikan gimana ada rahasia besar di balik hidup normalnya, instantly I was hooked.  Keren sekali gimana film menuliskan, gimana Simon bragging about dia sama seperti kita, padahal jelas-jelas rumahnya beda, adiknya bukan sebangsa titisan iblis kayak adik-adikku, dan rahasia Simon semakin membuatnya berbeda denganku. Kita adalah orang yang dianggap default oleh Simon. Di sinilah letak kepintaran film. Bukan apa rahasia Simon yang membuat kita merasa dekat dan terhubung dengannya, melainkan fakta bahwa kita semua, pada suatu waktu di hidup kita, menyimpan rahasia yang kita takut orang lain mengetahuinya.

Kalo adikku, makanannya pasti dikasih racun

 

Jika kalian pernah berjuang semasa sekolah, mencoba bilang cinta ke teman yang kalian suka hanya saja kalian tak cukup berani, atau jika kalian mengaku kalian takut keadaannya makin runyam – kalian tidak bisa lagi berteman dengannya, atau jika kalian pernah dirundung di  lingkungan sekolah. Film ini punya hal yang dapat diapresiasi oleh banyak orang, yang membuat film ini menjadi punya nilai appeal yang tinggi selain karena permainan cast yang cakep dan arahan yang oke punya.

 

Sudah bukan rahasia film drama remaja tak ayal berusuan dengan cinta, bahwa romantisme menjadi hal yang begitu penting buat remaja. Love, Simon pun begitu. Akan tetapi, hal menakjubkan yang dilakukannya sebagai film mainstream adalah sama sekali tidak memasukkan trope-trope lumrah, yang menurunkan nilai romansa itu sendiri seperti pada film remaja kebanyakan. Tidak setiap lima menit sekali kita melihat Simon dan teman-temannya mengecek sosial media, komen-komenan facebook, atau facetime, apalagi bertik-tok ria. Tidak ada dialog-dialog gombal yang mengincar penonton untuk berhihihi kayak kuntilanak lagi puber. Film mengambil waktu untuk ngebuild setiap perbincangan. Email-emailan yang dilakukan oleh Simon dengan Blue diberikan bobot dan actually berpengaruh terhadap stake yakni putusnya hubungan pertemanan. Percakapan para remaja benar-benar menunjukkan betapa mereka adalah makhluk sensitif haus perhatian, namun juga penuh ironi dan pancingan. “Aku adalah orang yang ditakdirkan untuk terlalu peduli kepada seseorang hingga perasaan tersebut membunuhku,” begitu kata salah satunya. Tidak semua adegan film ini dibentuk menjadi adegan gede yang dramatis yang membuat penonton menghela napas. Malahan, cerita terbendung sedemikian rupa sehingga kita baru akan  benar-benar bernapas di momen terakhir.

Salah satu rahasia yang menyebabkan film ini asik dan menantang untuk ditonton adalah betapa lucunya, karakter, dialog, dan situasi, yang dihadirkan. Namun kita tetap merasakan perasaan dan emosi yang kuat. Nick Robinson sepertinya baru saja menyuguhkan permainan peran terbaik sepanjang karirnya. Menyedihkannya begitu nyata dan meyakinkan, namun tidak kelewatan sehingga terasa over-the-top. Simon tidak meminta kita berbelas kasih kepadanya, ia tidak mengancam kita untuk bersimpati kepadanya. Film tidak pernah meminta kita menonton perjuangan Simon, dia terpaksa harus membohongi teman-temannya hanya karena dia takut untuk melakukan hal yang benar, dia bahkan tidak benar-benar tahu mana hal yang benar, supaya kita bisa kasihan kepadanya. Film hanya meminta kita untuk merasa dekat. Tidak ada satupun elemen dan aspek yang terasa dipaksakan. Bukan Simon seorang, setiap karakter punya sesuatu di dalam diri mereka yang bisa kita pahami, dan pada akhirnya akan membuat kita mengapresiasi tindakan dan pilihan yang mereka ambil. Atau yang terpaksa mereka ambil.

Well, kecuali ada dua tokoh yang tidak bisa kita apresiasi. Karena film hanya selenting saja membahas mereka berdua. Mereka berfungsi sebagai semacam antagonis, tukang bully yang suka gangguin anak-anak yang berbeda dari yang lain. Mereka melakukan hal-hal awful kepada Simon dan anak lain. Dan film hanya membahas segitu. Ada adegan mereka didisiplinkan oleh kepala sekolah gaul, dan semuanya menjadi baik-baik saja. I just think, porsi tokoh ini seharusnya mendapat lebih banyak perhatian. Sebab di dunia nyata – dan segala hal lain film ini terasa begitu otentik – masalah seperti ini bukan tidak mungkin dapat menyebabkan trauma yang mendalam kepada ‘Simon-Simon’ di luar sana. Mereka adalag bagian dari masalah, salah satu yang menyebabkan Simon overthinking keputusan untuk membuka rahasianya, dan untuk menyelesaikannya dengan semudah itu tampak seperti menyepelekan bahaya yang sebenarnya.

Tidak peduli siapa, cinta selalu ada untuk kita. Jika kita mau mencari. Jika kita mau membuka diri. Mungkin memang sulit, tapi kita akan selalu menemukan segalanya menjadi lebih mudah jika kita membuka diri, membiarkan orang untuk memahami kita, dan pada gilirannya kita akan memahami mereka juga.

 

 

 

 

 

Pssst, aku pikir aku tidak perlu beberin apa tepatnya rahasia Simon di sini kepada yang belum nonton filmnya. Yang harus diketahui, film ini patut disanjung karena hal terpenting pada film dalam situasi sosial dan budaya sekarang ialah seberapa banyak orang-orang merasa terwakili olehnya. Film ini, dalam kapasitasnya, menambah banyak jumlah tersebut. Ia menjadi suri teladan bagi penonton yang benar-benar seperti Simon, maupun sebagian yang lebih besar lagi yang pernah mengalami perjuangan serupa. Penuh pesona, gebrakannya sebagai film mainstream yang berani untuk come out benar luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LOVE, SIMON.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

React to WIRO SABLENG Teaser Trailer

Tim Production Design lagi jelasin makna di balik desain Kapak Maut Naga Geni 212 yang baru

 

Excited 1: Wiro Sableng adalah bagian dari rangkaian kartun (padahal bukan kartun!) yang tak-boleh dilewatkan buatku saat masih kecil dulu

Excited 2: Fakta bahwa film reboot-an dari serial TV ini bekerja sama dan actually dapat funding dari 20th Century Fox

Excited 3: Si Sableng itu nongol di video promotional Deadpool 2!

 

Ya, aku yang biasanya gak tertarik ngikutin trailer film – apalagi teaser – (prinsipku; kalo mau nonton ya nonton aja) toh menggelinjang juga dibuat oleh gempuran combo excitement yang disarangkan oleh Lifelike Pictures demi mempromosikan proyek gede mereka, Wiro Sableng. Jurus yang ampuh sekali, aku ngaku. Membuat kita semua penasaran seperti apa kiranya film ini nanti. Mereka mengawali godaan itu dengan ngeluarin teaser-teaser kecil (pelit, memang) yang nunjukin siapa sih Wiro Sableng bagi yang belum kenal. Dan akhirnya, kemaren sore tanggal 11 Mei 2018, official teasernya beneran dikeluarin! Gak tanggung-tanggung. Demi menangkis pertanyaan orang-orang yang makin penasaran, saat acara release teaser tersebut mbak produser Sheila Timothy langsung ngasih kabar gembira ke kita semua: Tanggal tayang film ini dimajuin jadi Agustus 2018!!

 

Buat yang belum sempet ke LINE Today, ini nih official teasernya:

 

http://www.youtube.com/watch?v=4UQUbZFgpRs

 

Gimana aku dan undangan lain di konferensi pers kemaren gak pengen nambah, coba?

 

Teaser yang juga bakal ditayangin di pembuka screening Deadpool 2 di depan audiens Singapura entar, memang tampil begitu wah. Stunning sekali. Reaksi pertamaku literally begitu, “film ini bakal cakep banget.” Kelihatan  banget deh, waktu berbulan penggarapan itu ngefeknya ke mana. Lewat teaser kali ini, misi utama yang ingin dikenalin adalah kebolehan ‘aksi’ para filmmaker dan insan-insan yang terlibat di dalam pembuatan film tersebut. Satu menit lebih dikit itu dengan menakjubkan mengakomodasi semua.

Departemen art sih yang paling kelihatan kuat. Aku suka gimana kostum-kostum yang tampak di trailer benar-benar terlihat epik, khas dunia persilatan tanah air. Kostum si Anggini yang diperankan Sherina Munaf misalnya, sekilas mirip ulos, tapi ternyata dia bisa mengeluarkan jurus selendang yang panjang membentang. Begitu juga dengan kapak si Wiro yang ada elemen unsur alam ala-ala di batik. Dari teasernya tampak seperti Wiro Sableng, sebagai sebuah film, tidak melupakan budaya. Ia membuat budaya tampak keren dan gak kuno. Kalian ingat di serial dulu, setiap kali berantem, pukulan dan tendangan para tokoh ada asapnya? Waktu kecil kalo main Wiro-Wiroan, aku ampe ngabisin tepung di dapur buat niruin adegan tersebut. Namun sepertinya saat nonton film ini nanti aku udah gak bisa niruin pakai tepung lagi, sebab di teaser ini kita bisa lihat sama-sama efek asap di tangan Wiro udah canggih punya. Asap ajiannya pake muter-muter segala, ajib!!

Para pemeran tampak menawan dalam balutan kostum karakternya. Mereka semua disulap sehingga jadi pas banget ama karakter masing-masing. Aku nonton teaser ini sambil nunjuk-nunjuk layar. Wah itu Yayan Ruhiyan tampilannya sadis banget! Yang paling gorgeous di teaser itu jelas Marsha Timothy yang mejeng sebagai Bidadari Angin Timur. Sinto Gendeng bikin pangling, efek prostetiknya meyakinkan sekali. Sherina galak sih ya jadi Anggini, pasti kocak ntar interaksinya ama Wiro. Muka jahil Vino G. Bastian juga pas banget ama karakter sablengnya Wiro. Buat Vino, Wiro Sableng ini sudah personal sekali karena ini adalah tokoh yang diciptakan dari garis pena ayahnya, Bastian Tito. “Ayah pasti bangga melihat kerja keras kami semua”, ujar Vino yang menganggap perannya di sini bukan sekedar warisan yang ia dapatkan, melainkan lebih kepada tanggung jawab dan baktinya kepada sang Ayah.

“Kok pertanyaan ke saya susah-susah sih?” Sableng, Wiro. 2018.

 

Disokong Fox, Wiro Sableng tampil enggak tanggung-tanggung. Olahan teaser ini aja rasanya udah Hollywood banget. Pake sound “Duummmmm” kayak bass Michael Bay segala. Bagian akhir trailernya tuh, yang aku suka. Lirik “Wiro, Wiro Sableng!” yang digubah dari lagu lamanya kedengaran menggebu-gebu banget. Pergerakan kamera jangan ditanya. Syut demi syut outdoor itu tampak demikian fantastis, mengalir dengan mulus. Pacenya cepet khas film aksi, tapi enggak pernah membingungkan. Adegan Wiro nangkis meja pake ceker ayam itu udah kayak penggambaran adegan dalam buku komik banget, yang mana semakin keren karena mengisyaratkan film ini paham bahwa salah satu yang paling fun dalam menonton Wiro Sableng dulu adalah bagaimana Wiro menggunakan environment sekitar.

Wideshotnya tampak fantastik. Orang-orang melayang dengan sling enggak kelihatan konyol dan over-the-top. On the other hand, CGInya memang masih terlihat sedikit kasar. Adegan Wiro di pinggir tebing, adegan Wiro berantem di puncak pohon, lingkungannya terasa unworldly. Kayak bukan pada tempat yang sama dengan hutan-hutan, pondokan, bahkan dengan set indoor seperti singgasana kerajaan.  Namun sekali lagi, yang kita lihat sekarang ini baru teasernya. Susah sekali tentunya menangkap konteks momen cerita dari video pendek nan cepet ini, jadi kita gak bisa buru-buru ngejudge. Bisa saja memang saat itu Wiro sedang menapaki alam dunia lain. Atau mereka sedang bertarung di realm yang berbeda, mengingat di adegan itu Wiro tampak berhadapan dengan  Bujang Gila.

 

Selain rasa penarasan, tentunya juga ada rasa bangga terkait kerjasama Wiro Sableng dengan 20th Century Fox. Karena meskipun cerita fantasi, Wiro Sableng masih mengakar kepada budaya. Sedikit banyaknya, kebudayaan kita dilirik juga sama orang luar, and it could be such an eye opener. Menurutku sendiri sesungguhnya ada banyak sekali cerita-cerita asli Indonesia, bahkan cerita kepahlawanan masa penjajahan, yang bisa dieksplorasi – yang ceritanya enggak kalah seru dengan cerita-cerita superhero. Wiro Sableng bisa jadi jalan pembuka, kapak yang menebas jalan lapang bagi cerita-cerita dan budaya tersebut untuk dilihat oleh dunia luar. Bukan tugas yang ringan, memang, tapi kan yang namanya jagoan, harus rela berkorban. Eh salah, itu lirik lagu film si Sherina waktu masih kecil. Maksudku, tapi kan yang namanya film sudah semestinya bergerak maju ke arah yang lebih baik. Dan aku suka ke arah mana film Wiro Sableng ini melangkah.

Karena jika muridnya sableng, gurunya gendeng. Maka, apa yang dahulu sableng, yang sekarang mestinya jreng jreng!

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

dan inilah namaku di universe Wiro Sableng

ANANTA Review

“Life is the art of drawing without an eraser.”

 

 

Hidup bekerja dalam cara yang misterius. Kita tidak bisa memilih siapa yang akan nongol di hidup kita, pun kita tidak bisa menembak siapa yang bakal bertahan dan siapa yang pergi. Seperti Tania yang terheran-heran sendiri, apa dosanya sehingga dia bisa ditegur sama cowok anak baru lugu nan udik yang berjudul Ananta itu. Padahal Tania sudah memastikan dirinya untuk enggak ramah sama orang lain. Tania menenggelamkan diri di dalam dunia lukisan. Tania merasa sudah begitu hebat dalam sendirinya, hingga terjadilah Ananta yang mengomentari gambar karyanya dengan logat Sunda yang khas. Ananta yang mengerti, yang mengingatkan Tania kepada pujian Ayahnya tatkala Beliau melihat coret-coretan Tania Kecil. Ananta yang kemudian berlanjut menjadi pasangan Tania… dalam berbisnis. Ananta yang kreatif dengan kata-kata, dan cepat akrab dengan orang, didaulat menjadi penjual lukisan Tania, sementara cewek cantik itu tetap bekerja di belakang layar. Dan kemudian Ananta menghilang. Tapi tidak bersama dengan kebahagiaan Tania. Sebab, ya itu tadi, hidup bekerja dalam cara yang tidak kita ketahui.

Sekali lirik, Ananta terlihat seperti drama relationship yang sudah lumrah yang terjadi di antara seseorang dengan orang yang kurang ia hargai di awal, yang ujungnya sudah bisa kita tebak; mereka pasti berakhir bahagia hidup bersama. Akan tetapi, film ini punya elemen-elemen yang lain, it does feel like elemennya merupakan gabungan dari berbagai film-film drama yang setipe, dan ini menunjukkan bahwa sebenarnya Ananta punya nature cerita yang kompleks. Bertindak sebagai panggungnya adalah seni; unsur kesenian, terutama seni gambar atau lukis, akan menguar dari cerita. Hubungan antara Tania dan Ananta dijadikan porosnya, kita melihat mereka membangun bisnis galeri lukisan, ada kerja sama profesional di sana. Tentu saja ada elemen romansanya juga. Dalam level personal, Ananta juga bertindak sebagai kisah hubungan anak cewek dengan ayahnya. Semua elemen itu dihubungkan dengan benang merah yang bicara tentang  bagaimana pentingnya mengapresiasi seseorang.

Sesungguhnya setiap manusia adalah seniman yang sempurna. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita mengapresiasi setiap jiwa yang pernah amprokan sama kita dalam kehidupan. Karena kita tidak tahu apa yang sudah mereka lalui. Kita tidak menyukai karya seni yang kita tidak mengerti maksud pembuatnya, begitu juga yang terjadi terhadap kita dengan manusia lain. Untuk itu, berikanlah waktu dan usaha untuk mengerti. Karena jika manusia adalah seniman, maka hidupnya adalah seni menggambar yang dikerjakan seorang seniman tanpa penghapus.  

 

Penceritaan film sesungguhnya juga adalah sebuah seni. Ironisnya, rasa terhadap hal tersebut kurang dimiliki oleh film Ananta. Arahan dan tutur cerita film ini tidak mampu membawa keadilan kepada kompleksnya materi yang dipunya sebagai dasar cerita. Semua diolah dengan satu-dimensi demi kepentingan menjadikan cerita ini punya twist. Inilah problem mayorku buat garapan Rizki Balki ini; babak terakhirnya berubah menjadi begitu banyak kelokan. Setiap sekuen di babak ketiga diniatkan untuk membuat kita melihat satu tokoh dalam cahaya yang baru. Film membuat ini sebagai ujung tombak cerita, hanya saja dengan melakukan hal tersebut, banyak set up yang harus dikorbankan. Menjadikan tokoh-tokoh tampak sederhana, terutama tokoh utama. Dan ini adalah pilihan yang riskan. Kita tidak bisa mempersembahkan sesuatu yang kompleks dengan merahasiakan beberapa elemen, tanpa menjadikan elemen tersebut jatohnya jadi sederhana.

Tania, misalnya. Tokoh ini dibuat terlalu over-the-top, dia meledak-ledak marah terhadap hal kecil. Suatu kali, dia mengiris jarinya dan Ananta untuk kontrak darah, di meja makan, saat lagi dinner bareng keluarga! Penceritaan membuat dinding di sekilingnya, sehingga kita enggak mengerti apa yang ada di kepalanya. Padahal sebenarnya Tania ini karakter yang menarik. Dia cinta seni, dia ingin terus membuat seni. Dia percaya dia adalah seorang seniman, karena dengan percaya hal tersebut berarti dia menghormati pendapat ayah yang sangat ia cintai. Dia punya imajinasi yang tak tertandingi sehingga ia susah mencari orang yang sepadan untuk berkomunikasi. Tania jadi galak, sama guru seninya, sama keluarganya, basically hampir sama semua orang. Kecuali orang-orang yang pandai masak nasi kerak. For some reason, Tania digambarkan suka nasi kerak, dan menurutku ini adalah bentrokan simbol paling menarik yang dipunya oleh cerita; bahwasanya seniman warna warni seperti Tania sangat menyukai sesuatu yang ‘salah bikin’ dan berwujud tak menarik seperti nasi yang dimasak kegosongan.

itu nasi kerak yang suka dimakan ama mbah-mbah bukan, sih?

 

But instead, kita kerap mendapat Tania yang begitu dramatis. Karakter ini dipersembahkan sebagai anak jahat berhati dingin. Kasar sama semua orang. Mustahil untuk menyukainya, bahkan untuk peduli kepada diri Tania sebagai seorang seniman muda pun susah. Motivasi Tania, hubungannya dengan sang ayah diungkap belakangan. Terlalu lambat malah. Tidak hingga momen terakhir kita paham bahwa ketakutan terbesar Tania bukanlah menerima orang dalam hidupnya, melainkan adalah Tania takut untuk kembali masuk ke pondok kenangan ia dan ayahnya. Yang mana enggak masuk akal; Tania punya menyimpan erat lukisan ayahnya dan secara konstan mengingat beliau, namun ogah ke pondok tempat pastinya beberapa memorabilia sang ayah bergeletak di sana untuk dikangen-kangenin?

Film juga enggak mengalir dengan benar-benar niat untuk menunjukkan perkembangan karakter Tania. Momen ketika Tania membuka pameran tunggal di Yogyakarta, momen dia tampil mempersembahkan karyanya di depan orang banyak untuk pertama kalinya, mestinya ini menjadi momen kunci perubahan karakter Tania. Tania sudah menghilangkan salah satu ketakutannya di titik ini. Tapi film malah menceritakan kejadian di sini dengan gaya montase, seolah ini adalah hal yang sama pentingnya dengan adegan Tania dan Ananta mandi hujan siraman air selang di kebun. Film tidak paham mana bagian yang nyata secara emosional, film tidak fokus bercerita. Yang ada ialah film terlalu sibuk mengorkestra dramatisasi dan komedi sehingga tak ada kejadian yang benar-benar tampak real. Kemudian tiba-tiba Tania menyadari cinta sejatinya. Momen ini sangat mendadak, apalagi ditambah kita tidak pernah tahu persis apa yang menjadi motivasi tokoh utama ini.

udah kayak iklan rokok aja “Tania kenapa?”

 

Salah satu momen pamungkas adalah ketika Tania sadar seberapa besar Ananta sudah mengubah hidupnya. Bahkan kakak-kakak dan ibu Tania diberikan adegan khusus untuk menyuarakn hal ini. Kemudian di sini ada twist yang mungkin kalian juga sudah bisa menebaknya; film ingin menjadikan ini sebagai adegan banjir air mata; Michelle Ziudith pastilah sudah dikunci sedari awal untuk memainkan Tania lantaran kemampuan nangis over-the-topnya (atau malah film ini dijadikan over dramatis demi mengeksploitasi kemampuan nangis Ziudith?), tapi sama kita enggak kena sebab Tania  begitu unlikeable kita sudah di pihak Ananta sedari awal. Kita sudah melihat jelas motivasi Ananta sepanjang cerita. Pada adegan cangkir bulan dan matahari di sekitar pertengahan, keluguan dan kejujuran Ananta membuat kita mengerti. Dan untuk ini, aku perlu menyebut akting Fero Walandouw dengan tepat hit every note yang karakternya tampakkan. Tokoh Ananta tidak pernah tampak mendua, Tanianya saja yang begitu self-absorbed sehingga jadi kecele sendiri.

Seniman paling jago di film ini sebenarnya adalah Ananta. It’s one thing bisa menyimpan rahasia dan bertindak mengelabui orang di depan hidung mereka. Dan sedari awal, dia sudah bisa mengerti apa yang harus dilakukan dan diucapkan menarik perhatian Tania. Kupikir kita bisa bilang, menarik simpati orang lain itu adalah bentuk lain dari seni itu sendiri.

 

Ketika sekuen pengungkapan kejadian sebenarnyalah, cerita film ini menjadi semakin dibuat-buat. Udah makin gak make sense. Ironisnya, yang paling jatoh justru adalah Ananta – tokoh yang paling difavoritin penonton di film ini. Revealingnya membuat Ananta tak lebih dari tokoh device yang tak punya hidup sendiri di luar kehidupan Tania. Jawaban kenapa Ananta begitu tepat memahami Tania sungguh tak memuaskan, karena ternyata Ananta punya semacam walkthrough  atau pedoman langsung dari orang yang paling dicintai oleh Tania. Ananta seketika menjadi orang yang paling tak jujur dan tak tulus di dunia film ini. Yang mana setelah kupikir lagi, hal tersebut mungkin memang disengaja mengingat ending film ini perlu untuk diterima banyak orang – penonton butuh untuk seketika move on dari Ananta. But still, dari poin karakter dan cerita, aku tidak bisa melihat kenapa Ananta tidak jujur aja sedari awal, dia tidak perlu melewati segala bentakan, dan Tania bisa jadi better person dengan lebih cepat. Dan kita jadi tidak perlu menghabiskan waktu yang lebih banyak melihat orkestrasi drama yang bikin geli alih-alih merasakan emosi yang nyata.

 

 

 

 

 

Adaptasi novel yang punya ceritadan tokoh-tokoh yang kompleks ini pada ujungnya tidak menawarkan sesuatu yang baru atau apapun yang memberikan urgensi. Selain set dan banyak gambar-gambar yang cantik, film ini tampak sama saja dengan drama dari novel yang lain. Mengoverused elemen-elemen dari film lain, tidak ada arahan yang spesial karena berniat pada twist, juga mengeksploitasi pemerannya yang berfollower banyak tanpa memberikan sebenarnya balas jasa berupa ruang dan pengembangan kemampuan yang signifikan. Watchable, kalo mau mewek mewekan silahkan ditonton. Hanya belum berhasil film ini memberikan warna baru yang permanen.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for ANANTA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE PERFECT HUSBAND Review

“If you judge people, you have no time to love them.”

 

 

 

Tidak ada yang lebih nge-ftv daripada menggunakan adegan tabrakan untuk memperkenalkan dua tokoh dalam romansa remaja, yang tentu saja kemudian akhirannya bisa kita tebak. Dua tokoh tersebut akan berakhir menjadi pasangan. The Perfect Husband adalah contoh sempurna dari formula kisah cinta dalam film televisi, ia tidak membuang waktu memperlihatkan gimana Ayla, gadis cantik anak kelas 3 SMA, yang mobilnya bersenggolan dengan mobil seorang mas-mas berseragam pilot, yang ternyata adalah pria yang telah dipatri oleh ayah Ayla untuk menjadi calon suami Ayla.

Mendengar informasi sepihak tentang masa depan hidupnya, terang saja Ayla bereaksi heboh. Dia tidak berlama-lama di fase penyangkalan. Malahan dia bisa dibilang nyaris langsung marah, dan Ayla tetap bertahan di tahap tersebut. Ayla mengambil sikap protes kepada ayahnya. Dia menolah Arsen, si pilot, mentah-mentah. Di balik usianya, Ayla memang tampak seperti wanita muda dengan pola pikir yang cukup kritis, namun film tidak berada di jalur yang demikian. The Perfect Husband mengambil tone yang sangat ringan untuk menceritakan konflik seputar perjodohan, yang mengakar kepada keinginan anak versus kebahagiaan orangtua, dengan tidak malu-malu menyebut komedi kepada tingkah laku para tokoh. Nyaris keseluruhan film adalah debat Ayla terhadap keputusan ayahnya, tetapi tidak benar-benar dalem. Alasan Ayla enggak mau dijodohin adalah karena Arsen yang hanya muda jika dibandingkan dengan si ayah, dan Ayla sudah punya pacar anak band.

kita bicara tentang band yang lagunya….. ngerock!

 

Alih-alih  membuat diri dan pacarnya tampil lebih baik sehingga dapat dipercaya di mata ayah, Ayla malah sengaja tampil urakan dan kurang ajar. Sampe-sampe teman satu geng Ayla sendiri malah jadi kasihan kepada Arsen yang selalu ‘dikasarin’ sama Ayla. Actually, perspektif ini yang membuat film menjadi menarik. Ayla melakukan segala cara minus, mulai dari bersikap dingin, terang-terangan miih Ando, nyuekin, sampai berbohong, dalam upayanya mengeluarkan diri dari perjodohan. Ayla ingin menggunakan penilaian ayahnya terhadap Ando sebagai senjata utamanya kala keluarga Arsen datang berkunjung. Tapi tentu saja, hal tersebut semakin membuktikan ketidaksukaan ayahnya kepada pilihan Ayla yang begundal. Dinamika ayah-anak ini menjadi bumbu cerita. Arsen kerap meminta panduan dari calon mertuanya demi meluluhkan hati Ayla. Kita akan mendengar banyak bentrokan seputar tua melawan muda, mapan melawan kegakjelasan, yang kita inginkan melawan apa yang sebenarnya kita butuhkan.

Semua orang di dalam film ini saling bersikap judgmental terhadap satu sama lain. Ayah menjodohkan Ayla karena ia tidak percaya pergaulan  dan pilihan Ayla. Begitupun Ayla punya curiga kepada Arsen kenapa mau-mau aja dijodohkan. Masih ada ibu Arsen yang punya prasangka dan penilaian sendiri terhadap Ayla. Begitu jualah kita dalam kehidupan, kita banyak berprasangka. Kita enggak mau dijudge, sehingga kita menyimpan rahasia, dan pada gilirannya kita jadi menganggap orang lain juga menyimpan sesuatu. Jadinya saling tuduh-tuduhan.

 

Berlawanan dengan ceritanya yang mengusung dukungan terhadap prasangka, film ini sendiri lumayan bisa kita nikmati dengan memendam dulu pikiran judgmental bahwa film ini tak lebih dari ftv di layar lebar. Karena memang tidak benar sepenuhnya demikian. Ceritanya sendiri tidak completely sepele, masih ada yang bisa kita bawa pulang seputar kebahagiaan dan bagaimana kita memandang orang lain. Secara teknis pun, film  ini enggak basic-basic amat – tidak ada yang wah, it is just competent enough. Ada satu adegan yang kusuka, buatku itu adalah adegan terbaik yang dipunya oleh film ini, yakni ketika Arsen dan ayah ibunya lagi mengobrol memutuskan untuk meneruskan usaha mendekati Ayla atau enggak, ibu Arsen akan bolak-balik keluar ruangan, ngobrol sambil lepas dandanan, untuk menggambarkan urgensi dari judgment dirinya terhadap keputusan anaknya, dan adegan ini ditutup dengan punchline komedi yang tepat. Karakter-karakter ditulis sesuai konteks, mereka mendapat pengembangan, mereka berubah – karena pengungkapan dan/atau pembelajaran – meskipun memang film meminta mereka untuk enggak terlalu cepat ngejudge mereka.

Across the board,  penampilan para pemain juga sama kompetennya. Slamet Rahardjo berhasil memainkan ayah yang menuntut, yang diantagoniskan oleh tokoh utama, tanpa membuat tokohnya tampak tidak-menyenangkan. Ayah adalah tipe karakter yang berkembang dan memajukan cerita dengan pengungkapan karakter yang ia simpan sepanjang film, dan Slamet Rahardjo mampu membawakan tokoh ini dalam jalur yang make sense. Meskipun, memang, jika ia jujur dan gak berahasia sedari awal, film bisa selesai dengan lebih cepat, namun tokohnya tidak terasa annoying. Arsen yang diperankan oleh Dimas Anggara juga tidak berupa tokoh device belaka. Dia punya motivasi sendiri, jadi karakternya enggak entirely jatoh creepy. But still, orang dewasa ngendong paksa anak SMA bukanlah hal yang lumrah untuk didiemkan dan dianggap so sweet.

Dari semuanya, menurutku aman untuk kita bilang Amanda Rawleslah yang membopong film ini lewat permainan range akting yang variatif.  The problem is, karakter Ayla enggak dibahas berlapis sesuai layer yang semestinya ia punya. Ayla adalah cewek groupie rock band, yang sesungguhnya tidak suka ama genre musik tersebut, dia hanya suka sama Ando yang vokalis, cerita tidak pernah membahas ini lebih dalam, maka ketika Ayahnya menyinggung soal Ando dan musiknya, efek terhadap Ayla tidak bisa menjadi lebih dalam. Aku setuju sama ground pemikiran yang dipijak oleh Ayla, hanya saja Ayla tidak menunjukkan dia tahu yang terbaik untuk dirinya. Kebanyakan, dia mengambil keputusan karena ‘cinta buta’ terhadap Ando, film tidak clear melandaskan apakah Ayla memilih Ando sebagai bentuk perlawanan kepada ayahnya, karakter ini semacam terombang ambing antara clueless atau benar-benar tahu apa yang ia mau.

dengan kata lain, beneran kayak anak SMA

 

Dalam usahanya yang cukup berhasil membuat kita tetap duduk di tempat,  tetap saja banyak elemen dalam film ini yang bikin kita cengo’ sambil mengutuk ‘betapa begonya’. Aku enggak paham kenapa mereka enggak nunggu Ayla selesai kuliah dulu baru menikah. Ending film ini adalah salah satu yang paling cheesy dan benar-benar meruntuhkan tone dramatis yang sudah dibangun. Aku tidak tahu kenapa film memilih untuk menggunakan adegan tersebut, selain untuk menunjukin Arsen beneran bisa nerbangin pesawat. Di adegan flashback menjelang akhir, kita dengan jelas mendengar ayahnya menyebut Alya alih-alih Ayla, aku enggak tahu kenapa film membiarkan kebocoran ini, mereka bisa dengan gampang mendubbing atau mereshot adegan.

Film punya jawaban dan sudut pandang sendiri terhadap pemecahan masalah perjodohan yang ia angkat. Film membuat penonton bersimpati kepada Arsen ketika Ayla membentaknya di depan teman-teman sekolah lantaran main gendong sekenanya. Ayla yang kemudian minta maaf adalah salah satu dari beberapa adegan yang menunjukkan film berdiri di ranah cewek bertanggungjawab mengemban pilihan orangtuanya. Aku tidak begitu setuju dengan gimana film ini memandang sikap anak terhadap perjodohan oleh orangtuanya, tapi aku harus ngasih respek karena film ini berani mengutarakan suaranya sendiri. Dan paling tidak, aku masih bisa setuju soal pesannya yang mengatakan bahwasanya berbohong tidak akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan siapapun. Umur ayah menjadi semakin singkat karena mendengar kebohongan Ayla, film tidak sepenuhnya menekankan ke aspek ini, tapi nyatanya adegan tersebut kuat untuk menjadi titik balik penyadaran Ayla.

Bicara tentang Arsen, alasan kenapa dia mau dijodohkan yang diungkap menjelang akhir babak tiga adalah hal terbullshit yang kudengar sepanjang hari ini. Karena sesungguhnya kebahagiaan manusia adalah tanggungjawabnya sendiri. Bukan tugas orang lain untuk membuat kita bahagia. Membalas kebaikan orangtua tidak harus dengan sampai mengorbankan kebahagiaan kita sendiri agar mereka bahagia. Tentu, kita mungkin saja menemukan kebahagiaan yang lain saat berusaha membuat orangtua bahagia, tapi itu bukan berarti membuktikan mereka benar, atau mereka yang salah. Bahagia itu datang sebagai misi diri sendiri, dan untuk mendapatkannya tidak bisa dengan berbohong.

 

 

 

 

Ini adalah kisah cinta remaja yang twisted, yang menggambarkan bagaimana tepatnya dalam kehidupan sosial, setiap orang bersikap judgmental terhadap orang lain. Dan film ini membuat lebih sering daripada tidak, prasangka tersebut benar adanya. Seperti ketika film lewat tokoh ayah Ayla ngejudge rocker tanpa memberi kesempatan pihak itu membela diri. Perjodohan dan konflik keinginan anak dengan keinginan orangtua dijadikan panggung untuk mengeksplorasi masalah tersebut, yang actually disampaikan dengan ringan. Menjadikan pesan dan feeling film ini tidak untuk semua orang. Ironisnya, jika kalian menahan perasaan judgmental terhadap film ini dan mau tetap duduk di sana, film ini sebenarnya adalah sebuah tontonan yang watchable dengan penampilan akting yang menarik.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE PERFECT HUSBAND.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017