ALONE Review

“The coward does not know what it means to be alone…”

 

 

 

Menyendiri kadang memang perlu. Karena sesekali kita memang perlu untuk dapat ruang untuk menenangkan diri. Untuk menghimpun kembali diri kita yang mungkin sudah berkeping-keping didera stress dan masalah. Pun tidaklah egois jika kita merasa butuh untuk menjauh dari kebisingan sosial dan hiruk pikuk drama. Memisahkan diri dari keluarga atau teman-teman sementara. Dan certainly, ‘ngilang’ seperti demikian bukanlah perbuatan pengecut. Kalian yang belum mengerti kenapa, bisa menemukan jawabannya dengan menonton thriller kucing-kucingan karya John Hyams yang berjudul Alone ini.

Dibagi menjadi lima chapter, Alone memperlihatkan perjalanan yang berubah menjadi petaka bagi seorang wanita bernama Jessica. Sepeninggal sang suami, Jessica menemukan hidupnya dalam keadaan yang sulit, sehingga dia bermaksud untuk pindah rumah. Meninggalkan kehidupannya yang lama. Jessica bahkan sengaja tidak memberitahu ibu dan ayahnya di rumah. Dia benar-benar butuh waktu dan tempat untuk sendiri. Jalanan yang panjang dan sepi itu pun kemudian ditempuhnya. ‘Teror’ yang dialami Jessica awalnya cuma telfon dari orangtua yang mencari dirinya. Namun hal berkelok menjadi semakin mengerikan tatkala janda ini dibuntuti oleh pria sok-akrab dengan mobil hitamnya.

Bayangkan Ned Flanders, with more straight-up creep and less  -ookily dookily

 

 

Tiga puluh menit pertama, saat masih di chapter ‘The Road’, cerita seperti sebuah thriller psikologis. Dan itu seru sekali, I really enjoyed it. Alone punya naskah yang sangat bijak untuk tidak membeberkan seluruhnya sejak awal (bahkan hingga film berakhir masih banyak backstory yang dibiarkan terungkap tak lebih banyak daripada seperlunya). Jadi di awal itu ada berbagai lapisan misteri yang terasa oleh penonton. Kita masih figure out apa yang terjadi dan siapa si Jessica. Kita juga harus menelisik benarkah si Pria itu orang jahat dan pertemuan-pertemuan mereka murni kebetulan dan semuanya hanyalah kecurigaan Jessica semata. Tapi makin berlanjut, perihal niat dan kelakukan si Pria semakin obvious, dan di sinilah kepiawaian cerita mulai tampil. Ada build up tensi yang benar-benar terasa. Mengalun merayap di balik cerita sehingga kita seolah berada di kursi depan di sebelah Jessica.

Jessicanya juga ditulis bukan seperti karakter korban pada umumnya. Wanita ini boleh aja terlihat curigaan, tapi dia curiga-dan-pintar. Sikapnya ini berhasil mempengaruhi kita sehingga kita benar-benar peduli. Tensi pada film ini bukan terjadi karena sesimpel karakter cewek yang diburu oleh cowok – mangsa lemah melawan pemburu yang lebih kuat. Film berhasil mengeluarkan diri dari perangkap gender tersebut. Ketika ketegangan cerita seperti distarter ulang saat kita masuk ke chapter berikutnya – Jessica dikurung di ruang bawah tanah kabin di tengah hutan – kupikir cerita berubah dangkal dengan menjelma menjadi semacam horor siksaan yang mengeksploitasi kekerasan ataupun seksualitas. Ternyata tidak. Momen tersebut justru digunakan film untuk memperkenalkan dua karakter ini secara lebih fokus kepada kita, dengan tetap menyimpan beberapa hal. Di sinilah kita mendapat penyadaran bahwa kedua tokoh ini punya kesamaan, sekaligus perbedaan pandang dari kesamaan tersebut. Di sini jualah kita akan mendapat momen paling mengerikan dari si Pria. Momen yang adegannya dirancang sedemikian rupa sehingga seperti gabungan menakutkan dari sebuah eksposisi dan eksplorasi karakter.

Tema berulang yang dapat kita jumpai, entah itu disebutkan lewat ucapan tokoh ataupun tersirat di balik aksi buru-memburu, adalah soal cowardice. Sifat kepengecutan. Setidaknya ada tiga peristiwa yang bisa terlingkup ke dalam konteks ‘pengecut’ yang dapat kita lihat sepanjang film ini. Jessica yang menghindari – tidak mengangkat – telfon ibunya. Pria yang bohong sedang liburan di hotel kepada istri dan anaknya di telefon. Dan suami Jessica yang memilih mati bunuh diri. Tiga tindakan ini dilakukan oleh para tokoh, dan mereka memerlukan kesendirian untuk melakukannya. Tapi kesendirian itu sendiri bukanlah bentuk sebuah kepengecutan. Inilah yang diargumentasikan oleh film lewat para karakter. Pria yang mencerca suami Jessica sebagai seorang pengecut, padahal si Pria itu sendiri memakai kedok dan memilih untuk sendiri supaya bisa melampiaskan perangai dirinya yang asli. Sedangkan Jessica, sebagai tokoh utama, dia berada di antara keduanya. Boleh jadi dia memang menghindar karena takut menghadapi drama dengan orangtuanya, namun pada akhirnya lewat perjuangan berdarah-darah yang dihadapinya sendiri sepanjang cerita ini, kita bisa melihat – dan Jessica herself akhirnya menyadari – bahwa dia adalah seorang yang pemberani. Seorang penyintas.

Memilih untuk menyendiri bukan lantas berarti kita adalah seorang pengecut. Malah sebaliknya. Pengecut justru adalah seseorang yang tidak mengerti makna dari kesendirian. Orang-orang paling berani pasti pernah memilih untuk sendirian, dan mereka menjadi lebih baik setelah pengalaman saat sendiri tersebut.

 

 

Film lantas mulai terasa klise ketika panggung kejar-kejaran bergeser ke hutan. Cerita memasukkan satu karakter lagi untuk menambah dramatis ke trik thriller, tetapi tidak ada yang spesial di sini. Melainkan hanya karakter baik, tipikal, yang ujung-ujungnya kita semua tahu bakal mati. Alone bekerja terbaik saat dua karakter protagonis dan antagonisnya ‘berduel’ sendirian tanpa harus dicampuri oleh karakter lain. Puncak ketegangan tertinggi buatku adalah saat Jessica kabur, dan setelah ketemu tokoh satu lagi ini, film tidak berhasil mencapai ketinggian yang sama lagi bahkan dengan konfrontasi terakhir yang ditarik dari dalam mobil hingga ke lapangan penuh lumpur itu.

Robert menunjukkan bahwa di tangan orang baik, senjata tidaklah berguna

 

 

Yang ada malah seperti film mulai mengincar ke arah yang over-the-top. Demi kepentingan circle-back ke momen awal, film membuat Jessica malah menelpon istri Pria ketimbang menelepon polisi begitu berhasil mendapatkan handphone. Kinda silly kalo dipikir-pikir. Misalnya lagi; dialog Pria kepada hutan, meneriakkan kata-kata provokasi ke Jessica, terdengar tidak demikian mengancam. Padahal penampilan akting di sini sudah cukup meyakinkan. Baik Jules Willcox yang jadi Jessica maupun Marc Menchaca yang jadi si Pria bermain sesuai dengan standar horor dengan genre seperti ini. Range di antara ketakutan, bingung, kesakitan, dan marah – dan kedua aktor ini delivered. Masalahnya terletak di arahan; taktik build up tarik ulur yang konsisten diterapkan tersebut saat mendekati akhir tidak menemukan pijakan yang klop terhadap arah over-the-top. Sehingga film jadi terasa gak lagi nyampe, atau pay-off nya tidak seperti yang diancang-ancangkan. Misalnya di dialog malam tadi, Pria meletakkan senjata ke tanah. Kamera fokus ke mata Jessica yang mengintip dan tampak mengincar senjata. Namun tidak ada kelanjutan terhadap build up tersebut.

Begitupun dengan chapter-chapter yang ada. Pembagian cerita yang muncul setiap kali panggung berpindah (The Road saat di jalanan, The River saat di sungai, dsb) semakin ke ujung semakin terasa kurang signifikan. Melainkan kepentingannya hanya seperti nunjukin nama tempat aja. Film kurang berhasil menghujamkan bobot chapter ke struktur cerita secara keseluruhan. Jika memang ada makna paralel tersembunyi, gaungnya jadi kecil karena fokus yang sudah membesar menjadi over. Buatku pilihan ini aneh aja. It’s either filmnya gak konsisten atau filmnya gak tahu aja cara yang tepat untuk menonjolkan diri. Karena film ini sedari awal tampak seperti sengaja gak menonjol. Judulnya aja udah generik sekali. Kalo kita cek Google, dalam sepuluh tahun terakhir setidaknya sudah ada lima film selain ini yang berjudul Alone. Tahun 2020 ini aja ada dua film Alone. Tapi kemudian isi filmnya sendiri tampak pengen beda dengan struktur chapter, konfrontasi tokoh, dan sebagainya. Hanya saja, gak semuanya yang punya pay off yang gede dan tak terasa over-the-top.

 

 

Aku suka paruh awal film ini. Sensasi ngeri saat sendiri di jalanan itu berhasil banget tersampaikan. Penampilan akting dua tokohnya tidak ternodai oleh karakter yang bego. Aku hanya enggak cocok dengan pilihan-pilihan berikutanya yang dilakukan oleh film. Yang tampak seperti geliat untuk keluar dari sesuatu yang generic tapi tidak berhasil. Over-the-top yang dihasilkan jadi terasa awkward. Film ini masih seru untuk dimasukkan ke daftar tontonan pengisi Halloween nanti. Tapi jika kalian mengincar sesuatu yang lebih unik, maka film ini bakal terasa biasa-biasa aja. Jangan khawatir. Kalian gak sendirian soal itu.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ALONE

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana kalian memaknai kesendirian? Pernahkah kalian menghilang dari semua orang beberapa waktu untuk menenangkan diri atau semacamnya?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ENOLA HOLMES Review

It means I’m strong enough to handle things all by myself.”
 

 
 
Enola adalah kebalikan dari ‘Alone’. Remaja cerdas itu tadinya kurang paham kenapa ibu menamainya seperti itu. Karena nama kedua abangnya jelas-jelas tidak bisa dibolak-balik begitu; Mycroft dan Sherlock. Ya, Sherlock yang itu. Yang detektif terkenal itu. Jadi setidaknya misteri pertama dari cerita ini terungkap sudah. Enola adalah adik bungsu dari Sherlock Holmes. Dan dalam film ini kita akan melihat Enola punya kemampuan memecahkan misteri yang gak kalah mengesankan dari abangnya tersebut. Film yang diadaptasi dari novel karangan Nancy Springer – yang clearly sangat menghormati Sir Arthur Conan Doyle sebagai sumber imajinasi dunia Holmes versi dirinya – mengisahkan petualangan Enola yang punya pesona dan warna berbeda dari petualangan Sherlock Holmes. Sutradara Harry Bradbeer mengemasnya sebagai cerita petualangan detektif wanita yang bahkan lebih ceria dari Nancy Drew, dengan mengedepankan isu feminisme untuk membuat ceritanya semakin relevan.
Namanya jadi misteri yang menarik baginya, sehingga si bungsu Holmes ini jadi menggemari cipher alias sandi/teka-teki susunan kata. Ia awalnya tidak mengerti kenapa sang ibu menamainya ‘alone’ padahal mereka selalu bersama. Setelah ayah meninggal dunia dan dua abangnya merantau ke berbagai penjuru Eropa, Enola tinggal berdua dengan ibu. Mereka menghabiskan hari dengan berbagai aktivitas. Ibu ngajarin Enola bermacam-macam. Mulai dari menenun, main tebak kata, bereksperimen kimia, hingga main tenis – di dalam rumah! Saking deketnya mereka, Enola sama sekali gak kebayang dia hidup sendirian. Hingga sang ibu menghilang dari rumah. Misterius sekali. Dua abang Enola pun pulang untuk memecahkan misteri ini. Tapi kedatangan mereka membawa ancaman kungkungan kepada Enola, karena kedua abangnya kurang terkesan dengan hasil didikan ibu terhadap Enola. Mycroft ingin mengirim Enola pergi ke sekolah wanita untuk menjadikan Enola wanita yang ‘seharusnya’. Sebelum itu kejadian, Enola yang berhasil menemukan petunjuk yang ditinggalkan ibu, pergi diam-diam, dengan menyamar sebagai anak cowok. Dalam memulai petualangannya mencari ibu di London, Enola bertemu dengan kasus pertamanya. Kasus yang membuat ia memikirkan ulang makna dari kesendirian dan menjadi wanita yang kuat.

Ajarkan feminisme sejak dini

 
 
Aku gak bohong kalo ada bagian dari film ini yang membuatku jadi teringat sama Mulan (2020). Terutama karena kedua film ini vokal sekali dengan suara pemberdayaan perempuan. Untungnya, Enola Holmes adalah cerita yang jauh lebih menyenangkan untuk diikuti. Film ini punya dunia yang lebih vibrant dan gak takut menampilkan humor. Dengan karakter yang lebih hidup; dan terutama karakter-karakternya lebih relatable. Agenda feminisme dalam film Enola Holmes ini dimasukkan tidak dengan paksa, melainkan dengan tetap memikirkan dampaknya terhadap narasi. Ada satu adegan yang aku suka karena benar menunjukkan konsistensi pada Enola yakni ketika Enola selamat nyawanya karena korset yang ia kenakan; ini konsisten dengan gagasan wanita menjadi dirinya sendiri, Enola selamat dengan menjadi wanita. Tidak seperti pada Mulan yang gak konsisten dengan adegan Mulan harus menjadi wanita tapi malah menunjukkan dirinya justru diselamatkan ketika ia mengenakan armor lelaki. Enola juga tidak pernah tampil sebagai Mary Sue – istilah buat karakter cewek yang dibuat sempurna yang serba-bisa sampai-sampai melemahkan karakter lain hanya untuk membuatnya terlihat semakin ‘kuat’. Dan buatku inilah kelebihan Enola Holmes dibanding film-film feminis kebanyakan. Film ini masih memikirkan bagaimana menuangkan agendanya ke dalam naskah dengan merata sehingga tidak membuat karakternya demikian sempurna.
Karakter Enola ditampilkan sebagai remaja yang vulnerable, dengan banyak hal yang masih harus ia pelajari di dalam petualangannya.  Ketika Enola digambarkan panjang akal, jago berantem, dan sangat mandiri, naskah menyeimbangkan karakter ini dengan menunjukkan bahwa ia sudah mempelajari semua itu sedari kecil. Dan bahkan dengan segala kemampuan itu, Enola masih diperlihatkan kurang pengalaman. Dia tidak serta merta berhasil. Masih ada kegagalan, lalu berpikir ulang. Karakter ini masih perlu belajar banyak. Konflik pada dirinya terutama adalah tentang ibu yang ia yakini tidak akan meninggalkan dirinya. Namun hal tersebut selalu ditentang saat beberapa kali Enola ditampilkan tertohok oleh pertanyaan dari berbagai karakter mengenai kenyataan bahwa sekarang ia tidak tahu di mana ibunya berada.
Di situlah permainan peran dari Millie Bobby Brown (aktor muda temuan, dan kuyakin sekarang kebanggaan, Netflix) mengangkat film ini setinggi-tingginya. Di tangannya, Enola tampil sebagai karakter utama sejati; kita peduli padanya, kita berempati kepada konfliknya. We just love to cheer for her. Millie adalah Enola yang ceria, funny in her own way, sedikit pemberontak tapi tak pernah annoying. Sutradara Bradbeer tidak menyia-nyiakan karisma dan pesona yang dibawa oleh Millie kepada karakternya. Bradbeer sudah mempersiapkan konsep ‘breaking the fourth wall’ sebagai device untuk menghadirkan Enolanya Millie langsung face-to-face kepada kita. Ini membuat semua eksposisi yang dibutuhkan cerita tersampaikan lewat cara yang kita semua gak bisa tolak. Emangnya siapa juga yang gak mau diajak ngobrol sama Enola, kan? Millie begitu mulus berpindah dari ngomong kepada kita dan ngomong ke karakter-karakter di film. Aktor muda berbakat itu hampir membuat kita merasa seperti bagian dari diri si Enola itu sendiri. Kita bukan cuma sebagai penonton, kita turut jadi bagian dari karakterisasinya.
Millie doesn’t even flinched when the script asks her to do some action. Memang, selain berwarna, lucu, dan berbobot agenda, film ini juga punya muatan aksi. Film ini menampilkan beberapa adegan ketika Enola berantem tangan kosong dengan penjahat. Dan adegan-adegan aksi ini punya rentang tone yang cukup drastis. Ada yang penuh ledakan tapi berbau mirip fantasi. Bahkan ada juga yang lumayan violent. Like, real murder attempt kind of violent. Tingkat kekerasannya yang cukup tinggi tersebut membuat tone cerita film ini secara keseluruhan agak sedikit gak seimbang lagi. Cerita ini memang sedari awal dibangun dengan dibayangi oleh subteks kriminal, tapi menurutku resolusi yang berupa berantem beneran tersebut seharusnya lebih dibangun atau setidaknya dunia yang jadi panggung Enola bisa lebih digelapkan sedikit, supaya menyeimbangkan atau memperkecil rentang tone yang ditampilkan di awal dengan di konfrontasi akhir.
“Jangan sampai jurus Demogorgon Killer gue keluar ya!”

 
 
Sebagaimana film-film petualangan adaptasi novel lainnya, Enola Holmes juga dihadapkan pada tantangan memuat-banyak-dalam-durasi-terbatas. Dan boleh jadi, ini adalah perlawanan yang lebih berat ketimbang memperjuangkan gerakan perempuan. Karena meskipun film ini berhasil membuat tokoh perempuan yang benar-benar kuat dan respectable, di sisi lain film ini masih tersandung saat bercerita hal yang kompleks meski diberi durasi yang sudah cukup panjang. Ada banyak karakter pendukung, ada banyak plot sampingan, yang harus disampaikan tetapi film ini tidak benar-benar mulus dalam menyampaikannya.
Soal fokus ceritanya, film ini jadi seperti terbagi dua. Yang diangkat di awal adalah persoalan mencari ibunya. Namun di pertengahan, seiring dengan perkembangan karakter Enola, fokus cerita berpindah ke menolong seorang anak bangsawan yang diburu oleh seseorang. Meskipun memang naskah sekuat tenaga untuk membuat dua ‘main objectives’ ini saling berkaitan, tetapi tetap saja ini memecah motivasi tokoh utama. Sehingga berakibat pada berkurangnya urgensi pada petualangan besar si protagonis ini secara keseluruhan. Tidak ada, katakanlah deadline, yang mengejar atau menjepit Enola untuk menemukan ibunya secepat mungkin. Begitupun dengan kasus perburuan yang ia tangani; tidak ada urgen yang membuat kita ingin Enola berhasil karena kasus tersebut tidak benar-benar berbahaya bagi Enola. Itulah sebabnya kenapa cerita di bagian akhir dibuat jadi sedemikian violent; Supaya Enola bisa benar-benar tampak dalam bahaya. Thus, stake cerita diharapkan jadi naik. Karena sepanjang cerita, stake yang dimiliki Enola cuma dia gak boleh sampai ketahuan oleh dua abangnya. Sekolah khusus wanita yang strict tersebut tidak kuat atau tidak cukup dramatis untuk dijadikan ganjaran. Misteri hilangnya sang ibu pun pada akhirnya tidak diberikan konklusi yang sebanding dengan build upnya.

Being independent dan mempercayai kekuatan sendiri bukan berarti kita harus mengerjakan semuanya sendirian, ataupun hanya demi diri sendiri. Petualangan yang ditempuh oleh Enola mendewasakan dirinya terhadap hal tersebut. There’s no shame jika dalam perjalanan pemberdayaan, kita menemukan cinta dan malah menunjukkan kebutuhan untuk bekerja sama dengan orang. Karena bisa berdiri sendiri bukan berarti kita harus memilih untuk sendiri.

 
Karakter-karakter pendukung yang cukup banyak jumlahnya itupun masih belum dihidupkan secara maksimal. Salah satu yang niscaya jadi pusat banyak perhatian tentunya adalah karakter Sherlock Holmes. Namun tak banyak dilakukan oleh Henry Cavill sebagai tokoh ini. Melawan pakem karakter eksentrik dan cueknya, Sherlock di sini ditempatkan sebagai low-key mendukung Enola. Namun ini justru membuat tokohnya berada ngambang di tengah-tengah. Di antara Enola yang free-spirited dengan abang tertua mereka yang total strict. Dari sini saja mungkin kita sudah bisa melihat bahwa karakter-karakter di cerita ini sebenarnya bisa untuk padetin lagi. Sherlock dan Mycroft bisa saja dirapel menjadi satu karakter yang lebih bakal terasa lebih flesh out. Bikin aja, misalnya, Sherlock yang strict dan jadi antagonis utama buat Enola. Sehingga ia akhirnya akan mengalami perkembangan dan punya lebih punya banyak hal untuk dilakukan. Mestinya sih bisa jadi lebih menarik, I mean, kapan lagi kan kita melihat Sherlock dalam cahaya yang lain.
 
 
 
Perhaps, jebakan terbesar yang berhasil dilompati oleh film ini adalah jebakan untuk tampil seperti fan-fiction dari cerita Sherlock Holmes. Enola dan karakter-karakter lain boleh jadi bukan kanon dalam semesta Sherlock Holmes, tetapi film ini sendiri berhasil membuktikan diri sebagai cerita utuh yang layak dinanti pengembangannya lebih lanjut. Keberadaan film ini layak untuk ditetapkan sebagai semesta alternatif dari tokoh ikonik yang sudah ada. Tokoh utamanya sendiri benar-benar menarik, kuat, dan adorable. Dia adalah heroine (jagoan cewek) yang ideal, baik dalam narasi detektif maupun dalam agenda feminis. Film ini bisa kita lihat sebagai introduksi yang cukup kuat jika memang ceritanya masih akan dibuat terus berlanjut. Dengan beberapa catatan kecil soal problem yang lumrah ditemukan dalam cerita-cerita petualangan adaptasi buku, film ini tetap menghibur berkat penampilan akting dan nuansa fresh yang dibawa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ENOLA HOLMES

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih ‘merasakan kesendirian’ itu bagi diri kita?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE DEVIL ALL THE TIME Review

“I object to violence because when it appears to do good, the good is only temporary; the evil it does is permanent”
 

 
 
Salah kaprah dalam beragama membuat kita melihat setan sepanjang waktu. Karena tak ada yang lebih parah daripada menjadi munafik; merasa paling suci di antara yang lain lalu bertindak seenaknya hingga sampai menipu atau merugikan orang dengan dalih agama. Dalam film The Devil All the Time kita melihat jemaat yang membunuh, pengkhotbah yang memperkosa, dan orang-orang yang percaya tindakan keji yang mereka lakukan adalah atas nama kebaikan. Film ini mengerikan, begitu banyak kematian, begitu beragam kejahatan yang mampu dilakukan oleh manusia. Yang ditunjukkan oleh film ini bukan hanya sebatas bagaimana tragedi mempengaruhi keluarga, bahkan lingkungan. Melainkan juga memperlihatkan bagaimana sebuah keyakinan dapat  sebuah keyakinan dan kejahatan dapat saling bersisian.
Kejahatan dan tragedi yang dihasilkannya dalam cerita The Devil All the Time berawal dari seorang serdadu Amerika di Perang Vietnam yang pulang kembali ke kota kecil kelahirannya di Ohio. Membawa beban mental dan trauma atas kejadian yang ia alami di medan perang sebagai oleh-oleh. Kenangan yang tak bisa lepas dari pikirannya. Malahan justru menyebar dan saling mempengaruhi dengan keadaan di sekitar. Serdadu ini, si Willard (Bill Skarsgard memainkannya seperti orang yang kesurupan oleh mimpi buruk), meminta pertolongan Tuhan. Dia membangun altar ibadah sendiri di pepohonan di belakang rumah. Dia ke Gereja dengan rutin bersama istri dan anaknya. Cerita berubah menjadi buruk tatkala ibadah itu tidak lagi menjadi sesuatu yang positif bagi Willard. Berdoa justru membuatnya beralih ke kekerasan. Kekerasan yang ia turunkan kepada putra semata wayangnya, Arvin. Dan dari sini semuanya menyebar. Jalur kekerasan membawa Arvin tumbuh gede, tanpa orangtua. Sampai akhirnya, jalan hidup Arvin (Tom Holland membuktikan aksen dan aksi emosional bukan sandungan baginya) bertemu dengan generasi penuh kekerasan lainnya.

Kau sadar dunia itu sempit ketika polisi yang membantumu menjadi polisi yang memburumu.

 
 
Selain Arvin dengan ayahnya, kita juga akan mengikuti karakter-karakter seperti adik tiri Arvin, ayah si adik tiri, sepasang kekasih yang tampak baik hati tetapi nyatanya adalah pembunuh berantai yang punya modus operandi sinting, dan seorang polisi korup. Diperankan oleh aktor-aktor ternama yang jelas tidak main-main dalam menghidupkan perannya. Film ini tumpah ruah oleh penampilan akting yang memukau dengan merata. Kita gak akan cepat melupakan peran Robert Pattinson, atau Sebastian Stan, atau Riley Keough, bahkan peran kecil Mia Wasikowska pun niscaya akan membekas. Segitu banyaknya karakter dalam film ini. Babak awalnya akan sering membawa kita berpindah-pindah dari satu sudut pandang ke sudut pandang karakter lain. Dari satu periode masa loncat mundur ke periode lain, lalu balik kembali. Menonton film ini seperti sedang membaca novel dan kita membayangkan kejadiannya di kepala. Imajinasi akan kejadian itulah yang kita tonton. Dan ternyata film ini memang diadaptasi dari novel.
Sutradara Antonio Campos mencoba untuk sedapatnya melinearkan alur lewat ritme karakter. Willard dan Arvin dijadikan tubuh utama di sini. Jika pada novel, ceritanya tiap chapter membahas atau memfokuskan pada tokoh yang berbeda-beda, maka dalam film ini perpindahan tokoh tersebut dilakukan dengan langsung, tanpa ada pembatas. Hanya suara narator saja yang menuntut kita melewati ‘halaman per halaman’ cerita. Konsep bercerita ini dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan gagasan cerita bahwa kejahatan atau kekerasan itu berputar pada satu siklus. Melibatkan banyak orang di kota kecil tersebut, yang semuanya terhubung oleh sebab yang sama, dan eventually akan saling bertemu.
Setan dalam judul cerita ini bukan merujuk kepada setan supernatural alias hal-hal mistis. Melainkan sebuah simbol. Perjuangan manusia melawan hal yang ia takuti, melawan ‘setan’ di dalam dirinya sendiri. Willard mukulin orang-orang, membunuh anjing kesayangan anaknya, dan kemudian ditemukan bunuh diri. Tindakannya itu bukan karena dia dipengaruhi hantu dari medan perang. Melainkan karena dia menderita begitu banyak sebagai efek dari perang. Kejadian mengerikan yang harus ia lakukan di sana memberikan tekanan kepadanya yang berusaha untuk menjadi ayah yang baik. Lalu ditambah pula oleh istri yang sakit. Hancur-lah dia. Begitu juga dengan karakter lain. Mereka punya masalalu mengerikan masing-masing, dan mereka berjuang untuk meyakini sesuatu sebagai bentuk penguatan diri supaya bisa terus hidup. Mereka mengira mereka lantas menemukan Tuhan, yang merupakan simbol dari keselamatan. Namun nyatanya mereka hanya menciptakan ‘keselamatan’ yang palsu.
Maka dari itu, meskipun film ini menampilkan orang-orang taat – yang kesehariannya dekat dengan agama dan penegak moral lainnya – yang ternyata adalah pelaku kejahatan, tapi agama atau hukum moral itu sendiri tidak pernah terasa dijadikan antagonis. Fokusnya selalu adalah ke si karakter; kita dibuat melihat masing-masing mereka secara personal. Karakter Arvin ditampilkan untuk menyeimbangkan ini semua. Dia tidak bertindak sebagai penganut agama yang taat ataupun punya moral kompas yang lurus. Instead, dia adalah seorang yang benar-benar telah dikacaukan oleh semua kejahatan dan tragedi yang terjadi kepadanya. Ayahnya mengajarkan bahwa kekerasan adalah tindakan yang harus dilakukan untuk membela diri. Dia punya etika dan moral kompas sendiri, yang merupakan produk dari ajaran dan defense mechanism dirinya. Arvin menjadikan kekerasan sebagai solusi. Dan lewat adegan di konfrontasi final serta adegan di ending, film mengisyaratkan kepada kita bakal jadi seperti apa kiranya Arvin dengan ‘kepercayaan’ yang ia yakini ini.

Dan sepertinya memang bukan cuma pistol yang diwariskan ayah kepada Arvin. Kekerasan adalah solusi menurut setiap karakter di film ini. Karena mereka percaya tindakan mereka itu bertujuan demi sesuatu yang lebih baik. Dengan bijaknya, film ini menunjukkan bahwa mempercayai hal seperti itu adalah sebuah bahaya yang besar. Karena kekerasan akan dengan mudah saling berkait, membentuk sebuah lingkaran setan. Sebuah siklus yang bakal terus berulang. 

 

Ketika kau sadar kau lebih baik sebagai vampir ketimbang sebagai pendeta

 
 
Ada dua hal yang kemungkinan besar menonjol terasa saat kita menonton film ini. Bingung. Lalu kemudian miris karena ikutan depress. Dua kombinasi yang niscaya menguras kita setelah menonton. Bingung, karena di awal-awal narasi film ini yang berpindah-pindah memang terasa membebani. Setiap sudut pandang, setiap kejadian, begitu berbobot oleh muatan gagasan dan detil karakter. Sekaligus juga berjalan cepat, sehingga kita gak yakin ini cerita tentang siapa. Sebenarnya film bisa saja menggunakan chapter atau menggunakan konsep bercerita bolak-balik yang seem random serupa ama Pulp Fiction (1994), sehingga setiap sudut pandang punya ruang untuk terflesh out dan kita juga jadi punya waktu untuk meresapi lalu menyusun kepingannya. Tapi jika dilakukan dengan begitu, siklus atau setiap tokoh saling berkait jadi tidak terlalu mencuat. Sehingga film lebih memilih untuk bercerita seperti yang sudah kita saksikan. Dan durasi dua jam lebih itu memang jadi tidak cukup.
Dengan begitu banyak sudut pandang dan runtutan kejadian, film yang harusnya benar-benar hidup – bahkan latar kotanya – menjadi seperti hanya punya satu nada. Cerita membawa kita menerobos kejadian suram ke kejadian suram. Dari satu kematian ke kematian lain. Sehingga film jadi lebih mirip seperti cerita genre. Just story about how people dead. Padahal gagasan dan makna yang dikandungnya jauh lebih besar daripada itu. Cerita ini butuh lebih banyak ruang untuk menggerakkan kehidupan dunia yang sedang ia ceritakan. Sehingga emosi yang kita rasakan pun akan semakin hidup dan terbangun. Enggak cuma berada pada sisi miris. Untuk mencapai itu, kupikir ya mau gak mau film memang kudu membuat struktur berceritanya menjadi lebih baik lagi untuk mencakup semua yang kurang tersebut.
 
 
 
Cerita yang panjang, penuh oleh penampilan akting luar biasa sebagai pelengkap narasi yang kelam tentang bagaimana kekerasan menjadi bagian dari siklus hidup manusia. In a way, film ini memuaskan karena membawa kita ke banyak sudut pandang dan rangkaian runtutan adegan yang diolah dengan ritme yang membuatnya tak perlu banyak eksposisi. Bagian awal dapat menjadi sedikit membingungkan karena seringnya perpindahan karakter yang dilakukan dengan cepat, tapi ketika periode cerita sudah mulai stabil dan tokoh sentral kedua mulai kelihatan, cerita lebih enak untuk diikuti. Namun juga sekaligus film ini terasa kurang. Karena kita hanya akan merasa kelam/depress/suram saja. Dengan karakter banyak dan rentang waktu yang luas, kita seperti dibuat memohon untuk cerita yang lebih hidup lagi. Semuanya dilakukan dengan baik – aku suka gambar-gambar negatif film yang bikin makin ‘seram’ – hanya saja buatku memang beberapa kali film ini terasa seperti kumpulan adegan-adegan ngeri dari beberapa film crime atau thriller. This is truly one horrifying movie, akan tetapi horrifying-nya itu gak benar-benar feel earned.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE DEVIL ALL THE TIME.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bisakah kita menyetop siklus kekerasan, dengan kekerasan? Bagaimana kalian mengubah situasi lingkaran setan seperti yang dialami oleh Arvin?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

UNPREGNANT Review

“If you want something done, ask a woman”
 

 
 
Dua remaja putri melakukan perjalanan lintas negara-bagian. Secara diam-diam tanpa sepengetahuan orangtua masing-masing. Karena salah satu mereka memilih untuk melakukan aborsi. Dalam perjalanan yang mereka tempuh, keduanya mendapat cukup banyak rintangan, yang menyimbolkan betapa sukarnya bagi seorang wanita untuk mendapatkan kembali otonomi dirinya sen… Tunggu. Kenapa rasanya deja vu. Perasaan belum lama ini kita udah pernah deh nyaksiin cerita seperti ini..
Itu karena Unpregnant hasil adaptasi sutradara Rachel Lee Goldenberg dari novel ini memang punya premis yang persis ama film Never Rarely Sometime Always (2020) karya Eliza Hittman. Beda kedua film ini terletak pada arahan dan tone cerita secara keseluruhan. Jika Never Rarely Sometime Always diarahkan untuk bicara lantang dalam kesunyian karakternya mengarungi keadaan yang lebih realistis, maka Unpregnant ini lebih dekat ke kalimat ‘karena because selalu always’, alias bernada komedi. Karakter-karakter dalam Unpregnant ‘membicarakan’ masalah mereka dengan suara keras; film ini diarahkan seperti road trip movie pada umumnya.
Yang diketahui hamil pada cerita ini adalah Veronica. Siswi SMU yang bukan cuma pintar, tapi juga termasuk geng populer di sekolah. Setelah hasil test packnya menunjukkan dua garis biru, Veronica mulai panik. Karena gendong bayi sudah barang tentu bakal mengandaskan kesempatannya untuk kuliah di universitas favorit. Jadi kedua orangtuanya yang penganut taat agama itu tentu tidak boleh sampai tahu. Weekend ini, Veronica nyusun rencana untuk road trip ke kota terdekat yang memperbolehkan aborsi tanpa persetujuan orangtua. Veronica lantas minta dianter sama mantan-sahabat baiknya, Bailey. Keduanya bakal menempuh perjalanan penuh debat konyol dan mereka bertemu dengan banyak orang-orang dengan pandangan yang berwarna-warni, menjadikan weekend itu sebuah petualangan komikal sebelum pagi aborsi.

Cerita aborsi kini lebih ceria dengan lagu Since You Been Gone!

 
Hati dari cerita ini jelas adalah hubungan persahabatan antara Veronica dan Bailey. Bayangkan dinamik antara dua tokoh sentral film Booksmart (2019), Veronica dan Bailey persis seperti demikian, dengan tambahan bumbu mereka berdua kini sudah tak sedekat dulu lagi. Chemistry Haley Lu dan Barbie Ferreira klop banget ngidupin kedua tokoh ini. Veronica-nya Haley digambarkan kontras dengan Bailey-nya Ferreira. Veronica ini kayak tipikal remaja yang sedikit memaksa diri jadi yang terbaik; dia mulai memilih pergaulan seperti dia memilih sekolahnya ke depan, dia clearly careful dan memikirkan masa depan. Sementara Ferreira lebih nyantai dan blak-blakan apa adanya, dia yang gamer itu juga tergolong cupu atau ‘freak’ di mata teman-teman Veronica yang populer. Persahabatan keduanya bakal gampang untuk relate dengan penonton, karena sebagian besar dari kita pasti pernah punya sahabat akrab yang kini hubungan kita dengannya sudah jauh karena perbedaan pandang itu mulai terasa memberikan jarak. Makanya, persoalan Veronica dan Bailey yang kemudian menjadi perlahan akrab kembali – dalam nostalgia masa kecil di perjalanan, mereka seakan sama-sama mengakui saling rindu satu sama lain – akan terasa menyentuh.
Film juga melandaskan bahwa kedua karakter ini punya kesamaan. Jika Veronica punya orangtua konservatif dan merahasiakan ke-geek-an (dan tentu saja kehamilannya), maka Bailey yang dibesarkan oleh single mother juga memendam ‘kejutan’ bahwa dia suka ama cewek. Kedua karakter ini adalah sama-sama wanita muda yang berjuang dalam lingkungan yang masih mengeja mereka harus bertingkah dan bertindak seperti apa. Perjalanan yang mereka lakukan bukan hanya penting karena mendekatkan mereka berdua karena benar-benar memposisikan mereka sehingga kesamaan keduanya mencuat, dan mereka harus worked through that. Menunjukkan support kepada masing-masing, despite their differences.

Itulah yang mendasari gagasan atau tema yang diusung. Bahwa perempuan itu ya sudah seharusnya saling support. Karena merekalah yang biasanya paling gercep merasakan simpati – dan juga karena permasalahan mereka selalu kurang lebih sama. Bailey adalah orang yang paling tepat untuk diminta bantuan oleh Veronica. Bukan semata karena mereka dulunya sobatan. Melainkan lebih karena dua-duanya ternyata berada dalam posisi yang sama. And they surely will get the job done.

 
 
Misadventure mereka menghasilkan banyak cerita yang membuat film ini asik untuk diikuti. Mereka akan bertemu, ditolong, dan disusahkan oleh berbagai karakter dan mereka belajar banyak dari pengalaman tersebut. Terlalu banyak cerita seperti begini kadang membuat kita lupa sesaat bahwa ini adalah perjalanan seorang perempuan muda yang ingin menggugurkan kandungannya. Unpregnant bukan mau menyepelekan soal aborsi. Paling tidak, film ini masih menampilkan prosedur dan syarat-syarat yang beneran berlaku di dunia nyata. Bahwa praktik tersebut memang tidak digampangkan untuk remaja sekolahan seperti Veronica. Cuma memang, sama seperti Never Rarely Sometime Always, Unpregnant pun tidak menjadikan aborsi itu sebagai sebuah keputusan besar yang harus diputuskan oleh Veronica. Dalam film ini, bagi Veronica, jauhnya jarak tempuh dan susahnya untuk ke klinik yang memperbolehkan itu  sudah seperti hukuman. Dan aborsi itu sendiri akan menjadi reward bagi dirinya yang telah belajar banyak dari rintangan alias hukuman-hukuman yang ia tempuh tersebut.

Entah bagaimana ceritanya jadi seolah hamil dan punya anak itu jadi penghalang seorang wanita untuk maju, sehingga setiap wanita berhak untuk aborsi

 
 
Unpregnant menampilan rintangan atau hukuman tersebut dalam wujud yang lucu, yang komikal. Yang unrealistis – kalo boleh dibilang. Misalnya, di satu kota, Veronica dan Bailey menumpang mobil milik pasangan suami istri, yang ternyata mereka adalah golongan pro-life, alias golongan yang tidak setuju dengan praktik aborsi. Oleh film, kejadian dengan pasangan ini dibuat over-the-top. Dibikin seolah mereka adalah pasangan fanatik atau semacam cult freak. Humor yang ditampilkan memang tidak pernah terlalu receh apa gimana, melainkan masih berakar pada emotional feeling yang dirasakan oleh para tokoh. Namun tetap saja, melihatnya sebagai gambar besar, Unpregnant ini tampak seperti petualangan sepihak yang tidak menggali dua sudut pandang terhadap aborsi, melainkan berat ke satu paham dan menjadikan sudut pandang lain sebagai bukan hanya antagonis melainkan juga lucu-lucuan.
Toh ada satu hal menarik yang diangkat oleh Unpregnant, yang menurutku berakhir menjadi bumerang bagi film ini sendiri. Soal laki-laki yang bertanggungjawab atas kehamilan Veronica. Dalam Never Really Sometime Always, tokoh utamanya diberikan backstory kehamilan yang membuat si tokoh ini mau gak mau harus menggugurkan janin. Karena benar-benar sebagai sesuatu yang tidak diinginkan – ada sedikit hint bahwa janin itu adalah buah dari sebuah paksaan dan relationship yang buruk alias toxic. Dalam Unpregnant ini, cerita kehamilannya tidak seperti itu. Veronica, meskipun gak berganti-ganti pasangan, tapi hubungan yang ia lakukan semuanya atas dasar suka sama suka. Namun dia hamil karena kondomnya bocor, cowoknya tahu dan sengaja gak ngasih tahu karena si cowok bersedia bertanggungjawab. Dengan kata lain, kehadiran si bayi tidak akan menjadi masalah, tetapi Veronica tetap ingin menggugurkan karena pertama; punya anak akan berpengaruh kepada statusnya sebagai pelajar top. Kedua; dia gak berencana untuk hidup mengasuh bayi bersama si cowok – film lantas bertindak semakin jauh dengan membuat si cowok ini rada bloon dan jadi bahan candaan.
Ini membuat tokoh utama kita jadi tampak egois, dan agak munafik. Karena plot utama si Bailey adalah soal dia mengunjungi ayahnya, tapi si ayah mengacuhkan dan gak nganggep. Dan Veronica membela Bailey dan langsung memberi pelajaran pada si ayah. Veronica gak sadar, bahwa dengan menggugurkan dia sebenarnya jadi sama dengan ayah Bailey; hanya mementingkan diri sendiri dan cuek sama nyawa yang harusnya jadi tanggungjawabnya. Mestinya cerita film ini lebih berfokus kepada mencari jalan tengah dari semua persoalan aborsi dan bayi itu.
 
 
 
Sajian yang lebih asik untuk ditonton ternyata tidak lantas menaikkan kualitasnya sebagai sebuah film. Jika aku menyebut Never Rarely Sometime Always mirip iklan layanan masyarakat yang serius untuk mendukung aborsi, maka cerita Veronica ini tuh kusebut udah kayak iklan tentang aborsi, yang lucu. Benar-benar tidak ada argumen, selain menunjukkan yang kontra itu sebagai sebuah candaan. Film ini justru bekerja terbaik saat menampilkan dua orang perempuan yang belajar untuk saling support.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UNPREGNANT.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Masih adilkah sesuatu kita sebut sebagai otonomi tubuh atau mengambil keputusan atas tubuh sendiri jika itu ternyata berkaitan dengan hidup orang lain?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

I’M THINKING OF ENDING THINGS Review

“Living in regret will become your biggest regret.”
 

 
Jika kalian berpikir untuk mengakhiri nonton film ini sekarang – yang berarti mungkin kalian bosan mendengarkan percakapan tak-berkesudahan atau bingung menyelami bacaan puisi; JANGAN! Karena walau karya terbaru Charlie Kaufman ini memanglah sangat kompleks, tetapi ini merupakan tontonan yang berakar kepada emosi yang paling manusiawi dari setiap diri kita. Sehingga film ini bisa jadi teman curhat kita yang paling akrab untuk ngobrolin hal yang paling kita takuti; Eksistensi, cinta, dan waktu.
Awalnya film ini seperti sebuah cerita tentang cewek yang ingin mengakhiri relationship-nya yang buruk. Kita mendengar suara hatinya menarasikan betapa dia dan pacarnya, Jake, udah gak semenarik dulu. Dan bahwa ‘dulu’ di sini aja dia udah lupa pastinya kapan. Si cewek merasa hubungan mereka masih lama padahal masih relatif baru; sebegitu jenuhnya dia dengan hubungannya. Dia bermaksud ingin mengakhiri itu semua, setelah perjalanan terakhir (dan pertama) mereka ini. Jake mengajaknya untuk bertemu dengan kedua orangtua Jake. Kita menonton perjalanan mereka, berkendara dengan mobil sementara salju mulai turun di luar. Kita mendengar bincang-bincang mereka – tentang eksistensi, tentang karya-karya klasik, tentang apapun. Ketika sampai di rumah orangtua Jake, keanehan pada kejadian di film ini sudah tidak bisa kita dianapungkiri lagi. Film semakin bernuansa sureal tatkala ibu dan bapak Jake tampil kadang tua, kadang muda, kadang tua lagi. Dan untuk menambah kerutan di jidat kita, film juga semakin sering meng-cutback ke seorang janitor tua yang sedang sendirian di gedung sekolah. Apa hubungannya si Janitor Tua dengan si tokoh cewek dan Jake?

Strangely, film ini membuatku baper

 
 
Di dunia cerita yang seperti mimpi dengan banyak hal yang berubah-ubah dan tak-pasti, justru si Janitor yang muncul sporadik di duapertiga durasilah yang merupakan paling konstan. Ketika Jake kelihatan seperti memiliki sikap yang berganti-ganti, ketika kedua orangtuanya dapat dengan jelas kita lihat berubah seperti meloncati periode waktu setiap mereka muncul, dan bahkan ketika tokoh utama kita dipanggil dengan nama yang berbeda-beda, si Janitor tetap berada di sekolah. Sendirian. Menonton film atau mengamati siswa-siswi. Pada satu momen, kita melihat si Janitor selesai menonton romance-fiksi karya Robert Zemeckis (Kaufman masukin nama Zemeckis di film ini udah kayak kalo Garin bikin film dan di film itu tokohnya nonton film rekaan yang disutradarai Hanung) tentang seorang waitress dan kemudian pada adegan makan malam di rumah keluarga Jake sesudahnya, si tokoh cewek disebutkan bekerja sebagai waitress. Di momen lain kita melihat percakapan yang didengar si Janitor, di-recite oleh dua tokoh lain pada adegan berikutnya. Hal yang dilihat dan didengar oleh si Janitor somehow memiliki efek terhadap kejadian yang dialami oleh tokoh utama dan Jake. Menonton film ini dengan menyadari hal tersebut, akan membuka pemahaman baru pada kita karena bahwa ini film ternyata tidak untuk dilihat luarnya saja.
Penampilan tokoh-tokohnya bisa dibilang horor, karena begitu unsettling dan random dan sureal. Salut sama permainan akting para aktor, mulai dari Jessie Buckley, Jesse Plemons, Toni Collette, dan ‘Remus Lupin’ David Thewlis. Dari segi fungsinya, I’m Thinking of Ending Things dikatakan sebagai film thriller, tepatnya psikologikal thriller karena benar-benar menghantui kejiwaan kita dengan komentar-komentar soal penyesalan dan kesepian. Film ini persis seperti gambaran yang disebutkan oleh si tokoh cewek ketika mendeskripsikan lukisan pemandangan yang ia buat. Meskipun kita tidak melihat dengan langsung ada orang yang sedih atau orang yang menyesal, tapi gambar yang disajikan menghantarkan semua rasa tersebut. Kita disuruh untuk menyelam langsung ke dalam gambar-gambar untuk merasakannya. Salju yang kemudian membadai di malam hari yang gelap dan jalanan-jalanan yang nyaris kosong adalah penanda oleh film bahwa yang kita saksikan ini adalah lukisan yang menyuarakan perasaan kelam, dingin, dan sebuah kesedihan. Dan meskipun  kita boleh saja baper oleh si cewek dan Jake (personally I miss having deep conversations about movies, existence, human, and space with ‘that someone’), tapi sebenarnya si Janitor Tua-lah yang didesain untuk dekat dan mewakili kita.
Si Janitor Tua ini adalah seorang ultimate observer. Selain nonton film, sudah begitu banyak orang yang ia perhatikan. Murid-murid yang tumbuh silih berganti di sekolah itu; dia mendengar banyak, melihat banyak, namun tidak ada yang memperhatikannya. Ketika cerita mengambil panggung di rumah Jake, kita dibawa bertandang ke kamar Jake sewaktu kecil dan kita melihat banyak koleksi film dan buku. Dan bukan hanya itu, di basement ‘terlarang’ rumah itu – di dalam mesin cucinya, kita melihat pakaian dengan logo yang sama persis dengan logo pada seragam si Janitor. Inilah benang merah tak-terbantahkan dari apa yang sepertinya merupakan dua narasi terpisah. Bahwa Jake, orang yang kepalanya penuh oleh pengetahuan tentang karya film dan sastra klasik, dan Janitor Tua, orang yang bertahun-tahun berada di tengah pusaran beragam siswa beserta pengalaman dan cerita mereka, adalah orang yang sama.
Tentu, kita dapat membayangkan seperti apa psyche orang seperti Jake. Kita sendiri juga banyak menonton film dan membaca dan kemungkinan besar sering memperhatikan perilaku orang lain di internet atau secara langsung. Semua yang kita baca/amati dapat dengan mudah menjadi bagian dari imajinasi atau cerita yang kita susun sendiri. Dan itulah yang sebenarnya terjadi pada film ini. Semuanya adalah figmen dari imajinasi karangan Jake si Janitor Tua. Dia sudah melihat terlalu banyak sehingga dirinya bisa menciptakan/mengarang cerita tentang kehidupannya sesuai dengan yang ia mau. Makanya adegan dengan orangtuanya memperlihatkan sosok yang berubah-ubah usia, karena karena Jake membayangkan mereka (atau kejadian tersebut) dalam timeline yang berbeda-beda. Mengapa seseorang mengarang ulang cerita hidupnya di dalam kepala? certainly kita pasti juga pernah merasa menyesal melakukan langkah salah dalam hidup dan berandai ‘bagaimana jika saat itu aku begini’. Dalam kasus si Jake ini, kita harus mempertanyakan bagaimana bisa orang yang berwawasan luas seperti Jake bisa berakhir jadi tukang sapu aula? Nah, di sinilah letak penyesalan tersebut.
Penyesalan dapat menghantui hidup kita dalam berbagai rupa. Kita bisa menyesali perbuatan yang telah dilakukan atau menyesali keputusan yang dibuat. Rasa sesal itu juga bisa datang dari sesuatu yang urung kita lakukan, dari kesempatan yang tidak kita ambil. Kita juga menyesal akan sesuatu bagian dalam hidup kita yang sudah usai. Dan terakhir sesal itu datang dengan sangat pahit saat kita rasa dunia ternyata tak seindah yang kita bayangkan. Mengemban keempat jenis penyesalan ini akan membuat hidup sengsara, seperti yang dialami oleh Jake. Dari kejadian di film ini – kejadian karangan Jake tentang sebagaimana mestinya hidupnya – kita bisa menyimpulkan Jake menyesal tidak pernah berani untuk punya pacar, menyesal belum bisa membahagiakan orangtua, menyesal gagal secara karir, dan dia jadi bitter terhadap dunia yang mengacuhkannya.

Jake tidak menyadari ada sesal kelima; yakni hidup bergelimang penyesalan tersebut. Alih-alih memperbaiki hidup, dia malah mengarang cerita dalam kepalanya. Cerita yang sama seperti jalanan bersalju itu. Sempit, dan tak membawa hidupnya ke mana-mana. 

 

Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna

 
Dengan keunikan bahwa ternyata tokoh utama kita adalah bagian dari imajinasi alias seseorang yang tidak nyata, maka dapat dimaklumi jika ada dari kita yang merasa terkecoh oleh film ini. Kirain film tentang bad relationship ternyata film tentang cowok yang gak bisa move on dan kesepian seumur hidup. Things yang ingin diakhiri itu ternyata bukan hubungan pacaran, melainkan sesuatu yang lebih kelam lagi, tergantung dari interpretasi kita. Kaufman sepertinya memang ingin mendobrak struktur tradisional film, tapi tetap saja sineas sekaliber dirinya (mungkin secara tidak sadar) tidak tega merusak kaidah film. Tokoh si cewek diberikannya keinginan dan kendali atas diri. Tokoh ini seperti konsep yang lebih kuat daripada karakter di The Lego Movie (2014) – film itu sangat menarik membuat tokoh utama yang beraksi dan punya free will padahal ternyata mereka tetap saja dimainkan oleh orang lain. Bedanya adalah si cewek ini didesain Kaufman bergerak dengan kemauan sendiri yang merupakan refleksi dari sisi lain Jake. Konsep ini menguatkan konteks dengan sangat hebat. Karena sekarang yang kita lihat sebenarnya itu adalah Jake mengobrol sendiri di dalam kepalanya. Tempat yang seharusnya dia jadi bintang utama – kita melihat dia sampai membayangkan dirinya mendapat award di akhir cerita – tetapi dia tetap ‘dikalahkan’ oleh si cewek; yang notabene adalah tokoh imajinasinya.
Ini mungkin adalah gambaran konflik personal terhebat yang pernah kita lihat di dalam medium film. Kontemplasi karakter benar-benar dimekarkan menjadi fantasi sureal yang tak menye tapi begitu kuat menghantarkan kita ke dalam dinginnya perasaan sedih. Karakter yang ‘kalah’ dengan kepalanya sendiri, menandakan akhirnya dia menemukan kedamaian dan melepaskan sesalnya (walaupun sesaat). Kalo disangka terlalu rumit membayangkan si cewek dan Jake sebenarnya adalah Jake yang berdebat dirinya sendiri yang melihat dari sisi lain, bayangkan saja adegan ketika cewek dan Jake membahas film, namun si cewek bahasannya lebih ‘benar’ ketimbang Jake. Ini kayak kita mau nulis tapi ternyata hasil di dalam kepala jauh lebih bagus ketimbang hasil beneran haha..
 
 
 
So yea, aku gak akan bahas film ini poin demi poin, maksud per maksud, simbol ke simbol. Sebagian karena sutradaranya udah keburu buka kartu. Namun sebagian besar karena menurutku film ini adalah bincang-bincang yang perlu untuk ditonton langsung oleh kalian. Karena film ini sebenarnya bukan soal apa yang sebenarnya terjadi, melainkan perasaan apa yang dihantarkan olehnya. Dan Kaufman, di balik sureal dan teka-teki dan puisi dan reference ke berbagai film, berhasil. Di menit tokohnya mulai ngobrol dengan pikirannya saja, aku sudah tertarik, dan lantas baper saat tokohnya ngobrol berdua. Jadi aku penasaran, rasa apa yang mungkin muncul dari penonton-penonton lain. Struktur naskah bisa jadi memang diabaikan oleh pembuat yang lebih tertarik pada konstruksi visual film adaptasi ini (ratio 4:3 digunakan supaya perhatian kita lebih terfokus), tapi masih bisa ‘worked’ karena sangat efektif dan konsisten dengan konteks gagasan yang ingin disampaikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for I’M THINKING OF ENDING THINGS.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Salah satu dialog dalam film menyebut bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang sadar dirinya akan mati, sehingga manusia menciptakan harapan. Tapi dengan berharap, kita jadi bisa kecewa. Dan kemudian memilih untuk mengakhir semuanya sekarang. Bagaimana pendapat kalian tentang harapan dan penyesalan itu sendiri? Bagaimana kalian cope up dengan perasaan menyesal? Bisakah kita hidup tanpa ada rasa menyesal?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE SECRET GARDEN Review

“The grass is greener where you water it.”
 

 
Bagi yang belum pernah menonton versi jadulnya (1993), seperti aku, menemukan kebun rahasia untuk pertama kalinya dalam adaptasi terbaru dari cerita klasik karangan Frances Hodgson Burnett serta merta akan menjadi perjalanan magis yang terasa sangat ‘menyembuhkan’. Terlebih karena film ini hadir di waktu yang tepat. The Secret Garden selalu adalah cerita yang sangat menghargai imajinasi, dan sutradara Marc Munden paham akan hal tersebut. Cerita yang digarapnya kali ini tetap mempertahankan pesona aslinya, tapi dikaitkan sedemikian rupa sehingga beresonansi dengan keadaan kita sekarang. Oleh Munden, cerita ini diracik sehingga punya kemampuan untuk mengobati perasaan kesepian dan terisolasi yang dirasakan oleh banyak penonton sekarang ini melalui kekuatan imajinasi yang dimiliki oleh anak-anak.
Setia dengan materi aslinya, film ini mengisahkan seorang anak perempuan Inggris bernama Mary, yang jadi yatim piatu ketika kedua orangtuanya meninggal karena kolera. Dari kediamannya di India, Mary dibawa ‘mudik’ untuk tinggal di rumah besar bersama pamannya. Rumah yang seperti istana itu tidak ada bedanya dengan penjara bagi Mary yang aslinya adalah anak gedongan dan yah, sedikit manja. Sisa-sisa perang dan kemuraman menjalar pada dinding-dindingnya. Mengurung Mary dengan segudang peraturan, yang tak pernah alpa diingatkan secara ketus oleh ibu pengurus rumah. Mary tidak diperkenankan jalan-jalan sembarangan. Namun tentu saja hal tersebut bukan masalah bagi Mary. Sesi eksplorasinya setiap hari membuat Mary bertemu dengan sepupunya yang gak boleh keluar kamar karena sakit. Membawa Mary kepada pengetahuan baru tentang keluarganya. Dan membuatnya menemukan sebuah taman ajaib, yang tentu saja merupakan obat dari penyakit yang diderita bukan saja oleh sepupunya itu, melainkan juga seluruh penghuni rumah termasuk Mary sendiri. Asalkan mereka memanfaatkannya dengan tepat.

Anu.. ini aku gak nyasar ke film Tall Grass atau ke labirin Alice kan?

 
Kedengarannya memang depressing. Film ini punya dunia cerita yang cukup dewasa (kalo gak mau dibilang dark) untuk anak-anak. Mary bukanlah tipe princess yang patuh dan polos. Dia nyebelin, ngebos, gak mau dilarang, dan saking manjanya dia minta dipakaikan baju kepada pengurus rumah, “Kukira kalian akan melayaniku” tudingnya kepada pengurus yang datang mengantarkan sarapan. Dan btw, Mary gak suka sarapan bubur! Tapi karakternya ini ditulis demikian bukan tanpa sebab. Karakter Mary berkaitan erat dengan hubungannya dengan ibu yang telah tiada. Yang terjadi di situlah yang cukup gelap untuk konsumsi anak-anak. Mary adalah seorang anak yang tumbuh dengan percaya bahwa ibu tidak suka dengannya, dan bahkan bahwa dirinyalah penyebab ibunya meninggal. Mary is one scarred-character yang kini tak punya siapa-siapa sehingga dia harus membenahi dirinya sendirian. Dan dari keadaan itulah muncul kekuatan tokoh ini, yang me-redeem tokohnya menjadi panutan bukan hanya anak-anak melainkan juga orang dewasa.
Mary yang menemukan Kebun Rahasia adalah simbol dari penyembuhan diri sendiri. Dia melambangkan perjuangan untuk mengubah diri dan tidak menanggalkan harapan. Gadis cilik ini – dimainkan dengan teramat tangkas oleh Dixie Egerickx – hanya punya satu defense-mechanism, yakni imajinasinya. Melalui tokoh ini, film meminta kita untuk turut seperti Mary. Untuk kreatif dan menjadikan imajinasi bukan hanya sebagai eskapis, melainkan juga sebagai sumber kekuatan. Naskah juga tidak menahan apapun, Mary yang punya ketertarikan dengan buku dan cerita itu ditempatkan dalam keadaan yang begitu suram; di rumah besar pamannya mimpi-mimpi Mary selalu terganggu, dan yang ceria itu enggak pernah sampai happy ending. Inilah yang mendorong Mary untuk melangkah keluar. Melawan ketakutannya akan tempat yang luas, sesosok anjing misterius, dan akhirnya menemukan Kebun Rahasia. Yang merupakan reward dari tindakannya yang tidak menyerah dan terus berusaha mencari ‘kesembuhan’ yakni penghiburan diri dari kesepian.
Paruh pertama yang punya tone seperti kakak-beradik dengan Pan’s Labyrinth (2006)-nya Guillermo del Toro seketika berubah menjadi menakjubkan dan literally cerah begitu Mary menemukan Kebun Rahasia. Tone cerita juga bergeser, kini menjadi penuh harapan sesuai dengan tokohnya yang optimis bahwa Kebun ajaib itu bisa membantu mereka. Dalam film ini sensasi eksplorasi lewat mata anak kecil terasa menyelimuti hingga nyaris keseluruhan narasi. Antara lorong-lorong gelap mencari keberadaan suara, hingga menemukan ruang rahasia, ke menyusur warna-warni hutan dan bertualang mencicipi kemagisan yang ditawarkan – mau tak mau kita turut merasakan petualangan dan keajaiban tersebut. Dan aku suka cara film ini memvisualkan keajaiban Kebun itu. Kita akan melihat daun-daun pepohonannya yang berubah warna sesuai tiupan angin. Tanaman yang membentuk formasi indah. Bukan hewan-hewan yang datang bermain bersama Mary, pada satu adegan diperlihatkan pohon menjulurkan ranting-rantingnya untuk membantu Mary yang sedang memanjat. Di atas kertas, Kebun tersebut punya khasiat menyembuhkan. Pada layar, di samping memperlihatkan penyakit yang sembuh setelah berkunjung ke sana, secara feeling kita merasakan ‘kesembuhan’ yang sama, dengan perubahan tone dan visual yang disajikan. Perlakuan terhadap Kebun itu rupanya adalah hal berbeda yang ditambahkan oleh sutradara. Kebun itu juga berhubungan dengan ibu Mary dan ibu sang sepupu, dan film ini punya cara tersendiri untuk menjalin di antara keempat elemen tersebut, yang menambah depth misteri dan backstory.
Bukit berbungaa, lukisan nirwanaa

 
Belakangan, ketika pertanyaan pada naskah berkembang dari Mary yang sudah menemukan kesembuhan menjadi bagaimana Mary bisa membawa penyembuhan kepada orang lain, sepupu Mary turut menjadi perlambangan dari kesembuhan diri. Lewat tokoh anak cowok yang nelangsa karena merasa dirinya sakit dan gak bisa berjalan itu film membawa pesan bahwa kesembuhan kita tidak bergantung kepada orang lain. Kitalah yang menjadi penentu, dan akhirnya mengundang keajaiban kepada diri sendiri.
Menonton film ini di kala pandemi, however, kita sebaiknya menjaga untuk tidak tersesat dalam sulur-sulur hiburan. Meskipun dalam film ini yang diperlihatkan adalah bagaimana tokoh yang terkurung akan merasa dirinya tak-bisa-sembuh, dan yang ia butuhkan adalah berani keluar dan menemukan Kebun Rahasia yang terletak di luar, kita tidak bisa langsung menafsirkannya sebagai lockdown di rumah gak sehat dan justru harus keluar beraktivitas seperti biasa. Karena sebenarnya ini bukan persoalan tempat, melainkan soal kebun itu sendiri. Kebun itu adalah tempat Mary dan sepupunya merasa paling dekat dengan ibu masing-masing; kebun itu adalah perwujudan dari apa yang mereka rasakan, bisa dibilang sebagai jiwa mereka. Tempat itu bisa saja adalah kamar berisi barang-barang peninggalan yang Mary temukan, jika Mary dan sepupunya juga memupuk harapan di sana. They simply just choose outside. Ke tempat yang lebih bersejarah bagi ibu mereka. Magic literally ada di sana, tapi tidak berarti Mary dan sepupunya tidak bisa memperoleh kesembuhan di tempat lain, malah tetap saja magic kebun itu butuh ‘persetujuan’ dari mereka seperti yang kita lihat pada sepupu Mary, who just don’t believe and don’t want it in the first place.

Antara berkubang di kesuraman sendiri atau ‘mengeluarkan diri’ dan mencari kesembuhan; sesungguhnya adalah keputusan kita. Yang ditumbuhkan di sini adalah harapan, yang disiram di sini adalah semangat untuk hidup. Bukan tindakan untuk keluar secara harafiah, melainkan keluar dari tidak melakukan apa-apa. Kita cuma perlu untuk tetap menyiram dan menumbuhkan.

 
 
Buatku, film ini tidak segelap Pan’s Labyrinth yang hingga hari ini masih tetap satu-satunya film yang berhasil membuatku menitikkan air mata. Film ini memang berawal dengan suram dan depressing, tapi ceritanya akan menjadi terasa melegakan dan menyembuhkan kita secara emosional. Film ini berakhir dengan membuat semangat dan harapan kita membumbung tinggi. But also, dari perspektif penulisan naskah, film ini kayak sedikit membimbing kita ke arah yang salah, membuat kita menunggu sesuatu yang tidak pernah datang karena ceritanya sama sekali enggak segelap itu. Sepuluh menit pertama yang menyedihkan itu membuat kita sedikit mengharapkan sesuatu yang lebih kelam bakal terjadi. Mood-nya sudah diset ke arah yang kelam, tapi ternyata film ini berakhir ceria. Bukan kesalahan pada ceritanya, hanya saja menurutku seharusnya penyesuaian bisa dilakukan dengan lebih baik lagi, sehingga materi ini bisa lebih fit ke dalam bentuk penulisan film. With that being said, I still think film ini adalah sajian positif yang menyejukkan. Karena di hari-hari ini kita butuh sebanyak-banyaknya keajaiban yang bisa kita dapatkan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE SECRET GARDEN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Jika kita bisa punya Kebun Rahasia masing-masing, seperti apa kebun imajinasi kalian? Kekuatan apa yang dimiliki oleh kebun tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

AN AMERICAN PICKLE Review

“It isn’t really about becoming rich or famous; It is about things much simpler and more fundamental than that.”
 

 
 
‘American Dream’ bagi orang Amerika bukan sekadar angan-angan di siang bolong. Melainkan adalah harapan akan kehidupan yang lebih baik. Mimpi tersebut telah terwariskan dari generasi ke generasi. Para orangtua membanting tulang membuka peluang bagi anak-anaknya, dan anak-anak yang sukses tidak akan melupakan darimana mereka berasal. Semua itu dijamin oleh tanah Amerika yang menjanjikan kesempatan tak-terbatas yang sama untuk semua orang, tidak peduli siapapun mereka. Kesempatan yang tidak terbatas pada mencari kekayaan saja, tapi juga kebutuhan sosial seperti demokrasi dan kebebasan bersuara.
Gagasan atau konsep American Dream itu lantas dibawa oleh sutradara Brandon Trost (yang mengadaptasi cerita pendek bertajuk Sell Out) ke ranah komedi sebagai satir dirinya terhadap bagaimana American Dream kini di tengah-tengah bangkitnya budaya baru di negara tanah airnya.
Premis umum dari film ini adalah soal tua melawan muda. Aliran kuno melawan mentalitas kekinian yang katanya serba open-minded. Bahan utama komedinya adalah seorang buyut yang pekerja keras, giat untuk mengubah nasib dari penggali parit, pindah ke Amerika mencari sesuap nasi dan secuil kesempatan baru (dan seteguk air karbonasi) supaya anak cucunya bisa punya tanah sendiri dan jadi orang terpandang. Pretty much semua ayah (atau malah orangtua) berkeinginan seperti Herschel Greenbaum tersebut. Namun tidak semua ayah bisa seberuntung Herschel. Eh, beruntung atau sialkah namanya jika kau tak sengaja tercebur di gentong produksi acar/asinan dan ikut terawetkan bareng mentimun-mentimun? Yang jelas, itulah yang persisnya terjadi pada Herschel. Dia terbangun seratus tahun kemudian, dan bertemu dengan cicit entah lapis keberapanya, Ben Greenbaum. Herschel lantas menemukan bahwa di dunia yang sudah maju, American Dream-nya ternyata belum benar-benar terwujud. Malahan bisa saja gatot karena Ben sepertinya sudah jauh melenceng dari tradisi keluarga, hingga ke titik Herschel harus bersaing bisnis dengan keluarga satu-satunya tersebut.

“I’m Pickle Rick!!”

 
Memainkan lebih dari satu tokoh dalam sebuah film bisa jatoh antara dua hal; sulit karena membutuhkan jangkauan rentang akting yang luas, atau jadi penampilan yang konyol karena tidak jarang dua tokoh atau peran tersebut diniatkan sebagai komedi. Target An American Pickle boleh jadi pada film lucu-lucuan, akan tetapi penampilan akting Seth Rogen yang didaulat memainkan Herschel si immigran Yahudi sekaligus Ben, keturunan milenialnya, cukup kuat sehingga mampu membuat kita menoleh dua kali dan tidak meng-overlook-nya completely. Memang sih, oleh Rogen, Herschel dan Ben pembedanya paling utama adalah di janggut dan aksen. Kita tidak akan melihat Herschel sebagai tokoh yang berbeda dari kebanyakan peran Rogen sebelum ini, I mean, Rogen enggak menyelam sempurna menjadi tokoh baru. Kita masih melihat Herschel sebagai Seth Rogen berjanggut. Dan Ben sebagai Seth Rogen versi nerd – yang lebih ‘jinak’ alias less-high dan less-vulgar. Tapi, justru memang itulah poin dari cerita ini.
Herschel dan Ben deep inside adalah pribadi yang sama. Buah tak jauh jatuh dari pohonnya, kata pepatah. Bukan saja mereka sama-sama tergila sama air seltzer. Mereka mirip dalam banyak hal. Mulai dari busuk hatinya, hingga ke hal-hal baik, terutama soal cinta ama keluarga. An American Pickle berpondasi pada interaksi dua karakter ini. Dan dengan konflik yang bersumber dari dua orang yang belum saling mengenal tersebut, film ini sebenarnya adalah tipe film yang ‘ceritanya bakal cepat beres jika tokoh-tokoh yang berkonflik bener-bener ngobrol sedari awal’. Untungnya, film ini tidak pernah terasa annoying, ataupun membuat kita pengen ceritanya udahan aja hanya karena kita tahu permasalahan mereka yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena film menggali seteru kedua tokohnya lewat rangkaian kejadian atau ‘kontes’ yang menarik. Yang berdasarkan kepada perbedaan dua generasi memandang dunia. Bagaimana cara tradisional berusaha mencari sukses di lapangan modern, dan sebaliknya, film juga menunjukkan bagaimana pandangan kekinian bisa sangat menjatuhkan cara pandang yang konvensional.
Kita akan melihat Herschel menjual acar timun yang lantas jadi viral karena generasi sekarang demen sama yang vintage. Film mengomentari soal tren masa kini, di mana seseorang bisa dengan gampang melejit setelah mendapat pengakuan dari sosial yang menyebar lewat sosial media. Bagaimana seseorang dapat menjadi sensasi atas hal biasa. ‘Mudah’nya menjadi terkenal dan kaya diperlihatkan sekonyol itu. Lalu sebaliknya, juga diperlihatkan semuanya gampang sirna karena dunia sekarang menuntut political correctness, yang bisa dieksploitasi dan punya ekstrimitas yang sama konyolnya. Sebut pendapat yang di mata publik bertentangan, komen sesuatu yang menyinggung, niscaya kau viral juga tapi habislah sudah. Yang sebenarnya dilakukan oleh film ini adalah mengomentari perihal kedudukan American Dream di tengah Amerika modern yang mulai giat oleh aksi-aksi Cancel Culture. An American Pickle, lewat Herschel yang tradisional – yang kalo ngomong kadang masih kuat rasis dan homophobic dan merendahkan wanita –  membuka ruang kontemplasi kepada penonton bagaimana kita menginginkan kebebasan untuk memenuhi diri, tapi di saat yang bersamaan kita juga dengan gampang menutup dan ‘mematikan’ orang lain.

Semua itu sepertinya karena American Dream itu sudah seperti acar/asinan. Mengendap terlalu lama di larutan, sehingga berubah rasanya. Alias, istilah tersebut sudah salah kaprah. Sebenarnya bukan soal menjadi kaya atau terkenal, melainkan soal sesuatu yang lebih sederhana. Soal keluarga sejahtera. Soal bermasyarakat yang maju bersama.

 
 
Bagi Rogen, kedua perannya ini praktisnya adalah persoalan dirinya menggali personanya lewat dua kacamata yang berbeda. Rogen harus meletakkan mindsetnya dalam tubuh dan kelakukan dan aksi generasi kuno seperti Herschel, dan di lain kesempatan memindahkan mindset tersebut ke kelakukan milenial. Walau dalam film kita sering melihat Herschel face-to-face dengan Ben, dan kamera berpindah seolah Rogen harus berakting secepat memindahkan sakelar on/off – dalam hal ini Herschel/Ben, kita tahu besar kemungkinan proses syutingnya tidak demikian, namun itu tidak mengecilkan tantangan peran yang dilakukan oleh Seth Rogen. He still needs to reach deep onto his characters, dan berhasil menempuh rentang tersebut dengan baik. Dari penampilannya sebagai Herschel dan Ben itulah candaan dihadiahkan kepada kita. Lewat dialog, maupun lewat tindakan ‘fish-out-of-water’ Herschel dan reaksi Ben terhadapnya. Film ini cukup bijak untuk tidak membuat komedi lebay dari beda zaman yang dirasakan oleh Herschel. Melainkan berfokus pada usaha Herschel mengejar ketertinggalan dan beradaptasi dengan zamannya.

Ol’ boomer versus millennial

 
 
Tapi terkadang kita perlu untuk diingatkan kembali pada premis komedi ini. Ekstrim itu kadang menghilang dari narasi, membuat pada beberapa bagian film terasa seperti takut untuk menjadi dirinya yang paling maksimal. Dengan hanya sedikit memperlihatkan keterkejutan Herschel pada teknologi-teknologi baru yang ia lihat dan harus gunakan, misalnya, membuat kita lupa dia berasal dari satu abad yang lalu. Interaksinya dengan Ben jadi tidak banyak bedanya dengan interaksi ayah dan anak yang biasa. Padahal mereka lebih dari itu.
Pada bagian resolusi cerita seperti mengarah kepada kepercayaan, alias agama, karena Dream dan film ini juga adalah tentang menjaga tradisi dan tidak melupakan akar keluarga. Namun film sepertinya ragu untuk menyentuh itu. Memperlihatkan tapi kemudian mengembalikan cerita ke ranah penyelesaian sesimpel ‘keluarga adalah sama’. Di pertengahan juga misalnya, ketika kita berpikir cerita akan bisa meledak dengan penggalian yang cukup kontroversial – politisi yang ngomong kasar – tapi ujungnya malah langsung diberangus. Sudut pandang Ben juga tidak pernah benar-benar diperkuat dari dua sisi, kita kebanyakan hanya memandang dia sebagai ‘antagonis’, lalu kemudian jadi baik, yang seharusnya film ini berada dalam kapasitas membuat Ben juga sama-sama mengundang simpati. Akan ada aksi Ben yang hanya terlihat culas, dan ini bertentangan dengan gagasan film. Kita harusnya diperlihatkan alasan Ben sedari awal, untuk memunculkan dramatic tensi setiap kali mereka bersaing. Karena kita paham cerita ini bukan tentang siapa yang menang di antara mereka, jadi usaha film memfokuskan kita ke sana seharusnya bisa diperkecil dan fokus memperbesar perbedaan-perbedaan yang seolah semakin menjauhkan mereka. Barulah nanti pembelajaran tokohnya bahwa mereka sama itu terasa maksimal emosional.
 
 
 
 
Bayangkan ketemu keturunanmu dan melihat dunia sudah berkembang, tapi kau merasa keluargamu berjalan di tempat. Terbaik film ini datang dari benturan dua karakter beda generasi, yang mencoba untuk memasukkan pemahamannya, dan dua karakter itu dimainkan oleh satu orang. Drama dan komedi dari elemen tersebut mampu membuat film ini jadi menyenangkan untuk disimak. Kemudian film ini memindahkan fokus pada kejadian demi kejadian, tapi tidak pernah dibuat maksimal. Film ini ingin memperlihatkan tantangan mewujudkan American Dream di dunia dengan cancel culture, sayangnya film tidak berani untuk tampil total dalam membahas ini. Sehingga satirnya kurang terasa.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for AN AMERICAN PICKLE.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang ‘Cancel Culture’? Apakah itu melanggar kebebasan orang dan merusak demokrasi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

THE OLD GUARD Review

“The key to immortality is first living a life worth remembering”
 

 
 
Jika ada yang bisa mengalahkan sensasi surprise dikasih tahu oleh raksasa bahwa kita sebenarnya adalah penyihir, maka itu adalah sensasi mengejutkan saat Charlize Theron datang ke hadapan kita dan memberitahu bahwa kita sesungguhnya adalah immortal. Kalian yang tidak bisa membayangkannya, silakan tonton film aksi-fantasi terbaru, The Old Guard di Netflix. Karena peristiwa itulah yang persisnya terjadi kepada tokoh Nile di film tersebut.
Nile adalah tentara wanita yang sedang bertugas menangkap teroris di Afganistan. Dia terluka parah saat menjalankan misi tersebut. Namun ajaib, dia sembuh total. Luka tebas di lehernya hilang. Kini yang membekas pada diri Nile adalah selayang mimpi tentang sekelompok orang. Kelompok yang keesokan hari datang menjemput dirinya. Dipimpin oleh Andy, cewek berambut bondol yang tangguh banget, kelompok yang beranggotakan empat orang itu memperkenalkan diri sebagai sesuatu yang sukar dipercaya oleh Nile. Mereka semua tidak bisa mati, meski dalam kondisi luka yang paling fatal sekalipun. Dan kini Nile, somehow, menjadi sama seperti mereka. Nile diajak bergabung ke dalam barisan mereka, yang selama beratus-ratus tahun ini mendedikasikan diri untuk memberantas kriminal, secara rahasia. Dan sementara Nile memutuskan untuk menerima ajakan Andy dan kawan-kawan, seorang bos perusahaan farmacy gede di London ternyata telah mengendus keberadaan mereka. Andy dan teman-teman dijebak, mereka hendak ditangkapi untuk dijadikan subjek penelitian. Keabadian mereka akan diteliti, diekstrak kalo bisa, dan tentu saja diuangkan dengan dalih demi kebaikan seluruh umat manusia.

Basically mereka adalah Deadpool, tanpa rasa humor.

 
 
The Old Guard garapan Gina Prince-Bythewood ini ditulis langsung oleh penulis komik/graphic novel yang jadi sumber adaptasinya. Jadi film ini menjanjikan hal yang selalu ditagih oleh fans komik/buku yang diadaptasi ke layar lebar; kesetiaan dengan sumbernya. Aku belum pernah membaca komik The Old Guard, tapi begitu selesai menonton film ini aku bisa menebak cerita ini punya banyak penggemar, dan penggemar tersebut sepertinya bakal puas luar biasa dengan film ini. Karena The Old Guard bukan sekadar tontonan dengan karakter yang menarik dan punya aksi stylish yang berwarna merah oleh darah. Melainkan juga sebuah cerita yang mau meluangkan waktu untuk mengembangkan tokoh-tokoh tersebut, mengeksplorasi drama yang dimiliki oleh karakternya.
Sementara Nile si anak baru yang diperankan dengan matang oleh KiKi Layne bertindak sebagai perpanjangan kita yang awam terhadap dunia cerita, pusat cerita ini ini sebenarnya ada pada Andy. Si tentara immortal paling tua di antara mereka. Wanita ini sudah melewati begitu banyak pertempuran. Begitu banyak kehilangan. Begitu banyak luka. Sehingga konflik dan emosi cerita sebagian besar berasal dari tokoh yang diperankan dengan sangat badass oleh Charlize Theron ini. Kamera akan sigap menangkap momen-momen berharga tersebut. Lingering ke wajah Theron setiap kali tokoh Andy terdiam, entah itu terkenang akan kesedihannya terhadap seorang sahabat jauh di masa lalu, atau berkontemplasi mengingat waktu-waktu yang telah ia lalui dan kebimbangan akan waktu yang akan datang. Dengan muatan drama karakter yang sudah eksis begitu lama, serta dunia yang punya mitologi dan aturan main sendiri, film ini punya banyak paparan yang harus dibeberkan kepada kita. Sutradara Prince-Bythewood menghandle ini dengan cukup bijak. Ia tidak melakukannya dengan terburu-buru. Eksposisi tidak dihadirkan sekaligus. Akan tetapi, dia mengungkap semua dengan perlahan. Menggunakan momen-momen tenang di antara aksi-aksi untuk membuat kita sedikit lebih dekat dengan para tokoh.
Ketika berbicara, film ini memang tidak banyak berbeda dari film-film sebelum ini yang mengusung konsep karakter yang tak-bisa-mati. Permasalahan yang diangkat enggak jauh dari seputar beban moral hidup melampui orang-orang tersayang. Yang dibahas adalah pertanyaan apakah keabadian itu adalah kutukan atau anugrah. Dan jika itu anugrah, apakah tidak lebih baik untuk dibagikan kepada orang lain. Dalam keadaan terbaiknya, film dapat menantang penonton dengan persoalan tersebut. Keadaan terbaik ini tentu saja dapat tercapai dengan menghadirkan antagonis yang berbobot; yang punya lapisan dan tidak berlalu satu dimensi. Sayangnya, The Old Guard belum mampu mencapai keadaan terbaik tersebut. Karena tokoh penjahat utama yang dimiliki oleh cerita actually adalah bagian terburuk dari film ini. Pemimpin Pharmacy yang diperankan oleh Harry Melling (Dudley Dursley!) ditulis terlalu komikal, bahkan untuk villain cerita buku komik seperti ini. Elemen menangkap manusia untuk dijadikan subjek percobaan alias untuk disiksa terasa tidak terlalu klop dengan permasalahan emosional yang ditanamkan kepada tokoh-tokoh protagonis. Membuat film jadi sedikit terlalu klise. Pembicaraan yang cukup baik dilakukan oleh film ini adalah ketika memasukkan bahasan tentang LGBT; yang agendanya tidak terasa annoying melainkan pure diversity karakter.

Lewat Nile yang belajar banyak dari Andy, film membawa obrolan soal pilihan dalam mengisi hidup. Dengan umur sepanjang itu, sepenuhnya keputusan mereka untuk mau ngapain aja. Yang lantas membuat kita berpikir; bahwa sesungguhnya setiap manusia, bahkan kita, bisa menjadi abadi. Persis seperti Andy. Ya, melalui apa yang kita kerjakan. Jika kita hidup dengan berguna bagi banyak orang, jasa kita akan tetap hidup bersama mereka hingga generasi ke depan. 

 
 
Ketika berbicara lewat aksi, film ini menjadi semakin menarik. Pertarungan favoritku adalah pas adegan berantem di dalam pesawat. Di situ Andy bener-bener kelihatan ‘dewa’ banget. Kemampuan berakting action Theron sepertinya memang sudah demikian terasah, dan film mengetahui ini. Menggunakan talenta Theron dengan maksimal. The Old Guard punya desain aksi yang unik untuk keempat tokoh mercenary immortal tersebut. Karena mereka sudah bertempur bersama selama berabad-abad, bukan saja mereka jago pakai senjata apapun, mereka sendiri juga bertindak seperti satu senjata. Koreografi adegan penyerbuan oleh mereka terasa fresh untuk dilihat karena menghadirkan banyak kombo atau kerja sama unik. Serangan grup mereka begitu taktis dan efektif. Namun sayangnya kerja kamera seringkali tidak seefektif itu. Hampir seperti kamera tidak sanggup mengimbangi ataupun memenuhi konsep yang dituju oleh koreo. Karena yang kita lihat adalah seringkali shot yang terlalu goyang dan berjarak terlalu jauh. Sehingga alih-alih kita seperti berada in-the-moment, kita malah terasa seperti mengintip dari kamera bystander yang memfilmkan keributan yang mereka lihat.
Pemilihan musik latar juga tidak membantu untuk menguatkan suasana yang imersif. Bukan karena musiknya jelek. Melainkan karena gak cocok. Film ini menggunakan musik pop elektronik pada adegan-adegan yang intensitasnya krusial. Misalnya, tokoh yang sedang bingung atas apa yang terjadi pada tubuhnya, dia lantas pasang headset dan kita mendengar musik pop itu. Atau ketika tokoh kita bersembunyi siap menyergap rombongan penyusup, lagu pop elektro itu lantas diputar oleh film. Yang membuat kita terlepas dari adegan itu sendiri karena suasananya memang gak cocok.

Pengen immortal membuat kita jadi immoral

 
Tensi dan intensitas cerita turut melonggar ketika kita sudah mengestablish tokoh-tokoh ini enggak bisa mati. Berkali-kali kita melihat mereka tewas mengenaskan, lalu hidup lagi. Tidak ada lagi ancaman bagi mereka. Film menyadari hal ini dan cerita kemudian berbelok dengan menyebut bahwa para immortal itu sesungguhnya bisa mati. Keabadian mereka ada batasan, hanya saja terjadi dengan random. Dan itulah masalahnya; random. Tentu, kini kita jadi lebih greget menonton karena sudah ada yang dikhawatirkan dari mereka. Tapinya juga terasa jadi jalan yang mudah bagi film. Mitologi immortal mereka ini mestinya bisa dieksplorasi lagi. ‘Aturan’nya mestinya bisa diperjelas. Karena mengundang banyak pertanyaan selain kenapa random. Seperti; apa mereka masih bisa hidup kalo dibom dan hancur berkeping-keping, apa mereka bakal jadi membelah diri – dari setiap serpihan muncul sosok baru, atau mereka kayak Buu – serpihannya menggumpal membentuk tubuh mereka kembali. Atau apakah Nile baru sekarang jadi immortal, atau apakah sudah dari dulu dan dia baru tau. Actually, film ini mempertanyakan hal tersebut lewat salah satu tokoh. Namun tidak ada jawaban. Aku yakin mitologi immortal ini, pertanyaan-pertanyaan yang dibiarkan ngambang di film ini, semua ada penjelasannya. Hanya saja karena ini diniatkan sebagai film seri petualangan, alias bakal ada sekuel, maka pembuatnya sengaja gak membahas banyak dan ini membuat film ini jadi kurang tight penceritaannya.
 
 
 
Waktu, berharga karena ada batasnya. Tokoh-tokoh dalam film ini pada akhirnya belajar akan hal tersebut. Sementara film ini sendiri memang berusaha mengisi durasi dua-jam miliknya yang berharga itu dengan semaksimal mungkin. Mereka berhasil membuat ini jadi tidak membosankan. Tidak menjadi berat oleh eksposisi. Namun juga jadi kurang nonjok karena ada beberapa hal yang kurang dieksplorasi. Dengan dugaan sengaja untuk jadi bahasan di film berikutnya. Membuat film menjadi tidak sespesial yang seharusnya ia bisa. Untungnya film ini cukup menyenangkan, karakter-karakternya bisa kita pedulikan, sehingga aku cukup penasaran sama kelanjutan ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE OLD GUARD.

 

 
 
That’s all we have for now.
Jika kita tidak bisa mati, akankah kalian akan berlaku reckless atau malah jadi lebih berhati-hati daripada biasanya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

GREYHOUND Review

“If you’re in control, they’re in control”
 
 

 
 
 
Setelah menonton begitu banyak film perang, kita sudah mengestablish bahwa perang itu mengerikan. Karena menelan begitu banyak korban. Dan tentu saja korban-korban itu bukan hanya berjatuhan di garis terdepan. Film Greyhound arahan Aaron Schneider menunjukkan dahsyatnya peperangan di garis belakang. Bahkan, tepatnya, sebelum garis pantai. Alias di samudera. Tempat kapal-kapal logistik peperangan berkonvoi dan dikawal menuju medan tempur.
Tom Hanks kini berperan sebagai Krause, kapten salah satu kapal tempur yang mengawal kapal-kapal yang membawa supply dan tentara tersebut sepanjang Samudra Atlantik. Awalnya perjalanan mereka aman-aman saja. Namun begitu sampai perbatasan Amerika dan Eropa, pesawat yang menjadi mata mereka di udara harus mundur. Keadaan sepenuhnya berada pada pundak Krause, memimpin perjalanan setidaknya sampai pesawat dari Eropa tiba. Inilah momen-momen krusial karena di jendela-waktu sempit tersebut, konvoi kapal mereka bagai sitting duck. Diincar oleh sekelompok kapal selam pemburu milik Nazi Jerman. Musuh mengincar dari bawah laut. Mencoba menenggelamkan kapal-kapal tersebut.  Krause harus melindungi semua kapal, mengupayakan semua taktik yang ia tahu untuk menghadapi sergapan musuh!

“You sunk my battleship!”

 
 
Tadinya aku mengira ini adalah film biografi; film yang menceritakan perjuangan dan kepahlawanan tokoh nyata di medan perang. Tapi ternyata enggak. Film ini adalah adaptasi dari novel The Good Shepherd. Dan alasan aku menyangka ini adalah kisah asli adalah karena film ini mampu membuat kita mengapresiasi perjuangan Krause, membuat kita memikirkan sebegitu berbahayanya perjalanan yang ia tempuh. Sebesar itu resiko yang ia hadapi, sebanyak itu tanggungjawab yang ia emban. Film ini menunjukkan menjadi kapten atau pemimpin itu sulit. Kita enggak menjadi pahlawan hanya dengan selamat dari pertempuran. Hanya dengan memerintah ini itu kepada bawahan. Melainkan di balik setiap keputusan ada beban. Bahwa untuk membuat satu langkah ada yang jadi korban. Dan kapten akan menanggung beban-beban tersebut sepanjang umurnya.
Greyhound kuat dalam penggambaran. Adegan tembak-tembakan kapalnya seru dan menegangkan. Film ini nyaris nonstop aksi. Kapal Krauser secara konstan mendapat ancaman dan serangan. Kita akan mengawasi Krauser mengeker torpedo yang merayap dari balik ombak. Bayangkan film Jaw, hanya saja bukan hiu yang berenang lurus dengan cepat ke arah kita. Setiap kali Krauser memantau keadaan dengan teropong, kita bisa melihat pemandangan CGI kapal-kapal yang bisa meledak terbakar begitu saja. Ya, kadang CGI film ini sangat kentara, tapi untungnya kesan dikepung dan diburu itu masih bisa cukup terasa. Sehingga misi film ini untuk memberi kita pengalaman-langsung bisa dikatakan berhasil.
Menulis sendiri naskah adaptasi ini, Tom Hanks tampak paham luar dalam mengenai karakter yang ia perankan. Dengan kekuatan aktingnya yang telah teruji, Hanks menggambarkan beban tindakan dan pilihan yang dirasakan oleh Krauser dengan tepat mengena. Dia mengerti cerita ini tentang apa. Hanya saja, Hanks seperti lupa bahwa kita yang nonton juga butuh untuk memahami konteks tokohnya. Untuk memahami siapa Krauser sehingga kita bisa peduli. Naskah yang Hanks tulis tidak terstruktur dengan mantap sehingga tidak mampu untuk memuat segala informasi yang bisa berguna bagi kita untuk menjadi tersedot masuk ke dalam cerita. Tentu, kita mengerti ini adalah cerita kapten pahlawan yang berusaha bertanggungjawab atas hidup banyak orang; di kapalnya, di kapal tempur rekan mereka, di kapal-kapal supply yang mereka kawal, dan orang tersayang yang menantinya di rumah. Namun itu tidak membuat tokoh ini unik. Toh semua pahlawan memang begitu. Kasarnya; udah tugas kapten untuk bertindak seperti itu. Film mestinya memuat karakter yang spesial, karena tentu saja tidak semua kisah pahlawan harus difilmkan. Yang spesial-spesila aja. Ini namanya urgensi. Film harus urgen. Selain tantangan lingkungan-perang yang unik, harus ada juga kekhususan pada karakternya sehingga kita tertarik dan peduli dengan yang ditonton. Misalnya, tokoh pahlawan perang tapi gak mau menembakkan senjata seperti pada Hacksaw Ridge (2016). Atau seperti 1917 (2020) yang paket komplit menyediakan tantangan berupa tokoh harus berjalan kaki masuk ke wilayah musuh dengan tekanan waktu, sekaligus memberikan keadaan karakter yang tak-biasa yakni tokohnya adalah orang yang menolak untuk terbuka.
Krause di Greyhound bukannya tidak punya kekhususan itu. Masalahnya adalah film tidak membuka ini dengan segera. Kita baru akan tahu hal yang membuat dirinya berbeda sehingga kisahnya pantas untuk disaksikan saat keadaan sudah aman. Saat film sudah mau habis. Sungguh amat terlambat kita diberitahu bahwa Krauser ternyata adalah kapten yang kurang berpengalaman. Misi pengawalan ini adalah misi pertama baginya. Maaan, bayangkan betapa kuatnya konflik terasa jika kita mengetahui ini sedari awal. Tentulah dramanya bakal jadi lebih impactful. Jadi kupikir kali ini kalian yang belum nonton tapi sudah baca review ini akan berterima kasih udah kena spoiled, karena mengetahui ‘rahasia’ Krause itu eventually akan membuat karakternya menjadi lebih berasa.
You’re welcome.

 

Seperti yang disampaikan oleh judul novelnya, ini adalah tentang menjadi pemimpin yang baik. Seorang kapten atau pemimpin hanya akan terbukti kecakapannya dengan berada di bawah serangan keadaan yang begitu menekan. Reaksi mereka dalam keadaan tersebutlah yang menunjukkan kualitas mereka. Seorang pemimpin harus dapat mengendalikan diri. Tidak menunjukkan keraguan, tidak gentar, meski di dalam hatinya boleh jadi dia yang paling takut di antara semua. Seperti Krause dalam film ini yang menahan sakit di kakinya, yang makan saja ia tahan, karena ia tahu pasukannya sangat membutuhkan panutan dan arahan dalam situasi di mana bersin aja gak boleh.

 
Melihat durasi film ini, sesungguhnya memang memunculkan keraguan. Setidaknya jadi ancang-ancang untuk menurunkan ekspektasi. Karena film perang yang ‘serius’ biasanya jarang yang di bawah dua-jam. Karena bahasan moral, karakter, drama, dan aksi tembak-tembak tentu saja membutuhkan waktu yang enggak sebentar untuk matang. Greyhound ternyata singkat, ya karena memang cuma aksi saja yang film ini punya. Karakter enggak pernah dibahas dengan dalam. Kita gak tahu siapa orang-orang yang ada di sana, mereka hanya pasukan yang karakternya seringkali tak lebih dari sekadar nama. Film toh tetap mencoba menggali drama dari mereka. Usaha minim karakterisasi dalam film ini mencakup koki yang terus memasakkan makanan untuk Krause meski tak dimakan, prajurit muda yang canggung, dan Krause yang menulis tapi pensilnya patah. Film ini butuh lebih banyak drama. Karakter yang lebih kompleks. Mereka bisa bikin ada satu tokoh yang kelihatan seperti mata-mata/pengkhianat atau semacamnya; at least dengan begitu tokoh-tokohnya akan jadi lebih seru.
Dan memandang film ini begitu selesai, aku malah merasa sembilan-puluh-menit itu saja sudah seperti dipanjang-panjangin. Kejadian dalam film ini itu-itu melulu. Kita akan melihat ancaman dan tembak-tembakan yang nyaris sama persis. Dialog dalam film ini juga enggak ngangkat. Tidak banyak (alias sedikit sekali) hal penting yang mereka ucapkan, karena sebagian besar waktu dipakai oleh para tokoh untuk meneriakkan instruksi dan melaporkan status posisi musuh pada radar dalam bahasa militer, yang butuh beberapa waktu bagi kita untuk mengerti apa yang mereka teriakkan.
 
 
Antara tembakan torpedo dan berondongan istilah-istilah navigasi laut, film ini menunjukkan gambaran kelam keadaan perang di laut. Memberikan pengalaman langsung betapa mencekamnya perang itu sendiri. Sebagai kendaraan untuk hal tersebut, film ini memang persis dengan kapal Krause itu sendiri; sea-worthy. Namun sebagai sebuah tontonan, film ini hanya sebatas ‘C-worthy’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GREYHOUND

 

 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian apa keputusan paling sulit yang harus dibuat oleh Krause dalam film ini?
Dan bicara tentang kapten dan pemimpin, bagaimana pendapat kalian tentang langkah yang diambil kapten negara kita dalam mengarungi laut pandemi sekarang ini?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

YOU SHOULD HAVE LEFT Review

“The same people who believes your lies are also the ones who believe in you.”
 

 
 
Harusnya tinggal pergi aja. Seringkali itulah yang kita teriakkan ke arah layar setiap kali menyaksikan tokoh yang masuk dan memilih tinggal di rumah angker. Segampang itu sebenarnya; jika malam hari engkau diganggu penampakan, maka hal pertama yang harus kau lakukan di pagi hari adalah pindah atau malah gak perlu nunggu; langsung cabut aja dari situ. Tips selamat dari rumah berhantu: Pergi dari sana! Namun, bagaimana jika setan itu justru dari dalam diri sendiri. Mau lari ke manapun akan terus menghantui. Bagaimana cara kita kabur dari kebohongan dan kesalahan yang kita lakukan di masa lalu. You Should Have Left produksi Blumhouse yang digarap oleh David Koepp mengeksplorasi psikologi seorang pria yang dikutuk oleh aksi yang dipilihnya sendiri, yang menyebabkan seluruh keluarganya sekarang diteror di dalam rumah seolah neraka yang mengurung mereka bersama-sama.
Pria itu bernama Theo (Kevin Bacon membawa banyak kedalaman kepada karakter ini). Ia adalah pria yang punya uang cukup banyak sehingga bisa menyewa rumah mewah modern di atas bukit pedesaan Wales, Skotlandia. Berlibur bersama istrinya yang bintang film – Susanna yang berumur jauh lebih muda darinya (diperankan oleh Amanda Seyfried yang tak canggung) – dan anak perempuan mereka, Ella (Avery Essex yang menceriakan horor rumah tangga ini). Di dalam rumah yang punya desain unik tersebut, Theo yang ingin memperbaiki hubungannya dengan sang istri, malah dirundung oleh kejadian-kejadian yang ia gak tahu beneran atau mimpi. Ia menemukan pintu di balik rak buku. Pintu yang menuju ke ruangan yang berbeda setiap kali dibuka. Hallway yang semakin memanjang. Dan ada seseorang yang menulisi jurnal pribadinya. Menuliskan peringatan untuk segera angkat kaki dari sana. Hanya saja, Theo dan keluarga tidak bisa keluar sebelum Theo bisa memecahkan misteri rumah tersebut.

Mungkin secara tak sengaja, Theo menyewa Hogwarts sebagai tempat berlibur

 
 
Kalo kalian mencari film yang cocok ditonton untuk merayakan Hari Ayah, You Should Have Left ini bisa dijadikan pertimbangan. Karena walaupun film ini tipikal mainstream Blumhouse banget; rumah yang seemingly berhantu, lokasi tertutup, teror melibatkan anak dan keluarga, dan tentu saja ada adegan yang sepertinya udah jadi trademark horor Blumhouse: adegan disembur muntah hantu, film ini juga terasa berbeda dari biasanya karena memuat sudut pandang kejiwaan seorang ayah yang pada akhirnya mengambil keputusan demi putrinya tersayang. Inti emosional dari film ini adalah hubungan Theo dengan anak, dan istrinya. Paruh pertama lebih banyak berkutat di elemen drama. Theo mencurigai istrinya yang artis ini selingkuh – pada kunjungan pertama Theo ke lokasi syuting, ia harus mendengar istrinya melakukan adegan intim, dan dia sama sekali tidak diberitahu film yang dibintangi sang istri bakal mengandung adegan semacam itu. Film juga menekankan hubungan Theo dengan Ella; putrinya ini sangat sayang kepada Theo, mereka ayah dan anak yang akrab, dan clearly Ella percaya kepada ayahnya. Dan inilah yang akan jadi konflik untuk Theo, karena pria ini diperlihatkan punya sesuatu rahasia mengenai masa lalunya.
Mengenai horor di rumah tempat mereka liburan, I must say, misterinya cukup fun dan bikin penasaran. Theo menyadari bahwa ada sesuatu yang janggal dari desain rumah itu. Lantai yang enggak exactly lurus 90 derajat. Ruangan rumah yang ternyata ukurannya lebih luas jika diukur dari dalam dibandingkan dengan dihitung dari luar. Ada sekuen yang sangat menarik yakni saat Theo dari halaman melihat Ella masuk ke ruang keluarga, mengambil jaket, dan ketika membuka pintu hendak keluar, Ella gak kunjung keluar. Ella menghilang di depan matanya. Karena rumah itu punya banyak ruang rahasia dan Ella nyasar karena salah membuka pintu. Aku pengen melihat lebih banyak adegan-adegan seperti begitu, you know, Theo dan Ella menjelajahi rumah, berusaha menguak misteri desain rumah yang aneh ini. Aku tentu saja lebih menyukai misteri demikian ketimbang horor standar berupa bayangan muncul sekelebat di belakang layar atau belakang tokoh, yang sayangnya lebih banyak dilakukan oleh film ini.
Koepp sebenarnya sudah punya pengalaman membuat misteri tentang pria yang merasa jadi gila (atau memang gila) karena tinggal di tempat terpencil. Ia pernah membuat Secret Window (2004) yang dibintangi oleh Johnny Depp yang punya keadaan dan elemen misteri yang serupa. Yang dari film itu kentara Koepp gak butuh trope-trope horor berlebihan, dan dia punya kekuatan pada drama dan eksplorasi psikologi. Namun pada You Should Have Left ini, aku gak tau entah karena studio/produser ataupun karena gak ingin jadi mirip banget ama Secret Window, Koepp banyak menggunakan teknik horor pasaran yang bukannya membuat film semakin berbobot, tapi malah membuatnya jadi semakin datar. Bagian misteri rumah yang seru tadi, actually baru dimunculkan pada paruh akhir film. Sangat terlambat. Pada paruh awal kita justru disodorkan adegan-adegan mimpi dan adegan kelebatan bayangan yang hardly seram. Film ini bahkan dibuka dengan adegan mimpi-di-dalam-mimpi yang mengangkat alis kita karena si tokoh yang ceritanya lagi mimpi tidak ada dalam adegan tersebut. Mana ada kita mimpikan orang lain sementara kita sendiri gak ada di dalamnya. Bergerak dari logika tersebut, kalo dipikir-pikir, opening tersebut justru memberikan spoiler untuk ending film. Membuat satu-satunya sosok misterius di film ini jadi terbuka kedoknya hanya dalam lima-menit awal.
You should have left the filmmakers alone to do their works

 
 
Paruh awal itu film ingin membuat kita peduli dengan memberikan hook berupa ini adalah drama membebaskan diri dari relationship yang buruk alih-alih membebaskan diri dari rumah hantu. Misteri yang ditonjolkan adalah apakah istri Theo selingkuh, kita diharapkan untuk peduli kepada Theo karena dia adalah pria tua yang udah gak kerja, yang gak ngapa-ngapain, yang dicintai oleh anaknya, tapi begitu rapuh sehingga perlu menenangkan diri dengan jurnal dan kaset rekaman yoga. Namun ini semua enggak bekerja karena justru di situlah masalahnya. Kita gak tau siapa Theo ini. Pada novel aslinya, Theo adalah seorang penulis naskah film. Pada sinopsis di halaman IMDB film ini, Theo adalah seorang banker. Jadi siapa dia? Gak jelas, pada film ini sendiri dia pernah diperlihatkan dia ngapain, kerjaannya apa. Background Theo dijadikan rahasia – kita hanya diberikan eksposisi atas sesuatu peristiwa mengerikan pada masa lalu Theo dan hingga kini Theo hidup dalam tuduhan yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Dan hanya itulah dia. Seseorang yang punya masalalu suram, tapi kita tak tahu persis apa itu. Ini menyebabkan kita gak segaris dengan Theo. Motivasi Theo cuma ngajak keluarganya liburan ke villa untuk memperbaiki hubungan, hanya saja kita tidak pernah tahu apa penyebab semua itu, sehingga kita tidak bisa peduli apakah dugaan Theo salah atau benar. Susanna juga tidak diberikan karakter yang mendalam, ia lebih tampak sebagai device cerita saja ketimbang tokoh yang benar-benar mendukung dalam development tipis Theo.
Seluruh kejadian di babak akhir akan sangat membingungkan karena film mengungkapkan semuanya sebagai kejadian yang beneran terjadi. Kita akan melihat siapa yang menulisi jurnal Theo. Kita akan tahu pemilik bayangan yang berkelebatan sepanjang film. Semuanya begitu literal sehingga justru jadi gak make sense. Film mengontradiksi konteksnya sendiri. Mereka ingin menegaskan teror itu berasal dari dalam Theo, tapi sekaligus memperlihatkan bahwa rumah itu beneran sebuah neraka yang menjerat manusia-manusia yang hidup dengan memendam rasa bersalah. Kita mengerti bahwa pelajaran bagi Theo adalah untuk mengakui bahwa ia bersalah dan tidak lagi berbohong, kita paham dia harus sendirian, maka rumah tersebut mestinya adalah metafora perasaan bersalah yang ia tak bisa lari darinya. Dengan malah membuat rumah itu sebagai entitas beneran, juga dengan tidak memberikan kita ruang melihat masa lalu Theo dari sudut pandang yang lain (katakanlah dari sudut pandang Theo sebelum ‘ngaku’), film malah menanamkan ketidakpastian – keraguan – kepada kita, yang ultimately melemahkan gagasan film ini. Kenapa kita harus percaya pada rumah itu? Toh kalo memang beneran dia ‘memangsa’ orang-orang yang punya kebohongan kenapa Susanna yang mengaku selingkuh masih bisa keluar dari sana? Kenapa Theo yang akhirnya juga mengaku dan bertindak untuk kebaikan anaknya tetap saja harus tinggal di rumah itu? I say, kerjaan film ini sebenarnya masih banyak karena dalam menangani misteri dan drama, film lebih banyak meminta pemakluman kita saja daripada punya jawaban yang benar-benar memuaskan.

Kita boleh saja memilih untuk hidup dalam kebohongan. Lari dari rasa bersalah sepanjang waktu dan menganggap kita baik-baik saja. Namun kita harus sadar, bahwa tidaklah adil untuk memerangkap orang yang sayang kepada kita karena mereka percaya kepada kita. People need to hear the truth. Jangan penjarakan mereka bersama dosamu. 

 
 
 
 
Rumah yang bisa memerangkap manusia, yang menyesatkan dengan ilusi ruang dan waktu, memang adalah sebuah ide kreatif untuk sebuah horor. Tambahkan sudut pandang seorang ayah yang menyimpan rahasia kelam. Ini adalah formula sebuah cerita psikologikal menyeramkan yang bagus. Namun film ini memilih banyak pilihan yang miring. Dia terlalu literal dalam bercerita. Dia tidak benar-benar memberikan daging kepada penokohan tokoh-tokohnya, terutama tokoh utama. Sehingga dengan sangat mengecewakan film ini jatohnya hanya mengandalkan kepada shock value.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for YOU SHOULD HAVE LEFT.

 

 
 
That’s all we have for now.
Film ini juga mengajarkan kita untuk segera angkat kaki dari hubungan yang bikin makan ati. Bertahan lama-lama hanya akan bikin makin nyelekit, pasangan akhirnya selingkuh, or worse – pasangan membiarkanmu ‘mati’ begitu saja. Kenapa tidak pernah gampang untuk keluar dari bad relationship? Apakah anak yang membuatnya semakin susah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA