LOVE, SIMON Review

“Everyone can find love.”

 

 

Simon punya rahasia.

Iya, Simon yang hidupnya bahagia itu. Yang punya ayah dan ibu yang suka menggoda, tapi sebagai tanda peduli dan sayang kepadanya. Yang punya adik cewek hobi masak dan seneng menjadikan Simon sebagai kelinci percobaan resep-resep ‘maut’nya. Simon yang kalo di sekolah selalu terlihat barengan empat sohib karibnya ke mana-mana. Makanya, gak ada yang nyangka kalo si Simon menyimpan satu ketakutan besar.

Rahasia besar Simon menyangkut reputasinya sebagai anak remaja. Dia enggak bisa curhat begitu saja karena, bayangkan jika orangtuanya tahu.. wuih, Simon yakin kedua orangtuanya akan oke saja mengetahui rahasia tersebut, mereka tak akan marah. Simon paham kedua orangtuanya berpikiran cukup terbuka sehingga tidak akan menghukumnya. Apalagi adiknya, dan teman-teman, Simon pokoknya tahu deh  mereka semua pasti akan mengerti. Hanya saja Simon takut dia akan diperlakukan berbeda, gimana orang-orang di sekitarnya akan membuatnya merasa seperti Simon yang berbeda. Jadi, ketika dalam dunia maya, Simon menemukan satu orang di sekolahnya yang punya rahasia serupa – yang juga punya ketakutan yang senasib dengannya, Simon segera reach out ke pengirim pesan misterius tersebut. Mereka pun akhirnya saling berkorespondensi dengan menggunakan nama samaran.

enggak ada orang normal yang menggunakan nama aslinya saat chatting random di internet

 

Keakraban dan rasa cinta mekar di antara keduanya, film dengan indah dan hangat menumbuhkan rasa tersebut dari rasa saling peduli, dari gimana Simon dan sahabat ‘pena elektronik’nya saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Koneksi di antara mereka jauh melebihi sekadar koneksi internet, eh salah maksudku koneksi perasaan yang bisa dibuat-buat. Adalah koneksi hati dan jiwa yang berperan di sini. Begitu nyata senyata-nyatanya. Rasa cinta Simon memuncak, dia butuh untuk mengetahui siapa yang selama ini membalas keluh kesah dan mengerti ketakutannya. Salah satu aspek yang membuat film yang diadaptasi dari buku karangan Becky Albertalli menarik adalah karena pada denyut nadinya, film ini membahas tentang hal yang bisa direlasikan oleh banyak orang mengenai pergaulan dan jati diri. Melihat Simon mencoba mencari tahu, menerka-nerka, dan salah – semua usaha subtil Simon itu adalah adegan-adegan yang hebat, memberikan ELEMEN INVESTIGASI yang sama sekali tidak kuharapkan ada pada film ini.

Karena sejujurnya aku tidak tahu apa-apa mengenai cerita film ini. Ada bukunya saja aku baru ngeh setelah lihat internet. Aku nonton karena ada Hannah Baker main di sini. Ketika cerita dibuka dengan Simon menarasikan gimana ada rahasia besar di balik hidup normalnya, instantly I was hooked.  Keren sekali gimana film menuliskan, gimana Simon bragging about dia sama seperti kita, padahal jelas-jelas rumahnya beda, adiknya bukan sebangsa titisan iblis kayak adik-adikku, dan rahasia Simon semakin membuatnya berbeda denganku. Kita adalah orang yang dianggap default oleh Simon. Di sinilah letak kepintaran film. Bukan apa rahasia Simon yang membuat kita merasa dekat dan terhubung dengannya, melainkan fakta bahwa kita semua, pada suatu waktu di hidup kita, menyimpan rahasia yang kita takut orang lain mengetahuinya.

Kalo adikku, makanannya pasti dikasih racun

 

Jika kalian pernah berjuang semasa sekolah, mencoba bilang cinta ke teman yang kalian suka hanya saja kalian tak cukup berani, atau jika kalian mengaku kalian takut keadaannya makin runyam – kalian tidak bisa lagi berteman dengannya, atau jika kalian pernah dirundung di  lingkungan sekolah. Film ini punya hal yang dapat diapresiasi oleh banyak orang, yang membuat film ini menjadi punya nilai appeal yang tinggi selain karena permainan cast yang cakep dan arahan yang oke punya.

 

Sudah bukan rahasia film drama remaja tak ayal berusuan dengan cinta, bahwa romantisme menjadi hal yang begitu penting buat remaja. Love, Simon pun begitu. Akan tetapi, hal menakjubkan yang dilakukannya sebagai film mainstream adalah sama sekali tidak memasukkan trope-trope lumrah, yang menurunkan nilai romansa itu sendiri seperti pada film remaja kebanyakan. Tidak setiap lima menit sekali kita melihat Simon dan teman-temannya mengecek sosial media, komen-komenan facebook, atau facetime, apalagi bertik-tok ria. Tidak ada dialog-dialog gombal yang mengincar penonton untuk berhihihi kayak kuntilanak lagi puber. Film mengambil waktu untuk ngebuild setiap perbincangan. Email-emailan yang dilakukan oleh Simon dengan Blue diberikan bobot dan actually berpengaruh terhadap stake yakni putusnya hubungan pertemanan. Percakapan para remaja benar-benar menunjukkan betapa mereka adalah makhluk sensitif haus perhatian, namun juga penuh ironi dan pancingan. “Aku adalah orang yang ditakdirkan untuk terlalu peduli kepada seseorang hingga perasaan tersebut membunuhku,” begitu kata salah satunya. Tidak semua adegan film ini dibentuk menjadi adegan gede yang dramatis yang membuat penonton menghela napas. Malahan, cerita terbendung sedemikian rupa sehingga kita baru akan  benar-benar bernapas di momen terakhir.

Salah satu rahasia yang menyebabkan film ini asik dan menantang untuk ditonton adalah betapa lucunya, karakter, dialog, dan situasi, yang dihadirkan. Namun kita tetap merasakan perasaan dan emosi yang kuat. Nick Robinson sepertinya baru saja menyuguhkan permainan peran terbaik sepanjang karirnya. Menyedihkannya begitu nyata dan meyakinkan, namun tidak kelewatan sehingga terasa over-the-top. Simon tidak meminta kita berbelas kasih kepadanya, ia tidak mengancam kita untuk bersimpati kepadanya. Film tidak pernah meminta kita menonton perjuangan Simon, dia terpaksa harus membohongi teman-temannya hanya karena dia takut untuk melakukan hal yang benar, dia bahkan tidak benar-benar tahu mana hal yang benar, supaya kita bisa kasihan kepadanya. Film hanya meminta kita untuk merasa dekat. Tidak ada satupun elemen dan aspek yang terasa dipaksakan. Bukan Simon seorang, setiap karakter punya sesuatu di dalam diri mereka yang bisa kita pahami, dan pada akhirnya akan membuat kita mengapresiasi tindakan dan pilihan yang mereka ambil. Atau yang terpaksa mereka ambil.

Well, kecuali ada dua tokoh yang tidak bisa kita apresiasi. Karena film hanya selenting saja membahas mereka berdua. Mereka berfungsi sebagai semacam antagonis, tukang bully yang suka gangguin anak-anak yang berbeda dari yang lain. Mereka melakukan hal-hal awful kepada Simon dan anak lain. Dan film hanya membahas segitu. Ada adegan mereka didisiplinkan oleh kepala sekolah gaul, dan semuanya menjadi baik-baik saja. I just think, porsi tokoh ini seharusnya mendapat lebih banyak perhatian. Sebab di dunia nyata – dan segala hal lain film ini terasa begitu otentik – masalah seperti ini bukan tidak mungkin dapat menyebabkan trauma yang mendalam kepada ‘Simon-Simon’ di luar sana. Mereka adalag bagian dari masalah, salah satu yang menyebabkan Simon overthinking keputusan untuk membuka rahasianya, dan untuk menyelesaikannya dengan semudah itu tampak seperti menyepelekan bahaya yang sebenarnya.

Tidak peduli siapa, cinta selalu ada untuk kita. Jika kita mau mencari. Jika kita mau membuka diri. Mungkin memang sulit, tapi kita akan selalu menemukan segalanya menjadi lebih mudah jika kita membuka diri, membiarkan orang untuk memahami kita, dan pada gilirannya kita akan memahami mereka juga.

 

 

 

 

 

Pssst, aku pikir aku tidak perlu beberin apa tepatnya rahasia Simon di sini kepada yang belum nonton filmnya. Yang harus diketahui, film ini patut disanjung karena hal terpenting pada film dalam situasi sosial dan budaya sekarang ialah seberapa banyak orang-orang merasa terwakili olehnya. Film ini, dalam kapasitasnya, menambah banyak jumlah tersebut. Ia menjadi suri teladan bagi penonton yang benar-benar seperti Simon, maupun sebagian yang lebih besar lagi yang pernah mengalami perjuangan serupa. Penuh pesona, gebrakannya sebagai film mainstream yang berani untuk come out benar luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LOVE, SIMON.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DANUR 2: MADDAH Review

“You can’t hide the stench forever”

 

 

Kemampuan melihat makhluk halus mulai mendatangkan dampak buruk bagi kehidupan sosial Risa Saraswati (reprising her role, Prilly Latuconsina siap melakukan tantangan yang diberikan kepada perannya). Kebiasaannya ngobrol, hingga tak jarang histeris ketakutan sendiri di tempat umum, membuat adik kecilnya malu. Inilah yang membuat karakter Risa menarik. Di luar penglihatannya yang tak biasa, terutama sekali Risa adalah seorang kakak. Bagi adiknya, Riri. Bagi hantu anak-anak kecil yang jadi temannya. Risa harus figure out bagaimana menjadi sosok kakak sekaligus teman yang baik terhadap mereka, di saat yang bersamaan. Masalah Risa ditambah pelik oleh panggilan minta tolong dari keluarga tantenya yang baru pindah ke Bandung. Semenjak tinggal di sana, Paman Risa jadi bersikap aneh. Suka mengurung diri di pavilion. Suka nanemin kembang di depan pintu. Dugaannya tentu saja; Paman sedang selingkuh. Pertanyaan yang bikin merinding adalah; Sama makhluk mana? Sebab, di rumah mereka Risa menyium bau yang sudah familiar buatnya. Bau Danur.

Setan pelakor gak usah diajak main yeee~

 

Seharusnya seperti demikianlah cerita film sekuel Danur: I can See Ghosts (2017) ini. Narasi diniatkan untuk membahas tentang bagaimana kehidupan Risa setelah di film yang pertama dia menerima persahabatan dari hantu cilik. Gimana dampak kemampuan Risa terhadap orang di sekitarnya, Risa sekarang punya dua kehidupan sosial yang berbeda pada dua dunia, dan tentu saja soal ketakutan yang masih merayapinya.  Aku bisa melihat secercah dari plot yang mengeksplorasi Risa yang ingin  hidup normal, dia berusaha untuk mengabaikan kemampuannya, dia tidak ingin membuat malu sang adik, dan bagaimana film ingin memparalelkan sikap Risa terhadap kekuatannya kepada sikap Pamannya yang merahasiakan sesuatu. Sayangnya, elemen-elemen cerita ini tidak pernah terwujud dalam cara yang semestinya. Film malah berkembang menjadi horor generik, yang hanya berupa wahana jumpscare, dengan mengabaikan plot tersebut nyaris secara keseluruhan. Motivasi Risa hanya disebut dalam satu adegan, perkembangan karakter Risa juga hanya diperlihatkan dalam satu adegan, relationshipnya dengan Riri ataupun dengan Peter dan kawan-kawan tidak pernah diangkat dengan dalem. Danur 2: Maddah begitu ingin memperlihatkan hantu kepada kita, sehingga mereka membuat tokoh-tokoh manusianya tersuruk jauh di belakang. Kalo ada yang gaib dan tak-kelihatan dalam film ini, maka itu adalah karakterisasi tokoh-tokohnya.

Salah satu yang menjadi tantangan buat pembuat film ini, yang sudah ada sedari film pertama, adalah bagaimana mendeskripsikan danur (bau mayat) dalam bahasa sinematik. Dan sekali lagi, film ini juga gagal. Kesan apa itu Maddah, apa itu Danur, tidak pernah terasa kuat, selain hanya dialog eksposisi yang tak benar-benar meninggalkan kesan. Padahal film harusnya berpusat di sekitar sini. Bau sejatinya adalah aspek yang menjadi fokus pada cerita. Bukan hanya Risa harus mengenali bau ‘musuh baru’. Tapi ini juga tentang metafora dari sebuah hal yang disimpan lama-lama tetap akan tercium baunya.

 

Adegan pembuka yang adik Risa terbangun di pohon gede dari film pertama itu sebenarnya cukup serem. Actually ini adalah salah satu dari sedikit adegan menakutkan di film ini yang punya build up sebelum setannya muncul. Tapi ternyata adegan tersebut hanyalah adegan mimpi. Inilah kenapa kita tidak bisa punya film horor lokal yang bener-bener bagus. Mereka terbebani oleh arahan-arahan dan keputusan cerita yang bego seperti begini. Contohnya lagi, sekuen keluarga tante Risa menempati rumah baru mereka. Bagian ini sebenarnya ditangani dengan menarik, pakai long shot sehingga kesannya aktivitas yang sedang kita saksikan begitu hidup. Untuk berakhir mendadak dengan adegan standar film Indonesia; ngobrol di meja makan. Yang diobrolin pun enggak jelas faedahnya ke mana, disebut karakter development juga susah karena gak benar-benar memperlihatkan karakter.  Mau tahu kualitas penulisan dialog film ini seperti gimana?  Ada satu adegan Riri dan Tante yang dimainkan oleh Sophia Latjuba (praktisnya, mbak Sophia gak ngapa-ngapain di sini) lagi ngobrol berdua. Dalam penulisan film, inilah waktu yang tepat untuk mengembangkan karakter; dengan memberikan mereka dialog yang merepresentasikan karakter mereka, yang membahas hubungan mereka. Hanya saja, Riri dan Tante malah ngobrolin adegan yang persis sebelum ini kita saksikan, mereka hanya menceritakannya kembali – versi audio dari yang sudah kita saksikan. Dialog macam apa kayak gitu! Enggak menambah apa-apa buat karakter. Enggak menambah apa-apa buat majunya cerita.

Awi Suryadi adalah sutradara yang punya keistimewaan pada kerja kamera. Beberapa shot pada film ini diambil dengan sudut yang intriguing. Dia akan memiringkan kamera ketika tokoh beranjak mengecek bunyi-bunyian misterius yang efektif menambah kesan bingung dan mengerikan. Dia punya trik untuk menampilkan hantu di layar dengan sangat mengerikan, yang aku yakin bahwa film ini sebenarnya enggak butuh musik yang keras. Sayangnya banyak dari arahan Awi yang membuat kita mempertanyakan kepentingannya. Dalam bercerita, Awi masih setia menggunakan formula yang sudah diulang-ulangnya sejak Badoet (2015). Kita masih mendapati tokoh yang ‘kesurupan’, Paman Risa sedari awal sudah ‘dikendalikan’. Hantunya masih pakai musik khas. Terus ada pengungkapan jati diri hantu, yang sebelumnya tidak pernah ada build-upnya. Untuk kemudian penyelesaian datang dengan cara menghancurkan satu objek, tanpa benar-benar ada rintangan. Susunan formula tersebut dalam film ini boleh saja diganti, namun tetap saja aspek-aspek ini masih sama persis dengan Badoet dan film Danur yang pertama. Formula ini dikembangkan dengan begitu basic, stake dan rintangan tidak pernah terasa ada di sana

hantunya suka nyanyian dan musik, alam kubur tampaknya ceria juga deh..

 

Mereka menampilkan hantu di mana saja mereka bisa, menemani hantu itu dengan musik yang keras, dan berharap penonton ketakutan. Atau mungkin sekalian mereka berharap penonton jantungan sehingga mati di tempat dan gak bisa minta refund atas film yang dikerjakan dengan seadanya. Dan kalo hantunya belum selesai dimake-up, tokoh-tokoh film akan senang hati mengambil alih tugas mengagetkan penonton.  Fake jumpscare dan jumpscare dijadikan andalan oleh film ini. Di tengah-tengah kita malah akan disuguhi dua adegan ngagetin, yang sekali lagi, ternyata cuma mimpi. Kesel gak sih, kaget kita rasanya sia-sia gitu loh, jika yang ngagetin itu ternyata mimpi alias adegan yang tidak benar-benar terjadi. Tentu, mereka punya sosok hantu yang sangat seram. Ada dua hantu, actually. Yang satu namanya Ivanna – ini nih yang serem! Tinggi-tinggi gimana gitu, lehernya kayak panjang banget. Sedangkan yang satu lagi, si Elizabeth, mmm.. to bo honest, aku bisa lihat kenapa Paman Risa naksir sama hantu Belanda ini. Aneh gak sih, aku juga nganggap Elizabeth hantu yang cantik, meskipun di saat itu aku belum lihat seperti apa rupanya sewaktu masih hidup hhihi. Yaa, waktu pertama kali nongol gelayutan, Elizabeth gak sampai bikin aku melotot kayak di film kartun sih, tampilannya tetap seram, tapi untuk ukuran hantu, parasnya enggak jelek.

Anyway, film ini punya cara yang aneh dalam memperkenalkan hantunya. Saat pertama kali kita melihat Ivanna secara jelas, dia lagi gangguin Tante yang sedang dzikir abis sholat. Ini adalah adegan terseram yang dipunya film, karena beberapa detik kemudian Ivanna akan ngejumpscare kita – para penonton – secara langsung. Seram, tapi aneh, karena mestinya kan yang ditakuti adalah tokoh cerita. Kayak Valak yang diperkenalkan dengan menakuti Lorraine di ruang baca. Tapi pada film ini, hantunya semacam langsung berkenalan dengan kita. Such a strange way to introduce a ghost character. Adegan ini lebih cocok berfungsi sebagai trailer saja ketimbang dimasukkan sebagai bagian yang actual dari film.

 

 

 

Seharusnya ini membahas tentang gimana seorang yang berteman dengan hantu, bisa menjalin kehidupan sosial normal dengan kerabatnya. Seharusnya kita diperlihatkan lebih banyak dari Risa dan adiknya, dan teman-temannya. Tapi fokus film ini ada pada hantu dan keluarga baru, yang tidak diparalelkan dengan mulus kepada kebutuhan tokoh utama. Akibatnya, kita dapat film dengan motivasi dan plot yang perlu terawangan untuk bisa dilihat. Sebuah wahana jumpscare dengan sedikit hati pada cerita. Kosong sekali, penulisan film ini. Arahan yang tidak membawa apa-apa bagi penampilan tokoh, penceritaan, selain beberapa shot menarik dan aspek seram yang digali dengan terlalu standar. Film ini enggak berbeda banyak dengan film pertamanya, dan mengingat film pertamanya mengeset penilaian yang begitu rendah, kentara sekali film horor Indonesia akan jalan di tempat. Film ini adalah contoh nyatanya.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for DANUR 2: MADDAH.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

RED SPARROW Review

“Everything happens for a reason.”

 

 

Moralitas cuma sikap sentimental manusia. Sedangkan harga diri selalu adalah yang lebih dahulu jatuh. Jadi buat apa menunggu? Pemuda pemudi Rusia yang digembleng oleh agensi State School 4 mendapat doktrin seperti demikian demi mengobarkan semangat patriotisme mereka. Sebab dalam aksi membela negara, mereka semua harus rela mengorbankan apapun. Jiwa raga mereka milik negara  yang selama ini telah memberikan mereka tempat berlindung, tempat untuk tinggal. Dan sekarang adalah giliran mereka untuk berjuang atas nama negara, dengan menjadikan tubuh sebagai senjata utama.

Menjadi mata-mata tidak selamanya berarti menguasai alat-alat berteknologi canggih, enggak selalu bahaya yang mereka hadapi berupa merayap elegan di antara laser-laser dengan kostum hitam. Film Red Sparrow tidak memewah-mewahkan kehidupan sembunyi-sembunyi penuh rahasia itu. Ataupun membuat penontonnya ingin menjadi mata-mata kece. Sesungguhnya film ini diadaptasi dari buku novel karangan Jason Matthews; seorang mantan anggota CIA. Jadi at heart, cerita film ini tahu persis seperti apa ‘sisi buruk’ dari pekerjaan tersebut. Materi yang disambut dengan bijak oleh sutradara Francis Lawrence, ini lebih sebagai sebuah cerita thriller dibandingkan kisah aksi. Menonton Red Sparrow, kita akan merasakan betapa OTENTIKNYA GAMBARAN DARI KEHIDUPAN SEORANG MATA-MATA. Iya sih, menjadi mata-mata berarti hidup kita menjadi glamor seketika; bercinta dengan orang-orang penting, orang-orang kaya. Namun, melalui film ini kita akan melihat sebenarnya itu adalah sebuah hidup yang sangat mengerikan. Percaya deh, enggak akan ada yang mau berada dalam sepatu Dominika Egorova. Tokoh utama kita ini adalah seorang ballerina yang direkrut ke dalam barisan Sparrow yang kerjaannya secara sederhana adalah merayu orang untuk mendapatkan informasi. Sebuah pekerjaan yang mengerikan sekaligus menyedihkan. Dan tentu saja, penuh resiko.

Di Rusia, supaya tenang setelah kejadian traumatis, orang-orangnya enggak minum air putih. Mereka merokok.

 

Kita tidak mau melihat Dominika menjadi mata-mata yang sukses, kita ingin melihat cewek ini berhenti menjadi mata-mata dan kabur saja keluar dari dunia yang ia geluti. Hidup yang ia jalani was just so horrible, namun walaupun cerita tidak pernah memuja keputusan yang diambilnya, membenarkan apa yang ia pilih, Red Sparrow masih berkodrat sebagai sebuah film. Cerita film ini disusun sedemikian rupa supaya menarik, jadi kita tetap mendapatkan trope-trope thriller Perang Dingin – Misi utama Dominika, pertanyaan pada lapisan terluar cerita film ini, berpusat pada apakah Dominika akan berhasil mengendus mata-mata yang ia cari? Juga ada kisah cinta antara dua mata-mata beda negara yang tentu saja menambah stake berupa apakah pihak yang lain itu bisa dipercaya, siapa yang bakal mengkhianati siapa. Kalian ngertilah, kita masih akan menjumpai sedikit dramatisasi pada cerita. In fact, salah satu sekuen yang paling efektif nunjukin sensasi thriller dalam film ini adalah sepuluh menit pertama ketika kita dibikin berpindah-pindah antara pertunjukan balet Dominika dengan pertemuan rahasia tokoh Joel Edgerton, sementara scoring yang sangat memikat mengalun di latar belakang. Di dalam film akan ada sekuen berantem yang lumayan sadis. Ada adegan pemukulan dan penyiksaan yang bukan konsumsi penonton yang perutnya lemah.

Selain itu, juga banyak adegan ‘buka baju’ yang bakal bikin kita risih menontonnya – yang membuat bioskop di sini mesti melakukan sensor dengan mengezoom pada adegan kurang senonoh sehingga kita hanya melihat kepala tokohnya saja. Dan untuk itu, aku sangat salut kepada Jennifer Lawrence yang sungguh bernyali. Setelah hal-hal gila yang aktris ini lakukan di Mother! (2017), di Red Sparrow dia menaikkan tingkat kenekatannya dengan melakukan berbagai adegan yang bikin kita meringis. Sepertinya tidak ada adegan menantang yang enggan dilakukan oleh JenLaw, semuanya dijabanin.  Perlu kutekankan sedikit, meskipun memang banyak adegan seksual yang awkward dan kasar – di kelas di ‘sekolah mata-matanya’, Dominika dan murid-murid yang lain kerap disuruh buka baju dan melakukan gituan di depan semua orang – perasaan disturbing yang kita rasakan ketika menonton film ini tidak terbatas berasal dari sana. Malahan, justru adegan tokohnya Mary-Louise Parker yang bikin penonton di studioku tadi barengan memekin tertahan, padahal adegannya bukan adegan seksual.

Aku bisa paham dan membayangkan kalo Red Sparrow bakal banyak diboikot, lantaran film ini juga menggambarkan iklim politik yang disturbingly relevan terutama buat penonton Amerika. Red Sparrow mengemukakan wacana soal kebudayaan Amerika yang berubah akibat sosial media dan teknologi dan bagaimana Rusia mencoba mengapitalisasi tensi di antara kedua negara. Dan kita tahu, semenjak election 2016 santer kabar ada campur tangan Rusia di dalamnya. Mungkin kata-kata mentor Dominika ada benarnya. Mungkin Perang Dingin tidak akan pernah berakhir.

 

Sebagai sebuah cerita, film ini punya sisi menarik. Kita ditaruh di tengah-tengah situasi politik di mana kita enggak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun di atas itu, yang membuat film ini susah untuk ditonton adalah betapa protagonis kita luar biasa tak tertebak. Film ini dengan sengaja mengaburkan isi kepala Dominika kepada kita, membuat kita tidak pernah sepenuhnya memahami keputusan yang ia buat. Tidak seperti pada Molly’s Game (2018)  di mana kita bisa mengerti apa yang membuat tokoh Jessica Chastain berpindah dari atlit ski, memilih menjadi Bandar Poker, kita paham mindsetnya, pilihan-pilihan yang dia ambil, pada Red Sparrow kita tidak mengerti bagaimana cara kerja pikiran Dominika. Kita mengerti dia terjebak dalam situasi yang tidak ia sukai, tapi kita enggak tahu apa tepatnya yang menyebabkan dia ada di sana. Transisi dari dia yang balerina sukses menjadi, katakanlah, pion dalam permainan spionase maut terasa sangat abrupt. Keputusan-keputusan Dominika disimpan rapat di dalam kepalanya sendiri, dan kita hanya melihat tindaknya dari luar. Mmebuat kita sulit peduli dan mendukung tokohnya. Dan sejauh yang bisa aku usahakan untuk mengerti, keputusan agensi Sparrow merekrut Dominika adalah karena masalah pelik keluarga, semacam nepotisme, dan karena Dominika punya paras cantik yang merupakan aset berharga jika kau mencari kandidat sempurna untuk mata-mata.

you don’t want to be a volunteer for this kind of job

 

Tidak ada yang namanya kebetulan di muka bumi. Tidak ada yang namanya kecelakaan. Semua hal terjadi karena suatu alasan. Ini adalah pelajaran berharga yang dipelajari dengan cara yang sangat keras oleh Dominika. Semuanya itu bersangkutan dengan kebutuhan manusia, sebagai makhuk sosial. Pada gilirannya, Dominika menjadi sangat tangkas dalam menebak apa yang diinginkan oleh target operasinya, tak terkecuali orang-orang di sekitarnya. Inilah yang membuatnya begitu cakap sebagai seorang mata-mata. Sebegitu handalnya sehingga Dominika dapat membalikkan kebutuhan orang sebagai keuntungan yang memenuhi kebutuhannya.

 

Film ini banyak bicara tentang bagaimana setiap manusia mempunyai kebutuhan. Akan ada banyak percakapan yang menanyakan “apa yang kau mau?” kepada seorang tokoh. Kebutuhan manusia menjadi poin vokal dalam narasi, tapi kita dengan sengaja dibuat tidak mengetahui kebutuhan sejati dari tokoh utama. Kita paham dia ingin ibunya yang sakit terurus dengan baik, tetapi gambar besar dari tujuannya sengaja ditutupi. Film seolah membuat pagar pertahanan di sekeliling tokoh utama yang mencegah kita untuk masuk dan peduli dan mengerti, dan hanya di saat-saat terakhir pagar ini membuka. Film banyak memanjang-manjangkan adegan yang kelihatan seperti momen gede padahal enggak benar-benar mengangkat cerita, hanya untuk memperlihatkan kepada kita kemampuan dan arah moral yang dipegang oleh Dominika. Karena sebenarnya hanya ada satu adegan kecil yang perlu kita tahu di akhir, adegan yang akhirnya membuat kita melihat Dominika seutuhnya.

 

 

 

Manusia adalah teka-teki kebutuhan. Film memilih untuk menggambarkan itu dengan tepat kepada tokoh utama sehingga kita bisa menjadi begitu frustasi saat menontonnya. Ceritanya tidak membingungkan, elemen politiknya bisa dipahami dengan sedikit perjuangan, mendukung tokoh utamanyalah yang merupakan tugas yang sulit. Kita bisa suka kepada setengah bagian dari film ini, karena dia begitu bernyali, punya adegan-adegan dan desain musik dan suara yang memikat. Sementara yang setengahnya lagi, kita akan kebingungan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for RED SPARROW.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

12 STRONG Review

“Spirit, that made those heroes dare to die…”

 

 

 

Dengan wajah berlumuran tanah Afghanistan yang hitam, Chris Hemsworth berlindung di balik puing-puing. Dia baru saja terjatuh dari kuda tunggangannya, yang sekarang pergi entah ke mana. Hemsworth tidak bisa mencemaskan itu sekarang, karena kesebelas pasukannya – kesebelas teman dekatnya – juga tidak ia tahu keadaan mereka bagaimana. Para Taliban yang selamat dari jatuhan bom dari pesawat, sedang melakukan serangan balasan secara tiba-tiba. Pasukan Amerika boleh saja menguasai udara, namun perang dimenangkan di darat. Dengan tank Taliban menyerbu balik. Pasukan sekutu kocar-kacir. Hemsworth menembaki pasukan musuh dengan marah. “Nah, kau punya Mata Pembunuh sekarang,” pemimpin pasukan Afghanistan yang jadi sekutu memujinya.

Ada banyak momen intens seperti demikian pada 12 Strong. Film perang garapan sutradara baru Nicolai Fuglsig ini paham betul cara menggambarkan tokoh protagonisnya sebagai pahlawan aksi. Adegan-adegan kuat yang merefleksikan perjuangan, yang membuktikan kehebatan juang dari pasukan pertama Amerika setelah peristiwa 9/11 itu akan membuat kita ikut merasa berdebar. Chris Hemsworth di sini memainkan tokoh yang beneran ada, dan dia sudah siap untuk semua aksi heroik tersebut. Dia adalah Nelson, seorang kapten yang belum pernah turun ke medan pertempuran. Namun kini, dia mengajukan diri untuk memimpin sebelas pasukannya ke tanah konflik di Afghanistan demi mengacaukan rencana teroris; menghambat pergerakan pasukan teror yang berencana menjadikan negara tersebut training ground sebagai semacam Hogswart buat teroris, kali’ . Dua belas orang ini adalah simbol perlawanan dan harapan kemanusiaan. Mereka, hanya berkuda saja, berjuang melawan tank baja. How cool is that? Dan ini nyata!

Kuda lawan tank, eng-ing-engg!

 

Secara mengejutkan,  meski memang fokus film ada pada ledakan dan aksi yang terlalu artificial, filmnya punya pengarakteran yang dangkal dan kebanyakan berangkat dari trope-trope usang film perang, sesungguhnya cerita punya daging yang membuat film ini lumayan menarik. Bagian terkuat cerita bukanlah pada saat tank-tank itu meledak, melainkan pada saat cerita membahas kemanusiaan dari perang. Di Afghanistan, pasukan Kapten Nelson dibantu oleh sepasukan pejuang lokal yang membenci Taliban, sekaligus juga gak menganggap Amerika  benar-benar sebagai teman. Jadi, Nelson harus berusaha menjalin komunikasi dengan mereka. Kalian tahu, mencoba mencari tahu apakah pasukan ini pantas dipercaya, mempelajari motif mereka, berusaha menyatukan dua kepentingan yang berbeda. “Hari ini kita teman. Besok bisa saja jadi musuh.” Begitulah persisnya situasi yang mereka hadapi. Jelas, ada perbedaan kebudayaan di antara kedua kubu yang bersekutu tersebut. Film menunjukkan ini lewat dialog antara Nelson dengan pemimpin pasukan sekutu, Abdul Rashid Dostum. Kita bisa lihat kedua orang ini belajar banyak dari masing-masing soal kepemimpinan. Soal motivasi perjuangan yang mereka lakukan. Soal perang.

Kata siapa mereka melakukannya karena berani mati? Nelson dan teman-teman, mereka ketakutan setengah mati. Mereka ingin pulang dengan selamat ke keluarga yang dicinta. Makanya mereka jadi berani. itulah yang membuat mereka menjadi begitu hebat. Reward mereka adalah kemenangan. Berbeda dengan pasukan Taliban yang tidak punya stake, karena bagi mereka reward mereka ada di saat setelah kematian. Kita justru akan membuat yang terbaik jika kita punya sesuatu yang ingin dipertahankan, jika ada suatu kehilangan yang kita takutkan.

 

Aku bisa memahami kesulitan yang diambil oleh film ini dalam menggambarkan bahaya. Maksudku, ini diangkat dari kisah nyata dan kita tahu apa yang terjadi, jadi ya akan sedikit ‘kebegoan’ yang kita rasakan ketika tembakan para Taliban itu enggak ada yang kena. Mereka dibikin udah kayak Stormtrooper demi kebenaran cerita. Tetapi pada akhir film, kita toh masih bisa menghargai perjuangan para tokoh. Kita masih melihat mereka sebagai pahlawan.  Ada juga beberapa adegan yang bikin kita ngeri akan keselamatan mereka. Dan kebanyakan hal tersebut datang dari pengorbanan para tokoh yang lain. Pemimpin pasukan Taliban dalam film ini, bandit gedenya, diperlihatkan sebagai benar-benar jahat. Pakaiannya aja udah hitam dari ujung kaki sampai ke turban. In fact, pertama kali kita melihatnya, orang ini sedang mengeksekusi mati seorang wanita di depan anak-anaknya. Apa dosa si wanita? Dia ngaajarin anak-anak ceweknya itu ilmu pengetahuan. Jadi, tidak banyak dilema moral yang dihadirkan. Tipikal pahlawan lawan penjahat. Orang yang sedikit ‘baper’ akan melihat film ini sebagai kehebatan Amerika melawan negara asing terbelakang. Orang yang kebanyakan main video game seperti aku akan menikmatinya sama seperti menikmati permainan video game yang seru dengan setiap adegan aksi sebagai stage yang harus dikalahkan oleh jagoan kita.

Pertanyaan moral tidak ditinggalkan sepenuhnya, meskipun juga tidak pernah benar-benar diangkat ke permukaan. Pasukan yang membantu Nelson itu, misalnya. Mereka membantu dengan agenda pribadi, kita diberikan pengetahuan tentang ada dua pasukan sekutu lain di Afghanistan, tapi mereka ini saling benci juga satu sama lain. Aspek ini hanya dijadikan latar saja lantaran kita tidak pernah tahu pasti apa yang sedang terjadi di negara tersebut. Kita tidak dibawa melihat ke dalam lingkup politiknya. Karena film ingin tampil ringan, maka ia mengenyampingkan elemen-elemen lebih gelap yang terkandung di dalam ceritanya. Seperti aspek ‘Mata Pembunuh’ yang kusebut di awal ulasan tadi. Kita tidak pernah benar-benar merasakan beban itu bergulat di dalam diri Nelson. Film perang yang baik akan menjadikan dilema moral tokoh utamanya sebagai fokus. Ambil contoh Full Metal Jacket (1987), tokoh utama film itu tadinya enggak mau membunuh anak-anak dan wanita. Di akhir film, justru dialah yang harus menarik pelatuk ke sniper remaja cewek Vietnam yang udah membunuhi teman-temannya. Konflik yang selaras sama perjalanannya memahami kematian merupakan salah satu jalan untuk mendapat kedamaian. Sebaliknya pada 12 Strong ini, perubahan yang Nelson alami; dari tentara menjadi pejuang, dari matanya gak memancarkan aura pembunuh menjadi punya tatapan nanar dengan keinginan untuk menghilangkan nyawa musuh, kita tidak betul-betul merasakan inner struggle dari ‘transformasi’  atau pembelajaran ini.

Dari yang ga pernah perang tau-tau jadi yang paling paham

 

Elemen yang menjadi pembeda cerita ini dengan cerita perang lain adalah gimana mereka berdua belas begitu ditekankan berperang dengan menunggang kuda. Tapi bahkan ‘gimmick’ ini pun tidak mendapat pengembangan yang berarti. Film gagal menggali stake atau bahaya dari aspek berkuda ini, padahal sudah ada build up kesebelas rekan tim Nelson tidak ada yang pernah berkuda sebelumnya. Hanya ada satu kali kesusahan naik kuda ini diperlihatkan sekilas, dan cuma satu orang yang eventually pinggangnya sakit kebanyakan menunggang kuda. Pada saat perang berlangsung, mereka udah kelihatan kayak joki paling profesional semua. Malah mungkin lebih jago mengingat terrain pegunungan berbatu dan ledakan bom di mana-mana. Dan tentu saja penggunaan kuda buat berperang itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk menambah kedalaman cerita dengan menantang moral – yang mana sesuai konteks dengan Nelson yang gak mau ada pertumpahan darah – namun film sama sekali tidak menggubris soal ini.

 

 

Film perang, dulu, digunakan untuk ‘menyindir’ perang itu sendiri. Dibuat sebagai sentimen dari pesan-pesan antiperang dengan mempersembahkan dilema moral yang dialami para tokohnya. Sekarang, film perang kebanyakan dimanfaatkan selayaknya media iklan untuk mempropagandakan kehebatan militer tentara tertentu. Film garapan Fuglsig ini mencoba untuk menjadi film perang berjiwa old, yang sayangnya malah ditangani dengan nyaris tidak berjiwa. Film ini mestinya bisa menjadi lebih baik lagi, mungkin, apabila pembuatnya mau terjun riset ngobrol ama veteran-veteran perang ketimbang mencatat aksi-aksi seru pada film-film perang yang pernah dibuat sebelumnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for 12 STRONG.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

WISH UPON Review

“You can’t lose something you never had”

 

 

Permintaan paling pintar yang bisa kita pikirkan jika diberkahi Tiga Permintaan oleh jin tentu saja adalah meminta lebih banyak permintaan, like, sejumlah tak-terhingga! Manusia itu hakikatnya pada serakah, jika diturui, keinginan kita tak akan ada habisnya. Bagai jurang tak-berdasar. Kita tahu apa yang kita mau (“Always Coca-cola~!”), tapi jarang sekali kita menyadari apa yang kita butuhkan. Ketika permintaan kita terpenuhi, kita masih gak puas. Selalu ada yang salah. Selalu saja ada yang kurang. Yang enggak sesuai dengan kemauan kita. Konundrum permintaan ini banyak telah terbahas di dongeng-dongeng, cerita jaman dahulu. Wish Upon meremajakan topik ini kembali, di mana reperkusi dari permintaan yang tidak bener-bener dibutuhkan itu, adalah hal mengerikan yang berujung kepada menghilangnya nyawa orang-orang.

Claire mendapat hadiah dari ayahnya. Sebuah kotak musik unik, penuh oleh tulisan Cina kuno pada permukaannya. Claire enggak mengerti cara memainkannya, dia pun cuma mengerti frase ‘tujuh permintaan’ dari tulisan-tulisan yang nampang di kotak tersebut. Satu-satunya waktu Claire dapat mendengar musik darinya adalah ketika kotak tersebut membuka dengan sendirinya, setelah Claire mengucapkan satu permintaan. Pertama, Claire enggak langsung percaya bahwa permintaannya dikabulkan. Kedua, Claire menjadi ketakutan ketika menyadari setiap kali dia girang, satu orang yang dikenalnya meninggal dunia. Kotak tersebut meminta tumbal darah atas setiap permintaan yang dikabulkan. Ketiga, Claire malahan enggak tahu harus berbuat apa, dia tidak bisa begitu saja menyinggirkan kotak mengerikan yang sudah mengubah nasibnya menjadi cewek paling populer di sekolah.

I wish aku gak pernah baca Goosebumps #12 sebelum nonton ini

 

This film wishes to become a TRENDY MARKETABLE HORROR. Dipasangnya Joey King yang punya ratusan ribu follower anak muda, digunakannya musik elektronik, dipakainya banyak adegan jumpscares, dibuatnya setiap adegan kematian tetap sadis meski minim darah untuk menghindari rating yang terlalu dewasa. Permintaan film tersebut mungkin saja terkabul, aku gak benar-benar ngikutin perolehan box office, tapi setahuku di negaranya, Wish Upon rilisnya saingan ama War for the Planet of the Apes (2017), so yea good luck with that. Yang bisa aku katakana adalah, dari banyaknya usaha untuk menarik minat pasar, nyaris enggak ada di antaranya yang bekerja dengan baik.

Salah satu aspek lumayan baik film ini adalah penulisan tokoh utamanya. Memang pada awal, Claire hanya diberikan satu trauma masa lalu yang enggak klop sama sikapnya yang malu ketahuan punya ayah seorang scavenger barang bekas. But that’s just her teen attitude kicks in. Ketika narasi mencapai babak ketiga, ada elemen obsesi yang merasuki. Dari remaja yang dibully, di depan mata kita Claire berkembang menjadi orang yang lebih mementingkan permintaannya ketimbang nyawa orang lain. Claire begitu kesulitan untuk mengenyahkan kotak musik. Bukan saja lantaran kotaknya enggak mempan dipukul dan dihancurkan, Claire enggak bisa membuangnya begitu saja sebab jika dibuang, segala permintaannya akan turut menghilang. Joey King could really deliver this state of mental, ada adegan di mana dia menjadi emosional sekaligus kebingungan yang terasa genuine. She was like, “aku bisa tetap punya, gak harus ngucapin permintaan kan” bicara kepada diri sendiri. Joey masih bisa tampil meyakinkan, meskipun poin per poin naskahnya tidak benar-benar dibangun dengan baik. Perubahan sikap Claire terhadap kotak tersebut terasa abrupt, antara dia ingin menghancurkan ke ia ingin tetap memilikinya seperti terjadi, melompat, begitu saja.

 

Kita tentu takut kehilangan apa yang kita miliki. Akan tetapi, kita sebagai manusia bisa menjadi begitu tamaknya sehingga kita takut kehilangan sesuatu yang tidak atau belum kita miliki.

Banyak orang stress, takut kehilangan masa depan. Bayangkan seseorang yang sudah punya rencana hidup yang matang, kemudian dia jatuh sakit. They will instantly think penyakitnya parah, dan kepikiran soal rencana hidup – kerja berpangkat gede, punya pasangan kece – dan gimana dengan sakitnya keinginan tersebut enggak bakal terwujud. Pikiran yang semakin memperparah sakitnya. Apa-apa yang didapatkan oleh Claire, buah permintaannya kepada kotak musik, tidak benar-benar pernah ia miliki. Kayak mimpi yang jadi nyata aja, but not really. Tapi bagi orang-orang seperti Claire, berpegang kepada mimpi itu adalah hal yang sangat penting. Dan sehubungan ini, kita bisa memetik pelajaran yang sejatinya bisa menjadi pengingat.

Bukankah semua yang kita punya di dunia ini tidak benar-benar kita miliki?

 

Berhati-hatilah terhadap yang kita inginkan, sebab kita tidak bisa mengatur dalam cara yang bagaimana permintaan tersebut akan dikabulkan. Sayangnya, ini adalah elemen seram yang dieksplorasi oleh buku Goosebumps karangan R.L. Stine yang berjudul Be Careful What You Wish For. Film Wish Upon juga sempat menyinggung sedikit tentang ini, namun pada perkembangannya film memilih mengeksplorasi jalur yang tidak seram sama sekali. Ditambah pula, tidak memancing kita untuk berpikir lebih dalam. Permintaan-permintaan Claire akan bikin bosan penonton yang lebih matang. I mean, pada dasarnya film ini lebih tepat disebut sebagai cerita remaja dengan elemen jumpscare ketimbang film horor utuh. Kita hanya dihadapkan kepada masalah anak muda yang pengen punya pacar cakep, pengen paling terkenal di sekolah, pengen punya banyak teman, pengen punya orangtua yang gak malu-maluin. Saat awal-awal, ketika Claire masih bereksperimen dengan kekuatan kotaknya, mungkin masih oke. Kita paham Claire masih remaja, dan dia ingin menyelematkan dunia untuk dirinya sendiri. Namun kemudian, dia sadar bahwa permintaan selfishnya mengundang petaka. Logisnya adalah it’s time untuk mengucapkan permintaan yang lebih serius dan berguna.  Claire, however, tetap menggunakan jatah permintaannya untuk hal-hal sepele. Sampai ke poin menyebalkan. Satu karakter dalam film ini malah sempat literally mengejeknya “Kenapa lo gak minta Perdamaian Dunia aja, sih?”

Atau paling enggak, minta supaya tidak ada kejadian buruk menimpa

 

Adegan mati yang menyertai setiap permintaan juga tidak ditangani sehingga bisa bikin kita ketakutan. Cuma sekuens kematian yang mereka punya supaya film ini bisa jadi seram, dan mereka malah menggarapnya dengan terlalu sok-menegangkan. Adegan mati di film ini persis kayak adegan di Final Destination. Situasi yang dipanjang-panjangin, kayak ketika seseorang mencuci piring, tangannya nyangkut di wastafel, badannya nyaris-nyaris nyentuh saklar penggiling, kompor di belakang nyaris kepanasan, dan kita enggak tahu mana yang akan membunuhnya. Namun hasilnya malah tidak semua adegan kematian tersebut terlihat menyeramkan. Malahan jadi konyol. Kayak ketika ada kakek-kakek yang mati di bak mandi; dia kepleset, begitu bangun kepalanya kepentok keran, kerannya ngucurin air panas, dan matilah dia oleh keran maut. I mean, mereka bisa mengurangi penderitaan si kakek dengan membuatnya kepleset, kepalanya kepentok, dan mati. Udah. Gak perlu banget macem-macem seolah keran yang menahannya bangun. Film sempat ngetease soal makhluk penunggu kotak, hanya saja tak pernah dibahas lagi hingga akhir.

 

Dalam usahnya tampil setrendi dan semainstream mungkin, Wish Upon enggak repot-repot mikirin gimana tampil orisinil.  Desain suara toh bisa nyomot dari stock sample sound. Shot-shot pemandangan pun bisa disulam dari gambar-gambar video. Serius, ada satu shot pemandangan kota yang keliatan gak serasi banget, burem, dan tampak dimasukin gitu aja. Mereka gak ngesyutnya langsung. Dengan beraninya, film juga menggunakan app yang dicontek langsung dari Pokemon Go sebagai salah satu plot device. Kreativitas yang dilakukan film ini adalah memainkan tone warna sesuai dengan keadaan hati Claire. Saat Claire sedih, bingung, takut, layar akan didominasi oleh tone biru. Ketika Claire gembira, warna menjadi cerah. Selain trik sinematografi itu, memang tidak ada lagi yang dipunya Wish Upon untuk tampil menarik buat penonton di luar demographic pasarnya. Bahkan untuk ukuran anak muda, elemen perundungan yang dipakai oleh film ini – cewek paling cantik di sekolah yang jutek dan jahat tanpa alasan sama tokoh utama, numpahin air dan like “oops, sorry” – terasa ketinggalan jaman banget.

 

 

 

Ditujukan buat penonton muda yang pergi ke bioskop untuk menghibur diri dengan terkejut bareng selama beberapa menit, film ini punya determinasi tapi tidak berhasil menyampaikan banyak. Rasa takut juga tidak. Film ini justru lebih seperti komedi romantis yang ada adegan kejut-kejutan, dengan tidak ada elemen yang benar-benar bekerja dengan baik. Joey King is good tho, dia bisa terjun dalam meski naskha tidak memberikannya kedalaman yang berarti.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for WISH UPON.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

MOAMMAR EMKA’S JAKARTA UNDERCOVER Review

“Don’t sacrifice your peace trying to point out someone’s true color.”

 

jakartaundercover-poster

 

Kalo kita mau kenal deket sama orang, alangkah lebih baiknya jika kita tahu yang buruk-buruk tentang orang tersebut. Apa kebiasaan jeleknya; apa dia suka ngeles, apa dia masih sering ngompol, apa dia hobi jajan tapi enggak pernah ntraktir, atau apa dia suka makan upil. Bukan supaya bisa kita manfaatin buat yang enggak-enggak. Supaya kita bisa belajar how to deal with them, gimana supaya kita bisa memahami mereka. Tampaknya hal ini juga yang kepikiran oleh Moammar Emka ketika nulis blak-blakan tentang pengalaman mengarungi dunia malam Jakarta di bukunya yang sensasional, buku yang later menjadi salah satu bacaan terlaris di Indonesia. Ibu kota memang keras, dia bekerja keras dan bermain juga keras. Dan kita diajak mengenal lebih dekat kota ini dari sisi terburuknya. Sehingga kita bisa menghargai Jakarta sampai ke lapisan-lapisannya yang paling rendah sekalipun. Karena memang, at heart, film ini adalah TENTANG RESPEK, RASA PERCAYA, DAN CINTA.

Jakarta Undercover yang ini actually adalah film kedua yang diangkat dari cerita-cerita bukunya. Jujur aku belum baca bukunya. Jadi aku gak bisa ngobrol banyak saat ketemu sama Mas Emka di closed screening beberapa bulan yang lalu. Saat buku Jakarta Undercover ngehits aku masih dalam fase usia yang polos. Ceile alasannya ahahaha. Film pertama yang dibintangi Luna Maya, tayang 2006 lalu, juga aku belum pernah nonton. Jadinya lagi, aku gak bisa bikin perbandingan antara film yang disutradarai oleh Fajar Nugros ini sama film yang pertama itu. Namun sukurnya ini bukanlah sekuel, ataupun remake. Melainkan sebuah babak cerita terpisah, anggap sebagai perspektif yang baru.

Kita melihat film ini dari kacamata Pras, seorang pria pendatang yang mengadu nasib jadi wartawan di Jakarta. Ngerasa gak berguna nulis artikel titipan pencitraan melulu, Pras ingin ngelakuin sesuatu yang signifikan. Pertama kali ketemu Pras, kita melihat dia dalam keadaan lagi lesu-lesunya; dia males ngerampungin artikel wawancara pejabat, kerjaannya minum bir dan turu, dia boongin ibunya yang senantiasa nelpon nanyain keadaan Pras. Kesempatanlah yang kemudian datang kepada Pras. Serangkaian adegan ‘aslinya gak niat nolong orang’ menghantarkan dirinya masuk ke dalam inner circle seorang ‘organizer’ acara-acara underground di Jakarta. Memanfaatkan pertemanannya dengan Yoga, juga dengan Awink, Pras dapet akses keluar masuk berbagai party. Dia diam-diam menulis tentang kehidupan malam yang baru kali ini dia kenal. Tapi tentu saja, things menjadi complicated. Masalah etika masuk di sini. Pras ngerasa bersalah saat tulisannya akan turun cetak. Tak pelak keadaan menjadi berbahaya, karena dunia underground tersebut enggak suka diekspos ke cahaya. Dalam dunia yang mestinya tertutup rapat, kepercayaan adalah hal yang utama, terutama bagi Yoga yang bukan orang sembarangan. I mean, oh man, jika saja Yoga tahu – dan Pras sadar – bahwa ternyata mereka menyintai wanita yang sama..!!!

cinta memang gila
cinta memang gila

 

Menonton film ini, samar-samar aku mendengar kembali nasehat yang pernah dilontarkan oleh guru biologiku waktu SMA. Ketika itu memang di sekolah lagi maraknya berantem antargeng dengan sekolah lain. Jadi yaa, di sekolah semacam buka unofficial open rekrutmen jadi pasukan gitu. Dan si ibu guru dengan suaranya yang keibuan bilang “Dalam pergaulan, kita dan teman-teman saling mewarnai. Jangan sampai diri kita terwarna lebih banyak oleh warna-warna gelap dari teman-teman. Lebih baik kita yang mewarnai mereka dengan warna terang sebanyak-banyaknya.”

 

Dalam usahanya untuk tidak tersilaukan sama gemerlap lingkaran kelam Jakarta, Pras enggak sadar bahwa dia mewarnai orang-orang gabener itu lebih banyak daripada mereka mempengaruhi sikap dirinya. Menurutku, di sinilah letak elemen yang paling menarik dari film Jakarta Undercover. Film ini tidak pernah memperlihatkan orang yang nari-nari nyaris telanjang, orang yang menjual diri, yang transaksi obat-obat, yang berantem demi daerah, orang kayak Yoga, tersebut sebagai pihak yang total hitam. Malahan, kalo mau nunjuk yang paling ‘bengkok’, telunjuk kita akan mengarah ke Pras yang gak pernah terang-terangan nunjukin niat aslinya bergaul dengan mereka. Eventually, kita akan melihat gimana Yoga mempraktekkan apa yang ia dapat dari perbincangannya dengan Pras. Sementara tokoh kita belajar mengenai lingkungan barunya buat cari hal yang bisa dijadikan bahan tulisan, ‘teman-teman’ baru Pras belajar banyak hal positif dari dirinya. Tentang bagaimana keinginan Pras menjadi berguna bagi orang banyak sudah turut mempengaruhi orang lain. Dan Pras gak menyadari itu sampai tulisannya dicetak, makanya dia merasa amat bersalah. Tulisannya bisa berpengaruh terhadap banyak orang, justru in a bad way.

Dan makanya lagi, karakter favoritku di film dengan banyak tokoh-tokoh bercela ini adalah Yoga. There’s so much depth and layers dalam pribadinya. Dia begitu jujur dalam apapun. Dia tahu dia orang berpengaruh. Dia tahu apa yang ia mau. Dia tahu apa yang ia benci. Gabungan dari semua berkumpul dan bermanifestasi menjadi seorang karakter yang kinda menyeramkan, tapi, kita paham dia dan kita respek. It’s such a complex character. Baim Wong luar biasa memerankan Yoga. Memberikan intensitas yang sangat dibutuhkan oleh film ini. Setiap scene yang ada dia seolah berbunyi “tik-tik-tik” bom-waktu karakternya meledak. Setiap scene yang ada Yoga dan Pras, Yoga nanyain Pras sesuatu, dan Pras menjawab canggung, is just dripping oleh perasaan ngeri, was-was. Akting dalam film ini so good, mereka berdua bahkan sebenarnya enggak perlu musik latar buat negasin emosi. Oka Antara juga excellent dalam memainkan Pras yang kelihatan awkward di antara party-party dan lingkungan barunya.

Yang sukses nyulik perhatian semua orang, tak lain dan tak bukan adalah penampilan Ganindra Bimo. Tadinya kupikir peran ‘unik’nya di sini cuma sebagai sidekick buat nyampein comedic relief dan alat eksposisi doang. Awalnya Awink malah lebih ke kayak anak kecil yang annoying. Ternyata Awink juga punya momen dramatisnya sendiri, dan actually menambah cukup banyak buat keseluruhan cerita. In fact, setiap karakter diberikan momen di mana mereka bisa bersinar secara emosional. Bahkan tokoh pendukung minor kayak tokohnya Lukman Sardi juga punya api di sini. Tyo Pakusadewo juga great. Film menjadi begitu intens setelah lewat mid-point. Everything dibangun properly sehingga PERTENGAHAN AWAL TERASA SEPERTI FOREPLAY, DENGAN SEGALA EMOSI TERCROT MEMUASKAN DI PARUH AKHIR.

Everyone’s just finally saling pointing out ‘warna’ masing-masing, dan yang kita tonton adalah adegan yang sama sekali jauh dari damai. Hal yang mungkin sebaiknya tidak dilakukan, biarlah rahasia itu tertutup rapat. Tapi mungkin, di dalam dunia yang tidak necessarily melulu putih atau hitam, itulah tindakan yang harus dilakukan oleh setiap orang; to recognize flaws.

 

Ada banyak adegan-adegan yang memorable dan membekas, karena film ini tampaknya dibuat dengan sangat have fun. Aku suka adegan mandi; Laura menggosok badannya keras-keras ingin mengikis noda yang tak akan pernah sirna. Aku suka gimana mereka memanfaatkan skit orang gila di supermarket sebagai somekind of 4th-wall-breaking messenger kepada penonton. Aku suka adegan makan di warteg sambil ngomongin soal makan temen. Aku suka the very last shot of Pras, aku enggak akan spoil tepatnya apa di sini.

Oke, let’s just address the elephant in the room. Jakarta Undercover adalah film dengan BANYAK ADEGAN DEWASA. Sebagian besar disyut dengan really close. Sangat tense, terkadang ada violencenya juga. Versi yang diputar saat closed screening adalah versi utuh, aku nontonnya jadi kepikiran, “ni film ntar gimana bentuknya abis kena sensor?”. Ternyata mereka berhasil ngetrim beberapa tanpa merusak penyampaian film. Mesti begitu presentasi film ini masih terlalu dewasa, kekerasan dan beberapa perlakuan dalam film bisa jadi hal yang mengganggu, terutama bagi penonton yang easily get offended oleh persoalan nilai wanita dan pria.

 The moment Pras nyesel tape recordernya gak bisa ngerekam video.
The moment Pras nyesel tape recordernya gak bisa ngerekam video.

 

Untuk sebuah film tentang orang yang mencari bahan tulisan dengan bekerja diam-diam, film ini tidak punya sense of discovery yang kuat di dalam ceritanya. Maksudku, memang di film ini masih ada dari kita yang akan baru pertama kali tahu ternyata di Jakarta ada yang begituan (film ini diangkat dari buku yang terbit belasan tahun lalu yang berisi pengalaman penulisnya), namun secara penggalian cerita tidak benar-benar ada hal baru untuk kita temukan. Aku ngerasa ada film yang ceritanya seperti ini sebelumnya, you know, cerita tentang dua orang mencintai wanita yang sama, it’s like usual trope di film-film gangster. Fokus romansa dan nyerempet ke komedi membuat film terasa generic. Film ini jadi terasa ringan, alih-alih suatu sajian pembuka mata yang mestinya bisa lebih heavy, lebih kritis, lebih berdaging.

Endingnya agak sloppy. Aku lebih suka babak akhir versi yang kutonton di closed screening, karena di situ filmnya kinda leave it open buat beberapa hal, kayak adegan shoot out. So at least di ujungnya ada yang berusaha kita discover sendiri. Aku juga agak enggak akur sama penggunaan flashback dan cara film ini actually menggunakannya. Agak keseringan sehingga seolah film ini enggak percaya penonton ingat sama apa yang sudah terjadi di awal-awal. Dan lagi, film ini memakai efek kayak grainy grainy gitu di setiap adegan flashback, sebagai pembeda. Hanya saja justru adegan-adegan tersebut jadi terasa semakin dilempar ke muka kita. Juga adegan mimpi yang heavy oleh editing. Yang sebenarnya enggak diperlukan karena toh dengan segera filmnya ngasih tau itu adegan apa lewat dialog. It takes us away from the story. Mungkin akan lebih baik jika penonton dibiarkan recognized sendiri mana yang real-time mana yang enggak.

 

 

 

Secara sajian memang relatif ringan, tapi bakal ‘berdarah-darah’ oleh penampilan yang bakal menjadi teramat sangat emosional. Towards the end film ini intens oleh performa brutal oleh emosi. Tokoh-tokoh ilm ini akan ninggalin kita dalam keadaan babak belur. Kayak tokoh-tokohnya, teknikal film ini juga ada celanya. Sound design yang agak off. Penggunaan efek lensa/kamera yang somewhat distracting. Playful elemen dalam film ini enggak semuanya bekerja dengan baik. Namun jangan takut jangan khawatir, ini bukan film yang jualan liuk tubuh tanpa busana dan desahan bibir merah. Yang disibak oleh film ini adalah bukan soal betapa ‘kotor’nya Jakarta. Ada misi kemanusiaan yang menguar dari narasi ringan yang menitikberatkan kepada respek, rasa percaya, dan cinta.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MOAMMAR EMKA’S JAKARTA UNDERCOVER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.