Care Tips for Your Built-in Shaper Dress: Extend Its Life

 

Built-in shaper dresses are slowly becoming a staple for many. These are pieces that offer just the perfect blend of function and style. They can provide a sculpted and smooth silhouette without the need to wear additional shapewear.

This shapewear type can be an excellent choice for formal and casual occasions as well. You could easily achieve that movie-star looks if you wore this shapewear type to a movie premier, for example. You just have to pay attention like any other clothing piece, the built-in shaper dress combines delicate fabrics with shaping technology and requires special care to extend its lifespan and maintain its effectiveness.

 

 

Structure and fabrics

These dresses usually feature a combination of form-fitting and stretchy fabrics with more traditional materials. The shaping elements get integrated into the lining, and it will provide targeted compression in areas like the hips, waist, and thighs.

There’s a delicate balance between compression and comfort, making these garments unique. But they are also more susceptible to more damage if you don’t care for them the proper way. Knowing and understanding the structure of your dress will help you make decisions about how to clean and store it.

 

 

Following the care label instructions

This is for sure one of the first tips you should consider to take care of your built-in shaper dress. The label provides crucial information about how you dry, store, and wash it. The manufacturers tailor their guidelines to the specific materials and construction of your garment. You’ll maintain the integrity of the piece by following them.

Some should be hand-washed in cold water; others can be machine-washable but on gentle cycles. Follow the advice against certain practices to avoid damaging the fabric or the built-in shaping elements.

 

 

If possible, always hand wash

Hand washing tends to be the safest method to clean your favorite wholesale shapewear piece. This way, you are gentler with the fabric and are also avoiding potential wear and tear. To safely hand wash your shapewear, you should fill in a basin
with cold water. Then soak the piece and agitate it gently. After that rinse it thoroughly and press out the excess water.

 

 

Laundry bags for machine washing

Sometimes, hand washing is not an option, and if the care label allows machine washing, always make sure you are using a laundry bag to protect the piece. It will prevent the dress from tangling with other times in your washing machine. Which tends to tear and stretch the fabric. In this case, you should use a gentle cycle and a mild detergent. Don’t forget to wash it with similar items too.

 

 

Letting it air dry flat

Correctly drying your built-in shapewear is as important as washing it. The tumble dryer heat can be damaging to the elastic fabrics in the shapewear. It can also lead to loss of compression and stretched-out fit. To properly dry it, you have to lay it flat and avoid direct sunlight. Most importantly, don’t forget that patience is key as it usually takes longer than tumble drying.

 

 

Carefully store it

Properly storing your piece is essential to maintain its effectiveness and shape. Consider avoiding hanging it, especially for extended periods. Fold it carefully along the natural seams and store it flat on a shelf or drawer. If you need to store it for longer periods use tissue paper between the fold. This prevents creasing and the fabric from rubbing against itself, which causes pilling.

And don’t forget to keep it away from humidity and heat. Store it in a cool and dry place, and of course, away from heat sources or direct sunlight. High temperatures and moisture can degrade the elastic fabrics or can lead to unpleasant odors.

 

 

Rotate your pieces and handle them with care

If you own multiple pieces, rotating them will help expand the lifespan. If you wear one piece frequently can make it wear out quicker, especially in areas with high stress. When you rotate them, each piece will have time to recover its shape and elasticity. Remember they also need careful handling. Avoid tugging or pulling the fabric.

HOUSE OF GUCCI Review

“Marriage is never meant to be a power struggle”

 

Lewat House of Gucci, Ridley Scott mengajak kita mengunjungi kembali peristiwa kriminal yang pernah menggemparkan dunia fashion di tahun 1995. Pembunuhan Maurizio Gucci – yang saat itu adalah kepala dari rumah fashion Gucci – oleh istrinya sendiri. Technically, aku baru saja ngasih spoiler ending film, tapi sebagaimana Scott yang membuat film berdasarkan kasus yang hasil akhirnya sudah diketahui semua orang, kita harusnya gak peduli. House of Gucci bukanlah cerita yang ditonton untuk mengetahui akhirnya apa. Scott membuat ini untuk kita menyaksikan drama power struggle dalam sebuah pernikahan, dan dalam sebuah keluarga besar. Menyaksikan relationship dan konflik yang menyebabkan peristiwa kriminal tersebut bisa sampai terjadi. House of Gucci harusnya adalah drama ketamakan manusia yang sensasional. Namun antara keglamoran dunia fashion, intrik keluarga italia, dan karakter penghuni cerita yang ambisius dan eksentrik, film ini tampil kurang efektif dalam menyuguhkan cerita tersebut.

guccimerlin_198002253_589f1b9f-9b6b-4be7-963f-21eb8264c413-superJumbo
Harta, tahta, wanita, dan fashionista

 

Bisnis bareng keluarga itu susah. Jangankan bisnis. Barang dipinjam ama keluarga aja, kita segan memintanya kembali. Disetel untuk menjadi cerita sepanjang dua jam setengah, Ridley Scott memang meluangkan waktu untuk mengembangkan drama dan relationship para karakter di balik bisnis keluarga Gucci. Bisnis fashion item dengan drama keluarga. Scott memperlihatkan awal semuanya. Memperlihatkan bagaimana Maurizio Gucci bertemu pertama kali dengan perempuan yang soon-to-be-his wife, Patrizia. Cinta yang mekar tersebut tidak direstui oleh ayah Maurizio. Yang membuat Maruizio rela meninggalkan semua privilege dan kekayaannya, demi Patrizia. Tapi begitu mereka menikah, perempuan dari ‘rakyat jelata’ yang ia nikahi tersebut sadar betapa besar nama belakang yang kini melekat juga sebagai namanya. By then, Gucci yang dibangun sebagai bisnis keluarga sudah jadi brand fashion ternama. Patrizia lantas ‘menyemangati’ Maurizio untuk ikut berkecimpung kembali ke bisnis itu. Cerita kemudian mulai jadi ‘seram’ karena begitu karakter-karakter tersebut mencicipi hasil usaha, mereka pengen nambah lagi dan lagi. Maurizio dan Patrizia bahkan pengen mengangkangi bisnis tersebut sendiri saja, mendepak keluarga yang lain – yang telah membantu mereka. Dan ya, ini tidak berakhir baik bagi mereka berdua beserta seluruh keluarga.

Yang paling kita nikmati pada film ini adalah alurnya. Konflik yang bertumbuh semakin pelik, karena perlahan kita mulai melihat sisi kelam karakter, dan mereka memilih untuk terjun ke dalamnya. House of Gucci seperti terbagi dalam episode cerita yang jelas. Berawal dari romansa, ke perjuangan memajukan bisnis, kemudian berkembang lagi menjadi intrik dan konsekuensi yang lebih kelam. Taring penyutradaraan Scott kelihatan di sini. Dari intensitas cerita yang perlahan semakin membesar. Semakin serius. Kita tahu apa yang bakal terjadi, dan Scott memanfaatkan pengetahuan kita tersebut – katakanlah, spoiler ending tadi – untuk menghasilkan dramatic irony yang kuat. Film ini dimulai dengan kisah roman, supaya kita bisa tumbuh peduli sama karakter Maurizio dan Patrizia. Lalu tantangan bagi film ini adalah membuat dua karakter tersebut punya sisi kelam, mereka melakukan pilihan yang bakal bertentangan dengan moral kita, tapi dilakukan tanpa membuat kita otomatis meninggalkan mereka. Tantangan tersebut berhasil dijawab dengan cukup sukses oleh film.

Maurizio dan Patrizia legit kayak pasangan beneran, dan saat waktunya tiba mereka completely kelihatan sebagai orang egois. Film berhasil menunjukkan kepada kita pengaruh power kepada manusia. Kuasa bahkan bisa menjatuhkan cinta dari singgasana. Supaya elemen ini tidak membuat film serta merta menjadi melodramatis saking kelamnya, Scott berusaha menghidupkan sisi glamor dari bisnis fashion Gucci itu sendiri. Perkara tetek bengek bisnisnya, film sebenarnya cukup berhasil. Cerita tidak jadi membosankan ketika yang kita lihat di layar adalah meeting dan negosiasi. Kita juga gak perlu ngerti fashion atau akrab ama produk Gucci untuk bisa paham. Film menyediakan latar belakang yang cukup lewat hubungan keluarga Maurizio, lewat karakter-karakter unik itu semua. Scott memang melakukan sedikit penyederhanaan. Keluarga besar Gucci tidak semuanya disorot, malah hanya ayah, paman, dan sepupu Maurizio saja yang diadakan di dalam narasi. Scott ingin memastikan ceritanya fokus. Namun masalah yang dipunya film ini bukan dari penyederhanaan tersebut, melainkan dari penyeimbangan yang dilakukan oleh film setelah usaha-usaha memadatkan narasi.

Seperti misalnya pada karakter. Adam Driver memainkan Maurizio dengan tone drama yang simpatik dan serius. Dia inilah karakter yang bakal paling ekstrim menunjukkan perubahan, tapi juga dia yang bakal dapat konsekuensi paling naas. Maka dia jugalah karakter yang harus dibentuk sebagai loveable karakter; kita harus benar-benar peduli padanya. Jika film ini bekerja pada rancangan yang sama dengan rancangan untuk karakter Maurizio seorang, maka film ini bakal jadi drama yang serius. Yang enggak benar-benar sesuai dengan dunia glamor atau keeksentrikan lapangan bermainnya. Dunia desainer dan bisnis. Karakter keluarga Gucci yang lainnya semuanya udah kayak over-the-top. Ayah Maurizio diperankan oleh Jeremy Irons merupakan mantan aktor film yang kini tegas dan idealis. Pamannya, Aldo diperankan dengan looks so easy oleh Al Pacino, karakternya lebih nyantai. Sepupunya, Paolo, udah kayak komedi dibawakan oleh Jared Leto dengan aksen dan sikap yang benar-benar tak biasa. Mereka semua itu udah kayak karikatur jika dibandingkan dengan karakter Maurizio.

guccithequint_2021-07_734e0c34-124a-4cce-8b2d-0698d21dbcff_hh
Aku mengucek mataku berulang kali karena aku gak bisa lihat Jared Leto di adegan ini!

 

Karakter Maurizio butuh jembatan untuk ke mereka, butuh penghubung tone dramatis dengan yang lebih nyentrik. Karakter Patrizia-lah jembatan tersebut. Lady Gaga memainkan karakter yang dibikin romantis tapi juga penuh ambisi. Dan karenanya, Gaga seperti yang paling kena getahnya. Gaga memainkan Patrizia dengan cemerlang, jangan salah. Tapi cemerlang dalam konteks dan fungsi sebagai jembatan di sini berarti Gaga memainkan karakter yang paling gak konsisten pada tone. Pada pembawaan. Dia ada di antara over-the-top dengan drama yang serius. Beberapa momen karakternya (misalnya saat bersama ‘penasihat’nya yang seorang peramal) tampak lucu dan mengundang tawa, walaupun mereka sedang berkomplot untuk suatu tindak kejahatan. Film ini hebat menampilkan fashion dan kostum-kostum. Tapi begitu di Gaga, kelihatannya setengah-setengah. Aku melihat Gaga jauh lebih over-the-top dengan kostum-kostum pada serial American Horror Story: Hotel ketimbang pada film ini.

Padahal Patrizia yang paling kompleks. Dia tokoh utama cerita. Kita bisa melihatnya sebagai banyak. Perempuan yang masuk ke dalam keluarga bisnis patriarki. Jelata yang masuk ke dalam sebuah ‘dinasti’. Orang biasa yang masuk ke dalam lingkaran para pedagang dan seniman. Hampir setiap kesempatan Patrizia diingatkan bahwa dia bukan siapa-siapa. Patrizia ingin benar-benar mengenakan nama Gucci itu sebagai lencana. Bukan sebatas itu, perempuan ini pengen buktiin dia lebih berharga untuk nama dan bisnis tersebut. Namun naskah tidak seketat itu mengikutinya. Pada pertengahan kita sering dilepaskan darinya. Kita juga jarang sekali benar-benar dibuat memasuki pikirannya; ketakutannya, ambisinya, cintanya. Kita baru masuk mendalam lagi ke Patrizia menjelang akhir, dan itu jatohnya malah datar. Kita telah melewati perpindahan perspektif. Ditambah pula dengan tone karakter ini yang di tengah-tengah, susah untuk dengan segera konek kembali kepadanya.

Alasan sebenarnya Patrizia membunuh Maurizio adalah karena dia merasa dikucilkan dari power atau kekuasaan Gucci yang berusaha dia rebut demi suami in the first place. Walau Patrizia memang cinta sama Maurizio, tapi kecemburuannya bukan semata sama suaminya yang dekat ama cewek lain. It is a power struggle. Pada akhirnya kedua karakter ini gagal karena mereka tidak lagi melihat pernikahan sebagai penyatuan kekuatan. 

 

Bagian paling penting yang tidak diperlihatkan detil oleh film adalah momen-momen penangkapan Patrizia. Mungkin karena sudah kepanjangan atau karena bagian tersebut udah tercover oleh berita tentang kasusnya di dunia nyata. Tapi, sebagai karakter utama, sikapnya yang menolak dipanggil dengan nama-belakang asli; hingga detik terakhir Patrizia bersikekeuh untuk dipanggil sebagai Nyonya Gucci, adalah sikap yang penting untuk narasi. Film sebenarnya perlu menekankan adegan tersebut, memberikan lebih banyak konteks, ketimbang memperlihatkan sekilas sehingga malah terkesan kayak gaya-gayaan. Ending film ini mestinya powerful sekali, tapi efek yang dihasilkan tidak maksimal karena naskah yang tak seketat itu ada pada Patrizia. Ujungnya, ya keputusan menjadikan karakter utama sebagai ‘jembatan’ jadi terlihat seperti keputusan yang aneh. Tidak efektif untuk penceritaan.

 

 

 

Cerita yang menyuguhkan begitu banyak ini, baik itu konflik maupun karakter, jadinya kayak sajian prasmanan yang gak semuanya bisa kita nikmati karena tidak benar-benar sejalan atau melengkapi antara satu dengan yang lain. Pada film ini yang tidak sejalan itu adalah tone antara dramatis, kelam, dan kemunculan elemen over-the-top sebagai panggung dunia cerita. Karakter-karakter yang dibawakan seperti parodi aksen berbenturan dengan elemen dramatis, dan sebagai penghubung keduanya adalah karakter utama. Si karakter jadi seperti tak konsisten. Ditambah pula dengan kita tidak selalu berada bersama perspektifnya. Kembali ke sajian; film ini adalah sajian yang mahal, exciting, excuisite, tapi menunya perlu diseimbangkan ulang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for HOUSE OF GUCCI

 

 

 

That’s all we have for now

Film ini bicara tentang bisnis keluarga yang gagal, dalam artian tidak menyatukan keluarga. Justru Gucci kini berhasil tanpa drama keluarga Gucci di baliknya. Bagaimana pendapat kalian tentang seteru keluarga dalam bisnis ini? Mengapa kayaknya susah sekali berbisnis dengan keluarga?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

OCEAN’S 8 Review

“Let something be its own thing”

 

 

Sejujurnya aku ngeri. Aku tidak akan pernah bisa mengerti sejauh mana cewek rela terjun demi mendapatkan apa yang mereka mau – dalam kasus Debbie Ocean, ingin mengambinghitamkan cowok yag menjebloskannya ke penjara. Maksudku, tentu kita sukar sekali misahin unsur feminisme pada jaman kekinian, semuanya tentang pemberdayaan sekarang ini; namun Ocean’s 8 yang notabene adalah versi cewek dari Ocean’s Eleven tanpa tedeng aling-aling memperlihatkan tokoh-tokohnya memanfaatkan ketidaksamarataan gender sebagai senjata utama. “Cowok diperhatikan orang, cewek enggak.” kurang lebih begitu kata Debbie yang merupakan adik dari Danny dari tokoh utama trilogi asalnya. “untuk sekali ini kita ingin semua orang tidak memperhatikan kita” dia menutup rapat rencana perampokan permata geng cewek mereka, dengan isyarat keras kenapa tidak ada laki-laki di dalamnya.

Bergantung kepada sikap kesatria para pria yang segan masuk ke dalam kamar mandi wanitalah, Debbie merancang rencana perampokan permata di acara Met Gala itu dari bilik sel isolasi saat masih di dalam penjara. Ocean’s 8 bercerita dengan mengambil sudut pandang seorang wanita yang di dalam dirinya sudah mengalir darah penipu ulung. Yang tentu saja diback-up dengan kemampuan infiltrasi, penyamaran, dan berbahasa yang luar biasa. Dengan cepat kita dibuat tahu sejempolan apa kehebatan si Debbie ini. Dijual sebagai spin-off, sesungguhnya film ini bertindak sebagai sekuel dari trilogi rebootan filmnya Frank Sinatra; ceritany merupakan kelanjutan dari timeline cerita garapan Steven Sodenbergh, bertempat di ‘dunia’yang sama, dan Ocean’s 8 berhasil setidaknya mengimbangi trilogi tersebut dalam segi gaya dan keasyikan menonton.

Bukan karena keglamoran dan hingar bingar pesta dengan segala perhiasannya yang membuat mereka tertarik untuk melakukan perampokan berencana, melainkan karena mereka tahu persis bagaimana perangkap feminisme dalam dunia glamor itu bekerja di dunia nyata

 

 

Semua hal pada film ini, mulai dari perencanaan hingga actual heist – bahkan aftermath nya pun tampak sangat mewah. Dari kacamata sutradara Gary Ross, kita bisa paham kenapa film ini punya kepentingan untuk tampil ngepas ama trilogi pendahulunya. Jika kita menonton semua film dalam franchise ini berurutan, kita tidak akan menemukan ketimpangan yang mencolok. Karena dia benar-benar bekerja dengan mengikuti formula yang sudah ada. Keasyikan menonton film ini terutama datang dari jajaran castnya, obviously. Hampir-hampir mereka semua adalah papan atas Hollywood. Sandra Bullock dan Cate Blanchett begitu luar biasa charming dan fantastis. Chemistry para pemain meyakinkan sekali, tidak ada titik lemah dalam departemen akting. Mereka semua tampak fabulous dari segi akting maupun penampakan. I mean, wardrobe film ini benar-benar niat , seperti menyaksikan fashion show yang berselera tinggi. Anne Hathaway cakep banget, aku suka melihat duonya dengan tokoh Helena Bonham Carter di sini. Tadinya yang menghawatirkan buatku adalah Rihanna, karena dia yang punya jam terbang akting yang paling kurang di antara nama gede yang lain. Namun untungnya film tampak mengerti akan hal tersebut, jadi mereka memainkan Rihanna ke dalam peran yang tepat; tokohnya adalah seorang hacker jalanan yang gak suka banyak bicara. Rihanna sukses memerankannya, dia tidak mewujudkan kekhawatiranku menjadi kenyataan. Aku sudah suka Sarah Paulson sejak American Horror Story season 2, dan setiap kali dia tampil di layar dia membawa rasa bangga dan tidak pernah mengecewakan.

bisa jadi referensi baju baru abis lebaran nih buat cewek-cewek hihi

 

 

Segala kecantikan, keglamoran, dan kekerenan dan keseruan teaming up tersebut tampaknya digunakan untuk membuat mata kita silau. Untuk mengelabui kita dari ‘perampokan’ sebenarnya yang dilakukan oleh film. Aku enggak membenci, malahan sangat terhibur olehnya, tapi fakta bahwa film ini sesungguhnya tidak menawarkan apa-apa yang baru di baliknya – tidak ada kepentingan sepertinya selain untuk meneruskan franchise sukses – membuatku tak tanggung-tanggung kecewa. Apa yang mestinya sebuah lanjutan, dengan gimmick gender flipping dan semua itu, malah terasa tak lebih dari sebagai sebuah remake. Film ini meniru apa-apa yang dilakukan Soderbergh pada Ocean’s Eleven (2001) nyaris beat per beat. Lihat saja adegan pembukanya; Sandra Bullock menghadap kamera, ia sedang ditanyai mengenai apa yang akan ia lakukan jika dibebaskan oleh petugas kepolisian yang hanya kita dengar suaranya, persis seperti pada film pertama. Ocean’s 8 tidak tampak berusaha menjadi film sendiri, mereka basically mengembangkan film ini dari kerangka poin cerita yang sama dengan film pertama, hanya mengganti pemeran pria dengan wanita. Menukar uang dengan permata.

Ada banyak teknik zoom dan wide shot panjang sama seperti yang dilakukan Soderbergh. Meskipun teknik demikian bukan semata cap dagang Soderbergh, tapi mengingat film ini adalah produk keempat dari sebuah franchise, kita dibuat untuk mau tak mau melihat bagaimana film ini begitu keras berusaha untuk tampil mengikuti alih-alih menjadi diri sendiri. Jika kita punya perombakan besar-besaran, dengan cast dan bahkan crew yang sudah begitu berbeda, membuat hasil akhirnya sebagai produk yang gitu-gitu aja buatku tak bukan adalah sebuah kesia-siaan. Paling enggak, seharusnya mereka membuat film ini tidak sedemikian gampang untuk dibandingkan dengan film yang pertama – terlebih dengan segala versi cowok dan versi cewek ini.

Sekuen perampokan permata di Met Gala memang akan selalu seru, namun tidak disuguhkan sesuatu yang baru. Bahkan tidak ada stake yang benar-benar membuat kita peduli di sana. Kita tahu mereka akan berhasil, kita hanya duduk di sana ngikutin dengan merasa senang. Seperti yang sudah kita rasakan berkali-kali. Akan jauh lebih menarik jika ada intensitas dalam sekuen tersebut ketimbang sekadar melihat orang berseliweran sambil tersenyum berahasia dan sesekali melihat kameo bintang-bintang. Film ini kurang bumbu penjahat yang menyakinkan, halangan yang terasa benar-benar mampu untuk menggagalkan rencana mereka. Semuanya tampak begitu gampang buat mereka, dan di titik ini aku udah enggak begitu pasti entah hal hal tersebut dikarenakan tokohnya memang dibuat terlalu pinter atau filmnya sendiri yang dibuat dalam mode easy karena tokoh-tokohnya cewek semua.

atau mungkin pembuat filmnya memang ingin film ini di-ignore seperti kata Debbie

 

Sebuah film spin-off atau sekuel sebaiknya berani untuk digarap menjadi berdiri sendiri, tidak lantas meniru. Sepertinya memang kita harus membiarkan sesuatu menjadi dirinya sendiri. Karena semua udah ada tempatnya masing-masing. Cewek ya jadi cewek aja, cowok pun sebaiknya jadi cowok aja. Jangan jadi sesuatu yang bukan diri kita.

 

 

 

Setiap kali aku nonton film kayak gini, rasanya selalu aneh, lantaran ini sebenarnya termasuk dalam film yang susah dikategorikan ke dalam rating angka. Film ini dibuat dengan estetika yang benar; strukturnya enggak ngaco, pemain-pemainnya bekerja dengan baik dan luar biasa meyakinkan. Bahkan penampilan mereka pun bagus, bajunya kece-kece. Ini adalah film yang menyenangkan, namun menyenangkan yang sama yang sudah kita rasakan paling enggak tiga kali. Tuntutan untuk menjadi lebih baik, menjadi hal yang baru akan selalu ada, dan film ini gagal memenuhi kedua hal tersebut. Baik dan menyenangkannya hanya dalam batasan meniru yang sudah ada. Hingga menimbulkan pertanyaan, kalo begitu kenapa film ini mesti ada? Dan saat pertanyaan tersebut kita sadari ada di benak kita, uang di dompet sudah keburu hilang, karena film semacam ini adalah heist gemerlap yang sebenarnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for OCEAN’S 8.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017