SILARIANG: CINTA YANG (TAK) DIRESTUI Review

Running away from the problem only increases the distance from the solution.”

 

 

Cinta itu pelik. Pernikahan bukanlah hal yang sepele. Maksudku, kita mungkin bakal menyangka bagian tersulitnya adalah di acara pesta pernikahan – you know, jaman kekinian wedding kudu mewah dan segala macam repot yang lain –  tapi sebenarnya itu cuma fase pemanasan dari ‘kerja keras’ berikutnya. Cinta enggak mesti berujung bahagia selamanya, apalagi kalo enggak diperjuangkan. Complicated banget. Pertama-tama, kita kudu mengejar restu orangtua dulu. Bahkan ketika sudah dapat restu pun, tak semua cinta yang mampu bertahan. Jadi, mungkin kalian sempat kepikiran; kawin lari aja. Gak perlu pesta gede-gedean, gak perlu ngap-ngap emosian minta restu ke mama, papa, mertua. Silariang, kata orang Makassar. Ada alasannya kenapa Makassar punya istilah sendiri buat kawin-lari. Di sana masih ada tradisi adat yang mengikat; bahwasanya keturunan bangsawan enggak boleh nikah sama keturunan jelata. Jadi, mau nikah bagi orang Makassar sedikit lebih eksra tingkat kesulitannya.

Lari mungkin memang jalan termudah untuk memenangkan cinta. Tapi apa yang sebagian besar orang gagal untuk mengerti adalah Cinta terhadap seseorang, perasaan tulus tersebut tidak pernah salah. Jadi kenapa si innocent itu harus disandingkan dengan kata lari. It’s not that lari itu berkonotasi negative (walau sebagian besar waktu memang demikian), hanya saja – yang perlu ditegaskan adalah – lari bukan satu-satunya jalan keluar.

 

Silariang: Cinta yang (tak) Direstui mengajak kita menyelami dan mempertanyakan cinta lewat kisah Yusuf dan Zulaikha. Yang satu anak pengusaha, satunya lagi putri berdarah bangsawan. Pernyataan cinta mereka tidak bisa direstui sebab mereka tidak satu strata. Terlahir ke dalam budaya Makassar, kebersamaan mereka justru menjadi aib bagi keluarga masing-masing. Yusuf bermaksud melawan, maka ia mengajak Zulaikha nikah di tempat yang jauuuuh dari rumah. Terdengar sangat romantis, bukan? Pangeran yang membawa Putri naik kuda. Tapi Yusuf bukan pangeran. Mereka lari naik angkot, kemudian sampan. Dan apa yang menyongsong mereka di tempat yang baru jelas bukan serta merta keindahan.

Rammang Rammang kayak tempat Piccolo melatih Gohan

 

Inilah yang dilakukan dengan baik oleh Silariang. Naskahnya cukup bijak untuk mengeksplorasi permasalahan yang membuat para tokoh memang bertingkah sesuai dengan umur mereka. Permasalahan yang mereka hadapi sesungguhnya begitu serius dan dewasa. Bukan sekadar Yusuf dan Laikha kabur atas tekanan orangtua sehingga kita mendukung mereka, sepasang protagonis yang minta dikasihani karena selalu melewati rintangan cinta. Film ini bukan tentang itu.  Bagaimana tindak Silariang itu mempengaruhi pelaku dan orang-orang di sekitar mereka, yang mereka tinggal lari, turut menjadi fokus dalam cerita. Setiap dari mereka diberikan konflik personal. Tak pernah film ini berpaling dari kenyataan-kenyataan seperti hubungan rumah tangga yang diaku sudah dipupuk cinta bertahun-tahun dapat dengan mudah pecah hanya dalam satu hari. Begitu banyak dan dalamnya perspektif yang dibahas, sehingga membuat kita melihat para tokoh enggak lagi dalam cahaya protagonis ataupun antagonis.  Semua orang punya pandangan di dalam kepala sebagaimana setiap orang punya cinta di dalam hati mereka. Menonton mereka bergulat dengan hal tersebut – bagaimana mereka memposisikan diri di antara cinta dan adat – adalah kualitas terkuat yang dimiliki oleh film ini. Mereka diberikan kesempatan untuk menggapai momen dramatis tersendiri sebagai penutup dari saga masing-masing.

Sudah begitu lama penonton memohon film Indonesia tampil dengan corak latar budaya yang kuat, dan Silariang hadir sebagai  penjawab harapan tersebut. Kita enggak hanya melihat Makassar di sini. Kita ikut hidup di dalamnya. Budaya itu kuat mengakar dalam setiap lapisan adegan, tanpa diiringi dengan kepentingan untuk menjelaskan sehingga membuat film ini juga bekerja dengan amat baik sebagai sebuah penceritaan visual. Seperti adegan ketika Paman dan Bibi Yusuf datang ke rumah Zulaikha. Mereka ditanyai maksud kedatangan, dan begitu baru sepatah menjawab, mereka malah ditawari minum teh oleh Paman Zulaikha. Dan setelah diminum tehnya tawar. Selayang pandang, adegan ini tampak agak menggelikan – orang mau jawab kok malah disuruh minum – namun sebenarnya adegan ini dengan subtil membentuk poin ke budaya Makassar; tamu yang disuguhi minuman tawar basically disuruh ‘pulang aja lo’. Ada begitu banyak adegan-adegan emosional yang dipasangi atribut budaya yang membuat masing-masing momennya menguar dan sangat vokal. Kita gak bakal gampang lupa adegan cuci kaki ataupun ketika melihat badik itu berpindah tangan seliweran di depan mata.

Kamera meromantisasi nyaris setiap adegan. Kadang terasa agak over, tapi sebagian besar bekerja efektif sebagai pendukung penceritaan. It’s a clear work of both editing and directing. Dua tokoh lead dimainkan oleh aktor yang sama sekali enggak ada darah Makassar, but yet, mereka tampak seperti pribumi sejati. Mereka meyakinkan banget sebagai anak muda yang saling jatuh cinta, namun enggak yakin apakah yang mereka tapaki adalah langkah yang benar. Aku mungkin salah, tapi sepertinya ini adalah kali pertama buat Bisma Karisma dan Andania Suri memainkan karakter yang dewasa. Bisma was so good sebagai Yusuf, permainan aktingnya tampak meningkat, tapi setiap kali mereka bersama – terlebih di bagian-bagian emosional – Andania Suri just plainly membanting akting Bisma. Ketika mata dan ekspresi Bisma kadang tampak keluar dari karakter, enggak sinkron dengan pemain yang lain (adegan mereka di rumah sakit bisa jadi contoh), Suri tampak secara konstan brilian. Adegan nangis selalu adalah senjata pamungkas jebolan Gadis Sampul ini.  Ada lapisan dalam emosinya, seperti ketika adegan mereka naik sampan, di tengah-tengah pemandangan asik itu Zulaikha malah tampak takut sebagai cerminan dari dia takut mengarungi kehidupan berdua. Dan kupikir adegan ketika Zulaikha sembunyi di bawah tangga rumah, dan peristiwa yang mengikutinya, adalah adegan emosional yang menjadi favorit banyak orang.

tak u-uk, Cu’

 

Saat menonton, aku pikir kita perlu melihat backstory hubungan Yusuf dengan Zulaikha sebab kita sama sekali enggak tahu darimana hubungan cinta yang kuat itu bermula. Film enggak memberikan ini, kita dilempar ke tengah polemik restu keluarga mereka. Kita hanya tahu mereka ini saling cinta mereka rela meninggalkan keluarga. Ketika aku memikirkan tentang hal ini lagi setelah selesai menonton, aku jadi melihat kemungkinan dari alasan kenapa film enggak menunjukkan hal tersebut. I think film ingin memperlihatkan bahwa kedua tokoh ini, mereka belum sepenuhnya mengerti atau yakin cinta itu ada. Bahwa yang mereka cintai adalah kemungkinan mereka hidup berdua, diakui sebagai pasangan. Buatku, ini juga sesuai dengan konteks guncangan kecil saat mereka menjalin rumah tangga di bagian akhir cerita. Maka aku menggolongkan kurangnya backstory cerita sebagai keputusan beresiko yang diambil oleh film.  Lagipula, film sudah semacam menebus aspek ini dengan memperlihatkan rentetan adegan manis nan menyenangkan tentang gimana Yusuf dan Zulaikha membersihkan rumah, ataupun saat mereka diperlihatkan berusaha ngurus bebek dan menghela sapi.

Berdasarkan reaksi penonton saat pemutarannya, film ini secara gak sengaja menjadi kocak. Namun ini sesungguhny adalah hal yang bagus karena kekocakan tersebut berasal dari situasi ataupun interaksi yang tampak begitu real alih-alih komikal. Masalah yang mereka hadapi adalah masalah yang logis dihadapi oleh pasangan yang melakukan kawin lari. Dan masalah tersebut memang tampak menggelikan oleh sebab betapa nyatanya ia. Penyelesaian konfliknya lah yang buatku tampak berlebihan. Film sudah membangun dengan begitu baik sehingga aku sedikit kecewa ketika film resort ke trope-trope drama untuk menyelesaikan konflik ceritanya. Also, mereka membuat semua hal menjadi convenient. Padahal aku ingin melihat mereka berjuang lebih keras dalam menyatukan pendapat seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh film The Big Sick (2017), komedi romantis yang juga bicara tentang hubungan cinta yang enggak disetujui. Kedua film ini juga sama-sama memakai penyakit sebagai plot device, tapi tidak seperti Silariang, rumah sakit dalam The Big Sick enggak lantas mencuat menjadi penyelesaian. Aku ingin menghindari spoiler berlebihan, jadi aku cuma akan bilang alih-alih aspek ‘golongan darah yang langka’, aku pikir cinta mereka akan lebih teruji jika ‘pemersatu’ mereka itu dibuat meninggal saja.

Tidak ada tempat yang cukup jauh dari masalah yang kita hindari. After all those times, Yusuf masih terombang-ambing antara Cinta itu masalah uang atau masalah harga diri.

 

Sebelum menyaksikan ini di bioskop, aku sudah pernah menyaksikan film ini saat Ichwan Persada, sang produser – mentorku, mengadakan pemutaran khusus saat acara Halal Bi Halal My Dirt Sheet di kafe eskrimku di Bandung. Saat itu, filmnya masih belum dipoles, masih menggunakan musik template. Dan untuk beberapa adegan, aku lebih suka versi mentah itu ketimbang versi yang aku tonton di bioskop. Musiknya bagus dan mendukung penceritaan, namun ketika sudah masuk lagu soundtrack, beberapa adegan terasa dijejalin ke kita. Pada adegan pembuka, misalnya, aku gak mengerti kenapa lagu yang dipake begitu gempita mempromosikan Makassar. Aku merasa lagu tersebut enggak bekerja baik dengan tone keseluruhan film, it interferes dengan mood yang ingin disampaikan, dan aku pikir push terhadap Makassar dan budayanya sendiri sudah amat sangat tercermin dalam bahasa dan elemen-elemen penceritaan yang lain.

 

 

Jika kalian pernah mengharapkan film Indonesia dengan konten lokal yang kuat, drama Indonesia yang digarap dewasa, maka aku akan heran sekali kalo kalian malah melewatkan film ini. Kaya oleh perspektif tokoh yang berdimensi luas. Penceritaan didukung oeh visual cantik dan penampilan akting yang sangat meyakinkan. Untuk sebagian waktu, konflik yang dihadirkan terasa sangat manusiawi. Akan tetapi resolusi film datang dari aspek yang begitu convenient, sehingga terasa film mengambil cara yang aman untuk mengakhiri ceritanya. Film juga meninggalkan soal tradisi yang masih menjadi pemisah antara cinta dalam nada yang enggak tertutup. Bukan ambigu, melainkan mereka seperti sengaja enggak menyebutnya. Lari enggak akan menyelesaikan masalah, namun kupikir bigger picture yang mestinya ‘dijawab’ oleh film ini adalah soal strata yang membuat Yusuf dan Zulaikha enggak bisa bersatu in the first place.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SILARIANG: CINTA YANG (TAK) DIRESTUI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MERAH PUTIH MEMANGGIL Review

You either die a hero or live long enough to see yourself become the villain”

 

 

Sesungguhnya mati sebagai pahlawan atau hidup cukup lama kemudian menjadi penjahat itu bukan pilihan. Karena kita enggak bisa memilih untuk menjadi pahlawan. Untuk menjadi pahlawan dibutuhkan pengorbanan, keberanian. Enggak sekedar mejeng di uang kertas atau nampang jadi nama jalan. Kita enggak bisa mutusin untuk nolong orang lalu mati supaya bisa minta “ntar patung gue dilapis emas ya”. Meski ikhlas kerjaan mereka gak pernah enak, tentara-tentara dalam Merah Putih Memanggil jelas tidak akan ngarep sukur-sukur mereka gugur di medan perang. Mereka punya keluarga yang menanti di rumah. Bahkan pada detik-detik peluru menghujani tubuh mereka, mereka tidak tahu mereka adalah pahlawan.  Dan itulah poin gede kalimat yang diucapkan Batman di atas;

Kita belum menjadi sebenar-benarnya pahlawan selama kita masih menyadari kita memilih melakukan sesuatu yang heroik. Pahlawan adalah penghargaan terbesar yang bisa diberikan orang lain atas tindak pengorbanan dan kemanusiaan yang kita lakukan.

 

Sekelompok teroris menyandera tujuh orang penumpang kapal pesiar di dalam pulau persembunyian mereka. Which is just outside of Indonesia’s jurisdiction. Demi keselamatan warga negara yang merupakan salah satu dari sandera, angkatan militer Indonesia bermaksud melakukan penyusupan. Masuk ke pulau, keluar dengan membawa para sandera. Tentara gabungan Indonesia hanya diberikan waktu 48 jam untuk melaksanakan operasi Simpel. Namun  bukan tanpa bahaya. Dalam pulau yang tak ramah tersebut, segala rencana yang disusun bisa berantakan oleh pertanyaan moral. Ini berubah menjadi misi hidup atau mati yang mengerikan. Para tentara harus mengawal sandera-sandera ke titik penyelamatan, secepat dan seaman-amannya, menyusuri hutan yang dipenuhi oleh pasukan teroris. Mereka literally dikejar peluru, satu persatu gugur berjatuhan.

“sekarang kita istirahat, silahkan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kenalan dan pengembangan karakter”

 

Belum lama ini kita sudah menyaksikan gimana Christopher Nolan menembus batasan film perang lewat Dunkirk (2017), ada begitu banyak terobosan yang dibuatnya dari segi filmmaking, dan juga bercerita. Nolan dengan berani menaruh kita so in-the-moment of war, sehingga kita tidak perlu mengenal para tokoh untuk menjadi peduli. Makanya, begitu menonton Merah Putih Memanggil, ada perasaan sedikit aneh. It’s just like, we revert back to that time. Mungkin perbandingannya memang terlalu jauh, namun T.B. Silalahi tidak melakukan inovasi dalam cerita garapannya ini. Tidak ada pilihan-pilihan baru yang diambil. Trope-trope seperti prajurit yang ninggalin istrinya yang sedang hamil kembali kita temukan sebagai langkah mudah dalam usaha memancing sisi dramatis. Film ini diniatkan sebagai epos tentang KEPAHLAWANAN DAN KEPERKASAAN KEKUATAN MILITER INDONESIA, dan mereka melakukannya dengan triumphant, mengusahakan terbaik yang mereka bisa. Tetapi  sesungguhnya ada begitu banyak yang bisa dilakukan untuk mengimprove ataupun membuat film ini menjadi lebih menantang dan menyenangkan lagi untuk kita tonton.

Sinopsis resmi film ini mengatakan tujuh sandera adalah orang-orang dari kewarganegaraan yang berbeda. Sayang sekali, tidak banyak dari mereka yang diberikan kesempatan berbicara, apalagi diberikan perspektif yang dalem. Menurutku, film benar-benar melewatkan kesempatan besar di sini. I mean, warga negara A, B, C disandera bareng oleh warga negara D, disekap di pulau negara E, diselamatkan oleh negara C, mereka bisa menciptakan dialog dan konflik kemanusiaan skala global di sini. Tapi enggak, film hanya tertarik memperlihatkan sedikit backstory tokoh-tokoh yang nantinya dibuat tewas supaya kita bisa kasihan sama mereka. Perang menarik karena kita tidak semestinya melihat tragedi tersebut sebagai sesuatu yang hitam putih. And it looks like this film didn’t get that memo. Cerita tidak pernah mengeksplorasi sisi teroris, siapa mereka, kenapa Ariyo Wahab menculik orang-orang berkewarganeraan berbeda, kenapa dia bisa punya seragam dan pasukan sendiri. Apakah dia hidup terlalu lama sebagai tentara sehingga beneran berubah menjadi penjahat?

Di sisi lain, toh film ini juga punya sisi menarik yang muncul ke permukaan saat babak ketiga. Ada keretakan dalam barisan musuh sebab mereka enggak tahu berhadapan dengan siapa. Aku suka dengan plot poin ini, karena di awal film sudah menetapkan bahwa sebelum berangkat, tentara Indonesia menanggalkan semua identitas dan atribut negara. Mereka enggak ingin dikenali sebagai tentara Indonesia oleh musuh, mungkin dengan alasan politis. Ini menciptakan misteri di pihak musuh. Poin ini juga dimainkan dengan baik, di mana di akhir pertempuran, ada satu tentara yang memutuskan untuk mengikat perban berlumuran darah di kepala, memakainya sebagai bandana, dan tindak ini adalah berupa kebanggaannya bertempur atas nama Indonesia. Film mestinya banyak memasukkan hal-hal subtil seperti ini, karena ini feelnya dapet banget.

Plis jangan marahin Lexis, dia bukan tentara. Dia bukan superstar, kaya dan terkenal.

 

Babak satu adalah babak set up standar yang sangat terbebani oleh banyaknya eksposisi. Kita mendengar detil rencana mereka, kita mendengar informasi dengan istilah-istilah militer. Menurutku bagian inilah yang paling membosankan. Aku juga merasa ada tone yang kontras antara babak satu dengan babak tiga. Di tiga puluh menit awal, film seperti bermain aman. Adegan tembak-tembakannya bersih, tidak ada darah berlebihan, kamera juga sering ngecut dengan cepat – beralih dari adegan yang cukup menegangkan, seolah film ini ingin meminimalisir kekerasan supaya bisa dapet rating Remaja. Kupikir, ini adalah keputusan yang aneh. Sebab film perang akan susah sekali meyakinkan jika enggak berani mempertontonkan kekerasan. Dan sepertinya film ini pun setuju, sebab di babak tiga mereka seakan bilang “ah sebodo amat” dan kita dapat adegan orang menggigit putus jarinya sendiri. Bagian aksi pun seketika meningkat di babak ketiga. Quick-cut dan kamera yang goyang berkurang, kita lebih mudah grasp towards the scenes. Karena di bagian sebelumnya, editing bagian aksi tampak chaos sekali, kita enggak bisa tau pasti siapa nembak, siapa yang mati, mereka ada di mana, dan lain-lain.  Adegan penyusupan awal, saat tentara terjun payung masuk ke wilayah teroris, tidak terasa intensitasnya. Build upnya ada namun teroverlook oleh kasar dan abruptnya editing – penyatuan adegan.

Malahan, ada beberapa adegan yang jatohnya kocak dan mengundang tawa penonton. Tentara menembak sarang lebah terus pasukan teroris kabur disengat kayak adegan Tuyul dan Mbak Yul, sukses bikin empat pemuda berbadan kekar yang nonton di barisan di depanku ngakak. Para pasukan sempat-sempatnya ganti riasan kamuflase, mereka ngumpet di semak-semak, lucunya adalah hutan mereka enggak serimbun itu. Akting sedikit kaku dari tokoh tentara bisa dimaafkan sebab mungkin memang begitulah tentara di dunia nyata. Sesungguhnya set dan properti juga terlihat genuine, dan mungkin memang ‘sesederhana’ itu perjalanan misi tentara sesungguhnya. Namun, ketika kita mengolah film, kita harus bisa memancing excitement. Membangun hal menjadi menarik, membumbui dengan drama dan konflik yang meyakinkan. Film ini kurang banget dari sisi plot.

Aku bahkan lebih peduli kepada ular yang mereka makan, itu ular beneran? Apakah film ini ngepull Cannibal Holocaust (1980) dengan adegan makan binatang itu? Karakter-karakter Merah Putih Memanggil seharusnya bisa digali lagi. Atau kalo mau kayak Dunkirk, rekam adegan aksinya dengan meyakinkan dan perlihatkan sesuatu penceritaan yang baru. Dari sekian banyak sandera, hanya satu yang dikasih dialog. Dan itupun hanya sebatas nanyain orangtuanya.  Aku selalu high setiap kali teman-teman Gadis Sampul mendapat peran dalam film, apalagi film yang berani ngambil tema tak biasa seperti ini. Akan tetapi, Mentari De Marelle di sini tidak diberikan karakter yang berarti. Tokohnya di sini cuma cewek blasteran, and she did nothing selain nanya-nanya di mana orangtuanya. Teriak-teriak. Panik, Annoying. Tatapan Prisia Nasution (yang btw di sini tokohnya pendiem banget) ketika si Mentari lagi-lagi merengek bikin aku teriak “shoot her!”  

Jika pipis adalah hal yang dinotice oleh film, kenapa kita tidak pernah lagi melihat ada yang kebelet lagi di sepanjang film? Mungkin ditahan. Mungkin enggak kerasa. Ini mengindikasikan bahwa bahkan saat disandera, kita merasa lebih rileks ketimbang saat berlarian di medan perang. Kita masih bisa kepikiran kencing saat nyawa di bawah belas kasihan orang lain. Namun, ketika kebebasan yang dipertaruhkan, apalah faedahnya sedikit kenyamanan. It’s a long stretch, but I think inilah yang dilakukan oleh pahlawan. Mereka tidak lagi kepikiran apapun di luar tindakan yang mereka ambil atas dasar kemanusiaan. Oh man, aku gak percaya aku baru saja menarik garis antara pipis dan kepahlawanan.

 

 

 

Sebenarnya susah juga mengulas film ini, karena ia punya kepentingan, dan aku ngeri disalahartikan tidak menghargai jasa pahlawan. I mean, aku bahkan enggak tau apakah ini dari kisah nyata atau bukan; di kredit penutup mereka ngasih liat foto-foto jadul para tentara yang aku enggak yakin apa hubungannya dengan cerita. Aku terutama melihat ini dari sisi produk akhirnya sebagai sebuah film. Plotnya simpel. Yang tadinya dalam bahaya, jadi selamat. Yang tadinya tentara, jadi pahlawan. Ada nuansa genuine saat porsi aksi. Hanya saja mereka tidak menggarapnya sehingga menjadi cukup intens. Film ini terlalu standar untuk menjadi tontonan yang patut diperhitungkan dalam genre survival dan perang. Toh, film ini menyampaikan maksudnya; Jika film G30S PKI sukses berat memperlihatkan PKI sebagai antagonis, maka film ini tak pelak membuat kita lebih nyaman percaya kepada kekuatan militer Indonesia.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for MERAH PUTIH MEMANGGIL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

KARTINI Review

“I know why the caged bird sings”

 

 

Bicara Kartini berarti kita bicara emansipasi. Perjuangan kesetaraan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, untuk menentukan pilihan, untuk mendobrak sistem patriarkal yang mengakar, dan terutama untuk mengatakan “Memang kenapa bila aku perempuan?”. Aku pikir kita semua udah tahu bahwa tinggal waktu saja kisah kepahlawanan Kartini ini jatuh ke tangan sutradara Hanung Bramantyo. Hanung paling demen ngegarap cerita yang protagonisnya berontak melawan sistem, dia paling jago memercik drama (dan, kalo perlu, sedikit kontroversi) kemudian memperkuatnya lagi dengan elemen yang relevan. Kartini dan Feminisme sangat cocok sebagai lahan Hanung.

Namun kali ini, lebih daripada mengandalkan sensasi – akan gampang sekali mengingat ide soal kepahlawanan Ibu Kartini sudah sering mendapat kontroversi di jaman modern ini – Hanung mengarahkan film biopik ini ke jalan yang lebih EMOSIONAL DAN MANUSIAWI. Dalam Kartini kita akan melihat karakter-karakter menjadi fokus utama. Kita akan melihat hubungan Kartini dengan keluarga, bersama kakak-kakak cowoknya, dan bersama kedua adiknya; Roekmini dan Kardinah. Kita akan melihat gimana Kartini berteman dengan Belanda yang menyemangatinya untuk menulis. Gimana dia mengisi hari selama masa pingitan sebagai persiapan menjelang mengemban status Raden Ajeng. Dan, yang paling personal baginya, gimana Kartini menyingkapi soal poligami, in which dia adalah produk dari – serta akan kembali jadi pemain dalam tradisi jawa tersebut. Urgensi datang dari Kartini dan adik-adiknya yang mengembangkan kerajinan ukiran Jepara, membuka sekolah bagi anak-anak pribumi, sementara sebenarnya mereka sedang menunggu waktu satu persatu ‘dipetik’ untuk menjadi seorang istri.

Dian Sastro apa Dian Iaya nih?

 

Ketika melihat trailer film ini untuk pertama kalinya di bioskop, aku merasa tertarik. Kalimat yang diucapkan Kartini di akhir trailer tersebut, tentang kebebasan ibarat burung, membuatku kepikiran kenapa film ini enggak dikasih judul Trinil aja ya? Dan setelah menyaksikan filmnya secara utuh, I still think that way; judul Trinil akan memberikan kesan yang lebih impresif dan benar-benar klop dengan ceritanya. Dalam review Surat Cinta untuk Kartini (2016) aku nyebutin cerita Kartini yang dipanggil burung trinil oleh ayahnya dalam majalah Album Ganesha Bobo. Kartini adalah pribadi yang enerjik, periang, punya bakat membandel, dan dalam film ini, begitu melihat Kartini dan dua adiknya nangkring di atas tembok, aku langsung menggelinjang; That’s her, that’s Kartini si burung Trinil yang aku baca waktu kecil!

Betapa menyenangkannya demi mengetahui diri kita sudah membuat perubahan hari ini. Dan that feeling alone harusnya udah bisa membuat kita terbebas dari boundary apapun yang memasung kita. Kartini, menyadari bahwa kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya bebas. Karena batas-batasan itu akan selalu ada, dan perjuangan sejatinya bukan untuk menghilangkan pembatas melainkan untuk membebaskan pikiran. Perjuangan Kartini adalah perjuangan gagasan, meskipun tubuhnya terkurung, gagasan positifnya akan terus terbang memberikan pengaruh positif kepada generasi demi generasi.

 

 

Kualitas produksi film ini top-notch sekali. Ini adalah film yang cantik. Gambarnya disyut dengan perhatian pada maksud dan detil. Set dan kostumnya sangat meyakinkan. Londo-londo itu terlihat classy sekaligus modern sebagai kontras dari pakaian bangsawan Jawa yang terlihat kaku dan mengurung. Kartini berada di tengah-tengah mereka. Kita memang enggak tahu seperti apa pembawaan Ibu Kartini aslinya, namun Dian Sastro udah pas meranin Kartini sebagai wanita yang berjiwa mandiri dan ‘pemberontak’. Tapi enggak exactly in a way kayak dia bilang “aku enggak butuh lelaki.” Ini adalah film yang membahas hubungan emosional yang terbangun. Motivasi Kartini adalah supaya dia, adik-adiknya, dan para wanita tidak perlu lagi capek berjalan-jongkok dan ‘latihan makan ati’ seperti yang dialami oleh ibu kandungnya. Supaya para wanita tidak hanya jadi pilihan melainkan bisa punya pilihan. Tembok pakem wanita-jaga-badan-dan-nunggu-kawin itu musti runtuh, begitu tekad Kartini. Semua itu tercermin dari gimana dia ‘menggembleng’ dua adiknya, yang oleh film ini diperlihatkan sebagai ‘murid pertama’ yang dimiliki oleh Kartini. Dian Sastro excels at playing this kind of role. Membuat kita ingin melihat lebih banyak tindak ‘pemberontakan’ Kartini. Kita akan melihat darimana asal tekad dan semangat Kartini, dan semua itu dimainkan dengan sangat heartwarming.

Hal berbeda yang dapat kita saksikan adalah Hanung memasukkan elemen imajinasi ke dalam cerita. It’s the power of books, people! Dengan membaca buku, kita bisa berkunjung ke mana saja kita mau. Adegan ketika pertama kali Kartini membaca buku adalah adegan yang sangat menyenangkan. Kita melihat dirinya melihat apa yang ia baca terwujud di depan mata. Sepanjang film, setiap kali Kartini membaca, entah itu buku ataupun surat balesan dari korespondensinya di Belanda, kita akan dikasih lihat visual Kartini sedang ngobrol dengan si penulis. It was shot very beautifully and actually menambah banyak hal buat pengembangan tokoh Kartini.

Tiga Gadsam foto buat cover lagi kaah? hhihi

 

Dengan jajaran pemain yang masing-masing saja kayaknya sudah pantes buat nulis buku sendiri tentang kepiawaian berakting, film ini enggak bisa untuk enggak menjadi meyakinkan. Lihat saja tatapan dingin Djenar Maesa Ayu, tapi masih terlihat bayangan mimpi yang kandas dari matanya. Pembawaan dan intonasi Deddy Sutomo yang terang-terang sedang conflicted antara acknowledging kemampuan putrinya dengan adat yang ia junjung. Aku bahkan ngakak ketika Kardinah bilang perasaannya enggak enak seolah ia tahu bakal dijodohin di akhir hari. Bahasa Jawa mereka sampaikan tanpa gagap. Kapasitas penampilan yang kelas atas membuat kadang beberapa musik dalam pengadeganan toh terasa sedikit eksesif. Maksudku, film ini sebenarnya bisa untuk enggak banyak-banyak masukin pancingan emosi karena setiap adegan, dari segi performances, sudah terdeliver dengan begitu compelling.

The bigger picture of this movie adalah gimana kehidupan Kartini bisa menginspirasi banyak orang, bukan hanya wanita. Namun, film ini masih kelihatan artificial ketika mengolah elemen-elemen dramatis. Kayak, film ini berusaha terlalu keras buat menghasilkan air mata dari penonton. Dibandingkan dengan porsi bagian cerita yang lebih ringan, menit-menit awal yang jadi set up terasa terlalu menghajar kita dengan emosi. Kita melihat Kartini kecil dalam momen yang menyedihkan, baik visual maupun tulisan mendikte kita untuk sedih. Kemudian narasi melompat dan kita dapat Kartini dewasa dengan segala attitude ingin-bebas. Ini masalah yang sama dengan pengarakteran Jyn Erso pada Rogue One (2016), di mana kita hanya melihat sad part of her childhood untuk kemudian kita melihatnya lagi setelah dewasa dengan kemampuan yang tinggi. Aku pikir akan lebih baik jika film ini mengajak kita untuk mengintip kehidupan sekolah Kartini kecil, you know, just to see seperti apa sih pintarnya Kartini itu hingga dikenal baik di kalangan meneer Belanda. Karena sepanjang film kita akan mendengar para tokoh ngereferensikan betapa pintarnya Kartini di sekolah.

Pun pada babak akhir kita akan merasa diseret oleh emosi. Tidak ada yang benar-benar menarik pada babak ketika sampailah giliran Kartini dilamar seorang Bupati. Kita semua – paling enggak kita-kita yang masih melek waktu pelajaran sejarah di sekolah – tahu tepatnya apa yang akan terjadi. Cara film ini bercerita mendadak kembali terlalu artifisial, sehingga adegan-adegan emosional itu rasanya kering. Pancingan-pancingan dilakukan, ada elemen sakit, ada tokoh yang jadi antagonis sekali, ada yang berubah baik hati, semuanya datang gitu aja, it did felt rushed. Banyak film yang enggak berhasil menjembatani dua tone narasi, dan film ini termasuk ke dalam kelompok film yang gagal tersebut. Alih-alih membahas dari perspektif yang lebih kompleks – dan film ini sebetulnya bisa melakukan itu – film ini lebih memilih untuk menyederhanakannya menjadi semacam pihak yang baik sama Kartini dan pihak yang jahat. Although, menarik gimana ‘yang jahat’ dalam film ini enggak necessarily adalah laki-laki.

 

 

 

Habis gelap terbitlah terang. Kemudian gelap lagi. Begitulah kira-kira garis besar menikmati film ini. Perbedaan antartone film ini sangat drastis, karenanya momen-momen dramatis yang kerap dihadirkan terasa artifisial. Set up film mestinya juga bisa diperkuat lagi karena gedenya toh apik tenan. Selain masalah tone dan hook yang dibuat terlalu pengen jadi dramatis, aku tidak melihat banyak masalah. Film ini  tahu ingin jadi apa, dan bekerja baik mewujudkan dirinya. Ia menyenangkan oleh interaksi antarkarakter. Potret penuh emosi dari kehidupan sosok pahlawan yang kita peringati setiap bulan April. Aku merasakan dorongan untuk keluar dari bioskop dengan berjalan jongkok just to pay my respect kepada pengorbanan perempuan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KARTINI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

NIGHT BUS Review

“An eye for an eye only ends up making the whole world blind.”

 

 

Paman Gober si bebek paling tajir di dunia hobi naik bus karena katanya angkutan umum jauh-dekat ongkosnya sama. Sama-sama murah, maksudnya hihi. Paman Gober enggak tau aja kalo dengan naik bis, kita bakal kaya; oleh pengalaman. Karena di dalam bis yang melaju tersebut kita pasti akan berjejelan dengan penumpang lain. Ada emak-emak rempong, preman-preman bau rokok, bapak-bapak kantoran, dan kalo beruntung kita sesekali bisa ketemu ama makhluk manis dalam bis. Segala macem latar belakang. Rupa-rupa deh warnanya.

Kayak bus Babad yang siap berangkat sehari-semalam ke kota Sampar dalam film Night Bus. Aku sendiri suka naik kendaraan umum lantaran aku memang demen memperhatikan orang-orang. Makanya aku kecewa setelah nonton The Girl on the Train (2016), film tersebut gagal ngedeliver premis tokoh yang suka memperhatikan orang sehingga dia merasa perlu untuk campur tangan terhadap masalah orang yang ia perhatikan di transportasi umum. Film itu malah berkembang menjadi drama dari perspektif satu orang. Night Bus, however, adalah film yang berjubel oleh karakter.

Menonton film ini KITA SEAKAN IKUT MENJADI PENUMPANG BUS BABAD, observing satu persatu orang-orang asing tersebut. Tidak ada tokoh utama di sini, kita tidak tahu motivasi sebagian besar dari mereka apa. Kita cuma tau ada si supir hanya ingin sampai menghantarkan penumpang yang jadi tanggung jawabnya dengan selamat. Ada stokar yang rada tengil namun cukup baik hati membiarkan anak kecil tanpa-tiket duduk di kursi sendiri tanpa perlu dipangku. Ada orang buta yang selalu positif, ada orang kaya, ada pasangan cewek dengan cowoknya yang penakut, ada wartawan, ada cewek manis yang pendiem, sepuluh menit pertama dalam film ini menghantarkan tugas sebagai perkenalan singkat sekaligus mengeset mood. Bahwa instantly kita akan ngerasa khawatir sama mereka semua, karena Sampar tujuan mereka adalah daerah konflik. Dan di menit-menit awal, film did a good job dengan tersirat ngejual daerah tersebut sebagai zona yang berbahaya.

bukannya bau balsem, bus malam yang satu ini akan anyir oleh bau darah

 

 

Perjalanan tragis mereka ditranslasikan kepada kita sebagai dua jam PERJALANAN PENUH CEKAM DAN EMOSI. Tadinya aku kira ini bakal jadi semacam confined-space whodunit thriller, tapi ternyata tebakanku took a wrong turn as film ini menyentuh lebih jauh sisi traumatis manusia. Ini kayak thriller bergaya roadtrip, yang tentu saja ada elemen ruang tertutupnya. Kita akan belajar lebih banyak tentang siapa-siapa saja penumpang bus. Apa kaitan dan pandangan mereka terhadap konflik atau perang antargolongan. Bus Babad membawa orang-orang tak bersalah, mereka bagai pelanduk yang permisi numpang lewat di antara gajah-gajah yang lagi berantem, dan film ini benar-benar menggali gimana dampak pertikaian terhadap orang-orang seperti penumpang bus tersebut.

Serangan ditimpal dengan serangan. Kau garuk punggungku, aku akan gantian menggaruk punggungmu. Jika setiap mata dibalas dengan mata, maka dunia akan buta. Konflik dan pertikaian tidak akan menyelesaikan apa-apa. Apinya akan merembet membakar semua yang berada di tengah-tengahnya. Menarik gimana film ini menawarkan solusi dengan kiasan ‘kenapa mesti mandi kalo nanti kotor lagi?’ Dampak perang tidak akan hilang. Ada tokoh ibu penjaga warung yang enggak mau berbicara dengan orang karena nanti toh perang akan memakan semuanya. Mungkin saja, apa yang harus kita lakukan adalah dengan tidak memulai gesekan sama sekali.

 

Ada sedikit eksposisi setiap kali cerita butuh untuk menerangkan konflik pertikaian. It could have been handled dalam cara yang lebih compelling. But for the most part, film ini bercerita dengan subtle. Kita belajar karakternya dengan perlahan, kita harus menyimak semua. Kadang petunjuk tentang backstory mereka ada di percakapan yang terjadi menjelang pertangahan. Kita harus memilah semua informasi yang seliweran di antara pemandangan visual kondisi di dalam bus yang terlihat sangat contained ini. Visualnya agak sedikit goyah ketika beberapa green screen dan efek berusaha diintegralkan ke dalam efek-efek praktikal. Kadang film ini terlalu gelap, dan tak-jarang kamera terlalu banyak bergoyang sehingga sekuens aksi menegangkan yang terjadi di layar menjadi sulit untuk kita tangkap. Tingkat violence film ini lumayan tinggi, udah kayak nyaingin film PKI dengan segala dialog “jenderal, jenderal!” dan adegan penyiksaan. Aspek yang paling aku suka dari film ini adalah gimana dirinya hadir dengan sangat grounded. Penampilan akting di sini semuanya meyakinkan. Dialek dan intonasi bahasa melayu deli dan langkat terdengar dengan pas dan enggak dibuat-buat. Aku ngerasa seperti udah mudik mendengar dialog-dialog film ini, karena di kampung halamanku memang pake bahasa longor-longor seperti tokoh-tokohnya.

Di antara semua penampilan yang seragam bagus, Teuku Rifnu Wikana mencuri show dengan tokoh yang paling vokal. Kita melihatnya berusaha menjalin hubungan dengan penumpang lain, dan actually relationshipnya dengan supir adalah salah satu emotional core cerita. Para penumpang diberikan moral dan cela sehingga mereka menjadi menarik, kita peduli terhadap kondisi mereka. Kita penasaran pengen tau siapa mereka. Terutama kita terasa terinvolve ke dalam panik dan guncangan yang menimpa mereka semua. Meskipun ada juga sih yang terasa annoying. Kayak si wartawan, dari pertama udah kelihatan he’s a sneaky guy, dan sikap-sikap kebajikan yang kadang ia tampakkan enggak pernah terasa tulus. Hubungan antara kedua anak muda yang ingin ke Sampar cari kerja juga enggak terlalu menarik karena eksekusinya datar gitu aja. Arc favoritku adalah yang dipunya oleh karakternya Hana Prinantina; dia dokter koas – cewek ini bisa menolong korban, dan ultimately skrip memberinya bentrokan saat dia memilih untuk menolong serdadu atau enggak karena suatu peristiwa di masalalunya. It was so heartwrenching, mestinya tokoh ini diberikan lebih banyak pengembangan alih-alih sengaja disimpan, you know, tokohnya Hana enggak banyak diberikan dialog lantaran film ini ingin ‘merahasiakan’ dirinya sebagai emotional twist.

“Eh longor, udah nonton kau ada satu pilem baru judulnya ‘Naik Bus’?”

 

Bagian paling menarik memang adalah ketika momen-momen seperti tokoh Alex Abbad menunjukkan simpati kepada Nenek dan Laila, atau ketika penghujung balas dendam tokoh Hana, atau juga ketika salah satu pasukan separatis meminta untuk ditembak. Momen ketika pelaku perang kejatuhan beban moral, ketika ada dilema yang membayangi mereka. Formula cerita perang yang bagus selalu seperti ini. Menyentuh zona abu-abu kemanusiaan. Akan tetapi, setelah kejadian di babak ketiga, arah jalan film ini sepertinya hanya ke poin dramatis semata. Kelompok pemberontak yang muncul di babak ini benar-benar murni jahat. Dan dilema moral yang semestinya jadi soal, hanya diberikan kepada penumpang bus yang notabene korban perang. Supaya kita kasian sama mereka, supaya kita merasa mereka itu kita, jika kita ada di tengah-tengah medan pertempuran. Seharusnya film ini juga menggali dari sisi Kolonel Sahul, tapi enggak, karena sekali lagi mereka ngerasa perlu untuk masukin elemen twist.

Dalam sense fokus ke elemen menyayat hati ini, Night Bus terasa kayak salah satu animasi klasik dari Studio Ghibli, Grave of the Fireflies (1988). Film anti-perang yang sama-sama dibuat dengan bagus, tapi kepentingannya buat sedih-sedih semata. Semua cerita dibuild buat bikin kita merasa sedih, semuanya ditargetkan kepada kematian orang-orang tak berdosa. Tentu saja, kayak Grave of the Fireflies, tokoh gadis cilik di film Night Bus juga sudah dipatri untuk mati. Adalah hal yang bagus film ini mencoba melakukan sesuatu yang jarang dengan enggak netapin tokoh utama, kita dibuat enggak tahu siapa yang bakal selamat, namun pada akhirnya ini lebih seperti usaha untuk memancing dramatis semaksimal mungkin. Hanya sedikit dari emosi tokoh-tokoh film ini yang terasa otentik. Kematian memang menyedihkan, namun film ini tidak punya hal lebih jauh yang dibicarakan selain jadi korban sia-sia itu adalah sangat heartbreaking. Aku enggak bilang film enggak boleh pengen jadi sedih doang, tapi itu adalah jalan yang mudah, dan I’d like to see movie yang lebih challenging dan film ini sebenarnya bisa menjadi lebih menantang pikiran.

 

 

 

Sangat unik, kehadiran film ini sangat diperlukan mengingat scene perfilman tanah air yang kurang variasi. Punya original look, punya cerita yang grounded dengan tokoh-tokoh yang menarik dan manusiawi. Diperankan dengan sangat meyakinkan. Ini adalah salah satu dari film yang punya nilai lokal yang kuat. Menyentuh lewat ceritanya yang mencekam, hambatan di jalan buat film ini adalah arahannya yang menyasar kepada sisi dramatis yang begitu diextent sehingga terasa manipulatif. Bahkan musiknya kerap terdengar terlalu ‘lantang’. Tidak bicara lebih dari gimana perang tidak punya manfaat melainkan hanya menyebabkan orang-orang sipil menjadi korban. Dengan sengaja memilih penceritaan dari perspektif penumpang bus, moral dan segala kemanusiaan diberikan kepada tokoh-tokoh ‘korban’ just so kepergian mereka terasa menyedihkan. Enggak salah, hanya saja ini adalah cara yang paling gampang, dan cara inilah yang dipilih oleh film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NIGHT BUS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We? We be the judge.

BID’AH CINTA Review

”The reason many people in our society are miserable, sick, and highly stressed is because of an unhealthy attachment to things they have no control over.”

 

 

Pembaruan itu perlu. Terkadang kita melakukannya supaya memudahkan persoalan, tangga batu diganti jadi eskalator misalnya. Rumah yang dindingnya mengelupas, yang atapnya bocor, perlu diperbarui. Tapi itu konsepnya adalah memperbaiki yang rusak. Bagaimana dengan yang masih baik? Perlukah dilakukan inovasi? Perlukah film atau karya diremajakan (ehm.. ehmm.. remake) meski padahal dirinya sendiri sudah terbukti tak-lekang oleh waktu? Dan dalam konteks agama Islam, yang seharusnya kita yakini sebagai agama yang sempurna, apakah kita benar-benar perlu menambah ataupun mengurangi beberapa hal sehingga ibadah kita bisa ngikutin perkembangan jaman?

Masalah bid’ah adalah concern utama yang diangkat oleh film Bid’ah Cinta. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dilempar oleh narasi film, dan kitalah yang bertugas untuk menangkap dan menimbang sendiri jawabannya. Dalam film ini kita akan ditempatkan pada sebuah kampung yang mayoritas Islam. Hanya saja mereka terbelah menjadi dua kubu; aku enggak tahu istilah benernya, tapi katakanlah di kampung itu ada Islam Modern dengan ajaran-ajaran yang lebih fleksibel, dan Islam Tradisional yang melarang bentuk perayaan diadakan di Masjid. Lingkungan yang semula damai berubah menjadi sinis-sinisan sejak golongan Islam Tradisional ‘menduduki’ Masjid. Ada sikut-sikutan kecil, pengikut ajaran satu pindah ke ajaran yang lain. Tuduhan dan prasangka mulai bermunculan. Ajaran mana yang paling kuat imannya? Ajaran mana yang ngasilin pengikut bermental teroris?

abangmu inget gak sih waktu kecil justu dialah yang meneror Warkop dengan kodok?

 

Dengan anggunnya DRAMA GARISMIRING KOMEDI SATIR INI MENGAMBIL PERSPEKTIF DI TENGAH, sehingga kita dengan aman bisa mengobservasi kedua belah pihak (jangan lupa ngaca!). Film ini memastikan kita dapat menangkap semua permasalahan yang timbul dari pengkubuan. Kita bisa melihat bahwa sejatinya tidak ada satu yang lebih benar dari yang lain, bahwa sesungguhnya kita butuh untuk menyatu. Jika ada yang bisa kita tunjuk ‘kalah’ dari argumen-argumen mereka, maka itu adalah pihak yang mengeraskan suaranya terlebih dahulu. Out of insecurity. Pertengkaran mereka tidak pernah menghasilkan apa-apa. Mereka sama-sama tidak punya jawaban. Mereka gak bisa mutusin pahala-dosa sama halnya dengan mereka gayakin terhadap jalan tengah yang diambil. Namun film ini juga bikin kita bisa paham betapa peliknya masalah jika sudah menyangkut keyakinan, dan – pada level tertentu – kebanggaan terhadap apa yang kita percaya. Rasa bertanggung jawab untuk memeliharanya. Film ini actually memberikan banyak hal untuk kita pikirkan, terutama ketika sampai di babak kedua.

Bahwa terkadang hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mengerjakan yang benar, alih-alih yang gampang, buat diri kita sendiri.

 

Kampung mereka vibrant oleh aktifitas dan tokoh-tokoh yang saling berinteraksi. Sangat menarik untuk ngikutin cerita hanya untuk melihat bagaimana kesemua tokoh ini ‘amprokan’ pada akhirnya. Ada subplot tentang preman yang actually jadi belajar agama. Sesungguhnya memang perjalanan kedua preman ini terasa lebih menarik sampai-sampai aku sempat khawatir kalo mereka hanya berakhir sebagai ‘alat perang’ semata, you know. Aku kesel banget kalolah ternyata entar mereka jadi teroris atau semacamnya. Juga ada subplot seorang waria yang dipertanyakan identitasnya; apakah dia sholat di barisan depan bareng cowok-cowok? Ataukah dia bisa di belakang bersama wanita? Apa dasar kita memutuskan keputusan pilihan tersebut? Dan adegan ketika sholat si Sandra ini diinterupsi oleh pengurus mesjid, daaang, aku suka kepada apa yang film ini lakukan terhadap musiknya yang ngehigh pitch gimana gitu. Memberikan kesan surreal yang lumayan disturbing.

Jika Bid’ah secara literasi berarti inovasi atau pembaruan, maka film ini diharapkan bisa menjadi bid’ah yang sangat diperlukan bagi genre religi Indonesia yang sudah lelah dengan tropes semacam poligami, orang sakit, selingkuh, dan lain sebagainya.

 

Film ini diarahkan dengan sangat cakap. Penceritaannya yang cenderung ke visual membuat cerita tidak berasa ceramah. Pelurusan saf saat sholat memberikan kepada kita gagasan soal pentingnya merapatkan barisan, yang dalam hal ini berarti menjaga hubungan sesama umat agar jangan renggang. Karena, you know, setan akan datang mengisi di sela-sela kita. Atau bahkan percakapan sepele soal kuping punya peran dalam diskusi juga memberikan makna bahwa umat layaknya satu tubuh, masing-masingnya sangat penting, untuk itu haruslah saling menjaga.

Sebagian besar waktu film akan terasa sangat grounded, sangat dekat. Akrab karena memang kurang lebih seperti kampung itulah umumnya lingkungan tempat kita tinggal. Tentu saja juga ada humor yang nyentil-nyentil yang bikin film menggigit balik jika kita iseng meghakimi tokohnya. Penampilan para aktor kebanyakan memang sudah meyakinkan. Alex Abbad yang jadi salah satu ustad berhasil ngedeliver perannya yang rather gimmicky dengan fantastis. Tidak ada peran yang terasa over-the-top. Sandra yang dimainkan oleh Ade Firman Hakim tampil manusiawi. Pun tidak terasa buat pemantik air mata semata. Dan Tanta Ginting, oh man, sekali lagi dia sukses menguarkan a really terrifying persona meski porsi penampilannya cukup sedikit. Aku enggak yakin dari mana, mungkin dari bruise keitaman pada jidat tanda banyaknya sujud, tapi begitu melihat tokohnya nongol pertama kali aku langsung nyeletuk “nah ini, speaking about radical!”

Tentu tak dosa untuk berharap, namun sayangnya Bid’ah Cinta masih terjatuh ke dalam lubang pakem yang sama. Kita masih melihat cewek drooling openly over karakter cowok yang simpatis. Bagian drama cinta adalah elemen yang perlu untuk hadir, karena cinta adalah solusi dari segalanya bukan? Hanya saja memang porsi cinta-cintaan film ini tidak terasa semenarik isu sosial kehidupan umat beragama. I mean, aku bakal salut banget kalo film ini berani menghadiahkan posisi tokoh utama itu kepada Sandra yang easily lebih dramatis. Atapun kepada Faruk si preman kampung, karena dia dan temennya punya plot yang lebih clear. Come on, kita ngeliat perjalan mereka dari preman mabok oplosan menjadi ‘remaja masjid’ yang ngebongkar balik kereta dangdut keliling yang biasanya jadi langganan mereka joget. That’s one clear journey yang dipunya oleh film ini

Alhamdulillah, luar biasa

 

Tokoh utama kita justru adalah Kamal (Dimas Aditya memainkan peran yang mestinya paling simpatik) yang menemukan dirinya berada di tengah-tengah persoalan yang timbul dari beda pandangan tersebut. Kamal yang meyakini Islam sejati (dalam artian tidak ada penambahan ritual dan semacamnya) harus ditegakkan, merasa perjalanan cintanya mentok. Karena Khalida (tokoh Ayushita kurang cukup kuat, udah sedewasa itu tapi dia masih perlu diselamatkan dari argumen oleh “masuk kamar!”) memiliki pandangan yang berbeda soal toleransi dan menegakkan ajaran agama. Asmara mereka eventually akan jadi ‘juru damai’ dan di poin inilah aku enggak setuju sama keputusan yang diambil oleh film. Bekerja begitu baik dengan nempatin diri di tengah, saat babak penyelesaian, mau tak mau film harus kelihatan memihak kepada pilihan yang musti diambil oleh tokoh utama. Dan ini bikin ceritanya melemah, karena memang hooknya enggak kuat. I mean, apa sih hal terburuk yang terjadi kalo Kamal enggak jadian sama Khalida? Kamal ngambek loh, mintak orangtuanya mengerti apa yang ia rasakan dan ‘berdamai’ agar bisa melamar Khalida. Shouldn’t it be the other way around- mereka berdua bersatu dulu, baru bareng usaha mendamaikan yang lain? Dan Khalida comes off rather shallow, dia ingin Kamal berubah demi dirinya, and hey noleh dong, itu si Faruk insaf ke jalan yang lurus karena cintanya lu tolak loh haha.

Penggarapan porsi drama ini juga terasa enggak seserius bagian yang lain. Pengulangan shot di taman yang actually gak berarti apa-apa. There’s attempt to make this sebagai kisah cinta segitiga, namun gatot lantaran tokoh Ibnu Jamil sama sekali gak ngapa-ngapain. I don’t get it why Hasan ini terlihat begitu penting, karena ganteng? Dia jarang terlihat ngumpul bareng yang lain, ke Mesjid juga jarang. Film ini bisa lebih tight lagi jika kita diperlihatkan lebih banyak interaksi antarwarga di kampung. Bagian teroris yang dikaitkan dengan actual event juga terasa abrupt.

Yang ingin kita lihat adalah dua kubu Islam akhirnya berjalan bersisian, dan perjalanan mencapai itulah yang bikin seru. Film ini memang mengakhiri diri dengan berusaha sebisa mungkin untuk ngampil posisi paling tengah, sebagaimana kita melihat Ustadz yang just being there demi kesopanan, dia enggak really ikut berpesta, tapi dengan tokoh utama yang ‘beralih’, seolah menggiring kita ke gagasan bahwa yang dipilih itulah the right thing to do. But it is not. Itu adalah cara termudah untuk mengakhiri konflik, dan itulah yang membuat nilai film ini jatuh buatku.

Terkadang kita suka memperebutkan sesuatu yang belum kita punya. Mempermasalahkan yang kita sendiri enggak punya jawabannya. Kayak Faruk dan Ketel yang heboh membahas duit yang belum ketauan juntrungannya, kita sibuk saling bertengkar membagi-bagi pahala dan dosa yang tidak satupun dari kita punya kuasa atasnya.

 

 

 

Mengambil tema cerita yang sangat unconventional buat scene religi tanah air, film ini bagai bid’ah yang diperlukan. Penting untuk ditonton karena memberikan banyak bahan renungan. Akan tetapi secara penceritaan, inovasi yang dilakukan seolah tersendat oleh tropes yang enggak begitu diusahakan untuk dihindari. It could be so much better jika drama cinta enggak jadi fokus nomor satunya. Babak ketiganya sedikit terseok-seok due to effort naskah mengaitkan semua saga karakter yang ada kepada plot tokoh utama, which is not really paid off well karena memang perspektifnya kalah menarik dibanding yang lain. Film ini seharusnya tetap di tengah, dan enggak abisin terlalu banyak waktu menumpul di eksplorasi asmara.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BID’AH CINTA

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.