FOXTROT SIX Review

“Why don’t presidents fight the war?”

 

 

 

Lirik lagu band System of a Down tersebut mungkin bakal terngiang-ngiang di kepala kita saat menyaksikan film laga distopia Indonesia garapan Randy Korompis. Foxtrot Six pada performa terbaiknya memuat komentar politik tentang bagaimana dalam setiap kekacauan, selalu rakyat jelata yang menjadi korban. Film ini bicara tentang kelaparan dalam rentang mulai dari lapar makanan beneran hingga lapar kekuasaan di mana pemimpin terus saja menyuapi rakyat dengan kebohongan alih-alih makanan. Ada satu adegan menjelang akhir yang membuatku tertawa sinis ketika setelah bak-bik-buk dan gencatan senjata di ruang presiden, salah satu pintu ruangan tersebut terbuka dan masuklah sang pemimpin negara dengan biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa beberapa detik sebelumnya. Tak-terluka. Tak-bernoda. Tak tesentuh oleh semua padahal rakyat menderita atas namanya.

Kenapa bukan presiden yang ikut berperang? Bukankah pada cerita-cerita jaman dahulu para raja langsung turun dengan kudanya ke medan tempur? Karena bukan begitu cara kerja dunia sekarang. Presiden tidak ikut berperang karena bukan tugasnya, presiden harusnya adalah orang yang mencegah terjadinya perang sedari awal. Dia yang memastikan keamanan rakyat, kestabilan nasional bisa tercapai melalui perjuangannya di balik meja.

 

Presiden Indonesia tahun 2031 dalam Foxtrot Six toh memang berusaha untuk menstabilkan keadaan. Namun demi keuntungan dirinya sendiri. Dia ingin terlihat sebagai pahlawan sejati di mata rakyat. Aku mengira film akan mengembangkan motivasi tokoh ini lebih lanjut, kupikir tujuan besar si presiden adalah ingin menguasai dunia, sebab di sepuluh-menit awal kita diperlihatkan serangkaian klip-klip yang berfungsi sebagai eksposisi yang menjelaskan keadaan Indonesia saat itu di mata seluruh dunia. Gimana Indonesia jadi pusat pangan, tetapi rakyatnya menderita kelaparan sehingga tindakan kepala negara tak pelak akan jadi sorotan. Tapi ternyata cerita menguncup tatkala kita mulai memasuki wilayah tokoh protagonis; Angga, anggota Dewan yang seorang mantan tentara. Angga tadinya punya rencana untuk ‘menyelamatkan’ dunia. Kemudian rencananya tersebut disabotase, diambil alih. Dan malah Angga yang dituduhkan sebagai teroris, rencana yang ia bikin malah berbalik menyerang dirinya.

sekarang coba pikir cerita manga apa yang seperti itu, aku hitung sampai enam ya.. satu…dua…

 

Aku benar-benar langsung kepikiran manga 20th Century Boys buatan Naoki Urasawa saat menonton film ini. Kejadiannya memang gak mirip seratus persen, tapi bentukan konflik Angga dengan Presiden sangat mirip apa yang terjadi pada Kenji dan sosok pemimpin yang ia ‘lawan’; Sahabat. Rencana kanak-kanak Kenji juga dicuri oleh Sahabat, yang balik menggunakannya untuk menimpakan kesalahan pada Kenji dan kelompok. Mereka dituduh teroris dan Sahabat akan dielu-elukan rakyat dengan membasmi teroris yang ia sebut Faksi Kenji. Persis seperti apa yang terjadi pada Angga. Angga dan teman-teman mantan tentaranya diburu oleh pasukan Presiden, lantaran mereka dituduhkan sebagai teroris yang udah membuat kekacauan nasional. Hanya saja film ini bekerja dalam skala yang lebih simpel. Padahal seperti yang kubilang tadi, cukup aneh presiden hanya ingin berkuasa di negara yang kacau – maksudku, kalo memang udah mirip ya miripin aja semua sekalian. Angga pun, sebagai tokoh utama, mendapat pengembangan yang nanggung. Kita diperlihatkan bagaimana cerita menjadi personal buatnya karena ini menyangkut keluarga dan teman-temannya – seperti Kenji, hanya saja film melewatkan banyak hal penting.

Bibit drama yang mestinya berkembang dari persahabatan Angga dan rekan-rekan seketika menjadi tumpul lantaran pilihan aneh yang dilakukan oleh cerita; menge-skip bagian di mana mereka menjadi sahabat, malah langsung membawa kita ke sekuen Angga berusaha mengajak kembali satu-persatu dari mereka untuk bergabung menumpas rencana jahat negara. Tak pernah kita lihat mereka di momen-momen akrab sehingga apa yang terjadi pada masing-masing mereka sepanjang cerita akan susah untuk kita pedulikan. kasihan sih ada melihat seorang vlogger yang berusaha berbuat benar musti mati ketusuk – selalu sedih melihat orang mati – tapi sedih itu tidak sama dengan kita peduli sama karakternya. Keenam pasukan protagonis ini terlihat canggung, dan itu bukan semata karena pemerannya. Aktor-aktor kayak Oka Antara, Rio Dewanto, Verdi Solaiman, Chicco Jericho, Mike Lewis, Arifin Putra – mereka bukan aktor yang buruk, kita sudah pernah melihat mereka bermain menakjubkan di film-film sebelum ini. Hanya saja kedangkalan tokoh di Foxtrot Six membuat bahkan sekelas mereka saja tampak bingung dan enggak nyaman dalam berakting. Meskipun diberikan sifat yang berbeda, semua tokoh film ini terdengar sama. Sama-sama sarkas. Suka ngomong keras-keras. Suka tampak sok-jago. Sama-sama stoic, lifeless.

Hubungan Angga dengan anaknya – ya seperti Kenji yang punya Kanna untuk dijaga – juga tak pernah berbuah manis dan menghangatkan hati. Film sempat mengambil waktu untuk menghadirkan momen khusus untuk kedua tokoh ini, hanya saja follow-upnya tidak terasa sama sekali. Ada adegan di mana Angga harus memilih menyelamatkan anak atau Julie Estelle yang mestinya bisa banget dibuat hangat dan mengharukan sebagai kerjasama keluarga yang sudah lama terpisah. Tapi film tidak menggali adegan ini; dipersembahkan dengan datar. Angga bahkan tidak berinteraksi dengan anak tersebut sampai ke adegan konyol di dalam elevator.

Telunjuk kita mungkin akan dengan cepat menuding kepada bahasa saat kita membicarakan tentang betapa kikuknya film ini terdengar. Aku sebenarnya tak pernah melarang keputusan-kreatif menyangkut penggunaan bahasa – kalian tahu sendiri bahasa blog ini seperti apa. Yang aku pertanyakan adalah keuntungan apa yang ingin dicari dalam membebankan para aktor untuk berakting seluruhnya dalam bahasa inggris? Pikirkan seperti begini, Crazy Rich Asians (2018) sedapat mungkin menyisipkan kata bahasa Melayu dalam dialognya supaya daya tariknya tersebut langsung menonjol dan dapat dikenali oleh orang luar. Bahkan Buffalo Boys (2018) dengan sengaja menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dialog yang tadinya ditulis dengan mindset orang luar. Menggunakan bahasa inggris seluruhnya pada cerita yang bertempat di Indonesia, dengan semua aktor adalah orang Indonesia, pada film yang ditayangkan di Indonesia – apa yang mau mereka ‘jual’ dari hal tersebut? Menurutku pilihan ini tidak akan membantu banyak film ini dikenali di luar negeri. Karena tidak lagi dirinya tampak dan terdengar unik. Kalolah memang supaya terdengar akrab buat penonton luar, jangan paksakan kepada para aktor. Maksudku, anime saja dibuat dahulu versi bahasa aslinya. Kemudian saat dijual di negeri barat, dibuat dubbing resmi oleh pengisi suara yang bahasa ibunya adalah bahasa inggris. Kenapa Foxtrot Six tidak dibuat seperti demikian – kenapa tidak dibuat bener-bener supaya orang luar tertarik membuat versi dub oleh sebab melihat nuansa Indonesia yang ditampilkan. Kenapa bergerak mendahului mimpi, belum ada yang minta bahasa inggris tapi sudah dibuat untuk orang luar duluan.

mari kita berkontemplasi sambil bertelanjang dada ngeliatin papan iklan sponsor

 

Tren sinema Indonesia kepada dunia luar memang sepertinya tersemat kepada genre horor dan laga. Namun begitu, bahkan laga di film ini pun tidak memiliki jurus yang ampuh sehingga terlihat spesial. Generik banget koreografi maupun kerja kameranya. Menjadi penuh kekerasan dengan darah dan tulang belulang yang patah belum cukup untuk menyebut film ini sebuah laga yang bagus. Karena dengan duit dan CGI yang memadai, semua itu bisa tercapai. Yang terpenting tetap adalah bagaimana dunia dan ceritanya terbangun. Foxtrot Six punya teknologi yang cukup untuk menghadirkan jubah tembus-pandang ala thermoptic suit dalam Ghost in the Shell (2017) tapi tetap saja mereka ‘berhasi’ bikin adegan berlogika konyol yang bikin guling-guling sehubungan dengan jubah tersebut. Ada adegan ketika si tak-kelihatan berhadapan dengan sejumlah orang bersenjata api, dan yang ia lakukan malah ‘mengumumkan’ di mana posisi dirinya dengan mengambil tubuh satu orang dan menggerakkannya seperti perisai untuk melindungi diri dari peluru. Kenapa? Tidakkah lebih gampang kalo dia tetap tak kelihatan dan mengendap membunuh ala ninja? Lagian, kenapa orang-orang itu begitu begonya non-stop menembak padahal yang kelihatan adalah teman mereka sendiri?

 

 

 

“Quick. Simple. Graphic.” Benar-benar cocok mendeskripsikan dirinya. Dan tampaknya kitalah orang miskin yang disebut oleh film ini, yang mengira kita akan mudah terpuaskan oleh tiga hal tersebut, oleh dirinya. Kalo aku sih lapar terhadap film yang lebih berdaging. Dengan semua dialog dibawakan dalam bahasa asing dan adegan yang penuh CGI, akan jarang sekali kita menemukan hal yang tampak asli dalam film ini. Ambisi untuk menjadi spesial tersebut tak berbuah karena pada akhirnya film ini tampak seperti laga kelas-B Hollywood dengan aktor-aktor dari Indonesia. Dunia distopianya tampak seperti dunia The Purge, ceritanya kayak versi ringkasan simpel dari 20th Century Boys, dengan ending pengen dramatis seperti Glass (2019), tidak ada lagi yang spesial dipunya oleh film ini.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold star for FOXTROT SIX.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah salah jika presiden lebih memilih untuk berbohong demi menenangkan suasana di mata rakyat? Apakah pemimpin negara seharusnya langsung turun tangan memimpin perang alih-alih berdiplomasi untuk menghentikan perang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

THE FIRST PURGE Review

“Politics have no relation to morals.”

 

 

 

Untuk melepas penat kerja sepekan, kita perlu waktu libur satu hari. Liburan diciptakan supaya dinamika performa kita harmonis; agar stres yang menumpuk, mumet dan kebosanan yang terhimpun selama hari-hari rutinitas, dapat terlampiaskan. Sehingga kita merasa lega, dan siap untuk dihujani dengan tugas dan kerjaan berikutnya. Semua perlu liburan sebagaimana butuh kerja. Orang yang kurang piknik, akan gampang marah-marah, isi twitnya dijamin bakalan nyolot ga tentu arah hihi

Konsep melepas beban tersebut juga berlaku dalam praktek kehidupan sosial yang lebih luas. Kriminalitas yang terjadi di masyarakat mungkin salah satunya disebabkan oleh pelaku yang merasa terbebani oleh peraturan. Jadi, mereka melakukan kejahatan sebagai bentuk penyaluran. Supaya mereka bisa lega dan dapat melanjutkan menjadi orang yang baik hari berikutnya. Maka, sudah semestinyalah, perlu diberikan waktu khusus untuk semua orang supaya bisa melampiaskan nafsu bejat mereka, tanpa perlu takut kena hukuman. Kurang lebih kayak liburan, cuma yang ini adalah libur dari kebaikan. Dunia dijamin menjadi tempat yang lebih baik jika hal tersebut dilakukan. Benarkah demikian?

Sejak diluncurkan tahun 2013 yang lalu, The Purge sudah berusaha untuk membawa kita berdiskusi ke ranah yang menyeramkan soal apakah sebaiknya disediakan waktu khusus di mana semua orang bisa melanggar hukum semaunya. Aku sendiri sangat tertarik dengan tema moral dan hubungan sosial yang dibincangkan oleh film ini, makanya setiap ada sekuelnya yang keluar, aku selalu menonton dengan antusias. Mengerikan memang, membayangkan gimana cara kerja Malam Purge di dunia nyata. Kota yang dengan lantas berubah menjadi seperti wasteland di dunia Mad Max; dengan geng-geng haus darah berkuasa di setiap bloknya. Aku bergidik sendiri mengingat gimana jadinya kalo di Indonesia beneran ada yang kayak gini. Apa aku akan bikin gang sendiri, atau malah jadi duluan yang terbunuh haha

What’s your favorite Purge movie? / The first Purge / Oo yang baru / Bukaan, film yang pertamaaa

 

 

The First Purge membawa kita melihat reaksi masyarakat Staten Island ketika mereka mengetahui tempat tinggal mereka dijadikan tempat uji coba Purge oleh partai New Founding Fathers, yang mana membuat mereka semua adalah tikus percobaannya. Para warga bebas untuk memilih enggak ikutan dan mengungsi sebentar ke daerah lain. Atau; mereka bisa tinggal di rumah dengan dibayar, dan bahkan dibayar lebih gede lagi jika ikutan berpartisipasi melepas stres dalam 12 jam bebas hukum tersebut. Ini adalah elemen yang sudah banyak diperbincangkan orang saat film pertama Purge keluar. Benerkah orang-orang akan langsung bunuh-bunuhan jika membunuh dilegalkan. Tapi kita – apalagi kalo sudah menonton American Animals (2018) – tahu lebih baik. Berbuat jahat itu tak segampang dan semenarik yang kita bayangkan. Malahan, hanya ada satu orang yang diperlihatkan oleh The First Purge sebagai yang benar-benar menikmati Purge sebagai ajang pemuas nafsu bunuh-bunuhan. Penduduk yang lain, ya mereka menjarah, merampok, melakukan vandalisme, tapi setelah itu mereka lantas berpesta. Tidak ada darah yang diteteskan. Kondisi yang seperti ragu-ragu, reaksi pertama terhadap percobaan Purge, inilah yang membuat separuh awal The First Purge terasa segar.

Film ingin menunjukkan kemanusiaan belumlah sirna dari dunia, sesakit apapun keadaan sepertinya. Bahwa chaos sejatinya tidak terjadi begitu saja. Melainkan karena dirancang. Program Purge tidak akan berhasil jika tidak ada pihak yang menyetir, yang menyebarkan ketakutan, yang menggunakannya sebagai alat politik. Yang menyebabkan manusia begitu berbahaya bukan karena insting bertahan hidup, melainkan karena manusia adalah makhluk yang berpolitik. 

 

 

Film ini juga bermain-main dengan trope di dalam semestanya sendiri. Seperti kenapa peserta Purge selalu memakai topeng. Kenapa masih menutupi identitas padahal pada malam Purge semua tindak kejahatan dilegalkan. The First Purge mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengaitkannya dengan sisi psikologis. Bahwa mungkin rasa malu itu masih ada. Menyadari ikut serta karena punya dendam yang tak berani diselesaikan dengan baek-baek, mengakui bahwa mengikuti nafsu binatang adalah perbuatan tercela, bahwa membunuh, merampok, memperkosa, sekalipun legal masihlah tindakan yang tidak pantas dibanggakan. Maka orang-orang lebih suka memakai topeng. Untuk meyakinkan bahwa mereka pada malam Purge bukanlah mereka yang sebenarnya. Di samping masalah psikologis tersebut, The First Purge juga memperlihatkan alasan lain tentang mengapa topeng digunakan. Sayangnya, alasan kedua yang mereka angkat ini tidaklah semenarik yang pertama, dan lebih disayangkan lagi justru alasan kedua itulah yang benar-benar diangkat menjadi topik utama oleh film.

Hadir pertama kali berbungkus thriller home invasion, Purge kemudian menghadirkan sekuel yang menjawab permintaan penonton. Orang-orang ingin melihat lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi saat malam Purge. Jadi di film kedua kita melihat cakupan yang lebih luas, kita dibawa turun ke jalanan pada malam paling berbahaya di Amerika tersebut. Setelah film kedua itu, semesta Purge mandek. Mereka hanya memperlihatkan hal yang basically sama pada film sesudahnya. Tidak ada pandangan yang lebih jauh mengenai Purge itu sendiri. The First Purge menjanjikan sudut pandang ketika acara tersebut pertama kali dicetuskan, dan film ini gagal memenuhi janjinya tersebut. The First Purge is exactly kayak film yang sudah-sudah. Mereka tetap tidak mengangkat sudut yang lain. Formulanya masih sama, berupa orang-orang yang harus mempersiapkan diri beberapa menit menjelang sirene dibunyikan, dan kemudian mereka terjebak situasi Purge, dan mereka harus bertahan hidup. Elemen-elemen psikologis hanya jadi latar. Cerita aktual tentang bagaimana Purge bisa dicetuskan tetap berupa eksposisi sepintas lewat montase headline berita.

Purge adalah Halloween khusus dewasa

 

 

Sebenarnya di film ini kita akan beneran bertemu dengan pencipta konsep Purge sebagai bagian dari kampanye politik partainya. Tapi karakter yang mestinya punya beban konflik moral, punya dilema, yang menarik untuk digali ini pun hanya terasa seperti tempelan. Karena fokus jarang sekali jatuh padanya. Kehadiran tokoh ini lebih terasa seperti karena film butuh sesuatu untuk direveal; kalian tahu, kayak kebanyakan film yang merasa perlu untuk masukin unsur twist. Kita diperkenalkan kepadanya begitu saja, ‘undur diri’nya juga turut terasa abrupt sekali. Instead, cerita akan berfokus kepada seorang pemimpin gang. Bandar narkoba muda yang sudah meraja di kota tersebut. Moral konflik yang dipasangkan kepadanya sebagai kait cerita adalah bahwa gimana dia menolak Purge yang membunuh manusia dalam satu malam, sementara kerjaannya sendiri merusak manusia 364 hari non-stop. Susah untuk peduli sama si tokoh utama – walaupun Y’lan Noel mainnya lumayan berkharisma dan cukup meyakinkan. Maka, film membawa cerita mengarah kepada warna ‘melindungi rumah sendiri’ dalam usahanya menyinari tokoh utama dengan cahaya simpati; gimana lingkungan tempat tinggal mereka digugah oleh kepentingan, dan mereka harus bekerja sama melindungi kemanusiaan di dalamnya.

The First Purge tetap seperti home invasion skala besar, dengan bukan saja unsur kekerasan yang dikurangi (karena cerita ini seperti setengah psikologis, dan setengah ‘ah sudahlah bikin yang heboh seperti biasa aja’), secara teknis film ini juga tampak lebih ‘murah’ ketimbang film-filmnya sebelum ini. Penulisannya menjurus ke konyol pada beberapa poin. Ada indikasi mereka ingin memparalelkan kejadian film dengan keadaan di dunia nyata, seperti ketika seorang politisi literally bilang “kita harus bikin Amerika hebat lagi”. Tidak ada kesubtilan, mereka menyebutnya dengan gamblang. I mean, bahkan nyindir juga mestinya ada seninya kan. Efek-efek yang ada kerap terasa ketinggalan jaman, ada bagian ketika film bermaksud merekam adegan yang misterius dengan banyak asap dan percikan darah, namun jatuhnya malah over-the-top because it feels cheap.

Pada satu poin, aku sempat heran apakah ini berubah menjadi film Searching (2018) apa gimana karena tiba-tiba kita melihat seorang tokoh penting dieksekusi lewat layar monitor. Kita tidak tahu gimana, bahkan apakah itu benar-benar si tokoh karena kita enggak bisa melihat wajahnya. Hanya orang yang terlihat mirip dia. Kenapa film tidak memperlihatkan langsung saja. Apa adegan tersebut ditambahin belakangan, baru sadar ada yang kurang tapi kontrak pemainnya sudah habis? Setelah paruh pertama, cerita benar-benar meninggalkan pacing, dan segala macem. Yang membuatku tertawa adalah ketika pasukan tokoh utama kita diberondong oleh drone, Dmitri masuk ke kolong mobil, dia hanya bisa melihat kaki teman-temannya – mereka sedang dihujani peluru. Dan setelah dronenya pergi, Dmitri langsung keluar begitu saja. Like, darimana dia tahu dronenya sudah pergi atau keadaan sudah benar-benar aman? Film tidak lagi memperhatikan sudut pandang, dan pada titik ini, kita hanya menonton untuk melihat orang mati dengan cara sesadis yang bisa kita harapkan.

Purge adalah alegori budaya kekerasan, korupnya politik Amerika, dan sistem ekonomi neoliberalisme yang curang. Salah satu episode Rick and Morty say it’s best. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin akan binasa. Purge pada akhirnya akan memutar roda ekonomi; penjualan senjata, sistem keamanan rumah. Kelas ekonomi bawah harus berjuang, sampai-sampai ada yang menjual hidup mereka demi keluarganya

 

 

 

 

Jika ini adalah Purge Night pertama kamu, mungkin aja sih, kamu-kamu bakal suka sama filmnya. Karena memang konsep dunia Purge ini selalu menarik. Makanya, para pembuat filmnya jadi susah move on. Installment barunya selalu terasa sama, dan enggak benar-benar menggali sudut yang baru. Mereka juga membuat serial TV The Purge, dan sejauh aku menonton (tiga episode) serial tersebut juga tak banyak berbeda dengan film ini. Jadinya ya enggak maju-maju. Tidak ada pencapaian pada setiap sekuelnya, tidak ada resiko yang diambil. Malahan, film ini tampak seperti yang paling males dibanding yang lain. Terhibur sih, tapi tetep aja kecewa karena aku pengen melihat Purge dibahas lebih dalam. Alasan kenapa ada Purge adalah hal yang dijanjikan oleh cerita, tapi kita tidak benar-benar mendapatkan hal tersebut.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE FIRST PURGE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Akankah kalian berpartisipasi jika Indonesia melakukan Purge? Berapa duit yang kalian minta? Benarkah kita butuh satu hari untuk melampiaskan diri akan membawa kita menjadi orang yang lebih baik? Perlukah kejahatan dan dendam itu disalurkan?

Dan pada akhirnya, di mana posisi kita – para penonton semesta Purge; apakah kita menonton untuk melihat bagaimana akhirnya, atau hanya memuaskan dahaga karena kekerasan memang melegakan?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

MILE 22 Review

“There are no heroes or villains”

 

 

 

Sebagian orang bisa tidur dengan damai di malam hari karena mereka mengetahui ada orang-orang yang siap untuk berbuat kekerasan demi mereka. Begitu kata tokoh yang diperankan dengan sangar oleh Mark Wahlberg di film Mile 22. Enggak jelas juga apakah Si James Silva ini memang penggemar George Orwell, atau dia hanya terlalu obsesif dengan menegakkan kedamaian sehingga bocah jenius yang jadi yatim piatu tersebut jadi ‘setengah-gila’ menyangkut urusan membasmi orang jahat. Kita enggak akan pernah tahu, karena cerita latar tokoh ini hanya disajikan dalam montase klip-klip berita yang muncul di pembuka. Tidak sampai lima menit, kemudian film melaju begitu saja tanpa memberikan kita kesempatan untuk bernapas. Apalagi memikirkan kegilaan filosofis si James ini.

Tapi toh, tokoh James memang menarik. Dia adalah agen rahasia pemerintah yang menyamar sebagai agen CIA. Bayangin tuh! James punya kebiasaan jebretin lengannya pake karet gelang yang selalu ia kenakan di pergelangan tangan. Harus memutuskan antara yang baik dengan yang efisien? Jebret! Menangani siasat yang mesti diputuskan dengan cepat? Jebret! Rasa sakit membantu James untuk fokus.  Dirinya sangat obsesif, dia punya kesadaran tinggi tentang apa yang harus dilakukan – tidak peduli itu salah atau benar. Dia paham kecerdasanya di atas rata-rata jadi dia agak kesel dan tak ragu untuk menjadi begitu intens jika ada bawahannya yang meragukan apa yang ia perintahkan ataupun ketika ada yang bekerja di bawah standar yang ia percaya.

No birthday cake, Rousey!

 

Untuk satu hal, film ini adalah laga konvensional tentang satu kelompok yang berusaha untuk mengantar seseorang ke dalam lingkungan yang aman, di mana untuk mencapai keselamatan tersebut mereka harus menerjang peluru dan berantem numpahin darah. Tim James melakukan operasi rahasia untuk membawa polisi lokal yang menyerahkan diri ke embassy Amerika. Polisi rendahan tersebut, si Iko Uwais bernama Li Noor di sini, mengaku mengetahui sandi untuk menonaktifkan enam bom yang dicari oleh para agen. Jadi ia menukar pengetahuannya tersebut dengan posisi yang aman di Amerika. Syaratnya; Tim James harus memastikan keselamatannya sampai ia tiba di Amerika – karena tampaknya, pihak polisi lokal enggak mau satu polisi yang dianggap berbahaya ini meloloskan diri ke negara lain. Dua-puluh-dua mil actually adalah jarak dari embassy ke bandara yang harus James tempuh dalam misinya ini. Tapi untuk kita para penonton, itu berarti 100 menit yang rasanya begitu lama karena tak sekalipun kita dikasih waktu untuk mikirin para tokohnya.

Seperti yang kubilang tadi, ada hal menarik yang coba diangkat oleh film dari perilaku tokohnya. Li Noor dibuat kontras dengan James. Dia lebih tenang, hobinya meditasi dengan jari-jari sebagai lawan dari James dan jebretan karet gelangnya. Film sebenarnya bisa bekerja dengan lebih baik dari menggali ini saja, dengan pelan-pelan. Tapinya, enggak. Film berusaha untuk menjadi banyak hal. Salah satunya adalah menjadi sok lucu. Ada begitu banyak dialog yang diniatkan pinter dan keren, malah jatohnya konyol. Receh. Kayak momen terakhir antara James dengan Noor. Setelah semua aksi tersebut, kontras antara mereka diperlihatkan, rasanya aneh dan konyol sekali film ini memberikan sentuhan ‘realita’ yang mengacknowledge Wahlberg sebagai seorang selebriti sebagai titik puncak dari tokoh-tokoh ini. Film ini – sama seperti James – menyangka dirinya pintar dengan memasukkan lelucon “Say hi to your ‘mother’ for me” (Wahlberg terkenal dengan jargon dari sketsa Saturday Night Live ini, yang diucapkan untuk meledek dirinya) mentang-mentang konteksnya adalah pimpinan tokoh James menyebut diri sebagai Mother dalam kode operasi rahasia mereka.

Dalam dunia yang kacau, tidak ada pahlawan atau penjahat. Sebab terkadang, kita perlu untuk bertindak layaknya penjahat, untuk menyelamatkan orang. Hal yang benar untuk dilakukan bisa jadi adalah hal yang paling berat untuk dilakukan. Keberanian untuk menempuh hal sulit itulah yang membuat seseorang pantas dipanggil sebagai pahlawan.

 

 

Hal lain yang dilakukan oleh film ini adalah, berusaha menjadi nendang dan impactful dengan pesan-pesan politiknya. Tapi tidak pernah menyampur dengan baik. Antara maksud dengan apa yang benar-benar film ini lakukan, enggak klop. Karena film ini tidak benar-benar mengembangkan apa-apa selain ledakan dan aksi laga. Film bahkan tidak berani menyebut nama negara yang jadi settingnya. Mereka menampilkan nama Indocarr yang menunjukkan ini negara fiktif, tapi tidak pernah benar-benar menyebutnya. Para tokoh berkelit dari menyebutkan nama. Ketika harus nyebutin, mereka mereferensi tempat ini dengan sebutan “our host country”. Aku gak mengerti kenapa mereka gak langsung bilang Indocarr aja . Atau langsung sebut Indonesia aja, toh kita tahu letaknya di Asia Tenggara, kita mendengar penduduk lokal berbahasa Indonesia. Orang sini akan dapat hiburan tersendiri saat menonton Mile 22 dari bahasa yang terdengar. Tokoh-tokoh yang lain juga sekedar ada di sana. Tokoh pemimpin mereka hanya ada untuk teriak-teriak kepada komputer. Ada tokoh cewek namanya Alice yang diceritakan punya masalah dengan perceraian dan keluarga, tapi tidak mendapat finality yang pantas. Dan Ronda Rousey (our new WWE RAW WOMEN’S CHAMPION!), dang menurutku film ini melewatkan kesempatan gede; mereka punya Iko Uwais dan the baddest woman in the planet, tapi keduanya enggak dibikin berantem. Mubaziiiirrr, I want to see them fight each other!

bahkan saat bicara pun film ini meledak-ledak

 

 

Bagian tengah film ini betul-betul kosong. Kita dapat pembuka yang basically mengeset siapa James, apa yang ia lakukan, siapa yang berasosiasi dengannya. Film juga memberikan penutup apa yang terjadi kepada James, dan semuanya. Namun, bagian tengahnya – dimulai dari kemunculan mendadak Li Noor – hanya terasa seperti sekuen aksi yang begitu panjang tanpa ada esensi di baliknya. Tidak ada pengembangan di sana. Film begitu bedeterminasi untuk membuat pengungkapan di bagian penutup sebagai sebuah ledakan yang wow, jadi kita tidak dapat apa-apa di babak kedua ini selain adegan berantem dan tembak-tembakan. Kita dilempar begitu saja ke dalam sekuens aksi dengan sesedikit mungkin build up sehingga akan susah sekali untuk peduli pada apa yang terjadi.

Sebaiknya jangan nonton film ini saat perut kalian sedang kosong. Serius. Babak kedua yang katanya penuh aksi itu, well, berkat kerja kamera dan editing yang begitu rusuh apa-apa yang di layar akan tampak sangat membingungkan. Kita enggak bisa ngikutin siapa nyerang siapa, apa yang terjadi di layar terjadi begitu cepat. Begitu banyak cut-cut cepat yang membuat mata kita berpindah-pindah tanpa arahan. Aku gak paham kenapa film ini malah menggunakan teknik edit dan kamera yang heboh seperti itu. Ini kubalikkan saran James buat rekannya kepada pergerakan kamera: Stop. 

Film ini perlu memikirkan ulang konsepnya; pengen menangkap suasana rusuh semestinya bisa dilakukan tanpa membuat penonton bingung dan mau muntah. Dan lagi, jika kau punya aktor laga sehebat Iko Uwais, yang juga kau pekerjakan sebagai koreografi laga – yang berarti kau percaya pada kemampuannya – maka dijamin kau akan punya sekuen aksi yang dashyat; Kenapa tak merekamnya dengan wideshot, dengan tenang. Kamera bergoyang dan quick-cut yang hiperaktif digunakan untuk menyamarkan kerja stunt dan aksi yang buruk. Kehadiran Iko menjamin masalah tersebut tidak bakal ada, jadi kenapa teknik demikian – yang sama sekali tidak mengangkat buat gaya Iko –  masih terus digunakan?

 

 

 

 

Sungguh aneh pilihan dan arahan yang dilakukan oleh sutradara Peter Berg. Semuanya sangat cepat, dengan orang-orang yang bersuara lantang. Membuat film ini jadi kayak versi loud dari Sicario (2015). Ceritanya tak lagi menyenangkan, kita tidak bisa untuk peduli pada siapapun. Sangat gak jelas dengan apa sebenarnya yang ingin dicapai oleh film yang menyangka akan terlihat pintar jika menyampaikan semua dengan hiperaktif. Mengecewakan, Peter Berg sejatinya could be so much better. Segala baku hantam, ledakan, dialog, yang ia punya jadi kayak rentetan racauan edan yang membingungkan dan jauh dari menghibur.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MILE 22.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

RED SPARROW Review

“Everything happens for a reason.”

 

 

Moralitas cuma sikap sentimental manusia. Sedangkan harga diri selalu adalah yang lebih dahulu jatuh. Jadi buat apa menunggu? Pemuda pemudi Rusia yang digembleng oleh agensi State School 4 mendapat doktrin seperti demikian demi mengobarkan semangat patriotisme mereka. Sebab dalam aksi membela negara, mereka semua harus rela mengorbankan apapun. Jiwa raga mereka milik negara  yang selama ini telah memberikan mereka tempat berlindung, tempat untuk tinggal. Dan sekarang adalah giliran mereka untuk berjuang atas nama negara, dengan menjadikan tubuh sebagai senjata utama.

Menjadi mata-mata tidak selamanya berarti menguasai alat-alat berteknologi canggih, enggak selalu bahaya yang mereka hadapi berupa merayap elegan di antara laser-laser dengan kostum hitam. Film Red Sparrow tidak memewah-mewahkan kehidupan sembunyi-sembunyi penuh rahasia itu. Ataupun membuat penontonnya ingin menjadi mata-mata kece. Sesungguhnya film ini diadaptasi dari buku novel karangan Jason Matthews; seorang mantan anggota CIA. Jadi at heart, cerita film ini tahu persis seperti apa ‘sisi buruk’ dari pekerjaan tersebut. Materi yang disambut dengan bijak oleh sutradara Francis Lawrence, ini lebih sebagai sebuah cerita thriller dibandingkan kisah aksi. Menonton Red Sparrow, kita akan merasakan betapa OTENTIKNYA GAMBARAN DARI KEHIDUPAN SEORANG MATA-MATA. Iya sih, menjadi mata-mata berarti hidup kita menjadi glamor seketika; bercinta dengan orang-orang penting, orang-orang kaya. Namun, melalui film ini kita akan melihat sebenarnya itu adalah sebuah hidup yang sangat mengerikan. Percaya deh, enggak akan ada yang mau berada dalam sepatu Dominika Egorova. Tokoh utama kita ini adalah seorang ballerina yang direkrut ke dalam barisan Sparrow yang kerjaannya secara sederhana adalah merayu orang untuk mendapatkan informasi. Sebuah pekerjaan yang mengerikan sekaligus menyedihkan. Dan tentu saja, penuh resiko.

Di Rusia, supaya tenang setelah kejadian traumatis, orang-orangnya enggak minum air putih. Mereka merokok.

 

Kita tidak mau melihat Dominika menjadi mata-mata yang sukses, kita ingin melihat cewek ini berhenti menjadi mata-mata dan kabur saja keluar dari dunia yang ia geluti. Hidup yang ia jalani was just so horrible, namun walaupun cerita tidak pernah memuja keputusan yang diambilnya, membenarkan apa yang ia pilih, Red Sparrow masih berkodrat sebagai sebuah film. Cerita film ini disusun sedemikian rupa supaya menarik, jadi kita tetap mendapatkan trope-trope thriller Perang Dingin – Misi utama Dominika, pertanyaan pada lapisan terluar cerita film ini, berpusat pada apakah Dominika akan berhasil mengendus mata-mata yang ia cari? Juga ada kisah cinta antara dua mata-mata beda negara yang tentu saja menambah stake berupa apakah pihak yang lain itu bisa dipercaya, siapa yang bakal mengkhianati siapa. Kalian ngertilah, kita masih akan menjumpai sedikit dramatisasi pada cerita. In fact, salah satu sekuen yang paling efektif nunjukin sensasi thriller dalam film ini adalah sepuluh menit pertama ketika kita dibikin berpindah-pindah antara pertunjukan balet Dominika dengan pertemuan rahasia tokoh Joel Edgerton, sementara scoring yang sangat memikat mengalun di latar belakang. Di dalam film akan ada sekuen berantem yang lumayan sadis. Ada adegan pemukulan dan penyiksaan yang bukan konsumsi penonton yang perutnya lemah.

Selain itu, juga banyak adegan ‘buka baju’ yang bakal bikin kita risih menontonnya – yang membuat bioskop di sini mesti melakukan sensor dengan mengezoom pada adegan kurang senonoh sehingga kita hanya melihat kepala tokohnya saja. Dan untuk itu, aku sangat salut kepada Jennifer Lawrence yang sungguh bernyali. Setelah hal-hal gila yang aktris ini lakukan di Mother! (2017), di Red Sparrow dia menaikkan tingkat kenekatannya dengan melakukan berbagai adegan yang bikin kita meringis. Sepertinya tidak ada adegan menantang yang enggan dilakukan oleh JenLaw, semuanya dijabanin.  Perlu kutekankan sedikit, meskipun memang banyak adegan seksual yang awkward dan kasar – di kelas di ‘sekolah mata-matanya’, Dominika dan murid-murid yang lain kerap disuruh buka baju dan melakukan gituan di depan semua orang – perasaan disturbing yang kita rasakan ketika menonton film ini tidak terbatas berasal dari sana. Malahan, justru adegan tokohnya Mary-Louise Parker yang bikin penonton di studioku tadi barengan memekin tertahan, padahal adegannya bukan adegan seksual.

Aku bisa paham dan membayangkan kalo Red Sparrow bakal banyak diboikot, lantaran film ini juga menggambarkan iklim politik yang disturbingly relevan terutama buat penonton Amerika. Red Sparrow mengemukakan wacana soal kebudayaan Amerika yang berubah akibat sosial media dan teknologi dan bagaimana Rusia mencoba mengapitalisasi tensi di antara kedua negara. Dan kita tahu, semenjak election 2016 santer kabar ada campur tangan Rusia di dalamnya. Mungkin kata-kata mentor Dominika ada benarnya. Mungkin Perang Dingin tidak akan pernah berakhir.

 

Sebagai sebuah cerita, film ini punya sisi menarik. Kita ditaruh di tengah-tengah situasi politik di mana kita enggak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun di atas itu, yang membuat film ini susah untuk ditonton adalah betapa protagonis kita luar biasa tak tertebak. Film ini dengan sengaja mengaburkan isi kepala Dominika kepada kita, membuat kita tidak pernah sepenuhnya memahami keputusan yang ia buat. Tidak seperti pada Molly’s Game (2018)  di mana kita bisa mengerti apa yang membuat tokoh Jessica Chastain berpindah dari atlit ski, memilih menjadi Bandar Poker, kita paham mindsetnya, pilihan-pilihan yang dia ambil, pada Red Sparrow kita tidak mengerti bagaimana cara kerja pikiran Dominika. Kita mengerti dia terjebak dalam situasi yang tidak ia sukai, tapi kita enggak tahu apa tepatnya yang menyebabkan dia ada di sana. Transisi dari dia yang balerina sukses menjadi, katakanlah, pion dalam permainan spionase maut terasa sangat abrupt. Keputusan-keputusan Dominika disimpan rapat di dalam kepalanya sendiri, dan kita hanya melihat tindaknya dari luar. Mmebuat kita sulit peduli dan mendukung tokohnya. Dan sejauh yang bisa aku usahakan untuk mengerti, keputusan agensi Sparrow merekrut Dominika adalah karena masalah pelik keluarga, semacam nepotisme, dan karena Dominika punya paras cantik yang merupakan aset berharga jika kau mencari kandidat sempurna untuk mata-mata.

you don’t want to be a volunteer for this kind of job

 

Tidak ada yang namanya kebetulan di muka bumi. Tidak ada yang namanya kecelakaan. Semua hal terjadi karena suatu alasan. Ini adalah pelajaran berharga yang dipelajari dengan cara yang sangat keras oleh Dominika. Semuanya itu bersangkutan dengan kebutuhan manusia, sebagai makhuk sosial. Pada gilirannya, Dominika menjadi sangat tangkas dalam menebak apa yang diinginkan oleh target operasinya, tak terkecuali orang-orang di sekitarnya. Inilah yang membuatnya begitu cakap sebagai seorang mata-mata. Sebegitu handalnya sehingga Dominika dapat membalikkan kebutuhan orang sebagai keuntungan yang memenuhi kebutuhannya.

 

Film ini banyak bicara tentang bagaimana setiap manusia mempunyai kebutuhan. Akan ada banyak percakapan yang menanyakan “apa yang kau mau?” kepada seorang tokoh. Kebutuhan manusia menjadi poin vokal dalam narasi, tapi kita dengan sengaja dibuat tidak mengetahui kebutuhan sejati dari tokoh utama. Kita paham dia ingin ibunya yang sakit terurus dengan baik, tetapi gambar besar dari tujuannya sengaja ditutupi. Film seolah membuat pagar pertahanan di sekeliling tokoh utama yang mencegah kita untuk masuk dan peduli dan mengerti, dan hanya di saat-saat terakhir pagar ini membuka. Film banyak memanjang-manjangkan adegan yang kelihatan seperti momen gede padahal enggak benar-benar mengangkat cerita, hanya untuk memperlihatkan kepada kita kemampuan dan arah moral yang dipegang oleh Dominika. Karena sebenarnya hanya ada satu adegan kecil yang perlu kita tahu di akhir, adegan yang akhirnya membuat kita melihat Dominika seutuhnya.

 

 

 

Manusia adalah teka-teki kebutuhan. Film memilih untuk menggambarkan itu dengan tepat kepada tokoh utama sehingga kita bisa menjadi begitu frustasi saat menontonnya. Ceritanya tidak membingungkan, elemen politiknya bisa dipahami dengan sedikit perjuangan, mendukung tokoh utamanyalah yang merupakan tugas yang sulit. Kita bisa suka kepada setengah bagian dari film ini, karena dia begitu bernyali, punya adegan-adegan dan desain musik dan suara yang memikat. Sementara yang setengahnya lagi, kita akan kebingungan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for RED SPARROW.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ISTIRAHATLAH KATA-KATA Review

“Action speaks louder than words, except mine, my words are pretty awesome.”

 

istirahatlahkatakata-poster

 

Untuk sebuah film yang judulnya menyuruh kata-kata tidur siang, Istirahatlah Kata-Kata benar-benar punya sepatah dua patah sesuatu untuk disampaikan. Dan dia enggak bohong, kata-kata bisa ongkang kaki, sebab film ini adalah selebrasi dari tutur visual. Segala yang terpampang di layar berkoar bahasa sinematik, mengajak setiap pasang mata yang menonton untuk mengalami langsung apa yang sedang berusaha untuk diceritakan.

Action speaks louder than words. Kecuali kata-kata Wiji Thukul. His words are pretty awesome. Buktinya puisi-puisi karangan penyair asal Solo ini sukses bikin rezim Orde Baru Suharto ketakutan. Puisi-puisinya yang tentang rakyat kecil, mengobarkan semangat kebangkitan. Baca saja karya yang berjudul Peringatan. Namun itu belum cukup, kita tidak bisa mengubah dunia dari depan komputer – atau mungkin mesin ketik, di jaman Wiji Thukul merangkai kata. Jadi dibentuknya Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai aksi langsung menuntut demokrasi. Dan jadilah Wiji Thukul sebagai pelanggar hukum, kala itu tidak boleh ada partai keempat. Wiji Thukul hidup sebagai buronan militer, dia angkat kaki dari Solo meninggalkan istri dan anak-anaknya.

Oke, sampai di sini marilah kita biarkan film Istirahatlah Kata-Kata mengambil alih kisah kehidupan seorang Wiji Thukul. Karena film tersebut menceritakan celoteh sejarahku di atas dengan jauh lebih efektif dan simpel; cukup lewat satu adegan kompor dengan teks singkat di atas gelegaknya. Mulai dari sini, biarkanlah film membawa kita menyimpang sedikit dari ranah sejarah, sebab ini bukanlah biografi, apalagi dokumenter. Sutradara Yosep Anggi Noen tidak membuat film ini sebagai sebuah rangkuman peristiwa sejarah. Ini adalah sebuah drama kemanusiaan dengan pendekatan rather psychological; a very closed look tentang gimana KEHIDUPAN SESEORANG DI DALAM PELARIAN. Gimana keterasingan slowly consumed him, dan juga dampaknya terhadap orang-orang yang ia cintai, sebelumnya akhirnya Wiji Thukul akhirnya benar-benar menghilang tanpa bekas. Seperti bunga yang dicabut dari akarnya kemudian ditiup oleh angin.

Ouija Too Cool …. Oke, I’m a seven-year old :3
Ouija Too Cool …. Oke, I’m a seven-year old hhihi

 

This is a really contained film. Peran-peran yang ada ditulis dan dimainkan dengan sungguh real. Percakapan mereka adalah percakapan yang benar terjadi, kita bisa dengar obrolan di warung kopi seperti apa. The way they react to things juga sangat manusiawi. Sebagai Wiji adalah Gunawan Maryanto (aku serius jadi penasaran beliau cadel beneran atau enggak, karena aku gasempat merhatiin waktu diajar nulis tahun lalu), kita bisa merasakan sembunyi-sembunyinya, takut-ketahuannya. There’s this one scene yang real-ironis yaitu saat hal pertama yang secara spontan Wiji tanyain ke pemilik rumah tempat dirinya ‘ngumpet’ adalah apakah ada pintu lain kalo-kalo dia perlu kabur mendadak. Sebagian besar waktu, emosi para tokoh ini ditahan-tahan, yang as the story goes semakin memuncak. Wiji Thukul dan Sipon, istrinya, ultimately akan dapet momen ketika semua emosi tersebut terlepas, dan film ini ngehandlenya dengan baik sehingga jadi sangat powerful. Sipon (Marissa Anita mirip-mirip Renee Young yang di Smackdown enggak sih, wdyt?) actually dapat dua adegan emosional yang berhasil terdeliver dengan menggugah.

“Kalah terus, ya tidur!” Masalahnya, bagi Wiji, adalah dia tidak bisa tidur. Di sinilah letak betapa efektifnya film ini menggambarkan isolasi. Hidup sebagai buronan adalah hidup yang gelisah. Kata-kata Wiji boleh beristirahat, sementara dirinya sendiri menjadi restless. Di bis, dia noleh-noleh ke belakang. Makannya enggak lahap oleh suara-suara di luar. Di dalam kamar tumpangan di Pontianak, ada saja yang membuat Thukul tidak bisa menidurkan matanya. Dan kerja film ini pun sama efektifnya ketika menutup cerita dengan membiarkan pintu kecemasan terbuka lebar; Begitu dia sudah bisa tertidur, when he finally embrace his status, dia malah mendapati istrinya menangis, dan kita tidak melihat Thukul lagi semenjak dia masuk ke dapur.

 

Arahan luar biasa ‘dekat’ dari sutradara Yosep Anggi Noen memastikan adegan-adegan menggandeng tangan kita melewati segala yang dirasakan oleh tokoh yang terlibat. Pace film sengaja dibuat lambat supaya semua emosi tersebut bisa perlahan menghujam ke dalam rasa kita. Ambil adegan pembuka sebagai contoh; a still-shot seorang polisi yang berusaha mengorek informasi dari anak Wiji, namun ada begitu banyak kejadian yang bisa kita rasakan. Lihat saja betapa ‘sibuk’nya actually satu adegan tersebut. There’s so much things and emotions happening there. Adegan tersebut juga sukses jadi pengantar yang perfectly ngeset mood keseluruhan film. Bahwa FILM INI SENDIRIPUN BERBICARA LEBIH BANYAK DARI SEKADAR LEWAT KATA-KATA.

Rahasianya terletak pada gimana sutradara Yosep Anggi mengontruksi adegan-adegan tersebut. Tata letak, komposisi, bahkan jarak kamera, dimainkan dengan sangat precise sehingga tak sekalipun kita merasa terlepas dari seolah ikutan duduk langsung di dalam layar. Not even ketika editing memisahkan shots dengan lumayan kontras. Everything was so on-point, everything was so in-the-moment. Makanya dalam film ini ada banyak sekali adegan-adegan yang memorable. Malahan, semuanya terhampar unik, kalian tahu, aku tidak bisa memilih favorit di sini. Adegan potong rambut, adegan lukisan The Last Supper, adegan ABRI main bulutangkis. Semuanya sungguh beautiful. Satu sama lain, semua adegan tersebut, dirangkai dengan tepat dan cermat. It’s LIKE A POETRY on its own, you know. Dan mungkin memang begitulah adanya. Dalam film ini majunya narasi kerap diselingi oleh voice-over pembacaan puisi oleh Wiji Thukul sembari kita menatap suguhan interpretasi visual dari bait-baitnya.

Di atas itu semua, kualitas teknikal yang paling menonjol buatku adalah ketidakhadiran musik. Nyaris keseluruhan film dihidupkan hanya oleh suara-suara asli; derap sepatu, siulan, bebunyian ekosistem malam , yea sound design film ini sangat awesome. Ini adalah langkah filmmaking yang sangat berani, mempercayakan sepenuhnya kepada emosi penonton untuk merasakan apa jujur terasa. Kecuali saat adegan di closing, tidak ada musik yang mendikte kita harus merasakan apa. Tidak ada musik yang menyuruh kita kapan musti takut, kapan musti gelisah, kapan musti tertawa. Ketika ada seseorang yang mengungkapkan emosinya, tidak ada suara musik yang mengiringi, tidak ada yang bilang “hey ini lagu sedih, maka kalian harus merasa sedih.” Makanya meskipun bidikan disetup sedemikian rupa – Yosep Anggi menjamin setiap yang tertangkap kameranya (bahkan yang keluar dari frame) memiliki makna – emosi film ini terasa compelling dan real. Karena kita dibuat seolah mengalaminya, alih-alih sekedar menonton.

Begitu jualah tampangku on a picture day
Begitu jualah tampangku on a picture day

 

Sebagai period-piece, set film ini juga tampak sama realnya. There’s no way orang bisa salah mengidentifikasi film ini, no matter mereka mengenalnya dengan judul Solo, Solitude atau Istirahatlah Kata-Kata. Aspek budaya lokal menguar kuat, bukan hanya sebagai penanda jaman, namun juga sebagai simbol yang turut berkontribusi ke dalam adegan-adegan filmnya yang bak puisi. Kalo mau dibandingan, film ini kayak gabungan aspek-aspek positif yang dimiliki oleh Athirah (2016) dan Terpana (2016).

Cukup lucu gimana pembangunan film ini bertolak belakang dengan pembangunan negara yang jadi salah satu kritikan Wiji Thukul pada masa itu. Kontruksi film ini dilakukan Yosep Anggi Noen sedemikian rupa, memperhatikannya secermat mungkin agar bisa dinikmati oleh penonton; supaya penonton bisa ikutan mengalaminya. Sedangkan pembangunan negara beneran, also masih relevan sampai sekarang, seringkali malah kita-kita yang dibangun yang tidak dapat menikmatinya.

 

 

Dalam usahanya mengistirahatkan kata-kata, however, film ini masih terdengar sedikit cerewet. Simbolisme kadang datang terlalu in-our-face; misalnya pada adegan The Last Supper, film merasa perlu untuk benar-benar ngeclose up lukisan alih-alih membiarkan kita menemukan sendiri fokus adegan tersebut. Ekposisi kejadian sejarah mungkin bisa dimaafkan karena memang perlu dan film ini meniatkannya sebagai informasi latar saja. Namun pada beberapa dialog, film ini seperti meragukan kemampuan penonton dalam mendeduksi arti suatu adegan. Film akhirnya turun tangan dan menjelaskan apa yang dialami karakter dengan dialog yang gamblang. Adegan terakhir saat Sipon sepertinya bisa lebih kuat jika Siponnya cuma menangis, sebab at this point kita tentu sudah bisa menyimpulkan sendiri gejolak gundah mereka.

 

 

 
Sebuah film yang paham what it takes to be humane. Berucap banyak lewat visual yang dikonstruksi layaknya puisi. Arahan yang luar biasa, penampilan yang seragam meyakinkan. Gimana film ini diambil, gimana setiap adegannya tercipta, filmmaking yang seperti inilah yang dibutuhkan dunia perfilman yang makin sekarang makin condong ke arah produk jualan. In a way, kita bisa bilang film ini melakukan pemberontakan, kayak Wiji yang melarang Sipon ngambil Koka-Kola. Ini adalah selebrasi tokoh Wiji Thukul. Ini adalah perayaan buat bahasa sinematik visual. Dan dalam kapasitasnya sebagai media bercerita, film ingin memastikan pesan ini sampai ke semua lapisan: kata-kata belum binasa, they just go out and take some action!
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ISTIRAHATLAH KATA-KATA/SOLO, SOLITUDE.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.