Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]

 

Semua orang maunya terkenal. Setiap orang pengen diakui. Jadi, kita getol untuk berkarya. Kita bekerja dengan giat. Ada ungkapan yang bilang “Bekerjalah sampai kau tidak perlu lagi untuk memperkenalkan diri.”

Buat remaja kayak Alessia Cara enam-tujuh tahun yang lalu, muncul di televisi tak pelak adalah ultimate recognition. Sekarang, Alessia sudah ngantongin Grammy. Lagunya langganan nongkrong di Top 10. Apakah pemilik suara raspy yang enak banget didenger ini bahagia? Tentu saja! Siapa sih yang enggak. Tapi bukan berarti semuanya lantas terasa baik-baik saja baginya.

Hit single Growing Pains dari album terbaru penyanyi asal Italia ini dapat kita artikan sebagai curhatan Alessia mengenai kondisi mentalnya sekarang. Jika kesuksesan adalah kemeja, bagi Alessia – kita bisa lihat dari sampul albumnya – yang ia kenakan adalah kemeja yang kedodoran. Dirinya terbungkus di dalam sana. Berusaha menge-pas-kan diri. Kecil. Mungkin tak nyaman.

Aku gak tahu, aku merasa belum cukup sukses untuk bisa beneran masuk ke dalam sepatu Alessia. Namun begitu, aku pikir lagu ini relatable, mencapai, banyak orang. Karena kita semua mengalami perjalanan dari kanak-kanak hingga menjadi orang sukses. Hanya, percepatan perjalanannya saja yang berbeda.

 

 

[Intro]
You’re on your own, kid
You are 

Exactly.

 

 

[Verse 1]
Make my way through the motions, I try to ignore it
But home’s looking farther the closer I get
Don’t know why I can’t see the end
Is it over yet? Hmm 

Kita menempuh banyak hal dalam perjalanan kita meraih mimpi. Di mana terkadang kita merasa ada yang kurang; kita merasa kehilangan sesuatu. Namun semua itu kita acuhkan, karena fokusnya kita ke tujuan yang ingin dicapai. Tapinya lagi, semakin dekat kita dengan yang dituju, kita semakin merasa jauh dari hal-hal yang akrab dan nyaman bagi kita.

Alessia mengibaratkannya dengan sebuah rumah – di mana saat kita pergi kerja, kita akan meninggalkan rumah. Dalam sudut pandang Alessia, antara padatnya jadwal manggung dengan produktivitasnya menulis lagu, bahkan rumah sudah menjadi asing baginya. Orang yang bekerja juga sering merasa begini; saking sibuk di kantor jadi kurang akrab dengan anak-anak sendiri. Ada yang harus ditinggalkan demi mencapai tujuan. Hal inilah yang membuat rindu. Dan capek. Sehingga Alessia bertanya ‘kapan sampainya?’

A short leash and a short fuse don’t match
They tell me it ain’t that bad, now don’t you overreact
So I just hold my breath, don’t know why
I can’t see the sun when young should be fun 

Menurutku ini adalah bagian lagu yang sangat personal bagi Alessia Cara; Alasan dia menulis lagu ini. Alessia merasa dia tidak bisa benar-benar menikmati masa mudanya. Dia harus membagi antara pekerjaan dengan pribadinya. Yang tadinya ia menulis lagu untuk bersenang-senang, ia nyanyi dan ngerekam di youtube supaya dikenal orang, dan sekarang semua itu berubah menjadi tanggung jawab.

Ketika kita sudah berhasil mencapai apa yang kita impikan, saat orang-orang sudah melihat kita sebagai ‘sesuatu’, akan semakin sulit untuk mengekspresikan sesuatu yang kita rasakan hilang dari dalam diri, katakanlah mungkin kejenuhan atau apa, karena kita tidak ingin dicap sebagai orang yang tak tahu cara bersyukur. Aneh rasanya merasa hampa setelah meraih kesuksesan yang diimpikan, maka semua itu pada akhirnya hanya ditahan. Atau dalam kasus Alessia Cara; dijadikan sebuah lagu.

 

 

[Pre-Chorus]
And I guess the bad can get better
Gotta be wrong before it’s right
Every happy phrase engraved in my mind
And I’ve always been a go-getter
There’s truth in every word I write
But still, the growing pains, growing pains
They’re keeping me up at night

Apa yang membuat kita terus bertahan adalah keyakinan sesimpel semua akan indah pada waktuya. Kita tahu kita tidak bisa berhenti gitu aja, terutama jika kita memang suka dengan apa yang kita kerjakan. Kita mencoba meyakinkan diri bahwa perasaan sedih itu ya cuma ‘perasaan’. Meski rasa hampa itu terus membesar. Semakin menjadi-jadi saat malam tiba, ketika semua kesibukan berakhir dan kita terbaring di tempat tidur. Inilah yang dimaksud Alessia dengan liriknya yang tadi soal gimana rumah menjadi terasa jauh baginya – kenyamanan itu ketutup oleh perasaan sedih nan hampa yang semakin membesar.

 

 

[Chorus]
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
And I can’t hide ’cause growing pains are keeping me up at night

Di sini aku membayangkan betapa susahnya bagi seseorang yang merasakan semua itu dalam mencari tempat berlindung. Berusaha senang dengan “hey hey yeah”. Aku kebayang Alessia yang tak menemukan teman curhat yang bisa mengerti apa yang ia rasakan. Sekali lagi, hal kayak gini gak bisa diumbar begitu saja karena kita enggak mau terlihat sebagai tukang ngeluh – karir bagus kok malah sedih?

 

 

[Verse 2]
Try to mend what’s left of my content incomprehension
As I take on the stress of the mess that I’ve made
Don’t know if I even care for “grown” if it’s just alone, yeah

Dengan semua stress itu, menjadi anak-anak akan tampak sangat menyenangkan. Gimana saat masih kecil kita tak banyak tahu, dan ini yang paling penting; orang-orang lain banyak yang mengerti kita. Karena hidup saat bocah itu simpel. Kita ingin kembali melihat – dan dilihat – dunia seperti demikian. Karena, bertumbuh dewasa berarti kita semakin sendirian. Tak banyak mengerti kita. Mungkin kalian juga merasakan, lingkaran pertemanan itu semakin menyempit seiring bertambah usia, seiring bertambahnya pemahaman kita terhadap dunia. Kita mulai sibuk sendiri-sendiri. Alessia dalam lagunya ini mengatakan kalo tahu dewasa berarti sendirian seperti begini, kayaknya ia gak mau deh cepat-cepat tumbuh. 

 

 

[Bridge]
Starting to look like Ms. Know-it-all
Can’t take her own advice
Can’t find pieces of my peace of mind
I cry more than I want to admit
But I can’t lie to myself, to anyone
‘Cause phoning it in isn’t any fun

Aku suka gimana di bagian ini Alessia semacam bikin koneksi ke albumnya yang pertama, Know-it-All. Istilah yang literally cocok digunakan untuk orang dewasa, karena orang gede suka ‘sok tau’ dengan segala pengetahuan yang mereka punya. Ketika kita sukses,  kita akan senang membagi ‘rahasia kesuksesan’. I mean, bahkan belum sukses apa-apapun kita suka bikin kultwit, kita senang berbagi ide dan saran. Padahal yang sebenarnya tak jarang orang yang paling membutuhkan saran dan ide tersebut adalah diri kita sendiri di malam hari, di saat kita merasakan hampa dan sepi. Tapi Alessia bahkan tidak bisa mempercayai sarannya sendiri, sekali lagi, karena dia, sebenarnya ingin kembali ke dirinya yang dulu. Tapi toh, Alessia, juga kita pribadi, tidak bisa membohongi diri sendiri.

Can’t run back to my youth the way I want to
The days my brother was quicker to fool
AM radio, not much to do
Used monsters as an excuse to lie awake
Now the monsters are the ones that I have to face

Bahwa sekali maju, kita tidak bisa mundur. Alessia tidak bisa balik lagi menjadi dirinya saat masih mendengarkan radio bersama adiknya. Ke saat di mana kita mengarang cerita tentang monster biar enggak disuruh tidur. Sekarang, monster selalu hadir saat kita mau tidur. Monster bernama kesadaran dan pemahaman diri. Monster itu adalah diri kita sendiri yang kini sudah dewasa dan sedih menyadari apa yang sudah kita lewatkan – yang tidak bisa kita ambil kembali – dalam mencapai titik kehidupan kita yang sekarang.

 

 

[Outro]
No band-aids for the growing pains

Ini adalah realisasi bahwa perasaan hampa yang kita rasakan saat sudah dewasa, saat sudah jadi orang sukses; perasaan tersebut tak ada obatnya. 

 

 

 

Jika dilihat dari judulnya saja, Growing Pains sudah memiliki dua makna; Pains yang senantiasa terus membesar, atau betapa tumbuh besar itu menyakitkan. Setiap hari kita berjuang mendapatkan apa yang kita impikan. Setiap orang memilih karir yang disenangi oleh hati. Lagu ini membahas tentang rasa rindu terhadap hal-hal yang kita lewatkan dalam rangka mengejar cita-cita, perasaan yang menjelma menjadi suatu kehampaan yang menerjang di kala kita sendirian. Bukan berarti kita tidak bersyukur. Bukan berarti kita tidak bahagia. Adalah hal natural merasakan itu semua, terlebih jika seperti Alessia; kita sudah bekerja sejak remaja.

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa tidak tahu dan tidak suka ama siapa diri kalian saat sedang menatap langit-langit kamar sebelum tidur? Menurut kalian apa sih yang sebenarnya dirasakan oleh Alessia Cara? Bagaimana pendapat kalian tentang lagu ini?

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]

 

Jadi, sejak Moana (2016) aku jadi ngefans berat sama Alessia Cara. Aku suka suaranya. Aku actually lebih enjoy dengerin How Far I’ll Go versi Alessia, I think it’s more powerful. Pas bagian “What is wrong with me?” flownya terasa lebih enak. Kemudian aku mulai denger musik-musik punya Alessia Cara sendiri. I’ve listen to her Know-It-All album. Beberapa track dari album tersebut berakhir jadi suara-suara yang diputer berulang-ulang di kamarku. Kenceng-kenceng pula. Sampai Bibi Kosan yang suka nyanyi “naik-naik tagihan listrik, tinggi-tinggi sekalii” jadi sebel karena ngerasa kalah saing. Aku malah jadi nyusun skrip film pendek yang bisa dikatakan adaptasi bebas dari salah satu lagu Alessia. I can’t tell you which one as of right now, because I don’t want to jinx it haha. Tapi doakan saja lancar dan beneran jadi.

Ngeliat dari yang ditulisnya, Alessia Cara seems like an actual cool personality. Dia punya attitude. Apa yang bener-bener impressed me adalah gimana dalam lagu-lagunya, Alessia memasukkan perspektif ‘orang luar’ yang berusaha melihat ke dalam dunia ‘ini’, di mana si penyanyi merasa berlawanan dengan dunia tersebut. Liriknya terasa jujur dan akrab. Alessia menggambarkan gimana rasanya berada di dalam pesta yang sebenarnya dia enggak pengen dateng. Alessia bercerita tentang gimana anak-anak muda ingin masuk ke dunia dewasa so much and just find themselves not yet ready for it. Alessia menyerukan tentang kepercayaan diri, tentang self-acceptance, dan itu adalah topik yang sangat relatable. Terutama buat remaja, yang jadi pendengar utama musiknya. Dan buatku juga, I’ve been kind of a misfit nyaris seumur idup haha, and yea I wish aku punya lagu-lagu ini untuk didengar sewaktu aku masih sekolah.

 

Wild Things, menurutku adalah salah satu lagu Alessia Cara yang paling penting. Mestinya sih kalian pasti sudah pernah denger juga, it has been going around since 2015. Alessia sendiri, pada suatu sesi wawancara bilang kalo lagu ini adalah anthem yang diharapkan bisa gerakin orang banyak. Liriknya sendiri punya tone yang sangat ‘menghentak’. Dan kupikir, fakta aku yang enggak demen denger musik bisa tergugah buat ngebreak down liriknya, adalah sebuah prestasi!

 

Find table spaces
Say your social graces
Bow your head, they’re pious here

Ini adalah dunia menurut Alessia. Bayangkan meja di kantin sekolah yang berjubel murid kita bingung mau duduk di mana; Tiap meja punya aturan, ada aturan-aturan sosial yang kudu dipatuhi saat menjadi bagian dari crowd di meja tersebut. Atau bahkan dipatuhi just to be a part of the said table.

 

But you and I, we’re pioneers
We make our own rules
Our own room, no bias here
Let ’em sell what they are sellin’
There are no buyers here

But hey, kata Alessia, kita yang enggak dapet tempat justru bisa bikin tempat sendiri. Kita bisa duduk di mana saja kita suka, enggak harus di meja. Tidak ada prasangka atau aturan karena hidup adalah kebebasan. Kita harusnya sadar bahwa orang pasang citra atau berpendapat apapun sama merdekanya dengan memilih percaya atau enggak.

 

So gather all the rebels now
We’ll rebel rouse and sing aloud
We don’t care what they say no way, no way

Bagian ini memanggil kita, teman-teman ‘seperjuangan’, untuk just be happy menjadi diri sendiri. Untuk menyuarakan independesi kita tanpa mengkhawatirkan apakah kita terlihat keren atau pinter ataupun populer.

 

And we will leave the empty chairs
To those who say we can’t sit there
We’re fine all by ourselves

Supaya kita tidak pernah lagi mencari tempat di tengah-tengah sosial yang mengekang. Untuk enggak lagi berusaha keras fit in, karena satu-satunya penerimaan atau pengakuan yang penting adalah pengakuan terhadap diri sendiri.

 

So aye, we brought our drum and this is how we dance

Drum melambangkan beat, di mana setiap kita punya beat unik masing-masing. Kita punya gaya sendiri. Kita enggak perlu malu memperlihatkan siapa kita ke luar sana. Jadi ya kalo mau bikin sesuatu, mau nulis atau apa, ya bikin aja. Perkara ga ada yang baca atau ga ada yang suka mah gausah dipikirin.

 

No mistakin’, we make our breaks, if you don’t like our 808s
Then leave us alone, cause we don’t need your policies
We have no apologies for being…

808 bisa sebagai sebutan buat bunyi drum, juga bisa mengacu kepada kode polisi buat gangguan ketenangan. Either way, jika ada yang enggak suka dengan, katakanlah, gaya kita – jika ada yang merasa terganggu – maka mereka bisa bilang tapi jangan harap bisa mengubah gaya kita. Menjadi diri sendiri bukanlah kesalahan. Kita tidak perlu meminta maaf karenanya.

 

Find me where the wild things are
Oh my, we’ll be alright
Don’t mind us, yeah
Find me where the wild things are

Oke bagian chorus ini catchy banget. Beat drumnya ngentak, sorak “aye aye aye” di backgroundnya bikin kita ikutan nyanyi. Aku suka pas di “don’t mind us yeah”. But actually ‘find me where the wild things are’ adalah ungkapan yang melambangkan our-true self adalah passion terliar kita, pikiran terdalam kita. Kita perlu untuk menemukan hal tersebut sebelum akhirnya kita bisa bangga menjadi diri sendiri.

 

 

I lose my balance on these eggshells
You tell me to tread, I’d rather be a wild one instead

Kulit telur itu lapisan yang tipis banget, kondisi yang digambarkan oleh lirik ini adalah kondisi yang di mana si Alessia merasa capek terus-terusan mikirin perkataan orang terhadap apa yang ia katakan atau perbuat. Jadi, daripada disuruh to watch what she says atau apa yang ia lakukan, dia lebih memilih untuk ngikutin kata hatinya saja.

 

Don’t wanna hang around the in crowd
The cool kids aren’t cool to me
They’re not cooler than we are

Ini adalah part yang menarik karena actually lagu ini membuat kita merasa menjadi enggak-keren sebagai hal yang paling keren sedunia. Karena kita enggak nunggu dibilang keren oleh orang lain dulu. Jika kita respek diri sendiri, accepting siapa diri kita, kita akan sadar kita enggak bergantung kepada orang lain untuk bisa bahagia.

 

We will carve our place into time and space
We will find our way, or we’ll make a way, say hey, hey, hey
Find you’re great, don’t you hide your face
And let it shine, shine, shine, shine

Jika enggak ada tempat, kita bikin tempat baru. Jika enggak ada jalan, kita terobos dan bikin jalan sendiri. Kita hidup oleh tindakan yang kita pilih; bukan karena orang lain, melainkan demi diri sendiri. Kita mewujudkan passion kita dengan mengambil action sendiri, tidak peduli kata orang lain. Tidak ada cool atau enggak keren. Dan ultimately, kita enggak perlu malu dengan who we really are. Kita enggak perlu takut dikatain beda. Ekspresikan diri sebebas-bebasnya

 

 

 
Kalo ada yang iseng nanya apa persamaan film Logan (2017) dengan film Interchange (2017), maka aku akan menjawabnya: lagu Wild Things. Saat ngereview dua film tersebut, aku enggak-bisa enggak bikin koneksi antara apa yang dihadapi oleh tokoh utama dengan yang dinyanyikan oleh Alessia Cara. Karena jauh di dalam, kedua film ini juga bicara tentang accepting diri sendiri. Both Logan dan Adam berusaha mencari liberty dan ultimately, mereka justru menemukannya di dalam tempat tergelap di dalam diri. Passion kita, kepercayaan kita, adalah hal yang hidup liar di dalam , namun kita tidak boleh takut. Kita harus menerimanya, jangan disembunyikan; supir limo yang damai bukan jawaban bagi Logan, berhenti jadi fotografer enggak bikin Adam tenang. Kita mesti menjadi satu dengan our innerself yang liar, tidak peduli apa penilaian orang, karena dari situlah kedamaian dan kebebasan berasal.

 

 

 

That’s all we have for now.
If you like it, kalian bisa ngerekues di komen lagu apa yang kalian ingin liriknya kami breakdown selanjutnya.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Dhanurveda – Preview Buku

dhanunnamed

 

Katniss Everdeen kedatangan saingan baru, nih! Dari Indonesia pula.

Kalo biasanya tidak banyak novel Indonesia, atau malah film Indonesia, yang berani berandai-andai seperti apa negara ini ke depannya, maka Dhanuverda ini beda. Fiksi ini bercerita tentang seorang wanita muda yang memimpin kelompok massa, mereka mencoba mencari tahu sebab tragedi politik terbesar dalam sejarah umat manusia. Nama tokoh utamanya masih dirahasiakan, aku enggak tahu, mungkin nanti bakal ada big reveal apa gimana. Namun, tema bukunya sih udah cerita dystopia banget yakan? Dhanurveda mengambil setting pasca perang dunia ketiga, saat Indonesia dipimpin oleh Presiden kesepuluh. Siapa presidennya? Gimana keadaan Indonesia saat itu? Gimana negara ini bisa survive dari perang dunia ketiga?? Seneng enggak sih akhirnya ada penulis yang ngajak kita berimajinasi sekaligus mungkin berkontemplasi, karena kata penulisnya sih, novel ini penuh dengan sentimen; mulai dari sentimen politik hingga sentimen agama.

Ngomong-ngomong siapa ya yang ngarang novel ini?

Dhanurveda adalah novel pertama yang ditelurkan oleh Zahid Paningrome. Tapi tenang, walaupun bisa nelur, mas Zahid ini manusia kok, kayak kita-kita. Mas Zahid juga aktif nulis di blognya; zahidpaningrome.blogspot.com. Biasanya dia suka nulis cerpen, puisi, cerita bersambung, dan tulisan kreatif nan-berbobot yang lain. Bahkan di blognya tersebut, mas Zahid juga lumayan cerewet mengulas film. Samaan deh ama blog kesayangan kalian ini (idiih, ngaku-ngaku). Reviewan mas Zahid, bisa kita baca, selalu tajam melihat detil-detil. Ya teknis, ya cerita, visi sutradara juga tak luput dari pengamatan. Apalagi detil mengenai isu sosial yang membayangi sebuah film. Dan tentu saja, kita bisa mengharapkan ketajeman yang serupa hadir dalam penuturan cerita Dhanurveda.

Kata mas Zahid ketika diwawancara di kediamannya di Semarang (via internet!), nama Dhanurveda dipilih karena kecintaannya pada ajaran bela diri dan penggunaan senjata (panah) di medan perang yang terdapat pada KItab Weda (sastra Hindu). Dan kata mas Zahid lagi, sesungguhnya novel ini sangat personal buat dirinya. Katanya, novel ini termasuk perjalanan panjang dalam sejarah dirinya menulis.

Ah, daripada kebanyakan ber’kata-katanya’, marilah kita beri kesempatan sebebas-bebasnya buat Mas Zahid. Berilah waktu supaya dia bisa menuturkan sendiri cerita tentang karya debutnya di dunia sastra. Bicaralah, Mas!

 

“Teman-teman, sebetulnya saya membuat cerita Dhanurveda dalam keadaan gundah. Bukan gundah yang robot-robotan Jepang, itu Gundam! Gundah yang disebabkan dari melihat politik di Indonesia yang penuh intrik dan trik yang culas dan kasar. Saya mencoba menuliskan akibat dari itu semua di tahun sekarang untuk ditarik ke tahun-tahun berikutnya. Membuatnya menjadi bom waktu. Untuk itulah maka saya memilih genre novel yang bersifat futuristik. Kita musti berani membicarakan masa depan, utamanya masa depan Indonesia.

“Saya juga gundah gulana menyadari dunia literasi atawa sastra, khususnya di Indonesia, sedang sekarat. Karena dipenuhi metro-pop ringan yang membuat perempuan-perempuan yang membacanya berteriak kegirangan. Tapi sejatinya tidak mengubah pemikiran siapa-siapa. Padahal kan, membaca berarti juga memahami isi, bukan sekadar membaca dan terpuaskan. Hati girang, buku lantas dibuang. Metro-pop yang sudah sangat menjamur tersebut selalu saja bercerita tentang kisah cinta ringan dan aneh, menjadikan dunia ini tidak lagi punya varian yang banyak. Sedihnya lagi, fenomena pop ringan ini juga terjadi di dunia musik dan, tentu saja, film. Jadi ya, tentu saja kehadiran Dhanurveda, dengan cerita mencekam berbahasa pop science dan dibumbui kisah cinta khas ini siap untuk menjadi koleksi buku terbaru setiap anak muda dan pembaca yang berani bertualang. Saya menyebut cerita buku ini ‘ROMANTIC TRAGIC-COMICO’.”

bakal ada tiga matahari di masa depan?
bakal ada tiga matahari di masa depan?

 

“Novel ini mulai masuk proses pencatatan ide sejak Juli 2016. Kemudian mulai ditulis bener-bener sekitar bulan Agustus 2016 dan selesai pada akhir November 2016. Hingga pertengahan Desember, novel ini disemayamkan memasuki proses editing. Akhirnya rilis pada 14 Februari 2017. Tanggal perilisannya memang sengaja saya pilih tanggal empat-belas Februari karena saya ingin teman-teman ingat betul bahwa tanggal segitu bukanlah Hari Valentine, melainkan hari kelahiran Dhanurveda. Duh, bangganya buah karya saya diperingati!

“Umm.. sebetulnya ini rahasia, tapi karena ada desakan dari si penanya, terutama dari penumpang kereta api yang suka mudik lebaran berdesak-desakan, akhirnya saya mau juga bercerita perihal yang sedikit ‘pribadi’. Novel Dhanurveda adalah persembahan bagi perempuan yang saya cintai sepenuh hati. Saya menjadikan perempuan itu sebagai tokoh utama cerita novel ini. Jadi yaa, namanya bisa sama bisa enggak hehehe. Yang jelas perempuan ini, saya berikan tempat tersendiri. Juga terlihat dari paragraf terakhir di Kata Pengantar Dhanurveda. Sosok perempuan ini sudah sangat lama menghilang dan tidak bisa lagi saya temui sejak pertengahan 2015. Hingga kini, saya masih belum bisa bertemu dan berkomunikasi dengannya.

“Di Dhanurveda ini ada uniknya juga loh. Salah satu babnya ada yang saya tulis berdasarkan pengalaman nyata yang saya alami di dalam mimpi di suatu malam. Baca novelnya, deh (red: beli dong!), cari bab yang saya namai ‘Ruang Mimpi’. Memang, sejak memilih jalan untuk menulis di ranah cerita fiksi, saya sering mengalami masa-masa transendental. Maksudnya, saya seperti hidup di dalam mimpi sendiri, menjadi arsitek bagi mimpi. Di dalam mimpi, saya melihat diri saya sendiri yang lagi tertidur. Aneh? Enggak juga. Saya percaya setiap dimensi kehidupan selalu punya ruang, tak terkecuali dimensi mimpi. Bagi saya, mimpi adalah dimensi yang memiliki ruang yang sangat bercabang.”

..

“Ya, kayaknya statement saya sudah cukup kepanjangan. Sejak awal, Teman-teman, hanya satu tujuan saya menulis; Untuk membangkitkan gairah membaca yang mulai pudar karena perkembangan zaman, khususnya di kalangan anak muda. Saya masih akan terus konsisten dengan gerakan #MariBaca yang sering saya kumandangkan di setiap tulisan yang rilis di blog saya. Dua-ratus rilisan pos, sejak 2013 akhir dan masih terus menambah jumlah hingga kini, karena saya juga sembari berharap kepada Tuhan supaya tujuan saya bisa tercapai.”

 

 

 

 

Novel futuristik yang bisa jadi bukan saja bakal nyaingin The Hunger Games, tapi juga sanggup sejajar ama 1984nya George Orwell. Membawa banyak pengharapan dari penulisnya, semoga buku ini bisa menjadi breakthrough yang amat sangat dibutuhkan oleh scenery sastra Indonesia kekinian.  Dan kalian tahu, it’s all up to us the readers to make it all come true. Untuk detil pemesanan, silahkan kunjungi http://zahidpaningrome.blogspot.co.id/2017/02/hari-lahir-dhanurveda.html Kalian juga boleh menghubungi Mas Zahid langsung lewat facebook, twitter, dan instagram @Zahidpaningrome

Semoga dengan dirilisnya novel ini, kita bisa menemukan kembali kecintaan membaca, sebagaimana perempuan yang ia cintai bisa melihat keseriusan Zahid dalam mencintainya.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.