MA Review

“You don’t need everyone to love you, just a few good people”

 

 

Semua akan main film horor pada waktunya. Dan kalo ada aktor yang paling pengen aku lihat bermain segila-gilanya di genre berdarah-darah, maka Octavia Spencer adalah salah satunya. Dan memang di film Ma ini Spencer tampak benar-benar menikmati kesempatan yang ia dapatkan. Bahkan yang bukan penggemar horor, boleh jadi tergoda untuk menyaksikan film yang actually juga proyek horor pertama dari sutradaranya; Tate Taylor. Spencer dan Taylor sebelumnya pernah bekerja bareng dalam The Help (2011), yang aku suka banget, dan sekarang mereka kolab lagi dalam film yang genrenya lebih membebaskan. Sekali-kali bermain dalam horor sepertinya therapeutic buat aktor seperti Spencer yang mulai mendapat peran yang begitu-begitu saja di genre yang lebih serius. Dan horor pun butuh pemain-pemain yang enggak asal-asalan, yang sungguh mengerti mengeksplorasi psikologi sehingga tidak keluar sebagai peran yang over-the-top yang tidak bisa dianggap serius. Spencer dan peran psikopat-horor ngeklik, menjadikan wanita ini bagian terbaik dalam film Ma.

Baru-baru ini kita menyaksikan Widyawati bersahabat dengan anak-anak muda dalam Mahasiswi Baru (2019), peran Spencer dalam Ma juga mengharuskan dia bergaul dengan orang yang berumur jauh berbeda darinya, namun dengan tone cerita yang jauh lebih kelam. Peran Spencer adalah sebagai Sue Ann, wanita kesepian yang tau-tau dimintai tolong oleh sekelompok anak remaja untuk membelikan mereka bir. Sue Ann butuh untuk membantu remaja tersebut seperti Spencer butuh untuk bermain horor; untuk menjadi lebih populer. Kepopuleran dan status dijadikan oleh film sebagai tema berulang yang dieksplorasi lewat cara yang tak biasa. Lama kelamaan Sue Ann yang tampak menikmati statusnya sebagai ‘ibu-ibu keren’ di antara para remaja, mulai mengundang mereka semua untuk berpesta di ruang bawah tanah rumahnya. Minum-minum. Hura-hura. Mabok. Jika kalian sudah merasa cukup risih melihat wanita dewasa menyediakan tempat untuk remaja berugal-ugalan, siap-siap saja untuk menjadi merasa ngeri ketika kilasan masa lalu Sue Ann muncul sebagai peringatan akan hal menakutkan yang bakal menimpa para remaja tersebut.

sejak 2011, kalo dia ngasih pie coklat, tolong jangan dimakan.

 

Filmnya cuma sembilan-puluh menit, tapi coba hitung ada berapa kali Octavia Spencer melakukan perubahan emosi dalam usahanya membuat karakter ini menyenangkan untuk ditonton. Menyenangkan dalam konteks horor loh. Pertama kita dibuat kasihan melihatnya yang seperti desperate banget untuk punya teman. Dia tampak cukup perhatian dan baik hati. Lalu dia berubah jadi tampak seperti orangtua norak yang jika bercanda pasti lawakannya enggak lucu oleh anak-anak muda, malah menyinggung. Lalu kita dibuat merasa kasihan lagi kepadanya, ketika Sue Ann yang kini dipanggil Ma malah seperti dimanfaatkan oleh anak-anak berandal. Lalu dia muncul seperti pacar yang cemburuan saat meneror remaja dengan puluhan pesan. Lalu dia seperti ibu yang overprotektif. Lalu dia jadi penipu yang punya agenda mengerikan, sebelum akhirnya menjadi ‘orang gila’ di babak akhir. Dan seperti layaknya film horor, Spencer juga memberikan one-last-scare kepada psikologi kita , entah harus kasihan atau mensyukuri keputusan terakhirnya. Film bisa menggapai begitu banyak level kengerian dengan permainan akting karakter yang berubah-ubah secara creepy seperti ini. Range-nya luas dan Spencer berhasil mengenai semuanya dengan menakjubkan.

Yang diperlukan oleh film adalah menjaga fokus dan mengeksplorasi Sue Ann lewat satu sudut pandang  sehingga horor dari runtuhnya kemanusiaan itu dapat tersampaikan dengan baik. Hanya saja, film malah membahas dari banyak sudut pandang sehingga narasinya tak pernah fokus sejak awal. Naskah ingin memparalelkan tokoh remaja dengan tokoh Sue Ann, mereka diikat oleh satu benang merah; keinginan untuk disukai dan menjadi bagian dari orang-orang populer. Tokoh utama film ini justru adalah salah satu anak remaja, Maggie (diperankan oleh Diana Silvers atau yang kita kenal sebagai kembaran Raihaanun dalam film Booksmart), yang baru pindah ke kota tempat cerita berlangsung. Maggie adalah anak baek-baek yang memilih bergaul dengan geng hura-hura karena seharian ditinggal kerja oleh ibunya. Film ingin memunculkan dramatic irony dengan menyilang-nyeling sudut pandang antara Maggie yang hubungannya semakin tak baik dengan sang ibu, yang malah semakin akrab dengan Sue Ann, dengan sudut pandang Sue Ann sendiri yang semakin kita lihat kegelapan dan kegilaan motifnya. Tetapi sisi dramatisnya itu justru menjadi kehilangan gigitan karena narasinya kehilangan fokus.

Pesan yang ingin disampaikan menjadi mendua; apakah kita harus mendukung Sue Ann membalaskan dendamnya kepada anak-anak populer yang ngesok – apakah tindakan kriminal yang ia lakukan bisa dijustifikasi. Atau haruskah kita mengkhawatirkan Maggie yang perlahan seperti berubah menjadi anak populer yang ngesok tersebut. Dan bukan hanya mendua, malahan mentiga lantaran actually film juga melihat dari sudut pandang ibu Maggie yang merasa dirinya hina; gagal di perantauan sehingga terpaksa kembali ke kota masa kecilnya.

Orang dewasa pasti pernah terkenang akan kehidupan di masa sekolah mereka. Masa-masa yang kebanyakan orang berharap mereka lebih disukai di antara teman-teman sekolah. Wajar saja berpikir seperti demikian, karena itu akan mendorong seseorang untuk menjadi lebih baik. Tapi disukai tidak sama dengan menjadi populer. Karena orang menginginkan hanya untuk menjadi populer, mereka bisa menjadi manipulatif ketika hanya mementingkan jumlah dan status. Jadilah populer, sembari tidak melupakan diri menjadi baik.

 

Secara garis besar, kita bisa mengerti keparalelan gagasan yang berusaha ditampilkan. Sayangnya pilihan untuk menjuggling sudut pandang ke sana kemari membuat cerita tidak menjadi sekuat yang semestinya bisa dicapai. Film juga punya undertone soal rasis yang dihubungkan ke dalam gagasan. Kita melihat Sue Ann mengecat putih kulit seorang remaja kulit hitam, karena menurutnya cuma boleh satu alpha di dalam grup. Tapi hanya sampai di sana. Film harusnya membahas lebih dalam, menjadi total gila, namun tetap bermain aman. Tingkat kekerasan dalam film ini tidak benar-benar mengerikan, karena sesungguhnya horor terletak di kejiwaan Sue Ann. Yang dikaburkan oleh seringnya cerita berpindah sudut pandang. Akibat paling jeleknya adalah tokoh-tokoh film ini jadi tidak pernah kelihatan seperti karakter. Mereka hanya seperti pion dalam permainan catur yang sudah diatur siapa yang kalah dan siapa yang menang. Mereka tidak hidup di dunia, mereka hanya hidup di naskah.

Sue’ banget emang si Sue Ann

 

Bahkan naskahnya sendiri tidak cukup konsisten untuk memerintah para tokoh. Narasi yang dihadirkan tampak dihadirkan dengan reasoning seadanya. Film membuat remaja-remaja itu suka sama Sue Ann, kemudian takut padanya, kemudian suka lagi, dengan sekenanya. Tidak pernah ada penjabaran yang kuat dan masuk akal. Cerita film ini bisa tuntas dengan lebih cepat jika remaja-remaja tersebut enggak balik-balik lagi ke rumah Sue Ann. Ada banyak momen yang menghadapkan tokoh remaja pada pilihan atau kesempatan untuk melakukan sesuatu yang wajar, you know, meninggalkan Sue Ann. Si Maggie sudah curiga sedari pertengahan. Tapi mereka tetap saja kembali kepadanya. Maggie tetap saja masuk ke ruang bawah tanah  itu. Tanpa ada tekanan dari teman-teman gengnya; di sini cerita mengkhianati gagasannya. Atau malah memparodikan? You be the judge. Apakah para remaja memang sebego itu untuk mau kembali deket-deket sama orang yang jelas-jelas mencurigakan cuma supaya bisa hura-hura.

 

 

 

Fakta bahwa film horor yang dibintangi oleh Octavia Spencer sebagai pembunuh psikopat beneran eksis di dunia sebenarnya sudah cukup menggembirakan. Terlebih karena memang dibeking oleh penampilan akting yang menghibur. Tapi tetap saja jatohnya mengecewakan karena film ini tidak sekalian dibarengi oleh naskah yang kuat. Karena yang kita saksikan lebih seperti usaha untuk menjadi tontonan yang populer ketimbang film yang ingin menceritakan gagasan. Narasinya terlalu sibuk untuk terlihat pintar, asik sendiri menggabung-gabungkan sudut pandang, dan kepingan misteri. Sehingga lupa untuk menjadikan karakter-karakter ini ‘hidup’. Kita hanya melihat mereka berpindah dari berpesta, ke ketakuan, ke curiga seperti diperintah. Tidak mengalir dengan natural.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MA

 

 

 

 

WEATHERING WITH YOU Review

“Always bring your own sunshine”

 

 

Ada banyak hal yang bisa dilalukan ketika cuaca cerah. Anak kecil dapat bermain di taman. Ibu-ibu bisa belanja ke pasar. Penjual dagangan bisa berjualan ke pasar. Beragam festival bisa digelar. Semua aktivitas kita berjalan dengan lancar. Makanya tak sedikit yang mengaitkan moodnya dengan cuaca. Terbangun saat mendung, kita bisa saja menggerutu seharian mengingat banyaknya rencana yang bakal batal, atau terlambat. Terutama jika kita sudah mencuci kendaraan haha.. Anime teranyar dari Makoto Shinkai mengeksplorasi soal hubungan manusia dengan lain. Pada mulanya, film ini akan mengamini bahwa hidup manusia sangat tergantung pada cuaca. Namun lewat perjalanan tokohnya, kepercayaan tersebut semakin ditantang. Dan pada akhirnya menyugestikan satu jawaban; bukan soal cuacanya, melainkan soal siapa yang ada di dekat kita ketika hujan itu mengguyur.

Ini adalah musim panas teraneh di Tokyo. Bulan Agustus di sana begitu basah karena hujan setiap hari. Jelas bukan waktu yang tepat untuk pelancong yang ingin menikmati matahari. Tapi Hodaka bukan pelancong. Cowok enam-belas tahun ini bermaksud menetap di kota. bagi Hodaka, tempat pelariannya itu menjadi semakin dingin saja. Kesusahan mencari kerja dengan uang saku yang semakin berkurang, Hodaka menemukan dirinya dalam tampungan editor majalah hiburan yang khusus meliput fenomena-fenomena spiritual. Dalam salah satu tugasnya, Hodaka disuruh untuk mencari keberadaan ‘Sunshine Girl’, cewek yang menurut kepercayaan Shinto dapat memanggil matahari. Relationship manis antara Hodaka dengan Hina – si cewek pawang hujan – inilah yang menjadi fokus utama cerita. Yang bakal membuat emosi kita turun naik. Karena kekuatan matahari Hina ternyata punya konsekuensi menyedihkan.

kemudian kita sadar di mata kita juga turun hujan yang amat deras

 

 

Sejak Your Name (2016), aku sudah jatuh cinta sama anime buatan Shinkai. Film itu pencapaiannya sungguh luar biasa, membahas kultur remaja Jepang modern dengan magisnya kepercayaan dan ritual tradisional dalam cara yang sangat tak-biasa, film tersebut nomor-satu di daftar Top Movies of 2016 ku. Salah satu dari sedikit sekali film yang mendapat 9 bintang-emas di blog ini. Jadi wajar saja aku sangat menggelinjang sekaligus waspada saat masuk ke bioskop untuk menonton Weathering with You. Standar yang udah diset terlalu tinggi. Malah Shinkai sendiri sempat dilaporkan merasa canggung oleh dahsyatnya pujian yang ia tuai untuk Your Name. Shinkai, lewat Weathering with You, ingin menunjukkan kepada kita bahwa masih banyak lagi kemagisan yang bisa dieksplorasi. Ia tidak akan berhenti dan puas di satu titik. Semua itu terefleksi dalam seratus-dua-belas menit film ini. Weathering with You disusun masih dengan elemen-elemen yang menjadi ciri khas Shinkai – yang membuat Your Name begitu menawan. Star-crossed lovers, mitos dan kepercayaan tradisional yang menjadi roda gigi utama narasi, komentar terhadap sosial kontemporer Jepang, animasi hand drawn (didukung oleh komputer) yang bikin melongo. Tapi kali ini, Shinkai mengusung cerita yang lebih straightforward, yang membuat filmnya terasa lebih ngepop.

Tapi yang sebenarnya membuat film ini kuat dan menyenangkan untuk disimak adalah karakter-karakternya. Mereka semua enggak mau kalah sama visual yang ditampilkan; sama-sama penuh warna. Interaksi mereka sangat natural, dan masing-masing punya pesona sendiri. Hina misalnya. Cewek yang mendapat kekuatan bisa meredakan hujan dengan memanggil matahari keluar dari balik awan, on top of that dia cantik dan baik. Sosok pasangan idaman. Yang benar-benar ditulis sebagai personifikasi dari apa-apa yang dibutuhkan oleh Hodaka. Huna cukup magis dan fantastis untuk bisa beneran ada di dunia nyata, tapi film berhasil untuk tidak membuat tokoh ini jatuh ke dalam trope manic pixie dream girl. Hina tidak berada di sana hanya untuk membuat Hodaka menjadi orang yang lebih baik. Dia tidak hadir sebagai jawaban dari fantasi tokoh cowok. Hina diberikan karakter dan background dan konflik yang membuatnya tampak seperti orang beneran. Bicara soal trope manic pixie, film actually berhasil dua kali menyiasati supaya tokohnya tidak tampak seperti ini. Ada satu sosok wanita ‘idaman’ lagi yang berperan penting dalam perjalanan Hodaka. Sosok kakak paling perfect sedunia. Tapi lagi-lagi, film punya perhatian dan pemahaman lebih, tokoh ini diberikan cerita latar yang mendongkrak fungsinya lebih dari sekedar device.

Yang membuatku terkejut adalah tiga karakter dalam film ini ditempatkan pada posisi yang mirip sama posisi dan hubungan antara tokoh Minke, Ontosoroh, dan Annelies dalam film adaptasi novel Pram; Bumi Manusia (2019). Sebelum kalian mencak-mencak protes dan teriak “Apaan!”, aku mau ingetin dulu bahwa dua film ini meski beda wujud, adalah sama-sama mengedepankan soal romansa. Jadi garis perbandingan yang kutarik enggak benar-benar long reach. Hina is absolutely Annelies, dari posisinya sebagai love interest dan pilihan yang ia buat. Konflik sebenarnya adalah tentang mereka, mereka yang membuat keputusan yang membuka kesempatan untuk tokoh utama beraksi. Padanan Nyai Ontosoroh dalam film ini adalah Tuan Suga, bos majalah yang menampung Hodaka; pribadi yang sudah mengarungi apa yang sedang tokoh utama lewati. Sosok yang menjadi semacam mentor yang dipedomani oleh tokoh utama. Yang membantu tokoh utama karena ia mengingatkan mereka akan mereka sendiri. Dan Hodako tidak lain tidak bukan adalah Minke. Mereka sama-sama pergi dari kehidupan mereka yang lama. Dan menemukan cinta, untuk kemudian harus bersiap karena yang mereka cintai punya konflik jadi mereka harus melakukan apapun untuk mencegah konflik itu terjadi. Perbedaan yang benar-benar menjauhkan dua film ini adalah cara film memperlakukan tokoh utamanya. Yang berkaitan dengan arahan. Weathering with You lebih bijaksana memberikan aksi kepada Hodaka, sehingga dia tetap terlihat dominan dan terus punya sesuatu untuk dilakukan. Hodaka beraksi dengan mengejar, dengan berusaha menyelamatkan Hina. Kita beneran diperlihatkan perjuangannya. Tidak seperti Bumi Manusia yang hanya sesekali menyematkan montase Minke duduk menulis sebagai bentuk aksi dari tokoh ini.

Hodaka, seperti Minke, acapkali terasa lebih seperti mekanisme untuk majunya plot ketimbang karakter utama. Tapi film terus menggenjot Hodaka supaya aksi yang ia lakukan benar-benar terlihat dan intens. Kita tidak pernah tahu pasti kenapa dia memilih ke Tokyo, tapi film berhasil membuat kita peduli lewat subteks anak remaja di dunia orang dewasa, di mana kita selalu melihat Hodaka susah untuk ngapa-ngapain bahkan untuk cari kerja. Saat Hodaka dibantu, film akan menemukan cara untuk tetap membuat tokoh ini aktif. Seperti saat dikejar polisi, dia dianterin pake skuter. Film ‘menyuruh’ air untuk membanjiri jalan sehingga Hodaka harus turun dan berlari dengan kakinya sendiri menuju tempat Hina – dan harus berpacu dengan waktu, pula. Film ini melakukan kerja yang sangat memuaskan untuk membuat karakter-karakternya penting dan mencuat keluar dari trope atau mitos yang mengurung.

mentari menyala di sini, di sini di dalam hatiku~

 

Dunia tempat mereka bernapas pun turut dibangun dengan mendekati kenyataan. Shinkai seperti mengajak penonton untuk berandai jika suatu saat bencana hujan dan banjir tersebut beneran terjadi di Tokyo. Karena beberapa tempat di film ini adalah tempat yang nyata, yang didesain mengikuti wujud aslinya. Film menampilkan toko-toko yang ada di dunia kita. Kita melihat ada McDonald’s, ada lagu versi asli dari yang pernah dinyanyikan oleh JKT48. Dan tentu saja, kita tidak bisa mangkir dari kenyataan bahwa di dunia kita pun superstition dan mitos masih dipercaya hingga sekarang. Tokyo dalam film ini sudah hadir seperti karakter sendiri. Pada akhir film kita melihat bukan hanya Hodaka dan teman-teman yang berubah menjadi pribadi yang lebih baik, dengan pandangan dan sikap yang lebih bijaksana. Melainkan seluruh kota juga. Tokyo yang tadinya menganggap hujan di musim panas adalah fenomena aneh dan banjir adalah bencana, berubah menjadi kota yang lebih adaptable. Yang tetap menjalankan aktivitasnya tanpa mengeluh.

Melalui pengorbanan, film ini mengingatkan ketergantungan kita juga adalah pada orang yang kita cintai. Ketika kita hidup bersama mereka, kebahagian mereka adalah kebahagian kita, dan begitu juga sebaliknya. Makanya saat hujan, bukan berarti tidak ada matahari. Kita bisa menjadi matahari bagi orang-orang di sekitar kita. Mereka pun menjadi matahari bagi sekitar mereka. Tidak peduli usia, dari mana, dan siapa, kita semua semestinya menerangi dan menghangatkan bagi sesama. 

 

While Bumi Manusia hadir lebih berani dan menantang dengan memperlihatkan ‘kegagalan’, Weathering with You tampil lebih pop lagi dengan membuat ceritanya berakhir dengan happy. Dan eventually membuat keseluruhan presentasinya jadi kurang nendang. Terutama menuju ending; ada titik saat aku merasa filmnya sudah berakhir ternyata masih berlanjut. Tapi sepertinya itu memang disengaja sebagai epilog. Karena dilihat dari cara film ini bercerita, Weathering with You pada beberapa waktu sering ‘menutup layar’ dengan menampilkan blackscreen, untuk kemudian dilanjutkan lagi dengan dialog, seolah menjadi bagian-bagian cerita yang sengaja dipisah. Cerita yang lebih lurus dan tidak serumit Your Name menyisakan cukup banyak aspek-aspek yang belum terjawab, seperti origin makhluk transparan yang muncul saat hujan ataupun soal pistol yang ‘kebetulan’ ada, tapi buatku itu semua hanya kekurangan minor yang bahkan mungkin sebenarnya adalah komentar pembuat mengenai keadaan lingkungan sosial di sudut kota Tokyo dan gambaran soal kepercayaan penduduk.

 

 

Siapa sangka cerita pawang hujan bisa teramat romantis? Tampil lebih ringan dan lebih crowd-pleasing, film ini meriah oleh karakter dan visual yang menawan. Dialog-dialog eksposisi tidak pernah memberatkan karena dituturkan dengan begitu mulus oleh tokoh-tokoh yang mengundang simpati. Musik yang digunakan, bahkan kemunculan cameo dari Your Name, membuat film menjadi semakin mengasyikkan terutama untuk yang mengikuti Shinkai dan pop-culture Jepang. Dan itu bukan masalah. Film tidak harus selalu berkiblat pada Hollywood. Malahan film ini kental budaya lokal. Memfantasikan bencana alam yang beneran bisa terjadi, sebagai bentuk peringatan. Film ini sarat muatan, meskipun bagi beberapa orang ke-straightforward-an ceritanya membuat film ini jadi terlihat simpel dan ‘menyederhanakan’. namun dirinya memang amat lovable buat semua kalangan penonton. Kalo mau nyebut kekurangan, sepertinya cuma ada satu; film ini masih belum bisa mengalahkan standar tinggi yang sudah diset oleh film Makoto Shinkai sebelumnya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for WEATHERING WITH YOU

 

 

 

 

 

MAKMUM Review

“Don’t let the behavior of others destroy your inner peace”

 

 

Jika ada yang bilang film Makmum membuat takut beribadah sholat malam sendirian, maka itu bisa saja benar. Karena memang itulah dilakukan oleh film horor; mengangkat kengerian dari hal sehari-hari yang relatable – yang dekat – dengan penontonnya. Untuk kemudian membuat kita ‘trauma’, terbayang-bayang adegan seramnya. Aku ogah lagi tidur menghadap lemari sejak menyaksikan H.I.M Damsyik muncul menggendong pocong dari dalam lemari Pengabdi Setan original. Justru itulah pencapaian bagi sebuah cerita horor. ‘Trauma’ dan kengerian itu bukan lantas jadi penghalang dan hal yang merugikan. Sebab kita, penontonnya, adalah manusia yang berakal dan bernalar. Aku jadi takut tidur menghadap lemari, bukan menjadi takut tidur. Makmum garapan Hadrah Daeng Ratu hadir mengamplify ketakutan kita sholat sendirian, namun bukan berarti bisa dijadikan kambing hitam kita takut sholat. Saat mati lampu seharian baru-baru ini, aku terbayang film pendek Makmum – yang dibuat oleh Sahabat FFBComm Riza Pahlevi – ketika sholat Isya gelap-gelapan. Sendirian. Merinding, so pasti.  Tapi toh aku tidak nyerah, aku masukkan kucing-kucing ke ruang sholat untuk ‘menemani’. Film horor sebenarnya mengajarkan kita untuk menghadapi ketakutan. Kesadaran akan hal yang ditakuti seharusnya membuat kita berjuang untuk mengatasi ketakutan tersebut. Yang pada akhirnya mendorong kita menjadi manusia yang lebih baik.

Seperti tokoh-tokoh pada film Makmum. Mereka ‘diganggu’ saat sedang sholat tahajud. Tiba-tiba ada suara yang mengikuti bacaan ayat mereka. Namun tak satupun dari mereka yang menghentikan ibadah. Kendati jadi tidak khusyuk lantaran meremang bulu kuduknya, tokoh-tokoh dalam film Makmum tetap melanjutkan bacaan sholat. Menyelesaikan hingga salam. Mereka enggak kabur tereak-tereak. Mereka enggak kapok sholat, atau malah jadi begitu ketakutan sehingga pindah agama. Yang terjadi adalah para tokoh berusaha ‘mengakali’ masalah. Mereka janjian sholat bareng, ke mana-mana barengan. Tidak sampai di sana, kita melihat para tokoh kemudian mencari akar masalah. Mencari tahu siapa sih hantu makmum yang suka ngikutin mereka ibadah.

Gangguan-gangguan dari luar tidak semestinya dibiarkan mengganggu keyakinan terdalam kita. Dalam hal ini, Makmum juga relevan karena mencerminkan keteguhan untuk beribadah meskipun ‘terancam’. Untuk tetap meyakini yang dianut meskipun banyak hal-hal horor seputarnya. Dalam tindak personal, tokoh utama cerita memperlihatkan keteguhan untuk tetap menjadi yang terbaik dari dirinya, walaupun tubuh luarnya bercacat dan dipandang rendah oleh orang-orang lain.

 

kalo aku yang diganggu, hantunya bakal teriak “Bacanya jangan cepet-cepet heiii!”

 

Soal orang yang diganggu hantu saat beribadah jelas adalah gagasan unik-nan-dekat yang jadi appeal utama dari cerita Makmum; alasan utama film pendek itu ditonton berjuta orang sehingga diadaptasi menjadi layar lebar. Makmum punya kesempatan yang sama dengan Lights Out (2016), horor pendek sukes garapan David F. Sandberg yang diangkat ke layar lebar, dengan sama suksesnya. Bagi filmmaker sedunia, tentunya sangat menginspirasi ketika cerita pendekmu dianggap punya nilai istimewa sehingga dijadikan film bioskop. Juga merupakan salah satu kesempatan untuk menerbangkan karir di dunia film. Tapi tentu tidak tanpa tantangan. Memekarkan sebuah kejadian singkat menjadi lapisan cerita utuh yang tersusun dalam tiga-babak, merupakan perkara yang tidak gampang. Butuh kreativitas dan usaha ekstra. Film pendek tadi haruslah bertemu dulu dengan orang-orang yang mengerti betul apa yang diceritakan dan paham kekuatan dari cerita tersebut. Makmum, seperti dimulai dengan langkah yang tepat. Mengikuti Lights Out, orang-orang belakang layar Makmum mengerti untuk mengembangkan cerita.

Makmum diberikan dunia yang benar-benar baru. Cerita film ini berlokasi pada asrama khusus putri yang dipimpin oleh kepala asrama baru yang tegas banget menegakkan disiplin. Satu set tokoh-tokoh sudah disiapkan untuk menghuni dunia ini. Tiga siswi under-achiever tetap tinggal di asrama yang kala itu sedang dalam masa liburan, karena nilai mereka tidak cukup tinggi untuk standar si kepala asrama. Di asrama luas itu, mereka disuruh menyelesaikan tugas sehari-hari sementara gangguan makhluk halus semakin intens. Sholat mereka diganggu. Teman mereka terus disurupi. Kemudian masuklah tokoh utama cerita, Rini (Titi Kamal akhirnya bermain horor juga), perias mayat yang merupakan alumni dari asrama tersebut. Satu tantangan baru yang diset oleh naskah demi mengembangkan film pendek ini adalah Rini harus mengungkap misteri di balik semua yang terjadi di sana. Misteri yang sudah barang tentu bersangkut paut dengan luka masa lalu dirinya.

Jadi, Makmum sudah melakukan semua yang ada pada checklist keberhasilan adaptasi Lights Out. Insiden pada film pendeknya dijadikan semacam teaser, atau semacam penyambung, untuk cerita yang lebih besar. Pada Makmum cerita itu adalah tentang persahabatan. Rini ditulis dengan cukup berkarakter. Dia punya luka bakar pada lengan, yang nantinya penting sekali dalam cerita. Kita melihat dia berpakaian hitam-hitam yang mungkin dipilih untuk menunjang pekerjaannya sebagai perias mayat. Pekerjaan tersebut actually punya bobot ke dalam narasi, terutama pada elemen supernatural yang dimiliki oleh cerita. Dalam film ini, hantu adalah sosok nyata yang beneran ada hidup berdampingan dengan tokoh-tokoh yang berkehidupan relijius. Rini yang bekerja dengan mayat, sering melihat dan berkomunikasi dengan mereka. Pada adegan perkenalan, kita melihat dia membentak lampu yang berkelap-kelip (diganggu oleh hantu), jadi segera terestablish Rini adalah orang pemberani yang percaya akan adanya hantu. Penulisan tokoh Rini yang lumayan menarik ini semakin berkembang saat masa lalunya terungkap sembari durasi berjalan. Dan seketika itu aku merasa dejavu.

Masih ingat film horor Sunyi (2019) yang diadaptasi dari horor Korea Whispering Corridors (1998)? Sepertinya tahun ini kita mendapat dua adaptasi dari Whispering Corridors tersebut karena Makmum juga punya cerita yang seperti adaptasi lokal dan lebih less-dramatic. Whispering Corridors adalah horor kompleks bertempat di sekolah khusus putri, dengan cerita yang membahas soal bullying dan subteks komentar terhadap sistem pendidikan di negara tersebut. Sunyi mengadaptasi soal bullying dengan berfokus pada tokoh anak-anak sekolahnya. Di Whispering Corridors juga dibahas dari sudut pandang guru muda sebagai perwakilan dari sistem pendidikan. Nah, guru itulah yang sangat mirip dengan tokoh Rini di Makmum. Rini dan si guru sama-sama alumni dari asrama/sekolah putri tersebut. Mereka sama-sama enggak setuju dengan cara tempat itu beroperasi, mengenai disiplin yang terlalu ketat. Rini dan si guru sama-sama adalah teman baik dari hantu yang ada di dalam cerita. Cara ‘mengalahkan’ hantu juga mirip; Rini berdialog dengan hantu sebelum ultimately hantunya terbakar oleh ayat suci. Makmum juga bersubteks kejadian malang yang menimpa hantu merupakan kesalahan dari pihak asrama – seperti kesalahan pada pihak sekolah pada Whispering Corridors.

Sepandai-pandainya hantu sholat, tetap kepanasan juga dibacakan Surat pamungkas

 

Mengetahui ini, Makmum yang saduran dari film pendek jadi tidak punya hal orisinil di dalamnya. Elemen reliji yang sudah lumrah (agama melawan setan) dijadikan identitas, dengan gagasan film pendek menjadi penyambung untuk masuk ke pengembangan yang ternyata mirip film lain. Makmum ‘mengambil’ elemen Whispering Corridors untuk dijadikan layer luar. Pesan tentang bullying yang dilakukan oleh asrama ditinggalkan, hanya menyisakan sedikit yang difungsikan untuk twist pengungkapan. Untuk mengisi bobot cerita Makmum memang menambahkan sedikit subteks yang tak terikat dengan baik. Subteks mengenai soal kebakaran; fire warning. Alih-alih membahas lebih dalam soal sistem asrama – kepala asrama yang tegas dan ‘kejam’ dan kepala asrama terdahulu yang baik namun menyimpan rahasia kelam demi citra asrama – film malah menunjukkan kepada kita betapa bahayanya meletakkan api di dekat jendela.

Tiga anak asrama tidak diberikan kesempatan untuk berkembang. Hubungan persahabatan mereka saja tidak tergambar dengan menarik. Dalam Whispering Corridors, persahabatan anak sekolah itu paralel dengan persahabatan guru muda dengan hantu. Dalam Makmum, tiga anak asrama ini hanya ada untuk ditakut-takuti. Backstory mereka hanya terpapar dalam satu kalimat. Mereka di sana untuk menjadi korban. Ada satu anak yang kerjaannya cuma kesurupan. Korban dari sebuah naskah yang dangkal. Banyak kejadian di dalam film ini yang basically memohon kepada kita untuk tidak terlalu memikirkannya karena memang tidak masuk akal. Seperti kenapa reaksi para tokoh begitu lamban. Kenapa mereka bisa keluar dari pintu yang dikunci dari luar – kita bicara soal pintu yang dikunci oleh manusia, bukan oleh kekuatan setan. Kenapa hantunya malah menakut-nakuti orang baik, sedangkan orang judes yang berada di pihak yang menutupi kematiannya tidak diganggu malah dijadikan ‘kendaraan perang’. Pengarahan film juga tidak membantu. For some reasons film yang sudah diharapkan bakal punya momen jumpscare ini menjadi gory, dan penuh oleh trope-trope horor seperti hantu manjat-manjat kayak spiderman dan hantu yang mentransfer muntah ke manusia. Dan oh ya, kamera yang miring-miring.

 

 

Usaha yang dilakukan untuk mengubah materi menjadi film panjang sudah benar, hanya saja film benar-benar tidak tahu mengembangkan apa lagi dari elemen-elemen yang ia sadur. Baik itu yang diadaptasi secara sah, maupun yang ditiru secara ‘sembunyi-sembunyi’. Atau mungkin secara gak sadar? You be the judge. Yang jelas film menyia-nyiakan banyak tokoh dengan memberikan mereka penulisan yang dangkal. Cerita jadi tidak punya bobot di samping elemen reliji dan gagasan film pendek yang identitas. Padahal babak awal hingga pertengahannya ceritanya terangkai dengan menarik. Kita cukup terinvest dalam misteri dan masa lalu tokohnya. Dalam pengembangannya dia bisa saja menjadi salah satu dari tiga; drama persahabatan yang tragis, horor gore yang fun, atau komentar sosial mengenai posisi wanita sebagai pemimpin (dalam Islam, wanita tidak boleh menjadi imam kecuali bagi jemaah wanita). Tapi malah diarahkan menjadi horor generik yang menjual trope-trope. This film has absolutely no idea.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for MAKMUM

 

 

 

 

PERBURUAN Review

“He who is prudent and lies in wait for an enemy who is not, will be victorious”

 

 

Perburuan yang ditayangkan serentak bersama Bumi Manusia (2019) oleh Falcon Pictures benar-benar memenuhi fungsinya sebagai alternatif. Keduanya merupakan adaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, sama-sama berlatar zaman penjajahan , sama-sama menggambarkan ketimpangan kelas manusia, tapi cerita bercerita keduanya terletak di dua spektrum yang berbeda. Perburuan diserahkan kepada Richard Oh, yang meraciknya dengan menyuguhkan lebih banyak kreasi sehingga muncul sebagai penyeimbang buat Bumi Manusia yang hadir lebih ngepop. It’s nice, dan langka, menonton film tentang kemerdekaan dari dua penulis sumber yang sama tapi digarap dengan berbeda. Meski menurutku agak ‘jahat’ juga Falcon ‘mengadu’ keduanya. Aku nonton dua film ini secara berturut-turut di hari yang sama (Bumi duluan, baru Perburuan), dan ketika Bumi aku langsung bisa menuliskan ulasannya pada hari itu juga, maka untuk Perburuan aku butuh untuk memikirkannya terlebih dulu. Karena ada banyak kandungan yang tak bisa langsung dijabarkan. Banyak pilihan yang dilakukan oleh film yang sepintas tampak seperti keputusan yang buruk, tapi ada subteks yang membayanginya, yang membuatku tak ingin buru-buru mengambil kesimpulan.

Saat ditulis untuk novel, sepertinya memang cerita ini diniatkan sebagai alternatif sejarah. Di buku pelajaran kita tertulis pemberontakan PETA terhadap pasukan Jepang dipimpin oleh Soeprijadi pada tanggal 14 Februari 1945 di Blitar, Jawa Timur. Pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh kejamnya penjajah Jepang terhadap rakyat pribumi. Perbuatan semena-mena bahkan di kalangan tentara dan janji-janji yang tak kunjung ditepati memantik api agresi Soeprijadi. Namun buku sejarah kita tak menulis tentang Hardo. Pribumi asal Blora, Jawa Tengah, yang juga serdadu PETA. Yang masih memegang harap, namun tak bisa lagi menunggu. Maka ia mendukung gerakan Soeprijadi. Malang, ada pemberontak di dalam barisannya sendiri. Pasukan Hardo kocar-kacir ditembaki. Sejak malam itu, Hardo dan orang-orangnya buron. Kali berikutnya kita melihat Hardo, pemuda itu sudah hampir tak dapat dikenali. Ia berjalan di malam hari seperti gelandangan yang hilang kewarasan. Dan selagi Hardo menunggu harapan merdeka itu di dalam gelap, orang-orang yang ia kasihi mulai terancam karena kepala Hardo masih terus dicari oleh Jepang.

Ketika kau tahu Kempetai rindu pada batang lehermu

 

Begitu menjadi film, Perburuan oleh Oh diperkecil skalanya. Kita hanya akan melihat lewat mata nanar Hardo. Sisi buruk penjajahan akan kita lihat lewat Hardo saat dirinya menyusuri padang jagung bergelimang mayat-mayat rakyat. Karena Hardo yang dalam pelarian hanya keluar di waktu malam, jadi semuanya gelap. Suasana dimainkan menjadi rasa yang disampaikan kepada kita. Menonton ini kita akan merasa kelam, bingung, sendirian (karena besar kemungkinan kita beneran sendiri nyaksiin ini di dalam studio bioskop), persis seperti yang dirasakan oleh Hardo. Kita menanti cercahan cahaya. Kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seperti Hardo yang menanti kabar kemerdekaan, karena ia percaya – ia janjikan ini kepada tunangannya – bahwa keadaan akan membaik setelah Indonesia merdeka.

Bagi Hardo tentu saja penantian itu terasa sangat lama. Dia belum tahu Indonesia bakal merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Dia mungkin sudah tidak tahu lagi hari apa saat itu. Untuk menyampaikan perasaan kecamuk demikian, film pun dengan sengaja membuat kita disorientasi terhadap waktu dan tempat. tidak pernah tahu di mana persisnya Hardo, atau ke arah mana dia berjalan. Di bawah jembatan, di ladang jagung, di sungai besar, kita tidak mengerti lokasi dunia Hardo. Yang kita mengerti adalah dia kembali ke Blora. Dia ketemu dengan orang-orang yang mengenalnya, dia reuni dengan rekan pelarian, tapi kita tidak pernah diberikan sense of direction yang benar. Pergerakan kamera akan bolak-balik, seperti adegan maju-mundur yang acap dimasukkan. Flashback adalah cara film mengaburkan dimensi waktu. Kita dipindah begitu saja antara masa lampau ke masa kini. Dengan bahkan petunjuk waktu masa kini tidak dapat dipercaya. Bekas luka yang disebut sebagai penciri Hardo tampak hilang-timbul saat dia sudah brewokan. Kadang ada kayak pas di adegan akhir, kadang tidak ada seperti saat ‘reunian’ di bawah jembatan

Disorientasi berfungsi untuk menambah suspens cerita. Sebagai cara film menyampaikan kepada kita susahnya hidup dalam pelarian, yang menunggu kesempatan untuk keluar dan menampakkan diri. Perburuan menggunakan benturan antara berburu dan menunggu sebagai gagasan utama cerita. Di adegan pembuka kita melihat Hardo berhasil menang kendo atas komandan Jepang karena dia menunggu celah serangan dan balas menyerang dari sana. Lantas kemudian kita melihat dampaknya ketika Hardo terburu napsu marah sehingga malah memimpin pemberontakan alih-alih menunggu badai reda. Hardo mengkhianati kepercayaannya sendiri. Membuatnya berada di titik rendah dalam hidupnya. Secara lowkey, film juga menyinggung soal menunggu ketimbang kesusu dari percakapan Ayushita dengan anak muridnya yang terluka karena berlari takut terlambat ke sekolah. Akibatnya kita melihat adegan kontemplasi dia dengan korek api yang digambarkan film dengan sungguh magis. Api yang hidup mati itu bagai harapan Hardo yang meredup, kemudian menyala kembali, kemudian mati lagi, dan seterusnya. Adipati Dolken diberikan kesempatan untuk bermain ekspresi gila untuk menunjukkan penguasaan range. Ada banyak versi Hardo di film ini, mulai dari Hardo yang optimis penuh harap, Hardo yang nyaris putus asa, Hardo yang menemukan kembali harapan. Dolken mampu menggapai note yang diminta. Tapi kemudian dia tidak diuntungkan ketika harus memakai brewok palsu yang kadang menutupi ekspresinya. Di saat-saat itu aku berharap kamera lebih banyak lagi melakukan close up wajah.

Lamurkah mataku atau did Rizky Mocil just shot two enemies, in the dark?

 

Adegan satu lagi yang niscaya membuat kita menggelinjang jelas adalah adegan Hardo mengobrol dengan his aware-but-not-so-sure father. Lokasi dan suasananya di gubuk tengah ladang jagung yang temaram benar-benar menakjubkan. Bahasa mulut dalam film ini terbagi menjadi tiga macam; monolog puitis, bantering filosofis, dan paparan informasi. Ketiga-tiganya muncul sekaligus dalam adegan tersebut. Resiko dialog-dialog tersebut adalah film praktis akan menjadi berat. Tapi film melakukannya dengan indah, karena paham kuncinya adalah menghadirkan latar yang menawan untuk mengakomodasi kalimatnya.

Gagasan yang diangkat film ini seperti mengacu pada filsuf dan ahli perang dari Cina, Sun Tzu, yang pernah menuliskan dalam buku The Art of War bahwa salah satu kunci kemenangan adalah bersabar dan tidak gegabah. Dengan bijaksana memperhatikan langkah musuh sambil mempersiapkan diri. Siapa yang bergerak sembaranganlah yang akan kalah. Dalam film ini kita melihat wujud dari itu semua. Kemenangan datang kepada Hardo saat dia sendiri muncul di saat yang tepat. Jepang kalah karena mereka terlalu gegabah dan merasa di atas angin

 

Masuk babak tiga, jelas sudah film lebih berfokus kepada psikologi Hardo ketimbang suasana sosial Indonesia secara menyeluruh. Dan di sini jualah film terasa berhenti bekerja. Justru di saat teranglah, film seperti tidak tahu lagi cara menampilkan cerita sesuai fokusnya. Maka film kembali menoleh kepada buku, dia berusaha menjadi lebih ‘gampang’ dari sebelumnya. Mencoba keluar dari Hardo. Lantaran Hardo yang literally dan figuratively menemukan jalan pulang menjadi pasif. Dia tidak melakukan apa-apa untuk menang, karena memang jalan benar baginya adalah dengan menunggu. Ini tentunya tidak menarik untuk akhir film karena film butuh satu cekcok yang besar. Maka sorotan pindah ke temannya yang tadi berkhianat, untuk memberikan dia pembenaran, meskipun di titik itu kita mengerti Hardo tidak lagi menganggap dia salah. Intensitas film ini lenyap terlebih ketika Hardo tiba-tiba sudah tidak dalam bahaya. Aku tidak mau bilang banyak, tapi ini adalah jenis cerita ‘diselamatkan oleh bel’. Untuk memberikan final big moment, film yang sedari awal sudah membuat Jepang kayak penjahat dalam komik yang kejam tanpa nilai baik – dia bahkan tidak mengenal rasa terhormat apalagi harakiri – membuat semuanya sederhana; Hardo benar, Jepang jahat, dan teman-teman Hardo salah.

Mungkin, cara ini masih bisa berhasil memberikan momen final besar yang diincar. Sayangnya, film ini sendiri seperti tidak mendapat perhatian yang cukup dari pihak studio. Pengadeganan bagian terakhir itu mestinya epik karena melibatkan banyak orang banyak, tapi tampak kecil dan awkward. Sepertinya melihat pertunjukan di panggung teater. Suasananya tidak semegah yang film ini pantas dapatkan. Tapinya lagi, ini adalah keputusan film untuk memilih kembali ke jalur yang lebih accessible.

 

 

 

Meski berlatar zaman penjajahan, film ini sebenarnya bekerja dalam skala yang lebih kecil. Skala personal seorang tokoh. Dan kita hanya melihat dari tokoh itu. Film melakukan banyak kreasi saat mengadaptasi untuk kepentingan itu. Sengaja memilih untuk tidak menjadi lebih besar, tidak membahas lebih luas soal sosial yang menjadi kekuatan cerita-cerita Pram. Jadi, film ini adalah alternatif dari cerita yang total ngepop, yang punya pesona sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for PERBURUAN

 

 

 

BUMI MANUSIA Review

“Be afraid not to try”

 

 

Sebagai novel, Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer sempat dilarang beredar karena penguasa Orde Baru mengaitkan buku dan pengarangnya dengan paham Marxisme-Leninisme alias ajaran komunis. Sebagai film, Bumi Manusia yang ditulis oleh Salman Aristo dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo sempat dihujat karena tokoh utamanya diberitakan bakal dimainkan oleh Iqbaal ‘Dilan’ Ramadhan. Maan, lihatlah ketika orang mencoba berkarya, pasti bakal ada saja halangannya. Beruntung, tidak ada orang-orang di balik Bumi Manusia yang berprinsip seperti Homer Simpsons. Yang takut sebelum benar-benar mencoba.

Malahan, film ini adalah tentang mencoba itu sendiri. Tokoh-tokohnya berhadapan dengan kenyataan bahwa seberapapun kuatnya mereka mencoba, resiko gagal dan kalah dan semakin nelangsa itu tidak semakin berkurang. Film berkata jangan takut untuk terus mencoba, untuk melihat kehormatan dalam perbuatan untuk mencoba melakukan sesuatu menuju yang lebih baik. Indonesia pernah dijajah. Lama sekali. Bayangkan jika pahlawan-pahlawan takut mati – takut untuk mencoba menggapai kemerdekaan. 

 

Hanung Bramantyo jelas tidak gentar. Malahan he actually did a really great job as a director here. Keraguan beberapa penggemar novel aslinya akan kemampuan Iqbaal memerankan Minke terpatahkan dengan manis. Dan bukan hanya Iqbaal, pemain-pemain muda seperti Mawar Eva de Jongh yang berperan sebagai Annelies bermain dahsyat. Tantangannya di sini sangat berat, Mawar dituntut bermain dengan ekspresi dan tokohnya benar-benar ‘tertutup’ oleh gejolak mental; itu semua tersampaikan dengan sangat mulus. Dia juga disuruh beradegan jatuh, hihihi lucu sekali. Kuhitung ada empat kali Annelies ini beradegan lagi jalan gak taunya jatuh. Lima kalo ditambah satu adegan dia jatuh saat sedang duduk. Tokoh teman-teman Minke juga ditangani tidak main-main, pemeran-pemeran mereka menampilkan performa yang jauh dari kelas ‘sinetron’. Aktor yang lebih senior juga enggak kalah edannya. Sha Ine Febriyanti  benar-benar seperti ditakdirkan untuk bermain sebagai Nyai Ontosoroh. Meskipun karakternya mirip sama Nyai di film Nyai/A Woman from Java (2016) garapan Garin Nugroho – latar belakangnya sama, statusnya sama, keadaan suaminya sama Sha Ine memberikan nafas tersendiri yang menguar kuat. Dia bahkan tampak lebih dominan ketimbang Minke. Hanung really directs the shit out of everyone. Maka aku yakinkan kepada para penggemar novel Bumi Manusia yang mungkin masih was-was; Tokoh-tokoh favorit kalian berada di tangan yang benar. Aman. Hidup. Bernyawa dengan penuh karakter.

Mereka bilang, Saya Minke!

 

Menghidupkan zaman sebelum masa kolonial, film ini tampak sungguh menawan. Tampilan visual seperti ini memang sudah diharapkan dari produksi Falcon Pictures yang berbudget gede. Jadi mungkin porsi pujian lebih besar baiknya kita sampaikan kepada usaha menghidupkan keadaan sosial cerita ini. Bumi Manusia semarak oleh ragam bahasa (melayu, belanda, jawa, madura, dan sedikit cina) dan tingkatan sosial yang tergambar tanpa tedeng aling-aling. Satu frame menunjukkan orang pribumi dan anjing duduk bareng di depan dinding tempat makan yang bertuliskan “Pribumi dan hewan dilarang masuk” Sejak dari adegan pertama film sudah melandaskan tangga sosial yang bekerja di lingkungan cerita; tempat di mana karakter-karakter kita hidup. Yang lantas menjadi device utama untuk kemunculan konflik-konflik. Bumi Manusia memang dijual sebagai kisah cinta tragis antara Minke dan Annelies. Tapi konteks kehidupan sosial yang menjadi habitat tokoh-tokohnyalah yang membuat film ini menarik dan menantang untuk disaksikan. Karena mirip dengan kehidupan kita sekarang.

Minke hidup pada masa peradaban Barat lagi maju-majunya. Gaya hidup Eropa pun dijunjung tinggi oleh masyarakat. Minke salah satu yang kagum pada peradaban Barat tersebut. Dia menyebut dirinya, yang pribumi anak bupati, sebagai manusia modern. Dia tidak mau terikat peraturan. Teman karibnya adalah seorang campuran (Indo) yang disebut bakal jadi orang pertama yang mencuci darah pribuminya saat teknologi cuci darah itu ditemukan. Tapi Minke tak bisa lari dari kenyataan kulitnya gelap, rambutnya hitam, badannya kecil. Minke adalah bangsa jajahan yang mencoba menjadi kaum kulit putih yang berada di puncak kelas sosial. Minke belajar keras, ia menghapal peradaban modern dan sejarah-sejarah kaum penjajah. Ketika dia bertemu dengan Annalies dan Nyai Ontosoroh-lah, pandangan dirinya terhadap semua itu mulai berubah. Annalies adalah Indo berwajah bule (cantik kayak dewi, kalo boleh mengutip kata Minke) yang dengan naifnya mencoba untuk mewujudkan mimpinya dianggap sebagai pribumi. Sedangkan ibunya, Ontosoroh, adalah istri tak-sah dari pedagang Belanda (gelar Nyai hanyalah sebutan yang lebih sopan untuk kata ‘gundik’) yang di mata Minke sudah mencapai posisi yang ia idam-idamkan; sejajar dengan bangsawan Eropa. Perkenalan itu membawa Minke kepada pandangan bahwa sikap dan mutu orang tidak diukur berdasarkan bahasa yang diucapkan, pakaian yang dikenakan, warna kulit-mata-rambut, dan apapun itu yang selama ini ia percaya.

Karena diadaptasi dari novel setebal lebih dari tiga ratus halaman, dengan banyak tokoh di sekitar tiga sentral (Minke – Annalies – Ontosoroh), film melakukan banyak manuver untuk memasukkan elemen-elemen yang sejatinya bikin pembaca sejati yang nonton ini bakal ngamuk jika ditinggalkan. Backstory tokoh dimunculkan dalam flashback-flashback yang berusaha tampil berbeda dari kebanyakan. Enggak sekedar membuat frame blur atau dengan bunyi ‘krincing-krincing’. Set up dilakukan dengan sangat baik sehingga kita jadi langsung mengerti hubungan dan derita yang harus ditanggung oleh para tokoh sembari tetap mencoba membuat hidup lebih baik. Setelah midpoint – sekitar Minke setuju untuk menjadi ‘dokter’ dari penyakit aneh Annelies – intens cerita semakin naik. Ada lebih banyak sejarah tokoh yang terungkap. Untuk tidak menspoil terlalu banyak; Keluarga Annelies benar-benar fucked up, alias celaka. Peran Minke semakin kalah dominan sebab dia hanya sekadar beraksi terhadap kejadian-kejadian yang menimpa Annelies dan keluarga.

“Dunia saya; bumi, manusia dan segala persoalannya”.. mas Minke sudah coba jadi hippie belum?

 

Film benar-benar mencoba untuk memberikan ‘kerjaan’ kepada tokoh utamanya. Minke yang cerdas diperlihatkan menulis sebagai upaya perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan Belanda terhadap keluarga Annalies. Seolah ada perang jurnalistik antara dia dengan temannya. Montase dari Minke menulis menggunakan nama pena, hingga dia berani menggunakan nama asli, dilakukan untuk membuat Minke ada kerjaan. Dalam film akan ada dua adegan persidangan, dan Minke terlibat di dalamnya. Tapi tidak benar-benar banyak yang ia lakukan karena drama dan konflik datang menghujam pihak Annelies dan Ontosoroh. Hal menarik terjadi di mereka, bukan lagi pada Minke. But film really tried. Hingga ada satu dialog yang menyebut Minke berhasil menyelesaikan kasusnya di persidangan. Padahal kenyataannya adalah Minke tidak melakukan hal penting; kasusnya selesai karena salah satu tersangka mengaku begitu saja. Dan ada satu ketika Minke mendadak menulis tentang hukum Islam. Film menggambarkan dia brilian karena mengadu hukum Eropa dengan hukum Islam. Ini menarik sebenarnya, hanya saja soal Islam tidak dibangun sedari awal. Minke tidak diperlihatkan berhubungan dengan agama, namun tahu-tahu dia menulis tentang Islam. Yang pada akhirnya elemen ini terasa lebih seperti untuk menunjukkan desperatenya seseorang ketika ia mencoba untuk melakukan sesuatu.

Pun begitu, perlawanan Minke dan Ontosoroh terhadap Belanda terasa tidak masuk akal. Kita bisa paham mereka merasa diperlakukan tidak adil. Apalagi konteksnya adalah mereka yang pribumi sedang berurusan dengan Belanda si kulit putih puncak rantai makanan. Secara natural kita akan mendukung dan bersimpati pada pihak yang kelihatan lebih susah; mereka baik, pihak yang satunya jahat. Kita memang harus mencoba tapi mbok ya harus sesuai, jangan baper. I mean, yang Minke lakukan ialah dia berusaha menjegal hukum yang sah. Beberapa kali aku malah mengiyakan tuntutan Belanda, karena yang mereka pinta lebih masuk akal dibanding pembelaan Minke. Status Ontosoroh yang tidak dinikahi sah tentu membuat ia tidak punya hak legal terhadap anaknya yang bapaknya Belanda. Tentu hukum Belanda yang dipakai karena tentu saja Belanda ingin melindungi hak warga negaranya. Tapi perlawanan Minke seolah mengotakkan peradaban dan ilmu pengetahuan bisa dilawan dengan kemanusiaan dan agama. Belanda yang mutakhir harus tetap dipandang jahat meski ia hanya mau mengantarkan dokter dari pihak mereka kepada Annalies. Dan ini mendapat sedikit perlawanan dari naskah yang mengetengahkan “Belanda gila sama parahnya dengan pribumi gila”. Ada kesan seolah film ingin membuat kita melihat bahwa yang ‘jahat’ itu sesungguhnya adalah pribumi yang gila-barat.

Sepanjang durasi film ada banyak hal-hal yang megecoh pada film ini. Yang membuatku jadi berpikir yang tidak-tidak, seperti seolah tertanam hal-hal lucu, padahal mungkin film tidak meniatkan seperti itu. Dan pikiran itu timbul karena film seolah mengarah ke sana. Seperti misalnya soal penyakit Annelies. Ada adegan-adegan yang menekankan tentang penularan penyakit sifilis yang bakal membuat kita menghubungkan ini kepada Annelies. Ataupun soal Annelies yang tampak seperti meminta ibunya menikah dengan Minke. Kenapa aku bisa mikir ke sana? Karena di adegan perkenalan, Minke dibuat lebih terpesona melihat Ontosoroh ketimbang melihat Annelies. Dan kemudian sepanjang cerita, Minke diledek jadi simpanan seorang Nyai. setiap kali Minke diundang datang, keluarga Annelies ribut – saling bertengkar. Kalo aku Minke aku bakal curiga jangan-jangan mereka semua lagi belajar sandiwara dan aku diundang sebagai penonton percobaan. Heck, saat Surhoof dengan jelas tampak cemburu meski dia bilang hanya suka cewek Belanda tulen, aku langsung kepikiran jangan-jangan Surhoff – yang menggoda Minke dengan “Ih kamu bau” – sebenarnya cemburu sama Annelies… Sukurlah soal Surhoof ini eventually beneran dibahas oleh cerita.

Ketika selesai menonton ini, dalam perjalanan menuju mall lain untuk menonton Perburuan (2019), aku memikirkan ulang cerita. Apa yang sebenarnya jadi pertanyaan utama pada narasi. Apa yang dijawab terakhir sebagai kesimpulan. Juga rentetan kejadian-kejadian pada Bumi Manusia. A whole lot of them. Yang ternyata tidak semuanya terbahas tuntas. So in retrospect, aku bertanya kepada diri sendiri; apa cerita ini benar-benar harus untuk menjadi tiga jam. Tidakkah ada elemen yang bisa dihilangkan tanpa mengubah tujuan cerita. Tidakkah ada tokoh yang mestinya bisa dirangkum supaya tidak ada yang muncul dan hilang tanpa penjelasan. Tentunya adaptasi tidak harus menyadur utuh semua materi asli kan.

 

 

Yang jelas, film berhasil menangkap daya tarik dari cerita ini. Konteks sosial yang masih saja relevan, hubungan cinta yang manis walaupun tragsi (in fact, semakin tragis semakin manis), menghidupkan tokoh-tokoh yang dicintai oleh pembaca novelnya. Dan tentu saja dialog yang quotable banget. Hanya saja penceritaan sepertinya bisa dilakukan dengan lebih efisien. Ada banyak karakter, Mellema, Mellema, yang membuat cerita melemah karena Minke si tokoh utama tidak lagi sesignifikan mereka. Seharusnya penyesuaian yang lebih dilakukan di sini. Tapi ini tetaplah sebuah film yang epik, tidak banyak yang berani tampil sebesar ini. Jikapun mulai merasa bosan, jangan khawatir karena kita masih bisa menemukan lucu-lucu yang tak sengaja tersirat (kuharap tak-sengaja) di dalam cerita.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BUMI MANUSIA

 

DORA AND THE LOST CITY OF GOLD Review

“The greatest adventure is the search for wisdom”

 

 

Dora, si bolang yang suka nanya-nanya itu, kini sudah gede. Petualangan kartun warna-warni yang kita saksikan di televisi dulu itu, disugestikan oleh film live-action ini, adalah sebagai imajinasi Dora yang tinggal di rumah di hutan bersama ayah dan ibunya yang arkeolog dan sesama petualang. Sebab, Dora juga tinggal di dalam dunianya sendiri. Tempat monyet bisa ngomong. Tas, dan peta bisa bernyanyi. Dan rubah bisa mencuri. ‘keberadaan’ mereka itulah awal masalahnya. Keluarganya khawatir Dora butuh teman yang bukan monyet atau buaya atau ular boa. Dora pun dikirim ke kota untuk tinggal bersama keluarga sepupu karibnya, Diego. Dora yang anak-hutan kayak Tarzan dimasukkan ke sekolah supaya berinteraksi dengan remaja-remaja sebayanya. Dia lalu berteman dengan Regina George dan cewek-cewek ‘plastik’ yang sok kecakepan. Eh, maaf, itu sinopsis Mean Girls (2004) gak sengaja kecampur. Cerita Dora di sekolah sedikit lain. Dora jelas enggak perlu nunggu hari Rabu untuk pakai baju pink. Malahan dia enggak begitu peduli untuk menjadi orang yang bukan dirinya meskipun anak-anak di sekolah – bahkan Diego – menganggapnya aneh.

Aku sebenarnya masih empet sama yang namanya live-action dari animasi atau kartun berkat Lion King 2019 (“Katakan ‘tidak’! Katakan ‘tidak’!”) Live-action seharusnya enggak maksa seperti itu. Harus ada penyesuaian ketika kita memindahkan dari tampilan satu ke tampilan lain, sementara harus tetap mempertahankan elemen yang disukai dari versi aslinya. Dora mengubah cemberutku menjadi senyuman. Paling enggak untuk separuh awal.

Film garapan James Bobin ini memiliki babak pertama dengan banyak kejadian menarik. Bobin paham cara memperlakukan elemen-elemen yang menjadikan kartun Dora spesial ke medium yang lebih ‘nyata’. Untuk kemudian bermain-main dengannya. Momen-momen khas (dan annoying) seperti Dora yang suka break the fourth wall dengan nanya ke kita (padahal jawabannya ada di depan mata!) tidak dihilangkan ataupun disalin mentah-mentah. Film mengenali betapa surealisnya sikap dan kebiasaan Dora, berteman dengan hewan dan benda mati, serta ngobrol seolah ada orang yang melihatnya. Film juga menekankan bahwa Dora adalah petualang yang cerdas, tangkas, dan pemberani. Film menggabungkan, menyesuaikan – ngomong seolah-olah ditonton itu simply paralel dengan kegiatan ngestory/ngevlog, dua unsur tersebut sehingga karakter Dora dalam film ini menjelma menjadi salah satu karakter paling menarik dalam film anak-anak.

Dora adalah remaja yang percaya diri, yang tidak takut untuk menjadi dirinya sendiri. Namun dia juga adalah seorang yang kesepian. Yang ingin disampaikan oleh film lewat karakter Dora adalah betapapun pinternya, kita tetap tidak bisa melakukan semuanya tanpa bantuan orang lain. Petualangan Dora membuka pikirannya terhadap hal tersebut karena Dora terbantu oleh kemampuan ‘khusus’ yang dimiliki oleh teman-teman sekolahnya.

kebayang nonton sama anak-anak, terus mereka ngobrol sama Dora di layar bioskop kayak kita dulu ngobrol ama layar tv hihi

 

I got my eyes set on Isabela Moner sejak Instant Family (2019) awal tahun ini. Pendekatan natural Moner dalam men-tackle tokoh anak rebel yang sebenarnya stereotipe membuat tokoh itu menjadi luwes bergerak dalam range emosi yang jauh. Sebagai Dora, Moner mengemban tugas yang sekilas receh. Tapi ada unsur sureal, karena Dora menggunakan gelagat ceria dan quirky sebagai mekanisme pertahanan dari penolakan ataupun kemungkinan dikucilkan. Semua itu harus cewek ini sampaikan dalam nada komedi. Dan Moner punya penguasaan waktu-komedi yang tepat sehingga elemen-elemen kartun yang tokohnya sampaikan diterima oleh kita sebagai candaan yang menguatkan karakternya. Simak dengan selownya Moner mengucapkan dialog “Hutan bukan tempat berbahaya. Asalkan kita tidak menyentuh apapun. Dan tidak bernapas terlalu dalam”, atau adegan simpel ketika Dora menyapa semua manusia yang ia temui di bandara dan sekolah.

Dora and the Lost City of Gold bekerja terbaik ketika si Dora berada di kota beneran. Cerita fish-out-of-water yang disuguhkan tampak spesial oleh keunikan tokoh Dora. Dia menyebutnya ‘berinteraksi dengan orang lokal’. Aku ngakak ketika isi tas Dora dibongkar di gerbang sekolah, dan kita menemukan banyak benda-benda ‘survival di hutan’ di dalam sana. Film tampak ingin mengomentari bahwa kota tidak lebih baik daripada hutan. Dora mendapat momen ‘welcome to the jungle‘nya justru ketika dia berada di kota. Dia merasa lebih kesepian di sana ketimbang di antara pohon-pohon. Film akan berjalan di arah yang totally berbeda jika terus membahas Dora yang berusaha hidup di kota.

Sayangnya, naskah tidak mengizinkan hal itu terjadi. Naskah melakukan pilihan aneh yang membuat cerita seperti udah maju, terus balik lagi. Dora ditarik kembali ke hutan karena diculik. Dia harus menemukan ayah dan ibunya yang menghilang dalam ekspedisi pencarian Kota Emas Parapata di hutan. Sebelum mereka ditemukan lebih dulu oleh para penculik yang bermaksud menangguk emas dari pengetahuan mereka. Jadi naskah film ini cerita bermula di hutan, kemudian inciting incident menyebabkan Dora harus pindah ke kota, namun plot poin-satunya membawa Dora kembali lagi ke hutan. Cerita fish-out-of-water malah berbalik ke teman-teman Dora yang harus belajar survive di hutan. Melihat Dora beraksi di ranah yang sudah ia jago, kendati exciting dan kocak, tetap tidak sebanding dengan tawaran yang sudah di-tease ke kita tentang Dora berusaha hidup bersosialisasi di kota. Petualangan Dora bersama teman-teman di hutan cukup seru. Seperti Indiana Jones versi cewek. Versi lebih cilik daripada kelihatannya. Eksplorasi mereka melingkupi pemecahan teka-teki hingga aksi meloloskan diri dari jebakan. Porsi aksi ini sebenarnya lumayan punya suspens. Tapi film senantiasa menarik diri kembali, mengingatkan kepada kita bahwa yang kita tonton ini tak lebih dari kartun anak-anak. Misalnya ketika Dora hendak tergencet tembok yang menutup; cara keluar dari situasi ini sangat kartun – melibatkan Boots CGI melakukan tingkah ‘ajaib’. Ada banyak adegan-adegan seperti petualangan beneran yang kemudian didaratkan oleh elemen kartun, meredamkan sense-of-danger. Yang dilakukan supaya tetap senada ama kartunnya, atau juga mungkin dirasa terlalu ‘berat’ untuk konsumsi anak-anak.

Parapata mungkin ada di parampatan depan sono, dek

 

Buat anak kecil memang film ini mengandung pembelajaran. Mereka bisa belajar soal mencari ilmu pengetahuan adalah hal yang mengasyikkan. Harta yang paling berharga dalam film ini bukan hanya keluarga, melainkan teman-teman dan ilmu. Film berpesan untuk tetap mencari ilmu sekalipun kau tampak aneh, diejek ‘nerd’, atau ‘dork‘ seperti Dora karenanya. Anak-anak akan dapat cepat menangkap pesan tersebut karena cerita dan adegan film ini memang dirancang untuk kepentingan mereka.

Tapi juga, menurutku film ini sedikit krisis eksistensi diri. Film tergiur untuk menjadi tontonan nostalgia untuk anak-anak yang dulu menonton kartunnya. Film mengambil tokoh remaja untuk menimbulkan kesan Dora tumbuh bersama mereka. Tapi ceritanya yang masih untuk anak kecil membuat Dora lebih cocok untuk anak kecil jaman sekarang. I mean, film ingin menarik bagi remaja atau yang lebih tua, tapi sekaligus juga hadir sebagai tontonan anak kecil. Ini sedikit membingungkan. Maka kita mendapat adegan Dora menggali lubang untuk buang-air sambil berdendang. Menurutku, keinginan film untuk menggapai lebih banyak lapisan penonton membuat penceritaannya menjadi setengah-setengah. Sepertinya akan lebih bagus jika terarah, Doranya tetap anak kecil dan ceritanya bertualang begini, atau Dora remaja dengan cerita dia di kota. Tapi tentu saja, bukan lagi Dora namanya jika tidak bertualang di hutan.

 

 

 

Jadi film memilih untuk tidak menjadi lebih besar dari yang ia bisa. Film mengadaptasi banyak elemen unik dari kartun, dan mengolahnya untuk menghidupkan Dora-yang-sama tapi dalam lingkungan baru yang supposedly lebih real, untuk penonton anak-anak jaman kekinian. Buatku masalah film ini bukan pada pilihannya menjadi receh atau menjadi film anak-anak banget. Dora justru punya pesona di ranah itu. Tapi adaptasi kartun Nickelodeon ini terbingungkan oleh nostalgia, sehingga naskah jadi sedikit messy. Ini gak akan jadi masalah untuk anak-anak sih, mereka akan senang sekali diajak orangtua dan kakak mereka kenalan ama Dora dan Boots, bernyanyi dan bertualang bersama.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for DORA AND THE LOST CITY OF GOLD

 

SummerSlam 2019 Review

 

Sebelas tahun silam WWE mengumumkan mereka mengubah arahan acara mereka menjadi lebih konservatif dan family-friendly. Maka sejak saat itu, WWE dengan rating PG (kalo di Indonesia istilahnya Bimbingan Orangtua) sudah semakin mirip tayangan kartun di hari Minggu. Tapi belakangan ini, WWE tampak menoleh kembali ke akar ‘kebrutalan’ mereka. Baru sebulan yang lalu kita melihat kembali superstar cowok bertarung melawan superstar cewek dalam pertandingan yang sah. Dan di bulan Agustus ini kita mendapat kejutan; SummerSlam didaftarkan sebagai acara dengan rating TV-14! Pengumuman tersebut tak pelak bikin rame internet. Penonton yang lebih dewasa makin semangat menantikan, di sisi lain pengumuman itu juga menjadi peringatan. Seberapa ‘keras’ tayangan WWE kali ini. Perlukah kita menutup mata adek-adek atau anak-anak kita yang kadung termanjakan oleh acara berantem yang enggak kasar?

Jawabannya; perlu

I mean, just watch this awesome clip

 

Bray Wyatt mungkin alasan nomor satu WWE menaikkan rating acara untuk SummerSlam. Dalam re-debut dari karakter cult leader yang selama ini dia gunakan, Wyatt memperkenalkan diri sebagai The Fiend, lengkap dengan absennya lampu arena, memakai topeng monster seram dan diiringi oleh musik rock (remix dari lagu temanya yang lama) yang dinyanyiin cewek bersuara tinggi sehingga terkesan psychotic. Wyatt sebagai The Fiend tetap jalan masuk ke ring sambil menenteng lentera, hanya saja lentera yang ia bawa kali ini bakal nongol di mimpi buruk anak-anak sedunia. Lenteranya adalah kepala. Kepala dirinya sendiri pula! Ini udah kayak Al Snow dan Marlina berfusion di malam jumat kliwon

Psychotic Heel is the best heel of all. Di NXT kita dapat Io Shirai yang muncul ke ring dengan ekspresi muka berubah-ubah mulai dari sedih, ketawa, hingga sadis – also a badass music dan gaya masuk teatrikal. Di main roster WWE, kita mendapat Bray Wyatt yang sekarang bicara kayak host acara clubhouse anak-anak tapi dengan subtext horor. bayangkan Club Disney atau Kak Seto tapi boneka yang muncul bukan komodo lucu melainkan penyihir dan burung bangkai yang memakan boneka kelinci. Wyatt supposedly sudah membuang setan dari dalam dirinya, setan itulah yang mengambil wujud sebagai The Fiend, yang kita saksikan membantai Finn Balor dalam acara ini. Kita melihat Balor dicekek rahangnya sampai kalah. Jadi, SummerSlam memang memperkenalkan penonton terhadap aksi yang lebih intens. Dan on top of that, tema yang melandasi pun lebih dewasa.

The Fiend menenteng kepala dirinya yang dulu mengandung makna simbolis mengalahkan diri sendiri. Dengan berkompromi dengan your own demon. Jika kita lihat gambaran besarnya, tema meruntuhkan dan merombak ulang diri sendiri tersebut dapat ditemukan berulang sepanjang acara. SummerSlam sendirinya adalah seperti versi yang lebih kompromi antara WWE era PG dengan WWE lama yang brutal.  

 

Aplikasi yang lebih manusiawi dapat kita temukan dalam urusan antara Kofi Kingston melawan Randy Orton. Sejak 2009, Kingston ‘dihantui’ oleh pernyataan Orton mengenai betapa bego dirinya. Karir Kingston diceritakan mandeg karena kesalahan yang ia lakukan dibesar-besarkan oleh Orton yang punya pengaruh tinggi di belakang-panggung WWE. Pertandingan mereka di SummerSlam ini bukan hanya sebatas Kingston mempertahankan gelar, melainkan dia harus membuktikan diri; Kingston harus meraih keganasan dirinya yang dulu sekaligus memperlihatkan dia tidak bodoh karena sekarang dia sudah tahu dan belajar lebih baik. Kemarahan Kingston ketika mendapati dirinya berada di antara Orton dan keluarga menjadi trigger karena dia merasa bodoh dan lemah membahayakan keluarga. Jadi, walaupun akhir match mereka tidak memuaskan karena sudah seteru sudah dibangun lebih dari satu dekade, aku bisa melihat endingnya masuk akal. Narasi butuh mereka untuk perang, alih-alih beres dalam satu kali pertemuan.

Seth Rollins dan Brock Lesnar juga adalah kasus yang sama. WWE terpaksa memilih untuk mengulang cerita dari Wrestlemania; untuk saat ini tampak seperti menihilkan Money in the Bank, like, mereka seperti tak punya ide lain soal siapa yang mesti menang koper. Tapi storyline itu dibutuhkan untuk membangun ulang – bukan hanya Rollins, melainkan juga Lesnar. Rollins butuh untuk tampil seperti jagoan yang bertarung atas dirinya sendiri (bukan dibeking pacar, teman setim, ataupun anak emas bos). Dan Lesnar perlu untuk dilihat banyak orang sebagai kompetitor seperti dirinya ketika masih menetap di WWE. Karena Lesnar bakal menetap lagi di Smackdown. Ketika maksud itu sudah terlandaskan, kita akhirnya dapat suguhan aksi yang memuaskan. Main event acara ini mengirim penonton pulang dengan semangat dan harapan yang baru. Karena kita sudah diyakinkan mereka ini masih seperti yang dulu, malahan lebih ganas lantaran lebih banyak yang mereka accomplished sekarang.

Bagi penonton yang tidak menonton gulat di luar WWE, tim O.C. (AJ Styles, Luke Gallows, dan Karl Anderson) bakalan tampak seperti tim baru dengan taktik dirty kasar old-school. Yang kita lihat hingga SummerSlam ini sebenarnya belum apa-apa lantaran mereka memang sudah satu tim sejak di Jepang. WWE mencoba memperkenalkan sisi ‘legendaris’ mereka, begitu juga dengan Ricochet yang tampak seperti anak baru yang brilian di dalam ring WWE. Styles dan Ricochet bermain keren tapi mereka masih belum menampilkan performa yang sesuai dengan kapasitas mereka sebenarnya, jadi sepertinya kita masih akan terus melihat dua kubu ini berseteru. Cerita ‘improving ourself’ sudah berjalan cukup lama bagi karakter Bayley. Dalam SummerSlam, tidak benar-benar ada episode baru. Pertempurannya dengan Ember Moon berjalan baik, namun terasa lempeng karena harusnya Ember Moon lah yang jadi tokoh utama dalam storyline ini. Sejelek-jeleknya penampilan Goldberg, seitu-itu melulunya alur pertandingan Goldberg, toh kita masih bersorak juga melihat dia membantai lawannya. Ziggler adalah orang yang tepat. Muda, arogan, dan bisa ngesell move dengan dahsyat. Pertandingan Dolph Ziggler melawan Goldberg tidak lain tidak bukan memang untuk mengembalikan citra Goldberg yang terjun bebas setelah penampilannya di Arab Saudi. Ziggler kali ini ada untuk memastikan ‘match cutscene’ yang kita tonton menjadi menghibur semenghibur-hiburnya.

http://www.youtube.com/watch?v=s8BPR0KkE4k

 

 

SummerSlam juga dibangun around fakta bahwa acara ini diselenggarakan di Toronto, Kanada. Makanya kita mendapat banyak pertandingan dan momen-momen yang ‘tokoh utamanya’ pegulat dari Kanada. Kevin Owens benar-benar terbantu oleh situasi ini. Karakter Owens adalah yang paling menarik di brand Smackdown, karena ia mewakili apa yang semua orang pikirkan terhadap Shane McMahon. Pertandingan mereka minim aksi seru, malahan lebih banyak aksi maksa seperti interference dan situasi yang berfungsi sebagai plot device. Jika bukan Owens, pastilah perhatian bakal terpusat ke Shane, dan penonton akan sibuk menghujat Shane dan jalannya pertandingan. Dengan Owens, matchnya menjadi fun dan greget, stake dari stipulasi menang-kalahnya juga semakin terasa.

Natalya juga mendapat respon luar biasa di sini. Nama Hart dan jurus Sharpshooter memang sudah sakral di Kanada. Dua hal tersebut, terutama yang terakhir disebut, dimainkan dengan sempurna dalam pertandingan Natalya lawan Becky Lynch. Natalya bisa jadi adalah superstar cewek yang paling konsisten. Dia selalu berhasil menjalankan ‘misi’ setiap kali diberikan tugas filler seperti ini. Natalya tidak pernah memberikan performa yang buruk, hanya saja dirinya sendiri yang seringkali dioverlook karena kalah presence dibanding superstar yang lain. Di tanah Kanada ini, perhatian tertuju padanya, dan dia menjawab itu semua dengan gemilang. Gimmick submission pada match juga membantu banyak memancing chemistry antara Natalya dengan Lynch, dua superstar yang sama-sama berjurus kuncian namun berbeda target. Psikologi serangannya adalah masing-masing sudah menargetkan serangan pada titik kuncian. Natalya fokus ke kaki Lynch, dan Lynch pada tangan Natalya. Mereka juga menggunakan elemen ‘mencuri’ jurus lawan, yang selalu seru dan mengasyikkan. Meskipun agak kurang logis karena masa Lynch yang kakinya diserang melulu malah tiba-tiba bisa melakukan kuncian Sharpshooter yang mengandalkan kestabilan kaki.

Did Natalya just scream ‘bitch!’ at Lynch’s face?

 

Surprise menyenangkan berikutnya datang dari penampilan Trish Stratus. Dalam pertandingan melawan Charlotte yang disebut sebagai pertandingan terakhirnya, Trish benar-benar seperti perwujudan dari tema acara ini. Orang lama yang berusaha menginovasi menjadi diri. Trish adalah ratu gulat pada masanya, dan dia langsung menantang Charlotte; arguably the best women wrestle in roster today. Dan wow, Trish sungguh-sungguh menyuguhkan penampilan yang dahsyat. Clocking at 16:38, match Trish lawan Charlotte adalah match terlama dalam acara ini. Dan sepanjang menit-menit itu (kecuali beberapa menit awal saat Trish masih kelihatan agak canggung), kita menyaksikan aksi-aksi konter mengonter seru yang memperlihatkan bahwa kedua superstar ini sama-sama hebat. Malah aku sempat percaya Trish bakal menang. Itulah bukti bahwa drama dan cerita match ini berjalan dengan baik.

 

 

SummerSlam adalah festival gulat yang amat menyenangkan. Banyak momen-momen memorable. Aksi-aksi yang lebih seru dari sebelumnya. Wyatt, Owens, Rollins. Lesnar. Trish. Malahan hampir setiap orang dalam pertandingan di acara ini mencuri perhatian. Kekurangannya mungkin adalah acara ini bisa terasa kurang variasi, karena matchnya partai single semua. Pertandingan tag team (termasuk Alexa manis yang pake attire ala Buzz Lightyear) digeser untuk pre-show. Malahan, pre-show SummerSlam ini juga menurutku pantas untuk disaksikan, tidak seperti pre-show biasanya. Karena ada banyak story development, yang sepertinya sengaja tidak dimasukkan karena WWE kali ini tidak ingin acara utamanya menjadi kepanjangan seperti tahun-tahun belakangan. SummerSlam tampil ‘singkat’ seperti acara jaman dulu, lengkap dengan pyro pembukaan pula. Sebenarnya masih kurang set panggungnya sih, mestinya bisa dibikin penuh kreasi kayak yang dulu-dulu, but I guess we would be asking too much then. The Palace of Wisdom menobatkan Trish Stratus melawan Charlotte sebagai MATCH OF THE NIGHT yang paling diingat dan paling mengejutkan.

 

 

Full Results:
1. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP SUBMISSION Becky Lynch bertahan dari Natalya
2. SINGLE Goldberg nge-squash Dolph Ziggler
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP AJ Styles dengan bantuan O.C. tetap juara ngalahin Ricochet
4. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley masih juara ngalahkan Ember Moon
5. SINGLE Kevin Owens menghajar Shane McMahon
6. SINGLE Charlotte berjaya atas Trish Stratus  
7. WWE CHAMPIONSHIP Kofi Kingston masih juara karena berakhir seri dengan Randy Orton
8. SINGLE The Fiend membantai Finn Balor
9. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins jadi juara baru merebut sabuk dari Brock Lesnar

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MAHASISWI BARU Review

“Anyone who keeps learning stays young”

 

 

Masa-masa tahun ajaran baru memang selalu dinanti oleh para mahasiswa. Apalagi kalo bukan karena masuknya maba-maba. Mahasiswi-baru untuk dikecengin. Mahasiswa-baru yang siap untuk dikerjain pas orientasi alias ospek. Tapi gimana kalo maba yang masuk udah seumuran dengan oma di rumah? Jelas gak bisa digodain. Dikerjain? Wuih, bisa kualat. Film komedi Mahasiswi Baru garapan Monty Tiwa mengajak kita untuk melihat persisnya peristiwa itu terjadi. Cerita yang basically tentang seorang wanita 70-tahun yang berusaha menemukan kembali cinta dengan menginjak kaki ke ranah anak muda ini akan membuat kita tertawa, sekaligus berusaha untuk menyentuh hati saat menyadari bahwa untuk urusan cinta; tidak pernah ada kata terlalu tua.

Aktor senior Widyawati tampak sangat bersenang-senang sekali memerankan Lastri, sang mahasiswi baru di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Cyber Indonesia, Yogyakarta. Semangat Lastri enggak kalah dari anak-anak muda, bahkan Lastri lebih kritis dari mereka. Lastri dengan berani mengkritik bapak dekan, yang diperankan oleh aktor sepantaran Slamet Rahardjo. Dinamika dua tokoh ini akan menjadi sentral dari cerita. Karena si dekan adalah paralel dari yang dirasakan Lastri di rumah anaknya. Kita akan melihat yang tadinya musuhan akhirnya membuka untuk cinta; film ini actually adalah sebuah rom-com unik karena tokoh-tokohnya adalah dua generasi di atas kita. Tapi bukan berarti tua dan muda enggak bisa nyambung. Karena film ini menunjukkan di antara teman-teman baru di kampus, ada empat anak muda yang dengan akrab dengan Lastri. Yang setuju untuk memanggil dirinya Lastri – sesuai dengan permintaan. Mereka jadi teman segeng yang selalu menimbulkan masalah di kampus! Sebenarnya keempat anak muda tersebut – Sarah, Reva, Ervan, dan Dani – punya masalah sendiri, yang pada akhirnya mendapat pengaruh langsung dari Lastri.

bayangkan seorang ingusan memanggil nama nenekmu dengan akrab

 

Dalam menghadirkan kontras antara generasi tua dengan generasi muda yang menjadi pokok bahasan cerita, film ini mengambil rentang tone yang cukup jauh. Adegannya dapat menjadi begitu konyol, untuk kemudian menjadi serius dan emosional, atau bahkan menjadi keduanya sekaligus. Film meniatkan hal tersebut sebagai pesona utama. Ia berusaha membuka koneksi kepada penonton lewat komedi-komedi. Tapi bukan komedi yang ‘it’s funny because it’s true‘. Menonton komedi film ini seperti melihat nenek kita menari. It’s just funny. Film juga menunjukkan dirinya sengaja memilih komedi receh. Mahasiswi Baru hadir dengan self-awareness bahwa tokoh-tokoh mereka punya backstory ala ftv. Dapat kita jumpai dua adegan di mana dua tokoh sedang berbincang membandingkan kisah hidup siapa yang paling tragis. Hingga menulis ini aku masih enggak yakin untuk harus tertawa atau bersedih mendengar cerita tokoh-tokoh tersebut.

Sisi positif yang berusaha digali dari arahan komedinya ini adalah film punya kemampuan untuk tampil sebagai satir, atau parodi. Karakter-karakter di sini merupakan stereotipe yang benar-benar banal sehingga bisa jadi penulisnya memang sengaja melakukannya untuk menyindir. Menyindir siapa? Ya semuanya. Kita bisa melihatnya sebagai generasi tua yang sedang meledek generasi muda. Bisa sebaliknya. Dan malahan bisa juga sebagai generasi yang sama saling meledek. Misalnya, karakter yang diperankan oleh Morgan Oey. Dia di sini selalu live di instagram, semua kegiatan yang ia lakukan di kampus bersama teman-teman segeng dibroadcast ke ribuan follower. Film menyinggung ini dalam batasan yang wajar ketika Lastri bertanya dengan polos kenapa curhat ke ribuan orang yang bukan sebenarnya teman. Cerita yang mengarah ke drama akan berhenti di sana. Tapi Mahasiswi Baru yang udah teguh tekad untuk menjadi konyol membuat tokoh si Morgan ini berbicara selalu dengan tambahan “guys” di belakang kalimat. Ini seperti memparodikan kebiasaan anak muda ngevlog jaman sekarang, yang merasa menggunakan “guys” otomatis menjadikan dirinya sebagai pribadi yang asik, regardless konten yang mereka buat. Lain lagi dengan karakter yang diperankan oleh Umay Shahab; seorang yang merasa dirinya aktivis. Yang menjunjung tinggi demokrasi. Tokoh ini digambarkan gampang terpancing emosi. Sindiran terhadap tokoh ini adalah bahwasanya justru ternyata dia sendiri yang paling gampang ngejudge orang lain.

Karakter-karakter yang ada pada Mahasiswi Baru adalah campuran dari yang bersifat parodi seperti yang disebutkan di atas, yang dimainkan full-time sebagai komedi. Dengan yang bernada jauh lebih serius. Dua alumni Gadis Sampul; Mikha Tambayong (GS 2008) dan Sonia Alyssa (GS 2015), masing-masing kebagian peran yang lebih ‘berhati’ yang seperti kebalikan dari tokoh lain. Yang satu punya cerita perihal passion yang terhalang keinginan orangtua sehingga dia lebih memilih tinggal sendiri dan merahasiakan siapa orangtuanya kepada teman-teman. Yang satu lagi bahkan tidak lagi punya orangtua, dan dia harus kuliah sambil bekerja diam-diam. Keputusan naskah untuk membuat tokoh-tokoh tersebut sebagai stereotipe menciptakan jarak yang cukup jauh antara emosi dengan komedi. Dan film tidak pernah benar-benar membangun jembatan penghubungnya. Kita hanya dibawa berpindah-pindah dengan cepat oleh komedi-komedi konyol

Tokoh Lastri seharusnya adalah jembatan tersebut. Tapi bahkan Lastri pun tidak luput dari sindiran. Stereotipe generasi tua justru kuat pada Lastri. Di salah satu adegan diperlihatkan dirinya ke kelas membawa mesin tik, padahal yang disuruh oleh dosen adalah membuka laptop. Film menyuruh kita untuk percaya bahwa orang lanjut usia (yang tinggal di kota) tidak tahu dan mengerti di jaman sekarang sudah ada komputer. Lastri juga gagal ditulis dengan baik sebagai seorang karakter. Untuk alasan dramatisasi, film memilih untuk menyimpan motivasi Lastri kepengen menjadi mahasiswi lagi. Dan untuk menutupnya mereka menggunakan komedi. Jadilah kita di sepuluh menit pertama mencoba untuk peduli pada Lastri yang bisa diterima kuliah dengan mengancam pihak kampus dengan bakal mendoakan mereka yang jelek-jelek. Ini adalah lucu menurut film. Kita harus memasuk-akalkan peristiwa Lastri bisa keterima menjadi mahasiswi di fakultas ilmu komunikasi, tanpa kita paham motivasi Lastri secara spesifik memilih fakultas tersebut. Menurutku, akan jauh lebih menyenangkan untuk ditonton jika sedari awal kita tahu, karena begitu Lastri diwanti-wanti akan di-DO kita butuh sesuatu untuk ditakutkan. The way the film goes, aku merasa sebodo amat – toh kalo Lastri nilainya jeblok, aku tidak tahu pengaruhnya bagi Lastri jika dia dikeluarkan.

Pesan menyeluruh yang bisa kita simpulkan dari Lastri yang sudah tua masuk ke Ilmu Komunikasi adalah bahwa usia bukan jaminan seorang individu bisa mengerti cara terbaik dalam mengomunikasikan cintanya kepada keluarga dan sahabat. Film ini tidak banyak menunjukkan adegan belajar di kampus karena pelajaran sesungguhnya yang harus dipelajari oleh Lastri terletak pada hubungannya dengan teman yang ia dapatkan, pada keluarga yang ia pikir ingin ia tinggalkan. Film menunjukkan untuk urusan cinta, tua dan muda sama-sama butuh banyak belajar

 

Lastri, menjelang akhir cerita, menyebutkan masih banyak yang harus ia pelajari meskipun usianya sudah lanjut. Tapi dialog ini hanya terasa sebagai kata-kata karena film tidak berhasil menghidupkan tokoh-tokohnya dengan baik. Penggunaan komedi sebagai jembatan antara emosi dengan steretipe dan, lucunya, komedi lagi membuat kejadian yang dialami tokoh-tokoh film ini seperti dibuat-buat. Lastri kayak selalu tua, tidak ada sense dirinya pernah muda. Film yang baik, bahkan komedi yang baik, adalah yang punya cerita di mana tokoh-tokohnya terasa punya kehidupan di luar frame kejadian film yang kita saksikan. Misalnya pada Booksmart (2019); Amy dan Molly terlihat seperti benar-benar sudah berteman sebelum cerita film dimulai. Dan ketika cerita berakhir kita membayangkan persahabatan mereka tetap berlanjut. Pada Mahasiswi Baru, tidak ada kesan Lastri punya kehidupan sebelum cerita dimulai. Dia tidak punya teman-teman sebaya. Trauma masa lalunya disembunyikan dari penonton. Di tengah-tengah film, kehidupan kuliah yang ia pilih jarang ditampilkan. Setelah midpoint, stake mendapat nilai tinggi itu intensitasnya ditinggikan, tapi cara yang diambil sungguhlah aneh. Mahasiswi ini mendekati dekannya alih-alih belajar lebih keras. Mungkin ini bagian dari sindiran yang ingin dilontarkan oleh naskah. Tapi yang jelas, hingga akhir cerita masalah nilai itu tidak dibahas lagi. Film tidak mengganti pertanyaan, melainkan tidak lagi tertarik untuk menjawab sesuai dengan pertanyaan yang ia angkat. Cerita berakhir dan kita semakin tidak peduli apakah mereka semua berhasil mendapat nilai bagus.

nenek-nenek ompong juga tahu bahwa film komedi cheesy seperti ini biasanya selalu ditutup dengan menari bersama.

 

Bahkan dengan jor-joran komedi dan usaha menggapai tangis penonton yang dahsyat, film masih merasa kurang percaya diri dengan narasi mereka. Sehingga musik soundtrack dijadikan jalan pintas. Lagu demi lagu diputar, malah ada yang nyaris satu lagu full. Ketika adegannya sudah berganti, ketika sudah tidak cocok lagi dengan lirik yang dinyanyikan, lagunya tetep aja diputar.

 

 

 

Ini adalah jenis film yang asik untuk ditonton bareng teman-teman dari beragam usia, karena akan jauh lebih mudah untuk tertawa ketika bersama-sama, terlebih sebab lelucon dalam film ini memang dirancang sebagai sindiran atau parodi lintas-generasi. Banyak penonton akan terhibur. Tapi rentang yang terlalu jauh antara komedi dengan emosi yang hanya dijembatani oleh komedi lagi, membuat kita susah konek lebih lanjut dengan pesan dan karakter-karakternya. Mungkin memang film ini sebaiknya dipandang sebagai cerita stereotipe yang berfungsi sebagai celetukan konyol dari kehidupan semua generasi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MAHASISWI BARU

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Pernahkah kalian belajar sesuatu dari orang yang lebih muda dan kurang-berpengalaman daripada diri kalian sendiri?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK Review

“The only thing worse than being abandoned is knowing that you’re not even worth an explanation”

 

 

Cerita seram yang paling seram itu biasanya adalah cerita-cerita yang kita dengar langsung dari teman (“tau enggak, kakakku punya teman, nah temannya itu punya tetangga, yang punya kakak yang ngeliat hantu di kamar mandi sekolah saat dia ngaca sambil nyebut nama Mary tiga kali”) atau dari keluarga (yang ini biasanya semacam nasehat terselubung). Cerita-cerita semacam itu dapat dengan cepat mendarah daging sehingga munculah urban-urban legend atau mitos lokal. Yang meskipun ceritanya gak make-sense, tapi kita tetap ‘percaya’ karena ada kesan familiar. Cerita-cerita demikian banyak yang lantas dijadikan ide untuk media seperti video game, buku, ataupun film. Tapi tidak banyak media yang mampu untuk menimbulkan kesan seram yang sama dari cerita seram yang kita dengar langsung. Karena media, khususnya film, cenderung untuk membuat cerita seram yang sebenarnya simpel menjadi rumit. Ingat bagian ‘kakakku punya teman blablabla’? itu adalah backstory needlesly rumit yang tak bisa terhindarkan bahkan jika cerita seram diceritakan secara langsung. Dalam media film, bagian tersebut dapat berkembang menjadi lebih rumit lagi.

Novel klasik Scary Stories to Tell in the Dark adalah salah satu yang berhasil bercerita horor. Sebagai kumpulan cerita pendek seram untuk anak-anak dan remaja,  buku tersebut tidak menyediakan ruang untuk berlama-lama mengarang backstory. Cerita seramnya langsung dihamparkan sehingga tepat sasaran. Misalnya, salah satu cerita yang paling kuingat adalah tentang wanita yang lagi ngendarain mobil di malam hari, yang terus diikuti oleh mobil misterius yang mengedip-ngedipkan lampu depannya. Si wanita kontan menjadi parno tapi ternyata si mobil misterius sebenarnya berusaha memberi tahu bahwa ada seseorang berpisau yang lagi ngumpet di jok belakang mobil si wanita. Berkat cerita itu sampai sekarang aku selalu lebih memilih untuk duduk di kursi paling belakang setiap kali naik mobil, biar langsung ketahuan kalo ada yang ngumpet di sono. Banyak cerita dalam Scary Stories to Tell in the Dark yang bahkan tidak repot-repot memberi nama pada tokohnya. Kita tidak benar-benar butuh untuk tahu siapa nama tokoh dalam cerita seram, yang kita butuhkan adalah lingkungan atau situasi yang akrab dengan kita. Dan kebanyakan cerita seram yang efektif memang seperti demikian, seperti cerita orang-orang tua kita.

Keberadaan film adaptasi buku Scary Stories merupakan fenomena mengerikan tersendiri buatku. Karena aku tahu aku pasti bakal nonton, terlebih karena diproduseri – juga turut ditulis – oleh Guillermo del Toro. Nama tersebut sudah seperti jaminan kita bakal melihat banyak makhluk-makhluk seram yang benar-benar memanjakan fantasi horor kita. Tapinya lagi, aku juga ragu untuk nonton karena sangsi mereka bisa keluar dari batasan ‘horor untuk anak-anak’ pada film komersil. Horor untuk anak-anak cenderung ditranslasikan sebagai horor jinak yang berat oleh eksposisi, yang dihidupi oleh tokoh-tokoh kodian alias sebatas trope-trope tokoh cerita remaja. Ketakutanku tersebut terkabul menjadi nyata.

silakan berfantasi

 

Menunggangi ombak kesuksesan Stranger Things dan hype IT Chapter 2, Scary Stories to Tell in the Dark bermain kuat di unsur nostalgia. Ketika mereka menghidupkan cerita pendek demi cerita pendek ke layar lebar, fantasi kita akan cerita-cerita tersebut seperti terpanggil keluar. Terwujudkan oleh sosok-sosok yang bikin kita berkeringat dingin. Remaja dalam cerita film ini adalah geng yang bisa saja seperti geng kalian di sekolah, di lingkungan rumah. Mereka suka cerita seram. Mereka pengen ngerjain tukang bully. Menit-menit awal film ini tampak menarik. Lingkungannya terasa hidup. It was America in 1968, presiden mereka masih Nixon, perang Vietnam baru dimulai, lagi suasana halloween dan seperti yang dikumandangkan oleh soundtrack – it was a season of the witch.

Setting seharusnya memang tidak hanya berfungsi layaknya backdrop dalam sebuah pagelaran, namun juga mesti mampu menyediakan konteks budaya dan sejarah yang menambah pemahaman penonton terhadap karakter di dalam cerita. Dalam kata lain, film yang baik akan berusaha membuat setting waktu dan tempat menjadi karakter tersendiri, yang hidup dan berkembang seiring tokoh-tokoh cerita. Waktu dan tempat itu menyimbolkan keadaan emosional yang memotivasi bahkan menghantui para tokoh. Scary Stories to Tell in the Dark, meskipun diniatkan untuk penonton muda, tidak lantas melupakan kepentingan setting waktu dan tempat. Tentu, anak kecil atau remaja yang menonton sebagian besar akan melewatkan hal ini, tapi film tidak punya niat untuk merendah demi para penonton tersebut. Settingnya tetap dibuat kuat dan penting sebagai ‘pembentuk’ tokoh kita.

Ada narasi soal child-abandonment yang dihamparkan untuk semua penonton – tua ataupun muda – di balik cerita tentang sekelompok remaja yang nekat memasuki rumah angker dan membawa pulang buku yang setiap malam menuliskan kisah kematian yang dengan segera menjadi nyata. Karena tokoh utama kita, Stella (tokoh Zoe Margaret Colletti ini bisa menjadi role-model yang bagus untuk remaja yang bercita-cita menjadi penulis), ditinggalkan oleh ibu kandungnya semenjak kecil. Begitupun dengan sosok hantu utama – yang menulis semua kisah horor tersebut – disekap oleh keluarga besarnya. Dan di dunia nyata seperti yang dilatarkan oleh film, anak-anak muda ‘dibuang’ begitu saja oleh negara ke Vietnam untuk berperang entah demi apa.

Hal yang paling mengerikan dari diabaikan oleh orang, oleh keluarga, tempat kita menggantungkan diri, adalah engkau dianggap tidak ada. Tidak ada yang menceritakan dirimu. Tapi semua orang butuh untuk didengar. Semua orang punya cerita untuk diceritakan. Film ini menunjukkan betapa pentingnya peranan suatu cerita. Pentingnya suatu kejadian untuk dikabarkan dengan benar. Kita akan lebih rendah dari hantu jika tidak ada catatan, jejak keberadaan kita, yang diketahui oleh orang lain.

 

Tangan sutradara Andre Ovredal tentu saja enggak cukup untuk mengakomodasi semua kepentingan film ini. Dia harus memasukkan banyak cerita-cerita pendek, mengikatnya dengan gagasan sehingga elemen cerita berjalan paralel, sekaligus harus memikirkan target penonton. Ketika di awal-awal film berjalan menyenangkan, masuk ke babak kedua, film yang memilih buku dan hantu yang menulis sebagai device untuk memasukkan banyak cerita pendek klasik, mengempis menjadi sajian horor standar yang meskipun berani menampilkan konsekuensi kematian tapi tidak lagi terasa segar. Alih-alih menjadi antologi berbenang merah setting seperti Trick ‘r Treat (2007), Ovredal menyetir film menjadi ke arah Goosebumps (2015). Semua monster dan kejadian ikonik pada cerita-pendek dimunculkan bergantian untuk mengeliminasi para tokoh, membangun stake tokoh utama karena berikutnya bisa saja giliran dia. Akibatnya untuk cerita-cerita itu adalah mereka hanya jadi ada di sana untuk diperkenalkan kepada penonton muda. Padahal materi horor ini mengerikan karena di setiap cerita kita diberi kesempatan untuk menyelami apa yang terjadi kepada tokoh. Seperti ketika seorang tokoh yang memukuli orang-orangan sawah yang diberi nama Harold, lalu kemudian Haroldnya hidup dan menyerang si tokoh tadi. Kita terinvest sama kejadian horor yang pertama ini karena kita melihat alasan dan koneksi cerita dengan kita. Tapi di cerita-cerita berikutnya, film seperti tergopoh-gopoh untuk menakuti lewat visual semata. Cerita jempol di dalam sop menjadi kehilangan kedekatan karena kita tahu sopnya muncul begitu saja. Cerita Red Spot tidak lagi berbobot psikologi karena kita tahu itu bukanlah jerawat. Cerita Pale Lady bahkan tidak terbangun properly karena hanya sekilas disebutkan tokohnya mimpi

Menonton mereka tidak lagi seperti mendengar cerita seram secara langsung – yang merupakan pesona dari materi aslinya. Kita hanya jadi takut melihat makhluk-makhluk seram. Padahal toh sudah gamblang tertulis. Scary Stories. Cerita. Seram. Yang seram seharusnya adalah ceritanya. Meskipun bertempat di setting yang sesuai dengan sejarah nyata, film menjadi petualangan investigasi misteri yang terlalu fantastis untuk terasa dekat dengan siapa saja.

seperti kata orangtuaku saat aku nanya jawaban PR; semua ada di buku

 

 

 

 

Berusaha untuk setia dengan materi aslinya, tapi cerita-cerita pendek itu sesungguhnya tidak butuh untuk diceritakan ulang lewat narasi berlatar belakang yang kompleks. Karena pada akhirnya – lantaran diniatkan untuk penonton muda – film ini mengambil wujud horor yang pasaran, yang penuh oleh trope dan stereotype. Dia malah tampak seperti tiruan versi lebih nekat dari film tentang buku horor yang semua ceritanya menjadi nyata. Film berusaha memberi gambaran soal keadaan mengerikan yang bisa menimpa anak-anak dan yang berusia remaja – dia bisa saja berdiri sendiri membahas ini. Tapi ada tuntutan sebagai adaptasi untuk mengakomodir banyak cerita dari tiga buku. Film ini seperti menggigit lebih banyak dari yang bisa ia kunyah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Beberapa waktu lalu aku membaca majalah dari Lembaga Sensor Film soal horor bukan tontonan untuk anak-anak.

Apakah kalian setuju? Menurut kalian seperti apa sih sebaiknya film horor untuk anak-anak dibuat?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

DRAGGED ACROSS CONCRETE Review

“No human race is superior”

 

 

 

Seperti yang dijanjikan oleh judulnya, film garapan S. Craig Zahler ini memang benar-benar membuat kita merasa seperti diseret di sepanjang beton yang keras. Sakit. And the fun fact is, konkret di sini bukan sebatas merujuk kepada ‘beton’, melainkan juga kepada hal yang lebih konkrit; kenyataan.

Dengan telah mengatakan semua itu, aku tekankan bahwa Dragged Across Concrete adalah tipikal film laga yang brutal, yang sungguh susah untuk dinikmati. Bukan semata karena aksi-aksinya sadis dan ditangkap tanpa tedeng aling-aling. Film ini bagai pil yang pahit untuk ditelan lantaran benar-benar didesain untuk menjadi sedekat mungkin dengan realita yang ada. Kekerasan terjadi, bahkan mungkin di sebelah rumah kita. Praduga masih berlangsung di sekitar kita. Film ini akan menantang moral kita terhadap itu semua. Jika kalian tipe penonton yang lebih suka menyaksikan film yang ‘baik’, yang sesuai dengan nilai yang kalian percaya, maka film ini bukan untuk kalian. Tapi jika kalian percaya bahwa sebuah film tidak harus politically correct, dalam artian film sah-sah saja punya gagasan dan moral sendiri, Dragged Across Concrete dapat menjadi tontonan yang menarik.

Cerita akan menerjunkan kita ke tengah-tengah lingkungan sosial yang penuh prasangka. Yang kita ikuti adalah dua orang polisi – polisi kulit putih – yang diistirahatkan dari tugasnya karena mereka tertangkap basah oleh media saat sedang memperlakukan tersangka yang bukan warga Amerika dengan terlalu kasar dalam sebuah misi penyergapan. Ini bukan cerita buddy-cop biasa di mana Polisi Ridgeman dan Lurasetti bakal menembaki orang jahat demi membersihkan nama baik mereka dan membuktikan kepada dunia bahwa mereka bukanlah aparat rasis yang kejam. Film ingin mempersembahkan mereka sebagai aparat yang realis. Tentu kita sering mendengar berita semacam seorang guru dipersalahkan oleh orangtua karena menampar murid yang kurang ajar, bukan? Ridgeman (Mel Gibson ini pastilah diberkahi anugerah enggak bisa salah dalam berakting) frustasi seperti kita frustasi membaca berita seperti demikian. Dia bermain sesuai aturan – salah ya dihukum – tapi dunia tidak beroperasi seperti demikian. Banyak sekali pertimbangan, dan politik, dan semacamnya. Bagaimana bisa Ridgeman tidak menganggap orang kulit hitam berandal ketika putrinya dibully oleh anak-anak kulit hitam tetangga mereka sendiri? Dan fakta bahwa dengan penghasilannya, mereka tinggal di lingkungan tak-bersahabat, semakin mempersulit Ridgeman – atau let’s face it, siapapun – untuk tidak berprasangka terhadap orang-orang di sekitarnya. Film, pertama dan terutama sekali, ingin supaya kita bisa mengerti penyebab polisi seperti Ridgeman dan Lurasetti menjadi rasis. Dua tokoh ini tidak mau bersikap begitu, tapi mereka harus. Untuk dua setengah jam ke depan kita akan melihat mereka berdua – yang untuk sementara ini bukan polisi – mengambil tindakan dan keputusan yang bukan saja bertentangan dengan nurani kita, tapi juga bertentangan dengan nurani mereka sendiri.

Ditembak pistol kini bukan apa-apa jika dibandingkan dengan ditembak oleh kamera media

 

Untuk alasan tersebutlah, film dengan tokoh menarik ini jadi sukar untuk ditonton. Mengikuti dua polisi bergerak layaknya gangster, mencoba merampok geng bandit lain setelah merampok bank, melewati adegan demi adegan brutal yang datang dan pergi begitu saja meski direkam dengan gaya yang begitu sinematik; kita akan mendapati kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah film ini sedang menggebah kita untuk percaya kekerasan adalah hal yang benar, atau sedang memberikan gambaran sejauh mana seseorang bisa berbuat jika merasa punya alasan untuk menganggap diri superior daripada orang lain.

Sebagai pembanding untuk membantu kita menemukan jawaban buat pertanyaan di atas, film memberikan sepasang tokoh yang paralel dengan perjalanan dua polisi tadi. Henry Johns dan sepupunya, Biscuit. Kita bertemu Johns yang diperankan gemilang oleh Tory Kittles pada adegan pembuka. Ia adalah seorang pemuda kulit hitam yang baru saja keluar dari penjara – alasan dia dipenjara penting dan berkaitan langsung dengan gagasan yang hendak film ini angkat, jadi alasan tersebut dipasang sebagai pengungkapan di menjelang akhir cerita – dan menemukan keluarganya berantakan, nyaris tanpa support ekonomi. Kali lain kita bertemu lagi dengan Johns dan Biscuit, mereka sudah bekerja menjadi supir untuk gerombolan bandit perampok bank yang sedang dibuntuti oleh Ridgeman dan Lurasetti. Johns dan Biscuit punya agenda yang sama dengan Ridgeman dan Lurasetti; merampok dari perampok. Mereka berdua juga terbebani oleh status ras dan keadaan sosial. Tidak jauh-jauh kita bisa menyimpulkan Johns dan Biscuit susah mendapatkan pekerjaan yang bener karena warna kulit mereka. Film malah dengan ironisnya menunjukkan untuk membantu kelancaran perampokan, Johns tidak cukup dengan hanya menyamar pakai seragam security, dia juga harus membedaki kulitnya hingga menjadi putih.

Dragged Across Concrete membuat kita melihat bahwa tidak ada benar-salah yang hitam-putih di dunia. Khususnya, hitam-putih tersebut tidak serta merta diwakili oleh orang kulit hitam dan orang kulit putih. Kedua pihak sama-sama melakukan, kedua pihak sama-sama dirugikan. Dan tidak membantu jika media malah membesar-besarkan ketakutan dengan menunjuk-nunjuk siapa yang mana.

 

Jika mencari pihak yang dipersalahkan, jelas sekali film mengacungkan telunjuknya ke hadapan media. Yang memping-pong isu rasisme ke sana kemari. Hanya untuk tujuan ‘cari cerita’ tanpa benar-benar berniat mencari pemecahan masalah. Gampang untuk membingkai kulit hitam sebagai korban, dan kulit putih sebagai pelaku. Mengaitkan semuanya dengan masalah minoritas dan mayoritas. Tapi eksplorasi terus-menerus terhadap hal tersebut justru memperbesar prasangka yang ada. Dalam film ini kita melihat pengaruh media terhadap Ridgeman; justru dialah ternyata yang paling takut. Padahal Ridgeman adalah mayoritas yang berjuang di ranah menegakkan keadilan bagi yang tertindas, yang selalu dipatri dari minoritas. Dan kalian harus melihat bagaimana film ini memperlakukan tokoh-tokoh wanita. Mereka semua punya pekerjaan. Namun film seperti ingin mengarikaturkan pandangan media tentang kelas sosial; putih – hitam – dan wanita. Satu kali mereka bisa sejajar dengan pria ternyata ada pada harapan tokoh Lurasetti yang punya pacar wanita kulit hitam.

Dan itu tak lebih dari sekedar fantasi yang batal terwujud.

 

Dengan durasi yang begitu panjang, sesungguhnya ada banyak bagian yang mestinya bisa dibuang karena tidak benar-benar menjalin narasi. Aku akan bilang begitu jika saja film ini dibuat sebagai film-laga normal. Banyak adegan-adegan yang tampak tak penting seperti menit-menit yang didekasikan untuk memperlihatkan Vince Vaughn makan sandwich, ataupun di sekitar pertengahan film beralih sudut pandang gitu aja ke seorang wanita pegawai bank yang berat hati kembali bekerja dan meninggalkan anaknya di rumah. Yang bisa dengan gampang dicut dan sama sekali tidak mengubah gagasan cerita atau merusak karakter tokohnya. Tapi kita tahu ini bukan film-laga yang biasa. Menit-menit ekstra itu adalah keputusan-kreatif beresiko yang diambil oleh film. Menonton ini membuatku teringat pada Pulp Fiction (1994)-nya Quentin Tarantino. Pulp Fiction juga banyak adegan-adegan ekstra, tapi lantaran diceritakan dengan struktur yang unik, justru menjadi gaya bercerita yang asik. Dragged Across Concrete bisa mencapai hal yang seperti itu jika strukturnya dipecah dan dibangun kembali. Sutradara Zahler tetap bercerita linear, sehingga semuanya menguatkan ilusi realis yang ingin dibangun. Ketidaknyamanan gabungan dari durasi, kekerasan, dan dialog, menjadi poin vokal yang tidak mungkin dihilangkan oleh film ini.

Tidak ada golongan yang lebih baik, semuanya punya cela. Itulah yang membuat manusia menjadi menarik dan berjuang ke arah yang lebih baik. Jangan berpaling dari semua itu. 

 

 

 

Dihidupkan oleh penampilan akting yang luar biasa. Namun sesungguhnya bagian terbaik film ini adalah ketika dia menjadi yang terburuk dari semua orang. Rasis, kasar, semena-mena, keputusan yang salah, film mengajak setiap manusia yang meluangkan waktu menontonnya untuk berani menghadapi realita. Film memang ingin membuat kita takut. Jijik. Kasihan. Karena sudah sepatutnya kita merasa persis seperti demikian terhadap kehidupan sosial kita sekarang. Berhenti merasa jadi pahlawan jika hanya melihat satu sisi dan berpaling dari sisi yang paling buruk. Sebagian besar yang dikatakan oleh film, oleh tokoh-tokohnya, aku pun tidak setuju. Tapi aku juga tidak bisa berpaling ke arah lain, dan melihat hal lain dan merasa lebih baik padahal yang kulihat sebenarnya adalah hal yang serupa. Jika realita yang ingin kalian lihat, maka setidaknya jadikan film ini sebagai latihan terlebih dahulu.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for DRAGGED ACROSS CONCRETE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Jadi apakah yang sebenarnya rasis itu adalah media yang selalu memfokuskan kepada golongan ras pelaku dan golongan ras korban?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.