Clash of Champions 2019 Review

 

Sabuk kejuaraan adalah medali bagi para superstar WWE. Meskipun acara ini memang sudah diatur, namun memegang titel juara tetaplah sebuah hal yang prestigius karena tidak sembarang superstar pantas untuk dijadikan ‘juara’. Mereka haruslah yang paling kuat. Dalam artian bukan saja harus paling jago bergulat, melainkan juga paling konek ke penonton, yang paling menjual; terutama yang paling bisa diandalkan oleh perusahaan. Makanya sabuk kejuaraan menjadi sakral. Hanya sedikit yang pantas memegangnya. Ia menjadi simbol yang diperebutkan oleh para superstar. Sesuatu yang dikejar supaya setiap pertandingan kejuaraan punya arti. Apalah gulat profesional tanpa drama dan sabuk sebagai pialanya. Sabuk menambah intensitas dan kepentingan dari pertandingan.

Namun baru-baru ini Jim Ross, mantan komentator WWE – sekarang bekerja untuk promotor gulat sebelah – mengkritik WWE telah mendevaluasi makna sabuk kejuaraan. Dengan mengeluarkan sabuk terbaru, 24/7 Championship, pada bulan Mei 2019 yang lalu WWE dianggap Ross terlalu banyak mengedarkan sabuk juara. Sehingga lebih seperti supaya semua orang bisa dapat giliran jadi juara, mengurangi nilai kompetisi. Karena beberapa malah hanya jadi pajangan gimmick semata. Mari kita absen sabuk-sabuk yang ada di main roster WWE sekarang ini; WWE, Universal, Intercontinental, United States, Raw Tag Team, Smackdown Tag Team, Raw Women’s, Smackdown Women’s, Women’s Tag Team, dan 24/7. Oh ya, juga ada Cruiserweight yang kadang ditandingkan di pay-per-view. Totalnya ada sebelas. Dan itu memang jumlah yang tidak sedikit. Jim Ross punya poin yang cukup valid mengingat dia sudah malang melintang di dunia gulat profesional dan mengetahui langsung dulu sabuk paling banyak hanya sekitar tiga atau empat.

Jumlah sabuk sebenarnya bukan masalah utama. Karena poinnya adalah pada ratio – tergantung pada banyaknya jumlah superstar yang in-contention untuk setiap kejuaraan. Masing-masing divisi perlu sabuk untuk membuat kompetisi mereka lebih urgen. Jadi masalahnya sebenarnya adalah pada pembagian kontendernya. Pada sejauh mana WWE membuat sabuk-sabuk tersebut memiliki cakupan yang terarah dan membantu semua superstar mereka, bukan hanya sebagian. NXT misalnya, mereka punya sabuk sendiri untuk mengakomodasi para superstar mereka. WWE tahun 2000an juga begitu, masing-masing brand punya sabuk yang paralel sehingga setiap brand punya arahan yang sama terhadap pembagian superstar. WWE masa sekarang, juga membagi superstar yang jumlahnya banyak ke dalam dua brand. Namun penerapannya enggak jelas berkat Wild Card rule yang memperbolehkan superstar Raw ‘berkunjung’ ke Smackdown, menantang juara di sana, dan sebaliknya. Sabuk-sabuk khusus brand akibatnya jadi kehilangan makna; apa bedanya tag team raw dengan tag team smackdown. Kontendernya tim yang itu-itu melulu.

WWE dalam acara Clash of Champions 2019 berusaha untuk membuktikan kritikan Jim Ross dan yang sepakat dengannya sebagai suatu dugaan yang enggak sepenuhnya benar. Mereka berusaha untuk memanfaatkan Wild Card, menginkorporasikannya ke dalam narasi yang lebih seru tentang perebutan gelar. Dan menegaskan bahwa bukan semata sabuk yang membentuk seorang superstar, superstar. Melainkan superstarnya juga turut andil memberikan prestise kepada sabuk.

 

Sami Zayn harusnya nulis review betapa toxicnya sabuk bagi para superstar

 

 

That stupid Wild Card rule memang akhirnya membawa sisi positif. Saat menyaksikan video promo sebelum pertandingan Bayley melawan Charlotte, aku sadar bahwa storyline mereka tidak akan bisa jadi seimpactful yang kita dapatkan ini jika tidak ada Wild Card-Wild Cardan. Karena cerita Bayley dan Charlotte adalah bagian dari cerita Sasha Banks dan Becky Lynch, yang membentuk cerita besar tentang perseteruan dalam kelompok Four Horsewomen. Bayley dan Charlotte ada di Smackdown, sedangkan Sasha dan Lynch ada di Raw. Tanpa Wild Card, masing-masing mereka tidak akan ketemu dan build-up match tidak akan seheboh ini. Karena kunci dari storyline mereka adalah soal Bayley yang merasa diovershadow oleh tiga teman-dari-NXT, dan adegan paling pentingnya adalah ketika Bayley datang menginterupsi Sasha yang menyerang Lynch, dan ternyata juga ikutan ‘jahat’ menyerang Lynch. Wild Card rule memungkinkan Bayley dari Smackdown datang ke Raw. Dari momen inilah, storyline mereka berjalan dengan pengembangkan karakter Bayley sebagai fokus utama.

Bayley punya karakter yang paling menarik sekarang.  Dia adalah personifikasi dari ambiguitas heel dan babyface yang selama ini tampak diincar oleh penulis WWE. Bayley yang warna-warni berubah menjadi representasi abu-abunya dunia. Dalam matchnya melawan Charlotte di acara ini kita melihat Bayley semacam delusional. Dia masih menganggap dirinya pahlawan karena dia loyal dan berani berjuang untuk membuktikan diri. Dia tidak bisa melihat dirinya sudah berbuat curang demi hal itu. Bayley masih menyangka dirinya pahlawan di mata anak-anak, tapi perbuatannya tak bisa ditiru. Kita dibuat masih pengen ngecheer Bayley – terutama karena dia melawan Charlotte. See, semua anggota Four Horsewomen sebenarnya memainkan karakter yang sangat konflik dengan reaksi kita merespon mereka. Charlotte adalah yang paling berprestasi, dan secara teknik juga paling jago. Tapi kita seperti diset untuk membenci dia karena segala privilege yang ia dapatkan sebagai anak dari seorang legenda. Becky Lynch adalah opposite dari Bayley; Lynch adalah antihero yang meskipun kasar dan keras, dia punya tujuan yang baik, yang bisa kita dukung. Terakhir adalah Sasha Banks yang sikapnya total nyebelin. Dalam match melawan Lynch di acara ini, jurus curang Eddie Guerrero yang menghasilkan perasaan yang sangat berbeda ketika kita melihatnya digunakan oleh Sasha.

Semua itu mengumpul kepada karakter Bayley. Juara yang seperti tak dianggap. Penantangnya lebih kuat darinya. Sesama juara lebih populer dari dirinya. Yang baru balik saja instantly jadi pusat perhatian karena nunjukin warna aslinya. Dan mereka semua itu adalah sahabat lama Bayley. Jadi dia merasa butuh untuk membuktikan diri, Bayley harus percaya dulu bahwa dia pahlawan – di atas mereka semua, role model kepada kita semua, dan ini membuat Bayley gak segan untuk melakukan semua cara. Loyalnya kepada Sasha bahkan tidak tampak lulus lagi. Karakter Bayley jadi sangat kompleks. Dia mengajarkan untuk membuktikan sendiri sementara, kita gravitate towards her karena perasaan enggak mau jadi yang paling lemah di antara teman-teman adalah perasaan yang relatable, tapi kita tahu dia seharusnya di-boo. Ending match di mana Bayley curang dan kabur dari ring benar-benar menambah banyak untuk build up psikologi tokoh ini. Dan aku sangat tertarik untuk melihat kelanjutan cerita Bayley dan Four Horsewomen ini.

Pertandingan yang melibatkan Four Horsewomen dalam Night of Champions semuanya belum ada yang konklusif. Untuk Sasha melawan Lynch, pertandingannya sangat awesome. kedua cewek ini tampak benar-benar saling pengen menyakiti. Beda sama Randy Orton lawan Kofi Kingston yang gak bergairah, lamban, sehingga terasa sangat panjang membosankan. Lynch lawan Sasha memainkan skenario yang kreatif untuk membuild up api pertempuran di antara mereka. Wasit dibuat jadi korban, sehingga Lynch dan Sasha lantas ‘jalan-jalan’ sampai ke backstage. Saling menyakiti. Membuat mereka tampak tak terkontrol sehingga pertandingan yang udah kayak perang itu berakhir diskualifikasi. Ini bukan akhir gantung yang annoying. Ini adalah akhir sempurna yang mengarahkan kita ke pemahaman keduanya harus dikurung (ehm.. ehemm.. pay-per-view berikutnya adalah Hell in a Cell). Malah ini mengingatkanku pada pertandingan fenomenal antara Stone Cold dengan Kurt Angle pada SummerSlam 2001 yang juga brutal dan berakhir dengan DQ.

mereka kena potong gaji gak ya udah jadiin kamera mahal sebagai senjata?

 

Selain Four Horsewomen, WWE secara lowkey menghighlight mantan anggota Wyat Family. Kita melihat akhir cerita “Siapa Penyerang Roman Reigns” yang ternyata berujung kepada kembalinya Luke Harper membantu Rowan. Oh ya, juga kembalinya nama depan Eric kepada Rowan. Mungkin mereka merasa aneh jika nyebut Roman versus Rowan thok sehingga nama Rowan dikembalikan lengkap menjadi Eric Rowan hihihi.. Di partai lain kita juga melihat Braun Strowman berkompetisi sebagai tag team sekaligus sebagai penantang dari rekan tag temannya (he broke record ‘first time in history’ by the way!) Strowman, bersama Seth Rollins, menjadi pembuka dan penutup acara. Dan Strowman practically mengovershadow Rollins yang tampil bland sebagai juara tertinggi. Penonton bersorak ketika Strowman terbang dari top-rope, dan nge-boo ketika Rollins menyerang Strowman dengan Curb Stomp untuk yang ketiga kalinya. Rollins adalah superstar yang hebat, jurusnya keren-keren, tapi dia seperti hampa sebagai juara karena pertandingannya sejauh ini menggunakan metoda yang sama, dengan lawan yang juga selalu lebih besar darinya. Dia perlu mendapat perlakukan yang berbeda. Seperti The Revival yang mengklasikkan kembali pertandingan tag team, saat mereka melawan New Day di paruh awal acara. Akhir match mereka adalah salah satu yang wajib dilihat dalam acara ini. Atau seperti Alexa Bliss yang kembali ke attire Harley Quinn dan mengreinvent cara bertarungnya menjadi lebih bersahabat. Di samping pertandingan tag team pembuka, dua tag team match ini memang asik untuk dilihat karena bercerita dengan baik, sesuai dengan konteks storyline masing-masing.

Seth Rollins seperti tidak dapat bernapas lega karena di penghujung acara pentolan Wyatt Family numero uno; Bray Wyatt himself muncul ‘mengucapkan salam’ kepadanya. Ini satu lagi yang momen yang wajib kalian saksikan sendiri karena feeling yang disampaikan sangat kuat.

 

 

Clash of Champions penuh oleh momen-momen keren. Bahkan pertandingannya pun lebih seperti bagian dari momen ketimbang suatu konklusi. Menjadikan acara ini tidak sekuat acara sebelumnya. Untungnya dikemas dengan cukup baik. Pertandingan-pertandingannya punya hubungan antara satu sama lain, sebagai usaha WWE untuk menunjukkan roster mereka punya kedalaman dan immersive, kaitannya dengan pembelaan terhadap tuduhan mereka punya terlalu banyak sabuk kejuaraan. Dua match yang boring buatku, yakni Roman/Rowan dan Orton/Kingston yang terasa terlalu panjang dan tidak sebesar yang diharapkan oleh WWE (mengingat posisi mereka yang so late in the card). Untuk MATCH OF THE NIGHT, Palace of Wisdom menobatkannya kepada Becky Lynch melawan Sasha Banks.

 

 

Full Results:
1. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Dolph Ziggler dan Robert Roode juara baru ngalahin Braun Strowman dan Seth Rollins
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan dari Charlotte 
3. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Revival going old school defeating The New Day
4. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP Alexa Bliss dan Nikki Cross tetap juara mengalahkan Fire and Desire
5. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Shinsuke Nakamura dibantu Samy Zayn bertahan atas The Miz
6. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara bertahan Becky Lynch mengdiskualifikasi dirinya melawan Sasha Banks
7. WWE CHAMPIONSHIP Kofi Kingston masih juara mengalahkan Randy Orton
8. NO DISQUALIFICATION Eric Rowan menghajar Roman Reigns
9. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins mempertahankan sabuk dari Braun Strowman

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

HAUNT Review

Being scared means you’re about to do something really, really brave.

 

 

Menjalin hubungan itu mengerikan. Kalian tau perasaan ketika kita merasa berbuat sesuatu yang bodoh di depan pasangan dan menyangka semua bakal kacau padahal kita mau sesuatu yang spesial dan tak ingin sendirian lagi? Perut seperti berjumpalitan jatuh, atau keringat dingin menerpa? Nah, perasaan seperti itu juga sama dirasakan saat mau masuk ke rumah hantu. Jika relationship normal saja bisa seseram itu, maka bayangkan rasa takut yang menjalar di dalam diri seorang Harper (cuma Katie Stevens yang beruntung dapat tokoh yang paling ‘berdaging’ di film ini). Yang terjebak dalam hubungan bersama pacar yang abusive. Enggak ada yang fun soal abuse. Harper sudah tidak asing dengan melarikan diri dari itu, lantaran si abuse ini memang cenderung mengejar, menghantui korban-korbannya. Malam Halloween sekarang, Harper memutuskan untuk ikut ‘ngacir’ bersama teman-temannya. Mereka mengunjungi sebuah wahana rumah hantu untuk bersenang-senang. Just like in relationship; kalian melangkah masuk ketakutan tapi begitu sudah di dalam, kalian akan bersenang-senang. Sayangnya, rumah hantu yang Harper dan teman-teman masuki persis kayak abusive relationship si Harper. Membuat mereka terjebak. Para kru rumah hantu tersebut menggunakan kekerasan yang teramat nyata.

Haunt yang digarap oleh Scott Beck dan Bryan Woods (baca: penulis A Quiet Place yang tayang tahun 2018) dimulai seperti horor remaja kebanyakan; dengan keputusan buruk yang dibuat oleh anak muda. Tapi cerita film ini punya fondasi yang kuat, yang membuatnya megah dibandingkan film bunuh-bunuhan serupa. Film ini tidak sekadar mengagetkan kita dengan petualangan di rumah hantu. Ada perkembangan tokoh di sini. Ada perjuangan seorang manusia dalam mengatasi ketakutan personalnya. Rumah hantu dijadikan simbol  dari sumber ketakutan yang harus diatasi oleh tokoh utama. Mirip seperti Crawl (2019) yang menjadikan buaya sebagai cambuk motivasi tokohnya. Haunt dan Crawl bisa dibilang adalah contoh horor efektif, yang sederhana, yang simpel dan tak berniat sok pintar dengan segala twist yang gak perlu.

satu-satunya yang ngetwist di sini adalah perut kita

 

Backstory Harper disulam dengan sangat rapih ke dalam petualangan survival di rumah hantu, sehingga tidak sedikitpun pace film ini tersendat. Masalah masalalu sang tokoh utama tidak lantas menjadikan film ini seperti berhenti, ataupun masalah tersebut tidak terasa seperti tambalan semata. Semua yang terjadi pada Harper paralel dengan masalah yang sedang ingin ia hindari. Yang untuk bercerita tentang itu saja, Harper tidak berani. Dengan fondasi backstory yang kuat ini, kita jadi peduli sama Harper. Kita berjinjit mendukungnya untuk bisa keluar hidup-hidup dari rumah hantu sinting tersebut. Film juga punya nyali untuk menuntaskan masalah yang jadi latar belakang Harper. Kita mendapat ending yang memuaskan. Tentu saja tak ketinggalan ‘kalimat pamungkas’ yang diucapkan oleh si tokoh sebagai penghabisan seperti pada horor-horor klasik. Sesuatu yang bisa kita cheer dengan penuh nada kemenangan.

Semua orang punya cerita seram. Karena setiap orang pernah mengalami suatu hal buruk yang ingin diitinggalkan. Tapi trauma akan selalu menemukan cara untuk menakutimu. Kita tidak bisa memakaikan topeng kepada trauma. Kita tidak bisa membuat sesuatu yang menakutkan menjadi menyenangkan, yang menyakitkan menjadi menyejukkan. Dalam Haunt, Harper belajar bahwa takut berarti kesempatan untuk menunjukkan keberanian. Dan memang itulah pelajaran berharga dari rumah hantu; mengajarkan untuk menjadi berani. 

 

Selain Harper, tidak ada lagi tokoh yang ditulis padet dan berisi. Tapi film sangat bijak untuk tidak membuat mereka annoying, ataupun membuat kita pengen mereka cepat-cepat mati. Teman-teman Harper misalnya, memang sih mereka ditulis sebagai trope horor saja – mereka seperti tidak punya motivasi sendiri. Kita tidak benar-benar merasa kasihan jika salah satu dari mereka mati. Jikapun kita ingin ada yang selamat, itu supaya mereka bisa terus membantu Harper. Tapi  mereka tidak bego. Mereka kerap membuat keputusan yang menunjukkan perlawanan terhadap rumah hantu. Mereka berpikir, cukup resourceful. Bahkan di paruh pertama, narasi maju bukan karena Harper seorang, melainkan karena keputusan yang mereka buat bersama. Aku suka cara film mengantarkan kita ke titik no return; yakni dengan memperlihatkan para tokoh beneran pengen balik melewati jalan yang sudah mereka lalui. Efek emosional ketika mengetahui mereka tidak bisa balik lagi benar-benar terasa kuat, intensitas langsung naik, seakan kita ikut berpartisipasi dalam ketakutan mereka. Hanya ada satu masalah yang cukup besar buatku mengenai majunya narasi terkait pilihan tokoh-tokoh ini. Ada satu keputusan bego (banget) yang dibuat oleh tokohnya – aku gak mau spoiler banget tapi ini cluenya: terkait urutan keluar dari lorong kecil. Aneh juga, dengan arahan yang tight seperti begini, masih ada juga adegan yang konyol. Mereka harusnya lebih berhati-hati menulis adegan tersebut.

Hanya satu itu yang menggangguku. Suwer. Selebihnya, film ini terasa sangat menghibur. Tegangnya dapet, karena film sangat cakap menguasi editing dan pemakaian suara. Perasaan terkurung di dalam lorong rumah hantu itu dapat kita rasakan berkat suara-suara yang tidak berlebihan dan timing yang pas. Film tahu kapan harus menggunakan suara latar yang sangat kecil seperti decitan kayu atau desau angin pada terpal dan kapan waktunya digunakan suara yang cukup keras. Kamera pun bijaksana merekam dan menge-cut adegan demi adegan dengan presisi sehingga kita tak pernah ketinggalan sekaligus tak tahu terlalu banyak. Dan ini menambah kesan misterius yang meningkatkan suspens cerita.

Cara yang sama juga film lakukan terhadap para kru rumah hantu. Kita cukup tahu mereka semua orang gila yang haus darah, yang membuat wahana supaya bisa menyiksa anak-anak muda yang hanya pengen merayakan halloween. Kita cukup tahu mereka semua memang lebih baik pakai topeng saja; film tampaknya bermain-main dengan candaan lama “lebih serem aslinya daripada topengnya”. Kita cukup tahu mereka semua semacam kelompok sesat. Dan bijaksananya film adalah kita hanya dicukupkan untuk tahu semua itu saja. Cerita tidak dibuat ribet dengan membahas kenapa lebih lanjut. Karena fokus narasi toh bukan pada mereka-mereka ini. Lagipula mengetahui dari mana mereka dapat duit membangun rumah hantu, misalnya, akan mengurangi kemisteriusan sehingga mungkin kita tak akan menjadi takut lagi kepada mereka.

seolah kita masih butuh diingatkan betapa seramnya seorang badut

 

Rumah hantu adalah wahana favoritku. Ada masa ketika aku rela pulang pergi Bandung-Jakarta hanya untuk nyobain rumah hantu. Sekarang sudah jarang, karena mulai tergantikan dengan ‘escape room’ semacam Pandora. Tema rumah hantu dan escape room menarik dan kreatif, hanya saja sering terlalu gelap sehingga membuatnya setnya enggak kelihatan. Nonton Haunt ini aku seakan mendapat moment “I told you so!” lantaran rumah hantu dalam film ini terang benderang. Dan tidak mengurangi keseramannya. Jadi, ya aku mau nyelipin kritik buat wahana rumah hantu dan semacamnya di Indonesia; cobalah sekali-kali jangan terlalu gelap. Tontonlah Haunt. Set film ini begitu menakjubkan, sehingga aku merasa pengen ikut masuk menjelajah rumah hantunya. Jenis-jenis trik yang diperlihatkan sangat beragam. Teka-teki sederhana yang dihadirkan dalam satu ruangan bisa membuat malu seantero film Escape Room yang tayang awal tahun 2019 ini. In fact, semua aspek film Haunt akan membuat malu film Escape Room. Haunt membuat semuanya tampak manusiawi, tampak plausible, tampak beralasan, sementara Escape Room terlihat sok kece dengan tokoh-tokoh standar yang nyebelin. Aku bahkan ilang selera untuk ngereview setelah nonton. Tidak seperti Haunt yang bikin semangat untuk menuliskannya.

 

 

Untuk sebuah horor tentang rumah hantu dengan tokoh-tokoh anak muda, film ini amat sangat menghibur, dengan fondasi cerita yang kuat. Jarang ada pembuat film yang seserius dan seniat ini, yang tidak menganggap remeh target penontonnya. Film ini tidak dibuat receh dan konyol. Melainkan punya isi. Membuatnya semakin bisa dinikmati. Menakutkan, menghibur. Setelah semua darah, kekerasan, senang sekali melihat sesuatu yang masih punya hati.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HAUNT.

 

LORONG Review

“Mom knows best”

 

 

Apapun situasinya, kata-kata ibu seringkali benar pada akhirnya. Mungkin karena beliau adalah sata-satunya wanita yang mengenal kita lebih lama daripada siapapun, atau mungkin karena kita hidup sembilan bulan di dalam perutnya, ibu selalu punya cara untuk membuktikan dia benar-benar benar dalam hal melindungi dan mengkhawatirkan kita. Film horor Lorong garapan Hestu Saputra memperlihatkan kepada kita sekuat apa naluri keibuan seorang wanita jika sudah menyangkut keselamatan buah hatinya.

Bukannya bermaksud spoiler loh. Dengan menggunakan pendekatan dramatic irony dalam bercerita, sedari bagian awal film sudah memberitahu kita bahwa firasat Mayang (Prisia Nasution berhasil membuat tokohnya simpatik dan enggak annoying) soal bayinya yang baru lahir bukanlah ‘firasat’ at all. Bahwa ada sesuatu yang ganjil terjadi di rumah sakit tempat ia bersalin. Kita sebagai penonton sudah ditanamkan untuk percaya kepada Mayang alih-alih ke suster-suster rumah sakit. Sehingga di awal-awal – kurang lebih babak satu dan babak dua, aku enjoy menonton ceritanya. Kupikir tidak bakal ada twist “wah ternyata Mayang benar!” karena gak semua cerita horor harus ada twist. I just excited dan cukup terinvest untuk pengen mengetahui ke arah mana cerita ini akan berlabuh. Di titik mana komponen utama; Mayang, seorang pria petugas janitor yang mencuri dari dokter-dokter, dan para staff rumah sakit akhirnya bertemu.

sepertinya semua berakar dari ‘wanita selalu benar’

 

Film ini seperti berganti genre tiga kali. Dalam babak set up, horornya terasa psikologikal. Adegan pembuka saja benar-benar kuat dari sudut pandang Mayang, ibu hamil yang sedang dalam prosesi persalinan. Ketakutan seorang wanita terpancar sekali dari ekspresi Mayang yang sendirinya dalam fase off oleh pengaruh obat bius. Kekhawatiran akan keselamatan bayi. Kengerian berada dalam posisi tak berdaya, sembari melihat sejumlah orang dengan alat-alat bersalin, menengadah menatap lampu yang menyilaukan. Tambahkan konteks; ini adalah hamil pertama Mayang, dan dia sudah berbuat banyak untuk menyambut anak pertamanya. Dalam sebuah flashback, kita diberitahu Mayang sampai mempersiapkan dua dekorasi untuk mengantisipasi bayi yang lahir cowok atau cewek. Motivasi dan ketakutan terbesar Mayang sudah terlandaskan dengan kuat pada sepuluh menit pertama. Bersamaan dengan hilangnya kesadaran Mayang, kita juga di-cut dari adegan persalinan dan bertemu kembali dengan Mayang  di ranjang rumah sakit. Tanpa anak bayi di sisinya. Mayang bersikukuh kepada semua orang; kepada suaminya, kepada para suster, kepada siapa saja bahwa anaknya masih hidup.

Cerita mulai mengingatkan pada Rosemary’s Baby (1968) pada bagian tokoh utamanya mulai yakin ada konspirasi penghuni apartemen terhadap ia dan bayinya. Sama seperti Mayang yang terus menerus menelurusi lorong-lorong rumah sakit mencari bayinya yang disebut sudah meninggal (dikuburkan langsung oleh sang suami). Menyaksikan dan mendengar hal-hal yang mencurigakan. Kita bahkan melihat lebih banyak daripada Mayang. Kadang kita dibawa mengikuti suster atau si janitor. Dan juga ada hantu yang terus mengikuti ke mana Mayang pergi, mencoba memberi tahu sesuatu kepada dirinya. Film seharusnya mengeksplorasi setiap sudut pandang cerita dengan lebih dalam, karena di titik ini ceritanya sudah less-psychological. Film butuh untuk mengembangkan rumah sakit sebagai set yang bernyawa – sebagai dunia yang punya cerita sendiri sebab misteri yang disajikan sudah membesar.

Alih-alih, film malah menyandarkan diri pada kemunculan hantu. Padahal sebenarnya justru si hantu inilah salah satu yang enggak diperlukan. Film bisa bekerja dengan sama baiknya jika hantu tidak ada. Karena horor sebenarnya datang dari ketakutan Mayang akan bayinya. Bukan dari penampakan hantu. Malahan, si hantu justru lebih sering muncul dan terlihat oleh kita, dibandingkan oleh Mayang. Sehingga membuat kita dan Mayang kadang tidak sejalan; Kita takut sama hantu, sedangkan Mayang takut sama nasib bayinya. Inilah masalah pertama yang kurasakan saat menonton Lorong. Masalah yang berbuntut panjang. Mereka seharusnya menyiapkan waktu lebih banyak untuk pembangunan dunia terkait dengan misteri apa yang sebenarnya terjadi. Banyak yang harusnya dikembangkan; si janitor, si suami, rumah sakit, bahkan si Mayang sendiri. Since film memutuskan untuk banyak memakai flashback dan dream sequence (yang terkadang dua ini digabungkan), alangkah lebih baiknya jika momen-momen flashback itu digunakan untuk pengembangkan karakter Mayang pada kehidupan normal. Supaya memperdalam lapisan karakternya. Karena sepanjang film ini kita hanya melihat dia tertatih-tatih kebingungan dan kesakitan di rumah sakit, panik mencari bayinya. Kita tidak pernah melihat dia lebih dalam sebagai seorang wanita. Kenapa dia pengen punya anak, misalnya. Kenapa kita harus percaya dia bakal jadi ibu yang baik, sehingga nalurinya juga bisa dipercaya.

Sepertinya memang tidak ada penjelasan kenapa ibu bisa tahu segala yang terbaik untuk anak. Film memperlihatkan koneksi spontan antara Mayang dengan bayinya; meski dalam keadaan terbius dia tahu bayinya ada di sana. Jika di dunia ini memang ada sihir, maka hubungan ibu dengan anaknya bisa jadi adalah contohnya.

 

Tapi film seperti enggak pede jika tidak ada hantu. Aku bisa membayangkan saat pitch cerita, PH meminta untuk menambahkan hantu lantaran menganggap penonton hanya akan menonton hantu-hantuan belaka. Karena memang si hantu dalam Lorong ini seperti tambalan saja. Tambalan tapi sering. Jadi filmnya kayak kain buntelan gelandangan di kartun-kartun jaman dulu. Film seperti tidak mengerti bahwa horor kejiwaan dan manusiawi itu sebenarnya lebih mengerikan daripada sosok mengerikan dan ritual berdarah. Sehingga film memilih sebuah keputusan yang amat, sangat, murahan dan sesedikit sekali logika untuk mengakhiri cerita. Persis seperti kesalahan yang dilakukan oleh Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018). Semua hal menjadi sangat over-the-top setelah pengungkapan di babak akhir. Ada satu tokoh yang kalem, ternyata jadi menggelinjang sok-gila. Cerita horor psikologis dan thriller konspirasi itu ditarik ke alam baka oleh penjelasan tentang cult yang maksa, hanya untuk mengecoh penonton. Bayangkan Rosemary’s Baby yang berakhir dengan babak ketiga Suspiria (2019). Enggak cocok.

siapkan dirimu untuk siluman harimau random yang bisa terbang menerkam

 

Dan plot Mayang menjadi semakin aneh karena kejutan di babak terakhir film tersebut. Jika memang benar naluri ibu selalu benar, maka kenapa dia masih bisa ditipu oleh orang terdekatnya? Ini literally musuh dalam selimut hahaha.. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh film dengan memasukkan sekte dan ritual yang berlangsung di balik tembok steril rumah sakit? Kenapa ceritanya berubah drastis menjadi manusia yang pengen kesembuhan dan meminta kepada sosok yang salah karena mereka ‘dicuekin’ oleh pengobatan yang sah?

Penanaman yang dilakukan oleh film hanya supaya twist ini enggak mengada-ada. Untuk pemakluman belaka. Seperti misalnya; aku sempat merasa aneh juga rumah sakit yang punya CCTV tapi masih kesulitan mencari Mayang yang jalannya aja belum lurus. Punya CCTV tapi si janitor maling tetap sukses menjalankan aksinya. Ataupun soal suami yang tidak mendampingi istrinya melahirkan. Semua alasan itu dijelaskan di akhir, sehingga seolah twistnya make sense dan dipikirkan dengan matang. Padahal bukan sebatas itu yang kita butuhkan. Kita butuh untuk diyakinkan kenapa pelakunya melakukan hal tersebut. Motivasi mendalam seperti demikian yang tidak pernah ditanamkan. Hubungan sebab akibat dan aturan main ritual. Kenapa musti bayi Mayang, padahal ada banyak bayi di rumah sakit itu. Kondisi seperti apa yang dibutuhkan. Twist di Suspiria bekerja dengan baik karena diperlihatkan aturan kerja si institusi jahat – ada subteks soal matriarki dan kekuasaan yang membayangi, yang jadi konflik buat tokoh utamanya. Ending Rosemary’s Baby terasa begitu kuat lantaran kita mengerti konflik tokoh utama seputar kecenderungannya lebih mementingkan orang lain. Dalam Lorong, twistnya hanya sebatas di kejadian dan endingnya pun tidak mengubah apa-apa terhadap Mayang.

 

 

 

Kebanyakan horor yang benar-benar bagus memang mengangkat psikologi dan kerapuhan seorang manusia terhadap hal yang ia cintai. Horor yang baik sejatinya adalah drama dari hal-hal yang ditakuti manusia. Takut kehilangan anak, misalnya. Film ini punya bahan-bahan yang tertulis dalam resep horor yang bagus. Tokoh utamanya adalah seorang wanita, seorang ibu. In line dengan horor modern seperti Hereditary (2018), The Babadook (2014), Bird Box (2018), The Prodigy (2019), Us (2019). Tetapi film Hestu Saputra ini gagal menjadi sebesar mereka lantaran tidak konsisten dalam menetapkan dirinya. Tidak satupun dari film-film itu yang menggantungkan diri pada twist over-the-top, tidak satupun yang menggunakan hantu hanya untuk mengageti penonton. Sebuah penceritaan butuh konsistensi dan berani untuk mengembangkan drama karakternya. Film ini terlalu takut untuk itu semua.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LORONG.

 

 

THE DEAD DON’T DIE Review

“Know when your time is up”

 

 

Lihatlah betapa banyak nama-nama beken terpampang di poster. Mereka semua memainkan peran yang berbeda-beda, tapi sesungguhnya dalam The Dead Don’t Die ini mereka semua menjadi zombie. Now, mungkin kalian udah ngambek dan mengira aku membocorkan cerita. Tapi enggak. ‘Menjadi zombie’ yang kumaksud – meskipun ada beberapa yang beneran jadi zombie – tepatnya adalah para tokoh yang dimainkan oleh aktor-aktor tampak seperti zombie semua. Tak berjiwa. Dan lucunya, justru terkadang hal tersebut yang menjadi kekuatan horor komedi yang satir ini.

Para tokoh tinggal di kota kecil bernama Centerville. Suasananya kurang lebih mirip kota Twin Peaks dalam serial buatan David Lynch. Penduduknya saling mengenal satu sama lain. Mereka semua sudah hidup di sana sejak kecil. Setiap peran dengan tepat dipasangkan kepada ciri khas para aktor; Tilda Swinton memainkan pendatang aneh yang jago pedang, dia bekerja sebagai perias mayat. Steve Buscemi sebagai si kasar rasis yang kalo ngomong bisa gak berhenti. Yang paling cocok tentu saja adalah Bill Murray dan Adam Driver yang dipasangkan sebagai rekanan polisi; komedi deadpan mereka benar-benar memberi nyawa kepada film. Murray bisa sesederhana kayak membaca naskah, tapi yang ia ucapkan akan terdengar begitu kocak. Apalagi jika sudah ditimpali oleh Driver yang tokohnya di film ini seperti ngebreak the fourth wall but not really. Dunia film ini ramai oleh tokoh-tokoh yang unik. Tak ketinggalan ada ‘orang gila’ yang tinggal menyendiri di hutan untuk melengkapi maraknya tokoh. Mereka semua penting, karena film ini memang lebih tentang interaksi manusia ketimbang aksi. Bahkan ketika intensitas narasi mulai naik, film tetap lempeng memperlihatkan bincang-bincang para tokoh.

Jadi, di kota mereka itu ada fenomena aneh. Satu hari, siangnya lama sekali. Hari berikutnya, giliran malam yang kecepetan turun. Televisi dan radio memberitakan semua itu merupakan pengaruh pergeseran sumbu bumi atau apalah. Petaka yang menyertai kejadian itu adalah munculnya zombie. Atau tepatnya, ‘beberapa’ zombie. Yang bergentayangan di jalanan pada malam hari. Memangsa manusia. Para polisi jagoan utama kita harus berusaha mengamankan kota dari wabah zombie matrelialistis. Ya, zombienya pada matre, karena bukannya meraungkan “braaiiinnns!”, mereka malah meneriakkan benda-benda kesukaan semasa hidup.

“Kopii! Senjaaaa!!”

 

Sutradara Jim Jarmusch terkenal dengan film-film yang teramat subtil. Salah satunya adalah Paterson (2017), film tentang keseharian seorang pembuat puisi, yang juga dibintangi oleh Adam Driver. Paterson mungkin film yang paling sering kusebutin dalam review-review, karena filmnya begitu sederhana tapi mengandung makna yang kompleks. Kayak puisi beneran. Tidak semuanya perlu dikatakan. Makanya pas nonton The Dead Don’t Die ini aku kaget. Meskipun memang lebih banyak ngobrolnya, tapi kenapa film ini blak-blakan sekali. Tidak ada kesubtilan yang menjadi ciri khas pembuatnya.

Zombie-zombie matre itu; sudah bisa kita simpulkan melambangkan kita. Manusia sebenarnya sedang disindir karena hidup sudah seperti zombie. Begitu mengejar duniawi dan materi sehingga dibilang hidup kagak, dibilang mati juga enggak. Film terus mengulang lagu The Dead Don’t Die dari Sturgill Simpsons, yang liriknya mengumandangkan yang mati sebenarnya tidak lebih mati daripada orang yang masih hidup. Tokoh film menyebut para zombie meneriakkan hal yang mereka suka. Dan di akhir film malah ada narasi yang menerangkan simbolisme itu secara terbuka. Nonton film ini akan sangat pointless karena pesan seperti itu sudah sering di film-film zombie. Dan di film ini tokohnya gak ngapa-ngapain selain membuktikan kebenaran dari pesan tersebut. Maka lantas aku bertanya-tanya, apakah pesan yang obvious itu cuma decoy?

Untuk menjawab itu mungkin sebaiknya kita memulai dari sudut pandang cerita. The Dead Don’t Die dengan begitu banyak tokoh memang sering berpindah-pindah sudut pandang. Beberapa ada yang gak-jelas seperti tokohnya Swinton. Ada juga yang gak berbuntut kemana-mana, seperti tiga tokoh remaja di rumah sakit. Tiga tokoh ini tidak diperlihatkan lagi di akhir cerita padahal cukup banyak waktu diinvestasikan buat sudut mereka di awal-awal.  Grup remaja lain – yang dipimpin oleh Selena Gomez – juga tidak berbuah apa-apa selain candaan yang sepertinya bermaksud menyindir cinta-cintaan remaja, yang sayangnya enggak lucu. I mean, mereka membuat senyuman Gomez bersparkle kayak kartun ketika ada seorang cowok yang tampak naksir kepada dirinya. Cheesy sekali, malah. Film bekerja terbaik saat membuat kita tetap bersama pasangan tokoh utama; Murray dan Driver. Komedinya on-point, mereka juga banyak berkeliling sehingga perbincangan mereka akan sulit untuk menjadi membosankan. Salah satu hal kontras dari dua tokoh ini adalah Murray percaya semua akan baik saja, sementara Driver bersikukuh dengan pendapat semua akan berakhir dengan buruk. Dan alasan dia percaya itu karena, well, dia literally bilang dia membacanya di naskah. Dia juga menyebutkan lagu yang terus diputar setiap kali ada yang menghidupkan radio atau tape atau CD adalah lagu tema film ini. Dan tokohnya Murray terdiam, bingung untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab dengan pertanyaan kenapa naskah bagian dia cuma memuat dialog antara mereka berdua saja.

Jadi film membawa kita melalui beragam rentang sudut pandang; dari yang benar-benar clueless hingga yang seolah mengerti apa yang sedang terjadi. Jika ini adalah sebuah film ‘biasa’ dengan konsep break the 4th wall untuk komedi, dan para tokoh beneran para aktor yang sedang suting film, maka The Dead Don’t Die akan menjadi film yang buruk karena berjalan tak tentu arah. Namun, film ini berada di atas itu semua. Ia mengaburkan konsep tersebut. Murray bukan Murray, meski dia sadar sedang berada dalam sebuah film. Ternyata di sinilah letak gaya film ini. Rasanya memang aneh, tapi ini seperti sutradaranya sedang bereksperimen dengan genre, dengan gagasan, dengan konsep, dengan teori kemetaan itu sendiri, dan kita penontonnya ditarik untuk ikut serta.

manusia yang jadi ‘zombie’ lebih buruk daripada manusia yang beneran sudah mati

 

Film seperti ingin memancing kita untuk protes. Untuk tidak menikmati film ini dan melakukan sesuatu terhadapnya. Ia tampak seperti menguji gagasan yang diangkat bahwa manusia sekarang sudah seperti zombie. ‘Menghukum’ kita yang tergiur datang karena tertarik melihat nama-nama pemain yang dipajang. “Haa… Selena… Gomezzz”, “Tilda…. Swin..tooonn”. Toh kita bukan ‘zombie’ yang memburu dan melahap film semata karena pemainnya saja kan. Kita diminta untuk memikirkan yang kita tonton. Bukan untuk menjadikan film ini tugas yang berat. Melainkan supaya kita bersenang-senang dengannya.

“Khawatirlah. Bersiap. Ini akan berakhir dengan buruk”

Kalimat yang diucapkan oleh tokoh yang diperankan Adam Driver menjadi sakral. Sebab merupakan kunci yang diberikan oleh film. Durasi hanya 100-an menit, yang akan diakhiri dengan buruk, jadi apakah kita akan tetap menonton bulat-bulat dan merasa rugi sendiri. Kita harus bersenang-senang dengan waktu yang diberikan. Buatlah sesuatu dari yang kita tonton. Make fun of the characters on screen. Apapun. Kita lakukan apapun untuk mengisi waktu yang sedikit itu. Mungkin terbaca sedikit long reach, aku mengada-ada biar ada yang bisa ditulis, tapi bagiku memang itulah poin film ini. Mengisi waktu sebaik-baiknya. Dan ini paralel dengan tema ‘kiamat’ yang jadi lapisan terluar film.

Dalam cerita ditunjukkan hewan-hewan sudah terlebih dahulu kabur sebelum para zombie bangkit. Sama seperti di dunia nyata saat bencana alam hendak terjadi; burung-burung terbang bermigrasi, hewan-hewan keluar, just recently babi hutan di Sumatera diberitakan berenang nyebrang selat menuju Malaysia. Binatang selalu lebih dahulu sadar yang bakal terjadi. Sedangkan manusia, ya kita melihat tanda-tanda. Tapi berapa orang yang benar-benar bersiap. Yang memanfaatkan waktu yang tersisa. Kebanyakan kita tidak mampu mengenali waktu cuma sedikit, malah mungkin sudah hampir habis. Hanya berdiri ‘diam’. Parahnya berlagak seperti zombie mengejar sesuatu yang bahkan tak benar-benar diperlukan.

Film ini memang tentang manusia yang sudah menjadi zombie keduniaan. Tapi pesan tidak berhenti sampai di sana. Film melanjutkan bahwa yang terburuk dari menjadi zombie adalah ketika tidak menyadari diri kita sudah mati. Waktu telah habis untuk mengejar sesuatu yang fana. Kita semua bakal mati. Waktu kita hidup terbatas. Jadi isilah dengan hal yang berguna. Yang bisa dijadikan persiapan. Karena setelah mati, yang ada hanya keabadian.

 

 

 

Jarmusch sungguh bernyali gede dengan membuat film ini. Dia mengambil horor komedi yang sudah lumrah, dengan pesan yang sudah ‘pasaran’, dan menggarapnya dengan cara yang menantang kita untuk tidak menyukainya. Dia bahkan mencari cara baru untuk membaut yang subtil menjadi semakin subtil dengan menyebutkannya terang-terangan. Benar-benar pemikiran yang rumit untuk film yang tampak gak-jelas seperti ini. Komedinya bisa sangat lucu dan bisa juga jadi sangat cheesy, dan sepertinya itu semua sudah diniatkan. Aku sendiri sebenarnya belum yakin, suka atau tidak sama film ini. Kita tahu dia dibuat oleh ‘bahan-bahan’ berkualitas tinggi. Namun rasa yang dihadirkan tetap aneh. Kalo alien bikin kue, dan kita mencicipinya; mungkin seperti nonton film inilah rasanya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE DEAD DON’T DIE.

 

 

IT CHAPTER TWO Review

“Often it isn’t the initiating trauma that creates seemingly insurmountable pain, but the lack of support after”

 

 

Setelah dua-puluh-tujuh tahun, Si Badut Pennywise muncul kembali di kota Derry. Dia merindukan anak-anak yang dulu pernah hampir menjadi mangsanya. Tujuh anak yang pernah mengalahkan dirinya itu, ia pancing kembali untuk datang ke kota lewat serangkaian teror. Dan setelah dua-tahun dari film chapter pertamanya, kita datang untuk menagih janji cerita horor yang benar-benar berdaging.

Serius, ‘menagih janji’ itu adalah kalimat penutup reviewku untuk It (2017). Karena dua film It adalah adaptasi dari satu buku Stephen King, dengan ‘daging’ cerita sebenarnya terletak pada bagian saat para Losers’ Club yang sudah dewasa ditarik kembali ke Derry untuk menghadapi trauma masa kecil mereka. Sutradara Andy Muschietti nekat membagi menjadi dua film, dan actually did a great job pada chapter pertama. Kisah anak-anak menjelang remaja yang tadinya kelam, diubah cerita persahabatan yang uplifting. Mengajarkan kita akan pentingnya persahabatan untuk saling menutupi kekurangan dan kelemahan. Pada Chapter Kedua, Muschietti menyambung gagasan King dengan horor yang dibuat lebih dewasa. Dengan pertanyaan yang lebih menantang untuk makna persahabatan itu sendiri.

Mudah untuk kita bersatu ketika sedang sama-sama susah. Penderitaan mendorong kita untuk menemukan dan berpegangan kepada kawan yang senasib. Namun ketika semua masalah sepertinya sudah terhindari, ketika hidup kita sudah berlanjut menjadi lebih baik, sudikah kita kembali untuk mengalami lagi semuanya. Ketika kita sudah hidup mapan sendiri-sendiri, maukah kita kembali untuk bersama-sama berkubang dalam masalah?

 

Sepindahnya mereka dari kota Derry, pentolan Losers’ Club memang sudah tergolong sukses. Bill Denbrough kini jadi penulis cerita misteri yang ngehits, dia tidak lagi tergagap, dan punya istri seorang bintang film. Ben Hanscom sudah gak gendut lagi, dia jadi arsitek kaya yang meeting online sama klien. Richie Torzier menggunakan mulutnya sebagai aset jadi komedian terkenal. Eddie Kaspbrak berkarir di bidang risk assesment real-estate yang cocok sama kebiasaannya yang selalu mencemaskan berbagai hal. Beverly Marsh jadi perancang busana. Dan Stan juga tampak cukup sukses di kediamannya. Mereka semua sudah lupa akan kejadian di film pertama, meskipun masih terus dibayangi oleh trauma masa kecil. Bill tak pernah lupa akan Georgie, Bev tetap tak lepas dari sosok pria yang kasar padanya. Dan saat Mike, satu-satunya dari geng mereka yang menetap di Derry, menelfon mereka, mengingatkan akan perjanjian berdarah yang mereka lakukan saat masih kecil; bahwa musuh mereka muncul kembali, semuanya seperti tersentak. Seperti bangun dari mimpi indah, masuk ke mimpi buruk. Bill malah jadi gagap lagi. Masing-masing mereka dipaksa untuk menjalani masa lalu yang mengerikan demi mengambil relik yang akan digunakan untuk ritual mengalahkan Pennywise untuk selama-lamanya.

untung yang nelfonin mereka ‘cuma’ Mike, bukan Bapak

 

Selain Bill, Mike dalam film ini diberikan porsi yang lebih besar. Dia tidak terbaring di kasur rumah sakit seperti pada novel saat teman-temannya turun ke sarang Pennywise. Dialah yang paling dekat dengan posisi tokoh utama karena dia punya arc yang melingkar di antara tokoh-tokoh yang lain. Mike adalah orang yang pertama kali tahu tentang kembalinya Pennywise. Dia yang memutuskan untuk tetap tinggal di Derry. Dia yang lebih dahulu siap untuk menerjang kembali trauma masa lalu. Atau mungkin, dia yang paling menolak untuk move on, dan ini menarik karena biasanya orang akan berlomba-lomba untuk bisa move on dari kenangan buruk. Film mencoba untuk memberikan peran yang lebih besar kepada Mike dibandingkan dengan novel. Ketika semua orang punya masalah sendiri, berjuang melawan kembali apa yang sudah berusaha mereka lupakan dalam proses menjadi dewasa, Mike berada di sana seperti tak tersentuh oleh Pennywise. Kita tidak melihat dia sebanyak tokoh lain dikerjai oleh si Badut Pengubah Bentuk. Teror bagi Mike justru adalah ketika grup mereka mulai terpecah. Saat dia berjuang untuk mempersatukan mereka kembali, walaupun itu berarti dia harus berbohong. Dia seperti agen pemersatu yang berkontras dengan Pennywise si agen pemisah. Ini membuat Mike dan Pennywise adalah dua poros yang paling penting dalam narasi.

It Chapter Two memang melakukan lumayan banyak perubahan terhadap versi novel. Salah satunya lagi adalah soal ending – tapi dibuat masih menghormati dan sejalan dengan materi asli – sehingga para pembaca buku dapat tetap mendapat kejutan menyenangkan saat menonton. Soal ending buku malah dijadikan candaan yang terus berulang karena di film disebutkan bahwa Bill yang novelist selalu mendapat kritikan terhadap ending yang ia tulis. Akan ada banyak adegan ketika ada orang yang menyebut buku tulisannya bagus, tapi mereka enggak suka dengan endingnya. Bahkan Stephen King sendiri muncul sebagai cameo dan mengucapkan dialog seputar pilihan ending tersebut. Lewat running gag tersebut, film ingin mewanti-wanti kepada kita bahwa mereka juga sudah melakukan sesuatu kepada ending film, yang menurut mereka adalah perbaikan dari ending pada buku. And it’s kinda true. Ending film ini membawa rasa kepuasan dan kelegaan yang menghangatkan. Hanya saja perjalanan menuju endingnya yang luar biasa membinasakan.

Tentu, interaksi antar-tokoh tampak akrab dan menyenangkan. Aktor-aktor dewasa seperti Jessica Chastain, James McAvoy, Bill Hader, James Ransone memainkan peran mereka persis kayak aktor-aktor cilik memainkan mereka. Tokoh mereka terasa familiar bagi kita yang sudah mengikuti perjalanan mereka dari film pertama. Mereka beneran seperti bertumbuh dewasa. Permainan akting mereka semakin on-point berkat film yang kerap membawa kita berflashback ke masa kecil mereka dua-puluh-tujuh tahun yang lalu. Seolah film ingin menyombong kepada kita “lihat, ini beneran mereka sudah jadi orang gede” Seru melihat tokoh-tokoh berkembang, mereka melakukan gerakan dan bereaksi seperti yang sudah akrab dengan kita. Film sangat hebat memperlihatkan itu semua. Si Pennywise pun digambarkan sebagai tokoh yang punya sedikit kedalaman sekarang, aku senang dialog tokohnya diperbanyak, karena Bill Skarsgard memang memainkannya dengan penuh penghayatan dan tampak bersenang-senang. Makhluk-makhluk CGI hasil ilusi dan jelmaan dari Pennywise enggak benar-benar seram, melainkan seru abis lantaran begitu random dan di luar logika. Hampir seperti kartun. Mungkin visual monster-monster itu tampaknya sengaja dibuat kasar untuk menimbulkan kesan seram yang hilarious karena film ini menunjukkan mereka sanggup menampilkan CGI yang begitu mulus ketika menggunakannya untuk memudakan kembali tokoh anak-anak yang pemerannya sudah jauh mendewasa ketimbang peran mereka.

Hanya saja ketika menapaki trauma-trauma yang semestinya bernada lebih dewasa, film juga tetap memilih untuk tampil seperti teror wahana rumah hantu, seperti pada film pertama. Dan ini mengecilkan makna dan ‘daging’ yang ada pada cerita horor saat mereka dewasa ini. Teknik jumpscare dan permainan makhluk horor CGI dari Muschietti memang efektif, memberikan hiburan horor yang konstan, tetapi substansi harus diletakkan di depan karena terus-terusan hanya melihat jumpscare-jumpscare dengan makhluk-makhluk random akan membuat kita kehabisan energi. Terutama di film dengan durasi hampir tiga jam seperti ini.

membuat kita galau mestinya film ini durasinya dipangkas atau malah ditambah – dijadikan serial aja

 

 

Film tidak memperhitungkan pace dengan baik. Meninggalkan kita menjadi semakin tidak sabar saat flashback demi flashback, horor ngagetin demi horor ngagetin, terus berputar di layar. I mean, kita ngerti kok mereka punya trauma yang dibangkitkan lewat halusinasi oleh Pennywise yang suka untuk melemahkan mental mangsanya, film tidak harus melandaskan poin yang sama berulang kali. I mean, musti berapa kali lagi kita melihat mereka di masa kecil sebelum film benar-benar menyudahi ceritanya. Ada enam tokoh, ada tiga babak, dan di setiap babak kita diperlihatkan masing-masing berurusan dengan Pennywise dan trauma mereka. Di luar bagian Mike, kalo dikali, jumlahnya ada lima belas kali kita melihat teror Pennywise. Ini melelahkan. Mengganggu tempo cerita karena elemen horor tersebut tak bekerja banyak di luar untuk ajang kaget-kagetan. Adegan-adegan itu tak punya bobot urgensi karena kita tahu semua hanya ilusi dari Pennywise yang tak benar-benar berbahaya. Malah ada beberapa flashback yang menunjukkan mereka waktu masih kecil dikejar-kejar oleh berbagai wujud It. Flashback pengisi gap tahun yang pointless karena kita tahu para tokoh tidak dalam bahaya di adegan tersebut karena toh mereka sudah tumbuh jadi dewasa – mereka survive dari kejadian itu. Mereka tidak mati saat masih kecil itu. Menuju ke ending yang merupakan perbaikan dari ending novel, terasa ngedrag, film ini bahkan punya dua sekuen ‘false resolution’. Dua setengah jam itu benar-benar terasa.

Narasi yang melingkupi banyak tokoh seperti ini haruslah diikat oleh satu benang merah. Film ini, dengan kodratnya sebagai cerita lanjutan, memang sangat tergantung pada penonton untuk menyaksikan dulu film pertamanya. Atau membaca novelnya. Film tidak necessarily mengikuti buku tetap berjalan dengan arc Bill sebagai sumbu utama. Tapi film ini cukup berani memasukkan elemen penting pada buku yang bahkan tak disadur oleh It versi miniseri tv yang tayang tahun 1990an. Yakni seputar peristiwa kejahatan sadis yang dialami oleh seorang pemuda gay. Adegan ini actually jadi adegan pembuka dalam It Chapter Two, persis seperti chapter dua pada novelnya. Sempurna untuk melandaskan horor seperti apa yang bakal kita temukan, kengerian semacam apa. Salah satu Losers’ Club juga diindikasikan LGBT. Hanya saja, film tidak benar-benar komit. Baik itu terhadap elemen LGBT, maupun horor yang serius. Ketika cerita berjalan, tokoh-tokoh kita dibawa kembali ke lingkungan masa kecil mereka, film juga seperti revert back. Melupakaan kedewasaan dan hal-hal baru yang sepertinya akan mereka jalani. kehidupan masa kini yang ditinggalkan para tokoh tidak dibuat ikut mengejar mereka ke Derry. Tidak seperti pada buku. Sehingga stake kehidupan yang mereka tinggalkan tidak pernah terasa. Beverly tidak berkonfrontasi lagi dengan suami dan hubungan abusive yang selalu menimpanya. Kita hanya melihat istri Bill satu kali, bahkan persoalan pilihan ending novel yang ia tulis tidak disebutkan lagi di akhir.

Kekalahan Pennywise pun tidak menunjukkan kedewasaan atau keseriusan emosi yang seperti diisyarakatkan bakal ada oleh pembuka film. Yang ada malah terasa dikonyolkan. Mungkin film berbalik pengen bermain dengan ironi. Lantaran Pennywise yang pada film pertama seperti simbol dari kedewasaan yang merundung anak-anak, pada film ini malah berbalik menjadi yang dirundung oleh anak-anak yang sudah dewasa tersebut. Mereka seperti bertukar tempat. Pennywise yang sekarang menjadi seperti anak kecil. Alih-alih memisahkan mereka lewat memanfaatkan rasa takut, Pennywise pada akhir cerita berubah menjadi sosok insecure, sendirian, tak berteman, yang diejek hingga literally menciut. Pennywise sudah seperti Boggart yang dihajar oleh enam mantra Riddikulus hingga aku tak paham lagi keberanian seperti apa yang ingin diajarkan oleh film ini.

Lebih sering daripada tidak, yang paling mengerikan dari menghadapi trauma itu adalah ketika kita menyadari bahwa kita menghadapinya sendiri. Semua orang butuh support. Dari teman. Dari saudara. Dari orang lain. Tiliklah Losers’ Club, mereka kuat bukan karena sendirian. Mereka lemah menghadapi masalah sendiri. Tetapi mereka tak-terkalahkan saat mendukung masalah teman-temannya.

 

 

 

Sehingga tak tampak lebih berdaging, buatku film pertamanya masih lebih kuat dan lebih berisi padahal seharusnya cerita bagian kedua inilah yang lebih berbobot. Film yang kedua ini kurang berhasil membuat drama dan aspek emosional cerita menjadi vocal point yang konsisten. Sebab cerita film ini pada dasarnya bergantung pada film pertama yang merupakan backstory. Film jadi memuat terlalu banyak, antara aspek yang lebih dewasa, tuntutan buku sumber adaptasi, dan kebutuhan untuk mengingatkan penonton kepada film yang pertama. Hasilnya adalah film yang bekerja pada tingkatan film pertama, dengan materi yang sebenarnya sudah berada di atas level tersebut. Lain kata, film stuck pada gaya yang tidak mampu mengimbangi kematangan ceritanya yang sudah dewasa. Tetap memberikan horor yang menghibur, jumpscare-jumpscare yang efektif, tapi terasa melelahkan dan membuat tak-sabar. Karena poin yang sama diulang berkali-kali. Pengalaman terpisah para tokohnya terasa mengambang kayak balon-balon merah si Pennywise. Mereka perlu diikat menjadi satu narasi yang benar-benar koheren dan film perlu komit di sana.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IT CHAPTER TWO.

 

 

 

TWIVORTIARE Review

“Fighting is a part of healthy relationships”

 

 

Twivortiare agaknya permainan kata dari  sebuah kata bahasa rumania; divortiare (di-vor-ti-a-re) yang berarti perceraian. Dan memang, Twivortiare diangkat dari novel tulisan Ika Natassa yang actually adalah kelanjutan dari novelnya yang berjudul, you guessed it; Divortiare. Fiksi metropop tentang putus-nyambungnya pasangan suami-istri. From what I’ve gathered around the net, novel Twivortiare punya konsep yang unik. Kisahnya diceritakan melalui postingan twitter si tokoh utama. Pembaca dibuat seolah meng-scroll timeline si tokoh, membaca tweet demi tweet berisi curhatan, keluhan. Konsep yang menarik sebagai penceritaan untuk media visual.

Film, media audio-visual, ada juga yang menggunakan postingan sosial media sebagai alat utama untuk bercerita, tapi itupun ceritanya kudu mengandalkan misteri atau thriller. Karena gak ada deh pasti yang sudi datang ke bioskop hanya untuk membaca tulisan sepanjang waktu. Film-film yang menyisipkan chattingan seringkali dikritik males atau dituding sebagai usaha murahan untuk membuat ceritanya tampak modern. Makanya ketika di menit-menit awal menonton Twivortiare, aku udah mau meledak teriak “booo!”; satu layar bioskop itu hanya menampilan percakapan pesan twitter! Untungnya pembuat film masih waras dan wajah Raihaanun Soeriaatmadja dan Reza Rahadian kembali dimunculkan.

Karena kedua aktor tersebut were literally the BEST DECISIONS this entire film has ever made.

Penampilan akting Raihaanun dan Reza Rahadian benar-benar mengangkat film ini. Membuat materi yang membosankan menjadi seperti worth it untuk diikuti. Aku kaget sekali mendapati aku tersedot ke dalam cerita film ini. Yang gak punya misteri, gak punya aksi, yang literally nothing big happened. Aku, di luar kuasaku, jadi begitu peduli kepada dua tokoh sentral cerita. Well, setidaknya aku tertarik sampai akhir paruh pertama.

“nyebutin filmnya yang jelas biar gak disangka ngomong ‘twit wor diare’ sama mbak penjual tiket”

 

Raihaanun berperan sebagai Alexandra Rhea Wicaksono, seorang banker. A wife to Reza Rahadian’s Beno Wicaksono, seorang dokter kardiologi yang memandang pekerjaannya dengan serius. Beno memerhatikan para pasiennya. Beno kepada pasien sama seperti cerita-cerita Ika Natassa kepada nama lengkap tokohnya; harus! Jadi Alex merasa dinomorduakan. Kehidupan rumah tangga mereka dengan cepat hambar. Ditambah lagi, keduanya hobi banget bertengkar. Alex meminta cerai, dan Beno karena cintanya terpaksa mengabulkan. The story hasn’t ended yet, karena Beno tak pernah benar-benar hilang dari hati Alex. Dari hidup Alex. Setelah beberapa kali pertemuan pasif-agresif, mereka berdua saling jatuh cinta kembali. Semesta pun mendukung. Alex dan Beno rujuk. But still, the story hasn’t ended here. Alex dan Beno harus mengalahkan ‘penyakit’ lama mereka. Karena rumah tangga mereka sudah bubar satu kali. Masa sih mereka bakal terjatuh ke dalam lubang yang sama?

See, this is not the kind of story that I usually enjoyed. Tapi aku tak bisa memalingkan kepala dari tokoh-tokohnya, karena Raihaanun dan Reza mainnya bagus banget. Twivortiare ini mungkin contoh yang tepat sebuah film terangkat derajatnya oleh penampilan pemain. Kalo yang meranin pemain level menye-menye, aku mungkin sudah berteriak-teriak ngomenin setiap kalimat yang mereka ucapkan. Tapi film ini tidak. Dialog demi dialog mereka hidupkan dengan natural. Chemistry mereka menarik perhatian kita, dan menahannya supaya enggak kemana-mana. Pesona paling kuat jelas datang hubungan unik antara Alex dan Beno. Mereka musuhan tapi saling membutuhkan. Menyaksikan mereka berantem, adu argumen, low-key saling menyalahkan, sudah seperti candu. I mean, aku benar-benar menikmati siklus mereka perang-mulut, kemudian kontemplasi lewat masalah pekerjaan masing-masing, dan kemudian merasa amat sangat butuh untuk bertemu dan akhirnya baikan lagi. Ada adegan mereka berpura-pura masih suami istri ketika hendak menjual rumah, dan kemudian kompakan nyari alesan untuk tidak menjual rumah, karena masing-masing sadar mereka sebenarnya tak ingin menjual rumah yang menjadi saksi cinta mereka. Aku juga suka Beno tidak bertanya kenapa Alex balik lagi ketika dia melihat Alex yang tadinya mau jalan dengan pacar baru. Beno hanya menatap Alex, menyapa, dan mereka ngobrolin hal lain. Deep inside, Beno dan Alex tahu mereka masih saling cinta, namun mereka tidak tahan karena mereka terlalu sering bertengkar.

Great relationship disebut hebat bukan karena tidak pernah ada masalah. Semua hubungan pasti akan mengalami ketidaksetujuan, perbedaan, pertengkaran, kecemburuan. Great relationship justru ditempa dari semua itu. Dari cara pasangan menyelesaikan semuanya dengan cinta mereka. Tanpa itu semua yang menguji, tidak akan ada hubungan yang erat.

 

Pertengkaran-pertengkaran kecil sesekali diperlukan. Inilah yang perlu disadari oleh Alex. Karena dia selalu ‘kabur’ dari masalah. Cek-cok sedikit, ngajak pisah. Over the course of film, Alex tak tahu bahwa yang teman-temannya lihat, yang orangtua dia dan Beno lihat, bukan dia dan Beno berantem hebat. Mereka berantem sesungguhnya adalah di mata dan kepala mereka sendiri. Bagi orang yang luar, bahkan kita yang nonton, yang terlihat adalah dua orang yang saling mengingatkan, yang saling mengomunikasikan perasaan – apa yang mereka suka, apa yang tak mereka suka – yang saling berusaha untuk kompromi. Sebuah ciri hubungan yang sangat sehat, justru. Teman-teman Alex menggoda dirinya dengan istilah ‘drama’, tontonan seru.   Tak ada satupun yang mencemaskan Alex. Dan ini juga sebabnya kenapa kita begitu betah menonton dua orang yang ribut melulu.

hal positif berantem adalah; make up sex is the best sex

 

Bagian itulah yang tak tertranslate dengan baik ke dalam bahasa dan kebutuhan film. Cerita Alex dan Beno berusaha menyadari kuatnya hubungan mereka ini tidak punya stake. Kita percaya tidak ada yang bisa mengancam hubungan mereka. Cowok-cowok kantor yang datang mengirimi Alex bunga, tidak sedikitpun mereka tampak punya kesempatan. Kita sudah dibuat terlampu percaya bahwa dua tokoh ini saling cinta, dan pertengkaran-pertengkaran mereka itu bukan masalah. Melainkan bukti kuatnya cinta. Anggika Borslterli yang jadi sohibnya Alex bilang “Setiap kali lo curhat ada masalah ama Beno, gue gak pernah khawatir.” It’s true. Itu jugalah yang kita sebagai penonton rasakan. Tak pernah sekalipun aku mencemaskan Alex dan Bono bakal pisah lagi. Kecuali mungkin oleh kematian. Tapi bahkan kematian tak jadi soal karena ini adalah cerita tentang dua orang yang merasa gak cocok padahal mereka sudah ditakdirkan untuk bersama.

Jika Twivortiare adalah cerita yang dibuat khusus untuk film, katakanlah tidak ada novelnya, aku yakin pembuat film ini setelah midpoint akan mencari masalah baru – yang masih paralel dengan tema dan journey – dan memperbesar stake alias taruhan untuk para tokoh supaya cerita tetap menyala dan punya tantangan. Mungkin tokohnya dibuat pengen punya anak sebagai cara tak bertengkar lagi tapi gak bisa punya anak, so their choices will be limited sehingga konflik semakin menajam. Atau apalah, pokoknya yang membuat cerita berkembang dari paruh pertama. Tapi Twivortiare toh adalah novel pada aslinya. Konflik berulang tidaklah mengapa di sana. Namun pada film, jadinya membosankan.

Setelah midpoint, pertanyaan yang dipancing adalah apakah Alex dan Beno bakal terjauh ke lubang yang sama, dan ternyata justru ceritalah yang jatuh di lubang yang sama. Alias, kejadian yang datang menghadang Alex dan Beno basically sama saja dengan kejadian pada paruh pertama. Ada pria yang deketin Alex. Beno yang masih sibuk ngurusin pasien. Hanya variasi dari hal yang itu-itu melulu. Buat film, ini melelahkan untuk ditonton. Semenakjubkannya akting pemain, mereka overstay their welcome jika memainkan kondisi yang sama berulang-ulang. Not even cameo penulis Ika Natassa saat Alex dan Beno membahas ikan salmon menolong film untuk menjadi menarik kembali. Cerita seperti berlalu tanpa ujung. Dengan semua jawaban sudah kita ketahui, cerita hanya meninggalkan kepada kita sebuah pertanyaan baru; kapan selesainya nih film?

 

 

 

 

Aku bakal ngasih tujuh bintang, jika film ini berakhir pada midpoint ceritanya. Bahkan bisa saja delapan jika mereka melanjutkan dengan raising the stake and upping the ante. Tapi mungkin jadinya bakal lain dari gagasan awal cerita. Kalo aku jadi sutradara Benni Setiawan, aku pasti udah gatel setengah mampus untuk memberikan tantangan yang lebih, karena melihat para pemain mewujudkan tokohnya dengan luar biasa. Sayang aja gitu, udah punya sekaliber Reza dan Raihaanun tapi tidak diberikan sekuens yang benar-benar wah. Tapi yah mau gimana. Ini adalah kisah adaptasi cerita novel and it settled itself at being what it is. Tak lebih. Tak kurang.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for TWIVORTIARE.

 

GUNDALA Review

“We must preserve our humanity.”

 

 

Indonesia juga punya komik superhero. Coba tanya deh ke ayah, paman, atau kakak kalian yang remaja di tahun 70-80an saat komik-komik tersebut lagi berjaya. Siapa tahu mereka masih menyimpan dan kalian bisa membaca dan membandingkan dengan superhero dari luar. Jika tak punya, jangan khawatir. Karena Joko Anwar bersama Screenplay Pictures dan Bumilangit Komik berniat menghidupkan para pahlawan super lokal – dibranding ulang sebagai ‘Jagoan’ – dalam jagat sinema tersendiri. Bumilangit Cinematic Universe namanya.

Gundala adalah film pembuka franchise yang menjanjikan delapan film untuk Jilid I jagat sinema ini. Ini adalah origin story tentang ‘kelahiran’ pahlawan berkekuatan petir tersebut. Bahkan jauh sebelum si tokoh mendengar nama Gundala. Bingung? Seperti yang ia lakukan pada Pengabdi Setan (2017), sutradara Joko Anwar membuat sesuatu yang benar-benar baru dari materi asli yang ia adaptasi. Tidak seperti di komik, Gundala dalam film ini bukan Sancaka sang ilmuwan. Melainkan Sancaka hanya seorang anak pinggiran yang takut kesamber petir. Di waktu kecil, Sancaka menyaksikan ayahnya tewas ditusuk oleh kelompok sendiri saat berdemo. Kemudian Sancaka ditinggal oleh ibunya yang tak kunjung pulang ke rumah. Sancaka terpaksa pindah hidup ke jalanan. Kerasnya keadaan di kota yang nyaris tak menyisakan manusia bermoral, membuat Sancaka memegang teguh prinsip hidup ‘jangan percaya siapapun dan jangan mencampuri urusan orang’. Dia survive hingga dewasa dengan prinsip tersebut. Namun setelah mendapat kekuatan dari petir yang selama ini ia takuti, Sancaka diberikan pilihan untuk bangkit dan menjadi penyelamat bagi rakyat tertindas.

“Jangan percaya orang kaya karena Batman dan Ironman cuma ada di komik”

 

Gersang. Berdebu. Panas. Ganas. Begitulah dunia tempat tinggal jagoan kita digambarkan oleh film. Kehidupan rakyat jelata benar-benar keras. Penuh ketakutan dan persaingan. Gundala bukan film pahlawan super yang meriah oleh fantasi. Tone ceritanya malah sangat depressing. Bukan kurangnya air yang membuat kehidupan mereka kering, melainkan minusnya rasa kemanusiaan. Rating 13+ yang dicapkan bahkan menurutku tidak benar-benar sesuai dengan yang digambarkan oleh film. It should be higher. Sancaka sebagai anak kecil sungguh menderita hidupnya. Dia dikejar-kejar, dipukuli, diiris telinganya. I mean, at least Bruce Wayne punya banyak duit, kan. Dia mungkin punya banyak mainan dan elektronik untuk membantunya melewati hari. Sancaka tidak punya apa-apa. Bahkan dalam momen terdamai hidupnya – dalam tidur – dia terus bermimpi tragedi. Jika kalian punya masalah melihat kekerasan pada anak kecil, kalian bakal menemukan film ini cukup susah untuk disaksikan. Karena semuanya ditampilkan tanpa ditahan-tahan. Gebukan ke kepala di-close up. Hamparan darah di-zoom. Kalopun ada tusukan yang disembunyikan oleh kamera, itu hanya karena film ingin membuat pelakunya ambigu.

Tingginya level kekerasan, banyaknya adegan yang menunjukkan pembunuhan, pengeroyokan, penipuan, pengazaban, membuat film ini lebih pantas disebut sebagai thriller-aksi realis. Karena keadaan dunia yang dinampakkan sesungguhnya adalah komentar pembuat film terhadap keadaan dunia kita yang tampak baik-baik saja. Ada tusuk menusuk setiap hari, meski tidak berdarah. Ada orang berantem setiap hari, meski cuma di twitter. Ada saling hasut, saling menebar benci, di berbagai media. Menanamkan politik ketakutan. Dan juga tidak sedikit yang memilih untuk diam seperti Sancaka. Yang sedapat mungkin menjauh dari urusan orang, daripada ntar terseret ke dalam bahaya. Perjalanan Sancaka dalam film ini adalah perjalanan untuk menjadi oase di tengah kekeringan kemanusiaan. Naskah menggempor Sancaka habis-habisan. Abimana Aryasatya memberikan kegugupan yang tepat dalam menghidupkan tokohnya, ia menyambung estafet emosi dari Muzakki Ramdhan yang jadi Sancaka cilik, untuk kemudian meluaskan kembali jangkauan emosi tersebut. Dia diletakkan dengan segera di posisi paling naas yang mengharuskan dia untuk belajar survive. Dia belajar berkelahi. Namun pelajaran yang paling susah yang harus ia lewati adalah cara menumbuhkan keberanian untuk peduli kepada orang lain. Setelah itu tercapai, barulah dia bisa fokus belajar mengendalikan kekuatan petir yang ia punya.

Untuk tujuan itu, cerita memasangkan Pengkor sebagai lawan – antitesis – dari Sancaka. Pengkor, yang separuh tubuhnya penuh luka bakar dan berjalan pincang, adalah bos dari ratusan anak-anak jalanan yang menyimpan dendam terhadap kemanusiaan. Pengkor menyusup ke lapisan atas, menanamkan orang-orangnya, dan berusaha mengatur negara sesuai dengan idealismenya. Dengan masa lalu yang mirip, bahkan lebih tragis. Pengkor adalah Sancaka jika ia tidak pernah sadar dari prinsip hidup jalanan yang ia pegang. Jika Sancaka memilih untuk menjadi hero untuk alasan yang salah. Karakter Sancaka dan Pengkor dikembangkan dari teori ‘wounds and lie’. Mereka sama-sama punya trauma yang menyebabkan mereka percaya pada satu hal yang salah. Namun Sancaka yang menyadari kesalahannya, dengan segera menjadi oposisi dari Pengkor. Pendekatan yang diambil film terhadap dua karakter ini mirip sama hubungan antara Joker dan Batman. Begitu miripnya, aku sebelum film dimulai bertaruh dengan temanku bahwa monolog “harapan bagi rakyat adalah candu” (dibawakan oleh Bront Palarae dengan nada rendah khas tokoh penjahat utama saat mengintimidasi protagonis) pada trailer sesungguhnya terjadi pada adegan Pengkor ngobrol dengan Sancaka – seperti monolog Joker kepada Batman di dalam sel di The Dark Knight (2008). Dan saat menonton aku menyesal tidak mempertaruhkan hal yang lebih signifikan, karena ternyata tebakanku benar.

Gundala mengajarkan penontonnya, yang sepertinya banyak orang dewasa, untuk tidak memelihara antipati terhadap sekitar. Karena saat kita memutuskan untuk tidak menolong siapa-siapa, kita sebenarnya juga tidak menolong diri kita sendiri. Kemanusiaan adalah satu-satunya hal yang dapat membuat zaman panas yang edan ini menjadi sejuk. Maka, jangan biarkan sikap itu mengering.

 

Gundala memang seperti superhero luar. Kekuatan Gundala original basically adalah gabungan dari Thor dan The Flash (dalam film ini hanya Thor, walaupun film sempat seolah membuild up kemampuan lari Sancaka lewat beragam adegan yang menunjukkan dirinya dikejar-kejar). Tokoh-tokoh jagoan legendaris di komik-komik lokal kita memang banyak kemiripan dengan tokoh Marvel maupun DC. Aku sebenarnya tidak ingin membanding-bandingkan, tetapi toh filmnya sendiri yang seperti memohon untuk kita bandingkan dengan film-film superhero yang lebih superior, dengan jagat sinema dan segalanya itu. Gaya dan arahan Joko Anwar klop sama gaya kelamnya DCEU. Yang menurutku bisa saja bekerja dengan maksimal. Tone gelap dapat menutupi kelemahan CGI. Aksi-aksi fantastis dari kekuatan superhero simply bisa disubsitusi dengan aksi pertarungan berbasis martial arts; serupa aksi yang pernah membuat film laga Indonesia mendapat pengakuan dari penonton mancanegara. Film melakukan porsi aksinya dengan baik. Meski ada beberapa efek CGI yang mestinya tidak perlu nekat dilakukan karena hasilnya memang tidak tampak meyakinkan. Ngaku deh , masa sih kalian gak tertawa melihat efek Sancaka jatuh dari atas gedung.

Daerahnya sering hujan tapi kenapa tetep terlihat kering dan gersang ya?

 

Dialog yang terdengar lebih ‘tinggi’ daripada tokoh yang mengucapkannya adalah khas Joko Anwar. Dalam film ini kita akan melihat anak kecil ngobrol soal dewan legislatif, yang seketika bikin aku ngakak terlebih karena teringat anak kecil di Pengabdi Setan nyebut kuburan sebagai ‘areal pekuburan’. Namun ‘ketinggian’ dialog itu pas dengan tone cerita. Jika film komit ke arah gelap dan gritty itu, maka akan tidak ada masalah. Namun sepertinya keinginan mereka untuk menjadikan film ini sebagai langkah awal – seperti Ironman sebagai pembuka MCU – malah berbalik menjadi bumerang. Karena tentu saja studio butuh jaminan film bakal laku. Jadi, Gundala yang semestinya bakal bekerja dengan baik di ranah dark and violentnya harus ada sedikit humor dan appealing buat lebih banyak orang. Maka film ini memilih untuk mencampurkan tone ala DCEU dengan sisipan guyon ala MCU. And it doesn’t mesh well together.

Lelucon-lelucon yang dimasukkan ke dalam dialog dan adegan menyebabkan film terdengar canggung. Terkadang memaksa kita untuk tertawa, padahal seharusnya kita meresapi subteks yang dikoarkan. Selain itu, lelucon ini membunuh karakter. Karena semua tokohnya jadi terdengar sama. Mereka ngomong singkat-singkat. Saling menjawab cepat-cepat. Dan pada satu titik, campuran tone cerita ini, membuat kita tak yakin kejadian penting di film harus dianggap serius atau tidak. Aku gak enak ngasih spoiler banyak, tapi pada poin muncul serum perusak moral (yea you read that right), aku benar-benar gak tahu harus ketawa atau tidak. Karena dampak dan semua yang berhubungan dengan kejadian serum itu tampak obviously make no sense, tapi film tetap lanjut karena itu adalah bagian dari rencana super jahat. Tega sekali film menggambarkan rakyat sebego itu, tapi mungkin memang di situlah letak kritikan tajam film ini terhadap keadaan sosial yang gampang terpancing. Lagian, karena semua penduduk film ini ditampakkan sudah rusak moralnya sedari awal, aku merasa susah untuk peduli dan menganggapnya serius.

Cerita bergerak terlalu cepat untuk dapat memberikan arti pada masing-masing tokoh yang muncul. Ada banyak yang seperti tokoh penting – dimainkan oleh aktor mumpuni – namun ternyata terbang menghilang begitu saja. ‘Algojo-algojo’ Pengkor itu hanya tubuh saja. Karakterisasi mereka ya hanya gimmick masing-masing. Peduli apa sama nama mereka, atau apakah mereka ada di komik atau enggak, film hanya memperkenalkan mereka sebagai Si Jurus Nari, Si Mahasiswi Bersenjata Tas, Si Dua Golok Gede. Atau mungkin nama mereka memang seperti itu, kayak tokoh-tokoh di cerita silat Wiro Sableng. Aku gak tahu. Kepedulian film memberi karakterisasi pada mereka toh juga cukup sampai di sana.

Kupikir itu semua berkaitan dengan keinginan film untuk membangun jagat sinematik. Mereka memperkenalkan tokoh, hanya untuk memancing kita nonton film berikutnya. Karena kemungkinan tokoh tersebut bakal dijelasin di sana. Dan menjamin kepada studio banyak orang bakal nonton terus karena penasaran. Kapitalis sekali, sih. Tapi memang seperti itulah industri film mainstream bekerja. Mengekor cara sukes MCU. Jangankan tokoh-tokoh seperti Ghazulnya Ario Bayu yang tampak meta sekali karena mengetahui seluk beluk cerita Gundala, atau tokoh Sri Asih yang muncul hanya sekelebat untuk mengingatkan kita kepada Wonder Woman, atau tokohnya Tara Basro yang sepanjang film menuntut untuk ditolongin, penjelasan kenapa petir mengincar Sancaka sedari kecil aja tidak dapat kita temukan dalam cerita origin ini. Karena disimpan untuk film berikutnya. Kalo film pertama ini laku. Dan kita harus membuat film ini laku untuk menjawab pertanyaan yang sengaja dibiarkan menganga tersebut. Pace film tampak tergesa-gesa seolah filmnya sendiri pengen cepat-cepat sampai ke sepuluh menit terakhir. Ke bagian yang menggoda penonton untuk episode selanjutnya.

 

 

Joko Anwar’s attempt at superhero franchise is dark, violent, and really gritty. Rasa lokal yang dihadirkan mampu memberikan warna baru yang membuatnya berbeda. It is a Jagoan movie, after all. Tapi di saat bersamaan, gaya yang diambil dalam usahanya untuk tetap berada di ranah mainstream demi menjual lebih banyak film-film berikutnya, membuat film ini terasa seperti memirip-miripkan diri dengan gaya film pahlawan super yang lebih sukses. Karakter-karakternya tak tampak benar-benar hidup. Mereka hanya melanjutkan adegan demi adegan yang berpindah-pindah dalam tempo cepat. Sancaka dan Pengkor cukup maksimal – malah Pengkor sempat bertindak kayak John Kramer si Jigsaw dengan death trapnya – tapi ada banyak lagi yang tampak penting ikut ditampilkan. Aku ingin melihat mereka lebih banyak, mendengar mereka lebih banyak. Pada akhirnya kejatuhan bagi film ini adalah mereka juga mengerahkan tenaga untuk membangun universe di depan membangun satu cerita ‘kecil’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GUNDALA

READY OR NOT Review

“Don’t change to fit the fashion, change the fashion to fit you”

 

 

Biar aku beri clue seperti apa film Ready or Not supaya kalian bersiap-siap menghadapi keseruan yang bakal datang: Ceritanya bermula seperti Crazy Rich Asians (2018), namun akan berakhir gila mendekati Get Out (2017)

Orang kaya perangainya suka aneh-aneh. Itu yang dipelajari oleh Grace (Samara Weaving tampak sangat badass dalam balutan gaun pengantin berbalut selempang amunisi) ketika ia menikahi Alex. Putra dari keluarga yang kaya raya di bisnis boardgame dan kartu. Setelah upacara pernikahan di mansion keluarga Alex yang udah nyaingin kastil Hogwarts, lengkap dengan pintu dan lorong-lorong rahasia, Grace dibawa untuk bertemu dengan seluruh keluarga Alex. Grace harus diospek dulu sebelum resmi menjadi bagian dari mereka. Di malam pertamanya, Grace harus mematuhi tradisi keluarga sang suami. Bermain kartu yang kemudian berkembang menjadi permainan petak umpet mematikan. Semalaman itu Grace harus bersembunyi dari penghuni rumah yang ingin membunuhnya.

Malam pertama berdarah, tapi bukan seperti yang kalian pikirkan

 

Perburuan manusia di dalam rumah orang kaya sungguh merupakan konsep yang fun. Film yang digarap Matt Bettinelli-Olpin barengan Tyler Gillett ini jelas pengen menjadi cerita yang satir. Pada latar belakang, film memasang soal orang kaya yang begitu timpang dengan rakyat jelata. Mereka punya kebiasaan dan tradisi yang berbeda. Mereka memandang sesuatu dengan cara yang berbeda. Film menggunakan komedi untuk menyampaikan gagasannya. Bahkan adegan-adegan kekerasan yang sadis itu diberikan nada lucu sehingga memancing kita untuk menertawakan sekelompok orang kaya yang berusaha mempertahankan tradisi dan hidup mereka dengan membunuh orang luar. Anggota keluarga Alex dijadikan seperti over-the-top. Ada yang enggak tahu nama keponakannya sendiri. Ada yang kerjanya mabuk-mabukkan. Alex diceritakan punya masalah dengan tradisi dan kebiasaan keluarganya, dia sudah mulai jauh dari orangtuanya. Bicara soal orangtua, malahan ada bibi Alex yang digambarkan memandang Grace dengan tampang seolah ada kaos kaki basah di hidungnya. Ya, masukkan Grace dan film jadi punya satu layer lagi sebagai subteks dari cerita. Perihal wanita yang masuk ke sistem yang bukan miliknya.

Grace bukan hanya melawan orang-orang yang memburunya. Grace melawan tradisi. Berusaha survive dari gagasan dirinya harus sesuai – memenuhi syarat – masuk ke satu ‘keluarga’. Di balik aksi-aksi violent yang seringkali membuat kita meringis dan tertawa bersamaan, film berusaha memusatkan perhatian kita kepada latar belakang, baik itu literally maupun figuratively. Desain produksi film ini begitu menonjol untuk menunjukkan perbedaan mencolok antara orang kaya dengan Grace yang dibesarkan di rumah asuh. Denah rumahnya dibuat besar, kelam, dengan banyak lorong kosong dan ruangan penuh hiasan yang membuat Grace berseru “oh shit”. Sesungguhnya ini adalah cara subtil film menyampaikan kepada kita bahwa Grace sedang berada di dalam sesuatu yang bukan untuk dia. Dia menginginkan keluarga. Tapi dia terkejut oleh semua tradisi yang harus dia jadikan bagian darinya. Keseluruhan film melingkupi Grace yang mencoba melakukan sesuatu terhadap tradisi tersebut. Dia tidak mau menjadi korban, namun dia juga sudah jadi bagian darinya. Maka Grace mengoyak tradisi itu dari dalam, sebagaimana dia merobek gaun pengantinnya.

Actually, gaun pengantin yang dikenakan Grace sudah seperti karakter tersendiri. I’m not joking. Gaun itu adalah karakter favoritku di film ini, setelah Grace. Gaun itu punya arc tersendiri, bukan sekedar pakaian. Dia melambangkan sesuatu yang harus Grace kenakan. Sebagai bukti dari masuknya Grace ke keluarga Alex, ke sistem dan tradisi mereka. Gaun itu sempat menjadi hambatan bagi langkah Grace. Tapi lihat apa yang dilakukan Grace terhadap gaun tersebut kemudian. Gaun dirobek supaya bisa lari lebih cepat. Dijadikan perban untuk membalut luka. Dijadikan bantalan ketika terjun dari lantai atas. Bahkan jadi senjata untuk membunuh salah satu pengejarnya.

Marylin Monroe pernah bilang “Berikan sepatu yang tepat kepada wanita, niscaya dia akan menguasai dunia.” Dalam film ini kita literally melihat Grace mengganti sepatu hak-tingginya dengan kets. Dia juga merobek gaun indah sesuai dengan kebutuhannya. Pakaian dan tradisi itu tak cocok untuknya. Grace harus mengoyak sistem yang memaksa dia berada dalam satu posisi. Karena film ini bicara tentang kebutuhan wanita untuk tidak mengubah diri mengikuti sistem. Melainkan mengubah sistem tersebut. Dan jika tidak bisa, menggeliatlah keluar dari sistemnya, meskipun luka seperti Grace yang mengoyak punggungnya untuk keluar dari jeruji pagar yang teralinya ia patahkan.

 

Tradisi yang digambarkan oleh film ini bukan sebatas pada peraturan fiksi cerita saja. Kita bisa membandingkannya dengan banyak hal. Dengan aturan rumah tangga, misalnya. Istri harus ikut suami. Film juga memberi gagasan bahwa ‘tradisi’ seperti itu juga tidak mesti diikuti. Di satu titik, Grace dihadapkan pada pilihan antara kabur atau balik masuk ke rumah dan menolong suaminya. Grace memilih loncat dan lari ke hutan. Bijaknya, film tidak membuat tradisi sebagai antagonis. Kita tidak bisa mengubah tradisi, karena bisa jadi tradisi itu benar. Arc Alex dan saudaranya, Daniel, membahas seputar bagaimana jika sebuah tradisi yang seperti tidak masuk akal, justru adalah hal yang benar. Bahwa peraturan-peraturan konyol itu bukan omong kosong. Untuk kita yang percaya kepada tradisi atau aturan, atau malah agama, mungkin hanya kematian yang bisa memisahkan kita darinya. Tapi bukan berarti kita bisa mengekang orang lain dengan tradisi kita. Dengan kepercayaan kita.

I draw a trap ca… Wait. This whole marriage is a trap!

 

Sudut pandang film bisa agak membingungkan karena film ingin menunjukkan pandangan terhadap tradisi itu dari berbagai sisi. Babak ketiga film ini buatku sangat lucu. Film menolak untuk berakhir aman. Tidak seperti The Purge yang begitu matahari terbit, semuanya usai dan termaafkan. Film ini menunjukkan kita konsekuensi yang tak-biasa. Cara mereka memperlihatkan kebenaran dari tradisi sungguh unik, dan membuat plot cerita menjadi sedikit aneh. Dan ini bisa menjadi nilai plus, sekaligus menjadi penanda ada kekurangan dalam naskah film ini.

Nilai plusnya tentu saja babak ketiga dan sekuen penutup tersebut benar-benar mengukuhkan film sebagai horor yang menarik. Dia bisa menjadi cult-classic karenanya. But also, kekurangannya adalah tokoh-tokohnya terlihat tidak konsisten. Film ini kebablasan mengembangkan komedi dan aksi berdarah sehingga lupa memberikan perhatian lebih kepada pengembangan karakter. Usaha untuk menunjukkan pertumbuhan yang natural sangat minim karena film memilih untuk terus bergerak. Jadi, evolusi tokoh hanya diperlihatkan lewat satu adegan, atau dibuat sebagai hal misterius yang bakal dijelaskan lewat adegan berikutnya. Susah untuk membuat cerita di ruang tertutup, dengan banyak karakter tanpa menjadikan karakter-karakter tersebut hanya di sana sebagai korban pembunuhan yang berdarah-darah. Film memberikan mereka sudut pandang dan karakterisasi yang cukup untuk membuat masing-masing punya dimensi. Akan tetapi pengembangannya minim dan dijadikan sekilas, biasanya sebagai komedi.

 

 

 

Sebagai horor film ini bekerja dengan baik karena punya aksi-aksi berdarah sebagai wujud dari simbol betapa mengerikannya pengaruh sebuah tradisi atau kepercayaan. Ia juga penting karena menyangkut persoalan posisi wanita dalam aturan dan dunia yang dipimpin oleh pria. Sebagai komedi, film ini bekerja terbaik, karena sajiannya yang menghibur penuh oleh kelucuan. Bahkan adegan orang terbunuh saja dibuat lucu. Penampilan akting Samara Weaving benar-benar jempolan, dia kuat dalam kevulnerableannya, dan dia juga kocak. Tapi sebagai film yang harusnya punya pengembangan karakter, film ini tergesa-gesa. Ruang dan tempo untuk pengembangan mestinya bisa lebih lega lagi. Karena dengan kecepatan dan konstan komedi dan aksi seperti yang kita saksikan, latar belakang yang diniatkan untuk mencuat tadi tetap tidak benar-benar standout. Film ini bisa-bisa hanya akan dikenang dan dinikmati sebagai sajian horor sadis yang kocak, dengan gagasan penting dan satirnya teroverlook.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for READY OR NOT

 

ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD Review

“It’s better to burn out than to fade away”

 

 

Lewat cerita tentang seorang aktor serial televisi koboy yang berusaha untuk tetap dikenal sebagai aktor yang hebat dan pemeran pengganti yang sudah menjadi sahabatnya di Hollywood tahun 60an, Quentin Tarantino mengajak kita semua bercanda. Menggoda kita dengan mengubah sejarah kelam menjadi dongeng happy ending. Tarantino memasukkan dua tokoh fiksi ke dalam dunia nyata. Dengan tujuan untuk membuat kita berandai-andai seperti apa jadinya jika Hollywood tidak pernah berubah, tidak palsu, tidak ada yang meredup kemudian menghilang; jika Hollywood adalah tempat yang – seperti dalam cerita – tempat kebaikan selalu menang melawan kejahatan.

Menurutku memang begitulah cara terbaik menonton film ini. Menganggapnya sebagai dongeng. Judulnya saja udah kayak kalimat pembuka hikayat-hikayat zaman dulu; “Pada suatu hari di Hollywood” Buat penggemar film, Hollywood adalah istana impian. Tempat cerita-cerita diwujudkan ke gambar bergerak. Sekaligus juga, Hollywood sendirinya adalah tempat cerita-cerita baru lahir. Cerita orang-orang yang datang dan pergi dari dunia perfilman. Dalam dunia nyata, cerita-cerita tersebut seringnya merupakan tragedi. Karena para aktor-aktor punya masa kadaluarasa. Dalam roda industri yang terus bergulir, pemain muda akan menjadi tua dan cepat atau lambat bakal tergantikan oleh pemain muda yang baru. Rick Dalton, tokoh utama film ini, akan literally dibunuh karakternya. Dalam serial koboy baru yang ia perankan, Dalton bukan lagi bintang utama. Masanya sudah lewat. Kini dia ditawari peran antagonis. Untuk episode pertama, tokohnya akan dibunuh oleh protagonis yang diperankan oleh aktor muda berbakat sehingga studio bisa menaikkan rating dan melanjutkan musim serial tersebut. Begitulah peran Dalton yang dulu selalu jadi hero nomor satu di televisi. Di tahun 1969 itu, dia menyadari perannya sekarang hanyalah pemeran pembantu. Ini adalah akhir dari era Dalton, yang diparalelkan oleh Tarantino dengan akhir dari era kejayaan 60’an yang dibawa oleh tragedi pembunuhan oleh Charles Manson.

See, cerita campuran fiksi dan fakta seperti ini hanya bisa dikerjakan oleh orang yang benar-benar suka pada film. Yang betul-betul mengerti seluk beluk Hollywood beserta sejarah-sejarahnya. Tarantino sudah tidak diragukan lagi keabsahannya. Sejak Pulp Fiction (1994) dia sudah memperlihatkan gambaran pengganti zaman di genre action; bintang baru menggantikan bintang lama lewat adegan Bruce Willis menembak John Travolta. Yang ia sajikan kali ini adalah kumpulan momen-momen yang menunjukkan betapa cintanya dia terhadap film. Narasi tersaji ringan, dengan banyak dialog dan adegan yang bernada komedi. Namun juga perasaan sedih dan nestapa terasa membayangi. Karena ini adalah cerita tentang perjuangan seseorang untuk tetap relevan. Untuk menjadi immortal. Semua itu semakin menghantui sebab kita tahu apa yang terjadi di penghujung tahun itu. Bakal ada yang ‘dibunuh’. Tapi kita tidak lagi yakin siapa atau malah apa yang mati. Film dibangun seolah membendung antisipasi kita terhadap kejadian nyata yang menggemparkan. Sepanjang waktu aku duduk nonton ini aku merasa terhibur meskipun di dalam hati aku terus bertanya-tanya bagaimana film ini mempertemukan Dalton dan Booth yang tokoh fiksi dengan Sharon Tate, seperti apa posisi mereka dalam tragedi tersebut. Yang dilakukan oleh film ternyata benar-benar sebuah twist, yang seharusnya kita senang melihatnya tapi tetap kita merasa ambigu. Film berakhir dengan sangat kuat karena ikut ke dalam pikiran kita sampai ke rumah. Apakah Tarantino sedang menyarankan sebuah solusi. Apakah yang sebenarnya menjadi penyelamat di sana.

Di Indonesia kita mengenal pepatah “manusia mati meninggalkan nama”. Film kesembilan Quentin Tarantino ini membalikkan itu. Rick Dalton berjuang agar namanya tetap berkibar. ‘Turun’ dari tahta protagonis bukan berarti dia tidak lagi tampil prima. Karena actually yang lebih parah bagi manusia adalah nama mati duluan sebelum pemiliknya.

 

Meskipun namanya nongol di koran, Leonardo DiCaprio masih belum meninggal

 

 

Ini bukan pertama kalinya Tarantino menulis ulang sejarah. Menimpanya dengan fiksi. Kita sudah lihat cara dia menulis nasib Hitler di Inglourius Basterds (2009) Sejalan dengan ini juga bukan kali pertama Tarantino menyemplungkan dirinya ke dalam kontroversi. Fantasi Once Upon a Time… in Hollywood bisa jadi susah untuk ditelan buat beberapa penonton. Terlebih buat penonton yang berhubungan langsung dengan tokoh-tokoh nyata yang disinggung alias digambarkan lewat visi Tarantino. Ya aku sekarang bisa melihat alasan putri Bruce Lee protes karena penggambaran yang dilakukan Tarantino terhadap almarhum ayahnya yang melegenda. Tapi sekaligus aku juga bisa melihat adegan-adegan seperti itu dibuat tak-lain-dan-tak-bukan sebagai subteks dari konteks cerita. Bruce Lee yang bertarung imbang dengan Cliff Booth si stuntman sesungguhnya ada dalam ingatan si Booth sendiri. Adegannya berupa flashback dari ingatan Booth sehubungan dengan fakta namanya di Hollywood sudah besar sebagai orang yang berbahaya.

Ya orang-orang juga bisa protes soal Charles Manson yang didepiksikan sebagai tokoh sakral, namun konsekuensi tindakannya tidak digambarkan sampai ke dia. Manson hanya muncul satu kali di film. Karena film memang bukan soal Manson, melainkan fiksi soal perjuangan manusia. Manson hanyalah katalis yang memungkinkan terjadinya kekerasan yang menjadi simbol perjuangan. Kita melihat salah satu Manson Girl bilang mereka membunuhi bintang film karena sudah mengajarkan kekerasan di televisi. Kejadian di sekuen akhir tersebut menunjukkan kekerasan melahirkan kekerasan, namun kekerasan itu diperlukan sebagai bentuk dari perjuangan bertahan hidup, yang paralel dengan tema stay relevan. Ini berhubungan dengan cara Tarantino memperlakukan wanita di dalam film ini. Actually wanita yang diperlakukan kasar udah menjadi kritikan rutin untuk karya Tarantino. Di film Once Upon ini kita bakal melihat Booth menghajar cewek hippie anggota cult Manson. Dalton bahkan membunuh salah satu cewek itu dengan cara yang memuaskan dan berhubungan dengan sesuatu yang ngelingkar dengan bagian awal karirnya. Semua itu merupakan bagian dari keambiguan yang sudah diniatkan untuk kita rasa. Kita memang disuruh untuk bingung; menyoraki sesuatu yang tampak seperti heroisme pria tetapi cewek-cewek itu pantas mendapat pembalasan atas peristiwa di dunia nyata.

Film ini juga bisa susah untuk ditonton jikalau kalian lebih menyukai cerita nyaris tiga jam yang banyak aksi-aksinya. Meski memang saat porsi aksi muncul film menampilkan kekerasan tanpa tedeng aling-aling, namun sebagian besar waktu kita hanya melihat orang duduk dan bercerita. Mereka mendongeng di dalam dongeng. Nonton film ini kayak mendengarkan orang tua bercerita. Kadang kita dibawa melihat visualisasi flashback dari seorang tokoh – yang seperti kasus Bruce Lee dan Cliff Booth tadi; flashback yang ‘kebenaran’ kejadiannya belum absah. Kadang kita melihat Dalton dan Booth hanya duduk mengomentari film-film lama yang mereka mainkan bersama. Buatku, adegan-adegan demikian sama menariknya dengan adegan aksi. Karena aku suka mendengar cerita. Aku suka melihat belakang layar dari pembuatan film difilmkan. Juga tak terhitung banyaknya insight yang diberikan film terhadap skena perfilman Hollywood. Seperti film-film Tarantino sebelumnya, film ini juga renyah oleh dialog-dialog yang dibawakan dengan menarik dan meyakinkan.

Penampilan Leonardo DiCaprio dan Brad Pitt mengangkat film menjadi semakin menyenangkan. Menakjubkan cara naskah menempatkan mereka di kejadian-kejadian yang ‘aneh’, seperti ketika kita melihat Dalton lagi syuting dan DiCaprio harus memainkan tokoh yang saking pengennya untuk tampil gak-kalah dari bintang muda malah melupakan dialog yang mesti ia ucapkan. Atau ketika Brad Pitt harus menunjukkan reaksi saat masa lalu tokohnya diungkap – Booth dipercaya membunuh istrinya yang kebanyakan ngomel saat mereka liburan di kapal, naskah meminta Pitt untuk menunjukkan ambiguitas dari kebenaran ‘gosip’ tersebut, dan Booth oleh Pitt tampak seperti menikmati semua ini. Like, dia justru ingin orang percaya akan gosip tersebut karena mengangkat namanya sebagai seorang stuntman tangguh. Margot Robbie juga bermain menakjubkan. Naskah menampilkan Sharon Tate seperti tokoh dongeng yang tampak tak nyata. I mean, orang-orang biasa diperlihatkan tidak menyadari bahwa dia masih ada, bukan sekadar persona di bioskop. Dan bahkan dia juga mendapati namanya mulai meredup seperti Dalton. Aku pengen melihat penampilan Robbie lebih banyak, terutama soal kasus Manson tadi. Tapi Sharon Tate tampak seperti ditinggalkan, demi kepentingan twist yang diperlukan oleh visi cerita.

We’re watching the end of an era

 

Semua yang sepintas tampak seperti kekurangan di atas, sesungguhnya juga bertindak sebagai kekuatan yang dimiliki oleh film. Karena film memang mengincar perasaan yang mendua saat kita menontonnya. Tapi jika memang mau bicara kekurangan, aku menemukan dua yang masih belum aku lihat alasan Tarantino memilih untuk bercerita seperti itu. Pertama soal lompatan periode di babak ketiga yang menggunakan narasi untuk menjelaskan ke kita apa yang terjadi selama lompatan tersebut. Sembari film terus membangun narasi yang mengarahkan kita ke tragedi nyata, yang kemudian tidak dilakukan. Menurutku menggunakan periode dan narasi ini tampak seperti wujud bercerita yang malas dan menyingkat waktu dibandingkan dengan cara film menampilkan cerita tokoh sebelum sampai ke titik ini. Di awal dan tengah penceritaannya sangat kreatif. Selalu ada hal baru yang dilakukan untuk menggambarkan cerita tokoh yang sedang bergulir.

Kedua adalah soal kenyataan bahwa untuk konsep film ini bekerja, penonton perlu untuk mengetahui sejarah kasus sekte Manson, yang dijadikan twist oleh cerita. Keseluruhan punchline film hanya bekerja jika kita sudah tahu ini semua berdasar dari kisah nyata yang dibelokkan menjadi dongeng. Karena jika penonton tidak tahu, maka cerita film ini akan berakhir membingungkan. Tokoh Sharon Tate hanya akan tampak seperti tokoh ekstra yang seharusnya bisa dihilangkan. Soal kekerasan terhadap anggota sekte juga memang akan menjadi gambaran dominasi pria kulit putih terhadap wanita, pelampiasan kepada hippie, karena ada missing piece jika penonton tidak tahu sejarahnya. Aku nonton ini sama temanku yang hanya tahu film ini berdasarkan kasus Manson tanpa benar-benar tahu apa yang terjadi pada kasus tersebut, dan saat film beres dia bingung. Punchline dan belokan sejarah yang dilakukan film tidak kena kepadanya. Jadi, film ini membatasi dirinya sendiri. Film mengasumsikan semua penontonnya tahu, dan memang kita diminta untuk riset-riset sedikit dahulu. Dan buatku ini adalah kelemahan karena film meski punya sesuatu yang mendalam tapi seharusnya bisa bekerja di level permukaan. Kita hanya bisa menikmati dongeng sejarah jika kita tahu batasan mana dalam cerita itu yang benar-benar terjadi.

 

 

 

Tarantino tampak sedikit terlalu asik bercanda di film ini. Komedinya twisted and dark. Ceritanya memang menyenangkan, dengan tokoh fiksi dan nyata digabung, tapi bekerja dalam level yang ambigu. Yang untuk mengerti keambiguan dan sasaran yang dituju, penonton harus tahu dulu sejarah yang benar-benar terjadi. Jika tidak, film ini akan terasa berat dan menyinggung sekali. Di situlah letak keunikan film ini. Dia tidak takut untuk menjadi seperti demikian. Jarang kita dibuat menikmati film sekaligus menyadari yang kita tonton adalah harapan yang sudah kadaluarsa. Yang untuk menjadi pembelajaran saja tampak terlalu fantastis. But if you love films, punya perhatian terhadap sejarahnya, you will love this movie.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD.

 

 

 

47 METERS DOWN: UNCAGED Review

“She can talk underwater with a mouth full of marbles”

 

 

Dalam bahasa Inggris ada ungkapan “can talk under water” yang memiliki arti ‘banyak omong’. Ungkapan yang berasal dari Australia itu  difungsikan untuk menyindir seseorang yang enggak pernah berhenti mengoceh. Menggosip. Membual. Ngomong terus sampe bibirnya item. Setting film 47 Meters Down: Uncaged memang bukan di Australia, melainkan di Mexico. Tapi film horor serangan hewan buas ini benar-benar bernapaskan ungkapan “can talk under water” tersebut.

Tokoh-tokoh dalam 47 Meters Down: Uncaged tidak pernah berhenti membuka mulutnya untuk berbicara, berteriak, apapun. Dan mereka melakukan itu semua selama menyelam di dalam gua bawah air. How is that possible?!

 

47 Meters Down yang pertama (2017) bukanlah film yang bagus. Premisnya memang menarik, dua penyelam yang diserang hiu tatkala sedang berada di dalam kandang. Konsepnya basically sama dengan hampir semua survival-horror di jaman sekarang; menggabungkan kengerian kita terhadap serangan monster (dalam kasus ini: hiu) dengan ketakutan kita untuk berada di tempat yang tertutup. Tapi secara penokohan, dan cerita, film tersebut amat lemah. Tapi persona sang hiu sepertinya cukup ampuh, sehingga film itu laku di pasaran, dan sekarang kita duduk ngobrolin sekuelnya. Digarap oleh sutradara yang sama, Johannes Roberts, 47 Meters Down: Uncaged kini membangun lapangan yang lebih luas untuk konsep horor hiu dan ruang tertutup tadi. Kini alih-alih dua, kita dapat empat cewek remaja yang pergi mengeksplorasi gua bawah laut. Tempat situs peradaban peninggalan suku Maya. Dan hiu-hiu putih yang sudah berevolusi. Para cewek itu terperangkap dan harus segera mencari jalan keluar sebelum menjadi santapan hiu-hiu yang meski buta dan gigitannya meleset melulu tapi bisa muncul dari tempat-tempat tak terduga.

Para tokoh tersebut diberikan secercah plot. Dua poros utamanya adalah dua cewek kakak-beradik saudara tiri yang enggak akur sama sekali. Yang satu pemalu parah sampai selalu di-bully, yang satu lagi cukup populer sehingga enggak merasa perlu membuang waktu nolongin saudarinya. Dua tokoh tersebut punya warna kulit yang berbeda, tapi karena tukang bikin naskahnya matanya juga pada putih semua kayak mata para ikan hiu, maka soal itu tak mereka jadikan subteks. Yang jelas, dua tokoh ini harus jelas punya ayah yang seorang arkeolog bawah laut, sehingga mereka bisa membuat keduanya jadi corong eksposisi dan kemudian dibuat diam-diam masuk ke tempat kerja sang ayah. Hupla, dapatlah kita sembilan-puluh menit cerita menegangkan terperangkap bersama monster.

saking dangkalnya cerita, yang kutulis di paragraf itu udah bisa disebut spoiler berat loh

 

Untuk urusan akting, tidak banyak yang bisa kita dapatkan, karena sebagian besar cerita mereka berenang dengan masker skuba sehingga tak banyak ekspresi yang terlihat. Dan di sinilah film menjadi sangat annoying karena tokoh ceritanya antara ngomong dan teriak-teriak melulu. Tidak ada satu logika pun yang bekerja dalam bangunan cerita 47 Meters Down: Uncaged. Mereka menyelam dengan perlengkapan scuba, dan diberikan alasan bisa berkomunikasi dengan radio, tapi kita dengan jelas tidak melihat alat apapun terpasang di telinga mereka. Tidak ada antena. Tidak ada apapun yang membuat kita percaya mereka sedang memakai teknologi yang memungkinkan mereka bisa ngobrol layaknya berada di daratan. Film terus ngepush kesabaran kita dengan actually memperdengarkan musik bisa diputar oleh radio di dalam air. Gimana bisa??

Tapi itu semua belum apa-apa dibandingkan dengan seekor ikan. Yang bisa menjerit. Menjerit seolah dia tokoh film Nemo atau Home Alone atau apalah. Dari konteks narasi, hewan-hewan di sana sudah berevolusi saking begitu lamanya terperangkap dan tak pernah melihat sinar matahari. But, membuat ikan bisa menjerit membuat tokoh manusia kaget… well, to be honest, I’m shocked. Karena jerit-jerit mengagetkan inilah definisi horor dan menakutkan yang diusung oleh film. Kita akan melihat berbagai macam jumpscare yang di dalam air. Sebenarnya memang menakutkan di dalam air, di mana lingkungannya gelap, ditambah pula mereka berada di reruntuhan suku Maya. Tambahkan stake oksigen bisa habis kapan saja, kondisinya memang menakutkan. Di dalam air, gerakan dan pandangan manusia terbatas. Alamiah jika kita gampang kaget dan merasa ngeri saat menyelam. Hanya saja alih-alih menggambarkan ini semua dengan sebenarnya kengerian bawah laut, film masih menganggap perlu untuk menghadirkan horor lewat suara-suara keras. Sehingga tidak lagi terasa alami, melainkan menyebalkan oleh kehebohan yang palsu.

Sebenarnya oke saja jika sebuah film menceritakan orang menyelam dan mereka bisa berbicara. Asalkan mereka membuat ‘kenyataan-reka’ yang kuat. Dan sesungguhnya semua itu juga bergantung kepada kemampuan si pembuat film. Belum lama ini ada juga film horor lokal yang bertempat di bawah laut, yang para tokohnya menyelam juga – dengan peralatan selam standar – dan berkomunikasi verbal kayak lagi di darat. Dibandingkan dengan Uncaged ini, film 11:11 Apa yang Kau Lihat (2019) itu jadi tampak sedikit lebih ‘terhormat’. Karena kita lihat di film itu para tokohnya masih bermain gestur, maka sepertinya si film terpaksa nambahin dialog karena menyadari adegan di bawah air mereka tidak efektif karena suasana dan properti selam menghalangi ekspresi dan komunikasi pemain kepada penonton. Adegan di dalam airnya juga dibuat sesedikit mungkin. Sedangkan film Uncaged justru berusaha memasuk akalkan para tokohnya bisa berbicara di dalam air. Mereka fully commit cerita berlangsung di dalam air, dan they just go with all the dialogues and screamings. Yang membuat film jadi tampak bego.

Bagaimana tidak. Sudah jelas mengetahui hiunya buta dan tajam indera pendengarannya, tapi para tokoh tetap teriak-teriak memanggil nama temannya. Membuat gaduh yang ganjil. Dan lagi, bukannya hiu itu yang tajam indera pembaunya ya? Bukannya hiu agresif mencium darah di air? Elemen ini justru disimpan film untuk bagian final. Sementara selama dua babak kita dipaksa menelan mentah-mentah logika ngawur filmnya. Balik ke teriak-teriak; dialog dalam film ini benar-benar kosong kayak snack berisi angin. Jadi di dalam air, dengan perlengkapan nyelam, keempat tokoh cewek kita udah tak ketahuan lagi siapa yang mananya. Sementara film memutuskan mereka semua ini perlu untuk berdialog. Tau enggak cara yang dipilih naskah supaya kita bisa mengikuti percakapan mereka? Dengan membuat setiap kalimat ada nama orangnya. Percakapan mereka yang hanya sekadar eksposisi dan teriak itu semakin lucu terdengarnya. They go like, “Kita harus ke sana, Nicole”. “Tidak ada apa-apa, Sasha.” “Ayahmu ada di sana, Mia.” “Hidupkan alarmnya, Alexa” Wait, Nicole, Sasha, Mia, Alexa… ini masih hiu atau udah jadi WWE?

Rope-climbing Death Match

 

Sekuen ‘aksi’ di menjelang ending adalah bagian terbaik dari film ini. Seharusnya mereka sudah komit jadi sekonyol itu sedari awal. Dengan segala slow motion dan aksi-aksi melawan hiu yang over-the-top. Karena film benar-benar gagal untuk menjadi horor terperangkap melawan hewan buas. Enggak ada seram-seramnya. Jikapun terhibur, maka kita terhibur oleh kedunguan-tak-diniatkan yang dihadirkan oleh film. Kematian dalam film ini tak-terasa sama sekali. Karena tokoh-tokohnya tak ada yang punya sesuatu untuk kita pedulikan. Menurutku film ini pengen mirip sama The Descent (2005) yang juga tentang sekelompok wanita bertualang dan terjebak dan diburu sama pemangsa di dalam gua. Sayangnya tak seperti The Descent, Uncaged lupa mengisi cerita dengan logika dan tokoh dengan karakter-karakter yang berbobot.

 

Kalo kamu ingin tertawa melepas stress dan butuh sesuatu untuk mencegah dirimu tenggelam dari merasa paling bodoh sedunia, tontonlah film ini. Karena setelah nonton kamu akan senang sekali mengetahui dirimu enggak sebego horor bawah laut yang baru saja kamu saksikan. Bermain di laut gelap yang seram dan hiu pemangsa, film malah mengandalkan dialog dan suara untuk memancing kekagetan; yang diartikan dan dijual sebagai horor oleh pembuatnya. Yang menjadi penanda tidak kekompetenan, atau kemalasan, pembuatnya. Namun begitu, dialog filmnya hanya terdiri atas eksposisi dan teriakan. Lucunya lagi, dengan demikian sering eksposisi, film juga enggak sempat melandaskan logika-dalam yang mereka pakai. This film just all talks, with no bites.
The Palace of Wisdom gives 1 of 10 gold stars for 47 METERS DOWN: UNCAGED