LIFE Review

“… the only form of life we have created so far is purely destructive.”

 

 

Jake Gyllenhaal di luar angkasa? C’mon gimana aku bisa bilang “tidak” kepada film ini!

Jadi ceritanya, Jake bersama Deadpool dan empat astronot lain harus stay di orbit buat mengawasi misi Mars Pilgrim 7; mencari sampel kehidupan di Planet Merah. Keenam kru harus menjemput dan memastikan spesimen organis dari planet Mars itu bisa nyampe Bumi dengan selamat, karena tentu saja itu merupakan penemuan yang sangat luar biasa. Dibawalah organisme tersebut ke stasiun luar angkasa mereka, diteliti, dirawat baik-baik. Enggak ada yang curiga dong, ketika alien imut tersebut mulai bergerak. Jake dan teman-teman malah girang, begitu juga orang-orang di Bumi. Si alien diberi nama Calvin. Namun, apa yang tadinya hanya satu sel dengan cepat berkembang menjadi susunan jaringan otot, otak, dan indera. Dan horor! Sekarang misi enam manusia itu berputar 180 derajat menjadi menjauhkan makhluk cerdas, highly adaptable, dan berbahaya ini dari Bumi, dan dari diri mereka sendiri.

Seperti kamera yang berkesinambungan ngesyut aktivitas di dalam stasiun luar angkasa pada sepuluhan menit pertama, film ini pun akan terus mendera kita dengan perasaan teror dan terkurung begitu Calvin mulai menjebol kotak penangkarannya. Discovery yang kita dapati adalah bahwa ternyata film ini enggak berniat membahas hal-hal filosofis. Ini bukan jenis film di mana Jake Gyllenhaal punya kembaran ataupun mimpi didatengin kelinci dan dia harus mencari tahu makna di balik semuanya. There’s really nothing beyond pembahasan bahwa di dunia ini kita enggak sendirian dan setiap makhluk hidup berhak atas yang namanya bertahan hidup. Life adalah HOROR SURVIVAL DI LUAR ANGKASA. Dengan kehadiran tropes standar, dirinya mungkin akan mengingkatkan kita sama Alien (1979) atau malah premisnya bikin teringat dengan game jadul Game Boy Advance; Metroid Fusion, film digarap dengan sangat capable dan punya perspektif penceritaan yang cukup berciri. I mean, kita enggak bisa ngeshoot down film ini “enggak original!” begitu saja. For once, gimana tokoh film ini ngetreat Calvin saja sudah membuatnya agak berbeda dengan survival horor kebanyakan.

“we’re not alone.. there’s more to this I know”

 

Pace yang lumayan cepet, namun tetep terasa contained. Setnya terlihat compelling dan memenjarakan, meskipun mungkin mata kita masih terbuai oleh menterengnya pesawat Passengers (2016). Kita akan menikmati perasaan terkungkung dan mencekam yang dialami oleh para tokoh. Aku enjoy ngeliat mereka main kucing-kucingan dengan Calvin yang bisa nyelip masuk ke mana-mana. In fact, ada banyak waktu ketika aku malahan ngecheer si alien yang kayak gabungan gurita dengan amuba tersebut. Karena dalam film ini, kita enggak benar-benar yakin mesti ngedukung tokoh yang mana.

Semenjak Alien memang terbit semacam tren di dalam genre survival horor bahwa semakin penonton enggak bisa menerka tokoh mana saja yang bakalan selamat, maka itu artinya film semakin sukses ngedeliver elemen aksi dan horornya. Life juga sukses bikin kita nerka-nerka siapa yang mati duluan, aku kecele juga karena tadinya kukira tokoh kulit hitam yang bakal mati duluan, malahan kayaknya di trailer aja dia udah game over hhihi, tapi enggak. Namun faktor enggak bisa nebak yang selamat ini tidaklah lantas dijadikan alasan untuk sengaja tidak mengembangkan para tokoh manusia. It would be suck buat ngeliat tokoh-tokoh hanya jadi korban gitu aja tanpa kita merasa kehilangan atas mereka. Film butuh supaya skripnya memegang satu karakter sebagai pondasi agar strukturnya bisa kuat. Dalam Life, kita bisa menyaksikan ada usaha untuk memberikan personality kepada para tokoh manusia.

Dari enam, ada tiga yang diberikan backstory. Well, ya lumayanlah dibanding kosong melompong. Yang paling menarik adalah ahli biologi Hugh Derry yang diperankan oleh Ariyon Bakare. Hugh yang kakinya cacat merasa lebih hidup di luar angkasa, dia enggak perlu pakai kursi roda di atas sini. Dan kemudian, sebagai orang yang bertanggung jawab langsung dalam mengurus Calvin, Hugh memberikan pandangan yang menarik ketika dia merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukan oleh alien tersebut. At one point, Hugh tampaknya sudah terattach secara emosional kepada Calvin.

Sudah seperti orangtua dengan anaknya sendiri. Hugh ngerasa bertanggung jawab karena dia yang sudah memberikan kesempatan hidup buat Calvin. Eventually ini menjadi konflik moral yang sempet disinggung sekilas banget oleh film; seperti apakah tepatnya tanggungjawab tersebut, apakah dengan memberikan hidup maka kita juga yang bertugas untuk menghentikannya. Tidak seperti hape – setiap kali kita ngecharge, kita meniupkan kehidupan kepada baterainya, Calvin actually adalah makhluk hidup yang berhak untuk bertahan. Sayang memang film ini tidak menggali lebih jauh soal hubungan menarik yang terbentuk antara Hugh dengan Calvin.

 

Sesungguhnya ada orangtua beneran dalam ensemble ini, tokoh yang dimainkan oleh Hiroyuki Sanada adalah seorang yang baru saja menjadi bapak. Namun backstory personal ini tidak berkembang lebih jauh karena kelahiran putranya tersebut hanya digunakan sebagai pemantik emosi. Kesempatan besar juga dilewatkan dalam penanganan karakter Jake Gyllenhaal. Dia memerankan David, seorang dokter yang actually sudah berada di sana selama 473 hari, paling lama di antara rekan-rekannya. David begitu betah di luar angkasa, dia enggan balik ke Bumi, dan alasan di balik itu semua cukup menarik; dia enggak tahan melihat apa yang bisa kita lakukan terhadap sesama. Dokter ini sangat terpukul setelah apa yang ia saksikan saat dikirim ke medan peperangan. Sayangnya, motivasi dan traits personal David enggak pernah sekalipun dikaitkan sebagai lapisan cerita. Hanya dibahas begitu saja, dan tidak hingga di akhir backstorynya ini memberikan impact.
Selebihnya ya, mereka cuma ada di sana, dengan peran minimal masing-masing. Ryan Reynolds di sini hanyalah seorang astronot realis yang keren penuh komentar lucu. PENGARAKTERAN YANG TIPIS BANGET. Kharisma dan kemampuan para aktor yang membuat film ini watchable.

Atau mungkin, kita beneran betah duduk lantaran ingin melihat gimana aktor-aktor tersebut menemui ajal. Bukan bermaksud sadis, tapi memang film ini mendadak menjadi KREATIF SAAT PARA TOKOH MENEMUI AJAL. Cara matinya, gimana mereka ngesyut adegan mati tersebut, lumayan unik. Lagian, kita juga enggak bisa jadi lebih peduli lagi sama mereka. So much for survival thing, kita malah dibuat penasaran pada apa yang bisa dilakukan oleh Calvin. Meskipun disebutkan sebagai makhluk karbon seperti manusia, sepanjang film kita akan melihat alien ini ngelakuin hal luar biasa, dia tahan api, dia bisa mencerna tikus dengan cepat bulat-bulat, dia bisa ‘tahan napas’ di outer space. Kontras banget sama tokoh manusia yang kerap mengambil keputusan-keputusan yang bego. Pada satu sekuen Calvin meloloskan diri, ada seorang tokoh yang terus mengambil tindakan yang bakal bikin kita jerit-jerit stress. Satu sekuen loh itu bayangkan, apa yang mau didukung dari karakter manusianya coba! Orang-orang pintar ini kayak pada berlomba nyari cara paling bloon buat mati.

“dumb ways to die, so many dumb ways to die”

 

Soal twist endingnya, aku enggak tahu, it did feels like they want to push it into a sequel tapi aku enggak yakin. Apakah endingnya resolving a plot? Aku enggak mau spoiler banyak, tapi in a way, iya, ada tokoh yang plotnya, istilahnya, ‘kebales’. Apakah ending ini stupid? Jawabannya iya juga, wakwaw banget, kerasa film ini dibuat ya cuma supaya mereka bisa seru-seruan dengan bagian akhir ini. Kayak saat pitching mereka bilang gini “gimana kalo kita bikin film alien seru kayak Alien, tapi endingnya dibikin mirip-mirip Gravity, gini nih sini deh aku bisikin…” dan voila, film ini lantas diperjuangkan untuk hidup supaya adegan surprise ini terlaksana. Apakah endingnya ini worked? Iya juga, ini bekerja sebagai paradoks tentang kehancuran manusia akan datang sebagai akibat dari apa yang kita hidupkan.

Hidup adalah proses. Bukan hanya pengciptaan, melainkan juga kehancuran. Pada akhirnya ini adalah soal siapa yang memiliki naluri bertahan yang paling kuat. Siapa yang rela menghancurkan demi kelangsungan. Apakah manusia akan punah jika suatu saat ada spesies yang lebih ‘canggih’ sekaligus lebih ‘primal’ seperti Calvin? Atau sebaliknya, apakah kehancuran adalah satu-satunya bentuk kehidupan yang bisa kita ‘hidupkan’?

 

 

 
Film ini mengembalikan kita kepada citarasa alien tradisional setelah kedatangan Arrival (2016) yang begitu berbeda. It is a fast-paced, confined-space survival horror yang tau persis apa yang ia lakukan. Tone dan arahannya ketat menghasilkan petualangan hidup-mati yang mendebarkan. Namun tidak banyak yang terkandung di dalamnya. Enggak kosong total sih; setengah berisi, dan film ini pun tidak ingin disibukkan dengan mengisi sampai penuh. Dia malah kelihatan lemah saat berusaha menjadi sedikit berbobot. Ditambah dengan banyaknya bad decisions yang dilakukan oleh para tokoh, film ini tampaknya justru hidup dengan membiarkan mereka mati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for LIFE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

KONG: SKULL ISLAND Review

“You have enemies? Good. That means you’ve stood for something, sometime in your life.”

 

 

Bertamu ke rumah orang, kita mestinya sopan. Kita enggak gedor pintu depan rumahnya. Kita enggak nyelonong boy masuk tanpa permisi, apalagi kalo belum kenal. Kita enggak lupa nyiram kamar mandi sekiranya kita numpang ‘ngebom’. Heck, kita should never ngebom beneran rumah orang yang kita datengin. Tapi tim ekspedisi dalam film Kong: Skull Island terbang masuk ke pulau misterius yang baru saja ditemukan lewat citra satelit sembari memborbardir daratan. Tim yang terdiri dari beberapa ilmuwan dan sekelompok tentara itu dikirim dalam  sebuah misi pemetaan. Tentu saja, misi tersebut punya tujuan lain dan dengan segera investigasi mereka berubah menjadi acara penyelamatan diri lantaran pulau tersebut ternyata dihuni oleh monster-monster superbesar. Dan yang paling gede di antara mereka, Kong si primata raksasa, enggak demen daerahnya kemasukan tamu asing yang kasar. Berisik pula!

Beberapa sekuens aksi dan kejar-kejaran yang dihadirkan oleh film ini sangat impresif. Dan menyenangkan juga, bikin kita geregetan sendiri. Selalu menarik melihat makhluk-makhluk gede saling berantem. Actually, reboot film King Kong klasik (1933) ini adalah bagian kedua dari, atau katakanlah, ‘sekuel terpisah’ dari seri monster yang dimulai oleh Godzilla (2014). Sepertinya memang mereka berniat buat bikin cinematic universe ala-ala yang dilakukan oleh Marvel. Film ini bahkan PUNYA ADEGAN EKSTRA SEHABIS KREDIT loh. Dan kalo nantinya dunia cerita ini (mereka menyebutnya MonsterVerse) berujung dengan Kong bertemu Godzilla, well kupikir kita sudah tahu siapa yang akan menang. Kita, para penonton!

Monkey see Marvel, Monkey do Marvel

 

Ngeliat Kong menumbuk monster-monster lain adalah hiburan mutlak. It looks very cool. It’s a gigantic monster versus gigantic monster. Kalo itu enggak menghibur maka aku enggak tahu lagi apa kriteria untuk bisa masuk kotak berjudul menghibur. Adegan PERTARUNGAN TERAKHIR SI KONG ADALAH YANG TERBAIK. Sekuensnya selalu disyut dalam wide shot yang panjang dan benar-benar kerasa epik. Jordan Vogt-Roberts, sutradara film indie keren; The Kings of Summer (2013), kepilih untuk ngegawangi film ini. Kayaknya sekarang memang sudah jadi kebiasaan Hollywood buat ngegaet sutradara muda yang udah sukses nelurin karya independen. Godzilla sebelum ini, disutradari oleh Gareth Edwards yang ngeroket dengan film indienya; Monsters (2010). Film Jurassic World (2015) jugak ditangani oleh sutradara indie. It’s nice Hollywood ngasih kesempatan. Namun berkaca dari hasil akhir proyek-proyek blockbuster yang mereka tangani, aku jadi suudzon kepikiran; jangan-jangan Hollywood iri dan sengaja ngasih skrip seadanya buat sutradara-sutradara ini kerjakan.

Mas Hollywood: “Selamat yaah buat 500 Days of Summers”
Mark Webb: “Makasih, Mas. Ajak-ajak dong kalo ada proyek hehehe”
Mas Hollywood: “Oh boleh. Nih!”
(Ngasih naskah The Amazing Spiderman)
Mas Hollywood: “Coba kita lihat bisa enggak kamu bikin jadi lebih bagus”
Mark Webb: (ragu-ragu abis baca skrip sekilas) “Anu..dicoba ya, Mas…”
Mas Hollywood: “Sanggup ya sanggup, enggak ya enggak. Kamu mau gak?!”
Mark Webb: “….Oke deh…”

 

Aku enggak tahu apakah kejadiannya beneran seperti itu, namun setelah selesai menyaksikan Kong: Skull Island, pikiran negatif memang tak terbendung lagi. I kinda feel bad buat sutradara film ini. You know, seolah sutradara-sutradara indie adalah tamu di scene Hollywood, dan penghuni-penghuninya enggak suka kemudian lantas mengospek dengan memberikan materi yang banyak kurangnya.

Ketika di atas tadi aku nulis soal final battle Kong adalah yang terbaik, sebenarnya yang aku maksudkan adalah literally seperti demikian.  Adegan berantem Kong, terutama yang di akhir itu, bener-bener adalah kerja terbaik yang diberikan oleh film ini dari awal sampai akhir. Arahan film ini nyatanya lumayan jelek. Ketika kamera ngeliatin Kong, ya semuanya keren dan seru dan fun. Tetapi ketika kita nunduk ngeliat para tokoh manusia, maka kita akan ngeliat tubuh-tubuh yang siap jadi karung tinju Kong beserta penghuni pulau lainnya. Tidak ada karakter sama sekali. Film ini sempat nyinggung soal hollow earth, well yea, padahal dirinya sendiri sangat kopong dalam pengkarakteran. Editing filmnya juga terlihat kasar, dengan perpindahan yang agresif secara visual. Sebenarnya aku sedih juga ngerasa annoyed sama cara film ini disambung.

Pada bagian action, film ini banyak makek gaya slow-motion yang membuat kita jadi teringat sama film-film action Michael Bay. Sekuen berantem di bar di babak awal diedit dengan begitu parah sehingga kayak film kelas amatir. Mendengar dari musik pada banyak adegan, film ini pengen mengeluarkan suasana layaknya film perang, hanya saja terdengar enggak klop sama ‘dunia’ yang berusaha dibangun oleh ceritanya. Apocalypse Now dengan Moby Dick enggak bisa nyatu sempurna hanya karena kita muterin lagu CCR sebagai latar. And don’t make me start on the humor. Lelucon-lelucon yang terujar di sepanjang film, nyaris semuanya enggak lucu, garing. Film ini berusaha keras buat jadi lucu, but it just doesn’t work. Karena kita enggak dibuat peduli sama tokoh-tokohnya. Karena film ini tidak berhasil menghasilkan tone yang selaras.

 

Hanya dua karakter yang bisa dibilang menarik di dalam film ini. Tokoh yang diperankan oleh Samuel L. Jackson dan John C. Reilly. Cuma mereka juga yang berhasil bikin kita terkekeh ketawa. Tapi itu pun bukan karena penulisan yang oke, melainkan karena dua aktor ini actually sudah sangat kompeten dan lucu. Kharisma merekalah yang membuat dialog yang mereka ucapkan jadi ngena dan berbobot.

Hank Marlow yang diperankan John C. Reilly punya backstory cukup kompleks sebagai pejuang Perang Dunia Kedua yang terdampar di pulau ini bersama seorang tentara Jepang. Musuh menjadi teman ketika orang ngadepin masalah yang sama. Sejarah tokohnya ini sebenarnya bisa jadi landasan yang compelling sebagai pemantik emosi, namun film memutuskan bahwa Marlow paling suitable jadi karakter eksposisi semata. Marlow yang udah tinggal di pulau sejak Perang tersebut, hanya ditujukan sebagai pemberi info. Dia jadi bintang cuma di adegan eksposisi gede saat dirinya ngajak para tokoh lain ke sebuah ruangan yang banyak gambar-gambar di dinding batu, di sana dia nyeritain sejarah pulau dan peran Kong di pulau tersebut.
Tokoh Samuel L. Jackson, Jenderal Packard, ditulis punya semacam hubungan spesial dengan perang. Dia terlihat bergairah ketika mendapat panggilan tugas ke Pulau, padahal tadinya dia lesu sebab kloternya akan dipulangkan dari medan pertempuran. Penokohannya menarik, ada sesuatu di dalam dirinya, kita bisa rasakan kenapa dia butuh banget berperang. Dia menanamkan rasa dendam hanya supaya dia bisa terus punya misi. Dia ngerasa enggak hidup jika enggak mengangkat senjata, ataupun jika enggak ada perintah.

Apa yang membuat sesuatu kita anggap musuh. “Musuh itu tidak ada, sampai kita mencarinya”, film ini menggelitik kita dengan kalimat tersebut. Pertanyaan yang penting adalah kenapa kita merasa perlu mencari musuh. Dalam film ini, kita melihat Jenderal Packard terus mencari ‘musuh’ karena dia ingin menunjukkan bahwa dia punya prinsip di dalam hidup. Dia punya sesuatu yang ia lindungi, begitu juga dengan Kong. Tapi yang harus disadari adalah kita juga perlu membuka diri karena tidak semua intervensi adalah serangan; bahwa kita bisa unite dalam menghadapi sesuatu yang lebih besar lagi.”

 

Selebihnya, populasi film ini adalah tokoh-tokoh manusia yang kosong. Mereka membosankan. Ada sih yang dibikin punya anak yang menunggu di rumah, tapi kita enggak peduli. Mereka ini adalah tokoh yang diciptakan supaya Kong dan monster-monster lain punya kerjaan. Karakter yang diperankan oleh Tom Hiddleston adalah veteran keren yang jago ngetrack orang dan piawai berantem pake tongkat biliar. That’s it. Dia diajak ke Pulau karena kemampuannya ngelacak. Cuma ada satu adegan di mana dia ngobrol hati-ke-hati mengenai apa yang terjadi di masa lalunya. Tokohnya Brie Larson lebih parah lagi, cewek ini adalah fotografer. Titik, itu karakternya; liat tulang gede, dijepret. Liat suku asli, dijepret. Liat Kong berantem, dijepret. Dia enggak benar-benar ngelakuin apapun, she’s so bland.

syarat casting film ini: cakep, bisa lempar granat, dan bisa lari slow motion.

 

Visualnya juga enggak bagus-bagus amat. Beberapa momen malah terlihat palsu, kelihatan kayak tidak benar-benar ada di sana. Aku mengucek mata ketika melihat satu adegan di babak tiga, di mana Conrad dan Mason berada di antara Kong dengan Packard, karena adegan tersebut kelihatan kayak the worst green screen, kayak yang pernah kita tengok di prekuel Star Wars. Juga ketika Mason mencoba menyentuh Kong, seharusnya adegan ini sangat emosional, tapi jangankan kita, tokoh Masonnya sendiri kelihatan tidak konek dengan adegan tersebut. Jika The Jungle Book (2016) yang disyut di green room dan kelihatan kayak di hutan beneren, maka Kong: Skull Island ini kebalikannya; sebagian besar berlokasi di lapangan betulan, namun malah seluruhnya kayak ditake di dalam studio. Padahal mestinya mereka bisa bermain banyak dengan environment Skull Island yang misterius dan keren.

 

 

 

Usaha yang dilakukan oleh film ini buat nutupin kehampaan karakternya adalah dengan mendedikasikan babak ketiga sepenuhnya sebagai babak aksi dahsyat. Persis kayak yang dilakukan oleh Rogue One (2016). Mereka mengisi film dengan hal-hal yang ngereferensiin sesuatu yang sudah kita kenal sehingga kita excited, dan membawa sebanyak mungkin tokoh-tokoh yang enggak mateng digarap ke sekuens impresif di babak akhir supaya kita ngerasa “wuihhh!” dan berpikir bahwa ini adalah film yang bagus. Tapi enggak. Ini cuma usaha lain dalam mengulang dan meniru dunia sinematik Marvel demi mendulang uang. Buat yang suka ngeliat Kong berantem lawan monster doang, film ini akan menghibur berat. Namun jika suka liat monster kelahi dan actually peduli sama karakterisasi dan hal lain semacamnya, kalian enggak rugi kok kalo enggak nyempatkan waktu singgah ke hollow world film ini.
The Palace of Wisdom gives 4.5 gold stars out of 10 for KONG: SKULL ISLAND.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER Review

“True identity is found when we start becoming who we were created to be.”

 

residentevilthefinalchapter-poster

 

Kita hidup di dunia di mana kita enggak bisa gitu aja bilang “Gue penggemar Resident Evil, loh”. Karena ada batasan jelas yang memisahkan antara “penggemar film-adaptasi-game terburuk” dengan “penggemar game-survival-horor-terbaik”. Sayang memang, I mean, kenapa mereka enggak lupakan saja soal franchise, just stop, dan ngulang lagi bikin film yang benar-benar mengerikan tentang zombie di rumah tua atau semacamnya?! One can hope film ini benar-benar akan menjadi babak terakhir. Babak final. Penghabisan. Mungkin film ini akan actually bisa menjelaskan lima-belas tahun continuity errors dari cerita yang sudah enggak make-sense lagi.

Ternyata, film ini hanyalah segerombongan adegan mindless action, seperti yang sudah kita kenal baik.

Perlakukan Resident Evil: The Final Chapter selayaknya zombie. Lari! Larilah dari dirinya, demi hidupmu, sejauh mungkin. For this one movie will eat your brain dead!

 

Oke, kalian tahu, aku paling males nulis film jelek karena aku enggak mau isi ulasanku kesannya negatif melulu. Aku selalu berusaha untuk mengangkat sisi baik dari semua film. Apalagi film-film kayak remake dari Poltergeist ataupun reboot dari Fantastic Four sebelum membanting mereka sebagaimana mestinya. I’ve done that in the past, and I’m gonna do it again today. Buat film Resident Evil; yang gamenya selalu aku mainkan dengan semangat meski baru dua seri yang bisa tamat tanpa pake cheat, film yang sengaja aku tunda-tunda menontonnya karena aku benci kalo nanti bakal membenci filmnya lagi, aku sungguh-sungguh mencoba, aku masuk dengan pikiran positif. Aku harap aku bisa ngesell film ini dengan enggak parah-parah amat.

Jika kalian enggak punya masalah sama lima film Resident Evil sebelum ini, jangan pedulikan apa kata kritik. Jangan dengarkan apa yang kutulis. Go watch it and have fun, karena film adalah pengalaman subjektif. Namun, buat sebagian besar penonton, ketahuilah bahwa ini adalah salah satu FILM YANG PALING ‘MENYIKSA’ yang bisa kita tonton di bioskop in a recent year.

Supposedly menyambung langsung cerita terdahulu, Alice mendapati dirinya terbangun sendirian di reruntuhan. Dia kemudian digreet oleh monster-monster bioweapon sebelum akhirnya disapa oleh Red Queen, si A.I. yang mengambil persona anak kecil. Mantan lawannya tersebut meminta Alice untuk kembali ke Raccoon City karena Alice adalah cewek perkasa badass abis yang enggak pernah mati meski ada banyak zombie, dan kali ini Umbrella Corporation ingin melenyapkan sisa-sisa manusia dengan T-Virus, so Alice harus menghentikan itu sambil harus nemuin anti dari T-Virus yang disimpan di markas Umbrella di Raccon City (alias lokasi film yang pertama). That’s the storyline, simpel, ala misi video game banget, namun membingungkan karena beberapa keadaan terlihat enggak begitu cocok dengan cerita-cerita sebelumnya.

Dazed and confused.
Dazed and confused.

 

Untuk membuat cerita lebih mudah dipahami, para pembuat film ini merakit penceritaan dengan FORMULA YANG SEDERHANA; eksposisi – big action – eksposisi – big action – eksposisi – big action – dan begitu seterusnya. Film dimulai dengan rangkuman apa yang sudah terjadi, just in case kita belum pernah nonton film-film sebelumnya. Kemudian ada adegan aksi di atas kendaraan. Setelah itu, karakter-karakter kita ngumpul berkeliling dan seseorang tells them a story. Disambung oleh adegan action lagi, tembak-tembakan. Wuih! That’s how the entire film plays out. Ada satu momen yang efektif; saat ada tiga zombie yang lagi tergantung, mendadak come to life dan menyambar ke arah truk yang sedang melaju. Pengambilan gambar yang really creepy.

Kalo ada yang lebih jelek daripada tampang para zombie, maka itu adalah sekuens aksi. Serius deh, adegan-adegan aksi film ini disyut dan choreographed horribly. Dalam film, ada yang dikenal dengan teknik Eye Tracing; di mana pergerakan kamera diperhitungkan sedemikian rupa sehingga aksinya membimbing fokus pandangan penonton. Dalam film ini, eye tracingnya parah sekali. Semuanya diedit dengan sangat cepat, kita tidak bisa melihat dan memahami apa yang sedang terjadi. Ada yang mati pun, kita enggak bisa langsung ngeh siapa yang jadi korban. Dalam adegan dengan kipas gede, misalnya, aku butuh beberapa scene bolak-balik untuk bisa recognized siapa yang isdet.

To make it worse, sutradara Paul W.S. Anderson menonton Mad Max Fury Road (2015) sebelum dia bikin storyboard film ini. Jadi, beliau dengan segala kehumbleannya sebagai seorang filmmaker mencoba ngerecreate keawesomean visual style yang sudah dibuat oleh George Miller. Dua-puluh-menit pertama jelas sekali Resident Evil ingin mengemulasikan gaya edit cepat, it is the biggest rip-off of Mad Max yang pernah kuliat, dan film ini come short – malah terlihat sebagai upaya amatir alih-alih membuat adegannya enak dan intense untuk ditonton. Resident Evil: The Final Chapter adalah film berbudget gede dengan EDITING TERBURUK yang pernah kutonton sejauh ini. Liat aja sendiri, medium shot lengthnya pastilah kurang dari satu detik. Satu contoh lagi yaitu pas di adegan Alice berhadapan dengan this huge bioweapon creature. Alice menembak monster itu dengan dua pistol as the monster berlari ke arahnya. Kamera ngecut bolak-balik dengan sangat cepat di momen ini sehingga aku bersyukur enggak punya migrain dan enggak nonton ini dalam format 3D.

Semua elemen dalam film ini dicut dan digabungkan dengan begitu manipulatif demi memancing keseruan. Supaya kita merasa sedang menonton sesuatu yang keren, untuk membuat kita berpikir sesuatu yang amazing baru saja terjadi. Bahkan musik dan sound-designnya bekerja keras untuk menipu kita. Sepanjang film kita akan dibombardir oleh jump scare yang datang susul menyusul. Alice berjalan di suatu tempat, suasana hening, dan beberapa zombie muncul lengkap dengan suara yang over-the-top. Film ini penuh oleh serangkaian momen yang berusaha untuk terkesan seram tapi nyatanya cuma annoyingly loud dan sangat absurd. Mencoba begitu keras untuk menekankan kesan urgensi dan finality, this film is FILLED WITH SO MANY TIRED MANIPULATIVE WAYS OF EDITING FILM TOGETHER.

Mengingat gimana ngasalnya cara mereka mengedit film ini menjadi satu kesatuan, sebenarnya adalah fakta yang sangat ofensif, that sekelompok orang datang menonton ini dan bilang filmnya bagus. Malahan film ini nomer satu di box office Indonesia! Dan lebih ofensif lagi mengingat gimana film ini bisa diluluskan sebagai sebuah film in the first place.

 

Ada sedikit cercah film ini membahas sesuatu yang lebih dalem, seperti apa yang sebenarnya ingin dikatakan dari Umbrella yang demen bikin clone. Harusnya ada talk yang mendalam soal Alice yang kini come in terms dengan identitasnya, bukan sebagai simbol – melainkan sebagai seorang individu. Aku suka mereka ngeemphasize “My name is Alice” di awal dan akhir film. Aku selalu membahas dan menekankan soal karakter setiap ngereview. Karena toh tidak akan ada film, tidak akan ada cerita jika tidak ada karakter. I love movies karena aku suka berpikir soal karakter manusia. Dan dalam film ini? HAH!!! Film ini lebih mengutamakan aksi ketimbang karakter.

Alice enggak ngapa-ngapain selain cuma wadah yang bisa nembak ribuan zombie. Alice doesn’t do anything untuk mendapatkan pengakuan sebagai badass action hero. Dia begitu ya karena ditulis begitu. Ada bagian cerita di mana Alice sampai di compound yang apparently dipimpin oleh orang lain, kemudian segerombol besar zombie muncul, dan Alice mengambil alih kepemimpinan gitu aja, no questions asked. Beginilah skrip film ini ditulis. Alice does things, dia nembak, dia ninju, dia akrobat, tapi tidak pernah dia ngelakuin sesuatu yang membuat orang ngeliat dia sebagai pemimpin. Dan aktingnya? Pffft tidak ada akting. Milla Jovovich did an easy job here, dia malah enggak perlu repot berakting kesakitan. Alice is such a worst character, sampai-sampai ada adegan di mana dia ngedetonate bom beberapa jengkal dari antivirus yang berusaha ia selametin, tanpa tedeng aling-aling, tanpa pikir-pikir dulu soal akibat dari tindakannya.

Alice got her “I’m your father” moment
Alice got her “I’m your father” moment

 

 

 

Jika ingin pengalaman yang luar biasa sehubungan dengan dunia zombie, atau mau nikmatin the feeling of survival horor, saranku; just play the game, seriously. Ada seri terbaru Resident Evil yang keluar buat PS4 and itu serem dan keren banget. Film ini fails to deliver apapun, not even the sense of finality. It doesn’t respect us as the general audience. Film ini bahkan gagal catering buat fans loyal mereka yang sudah lima-belas tahun ngikutin. Orang-orang yang udah sit through all of them. Karakter-karakter yang entah gimana. Twist terakhirnya sangat absurd dan pointless, completely dishonor tokoh utama cerita. Terutama memberikan dampak yang buruk buat film-film terdahulunya. Tidak ada yang make sense di sini. Endingnya, efeknya, editingnya, semuanya so awful. Turns out, film ini menghinaku lebih banyak ketimbang apa yang aku ucapkan dalam menilai jujur dirinya.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.