GOING IN STYLE Review

“The most dangerous creation of any society is the man who has nothing to lose.”

 

 

Sebagai manusia, kita ingin hidup tenang. Terutama di masa tua. Tidak ingin dicurangi. Kita ingin mendapatkan hak sebesar kewajiban yang kita tunaikan. Enggak kurang, sukur-sukur lebih. Dan sama pentingnya dengan itu, sebagai manusia kita mau didengar, dikenang, kita ingin melakukan sesuatu yang di luar batas. Kita mau gaya. Kita mau going out with a bang.

 

Rumah Kakek Joe sebulan lagi disita, dana pensiunnya dibekukan, saat beliau mau protes ke bank, eh banknya malah dirampok. Joe dibuat terkesima dengan aksi tiga perampok muda yang sangat professional dan terkoodinir. Terutama, mereka sopan kepada penduduk senior, enggak seperti bank yang tega bikin susah hidup Joe. Enggak setetes pun darah mengucur dari peristiwa itu. “Mereka seperti menari” ia menceritakan pengalaman tersebut kepada dua sahabatnya; Kakek Willie dan Kakek Al, entah untuk keberapa kali. Kagum dapat membuat orang menjadi meniru, dan itulah tepatnya yang dilakukan oleh Joe. Merasa enggak mau kalah, dia nekat ngajakin dua sobat-nyaris-seumur idupnya untuk merampok bank yang udah screw over their life. Komedi lantas datang begitu ketiga remaja senja usia ini belajar merampok. Sesuatu yang tidak pernah mereka kerjakan di masa muda, bagaimana bisa mereka melakukannya sekarang ketika untuk berlari saja mereka nyaris mematahkan pinggang sendiri?

oh encok ku!!!

 

Mengambil tema yang mirip ama Hell or High Water (2016) namun mengemasnya dalam sajian komedi, film ini tampil sangat ringan. Kesubtilan hampir tidak ada dalam narasi. Aku enggak tahu apa-apa soal film ini sebelum menontonnya, kecuali bahwa Going in Style garapan Zach Braff adalah remake dari film yang premier di tahun 1979. Jadi aku siap untuk mengutuk film ini habis-habis for dia punya semua formula film-film yang hanya dibuat demi uang semata. Tapi tahukah kalian betapa susahnya ngelook down upon something kalo sesuatu tersebut sukses membuat kita tersenyum-senyum simpul diselingi ngakak dari menit-menit awal hingga penghabisan? Well, kalo enggak tahu susahnya seperti gimana, coba deh nonton film ini.

Alasan aku nonton film ini tentu saja sama dengan alasan kalian semua, karena dibintangi oleh Michael Caine, Alan Arkin, dan Morgan Freeman. Tiga gaek ini adalah LEGENDA HIDUP! Mereka sudah berakting sejak lama, they are in their 80s, dan mereka bertigalah bagian terbaik dari film ini. Melihat mereka berinteraksi seperti melihat kesempatan langka yang begitu amazing. Mereka bahkan lebih baik dari trio emas Niniek L. Karim – Widyawati – Slamet Raharjo di Sweet 20 (2017), kalo kalian masih merindukan akting bagus nan meyakinkan dari mereka, maka saat menonton Going in Style, kalian akan sangat terpuaskan. Caine, Freeman, dan Arkin terlihat beneran seperti temen lama yang tak terpisahkan, tokoh-tokoh mereka saling bergaul dengan menyakinkan. Each of them deliver komedi dan drama sama baiknya, mereka menaikkan derajat film ini.

Film tahu apa yang ia punya; tiga aktor kawakan, dan naskah benar-benar memberi kesempatan buat mereka untuk mengembangkan sisi komedi. Bagian paling kocak jelas adalah bagian ketika tiga kakek-kakek itu mutusin mereka kudu latihan jalan sebelum berlari. Yang berarti; sebelum mulai mencuri besar-besaran, mereka harus memulai dengan yang kecil-kecil dahulu; sebelum bank, mereka mutusin buat menjajal supermarket. Joe, Willie, dan Al (yang ikut karena “gak ada lo gak rame”) mencuri beberapa bahan makanan untuk makan malam mereka. There’s something very entertaining about that. Kalian tahu, adegan ini lebih kocak dari sekedar ‘kasus bad granpa’ yang biasa. Aku ngakak berat di adegan Joe dan Willie berbisik-bisik ngobrol through barisan makanan kaleng. Awalnya mereka hanya saling menatap, gak tau mesti ngapain.

Man with nothing to lose lebih berbahaya daripada man with everything to lose sebab ketika kau tidak punya apa-apa, kau tidak takut akan apapun. Joe dan teman-teman, motivasi mereka personal dan di usia yang tinggal menghitung hari, it’s practically worse scenario both ways buat mereka jika mereka tidak mengambil tindakan. Apa yang tidak mereka sadari adalah mereka juga punya segalanya; mereka punya keluarga yang tentunya akan kehilangan. Inilah yang menjadi landasan konflik drama dalam Going in Style

 

Oleh karena kalo ketangkep polisi, Joe dan kawan-kawan masih lebih beruntung ketimbang jadi gelandangan, it is still a fairly good scenario for them – bukan berarti tidak ada yang bisa bikin kita ngeroot buat keberhasilan heist gede mereka. Film enggak kehilangan akal untuk memberikan stake, memberikan beban dramatis kepada tokoh-tokohnya. Caine juga tampil meyakinkan ketika dia kudu ngetackle bagian emosional antara Joe dengan cucunya yang diperankan oleh Joey King.  Tokoh Willie diberikan motivasi berupa keinginannya untuk bertemu dengan sang cucu, namun dihambat oleh enggak punya duit buat ngobatin ginjalnya yang udah parah. Dan Al ditambat ke tanah oleh romansa. Yea, kita sudah liat tropes semacam ini sebelumnya, Going in Style enggak benar-benar memberikan gaya baru dalam usahanya untuk memaksimalkan eksplorasi drama pada narasi. Hanya saja, semua itu ditangani dengan penuh hormat dan sangat menyenangkan untuk diikuti. Kakek-kakek dalam film ini bukan sekedar grumpy dan benci ama generasi sekarang, paling enggak mereka mengerti cara menggunakan skype dan teknologi kekinian.

premis film ini bisa menjadi lelucon bar gaya baru, “tiga orang kakek masuk ke bank….”

 

Untuk sebuah film heist, Going in Style justru terasa lemah saat mereka mulai menangani bagian perampokannya. Sedikit mengganggu entertainment ringan dan menyentuh yang sudah dikembangkan.  Aku gak mau spoiler terlalu jelas, namun, Joe dan kawan-kawan enggak benar-benar ‘go’. Dan ‘style’ mereka pun terlalu gampang untuk dilaksanakan. Film ini melewatkan kesempatan untuk menjadi komentar sosial dan soal ekonomi, padahal naskah sempat menyingung beberapa.

 

 

Pada akhirnya, film ini adalah jendela kesempatan bagi aktor-aktor veteran untuk melakukan suatu yang gila. Khususnya Morgan Freeman, kita udah ngeliat dia ala-ala Hangover di Las Vegas sebelum ini, dan sekarang dia merampok bank. This is a light-hearted movie, amat menghibur, kocak level tinggi. Wajib ditonton demi ngeliat tiga legenda performing amazingly compelling acting. Chemistry di antara mereka luar biasa. Memang tidak terlalu banyak yang bisa kita ambil dari film ini, terlalu ringan dan terlalu ‘mari lakukan perampokan bank yang gila’. It could aim for more.  Tapi yah, ini adalah film tentang orang tua, untuk orang tua, dan dengan gembira stay at being that way.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for GOING IN STYLE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.

And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

DESPICABLE ME 3 Review

“The love of a family is life’s greatest blessing”

 

 

Gru kini fokus sebagai pria yang punya keluarga. Dia punya istri yang juga merupakan partnernya dalam organisasi rahasia super keren yang khusus menangkap penjahat-penjahat. Dia tentu saja juga harus merawat tiga gadis cilik; Margo, Edith, dan Agnes yang sudah diadopsinya sejak film pertama.. cekiitttt-rem dikit, yes, ini adalah film ketiga dari seri animasi sukses buatan Illumination Pictures. Aku suka dua film terdahulunya, terutama yang pertama. I actually really enjoyed that movie. Para Minions juga sangat lucu-lucu, meski aku lebih suka mereka sebagai sidekick komedi dibandingkan saat mereka menjadi film sendiri. Kisah Gru  sebagai penjahat kelas kakap yang berubah menjadi baik oleh kehadiran tiga anak sepertinya sudah comes full-circle. Tapi tampaknya studio tidak memandangnya seperti itu dan mereka membuat film ketiga ini. Yang lantas membuat kita bertanya-tanya, apakah memang perlu ada film Despicable Me lagi?

Banyak anak, banyak rezeki. Jika kita sudah berkeluarga, akan lebih banyak pintu rejeki yang terbuka. Orang Indonesia percaya banget ama petuah tersebut.

 

 

Makanya banyak orangtua kita yang suka nanya-nanyain kapan kita hendak berkeluarga. Dan biasanya yang ditanya bakal menjawab sambil cengengesan “tunggu mapan dulu.” Jawaban yang biasanya langsung diuber dengan “hee jangan lama-lama, anak ama istri itu ada rejekinyaaa!!” Gru clearly tidak melihat kenyataan seperti ini pada awal cerita dimulai. Dia malah ditinggalkan oleh anak-anak buah yang setia padanya karena enggak mau ngelakuin aksi jahat lagi. Kerjaan pun kandas lantaran Gru dan Lucy kembali gagal menangkap pencuri nyentrik berambut model mullet yang bernama Balthazar Bratt. Gru struggling untuk mengenyahkan perasaan sebagai orang gagal, hard baginya melihat Agnes harus menjual boneka unicorn kesayangan. Tapi keluarga Gru bukan sebatas itu. Adik kembarnya muncul; berambut pirang nan halus, kaya, dan tentu saja seperti Gru, Dru juga punya sisi jahat. Bersama mereka bertualang, termasuk – demi membuktikan kemampuan Gru –  menangkap pencuri super yang demen kelahi sambil breakdance dan menembak orang dengan permen karet.

that gum you like is going to come back in sta-il!

 

Wajar jika film animasi modern telrihat menawan, namun kejernihan visual dan gambar film ini enggak boleh dipandang sebelah mata. Keren banget. Liat deh aksi final dengan robot besar menyerang kota itu. Nyaris seperti foto. Badan papoy nya terlihat kayak pisang yang mulus banget. Ketika Agnes dan pemilik bar setuju unicorn “so fluffy I’m gonna die”, kita bisa mengaplikasikan kalimat tersebut untuk betapa cerah dan halusnya animasi film ini. Dari dua lelucon kentut yang muncul di opening credit saja kita bisa tau film ini ditargetkan terutama buat anak-anak. Dan benar, ada banyak lelucon di dalam cerita yang mengalir dengan pace yang senantiasa cepet. Membuat film ini fun untuk ditonton. Suprisingly enough, beberapa LELUCON YANG HADIR LUMAYAN DEWASA untuk anak-anak. Ada waktu ketika hanya beberapa orang gede yang tertawa saat aku menonton di bioskop tadi. Malah ada juga joke yang sedikit too much, kayak ketika minion mengomentari sebuah patung wanita mirip dengan Gru yang punya “boobs!”. Mungkin memang bukan masalah besar sih, karena anak-anak toh belum mengerti. Sama halnya seperti referensi pop-culture, film, dan musik 80an yang turut mewarnai cerita, yang tentu saja hanya konek dengan penonton yang lebih dewasa.

Despicable Me (2010) dan Despicable Me 2 (2013) tampak mengerti di mana titik temunya antara hiburan bagi orangtua dan anak-anak. Kedua film tersebut tampil kocak dengan suguhan emosi yang memberikan bobot lebih, although film yang kedua semacam runtuh sendiri setelah pertengahan. Film yang ketiga ini, however, lebih terasa SEPERTI FILM KARTUN KETIMBANG ANIMASI LAYAR LEBAR. Despicable Me 3 sepertinya berpikir bahwa orangtua akan terhibur menonton lelucon dewasa yang dihadirkan, dan anak-anak akan betah melihat animasi yang spektakuler. Poinku adalah, film ini hanya mengarah kepada lelucon untuk membuat orang tertawa. Dia tidak pernah benar-benar mengeksplorasi emosi. Sesuatu langkah yang mengecewakan karena narasi film ini sarat oleh lelucon dan tema-tema dewasa dan berbobot.

Ketika punya subplot seperti Lucy yang berusaha menjadi ibu yang baik, Gru dan Dru yang pengen bonding sebagai saudara, Agnes yang mau mencari unicorn, bahkan motivasi Evil Bratt sebagai mantan aktor cilik yang dibuang oleh Hollywood lantaran udah ketuaan, Pixar mungkin akan menggarapnya menjadi berisi seperti Inside Out. Namun Despicable Me 3 hanya melihat semua itu sebagai pengisi humor. Yang sukses juga menghasilkan beberapa tawa di sana-sini. Tapi enggak cukup konsisten untuk menjadi benar-benar lucu. Pisahnya Gru dengan Minions adalah elemen cerita yang bagus dan fresh sebab kupikir kita akan melihat mereka bekerja ‘sendiri’ dan nantinya akan regroup lagi setelah melewati journey yang selaras. Tapi ternyata enggak. Sekali lagi, film JUST PLAY IT FOR LAUGHS. Soal Gru dan Dru, mereka terpisah sejak lahir. Orangtua mereka bercerai dan masing-masing membawa satu anak. Ada adegan ketika ibu Gru menjelaskan hal ini dan menyinggung kalo mereka sebenarnya salah membawa anak yang mereka sukai, jadi baik Gru dan Dru mendapat orangtua yang membesarkan mereka dalam kekecewaan. Ada kedalaman di sini. Seharusnya cerita bisa punya bobot emosi yang gut-wrenching. Tetapi film tidak pernah mengejar emosi.

Mending dijadiin sinetron “Anak Jahat yang Tertukar”

 

Terpaksa menunjukkan kegagalan, ketidakmampuan, adalah hal terberat yang harus dialami oleh orangtua terhadap anak-anaknya.

 

Dulu banget di twitter aku pernah bilang seandainya Santino Marella yang nyuarain Gru pasti bakal lebih lucu. Tapi aksen Steve Carrel sebagai Gru has really grow on me. Di film ini, dia ngetackle dua peran, dan keduanya terasa hidup. Dan kocak. Ditambah lagi, Gru adalah karakter yang hebat. Progresnya menarik. Di film pertama dan kedua kita udah melihatnya, makanya tadi di atas aku menuliskan, ke mana lagi karakter Gru ini bisa berkembang? Untuk inilah aku datang ke bioskop siang tadi. Dalam film-film sebelumnya, Gru punya sesuatu yang harus dia ‘urus’ yang enggak ia sangka-sangka sebelumnya dan dibahas dari segi emosi. Dalam film ini, ya, dia memang kaget ternyata dia punya saudara kembar, namun sekali lagi, emosi tidak pernah dikejar, film hanya memainkannya untuk humor. Karakter Gru di sini tidak punya arc. Tujuan karakter ini sudah tercapai. Journeynya benar-benar sudah mentok, he didn’t have anywhere to go in this movie di luar adegan-adegan lucu dengan saudara kembarnya.

Sementara itu, penjahat utama film ini, Balthazar Bratt yang disulih suara oleh Trey Parker punya aspek yang menurutku bisa sangat kocak dan menarik. Mestinya di sini bisa menarik mendengar Parker keluar dari zona nyamannya, yakni humor yang dipasarkan untuk anak yang lebih kecil. Dia enggak bisa move on dari peran Hollywoodnya. Dia mengoleksi mainan dirinya, dia sangat terobsesi dengan acara TV dan perannya tersebut. Kita bahkan dikasih liat potongan acara yang ia bintangi. Build up yang bagus dan sangat lucu, namun cerita terus saja mengulang-ngulang humor yang sama dari karakter ini sehingga terasa mereka enggak tahu harus membawa tokoh ini ke mana lagi. Adegan berantem dengan ‘jurus’ breakdance itu juga semakin berkurang kepentingannya sebab kita sudah pernah melihat hal yang sama dalam film Zoolander (2001). Dihandle dengan lebih baik, pula.

 

 

 

Perfectly enjoyable, pas untuk ditonton bareng keluarga. It’s a light-hearted. Gambarnya spektakuler. Menyenangkan, seringkali lucu. Akan tetapi, demi menjawab pertanyaan di awal ulasan ini, film ini toh terasa enggak penting-penting amat. Hanya bermain untuk humor tanpa mengeksplorasi kedalaman yang timbul dari jalan ceritanya. Butuh lebih banyak pukulan emosi untuk membuat seri ketiga ini menjadi tontonan yang berarti. Lebih seperti kartun adalah cara terbaik untuk menggambarkan ini. Anak-anak akan suka, orangtua akan punya beberapa hal untuk ditertawakan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for DESPICABLE ME 3.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

Great Balls of Fire 2017 Review

 

Bukan maksud hati ingin ngeledek judul pay-per-view terbaru milik brand Raw ini, tapi; Ya, ukuran itu penting.

 

Apalagi kalo kamu ngejalanin bisnis hiburan yang jualannya adalah showcase manusia-manusia yang adu kekuataan. Sudah rahasia umum bahwa Vince McMahon, pemilik WWE, paling suka superstar yang badannya gede-gede. Hulk Hogan, John Cena, Roman Reigns, semuanya punya otot yang bisa menyembunyikan kepalaku. Sekarang aja di WWE ada tiga superstar yang masih aktif yang literally namanya ada kata ‘big’; Big Show, Big E, dan of course Big Cass. Jika kalian punya badan se-big Big Cass, maka jaminan terpercaya kalian akan mendapatkan kesempatan untuk naik ke puncak. Kita semua sudah bisa melihat tim Big Cass dan Enzo akan segera dipisah, dan build up cerita perpisahan mereka digarap dengan sangat menghibur. Split ini adalah kesempatan buat Cass untuk nunjukin dia punya talenta yang sama gedenya. Or even lebih gede dari Enzo, karena kalo kau bertubuh secuil kayak Enzo Amore, kau harus punya nyali segede gaban. You got to have great balls!!

Oke, sori, susah nahan diri untuk gak bikin pun dari ppv ini hihihi

 

Sejalan dengan nyali gede itu, kita melihat WWE kembali MENGINTEGRALKAN DARAH KE DALAM PENCERITAAN MATCH. I was totally surprised by that.  Great Balls of Fire merah oleh darah. Mereka juga ngeclose up wajah Braun Strowman yang penuh darah sehabis nyaris ‘dibunuh’ oleh Roman Reigns yang keki kalah dalam Ambulance Match. Pertandingan mereka sendiri sukses membuat kita teringat kenapa kita jatuh cinta kepada pro wrestling untuk pertama kalinya. Brutal, intens, dan kedua superstar terlihat beneran pengen bikin lawannya cedera parah. Reigns dan Strowman terlihat sudah betul-betul paham mengenai kemampuan lawan dan apa yang bisa mereka lakukan. Ending match mereka memang sedikit lucu, namun bisa dimengerti karena para booker mesti melindungi Roman Reigns, yang mana terlihat sangat badass oleh angle babyface yang enggak-peduli ama batasan itu. Aku setengah berharap Strowman keluar dari ambulan sambil ngamuk, but apa yang kita lihat di acara ini sudah cukup worked out.

Banyak percakapan yang timbul dari akhir pertandingan mereka, dan beberapa bersuara bahwa Reigns dan Strowman baru saja melakukan double turn; Reigns jadi jahat, sementara Strowman jadi baik. Aku enggak berpikir demikian. Strowman perlu dibuat kuat sekaligus manusiawi. Dan I don’t think Reigns akan pernah dijadiin heel, seperti halnya John Cena dan Hulk Hogan (semasa di WWF). Vince sudah mendapatkan apa yang ia mau dari mega bintangnya itu; reaksi yang heboh. Karakter Roman Reigns seperti udah dikunci oleh si bos sebagai babyface yang enggak sebland musik barunya si Cass. Reigns adalah face yang respect sama yang ngefans ama dia dan sebodo amat ama ‘haters’nya. Dia adalah babyface yang enggak masalah nunjukin nyalinya, dia bangga mengalahkan dan ngambil sesuatu dari Undertaker, mirip-mirip gabungan antara karakternya Stone Cold dengan Hulk Hoganlah.

“I did it for Rikishi”

 

Satu lagi yang keluar dari locker terlihat seperti monster adalah Samoa Joe. Pertandingan main event acara ini cukup langka, karena jarang sekali kita punya dua kompetitor yang genuinely beringas, dan diikuti dengan build up feud yang meyakinkan dan entertaining. Particularly, Joe terlihat benar-benar mampu mengalahkan Lesnar. Alasan yang terpikirkan olehku kenapa superstar ini enggak memenangkan sabuk adalah lantaran WWE pengen Brock Lesnar mempertahankan gelar Universal Championnya paling enggak satu kali. Meski Joe kalah hanya dengan satu kali F5, namun kenyataan bahwa dia langsung bangun dan menatap Lesnar dengan garang tepat di mata sudah berhasil ngedeliver Joe bisa jadi the Beast era baru. Match mereka seru, hanya saja terlalu singkat. Yeah, kalian tahulah, kecewa orang yang enggak puas.

Ketika kita menulis pertandingan untuk WWE, bukan saja kita mikirin siapa yang menang dan kalah, kita juga harus mempertimbangkan apa dampaknya terhadap karakter. Bagaimana yang kalah harus kalah. Makanya kebanyakan pertandingan WWE berakhir gimmicky. Reigns terlihat bego terbang ke dalam ambulans, dan Alexa Bliss terlihat lemah dengan menang via sengaja count out. Curang! It was needed for her character dan untuk propel cerita lebih jauh lagi. Bliss is goddess dan Banks is boss; they live up to their names as kedua cewek ini mempertunjukkan intensitas luar biasa dalam pertandingan mereka. Sudah lama kita enggak melihat duel cewek satu-lawan-satu segreget ini, mungkin terhitung sejak Summerslam tahun lalu. Taktik ‘lengan patah’ Bliss terlihat mengerikan, namun tidak semengerikan gimana cara Banks ngesell bumps. Lehernya itu loh, kena di sana melulu. It was horrifying to look at. Aku senang Bliss kembali dipersilakan menggunakan beberapa jurus dan kebolehannya yang sudah lama enggak kita liat. Seriously, aku udah bela-belain bikin menu es krim di Cafeku (Warung Darurat; dateng dong nobar sekali-kali) pake nama Twisted Bliss, eh move ini malah semakin jarang dipake oleh Alexa.

haruskah aku pindah dari The Palace of Wisdom ke The Temple of Bliss?

 

Dan kalo kita nulis pertandingan WWE, maka Ironman adalah jenis pertandingan yang tricky untuk ditulis. Karena biasanya, penonton akan mengharapkan kejadian seru hanya akan datang di menit-menit terakhir. Dalam pertandingan antara Hardy Boyz melawan juara bertahan Cesaro dan Sheamus – first ever Ironman Tag Team by the way – WWE mencoba untu membuat kita terinvest sedari awal oleh cepatnya Brogue Kick Sheamus mecahin telur skor. Tapi masih belum cukup, lantaran WWE masih terpatok kepada formula ‘yang face harus ngejar skor’. Aku benar-benar menunggu hari di mana WWE pull all the stops dan nekat bikin pemenang Ironman unggul jauh dibanding lawannya, bukan sekedar unggul satu poin seperti biasanya. But hey, why fix something when it’s not broken, right? Menjelang akhir, pertandingan tag team ini seketika menjadi seru. Kejar-kejaran skor dan waktunya sukses bikin yang nonton bareng di Warung Darurat nyuekin kursi mereka. Komentator pun terdengar berapi-api, menjadikan pertandingan ini semakin heboh.

Hal terbaik yang bisa terjadi kepada jobber saat ini mungkin adalah main film kelas B dan menjadi anak buah the Miz. Seriusly, WWE bisa menjadi sangat kejam bagi para jobber. Liat aja  Hawkins dan Slater yang mendapat match di acara ini, akan tetapi kamera malah menyorot backstage demi melanjutin storyline Strowman yang terperangkap di dalam reruntuhan ambulans. Segar melihat wajah yang jarang nongol kayak Bo Dallas dan Curtis Axel, if done correctly Miz dan Miztourage bisa jadi pasukan heel yang menarik. Namun begitu, pertandingan Miz dan Ambrose terasa hambar. Karena, I don’t know, kita sudah melihat mereka bertemu entah untuk keberapa kali!! Kedua superstar ini desperately butuh lawan yang sama sekali baru. Tidak ada api, tidak ada intensitas. Sama halnya dengan Wyatt melawan Rollins yang terasa enggak perlu. Kedua superstar ini udah sama-sama mentok, feud mereka enggak jelas, mereka butuh arahan baru. But paling enggak, aku senang Wyatt keluar sebagai pemenang.

 

It’s one of the better pay-per-view. Malahan, Great Balls of Fire adalah ppv dari brand merah yang paling asik untuk ditonton. Iya sih, mungkin itu karena di acara ini banyak darahnya. Yang menandakan bahwa aksi dalam acara ini seru parah. Tentu saja, sama seperti saat kita menonton balap Nascar, we stay tune in karena kita ingin melihat letupan bola api yang besar.

The Palace of Wisdom menobatkan 30-Minute Ironman Tag Team antara Sheamus dan Cesaro dan the Hardy Boyz sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

Full Results:
1. SINGLE Bray Wyatt mengalahkan Seth Rollins
2. SINGLE Big Cass ngesquash Enzo Amore
3. WWE RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP 30-MINUTE IRONMAN Sheamus dan Cesaro mempertahankan gelar atas The Hardy Boyz
4. WWE RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Sasha Banks menang tapi Alexa Bliss nyaww tetap juara                                                                                                                          5. WWE INTERCONTINENTAL CHAMPIOSNHIP The Miz menang atas Dean Ambrose
6. AMBULANCE Braun Strowman masukin Roman Reigns ke ambulans
7. SINGLE Heath Slater beat Curt Hawkins but nobody care
8. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Brock Lesnar sukses retain over Samoa Joe

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

SWEET 20 Review

“Beautiful people experience life differently.”

 

 

Pernah gak sih penasaran pengen tau gimana tampang nenek atau orangtuamu kala mereka masih muda dulu? Apa mereka bandel-bandel juga kayak kita? Seperti apa mimpi-mimpi mereka, apa mereka berhasil mencapainya? Wah, kalo belum, coba tanyain segera deh. Kali aja nenek kamu dulunya mantan gadis sampul majalah. Buka lemari kayu reot itu, ambil album-album foto yang tersimpan di dalam laci. Tiup debu di sampulnya, buka, dan apalin satu persatu wajah nyengir yang nampang di sana. You might be surprised. Segera. Sebelum nenek-nenek kita pada berbondong-bondong ke studio foto Forever Young. Dan tanpa sepengetahuan kita, the next cewek kece yang kita taksirin ternyata adalah nenek kita sendiri. Bisa gawat!

Seperti yang dialami oleh Nenek Fatmawati (Niniek L. Karim tampak totally have fun mainin tokoh ini). Begitu beliau mencuri dengar keluarga putranya sedang berembuk soal memasukkan dirinya ke panti jompo, Nek Fatma jadi sedih. Dia enggak pernah pengen direpotin. Dia jadi merindukan masa mudanya yang mandiri. Dengan galau, dia masuk ke studio foto di pinggir jalan yang terlihat oldies banget. Setelah difoto, Nek Fatma menjadi lebih muda tiga-puluh tahun, ajaib! Dengan girang Nek Fatma menjalani identitas barunya, nyamar menjadi cewek muda bernama Mieke (busana-busana classy itu sukses bikin Tatjana Saphira terlihat supercute!) Mieke ingin melakukan hal-hal yang dulu tidak bisa ia lakukan di masa mudanya yang asli – lantaran Fatma was a single mother. Tentu saja segudang masalah datang bersama perubahannya ini, yang dibahas oleh film dalam sinaran yang kocak. Mieke kudu berkutat dengan masalah duit, juga soal keluarga yang mencari dirinya. Mieke harus berpura-pura berjiwa muda, meski dia masih cerewet ngomelin ini itu khas nenek-nenek. Mieke harus ‘menghindar’ sekuat tenaga dari panah cinta cowok-cowok muda di sekitarnya, while berusaha mengejar cinta lamanya.  Apalagi dari cucunya, yang by the way, ngajak Mieke ikutan bergabung sebagai vokalis band.

ternyata enggak segampang itu jadi orang cantik di jaman sekarang.

 

Hidup menjadi lebih mudah jika engkau muda dan berpenampilan menarik. Especially if you are a girl. Ya, pernyataan yang jelek. Tapi itulah kenyataan. Dengan menjadi muda kembali, Fatma mudah untuk diterima oleh orang, termasuk oleh keluarganya sendiri. Menantunya menerima kritik masakan dengan lebih lapang dada ketika kritik tersebut datang dari mulut merah merekah wanita yang lebih muda. Penjual sepatu juga lebih ramah kepadanya dibanding saat dia menawar ketika dalam wujud aslinya yang keriput. Memang, kadang ‘cantik itu luka’ dan kecantikan bukanlah segalanya, tapi kita enggak bisa mungkir bahwa kita hidup di dunia yang sedikit lebih sopan dan lebih berhadap terhadap orang-orang yang atraktif.

 

Meskipun ini adalah ADAPTASI RESMI DARI FILM KOREA, aku tidak merasa asing saat menontonnya. Sutradara Ody C. Harahap menempeli naskah dengan warna-warna khas Indonesia. Kita melihat para tokoh berlebaran, nonton sinetron, dan mendengar mereka menyanyikan lagu-lagu klasik Indonesia. I have soft spot di film-film yang masukin elemen lagu, dan film ini berhasil membuat, bukan hanya aku, tapi nyaris seisi studio ikutan menyanyikan lagu yang dinyanyikan oleh Tatjana. Aransemennya asik punya. Film ini cerah banget, production designnya top, enak enak sekali untuk dipandang. Bahkan ketika tone cerita mulai serius, ada saja yang bikin penonton tertawa. Tatjana really nailed it sebagai jiwa tua yang bersemayam di raga yang muda. Dia terlihat girang, while also nunjukin concern dan ‘cerewet’nya nenek-nenek. Para pemain lain juga menghandle tokoh mereka dengan sama enggak jaimnya, namun beberapa terasa tertahan oleh kurungan naskah yang membuat tokoh mereka satu dimensi; hanya ditujukan untuk bagian tertentu. Sepertinya Lukman Sardi yang hanya di sana untuk bagian dramatis dari narasi.

Sebenarnya enggak heran juga kenapa adegan sisipan yang poke fun soal sinetron Indonesia mengundang tawa lebih heboh dan lebih membekas dari keseluruhan film. Karena dengan banyak elemen yang berusaha ditackle oleh narasi, not to mention gabungan cerita asli dengan bagian-bagian lokal, memang Sweet 20 terasa seperti gabungan momen-momen lucu yang tidak pernah benar-benar terflesh out. Misalnya, ketika Mieke latihan band pertama kali dan dia gak setuju ama lagu rock, ngusulin pake lagu “Hey Hey Siapa Dia”, kita tidak diperlihatkan gimana lagu ini bisa diapprove oleh anggota band – ultimately changing the genre of the band. Atau ketika tiba-tiba saja Mieke dan cucunya sudah duduk makan di café, padahal akan lucu kalo diliatin gimana caranya mereka bisa jalan berdua. Film ini juga memutuskan untuk menggeber kelucuan dari dua nenek yang sirik-sirikan ketimbang mengeksplorasi momen-momen kecil seperti adegan di pasar soal komentar tentang bayi dan ibu modern; menjadikan film ini terlalu ringan. Dan to be honest, aku enggak bisa peduli betul sama tokohnya. Aku gak mengerti keinginan dan kebutuhan Fatma sebagai tokoh utama. Karena film tidak menceritakannya dengan clear, due to banyaknya kejadian. At one point Fatma mengejar cinta, point berikutnya dia ingin memenangkan kontes band.

Nona Nyonya

 

Film tidak pernah fokus untuk membahas relationship antara Fatma Muda dengan keluarga dan orang terdekatnya, meski mereka terus bertemu. Ini bukan cerita Fatma yang berusaha untuk diterima oleh keluarganya, ini juga bukan cerita tentang Fatma yang ingin mandiri – sebab dia enggak pergi jauh, di sekitar keluarganya doang. Aku enggak yakin ini cerita apa. Di akhir cerita, karakter Fatma tidak berubah; dia tetap nenek yang ngurusin orang lain, hanya saja kini keluarga lebih apresiatif kepadanya. Lucunya, malah cucu-cucunya yang menjadi pribadi yang berbeda di penghabisan film, padahal mereka tidak benar-benar punya arc, terutama cucu yang cewek.

Fatmawati sebagai tokoh utama terasa pasif karena justru keluarganya lah yang belajar untuk menerima dia. Itupun dipicu oleh peristiwa yang bisa digolongkan ‘kebetulan’, karena datang tanpa penjelasan. Aku gak mau spoiler terlalu terang, tapi menjelang akhir itu, ada tokoh yang terlambat entah karena apa, dia lantas kecelakaan dan butuh transfusi darah yang hanya dipunya oleh Fatma. Redemption Fatma datang dari konfliknya di mana dia sekali lagi harus memilih untuk ngorbanin masa mudanya demi orang lain, I get that, tapi semua itu terasa effortless. Coba deh, bandingkan dengan perjalanan tokoh Peter Parker di Spiderman: Homecoming (2017) yang kerasa banget up-downnya.

Setiap film, mau action, komedi, romance, punya naskah yang tersusun atas babak-babak cerita. Setiap babak ada sekuens yang merupakan naik-turunnya perjalanan karakter utama, dan menjelang akhir babak kedua seharusnya adalah sekuens down di mana tokoh utama kehilangan semua dan harus berjuang sebagai diri sendiri. Dalam film romantis, biasanya ini adalah ketika tokoh utama berantem trus putus dengan pacarnya. Dalam cerita undercover, biasanya ini ketika penyamaran tokoh utama terbongkar dan dia dianggap pembohong oleh semua orang. Dalam Homecoming, kita lihat Peter dirampas dari kostumnya, dia belajar menjadi pahlawan sebagai dirinya sendiri. Tidak ada sekuens ini di dalam narasi Sweet 20. Kita tidak melihat Fatma ‘berjuang’ sebagai nenek, makanya tadi aku bilang effortless. Dia diterima begitu saja, bahkan orang-orang enggak ada yang mempermasalahkan kenapa dia yang tua bisa jadi dua-puluh tahun lagi.

 

 

Punya bumbu komedi yang semakin cerah oleh warna-warna lokal, membuat film ini enak dan relatable untuk ditonton. Musiknya oke, pemainnya pun kece. Premis ceritanya yang unik diturunkan kepentingannya oleh fakta bahwa ini adalah cerita adaptasi dari film lain. Dan semakin terbebani lagi oleh elemen-elemen cerita yang masuknya dijejelin, tanpa pernah terflesh out dengan baik. Indeed, film ini terasa kayak ringkasan dari film yang lebih panjang. Alih-alih fokus ke pengembangan relationship ke tokoh-tokoh, film ini hanya menunjukkan momen-momen di mana candaan bisa ditampilkan tanpa ada pijakan yang kuat. Tapi walaupun ini kayak kita nulis resume, tetap aja film terasa going on forever. How’s that possible, you asked? Coba tanyak sendiri ke Nenek Fatmawati kalo berani.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SWEET 20.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

JAILANGKUNG Review

“See yourself as a soul with a body rather than a body with a soul.”

 

 

Di mana ada film horor, aku akan duduk ngejogrok di sana tanpa perlu dijemput atau diantar. Kayak Jailangkung yang ngeliat ada pesta kecil-kecilan. Horor selalu adalah objek cerita yang menarik, maka tak heran genre ini menjadi penjualan mudah untuk bisnis bioskop. Buktinya, liat deh box office film Indonesia tahun 2017 ini; horor naik tahta kembali dengan gampangnya. Film Jailangkung terbaru ini sempat menyinggung bahwa tubuh dan sukma harus berimbang. Harus sehat dua-duanya. Dan ketika kebutuhan fisikal kita sudah terpenuhi, maka kita merasa dorongan keperluan untuk memuaskan dahaga atas keingintahuan spiritual. Di sinilah film horor seperti Jailangkung memiliki peran besar.

Kita demen ditakut-takuti, Kita penasaran melihat hantu. Kita bahkan mencoba berkomunikasi dengan hantu, lewat permainan jailangkung. Karena kita adalah makhluk jiwa dan raga.

 

Meskipun digarap oleh duo yang sama, Jailangkung adalah cerita yang sama sekali terpisah dan tidak ada sangkut pautnya dengan Jelangkung yang sukses mengangkat pamor horor di sinema Indonesia tahun 2001 lampau. Pada kesempatan ini, Rizal Mantovani dan Jose Poernomo memilih untuk menggarap horor yang LEBIH GROUNDED. Bukan lagi soal pengungkapan mitos urban oleh sekelompok remaja, Jailangkung bercerita seputar keluarga yang harus menyelidiki misteri seputar penyakit ayah mereka. Naturally, cerita keluarga seperti ini mudah untuk kita relasikan. Kita akan melihat Bella dan saudari-saudari nyabergerak sebagai satu unit menghadapi masalah supranatural, mereka harus bermain jailangkung, dan ultimately, narasi juga akan menyinggung budaya lokal saat mitos hantu Matianak mulai mengambil tempat sebagai ‘penjahat utama’. Jadi, film ini punya amunisi yang tepat untuk menjadi sesajen horor untuk ditonton merinding bareng keluarga.

Kemunculan hantunya lumayan seram. Suara cekikikan hantu itu sanggup membuat kita merinding. Kalo mau iseng, coba deh sekalian hitung detak jantung masing-masing saat adegan Bella di tangga darurat rumah sakit. Timing penampakannya diatur dengan tepat. Penggunaan beberapa overhead shot membuat film ini terlihat sangat profesional. But there’s not much reflecting or reasoning behind those scenes except just to show that the filmmakers have enough budget so they can use drone to do the filming. Ditambah dengan scoring yang maksain feel banget, lucunya, shot-shot cantik itu malah bablas terlihat seperti video musik atau malah potongan iklan ketimbang sebuah media penceritaan.

Kreativitas oleh film ini ditampakkan dari betapa lihainya mereka menemukan cara untuk menggunakan adegan-adegan flashback. Lewat kenangan lah, lewat kaset video lah. Dan buat yang gak bisa nangkep nada ironisku; flashback adalah cara tergampang yang bisa dipikirkan oleh filmmaker untuk menjelaskan misteri dan backstory di dalam film horor. Serius deh, sedari awal aku sudah meragukan segi kreativitas film ini sebab dari banyaknya hal yang bisa dilakukan untuk memasarkan film tentang papan pemanggil arwah dengan cara yang berbeda, film ini berpuas diri comes up dengan mantra “Datang gendong, pulang bopong” yang terdengar konyol. I mean, musti bangetkah judulnya Jailangkung (beda ejaan doang)? Selain alasan komersial, aku gak bisa nemuin alasan kreatif di balik pemilihan itu. Dan setelah menonton filmnya, yang melimpah oleh flashback dan eksposisi, dugaanku terhadap kreativitas film ini terbukti sudah.

Hantunya bisa ngeja b-o-r-i-n-g gak ya?

 

Kita tidak bisa membuat penonton instantly peduli sama tokoh hanya karena tokoh-tokoh tersebut dimainkan oleh orang-orang kece. Tokoh tersebut perlu diberikan karakter, mereka perlu dihadapkan kepada tantangan dan pilihan yang sulit, yang nantinya akan membentuk mereka menjadi pribadi yang baru. So people could latch onto them. Dua bintang muda yang lagi hits-hitsnya, Amanda Rawles dan Jefri Nichol, tidak diberikan banyak hal yang bisa mereka lakukan. Film ini enggak membantu banyak untuk usia akting mereka yang masih belia dan butuh banyak perkembangan. Penokohan Bella dan Rama sangat hampa. Rama hanya ada di sana untuk dua alasan; sebagai sarana untuk eksposisi, dan supaya ada sosok yang bisa ‘didambakan’ oleh Bella. Aku sempat ngakak sih, Bella bersikeras untuk menjaga ayahnya di rumah sakit, dia membujuk kakaknya pulang dan beristirahat. Tapi setelahnya kakaknya pulang, Rama pun turut minta diri pamit pulang, dan di situ ekspresi Bella kayak kecewa banget seolah Rama gak ngerti ‘kode’ darinya yang pengen jaga berduaan hhihi.

Bella sesungguhnya punya akar motivasi. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudari dalam keluarga yang sudah lama ditinggal mati oleh ibu. Sebagai anak tengah, tentu dia haus untuk membuktikan diri, bahwa dia juga capable untuk mengurus diri serta keluarganya, bahwa dia juga bisa seperti kakaknya yang mandiri. Pengarakteran ini disinggung sedikit sekali, sehingga di akhir film tidak ada perubahan yang dialami oleh karakter Bella. Seolah filmnya malu malu menyolek bahu Amanda Rawles. Semua kejadian tidak diset up untuk nantinya resolve around penokohan Bella. Sebagai seorang tokoh utama, Bella enggak ngapa-ngapain; bukan dia yang menggendong, bukan dia yang ngebopong. Malahan, di akhir, justru dia yang harus diselamatkan. Motivasi tokoh ini jadi sia-sia belaka, seperti terlupakan.

Dan bukan motivasi tokoh lead saja yang dilupakan oleh film ini. Ada banyak elemen yang hanya disinggung sekilas tanpa ada penyelesaian atau kontinuitas yang masuk akal. Sejak dari adegan pembuka yang terasa rushed banget, film ini tidak mampu untuk membuat kita bertapak kepada momen horor yang hendak dibangunnya. Hantu Matianak tersebut tidak pernah dijelaskan tuntas apakah dia menyerang silsilah keluarga mereka, let alone the reasons behind it. Plot poin soal ibu mereka juga enggak ada penyelesaian. Banyak penonton yang aku kenal juga mempermasalahkan soal ayah Bella yang tadinya nyasar di hutan, kemudian di adegan berikutnya dia sudah main jailangkung di dalam ruangan. Jangankan pemain-pemain muda, pemain senior semacam Lukman Sardi dan Wulan Guritno aja terlihat payah, terima kasih kepada penulisan tokoh dan naskah yang kayak diketik oleh anak kecil. Ngomong-ngomong soal anak kecil, tentu saja tokoh cilik di film ini tidak mendapatkan jiwa sama sekali. Mereka cuma jasad untuk media horor, jadi kenapa musti bersikap manusiawi, kan?

ada pesta, ada jailangkung

 

Kualitas dialognya juga mempersulit para tokoh untuk mendapatkan bobot yang berarti. Ada adegan ketika Rama kebingungan bertanya kenapa boneka jailangkungnya nutup sendiri padahal jelas-jelas dia yang goyangin. Mantra pemanggilannya juga dilafalkan oleh para aktor dengan little to no weight, sehingga tidak menimbulkan kesan apa-apa. Padahal tokoh yang diperankan Butet Kertaradjasa udah literally nyontohin gimana cara dan intonasi yang dramatis dan menimbulkan efek seram.

Segalanya terasa setengah-setengah. Ada momen ketika Bella berlari, dan aku mengira kita bakal mendapat long continuous take dari udara yang kreatif saat mereka mencari kakak di dalam rumah. Ternyata enggak. Mereka melakukanya di tempat paling mudah, yakni di areal pekuburan. Sepertinya film ini bisa lebih baik jika dipush menjadi lebih dewasa. Karena film ini menyinggung soal kehamilan, it would be better kalo Bella sendiri yang ngalamin apa yang dialami oleh Angel. Mereka bisa menggali banyak drama dari sana, Rama juga bisa jadi punya peran yang lebih berarti. Dan tentu saja horornya akan lebih kena, karena apa yang dialami Angel dalam film ini adalah hal yang sangat menyeramkan, apalagi buat wanita. Sayangnya, film ini – mungkin karena mengingat batasan usia penonton – tidak bisa menggali elemen tersebut. Membuatnya hanya sepintas dan terasa rushed out.

 

 

 

Ada kisah horor yang mumpuni dan berpotensi sangat seram terkubur di dalam film ini. It was a grounded story, diwarnai oleh mitos dan budaya pula. Aku gak tau apa yang terjadi di dapur produksi mereka, but the end product yang kita tonton sangatlah mengecewakan. Semuanya generik, gak seram, karakternya membosankan. Selayang pandang memang terasa profesioal, namun tidak ada bobot di dalamnya. Horornya digarap dengan buru-buru, meninggalkan banyak kesempatan demi jumpscare yang benar-benar out-of-place dan gak perlu. Karena semestinya film horor adalah soal jiwa, ketakutan dari dalam, alih-alih ketakutan fisik semata. Jika filmmaker lain memutuskan untuk mengikuti ‘kesuksesan’ film ini, maka bisa dipastikan masa depan film horor Indonesia akan sangat gelap dan mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for JAILANGKUNG.

 

 

 

That’s all we have now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

SURAT KECIL UNTUK TUHAN Review

“I thought that you would be the hero come in save the day, but you’re the villain.”

 

 

Anak terlantar dipelihara oleh negara. Begitu kata buku UUD 1945 yang kuhapalin pas pelajaran PPKN. Surat Kecil untuk Tuhan menuliskan anak-anak jalanan sepeti Angel dan abangnya, Anton, dipelihara oleh Om Rudy. Sosok yang Angel sangka pahlawan, yang memberi mereka atap dan makanan. But he was unforgiven. Om Rudy bukanlah jawaban dari surat yang ditulis Angel untuk Tuhan. Oleh Om Rudy,, mereka disuruh mengamen di jalanan yang tak berbelas kasih. Dan dihukum keras jika uang setoran kurang. Bahkan saat Angel tertabrak mobil sehingga musti dilarikan ke rumah sakit, Om Rudy enggak mau repot-repot membayar biaya pengobatan. Mengakibatkan Angel harus terpisah dari abang yang berjanji untuk terus menjaga dirinya.

Sounds depressing enough? Atau malah terdengar familiar?

Clearly, film ini berhasil menerapkan pelajaran berharga soal bercerita dari salah satu nominasi Oscar, Lion (2017). Surat Kecil untuk Tuhan membagi porsi narasinya menjadi dua, ketika Angel kecil di jalanan dan paruh terakhirnya adalah tentang Angel yang sudah dewasa dan bekerja ngurusin kasus-kasus kekerasan terhadap anak, baik di rumah tangga maupun di luar sana di perempatan. Aku suka gimana film ini berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggunakan alur bolak-balik, meski memang ada sisipan adegan kenangan yang tidak mampu ia hindari. Ini adalah resiko yang mereka ambil, karena membuat film seolah baru dimulai di babak kedua; motivasi Angel baru jelas banget di poin ini.

Terkadang ketika berhenti di lampu merah, kita suka dilema sendiri. Melihat anak jalanan yang mestinya lagi kepergok nyontek dan disetrap di depan kelas itu, malah nyanyi-nyanyi dengan alat musik rombeng. Mau ngasih duit, ragu. Ntar duitnya pasti dipalak. Atogak dipakai buat yang enggak-enggak. Mau membantu kok pikir-pikir. Benarkah dengan tidak membantu, kita bisa membantu mereka. ‘Gimana dengan pihak yang ‘mempekerjakan’mereka, salahkah mereka membesarkan dan mendapat balas jasa?Manakah yang lebih ‘for the greater good?’

 

Film ini mampu memantik pertanyaan moral dengan eksplorasi perspektif anak jalanan yang terasa fresh. Apa yang dilakukan dengan baik oleh film ini adalah menanamkan bibit-bibit karakter semenjak paruh di mana mereka masih muda. Sehingga ketika kita melihat dan bertemu dengan mereka kembali setelah time jump, perkembangan karakter mereka – menjadi seperti apa mereka sekarang – terasa masuk akal. Kita akan melihat Angel dengan gigih berusaha mengungkap sindikat anak jalanan yang dipimpin oleh Om Rudy, kita mengerti darimana dorongan tersebut datang, apa yang membuat semua itu sangat personal dan begitu urgen dilakukan oleh Angel. Relationship antarkarakter juga terjalin dan tergambarkan dengan kuat. Semuanya diberikan pay-off yang ampuh menarik-narik heartstring kita. Karena film ini tahu persis dirinya adalah drama yang secara natural sangat emosional. Aku suka adegan ketika Angel Dewasa yang diperankan oleh Bunga Citra Lestari untuk pertama kalinya bertemu kembali dengan Om Rudy. They played it off so good. Mata BCL sukses banget mancarin rasa takut yang masih bersisa dari masalalu itu. She barely could say any words. Lukman Sardi sebagai Om Rudy juga terlihat takut di balik tokohnya yang tenangnya menguarkan aura menacing.

but to be honest, aku kaget ngeliat Dorman Borisman masih aktif main film, kirain udah vakum XD

 

 

Penampilan akting yang mengisi paruh kedua film mampu membuat kita melupakan rasa bosan, karena memang bagian ini lebih serius. Dan serius digabung dramatis biasanya adalah gabungan yang ampuh untuk bikin kita nyalain hape. Setelah gede actually adalah film di puncak paling menarik, sebagian besar lantaran film Indonesia memang kelihatannya masih kepayahan mencari aktor anak kecil yang mampu bermain dengan meyakinkan. Penampilan yang paling juara dalam film ini datang dari Joe Taslim yang memerankan pacar Angel yang berprofesi sebagi dokter jantung. Joe Taslim sangat kharismatik dan bersimpati di sini. Tokoh Martin pun mendapat backstory dan eksplorasi yang berbobot sehingga dia benar-benar punya purpose untuk ada di sana. Bukan hanya sebagai device, he actually adds much. In fact, malahan tokoh lead kitalah yang paling kurang konsisten di sini. Aku merasa aneh aja sama aksen Inggris dari Bunga Citra Lestari. Tokohnya gede di Australia, sudah cukup aneh dia enggak develop any accent. Ditambah pula at one time, dia menjawab telepon dengan ”who is it?” yang terdengar aneh alih-alih natural dan lebih cocok dengan kehidupan profesionalnya dengan jawaban “who is this?”

Tentu saja ada bagian ‘pertarungan’ di pengadilan. Film ini menghandlenya dengan memasukkan elemen di mana Angel harus mengumpulkan dan meyakinkan saksi-saksi yaitu orang-orang yang berasal dari masa lalu tragisnya. Sudut pandang dari saksi-saksi tersebut memberikan suntikan perspektif yang semakin menambah kadar dramatis. Yang mana, juga menimbulkan masalah kepada narasi sebab film ini mengarah kepada JALUR YANG HITAM-PUTIH. Yang jahat benar-benar jahat, yang baik benar-benar tertindas. Ruang thought-provoking semakin menyempit, kemakan oleh porsi dramatis yang terus dibesar-besarkan. Tadinya aku mengira film ini paling enggak jadi kayak versi dramatis dari anime The Boy and the Beast |(2015), taunya enggak. Malah dramatisnya lebih seperti Grave of the Fireflies (1988) digabung dengan Lion.

Kita tidak akan pernah kehilangan orang yang tulus menyayangi kita. Sebab, once there, mereka tidak akan pernah pergi dari sana.

 

Ini adalah film tentang pencarian kebenaran, namun TONE YANG DIOLAH DENGAN TERLALU OVER membuat film ini tidak bisa mencapai level Lion. Baik over di bagian editing tone visual, maupun pada tone cerita yang kerap amat sangat sappy, kalo gak mau dibilang cengeng. Dalam Lion, kita tidak melihat Saroo kecil ujan-ujanan. Dalam Surat Kecil untuk Tuhan, dalam 15 menit pertama, Angel dan Anton terus saja kehujanan, dengan lagu Ambilkan Bulan, Bu yang diaransemen ulang menjadi sangat sedih dimainkan nyaris non-stop. Film ini terus ngepush drama seputar tema kekerasan terhadap anaknya sampai-sampai aku tidak lagi mempertanyakan kenapa film ini tidak diberikan rating sensor yang lebih dewasa. Aku malah jadi keheranan kenapa film ini dijadikan tontonan lebaran keluarga in the first place.

Menjelang akhir akan ada pengungkapan yang disertai dengan adegan yang, sebenarnya, sangat kontroversial. As in, bisa bikin trauma anak kecil yang menontonnya. Walaupun enggak digambarkan eksplisit banget, namun tetep aja ekuivalen ama adegan kontroversial serial 13 Reasons Why (2017) yang tayang di Netflix. Because we talk about children here. Surat Kecil Untuk Tuhan menunjukkan anak kecil yang – sulit untuk tidak mengasumsikan dia – disuntik mati. Asumsi lain yang timbul dari sekuen itu adalah penonton disajikan adegan anak kecil yang dibedah hidup-hidup off-screen, dan di layar kita melihat reaksi orang dewasa yang muntah menyaksikan tindak kriminal tersebut. Aku langsung ngeliat ke arah keluarga beranak dua yang nonton di sebelahku; mamanya nutupin mata anak yang gede, sementara papanya menutup mulut sendiri sambil menggendong anak bungsu mereka dengan memposisikan si anak membelakangi layar.

endingnya meski ketebak, tapi tetep terasa ‘ajaib’’kayak episode Beyond Belief Fact or Fiction

 

Beberapa menit kemudian adegannya nampilin anak bawah umur merintih diperkosa. Dan kedua orangtua di sebelahku tadi saling berpandangan.

 

 

 

 

Punya emosi yang sangat kuat, film ini mengexamine moral kita terhadap anak jalanan lewat perspektif orang pertama yang benar-benar menawarkan sesuatu yang baru. Tema kekerasan anak bergulir kuat, da terus diamplify. Penampilan yang di bawah standar dengan cepat tergantikan oleh performa yang sangat meyakinkan yang menatap kita straight to our heart. Bisa saja menjadi thriller yang hebat, yang thought provoking, jika dirinya tidak memfokuskan diri membuat penonton banjir air mata sebagai tujuan utama. Film ini berani mengambil resiko dalam penulisan, namun not so much pada departemen arahan. Tonenya terlalu cengeng, enggak tegar seperti film Lion, film yang banyak dibanding-bandingkan terhadapnya. Karena tentu saja orang akan mudah sedih melihat anak-anak yang menangis di bawah hujan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SURAT KECIL UNTUK TUHAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

47 METERS DOWN Review

“For whatever we lose, it’s always ourselves we find under the sea”

 

 

“Kayak di kebun binatang, cuma bedanya kalian yang dikurung di kandang.”
Kata-kata dari pemandu tersebut sedikit berhasil menetramkan cemas di hati Lisa, memantapkannya untuk masuk ke dalam kandang yang bakal direndem di laut lepas perairan Mexico. Aman, kok. Lisa dan Kate, adiknya, memang lagi liburan. Mereka ingin bersenang-senang, foto-fotoin Hiu Putih dalam habitat aslinya. Pengalaman sekali seumur hidup buat Lisa itu menjelma jadi benar-benar harafiah, sebab derek yang menahan kandang karatan satu-satunya pelindung mereka dari gigi hiu tiba-tiba patah. Mengirim Lisa dan Kate empat-puluh-tujuh meter ke dasar lautan, terjebak di sana. Seolah terpaket rapi di dalam kandang kotak persis hadiah yang menunggu dibuka oleh hiu-hiu yang kelaparan.

“under the sea~ where the sharks singing, waiting your body, under the sea~”

 

Konsep cerita yang keren. Terkurung di bawah laut. Tuntutan oksigen yang membuat keadaan para tokoh jadi punya urgensi yang tinggi. Dan hiu-hiu. Wow. Aku selalu tertarik sama film yang ada hiu-hiunya. Tapi hiu yang di bawah laut loh, ya. Bukan hiu yang menclok di angin tornado ataupun hiu yang terbang di angkasa. Aku terperangah aja ngeliat warna merah pekat dikontrasin sama biru jernih lautan. Film 47 Meters Down juga punya visual yang JERNIH NAN EERIE seperti begitu. Jika tahun lalu kita sudah berenang di perairan dangkal bersama hiu lewat film The Shallows (2016), maka kali ini kita akan menyelami kengerian lebih jauh lagi. Pemandangan dan suasana dasar laut yang mencekam akan jadi suguhan yang film ini harapkan bisa mengisi mimpi buruk kita sehabis menonton. Visually, film ini berhasil mencapai level kengerian itu.

Bawah laut adalah tempat yang membuat manusia paling merasa manusiawi. Kita akan merasa takut, merasa kecil, merasa cemas tak-berdaya oleh kegelapan tak berujung. Dan tentu saja ada harapan, sebagaimana karakter film ini kehilangan sesuatu dan balik menemukan dirinya di dalam sana.

 

Untuk mencari jawaban dari pertanyaan “Kenapa sih setelah Jaws (1975), kita enggak lagi menemukan film tentang hiu yang benar-benar keren sehingga bisa bikin kita ketagihan dan penasaran dan pengen punya hiu serta sekaligus jadi ngeri berenang di laut?” sebenarnya enggak susah-susah amat. Kita enggak perlu jauh-jauh menyelam ke lantai samudera. Kita cuma perlu menyelami sekian banyak sekuel dan film-film rip off gagal, dan menanyakan kepada diri sendiri; apa yang membuat kita terus bertahan ngikutin cerita meski ketakutan semakin merayap dengan perlahan. Itu semua bukan karena pertengahan terakhir di mana hiu anatagonis Jaws keluar menyerang terang-terangan. Dalam 47 Meters Down, kita melihat Lisa dan Kate kegirangan ketika melihat hiu mendekat datang setelah ember umpan dilempar ke air. Itu adalah mentality orang yang lagi liburan; mereka pengen lihat hiu. Namun saat kita menonton film; mentalitynya adalah kita pengen ngeliat karakter. Kita nonton Jaws bekali-kali, it’s not exactly because we want to see the shark, kita nonton demi melihat karakter manusianya struggle, overcoming their fears, dan mengarungi journey bersama mereka. Mengalahkan musuh yang disimbolkan sebagai hiu.

Sayangnya, sebagian besar dari pembuat film mengenyampingkan faktor karakter. Mereka memperlakukan film hiu layaknya wahana. Kita yang menontonnya udah persis kayak lagi shark diving, nontonin aksi hiu dari balik kandang. Namun lebih parah, lantaran tak jarang, nonton film hiu berarti kita harus ngikutin perjalanan karakter yang ‘bego’, yang annoying, yang mengerikan – dalam makna yang buruk, yang ditulis dengan sangat sederhana. Seperti karakter-karakter yang kita temukan dalam 47 Meters Down. Lupakan tokoh minor/sampingan, mereka cuma ada di sana karena tokoh kita benar-benar butuh orang sebagai pemandu. Tokoh sentral kita, dua kakak beradik Lisa dan Kate, dituliskan punya sifat yang berseberangan. Kate ini anaknya berjiwa petualang banget, dia udah pernah scuba diving dan pergi ke mana-mana sebelumnya. Sebaliknya, Lisa sang kakak, lebih ‘pasif’, dia belum pernah ngelakuin hal-hal ‘fun’ sebelumnya. Sebenarnya formula bikin karakter yang udah benar, hanya saja film ini mengolah mereka dengan cara yang sangat over dan mereka dibikin, yah; ‘bego’

One thing about karakter adalah mereka harus diberikan motivasi yang kuat supaya kita peduli. Saat mereka sudah terjebak di bawah laut, jelas, motivasinya adalah pengen hidup. Yang jadi masalah adalah motivasi kenapa Lisa mau ngelakuin scuba diving bersama hiu pada awalnya. Cewek ini baru aja diputusin ama cowoknya karena Lisa ini terlalu bosenin dalam ngejalanin hubungan. Jadi, Lisa ingin melakukan sesuatu yang exciting, terus difoto buat dikasih liat sama cowoknya, like, “Nih liat, keren kan liburan gue! Jeles kan, lo!? Jeles, kan!!!” Motivasi yang sangat menggerakkan hati sekali, bukan? Bikin kita semua peduli banget kan? Iya, kan!!!

Anyway, ada sih satu momen tokoh yang aku suka. Yakni ketika Kate yang tetap terlihat tenang setelah kandang mereka karam, kemudian barulah dia mengeluh takut saat menghubungi kapal, dan itu dilakukannya saat sudah jauh di luar jangkauan pendengaran transmisi baju selam Lisa. Tokoh Kate yang diperankan hampir fierce oleh Claire Holt memang diniatkan untuk lebih likeable, tapi buatku treatment kecil seperti demikian adalah sentuhan bagus yang sangat dibutuhkan oleh film ini.

Kakaknya boring banget sampesampe aku yakin adeknya sengaja nyabotase kandang biar copot dari kapal

 

 

Kedua tokoh ini punya kebiasaan ngejatuhin benda-benda yang mereka pegang, terutama benda yang penting. Dan itu ngeselin banget. Kualitas penulisan mereka pun klop banget ama penampilan aktingnya; berasa FTV. Eh, ada gak sih di barat sono istilah FTV? Yang jelas, Mandy Moore memainkan Lisa dengan over-the-top sekali. Bahkan, jika kita menonton percakapan kedua kakak-adik di film ini tanpa ngeliat gambar, suaranya doang, maka kita bisa salah menyangka lagi mendengar potongan dialog dari film Barbie.

“Lisaa, aku sudah berhasil menghubungi kapal!”
“Benarkah!? Waaah”
Lokasi adegan: dasar laut gelap dengan keberadaan hiu yang mengancam.

Enggak ada sedikitpun kesubtilan dari bantering mereka. Perasaan thrillernya enggak kebawa di dalam dialog film yang sebagian besar ditulis seperti demikian. Ada satu lagi; setelah adegan Lisa selamat dari kejaran hiu dengan bersembunyi di dalam gua, dan kalimat pertama yang terucap dari mulutnya adalah “The shark almost got me..” Well, I was like, no shit lady! Dan aku bersumpah aku seakan bisa mendengar ekspresi “huhuuu” keluar darinya di akhir kalimat tersebut.

 

Film ini menganggap dirinya lebih seram daripada yang sebenarnya. Padahalnya sebenarnya yang dimaksud horor oleh film ini adalah suara musik yang keras. Hiunya sendiri tampak mengerikan, meyakinkanlah sebagai makhluk hidup. Hanya saja, hiu-hiu tersebut tidak melakukan banyak selain sekali-kali muncul tiba-tiba entah dari mana ngagetin kita semua. Sejujurnya aku malah lebih percaya Lisa dan Kate akan mati kehabisan oksigen ketimbang mati dimakan hiu, sebab hiu dalam film ini were so bad at biting preys. Serangan mereka seringkali luput, dan yang kena pun pada akhirnya enggak berarti apa-apa. Tentu saja, semua itu berkat kehadiran endingnya, yang entah kenapa film ini merasa perlu untuk ngetwist. Sedari awal aku sudah susah peduli sama tokoh utamanya, dan setelah twist ini muncul, aku gak bisa untuk lebih gak peduli lagi.

 

 

 

 

Aaah, that sinking feeling yang kurasakan saat antusias perlahan terus menurun setelah sepuluh-menit pertama set up yang biasa – malahan ala FTV – banget…. Ini adalah jenis film yang punya konsep bagus namun dalam eksekusinya sukar untuk dikembangkan. Tokoh-tokoh film ini enggak bisa punya banyak ‘kegiatan’ setelah mereka karam di bawah laut dan tersebutlah hiu-hiu putih di sana. Narasi butuh banget karakter yang kuat, namun film ini memandang hal tersebut sebelah mata. Dibuatnya penokohan dan dialog yang over-the-top, dengan penampilan akting yang juga gak terlalu bagus dan meyakinkan. Hasilnya adalah film thriller yang tidak mencekam, film horor yang tidak seram, dan film hiu yang tidak punya ‘daging’ di dalamnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 47 METERS DOWN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE WALL Review

“You can’t see me.”

 

 

Poster film ini enggak bohong ketika ia bilang “Ini bukan perang. Ini adalah permainan.” Walau sejatinya setiap pihak yang terlibat peperangan bakal selalu ngalamin dilema moral, The Wall memfokuskan eksplorasinya kepada apa yang sebenarnya dilakukan orang saat berperang. Dari bentuknya yang paling polos, memang, perang tak lebih adalah permainan bunuh-bunuhan yang melibatkan strategi. Kadang kita gak peduli lagi soal kenapa kita mulai saling menyerang, kita cuma mau mengalahkan musuh. Seperti permainan catur, but worse. Kehorriblean perang enggak seketika berakhir ketika para pemimpin sudah menyerah. Ini lebih seperti permainan Yugioh, di mana kedua duelist sudah mengerahkan kartu-kartu terkuatnya, namun kedua pihak tetap bertahan dengan sisa seratus life point. They want to break each other mentally, bersilat lidah menggunakan siasat, dengan harapan pihak lawan keceplos mengungkapkan kelemahan. Duduk diam, stalling, menunggu pihak seberang salah langkah. The Wall adalah sebuah MIND GAME.

Sersan Isaac (kalo dipanggil Ize juga nengok) dan Sersan Matthews (te-ret-te teeet! Tet te-re-teeet!) bangkit dari pos pengintaian mereka di site di tengah gurun Irak. Kepanasan dan lelah. Perang sudah hampir berakhir, sekitar mereka terlihat sepi. Selain mereka berdua, manusia yang tampak hanyalah tubuh-tubuh tak bernyawa di bawah sana, dekat pipa-pipa, mobil, dan reruntuhan tembok. Jadi, mereka turun mengecek keadaan. Out in the open, Sersan Matthews jatuh ditembaki. Isaac yang berusaha menolong juga kena tembus peluru entah dari mana. Serabutan, dia terjun berlindung ke balik reruntuhan tembok. Apa akal? Yes exactly! Sersan Isaac harus berpikir keras mengerahkan segala pengetahuan yang ia tahu, sebab si sniper Irak misterius itu dengan pinternya menghubungi radio tentara Amerika tersebut. Permainan kucing-kucingan mental mereka dimulai as si sniper menggunakan kelihaiannya bicara to get the soldier to show themselves, sementara Ize (namanya dilafalkan “eyes”) membuka mata lebar-lebar mencari tahu di mana posisi maut yang mengintainya.

Peluru bisa melihat John Cena

 

The Wall adalah FILM YANG AMAT KECIL. Durasinya singkat. Lokasinya di gurun thok, dan pemainnya hanya tiga orang. Satu di antaranya adalah suara di radio. Dari segi produksi, film ini terlihat relatif sederhana. Apalagi jika dibandingkan dengan karya-karya Doug Liman sebelum ini; aku terutama suka ama The Bourne Identity (2002) yang benar-benar menunjukkan talenta super yang dimiliki oleh sutradara ini. Tapi dari segi emosi, film yang berelemen thriller-pada-satu-lokasi kayak gini bisa menjadi sangat menarik sebab kita akan melihat cerita yang sangat personal. Sejak nonton 12 Angry Men (1957) yang keren banget, aku selalu tertarik sama contained-thriller. Dan The Wall, meskipun miskin aksi dan ledakan, film ini kaya oleh sudut pandang manusia yang berseberangan, namun essentially mereka adalah orang yang sama-sama terikat, katakanlah pada sumpah setia, dan struggling menjaga ‘kesetiaan’ berbangsa dan beragama tersebut dalam keadaan yang buruk.

Si sniper Irak, at one point, bilang bahwa semuanya tergantung dari sudut mana kita melihat. Namun sebenarnya dalam perang semuanya sama aja. Kalah jadi abu, menang jadi arang. The Wall mengambil resiko mengangkat soal ketidakgunaan perang dengan memberikan perspektif ‘duluan-ayam-atau-telur’, membangun tembok tersendiri, figuratively, di dalam struktur cerita.

 

Yang paling efektif yang dilakukan film ini adalah bagaimana dia membuat kita tetap tertarik dan terinvest ke dalam tokoh-tokohnya. Sebagai filmmaker, Liman lumayan underrated, so it’s understandable dia pengen bikin film yang kecil-namun-intim seperti film ini. Dalam menggarap The Wall, Liman memilih untuk tidak membuat presentasi yang terlalu Hollywood. Dia menggunakan teknik pacing yang sama dengan yang dilakukan oleh BW Purba Negara dalam film Ziarah (2017); deliberately slow. Kamera enggak akan dipindah-pindah, dia akan jarang sekali ngecut adegan. Liman tidak ingin mempersingka waktu, dia hanya ingin kita semua lebih terinvest ke dalam hal-hal sesimpel bikin tali laso ataupun turniket untuk membebat pendarahan. Meskipun film ini enggak exactly real time, kadang Isaac kehilangan kesadaran dan kita meloncati dimensi waktu. Namun pada sebagian besar waktu, semua peristiwa diperlihatkan sehingga kita bisa turut ngerasain frustasi yang dialami oleh tokoh utama. Dan semua adegan pengulur waktu itu akan terbayar tunai oleh emosi .

Elemen perang psikologis antara Isaac dengan Sniper misterius Irak (“Elo Juba kan, ngaku!”) mengangkat film ini menjadi semakin menarik. Tidak banyak adegan aksi dalam film ini, yang mana bisa jadi membosankan untuk beberapa penonton, but it was a contained-psychological- thriller, tiga istilah yang kalo digabungkan maka sudah pasti akan ada aku duduk manis di sana menontonnya. Tapi bukan berarti film ini tidak akan mempengaruhi kita secara fisik. I mean, coba deh nonton ini siang-siang pas puasa. Wuihhh. Matahari film ini terasa memanggang kita. Debu dan pasir di mulut mereka membuat kita ingin meludah. Hausnya para tentara beneran kontan terasa. Nonton film ini rasanya getir sekali.

“unless you’re a professional”

 

Tentu saja penampilan akting para aktor menjadi hal yang paling signifikan jika kau punya film yang tidak banyak menjual ledakan. To be honest, aku enggak naruh harapan gede ke John Cena. But oh wow, dia jadi biggest surprise buatku dalam film ini. Karisma Cena membuatnya sangat likeable sebagai sersan Matthews. Dengan gampangnya dia dipercaya sebagai tentara, karena di WWE pun gimmicknya adalah seseorang yang menjunjung tinggi patriotisme. Di sini, Cena punya bermain intens dan kocak bersamaan. Dan karakternya di sini punya ‘weight’ yang tidak kita lihat di dalam ring. Ngeliat Cena merangkak dramatis adalah hal biasa di episode WWE, tetapi di film ini adegan tersebut benar-benar kejual dengan real olehnya. Aaron Taylor-Johnson, pada awalnya aku enggak ngeh, sebab aksen redneck dan literal kamuflase menyamarkannya. He is that good in this movie, melebur sempurna. Adegan-adegan yang harus ia lakukan kebanyakan adalah adegan yang menjurus ke horor, you know, like in body-horror, di mana dia harus mencongkel keluar peluru dari kakiknya. Grueling to watch banget. Dan kita benar-benar merasakan derita dan sakitnya.

Sebagai antagonis, suara di radio yang terus ngajak Isaac ngobrol terdengar sangat licin dan berbahaya. Dia punya agenda untuk mencari sisi lemah dari tentara yang berusaha dia bunuh, dia ingin memancing mereka keluar, dan yang ia lakukan bukan semata talk trash kayak pegulat yang mau bertanding. Sniper Irak ini tahu banyak tentang Amerika, dia belajar banyak dari korban-korbannya, dan mendengar Isaac ngobrol dengan suara itu membuat kita ngeri sendiri perihal siapa yang akan terpengaruh oleh siapa.

Kata-kata bisa dijadikan tembok yang paling efektif dalam rangka menyamarkan diri, baik sadar atau enggak. Bukan sekali-dua kali kita sengaja menggunakan kalimat yang bermakna mendua untuk menyembunyikan maksud ataupun buat cari celah untuk ngelak komit dari sesuatu nantinya. Orang banyak memutarbalikkan kata, putting words onto people’s mouth, menjadikan kata-kata sebagai senjata yang berbahaya. Dan kita bisa alami sendiri gimana orang mengucapkan alasan untuk menjustifikasi perbuatan yang mereka lakukan. Tembok yang paling berbahaya tercipta dari mulut manusia adalah tembok alasan agama. Mata untuk mata, katanya. But really, semua itu sebenarnya adalah kedok yang tidak sadar mereka kenakan dengan bangganya.

 

Bukan helikopter saja yang jatuh di babak akhir film. Keseluruhan ceritanya juga. Sangat pilu dan mengecewakan menyaksikan film ini kebingungan mengakhiri narasinya. Resiko yang diambilnya membuahkan ujung yang enggak enak. Character-arc yang mestinya bisa kokoh dibangun, malah runtuh begitu saja. In fact, malah segala yang usaha yang dilakukan tokoh utama terasa sia-sia. Inner journeynya menjadi hampa, meninggalkan kita kebingungan apakah ini psiko-thriller yang sangat lemah ataukah ini action yang gagal meledak. Semuanya jadi terasa enggak realistis, tidak menyisakan ruang reaching bagi kita. Terkadang, aku mikir film ini sengaja enggak total ngasih perspektif karena kan jarang banget ada film yang mempersembahkan Amerika sebagai underdog tanpa memperlihatkan mereka sebagai pahlawan, dan film ini masih ragu-ragu untuk menampilkan hal tersebut. So film ini kindof terbentur dinding serupa yang ia bangun pada narasinya.

 

 

 

 

Punya performance akting yang sangat kuat, diarahkan dengan fantastis. Terutama; punya kesempatan buat menjadi studi sosial yang sangat intens yang membuat kita duduk di posisi karakter di ujung perang, namun film ini kesulitan untuk melanjutkan langkah yang dipilihnya. Untuk dua babak awal, film akan terus membuat kita tertarik, karena ini adalah perang psikologis. Ini adalah tentang gimana sebuah pemikiran dapat menyingkap tembok yang dibangun seseorang di dalam dirinya. Saat penyelesaiannyalah film terasa seperti kembang api yang masuk angin. Meletup pelan alih-alih meledak. Tidak memberikan penyelesaian ataupun decisive journey sebagai sebuah pesan dan insight yang berharga.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for THE WALL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE BELKO EXPERIMENT Review

“Morals – all correct moral laws – derive from instinct to survive.”

 

 

Jika kalian kerja sebagai pegawai kantoran, maka kemungkinannya adalah kalian lagi baca ulasan ini secara diam-diam di dalam kubikel kecil yang layar komputernya nyaris penuh oleh kertas-kertas kecil berisi catatan kerja dan foto-foto orang tersayang. Aku sendiri belum pernah ngerasain, mainly because I sill live in the edge of rainbow at fantasy world, tapi dari yang kudengar ruang persegi yang not exactly privat itu bisa menjadi penjara tersendiri khususnya bagi karyawan yang kerja pagi pulang nyaris pagi lagi enam hari seminggu. Kubikel adalah sel, dan kantor beserta segala rutinitasnya adalah penjara.

Perasaan terperangkap tersebut diamplify oleh film The Belko Experiment; dijadikan premis yang teramat menarik di mana kedelapan puluh karyawan perusahaan non-profit Belko di Colombia literally dikurung di dalam gedung kantor. Dan mereka semua diperintah untuk membunuh sejumlah orang oleh suara misterius dari intercom. Jika gagal, mereka akan ditumpas satu demi satu secara acak lewat bom yang unknowingly telah terpasang di tracker pada kepala mereka.

Ide ngurung orang dan menyuruh mereka bunuh-bunuhan selalu adalah ide yang hebat. It’s an easy sell. Film ini basically kayak Battle Royale (film Jepang keluaran tahun 2000), dicampur The Hunger Games, dicampur lagi sama The Purge (2013) – yang satu ini juga garapan rumah produksi yang sama, yang numplek plek di komunitas kecil lingkungan kantoran. Konsep yang menarik. Dalam film ini kita akan melihat gimana berbagai macam orang punya respons yang berbeda-beda ketika dihadapkan kepada situasi di bawah tekanan yang sangat ekstrim. Kita diberi kesempatan untuk mengenal sepintas beberapa kepala dari delapan-puluh, sehingga kita tahu siapa yang berada di pijakan moral yang bagaimana. Ada yang berusaha berpikir jernih untuk keluar dengan selamat dari sana, seperti tokoh hero kita, Mike Milch (John Gallagher Jr jadi mr. goody two shoes di sini). Ada yang langsung resort ke nembakin orang-orang; untuk nyelametin dirinya, John C. McGinley yang meranin si boss Wendell Dukes secara ironis menjadi musuh bagi bawahannya yang helpless. Tentu saja, juga ada yang semacam ‘pemikir’ teori konspirasi yang percaya bahwa kejadian tersebut adalah scam dan semuanya disebabkan karena mereka minum air mineral dari perusahaan, so pecahkan saja galonnya sampai tumpah!

oh tidak, jangan minuumm!!!

 

To be honest, kalo aku terjebak di sana, aku akan jadi salah satu orang ikutan si Marty ngumpulin bom dari kepala mayat-mayat. Menariknya film ini memang karena ia mampu membuat kita berandai-andai gimana pabila situasi tersebut datang kepada kita. Elemen KEKERASAN YANG DIJADIKAN SOROTAN UTAMA membuat kita tidak bisa untuk tidak menikmati The Belko Experiment. Film ini nyaris seperti film-film jadul John Carpenter, dari segi gory grindhousenya.

Apa yang akan kita lakukan ketika kita dipaksa untuk melakukan sesuatu yang kita tahu itu salah. Langkah apa yang kita lakukan untuk membela diri. Akankah kita menarik pelatuk itu? Ataukah kita akan mendahulukan moral untuk melakukan yang benar di tengah-tengah situasi yang menekan dan mengerikan.

 

 

Sebetulnya hal tersebut menimbulkan sedikit kontra, The Belko Experiment adalah film yang menjual violence dan situasi serta komentar sosial yang timbul membuat kita memikirkan dengan khidmat at the moment. Namun kita seharusnya melihat film sebagaimana kita melihat dunia; not for what it is, but rather for what it should be, sehingga kita bisa mengubahnya menjadi lebih baik. The Belko Experiment terasa lebih cocok jika diarahkan ke jalur yang lebih ‘ringan’, dengan sudut satir dan dark-comedy yang lebih tajam. Sebab, untuk sesuatu yang mengeksplorasi situasi yang terrifying seperti demikian, film ini terlalu serius, terlalu over-the-top sehingga tidak ada hal-hal kreatif yang muncul dari penggarapan tema tersebut.

James Gunn yang menulis The Guardians of the Galaxy satu dan dua, juga dipercaya untuk menulis screenplay dari film garapan Greg McLean. Dan dalam film ini memang terasa ada sesuatu yang bagus tertulis di dalamnya, hanya saja eksekusinya enggak berhasil menunjukkan itu. Kita mengenal Gunn dari selera humor unik yang ia sematkan dalam karyanya, however, dalam film ini sense humornya enggak benar-benar terasa, kecuali pada satu, dua baris dialog. Social study tentang perilaku manusia yang mestinya bisa lebih menarik diceritakan secara nyindir oleh komedi cerdas, malah terbebani oleh betapa serius semua elemen terasa. Fokusnya terutama kepada memancing drama dengan cara paling biasa yang bisa dipikirkan. Misalnya, ketika para pekerja itu terbagi menjadi kelompok-kelompok, mereka seketika menjadi kelompok baik dan kelompok jahat. Persoalan mengenai mana yang ‘benar’ tidak pernah benar-benar digali, mengakibatkan film jadi kurang menantang. Hanya sekilas ketika film memberikan justifikasi terkait keberadaan keluarga yang menunggu di rumah, tetapi tentu saja susah untuk kita merasakan simpati ke kubu yang berpistol dan berisi orang-orang penguntit dan kasar.

Menunjukkan dengan sadis gimana sebuah perusahaan secara fundamental mampu ‘bermain-main’ dengan hidup karyawannya. Mendorong mereka untuk melakukan sesuatu lebih jauh tanpa perlu terseret secara emosi lewat struktur manajemen yang faceless. Serta menunjukkan secara implisit lewat diversity tokoh dan seting lokasi ceritanya, bahwa dalam bisnis gede, kebangsaan pada akhirnya hanyalah pembatas dan kebaikan moral tidak pernah ada di dalamnya.

 

Bahkan ketika film ini goes full-on blood and gore, korban-korban itu totally mati sia-sia. I mean, adegan bunuh-bunuhannya membosankan. Ada adegan yang literally mereka barisin orang untuk ditembaki. Mengenai efek, beberapa bakal bikin kita kagum juga, efek prostetik kayak tengkorak yang remuk sukses bikin meringis. Namun kecenderungan film ini untuk memilih langkah yang paling enggak kreatif dalam tiap kesempatan, membuat adegan-adegan pembunuhan tidak memiliki dampak yang diinginkan. Tokoh yang mati hanya terasa mereka ada di sana untuk menuh-menuhin kuota manusia. Ada beberapa tokoh yang dibuat seolah-olah punya kans dan punya saga, adegan kerap dipotong menunjukkan usaha dan pilihan mereka, namun ternyata gak berakhir ke mana-mana. Begitu pun ada banyak plot device yang dilempar begitu saja ke kita tanpa diikuti dengan penyelesaian yang kreatif ataupun berbeda.

“he said to not touch his stapler…”

 

Endingnya adalah bagian yang paling “..meh.” Bland dan sangat konvensional. Yang paling mengecewakan adalah film ini diakhiri dengan sekuens yang didedikasikan untuk ngeset up film selanjutnya. I cannot stress this enough; mental film yang sengaja banget ngejual sekuel alihalih bercerita untuk film itu sendiri adalah mental yang harus dimentalin jauh-jauh. Sama seperti dengan The Mummy (2017), kalo kita ngerasa nonton ini hanya karena biar di kemudian hari gak nyesel “aduh, belum nonton yang pertama”, itu berarti kita udah played right into their pocket. Ini kayak kalo kita mau beli rumah, namun bangunannya ala kadar, dan si agen rumah sukses membujuk kita untuk beli dengan alasan nanti di kompleks situ bakal dibangun mall. Begitulah persisnya film ini; enggak ada yang bisa kita ambil di akhir, selain pengetahuan bahwa film ini bakal ada sekuelnya.

 

 

 

Horor bisa menjadi sangat menarik jika diolah dengan benar. Dan film ini punya konsep dan ide yang sangat compelling dan menantang, hanya saja mereka mengambil langkah yang paling biasa dalam mengolahnya. Bahkan ketika menjadi sadis, adegannya juga enggak kreatif dan enggak sepenuhnya memuaskan penggemar genre ini. Cerita tentang eksperimen sosial, tapi sedihnya, enggak punya banyak untuk dikatakan. Argumen yang sempat bangkit dinegasi oleh keputusan untuk menjadikan ini baik melawan jahat. It’s really nothing kecuali adalah eksperimen untuk meihat seberapa besar orang-orang penasaran menunggu filmnya yang kedua.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE BELKO EXPERIMENT

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

RAW Review

“The unexpressed will come forth later in uglier ways.”

 

 

Anjing kesayangan milik keluarga Justine terpaksa disuntik mati lantaran “berbahaya bila binatang sudah nyicipin daging manusia.” Enggak ada yang bisa menjamin anjing tersebut enggak bakal doyan ampe ketagihan sehingga mencoret kata peliharan dari statusnya dan embrace kodratnya sebagai binatang. Namun, kita mestinya tahu lebih baik daripada itu; bahwa manusia adalah –hanyalah- binatang yang punya nurani dan kesadaran. Yang membuat kita, bukan hanya paling cerdas, melainkan juga predator yang paling mengerikan di puncak rantai makanan. Rasa lapar dan nafsu yang tak-kunjung terpuaskan manusia dieksplor dengan sangat mendalam dan buas oleh film ini sewaktu kita melihat tokoh utama yang vegetarian menjadi sangat penasaran dengan yang namanya ‘daging’.

Raw bukanlah film yang bisa enjoy untuk ditonton sambil ngemil, apalagi buat penonton yang perutnya gampang jungkir balik kayak Rey Mysterio di dalam mesin cuci. Definitely sebaiknya film ini jangan ditonton siang-siang pas puasa, untuk banyak alasan. Ini adalah body horror yang dibuat dengan begitu menarik sehingga kita ngerasa pengen muntah namun di saat bersamaan enggak ingin melepaskan perhatian darinya. Film ini akan menyiksa kita secara fisik, baru kemudian menghidangkan nutrisi pikiran, di mana kita akan mulai tertegun dan mikirin maksud di balik ceritanya.

Sukar untuk taat kepada your own code jika berada di tengah-tengah komunitas yang menuntut. Terlahir di keluarga dengan diet vegetarian yang ketat, Justine (dalam debut layar lebarnya, Garance Marillier berikan penampilan yang menggemparkan) menolak mentah-mentah ketika dia diwajibkan untuk memakan potongan kecil ginjal kelinci sebagai bagian dari ospeknya di kampus Peternakan. But to her surprise, kakaknya yang jadi senior di sana, juga turut memaksa menelan jeroan tersebut. Awalnya, reaksi Justine adalah muntah-muntah. Kemudian seluruh badannya gatal-gatal. Tapi bukan kelinci yang ia santap, the problem comes from herself. Justine ngedevelop sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Suatu malam, dia kepergok oleh teman sekamarnya sedang ngacak-ngacak isi kulkas. Justine ngemil daging ayam mentah sebagai snack tengah malam, dan dari pancaran matanya kita paham; dia belum puas.

Aku bukan sepenuhnya vegetarian, namun semenjak tiga tahun lalu – the times when I’m struggling ngurangin berat badan yang udah nyampe 72 kilo – aku jadi sedapat mungkin menjauhi daging. Kecuali ikan. Aku hanya makan ayam kalo kepepet alias gak nemu sayur dan lai-lain. Hal demikian aku lakukan karena aku tau daging itu enak, dan aku gak mau Arya yang kerjaannya makan melulu kembali mengambil alih hari-hariku. Jadi kurang lebih, aku bisa relate kepada apa yang terjadi kepada Justine yang selama ini makan non-protein, mulai mengecap daging untuk pertama kalinya.

Film ini juga bukan semata bicara soal nafsu, ini adalah tentang menemukan diri sendiri, mendapatkan apa yang sebenarnya kita mau, dan sejauh mana kita bertindak untuk mendapatkan itu.

 

Horor dari Perancis ini adalah PERAYAAN DARI KEKUATAN WANITA. Kita melihat Justine bertransformasi dari gadis innocent, yang fokus kepada nilai dan prestasi kuliah menjadi cewek yang liar dan tampaknya dikendalikan oleh nafsu – digambarkan dengan visual yang berdarah-darah. Dan perubahan tersebut dipicu oleh penemuannya terhadap apa yang sebenarnya dia mau. Justine berani mengejar apa yang dia inginkan, enggak peduli jalan yang ditapakinya bukanlah yellow brick road. It was a bloody red path. Walaupun, kita bisa melihat jelas, Justine enggak tahu pasti apa yang ia lakukan. Karakter tokoh ini justru kuat oleh hal tersebut. Raw akan senang hati membaurkan kebangkitan seksual ke dalam ceritanya, only to make it more disturbing. Daging yang diinginkan Justine adalah daging apapun utuh seutuh-utuhnya, dan film ini akan memproyeksikan tersebut tanpa judgment dan tanpa malu-malu.

biar kayak iklan jaman dulu: “ku tau yang ku mau!”

 

Kamera arahan Julia Ducournau, sutradara cewek yang juga baru memulai debut film panjang ini, akan menangkap visual yang striking dan pemandangan yang bakal bikin ngamuk orang-orang yang OCD. Eits, bukan OCD yang diet itu, tapi OCD yang control disorder. Semua yang di layar enggak pernah tampak simetris. Dari opening aja, kita akan menatap environment yang dengan sengaja dibikin disturbingly timpang, mengisyaratkan keabnormalan yang akan datang di menit-menit selanjutnya. Ducournau memanfaatkan momen-momen ini untuk dengan perlahan ngereveal setiap tangga evolusi karakter Justine sehingga kita terpana oleh kecantikan sekaligus ‘kebrutalan’ imajeri yang teraasa nyata. Dan, ngerinya, juga somehow relatable.

Ada banyak adegan yang belum pernah kita lihat dieksplorasi dengan berani dan sementah ini sebelumnya. Aku bukan bicara semata mewakili sekuen-sekuen ketika Justine ngemil jari, ataupun semacam itu, while they are also hypnoticly beautiful. Momen-momen kecil seperti Justine menangis di tempat tidur dan kita mengawasinya dari lipatan selimut, atau Justine menari to a slutty song di depan cermin, atau ketika Ducournou menge-mute audio ketika para freshmen merangkak, benar-benar menguatkan sense of discovery dari point of view kita, juga sekaligus membuat nuansa disturbing dan creepy itu merasuk ke dalam diri kita yang siap sedia kantong plastik menontonnya.

Ketika orang memilih untuk melakukan hal-hal yang membutuhkan pembenaran, terutama ketika hal tersebut sangat sulit untuk dibenarkan, maka mereka akan mulai melakukan penyangkalan. Bahkan enggak-jujur terhadap diri sendiri. Raw mengexamine dinamika antara keputusan seorang memilih menjadi vegetarian dengan kesadaran untuk memenuhi panggilan siapa diri kita sebenarnya. You can’t repressed who you truly are. Lingkungan Justine selalu telling her what to do, makanya melihat perjalanan tokoh ini mengejar apa yang dia mau terasa melegakan, tidak peduli seberapa brutalnya. Horor datang dari ketika kita sadar apa yang harus dilakukan untuk menjadi diri sendiri.

 

Saat pemutaran di Gothenburg Film Festival, banyak penonton yang walk out, dan lebih banyak lagi yang muntah-muntah, bahkan pingsan. Jangan biarkan gaung reputasi tersebut menahanmu dari mencicipi seperti apa rasanya film ini. Ya, film ini banyak adegan gory dan disturbing. Tapi ada seni di balik betapa grossnya perilaku manusia-manusia. Adegan kulit yang mengelupas saja sebenarnya adalah sebuah simbol bahwa Justine mulai berubah, dia harus mencabik kulitnya untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya. Untuk wanita, menjadi dewasa adalah perubahan yang menyakitkan, fisik dan mental, dan film ini menceritakan hal tersebut dengan brutally honest. But again, film ini enggak seseram penjelasan yang kalian baca di ulasan-ulasan tentangnya. In fact, ada banyak elemen cerita yang dibalut dengan tone-tone yang enggak selamanya bikin kita bergidik. Film juga adalah drama keluarga, as much as it is a hauntingly self-discovery journey towards maturity. Dialog dan interaksi tokoh-tokohnya kerap ‘memaksa’ kita tertawa oleh betapa benarnya semua kejadian awkward yang kita temukan ketika kita mulai mengurusi diri sendiri.

Bukan, ini bukan Raw yang ada Roman Reigns dan John Cena nya.

 

Aku suka sekali gimana film ini ngehandle hubungan antara Justine dengan kakaknya. It was played as kakaknya berusaha membantu Justine melewati masa-masa sulit sebagai maba, memastikan Justine melakukan semua tugas ospek supaya adeknya itu enggak dikucilkan oleh Himpunan (yang pernah kuliah dan ngerti diospek pasti ngerti ‘beban’ maba yang satu ini) dan she was rather annoyed sama sikap adiknya. Interaksi mereka menghantarkan kita ke banyak momen-momen lucu. Kemudian some revealing yang subtil terjadi, dan mereka sort of jadi rival. Namun menariknya, kita tahu ada banyak kesamaan di antara mereka, dinamika hubungan sisterhood dua orang ini terus digeber sebagai emosional core yang actually menambah banyak kepada cerita.

 

 

Wajar jika setelah merasakan sesuatu yang baru, kita ketagihan dan ingin lagi, lagi, dan lagi. Nonton film pun begitu. Setelah menyaksikan cerita yang original, begitu berani, haunting, dan membuat kita berpikir, seperti film ini, enggak salah dong kalo kita minta film-film yang lain dibuat dengan semenantang dan semenarik horor Perancis-Belgia yang judul aslinya Grave ini. Bukan sekedar coming-of-age story, film ini tampil dengan brutal, filled with layers dan metafora sehingga walaupun shocking dan disturbing, kita enggak bisa untuk enggak terus menatap. Performance dan arahannya juga sangat luar biasa. Kita akan ngeri sendiri akan betapa grounded dan real dan relatablenya film ini terasa.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for RAW.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners .
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.