OCEAN’S 8 Review

“Let something be its own thing”

 

 

Sejujurnya aku ngeri. Aku tidak akan pernah bisa mengerti sejauh mana cewek rela terjun demi mendapatkan apa yang mereka mau – dalam kasus Debbie Ocean, ingin mengambinghitamkan cowok yag menjebloskannya ke penjara. Maksudku, tentu kita sukar sekali misahin unsur feminisme pada jaman kekinian, semuanya tentang pemberdayaan sekarang ini; namun Ocean’s 8 yang notabene adalah versi cewek dari Ocean’s Eleven tanpa tedeng aling-aling memperlihatkan tokoh-tokohnya memanfaatkan ketidaksamarataan gender sebagai senjata utama. “Cowok diperhatikan orang, cewek enggak.” kurang lebih begitu kata Debbie yang merupakan adik dari Danny dari tokoh utama trilogi asalnya. “untuk sekali ini kita ingin semua orang tidak memperhatikan kita” dia menutup rapat rencana perampokan permata geng cewek mereka, dengan isyarat keras kenapa tidak ada laki-laki di dalamnya.

Bergantung kepada sikap kesatria para pria yang segan masuk ke dalam kamar mandi wanitalah, Debbie merancang rencana perampokan permata di acara Met Gala itu dari bilik sel isolasi saat masih di dalam penjara. Ocean’s 8 bercerita dengan mengambil sudut pandang seorang wanita yang di dalam dirinya sudah mengalir darah penipu ulung. Yang tentu saja diback-up dengan kemampuan infiltrasi, penyamaran, dan berbahasa yang luar biasa. Dengan cepat kita dibuat tahu sejempolan apa kehebatan si Debbie ini. Dijual sebagai spin-off, sesungguhnya film ini bertindak sebagai sekuel dari trilogi rebootan filmnya Frank Sinatra; ceritany merupakan kelanjutan dari timeline cerita garapan Steven Sodenbergh, bertempat di ‘dunia’yang sama, dan Ocean’s 8 berhasil setidaknya mengimbangi trilogi tersebut dalam segi gaya dan keasyikan menonton.

Bukan karena keglamoran dan hingar bingar pesta dengan segala perhiasannya yang membuat mereka tertarik untuk melakukan perampokan berencana, melainkan karena mereka tahu persis bagaimana perangkap feminisme dalam dunia glamor itu bekerja di dunia nyata

 

 

Semua hal pada film ini, mulai dari perencanaan hingga actual heist – bahkan aftermath nya pun tampak sangat mewah. Dari kacamata sutradara Gary Ross, kita bisa paham kenapa film ini punya kepentingan untuk tampil ngepas ama trilogi pendahulunya. Jika kita menonton semua film dalam franchise ini berurutan, kita tidak akan menemukan ketimpangan yang mencolok. Karena dia benar-benar bekerja dengan mengikuti formula yang sudah ada. Keasyikan menonton film ini terutama datang dari jajaran castnya, obviously. Hampir-hampir mereka semua adalah papan atas Hollywood. Sandra Bullock dan Cate Blanchett begitu luar biasa charming dan fantastis. Chemistry para pemain meyakinkan sekali, tidak ada titik lemah dalam departemen akting. Mereka semua tampak fabulous dari segi akting maupun penampakan. I mean, wardrobe film ini benar-benar niat , seperti menyaksikan fashion show yang berselera tinggi. Anne Hathaway cakep banget, aku suka melihat duonya dengan tokoh Helena Bonham Carter di sini. Tadinya yang menghawatirkan buatku adalah Rihanna, karena dia yang punya jam terbang akting yang paling kurang di antara nama gede yang lain. Namun untungnya film tampak mengerti akan hal tersebut, jadi mereka memainkan Rihanna ke dalam peran yang tepat; tokohnya adalah seorang hacker jalanan yang gak suka banyak bicara. Rihanna sukses memerankannya, dia tidak mewujudkan kekhawatiranku menjadi kenyataan. Aku sudah suka Sarah Paulson sejak American Horror Story season 2, dan setiap kali dia tampil di layar dia membawa rasa bangga dan tidak pernah mengecewakan.

bisa jadi referensi baju baru abis lebaran nih buat cewek-cewek hihi

 

 

Segala kecantikan, keglamoran, dan kekerenan dan keseruan teaming up tersebut tampaknya digunakan untuk membuat mata kita silau. Untuk mengelabui kita dari ‘perampokan’ sebenarnya yang dilakukan oleh film. Aku enggak membenci, malahan sangat terhibur olehnya, tapi fakta bahwa film ini sesungguhnya tidak menawarkan apa-apa yang baru di baliknya – tidak ada kepentingan sepertinya selain untuk meneruskan franchise sukses – membuatku tak tanggung-tanggung kecewa. Apa yang mestinya sebuah lanjutan, dengan gimmick gender flipping dan semua itu, malah terasa tak lebih dari sebagai sebuah remake. Film ini meniru apa-apa yang dilakukan Soderbergh pada Ocean’s Eleven (2001) nyaris beat per beat. Lihat saja adegan pembukanya; Sandra Bullock menghadap kamera, ia sedang ditanyai mengenai apa yang akan ia lakukan jika dibebaskan oleh petugas kepolisian yang hanya kita dengar suaranya, persis seperti pada film pertama. Ocean’s 8 tidak tampak berusaha menjadi film sendiri, mereka basically mengembangkan film ini dari kerangka poin cerita yang sama dengan film pertama, hanya mengganti pemeran pria dengan wanita. Menukar uang dengan permata.

Ada banyak teknik zoom dan wide shot panjang sama seperti yang dilakukan Soderbergh. Meskipun teknik demikian bukan semata cap dagang Soderbergh, tapi mengingat film ini adalah produk keempat dari sebuah franchise, kita dibuat untuk mau tak mau melihat bagaimana film ini begitu keras berusaha untuk tampil mengikuti alih-alih menjadi diri sendiri. Jika kita punya perombakan besar-besaran, dengan cast dan bahkan crew yang sudah begitu berbeda, membuat hasil akhirnya sebagai produk yang gitu-gitu aja buatku tak bukan adalah sebuah kesia-siaan. Paling enggak, seharusnya mereka membuat film ini tidak sedemikian gampang untuk dibandingkan dengan film yang pertama – terlebih dengan segala versi cowok dan versi cewek ini.

Sekuen perampokan permata di Met Gala memang akan selalu seru, namun tidak disuguhkan sesuatu yang baru. Bahkan tidak ada stake yang benar-benar membuat kita peduli di sana. Kita tahu mereka akan berhasil, kita hanya duduk di sana ngikutin dengan merasa senang. Seperti yang sudah kita rasakan berkali-kali. Akan jauh lebih menarik jika ada intensitas dalam sekuen tersebut ketimbang sekadar melihat orang berseliweran sambil tersenyum berahasia dan sesekali melihat kameo bintang-bintang. Film ini kurang bumbu penjahat yang menyakinkan, halangan yang terasa benar-benar mampu untuk menggagalkan rencana mereka. Semuanya tampak begitu gampang buat mereka, dan di titik ini aku udah enggak begitu pasti entah hal hal tersebut dikarenakan tokohnya memang dibuat terlalu pinter atau filmnya sendiri yang dibuat dalam mode easy karena tokoh-tokohnya cewek semua.

atau mungkin pembuat filmnya memang ingin film ini di-ignore seperti kata Debbie

 

Sebuah film spin-off atau sekuel sebaiknya berani untuk digarap menjadi berdiri sendiri, tidak lantas meniru. Sepertinya memang kita harus membiarkan sesuatu menjadi dirinya sendiri. Karena semua udah ada tempatnya masing-masing. Cewek ya jadi cewek aja, cowok pun sebaiknya jadi cowok aja. Jangan jadi sesuatu yang bukan diri kita.

 

 

 

Setiap kali aku nonton film kayak gini, rasanya selalu aneh, lantaran ini sebenarnya termasuk dalam film yang susah dikategorikan ke dalam rating angka. Film ini dibuat dengan estetika yang benar; strukturnya enggak ngaco, pemain-pemainnya bekerja dengan baik dan luar biasa meyakinkan. Bahkan penampilan mereka pun bagus, bajunya kece-kece. Ini adalah film yang menyenangkan, namun menyenangkan yang sama yang sudah kita rasakan paling enggak tiga kali. Tuntutan untuk menjadi lebih baik, menjadi hal yang baru akan selalu ada, dan film ini gagal memenuhi kedua hal tersebut. Baik dan menyenangkannya hanya dalam batasan meniru yang sudah ada. Hingga menimbulkan pertanyaan, kalo begitu kenapa film ini mesti ada? Dan saat pertanyaan tersebut kita sadari ada di benak kita, uang di dompet sudah keburu hilang, karena film semacam ini adalah heist gemerlap yang sebenarnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for OCEAN’S 8.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ALAS PATI: HUTAN MATI Review

“Good friends don’t let you do stupid things…alone”

 

 

Tentu kita akan melakukan hal-hal bego saat bersama teman-teman. Kita masih muda. Akan membosankan sekali jika kita gak mengambil resiko dan ga melanggar semua peraturan itu. Hampir seperti masing-masing kita berlomba untuk menjadi yang paling ngaco, kita bangga melakukan sesuatu yang tak banyak orang lain bisa. Masuk kelas tepat waktu layaknya murid normal? Well, kita akan buktiin bisa masuk telat, lewat jendela belakang, demi mendapat elu-eluan dari teman satu genk; Hebaaaat. Berani banget, ih. Kemudian teman-teman akan meniru, bola bergulir, dan menimbulkan efek yang semakin membesar. Dengan mencoba tampil beda, ingin mendapat pengakuan – dalam masa kekinian; mau dapat view dan follower banyak – tak sadar kita menjadi contoh yang buruk.

Kita tidak bisa menilai diri sendiri. Orang bilang, pergaulanlah yang membentuk kita. Tapi pada kenyataannya, kita tidak pernah selalu sepasif itu. Sedikit banyaknya, baik buruknya perbuatan, kita kerap memberikan pengaruh. Kedewasaan dan pengalamanlah yang bakal ngajarin kita untuk berpikir matang dahulu sebelum bertindak.

 

Dalam konteks tersebut, sebenarnya Alas Pati punya dasar cerita yang menarik untuk dikembangkan dari karakternya. Ini adalah tentang seseorang yang menyadari dia sudah memberikan pengaruh yang buruk dalam lingkaran pertemanannya, dan berhubung ini film horor, ia memplajari hal tersebut dari sebuah kejadian naas mengerikan yang literally terus menghantuinya.Nikita Willy dan teman gengnya sudah dikenal di kampus sebagai kelompok songong yang suka mengupload video-video viral berisi kenekatan ekspedisi mereka. Dimotivasi oleh dahaga akan ketenaran siber, juga uang yang didapat darinya, mereka pergi ke pedalaman Jawa Timur. Ke sebuah pekuburan adat tradisional di dalam hutan yang terkenal angker. Disebut tidak ada yang dapat kembali dari sana, tokoh utama kita semakin tertantang. Mereka menemukan tempat tersebut dan make fun of it. Tentu saja ada korban jatuh. Mereka kabur ke habitat asal mereka (yang kuasumsikan adalah Jakarta, karena di mana lagi kita banyak menemukan anak muda spoiled yang belagu, right?) . Tapi tidak tanpa makhluk-makhluk dan kejadian poltergeist menyeramkan yang ngikutin.

Respect. Satu hal yang tidak berani dipunya oleh anak muda

 

Pada awalnya, Alas Pati tampak bakal dibangun menjadi horor yang ‘berbudaya’’ dengan actually punya sesuatu yang ingin disampaikan. Set-nya udah kayak settingan sebuah game Fatal Frame yang baik; Mereka punya urban legend yang dikunjungi. Mencakup ritual di pemakaman di mana makam-makam didirikan di atas platform kayu di daerah terbuka di tengah hutan terpencil. Ada mayat-mayat yang seperti dimumifikasi dengan mata terjahit di sana. Bahkan tokoh kita menggunakan kamera dan teknologi lain untuk melihat hantunya. Aku sudah siap diterpa cerita trauma personal yang dikaitkan dengan pembahasan ritual Alas Pati itu sendiri. Tapi film Alas Pati tidak pernah membahas ritual tempat tersebut dengan lebih dalam, praktisnya hanya dijadikan alas cerita saja. Horor yang kita dapatkan, sebaliknya, adalah cerita horor biasa yang bisa saja terjadi kalo judul film ini diganti. Mereka bahkan enggak perlu ke hutan itu, trigger cerita ini bisa terjadi di mana saja. Satu-satunya pengikat tokoh-tokoh ini mesti kembali ke lokasi itu adalah karena Nikita Willy mengambil kalung dari salah satu mayat dan memakainya layaknya kalung sendiri. Dan kita enggak tahu kenapa dia melakukan hal tersebut, mengapa dia nekat mengambil kalung dari mayat.

Jika kalian suka film di mana tokohnya mempelajari suatu misteri, kemudian berjuang melawan misteri tersebut karena ternyata bersangkut paut dengan masa lalu kelamnya sebagai seorang manusia, maka sebaiknya kalian jangan mengharap banyak kepada film ini. Ya, memang, tokoh utama kita akan menyadari dan mencemaskan apa yang sudah ia lakukan membawa dampak buruk bagi teman-temannya, tapi kita tidak melihat ia memilih untuk bertanggung jawab sendiri. Dia tetap ‘kabur’dan ketika udah kepepet, dia mulai berpikir lurus demi batang lehernya sendiri. Tidak ada eksplorasi. Film melewatkan kesempatan besar, mereka bisa saja membangun mitos sendiri soal ritual Alas Pati, yang mana seratus persen akan membuat film ini menjadi horor yang solid. Bayangkan betapa berbobotnya film jika durasi diisi oleh tokoh-tokoh yang actually melakukan sesuatu. Take action alih-alih bereaksi terhadap kondisi diteror hantu melulu.

Babak kedua film ini hanya diisi oleh tokoh yang bergantian diteror hantu. Dan setiap sekuen tersebut berakhir mereka revert back ke denying apa yang terjadi dan kembali meyakinkan diri mereka untuk menutupi apa yang mereka lakukan. Makanya film terasa sangat membosankan ketika sudah di bagian tengah. Kita praktisnya sama saja melihat hal yang sama berulang-ulang kali. Film terlalu malas untuk menciptakan cerita yang berlapis. I mean, bukan saja elemen ritual yang dibiarkan dingin. Ada satu poin di mana ada seseorang yang mengupload video mengenai kejadian yang mereka semua tutupi dari orangtua dan publlik. Dengan panik mereka mencoba menurunkan video tersebut dari linimasa, menghapusnya dari internet, dan that’s it. Poin ini enggak ada reperkusinya. Entah bagaimana tidak ada orang yang melihat video tersebut. Tidak ada pembahasan kenapa video tersebut bisa terupload. Film just drop it, tidak berujung kemana-mana selain para tokoh jadi ribut saling tuduh.

Tapi paling enggak, peta yang mereka gunakan sudah jauh meyakinkan dari peta Ular Tangga (2017)

 

Film justru melompati hal-hal seru untuk diceritakan. Misalnya lagi saat perjalanan mereka menuju Alas Pati. Seluruh perjalanan ke tempat terpencil itu dibuat begitu mudah. Hanya ada satu kali mereka mencemaskan enggak bawa pengaman. Tapi kemudian kita dicut langsung menuju mereka sampai di lokasi. Membuat film ini tampak enggak kompeten, seolah cerita yang mau mereka usung jauuuuuhhh lebih gede dari kemampuan pembuat filmnya. Mereka tidak bisa membuat mitos seputar Alas Pati, mereka tidak bisa membuat misteri yang lebih eksploratif , mereka tidak bisa membuat perjalanan yang intens. Adegan di sepuluh menit pertama – yang ditutup dengan Nikita Willy melempar botol mineral tepat kena kepala temannya yang berlari menjauh, konyol! – sungguhlah berperan dengan super efektif sebagai tangisan minta tolong dari film untuk kita memperhatikan bahwa mereka gak bisa membuat cerita yang benar-benar terasa intens dan mencengkeram. Di menit tersebut kita melihat Nikita Willy ditantang main panjat tembok sama temennya; editingnya sungguh-sungguh begitu bland, kita tidak merasakan kompetisinya, yang dilakukan film ini hanyalah mereka merekam ekspresi meringis pemain dan kemudian memainkan musik rock sebagai penghantar emosi. There’s nothing pada kamera dan editnya yang menguar emosi.

Ketergantungan terhadap musik dan suara keras inilah yang bikin film ini sungguh tampak nyebelin. Usaha mereka cuma di bagian itu, dan mereka pikir itu sudah cukup. Bahkan saat menangani adegan inti yang pembuat film percaya bakal laku keras pun, film tampak begitu malas. Rambut yang dipakai hantu ‘beneran’ di sini clearly gak ada bedanya ama wig yang dipakai tokohnya si Stefhanie Zamora waktu ia nakut-nakutin temennya. Juga di bagian akhir film, ada adegan ngebut-ngebutan di mobil yang jelas malesin buat ditake ulang jadi mereka masukin ngasal aja potong-potongan adegan, alhasil itu plat mobil berubah-ubah dari B 459 PM menjadi B 9 PM dalam setiap shot.

 

 

 

 

Diibaratkan, film ini adalah teman kita di sekolah yang kerjaannya bolos, nyontek, sok ngartis, tapi punya penggemar banyak karena dia kece. Dia tidak melakukan apapun dengan potensi yang ia punya. Harapan kita tentu saja adalah semoga film ini gak lantas menjadi pengaruh buruk buat ranah perfilman horor tanah air.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for ALAS PATI: HUTAN MATI

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LIMA Review

“You can only kill ideology with a better idea.”

 

Meski pelajaran ini adalah mata pelajaran yang namanya paling sering berubah, toh ajarannya tetap seputar bagaimana menjadi warga negara yang budiman dan bertata susila. Sejak dari namanya masih PMP, lima dasar negara yang diajarkan kepada kita gak pernah berubah. Negara Indonesia ini supposedly berpedoman kepada lima poin rumusan yang mencakup semua spektrum kebermasyarakatan, karena di sini kita hidup sebagai warga majemuk. Bhinneka Tunggal Ika, semboyan kita. Dan bukan sekedar simbol kata semata; dengan gampang, setiap dari kita ngerasain perbedaan-perbedaan di dalam lingkungan keseharian kita. Aku sendiri tumbuh besar di masa tatkala lingkunganku ngerayain Idul Fitri dan Natalan bareng. Tukar menukar krat minuman kaleng sudah jadi hal biasa. Saling berkunjung, bergantian memandangi kaligrafi dan salib adalah pemandangan sehari-hari. Jadi, apa yang kita pelajari di sekolah, bisa langsung dipraktekkan.

Namun, soal-soal ujian PPKn tersebut kerap terlalu gampang. I mean, kuncinya jelas; jawab yang baik-baik. Dijamin bener. Kalo ada temen beda agama yang sakit, ya dijenguk. Kalo ada yang lagi ibadah, ya jangan ribut. However, film Lima ini nunjukin persoalan enggak sesederhana itu di kehidupan. Film ini mengajak kita membuka mata lebar-lebar. Literally menghantarkan kita kepada contoh-contoh kasus ribet yang bisa timbul dari kemajemukan masyarakat. Dan bagaimana kadang kita terlalu kaku dalam menempatkan ideologi. Toleransi yang bisa disalah arti, juga sebaliknya ketidaktoleransian bukan semuanya berarti semena-mena.

dan sampai sekarang aku belum hapal butir-butir Pancasila

Namun jangan khawatir film ini enggak lantas jadi sama boringnya dengan mantengin dua jam pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan di dalam kelar. Lima punya cara bertutur yang unik. Sebagai tubuh besar cerita, kita akan mengikuti satu keluarga yang multikultural. Dalam satu atap itu, mereka kompakan untuk mempercayai agama sesuai keyakinan masing-masing. Konflik yang kita jumpai adalah permasalahan yang dihadapi oleh putra-putri keluarga tersebut berkenaan dengan profesi mereka yang juga menuntut untuk terus berpikiran terbuka, menanggapi hal-hal yang mungkin saja bertentangan dengan pemahaman dan kepercayaan mereka.

Film ini seperti antara omnibus dengan sebuah multi-plot kind of film. But it is safe to say, Prisia Nasution sebagai tokoh kakak pertama bernama Fara yang juga adalah seorang pelatih atlet renang, yang jadi tokoh utama pada cerita ini. Karena arc cerita miliknyalah yang paling melingkar. Dia bergiliran sebagai pelaku dan sebagai yang dikenai pelik seputar keberagaman dan bagaimana jalan terbaik untuk menyingkapinya. Pada dasarnya, apa yang kita lihat terjadi kepada si kakak dan adik-adiknya, dan juga asisten rumah tangga mereka, adalah contoh-contoh yang mewakili lima sila dalam Pancasila. Jadi, pengtigababakan film ini disejalankan ama lima episode cerita, bayangkan cerita pendek dengan tokoh utama yang beda-beda, yang membentuk gambaran besar seperti lambang lima sila membentuk perisai Pancasila di dada Burung Garuda lambang negara kita.

Yea, kalo mau dibilang kekurangan, lima cerita yang terasa seperti episode-episode inilah yang menjadi masalahku buat film Lima. Mereka seharusnya bisa mengolah cerita sehingga benar-benar berjalan mulus tanpa ada sekat di antaranya. Membuat tokoh-tokoh cerita mengalami kejadian yang benar-benar menampakkan pengembangan tokohnya. Membuat setiap episode itu punya bobot lebih dan merangkai dengan lebih sempurna tanpa terasa bergiliran. Alih-alih demikian, tidak tampak ada sangkut paut yang mendalam antara ceria satu dengan cerita yang lain. Satu-satunya yang menjadi perekat, selain fakta bahwa mereka satu keluarga, adalah bahwa secara emosional tokoh-tokoh sudut pandang film ini masih berkabung – mereka tergerak oleh perasaan kehilangan terhadap tokoh Ibu yang meninggal di babak awal.

Babak tersebut, didedikasikan untuk mewakili sila Ketuhanan yang Maha Esa, buatku adalah bagian yang paling meyakinkan. Aku tadinya berpikir film akan berpusat mengenai masalah kematian Ibu ini, karena Ibu diset sebagai karakter yang kompleks dan punya peran yang besar bagi tokoh-tokoh yang lain. Ibu adalah seorang yang keluar dari Islam, untuk kemudian masuk Islam lagi, bahkan menjadi Haji. Dia juga diberikan hibi unik suka memakai kuteks. Dia pun punya rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Segala ini berdampak ketika proses penguburan jenazahnya. Film sudah menarik sendirinya jika didedikasikan ke aspek ini, kayak, misalkan film ini dibuat dengan premis ‘keluarga yang ingin menguburkan ibunya tapi terhalang oleh status agama dan wasiat si almarhum’ saja sudah terdengar sebagai cerita yang lebih dari mumpuni. Lima menggarap bagian ini dengan meyakinkan, aura suram menguar kuat dari Kakak dan dua adiknya, bahkan ada satu adegan ketika anak-anak cowok sang ibu mengecat kuku mereka dengan kuteks sebagai penghormatan terakhir. Dan ketika adegan penguburannya, aku merasakan suatu kekaguman di hatiku. Menurutku, apa yang terjadi di sana, seorang meninggal dan mendapat penghormatan dari berbagai ritual agama itu begitu menakjubkan, sudah seperti seagung Dumbledore yang kematiannya dihadiri dan dihormati oleh berbagai makhluk magical.

can I have mermaids at my own grave?

Namun, masih banyak pesan dalam daftar misi film Lima. Aku sempat kaget bahwa masalah pemakaman ini beres, dan cerita move on gitu aja. Babak dua film membahas tentang kehidupan Fara, dan Aryo, dan Adi, yang respectively mencerminkan sila kedua hingga keempat. Bagian cerita Fara tentang polemik pengiriman atlet renang ke Sea Games nyata-nyata adalah bagaimana pandangan film ini tentang isu nonpribumi-pribumi yang sempat dan masih hangat melanda kehidupan sosial dan politik kita. Film ini berusaha memberikan jalan tengah dari pertanyaan kenapa mesti pribumi jika ada nonpribumi yang terang-terangan lebih baik. Film berusaha memberikan solusi alternatif dengan mengajak kita untuk memutar sudut pandang;

Tidak ada yang mutlak sebagai yang terbaik. Tidak orang, tidak juga pandangan dan ideologi. Malahan sebaliknya, kita bisa mencapai yang lebih baik dengan mau mempertimbangkan banyak hal, dengan mau bekerja ekstra. Bunuh ideologi, dengan dan hanya bisa dengan, ide yang lebih baik.

Sayangnya, cerita-cerita yang lain tidak mendapat pembahasan yang sama memuaskannya. Bahkan penampilan heartfelt dari Yoga Pratama juga tak mampu membuat cerita bagiannya mencuat sama tinggi. Hanya tampak seperti pesan bahwa idealisme bisa merugikan kalo kita gak berani ataupun enggak mau melakukan adaptasi. Cerita adik paling bungsu juga seperti kehilangan bagian penutup, arc si tokoh tidak terasa terselesaikan, terlebih karena tokohnya sendiri dibuat begitu annoying. Dan apalagi kalian tahu, karakter yang annoying instantly a turn-off buatku. Di babak terakhirlah film menjadi totally dicekokin ke tenggorokan kita. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu diwakili oleh film dengan, yak, adegan persidangan anak miskin yang mencuri buah coklat di kebun perusahaan besar. Film berusaha menjabarkan bagaimana hukum tidak boleh hanya tajam ke bawah, tapi sebagian besar yang dilakukan oleh film adalah menguatkan unsur dramatisasi, seperti tentu saja kita bersimpati sama orang kecil. Langkah yang diambil film tidak lagi tampak berani, lebih kepada drama ketimbang sentilan seperti yang sudah dilakukan di cerita-cerita awal. Meskipun kuakui, mengakhiri cerita dengan debat di ruang sidang, adalah resiko tersendiri yang diambil oleh film, karena to be honest, adegan sidang tidak pernah membuat penonton excited.

 

 

Yang kusuka dari film ini adalah ketika menjawab dan memberikan sudut pandangnya terhadap masalah yang timbul dari kemajemukan, film tidak pernah mengambil langkah ngejudge. Memang, beberapa tokoh dibuat ngotot akan pandangan mereka sehingga terkadang nampak outright evil, tapi di saat yang bersamaan kita juga diperlihatkan darimana pandangan tersebut berasal, sehingga kita memahami apa sih yang sebenarnya terjadi. Film ini dengan berani menggambarkan setiap isu sosial politik yang lagi hangat, tapi tidak sekalipun ada pihak yang direndahkan. Tidak ada yang terlalu antagonis. Tapi bagaimana pun juga, sebagai sebuah film semestinya ia bisa tampil lebih baik lagi, bisa berjalan lebih mulus dan keluar dari kotak episodik.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LIMA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE GIFT Review

“If you can’t find light in the darkness, be the light in the darkness.”

 

 

Sisi terang dari kegelapan ialah dia membuat, ah tidak, memaksa kita untuk merasakan dengan lebih kuat. Kalian tentu sadar kita sering termerem-merem sendiri ketika mengingat kenangan yang indah, menghayati lagu yang klop buat mewakili jatuh cinta, atau bahkan saat sedang mencicipi makanan yang begitu lezat. Ada kenyamanan yang bisa ditemukan seseorang di dalam kegelapan. Apalagi buat seseorang seperti Tiana, cewek di awal tiga-puluhan yang masih sering terkenang trauma keluarga pada masa kecilnya. Tiana menjadikan kegelapan sebagai tempat pelarian. Bukan karena dengan kegelapan dia tidak bisa melihat kenyataan, melainkan karena kegelapan menghantarkannya kepada cahaya impian. Dan secercah cahaya itulah yang dia jadikan tujuan; sesuatu yang Tiana usahakan untuk terwujud.

Dewasanya, Tiana tumbuh menjadi seorang penulis novel. Mentok nyari ide ngerangkumin cerita novel terbaru, dia melangkahkan kaki ke Yogyakarta. Tiana ingin tinggal lagi di sana, karena di kota itulah kehidupannya dengan segala kenangan berawal. Jadi, malam pertama Tiana ngontrak, dia begitu terganggu sama suara musik rock yang diputar kenceng-kenceng. Ketika mencari sumbe suara untuk melayangkan protes itulah, pertama kalinya Tiana melihat sosok Harun – putra dari pemilik kontrakan.  Harun yang kehilangan penglihatan karena kecelakan menarik-narik tali penasaran di dalam diri Tiana. One thing leads to another, Harun merasakan affection yang mendalam dari Tiana. Perasaan mereka berdua bisa saja saling beresonansi, tapi hidup selalu menawarkan sesuatu tak peduli kita butuh atau tidak. Seorang teman masa kecil, datang menawarkan cahaya baru bagi hidup Tiana. Memaksa wanita ini untuk sekali lagi masuk ke dalam lemari, mencari titik terang masalah dari dalam kegelapan yang begitu hangat baginya.

di sela semua itu, sempat-sempatnya Hanung nyeletuk soal gak musti melulu idealis dalam bikin cerita. Sliiiccckkk!

 

The Gift mungkin akan membuat kita bertanya-tanya, hadiah atau berkah apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh film ini. Tentu, mata adalah salah satu anugerah terindah. Akan tetapi, perasaan dan emosi yang ditangkap oleh hati kita dapat dengan gampang mengalahkan lima panca indera sekaligus. Sering sekali kita melihat Tiana memejamkan matanya, entah itu ketika dia bersiap dihantam gelombang flashback ataupun ketika dia berusaha menajamkan perasaannya. Pada adegan awal saja, kita menyaksikan Tiana naik becak melewati jalanan kota Yogyakarta, mendeskripksikan betapa ia merindukan tempat tersebut, menyebut suasana dan lingkungannya yang indah, tetapi dengan masih mengenakan kacamata hitam. To be honest, sekuen pembuka ini terasa pretentious buatku; aku merasa susah untuk ikut ketarik masuk ke dalam yang Tiana rasakan karena yang aku lihat di depan mataku adalah seorang cewek yang menulis hal-hal bagus tentang kota yang ia datangi, tanpa benar-benar melihat objek yang ia tulis. Tapi film ini toh berhasil membuatku terus memikirkan ceritanya hingga tiba giliran aku yang menyusuri kota dalam perjalanan pulang dari bioskop. Aku terlambat melihat konteksnya, dan begitu menyadarinya, aku bisa melihat film ini dari cahaya yang lebih terang.

Ada alasannya kenapa Tiana menggambarkan kehangatan Jogja dengan perumpaman tangan wanita tua yang keriput. Karena itulah yang ia rasakan, dengan menutup matalah ia melihat. Tiana adalah tokoh yang berpikir dia bisa melihat lebih baik, perceiving apapun objek dan masalah dengan lebih baik, dengan tidak literal melihatnya dengan mata. Sebagai wanita yang mandiri, setiap kali membuat suatu keputusan, Tiana akan menutup matanya, membayangkan apa yang bisa ia pikirkan untuk mengatasi masalahnya. Bahkan, Tiana lebih suka curhat dengan sahabatnya lewat telefon. Sementara aku suka gimana sutradara berhasil mengarahkan dua versi Tiana (kecil dan dewasa) sehingga tampak meyakinkan sebagai satu orang yang sama – tepuk tangan juga buat kedua pemainnya, Ayushita Nugraha dan Romaria Simbolon berhasil mendeliver emosi terutama di momen-momen ketika seolah yang mereka lihat adalah sesuatu yang begitu berat mereka ingin mundur ke dalam bayang-bayang. Actually, saking meyakinkannya pertumbuhan karakter Tiana, aku geram juga film tidak benar-benar membahas apa eksaknya yang dilalui Tiana. Kita memang akan dibawa menggali lebih dalam masa lalu Tiana, tapi terlalu menyebar, dan film menyinggung beberapa yang justru malah menimbulkan lebih banyak pertanyaan dan penasaran. Relationshipnya dengan ibu panti yang diperankan oleh Christine Hakim, misalnya, sepertinya heartfelt sekali – aku pengen tahu gimana tepatnya mereka berpisah, gimana Tiana keluar dari panti. Aku pengen melihat lebih banyak bagaimana dia bisa berubah dari ‘anak lemari’ menjadi seorang cewek yang enggak totally politically correct.

Sebagai tokoh utama, karakter Tiana ini memang rada tricky untuk dikembangkan. Tiana diplot sebagai sebagai cewek yang egois di awal cerita, dan berakhir dengan melakukan pengorbanan gede yang menunjukkan betapa banyak karakter ini belajar dalam jangka waktu dua jam kurang. Tapi kita supposed untuk peduli terhadap karakternya, supaya ketika dia berubah, emosi yang dipancarkan itu sampe dengan sukses. Membuat kita juga turut menyayangkan apa yang ia lakukan. Di sinilah letak ‘susahnya’, kita harus diyakinkan untuk peduli di saat dia mendekati Harun, hanya karena Tiana penasaran kepada cowok itu. Itulah alasan kenapa Tiana mendekati Harun; dia yang selama ini menemukan kenyamanan dalam memejamkan mata, bertemu dengan seorang pria yang benar-benar tidak bisa melihat. Tiana sempat mempertanyakan dirinya sendiri, apakah dia berdosa? Namun selain itu, film juga tampak kesulitan untuk terus memperlihatkan kondisi tokoh utama yang begini. Makanya, romansa di film ini terasa loncat-loncat. Tiana dan Harun hampir seperti mendadak jadi saling cinta, kemudian mendadak pula mereka bertengkar. Bahkan kepergian Tiana dari Harun juga terasa abrupt. Susah mematri lampu simpati itu ke Tiana jika hubungannya yang berdasar penasaran doang itu harus lemat-lemat diperlihatkan

Mau mata normal, mata minus, tunanetra, ataupun malah buta warna, kita tidak akan pernah benar-benar melihat suatu hal dengan jelas, jika kita tidak menyertainya dengan berusaha untuk merasakan, peduli sama apa yang kita lihat. Dan jika kita terus saja tidak dapat menemukan cahaya untuk ‘melihat’, jadilah cahaya itu sendiri.

 

 

Pun begitu, momen-momen indah kebersamaan mereka tetap bisa terbangun. Adegan meraba wajah yang dibuat begitu dekat sehingga kita nyaris bisa mendengar degup jantung mereka. Pembangunan adegan ini tampak dipikirkan dengan seksama, permulaan Tiana yang sengaja mengalah adu suit memberikan bobot yang lebih gede. Momen tersebut membantu melandaskan suatu hal yang penting terhadap mereka berdua; bahwa mereka sebenarnya berbeda. Harun  adalah orang yang selalu bisa melihat kenyataan, bahkan sebelum matanya buta. Inilah cikal bakal konflik dari hubungan mereka; Tiana ingin nyaman-nyaman berdua dalam kegelapan, so to speak, dia senang membiarkan Harun dalam ‘gelap’ atas apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Harun selalu bisa melihat. Nyaris dialah cahaya itu sendiri.  Seperti yang actually disebut dalam salah satu ribut-ribut mereka, ini bukan semata soal control, ini adalah soal gimana Harun membuyarkan kegelapan yang ingin dipertahankan oleh Tiana. Dan Tiana tidak suka ini, seperti halnya dia juga menganggap Arie, sahabat kecil yang cinta mati ama dia, terlalu menyilaukan buatnya.

Karena itulah saat menonton ini aku tidak bisa melihat kenapa mereka harus jadian, aku tidak merasa perlu untuk melihat mereka berakhir bersama. Aku juga tidak dapat merasakan konfrontasi mereka. Well, terasa keras sih, sebab setiap konfrontasi disuarakan dengan begitu lantang, teriak-teriak penuh emosi. Feelingnya yang gak dapet. Tapi kita gak bisa percaya Tiana setelah ia baru saja terang-terangan berbohong. Bukan cinta sebenarnya dirasakan oleh Tiana kepada Harun. Bukan pula rasa bersalah. Alasan kenapa dia menjadi begitu ingin termasuk ke dalam hidup Harun adalah dia ingin menunjukkan cahaya kepada Harun, dia ingin berguna, namun sikap Harun selalu dapat melihat terus saja menantang keinginan Tiana.

Tutup mata kiri, ada dua jari. Tutup mata kanan, loh susternya kok ilang whoaaaaa??!!!

 

Soal penampilan sih, Reza Rahadian juara banget meranin Harun. Malahan saking meyakinkannya sebagai seorang tunanetra, kamera tidak berani menangkap wajahnya dari depan pada adegan pertama kali Tiana face-to-face dengan Harun saat diundang sarapan bareng. Kamera ngesyut dari belakang, ataupun hanya sebatas dagu, meskipun sudut pandang film ini adalah Tiana, dan cewek itu sudah melihat wajah Harun di depannya. I guess, kalo disyut dari depan juga (sesuai pandangan Tiana), konteks yang diniatkan – Tiana enggak ngeh Harun buta – bisa buyar lantaran Reza sangat total bermain sebagai orang buta. Yang tidak aku mengerti dari Harun adalah bagaimana dia bisa menulis dengan huruf yang perfectly centered; pas di tengah-tengah kertas. Mungkin sih, dia dibantu si Mbok atau asisten rumah yang lain, tapi tokoh ini terlihat bukan tipe orang yang mau minta bantuan kalo sudah menyangkut urusan pribadi. Dan jika kita masih bicara soal cinta, Harun indeed jadi beneran genuinely sama Tiana. Yang mana membuat adegan-adegan ia nangis di akhir itu terasa nyesek. Masalah ada apa di Kaliurang juga masih berakhir dengan tanda tanya.

 

 

Untuk sebuah kisah hubungan antara insan-insan manusia yang tragis, yang mengambil batasan pandangan sebagai tema, film ini tampak sungguh luwes dalam penggarapannya. Setiap adegan diambil dengan sudut-sudut yang dengan subtil mendukung cerita, seperti adegan konfrontasi lewat pantulan cermin-cermin itu. Ada juga kamera goyang-goyang yang aku gak mengerti kepentingannya apa. Film ini penuh berisi penampilan akting yang luar biasa meyakinkan. Yang mendorong cerita yang sebenarnya tidak begitu make sense dan lumayan mengandalkan factor kebetulan ini dapat terus mencengkeram untuk diikuti. Lebih dari kisah percintaan, film ini bekerja terbaik sebagai tontonan perilaku manusia dalam mengatasi trauma masa lalu yang kemudian membentuk pribadi dan keputusan mereka. Karena, afterall, kita ingin bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE GIFT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SOLO: A STAR WARS STORY Review

“Trust is a two way street”

 

 

Terserah kita, sebagai penonton yang terhanyut oleh petualangan luar angkasa ketika menonton Star Wars original, mau milih pengen kuat kayak Luke Skywalker atau mau sekeren Han Solo. Buatku, jawabannya selalu adalah Han Solo. Dia lucu, jago nembak dan nerbangin pesawat, dan dia sombong akan hal tersebut. Sesuatu yang hebat pada tokoh ini adalah gimana dalam skenario cerita fantasi yang larger-than-life itu dia terasa seperti orang biasa yang lagi nongkrong di planet nun jauh di sana. Han bukan pejuang Jedi, dia hanya seorang penyelundup barang. Tapi melihat dari teman gaulnya yang monster berbulu, kita tahu Han Solo sudah melewati banyak petualangan seru; yang membuat tokoh berandal ini lebih menarik ini.

Jadi, tentu saja natural bagi studio yang punya hak nyeritain kisahnya pengen menggali lebih banyak soal petualangan solo dari seorang Han Solo. Dan setelah melalui banyak kemelut produksi, bolak-balik diarahkan banyak orang sebelum akhirnya Ron Howard mendapat kredit final sebagai sutradara, film yang memperlihatkan kepada kita seperti apa Han Solo sewaktu masih muda akhirnya mendarat juga. Sebagai sebuah aksi petualangan, film ini sangat exciting. Akan ada banyak adegan kejar-kejaran dengan kendaraan yang hanya bisa kita bayangkan, entah itu ketika Han melarikan diri atau mau menyelamatkan sesuatu, dengan keseruan yang terbangkit oleh menit-menit terakhir skill kenekatan Han Solo yang beruntung itu menunjukkan tajinya. Adegan di kereta api dan adegan kabur dari monster dengan Millennium Falcon itu sungguh luar biasa menyenangkan. Ya, dengan serunya film ini akan memberikan jawaban seputar kehidupan awal dari Han sebelum adegan pertama di Star Wars episode IV (1977), tentang bagaimana dia bisa berteman dengan Chewbacca, asal usul dirinya bisa berada di balik kursi pilot pesawat angkasa paling ngehits di dunia – Millennium Falcon – yang tentu saja kita juga akan melihat interaksi Han dengan Lando Calrissian. Kita akhirnya akan melihat langsung peristiwa menarik gimana tepatnya Han memenangkan Millennium Falcon dari taruhan dengan Lando. Pretty much apa yang kita suka dari karakter Han Solo, kesombongannya, skillnya, keberuntungannya, akan diangkat dalam film ini.

dan ada droid yang mendambakan kesetaraan hak antara mesin dengan manusia hihihi

 

 

Yang sering luput dari pembicaraan rangorang ketika ngegosipin Han Solo adalah mengenai sikapnya yang suka jengkel dengan ketidakkompetenan makhluk di sekitarnya. Selain kocak, jago, tengil, dan segala macam sikapnya yang charming tersebut, Han Solo cukup ‘galak’ ketika ada orang yang tidak melakukan sesuai dengan yang seharusnya mereka lakukan. Ada banyak kejadian yang menunjukkan trait karakternya ini dalam film-film Star Wars terdahulu, seperti misalnya ketika Han bete ngejelasin cara kerja Force kepada Rey dan Finn di Star Wars The Force Awakens, “That’s not how the Force works!”. Han Solo punya sedikit superiority complex, namun dia susah mengekspresikannya oleh sebab deep inside, dia adalah orang yang lebih memilih untuk rileks dan melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Dalam Solo: A Star Wars Story inipun aspek karakter itu nyaris lupa diangkat. Film actually mengerti, mereka mengolah cerita dengan tema kepercayaan terhadap orang lain, yang berusaha mereka sangkutkan dengan sikap grumpy Han terhadap orang sekitar, like, lewat film ini kita akan mengerti kenapa Han Solo lebih suka bertindak sendiri – atau paling enggak kenapa dia hanya percaya berat kepada Chewie.  Hanya saja, aspek ini dimainkan oleh film dengan datar, lebih kepada sebagai komedi dan tidak benar-benar membuat aspek ini sebagai kedalaman yang berarti bagi si tokoh sendiri.

Dibesarkan di bawah naungan geng bandit di pipa-pipa bawah tanah menjadikan Han Solo punya insting untuk selalu bekerja sama dengan orang lain. Akan tetapi, apa yang ia lakukan lebih sering mengharuskannya untuk mempercayai diri sendiri, berimprovisasi tidak menurut sama perintah. Konflik inilah yang membebani Han Solo pada hari-hari awal petualangannya. Kepercayaan adalah jalan dua-arah. Simpelnya, jika kita tidak percaya kepada orang lain, maka pada gilirannya, mereka pun akan mengalami kesusahan untuk mempercayai kita. Han Solo pada akhirnya membuat perhitungan ini menjadi lebih sederhana lagi; dia memasukkan keberuntungan dalam ekuasi yang harus ia percaya.

 

 

Sebenarnya Solo ini dapat menjadi cerita yang menarik, dengan pertimbangan bahwasanya ia adalah cerita yang tidak benar-benar harus terkait langsung dengan trilogi original. Akan tetapi, jika kita menggarap sebuah prekuel dari cerita yang sudah dikenal luas, maka akan selalu ada tuntutan – akan selalu ada beban, lantaran cerita yang sedang kita bikin sudah tertambat oleh cerita yang lain. Mau tak mau kita harus mengembangkan cerita baru ini ke arah yang orang sudah tahu, dan jika ada beda dikit aja, kesinambungan cerita gedenya akan terganggu. Dan kalo sudah begitu, siap-siap menghadapi celotehan protes terutama dari para fans. Yang mau aku bilang adalah, butuh nyali untuk menggarap prekuel. Yang sayangnya, nyali ini tidak aku temukan dalam film Solo.

Jarang sekali film ini membahas dalem tentang Han Solo itu sendiri, meskipun kalo mikir logika ini adalah cerita tentang dirinya. Kita hanya melihat petualangan demi petualangan, tanpa ada bobot karakter di dalamnya. Film ini secara berhati-hati membuat kejadian, sehingga jika kita nonton film ini kemudian dilanjutkan dengan film Star Wars yang pertama, tidak ada cerita ataupun interaksi tokoh yang terasa janggal. Tidak ada kontinuitas yang dicoreng. But at the same time, apa yang film ini accomplished regarding tokoh Han Solo itu sendiri; nol besar. Han Solo tidak diberikan aspek yang baru kita lihat, dengan lain kata; tidak ada development. Mereka hanya mengeksplorasi hal-hal yang ingin kita minta, yang mana membuat film ini terasa seperti fans service semata, tanpa menempuh resiko apa-apa. Seolah mereka sebenarnya tidak punya sesuatu yang ingin diceritakan lagi dari Han Solo sebagai seorang karakter, selain petualangan-petualangan itu.

Salah satu alasan Harrison Ford menginginkan Han Solo meninggal di Return of the Jedi adalah karena dia merasa karakter ini enggak punya banyak kedalaman sehingga dengan membuatnya melakukan pengorbanan, Han Solo bisa mendapat peningkatan karakter. Dan kita melihat keinginan Ford ini dikabulkan pada The Force Awakens, dan kita bisa rasakan sendiri gimana kematian itu menambah banyak bagi Han sebagai seorang karakter. Dia jadi punya sesuatu yang lebih dalam untuk kita rasa. Dalam Solo kali ini, sayangnya, tokoh Han Solo tidak berusaha untuk digali lagi. Plot tokohnya tipis. Tidak banyak ruang gerak yang diberikan kepada Alden Ehrenreich untuk menerbangkan karakter ini. Dia hanya senyum smug, ngedipin sebelah mata, nunjuk-nunjuk, seperti yang dilakukan oleh Han Solo yang kita kenal. Sepatu yang ditinggalkan oleh Harrison Ford buat tokoh ini adalah sepatu yang besar, dan arahan cerita yang tidak berani mendorong batasan ini membuat Han si Alden tampak tak lebih dari seperti parodi dari Han Solo yang asli. Interaksi Han Solo dengan tokoh-tokoh yang lain pun terasa terbatas. Dia punya hubungan romansa dengan cewek dari masa kecilnya yang turns out menjadi salah satu elemen gede dalam cerita (yang tampaknya berlanjut ke sekuel). Han diberikan tokoh mentor yang ngajarinnya soal dunia selundup-selundupan, tapi sama sekali tidak tampak seperti demikian, mereka malah tampak seperti teman satu tim. Dengan Lando dan Chewie-lah, film menemukan titik terang. Donald Glover sebagai Lando adalah pilihan yang tepat, dia tidak tampak bermain menjadi seperti aktor  lain yang memainkan tokoh Lando, dia memberikan sentuhan lain buat karakter yang kita kenal ini.

“This is Sabbac, don’t catch you slippin’ now”

 

 

 

Bukan berarti ini adalah film yang jelek. Aku sendiri enggak akan ragu untuk nonton ini dua kali. Adegan-adegan aksi petualangannya seru, film ini tahu cara ngebuild stake sehingga membuat para tokoh utama kelihatan menghadapi sesuatu yang actually bisa gagal. Hanya saja film ini mengecewakan karena tidak berani mengembangkan sesuatu yang baru. Alih-alih punya cerita Han Solo yang ingin digali, membuatnya semaki dalem sebagai sebuah karakter, film lebih memilih untuk sekedar memperlihatkan asal muasal adegan-adegan yang kita tahu. Tanpa menempuh resiko. One way or the other, apa yang mereka lakukan di sini membuat aku percaya kepentingan eksistensi film ini tak lebih dari sekadar karena uang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SOLO: A STAR WARS STORY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

REVENGE Review

“Revenge is the single most satisfying feeling in the world”

 

 

Apa yang rasanya manis dan berwarna merah, tapi bukan apel? Balas dendam jawabannya.

Sebagian besar dari kita pasti pernah memikirkan skenario membalas budi jahat yang seseorang lakukan kepada kita – setidaknya untuk beberapa menit. Kita berfantasi gedein otot untuk memukul rata hidung mancung yang telah merebut cewek demenan. Kita membayangkan hidup sukses, kemudian membeli perusahaan dan memecat si bos sok galak, di depan seluruh karyawan. Kita mengarang cerita-cerita dahsyat seputar keinginan untuk menggetok orang-orang yang sudah memperlakukan kita salah. Dan kita puas karenanya. Balas dendam, bagi sebagian besar orang, dilampiaskan dalam bentuk cerita, karena kita lebih memilih untuk move on dengan kehidupan kita. Makanya, cerita-cerita tentang balas dendam selalu adalah cerita yang digemari, dari Hamlet ke Carrie, ke Gone Girl. Dan sekarang estafetnya berlanjut ke Revenge; thriller sadis buatan sutradara baru asal Perancis, Coralie Fargeat.

Revenge ini bagaikan hidangan dingin yang disajikan Fargeat demi menjawab isu kesetaraan wanita berkaitan dengan pelecehan dan berbagai tindak injustice terhadap cewek. Ceritanya tentang Jen (salut buat Matilda Lutz yang memainkan adegan-adegan intens nan fisikal) yang lagi menghabiskan waktu romantis bersama pacarnya yang kaya di rumah gede di tengah-tengah entah di mana. Kalian ingat kampanye baru-baru ini soal pemerkosaan bukan semata disebabkan oleh baju yang dipake oleh korban? Well, yea, yang jelas, baju adalah salah satu roda gigi dalam perkara yang terjadi pada Jen. Tidak mengharapkan bakal ada orang lain di sana, Jen tampaknya hanya ngepack baju-baju minim. Membuat dua orang teman cowoknya yang kebetulan berkunjung menelan ludah berkali-kali. Keramahan dan sikap playfulnya tentu saja ditangkap dengan makna berbeda lantaran Jen melakukannya dengan pakaian yang lebih banyak kebuka ketimbang tertutup. Tak ayal, Jen diperkosa. Pacarnya pun ternyata bukan pangeran berkuda putih. Khawatir akan ancaman Jen mengadu kepada sang istri, cowok Jen yang sudah berkeluarga ini malah berusaha mengenyahkan Jen selamanya. Usaha mereka gagal. Malang bagi mereka sih, karena Jen bukan termasuk dari sebagian orang yang suka berfantasi soal balas dendam. Jen adalah sebagian lagi yang tidak puas sebelum darah dibayar dengan darah.

gambaran telak bagaimana cewek masih dianggap disposable oleh cowok

 

 

Pertanyaan berikutnya:

Tau gak, perbedaan antara hukuman ama balas dendam alias main hakim sendiri?

 

Hukuman pada dasarnya diberikan sebagai ganjaran agar pelaku jera, supaya mereka bisa mengambil pelajaran dari apa yang sudah mereka lakukan. Pekerjaan menghukum ini adalah pekerjaan terhormat, diberikan kepada yang berwenang. Sedangkan, main hakim sendiri dalam rangka balas dendam enggak punya tujuan semulia itu. Balas dendam adalah supaya pelaku menderita sebesar-besarnya. Supaya mereka merasakan sakit dan perih dan terhina yang kita rasakan, bahkan lebih besar lagi. Inilah yang dicari oleh Jen. Ini jualah yang ingin direkam oleh kamera Fargeat. Menghasilkan sebuah film yang demikian sadis aku berulang kali menyipitkan mata tatkala menonton film ini. Enggak ada yang ditahan-tahan, semua kekerasan dan luka-luka yang terpikirkan oleh pembuat film diwujudkan ke ujung hidung kita. Layar yang seketika penuh warna warni, dengan setting rumah yang mulus bersih seketika menjadi padang tandus berbatu, bersimbah merah.

Transformasi Jen digambarkan dengan begitu drastis. Pada menit-menit awal cerita, film memperkenalkan kita kepada tokoh yang  holywood banget. Helikopter yang tadinya berupa titik, kemudian mendekat. Kemudian turunlah penumpangnya; pria macho kaya dan cewek pirang berkacamata hitam, sambil ngemut lollipop. Di titik ini, kita melihat Jen benar-benar sebagai cewek muda yang kerjaannya godain laki-laki. Biar kekinian, kita boleh menyebutnya pelakor. Kamera dengan lincahnya memposisikan mata kita pada pinggang Jen yang mengenakan rok pendek yang kian melambai seolah mengundang pria-pria asing yang tak dikenalnya mendekat. Tapi tak pernah diperlihatkan lebih daripada itu, kamera dan sudut pengambilannya dibuat seolah menantang kita untuk berpikir macem-macem padahal kita mengerti Jen tidak benar-benar berniat melakukan lebih jauh dari sekadar flirt canda-candaan.

Setelah mid-point, Jen benar-benar berubah. Bahkan warna rambutnya menjadi berbeda setelah semua debu, tanah, dan darah itu menempel. Film berusaha melambangkan perubahan Jen sebagaimana burung phoenix; lahir dari abu. Ada sekuen Jen di dalam gua, dengan penerangan api unggun, berusaha menyembuhkan diri sendiri. Literally ada gambar burung di kaleng yang ia gunakan untuk membakar luka parahnya; gambar yang kemudian menjadi tato sebagai semacam simbol mockingbird yang beneran terbuat dari darah dan daging. Kemampuan memancing perhatian cowok yang dimiliki Jen beralih fungsi menjadi kemampuan mereka keluar ke jangkauan bidikan senjata api rampasannya. Jen masih vulnerable di dalam dan luar, namun dia sudah mengerti apa yang harus ia lakukan. Dirinya tak lagi memandang diri sebagai pemuas, dia ingin memuaskan diri sendiri akan dahaga pembalasan.

predator yang diburu

 

Perspektiflah yang membuat ‘cerita lama’ ini tampil begitu fresh. Baik itu sudut pandang tokoh utamanya, maupun sudut pandang sang sutradara. Kamera akan seringkali mematri mata kita ke gambar-gambar yang bikin gak nyaman. Kita akan ‘dipaksa’ melihat mulut pria berdecap-decap mengunyah coklat bar, bagian putihnya yang lengket sengaja dijadikan fokus, supaya kita merasakan ke-uneasy-an, ketidaknyamanan yang dirasakan oleh Jen. Shot-shot dekat semacam ini membuat film pantas untuk dipelototin. Favoritku adalah ketika mereka ngeclose up semut, kemudian tiba-tiba tetesan darah jatuh mengenainya, diiringi dengan suara yang bikin makin gak enak pula. Banyak imagery unsettling seperti demikian ditampilkan oleh film, yang membuatku penasaran sama karya-karya lain yang ditelorkan oleh Fargeat. Maksudku, jika fantasi rape-revenge yang brutal aja bisa dibuat olehnya sedemikian menarik dan menghibur, gimana hasilnya kalo dia garap film yang lebih serius, kan.

Meskipun survival kucing-kucingan ini diceritakan dengan sangat menghibur, toh seperti halnya balas dendam itu sendiri, akan ada sebagian orang yang gak bakal terpuaskan sama film ini. Bahkan mungkin sebagian orang gak bakal mau bertahan nonton ini sampai habis. Revenge, sesungguhnya, adalah sajian yang enak dinikmati jika kita mau ngesuspend our disbelief. Karena banyak adegan-adegan sadis di film ini yang amat sangat tak masuk di akal. Ada satu adegan di mana Jen seharusnya sudah mati, tapi film ini dia dibuat masih bisa hidup lagi. Masih kuat melaksanakan aksi dendamnya, pula. Cerita menggunakan drug sebagai jalan keluar, yang sebenarnya hanya tempelan, sehingga membuat kejadian di film ini sebenarnya dipermudah.  Tapi sejujurnya, film juga tidak pernah meminta kita untuk menganggap dirinya sebagai sesuatu yang masuk akal. Shot-shot di awal yang seolah perlambangan, kayak apel yang dibiarkan membusuk, sebenarnya turut berfungsi untuk melandaskan tone cerita di mana semuanya akan menjadi ‘membusuk’ as in kita bakal melihat orang yang isi perutnya nyaris tumpah tapi masih sanggup lari-larian.

 

Jadi, pertanyaan terakhirnya adalah:

Kenapa balas dendam itu begitu memuaskan?

Jawabannya adalah karena dengan berhasil balas dendam, kita merasa yang salah sudah dibenarkan. Kita melakukan sesuatu yang jelek, memang benar, tapi itu semua demi tujuan yang kita anggap mulia.

 

 

 

Dan pada gilirannya, kenapa nonton film yang begini tak masuk akal dan merendahkan moral bisa begitu memuaskan? Kupikir jawaban untuk yang satu ini akan lebih kompleks lagi. Sebab, film ini berhasil diceritakan dengan sudut pandang yang segar. Karakter-karakter dalam film ini dengan cepat bertukar peran, dan sama seperti kita, masuk akal atau tidak, kebetulan atau bukan, kita akan puas melihat perjuangan mengembalikan keadilan, tidak peduli seberapa brutalnya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for REVENGE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DEADPOOL 2 Review

“Family is where the heart is”

 

 

Sekurang-kurang ajarnya Deadpool, Wade Wilson di balik topeng merah hitam itu masih punya hati. Hal ini sudah ditetapkan oleh film pertamanya yang sukses berat, breaking the ground dengan gaya liarnya sembari tetap ngegrounded kita kepada jalan cerita lewat penulisan tokoh yang pinter. Pertanyaan yang sekarang diajukan oleh sekuelnya ini adalah; Apakah hati sang anti-hero ini sudah pada tempatnya yang benar?

Di sela aktivitas sehari-harinya memisahkan anggota tubuh para penjahat di seluruh dunia dari badan mereka, Wade Wilson (serius deh, Ryan Reynolds  sudah begitu mendarah daging dengan perannya ini) sempat ngerem sebentar, melepas topengnya, demi merayakan hari jadian dengan Vanessa. Mereka sudah bulat tekad untuk membangun keluarga. Deadpool bahkan sudah punya nama untuk calon anak. Naas, darah daging Deadpool tak pernah sempat dibuat. ‘Pabrik’nya ketembak. Mengirim Deadpool ke jurang nestapa; ia ingin menyusul Vanessa ke alam baka tapi tak bisa. Tau sendiri kan, kekuatan super tokoh kita ini adalah ia enggak bisa mati. Bahkan setelah melakukan aksi bom bunuh diri (bukan di gereja loh, di apartemennya sendiri biar gak melukai orang tak berdosa; Deadpool masih punya hati, ingat?) dan badannya bercerai berai, Deadpool masih sehat wal afiat. Di pengalaman mati-not-really tersebutlah, Wade dinasehati Vanessa untuk meletakkan hati pada tempatnya, menyuruh Wade untuk melakukan hal yang benar. Jadi, Deadpool bergabung dengan X-Men. Sebagai anggota percobaan tentunya, mengingat sifatnya yang ogah ikut aturan.

Deadpool is the SHIT (Super Hero In Training)

 

Dalam salah satu misi bersama Colossus dan Negasonic – and her girlfriend – lah, Deadpool bertemu dengan mutant remaja superemosian yang lagi mengamuk ingin menghancurkan panti asuhan dan membunuh kepala sekolah yang selama ini sudah melakukan berbagai percobaan menyakitkan kepadanya. Deadpool quickly merelasikan anak tersebut dengan permintaan Vanessa, Deadpool ingin menjaga si Russel ini layaknya anak kandung sendiri. Persoalan menjadi rumit tatkala Cable (Josh Brolin sempet dipanggil Thanos oleh Deadpool hhihi), seorang mutant bersenjata lengkap datang dari masa depan dengan tujuan membunuh Russel, demi mencegah anak itu untuk tumbuh dewasa menjadi supervillain yang sudah membunuh keluarganya.

Cerita Deadpool 2 memang sedikit terlalu all-over-the-place, enggak seperti film pertama yang lebih fokus. Ada bagian Deadpool berusaha menyatu dengan cara-main X-Men, ada bagian Deadpool berusaha berkoneksi dengan Russel, juga ada kala ketika Deadpool balik bekerja sama dengan Cable. Pada satu titik cerita, kita lihat Deadpool mengadakan audisi untuk merekrut pasukan superhero dalam misi menyelamatkan Russel dari penjara, dan kocaknya dia menerima semua yang melamar – bahkan yang enggak bena-benar punya kekuatan super juga lolos audisi. Dari luar, ini adalah bagian ketika film seperti memarodikan film-film assemble superhero kayak Avengers, dan memang elemen cerita ini digarap dengan kocak – lagi brutal hihi.. Namun dari lapisan yang lebih dalam, elemen cerita ini sebenarnya ditujukan untuk memperlihatkan Deadpool belum mengerti apa yang ia cari. Setiap yang dijumpai oleh Deadpool sesungguhnya paralel dengan pembelajaran yang harus ia lewati. Seperti Cable misalnya, tokoh ini belakangan akan kita sadari ternyata punya persamaan mendasar dengan Deadpool.

Deadpool tampak ngeloyor keluar dari karakternya. Karena konteks cerita kali ini memang adalah tentang bagaimana Deadpool mengenali apa arti dari keluarga, karena di situlah letak hati kita semestinya. Hati kita berada bersama orang-orang yang beresonansi dengan kita. Film mengeksplorasi hal ini dengan sudut pandang khas Deadpool, dalam gaya bercerita yang hanya Deadpool yang bisa, dan inilah yang membuatnya super menyenangkan.

 

Bahkan sinopsis dua paragraf yang kutulis belum mampu untuk benar-benar mencerminkan betapa ramenya Deadpool 2. Masih ada banyak kejutan dan hiburan yang datang dari cameo-cameo yang bakal membuat bukan saja penggemar buku komik Marvel, melainkan juga penggemar film superhero secara umum. Banyak referensi berseliweran. Sedikit terlalu banyak sih. Deadpool 2 masih tajam dalam nyeletuk soal dunia film superhero, ketika dia membuat jokes yang berdiri sendiri penonton masih dibuat terbahak-bahak, namun untuk alasan tertentu, film ini lebih favor ke mengandalkan referensi fiilm lain ke dalam guyonan mereka. Masih kocak, tapi ketawa yang beda aja gitu. Referensi itu pun semakin liar. Sekarang Deadpool sudah berani nyentil superhero dari brand sebelah.  Menyebut istilah dari film-film yang lain. Salah satu celetukan original film ini yang paling menarik adalah gimana mereka menekankan bahwa ini adalah film keluarga, satir yang dialamatkan tentu saja kepada para orangtua clueless yang membawa anak mereka menyaksikan film penuh kekerasan dan sexual innuendo ini.

Sementara film dengan protagonist kurang ajar sampe sampe dijuluki Merc with a Mouth semakin lantang bersuara, porsi aksinya tampak agak terlalu biasa saja. Maksudku, Deadpool (2016) terutama bersenang-senang dengan kamera dan slow motion dan timing aksi berantem. Pada puncaknya, seolah film tersebut ikutan meledek pembuatan film aksi. Pada film kali ini, Deadpool masih menendang pantat, menumpahkan darah, dengan asyik dan suka ria, tapi tidak banyak kreasi yang ditawarkan. Sutradara David Leitch sebenarnya enggak kalah pengalaman dalam ngegarap film aksi, kita udah nikmatin Atomic Blonde (2017). Namanya juga literally nampang di kredit pembuka film ini sebagai “Salah satu orang yang membunuh anjing di John Wick”. Tapi apa yang ia lakukan di sini, meskipun sekuen aksinya digarap penuh skill dan gak bikin pusing yang nonton, pretty much lurus-lurus aja. Tidak ada yang salah, hanya saja aku mengharapkan aksi yang lebih imajinatif dan gak masuk akal kalo perlu – mengingat tone cerita film ini.

jadi penasaran, segila apa ya jadinya kalo Taika Waititi dikasih jatah ngegarap film Deadpool hhaha

 

Dari segi cerita sendiri, aku gak pernah total sreg sama elemen perjalanan waktu. Time travel atau pengulangan waktu bisa menyenangkan jika diolah dengan unik, atau menjadi stake dalam cerita. Tapi ketika dijadikan penyelesaian, aspek ini malah terasa seperti alat untuk memudahkan cerita. Sebenarnya aku bingung juga apa yang mau dikatakan lagi soal kritik lantaran komentar-komentar breaking the 4th wall dari Deadpool udah kayak sekalian ngereview filmnya sendiri. Aspek-aspek seperti time travel, juga ada superhero yang kekuatannya adalah keberuntungan, secara gamblang sudah disebutkan oleh kelakar Deadpool sebagai bentuk dari penulisan yang malas. Dan hal tersebut benar adanya; keberuntungan lebih sering dijadikan device untuk memfasilitasi kejadian A bisa sampai menjadi kejadian B. Sedankan time travelnya sendiri, aku nunggu-nunggu Deadpool ngeledek aspek ini, tapi dia tidak melakukannya. Satu hal yang luar biasa kocak terjadi karena aspek time travel di film ini sih, kusarankan kalian bertahan nonton sampai akhir kredit penutup untuk melihat adegan lucu tersebut.

 

 

Jokes, referensi, darah, potongan kepala, musik jadul, kumis, bahkan muntahan asam, digodok kemudian dilemparkan ke dinding dan menempel membentuk kata “F-U-N”. Begitulah gambaran yang tepat untuk film ini. Kita akan bersenang-senang menontonnya, tak peduli berantakan yang sudah ia ciptakan. Kalo mau dibandingkan, film ini sebenarnya tidak semengguncang film pertamanya ketika muncul di bioskop tahun 2016 lalu. Lebih liar, memang. Lebih brutal. Hanya saja, terlalu bersenang-senang dengan trope ini membuatnya tampak menjadi sedikit kurang kreatif dalam membangun cerita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 for DEADPOOL 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

GHOST STORIES Review

“The past can haunt you, but so can ghosts.”

 

 

Demi membuktikan poin yang mereka usung sebagai tagline, film ini sempet nekad mejeng pake poster dengan judul yang sengaja ditypo-in. Di negara aslinya, Ghost Stories awalnya dipromosikan sebagai ‘Ghost Storeis’. Karena memang demikianlah cara kerja manusia dalam memandang suatu hal. Kita hanya melihat apa yang kita ingin lihat. Masalahnya adalah, kita cenderung menciptakan sendiri apa yang ingin kita lihat, sebagai langkah yang lebih mudah alih-alih menghadapi apa yang kenyataan yang benar-benar ada. Aku, misalnya, menciptakan persona ‘manusia paling sial’ waktu kuliah dulu hanya karena aku gak mau mengakui bahwa aku nyatanya memang enggak secakap itu dalam berbagai hal. Jadi, secara tak-sadar aku menyalahkan kesialan.

Horor dari Inggris ini mengerti bahwasa hantu sesungguhnya adalah serpihan dari masa lalu yang kelam yang masih eksis di belakang kesadaran manusia. Arwah-arwah penasaran yang dilihat itu tak lain dan tak bukan ialah kesadaran terhadap trauma atau tragedi yang pernah dialami yang muncul ke permukaan, dan rasa bersalahlah yang membuat penampakannya menjadi mengerikan. Kita lebih suka memandangnya sebagai momok ketimbang mengakui kesalahan yang sudah kita lakukan.

 

Bagi tokoh utama film Ghost Stories ini, Profesor Phillip Goodman (merangkap sebagai sutradara, Andy Nyman, memainkan karakter ini dengan note dan penekanan yang tepat mengena), hal-hal supranatural hanyalah hoax berikutnya yang musti ia ungkap. Dia punya acara tivi khusus yang didedikasikan buat menelanjangi penipuan orang-orang yang mengaku bisa berkomunikasi dengan alam gaib. Goodman begitu bangga dengan keskeptisannya ini. Menurutnya, segala hal ‘mistis’ itu pasti ada penjelasan, sebab selalu ada cara untuk melihat sesuatu dari berbagai sudut. Namun sepanjang berjalannya cerita, kita akan belajar bahwa sikap skeptis Goodman tersebut nyatanya adalah sistem pertahanan si profesor terhadap realitas kehidupannya sendiri. Ada kenyataan yang berusaha ia tutupi, dan selagi dia bisa mengekspos sebanyak mungkin kebenaran di balik fenomena ganjil yang dialami seseorang, atau yang diakui dialami oleh mereka, Goodman merasa lebih baik terhadap dirinya sendiri. Tapi tentu saja, keinginan dan kestabilan sistem Goodman dengan segera mendapat tantangan. Dia dihadapkan kepada tiga kasus paranormal yang bahkan dia sendiri tidak bisa memecahkannya sehingga kasus-kasus ini menjadi hantu yang meneror Goodman dan kebenaran yang (tidak) ingin dia lihat.

Goodman ini kayak-kayak tokoh Reza Rahadian di film Gerbang Neraka (2017)

 

 

Tiga kasus yang ditangani Goodman akan kita saksikan menjelma seperti cerita pendek dalam dalam sebuah film antologi. Ditambah dengan cerita tentang dirinya sendiri, menonton Ghost Stories ini seolah kita menonton empat film pendek yang serem. Setiap cerita benar-benar tersulam sempurna, di mana cerita yang satu akan turut ngebangun cerita yang lain. Penonton yang jeli akan dapat menangkap petunjuk-petunjuk subtil berupa objek-objek yang muncul sepanjang penceritaan kasus; warna benda, jumlah, bahkan penggalan kalimat dialog, yang diakhir cerita akan berperan besar dalam mengungkap kebenaran. Ghost Stories, selain seram, juga merupakan horor yang pintar.  Aku benar-benar menikmati pengalaman horor yang diberikan. Ditambah pula, aku menyaksikan film ini sendirian di studio bioskop.

Pada kasus pertamalah aku merasa sudah hampir melambaikan tangan menyerah dan keluar minta ditemenin nonton sama kakak penjual tiket yang senyumnya manis. Atmosfer kesendirian di dalam ruangan yang gelap dihadirkan oleh film dengan begitu kuat ketika mereka menceritakan tentang seorang penjaga yang menghabiskan waktu jaga malamnya di bangunan bekas asylum buat cewek-cewek berpenyakit mental. Bunyi sesuatu di sudut kelam yang ogah kita lirik, derap tapak seseorang di tempat yang kita tahu enggak ada orangnya; kita akan tenggelam dalam efek-efek suara yang creepy abis semacam itu.

Kasus kedua menawarkan sajian mencekam yang berbeda. Horor pada cerita ini enggak terasa sedekat kasus pertama kepada kita semua, tapi nuansa unsettling itu tetap di sana. Membuat kita merinding ria menyaksikan tokoh-tokoh yang tampak ‘tak-seperti kelihatannya’ yang dijumpai oleh Goodman.  Yang ia tangani di sini adalah seorang anak muda yang melapor melihat suatu makhluk di dalam hutan, dan Goodman bertamu ke rumah si pemuda. Melihat sekilas orangtuanya, sebelum akhirnya naik ke lantai atas ke kamar kliennya yang penuh dengan gambar-gambar perwujudan setan, hasil riset si pemuda di internet. Alex Lawther sungguh sukses memainkan pemuda yang ngobrol langsung dengannya aja bakal bikin aku kencing celana. Ada banyak facial work dalam aktik Lawther yang begitu efektif mengeluarkan kesan mengerikan, padahal di cerita ini dia yang diteror.

Film ini merupakan penerapan ungkapan yang tepat dari “antara yang benar dan yang baik, pilihlah yang baik”. Jangan semena-mena menyepelekan keyakinan orang lain. Jangan bully mereka dengan kebenaran yang belum bisa mereka terima. Karena terkadang kita yang harus menyadari ada batas antara skeptis dan tak-percaya dengan apa yang disebut dengan turn a blind eye. Whether or not kita bersedia untuk dealing dengan hal-hal ini ataukah kita lebih suka untuk membloknya dan berpura semuanya tak pernah terjadi

 

Penampilan Martin Freeman pada kasus dan cerita ketiga seperti menyambung estafet ke-creepy-an dari Lawther. Tokoh yang ia perankan mengadu menyaksikan sendiri aksi poltergeist yang berhubungan dengan proses istrinya melahirkan. Cerita bagian ini memang tidak terlalu seram, karena pada titik ini kita diniatkan untuk sudah berada dalam sepatu Goodman. Ini sudah lewat point-of-no-return, Goodman sudah menerima ada beberapa hal yang tak bisa ia jabarkan, jadi kengerian di bagian ini datang dari ketika Goodman menyadari semua cerita tersebut pada akhirnya  bermuara kepada dirinya sendiri. Tone cerita di sini seketika menjadi sangat surealis. Apa yang terjadi kepada Goodman sungguh-sungguh disturbing, cerita-cerita tersebut sudah mengganggunya dalam level yang dalem.

“Jangan lihat ke belakang” serasa punya arti yang lebih dalem jika nonton ini sendirian di bioskop

 

Tak berlebihan memang jika aku menyematkan pujian sebagai horor terseram yang kutonton setelah berbulan-bulan kemaren aku hanya menyaksikan film hantu ala kadar buatan lokal. Ghost Stories mengerti bahwa tugas film horor bukan hanya sekedar menampilkan darah, adegan sadis dan kekerasan. Bukan sekedar menampilkan hantu – yang mengaum pula. Aspek-aspek tersebut memang membuat film horor menjadi menyenangkan, malahan dalam film Ghost Stories inipun kita bakal menjumpai aspek serupa; ada jumpscare juga, ada elemen tradisional seperti mati lampu, dan monster, dan hantu yang wujudnya mengerikan. Malah ada satu yang tampaknya bakal aku lihat lagi dalam mimpi burukku nanti malam. Bagusnya, Ghost Stories tidak melupakan apa yang membuat horor itu bakal terasa sampai ke jiwa penontonnya. Horor yang sebenarnya adalah horor yang datang dari derita dan penyesalan yang terjadi kepada kita, atau keluarga di masa lalu; dari sesuatu yang benar-benar mungkin dialami oleh kita semua. Film ini menarik hal tersebut dari sudut terkelam pikiran kita, mengeksplorasinya dalam penceritaan yang tersusun cermat.

Tapi, adegan pengungkapannya sendiri, aku tak ayal merasa sedikit dikecewakan.  Aku mengharapkan konklusi cerita yang bakal bikin aku bersorak “oh ternyata begitu” dan udah siap tepuk-tepuk tangan. Tapi nyatanya, melihat beberapa menit terakhir film ini, aku tidak banyak beranjak dari posisi duduk dan hanya mengangguk kecil “ya, masuk akal sih endingnya”. Aku bukannya enggak-suka, hanya saja setelah sedari awal melihat arahan yang berbeda (film Inggris kebanyakan unggul di arahan yang terasa sangat unik), aku sama sekali enggak mengharapkan film ini berakhir dengan ‘sama-seperti-film-lain’. Jacob’s Ladder (1990), Stay nya Ryan Gosling tahun 2005, bahkan Pintu Terlarang buatan Joko Anwar (2009) adalah beberapa film yang sudah lebih dahulu menggunakan pengungkapan yang serupa. Pintar, memang. Namun setelah cukup banyak, tidak lagi terasa istimewa.

 

 

 

Dengan imaji horor yang begitu kaya ditambah filosofi yang tak kalah seramnya, film ini menjelma menjadi sebuah tontonan yang bukan saja menghibur, melainkan padat berisi. Ini adalah tipe film yang tidak akan membosankan jika ditonton berulang kali. Malah justru setiap kali menontonnya akan memberikan pengetahuan dan kesadaran yang baru. Semua itu tercapai berkat penceritaan dan elemen-elemen subtil yang disematkan di antara trope-trope familiar. Yang bosen ama horor yang itu-itu melulu, disaranin deh tonton ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for GHOST STORIES.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

React to WIRO SABLENG Teaser Trailer

Tim Production Design lagi jelasin makna di balik desain Kapak Maut Naga Geni 212 yang baru

 

Excited 1: Wiro Sableng adalah bagian dari rangkaian kartun (padahal bukan kartun!) yang tak-boleh dilewatkan buatku saat masih kecil dulu

Excited 2: Fakta bahwa film reboot-an dari serial TV ini bekerja sama dan actually dapat funding dari 20th Century Fox

Excited 3: Si Sableng itu nongol di video promotional Deadpool 2!

 

Ya, aku yang biasanya gak tertarik ngikutin trailer film – apalagi teaser – (prinsipku; kalo mau nonton ya nonton aja) toh menggelinjang juga dibuat oleh gempuran combo excitement yang disarangkan oleh Lifelike Pictures demi mempromosikan proyek gede mereka, Wiro Sableng. Jurus yang ampuh sekali, aku ngaku. Membuat kita semua penasaran seperti apa kiranya film ini nanti. Mereka mengawali godaan itu dengan ngeluarin teaser-teaser kecil (pelit, memang) yang nunjukin siapa sih Wiro Sableng bagi yang belum kenal. Dan akhirnya, kemaren sore tanggal 11 Mei 2018, official teasernya beneran dikeluarin! Gak tanggung-tanggung. Demi menangkis pertanyaan orang-orang yang makin penasaran, saat acara release teaser tersebut mbak produser Sheila Timothy langsung ngasih kabar gembira ke kita semua: Tanggal tayang film ini dimajuin jadi Agustus 2018!!

 

Buat yang belum sempet ke LINE Today, ini nih official teasernya:

 

http://www.youtube.com/watch?v=4UQUbZFgpRs

 

Gimana aku dan undangan lain di konferensi pers kemaren gak pengen nambah, coba?

 

Teaser yang juga bakal ditayangin di pembuka screening Deadpool 2 di depan audiens Singapura entar, memang tampil begitu wah. Stunning sekali. Reaksi pertamaku literally begitu, “film ini bakal cakep banget.” Kelihatan  banget deh, waktu berbulan penggarapan itu ngefeknya ke mana. Lewat teaser kali ini, misi utama yang ingin dikenalin adalah kebolehan ‘aksi’ para filmmaker dan insan-insan yang terlibat di dalam pembuatan film tersebut. Satu menit lebih dikit itu dengan menakjubkan mengakomodasi semua.

Departemen art sih yang paling kelihatan kuat. Aku suka gimana kostum-kostum yang tampak di trailer benar-benar terlihat epik, khas dunia persilatan tanah air. Kostum si Anggini yang diperankan Sherina Munaf misalnya, sekilas mirip ulos, tapi ternyata dia bisa mengeluarkan jurus selendang yang panjang membentang. Begitu juga dengan kapak si Wiro yang ada elemen unsur alam ala-ala di batik. Dari teasernya tampak seperti Wiro Sableng, sebagai sebuah film, tidak melupakan budaya. Ia membuat budaya tampak keren dan gak kuno. Kalian ingat di serial dulu, setiap kali berantem, pukulan dan tendangan para tokoh ada asapnya? Waktu kecil kalo main Wiro-Wiroan, aku ampe ngabisin tepung di dapur buat niruin adegan tersebut. Namun sepertinya saat nonton film ini nanti aku udah gak bisa niruin pakai tepung lagi, sebab di teaser ini kita bisa lihat sama-sama efek asap di tangan Wiro udah canggih punya. Asap ajiannya pake muter-muter segala, ajib!!

Para pemeran tampak menawan dalam balutan kostum karakternya. Mereka semua disulap sehingga jadi pas banget ama karakter masing-masing. Aku nonton teaser ini sambil nunjuk-nunjuk layar. Wah itu Yayan Ruhiyan tampilannya sadis banget! Yang paling gorgeous di teaser itu jelas Marsha Timothy yang mejeng sebagai Bidadari Angin Timur. Sinto Gendeng bikin pangling, efek prostetiknya meyakinkan sekali. Sherina galak sih ya jadi Anggini, pasti kocak ntar interaksinya ama Wiro. Muka jahil Vino G. Bastian juga pas banget ama karakter sablengnya Wiro. Buat Vino, Wiro Sableng ini sudah personal sekali karena ini adalah tokoh yang diciptakan dari garis pena ayahnya, Bastian Tito. “Ayah pasti bangga melihat kerja keras kami semua”, ujar Vino yang menganggap perannya di sini bukan sekedar warisan yang ia dapatkan, melainkan lebih kepada tanggung jawab dan baktinya kepada sang Ayah.

“Kok pertanyaan ke saya susah-susah sih?” Sableng, Wiro. 2018.

 

Disokong Fox, Wiro Sableng tampil enggak tanggung-tanggung. Olahan teaser ini aja rasanya udah Hollywood banget. Pake sound “Duummmmm” kayak bass Michael Bay segala. Bagian akhir trailernya tuh, yang aku suka. Lirik “Wiro, Wiro Sableng!” yang digubah dari lagu lamanya kedengaran menggebu-gebu banget. Pergerakan kamera jangan ditanya. Syut demi syut outdoor itu tampak demikian fantastis, mengalir dengan mulus. Pacenya cepet khas film aksi, tapi enggak pernah membingungkan. Adegan Wiro nangkis meja pake ceker ayam itu udah kayak penggambaran adegan dalam buku komik banget, yang mana semakin keren karena mengisyaratkan film ini paham bahwa salah satu yang paling fun dalam menonton Wiro Sableng dulu adalah bagaimana Wiro menggunakan environment sekitar.

Wideshotnya tampak fantastik. Orang-orang melayang dengan sling enggak kelihatan konyol dan over-the-top. On the other hand, CGInya memang masih terlihat sedikit kasar. Adegan Wiro di pinggir tebing, adegan Wiro berantem di puncak pohon, lingkungannya terasa unworldly. Kayak bukan pada tempat yang sama dengan hutan-hutan, pondokan, bahkan dengan set indoor seperti singgasana kerajaan.  Namun sekali lagi, yang kita lihat sekarang ini baru teasernya. Susah sekali tentunya menangkap konteks momen cerita dari video pendek nan cepet ini, jadi kita gak bisa buru-buru ngejudge. Bisa saja memang saat itu Wiro sedang menapaki alam dunia lain. Atau mereka sedang bertarung di realm yang berbeda, mengingat di adegan itu Wiro tampak berhadapan dengan  Bujang Gila.

 

Selain rasa penarasan, tentunya juga ada rasa bangga terkait kerjasama Wiro Sableng dengan 20th Century Fox. Karena meskipun cerita fantasi, Wiro Sableng masih mengakar kepada budaya. Sedikit banyaknya, kebudayaan kita dilirik juga sama orang luar, and it could be such an eye opener. Menurutku sendiri sesungguhnya ada banyak sekali cerita-cerita asli Indonesia, bahkan cerita kepahlawanan masa penjajahan, yang bisa dieksplorasi – yang ceritanya enggak kalah seru dengan cerita-cerita superhero. Wiro Sableng bisa jadi jalan pembuka, kapak yang menebas jalan lapang bagi cerita-cerita dan budaya tersebut untuk dilihat oleh dunia luar. Bukan tugas yang ringan, memang, tapi kan yang namanya jagoan, harus rela berkorban. Eh salah, itu lirik lagu film si Sherina waktu masih kecil. Maksudku, tapi kan yang namanya film sudah semestinya bergerak maju ke arah yang lebih baik. Dan aku suka ke arah mana film Wiro Sableng ini melangkah.

Karena jika muridnya sableng, gurunya gendeng. Maka, apa yang dahulu sableng, yang sekarang mestinya jreng jreng!

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

dan inilah namaku di universe Wiro Sableng

Backlash 2018 Review

 

Aku kasian sama Roman Reigns. Beneran. Dia berusaha memberikan yang terbaik, dia bekerja giat menaikkan skill di dalam dan luar ringnya, bisa diandaikan dia diberikan bola dan dia berusaha mencetak gol dengan bola tersebut.  Namun di situlah masalah, dia selalu diberikan ‘bola’. Roman Reigns adalah apa yang kita sebut sebagai korban bookingan. Bukan salah Roman Reigns jika dia selalu ditempatkan dalam situasi yang membuat penonton nge-boo habis-habisan. Habisnya, tim kreatif sendiri yang sepertinya kehabisan ide untuk menampilkan Reigns layaknya pahlawan babyface yang diniatkan. Pada Backlash 2018, para penulis, Vince McMahon, dan unfortunately Roman Reigns, kena batunya.  Para fans yang nonton langsung di studio literally tampak berbondong-bondong walk out dari arena saat pertandingan tunggal Reigns melawan Samoa Joe yang menjadi main event masih berlangsung. Banyak laporan yang menyebut alasan penonton itu keluar juga dipengaruhi oleh keadaan jadwal kereta dan traffic yang enggak mendukung. Apapun itu, yang jelas ngeloyor keluar di saat acara masih berlangsung adalah sebuah perbuatan yang menunjukkan gestur tidak hormat. Penonton yang walk out tidak peduli soal duit yang sudah mereka keluarkan, karena menurut mereka pulang tepat waktu lebih penting dari melihat Reigns dicecokin ke dalam kerongkongan mereka sekali lagi. Mereka tidak respect sama keputusan bookingan ini. Dan sejujurnya, WWE kinda deserve it.

WWE membuat Roman Reigns menghabiskan sebagian besar caturwulan kemaren dengan mengomel soal Brock Lesnar yang dianakemaskan oleh company, Reigns mempermasalahkan gimana Lesnar sepertinya mendapat perlakuan khusus, dan sekarang hal yang serupa terjadi kepada dirinya sendiri. Reigns jadi main event acara padahal pertandingan yang ia lagai tidak mempertaruhkan apa-apa.

Main event atau partai puncak yang menutup acara adalah big deal dalam pertunjukan WWE.  Tidak sembarang superstar ataupun tidak ngasal saja menunjuk match yang fungsinya mengirim penonton pulang dengan memuaskan sekaligus tetap membuat mereka geregetan untuk lanjut menonton lagi lain kali. Spot ini ditujukan untuk elemen-elemen cerita yang paling penting.  Biasanya jadi partai perebutan sabuk kejuaraan dunia, sabuk dengan kelas tertinggi dalam klasemen. Ketika Lita dan Trish Stratus dijadikan main event Raw, itu adalah momen paling spektakuler karena biasanya selalu superstar cowok yang dianugerahi posisi terhormat ini. Dalam menjalankan agenda Women’s Revolution, WWE memberikan kesempatan pada superstar cewek masa kini beraksi jadi penutup acara – untuk menunjukkan bahwa mereka berada di posisi yang sama dengan superstar cowok. Segitu pentingnya soal main event  ini, bahkan CM Punk cabut dari WWE  karena dirinya tidak kunjung diberikan spot main event di Wrestlemania; acara paling gede di WWE.

 

Roman Reigns melawan Samoa Joe enggak ada urusan menjadi penutup Backlash. Tidak ada sabuk yang dipertaruhkan. Ini adalah partai yang murni dari perseteruan Joe yang sadari awal kemunculannya sudah jadi bebuyutan Reigns, masalahnya feud mereka sudah tak perlu lagi dilanjutkan karena Joe dan Reigns sudah pisah brand  -Joe di Smackdown! Sedangkan Reigns di Raw – sehingga mereka tidak akan bertemu lagi.  Backlash adalah pay-per-view pertama di musim baru WWE, di mana pada musim ini Raw dan Smackdown! akan terus berbagi pay-per-view. Which is bring us kepada hal yang membuat para fans semakin gondok sama Roman Reigns; sebab there’s actually a championship match yang lebih pantes untuk dijadikan main event dalam Backlash. Sabuk tertinggi Smackdown! diperebutkan malam ini antara AJ Styles melawan Nakamura – sebuah feud yang dibuild up dengan cerita yang intense dan personal bagi kedua superstar, mereka punya history, belum lagi fakta bahwa keduanya adalah superstar yang punya ring skill teratas menjadikan pertemuan kedua mereka ini lebih ngedream match dibandingkan sebelumnya. Namun mereka belum cukup bergengsi bagi manajemen WWE untuk dijadikan penutup acara yang spektakuler. They’re actually bust their balls for us, tapi WWE masih memaksa kita untuk membawa pulang kemenangan Reigns yang tertebak dan gitu-gitu mulu sebagai kenangan terakhir.

Styles di Backlash kena backlash dari kursi

 

Buruknya bookingan partai terakhir ini tentu saja berimbas kepada partai-partai lain, sebab mereka didesain untuk tidak melebihi penutup. Styles dan Nakamura sudah mulai menunjukkan apa yang sebenarnya mereka bisa, namun tetap terhalang oleh penulisan yang dengan sengaja dirancang untuk mengulur perseteruan mereka. Ini adalah partai no-DQ dengan cerita yang berpusat di Nakamura yang hobi mukulin anu nya Styles. Mereka bisa saja bikin pertandingan yang totally bikin kita meringis. Hanya saja mereka memutuskan untuk bikin kita kesel dengan membuatnya berakhir no-contest. Matchnya sendiri enggak jelek, tapi hasilnya begitu tidak memuaskan, membuat penonton memutuskan semua gara-gara Reigns.

Salah satu elemen cerita kekinian yang digali oleh penulis adalah soal perundungan, dan di Backlash kita dapat dua match yang bertema bullying. Sayangnya hanya satu yang bekerja dengan baik. Big Cass dan Daniel Bryan perfect menghantarkan cerita dan drama yang dibutuhkan, hanya saja aksinya yang kurang. Maksudku kita tahu Bryan semestinya bermain di level yang lebih tinggi daripada itu. Dia supposedly di sini untuk membantu membangun karakter Big Cass. Masalahnya adalah Big Cass masih terlalu bland. Dia bagus di depan mikrofon, gerakannya juga enggak awkward, akan tetapi serangan-serangannya biasa aja. Dia tidak melakukan hal yang unik, pacenya lambat. Jika Big Cass memang diniatkan sebagai sesuatu yang besar, dia perlu dengan cepat step up his game melakoni peran dan kesempatan yang diberikan. Sebaliknya, match Nia Jax melawan Alexa Bliss terlihat sedikit out-of –ordinary, tapi lebih ke arah negatif. Perseteruan mereka lumayan menarik, Bliss memainkan karakter fake martyr yang nuduh Nia ngebully padahal sebenarnya dia yang jahat. Yang kecil actually ngerundung yang lebih besar. Mereka memberi kesempatan untuk Bliss melakukan serangan-seranga tak terduga, dengan tujuan memberikan kesan Nia vulnerable, tapi aksi-aksi tersebut tak pernah tampak meyakinkan. The match was too long, Bliss terlalu banyak menyerang. Di akhir match, Nia ngasih speech soal bangga dan kuat menjadi diri sendiri yang momennya tidak terasa sekuat yang diniatkan.

aku bangga jadi Nia Jax karena aku masih sanak saudara ama The Rock

 

 

Berbeda dengan Vince yang menurutnya sangat kocak melihat Fashion Police, Titus Worldwide, dateng ikut conga line No Way Jose dan kemudian bersama-sama New Day dan Bobby Roode menghajar Elias, bagian yang lumayan aku tunggu-tunggu adalah pertandingan Carmella melawan Charlotte. Aku lebih suka Carmella yang lemah tapi jahat sebagai juara karena itu artinya dia bakal melakukan apapun dengan sabuk juaranya itu, ketimbang Charlotte yang hanya menjadikan sabuk sebagai aksesoris. Aku penasaran gimana Carmella bisa menang lawan Charlotte, dan aku sungguhan terkejut WWE membuat Carmella menang clean atas sang Ratu. Bahkan lebih kaget lagi saat Carmella menggunakan Code of Silence, finisher submission yang biasanya ia pakai di NXT. Tapi yah memang matchnya standar aja, agak-agak annoying juga demi mendengar teriakan-teriakan Carmella

Don’t hate the player, hate the game

 

 

Berbeda dengan main event, partai pembuka biasanya selalu diposisikan buat pertandingan papan tengah di mana disuguhkan aksi-aksi cepat seperti high flying. It’s a less drama, more action. Rollins dan Miz kebagian posisi ini di Backlash, dan, maaaan, mereka deliver layaknya profesional sebenarnya profesional. Meskipun kita sudah bisa tahu duluan hasil akhirnya dengan menebak pake logika, tapi mereka dengan sukses membuat beberapa kali Miz tampak bakal memenangan pertandingan dengan meyakinkan. Aksi pertandingan ini padet oleh spot spot seru. Mereka juga menjual angle cedera kaki di cerita ini, yang membuat urgensi semakin nyata dan menjepit. Saking serunya match ini, aku pikir kita gak perlu nunggu lama sampai main event kalo memang mau walkout. Keluar aja sedari match ini berakhir.

 

 

 

Jika ada yang berhasil dilakukan oleh WWE pada Backlash 2018, maka itu adalah membunuh respek penonton terhadap produk yang mereka sajikan. Ketika kau bermaksud menghibur penonton, namun mereka malah asik ngechant sendiri, heboh-heboh di luar apa yang sedang kau usahakan, itu adalah tanda kau gagal menggaet mereka. Backlash sukses melakukan ini. Dia membuat kita tidak peduli kepada para superstar. Padahal sesungguhnya yang harus dipersalahkan adalah bookingan yang membuat semuanya menjadi begitu di bawah menengah.
The Palace of Wisdom menobatkan Miz melawan Seth Rollins sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Results:
1. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins mengalahkan The Miz
2. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Nia Jax bertahan dari Alexa Bliss
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Jeff Hardy defeat Randy Orton
4. SINGLE Daniel Bryan bikin Big Cass tap out
5. SMACKDOWN! WOMEN’S CHAMPIONSHIP Carmella retains ngalahin Charlotte
6. WWE CHAMPIONSHIP NO-DQ Juara bertahan AJ Styles dan penantangnya, Shinsuke Nakamura sama-sama KO
7. TAG TEAM Braun Strowman dan Bobby Lashley mengalahkan Kevin Owens dan Sami Zayn
8. SINGLE Roman Reigns mengalahkan Samoa Joe, tapi tidak ada yang peduli.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017