“There’s no way to be a perfect mother and a million ways to be a good one.”
Yang namanya ibu tidak akan meninggalkan anak yang telah susah-susah mereka lahirin ke dunia. Natural bagi seorang ibu untuk selalu berusaha menjaga dan merawat anaknya. Ketika kau menjadi seorang ibu, kau akan rela mendahulukan kepentingan anakmu di atas segalanya, termasuk sesuatu untuk dirimu sendiri. Maka dari itulah, sesekali akan ada masanya bagi seorang ibu merindukan waktu-waktu mereka bisa melakukan hal untuk diri sendiri, merindukan kebebasan dan kesempatan untuk mengejar – dan hanya mengejar – keinginan sendiri. Me-time akan sangat berharga bagi ibu; momen ketika mereka enggak harus mikirin tanggungjawab kepada anak. Ibu harusnya gak boleh merasa malu atau merasa bukan ibu yang baik dengan menginginkan waktu me-time tersebut.
Paragraf tersebut, bukanlah kata-kataku. Aku cowok, aku gak akan pernah bisa benar-benar tahu apa yang dialami. yang dirasakan, atau yang diinginkan oleh seorang ibu. Ulasan ini bukanlah tulisan yang berisi pendapatku – seorang cowok – yang ngajarin bagaimana harusnya cewek menjadi seorang ibu. Melainkan pendapatku soal apa yang sedang berusaha dikatakan oleh Maggie Gyllenhaal ketika dia mengadaptasi novel karya Elena Ferrante menjadi debut penyutradaraan film-panjang pertamanya. Karena film The Lost Daughter memang diceritakannya dengan cara yang membuat penonton geleng-geleng sambil garuk-garuk kepala. Kinda susah dipahami arahnya ke mana, susah merasa simpati kepada karakter utamanya. Namun kita juga akan gampang merasakan ada kesedihan mendalam di balik cerita. And no doubt, film ini bakal bikin kita menemukan rasa hormat yang lebih gede kepada seorang ibu. Hampir seperti perasaan takut, malah. Takut mereka memilih menjadi seperti Leda, sang karakter utama cerita.
Leda bilang dia punya dua orang anak. Bianca dan Martha. Usia anak-anaknya itu kini sudah 25 dan 23 tahun. Tapi begitu ditanya lebih lanjut tentang mereka, Leda gak bakal menjawab. Dia malah bakalan seperti break-down, dan lantas pergi meninggalkan penanya kebingungan di tempat. Sekilas, profesor literatur itu memang seperti orang yang gak ingin diganggu. Tidak nyaman beramah tamah dengan orang lain. Leda liburan ke pantai Yunani, bermaksud menyelesaikan tulisannya sambil rileks. Tapi pantai itu ternyata ramai, oleh acara dari keluarga besar yang sepertinya berpengaruh di sana. Konsentrasi Leda lantas hinggap kepada seorang ibu muda bersama anak perempuan kecilnya. Leda terus menatap mereka, matanya menerawang, dan kita akan terflashback ke masa muda Leda merawat dua orang anak yang juga sama bocahnya. Leda pun menemukan dirinya semakin terinvolved kepada ibu muda dan anak itu, ketika boneka si anak hilang. Dan ternyata ada di dalam tas Leda.
Kasarnya, this is one complicated bitch. Karena Leda ini adalah yang pribadi yang, bukan exactly tertutup – karena di momen pribadinya kita akan digambarkan perihal yang ia rasa lewat adegan-adegan masa lalu, melainkan lebih tepatnya ya yang ribet untuk alasan yang gak jelas. Kita gak tahu kenapa Leda melakukan apa yang ia lakukan. Namun itu bukan karena dianya yang enjoy at being difficult dan kasar dan gak sensitif sama orang. Bahkan dirinya sendiri enggak tahu kenapa dia melakukan hal yang ia lakukan. Mencuri boneka anak kecil itu misalnya. Leda tidak dapat menjelaskan kenapa dia melakukan itu. Arahan Maggie membuat hampir seperti Leda meminta tolong kita untuk menjelaskan apa yang salah kepadanya. Karena memang ada sebagian diri Leda yang, katakanlah, begitu egois. In that sense, kita bisa bilang Leda ini adalah protagonis sekaligus antagonis dalam ceritanya sendiri. Inilah yang membuat kita akhirnya betah duduk mengawali journey-karakternya selama dua jam. Tabah menahan karakternya yang penuh cela, bahkan sebagai narator saja dia agak susah dipercaya. Sebab deep inside, kita konek kepadanya sebagai manusia yang tak sempurna.
Ini juga jadi bukti betapa luar biasanya akting Olivia Colman yang jadi Leda di kurun sekarang, Leda yang sudah 48 tahun dan memikul segitu banyak beban, dan penyesalan, meskipun dia percaya dia berhak melakukan pilihan yang ia lakukan di masa muda. Menyambung karakter yang awalnya dihidupkan dengan tak kalah meyakinkan dan penuh konflik oleh Jessie Buckley, yang jadi Leda muda. Yang ultimately tentu saja merupakan bukti betapa Bu Sutradara punya mata yang personal menggambarkan kecamuk perasaan dan emosi seorang perempuan yang menempuh motherhood. Maggie tidak pernah bercerita dengan statement. Dia tidak pernah menggambarkan perasaan itu dengan utuh. Tidak pernah memberikan jawaban atas ‘misteri’ karakter. Karena itu akan membuat ceritanya menjadi ngejudge perihal perbuatan Leda. Film ini bukan hadir untuk ngejudge. Maggie ‘hanya’ memperlihatkan kepada kita betapa mengukung dan bikin capeknya tanggung jawab menjadi seorang ibu.
Kalian tahu potret ibu dalam keluarga utuh yang sempurna? Ibu bagai matahari, cintanya tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali? The Lost Daughter bilang itu adalah kondisi yang terlalu ideal, mustahil tercapai. Karena ibu juga manusia. Jadi, film ini hadir sebagai antitesis dari ibu sempurna tersebut. Antitesis yang menyebut bahwa meskipun ibu tidak mungkin sempurna, seorang ibu punya banyak pilihan untuk menjadi ibu yang baik. Dan Leda, kita akan lihat akhirnya memilih menjadi ibu-tak sempurna, ibu yang benar-benar manusiawi, yang seperti apa.
Jujur, selama ini aku memang kesal sama cerita yang tokoh ibunya merasa pantas diri mereka mendapat me-time. Atau bahkan lebih dari itu, kayak, ibu yang merasa berhak untuk ninggalin anak karena sebagai manusia mereka juga punya mimpi yang harus dikejar. Kehadiran anak yang biasanya diceritakan produk dari ‘kecelakaan’ atau tidak suka sama suka, dianggap sebagai penghambat. Cerita kayak Dara di Dua Garis Biru (2019) atau ibunya si Ali di Ali & Ratu Ratu Queens (2021), aku ujungnya hanya melihat mereka sebagai orang yang selfish. Karena memang film-filmnya pun tidak mengeksplorasi lebih dari sekadar bahwa sosok ibu adalah manusia first, yang punya keinginan, dan yang mau dimanusiakaan. The Lost Daughter ini beda. Maggie menggali lebih lanjut. Dia tahu satu-satunya cara untuk menggali ke dalam itu adalah dengan menaikkan volume seekstrim mungkin. Makanya film ini akan terasa sangat tanpa ampun. Meninggalkan kesan yang juga jauh lebih dalam.
Alih-alih statement gamblang, Maggie menghidupkan adegan-adegannya dengan simbol, situasi yang kontras oleh kiasan. Yang membuat film ini jadi semakin dalam dan penuh makna. Pada awalnya, Leda memang tampak seperti turis yang menikmati liburannya di pantai. Tapi buah-buahan yang disediakan di kamarnya yang luas itu, busuk. Malam hari, jangkrik masuk. Lampu mercusuar bikin Leda harus menutupi mukanya dengan bantal. Pantai yang sepi ternyata ramai. Bioskop, ternyata penontonnya berisik. Tempat itu seperti menyerang Leda. Lagi jalan aja dia bisa terluka kejatuhan buah pinus. Belum lagi pandangan dari keluarga besar yang sepertinya keluarga mafia, keluarga yang sempat ribut dengan Leda, keluarga yang boneka anaknya dicuri oleh Leda. Keadaan Leda yang sekarang seperti menunjukkan bahwa tidak ada yang sempurna. Bahwa mimpi kita akan keadaan senyaman liburan pun pada akhirnya akan dibenturkan dengan kenyataan yang seringkali pahit. Dan kita ya harus dealt with it.
Semua itu tidak terlihat oleh Leda. Karena dia begitu fokus mengejar passion, mengisi hidupnya dengan hal-hal yang telah terenggut setelah punya anak. Leda muda memperlihatkan bagaimana dia akhirnya sampai kepada keputusan, dia mulai merasa bebas, dan keadaan Leda yang sekarang adalah kontras yang memeriksa dia yang sudah mendapat yang ia mau, tapi kenapa dia tidak tampak begitu bahagia. Leda merindukan anak-anaknya. Leda sendirian. Leda gak enjoy di situ. Notice judul film ini tunggal (daughter alih-alih daughters) padahal anak Leda dua orang, dan bahwa anak kecil yang sempat ilang juga gak lama kemudian ketemu? Judul sebenarnya merujuk kepada Leda. Dialah anak hilang yang dimaksud oleh cerita. Hilang karena tidak bisa memastikan di mana tempatnya berada. Leda adalah ibu, dia mau jadi ibu, tapi tak mau memikul tanggungjawab sebagai ibu.
Makanya dia mencuri boneka itu. Dari sudut pandangnya, kita paham bahwa Leda menganggap boneka sebagai ganti anak. Dia ingin merawat dan membersihkan boneka yang udah dicorat-coret dan penuh air itu. Dia ingin merasakan kembali jadi ibu dengan merawat anak. Dan boneka adalah anak yang tepat untuk Leda karena merawat boneka tidak perlu tanggungjawab yang besar. Leda bisa menyayangi boneka kapan dia bisa saja, saat senggang aja, saat dia gak capek dan gak banyak kerjaan. Sementara dari yang kita lihat, sebagai inner-needs dari Leda yang tak kunjung ia sadari, boneka itu adalah kesempatan kedua baginya. Dia butuh untuk menyelamatkan boneka itu karena si ibu muda dan anaknya telah membuat Leda teringat kepada dirinya dengan anaknya waktu masih kecil; anaknya yang telah mencorat-coret boneka yang ia berikan, boneka yang harusnya dirawat karena boneka adalah mainan yang mengajarkan tanggung jawab menjadi seorang ibu sejak dini kepada anak perempuan. Leda muda membuang boneka yang telah dirusak yang mengawali gerahnya dia ngurus anak; Leda tidak ingin ibu dan anak kecil yang ia lihat di pantai mengalami masa depan yang sama dengan dirinya, dulu dan sekarang. Bahwa merawat boneka dan kemudian merusak atau meninggalkannya itu adalah hal yang ia lakukan dan diam-diam ia sesali.
Demikianlah kompleksnya karakter Leda. Dia paham pentingnya dan indahnya menjadi seorang ibu, tapi sekaligus juga dia tidak tahan dengan tanggungjawabnya. Ending film ini poetic sekali dalam menggambarkan hal tersebut. Leda yang terluka, terhuyung keluar dari mobil, pergi ke pantai. Terbaring di antara pasir dan pantai. Menunjukkan dia telah belajar, tapi tetap tidak mampu memilih. Matikah dia di akhir itu? Film membuat sangat ambigu. Tapi, at that point, aku udah kasihan sama Leda. Aku berharap dia meninggal saja, karena dengan begitu dia bisa lepas dengan benar-benar bahagia.
Hiruk pikuk emosi paling manusiawi dari seorang ibu digambarkan dengan lantang oleh film ini. Bahasannya mengonfrontasi pemikiran, tapi tidak pernah diniatkan sebagai sesuatu yang judgmental. Sehingga pada akhirnya film ini akan membekas lama. Tragis dan ‘ngerinya’ walaupun benar-benar dibahas dari sudut pandang yang sangat personal, akan menguar kepada kita semua. Dan yea, film ini bakal membuat kita lebih menghargai pilihan perempuan menjadi seorang ibu. Perempuan menjadi sempurna dengan memiliki anak, tapi tidak ada yang namanya ibu yang sempurna. Film menunjukkan itu semua kepada kita, lewat perjalanan karakter yang juga dimainkan dengan luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE LOST DAUGHTER.
That’s all we have for now
Apakah menurut kalian semua ibu punya perasaan yang sama dengan Leda? For boys: kira-kira apa yang bisa kita lakukan supaya ibu atau istri tidak sampai jadi seekstrim gambaran Leda?
Share pendapat kalian in the comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Olivia Coleman lebih pantes dapet Oscar lagi buat ini ketimbang Frances Mcdormand tahun lalu
McDormand aja bisa dapet, berarti mestinya Colman kudu dapet juga tahun ini yaa. Tapi gak tau sih, peta persaingannya gimana yang sekarang. Tapi kalo mereka di tahun yang sama, aku pun jelas lebih dukung Colman
Saingan terbesarnya Stewart, sisanya kalo menang, kejutan. Even Gaga
Astaga Gaga aku lupa. Gak ingat sama sekali kalo House of Gucci kelewat wkwkwk
Stewart mah udah jadi kayak awards darling banget ya, aku suka sih, cuma yang jadi Lady Diana ini kurang suka karakternya.
Mas, tolong review film The Worst Person in the World dong.
Aku merasa jadi worst person in the world, karena sampe sekarang belum nonton The Worst Person in the World hahaha
Siplah, kalo udah nonton nanti aku review yaa
Keren ulasannya.
Terimakasih. Filmnya keren 😀
film ini emang berat, susah dipahami dan bikin geleng2 kepala. kita diajak melihat kompleksnya seorang Leeda lewat sikap2 nya yg bikin bingung dan heran, yang egois dan bikin ngeselin. tapi dilain sisi kita juga dibawa untuk memahami seorang Leeda yang menjadi Ibu muda yang ambisius dan ingin mempunyai kebebasan, yang entah kenapa bisa membuat kita relate dan kasihan dengan karakternya. film ini mirip sama Drive My Car, panjang dan melelahkan, tapi ngena di hati
mungkin judulnya lebih cocok kalau diganti menjadi, The Lost Mother. hahaha
Hahaha Leedanya yang lebih lost ya sebenarnya. Tipe film yang kalo di indonesia gak bakal laku, penontonnya malah nonton horor aja mending xD Padahal film kayak gini yang sensasinya itu fulfilling banget, karena sangat personal. Seorang manusianya itu terasa