SIKSA KUBUR Review

 

“There is no truth, only who you choose to believe”

 

 

Horor-horor modern Joko Anwar, kuamati, cenderung tersiksa oleh narrative yang melemah. Karakter dengan development mengambang, bahasan atau gagasan yang mengawang, dan lantas mengirim kita pulang dengan ‘easter eggs’ instead. Aku sampe pernah membuat thread di Twitter soal protagonis di film-filmnya tersebut basically gak ngapa-ngapain, kurang ‘dihajar’, karena narrative yang tidak mencapai banyak selain keseruan wahana horor. My honest opinion; Joko Anwar desperately need to step up his writing. Sukur Alhamdulillah, usaha untuk peningkatan penulisan tersebut bisa kita rasakan pada horor terbarunya yang diset sebagai tontonan lebaran tahun ini. Siksa Kubur yang tadinya kupercaya sebagai pengembangan dari film-pendek yang dibuat Jokan tahun 2012 (dulu hits banget di Kaskus) ternyata berusaha menyajikan lebih. Bahasan mencoba lebih terarah kepada tema yang lebih jelas, yakni soal kepercayaan. Arahan yang pede menggiring bahasan agama tersebut sehingga tidak terkesan seperti horor-horor lain yang belakangan banyak beredar yang menjual ‘gimmick agama’ semata. Dan terutama sudut pandang protagonis utama yang kali ini benar-benar ditempa.

Kayaknya kita semua pernah, deh, punya hal yang kita percaya saat masih kecil, namun saat dewasa kita sadar yang kita percaya itu ternyata bohongan. (Like, aku dulu nyangka Kane dan Undertaker itu beneran kakak-adik, sampe bela-belain mendebat dan berantem ama teman). Nah, Siksa Kubur seperti berangkat dari soal kepercayaan tersebut, tapi tentunya dengan bahasan yang lebih serius, dan puteran yang lebih mencengangkan. Karena yang dipercaya Sita sedari kecil sejak dua orangtuanya jadi korban bom bunuh diri adalah bahwa agama justru membuat orang menjadi jahat. Bahwa agama cuma ‘alat’ atau alasan orang. Sepeninggal kedua orangtua, Sita dan abangnya, Adil, dibesarkan oleh pesantren. Di lingkungan religius itu pun, kepercayaan Sita bahwa agama cuma kedok menjadi semakin kuat. Sita tidak lagi percaya ajaran agama. Dia tidak mau, sebab pemimpin yang jadi donatur pesantrennya justru juga seorang pendosa yang melukai anak-anak, termasuk abangnya. Sita tumbuh besar dengan tekad untuk membuktikan kepercayaannya. Hal nyata yang bisa ia lakukan adalah dengan ikut masuk ke dalam kuburan, Sita ingin merekam bukti bahwa siksa kubur itu tidak ada. Jadi, di panti jompo itulah Sita dewasa menunggu. Menunggu pak tua yang menurutnya paling keji sedunia untuk mati supaya dia bisa segera melaksanakan pembuktiannya.

review siksa kubur
Siksa kubur Pak Wahyu? I was there.

 

Sita might be the most interesting Joko Anwar’s character so far. She’s so conflicted. She doesn’t even belief what she believed. Like, kita percaya pada agama, kita beriman, tanpa merasa perlu untuk bisa melihat wujud tuhan ataupun mukjizat religius yang lain. Kita seperti yang juga berulang kali disebut dalam dialog film ini; percaya berarti meyakini – tidak perlu melihat dengan mata, melainkan ‘melihat’ dengan hati. Dengan ini, berarti beriman adalah percaya tanpa perlu menuntut pembuktian kalo kita yang percaya itu adalah benar. Kita beriman kepadaNya justru karena kita percaya Dia-lah kebenaran in the first place. Sedangkan Sita, tragedi yang menimpanya membuat perempuan itu tidak percaya akan agama. Keluarganya justru terbunuh, menderita, oleh orang-orang yang percaya pada agama. Orang yang teriming-iming imbalan dari agama, orang yang takut terhadap ancaman/peringatan pada agama. Orang jadi leluasa jahat karena berlindung di balik agama; itu yang Sita percaya. Menurut Sita, moral justru terpisah dari agama. Bahwa dia, dan harusnya juga manusia lain, bisa berbuat baik sekalipun tanpa imbalan atau petunjuk agama. Namun iman Sita terhadap kepercayaannya ini masih lemah, karena berbeda dengan orang beragama yang tidak perlu membuktikan apa-apa terhadap kebenaran yang dianut. Sita justru ngotot untuk membuktikan kepercayaannya tersebut benar. Dia ingin masuk ke kubur, ingin menangkap bukti – yang juga sama conflictednya. Karena pertama, Sita ingin membuktikan siksa kubur – dan agama – itu tidak ada (sehingga perbuatan teroris bom bunuh diri yang menewaskan orang tuanya itu benar adalah kriminal bodoh yang tertipu suara rekaman siksa kubur palsu), tapi sebaliknya terlihat juga secercah harapan Sita untuk adanya siksa kubur karena ada dialog dia seperti frustasi menyebut jangan sampai orang sejahat Pak Wahyu saja terbukti tidak disiksa di dalam sana,

What if everything you believed turned out to be false? what if agama yang kita percaya cuma dongeng belaka? Gimana pula jika kita telah mati-matian percaya agama itu dongeng, tapi ternyata kepercayaan itu-lah yang salah? Enggak akan ada habisnya keraguan, dan di situlah masalah Sita. Dia gagal menyadari bahwa sebuah kepercayaan tidak membutuhkan pembuktian kebenaran. Yang harus dipelajari Sita dalam cerita ini adalah bagaimana membuat dirinya percaya pada apa yang ia pilih untuk percaya. 

 

Basically, yang dieksplorasi sebagai horor dalam film ini adalah state of mind dari Sita. Cara film melakukan itu pun sangat menarik. Sita seperti tegas tidak percaya pada hal gaib, baik itu tuhan maupun setan, tapi kemudian film mengontraskan itu dengan memperlihatkan bahwa pikiran Sita merupakan relung-relung kenangan dan harapan yang menyeleweng dari fakta. Kenangannya terhadap momen terakhir bersama orangtuanya, misalnya, kita saksikan sendiri kenangan Sita itu slightly berbeda dengan peristiwa ‘asli’ kejadiannya. Ketidakstabilan state Sita yang membuatnya menjadi unreliable sekaligus vulnerable, menambah banyak pada elemen horor psikologis film ini. Untuk memperkuat kesan surealis (film membidik ke vibe yang terasa calm, kalo gak dibilang slow, sebagai kontras dari kecamuk kepercayaan yang dirasakan Sita), film menerjunkan kita ke dalam cerita lewat kamera yang bergerak di tengah-tengah dunia. Teknik yang menghasilkan kesan immersive sekali, juga tentunya ampuh saat sekali-kali film berniat mengagetkan kita lewat jumpscare. Struktur cerita pun didesain demikian horor. Meskipun jika kita menghitung durasi, naskah film ini clocked out right on time – point of no return-nya tepat di tengah durasi saat Sita masuk kubur, misalnya – tapi alur yang dibuat linear itu sengaja dipatah-patah oleh, misalnya, skip waktu antara Sita kecil ke Sita dewasa, atau antara mana yang realita dan mana yang surealis (yang sampai review-telat ini ditulis pun batas realita film ini masih seru, santer diperdebatkan di linimasa).

Kesan immersive dalam dunia surealis tersebut salah satunya terjaga lewat penampilan akting yang benar-benar terasa berkesinambungan. Lihat saja bagaimana Reza Rahadian sebagai Adil dewasa ‘meneruskan’ nada maupun gestur weak dan awkward dari Muzakki Ramdhan (weak awkward yang diniatkan karena karakter Adil yang abang dari Sita ini punya wound personal sendiri). Karakter-karakter orang tua di panti jompo, ataupun guru-guru di pesantren, semuanya aktornya paham untuk menampilkan kesan ganjil tersendiri.  Salah satu kritikanku buat horor modern Joko Anwar adalah protagonisnya kurang ‘disiksa’; di film ini, aku tidak lagi jadi kaset rusak karena Sita benar-benar dipush out of her limit. Baik itu Widuri Puteri maupun Faradina Mufti, dapat ‘jatah’ masing-masing untuk mengeksplorasi ketakutan psikis yang didera Sita dalam tahap usia masing-masing.  Mana film tepat banget mengclose up  Sita saat teriak-teriak tobat. Sita terutama akan terasa perkembangannya saat di pertengahan awal dia seperti lancar memegang kendali, tapi di pertengahan akhir semuanya tampak menganeh dan spin out of her control.

Konsep neraka-personal film ini versi lebih calm dari episode terjebak di lubang ketakutan di ‘Fear No Mort’ Rick and Morty

 

Untuk menjelaskan kelogisan dari hal-hal aneh dan di luar kendali Sita setelah dia mencoba masuk ke liang lahat dan merekam jenazah Pak Wahyu, film tampak menggunakan konsep yang serupa dengan yang ada pada film Jacob’s Ladder (1990) atau Stay (2005)-nya Ryan Gosling. Bahwa semua itu terjadi di dalam kepala karakter yang sedang sakaratul maut. Jadi Sita debat dengan Adil, Sita melihat salah satu kematian orang tua di panti, kasus selingkuh di panti yang berujung pembunuhan, semuanya hanya terjadi di dalam kepala Sita yang sedang dikubur hidup-hidup bernapas bermodalkan pipa. Bukinya beberapa dialog film ini menyebut soal kekurangan oksigen dapat mengakibatkan halusinasi. Dan inilah yang membedakan penerapan konsepnya dengan Jacob’s Ladder ataupun Stay. Karena di dua film tersebut jelas kapan momen kritis dan nasib sang protagonis. Sedangkan film Siksa Kubur yang mengelak dari potensi dikecam me-reka sesuatu yang tidak seharusnya dibayangkan oleh manusia beragama, membuat sampai akhir semuanya tetap ambigu. Kendati Sita ‘dilock’ mati oleh naskah pun, film tetap mengaburkan kapan exactly matinya Sita. Adegan siksa kubur yang ujug-ujug over the top itu (mendadak jadi lebih seperti vibe chaos Evil Dead ketimbang tone atmosferic dan slow yang di awal konsisten dibangun film – sampe jadi kayak video karaoke lagu reliji segala!) bisa ‘berlindungi di balik alasan toh gambaran itu masih ambigu nyata atau tidaknya, benar atau salahnya, karena perspektif realita Sita yang dikaburkan.

Dari perbedaan keadaan untuk menerapkan konsep dan perspektif yang harus dikaburkan itulah muncul sedikit masalah pada arahan/penceritaan film ini. Karena di dalam ‘vision-kubur’ Sita (kita sebut saja begitu) juga terdapat perspektif Adil. Jadi semuanya nyampur dan film seperti kehilangan pegangan sehingga bergerak keluar dari perspektif dan jadi lebih seperti untuk bermain dengan penonton directly saja. Film seperti memuat development Adil ke dalam perspektif Sita, meskipun mustahil bagi Sita mengetahui apa yang terjadi kepada abangnya. Kayak soal ular yang mendekati Adil di atas makam aja, film went off memperlihatkan ular tersebut merayap melewati Adil (untuk petunjuk bagi penonton) dan kemudian Adil muncul dengan mata bengkak. There’s no way Sita tahu di atas sana Adil sedang didekati ular, sehingga mustahil juga untuk dia bisa menghalusinasikan Adil menyelamatkannya dengan kondisi seperti habis diserang ular. Jikapun adegan tersebut ternyata nyata, maka itu berlawanan dengan ‘rule film’ soal Man Rabbuka yang didengar Sita setelah escape tersebut (bahwa adegan escape tersebut supposedly terjadi saat Sita meninggal). Sebenarnya yang rugi di sini adalah Adil, karena film udah extra menginclude dirinya, tapi kemudian jadi kabur begitu saja karena film harus stay pada ambigunya perspektif Sita. Yang turut terasa extra sebenarnya banyak, seperti Ismail, seteru kecil Sita dengan keluarga Pak Wahyu, hingga panti jompo itu sendiri. Kepentingannya sebenarnya bisa kita pahami, mereka jadi elemen dalam development Sita (menunjukkan Sita soal tadinya dia pegang kendali, menunjukkan apa yang harus dia pelajari/lakukan, dsb), tapi yang mengganjal adalah kenapa film tidak tetap di pesantren. Semua aspek extra tersebut tampak masih bisa dilakukan, goal film terhadap development karakternya masih bisa tercapai, tanpa Sita (dan Adil) melompat sejauh itu.

 

 




Mungkin film tidak mau terpaku pada konteks satu agama tertentu? Mungkin juga, karena salah satu yang menarik dari film ini adalah memang identitas karakternya adalah Islam tapi dialog-dialog bahasan soal kepercayaan yang relate dan tidak mengunci pada satu ajaran saja. Mungkin seperti Sita, film ini ingin ‘menjauh’ dari agama. Namun pilihan film tersebut tidak serta merta bisa kita judge sebagai hal yang salah. Karena pilihan tersebut dijustifikasi oleh bahasan psikologis yang cukup eksplorasi. Dialog yang baik adalah dialog yang seperti pembicaranya terlibat pertikaian serang dan defense, dan di film ini Sita terus didera perdebatan soal kepercayaannya. Ini membuat kita juga ikut masuk dan peduli. Untuk setelahnya arahan horor yang sedari tadi merayap, mengambil alih dan menghantarkan kita sampai ke finale yang ambigu. Bentukan dan karakter yang hebat untuk sebuah horor psikologis yang surealis. Usaha yang patut diapresiasi, karena kali ini film Joko Anwar tidak semata nyerocos soal easter eggs dan reference, tapi benar-benar ada usaha untuk ngasih something deeper untuk dibicarakan. Aku terutama tertarik dengan karakter utamanya, si Sita yang menyita perhatian.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SIKSA KUBUR.

 




That’s all we have for now.

Apa kalian punya hal yang dulu kalian percaya tapi sekarang terbukti bahwa hal itu palsu?

Silakan share cerita dan pendapat di komen yaa

Yang pengen punya kaos Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 16 (GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE, ARGYLLE, IMAGINARY, MILLER’S GIRL, MEAN GIRLS, NOT FRIENDS, ROAD HOUSE, LISA FRANKENSTEIN)

 

 

Di bulan Film Nasional ini pun aku ternyata kembali gagal menonton film-film Indonesia. Instead, karena kesibukan mudik dan sebagainya, maka kompilasi Volume 16 ini berisi oleh satu film impor baru, dan film-film impor pilihan yang terlewatkan di bioskop beberapa bulan lalu – also film yang memang tidak tayang di bioskop kita – yang menurutku layak untuk kita bahas dan bicarakan.

 

 

ARGYLLE Review

Argylle, kalo aku gak salah itung, adalah film ketiga dalam beberapa bulan ini yang punya konsep memvisualkan aksi dari tulisan/karangan protagonis. Dan Argylle ini punya cara spesifik – yang sayangnya sering jatoh annoying – dalam melakukan konsep tersebut.

Jadi ceritanya, karakter yang diperankan oleh Bryce Dallas Howard adalah seorang penulis novel action spy populer. Namun, walau dia merasa tidak tahu sama sekali tentang dunia ataupun profesi yang ia tulis sebagai karangan, para penjahat dan spy beneran tertarik untuk mengetahui ceritanya lebih dalam, karena ternyata there are some truths pada karangannya tersebut. Alhasil, perempuan dan kucing peliharaannya itu terseret ke dalam petualangan seru seperti cerita karangannya, only it’s real. Yang bagi kita, sayangnya lagi, film ini semakin berjalan, semakin mengada-ada.

Berniat untuk bikin jadi fun, plot film ini dibuat dengan bersandar pada twist demi twist. Karakter-karakternya bakal bikin kita “oh ternyata dia jahat, eh, ternyata bukan! Eh, bener jahat, ding!! Eh, baik sih kayaknya.” hingga berakhir dengan “Eh… aduh, ini apa sih sebenarnyaaa” Konsep memvisualkan aksi dalam karangan pun tampak aneh dan chaos karena film memilih untuk melakukannya dengan membuat Bryce melihat seorang spy beneran – atau juga dirinya sendiri – sebagai karakter di dalam karangannya, dan switch visual itu dilakukan terusmenerus sepanjang sekuen action. Menurutku memang ini sayang sekali, selain karena film ini bertabur-bintang, tapi terutama karena sutradara Matthew Vaughn sebenarnya punya arahan aksi yang menarik. Ketika film tidak sibuk dengan konsep pengungkapan yang overstylish, film ini baru terasa benar-benar  fun. Misalnya pas sekuen aksi skating di tumpahan minyak. Itu konyol tapi juga memberikan karakternya aksi yang unik.

The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for ARGYLLE

 

 

GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE Review

Godzilla dan Kong adalah tag team that we all deserved, tapi sebaliknya, we are all deserved a better Gozilla Kong movie than this. Karena meski yang ditawarkan Adam Wingard ini memanglah sungguh spectacle porsi titan, tapi spectacle tersebut terasa masih hampa. Masalahnya ada pada pilihan kreatif yang sama sekali tidak menguntungkan bagi spectacle ini.

Yang menarik dari Godzilla, ataupun Kong, adalah melihat mereka yang super size itu berinteraksi dengan manusia. Ya aksinya, ya ‘relationship’nya. ‘Movie magic’ dari film seperti ini adalah melihat mereka hidup di antara kita. Dampaknya apa, ancamannya apa, simbolismenya apa. Sama seperti menonton gulat, pertandingan baru akan menarik jika pihak-pihak yang terlibat dikembangkan, kontrasnya dicuatkan, diberikan cerita. Pada aspek itulah film terasa unbalanced. Cerita yang mengambil tempat di Hollow Earth – dunia yang memang dihuni oleh banyak makhluk raksasa dan menakjubkan lainnya – membuat Kong dan Godzilla kehilangan kontras mereka yang menakjubkan. Melihat mereka di film ini ya kayak ngeliat monster di hutan saja.

Cerita dengan pihak manusia pun terlalu basic. Plot the chosen one, lalu ada juga soal ibu angkat yang mungkin harus berpisah dengan anaknya, tema soal kembali kepada your own clan, tidak cukup kuat dan menarik sebagai fondasi final battle yang megah. Terasa seperti kita bisa langsung skip nonton final battle, tanpa melewatkan banyak hal baru – ataupun malah hal penting. Yang bikin aku makin jenuh adalah karakter manusianya yang template film-film spectacle hiburan. Sekelompok orang eksentrik yang suka nyeletuk lucu.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE

 

 

 

IMAGINARY Review

Ngomongin soal klise, well, horor karya Jeff Wadlow bersama Blumhouse ini akan terasa seperti bunch of other horrors dan yea, kemiripan itu bukanlah imajinasi kita semata. Film ini dikembangkan dari elemen-elemen horor populer lain seperti masuk ke dunia ‘gaib’ kayak Insidious, dan yea tentu saja trope anak yang berteman dengan hantu.

Teman khayalan umum dimiliki oleh anak kecil, apalagi yang sedang dalam masa kesulitan untuk bersosialisasi. Efek baik dari punya teman khayalan ini sekiranya dapat membantu anak dealing with their emotions karena ini basically bicara pada teman yang tak nyata itu adalah bicara dengan diri sendiri. Efek buruknya, ya tentu saja bicara dengan yang tak ada terlihat creepy sehingga dijadikan film horor. (Makin-makin kalo filmnya kurang tergarap baik seperti film ini). Pertama karena Imaginary membahas teman khayalan lewat sudut yang ribet. Perspektif utamanya adalah seorang ibu tiri yang dulu punya teman khayalan, nah si teman inilah yang ternyata beneran hantu dan kembali untuk meneror anak angkatnya. Tapi bahasannya itu tidak pernah dalem. Cuma ada satu bahasan psyche si karakter utama yang menarik (ketika there is no bear!). Film tampak lebih tertarik mention-mention Bing Bong dari Inside Out – mentone down bahasan ketimbang benar-benar mengolahnya. Hingga akhirnya film ini kena masalah yang kedua, yaitu klise tadi.

Tahun ini kita actually bakal dapat dua film tentang imaginary friend, dan setelah menonton film ini, ekspektasiku buat  film yang buatan John Krasinski jadi tinggi. Semoga pada genrenya dia tidak mengecewakan seperti film ini pada horor.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for IMAGINARY.

 

 

 

LISA FRANKENSTEIN Review

Lisa Frankenstein debut penyutradaraan film panjang Zelda Williams sebenarnya juga sama kayak Imaginary dalam hal ngejahit banyak elemen film lain ke dalam pengembangan ceritanya, like, ini literally based on Frankenstein, tapi film ini benar-benar mengembrace elemen-elemen tersebut, dan sama seperti si monster buatan itu, film wear those parts proudly sehingga jadi berjalan seperti diri sendir dan dengan menyenangkan pula.

Film enggak peduli sama moral, wokeness bahkan dijadikan salah satu running komedi. Ceritanya tentang Lisa, remaja yang trauma sepeninggal ibu, dia jadi suka ngadem di kuburan, dan dia tertarik sama satu nisan patung, dan dia make wish bisa bersama si mayat. Petir menyambar, mayatnya hidup, dan mereka berdua semacam went on killing spree untuk mengganti anggota tubuh si mayat hidup yang busuk dengan anggota tubuh orang lain. Mulai dari dialog, karakter, hingga kejadian, film ini gotik-gotik kocak. Arahan Zelda membuat film ini jadi punya awkwardness yang charming. Saking cueknya, film ini gak peduli bikin adegan main piano yang supposedly romantis, tapi Kathryn Newton yang jadi Lisa gak bener-bener bisa nyanyi tapi tetep disuruh nyanyi. Yang jelas, ini bakal jadi nomine yang paling unik di Best Musical Performance award blog ini tahun depan.

Mungkin karena nyeleneh itu juga film ini gak tayang di bioskop kita. Sayang, karena bisa jadi kita keskip kesempatan nonton di layar lebar apa yang sepertinya bakal jadi modern cult classic di masa depan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LISA FRANKENSTEIN




MEAN GIRLS Review

Oh, boy! Bicara soal modern cult classic, here comes remake musikal dari salah satu teenage movie terbaik, instant classic dari era 2000an…. kalo aku punya Burn Book, aku akan nulis film karya Samantha Jayne dan Arturo Perez Jr. ini ke dalam buku tersebut.

Mean Girls 2024 hanyalah remake plek-ketiplek dari film originalnya. Jadi bayangin aja, dialog-dialog ikonik film originalnya, adegan-adegan populer yang aku yakin banyak devoted fans yang apal luar kepala, dibawakan ulang dengan canggung dan lewat arahan komedi yang downgrade dari aslinya. Yang diubah pada film ini basically cuma dua, menambah diversity pada cast dan nambah adegan-adegan musikal. Sementara pada jejeran cast, film ini masih bisa terasa fresh, namun modernisasi dari karakter mereka malah membuat mereka tampak annoying.

Adegan musikalnya digunakan untuk menyuarakan perspektif karakter lain, bermaksud supaya kita lebih dalam mengenal mereka – lebih dari sekadar geng plastik – hanya saja, film originalnya udah melakukan itu tanpa perlu banyak mengejakan, tanpa lagu yang jadi eksposisi feeling mereka, kita udah dapat menangkap, misalnya gimana Regina George juga punya rasa insecure sendiri deep inside. Sehingga adegan musikal di film ini terasa redundant, dan membuat film ini tampak seperti ya itu tadi, mengejakan. Dan adegan-adegan musikal itu memperlambat tempo karena film tidak pernah benar-benar menggubah naskah sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk musikal. Film ini berjalan kayak film yang original, dengan diselingi adegan-adegan nyanyi dari beberapa karakter pada saat momen-momen mereka. Kalo ada yang masih ingat di ending film original, ada 3 junior plastic yang dibayangkan oleh Cady ketabrak bus, nah film ini persis kayak tiga junior plastic itu.  Cuma pengen meniru-meniru melanjutkan legacy yang lebih populer.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MEAN GIRLS VERSI 2024.

 

 

 

MILLER’S GIRL Review

Jade Halley Bartlett setidaknya ‘berhasil’ membuat apa yang di dunia nyata jelas siapa yang harus bertanggungjawab menjadi cerita yang tampak kompleks dan berimbang dari dua sudut pandang. Membuatnya jadi kontroversial. Sehingga, mengulas film debutnya inipun jadi terasa sama ‘berbahaya’nya dengan terpikat masuk ke pikiran gadis remaja.

Dengan penampilan akting yang terukur all-around, dengan karakter yang dibuat abu-abu – kalo gak mau dibilang sama bercelanya – Miller’s Girl yang basically tentang guru dan murid saling tertarik dengan pikiran dan kehidupan masing-masing (sama-sama dalam state haus pengakuan) harusnya bisa jadi tontonan yang menantang. Yang mencegah film ini untuk mencapai potensi maksimalnya itu adalah ‘kehati-hatian’ arahan dan naskahnya itu sendiri. Film ini berdiri terlalu dekat dengan objeknya. Sehingga alih-alih membuat kita mengobservasi mereka, film ini lebih seperti mengajak kita untuk ‘supportive’ untuk lalu kemudian mematahkan dengan semua bahasan dan gagasan utama yang ingin diangkat. Sehingga pada akhirnya film ini sendiripun terasa seperti karangan yang dibuat oleh karakter si Jenna Ortega – karangan picisan yang ternyata jebakan.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for MILLER’S GIRL.

 

 

 

NOT FRIENDS Review

Not Friends dari Thailand terasa seperti nostalgia yang tak pernah kualami. Film ini kayak ngingetin kembali sama masa-masa dulu nyoba-nyoba bikin film ala kadar bareng teman, sekaligus juga ngingetin ke masa-masa sekolah, hanya saja bagi diriku dua masa itu sama sekali tidak berhubungan. Itulah yang bikin aku sadar sutradara Atta Hemwadee berhasil menggabungkan bahasan tentang pertemanan dengan passion membuat film menjadi sebuah penceritaan yang manis. Mengulik persoalan pergaulan di sekolah – yang bisa dilihat sebagai satir dari bagaimana kita menjadi teman, tapi juga bukan teman yang benar-benar kenal dengan bahkan teman sebangku – ke dalam bahasa yang pas buat anak sinefil kayak kita-kita (kita?)

Passionnya memang sangat kentara. Melihat mereka bergabung menjadi tim, berusaha membuat adegan dari cerita pendek, melakukan ‘movie magic’ alias treatment dan efek-efek praktikal untuk membuat seolah adegannya beneran astronot di pesawat luar angkasa, misalnya, tampak begitu menarik. Kita seperti diundang masuk ke dalam grup mereka. Hebatnya film gak pernah terlalu in the face dalam menggarap adegan-adegan bikin film ataupun celetukan teknikal lainnya. Film tetap berpegang kepada storytelling dari drama dari karakter.

Karenanya bahkan penonton yang gak share kecintaan yang sama dengan filmmaking pun bakal masih bisa mengikuti drama anak sekolah yang disajikan sebagai hidangan konflik utama. Film tidak membiarkan kisahnya menjadi overdramatis ataupun jadi lebih ‘besar’ daripada persoalan anak sekolah. Melainkan tetap renyah dan menapak. Jikapun narasinya mengandalkan kepada rangkaian ‘ternyata’, rangkaian itu tidak difungsikan untuk mengecoh ataupun mematahkan plot, melainkan sebagai tantangan berikutnya dari protagonis utama sehubungan dengan development pribadinya yang ingin membuat film tentang teman sebangku yang ia akui sebagai bestienya saat sang teman itu meninggal dunia, sebagai jalan pintas untuk keluar dari masalah masa depan pendidikannya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for NOT FRIENDS.

 

 

 

ROAD HOUSE Review

Enggak seperti Mean Girls versi modern tadi, remake Road House karya Doug Liman mengambil resiko yang lebih  bijak dalam meremajakan kisahnya. Dia membawa cerita ini ke setting lebih modern, sehingga jadi ada kontras vibe yang menarik, dan langka, karena pada intinya Road House adalah cerita jadul yang kayaknya udah jarang dibuat. Karena ini bukan soal pria yang ternyata jago berantem dan dia terpaksa oleh untuk membalas dendam. Ruh tipikal modern itu memang masih terasa, tapi pada awalnya Road House tetap adalah cerita ala western, di mana seorang pria yang ternyata jagoan, datang ke suatu tempat, dan akhirnya menyelamatkan rakyat di tempat itu dari cengkeraman tuan tanah yang jahat. Hanya saja pada Road House, koboynya adalah seorang mantan petarung UFC, dan tempat yang ia lindungi adalah bar tempat dia disewa sebagai bouncer.

Kontras cerita jadul di dunia modern, serta penampilan akting dari Jake Gyllenhaal yang memang jarang sekali mengecewakan, membuat film ini jadi menarik. Komedi dari celetukan/smark juga masih ada, dan dijaga untuk tidak benar-benar membuat film ini jadi kayak over the top. Paruh pertama film ini terasa fresh dan everything just work fine. Aku tertarik melihat Dalton berinteraksi dan menjalin pertemanan dengan orang-orang di bar dan sekitarnya. Bagaimana dia perlahan membuka kepada mereka, juga berarti dia perlahan membuka kepada kita, mengetahui masa lalunya sebagai petarung UFC perlahan membuat kita semakin simpati.

Pada paruh kedualah film mulai agak goyah dalam mempertahankan kontras.  Penanda kegoyahan ini adalah kemunculan ‘algojo’ yang diperankan oleh Connor McGregor. Connor sendiri sebenarnya tampak have fun dan menghibur memainkan karakter ini. Karakternya yang brutal tampak menarik, dan benar-benar jadi hambatan yang sepadan untuk Dalton. Tetapi saat dia muncul dan cerita berlanjut, film ini seperti kebobolan pertahanan dan akhirnya menjadi over-the-top seperti film originalnya. Dan itu berarti film tidak lagi konsisten dengan vibe yang sedikit lebih dewasa yang dilandaskan di awal. Mereka membuat karakter Connor terlalu ‘dominan’ as in terlalu besar berpengaruh kepada arahan dan tone film keseluruhan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ROAD HOUSE.

 




 

 

That’s all we have for now

Selamat Hari Film Nasional, dan have fun liburan menuju lebaraannn!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



24 JAM BERSAMA GASPAR Review

 

“Hope is a desperate feeling in a desperate situation”

 

 

Apa coba persamaan detektif di film-film? Ya, kasus misteri yang mereka tangani dengan susah payah itu ternyata paralel dengan masalah personal mereka. Tapi detektif Gaspar memanglah beda (jantungnya aja di kanan!)  Kasus baginya sedari dulu cuma satu; mencari teman masa kecil yang hilang di dunia yang semakin canggih tapi moral semakin bobrok itu, Sutradara Yosep Anggi Noen mengadaptasi cerita Gaspar dari novel, ke dalam genre yang baru baginya. Jika dua film Yosep sebelumnya kita ibaratkan kayak orang introvert; irit berkata-kata, penuh visual storytelling yang mengajak berkontemplasi, maka film Gaspar ini kayak ekstrovert. Berisik, menggebu-gebu, ambisius, penuh aksi. Satu buku dipadatkannya ke dalam 90an menit, sumpek berisi urusan tentang dunia masa depan, tentang situasi sosial politik yang kok kayaknya gak jauh-jauh amat dengan keadaan kita sekarang, lagu non-diegetic yang kayak mengejakan perasaan karakter, dan pencarian desperate dari seseorang yang memegang teguh cinta dan harapan. So yea, ini adalah film detektif yang begitu berbeda sehingga menantang bukan cuma buat kita, tapi juga bagi pembuatnya. Jantungnya aja ada di kanan!!

Gaspar yang jantungnya ada di kanan itu (yang udah nonton film ini ampe abis pasti bisa tahan pengulangan ini hahaha) mendapat petunjuk tentang keberadaan atau nasib teman masa kecilnya, Kirana, yang hilang sejak lama. Selama ini Gaspar menekuni pekerjaan detektif, memang untuk mencari Kirana, dan along with that job, Gaspar juga melihat kebobrokan dunia tempatnya tinggal. Saat menangani satu kasus, Gaspar dihajar ampe babak belur. Dan dokter di underground fight club milik Agnes, memvonis alat di jantungnya yang ada di kanan udah game over sehingga Gaspar cuma punya 24 jam untuk hidup, 24 jam untuk mencari kebenaran soal Kirana. Gaspar harus segera menyimpulkan dan menyerang targetnya. Supaya bisa mendapat pembalasan dan closure sebelum dia mati.

review 24 jam bersama gaspar
Gaspar, jantung kamu di mana?  *insert meme Bart Simpson* Di kanan… Yeaayy!!!

 

Gak banyak film Indonesia yang membahas tentang detektif, dan lebih sedikit lagi film kita yang mengangkat setting distopia negara kita. Makanya menit-menit awal film ini begitu menarik. Kamera 24 Jam Bersama Gaspar memotret fantasi itu dengan kontras antara kecanggihan dan kebobrokan yang kentara. Suasana daerah slum-nya udah kayak dalam game-game seperti Final Fantasy VII. Orang berantem di mana-mana, sementara aktivitas komunal tampak patuh dengan aturan seperti penggunaan gawai yang seperti merecord semua. Feelnya strange, kayak jauh tapi juga terasa dekat secara bersamaan. Tapi maksud dari pembangunan dunia distopia seperti itu tidak pernah benar-benar kita tahu, karena seiring durasi berjalan, film seperti melupakan settingnya. 24 Jam Bersama Gaspar actually akan berubah menjadi aksi heist-gone-wrong, dan lingkungan yang kita lihat jadi kayak daerah jelata, ‘sudut kota Jakarta itu keras, Bung’ seperti yang biasa-biasa saja. Film tidak lanjut menggali bangunan dunia reka uniknya itu, misalnya rule apa yang berkembang di masyarakat di jaman itu, apa yang beda dari jaman cerita itu, ataupun kenapa di masa depan yang keras itu orang-orangnya pada kembali memakai bahasa baku.

Sebenarnya soal bahasa baku ini buatku tidak masalah. Toh baik itu Reza Rahadian, Laura Basuki, ataupun Shenina Cinamon terdengar tidak demikian canggung dalam membawakannya. Bahasa baku ini juga jadi kontras yang menarik di dunia mereka yang penuh kriminal dan hitam. Like, hidup susah seperti itu, terus digencet ekonomi sampai pada bunuh diri dan ada yang jual anak, tapi bahasa mereka masih terjaga. Baku. Terdengar di telinga kita yang sehariannya pakai bahasa nyampur aduk dan ngasal, jadinya kayak ‘sopan’. At least, mereka kayak masih menjaga emosi. Kesan yang timbul dari kontras bahasa dan situasi itu jadi seperti mereka ini orang-orang yang dingin sekali. Mungkin mereka dingin karena sudah biasa hidup makan hati tergencet situasi seperti itu. Bahasa ini bisa jadi much deeper ketimbang persoalan pilihan biar beda, tapi ya itu tadi, kita hanya bisa menduga karena film seperti tidak peduli-peduli amat sama bangunan dunia distopianya tersebut. They just did it in the first minutes, dan kemudian ya jadi malah membahas persoalan simbolik lain, yaitu kotak hitam penuh misteri yang dimiliki ‘tersangka utama’.

Alih-alih melanjutkan world building sebagai panggung tempat karakternya harus beraksi, mengungkap pencarian seumur hidupnya, film ini lebih tertarik mengobrolkan backstory. Lewat flashback-flashback masa kecil. Intensinya sebenarnya cukup jelas. Film pun menggunakan flashback itu untuk mengontraskan antara Gaspar yang masih kecil dulu, lebih riang karena punya Kirana, dengan Gaspar yang sekarang – bayangkan Harrison Ford di Blade Runner, atau Ryan Gosling di Blade Runner 2049, tapi lebih volatile dan desperate. Suasana visualnya pun jadi pembanding yang diniatkan untuk menguatkan perkembangan karakter dan dunia. Hanya saja film melakukan bolak-balik ini dengan sangat sering, padahal poin dan tujuannya sudah terlandaskan. Basically paruh pertama film akan sering banget berpindah-pindah ini, dan ini memperparah tempo film yang sedari awal memang sudah mentok banget antara arahan slow burn yang biasa Yosep lakukan dengan konsep mendesak dari waktu 24 jam tadi.

Biasanya waktu yang mendesak itu membuat stake cerita semakin dramatis. Misalnya, karakter yang cuma punya 3 jam untuk mengejar pacar yang mau pindah ke luar negeri, atau karakter harus keluar dari dunia gaib sebelum portal menutup di pagi hari. Himpitan waktu memacu karakter untuk segera beraksi, mengambil resiko, membuat pilihan. Ketegangan datang dari melihat mereka berjuang hingga detik terakhir tapi seolah mereka bakal gagal. Pada Gaspar, kejaran waktu yang ditekankan oleh film bahkan hingga lewat visual angka pengingat seolah detik bom waktu, tidak terasa seperti dibarengi oleh urgensi, karena cerita seringnya bolak-balik menelisik Gaspar berkontemplasi dengan kehilangannya akan Kirana (yang sebenarnya ini juga jadi cara film melontar eksposisi) Dan juga stake kurang terasa karena Gaspar sebenarnya sudah siap untuk mati. Jantung di kanan ternyata cuma alasan mudah membuat Gaspar harus mati, karena gak banyak dan mendesak efek rintangannya pada saat adegan aksi. Pria ini sudah demikian bijak, dia sudah punya semua jawaban, dia hapal betul gimana dunianya bekerja, dia telah memahami persoalan rakyat kecil seperti mereka – orang baik yang terpaksa berbuat nekat demi mewujudkan harapan mereka akan hidup lebih baik. Journey Gaspar terasa tidak memerlukan gencetan. Karena inti dari inner journey-nya itu adalah dia butuh untuk percaya jawaban yang ia cari ada di dalam kotak, meskipun sebenarnya kotak itu bisa jadi bahkan bukan sesuatu yang spesial. Karena harapan terhadap ada kotak itulah yang mendorongnya untuk terus. Dan karena film membuat Gaspar telah berdamai dengan pemahamannya tersebut, dan sudah berdamai dengan kematian yang pasti akan datang, maka perkara dia berhasil atau tidak, secepat apa dia menemukan kotak itu,  tidak terasa benar-benar jadi soal.

Jantung hatinya-lah yang dia gak tahu ada di mana

 

Dulu ada lagu Zamrud yang liriknya mlesetin makna pepatah berakit ke hulu berenang ke tepian itu menjadi  “Bersakit dahulu, senang pun tak datang, malah mati kemudian” Ini actually selaras dengan gimana film ini memandang nasib rakyat kecil seperti Gaspar dan teman-teman seperjuangannya di dunia distopia mereka. Mereka cuma bisa terus berakit dan berenang, karena yang mereka punya cuma harapan akan ada senang kemudian. Ketika harapan mereka itu menjadi semakin desperate, maka mereka akan berakit dan berenang dengan menghalalkan segala cara asal nanti bisa sampai ke tepian, entah di mana letaknya. Di sinilah ketika moral itu menjadi abu-abu. Orang baik akan melakukan hal jahat, ketika mereka jadi begitu desperate berharap ada imbalan yang pantas mereka dapatkan setelah perjuangan selama ini.

 

Supaya gak terlalu berat dan serius, film ini pun melunakkan tensi. Kayak dari karakternya Dewi Irawan yang memang sepertinya diniatkan sebagai comedic relief dengan tone yang tetap sesuai ama vibe film. Atau juga saat heist kecil-kecilan mereka ke toko emas. Ya, Gaspar tidak berjuang sendirian, Film memasuki bagian aksi sebagai babak final. Yang dijamin bisa bikin penonton yang mungkin tadi cukup lelah menjadi melek. Walau mereka terkadang dipotret dalam shot yang menarik, sebenarnya geng Gaspar ini pun kurang maksimal dikembangkan. Kita paham mereka direkrut atau bergabung karena ‘musuh’ yang sama, cause yang sama, tapi hubungannya dengan Gaspar terasa kosong. Like, kalo di game RPG kita paham karakter-karakter yang bergabung jadi party kita itu selain punya masalah personal dengan musuh, mereka juga terdevelop menjadi punya ikatan personal dengan karakter utama, sehingga masalah personal yang masing-masing tadi jadi masalah bersama. Gaspar di film ini terasa berjarak dengan mereka. Yang beneran punya kepedulian terhadap journey Gaspar cuma Kik, yang diperankan Laura Basuki. Tapi itupun kehadiran karakternya aneh, like, kita awalnya udah percaya Gaspar adalah anak kecil kesepian, punya teman Kirana sehingga tidak sendiri lagi, lalu Kirana hilang dan ini jadi motivasi dia sampai gede. Tapi ternyata diungkap Gaspar teman masa kecilnya bukan cuma Kirana. Ada Kik. Aku gak tau kenapa film kayak sengaja gak langsung menyebut ada Kik di awal. Meski memang masih sesuai tema – bahwa mereka ikut Gaspar cukup karena harapan bisa katakanlah dapat balas dendam dan duit – tapi ini membuat kita susah peduli sama mereka. Mereka juga jadi berjarak dengan kita.

 




Film detektif yang pada akhirnya tidak terasa seperti menonton cerita detektif. Film distopia yang pada akhirnya tidak terasa seperti sebuah bangunan dunia reka yang utuh. Kalo bobroknya sih, dapet banget. Maka menonton film ini terasa seperti melihat puing-puing reruntuhan masyarakat sosial, yang mungkin tidak lama lagi bakal kejadian. Ketika orang-orang tidak punya motivasi selain berpegang pada harapan – yang bisa saja kosong – namun tetap secara desperate mereka percaya. Also, puing-puing karena film ini terasa seperti pecahan konsep-konsep yang tidak berjalan saling menyokong. Cerita butuh untuk karakternya ‘melambat’ tapi jebakan waktu membuat seolah ini adalah aksi yang harus terus bergulir. Beberapa orang mungkin menemukan keindahan pada puing-puing, tapi bagi beberapanya lagi, puing-puing bisa tampak tak lebih berharga dari onggokan batu di pinggir jalan. Semua itu mungkin tergantung dari jantung kalian ada di mana.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 24 JAM BERSAMA GASPAR.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, di manakah jantung Gaspar?

Silakan share… ahaha bercanda ding.. Menurut kalian apakah menurut film ini berarti tidak ada baik dan jahat, melainkan hanya siapa yang duluan merasa desperate saja? Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TIGER STRIPES Review

 

“Tigers don’t change their stripes”

 

 

“Aku jugak mau rotiii!” sekali waktu kecil dulu itu aku nimbrung dengan antusias pas mendengar dua tanteku bisik-bisik bilang nitip mau beli roti. Tapi jawaban mereka aneh. Mereka cuma berpandangan, lalu bilang itu roti untuk orang dewasa. Baru bertahun-tahun kemudianlah aku ngerti roti apa yang sebenarnya dimaksud. Pernah juga waktu SMP, ada teman sekelasku yang perempuan menangis lalu berlari pulang karena diledekin anak-anak yang lain, “Bendera jepang, bendera jepang!” Begitulah entah kenapa di lingkungan kita perihal menstruasi perempuan dianggap sebagai hal yang entah itu seperti Voldemort – tidak boleh disebutkan – atau juga hal yang seperti memalukan. Aku juga tidak banyak bertanya, karena ya itu tadi, urusan orang dewasa dan bukan urusanku yang laki-laki. Ternyata di negeri tetangga juga sama. Mungkin karena lingkungan kita juga masih serupa. Film Tiger Stripes karya Amanda Nell Eu menggali bahwa ketabuan soal hal sepenting itu, ternyata justru berdampak enggak sehat bagi anak perempuan. Karena jangankan anak laki-laki, anak perempuan juga gak tau apa yang terjadi pada diri mereka, dan mereka hanya tahu itu kotor. Tambahkan pula kisah tentang jati diri ke dalamnya, jadilah kisah anak usia 11 tahun ini jadi seperti Turning Red (2022) versi horor!

Di sekolah anak perempuan itu, Zaffan memang cukup dikenal sebagai anak yang badung. Mengunci toilet supaya enggak ada masuk sehingga dia bersama dua temannya bisa puas berseloroh merekam video joget-joget, ataupun bikin corat coret doodle seronok di buku tulisnya, adalah keseharian yang kita lihat Zaffan lakukan. Jilbab seragamnya tidak mampu membuat Zaffan stop mengekspresikan diri, dan seringkali Zaffan kena hukuman karenanya. Baik itu di sekolah maupun di rumah. Dalam level sepermainannya pun, gak sedikit teman Zaffan yang tidak menyukai sikap Zaffan yang ‘liar’. Terlebih ketika anak itu (sepertinya) jadi yang pertama kedatangan bulan di antara mereka. Dengan teman-teman yang menjauhi, dengan lingkungan yang tidak pernah membahas itu melainkan hanya menyebut larangan-larangan yang harus ia patuhi, Zaffan jadi tidak tahu harus mengadu ke mana. Dan mulailah horor itu. Zaffan melihat ada orang di atas pohon. Zaffan merasa tubuhnya berubah. Keluarga dan orang sekitarnya menyaksikan sendiri gimana anak itu berubah menjadi siluman harimau.

review tiger stripes
Aing maung!!!

 

Alih-alih panda merah yang cute, Zaffan berubah menjadi manusia setengah harimau dengan mata menyala ungu, dan dia gak segan untuk menyantap hewan-hewan kecil. Proses transformasinya juga gak ada komikalnya sama sekali. Zaffan mendapati tubuhnya memar-memar, rambutnya rontok, kukunya copot-copot. Ada bulu kasar yang tumbuh, dia cabut, aduh sakit sekali! Transformasi itu digambarkan oleh film lewat image-image dan tone ala body horor. Like, bener-bener disturbing. Cara film ini memvisualkan itu enggak kayak ketika horor anak-anak seperti Goosebumps yang jatohnya lebih ke over the top dan cheesy. Kengerian Zaffan akan tubuhnya itu terasa kuat, dan ini tuh sebenarnya adalah pilihan film, buat menekankan gagasannya. Apa itu gagasannya? Well, transformasi Zaffan ini dipicu oleh satu hal.  Malam itu Zaffan terbangun dan mendapati kasurnya ada noda darah. Kita tidak melihat dia yang bingung dan takut itu dikasih penjelasan apapun. Ibunya yang datang menolong hanya bilang “Kau kotor sekarang.” Jadi kebayang dong seperti apa yang Zaffan rasakan. Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya, yang ia dengar tentang itu cuma rumor mengerikan, dan betapa itu adalah penanda bahwa dia jorok – anak perempuan gak boleh ibadah selama dapet – membuat dia percaya bahwa dirinya, tubuhnya, berubah menjadi sesuatu yang mengerikan.

Perlakuan mentabukan menstruasi, seolah hal itu lebih kotor daripada seharusnya dijadikan pemantik horor di film ini. Menstruasi adalah fase natural yang dialami perempuan. Memang, pengetahuan dari ajaran agama menerangkan soal orang yang dapet itu berarti dalam keadaan tidak suci. Tapi somehow pada masyarakat, ‘tidak suci’ itu berkembang menjadi selayaknya hal yang benar-benar menjijikkan. Kita mendengar teman dekat Zaffan – yang memang sedari awal punya bibit-bibit jealousy kepadanya – openly mengungkapkan rasa disgust dekat-dekat sama Zaffan yang lagi dapet. Bau-lah. Jijik-lah. Sikap teman-teman sepantarannya itu menunjukkan bahwa bukan hanya Zaffan, melainkan tidak satupun dari anak perempuan di sana yang benar-benar mengerti fase yang bakal mereka lewati. Padahal mereka ini tumbuh dan dididik di lingkungan agamis, dan strive untuk pendidikan yang maju. Jadi film sebenarnya sedang menggugat lingkungan tempat Zaffan tinggal. Lingkungan, yang malangnya, relate dengan lingkungan kita. Dan kemudian memang pada lingkungannya itulah Tiger Stripes memusatkan penggalian.

Suasana kampung melayu dihidupkan, dan dijadikan kontras dengan pribadi Zaffan. Inilah mengapa tadi diset bahwa Zaffan tampak lebih badung dibandingkan teman-temannya. Perspektif Zaffan, teman-teman Zaffan, guru dan orang tua, dan tak ketinggalan relasi kuasa umur dan gender mulai dicuatkan oleh film. Sehingga terjadi juga pergeseran tone dan elemen horornya. Seiring Zaffan semakin dijauhi, seiring dia mulai menerima dan mengembrace yang terjadi kepadanya (ada sedikit juga mengingatkan kepada protagonis di The Animal Kingdom yang perlahan menjadi serigala) tentu dia jadi tidak takut lagi kepada dirinya. Yang semakin takut justru adalah orang-orang di sekitarnya. Horor Tiger Stripes memudar menjadi penyadaran gelap dan dramatis buat kita, saat kita menyaksikan Zaffan menjadi ‘monster’ di mata lingkungannya. Mata-mata itu memandangnya takut, sementara kita dibuat melihat siapa sebenarnya Zaffan, si ranking tiga dan kadet terbaik di sekolah. Tapi bagi orang kampungnya, Zaffan adalah siluman harimau liar, berbahaya dan penuh dosa, anak perempuan berikutnya yang bakal hilang dari desa mereka. Adegan paling heartbreaking film ini adalah ketika Zaffan dirukiyah – disaksikan satu desa – oleh Ustadz yang memperlakukan exorcism ini sebagai entertainment show yang dia siarkan live lewat hape. Semacam perbandingan paralel ngerecord joget-joget; hobi Zaffan. Film juga menurutku bijak sekali membiarkan si Ustadz itu ambigu, apakah dia beneran bisa ngusir atau cuma ‘tukang-obat’, kita dibuat tak pernah persis tahu.

Sama seperti kiasan ‘keliatan belangnya’. Konotasi tersebut memang terasa negatif, karena bermakna seseorang terbongkar kelakuan aslinya. Tapinya lagi, emangnya kenapa dengan kelakuan aslinya tersebut. Memangnya kenapa jika seseorang akhirnya berani jujur dan memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Kan tidak mesti semua belang itu pasti buruk dan merugikan orang lain. Yang kita lihat pada Zaffan juga demikian, kita mungkin setuju tidak semua perbuatannya pantas, tapi anak sekecil – apalagi sepotensial itu; dalam urusan otak dan kreasi – harusnya dibimbing. Tapi bahkan soal alamiah dan paling personal dari dirinya sebagai perempuan pun, tidak bisa sepenuhnya dia dapatkan.

“Ooooh crazy, but it feels so right”

 

Berbeda dengan Turning Red yang langsung melandaskan dunianya fantasi, bahwa perubahan Meilin menjadi panda merah itu bukan fenomena ganjil melainkan kekuatan turun temurun yang dirahasiakan darinya; bahwa berubah menjadi panda merah masuk ke dalam kotak ‘possible’ di dalam dunia cerita, Tiger Stripes membiarkan dunianya terbangun surealis. Dibilang normal, jelas enggak. Dibilang beneran gaib, ya kok sepertinya kejadiannya kayak berbeda dan sering tiba-tiba Zaffan dan semuanya seperti normal lagi. Arahan membawa ke ranah surealis, karena dengan begitu, perspektif yang banyak tadi mungkin untuk dilakukan. Supaya shift dari body horor yang lekat pada persoalan Zaffan memandang dirinya ke drama makhluk siluman yang mengenaskan ketika film lebih banyak menampilkan bagaimana Zaffan terlihat oleh mata penduduk, bisa terbungkus tanpa benar-benar mengubah perspektif karakter utama.  Sehingga pengalaman nonton film ini bagi kita terasa seperti sebuah mimpi yang begitu liar. Enggak semua orang bakal suka, tho. Elemen horor film ini berpotensi dianggap ngawang-ngawang, kejadiannya bisa tampak seperti tak konsisten dan gak jelas; film ini sendirinya bisa jadi kayak ‘belang-belang’, dan mudah bagi penonton untuk kehilangan poin. Membuat mereka mengharapkan penjelasan yang tentu saja tak akan pernah ada. Karena yang diincar film adalah mempertanyakan, menggugat, keadaan.

Tapi tentu saja itu merupakan resiko-kreatif yang diambil oleh film. Buatku, itu membuat film ini terasa lumayan fresh. Seperti ngasih variasi ke dalam bentuk-bentuk cerita coming of age horor atau fantasi yang sudah ada sebelumnya. Perspektif dan lingkungannya juga membuat film ini unik. Meskipun film ini seperti punya lebih banyak, tapi yang disuguhkan baru beberapa. Kayak sekolahnya Zaffan. Dari dialog-dialog dan keadaan, film ini seperti menyentil soal sosial unik negara mereka berkaitan dengan stereotipe kelas penduduk/etnis, tapi kita tidak benar-benar melihatnya. Zaffan disebut ranking tiga, dengan juara satu dan duanya kita dengar dari nama-namanya adalah murid dari etnis Cina dan etnis India (yang membuat Zaffan practically etnis Melayu terpintar di sekolah), namun di lingkungan sekolah itu seperti ekslusif menampilkan etnis Zaffan. Mungkin ada konteks sosial lain bahwa mereka tidak benar-benar satu pergaulan, tapi menurutku since film ingin menggugat lingkungan sosial yang lebih tertutup, akan bisa jadi warna atau sudut pandang tambahan gimana teman sekolah Zaffan yang lain memandang dirinya setelah jadi siluman. At least, narasi kurasa  tidak akan dirugikan oleh pembanding tambahan.

 




Kalo Farah iri sama Zaffan, aku iri sama Malaysia karena berani membuat film ini. Karena ini tuh bener tipe film yang ingin kita perlihatkan kepada orang luar. Kita ingin lihatkan gimana di daerah kita punya perspektif dan lingkungan tersendiri sehingga cerita coming-of-age yang formatnya familiar pun bisa jadi unik. Untuk kasus film ini jadi literal misteri dan horor mengerikan. Dengan strong narrative dan arahan yang bertaring, film ini menerobos belukar conventional, dia ingin menggugat lingkungan tempatnya tumbuh. Lingkungan yang bikin ‘susah’ bagi anak perempuan untuk tumbuh menjadi diri sendiri, karena soal ‘dapet’ aja mereka tahunya cuma itu kotor. Dan bicara soal karakter anaknya, film ini punya penampilan akting yang bukan sekadar template akting kesurupan, mereka terasa natural seperti anak-anak umumnya tapi karena tuntutan arahan untuk menghasilkan kesan surealis, playfulness dan keingintahuan mereka yang raw, dapat dengan cepat mereka kondisikan sebagai something yang jadi lebih dark dan dramatis. Bayangkan cerita dengan karakter anak-anak, tapi vibenya udah surealis dan sedisturbing body horror. In other words, selain arahan yang bertaring, film ini juga punya akting yang mengaum.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TIGER STRIPES.

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa haid itu berkembang menjadi seolah perkara yang tabu di masyarakat kita dan, apparently juga di Malaysia?

Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



EXHUMA Review

 

“..digging up the past has two sides: The pro is that you remember things you had forgotten about. Unfortunately, the con is the exact same thing. “

 

 

Perdukunan memang bukan cuma milik Indonesia. Tiap-tiap daerah punya kepercayaan yang beragam sehingga upacara dan praktik ritual spiritualnya pun berbeda-beda. Doa atau mantranya berbeda, ada yang pakai tari-tarian, ada yang pakai acara kesurupan. Selalu menarik membandingkan – melihat perbedaan dan mungkin ada sedikit kesamaan – antara ritual kepercayaan di tempat lain dengan di tempat kita. Apalagi Exhuma karya Jae-hyun Jang dari Korea Selatan ini tidak hanya bicara tentang klenik pengusiran setan. Melainkan, menjadikan elemen supernatural itu sebagai titik awal penggalian historis kebangsaan mereka. Jadi bukan hanya soal ritual perdukunan yang bisa kita dibandingkan di film horor ini. Setiap daerah, setiap bangsa, punya luka – punya koreng yang jika bisa jangan sampai tergaruk kembali – yang berbeda-beda.

Pasangan dukun pengusir hantu harus bekerja sama dengan seorang pengurus jenazah dan ahli geomancer (dari film ini aku baru tahu kalo geomancer itu artinya ahli feng-shui) saat mereka menerima kerjaan dari keluarga ‘old money’ KorSel yang tinggal di Amerika. Kerjaan bukan sembarang kerjaan. Sumber masalah keluarga yang dihantui itu bisa jadi adalah si kakek buyut yang dulu dimakamkan di sebuah bukit. Jadi, empat karakter sentral kita bermaksud melakukan penyucian dengan menggali makam tersebut, dan memindahkan jenazah. Namun upacara mereka yang awalnya tampak sukses itu membawa mereka kepada masalah yang bahkan lebih misterius dan lebih membahayakan daripada sekadar arwah penasaran.

review exhuma
Kalo film punya elemen, maka elemen film ini adalah ‘tanah’

 

Mengambil latar dunia modern, Exhuma memang tampak mengincar penekanan kepada perspektif masa sekarang diajak untuk looking back, atau katakanlah, menggali masa lalu. Film ini paham gimana fascinating-nya bagi kita untuk melihat lebih dekat tradisi ritual-ritual. Benturan dari keduanya itu digambarkan pula lewat desain karakter. Dukun yang tidak digambarkan kuno, melainkan sebagai anak muda yang modis. Lihat saja Hwarim dan Bong-Gil, mereka bisa digolongkan ke dalam anak muda keren, Mereka dibikin punya style khas tersendiri, semua adegan ritual yang mereka lakukan are always delight to see. Tertampil intense dan misterius, tapi juga tetap terasa anggun. Majestic. Begitulah mereka terpotret alih-alih tergambar sebagai dukun tradisional yang dituakan. Jikapun ada karakter tua, seperti Kim Sang Deok, si bapak ahli feng-shui, yang memang jadi karakter yang paling banyak tahu dan pemahaman terhadap apa yang sedang mereka tangani dan yang harus mereka lakukan, film memastikan karakter ini tetap unik dan tidak pernah menjadi hanya sekadar eksposisi.  Sudut pandang dan prinsipnya terus digali. Dia diberikan kebiasaan yang membuatnya mencuat dan memorable. Film berhasil membuat empat karakter sentral tidak stereotipikal ataupun tidak terlalu archetype. Karena bahkan anggota mereka yang fungsinya untuk peringan suasana pun, diberikan aspek menarik – bahkan ada adegan yang bermain-main dengan ekspektasi kita terhadap karakternya.

Permulaan yang sudah demikian baik, kita disuguhi arahan dan penulisan yang benar-benar tahu apa yang mau diutarakan, yang benar-benar punya ‘something’. Lalu datanglah resiko yang mereka putuskan untuk ambil. Exhuma, dengan cerita orang pinter yang mengusir setan; memecahkan misteri supernatural, melawan setan, dan saves the day, basically bisa dibilang masuk ke dalam format cerita kemenangan pahlawan-lah. Hollywood biasanya cerita-cerita kayak gini cetakan strukturnya adalah bagian mid-point adalah bagian ‘pertempuran pertama’; pada saat ini biasanya akan ada semacam kekalahan atau ketidakmampuan yang disadari oleh protagonis, sehingga nanti begitu masuk ke sekuen berikutnya – yang esensinya adalah sekuen downtime untuk regroup – mereka akan bersiap untuk masuk ke bagian ‘taktik kedua’. Exhuma tidak berjalan dengan format tersebut. Sendirinya membagi cerita ke dalam chapter-chapter, namun secara keseluruhan struktur kita dapat melihat mid-point di film ini adalah keberhasilan, dan sekuen regroup di sini adalah momen karakter merayakan kemenangan. ‘Taktik kedua’ atau ‘cara baru’ di film ini literally ada kasus lanjutan saat empat protagonis harus menyelesaikan masalah dengan setan yang sebenarnya. Saat mereka menyadari ada peti mati lain di dalam makam yang sudah digali tadi. Peti besar berbalut logam duri, yang dikubur vertikal. Hampir seperti, kalo di struktur Hollywood, ini adalah bagian false resolution di menjelang tamat. But it’s actually bahasan utuh. Kalo di game, katakanlah, Exhuma terasa seperti jadi dua bagian. Separuh awal seperti misi dalam mode easy, dan separuh terakhir seperti misi mode hard.

Shiftnya itu kerasa sekali. Karena pada dua bagian itu, film membahas ‘setan masa lalu’ juga dengan treatment yang berbeda. Di separuh awal kasus, mereka berhadapan dengan ruh kakek buyut keluarga klien yang terbebas ketika peti matinya yang hendak dipindahkan dibuka oleh orang yang tak bertanggungjawab. Ruh jahat atau hantu si kakek itu digambarkan oleh film tidak exactly secara fisik. Melainkan dia muncul sebagai sosok out-of-focus, terlihat selalu secara tidak langsung – paling sering lewat pantulan dari jendela atau semacamnya. Paling fisik dari hantu ini ya ketika dia masuk ke tubuh orang, membuat mereka melakukan hal-hal yang gak bisa dilakukan oleh manusia normal. Untuk masuk ke ruangan saja, hantu itu perlu untuk membujuk manusia untuk membukakan jendela. Sementara di separuh akhir, sosok setan yang harus dikalahkan literally muncul kayak creature atau monster (film ini menyebutnya siluman). Sosok prajurit zirah Jepang yang tinggi besar, yang bisa berubah menjadi bola api besar. Ada juga creature kecil berupa ular siluman, badannya ular, kepalanya amit-amit.

Abis nonton ini aku jadi mengkhayalkan death match antara Hakushi WWE lawan Bankai-nya Captain Komamura

 

Exhuma kaya oleh konteks dan subteks. Perbedaan treatment horor, ‘misi’ karakter, hingga tone keseluruhan pada dua bagian tersebut sejatinya merupakan perlambangan. Tindakan menggali kubur untuk proses penyucian itu sendiri pemaknaannya adalah menggali masa lalu, menggali sejarah di tanah mereka, yang berkaitan dengan proses healing. Ini juga terestablish dari dialog-dialog soal plotting tanah yang terus direcycle. Ketika para karakter menggali lebih lanjut, itu adalah perlambangan film juga menggali ke akar persoalan. Tentang masyarakat sosial modern mereka mengingat kembali trauma historis. Bagi kita yang bukan orang Korea atau juga mungkin tidak banyak tahu soal negara itu, jelas film ini bisa jadi pelajaran ekstra. Bahwa Korea Selatan dulu terlibat seteru dengan Jepang. Persoalan dua negara ini pun sudah sedari awal dilandaskan oleh film ketika Hwarim disangka orang Jepang oleh pramugari. Adegan yang ngeset Hwarim bisa berbahasa Jepang itu sekaligus juga menanamkan bahwa tentang dua negara inilah sebenarnya bahasan akan mengarah.

Masa lalu itu keras kepala. Kita kubur pun, masa lalu akan tetap berada di dalam sana. Menunggu orang yang tepat datang menggalinya. Dan thing about menggali masa lalu adalah, punya sisi baik dan sisi buruk. Sisi baiknya kita bisa mengingat kembali sejarah. Sisi buruknya, well,  kita jadi teringat kembali sejarah. Yang pasti ada alasannya untuk ingin dilupakan in the first place. Film ini menunjukkan, dalam balutan wacana tanah yang makin sekarang semakin dijual-jual begitu saja kepada orang kaya (sultan brengsek), bahwa kini adalah urgen untuk mengingat kembali luka itu demi persatuan mereka.

 

Melihat lewat lensa desainnya tersebut, kita jadi bisa sedikit meraba apa yang sebenarnya diincar dari film membuat plot seperti terbagi dua (dalam konteks tanah, aku jadi membayangkan sesar normal saat memikirkan alur film ini) Pertama, film ingin audiens negaranya untuk bercermin. Hantu kakek yang seringkali berupa pantulan/cerminan seperti perlambangan bahwa hantu masa lalu itu adalah masing-masing mereka secara kolektif. Like, film ingin bilang bahwa yang terkubur di tanah itu adalah milik mereka bersama, baik maupun buruknya. Their land of South Korea. Dan tanah tersebut sekarang dihantui, seperti dulu pernah ‘dihantui’ oleh momok bernama Jepang. Perayaan individu di mid point film tadi adalah pengingat mereka harus menggali lebih dalam, karena momok itu bisa saja kembali. Jadi ancaman yang nyata. Seperti siluman prajurit Jepang kembali menapak di hutan mereka. Perjuangan fisik empat karakter sentral di akhir, mencari pasak, ngasih sesajen ikan, pake kerja sama dengan ilmu dukun segala cabang, demi mengalahkan si siluman adalah hal yang harus mereka lakukan untuk menjaga tanah atau negara mereka. Bahwa mereka harus bekerja sama dan menjadi layaknya keluarga, seperti gimana empat karakter sentral ended up di akhir cerita.

Walau bergerak dengan mantap terukur di dalam desain dan konteksnya, resiko tetaplah sebuah resiko. Pembagian dua bentuk horor tersebut toh terasa sangat drastis, dan pergeseran tone tersebut dapat terasa mengganggu bagi penonton. Setidaknya, membuat penonton jadi membandingkan. Bagian mana yang lebih asik, atau bagian mana yang lebih ‘bosan.’ Film sebenarnya melakukan pengembangan dengan sangat baik. Well-designed. Kita melihat karakter sentral mencapai puncak vulnerabilitas masing-masing saat melawan si siluman di paruh akhir, dramanya enakan di paruh akhir, hanya saja paruh ini akan kalah seram ketika penonton membandingkannya dengan paruh awal. Saat film mengerahkan craftnya maksimal untuk membangun adegan-adegan horor. Adegan-adegan yang lebih mudah dicerna dan dirasakan kengeriannya oleh sebagian besar penonton. Sementara bagian melawan siluman terasa lebih bombastis, dan meskipun memang film lebih cenderung bersandar kepada efek praktikal yang juga well-done, dua hal yang sebenarnya tetap saling menyambung akan terasa seperti dua hal yang kontras berbeda oleh penonton.

 

 




Horor jadi terasa so much more ketika ketakutan kita terhadap hantu atau setan dijelmakan dari momok lain yang lebih ‘real’. Film ini mengambil apa yang mungkin sedang dirisaukan oleh si pembuat pada negaranya, hal urgen yang menurut dia penting untuk dibicarakan, dan mengolah itu ke dalam bangunan horor paranormal. Hasilnya lebih kaya. Tujuan untuk menampilkan hiburan dari horor-horor pengusiran setan, tercapai. Bentuk-bentuk lokal dari budayanya tersiar. Sementara gagasannya tadi tertanam kuat membayangi di balik narasi. Arahan dan penulisan film ini kuat, banyak adegan memorable yang hadir di sini, also film ini bergerak dalam desain yang berani mengambil resiko. Ceritanya yang tersusun dari beberapa chapter terasa seperti patah menjadi dua bagian – meskipun sebenarnya dua bagian ini kontinu membentuk gambaran besar yang menunjukkan sebuah development penyadaran.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for EXHUMA.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian topik sosial-politik apa di Indonesia yang belum ada yang garap padahal cocok banget dijadikan cerita horor?

Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PASAR SETAN Review

 

“Do what you must, and pay the price if you’re wrong”

 

 

Harus mencari penampakan beneran, demi menyelamatkan channel vlog. Yup, that’s where we at now in terms of premise cerita sebuah horor hiburan. Namun bahkan goal yang konyol dan stake yang sama sekali tidak bikin kita peduli itu pun tidak benar-benar dijambangin oleh karya debut layar lebar Wisnu Surya Pratama ini, karena ada cerita lain yang membungkusnya. Yakni tentang kepala polisi yang menyelidiki kasus kematian para vlogger tersebut di dalam hutan kaki Gunung Salak. So yea, Pasar Setan actually punya elemen yang membuatnya semacam True Detective: Setan Country. Dan ‘setan’nya as in, “Setan, film apaan nih!?”

Cerita sekelompok vlogger yang nekat mencari Pasar Setan, mitos gaib yang sudah merakyat dishoe-horn ke dalam cerita investigasi polisi yang gak punya bahasan inner juga sebenarnya selain mendebat soal realistis vs. percaya tahayul, dan gak ngapa-ngapain selain nontonin rekaman para vlogger yang ditemukan. Jadi itu jugalah yang kita tonton. Kepala Polisi bernama Rani jengkel karena kasus sekelompok anak muda yang tewas di hutan itu malah ditangani secara gak masuk akal oleh bawahannya. Seorang gadis satu-satunya yang selamat dari kejadian misterius tersebut, si Tamara, malah ditangkap oleh warga lokal. Jadi Rani membawa Tamara ke kantor, merawat sekaligus menginterogasinya. Karena bukti-bukti digital yang ia tonton belum cukup jelas menjawab kenapa teman-teman Tamara yang lain tewas. Tapi kesaksian Tamara – dia adalah host di acara misteri yang di ambang kena cancel lantaran ketahuan bikin konten palsu, dan itulah yang menyebabkan Tamara and the genk nekat mencari Pasar Setan dan beneran ‘diserang’ hantu-hantu yang dipimpin oleh Nyi Salimah – ternyata berbeda dengan video yang dia amati. Rani harus mengambil keputusan terkait Tamara, karena warga yang percaya gaib mulai mendatangi kantor dan meminta masalah Tamara untuk diselesaikan oleh ‘hukum’ mereka.

Ternyata ada karakter kepala polisi yang lebih annoying dan less-charismatic daripada karakter Jodie Foster di True Detective

 

Kita akan berpindah-pindah dari kejadian yang dialami menurut sudut pandang Tamara, ke ‘aksi’ marah-marah si Rani, lalu ke beberapa video yang ditonton Rani. Dan selain lensa grainy yang lebih natural dan rasio vertikal – yang aku gak tahu apakah itu YouTube short/Instastory/TikTok karena ku memang kurang familiar sama format itu – film tidak pernah benar-benar memberikan treatment yang berbeda terhadap perpindahan tersebut. Kita gak yakin, mana yang beneran terjadi, mana yang cuma cerita Tamara, mana yang ditonton oleh Rani. Mungkin ini taktik sutradara untuk melingkupi ceritanya dengan aura misteri, supaya kita juga terlibat dalam investigasi si Rani. Tapi jika dilihat dari gimana bentukan cerita, clearly yang diincar naskah adalah dramatic irony dari kita tahu Rani ngotot mengusahakan hal yang normally benar, tapi untuk kasus Tamara ini, dia salah. Sehingga arahan film ini terasa missing the point.

Sepanjang menonton, ada sense bahwa film ini sebenarnya mengincar gimmick found footage, ataupun penceritaan dengan pov kamera kayak Keramat. Ada beberapa dialog yang membuild up soal kamera yang dipegang karakter harus tetap merekam semua kejadian, bahkan di kantor pun ada seorang polisi yang diperintah oleh Rani untuk terus standby merekam proses investigasi. Namun bahkan gimmick pov ini juga gak pernah benar-benar dimekarkan. Karena sebagian besar film masih berlangsung seperti biasa aja. Dengan sudut pandang seperti film-film normal. At this point, aku lantas ngerasa sutradara just didn’t care. Dia kayak setengah-setengah dalam mewujudkan visinya. Arahan yang paling serius dilakukan cuma untuk jumpscare. Di aspek ini film cukup lumayan. Ngebuild up adegan penampakan dengan suasana gelap-terang. Dengan suara-suara hutan, ataupun suara-suara hantu, suasana horor di pasar mistis itu kerasa. Lalu ketika Nyi Salimah muncul – serta hantu-hantu lain dengan desain cukup unik dan beragam – kita bakal langsung melek oleh kaget-kagetan. Yang bikin aku takjub cuma satu, tau-tau di pasar tradisional gaib itu ada pisau guillotine hahaha

Biasanya memang trik jumpscare ini bare minimum-lah buat horor lokal. Biasanya masih bisa berhasil bikin penonton puas dan melupakan naskah yang dangkal. Masalahnya, Pasar Setan narasinya juga kacau. Urutan kejadian yang tampil di film ini enggak selurus, enggak sesatu perspektif Rani seperti yang tadi kutulis di sinopsis. Film ini actually dibuka dari sudut pandang Tamara dan grupnya yang sedang berembuk mau bikin konten apalagi setelah mereka dihujat karena ketahuan pake hantu palsu. Seolah ini adalah perjalanan Tamara untuk redeem herself, seolah ini perjuangan grup itu untuk menjadi mungkin semakin akrab, menyelesaikan masalah internal. Ternyata kan tidak. Grup ini bukan karakter, mereka cuma bagian dari misteri yang harus dipecahkan oleh Rani yang sebenarnya lebih fit sebagai journey karakter utama. Hanya saja Rani ini one-dimensional bukan main. Dia gak punya background seperti halnya karakter utama. Yang punya, ya si Tamara. Tapinya lagi, naskah tidak bercerita sebagai kisah perjuangan dia. See, kacau kan narasinya. Ini kayak dua cerita, lalu digabungkan dengan cara kedua ceritanya dipecah-pecah untuk menghasilkan even more surprises, dan melupakan ground work yang mestinya dikembangkan.

review pasar setan
Kalo memang pengen twist, sekalian aja judulnya Pasar Kaget

 

Jika pengennya jadi cerita Tamara, maka harusnya goal dan stake mereka itu diperdalam lagi. Misalnya, kayak di film Agak Laen (2024), grup karakternya pengen rumah hantu mereka sukses, dan film itu membuild up alasan kenapa rumah hantu itu penting bagi mereka. Personal mereka digali, bahwa mereka adalah orang kecil yang cumak bisa kerja di profesi yang laen seperti itu. Opsi mereka sudah diset up terbatas. Rumah hantu itu jadi satu-satunya taruhan mereka. Begitupun misalnya dengan horor found footage Hell House LLC (2015), yang juga tentang sekelompok anak muda yang ingin rumah hantu mereka sukses. Bahwa kerjaan mereka sebagai kru rumah hantu itu sudah dibangun sebagai hal yang personal dan mereka memang harus stay dan gak boleh gagal di kerjaan itu. Sedangkan di Pasar Setan ini, kerjaan Tamara dan kawan-kawan sebagai konten kreator atau vlogger channel horor itu tidak dilandaskan urgensi dan kepentingan personalnya. Kenapa mereka yang masing-masing masih muda, atraktif, dan sehat itu harus bergantung kepada nama baik channel. Kenapa mereka gak pivot ke konten lain aja. Kenapa solusi yang terpikir oleh mereka adalah nyari ‘hantu beneran’ – ini kan sangat tidak masuk akal, seolah yang dibangun adalah dunia cerita yang hantu itu nyata – kenapa gak dari dulu mereka pake hantu beneran. Di tengah film sebenarnya ada momen ketika masing-masing teman Tamara curhat soal motivasi dan goal mereka, hanya saja di titik itu – oleh karena bangunan cerita yang pindah-pindah aneh tanpa ritme jelas – mereka cuma ngeluh dan berantem gak jelas, sehingga kita pun udah gak lagi bisa mendorong diri untuk peduli kepada mereka. Ataupun merasa bisa mempercayai kata-kata mereka.

Karakter-karakter dalam film ini punya kepercayaan masing-masing yang dengan teguh mereka pegang. Rani yang percaya pada hal logis ingin mengungkap kasus di gunung itu sebagai pembunuhan. Warga desa percaya itu adalah peristiwa gaib. Kameraman Tamara cuma tahu ini adalah soal kerjaan dan dia berusaha nyelesaikan kerjaan.  Bagi Kevin yang penting adalah cuan. Jadi, mereka bertindak mengikuti kepercayaan itu. Dan mereka  bakal membayar jika nanti yang mereka percaya adalah hal yang salah. Dan kadang, juga saat mereka benar. Semua ada price-nya. Kepercayaan itulah ternyata hal yang diperjual-belikan dalam Pasar Setan.

 

Tanpa adanya kedalaman, dan galian yang harus mengalah bangunan cerita dan pada usaha supaya ada twist, maka ketika naskah mencoba untuk mendevelop karakter menjadi tidak satu-dimensi pun, jadinya malah kayak sebuah inkonsistensi pada karakter. Misalnya ketika menjelang akhir, Kevin jadi peduli sama Tamara “Kalo lu ke sana sendirian, lu cari mati namanya”, padahal sebelumnya dia pernah menyuruh Tamara pergi sendirian ke lokasi Pasar, malam-malam, buat ngerekam konten mencari kameraman yang hilang. Perubahan Kevin yang tadinya culas itu tidak terlihat seperti development melainkan lebih kayak naskah tidak konsisten. Karena memang jarang juga ada waktu untuk mereka terdevelop, karena momen kita pindah ke melihat mereka itu oleh bangunan film selalu adalah momen-momen cerita harus ‘naik’ alias momen horor seru. Momen cerita ‘turun’ ditugaskan kepada bagian cerita Rani di kantor polisi.

 




Kayaknya, sejauh ini, dari film-film IDN yang pernah aku tonton dan review, film ini yang paling ‘jauh’. Semua aspeknya terasa, bukan mendua, lebih tepatnya setengah-setengah. Arahannya seperti setengah hati mau jadi film dengan gimmick pov shot, atau kayak found footage. Naskahnya terasa immature, ceritanya setengah hati mau bahas tentang investigasi polisi skeptis, atau mau tentang perjalanan anak muda ke hutan di kaki gunung. Yang by the way, gak pernah terasa perjuangannya karena mereka naik mobil, jalan kaki ke sana sebentar (dengan karakter ngeluhnya minta ampun), dan ketika sampai pun nemuin pasar yang mestinya mitos itu gampang. Dan pasarnya, selain karena suara-suara seram itu, tidak terasa benar identitasnya. Kayak tempat seram aja. Sebagai anak geologi yang dulunya cukup akrab dengan bahasan naik gunung, film ini buatku tidak terasa membuatku jadi bernostalgia ke pengalaman ataupun cerita-cerita tentang pasar itu.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for PASAR SETAN.

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian punya pengalaman seram saat naik gunung?

Silakan share ceritanya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



POOR THINGS Review

 

““God’ is whatever is the next obvious step towards wholeness in yourself and your life; ‘Ego’ is whatever within you stops you taking it.””

 

 

Bikin film adalah urusan menciptakan dunia. Ketika bikin karakter amnesia dirasa terlalu kacangan sementara bikin karakter alien sepertinya terlalu pasaran, maka sutradara Yorgos Lanthimos sekalian saja membuat dunia reka yang totally menantang akal sehat, supaya karakternya yang gak punya ingatan dan perjalanan yang ditempuhnya menuju aktualisasi-diri itu dapat terlaksana dengan spesial. Tapi meskipun dunia ceritanya kali ini aneh, dunia tersebut toh masih ada sama-samanya ama dunia kita. Karena di situ juga banyak makhluk-makhluk malang yang hidup di dalamnya. Dan sebagai drama komedi, yang paling lucu dari film ini adalah,  bahwa persepsi kita tentang siapa yang ‘makhluk malang’ – The Poor Things itu – akan berubah. Akan berbeda di akhir cerita.

Pernah dengar paradoks Kapal Theseus? Misalkan Kapal A, satu persatu secara bertahap bagiannya diganti dengan bagian yang baru, apakah kapal tersebut ketika semua bagiannya sudah baru, masih bisa disebut sebagai Kapal A? Lalu lantas jika bagian-bagian lamanya tadi dikumpulkan, dan dibangun kembali menjadi kapal dengan bentuk yang persis sama seperti sebelumnya, apakah hasil kapalnya itu bisa disebut kapal A? Mana yang kapal A sebenarnya di antara dua kapal ini? Paradoks tersebut mengulik soal makna identitas, dan mirip seperti itu jugalah cerita film Poor Things. Protagonis utamanya, yang diperankan dengan lugas dan berani oleh Emma Stone, adalah seorang perempuan yang  fisiknya dikenali oleh beberapa konglomerat sebagai Victoria, tapi dia sendiri tahunya dia bernama Bella Baxter. Gadis yang dibesarkan oleh seorang ilmuwan bernama Godwin, yang ia panggil dengan simply “God”. Dan memang persis seperti God – Tuhan-lah sosok Godwin bagi kehidupan Bella. Karena perempuan berambut hitam panjang itu actually diciptakan Dr. Godwin dari mayat Victoria yang otaknya diganti sama otak bayi dari dalam kandungan Victoria sendiri. Jadi Bella, tanpa maksud merendahkan, adalah freak of nature. Awalnya dia polos kayak anak-anak baru belajar bicara, Godwin-lah yang mengajari dia banyak pengetahuan. Tapi kelamaan, Bella mulai berani memilih jalan hidupnya sendiri. Selama ini gak boleh keluar rumah, dan dijodohkan sama asisten Godwin, Bella minta ijin untuk pergi bertualang melihat dunia luar. Walaupun orang-orang yang dia temui mencoba untuk – in some ways bisa disebut mengekang – Bella percaya dirinya adalah identitas utuh yang baru, yang punya pilihan dan keinginannya sendiri.

review poor things
Mereka yang aneh ini, anehnya, menurutku terasa seperti Kurotsuchi Mayuri dan Nemu versi yang lebih manusiawi

 

Bella hidup di London, dari kostumnya seperti di era Victorian, tapi teknologinya dunia Bella seperti bahkan lebih ‘canggih’ dari dunia kita. Canggih dalam artian absurd haha.. Like, jangan bayangkan ilmuwan Dr. Godwin seperti ilmuwan steril dan terpelajar. Godwin more like a mad scientist. Di rumahnya berkeliaran hewan-hewan ajaib seperti ayam berkepala babi, ataupun angsa berkaki empat. Kalo Godwin bersendawa, yang keluar bukan angin. Tapi gelembung kayak gelembung sabun. Dunia ini tentu saja difungsikan sebagai konteks yang memungkinkan cerita perempuan hasil transplant otak ini dapat bekerja, tanpa kita harus merisaukan perkara etika ataupun kelogisannya. Karena film selalu nomor satu adalah soal konteks. Terms seperti ‘retarded’ yang boleh saja secara moral kita terkesan degrading, akan terasa jadi ‘tak mengapa’ ketika kita sudah dilandaskan betul karakter yang menyebut term tersebut. Perspektif dan karakterisasi film ini mengalir kuat dari gimana tegas dan tanpa sungkannya ‘suara’ para karakter divokalkan. Ilmuwan yang dari luar tampak kurang etis, tapi ternyata punya sisi parenting yang humanis – eventho sisi itu ditempa dari kelamnya perbuatan yang ia terima di masa kecil. Dan Bella, dia dibuat seperti orang yang melihat dunia sebagai orang dewasa tapi dengan pandangan ‘polos’ anak kecil yang melihat dan ngalamin semua hal sebagai untuk pertama kali. Karakter Bella jadi ruang bagi film untuk menelisik sistem sosial yang cenderung patriarki, sehingga film bisa membenturkan banyak nilai feminis yang diharapkan membawa perbaikan dengan sistem yang mengukung. Lihat saja ketika film membuat solusi keuangan Bella di Paris adalah dengan bekerja di rumah bordil.

Dengan melandaskan dunia yang absurd, dan mindset ‘ilmuwan’ sebagai basic dari karakternya, film meminta kita untuk meninggalkan kacamata etika dan purely menyelam ke dalam pikiran Bella yang delevoping concern sesuai dengan yang ia lihat dari sekitar. Untuk experience tersebut, film gak segan mengganti lensa tanpa tedeng aling-aling sepanjang cerita. Kadang gambar yang kita lihat seperti melingkar, hampir kayak fish-eye. Kadang pemandangannya begitu wide. Kadang kita notice kamera ngezoom membuat sekeliling blur. Ini sebenarnya menyesuaikan dengan sense penasaran dan eksplorasi yang sedang dialami oleh Bella ketika dia melihat dunia. Pun, film menggunakan kode warna yang selaras dengan pandangan Bella. Di babak awal film, ketika Bella paling terasa kayak anak polos, yang gak boleh keluar rumah, yang cuma bisa tantrum ketika dilarang, layar film tergambar hitam putih. Tanpa warna. Namun begitu Bella mulai kenal sensasi kewanitaan, begitu dia keluar rumah menemukan segala sesuatu yang baru, begitu dia ngerasain yang namanya ‘furious jumping’, layar yang kita lihat meledak oleh warna. Teknik kamera dan coloring yang digunakan ini selain memvisualkan development karakter Bella, tentu juga bekerja sama efektifnya memperkuat kesan dunia absurd dan komedi pada cerita. Dengan setting dunia yang boleh saja terasa amat aneh, tapi Poor Things could not be any clearer dalam menyampaikan tema soal identitas dan self-actualization dari sudut pandang perempuan.

Menjadi diri sendiri di tengah dunia yang terus-terusan meminta kita untuk menjadi sesuatu yang lain, yang terus-terusan mendorong kita untuk mengikut keseragaman, yang terus-terusan mengingatkan kita untuk tahu diri – tidak melupakan dari mana kita berasal – jelas adalah suatu perjuangan yang berat. Bella Baxter memperlihatkan ini kepada kita. Dirinya  disuruh untuk realistis. Untuk berhenti berharap. Puncaknya, Bella disekap, akal dan nafsunya akan dirampas darinya. But they didn’t stop her.

 

Development Bella kerasa banget. Cara film bercerita pun dibuat ngikut dengan perkembangan itu. Ketika nalar Bella masih ‘bayi’, film ngambil resiko dengan seolah cerita ini dari sudut pandang Max, mahasiswa yang dimintai tolong jadi asisten di rumah mereka oleh Dr. Godwin. Cerita seolah dimiliki oleh Max dan Dr. Godwin, dua orang yang meneliti perilaku Bella. Perlahan, status mereka tersebut tergantikan. Dengan subtil – namun tegas – Bella mulai mengambil alih komando cerita. Dia mulai berani menyuarakan keinginan. Dia mulai berani mengambil aksi. Hingga di akhir babak satu, Bella membuat keputusan otonom. Ikut Mark Ruffalo ke luar negeri. Dari segi akting pun development Bella menguar, tadinya Bella dimainkan oleh Emma benar-benar limited. Ya dari kosa katanya, maupun dari geraknya. Tapi seiring identitasnya bertumbuh, raganya pun terisi dengan semakin matang. Bella using big words, sering mengutip bahasa-bahasa buku yang ia baca, gesturenya semakin percaya diri. Dominasi lelaki di sekitarnya pun, kita rasakan semakin mengendor. Dari sinilah film sebenarnya perlahan ngasih development sarkas yang ultimate. Bahwa yang dimaksud oleh judul sebagai Poor Things ternyata bukan Bella. Ternyata bukan perempuan yang hidupnya ditekan, diatur, diejakan oleh standar yang terbentuk dari kuasa laki-laki. Melainkan, ya, laki-laki itulah the real poor things.

Madame ngajarin Bella nasihat yang maknanya literally ‘Berani kotor itu baik’

 

Setiap manusia memang fight their own battle, dengan kondisi yang memaksa dan menantang mereka. Film dibuka dengan Emma Stone terjun dari jembatan, membuat kita membatin “kasihan sekali dia”. Kemudian adegan berikutnya kita melihat dia seperti orang yang cacat mental. Tapi di akhir cerita, Bella yang telah menyadari kekuatan dan tujuan dari eksistensinya menunjukkan kepada kita bahwa laki-laki seperti Duncan yang cengeng, Harry yang gak berani berharap, God yang bahkan gak bisa mengelak dari kematian dan lebih butuh dirinya ketimbang dia butuh Godwin, dan Alfie yang literally ditulis oleh naskah sebagai manifestasi traits terburuk dari lelaki; mereka-lah yang lebih malang. Bukan perempuan yang beraksi demi kebebasan menjadi dirinya sendiri itu yang kasihan. Adegan di akhir, ketika Bella ngajak Max nikah. Bukan hanya pembalikan dari momen di awal, tapi dari adegan tersebut terasa sekali ada shift. Max is the good one, ‘dosanya’ cuma dia tak pernah berani ‘nembak’ langsung. Kini justru Bella yang bukan saja sudah jadi ekual, tapi juga memegang kendali.

Di tangan naskah yang kurang cermat, karakter seperti Bella ini bisa terkesan sebagai terlalu ideal. Membuat cerita jadi pretentious, atau malah terlalu dibuat-buat. Terlalu muluk. Hal itu tidak pernah terasa ada pada Poor Things. Karena nyalinya tadi untuk menggali Bella sebagai orang dewasa yang melihat dunia dengan pemikiran seperti anak kecil. Semua dicoba. Pengen tahu apapun hal yang baru. Kemauannya harus dituruti. Ini oleh naskah dijadikan cela yang menambah layer karakternya itu sendiri. Yang akhirnya membentuk desain film seperti apa. Film jadi vulgar, lancang, bikin kita gak nyaman, sometimes degrading. Tapi lewat semua itulah pembelajaran Bella berlangsung. Enggak ada dunia yang sempurna. Bahkan dunia seabsurd ini pun tidak bisa sempurna. Bella tahu itu, dia akhirnya tahu salah dan benar, tapi juga dia tahu apa yang lebih penting dari itu. Yaitu untuk menjadi diri sendiri, dan terus berharap dan berusaha dirinya bisa mengubah dunia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada yang sempurna, tapi semua orang mestinya berjuang untuk menjadi lebih baik. Ah, ini pandangan ilmuwan sejati. Godwin pasti bangga pada Bella!

 

 




Akhirnya, semua film nominasi Best Picture Oscar 2024 sudah rampung semua direview di blog ini. Dan kurasa somehow tepat film ini jadi film penutup karena in some ways, film ini seperti gabungan dari film-film tersebut. Weird, hitam-putih, karakter yang dealing with siapa dirinya – apa yang ia kerjakan, sound desain dan dunia yang ajaib, dinamika relationship yang berpusat pada relasi kuasa perempuan dan laki-laki. Mungkinkah film ini yang bakal menang? Itu terserah Academy sepenuhnya.  Tapi yang jelas, drama komedi romance ini merupakan sebuah perjalanan dari karakter dengan sudut pandang dan suara yang kuat. Penulisannya pada development karakter juga kuat sekali. Film ini boleh saja aneh, tapi pesannya akan sangat tegas dan bisa kita cerna dengan relatif mudah. Dan film ini tak pernah jadi pretentious dalam melakukan hal tersebut. Also, film ini punya banyak penampilan akting yang menarik. Unik. Yang bikin kita gak nyangka aktornya berani melakukan itu. 
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for POOR THINGS.

 




 

 

That’s all we have for now.

Apa menurut kalian tindakan Bella nge-transplant otak kambing ke mantan suaminya hanyalah sebuah balas dendam, atau sebuah statement? Statement apa kira-kira? 

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 15 (SINDEN GAIB, THE ANIMAL KINGDOM, ORION AND THE DARK, NO WAY UP, SUNCOAST, #OOTD: OUTFIT OF THE DESIGNER, NIGHT SWIM, MEMORY)

 

 

Februari kita boleh saja mengecewakan karena 14 Februari yang bikin ‘blue’, namun kompilasi edisi kali ini meski dominan biru juga, at least bakal bikin terhibur juga. Karena itulah hebatnya film. Tidak perlu ‘bagus’ untuk menghibur. Tapi juga jangan salah, daftar ini juga memiliki beberapa film yang sukses jadi bagus dan menghibur. Mari kita lihat satu-satu

 

 

#OOTD: OUTFIT OF THE DESIGNER Review

Debut penyutradaraan aktor Dimas Anggara ini menawarkan sesuatu, tapi berakhir menjadi sesuatu yang lain.

Dari gimana ceritanya dimulai, film ini tampak seperti kisah mahasiswi desainer di luar negeri yang ingin menyelesaikan pagelaran fashion yang mencuatkan nilai budaya tanah air, sebagai tugas akhir kuliah. Aku menikmati, sebenarnya, cerita di awal-awal ini. Karena walau bukan film fashion pertama, tapi setting dan perspektifnya toh memang menarik. Melihat Nare-nya Jihane Almira berusaha mencari ide, bersosialisasi dengan teman-teman modelnya, menjalin romansa dengan fotografer. It is a nice change of pace-lah, meskipun secara arahan belum tajem karena adegannya banyak yang masih terasa kayak sekadar lintasan klip berlatar bagus (Lagu latar yang itu-itu melulu bakal bikin kita either ngakak atau jengkel setengah mati). Tapi kita peduli karena challenge yang harus dikerjakan protagonis menarik, sementara soal latar belakang keluarga antara dia dengan cowoknya juga dibuild up seolah bakal jadi konflik utama nantinya.

Ternyata, konflik utama film romance ini bakal beda lagi. Hubungan mereka mendapat tantangan ketika Nare ‘bablas’ saat mabok di pesta. Bahasan atau penanganan konfliknya sebenarnya gak buruk, menurutku lumayan sudut pandang baru juga dari bagaimana Nare menghandle situasinya. Like, kalo yang menimpa dia terjadi di dalam negeri, pada karakter yang lifestylenya ketimuran, mungkin choice actionnya bakal beda. Jadi, poin plus sebenarnya adalah film ini bener-bener ngasih sudut pandang asimilasi dari Nare yang orang Indonesia tapi punya cara pandang yang lebih, katakanlah, barat. Cuma, ya itu, film ini kayak masih banyak sekrup yang longgar. Dari naskahnya juga masih melebar sehingga jadi kayak dua cerita dalam satu, alih-alih melebur dengan mulus.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for #OOTD: OUTFIT OF THE DESIGNER

 

 

MEMORY Review

Orang yang gak bisa lupa, bertemu dengan orang yang pelupa. Kalo ini film komedi, mungkin premisnya cukup segitu. Tapi yang dibuat oleh Michael Franco bukan komedi, jadi seolah premis tadi dia kasih layer terus. Dan jadilah sebuah kisah cinta paling menyembuhkan yang bisa kita tonton tahun ini. Seorang perempuan yang masih dibayangi trauma dari kekerasan seksual yang dia alami waktu kecil, bertemu dengan pria dengan gangguan dementia.

Cara film menangani yang diderita oleh masing-masing karakter, benar-benar subtil tapi lantang. Aku gak ngerti gimana ungkapannya yang tepat haha.. tapi di sini kita sekali lihat karakternya Jessica Chastain, kita tahu dia punya trauma dan itu bikin efek gak enak ke kehidupannya sekarang, ke orang-orang sekitarnya sekarang. Film gak ragu menggali ke keluarga, tapi juga gak lancang dalam melakukannya. Timing penceritaannya begitu pas. Pertama kali Sylvia itu dan Saul ketemu, aku sampe rasanya gak sanggup nonton karena di awal itu Sylvia yakin Saul adalah kakak senior yang dulu pernah melecehkan dirinya di sekolah. Dan akar trauma Sylvia bahkan bukan peristiwa di sekolah. Film ini ngehandle segitu besar dan banyaknya raw emotions. Dan perlahan emosi-emosi itu digodok, dileburkan, diademkan

Makanya ngeliat relationship mereka terbentuk tu rasanya healing banget. Walau mungkin kita gak ngalamin yang tepatnya terjadi kepada karakter, tapi kita bisa ikut merasakan healing-nya mereka, have found each other like that. Nonton film ini kayak ngeliat kayu bakar kebakar api, tapi perlahan apinya padam, dan berangur kayu tersebut tumbuh lumut dan daun-daunnya menghijau kembali.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MEMORY

 

 

 

NIGHT SWIM Review

Keluarga pindah ke rumah baru, rumah tersebut ada kolam renang – yang perfect buat terapi kaki ayahnya, dan buat tempat bersantai dua anaknya – tapi ada sesuatu pada air di kolam tersebut yang menarik orang-orang tenggelam ke dalamnya.

Cerita horor keluarga yang sebenarnya simpel. Level enjoyablenya setara-lah dengan cerita-cerita horor di buku Goosebumps. Namun sutradara Bryce McGuire ternyata menemui kesulitan mengembangkan horor ini, kesulitan membuat bagaimana kolam tersebut seram tanpa membuat adegan-adegannya terasa repetitif dan makin ke sini semakin kayak mengada-ada. Jika kita melihat drama keluarga di baliknya, kita bisa melihat sumber masalah dari penceritaan film ini. Sudut pandangnya. Bayangkan jika The Shining tokoh utamanya bukan Jack Torrance. Bayangkan jika kita hanya melihatnya sebagai orang yang jadi gila dan pengen membunuh keluarganya, tanpa benar-benar kita dibuat menyelami kenapa dia bisa begitu. Kayak ‘skenario’ itulah Night Swim bekerja. Film ini anehnya, justru berpindah dari galian sudut pandang ayah ke ibu, begitu ayah mulai berperilaku aneh.

Jadi kentara kenapa film ini horornya gak kerasa, malah cenderung membosankan. Karena siapa juga yang bisa membuat tiga orang ‘dikerjai’ oleh kolam renang, tanpa membuatnya jadi itu-itu melulu. Penggalian harusnya datang dari karakter Ayah. Horor harusnya datang dari konflik dia yang ingin sembuh dan tertarik nurutin ‘kata-kata’ kolam, tapi tradenya keselamatan keluarga.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for NIGHT SWIM.

 

 

 

NO WAY UP Review

Satu lagi film horor/teror di air, dan sayangnya film yang satu ini juga enggak bagus. But at least, Claudio Fah tahu dia sedang bikin cerita yang konyol, sehingga film hiu ‘masuk’ pesawat ini berjalan mantap di garis standar rendahnya tersebut.

Karena bagaimana pun situasinya, dimangsa hiu tetaplah sebuah kejadian mengerikan yang gak ada satu orang pun yang mau terjadi kepadanya. Menambahkan setting pesawat yang tenggelam – dengan beberapa korban masih hidup dan harus segera berenang ke permukaan sebelum pesawat beneran terjun ke dasar – hanya akan menambah hal-hal tidak masuk akal yang harus dilandaskan Fah sebagai pembuat film kepada kita. Ya pada intinya, sebenarnya film ini sama kayak pesawat di air itu. Udah gak ketolong. Sutradarnya cuma bisa ngasih something supaya kita sedikit lebih betah.

Dan apa yang dia kasih? background karakter yang sebenarnya menarik – protagonis anak presiden, yang liburan  sama temen-temen, tapi bawa-bawa bodyguard. Ada anak kecil sama kakek neneknya yang veteran di medan perang. Dua karakter itu berusaha dijadikan simpatik, sementara karakter-karakter lain tipikal karakter annoying yang berusaha ngelucu, atau teriak-teriak ribut sepanjang waktu. Bare mininum, yang akhirnya tercoreng dan gak jadi menarik juga karena annoying. Dan bahasan karakter yang dangkal.

The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for NO WAY UP




ORION AND THE DARK Review

Seorang anak kecil, bisa takut gelap. Takut bicara di depan kelas. Takut menyapa anak yang disukai. Takut jatuh dan terluka saat bermain. Takut dimarah orangtua. Banyak deh pokoknya hal yang bisa bikin takut anak-anak. Dan Orion and the Dark, supposedly adalah cerita petualangan yang bakal ngajarin anak untuk menumbuhkan keberanian dengan menghadapi rasa takut, bukan menghindarinya. Sementara itu, aku rasa fair juga kalo kita bilang, orang dewasa juga bisa ngalamin ketakutan yang sama (karena rasa takut saat kecil itu belum ‘sembuh’) Jadi mungkin itulah sebabnya film adaptasi karya Sean Charmatz ini kayak bingung, dirinya untuk anak kecil atau orang dewasa.

Aku senang sekali kreativitas film ini. Konsep kegelapan adalah makhluk, bahwa dunia malam penuh oleh makhluk-makhluk lain yang bekerja menjaga kestabilan alam dan bikin manusia tidur untuk istirahat, bahwa malam atau siang punya fungsi masing-masing, dan sama pentingnya, digambarkan menjadi karakter-karakter yang sangat imajinatif. Yang aku kurang sreg adalah bangunan cerita film ini. Film seperti pull the rug ketika di akhir babak pertama, cerita Orion adalah kisah yang sedang diceritakan Orion dewasa kepada putrinya. Like, kenapa gak sedari awal saja di set up ada anak perempuan yang sedang ‘dibacain’ cerita oleh Orion. Film ini pun jadi semacam mendua kayak OOTD tadi, apakah ini beneran tentang anak yang takut gelap, atau tentang orang tua yang sedang berusaha bonding dengan anaknya lewat mengarang cerita bersama.

Bahasan-bahasan itu memang akhirnya diikat juga oleh film sebagai satu bangunan cerita. Tapi tetap saja, untuk bercerita kisah untuk orang tua dan anak ini, Orion and the Dark memilih cara yang paling ribet – dan justru menyuapi penonton dengan pertanyaan yang diejakan oleh karakter, ketimbang berimajinasi dan berpikir kritis sendiri.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ORION AND THE DARK.

 

 

 

SINDEN GAIB Review

Ada adegan ketika para sinden melantunkan Lingsir Wengi – yang sudah lama dikenal jadi tembang pemanggil kunti –  tiba-tiba sosok Ayu yang kerasukan Mbah Sarinten langsung menyanyikan Soro Wengi. Aku ngerasa adegan tersebut adalah sebuah statement dari Faozan Rizal, bahwa inilah ‘lagu hantu’ terbaru. Bahwa film ini adalah perkenalan kita dengan sosok mistis yang bisa jadi ikon horor terbaru.

And yea, they could be. Penampilan Sara Fajira cukup memorable juga dalam membawakan karakter yang unik ini. Makhluk gaib dan manusia dalam raga yang sama. Mereka cuma butuh cerita yang lebih solid. Karena film yang katanya diangkat dari kisah nyata Ayu ini seperti terkena ‘penyakit’ yang sama dengan film-film lain yang diangkat dari cerita orang asli. Terlalu ‘mengistimewakan’ si sosok. Dalam artian, cerita jadi kurang menyelami, melainkan hanya sebatas sosok itu menarik karena hal yang ia lakukan.

Kita gak dilihatkan siapa Ayu sebelum dia kesurupan, kita gak tahu journey personal dia apa. Kita gak tau apa peristiwa kesurupan Mbah Sarinten bagi dirinya, mereka memilih ‘bekerja sama’ di cerita hanya karena ada faktor luar. Alih-alih menggali karakter unik ini, film malah pindah fokus ke drama tiga orang yang datang menyelidiki dan hendak menolong kasus Ayu kesurupan. Film cuma menjadikan karakter unik Ayu sebagai sarana untuk peristiwa-peristiwa horor yang standarlah dilakukan oleh film horor pada umumnya. Jadi menurutku film ini benar-benar sebuah missed opportunity dalam penggalian sosok yang berpotensi jadi ikon baru.

The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for SINDEN GAIB.

 

 

 

SUNCOAST Review

Menarik sekali gimana Laura Chinn menceritakan hubungan antara remaja perempuan dengan ibunya dalam Suncoast ini. Kita tahu anak cewek dan ibu seringnya udah kayak tinggal menunggu waktu berantem. Sylvia di film Memory tadi, juga ‘berantem’ dengan ibunya. Dan berantem mereka ini selalu adalah soal komunikasi yang gak kena. Makanya cerita keluarga kayak itu bakal mengaduk-aduk emosi.

Yang bedanya, di Suncoast mereka gak lantas ribut. Doris tetap nurut apa kata ibunya, yang memang terlalu occupied oleh keadaan anak laki-laki – abang Doris – yang sakit, katakanlah dalam state tinggal nunggu waktu.  Ibunya terus menyuruh Doris ini itu, ngelarang ngapa-ngapain. Ibunya ditulis nyerempet-nyerempet garis annoying, tapi seperti Doris, kitapun gak bisa sepenuhnya membenci si ibu. Karena kita tahu keadaan emosional mereka. Doris enggak meledak karena dia punya ‘pelampiasan’ yakni berteman dengan geng keren di sekolah, dan punya teman curhat berupa Woody Harrelson yang ceritanya selalu mengingatkan dia untuk mensyukuri hidup.

Suncoast kayak cerita sehari-hari, menyenangkan melihat karakter dan penampilan akting mereka yang ‘supel’ dan gak dibuat-buat, dan juga sedikit intens karena kita tahu kesedihan dan pertengkaran itu bisa ‘meledak’ kapan saja. Di antara film-film di kompilasi volume ini, menurutku film ini yang paling bergizi untuk ditonton bareng keluarga. Muatan dan pesan soal ‘cherish yang ada bersama kita’ sangat berharga. Kekurangannya cuma, sometimes kejadian film ini terasa terlalu dipas-pasin biar seru.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold star out of 10 for SUNCOAST.

 

 

 

THE ANIMAL KINGDOM Review

Dari anak perempuan dan ibunya, kita beralih ke koneksi antara anak laki-laki dengan ayahnya. The Animal Kingdom bertempat di dunia yang penduduknya terkena wabah misterius; yakni tiba-tiba, perlahan-lahan mulai berubah menjadi random animal. Dan karena belum ada obatnya, perubahan tersebut berbahaya bagi masyarakat. Para penderita jadi dijauhi. Mereka ditangkap untuk diteliti. Karakter sentral adalah Emile dan ayahnya, yang pindah ke kota kecil yang lebih dekat dengan facility tempat ibu yang kena wabah hendak diobati. Tapi si ibu lepas bersama sejumlah pasien lain. Mereka sembunyi di hutan. Dan Emile, mulai merasakan gejala dirinya berubah jadi serigala.

Karya Thomas Cailley ini terasa unik tapi sekaligus kayak belum maksimal. Unik karena dunia yang dia gambarkan begitu solid. Society yang ngeshun ‘animal people’. Orang-orang yang terpinggirkan. Kita bisa ngegrasp gagasannya soalnya how to treat each other equally. Elemen fantasy-nya pun terasa oke, karena makhluk setengah manusia dan setengah hewan itu tergambar meyakinkan. Struggle mereka pun meyakinkan, kita dibuat bisa merasakan pergulatan insting hewan mereka dengan kemanusiaan yang masih tersisa di dalam diri mereka. Gimana seseorang berusaha berpegang kepada kemanusiaannya, itulah yang paling utama ditonjolkan oleh film ini

Sehingga cukup sering, drama sentral antara Emile dan ayahnya tertahan, dan baru agak lama dibahas lagi. In a sense, maksudku adalah film ini masih agak terlalu bloated. Belum bekerja secara precise. Bahasan dan dunianya terlalu ‘luas’ sedangkan penceritaannya bergerak lebih ke arah kontemplatif. Dua hal itu membuat film terasa punya banyak rongga yang mestinya bisa diisi dengan sesuatu yang lebih menggenjot percakapan kita dengan filmnya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE ANIMAL KINGDOM.

 




 

 

That’s all we have for now

Lima volume mini-review tayang tiap bulan berturut. Mungkin karena semangat tahun baru, but I must warn you, bulan depan dan April mungkin review gak bisa sebanyak ini. Karena kalo mudik, aku jarang bisa nonton film hahaha.. So, kesempatan ini aku gunakan untuk mengucapkan selamat menuju bulan puasa hahaha

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE ZONE OF INTEREST Review

 

“When we ignore the world outside the walls, we suffer – as does it”

 

 

The Zone of Interest currently – menurut istilahku – ada di posisi tier 0 dalam kompetisi Piala Oscar tahun ini. Karya Jonathan Glazer ini sukses mengantongi empat nominasi utama; Skenario, Naskah, Film Internasional, dan Film Terbaik,  yang artinya film ini berpotensi sapu bersih nominasi-nominasi utama tersebut. So pasti interestku buat The Zone of Interest melambung tinggi, dengan skeptis dan perasaan tertantang membayangi di baliknya. Apa beneran sebagus itu. Kejadian berikutnya udah kayak iklan before after. Sebelum nonton aku tersenyum membayangkan sajian menantang seperti apa yang bakal disantap oleh mata dan pikiran. Dan setelah menonton, rasanya kayak kesan yang hadir saat melihat poster di atas. Hitam, hollow. Rasanya seperti kena tonjok tepat di nurani dan urat kemanusiaan. Telingaku rasanya berdenging sebuah dengkingan panjang yang kering. Itu semua bukan karena filmnya buruk atau mengecewakan. Film ini justru depicts so much truth, soal betapa canggihnya kemampuan manusia untuk nyuekin kekejian di sekitar, bahkan ketika semua itu mulai ada dampaknya bagi jiwa kita.

Target Pak Sutradara kentara untuk menghasilkan kesan realisme. Kita dapat menangkap ini dari gimana kamera film yang dibuat statis mungkin. Tidak ada zoom, tidak ada gerakan sensional, tidak ada drone shot fantastis. Kita dibuat seperti beneran di sana menyaksikan sendiri dari jarak yang cukup dekat kehidupan sehari-hari keluarga Komandan Rudolf Hoss di rumah mereka yang nyaman. Rumah itu cukup besar tapi tidak sedemikian mewah. Ruangannya kayak rumah dinas biasa, dipenuhi oleh sejumlah pelayan yang sibuk. Punya halaman hijau yang cukup luas. Ada kolam renang kecil. Ada kebun bunga dan sayur yang diurus oleh Hedwig, istri Hoss. Tidak jauh dari rumah ada sungai tempat Hoss dan anak-anaknya berenang. Nyobain sampan baru hadiah dari istrinya. Hoss dan istrinya cinta tempat itu, bahkan ketika disuruh pindah karena tugas pun, sang istri minta bertahan dan Hoss merelakan mereka harus ‘LDR’ sementara. Semua kenyamanan hidup tak terkira itu tentu saja demi anak-anak mereka. Komandan Hoss tampak relate dengan kita yang pengen keluarganya untuk bahagia sejahtera. Cumaa, Rudolf Hoss ini actually adalah komandan Nazi. Dan, ssstt, cobalah dengar suara-suara di luar rumah mereka. Ya, rumah impian keluarga tersebut tetanggaan sama concentration camp tempat Hoss bekerja. Camp Auschwitz, salah satu camp nazi yang paling dikenal karena tindakan kejam pembunuhan dan pembakaran terhadap orang-orang Yahudi di sana udah kayak rutinitas sehari-hari.

review the zone of interest
Yup, keluarga makmur yang hidup sehari-harinya gak beda jauh dari kita itu ternyata evil Nazi!

 

Pilihan film ini sekilas memang tampak ganjil, Kenapa tokoh utamanya adalah Nazi dan dimanusiakan sedemikian rupa kayak kepala keluarga biasa. Jangan keburu menjudgenya sebagai tontonan yang tidak berpihak kepada korban. ‘Nazi is evil’ tetap jadi headline utama. Hanya penggambarannya yang dilakukan dengan unik, dan terbukti menghasilkan kesan yang powerful, oleh film ini. Kekerasan, kejahatan, derita dan trauma tidak melulu harus digambarkan lewat visual. Lagipula, film adaptasi novel berdasarkan historical person dan event ini tentu saja tidak butuh lagi untuk memperlihatkan langsung gimana kejinya perlakuan Nazi, mempertontonkan hal itu hanya akan membuat film ini jadi eksploitasi. Jadi yang dilakukan film untuk mencuatkan kekejian mereka yang punya ideologi mereka manusia yang paling layak dibanding Yahudi adalah dengan mengontraskan kehidupan sehari-hari mereka sebagai manusia, dengan keadaan di luar rumah. Kontras yang memperlihatkan mereka bisa hidup biasa aja padahal di luar pagar mereka terjadi pembantaian dan penembakan.

Suara-suara tembakan, suara teriakan, suara perintah galak – yang kadang teredam oleh suara mesin motor ataupun kereta api – secara konstan terdengar memenuhi udara halaman mereka. Merayap di balik percakapan ringan ibu-ibu rumah tangga. Aku bahkan gaingat apakah film ini ada pakai skor musik atau enggak, karena suara-suara kejadian penyiksaan dan pembunuhan itu yang paling bergaung. Ngasih sensasi disturbing luar biasa karena di layar kita melihat orang-orang yang menjalani hidup seperti biasa. Film sudah ngasih kita peringatan untuk awas terhadap suara sejak dari momen pembuka yang cuma layar hitam dengan suara kayak mesin yang bikin feeling uneasy. Selain desain suara yang jelas-jelas jadi kekuatan khusus film ini, juga memperlihatkan kepada kita clue-clue visual. Pesawat pengebom yang ‘tersibak’ di langit di antara kain-kain putih yang dijemur. Asap yang muncul menghiasi background, menandakan lagi ada yang dapat giliran dibakar hidup-hidup di gedung sebelah. Air cucian sepatu boot Hoss yang berwarna merah, menandakan dia baru saja dari medan ‘pembunuhan’. Badan anak-anak Hoss yang penuh pasir saat dimandikan sepulang berenang di sungai, menandakan mereka baru saja berenang di air yang mengalirkan sisa pembakaran tadi. This is actually horrifying gimana keluarga ini menjalankan hidup normal padahal di sekitarnya orang-orang sedang dibantai. Gimana mereka memilih bertahan di sana dengan anak-anak mereka.

Itulah kejahatan manusiawi yang ingin ditonjolkan oleh film. Alih-alih membuat mereka berlaku kasar dan biadap seperti biasanya film-film menunjukkan kekejaman Nazi, film ingin memperlihatkan mereka jahat karena mereka tega-teganya hidup seperti itu. Dan pada gilirannya, kita juga kena sentil, karena walau mungkin dalam hati kita bilang gak akan pernah sejahat Nazi, tapi nyatanya film bisa menarik garis relate dari kita yang berusaha hidup tentram sekeluarga, sementara mungkin tetangga ada yang sedang kesusahan. Ketika kita membaca berita perang di timeline, menonton berita tragedi di tv atau di internet, posisi kita sudah seperti keluarga Hoss. Kita ‘mendengar’ jeritan itu. Namun seberapa besar tragedi itu mempengaruhi kita. Ending film ini mendorong gagasan itu lebih dekat lagi dengan actually memperlihatkan masa sekarang. Saat ‘hasil kerja’ Hoss dan gengnya nampang di museum. Memorabilia kejahatan itu dijaga, dipajang. Buat apa? Pengunjung museum datang melihat dan belajar sejarah, tapi nyatanya sejarah itu bakal terulang. Karena perang masih ada. Sedang berlangsung.

How do we all sleep at night? Nyenyakkah tidur kita di balik ‘pagar’ masing-masing, meskipun ‘mendengar’ masih banyak kekejian di luar sana?

Pertanyaan tersebut tidak dibiarkan terbuka oleh film ini.  Inilah yang actually bikin film lebih kuat. Karena dia bukan sekadar gambaran realis yang puitis dan menohok. Film punya jawaban dan itu bukan menuding kita semua sama jahatnya ama keluarga Hoss. Film ini justru memperlihatkan bagaimanapun Hoss dan keluarganya berusaha cuek, tapi deep inside mereka terpengaruh juga. Bahwa sebagai manusia, kita tidak akan pernah bisa untuk benar-benar tidak peduli. Dan sebenarnya manusia bakal sama-sama menderita atas kejahatan yang dilakukan kepada manusia lain.

Bukan suara dengung nyamuk yang mengusik saat duduk di taman ini

 

Film ini ingin menggugah kita. Makanya film yang mengincar realisme ini lantas gak ragu untuk di beberapa tempat menjadi sangat jarring. Tiba-tiba menggunakan transisi warna merah tok, misalnya. Film benar-benar ingin memastikan apa yang kita menonton, terasa mengganggu bagi kita. Satu adegan paling tak biasa yang dilakukan oleh film ini adalah adegan di malam hari dengan menggunakan kamera thermal. Kita melihat sesosok perempuan remaja, meletakkan buah-buahan di hutan dan di tempat-tempat yang sepertinya bakal dilewati oleh tahanan di camp. Dia melakukan itu saat hari sudah benar-benar gelap, dan film ini karena mengincar realisme tadi, tidak menggunakan lighting buatan. Melainkan pakai kamera yang memotret suhu tubuh. Alhasil nonton adegan tersebut bergidiknya bukan main. Sosok perempuan itu berpendar putih sementara latarnya gelap. Buatku adegan itu kesannya gadis itu kayak secercah harapan, sekaligus juga nunjukin manusia itu di dalamnya ya ‘putih’.  Baek. Tapi kita semakin jarang punya kesempatan atau keberanian untuk nunjukin itu.

Karakter nenek yang menginap, diceritakan akhirnya pulang diam-diam, karena nuraninya gak kuat mendengar jeritan yang semakin jelas di malam hari yang senyap. Dia gak bisa tidur. Anak-anak Hoss, ada yang diam-diam mengoleksi gigi korban dan merenunginya. Ada juga anak yang mendengar suara orang ditembak dan bergidik sebelum akhirnya kembali main tentara-tentaraan.  Gak ada yang sebenarnya bisa benar-benar hidup nyaman dalam kondisi berperang seperti begitu. Bahkan Hoss pun mendapat pengaruh secara psikologis. Ini jadi cara film untuk mendesain inner journey dari karakter utama. Untuk membuat dia bisa mendapat sedikit simpati, sekalipun aksi nyatanya membuat dia seorang protagonis yang selamanya tidak akan pernah kita jadikan hero ataupun layak mendapat simpati itu. Hoss yang kerjaannya bikin gas chamber, sedang pesta,  semacam dia naik pangkat. Tapi di akhir itu kita melihat dia curhat kepada istrinya lewat telefon, bahwa dia anehnya merasa pengen ngegas orang-orang Nazi di pesta itu. Ini hampir seperti nurani-nya yang bicara. Yang menyeruak keluar. Terbangkitkan karena selama ini dia tinggal begitu dekat dengan para korban. Perjuangan terakhir Hoss sebelum kita melihatnya menghilang ke dalam kegelapan saat turun tangga, adalah pergulatan batin nurani lawan ideologi. Hoss muntah tapi tidak ada yang keluar. This is as good as we can get dari journey dari karakter seperti Hoss, meski kita tahu siapa dari yang menang dari pergulatan personal tersebut.

 




Kupikir, begitu rasa penasaranku dari capaian nominasi film ini terpenuhi, alias sudah nonton, aku bisa tidur nyenyak. Ternyata enggak. Film ini berhasil bikin mikir sampai gak bisa tidur. Desain penceritaannya luar biasa. Menunjukkan betapa ngerinya manusia bukan dari kekejaman fisik, bukan dari eksploitasi kesadisan, ataupun menjual trauma, tapi dari mengontraskan situasi. Dari gimana satu keluarga berusaha hidup nyaman, dengan nyuekin hal di sekitar mereka. Naskah juga enggak puas dengan hanya menjadi gambaran itu. Inner journey karakter, juga tetap digali seperti relationship mereka turut dibahas. Dan film berhasil melakukan itu tanpa merusak gagasan yang diusung. Membuat kita simpati tapi tidak sampai membuat karakternya jadi hero ataupun pantas untuk simpati itu. Siap-siap saja kalau mau menonton ini, karena film ini boleh jadi adalah film paling menakutkan tahun ini. 
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE ZONE OF INTEREST.

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian melakukan sesuatu yang membuat kalian tidur tidak nyenyak di malam hari? 

Jika berkenan, silakan share ceritanya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MADAME WEB Review

 

“Life did not begin when you are born…”

 

 

Apa yang akan kau lakukan jika punya kekuatan bisa melihat alur kejadian di masa depan? Well, ya mungkin kau akan menggunakan kekuatan itu untuk menyelamatkan orang-orang yang penting bagimu, kau mungkin ingin mencegah hal buruk terjadi kepada orang-orang yang tak bersalah, atau kau mungkin gak mau ikut campur dan cuma ngasih komenan atau celetukan tersirat mengenai nasib mereka. Nah, sekarang apa yang kau lakukan jika kau seorang pembuat film dan lagi bikin cerita tentang superhero yang bisa melihat masa depan, dalam jagat universe yang masa depan karakter-karakter lainnya sudah kau ketahui? Kau mau bikin cerita superheronya menggunakan kekuatan menyelamatkan orang doang? Yang bener aja, rugi doongg. Lihat nih gimana S.J. Clarkson dalam debut penyutradaraan film-panjangnya. Dia meletakkan begitu banyak reference dan jokes perihal hidup superhero lain untuk disebutkan oleh karakter utamanya, yang tidak disisakan banyak selain sikap sarkas (tapi datar) dan petualangan yang nyaris tanpa intensitas.

Cerita tentang Cassandra Webb, gadis paramedik yang saat nyaris mati dalam bertugas, terbangkitkan kekuatan cenayangnya, ini harusnya memang sebuah cerita origin dari setidaknya empat superhero perempuan. Karena kejadian tadi, Cassie sekarang jadi bisa melihat kejadian di masa depan, khususnya kematian, beberapa saat sebelum kematian tersebut terjadi. Dalam salah satu penglihatannya, Cassie melihat tiga gadis remaja di kereta yang sedang ia tumpangi bakal dibunuh oleh pria misterius dengan kekuatan seperti laba-laba. Cassie menyelamatkan tiga remaja tersebut, dan mereka berempat lantas jadi buronan si pria laba-laba, all the while Cassie mikirin cara menggunakan kekuatannya untuk melawan. Tapi ini ternyata tipe cerita origin superhero yang take too long untuk membuat karakternya superhero (tiga gadis remaja tadi bahkan sama sekali belum jadi superhero hingga kredit bergulir). Ceritanya sangat aneh, tidak memuaskan baik itu ekspektasi penonton terhadap kisah superhero, maupun lingkaran journey karakter utamanya sendiri. Like, power Cassie yang sering bikin cerita atrek either ngasih keseruan atau kecohan, kayak berbanding terbalik dengan kebutuhannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dia justru jadi better person dengan melihat masa lalu.

Cassie merasa dia gak punya waktu untuk mikirin masa depan, karena dia gak pernah mengerti masa lalunya. Dia hanya punya catatan/jurnal ibunya yang meninggal saat melahirkan dirinya, di pedalaman hutan Peru. Dia selalu menganggap pilihan ibunya sebagai tindakan negatif. Cassie berpikir hidupnya gak jelas karena sedari lahir memang udah gajelas. Tapi hidup ternyata tidak dimulai dari saat kita lahir. Karena hidup kita ternyata saling berhubungan dengan hidup orang lain. 

 

review madame web
Harusnya tayangnya pas April Mop ga sih, bukan pas Valentine

 

Mengambil pembelajaran dari tema ceritanya, mari kita melihat ke belakang. Ke film-film superhero 90an hingga awal 2000an. Kenapa ke masa itu? Karena persis seperti itulah vibe film ini, yang memang sesuai juga dengan timeline cerita yakni tahun 2003. Madame Web did a great job dalam mengemulasi estetik film superhero di era tersebut. Shot-shotnya, gerak kameranya, referensi pop kultur, hingga ehm.. spesial efeknya. Adegan suku manusia laba-laba di pembuka itu bahkan lebih mirip ke aksi-aksi dalam serial minggu pagi Power Rangers. Cheesy. Reaksi dan gerak-gerik karakter-karakternya pun juga punya nuansa ‘canggung’ yang sama dengan penampilan akting film-film jagoan 90an. Dialog dan ceritanya juga sama-sama over the top. Film ini terasa seperti film superhero keluaran awal 2000an, sebelum standar film superhero comic book dinaikkan oleh Marvel. Mungkin ini bisa disebut keberhasilan Madam Web, kalo kita bisa menjawab kenapanya. Kenapa film ini justru mau mengemulate era terburuk dari genre superhero? Soalnya biasanya kan, orang bikin reference nyamain ke satu jaman karena entah itu untuk tribute, karena jamannya punya banyak pengikut cult, atau mereka ingin mengambil yang terbaik dari era itu. Tapi film ini justru kayak menjadi secheesy itulah tujuan utamanya.

Di titik ini kita udah tahu Sony pengen bikin universe Spider-Man versi sendiri, but they can’t just do that karena ada MCU. Dan so far, Sony cuma bisa bikin film dari karakter-karakter di ‘sekitar’ Spider-Man, tanpa actually bisa memperlihatkan sang superhero laba-laba. Jadi mungkin Madame Web yang bisa lihat masa depan inilah kesempatan terdekat mereka untuk membuat reference, to take a shot, bercanda-canda dengan Spider-Man. Makanya film ini jadi banyak banget nyentil-nyentil Spider-Man. Bukan hanya ada Ben Parker, tapi beneran ada Peter Parker! Tapi masih bayi haha… inilah yang lantas kebablasan dilakukan oleh Sony.  Film menjual Spider-Man dan lore nya lebih banyak ketimbang Madam Web jtu sendiri. Dan ini bukan sekadar karena penjahatnya seorang Spider-Person. Film beneran bersandar pada pengetahuan kita akan Spider-Man, naskah dan dialog ditulis around that. Ngebecandain Ben soal ditembak. Mancing-mancing soal nama bayi Peter. Film Madame Web ujug-ujug jadi persis kayak teman di circle kita yang ngerasa dirinya lucu dan edgy, yang dalam tiap kesempatan ngasih sneaky remarks about something dan bener-bener get in front of our faces bilang “Hahaha, get it? Get it? Ngerti doongg.. lucu kan yaa!!” padahal lucu kagak, yang ada malah annoying. Sebab penggarapan cerita utamanya malah ke mana-mana. Film ini justru kayak lebih concern sama ngait-ngaitin ke Spider-Man. Dakota Johnson jadi semakin cringe karena dialog-dialog dia sebagian besar bukan penggalian drama karakternya, melainkan celetukan dan tanggapan ke karakter lain yang sebenarnya adalah suara studio dalam menyampaikan reference Spider-Man. Deadpan-nya bukan lagi dry humor, tapi dead karena pemainnya kikuk menyampaikan dialog.

Stake cerita bahkan lebih terasa ketika kita meletakkan kepedulian kepada baby spidey haha.. My biggest care adalah Emma Roberts jadi mamak Spider-Man, dan ketika dia ikut terlibat dalam kejar-kejaran dengan si Spider-Person jahat, aku baru ngerasa peduli. Jangan sampai baby spidey batal lahir karena si jahat. Ini lucu karena momen itu cuma satu sekuen. Villain cerita ini khusus mengejar tiga gadis remaja yang ia takutkan bakal jadi superhero yang membunuhnya  di masa depan (si Villain dapat penglihatan lewat mimpi soal kematian dirinya), tapi aku tidak pernah merasa peduli sama ketiga gadis tersebut. Kenapa, karena kita tidak tahu mereka sebelumnya. Dan film pun tidak actually memperlihatkan mereka berjuang dan balik melawan dan berakhir jadi superhero beneran. Beda rasanya ketika melihat mereka yang nobody dan gak dibuild up menjadi sesuatu yang pentingnya segimana (karena bahkan mimpi si jahat tidak pernah ditekankan sebagai reality betulan) dengan ketika kita melihat baby Peter dalam bahaya – karena selama ini kita sudah kenal betul sosok Spider-Man. Jadi anehnya film ini adalah pengetahuan kita akan hal yang di luar ceritanya justru memancing hal yang lebih dramatis ketimbang karakter dan cerita aktual mereka.

Dengan banyaknya referensi 2000an, aneh aja Cassie gak jelasin kekuatannya sebagai Final Destination yang era segitu amat populer kepada tiga remaja

 

Di sinilah terbukti film ini gak tau apa yang mau diincar. Bahwa film ini cuma ide-ide liar studio doang.  Karena keluarga Parker pun lalu dikesampingkan gitu aja oleh film yang telat menyadari karakter sentral utama mereka cuma sekumpulan cewek-cewek atraktif dengan personality sekuat karakter sinetron. Heck, mungkin better kalo motivasi si penjahat supaya Peter Parker gak lahir, dan Madame Web dan tiga dara laba-laba jadi superhero yang berusaha menggagalkannya. Si Villain yang fokusnya cuma ngejar tiga gadis itu, akhirnya tampak seperti penjahat yang paling setengah hati jahatnya dan paling lemah. Dia ditabrak mobil dua kali oleh Cassie yang belum punya kekuatan berantem beneran. Aksinya tidak punya intensitas, dia malah lebih garang saat masih belum punya kekuatan ketimbang saat dia sudah jadi manusia laba-laba. Also, aktingnya juga bahkan lebih aneh lagi. Banyak adegan dia ngobrol yang kayak didubbing karena mulutnya gak gerak, tapi suaranya keluar. Aku gak tau mungkin mic mereka mati saat syuting apa gimana haha..

Yang jelas peran si penjahat ini ujung-ujungnya sama dengan cara film memanfaatkan kekuatan melihat masa depan. Cuma untuk mempermudah majunya cerita. Cassie sama sekali gak tau kenapa si Villain ingin membunuh tiga dara, dia gak tahu mereka bakal jadi superhero, tapi dia tetap menjaga mereka. Harusnya yang ditekankan di sini adalah drama yang terjalin antara mereka. Dia yang melihat mereka sama seperti dirinya, stray yang dibuang keluarga. Perjuangan mereka untuk survive harusnya bisa menyentuh hati, tapi oleh film semua itu didangkalkan. Cassie bisa berkomunikasi dengan si penjahat lewat mimpi, dan si penjahat membeberkan semua. Ini penulisan yang malas banget. Bandingkan usaha naskah ini nyisipin sneak remarks dalam tiap dialog dengan usaha naskah menggali konflik dramatis. Kelihatan kan, film ini sebenarnya bukan berniat mau ngasih cerita. Kekuatan Cassie kalo dipikir-pikir mirip dengan kekuatan Yhwach, boss di saga terakhir Bleach. Sama-sama menggunakan kemampuan melihat beberapa detik kejadian di masa depan untuk mengambil langkah dalam combat. Tapi si Cassie battlenya gak pernah keliatan seru. Melainkan konyol. Yhwach punya Ichigo yang mati-matian berusaha mengalahkannya. Cassie cuma punya penjahat yang setengah hati mengejarnya, gak pernah tampak benar-benar bahaya, dan film udah liatin goal battle mereka yang berhubungan dengan logo Pepsi Cola. Film ini lebih concern ke tamatnya harus kena logo itu!

 




Kesuksesan satu-satunya film ini adalah bikin tontonan dengan vibe film superhero era 2000an. Tapi buat apa? Itu adalah era yang orang senang sudah berpindah darinya, era yang gak dirindukan siapapun, dan it’s not like film ingin ngasih perbaikan dan nunjukin yang terbaik dari era tersebut. Film ini flat out mengemulasi yang terburuk dari situ. Karakter-karakter cringe dengan dialog dangkal – yang lebih diperparah lagi dengan kemauan film untuk constantly ngasih reference yang sok-sok mau bikin penasaran itu ada Spider-Man atau enggak. Aksi dan kejadian yang over the top. Konsep melihat masa depan  kayak versi lite dari Final Destination, dan film never actually capitalized on that concept dengan aplikasi yang unik. Padahal kalo mau digarap bener-bener, mestinya bisa, karakternya sebenarnya punya journey. Tapi film ini mentang-mentang udah melihat ‘masa depan’ dari jagat cerita keseluruhan, jadi menaruh hati dan niatnya di tempat yang lain.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for MADAME WEB.

 

 




That’s all we have for now.

Jika hidup tidak dimulai dari saat kita lahir, apakah itu berarti hidup kita juga tidak berakhir saat kita mati? 

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL