UPGRADE Review

“Computers are useless; they can only give you answers”

 

 

 

Dalam dunia yang penuh hingar bingar, nyaman sekali rasanya bisa menyelam ke dalam kepala sendiri. Ketika kebingungan, atau saat merasa butuh untuk mempertimbangkan sesuatu, kemungkinannya adalah kita merasa perlu untuk bertanya kepada diri sendiri. Bicara kepada suara di dalam kepala itu bukan pertanda kita gila. Malahan akan membuat kita lebih pinter jika kita cukup tenang menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya adalah tindakan menggali kesadaran dan potensi diri. Bahkan, menulis pun sejatinya adalah pekerjaan yang bertanya kepada diri sendiri – kita ngobrol di dalam kepala, kita jelajahi ruang pikir dan pemahaman yang ada di sana.

Masalahnya adalah; bagaimana jika yang ada di dalam kepala itu bukan pikiran kita? Bagaimana cara kita membedakan mana yang suara hati mana yang ‘bisikan setan’? Perlukah kita langsung percaya kepada jawaban yang diberikan oleh suara-suara yang ada dalam kepala kita?

 

Upgrade mungkin memang bukan film yang menonjolkan perjalanan filosofis. Film ini lebih sebagai hiburan tembak-langsung, di mana kita akan melihat aksi berantem penuh kekerasan dan dunia masa depan yang memenuhi dahaga fantasi terhadap kemutakhiran teknologi. Akan tetapi, garapan Leigh Whannell ini memberikan pandangan yang cukup menarik – ia bermain-main dengan konsep seorang manusia yang tidak lagi punya kontrol atas tindakannya sebab sudah menyerahkan semua kendali kepada suara asing di dalam kepalanya.

cue entrance musik Randy Orton

 

 

Cerita tidak akan pernah melebar keluar dari perspektif Grey Trace (Logan Marshall-Green berkesempatan memainkan adegan berantem unik). Pria ini kehilangan istri dan anggota gerak tubuhnya ketika mobil-nyetir-sendiri mereka melaju error dengan tragisnya. Tubuh Grey lumpuh total, kecuali kepalanya. Tatkala ia meratapi nasib, terbaring di tempat tidurnya, seorang ilmuwan komputer memberinya tawaran untuk jadi inang sebuah chip maha-canggih. Dengan chip yang disebut Stem tertanam di lehernya, Grey bisa berjalan dan mengusap air matanya lagi. Tapi kemudian Stem bicara kepada Grey, ia menawarkan bantuan lebih dari apa yang diminta oleh Grey. Stem, dengan izin Grey, bisa mengendalikan tubuh mekanik yang tadinya sirik ama teknologi ini, melakukan pekerjaan yang tak sanggup ia lakukan. Termasuk balas dendam. Mengubah Grey menjadi mesin pembunuh.

Ketika nonton ini, aku ngobrol kepada diriku sendiri. Hey, kita sudah pernah toh melihat cerita seperti begini sebelumnya. Pria biasa yang tiba-tiba jadi perkasa, melakukan aksi tuntut balas. Mesin yang pada akhirnya mengambil alih kemanusiaan. Kepalaku balas bertanya; Tetapi yang ini beda, tuh lihat, adegan berantem pertamanya aja bikin mulutmu otomatis menganga.

Suara di kepalaku benar. Dari adegan Grey yang mendadak jago bertarung – bahkan lebih efisien dari Robert McCall di The Equalizer 2 (2018) kita bisa melihat bahwa film ini diarahkan kepada tone yang berbeda dari cerita balas dendam yang sudah-sudah. Feelnya sangat gelap, ala grindhouse 70an yang dibuat oleh John Carpenter. Sudah jarang sekali kan kita melihat gaya seperti begini hadir di jaman yang mengutamakan kepada budget dan efek yang supercanggih. Film ini berada di titik seimbang antara tragedi dan komedi, sehingga meskipun lingkungannya futuristik, kejadian-kejadiannya brutal, tapi kita masih menemukan pijakan untuk merasakan kenyataan. Berantemnya unik, kocak, dan meyakinkan. Logan Marshall-Green melakukan tugas yang menakjubkan dengan ekspresi wajahnya. Begini, begitu Stem dikasih ijin mengambil alih, Grey hanya bisa melihat dengan matanya saat tangan dan kakinya beraksi menghajar musuh. Dan sebagian besar dari adegan bak-bik-buk itu, Grey tampak takut hingga dia bahkan sampe meminta maaf kepada lawannya. Konsep ini digarap dengan kocak sekali, karena lawannya pun memandang Grey dengan heran, like, man you are crazy what the hell is wrong with you?

“fight your own battle, lazy-ass!”

 

Ada salah satu adegan yang menampilkan Grey berdiri melihat daftar nama tenant sebuah apartemen, dan kita dilihatin dengan jelas nama J. Wan, yang obviously adalah easter egg buat sutradara horor James Wan. Leigh Whannell memang sudah banyak berkolaborasi dengan Wan, karya paling ngehits mereka tidak lain tidak bukan adalah Saw (2004) yang tak pelak menjadi ikonik buat genre horor. Apa yang dilakukan oleh Whannell dan Wan di film tersebut sungguh patut dijadikan suri tauladan buat filmmaker lokal; mereka berkutat dengan budget rendah dan sukses menghasilkan tontonan yang luar biasa meyakinkan, sangat menyenangkan, ngajak berpikir pula, dari dana sesedikit itu. Bikin film gak mesti mahal; kita gak perlu punya yang terbaik karena yang terpenting adalah seberapa besar usaha yang dilakukan supaya menghasilkan yang terbaik. Whannell mengulangi lagi kerja kerasnya pada film Upgrade ini. Dia berhasil ngestrecth konsepnya melewati batas-batas budget. Dan mengingat ini adalah film yang bertempat di masa depan yang sudah canggih, jelas pencapaian Whannell menghidupkan dunianya bukan hal yang bisa diremehkan.

Tak sekalipun semua yang nampang di layar itu terlihat murahan. Lingkungan pada film ini direalisasikan dengan amat baik. Bahkan, dan aku gak melebihkan, dengan budget yang jauh berbeda, film ini bisa kelihatan satu dunia dengan Blade Runner 2049 (2017). Aspek futuristik dan spesial efeknya tidak sekalipun membuat film jadi cheesy. Pun film tidak terlihat sok-sok bergaya ala B-movie, kalian tahu, gerak kameranya enggak pernah terlalu over-the-top. Tidak ada shot-shot ambisius. Justru dieksekusi dengan kreatif sekali. Pergerakan kamera yang sedikit tertahan kepada Grey – memberikan kesan gerak kaku seperti berantem jurus robot yang ia lakukan.

Seperti halnya film enggak lantas menjadi bagus karena punya budget raksasa, kita juga tidak bisa mengupgrade kemanusiaan dengan hanya bergantung kepada kemutakhiran teknologi. Seperti yang disebutkan dalam dialog film ini, mesin yang hanya berisi angka 1 dan 0 tidak akan bisa menanggulangi kekompleksan manusia. Mereka hanya tahu berpikir mencari jawaban yang termudah. Sedangkan manusia, kita dianugrahi rasa yang tak jarang mengoverride pikiran, for better or worse.

 

Ketika aku bilang cerita film ini tak pernah keluar dari frame sudut pandang Grey, kepalaku langsung berontak protes. Hal tersebut mengakibatkan tokoh yang lain gak jadi gak keurus, katanya. Setelah dipikir-pikir, memang ada benarnya juga. Aku terlalu sibuk menggelinjang seru melihat apa yang kutonton sehingga menjadi sedikit bias kepada film ini secara keseluruhan. Untung ada suara di kepala yang mengingatkan. Grey tereksplorasi dengan baik, kita mengerti pandangan orang ini terhadap situasi dunianya, kita melihatnya berkembang dari seorang lumpuh yang berusaha menerima kondisinya lalu dia takut akan apa yang bisa ia lakukan, menjadi seseorang yang embrace it all sebelum akhirnya sadar apa yang sebenarnya ia butuhkan. Kita peduli sekali kepadanya. Namun tidak demikian terhadap tokoh-tokoh yang lain. Polisi wanita yang bertugas menginvestigasi kasus kecelakaannya, ibu yang menemaninya, istrinya yang meski perannya kecil namun sangat integral terhadap karakterisasi Grey, orang yang memberinya Stem, mereka semua begitu satu dimensi. Hacker yang sempat membantu Grey malah ternyata gak penting meski memegang peranan dalam cerita. Bahkan tokoh antagonis tidak banyak diberikan warna, kita membenci mereka karena hal yang mereka lakukan. Kesan kita kepada semua orang di sekitar Grey tidak pernah lebih dari jauh dari apa yang kita lihat. Ini sangat disayangkan, karena dengan konsep yang begitu keren, film justru kesusahan menyeimbangkan antara konsep tersebut dengan para tokohnya.

 

 

 

Kekurangeksploran tokoh lain membuat film dapat menjadi sedikit membosankan tatkala takada kejadian menarik seputar Grey dan Stem yang terjadi, karena memang kita hanya peduli sama tokoh utama seorang. Kita ingin cepat-cepat melihat aksi yang direkam dengan kerja kamera yang kreatif, dengan sinematografi yang unik, dengan konsep yang membuat cerita yang udah sering dilihat ini menjadi terasa menyegarkan. Di luar pencapaian luar biasanya menjadi tontonan yang super fun melewati batasan budgetnya, aku dan suara di dalam kepalaku setuju film ini mestinya bisa diupgrade sedikit lagi sehingga semua elemennya dapat berimbang.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for UPGRADE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE EQUALIZER 2 Review

“..the heart can balance out the mind.”

 

 

 

Meski bukan anggota X-Men yang terpuji, toh sebenarnya kita semua punya kepandaian masing-masing. Ada yang jago ngegambar. Ada yang cakap merangkai kata. Ada yang pinter ngeles. Molly Ringwald aja bisa makek lipstick dengan dadanya. Kepandaian alias keahlian khusus tersebut kita jadikan sebagai andalan, dalam bersosialisasi, dalam mencari kegunaan diri. Puncak kebahagiaan adalah kita menyadari kepandaian yang kita miliki dapat dijadikan sebagai sarana pengisi perut. Karena gak semua talent dapat ditukar dengan duit. Atau kalaupun bisa, uang yang dihasilkan bukan lagi tergolong uang baek-baek.

Kayak Robert McCall. Kita tahu dari film yang pertama 2014 yang lalu, kepandaian bapak ini adalah menghabisi nyawa orang setangkas dan seefisien mungkin. Dia beneran nyalain stopwatch di arlojinya sebelum mukulin orang, dan tak lupa mematikannya saat manusia yang ia pukuli sudah berubah bentuk menjadi seonggok daging yang penuh penyesalan dan rasa sakit. Keahlian matahin leher dan menggunakan banyak hal sebagai senjata berbahaya ia miliki berkat gemblengan keras semasa di agensi militer. Setelah ia keluar dari sana, tho, ia sadar kepandaiannya tidak banyak berguna untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Orang-orang di sekitar McCall mestinya bersyukur, orang ini punya otak yang belum korslet dan hati yang masih lurus. McCall percaya di dunia ini ada dua rasa sakit; sakit untuk menghukum, dan sakit untuk mengubah-untuk menyembuhkan. Dan kali ini dia bertekad untuk sedapat mungkin memberikan kesempatan kepada bandit-bandit itu untuk merasakan sakit yang nomor dua.

Pada sekuel ini, McCall bekerja sebagai pengemudi Lyft; semacam ojek mobil online. Dia mengantarkan berbagai macam tipe orang. Dia actually meminjamkan telinga untuk mendengar curhatan mereka, bahkan kadang dia mencuri dengar percakapan beberapa dari balik setirnya. Ketika dia menemukan ada sesuatu yang enggak beres dengan pemesan ojeknya tersebut, saat McCall merasa ada sesuatu yang salah, maka lantas dia akan bertindak menyetir dengan tangan moral dan palu hakimnya sendiri sehingga yang salah-salah itu menjadi benar. Puncaknya adalah ketika satu-satunya temannya yang masih tersisa di dunia menjadi korban perbuatan orang-orang yang menjual kepandaian mereka demi uang, McCall tentu saja langsung mencemplungkan dirinya, lantaran semua menjadi personal. Terlalu personal.

lain kali hati-hati kalo ngobrol sama supir gojekmu

 

Jarang sekali menggarap cerita-cerita yang terasa pretentious, Antoine Fuqua ingin mengajak kita berbincang soal apa yang sebaiknya kita lakukan dengan pekerjaan yang kita bisa. Dan The Equalizer 2 ini sungguh adalah media yang menarik untuk membahas persoalan tersebut. Berbalut aksi brutal dan drama yang gritty – yang punya nyali mengingatkan dengan ancaman tudingan moncong pistol – The Equalizer 2 menyajikan maksudnya dengan sangat seimbang. Sama seperti tokohnya, McCall, yang berusaha menyeimbangkan dunia dari perbuatan buruk yang dilakukan orang-orang dengan perbuatan keji namun beritikad baik olehnya, film ini punya sekuen aksi sekaligus momen-momen karakter yang sama menariknya untuk diikuti.

Tak pelak, Denzel Washington akan membuat kita humble. Ada begitu banyak yang bisa kita pelajari darinya pada film ini. Penampilan aktingnya, mungkin kalian udah bosen membaca tentang betrapa legendnya Denzel Washington dalam setiap peran yang ia jajaki. Bagian terbaik The Equalizer 2 basically adalah dirinya,  kita seakan jadi pinter berakting melihat penampilannya di sini. Cara dia menampilan gesturnya, gimana aktor senior ini mentackle adegan-adegan aksi yang normally bukan ranah dia; menakjubkan. Sehingga aku pun  jadi lumayan menyayangkan, adegan pertarungan terakhir di film ini tampak seperti menyia-nyiakan dedikasi Wahington. I mean, duel satu lawan satu di tempat kosong itu tampak terlalu meta, membuatku susah percaya Wahington bisa melakukannya tanpa stuntman. Lagipula McCall yang sejauh durasi dua jam film ini hanya benar-benar menembakkan pistolnya satu kali, selebihnya ia menggunakan siasat, tampak sedikit di luar karakter dalam pertempuran di atas menara tersebut.

belum pernah kan diancem harus ngasih bintang-5 sama driver online? hhihi

 

 

Dalam cerita pun, tokoh ini akan memberikan wejangan gimana kita boleh saja mencari duit dengan bakat yang kita miliki, namun kita tetap butuh otak untuk membelanjakan duit tersebut. Salah satu elemen emosional dengan banyak sekuen mantap yang dipunya oleh film ini berasal dari hubungan McCall dengan cowok remaja yang tinggal di dekat apartemennya. McCall menjadi seperti figur bapak buat Miles yang masih menjadi jati diri. Miles ini hobi menggambar, ia menawarkan diri mengecat ulang tembok apartemen yang dirusak oleh grafiti berandalan. Tapi si Miles ini tidak percaya kemampuannya adalah hal yang paling baik yang ia lakukan. Lingkungan sosialnya memandang rendah pekerjaan melukis. Tidak normal menjadi seniman jalanan di sana. Duit dicari dengan jalur ‘kerjaan’ yang lain, dan Miles nyaris melangkahkan kakinya ke jalur tersebut. McCall semacam melarang anak tersebut, menggebahnya untuk mengambil pilihan yang benar-benar bermanfaat.

Untuk penyeimbang pikiran, dalam memberdayakan kemampuan, tentu saja kita memerlukan hati.  Keahlian dan kepintaran akan dengan gampang disalahgunakan jika kita tidak punya batasan moral yang bersumber dari hati. Itulah yang membedakan Robert McCall dengan orang-orang yang berkeahlian sama seperti dirinya dalam The Equalizer 2. Hati yang berada di tempat yang benar akan dapat memberikan kekuatan untuk melakukan hal yang benar, mengalahkan pikiran yang terkadang terlalu cepat menyimpulkan, terlalu tinggi dalam menilai, dan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan.

 

Plot penceritaan film ini sebenarnya bisa dibuat lebih baik lagi. Struktur kejadian mungkin bisa diubah sedikit susunannya, karena terasa panjang sekali sebelum kejadian-kejadian di film ini terasa saling kohesif. Kejadian utama pada cerita adalah ketika ada kasus penembakan suami istri di Brussel yang dibuat seolah tindakan pembunuhan-dan-bunuh diri. Kasus ini menyeret McCall dan teman-temannya dan merupakan awal konfrontasi tokoh utama kita dengan masa lalunya. Hanya saja, sebelum sampai ke sana kita melewati banyak adegan-adegan yang tidak menambah untuk keperluan kejadian ini. Di awal-awal itu kita akan melihat gimana McCall membantu orang-orang yang ia antar. Seperti ada seorang kakek yang berusaha mendapatkan kembali lukisan kakaknya semasa kecil. Cerita kecil ini tidak melakukan apa-apa kepada permasalahan yang sebenarnya. Bahkan tidak banyak adegan aksi yang terlibat. It just takes a long time sebelum kita tahu ke arah mana sebenarnya narasi film ini melaju.

 

 

 

Melihat Denzel Washington menghajar orang-orang brengsek dengan brutal dan tanpa ampun, tangkas dan mematikan, adalah hiburan tersendiri. Melihat dia berinteraksi dan coba membantu orang-orang sebelum mereka terlanjur menjadi orang brengsek – walaupun trope orang dewasa berkoneksi dengan remaja sudah sering dilakukan, bahkan oleh film pertamanya – merupakan anugerah lantaran kita mendapat banyak dialog yang powerful. Sayangnya plot cerita tak sekuat penampilan akting maupun aksinya yang seimbang memuaskan. Mencegah film ini untuk menjadi terlalu memorable. It is a fine watch, tetapi butuh terlampau panjang waktu untuk benar-benar mulai nendang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE EQUALIZER 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MISSION: IMPOSSIBLE – FALLOUT Review

“To hope is to gamble”

 

 

 

Sebuah rencana pembunuhan massal. Dobel agen, dan mungkin lebih. Tiga bom nuklir. Jikalah hal-hal; tersebut merupakan aba-aba “satuuu.. duaaa.. tigaa” sebelum lomba lari, maka Mission: Impossible ini adalah peserta lomba yang seketika berlari paling kencang selepas hitungan tersebut selesai diucapkan penjaga garis start.

Toh, pelakon protagonis dalam film ini memang berlari dengan waktu. Ethan Hunt dan rekan timnya yang sudah kita kenal baik – ini adalah seri keenam dalam franchise Mission: Impossible – harus bertanggung jawab setelah satu misi yang mereka emban, gagal total. Kompas moral Hunt, juga bagaimana dia kerap mengkhawatirkan keselamatan orang-orang yang ia cintai, akan menjadi ‘kelemahan’ yang ditantang kembali oleh film ini. Hunt akan dibenturkan dengan karakter yang tidak segan-segan untuk melibatkan ‘pihak tak bersalah’ demi kesuksesan misi. Tom Cruise dan Henry Cavill benar-benar tampak seperti  dua imej yang berlawan; dengan sosok Cavill menjulang sebagai sesuatu yang dulu adalah milik Cruise. Di bawah situasi yang terus menekan dan stake yang bergulir semakin besar, Hunt akan berusaha untuk membuktikan bahwa harapan adalah strategi terbaik yang bisa dipertimbangkan oleh manusia dalam berjuang.

Di dalam dunia penuh tipu muslihat, sedikit nurani sangat patut untuk dihargai. Kemanusiaan adalah harapan. Sudah semestinya kita bergantung kepada rasa untuk saling melindungi, saling memperhatikan, tidak peduli betapa kacau dan peliknya situasi. Jika dunia adalah perjudian, maka bertaruhlah pada harapan.Berbahaya, memang, apalah hidup tanpa menempuh resiko, kan?

 

Dan bicara soal berlari; Film ini akan membuat film-film aksi lain tampak seperti balita yang baru bisa berjalan. Aku enggak melebih-lebihkan. Kamu-kamu yang ngasih Buffalo Boys (2018) nilai 8 karena kalian bilang aksinya bagus, harusnya memberikan nilai 20, bahkan lebih, untuk Mission: Impossible – Fallout. Sebab ini adalah salah satu film aksi terbaik yang pernah aku tonton. Aku tidak pernah semenggelinjang ini menyaksikan sekuen-sekuen aksi sejak Mad Max Fury Road tahun 2015 yang lalu. Usaha film ini untuk menyuguhkan aksi laga yang benar-benar real luar biasa kuat dan keras. Porsi-porsi laga di film ini semuanya dirancang dan dikerjakan dengan matang dan penuh perhitungan. Bukan saja segi koreografi,  sudut pengambilan gambar; perspektif sinematografinya pun benar-benar digarap dengan cermat. Banyak sekali momen-momen tak terlupakan. Menakjubkan sekali gimana film ini seolah menantang diri untuk mengungguli adegan demi adegan. Membuat kita hanya bisa melongo di tempat duduk, berdecak kagum “gila, kok bisa ya!”

Setiap adegan aksi, entah itu berlari di jalanan maupun kejar-kejar di helikopter, semua tampak seperti versi terbaik dari apa yang mungkin untuk mereka capai. Maksudku, kalo kalian pengen bikin adegan kejar-kejaran di sekeliling kota, bikinlah aktornya benar-benar melakukan dengan kakinya sendiri. Tak pelak, sulit sekali kita bakal menemui tokoh yang total seperti Tom Cruise. Dia nekat melakukan semua tindak ekstrim yang tertulis di dalam naskah itu sendiri. Dia bergelantungan di helikopter. Dia terjun paying dengan ketinggian yang relatif rendah. Fakta menarik yang dibeberkan sebagai penghantar rilis film ini adalah Cruise melakukan aksi meloncati gedung, sampe kakinya beneran patah sehingga suting terpaksa ditunda beberapa waktu.  Dedikasi yang luar biasa. Hasilnya memang yang kita saksikan di layar itu menjelma menjadi stunt yang mencengkeram total karena kita dapat melihat adegannya sungguhan terjadi. Dan tentu saja, semua adegan aksi itu dieksekusi dengan sama luar biasanya.

Set piece dan semuanya dirancang untuk bikin kita terpana. Kebanyakan film lain akan terpojok dan menggunakan CGI untuk adegan-adegan sulit nan berbahaya, utilizing banyak teknik cut dan segala macem. Adegan Hunt naik sepeda motor dikejar-kejar di jalanan kota Paris;  Cruise tidak beraksi di depan green screen, dia tidak digantikan oleh stuntman – film lain akan membuat tokoh ini pakai helm hanya supaya wajahnya enggak kelihatan, tapi tidak buat Tom Cruise. Dia tidak mengenakan helm. Tidak pula kepalanya ditempel oleh efek ke badan pengendara lain

Ultimate Tom Cruise Shot

 

Film mungkin bisa tampak sedikit mengerem jika kita meniliknya dari segi cerita. Tentang rencana pengeboman, tentang seseorang yang berusaha menyelematkan banyak orang tanpa mempedulikan dirinya sendiri, kalian tahulah, trope begini sudah sering didaur ulang – terutama dalam genre laga. Cerita yang kita dapat di sini memang tidak sepenuhnya baru. Namun, arahan dan penulisan Christopher McQuarrie berhasil memberikan sesuatu untuk dilakukan oleh setiap anggota tim Hunt, sehingga peran mereka jadi terangkat – masing-masingnya menambah kaya sudut pandang cerita, dan pada akhirnya juga  menambah bobot ketegangan.

Luther yang diperankan simpatik oleh Ving Rhames mencoba untuk menjinakkan bom, tapi dia literally merasa tangannya kurang, jadi dia ‘terpaksa’ meminta bantuan kepada seseorang yang sama sekali belum pernah kenalan langsung sama bom. Dia juga nge-share burden yang ia rasakan sebagai seorang yang pernah diselamatkan demi ‘harga’ tertentu oleh Hunt. Simon Pegg yang senantiasa menampilkan permainan peran yang menghibur, sebagai Benji harus mencari letak bom yang satu lagi di dalam ruangan yang penuh kotak besi – yang semuanya nge”bip” kena radar, jadi dia harus segera menemukan kotak yang benar. Tokoh-tokoh pendukung juga kebagian aksi, mereka ditempatkan dalam situasi yang tampak mustahil di mana kemampuan mereka diuji. Aspek inilah yang membuat cerita terasa fresh, meskipun memang plotnya sendiri enggak exactly baru. Ada usaha untuk terus menggali perspektif dari berbagai sudut.

Tokoh-tokoh jahat di film ini juga sangat memorable. Motif mereka menarik. Kepentingan, cara, mereka dibenturkan kontras dengan milik Hunt. Bahkan, sekali lagi, buat tokoh yang minor. Seperti pada adegan berantem di toilet Grand Palais; tidak hanya Cruise dan Henry Cavill, ada satu penjahat lagi yang berbagi mempertaruhkan nyawa di sini. I mean, adegan berantemnya sangat greget dan terlihat begitu nyata lantaran film begitu berhasil menggali sudut pandang; konsep mereka menggunakan kemampuan terbaik di saat yang mustahil tetap menguar kuat bahkan di satu sekuen berantem yang simpel ini. Or even jika si penjahat ataupun tokoh yang tidak bisa berbuat banyak, mereka paling enggak diberikan adegan dengan shot yang unik, seperti saat seseorang yang terikat, tenggelam di dalam mobil.

yaiyalah mustahil, namanya juga Mission: Impossible

 

Beberapa penonton mungkin akan merasa bermasalah dalam menyimak dialognya yang memang butuh perhatian ekstra. The thing is, film laga sekeren ini toh masih bisa kita nikmati untuk aksi-aksinya, bahkan jika suaranya dimute sekalipun. Tapi kan tentu saja rasanya bakalan kurang. Film meminta kita untuk memperhatikan dengan seksama setiap dialog, karena bakal ada pengungkapan-pengungkapan yang efeknya baru akan kena jika kita mengingkat beberapa kata kunci yang pernah disebutkan oleh para tokoh. Buatku, ini adalah bentuk penghormatan film kepada penontonnya. Sebab, meskipun konsep yang mereka gunakan adalah laga yang sering bergantung kepada ‘kebetulan’, namun masih ada kesempatan untuk kita berpikir memecahkan misteri cerita. Jadi, film laga itu gak mesti mindless. Kita masih bisa terhibur sembari tetap memutar otak.

 

 

 

Justru, ini adalah apapun yang bisa kita minta dari sebuah film. Tokoh-tokohnya bisa kita pedulikan. Aksi-aksinya terlihat nyata dan bikin kita menahan napas. Ada yang bisa kita pikirkan, regarding moral dan plot cerita secara keseluruhan. Penulisannya rapi – pengungkapan, twist, secara konstan kita akan geregetan dibuat oleh film ini. Bahkan jika kalian belum pernah menonton film-film sebelumnya, seri keenam ini tidak akan menjadi masalah untuk kalian mengikuti cerita, karena ia mampu untuk berdiri sendiri.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MISSION: IMPOSSIBLE – FALLOUT

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

22 MENIT Review

Calm before the storm

 

 

 

Pernahkah ketika sedang bersantai di kamar, menikmati film mungkin, dengerin musik sambil ngemil mi mentah, atau asik main video game sambil download-download, kemudian mendadak saja ada perasaan gak enak yang timbul dari suasana tenang tersebut. Kalian bisa merasakan ada yang tak beres, dan sekonyong-konyong listrik mati, dan terlontarlah semua sumpah serapah tersebut? Itulah yang disebut pepatah sebagai “ketenangan sebelum badai”. Warga Jakarta mungkin masih belum lupa ketenangan ganjil yang mereka rasakan di pagi hari tanggal 14 Januari tahun 2016 silam.

Dua-puluh-dua menit keseharian kota yang ramai menjelang pukul sebelas lebih empat-puluh siang. Ya memang ada sedikit macet, orang-orang mengejar waktu mengejar urusan penting masing-masing, beberapa pelanggar lalu lintas kena tilang pak polisi, tapi saat itu adalah sedamai-damainya yang bisa diharapkan oleh pelintas ataupun ‘penghuni’ daerah sibuk seperti di Sarinah. Set up awal film 22 Menit ini sungguhlah efektif dan tepat sasaran memperlihatkan kepada kita beberapa karakter yang sama sekali tak menyangka beberapa saat lagi hidup mereka akan porak poranda. Keragaman penduduk ibukota juga terhampar jelas di sini. Tentu saja, kita tahu sedikit lebih banyak daripada AKBP Ardi yang langsung ke markas setelah mengantar putrinya ke sekolah, Polisi Firman yang mengatur lalu lintas sambil menahan resah karena di-silent treatment-in ama tunangannya, Hasan yang belum benar-benar legowo disuruh oleh adiknya untuk ikutan kerja sama orang lain, dan Dessy yang didesak cepet datang karena sudah ditunggu temannya di coffe shop untuk persiapan presentasi, tentang apa yang bakal terjadi di tempat tujuan mereka. Film cukup bijak untuk menanam mereka sehingga paling tidak kita penasaran “kira-kira siapa yang bakal selamat ya?” Dan ketika bom itu meledak, film pun cukup berhasil memberikan suasana tegang perburuan hidup mati antara polisi dengan teroris.

Sesuatu hal yang baru akan menimpa kita pada saat-saat yang tidak diduga. Kenyamanan membuat kita lengah. Untuk itulah, sebenarnya kita dituntut untuk senantiasa waspada. Bersiap mengantisipasi segala sesuatu. Seperti yang dilakukan oleh polisi-polisi dalam film 22 Menit.

kalo kata Bezita, kedamaian membuat malas – lantas orang jahat menyerang dan kita tunggang langgang

 

Kompeten enough dalam setiap aspek yang dimiliki. Jika film ini kita ibaratkan sebagai polisi, maka 22 Menit adalah seorang polisi teladan yang  berhasil menjalankan tugas simpelnya dengan cakap. Namun ia juga begitu sederhana sehingga menolak kenaikan pangkat. 22 Menit punya kepentingan untuk hadir ke kancah dunia perfilman tanah air, dan film ini tidak berniat untuk menjadi lebih dari pada itu. Padahal sebenarnya bisa. Tapi mungkin, memang beginilah polisi yang baik. Tidak ambisius. Jika memang hanya ingin tampil di muka umum, jika memang hanya ingin nunjukin teroris itu jahat dan polisi itu hebat, kenapa mesti repot-repot mikirin hal di luar itu yang membutuhkan usaha ekstra.

Eugene Panji dan Myrna Paramitha memang bukan orang pertama yang diminta untuk mengarahkan tragedi pengeboman beneran menjadi sebuah kisah kepahlawanan. Dalam setahun terakhir ini saja, kita sudah menonton dua film tentang peristiwa pengeboman acara  lari marathon di Boston. Tapi, ketika Stronger (2017) dibuat,  mereka actually menggali sesuatu. Membicarakan satu-dua buah pikiran lewat sudut pandang tokoh utamanya.  Stronger dan Patriots Day (2016) totally adalah dua cerita yang berbeda padahal mengangkat satu peristiwa yang sama. Karena mereka dibuat dalam konteks perspektif yang khusus. Mereka berangkat dari cerita satu orang karakter; memang ada yang diceritakan dari karakter tersebut – ada drama yang ingin digali. Aspek tersebut membuat film-film itu tampil lebih kuat, dibandingkan 22 Menit yang enggak punya lapisan sebanyak tokoh-tokoh yang ia punya. Film ini sebenarnya bisa menjadi lebih dahsyat sebagai sebuah tontonan patriotisme, for instance, jika durasinya dipanjangkan. Tapi ya, kalo memang yang bikin filmnya sudah puas begini – toh misi citra mereka sudah selesai – ya apa boleh buat.

Cara berceritanya pun cukup unik. Film ini menggunakan struktur bolak-balik untuk mengakomodasi tokoh-tokoh yang tadi diperkenalkan. Kita melihat rutinitas mereka. Kita tahu tujuan mereka. Kita saksikan masalah mereka hari itu. Namun kita tidak pernah benar-benar mengenal mereka. Jika Vantage Point (2008) saja masih dikritik repetitif padahal sudah menggali tokoh-tokoh yang dipunya, kesempatan apa yang dipunya oleh 22 Menit yang hanya meniru penceritaan yang dilakukan oleh film tersebut? Kita bergantian melihat drama yang dialami oleh para tokoh sebelum waktu ledakan tiba; setelah satu tokoh, layar akan menunjukkan jam yang dimundurin ke dua-puluh-dua menit sebelumnya, dan kita mengikuti tokoh yang lain. Masalahnya adalah tidak ada banyak lapisan pada tokoh-tokoh tersebut. Tidak ada pergantian sudut pandang. Semua yang kita lihat setiap ‘ganti tokoh’ tak lebih dari sedikit penambahan adegan, like, kita sudah bisa tahu eksterior para tokoh, namun tidak pernah dibiarkan masuk mengenal interior mereka.

Saat orang pake google infrared, dia kagak, dan dia tetap yang paling jagoan

 

Tentu, kita merasa kasihan sama mereka, kita tidak ingin orang-orang tak berdosa dan tak tahu apa-apa itu jadi korban peledakan bom. Hanya saja tidak ada perjalanan karakter. Keinginan yang buyar oleh ledakan itu nyatanya memang sebuah tragedi, sesuatu yang sangat emosional; menyedihkan. Tetapi peduli kepada karakter dalam film itu maknanya adalah kita turut merasakan beban mereka – kita ikut belajar bersama mereka. Bahkan Hereditary (2018) yang konteksnya adalah tidak-ada jalan keluar bagi para tokoh yang sudah digariskan untuk suatu hal yang buruk saja masih memberikan kesempatan kepada kita untuk belajar sesuatu, untuk menyaksikan tokohnya berkembang. Tidak sekedar kita mengasihani mereka yang berada di tempat yang salah, dalam waktu yang salah.

Ini adalah masalah paling besar yang terasa saat kita menonton 22 Menit. Tidak ada tokoh yang bisa kita ‘tempelin’. Mereka antara kurang tergali ataupun dibangun supaya kita merasa kasihan. Hasan yang diperankan oleh Fanny Fadillah (Ucup!!!) sebenarnya adalah yang paling mendekati seorang tokoh utama yang menarik untuk cerita film ini; dia awalnya tak mau bekerja, bujangan tua ini punya pandangan sendiri terhadap kerja di bawah orang lain. Dia bahkan risih berapi-rapi ria pake kemeja. Dia hanya nurut disuruh cari kerja karena selama ini adiknya yang sudah susah payah menghidupi keluarga. Kejadian terorisme ini mestinya mengubah segalanya bagi Hasan dan keluarga, sayangnya tidak diresolve dengan baik oleh cerita.

Satu lagi soal tokoh-tokoh adalah; film ini tidak berani berbuat banyak terhadap pihak terorisnya. Mereka hanya ada di sana untuk bikin kerusuhan. Kita tidak dikasih tahu alasannya apa, tidak ada cerita mengenai mereka, tidak ada sudut pandang moral mereka. Dan ini membuat mereka tampak lemah, kenapa juga mesti mengumbar diri di tengah keramaian; entah salah rencana atau memang rencana mereka seperti itu, kita tidak pernah tahu. Meskipun dipromosikan dengan hashtag KamiTidakTakut, film justru malah terlihat tidak berani menggali apa yang kita tahu persis akan membawa film ini ke ranah agama. Bahkan aksi kepolisiannya sendiri juga tidak pernah betul-betul ditonjolin. Bagian dari tokohnya Ario Bayu, misalnya, malah tampak seperti kebetulan dia berada di TKP. Mungkin, memang kejadian aslinya seperti begini; ada satu polisi yang kebetulan lewat sana, dan dengan sigap mengambil tindakan. Namun, yang perlu diingat bahwa ini adalah sebuah film. Sebelum menjadi film, tentu ia melewati meja naskah terlebih dahulu. Mestinya kan, bisa, semua elemen kejadian nyata pada cerita ini disesuaikan demi menghasilkan naskah yang lebih kuat.

 

 

 

 

Aku sesungguhnya suka gimana film ini berusaha mengambil tindakan untuk membuat film ini tampil tak-biasa lewat struktur berceritanya. Meskipun, mereka melakukannya dengan meminjam dari film lain. Bagian siaran radionya malah lebih meyakinkan dari siaran radio Death Wish (2018) yang kelihatan banget ditambahin belakangan biar filmnya relevan dengan isu kepemilikan bersenjata. Menjelang tamat, aku mendengar ada sound effect bunyi detak jam yang mengingatkanku pada Dunkirk (2017), yang anehnya adalah kenapa baru sekarang menggunakan efek itu, setelah gimmick Vantage Point dan shot waktu sudah tidak digunakan lagi. Bagaimanapun juga, mereka mengeksekusi adegan-adegan dengan lumayan kompeten. Efeknya niat. Sayangnya, it’s pretty much what you see is what you get. Jika ketenangan sebelum badai itu merupakan pertanda yang mengingatkan kita untuk waspada, maka keheningan setelah semua debu dan asap ledakan itu semestinya adalah waktu untuk kita memikirkan apa yang sudah terjadi. Film ini, pada akhirnya, lebih tampak sebagai usaha simpel mempahlawankan kekuatan polisi dengan meminta kita mengasihani tokoh-tokoh yang lain. Jika kalian tidak punya masalah dengan hal tersebut, film ini bisa jadi tontonan yang greget buat kalian.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for 22 MENIT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BUFFALO BOYS Review

“The worst thing that colonialism did was to cloud our view of our past.”

 

 

 

Koboi itu naik kuda. Karena kalian naik kerbau, kusebut Buffalo Boys. Van Trach yang jahat menertawakan dua jagoan kita yang datang menunggang kerbau dalam rangka membebaskan penduduk desa dari tiraninya. Walaupun dengan logika seperti demikian, mestinya Panglima Belanda itu menyebut koboi sebagai “horseboy”. Toh, Cow dari Cowboy kan artinya Sapi. Tapi kita bisa maklum karena bahasa Inggris bukanlah bahasa pribumi bagi Van Trach. Yang jelas, regardless tunggangannya, jagoan di Buffalo Boys ini memang sama seperti Cowboy-Cowboy yang di Amerika; mereka menggembala makhluk-makhluk helpless nan tak berdosa menuju keselamatan.

Jagoan kita, Arana dan dua keponakannya baru saja kembali menjejak di bumi pertiwi setelah bertahun-tahun hidup ‘keras’ di Amerika. Perjalanan pulang kampung menghantarkan mereka ke satu desa petani yang dikuasai oleh penjajah. Warga dilarang menanam padi karena opium dianggap jauh lebih menguntungkan. Yang nekat berontak, satu persatu dibantai di depan umum, supaya jadi pelajaran bagi yang lain. Film punya nyali menekankan kepada kekejaman yang dilakukan oleh penjajah dan antek-anteknya. Setting Indonesia di jaman penjajahan memang sangat tepat untuk membuat cerita semacam ini. Mencampurkan dongeng ke dalam sejarah penjajahan Indonesia, dan tak ketinggalan elemen western Django Unchained (2012), dan klasik seperti Seven Samurai (1954) –malahan ada tokoh nenek yang berlatar sama dengan nenek di karya Akira Kurosawa tersebut -, Buffalo Boys bermaksud menjadi sajian aksi yang kreatif dan bisa kita banggakan. Hasilnya?

Ternyata malah lebih pantas untuk kita tertawakan.

Cap dagang ‘film konyol’ sekarang bukan hanya milik horror lokal. Tonton deh, Buffalo Boys!

 

Punya potensi besar untuk menjadi film cult – film yang digemari secara sakral oleh banyak orang – karena kekonyolan logika; actually adalah pujian yang bisa aku berikan untuk Buffalo Boys. Sebab dia akan membuat kita tertawa-tawa menontonnya, paling enggak sampai kita ingat kita sudah membayar tiket untuk tontonan yang kita pikir bakal epik. Lima-belas menit pertama aku sudah ngakak gak berhenti-henti. Pertama; Saat para tokoh sampai di Indonesia, Arana memperingatkan mereka jangan sampai ada orang yang tahu asal mereka darimana. Dua jagoan kita musti berbaur dengan penduduk lokal. Lantas berjalanlah mereka pasang lagak seperti biasa-biasa saja, dengan topi koboi!

Keblo’onan yang teramat nyata, yang bikin aku harus minta maaf pada penonton di sebelahku lantaran ngakak ampe jongkok lompat-lompat di kursi, datang dalam sebuah adegan flashback – btw, aku gak ngerti kenapa mereka mesti pakai flashback sedini itu, padahal introduksi tokohnya bisa lebih baik dengan menyajikan cerita secara linear.

Jadi, di flashback tersebut, Arana dan Sultan Hamza terdesak dikejar Belanda. Arana kabur naik sampan, sementara Sultan tinggal untuk menahan pasukan Belanda. Kemudian kita menyaksikan Arana menyaksikan Sultan dibunuh; dia ditembak oleh empat orang, dalam jarak yang dekat. I mean, kenapa Belandanya bego sekali, tidakkah mereka melihat Arana masih di dekat sana; SEBERAPA CEPAT sih dia kabur dengan naik sampan di air yang tenang?! Kenapa musti empat-empatnya bunuhin orang yang udah terluka, kenapa yang berusaha kabur itu enggak ditembak. I was like, he’s a sitting duck right there!!!! Jawabannya ya karena kalo ditembak, filmnya tamat karena tokohnya sudah mati sebelum cerita dimulai hihihi..

 

Jumlah duit yang mereka keluarkan demi film ini jelas bukan sesuatu yang bisa kita tertawakan. Desain produksinya benar-benar total, dunia yang dibangun film ini jadi terlihat meyakinkan. Saking banyaknya duit, sekalian sampai ke darah-darahnya mereka mainkan dengan CGI. Film ini seharusnya menginvestasikan sama banyaknya kepada pengembangan cerita. Karena apa yang kita dapatkan pada Buffalo Boys benar-benar laughable. Aku ingin bicara tentang karakter dan penampilan para pemain, tapi aku gak bisa. Karena film ini tidak menawarkan banyak untuk diceritakan. Film aksi mestinya membangun tokoh utama, penonton harus peduli sama mereka. Namun hingga akhir film, kita masih tak kenal siapa kedua jagoan bersaudara tersebut selain bahwa mereka adalah anak dari Sultan yang dibunuh oleh si penguasa lalim, Van Trach. 

PENOKOHANNYA SANGAT TIPIS. Suwo yang diperankan oleh Yoshi Sudarso adalah si bungsu yang mengaku sering diremehkan oleh abang dan pamannya. Sedangkan abangnya, Jamar, yang diperankan oleh Ario Bayu adalah seorang yang tidak suka sama kalajengking. That’s it. Kevulnerablean mereka segitu doang, kita diharuskan peduli sama mereka berdasarkan dua hal tersebut. Dan oh iya, Si Suwo ini kerjaannya ngelaba ama cewek, dia naksir sama tokohnya si Pevita Pearce. At the sight of her, Suwo akan membuka penyamarannya dan melupakan dirinya masih berada di kota yang penuh Belanda. Menakjubkannya tokoh Suwo ini adalah, satu plot poin cerita ini bergulir dari dia yang disuruh beli obat, namun malah ‘pacaran’ ama Pevita, alhasil mereka kegrebek antek Belanda.

Menang kerbau! Menang kerbau! eh maaf, salah daerah..

 

Motivasi Arana ini sebenarnya juga tidak begitu jelas. Dia melarikan diri ke Amerika, membawa dua anak saudaranya yang dibunuh oleh Belanda. Kita melihat mereka pertama kali saat sedang ngadain adu tarung, demi uang, di dalam gerbong kereta api yang menuju California. Kejadian menjadi kacau, ia hampir mati ditembak orang sana. Jadi saat itu juga, Arana mutusin sudah saatnya kembali ke Indonesia. Ini udah ibarat keluar dari mulut singa, masuk lubang buaya, kemudian dia balik lagi ke mulut singa. Nyalahin buaya padahal mereka sendiri yang bisnis berbahaya di sana. I guess film cukup relevan dengan kondisi sekarang hahaha.. Serius nih, padahal ini elemen yang cukup menarik loh. Gimana mereka yang tadinya udah seperti penjajah kecil-kecilan di Amerika, kepukul mundur, untuk kemudian harus mengronfontasi penjajah di negeri sendiri. Tapi film tidak pernah memberi bobot lebih banyak ke elemen kenapa mereka mesti dibuat pindah begitu jauh ke Amerika, selain untuk membuat mereka mendapat gimmick topi koboi.

Film  akan seringkali membuatku berpikir bahwa mereka sebenarnya punya modal dan materi cerita yang cukup tapi tidak mampu untuk mengolahnya dengan kompeten. Film segrande ini mestinya dibuat dua jam lebih, untuk totalitas mengeksplorasi budaya dan gimmick ceritanya. Ada banyak perspektif yang bisa dijadikan faktor dalam penggalian cerita; ada orang desa, ada orang Belanda, jagoannya sendiri adalah orang asing di tanah itu, tapi film tidak mau meluangkan waktu untuk membahas ini. Mereka ingin cepat-cepat ke sekuen aksi saja. Hubungan kakak-adik Jamar dan Suwo juga tidak pernah digali secara mendalam. Mereka tidak ubahnya tampak sebagai sahabat, enggak kelihatan sebagai kakak adik. Bahkan mereka tak tampak tertarik dengan sejarah keluarganya sendiri. Jamar diwarisi keris, dan kita tidak pernah melihat keris tersebut beraksi. Menjelang pertarungan akhir selesai, aku terus bertanya-tanya “mana keris, mana kerisnyaa??” Oh ternyata, keris itu ditaroh di punggung untuk perlindungan kalo ditembak dari belakang -,-

Sesuai dengan judulnya, film ini didominasi oleh pria. Ada juga, sih, peran wanita. Tiga di antaranya jadi objek yang perlu diselamatkan. Ini kontras sekali dengan keluh kesah Kiona, tokoh yang diperankan oleh Pevita. Kiona adalah elemen yang paling disia-siakan oleh film. Ditambah dengan keahlian panahnya, dia bisa saja tumbuh menjadi hero cewek yang kuat, tapi naskahnya begitu clueless terhadap apa yang sedang ia ceritakan. Kiona ini benci sama fakta cewek selalu tak dianggap, bahwa laki-laki adalah nomor satu.  Kalo digali, sudut pandang tokoh ini bisa menjadi bahan pemikiran. Kemudian, exactly beberapa detik setelah itu, kita melihat dia akhirnya berhasil tepat memanah dengan dibantu oleh laki-laki. Kenapa banget. Padahal di adegan pengenalan tokoh ini, kita melihat Jamar dan Suwo terkagum-kagum oleh aksi panah yang ia lakukan selagi menunggang kerbau. Ke mana perginya semua keberdayaan dan kemandirian yang keren itu.

If anything, film ini membuktikan lagu Sabda Alam itu benar adanya; bahwa wanita memang sudah dijajah pria sejak dahulu. Sejarah penjajahan inilah yang diangkat oleh Buffalo Boys, supaya kita tidak melupakannya. Kehebatan dan kemudahan itu semuanya milik kaum pria. Tidak dengan wanita, mereka bahkan tidak dibiarkan mati begitu saja. Wanita di film ini, harus disiksa dahulu. Mereka harus pasrah menunggu diselamatkan. Bukan hanya Kiona, menjelang akhir kita juga akan melihat seorang istri yang memilih mati mengikuti suaminya. Melihat dari gimana wanita dan pria diperlakukan, sepertinya kita bisa menebak kelamin kerbau yang ditunggangi oleh dua koboi jagoan kita.

wanita-wanita minta tolongnya ke Buffalo Bill ajaaa

 

Dengan tokoh-tokoh protagonis semembosankan itu, wajar kalo perhatian kita beralih ke tokoh antagonis. Film ini punya banyak, penampilannya pun lebih ‘colorful’, ada berbagai keunikan dari masing-masing penjahat. Van Trach memiliki pemikiran yang menarik; the way dia menganggap Suwo dan Jamar lah yang sudah mengusik hukum di desa jajahannya. Bahwa dialah yang merasa terjajah oleh mereka. Aku suka adegan ketika di depan mayat kakek dan ayah, Van Trach nyuruh Kiona berterima kasih kepadanya karena telah dibiarkan hidup. Ini adalah satu-satunya momen di mana ada emosi yang kerasa. Karena film ini sedemikian terasa kosong, hanya rangkaian aksi-aksi tembak. Arahannya tidak berhasil membangun suspens. Tokohnya Mikha Tambayong abis mau diperkosa, ia disandra dengan sebilah pisau pada batang lehernya. Setelah itu, dia membicarakannya seolah tidak ada apa-apa, tidak ada jejak trauma atau apapun emosi sama sekali.

Hal terburuk yang diakibatkan oleh penjajahan adalah membuat kita melupakan masa lalu. Film ini mengatakan bahwa kita berhak untuk tahu. Jamar dan Suwo berhak untuk membalas dendam. Namun seburuknya terjajah, adalah terjajah oleh rasa dendam. Jika harus berjuang, berjuanglah demi keadilan. Demi berubahnya masa lalu menjadi masa depan yang lebih baik.

 

Tak lebih dari klise-klise film koboi yang berusaha dilokalkan, tapi tidak dengan kompetensi yang memadai. Keindahan visual, kostum-kostum yang epik, film ini cuma ‘tampang’. Mengatakannya style over substance juga susah lantaran enggak ada gaya dalam penceritaannya.  Sekuen aksinya punya koreografi yang seru, banyak hal menarik yang mereka lakukan saat bertarung maupun tembak-tembakan. Hanya saja, kamera tidak dapat menangkap semua dengan baik. Editingnya juga gak ngerti untuk menyuguhkan rangkaian yang asik untuk dilihat. Di big-finale, kita akan melihat dua adegan pertarungan yang diselangselingin. Tapi gak ada eye-trace yang menyelaraskan dua berantem tersebut. Kita seperti melihat adegan yang berpindah-pindah, sungguh membingungkan, tak lagi enak untuk diikuti.

 

 

 

 

Bahkan reviewku pun terlihat kayak naskah stand-up komedi; Setiap paragraf berakhir dengan punchline lelucon. Karena filmnya sendiri memang begitu, setiap adegan aja saja yang bikin kita tertawa. Ketinggian kalo mengharapkan laga yang kolosal dan penuh referensi sejarah di sini. It’s juts a mindless action berbalut desain produksi yang keren yang semestinya diniatkan untuk total bersenang-senang. Tapi film ini menganggap dirinya serius dan penting. Yang ada malah, mereka baru saja menghabiskan puluhan milyar untuk membuat salah satu film paling konyol yang bisa kita tonton setahun terakhir ini.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for BUFFALO BOYS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Extreme Rules 2018 Review

 

 

Waktu tinggal sepuluh menit lagi. Skor 4-3 untuk juara bertahan Dolph Ziggler yang dengan liciknya sekarang bermain lambat. Mengunci, menahan, mengulur waktu dengan sengaja. Seth Rollins berusaha bangkit mengejar ketertinggalan, dia mencoba menyerang, tapi Ziggler kembali menjatuhkannya. Kedua superstar sama-sama terbanting ke matras dengan keras. Rollins mengambil kesempatan, dia terbang menghantam Ziggler dari turnbuckle paling atas. BRUUKK. Ziggler masih mampu bangun di hitungan kedua! LIMA MENIT LAGI!!! Rollins berusaha menyerang dengan jurus pamungkas, tendangan Blackout, Ziggler berhasil mengelak!!! TIGA MENIT!!!! Aku geregetan nonton sambil menggigit-gigit tangkai eskrim (esnya sudah dari tadi mencair oleh panasnya pertarungan). Dan penonton di stadion PPG Paints Arena di Pennsylvania sana malah asik sendiri menghitung mundur waktu seolah ini adalah pertandingan Royal Rumble.

 

WWE Fans: “Awas ya. Jangan sampai Roman Reigns jadi main event lagi”

WWE: “Oke, kami dengar saran dan permintaan kalian”

WWE Fans: “Ya tapi nanti kami masih akan tetap heboh neriakin –kalo perlu ngelakuin – hal-hal yang gak nyambung, supaya kami kelihatan keren di tv, kemudian pulang dan komplen di internet soal produk kalian yang basi.”

 

 

Kita, sebagai yang mengaku penggemar, suka ngeluh, ngritik, komplen betapa WWE tidak memperhatikan keinginan fans. Gimana produk mereka semakin hari semakin membosankan. Bagaimana para penulis skrip tidak tahu cara menggali potensi dari talenta-talenta yang mereka punya. Tentang manajemen WWE yang terlalu memonopoli, mereka mengambil superstar, dan memperlemah mereka dengan membatasi gerakan dan gimmick yang konyol. Tentu, kita memang harus kritis seperti demikian, menunjukkan kita peduli terhadap produk yang kita gemari. Sama seperti pada film, Kita ingin yang kita tonton sedari kecil ini berkembang menjadi lebih baik. Sama seperti pada film, toh kita tidak teriak-teriak sibuk sendiri di dalam bioskop. Sama seperti pada film, kita – penonton – adalah bagian dari pertunjukkan. Tidak satu berada di atas yang lain. Maka dari itu, menghijack pertunjukan – bikin heboh sendiri malah tidak memperhatikan apa yang sedang disuguhkan – bukannya membantu untuk membuat show menjadi lebih baik, malahan menjadikannya tampak konyol. Nyatanya merendahkan sekali terhadap superstar-superstar yang tak diacuhkan.

Sebagai fans, kita semestinya tidak egois. We should not think we can run the show seenak udel. Kita perlu belajar respek. Kita perlu belajar, period. Kita perlu ingat bahwa setiap acara dijalankan dalam konteks tertentu. Ketika kita menonton WWE, kita mestinya paham bahwa ini adalah acara yang berdasarkan pada storyline, drama, dan (psikologi) karakter. Ini bukan kompetisi murni, jadi gak ada gunanya ngeluh kenapa atlit yang beneran hebat bisa kalah sama atlit yang jurusnya hanya sedikit. Sebaliknya, aku pikir konyol sekali bahwa dalam pertandingan kejuaraan Intercontinental pertama yang jadi main event sejak Davey Boy Smith melawan Bret Hart di Summerslam ’92, pengolok-olokan sebagai bentuk dari yang katanya protes membangun itu tetap terjadi. I mean, ini yang main Seth Rollins yang dielu-elukan fans sebagai salah satu pegulat terhebat loh, namun tetap saja penonton tidak memperdulikan. Apapun yang dilakukan WWE tampaknya tak bisa benar di mata fans, dan ini menurutku terjadi karena kita sebagai fans kadang melupakan konteks sebenarnya dari acara ini.

“The B Team is about to get F in the B”

 

Orang-orang menganggap kontes Ironman untuk Kejuaraan Intercontinental itu sebagai laga yang buruk, karena mereka tahu kedua superstar yang terlibat sebenarnya kompeten untuk melakukan pertandingan gulat klasik yang epik. They didn’t get that, so they thought “hey, it’s time to takeover”. Pertanyaannya adalah; apa seharusnya memang harus begitu. Sebuah pertunjukan ‘seharusnya’ punya alur, yang dibangun sesuai dengan konteks. Mereka tidak harus bertarung secara over, karena ada cerita yang harus disampaikan. Jika kita memikirkan lebih dalam, psikologi match ini bekerja dengan sangat baik. Ingat ketika sebelum match, Rollins diwawancara di backstage? Apa yang ia katakan saat itu literally foreshadowing apa yang bakal kita saksikan. Rollins beneran berpacu dengan waktu, dia dihalangi oleh Ziggler yang di sini berperan sebagai heel; antagonis. Heel Ziggler tidak berusaha untuk bergulat, dia berusaha untuk menang dengan segala cara. Tentu, dia sungguh mampu bertarung sendiri, tapi di cerita ini dia culas dan punya teman bernama Drew McIntyre. Jika kita marah dan gak seneng melihat kelakukan mereka berdua di sini, maka itulah yang namanya peran heel – peran antagonis. Aku tidak melihat masalah dalam penyampaian cerita ini. Ironman adalah pertandingan yang tricky untuk dibook (Sasha-Bayley adalah contoh yang sukses, Sasha-Charlotte contoh yang kurang), dan untuk match ini; mereka berhasil deliver cerita dengan kuat. Meski aku setuju bahwa skrip gak musti semengekang itu, mereka bisa sedikit lebih lepas dan tujuan cerita masih tercapai; terutama aku kurang sreg ama elemen sudden deathnya, aku lebih suka jika dibiarkan hasilnya seri karena lebih emosional buat Rollins sebagai tokoh utama di cerita ini.

Kalo main video game, biasanya kita akan menemukan cut scene – sekuens adegan cinematic yang tidak bisa kita mainin, bahkan sudah banyak sekarang yang tidak bisa kita skip. Kita disuruh nonton doang. Nah, dalam satu show WWE, kita akan banyak menemukan partai-partai pertandingan yang sejatinya adalah cutscene dalam video game. Pertandingan yang fungsi sebenarnya adalah pengisi waktu untuk meneruskan cerita. Tidak terkecuali dalam Extreme Rules ini. Match kayak Alexa Bliss lawan Nia Jax, digunakan untuk furthering karakter-karakter dan cerita dalam  saga Ronda Rousey. Jeff Hary lawan Nakamura digunakan untuk memperkenalan Randy Orton ke dalam cerita. Bahkan Tag Team antara Team Hell No melawan Bludgeon Brothers dialihfungsikan sebagai cutscene match demi mengakomodasi cedera yang dialami Kane sebelum acara. Jadi sama sekali bukan tentang superstar yang tidak mampu beraksi dengan baik. Asuka dan Carmella dibook bukan semata untuk menjatuhkan Asuka, hanya masih dalam tahap developmental karakter baru bagi mereka saja. Buruknya pertandingan itu disengaja, ada desain dari pengaturan match card dan segala macam yang bakal terasa jika kita melihat mereka sebagai gambaran besar show Extreme Rules.

One. Two. Happy Birthday to me!!!

 

Untuk development karakter, memang kita sudah paham WWE rela berlama-lama. Kadang mereka pakai rangkaian match, makanya kita sering dapat partai yang itu-itu melulu. Constable Baron Corbin melawan Finn Balor adalah contoh development yang merupakan tahap yang lebih lanjut dari ‘cutscene’ match. Kesuksesan The B Teamnya Bo Dallas dan Curtis Axel di partai kejuaraan Tag Team Raw bisa dibilang sebagai tahap akhir dari pengembangan mereka; bahwa karakter mereka sudah mekar dan siap untuk dilepas di pertandingan selanjutnya. Lashley-Roman Reigns, Styles-Rusev adalah karakter-karakter yang sudah fully-blown, dan kelihatan match mereka diberikan kebebasan lebih, dan hasilnya tak mengecewakan; partai mereka bekerja efektif dari sudut karakter dan aksi. The most fun yang kita dapatkan dalam pertunjukan ini tak pelak adalah Cage Match antara Strowman melawan Owens, namun tentu saja momen high risk seperti demikian tidak akan mungkin terus-terusan dilakukan karena menyangkut well-being dari superstar. Masalah Proteksi Superstar ini juga salah satunya yang patut kita perhitungkan ketika bicara dalam konteks acara WWE.

Tentu saja, aku tidak membela WWE mati-matian. Kesalahan tidak berarti lepas dari tangan mereka. Karena selain KONTEKS yang harus kita ingat, juga ada KONSEP yang harus mereka landaskan dalam membangun acara.  Dan aku berpikir, WWE – demi develop cerita – cenderung melupakan konsep ini dan akibatnya benar-benar terasa ke pengalaman menonton kita semua. Seperti, Extreme Rules ini; seharusnya ini adalah acara yang konsepnya semua pertandingan menjadi ‘ekstrim’ pada malam itu. They used to have stipulation matches, even hardcore matches. Tapi sekarang WWE tidak lagi benar-benar live it up ke konsepnya. Dan memang ini mengecewakan, terlebih buat kalangan fans yang sudah membangun antisipasi seperti apa aplikasi konsep mereka seharusnya.

 

 

 

 

Pada Extreme Rules, kitaikut share the blame. Kita kadang lupa konteks acara. WWE pun sebenarnya bisa melakukan lebih dan tetap berjalan sesuai konteks mereka, dengan tidak menyia-nyiakan konsep yang sudah diantipasi. Shownya sendiri sebenarnya enggak parah-parah amat, setiap partai punya sesuatu yang bisa kita nikmati dalam kapasitasnya sebagai bagian dari acara gulat hiburan.

Happy Rusev Day!

The Palace of Wisdom menobatkan WWE Championship antara AJ Styles melawan Rusev sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Result:
1. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The B-Team juara baru ngalahin The Deleters of World
2. SINGLE Finn Balor mencuri kemenangan dari Constable Baron Corbin
3. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Carmella retains dari Asuka yang terdistraksi James Ellsworth yang mestinya digantung dalam kandang
4. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Shinsuke Nakamura menang dengan curangin Jeff Hardy
5. STEEL CAGE Braun Strowman melempar Kevin Owens dari atas kerangkeng
6. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Bludgeon Brothers praktisnya menang handicap lawan Daniel Bryan (Kane nyaris gak ofensif dengan cedera kaki)
7. SINGLE Bobby Lashley mengalahkan Roman Reigns
8. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP EXTREME RULES Alexa Bliss bertahan dari Nia Jax
9. WWE CHAMPIONSHIP AJ Styles tetap juara atas Rusev
10. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP 30-MINUTE IRONMAN Dolph Ziggler menang sudden death setelah seri 4-4 melawan Seth Rollins.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SICARIO: DAY OF THE SOLDADO Review

“How can you have a war on terrorism when war itself is terrorism?”

 

 

“Bagaimana cara engkau mendefinisikan terorisme?” Kalo aku ditanya begitu sih, aku langsung kebayang pengeboman tempat ibadah, aksi penembakan massal di sekolah, penabrakan pesawat ke gedung di siang bolong, kalian tahulah maksudku; terorisme itu kerjaan yang membunuh banyak orang tak berdosa. Tapi, lebih dari tindakannya, terorisme itu sendiri sebenarnya mengacu kepada tujuan tindakan tersebut; untuk menyebarkan terror, menanamkan ketakutan publik, demi mecapai tujuan –politik ataupun ideology – satu golongan. Sicario: Day of the Soldado dengan cepat meninggalkan zona hitam-putih, tokoh-tokohnya tahu ladang kerja mereka adalah zona abu-abu; mereka paham untuk menyelesaikan pekerjaan mereka yang menyangkut hajat hidup orang banyak,  masalahnya tidak pernah soal benar atau salah. Mereka tidak ragu untuk balik melakukan terror, demi menangkap peneror yang sebenarnya.

Dan itulah sebabnya kenapa memerangi terorisme itu begitu susah, sebab teror itul sendiriah perang yang harus kita hadapi. Kita saling menyebarkan teror dalam usaha menghentikan peperangan, kita mencoba mengambil alih kendali dengan propaganda ketakutan.

 

 

Dalam adegan pembuka, kita melihat Matt Graver menginterogasi seseorang. Ia ditugaskan untuk menyelidiki pihak kartel dari negara mana yang udah mengizinkan pengebom bunuh diri masuk ke perbatasan. Jadi dia butuh jawaban dengan segera. He would take no bullshit. Tokoh yang diperankan Josh Brolin ini berkali lipat lebih intens dari film Sicario yang pertama (2015). Untuk mendapatkan jawaban yang ia mau, Matt mengancam akan mengebom rumah keluarga si terdakwa. Dan baik si yang diinterogasi, maupun kita, semua orang yang menyaksikan ini sama-sama tahu ancaman Matt tersebut bukan gertak sambal belaka. Perintah pengeboman akan segera meluncur jika ia tidak mendapat jawaban atau informasi yang memuaskan. Tokoh-tokoh film ini, mereka bukan orang baik-baik. Mereka adalah patriot yang mencoba menyelesaikan pekerjaan yang tidak diinginkan oleh orang lain. Kita tidak membela ataupun root for them. Malahan mungkin kita hanya duduk di studio terpana menyaksikan hal yang mereka lakukan. Merasa ngeri.

Sicario: Day of the Soldado, bukan Si Karyo: Suami-suami Takut Istri loh ya

 

Keunikan dari Sicario, yang tongkat estafetnya digenggam mantap oleh sutradara asal Italia, Stefano Sollima adalah bagaimana film ini tidak tampil selayaknya thriller Hollywood. Tidak pernah diakhiri untuk membuat kita merasa lega, puas. Gembira. Tidak sama sekali. Entertainment value film ini, bisa dikatakan nihil. Hampir setiap adegannya berakhir dengan begitu berbeda dari yang sudah kuharapkan. Sekuen-sekuen aksinya, malah tidak bisa dibilang sebagai sekuen aksi. Mereka tidak dilakukan untuk menghibur penonton, tidak untuk membuat kita berteriak seru. Sekuen aksi di film ini tak lebih dari adegan-adegan kekerasan yang dibuat sedemikian rupa nyata sehinggakita merasa ikut berada di sana. Kekerasan itu akan terjadi dengan begitu cepat, luar biasa brutal, namun tampak sangat efisien.

Kalian tahu gimana film-film lain menampilkan tokoh antihero; mereka dibuat likeable, kocak dengan sudut pandangnya yang twisted, kita tahu mereka sebenarnya baik jauh di lubuk hati terdalam mereka, mereka melakukan hal-hal keren yang membuat kita kagum. Pada Sicario: Soldado, nuh-uh, antiheronya benar-benar menekankan pada kata ‘anti’, like, kita anti deket-deket ama mereka. Film ini bahkan memasukkan pancingan Matt dan Alejandro saja tampak tidak benar-benar saling percaya. Atau malah, mereka berdua mengerti apa yang akan dilakukan pihak lain jika kondisi mengharuskan demikian, maka mereka juga suudzon kepada pihak yang lain. Ketajaman penulisan Taylor Sheridan menunjukkan tajinya di sini.  Aku akui, aku enggak ngebet banget menantikan sekuel Sicario, terlebih saat mengetahui Denis Villeneuve tidak lagi mengepalai filmnya. Namun kemudian, ketertarikanku naik kembali setelah Taylor Sheridan mengonfirmasi ia kembali duduk di kursi penulis scenario. Dan ia tahu, aspek paling mengejutkan yang dipunya Sicario adalah karakter Alejandro yang diperankan oleh Benicio Del Toro.

Pada film kedua ini, Del Toro  diberikan kesempatan untuk menggali lebih banyakdari tokoh Alejandro, karena kali ini giliran arc karakternya yang menutup dengan sempurnya. Dan dia memainkannya dengan sangat menakjubkan. Dalam usaha untuk menghentikan kartel yang membantu teroris menyebrang perbatasan, Alejandro harus berurusan dengan kelompok yang dipimpin oleh orang yang dahulu membunuh putrinya. In turn, Alejandro berada di posisi dia harus mengawal putri dari pembunuh tersebut. Kita paham dua hal mengenai tokoh Alejandro; Dia punya kompas moral sendiri, dan dia enggak akan segan-segan membunuh bocah jika perlu. Apabila memang dibutuhkan, Alejandro akan menyiksa orang. Simpel saja. Tak masalah baginya untuk keluar dari jalur hukum untuk mendapatkan jawaban atas masa lalunya, serta untuk melindungi negara tanah airnya. Although beberapa shot membuatku kepikiran, “Orang ini pernah gak sih dapet peran banci – it would be a challenge buatnya”

Berkat Alejandro aku jadi tahu kalo ‘sepatu’ adalah kata serapan dari bahasa Spanyol

l

 

Tak jarang memang kita melihat gambar-gambar seolah Sollima berusaha keras mengikuti jejak yang ditinggalkan oleh Villeneuve, ini bias menjadi distraksi juga, karena kita diingatkan oleh sebuah pencapaian yang luar biasa. Dari segi teknik, film ini masih berada di belakang  film yang pertama, namun dari segi cerita, Soldado punya kisah yang lebih kompleks. Film pertama pada dasarnya hanya tentang agen yang baru pertama kali terjun ke dunia hitam – narkoba, kartel, dan semacamnya, dan ia menemukan banyak rahasia seputar apa yang sebenarnya mereka lakukan. Cerita yang sederhana, yang terangkat berkat teknik filmmaking. Misi Matt dan Alejandro di film yang kedua ini lebih ribet.  Mereka coba memancing keributan antara kedua kartel di perbatasan, sementara berusaha untuk tidak ‘terlihat’ dalam artian, tidak ada orang yang boleh tahu Amerika campur tangan dalam masalah yang bukan benar-benar berada di negaranya. Kedua tokoh kita terjun langsung ke lapangan, mereka come up dengan sebuah strategi yang sungguh tak mulia – memanfaatkan anak kecil sebagai pion. Film ini mengeksplorasi efek perdagangan narkoba, perang antarkartel, penyelundupan imigran kepada anak-anak yang bersinggungan dengan masalah-masalah tersebut. Film menunjukkan dilema moral yang dihadapi oleh orang yang mestinya di pihak ‘pahlawan’ ketika mereka mencoba untuk menyelesaikan tugas. Tapi sesungguhnya tidak ada ‘orang baik’ di cerita ini, hanya dua kelompok yang berbeda tujuan, di mana kelompok yang satu lebih egois dibandingkan kelompok yang lain.

Anak-anak corrupt oleh narkoba, mereka kecanduan hal-hal yang tak berguna, itulah sejatinya teror  yang paling mengerikan. Film ini menunjukkan apa yang dapat terjadi kepada anak kecil yang tumbuh di dunia yang diteror oleh perang obat-obatan terlarang. Tokoh anak-anak pada film ini benar-benar merepresentasikan hal tersebut. Ada yang dibesarkan untuk menjadi kurir, dan pada akhirnya menjadi pembunuh. Mereka dijadikan alat untuk memicu perang dan adu domba. Hal yang paling menyedihkan adalah mereka dijadikan korban sekaligus sebagai pelaku.

 

 

 

Jika film pertamanya disukai kritik dan penonton kasual, karena it was simple story about orang baru yang melihat hal buruk yang dibeking oleh teknik filmmaking yang menakjubkan. Film ini, akan susah disukai oleh kritik karena moral yang dibawanya, its not really defining good or bad, sudut pandang ini mungkin akan banyak bertentangan dengan orang. Juga akan sulit diterima oleh penonton biasa, sebab filmnya gak ‘asik’, karena aksi-aksinya bukan dibuat untuk hiburan. Tapi buatku, aku mencoba melihat film bukan semata dari baik buruknya pesan moral atau apa, tapi lebih ke gimana cara mereka menceritakan. Selain babak ketiganya yang tampak agak tidak masuk di akal, oddsnya sangat langka untuk bisa kejadian, film ini bercerita dengan sangat kelam. Sama seperti pembunuh bayaran itu, film ini pun kejam, tapi efisien.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SICARIO: DAY OF THE SOLDADO

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

INCREDIBLES 2 Review

“All parents are super heroes.”

 

 

Dipersalahkan padahal kita tahu kita melakukan sesuatu yang benar itu  memang rasanya menyebalkan. Kita sudah berjuang, tapi orang-orang salah mengerti apa yang kita lakukan. Karena semua itu memang soal perspektif. Apalagi pada dasarnya, seringkali kita semua menilai dari hasil. Dalam dunia criminal misalnya, kita pengen penjahat segera ditangkap dan dijebloskan ke dalam bui. Namun kita kerap kesal melihat cara kerja polisi yang lamban, bertele-tele dengan segala prosedur itu. Di lain pihak, keberadaan pihak yang main hakim sendiri, yang bertindak di atas hukum, seringkali dituduh meresahkan.

Katakanlah, pahlawan super.

Kehancuran yang mereka sebabkan bukan tidak mungkin lebih gede dari yang diakibatkan oleh penjahat yang hanya ingin merampok bank. Not to mention, penjahat yang cerdik itu juga tidak seratus persen berhasil ditangkap. Karena kejadian seperti demikianlah, superhero-superhero di film Incredibles 2 dicap undang-undang sebagai sesuatu yang dilarang. Keluarga Bob Parr yang sudah kita kenal baik (mereka dan kerabat mereka tak berubah banyak semenjak terakhir kali kita melihat mereka empat belas tahun silam) termasuk yang dicekal keberadaannya lantaran mereka semua berkekuatan super. Mereka disuruh hidup normal, menghentikan profesi menangkap penjahat karena itu sama saja dengan mereka melanggar hukum.

Pahlawan dan penjahat sebenarnya adalah masalah perbedaan perspektif. Pahlawan bagi satu orang bukan tidak mungkin penjahat bagi beberapa orang lain yang melihatnya dalam ssudut pandang dan alasan yang berbeda. Dan terkadang, untuk membuat hal lebih menarik, media menyederhanakan atribut dan kelemahan mereka untuk menyetir sudut pandang kita – membuat kita melihat mereka semakin ke entah pahlawan atau penjahat.

 

Yang dengan berani disampaikan oleh animasi sekuel buatan Brad Bird ini adalah bahwa terkadang untuk memperbaiki peraturan, kita harus melanggar aturan tersebut terlebih dahulu. Bob dan Hellen diajak kerjasama oleh pasangan kakak beradik yang punya perusahaan telekomunikasi untuk mengembalikan citra baik superhero ke mata masyarakat. Mereka bermaksud merekam semua aksi menumpas penjahat lewat kamera kecil yang dipasang di kostum, supaya pemirsa sekalian dapat melihat langsung sudut pandang superhero, apa yang tepatnya rintangan dan kesulitan yang mereka hadapi dalam upaya menegakkan kebenaran. Tak peduli harus melanggar bejibun peraturan dalam prosesnya. Tapi untuk melakukan itu, superhero yang dipasangi kamera haruslah main aman, enggak yang gasrak gusruk terjang sana sini seperti Mr. Incredible. Maka, jadilah Elastigirl yang dipilih sebagai perwakilan superhero. Dan selama Elastigirl jadi the face of a good cause, memerangi tokoh penjahat baru bernama Screenslayer yang bisa menghipnotis orang-orang lewat monitor apapun, Bob Parr terpaksa kudu diam di rumah – menjadi bapak rumah tangga yang baik, ngurusin tiga anaknya yang bandel, yang baru merasakan gejolak remaja, dan yang baru tumbuh gigi.. eh salah, baru tumbuh kekuatan super.

sekalian aja Elastigirl bikin vlog pembasmian penjahat

 

Incredibles 2 membuktikan perbedaan besar kualitas antara sebuah sekuel yang dipatok kontrak dengan sekuel yang benar-benar dipikirkan dengan matang. Maksudku, lihat saja bagaimana sekuel yang jaraknya deket-deket kayak sekuel Cars, atau bahkan ada yang jaraknya cuma setahun kayak sekuel Jailangkung – mereka adalah franchise yang diniatkan harus punya sekuel yang keluar dalam batas waktu yang dekat, jadi pembuatnya belum sempat mengolah cerita dengan benar-benar baik. Sebagian besar kasus malah sengaja membagi satu cerita besar menjadi tiga agar bisa punya trilogi. Pembuat Incredibles, Brad Bird, semenjak film The Incredibles (2004) rilis sudah mengatakan akan ada sekuelnya, hanya saja dia tidak akan membuatnya sampa dia merasa punya cerita yang lebih baik, atau paling enggak sama baiknya dengan film yang pertama.

Penantian kita toh benar-benar terbayar tuntas.

Ini adalah salah satu terbaik yang ditelurkan oleh Pixar. Dikeluarkan dengan pesan yang relevan dengan tidak hanya iklim superhero, namun juga keadaan sosial dan poltik di jaman sekarang. Incredibles 2 adalah film anak-anak, namun tidak merendahkan mereka. Film ini mengajak anak-anak untuk memikirkan perihal yang cerdas dan serius. Tentang baik dan jahat, tentang peran keluarga. Brad Bird menceritakan filmnya dengan efektif dan penuh gaya. Sure, percakapan yang ada sebenarnya tergolong berat. Misalnya ada debat antara Elastigirl dengan Mr. incredible soal bagaimana dia akan menyelamatkan anak-anak dengan meninggalkan mereka di rumah. Film begitu mempercayai anak-anak kecil yang menonton bahwa mereka bisa memahami ini. Dan ketika kita menunjukkan respek kepada orang, respek itu akan berbalik kembali kepada kita. Itulah yang terjadi antara film ini dengan anak kecil penontonnya. Bukan hanya adikku saja yang antusias menyaksikannya, studio tempatku menonton hampir penuh dengan bisik anak-anak yang berdiskusi kepada orangtuanya, gumaman approval dari mereka ketika superhero melakukan aksi heroik, dan teriakan seru ketika mereka mengalahkan penjahat. Untuk sekali itu, aku tidak keberatan bioskop menjadi berisik.

Sama seperti ceritanya, animasi film ini juga menunjukkan kedalaman yang luar biasa. Helaian rambut Elastigirl terender dengan sempurna. Kita bahkan dapat serat-serat kain kostum para superhero dengan jelas. Porsi aksi digarap dengan menyerupai aksi live action. Pergerakannya sangat mengalir, cepat, dan tidak membingungkan. Ada begitu banyak momen aksi yang membuat kita menahan napas, karena indah dan menariknya animasi yang digambarkan. Sekali lagi, sama seperti ceritanya, animasi film ini pun terlihat dewasa. Teknik lightning yang digunakan membuat intensitas setiap adegan tampak menguat berkali lipat. Favoritku adalah adegan flashback tentang keluarga Deavor; tonenya sangat precise namun tidak melupakan hakikatnya sebagai film anak-anak.

Teknik visual seperti ini membuatku teringat sama film-film anime berkualitas yang membuat kita bertanya ini kartun anak apa dewasa sih. Incredibles 2 masih tetap konyol, seperti film anak-anak biasanya, ada lelucon kentut dan segala macam, tapi dia bekerja di dalam konteks yang benar. Like, kalo kita berurusan dengan bayi, maka tidak bisa tidak kita akan bertemu dengan popok dan segala macam isinya. Sehubungan dengan anime, tentu saja aku yang lagi getol-getolnya ngikutin anime My Hero Academia menemukan kesamaan antara pesan dan beberapa karakter. Seperti gimana pandangan penjahatnya terhadap para superhero, ada karakter yang kekuatannya sama. Kekuatan teleportasi kayak game Portal itu benar-benar keren. Yang stand out dilakukan oleh film ini adalah gimana dia tidak serta merta membuat superhero dan lantas ahli, ada kevulnerablean manusiawi yang dihadirkan saat superhero gagal menargetkan kekuatannya, dan mencobanya kembali.

Pertukaran tugas dalam rumah tangga tidak dihadirkan sekedar untuk komedi dan gimmick saja. Film ini menghormati kedua pekerjaan yang dilakukan oleh orangtua dengan menukar peran ibu dan ayah. Karena kalo kita pikirkan secara mendalam, tugas sebagai orangtua bagaimanapun juga adalah misi superhero yang sesungguhnya dalam dunia nyata. Bagaimana mereka seringkali tampak kejam dan antagonis di mata anak-anaknya adalah bukti nyata perspektif hero-villain itu bekerja. Butuh kesabaran dan kerja yang ekstra super untuk menjaga anak-anak, menyelamatkan kebutuhan mereka, membesarkan mereka, dan semua itu tergali lewat bagian cerita Bob Parr di rumah. Tentu, menjaga dan mengawasi itu terdengar jauh kalah keren dari bertindak menghajar penjahat. Itulah yang dikeluhkan oleh Bob, dia ingin beraksi. Itu juga yang bikin Violet kesel, kenapa saat melawan musuh harus dia yang disuruh menjaga Jack-Jack, si bayi.

Dilindungi bukan berarti lemah. Mendapat tugas sepele bukan berarti karena kita kurang mampu mengerjakan yang lebih. Karena sebenarnya, menjadi superhero bukan seberapa mentereng tugas dan alat-alat yang kita gunakan. Superhero adalah soal seberapa berat tanggungjawab yang berani kita emban. Berapa banyak amanat yang sanggup kita penuhi.

 

Paralel dengan pembelajaran protagonis, di film ini kita dapat tokoh antagonis yang juga membenci bagaimana penduduk hanya suka menjadi penonton, hanya suka mengawasi superhero yang mereka elu-elukan. Villain film ini berpendapat superhero membuat orang-orang menjadi semakin lemah, tidak bisa melindungi – membuat keputusan untuk diri sendiri. Dia ingin menghukum semua orang yang hanya mau menonton dengan kekuatan hipnotis melalui monitor. Melalui tokoh ini, film juga bicara mengenai ajakan untuk menikmati dunia secara langsung. Ketergantungan terhadap monitor – kalo ada yang belum sadar, kita menatap layar nyaris seluruh waktu dalam sehari kita terjaga sekarang – bahwa kita baru percaya kalo melihat sesuatu yang tayang di monitor, alih-alih melihat dan mengalami langsung, adalah suatu hal yang tak sehat. Panjahat dalam film ini punya motivasi yang bagus. Hanya saja personanya sendiri, gimana film berputar di sekitarnya, tampak lemah. Film memasukkan twist, but not really. Tidak ada surprise yang kurasakan ketika menonton ini. Semua elemen cerita tampak jelas berujung ke mana, siapa akan menjadi apa. Kupikir film yang berfokus pada dilema superhero sebenarnya tidak perlu ada yang dicap literal sebagai penjahat, I would be fine jika ini totally tentang drama keluarga superhero saja. Tapi ini kan juga dibuat sebagai film anak-anak jadi mereka harus punya tokoh yang dijahatkan.

Namanya saja udah terbaca “Evil Endeavor”, mengungkap kedoknya jauh sebelum twist terjadi

 

 

 

 

Film lebaran terbaik yang aku tonton tahun ini, dengan nilai yang jauh di atas. Pixar menunjukkan kematangan sekaligus konsistensi yang luar biasa dalam persembahannya ini. Animasi yang aku tidak tahu ternyata bisa lebih dalem dan menggugah lagi berhasil mereka hadirkan. Cerita superhero yang mengangkat sudut pandang yang jarang dilakukan, terlebih dalam film untuk anak-anak. Tokoh-tokohnya menarik, aksinya seru, kocak, dan jangan heran dan sampai kewalahan saat nonton ini adik-adik kita akan melontarkan pertanyaan yang cerdas. Karena film ini memberikan pesan dan bahan pemikiran yang berbobot di balik aksi kartunnya; untuk kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for INCREDIBLES 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM Review

“Stupidity and greed will kill off humans”

 

 

Ada yang punah pada Jurassic World: Fallen Kingdom, dan itu bukan dinosaurusnya.

 

Dua puluh lima tahun setelah Jurassic Park (1993), teori chaos yang dibicarakan oleh Dr. Ian Malcolm sekarang sudah menjadi prophecy yang terwujud nyata. Dan beban dilema moral itu kembali jatuh kepada manusia sebagaimana ancaman kepunahan sekali lagi membayangi dinosaurus. Gunungapi di pulau atraksi dinosaurus, Isla Nublar menunjukkan aktivitas tak menyenangkan, mengancam kehidupan kadal-kadal prasejarah buatan yang tinggal di sana. Tanggung jawab tentu saja ada di tangan manusia, sebagai pihak yang telah menciptakan mereka. Setiap tindakan ada konsekuensi, ada satu pertanyaan raksasa lagi yang bikin manusia mikir dua kali – yakin mau nyelametin makhluk-makhluk yang secara insting menjadikan manusia sebagai menu sarapan, makan siang, dan tak ketinggalan makan malam mereka?

Jurassic World: Fallen Kingdom tampak seakan bersiap membuka ruang diskusi bertajuk debat antara ketamakan melawan tanggungjawab. Karena hal tersebutlah yang menjadi motivasi para tokohnya. Claire (segala kekacauan dinosaurus itu jadi terlupakan demi ngelihat Bryce Dallas Howard), mengambil alih posisi tokoh utama kita kali ini, aktif dalam organisasi pecinta alam yang ingin menyelamatkan dinosaurus sebagai bagian dari makhluk hidup. Berhasil mendapat sponsor keuangan dari seorang bapak tua yang sakit-sakitan di rumah gedongannya, Claire membujuk Owen (kenapa dia begitu kocak? Tentu saja karena dia adalah Chris Pratt) untuk mengadakan ekspedisi penyelamatan ke Isla Nublar. Maksud hati kerja sama tiga orang ini adalah menyelamatkan sebanyak mungkin dinosaurus dari pulau yang bakalan banjir lava panas itu, memindahkan mereka ke tempat baru yang aman dan terjamin.

sayangnya cerita tentang dilema moral tadi tak bisa ikut terselamatkan

 

Enggak sampai sepuluh menit malah, pembahasan yang mestinya berbobot tersebut ditinggalkan begitu saja. Ketika tim ekspedisi sampai di pulau, seketika film menjadi aksi kejar-kejaran, dan lewat midpoint, cerita kembali berubah tone; kali ini menjadi semacam monster thriller di ruang sempit. Claire dan Owen harus mengeluarkan para dinosaurus yang tadinya mereka pikir mereka selamatkan, dari mansion yang diambil alih oleh pihak-pihak yang melelang para dinosaurus dengan tujuan mulia menjadikan mereka sebagai senjata militer. Porsi monster thriller ini bisa saja menjadi keren, karena kita tahu sutradara J.A. Bayona sudah pengalaman bikin thriller di tempat tertutup, yang kita perlukan sekarang adalah hook dan cerita yang menarik. Dari sekian banyak kemungkinan elemen cerita yang berpotensi menarik untuk digali – aku pribadi sebenarnya tertarik mengenai bahwa tidak hanya satu kelompok yang mampu menciptakan dinosaurus – film ini malah kembali mengeksplorasi soal penggunaan dinosaurus untuk kepentingan militer. Elemen cerita yang sudah muncul di Jurassic World (2015) dan tidak ada orang yang aku kenal yang menganggap cerita tersebut keren. I mean, ceritanya begitu gak make-sense, sebab tidak dalam dunia manapun kita menemukan militer melatih binatang cerdas untuk berperang, let alone langsung loncat ke milih dinosaurus.

Dinosaurus. Dinosaurus. Dinosaurus. Lebih dari menyelamatkan mereka, film tampak berusaha begitu keras menempatkan mereka semua di wajah kita just so they could ‘save’ them for more films. Aku mengerti ketika kita membuat film tentang dinosaurus, seketika dinosaurus menjadi hal yang esensial. Filmnya harus punya dinosaurus, karena itulah yang ingin dilihat oleh penonton.  Tapi film sesungguhnya adalah bagaimana cara menceritakan tentang sesuatu tersebut, dalam hal ini dinosaurus. Fallen Kingdom penuh dengan sekuen manusia lari terbirit-birit dikejar oleh dinosaurus buas, tetapi tidak ada yang terasa memorable karena diolah dengan mentah tanpa build-up. Satu-satunya obat pada film ini adalah arahan dan perspektif dari sang sutradara dalam menampilkan adegan-adegan yang bikin bulu kuduk meremang. Tapi pada dasarnya film ini adalah lima belas menit terakhir The Lost World: Jurassic Park (1997) yang dipanjangin hingga mengisi sebagian besar durasi dua-jam. Film Jurassic Park, sebagai perbandingan, setiap sekuen yang mengandung si T-Rex dibuat dengan benar-benar ngebuild up si monster sendiri, kita melihat dia di kandang, lepas dari kandang, hingga ke shot ikonik T-Rex mengaum di museum, mereka tidak sekadar memejeng dinosaurus di layar, ada pembangunan cerita yang terasa intens, yang membendung antisipasi dan kengerian kita terhadap T-Rex. Pada The Lost World juga begitu, dari trailer yang menggantung, ke kejaran dua ekor T-Rex, ke bayinya, ke kota-kota, mereka tidak hanya muncul. Ada terasa seperti tahapan yang menghimpun kengerian dan akhirnya memuncak menjadi sekuen atau adegan yang mengesankan. Hal seperti demikian tidak kita temukan pada Fallen Kingdom. Adegan-adegannya ya tampak datar, mereka hanya menunjukkan dinosaurus. Yang mana semakin terasa mengecewakan karena mereka kini bekerja dengan teknologi CGI dan animatronik yang semakin memadai dan meyakinkan. Selain Blue si Raptor baik, mereka enggak benar-benar ngebuild up keberadaan para dinosaurus.

Ankylosaurus itu sepertinya dibeli Indonesia untuk membantu perbaikan jalan

 

Ada beberapa gambar yang impresif. Secara directorial, film ini lebih baik dri Jurassic World yang kamera asal ngerekam yang penting gambarnya keren punya. Hanya saja lebih seringnya, film ini melakukan shot-shot yang visually dipersembahkan untuk nostalgia film Jurassic Park terdahulu.  Tanpa diback up oleh pembangunan cerita, throwback yang begitu in-the-face itu malah jatoh datar dan tidak benar-benar ngefek membuat film menjadi berbobot. Adegan tim ekspedisi melihat Brontosaurus, misalnya. Tubuh cerita film ini tampak begitu mirip dengan The Lost World; paruh pertama di hutan, paruh terakhir di hunian manusia. Bahkan ada beberapa adegan yang mirip sama adegan di Jurassic Park III (2003). Dosa terbesar film ini, sebagai bagian dari trilogi Jurassic World, bagaimanapun juga adalah ketidaksinambungan cerita yang muncul lantaran trilogi ini sendiri tidak mengacknowledge kejadian di Jurassic Park 2 dan 3. Hal ini membuat karakter yang muncul kembali serta aspek cerita yang dihadirkan tampak ‘aneh’. Jika gunungapi Isla Nublar mau meletus, kenapa repot-repot nyari tempat mindahin dinosaurus, ampe ke pemukiman manusia segala – kan bisa dikembalikan ke Isla Sorna saja, yang sudah kita semua ketahui dari Jurassic Park terdahulu tidak memiliki gunung berapi.

Ketamakan pangkal kepunahan. Tamak yang sesungguhnya adalah ketika kita mengeksploitasi sesuatu demi kepentingan sendiri, sehabis-habisnya, dan ketika sesuatu yang kita usahakan tersebut berbalik menjadi sesuatu yang salah, kita berpaling mangkir dari tanggungjawab terhadapnya.

 

Bukan berarti film ini menajamkan karakter manusianya. Mereka dibuat sama blandnya dengan para dinosaurus maupun dengan cerita. Jika disebut “Jurassic Park”, maka yang terlintas pertama kali di pikiran kita pastilah dinosaurus, tapi percakapan dan yang dilakukan oleh tokoh manusianyalah yang membuat film tersebut menjadi berbobot. Kita melihat Dr. Grant membuang artefak kuku Raptor sebagai simbol dia move on dan lebih memilih keluarga. Tidak ada yang seperti demikian pada Fallen Kingdom. Sebagai tokoh utama, Claire diolah dengan lebih baik daripada saat di Jurassic World. Dia membuat pilihan besar, tetapi beberapa detik kemudian film memutuskan untuk menegasi pilihannya tersebut. Kemampuan tokoh ini pun sepertinya diturunkan. Aku tidak mengerti kenapa dia yang mantan operator taman musti balik ke taman yang sama ditemani oleh anak baru yang mengoperasikan komputer segala macem unuknya. Bicara tentang anak baru tersebut, cowok ini adalah tokoh paling annoying di sepanjang film. Dia muncul teriak-teriak panik doang, dia takut pada semua hal; ketinggian, T-Rex, komentar cerdasnya adalah bahwa lava itu panas. Jelas dia dimasukkan untuk komedi, namun yang bikin kita gagal paham adalah kenapa film ini menganggap dia lucu, kenapa dengan adanya Chris Pratt di jajaran cast mereka, film masih perlu menggali komedi dengan cara yang annoying seperti ini.

Owen di tangan Chris Pratt memang tampak keren, dia salah satu yang bikin kita betah nonton film ini. Relasinya dengan Blue akan membuat kita semua kangen sama binatang peliharaan kita di rumah. Porsi drama, komedi, dan aksi berhasil dia tackle dengan sempurna. Sayangnya, tokoh Owen tidak berkembang sama sekali. Sejak awal kemunculan, dia tampak tak berubah dari film pertama. Saat film ini berakhir pun, dia masih orang yang sama. Dia tidak belajar apapun, dia tidak berkembang ke manapun. Begitu juga dengan tokoh antagonis manusia dalam film ini; dibuat begitu satu dimensi, penjahatnya adalah bos corporate yang hanya mau uang, that’s it. Ada tokoh anak kecil yang diungkap punya background menarik. Treatment terhadap si anak dengan dinosaurus yang dilakukan oleh film, ada satu adegan di mana pantulan wajah si anak di kaca seolah menyatu dengan wajah Indoraptor, membuat kita berteori seru begitu selesai menyaksikan film ini. Aku banyak mendengar bahwa orang-orang menganggap film ini terlalu ‘sadis’ dan gelap buat penonton cilik, dan aku gak setuju. Fallen Kingdom justru tampak jinak, beberapa adegan pemangsaan tampak dibuat ditahan-tahan, apalagi kalo bukan demi mencapai rating tayang yang lebih ringan.

 

 

Sama seperti manusia yang berusaha melakukan tindakan yang mulia namun pada akhirnya kita melakukan lebih banyak hal yang salah ketimbang yang benar, film ini pun hanya terselamatkan dari ‘kepunahan total’ berkat kemampuan dari sang sutradara. Ada beberapa momen yang fun, film ini masih cocok untuk ditonton seru-seruan waktu liburan, tapi tidak akan pernah berbekas lama. Karena screenplay film ini benar-benar berantakan. Teramat sangat datar, tokoh-tokohnya tidak banyak perkembangan, hingga film ini tampak tak menimbulkan kesan yang berarti. Hanya seperti filler menjelang cerita yang sebenarnya yang ingin mereka ceritakan tentang bagaimana dinosaurus akhirnya dimanfaatkan manusia untuk kehidupan rakyat banyak.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

OCEAN’S 8 Review

“Let something be its own thing”

 

 

Sejujurnya aku ngeri. Aku tidak akan pernah bisa mengerti sejauh mana cewek rela terjun demi mendapatkan apa yang mereka mau – dalam kasus Debbie Ocean, ingin mengambinghitamkan cowok yag menjebloskannya ke penjara. Maksudku, tentu kita sukar sekali misahin unsur feminisme pada jaman kekinian, semuanya tentang pemberdayaan sekarang ini; namun Ocean’s 8 yang notabene adalah versi cewek dari Ocean’s Eleven tanpa tedeng aling-aling memperlihatkan tokoh-tokohnya memanfaatkan ketidaksamarataan gender sebagai senjata utama. “Cowok diperhatikan orang, cewek enggak.” kurang lebih begitu kata Debbie yang merupakan adik dari Danny dari tokoh utama trilogi asalnya. “untuk sekali ini kita ingin semua orang tidak memperhatikan kita” dia menutup rapat rencana perampokan permata geng cewek mereka, dengan isyarat keras kenapa tidak ada laki-laki di dalamnya.

Bergantung kepada sikap kesatria para pria yang segan masuk ke dalam kamar mandi wanitalah, Debbie merancang rencana perampokan permata di acara Met Gala itu dari bilik sel isolasi saat masih di dalam penjara. Ocean’s 8 bercerita dengan mengambil sudut pandang seorang wanita yang di dalam dirinya sudah mengalir darah penipu ulung. Yang tentu saja diback-up dengan kemampuan infiltrasi, penyamaran, dan berbahasa yang luar biasa. Dengan cepat kita dibuat tahu sejempolan apa kehebatan si Debbie ini. Dijual sebagai spin-off, sesungguhnya film ini bertindak sebagai sekuel dari trilogi rebootan filmnya Frank Sinatra; ceritany merupakan kelanjutan dari timeline cerita garapan Steven Sodenbergh, bertempat di ‘dunia’yang sama, dan Ocean’s 8 berhasil setidaknya mengimbangi trilogi tersebut dalam segi gaya dan keasyikan menonton.

Bukan karena keglamoran dan hingar bingar pesta dengan segala perhiasannya yang membuat mereka tertarik untuk melakukan perampokan berencana, melainkan karena mereka tahu persis bagaimana perangkap feminisme dalam dunia glamor itu bekerja di dunia nyata

 

 

Semua hal pada film ini, mulai dari perencanaan hingga actual heist – bahkan aftermath nya pun tampak sangat mewah. Dari kacamata sutradara Gary Ross, kita bisa paham kenapa film ini punya kepentingan untuk tampil ngepas ama trilogi pendahulunya. Jika kita menonton semua film dalam franchise ini berurutan, kita tidak akan menemukan ketimpangan yang mencolok. Karena dia benar-benar bekerja dengan mengikuti formula yang sudah ada. Keasyikan menonton film ini terutama datang dari jajaran castnya, obviously. Hampir-hampir mereka semua adalah papan atas Hollywood. Sandra Bullock dan Cate Blanchett begitu luar biasa charming dan fantastis. Chemistry para pemain meyakinkan sekali, tidak ada titik lemah dalam departemen akting. Mereka semua tampak fabulous dari segi akting maupun penampakan. I mean, wardrobe film ini benar-benar niat , seperti menyaksikan fashion show yang berselera tinggi. Anne Hathaway cakep banget, aku suka melihat duonya dengan tokoh Helena Bonham Carter di sini. Tadinya yang menghawatirkan buatku adalah Rihanna, karena dia yang punya jam terbang akting yang paling kurang di antara nama gede yang lain. Namun untungnya film tampak mengerti akan hal tersebut, jadi mereka memainkan Rihanna ke dalam peran yang tepat; tokohnya adalah seorang hacker jalanan yang gak suka banyak bicara. Rihanna sukses memerankannya, dia tidak mewujudkan kekhawatiranku menjadi kenyataan. Aku sudah suka Sarah Paulson sejak American Horror Story season 2, dan setiap kali dia tampil di layar dia membawa rasa bangga dan tidak pernah mengecewakan.

bisa jadi referensi baju baru abis lebaran nih buat cewek-cewek hihi

 

 

Segala kecantikan, keglamoran, dan kekerenan dan keseruan teaming up tersebut tampaknya digunakan untuk membuat mata kita silau. Untuk mengelabui kita dari ‘perampokan’ sebenarnya yang dilakukan oleh film. Aku enggak membenci, malahan sangat terhibur olehnya, tapi fakta bahwa film ini sesungguhnya tidak menawarkan apa-apa yang baru di baliknya – tidak ada kepentingan sepertinya selain untuk meneruskan franchise sukses – membuatku tak tanggung-tanggung kecewa. Apa yang mestinya sebuah lanjutan, dengan gimmick gender flipping dan semua itu, malah terasa tak lebih dari sebagai sebuah remake. Film ini meniru apa-apa yang dilakukan Soderbergh pada Ocean’s Eleven (2001) nyaris beat per beat. Lihat saja adegan pembukanya; Sandra Bullock menghadap kamera, ia sedang ditanyai mengenai apa yang akan ia lakukan jika dibebaskan oleh petugas kepolisian yang hanya kita dengar suaranya, persis seperti pada film pertama. Ocean’s 8 tidak tampak berusaha menjadi film sendiri, mereka basically mengembangkan film ini dari kerangka poin cerita yang sama dengan film pertama, hanya mengganti pemeran pria dengan wanita. Menukar uang dengan permata.

Ada banyak teknik zoom dan wide shot panjang sama seperti yang dilakukan Soderbergh. Meskipun teknik demikian bukan semata cap dagang Soderbergh, tapi mengingat film ini adalah produk keempat dari sebuah franchise, kita dibuat untuk mau tak mau melihat bagaimana film ini begitu keras berusaha untuk tampil mengikuti alih-alih menjadi diri sendiri. Jika kita punya perombakan besar-besaran, dengan cast dan bahkan crew yang sudah begitu berbeda, membuat hasil akhirnya sebagai produk yang gitu-gitu aja buatku tak bukan adalah sebuah kesia-siaan. Paling enggak, seharusnya mereka membuat film ini tidak sedemikian gampang untuk dibandingkan dengan film yang pertama – terlebih dengan segala versi cowok dan versi cewek ini.

Sekuen perampokan permata di Met Gala memang akan selalu seru, namun tidak disuguhkan sesuatu yang baru. Bahkan tidak ada stake yang benar-benar membuat kita peduli di sana. Kita tahu mereka akan berhasil, kita hanya duduk di sana ngikutin dengan merasa senang. Seperti yang sudah kita rasakan berkali-kali. Akan jauh lebih menarik jika ada intensitas dalam sekuen tersebut ketimbang sekadar melihat orang berseliweran sambil tersenyum berahasia dan sesekali melihat kameo bintang-bintang. Film ini kurang bumbu penjahat yang menyakinkan, halangan yang terasa benar-benar mampu untuk menggagalkan rencana mereka. Semuanya tampak begitu gampang buat mereka, dan di titik ini aku udah enggak begitu pasti entah hal hal tersebut dikarenakan tokohnya memang dibuat terlalu pinter atau filmnya sendiri yang dibuat dalam mode easy karena tokoh-tokohnya cewek semua.

atau mungkin pembuat filmnya memang ingin film ini di-ignore seperti kata Debbie

 

Sebuah film spin-off atau sekuel sebaiknya berani untuk digarap menjadi berdiri sendiri, tidak lantas meniru. Sepertinya memang kita harus membiarkan sesuatu menjadi dirinya sendiri. Karena semua udah ada tempatnya masing-masing. Cewek ya jadi cewek aja, cowok pun sebaiknya jadi cowok aja. Jangan jadi sesuatu yang bukan diri kita.

 

 

 

Setiap kali aku nonton film kayak gini, rasanya selalu aneh, lantaran ini sebenarnya termasuk dalam film yang susah dikategorikan ke dalam rating angka. Film ini dibuat dengan estetika yang benar; strukturnya enggak ngaco, pemain-pemainnya bekerja dengan baik dan luar biasa meyakinkan. Bahkan penampilan mereka pun bagus, bajunya kece-kece. Ini adalah film yang menyenangkan, namun menyenangkan yang sama yang sudah kita rasakan paling enggak tiga kali. Tuntutan untuk menjadi lebih baik, menjadi hal yang baru akan selalu ada, dan film ini gagal memenuhi kedua hal tersebut. Baik dan menyenangkannya hanya dalam batasan meniru yang sudah ada. Hingga menimbulkan pertanyaan, kalo begitu kenapa film ini mesti ada? Dan saat pertanyaan tersebut kita sadari ada di benak kita, uang di dompet sudah keburu hilang, karena film semacam ini adalah heist gemerlap yang sebenarnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for OCEAN’S 8.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017