THE LODGE Review

“All the stress and misery of life comes from fear of loss”
 

 
 
Orang bunuh diri gak bisa ke surga! Itulah hal yang paling dikhawatirkan oleh Mia, gadis cilik yang ibunya meninggal akibat menembak kepala sendiri karena ditalak cerai. Tapi enggak ada orang yang paham ama ketakutan Mia tersebut. Tidak ayahnya yang mau menikah dengan wanita muda yang pernah jadi pasien konseling sendiri. Tidak pula abangnya, Aidan, yang marah lantaran ayah mereka karena memilih cewek “psikopat” penyintas dari sekte bunuh diri. Notice ‘bunuh diri’ muncul dua kali? Kejadian menjadi mengerikan ketika dua agen atau pihak-yang-bersinggungan dengan ‘bunuh diri’ ini bertemu. Mia dan Aidan actually diajak oleh ayah mereka untuk berlibur bareng Grace, si calon ibu tiri yang cakep, untuk saling mengakrabkan diri. Namun begitu ayah pergi, meninggalkan mereka bertiga di vila di tengah badai salju menjelang Natal, kejadian tak-terjelaskan mulai terjadi. Pemanas yang mati. Waktu yang seperti tak bergerak hari demi hari. Makanan dan barang-barang lenyap, termasuk boneka Mia yang didandani mirip ibunya, dan obat anti-stress Grace yang masih dealing dengan trauma survivalnya. Apakah ini kegilaan yang menerpa? Atau hantu dari masa lalu? Ataukah dugaan Aidan memang benar; bahwa mereka bertiga sebenarnya sudah meninggal.

Meninggalkan keluarga di tempat terpencil tanpa mobil di tengah salju, sungguh bukan teknik parenting yang jitu

 
 
Film ini mengingatkanku kepada The Turning (2020). Ada banyak kesamaan pada dua film ini, hampir seperti mereka berkompetisi satu sama lain. Basically, kedua film sama-sama mengambil lingkungan tertutup dengan cerita wanita muda mengasuh dua anak. Karakteristik tiga tokoh sentral ini pun mirip. Anak cewek yang menggunakan boneka sebagai emotional crutch. Remaja cowok yang sayang pada keluarga, tapi juga bisa terkesan sedikit bandel. Dan creepy. Pada kedua film terdapat adegan yang melibatkan remaja cowok, wanita muda, dan kamar mandi. Lalu tentu saja ada karakter wanita muda yang diharapkan harus bonding dengan kedua anak, sementara dia sendiri punya trauma pada masa lalu – dia punya ketakutan personal atas sesuatu yang menjadi asal usulnya, dan tokoh ini akan menapaki downward spiral menuju ke kegilaan. Untungnya, meskipun juga banyak mengandalkan adegan mimpi untuk menyampaikan momen-momen horor, The Lodge enggak menipu kita dengan satu sekuens full kejadian-yang-tidak-beneran-terjadi kayak di The Turning. Naskah dan arahan duo sutradara Severin Fiala – Veronika Franz hadir dengan sama-sama artsy namun sedikit lebih baik. Sedikit.
Inceran dari cerita horor ‘terjebak’ ini tentu saja adalah keambiguan. Film ingin menempatkan kita pada perasaan bingung yang sama dengan yang dirasakan oleh tokoh cerita. Misteri dari apa yang sebenarnya terjadi, ditambah dengan sensasi kehilangan kewarasan menjadi goal dari kengerian film ini. Berkaca dari horor-horor klasik, The Lodge paham cara meraih itu semua. Yakni dengan pembangunan atmosfer. Inilah yang dilakukan dengan indah oleh arahan film. Suasana menakutkan, sensasi berada di tengah-tengah keganjilan, dihadirkan dengan begitu ‘bergaya’ oleh kamera. Tone warna juga turut andil menciptakan kesan yang bukan hanya suram, warna-warna dingin itu menimbulkan kesan sebuah dunia kelabu yang kita enggak pasti apakah hanya sebuah fantasi atau kenyataan.
Secara estetik, film ini sepertinya pengen dimirip-miripin ama Hereditary (2018), sebab The Lodge juga menarik perhatian kita terhadap perbandingan perspektif dunia nyata dengan dunia boneka. Adegan pembuka film ini juga memparalelkan rumah boneka dengan rumah nyata, yang eventually akan diperlihatkan bahwa rumah boneka Mia punya interior yang sama dengan interior vila keluarga tempat mereka terjebak nanti. Boneka-boneka di dalam situ berada pada posisi khusus, yang nantinya bakal ‘menjadi kenyataan’ saat para tokoh beneran berada di posisi seperti yang sudah diramalkan. Sedari awal film sudah menjebak kita ke dalam misteri, ke dalam ketidakpastian – sebagai hook agar kita terus terpaku di tempat duduk, bertanya-tanya di dalam hati benarkah ada kekuatan supernatural atau semua itu hanya bukti bahwa ada pihak yang telah merencanakan perbuatan mengerikan di villa nanti. Misterinya ini sangat menarik, sepanjang durasi film akan terus membawa kita kembali ke perbandingan rumah boneka tadi – digunakan sebagai transisi adegan – sebagai petunjuk di tengah-tengah beragam distraksi yang sayangnya lebih mendominasi. Yang kumaksud dengan distraksi di sini adalah elemen horor lainnya, seringkali bagian dari karakter, yang tidak benar-benar membuahkan apa-apa selain bikin kita bingung mencari pegangan pada perspektif utama.
Dalam horor, perspektif adalah hal yang krusial. Kita hanya bisa peduli pada tokoh jika sudut pandang terfokus pada dirinya, sebab horor membahas ketakutan personal. Kita harus mengerti trauma, atau tragedi, atau hal yang menurut si tokoh mengerikan, dan ini bisa dicapai jika kita enggak sering teralihkan oleh horor dari orang lain, kecuali ketakutan mereka menyangkut hal yang sama. The Lodge tidak pernah memutuskan perspektif ini. Hal teraneh yang dimiliki oleh cerita ini bukanlah barang-barang yang hilang mendadak, sekte sesat, ataupun perilaku si ayah yang ngajak liburan kemudian malah pulang buat bekerja. Melainkan, hal teraneh di cerita adalah sudut pandang yang mendadak berubah dari Mia ke Grace.
“Jadi maksudmu kita nonton mereka nonton internet sia-sia belaka?”

 
 
Babak pertama sepertinya sudah menetapkan ini adalah cerita dari sudut Mia, kita melihat keluh kesahnya. Kita mengerti ‘ancaman’ dari sudut pandang Mia adalah Grace; sosok wanita muda yang at the time kita ditanamkan informasi bahwa dia ‘psikopat’, dia somehow bisa survive dari sekte di usia 12 tahun, lantas dia yang masih kecil itu merekam mayat-mayat bunuh diri di sekte. Babak awal ini menempatkan Grace dalam cahaya misterius, film bahkan mengadegankan momen perkenalan Mia dengannya dengan membangun narasi “siapa wanita ini, bisakah ia dipercaya. Film bermain-main dengan rasa penasaran Mia atas wajah si Grace (wajah cakep Riley Keough akan diporsir untuk berbagai emosi dan kegilaan). Untuk kemudian pada babak kedua, kita dijauhkan dari Mia dan sudut pandangnya. Kita direnggut dan kemudian malah ditempatkan di posisi Grace. Dengan cepat, semua perspektif Mia tadi rontok bagi kita karena sekarang kita melihat sudut Grace. Seorang survivor yang masih trauma sama adat-adat agama – ia bergidik saat doa makan malam, ia takut melihat salib dan lukisan Bunda Maria (sepertinya, mungkin aku salah mengenali objek lukisan tersebut). Namun Grace sungguh berusaha untuk hidup normal. Dan tantangan bagi Grace bukan cuma trauma, melainkan juga kenyataan bahwa dua anak ini kehilangan ibu mereka gara-gara dia. Ada rasa bersalah yang menghantui. Serta tentunya berat bagi Grace untuk berusaha membangun hubungan saat seisi rumah mengingatkan penghuninya pada orang yang posisinya sedang berusaha Grace isi.
Teorinya, dua perspektif itu dihadirkan supaya kita bisa mengerti konflik kedua belah pihak. Namun kenyataannya, malah membuat kita memilih harus simpati kepada siapa, dan akan butuh waktu lama untuk kita memutuskan sehingga pada saat itu justru kita terdetach dari mereka semua. Film ini meminta kita untuk mengkhawatirkan keselamatan Mia dan abangnya karena orang asing ini bisa saja berbahaya. Lalu berputar arah, film jadi meminta kita untuk lebih bersimpati kepada si orang asing. Untuk kemudian berputar kembali. Setelah kita mulai mendukung tokoh ini – dan berpikir “tau rasa kalian anak-anak ngeselin!” – film malah mengembalikan kita kembali kepada Mia dan abangnya. Dari sudut mereka, sebagai penutup, kita dikasih peringatan untuk tidak mempermainkan orang yang punya masalah kejiwaan.

Satu-satunya keparalelan yang konsisten pada kedua pihak – anak dan Grace – yang diperlihatkan oleh The Lodge adalah bahwa mereka sama-sama takut akan kehilangan koneksi terhadap hal yang dikasihi. Mia terlalu dekat dengan boneka. Grace butuh obat untuk percaya dia sudah sembuh. Teror sebenarnya datang dari dalam diri masing-masing pihak. Membuat mereka takut dan gak percaya kepada hal di luar. Ketakutan inilah yang menghambat tumbuhnya cinta di antara mereka. Konklusinya memang ironis; semakin kita takut kehilangan, kita justru akan kehilangan lebih banyak hal.

 
Dilihat dari kedua sudut itu, cerita film ini jatohnya insulting. Jika kita percaya ini adalah cerita peringatan untuk anak-anak, film ini gagal karena tidak memberikan kesempatan kepada tokoh anaknya untuk melihat orang dari sisi lain. Babak kedua film ini completely dari sudut Grace, kitalah yang dibuat mengerti, bukan dua anak itu. Mereka tidak belajar. Bagi sudut pandang mereka, mereka hanya menyesal karena Grace jadi ‘ngamuk’ dan ada beberapa kejadian di luar rencana mereka. Jika kita percaya ini adalah cerita psikologis seorang yang mengalami kejadian buruk di masa lalu sehingga mentalnya terganggu, film ini juga gagal karena orang tersebut dibuat kalah dalam berjuang. Yang menyampaikan kepada kita bahwa, ya, orang gangguan mental memang berbahaya, trik anak kecil saja sanggup untuk ‘menghancurkan’ mereka.
 
 
 
Karena itulah, maka film ini buatku terasa sempit, padahal sudut pandangnya lebih dari satu. Elemen horornya jangan ditanya. Ada soal pandangan soal bunuh diri. Ada soal ritual atau praktik agama. Ada soal relasi dengan orangtua. Ada soal keadaan mental juga. Namun film membuat kita frustasi. Semua itu hanya pernak-pernik. Kita mengharapkan banyak dari ambiguitas yang dihadirkan, hanya untuk menemukan jawaban yang sangat simpel dari topik paling simpel yang ada pada film ini. Dan film meminta kita untuk mengoverlook semua hal gak make sense dari perbuatan yang ditampilkan. Sehingga meskipun banyak visual dengan suasana yang bikin ngeri (shot favoritku adalah pas menjelang akhir; Grace duduk dengan spektrum cahaya di belakang kepalanya, sehingga dia kayak juru selamat) hal paling aneh dan bikin bergidik pada film ini justru adalah pilihan yang mereka, seperti mengganti-ganti sudut pandang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE LODGE.

 

 
 
That’s all we have for now.
Kebayang gak sih kalo pas karantina gini, kalian mengalami hal yang sama seperti Grace dan Mia.. hiii… Jadi apakah kalian punya kiat tertentu untuk mengisi waktu bersama adik atau si kecil?
Bagaimana menurut kalian cara terefektif untuk menumbuhkan kepercayaan dari orang jika kita ingin menggantikan posisi orang yang mereka sayangi?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE LIGHTHOUSE Review

“For a man who loves power, competition from the gods is annoying”
 

 
Enggak ada hal baik yang bisa terjadi ketika dua pria terjebak bersama di suatu tempat yang mengharuskan mereka berbagi peranan. I mean, bayangkan tumpah meruahnya testosteron di tempat itu. Sejak dari zaman purba, pria memang paling hobi bersaing. Namun Darwin sekalipun bakal bingung jika ia melihat evolusi kompetisi di dunia yang semakin kompleks. Pria bukan lagi bersaing demi hidup di esok hari, pria kini bahkan tidak puas hanya sekadar menang. Sekarang semua adalah soal menguasai seni kemenangan. Ada ego yang dipertaruhkan. Ketika menang dan harga-diri sudah dijadikan tujuan, seorang pria tidak bisa untuk tidak menang gemilang. Dan supaya menang gemilang, maka semua harus dipertaruhkan. Dan semua harus dipertaruhkan itu berarti kau mengerahkan apapun, kau kehilangan perspektif – kehilangan akal sehat.
Setidaknya mungkin itulah yang ingin disampaikan oleh Roberts Eggers dakam horor terbarunya setelah The Witch (2016) yang fenomenal dan sangat aku suka itu. Bukan cuma aku, aku yakin, setelah The Witch banyak penggemar horor yang menantikan karya original berikutnya dari sutradara ini. The Lighthouse hadir dengan menjawab ekspektasi semua orang. Jika pada The Witch Eggers diam-diam membahas soal wanita dan feminism empowerment di balik horornya, maka kali ini dia membawakan horor ke dalam dunia maskulin pria.
The Lighthouse bercerita tentang dua orang pria yang bekerja mengurus mercusuar di tahun 1890. Jadi belum ada internet untuk mengusir sepi. Televisi pertama bahkan baru akan ditemukan empat-puluh tahun kemudian. Kedua orang ini benar-benar sendirian di pulau kecil terasing tersebut. Mereka hanya punya masing-masing untuk teman ngobrol. Masalahnya adalah, Ephraim Winslow tidak percaya sama seniornya yang lebih lama bekerja di mercusuar tersebut. Sikap Thomas Wake yang udah kayak kapten kapal bajak laut memang lumayan aneh kepada Winslow. Pembagian tugas diberikannya dengan sedikit timpang; Winslow mengurus kerjaan kasar di siang hari – mancing ikan untuk makan, ngangkut bahan bakar untuk listrik dan pemanas rumah, plus disuruh-suruh bersihin rumah. Sementara Wake sendiri bertugas mencatat laporan rahasia dan begadang di malam hari menjaga lampu suar di menara. Satu-satunya tempat yang tidak boleh didekati oleh Winslow. Pikiran negatif terhadap Wake mulai merasuki pikiran Winslow. Alkohol dan keadaan hidup yang sulit memang membuat mereka menjadi teman. Namun kondisi semakin intens ketika mereka terjebak di sana begitu badai menerjang. Winslow tak tahu lagi harus percaya kepada siapa; kepada Wake yang penuh omong kosong, tahayul, dan peraturan gak-adilnya – ataukah kepada pikirannya sendiri yang perlahan semakin menggila.

mercusuar bentuknya udah kayak penis, cocok sebagai panggung horor dua pria ini.

 
Bukan tipikal horor yang menakutkan, jika kalian mengharapkan ada penampakan yang mengagetkan, atau ritual perjanjian dengan iblis, maka film ini niscaya akan bikin kalian kecewa. Horor yang disuguhkan oleh The Lighthouse adalah tipikal horor yang mengganggu. Di dalamnya ada elemen thriller, ada elemen fantasi. Yang paling kuat terasa adalah elemen psikologis. Gambar-gambar mengerikan dalam terms film ini adalah gambar-gambar surealis serupa yang biasa ditemukan dalam karya David Lynch, you know, hal-hal ganjil yang awang-awang antara kenyataan atau hanya figmen alias imajinasi dari si tokoh. Mungkin kalian pernah mendengar anekdot ‘saat terperangkap di pulau bersama seseorang, hal apa yang akan engkau bawa’. Nah, film ini seperti mengingatkan kepada kita bahwa permasalahan yang sebenarnya adalah bukan pada apa yang dibawa, melainkan sama siapanya. Horor yang ditunjukkan oleh The Lighthouse berupa kengerian terjebak, hidup bersama, seseorang yang tidak kita tahan. Entah itu karena menjengkelkan, karena benci, karena enggak sejalan pikiran, atau karena enggak bisa dipercaya.
Dan oh boy, betapa kedua tokoh kita ini tidak bisa dipercaya. Sudut pandang mereka dengan sengaja dikaburkan oleh film. Padahal kita seharusnya memegang paling tidak salah satu dari mereka. Paranoia itu memang bukan saja disarangkan kepada para tokoh, kita yang nonton juga benar-benar diajak untuk merasakan hal yang sama.
Mari kita lihat dinamika kedua tokoh ini, mulai dari si Winslow sebagai tokoh utama. Robert Pattinson memberikan penampilan terbaik sepanjang kariernya sebagai Winslow. Range tokoh yang ia perankan ini luas sekali. Tokoh ini tadinya pendiam, dia seperti gak suka ngomong, dan later kita bakal mengerti kenapa dia lebih suka untuk menyimpan kata-kata untuk dirinya sendiri. Dia punya teori-teori sinting tentang tempatnya bekerja, tentang rekannya. Dia punya masa lalu yang masih diperdebatkan kebenarannya – namanya bahkan sebenarnya bisa jadi bukan Winslow dan ada kemungkinan si Winslow yang asli menghilang karena perbuatannya. Bibit konflik Winslow dengan Wake bermula dari Wake yang enggak pernah diam. Entah itu meneriakkan perintah kepada Winslow, ataupun ngobrol apa saja saat makan malam. Willem Dafoe dengan aksen raunchy memang tidak tampak sebagai orang jujur seratus persen. Dia malah seperti menyetir Winslow – yang hanya ingin bekerja dengan benar – melakukan hal-hal yang ia inginkan, kadang dengan alasan yang gak jelas. Teman bicara yang seperti menyimpan sesuatu, kerjaan yang sepertinya lebih berat dari seharusnya, tempat yang semakin mengisolasi, belum lagi dorongan alami sebagai seorang pria, kita akan menyaksikan langsung Winslow menjadi kehilangan kewarasan. Dan mungkin bukan dia saja yang sudah edan. Ada adegan Wake mengejar Winslow dengan kapak, dan beberapa menit kemudian dua tokoh ini berusaha berdamai, dan Wake malah menyebut dirinya takut karena baru saja dikejar oleh Winslow pake kapak. Juga ada obrolan ketika Winslow yakin mereka ketiduran karena mabok satu hari, sedangkan Wake berkata mereka sudah ketiduran berhari-hari. Bener-bener sulit mengetahui siapa yang bohong, seolah dua orang ini juga berlomba siapa yang paling jago mengelabui.
Bukan lagi dua orang ini saja yang di ambang kegilaan karena saling gak tahan dan karena keadaan terjebak. Film juga mendorong kita untuk merasa sinting bersama mereka. Lihat saja aspek teknis film. Editing yang bikin kita bingung mana yang nyata, mana yang rekayasa. Belum lagi bentrokan desain suara, satu detik kita mendengar deburan ombak yang menenangkan, detik berikutnya raungan mesin memekakkan telinga kita. Warna hitam putih dan ratio kamera yang membuat layar sekubus kecil bukan hanya digunakan supaya period piece film semakin kuat terasa. Melainkan juga untuk memberi kesan terbatas, sempit. Minim warna membuat kita tak yakin apa yang sedang kita lihat, dan layar yang persegi menghantarkan perasaan terjebak yang dialami para tokohnya.
Disclaimer: Tidak ada camar yang dilukai, dan tidak ada mermaid yang ternodai dalam pembuatan film ini

 
Keambiguan adalah menu spesial film ini. Tidak ada jawaban yang pasti. Jika kalian mengajak pacar buat nonton, niscaya di akhir film kalian bakal mendapat dua interpretasi berbeda tentangnya. Ending film yang bikin garuk-garuk telinga sambil mangap itu bisa dijadikan kunci untuk memulai sebuah interpretasi. Yang kita lihat adalah pemandangan yang cukup familiar; sebuah scene ikonik dari mitologi Yunani yakni Prometheus yang isi perutnya dimakan oleh burung-burung. Dosa Prometheus dalam mitologi adalah dia berusaha mencuri api dari Dewa. Ini exactly yang kita lihat dalam film. Winslow berusaha mengambil alih lampu menara suar, lampu yang dilarang baginya oleh Wake. Banyak petunjuk, baik lewat dialog maupun adegan fantasi, yang menunjukkan perbandingan langsung antara tokoh film dengan tokoh dalam mitologi Prometheus. Cerita Prometheus sendiri bermakna tentang persepsi kekuasaan (power) – Prometheus merasa dirinya pantas menjadi dewa bagi manusia sehingga ia mengambil tindakan yang ia lakukan – yang cocok disandingkan dengan cerita Winslow dan Wake.

Penting bagi pria untuk berada di posisi yang mencerminkan kuasa yang ia miliki. Winslow adalah pekerja keras, ia merasa kerjaannya lebih berat, jadi mengapa ia tidak bisa berada di atas suar. Bagaimana kita merasa harus diperlakukan sesuai power yang kita miliki adalah gagasan cerita yang terpikir olehku. Kadang ego pria seperti Winslow, juga Wake, begitu besar sehingga pria either mengambil jalan pintas untuk mengambil posisi yang ia merasa pantas, atau menjadi gila kekuasan karena menanggap hanya dirinya yang pantas.

 
So yea, film tidak peduli sama sekali bahwa dia tidak mengangkat cerita yang trendi, isu yang hangat, film ini tidak berusaha menjadi mainstream. Dia juga tidak merasa sok jago dan nge-art banget sehingga jadi pretentious. Film ini actually punya selera humor yang kocak terhadap hal tersebut. Sebab sepertinya sengaja menuliskan tokohnya sebagai tukang kentut. Seolah meledek kita yang sok bangga nonton film ‘berat’. Kentut di sini juga bekerja dalam konteks cerita. Semua orang punya batas kesabaran. Dan garis ambang toleransi Winslow kepada Wake terletak pada kentut tersebut.
 
 
 
Bukan horor konvensional, melainkan horor yang begitu intens mengenai pergolakan power antara dua pria. Meskipun kebanyakan isinya ngobrol dan ngajak kita berpikir (bahasa yang digunakan tokoh berdialog juga enggak langsung mudah dicerna), tapi cerita tak pernah membosankan. Keambiguan dan cara ngecraft cerita sehingga kita seakan turut menjadi gilalah yang menjadikan film ini spesial. Film adalah soal pengalaman menonton. Pengalaman horor yang ditawarkan oleh film ini adalah salah satu pengalaman terbaik yang bisa kita rasakan sepanjang tahun.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE LIGHTHOUSE

JAGA POCONG Review

“The worst regret we can have in life is not for the wrong things we did, but for the right things we did for the wrong one.”

 

 

 

Pernah gak sih kalian pengen membantu orang lain dan seketika merasa menyesal setelah menawarkan bantuan tersebut? Sebaiknya jangan ampe pernah sih, yaa.. soalnya itu hal yang enggak baik. Membantu orang itu kudu ikhlas. Tidak boleh ada niat apa-apa kecuali buat meringankan beban yang ditawarin bantuan. Dan enggak boleh menggerutu jika ternyata orang tersebut mengharapkan bantuan yang lebih besar dari yang kita duga. Kayak Suster Mila yang sabar banget. Kerjaannya sehari-hari merawat pasien di rumah sakit. Bahkan ketika shiftnya sudah selesai dan dalam persiapan hendak balik ke rumah pun, Mila tak menolak diamanatkan untuk memberikan perawatan ke rumah pasien. Tapi sejujurnya, jika dihadapkan oleh situasi seperti Mila; ketika ia terlambat sampai di rumah pasien yang jauhnya minta ampun dan menemukan jawaban “Tolong jaga pocong ibu saya” atas pertanyaan “Ada yang bisa saya bantu?” niscaya aku akan menolak dengan halus, mengutuk pelan di dalam hati karena udah sok baik, dan pergi secepatnya dari tempat itu tanpa pernah menoleh lagi haha..

Tapi itu hanya salah satu dari banyak perbedaanku dengan tokoh Mila dalam film Jaga Pocong ini. Mau tahu satu lagi perbedaan antara kami? Aku gak akan pernah mengecek lemari yang terbuka sendiri. Anyway, pekerjaannya sebagai perawat membuat Mila enggak egois dan, tentu saja, berani. Mila merawat orang yang masih hidup, maupun yang sudah mati. Film ini dengan perlahan memperlihatkan Mila yang begitu telaten. Dia dimintai tolong oleh pria asing memandikan jenazah, kemudian mengafani mayat ibu tirinya. Tak sekalipun Mila menolak. Dia bahkan enggak kabur gitu aja ninggalin Novi, anak pemilik rumah yang kamarnya di lantai atas, begitu peristiwa-peristiwa ganjil terjadi dalam rumah tersebut. Bahkan setelah terang-terangan melihat Novi dirasuki hantu pun, Mila tetap kembali untuk anak tersebut.

alih-alih jenazah yang kena azab, di sini tokoh kita yang dirundung oleh ketakutan yang nyata

 

 

Pada mulanya, film ini tampak begitu membanggakan. Ada begitu banyak aspek yang aku suka dari film ini. Film ini terasa berbeda dengan horor-horor lain yang beredar belakangan ini. Nuansanya udah kayak horor psikologis. Kita dibenamkan begitu saja ke dalam masalah Mila, kita tidak tahu siapa dirinya, dan ekspektasi yang timbul adalah film bakal punya penjelasan yang cerdas dan masuk akal. Gimana pacenya yang deliberately dibuat lambat, memberikan kesempatan kepada kita untuk mengumpulkan benih-benih ketakutan sekaligus membuka mata mencari petunjuk dan kepingan puzzle cerita. Kita dibuat sama butanya dengan Mila. Aku suka gimana film ini enggak menggunakan elemen seperti film horor dengan keadaan sempit kebanyakan. Mila disuruh menjaga rumah beserta pocong dan seluruh isinya, dan film tidak membatasi Mila – juga kita – dalam mengeksplorasi rumah dengan foto-foto nyeremin yang membuat kita bertanya dalam hati kok pemilik rumahnya beda ama yang ada di pigura? Tidak ada ruangan yang diwanti-wanti tidak boleh dibuka, dan ini hanya akan membuat kengerian itu semakin menjadi lantaran kita tidak tahu pasti apa yang harus diantisipasi.

Perhatian kita akan segera terpusat pada jenazah fresh yang terbaring di atas tikar di lantai, tepat di tengah-tengah rumah. Ketakutan hadir dengan sangat efektif, misalnya ketika Mila melihat salah satu kapas yang menutup lubang hidung si jenazah lepas begitu saja. Dan setelah beberapa adegan kemudian, seluruh tali pocongnya lepas. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Untuk urusan menakuti, film bijaksana sekali memakai suara dan musik. Gambar-gambarnya pun diperhatikan dengan seksama. Perhatikan gimana Mila enggak begitu saja memasangkan kembali kapas ke dalam lubang hidung jenazah. Ada gestur dan tindak ekstra yang ia lakukan untuk menunjukkan rasa takut luar biasa yang sedang ia tahan.

Salah satu adegan paling emosional di film ini adalah ketika Mila menangis terduduk di lantai. It was an usual Acha’s signature powerful crying scene. Tapi tampak begitu conflicted. Karena kita melihat penyesalan di dalam dirinya. Untuk pertama kali dalam dunia profesionalnya, Mila menyesal setuju untuk membantu orang. Film dan tokoh Mila ini dapat menjadi sangat menarik apabila terus menggali sisi kemanusiaan yang miring seperti demikian.

 

 

Atmosfer di paruh pertama film terasa begitu unsettling. Ini adalah horor yang sangat contained, menawarkan kepada kita begitu banyak pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku bahkan tidak merasa mengenal Mila, keputusan-keputusan yang ia ambil terlihat so selfless. Aku menemukan kontras antara karakter Mila sebelum sampai di rumah tersebut dengan saat dia sudah mengalami banyak hal di rumah itu. Mila awalnya, terasa hanya just doing her job, kita melihat dia hanya memandang dari jauh ketika anak yang ia rawat meninggal dunia. Tapi ketika di rumah, dia jadi begitu peduli dengan keselamatan Novi, yang berjalan dengan bantuan alat dan punya asma. Mungkin Mila ingin ‘menebus’ diri apa gimana, yang jelas aku menunggu-nunggu arc tokoh ini berkembang. Informasi kenapa dia dan apa artinya ‘perjalanan’ yang ia tempuh di film ini. Dan di poin inilah aku merasa, sejauh ini, Jaga Pocong nyatanya adalah film horor yang paling membuatku kecewa di tahun 2018.

Tepatnya, setelah adegan mimpi di pertengahan film, kekhawatiranku mulai merekah. Harapanku ini bakal jadi cerita psikologis, semacam tentu saja kita bakal membayangkan yang bukan-bukan jika disuruh tinggal bersama pocong semalaman, menjadi sirna seketika. Film seperti sudah berpindah fokus, berpindah treatment, tone ceritanya menjadi berubah, bagian tengah film hingga penghabisan seperti dibuat oleh orang yang berbeda. Atau mungkin pembuatnya lelah membangun, dan memutuskan untuk menendang runtuh semuanya. Acha Septriasa adalah aktris yang cakap (dan cakep), ini adalah horor pertamanya, dia sepertinya sudah siap melakukan apa saja atas nama horor, dan apa yang film ini minta untuk dia lakukan? Memanggil nama Novi dengan berbagai ekspresi ketakutan yang berbeda. “Kamu di mana?”, “Novi, jangan lari”, “Novi, bentar lagi kamu ulangtahun ya” Ada banyak kalimat yang bisa diucapkan orang yang lagi ketakutan mencari temannya yang kabur, tapi film nulisnya males banget. Dialog Acha sebagian besar cuma nama Novi, thok. Betapa tersia-siakan talentanya.

ganti aja judulnya jadi Jaga Novi

 

 

Teknik menakutinya berubah menjadi sangat standar. Kamera yang mengarah ke kiri, memperlihatkan tidak ada apa-apa, kemudian dengan segera geser ke kanan, dan kita semua sudah tahu ada apa di kanan si tokoh. Hantunya pun kadang tak konsisten. Mila diteror oleh pocong, yang malah bukan pocong si ibu. Pada satu adegan, si kecil Novi berubah menjadi makhluk dengan make-up mengerikan, badannya patah-patah kayak orang kesurupan, dia manjat tembok segala macem, dan mengaku dengan suara serak dia adalah penunggu rumah ini. Tapi nyatanya, momen ini sama sekali enggak masuk ke dalam cerita, karena nantinya di Pengungkapan, kita tahu mereka ‘hantu’ yang seperti apa – mereka adalah keluarga ‘dukun’ yang menginginkan tubuh yang lebih muda, jadi momen kesurupan yang tadi jatohnya seperti si Novi sedang berbohong. Dan oh boy, bukan satu kali dia berbohong. Dari segi kreatif, ini menjadi bukti film berusaha memasukkan banyak hal kekinian; hantu kesurupan, dukun dan praktik ritual, twist, dan mereka enggak lagi mikirin cerita yang koheren.

Twistnya sih sebenarnya cukup seksama ditanam. ‘Apa’nya pun masuk akal di dalam konteks cerita. Ada indikasi rumah sakit tempat Mila bekerja punya andil dalam kejadian di film ini. Hanya saja, kenapa mesti Mila, tidak bisa diceritakan oleh film ini. Keseluruhan film adalah scam/rencana jahat dari penghuni rumah (yang bisa diasumsikan bekerja sama dengan rumah sakit), dan Mila hanya bidak yang terseret-seret di sana. Tidak ada kepentingan, tidak ada bentrok personal yang membuat Mila punya alasan untuk ada di sana. Sekalipun membuat keputusan, ia tampak mengambil pilihan yang bego. Film menjawab “kenapa harus Mila” dengan begitu konyol sehingga aku tertawa di dalam bioskop. “Karena memang harus kamu”, kata si jahat sambil berpose menunjuk supaya kelihatan keren. It was just so lazy. Mereka bisa saja mengarang konflik dan backstory yang lebih personal buat Mila, tapi enggak. Malah terang-terangan bilang ya karena harus kamu… ahahaha ini yang nulis scriptnya anak kecil – ini yang nulis ceritanya si Novi?

..

Oke, aku minta maaf, Novi, aku yakin kamu dan anak-anak lain lebih pinter dan imajinatif dari penulisan film ini.

 

 

Setelah semua kebegoan itu pun, film sesungguhnya masih punya kesempatan untuk menjadi terrifying. Bayangkan kamu terbangun dalam tubuh yang sudah mati. Pengalaman yang menyeramkan, kan ya. Kita tidak bisa melakukan apapun, kita sadar dengan apa yang terjadi di sekitar kita, kita tahu apa yang bakal terjadi, tapi kita begitu powerless. Ini bisa jadi sudut pandang yang menarik. Tapi sutradara Hadrah Daeng Ratu seperti tidak mampu dalam mengeksplorasi bagian ini. Kita hanya mendapatkan versi basic; Mila bangun bukan sebagai Mila. Film tidak cukup kompeten dan berani membuat adegan yang sureal, kita tidak ikut merasakan kengerian dikubur hidup-hidup. Mereka malah membuatnya aneh – membuatnya bertentangan dengan ‘peraturan’ film – dengan dua wajah Mila, alih-alih satu. Karena sutradara tidak tahu cara membuat adegan ini dengan benar dan meyakinkan; mereka takut penonton tidak mengerti jika bukan wajah Mila yang tampak di dalam liang lahat.

 

 

Film ini punya potensi buat jadi salah satu, jika bukan horor terbaik di tahun 2018. Aku melihat penggarapan yang mumpuni di awal-awal, cara membangun kengerian, bagaimana mereka merepresentasikan pocong dan segala ketakutan tersebut. Tapi setelah pertengahan, film menjadi konyol. Eksplorasi cerita ditinggalkan begitu saja. Film seperti menyerah di tengah jalan. The writing is lazy. Mereka seperti menulis yang dikejar deadline; awalnya bagus, kemudian diselesaikan dengan serampangan. Cerita film jadi tidak nyambung dan kembali ke jalur biasa-biasa saja. Pada akhirnya, film ini malah semenggelikan episode buku Goosebumps dengan twistnya yang over-the-top.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for JAGA POCONG.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Ada yang ngitung gak berapa kali nama Novi disebut dalam film ini?

Pernahkan kalian menyesal membantu orang lain karena menurut kalian mereka ternyata enggak berterima kasih dan enggak pantas dibantu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

IT COMES AT NIGHT Review

“It’s hard to wake up from a nightmare if you are not even asleep”

 

 

Apa sih yang datang malem-malem? Dingin? Debt collector? Diare? Sundel bolong yang jajan sate terus minta nambah soto? Kuntilanak yang bernyanyi “malam-malam aku sendiri tanpa cintamu lagi”? Kenangan mantan? Apapun itu, semuanya adalah bahan buat mimpi buruk. Yang membuat kita mengunci pintu dan jendela, memastikan enggak ada sesuatu yang nongkrong di bawah tempat tidur. Itulah metafora yang direferensikan oleh judul dari film yang posternya keren banget ini.

Mimpi buruk datang di malam hari. Dan ketakutan, dan dalam beberapa tingkat ketegangan dan paranoia terhadapnya akan membuat kita terjaga.

 

Ketika malam tiba, anjing milik keluarga Paul (Joel Edgerton begitu real sehingga menonton performa emosional dirinya akan turut bikin kita sesak) akan menyalak, mereka pun enggak akan keluar rumah. Paling enggak, tanpa mengenakan topeng gas dan membawa senjata api. Semacam virus sudah menjangkiti penduduk kota, mengakibatkan Paul beserta istri dan putranya, Travis yang beranjak 17 tahun (Kelvin Harrison Jr memegang peran penting dalam cerita yang emotionally horror banget) kudu mengarantina diri mereka sendiri. Mengubah rumah mereka menjadi semacam shelter perlindungan. Mereka tidak bisa membiarkan satu makhlukpun masuk sebab mereka tak ingin lagi menghabisi anggota keluarga sendiri, seperti yang mereka lakukan terhadap Kakek di menit-menit awal cerita. Suatu malam, Will (satu lagi penampilan luar biasa dari Christopher Abbott) mencoba menyelinap masuk demi mencari makanan dan air untuk keluarganya sendiri. Dua keluarga ini come in terms untuk tinggal bareng, ada kesepakatan dan perjanjian segala macem, namun tentu saja, isolasi tersebut semakin terasa. Dan horor lantas melanda.

Semua hal tersebut kita ketahui bukan dari adegan-adegan eksposisi, melainkan dari shot-shot cantik-tapi menegangkan buah tangan Trey Edward Shults. Sutradara ini tidak pernah menjelaskan apapun kepada kita. Tidak ada jawaban, kita tidak akan diberi tahu apa yang membuat anjing mereka lari, apa yang melukainya, kenapa anak kecil itu tidur di lantai, apa yang sebenarnya terjadi. Tidak ada pendiktean. Cerita singkat yang aku tuliskan tadi adalah murni deduksi sendiri dari apa yang informasi yang diperlihatkan oleh film. Kita mungkin bisa akur pada beberapa poin cerita, akan tetapi untuk sebagian besar apa yang terjadi di dalam kepala karakternya totally dibiarkan ambigu. Kita enggak tahu siapa yang bisa dipercaya. KERAGUAN, KETAKUTAN, KEHILANGANPIKIRAN NEGATIF MANUSIALAH YANG MENJADI TOKOH ANTAGONIS dalam film ini. Makanya, film ini bisa misleading buat penonton yang mengharapkan bakal melihat setan.

“Mas, setannya ada?”

 

MIMPI BURUK ADALAH TEMA yang jadi elemen utama cerita. Kita tahu seseorang sangat passionate dengan projeknya jika mereka benar-benar memikirkan detil dan punya gaya sendiri. Itulah yang dilakukan oleh Edward Shults terhadap film ini. Untuk menyampaikan ketakutan dan paranoia para tokoh kepada kita, Shults tidak menyediakan jawaban pada narasi. Untuk menyampaikan tema mimpi buruk, Shults menggunakan banyak adegan mimpi serta treatment yang berbeda terhadap adegan-adegannya. Ia memanfaatkan long shot supaya kita penasaran dan bergidik ngeri ketika ada tokoh yang berjalan menyusuri rumah pada malam hari. Penerangan dibuat sangat minim, baik itu dari lampu semprong ataupun senter, sehingga meskipun tidak ada apa-apa di background, kita akan membayangkan yang bukan-bukan sedang berjongkok di salah satu sudut gelap itu. Namun, penggunaan banyak adegan mimpi, meskipun aku mengerti akan kebutuhan penceritaan, tetap saja membuatku sedikit dilema ketika disuruh menilai film ini.

Dalam film horor, langkah paling gampang adalah menyusupkan adegan mimpi untuk memancing adegan seram. It’s a cheap way, pengandaiannya sama dengan kalo ada penyanyi lagi manggung di suatu kota, tapi dia dicuekin, maka dia tinggal bilang “Selamat malam, Banduungg (atau nama kota tempat manggung)” dan penonton niscaya sorak sorai. Kalo kau ingin masukin adegan seram yang gak make sense ataupun gak nyambung, masukin aja sebagai adegan mimpi. Sebaliknyapun, saat kita menonton horor, sungguh sebuah hal yang annoying jika sudah terinvest sama satu adegan seram, eh tau-tau adegan selanjutnya adalah si tokoh terbangun dengan keringetan. Dalam It Comes at Night ada sekitar empat atau lima kali adegan mimpi. In fact, semua adegan mengerikan yang ‘mengecoh’ kita ada dalam konteks mimpinya si Travis. Untuk mencegah penonton ngamuk, dan supaya bikin filmnya gaya, Shults menggunakan treatment khusus. Setiap adegan mimpi diberikan ratio aspek gambar yang berbeda dengan adegan di dunia nyata. Bahasa gampangnya sih; pada adegan mimpi, layar tampak lebih sempit, perhatikan deh batas atas dan bawah layar. Nah itulah akibatnya, aku jadi sering terlepas dari cerita karena sibuk memperhatikan aspek ratio tersebut, mana yang mimpi mana yang bukan.

Pada babak ketiga, Shults memasukkan twist kepada treatment mimpi buruk ini. Ratio gambar dibuat sama dengan ketika adegan mimpi buruk sampai ke kredit penutu bergulir, namun baik Travis maupun yang lain tidak ada yang sedang tidur. Treatment ini menyampaikan pesan bahwa mimpi buruk Travis selama ini sudah menjadi kenyataan baginya. Pilihan mengerikan yang dibuat oleh ayahnya adalah pengingat yang nyelekit banget bahwa terkadang realita tidak kalah menyeramkan, malahan acapkali lebih disturbing, daripada mimpi buruk seribu bulan.

 

 

Pilihan-pilihan yang dilakukan oleh Shults untuk film ini semuanya dapat kita pahami kepentingannya. Bahkan di babak ketiga, kamera pun dipindah menjadi handheld, dan ini dilakukan supaya situasi horor yang terlepas dapat terhantarkan kepada penonton. Hanya saja teknik-teknik dan treatment ini keluar terlalu kuat, ia menutupi kebrilian penampilan akting. Dan tidak beanr-benar diimbangi dengan plot yang sama kuatnya. Padahal apa yang menimpa keluarga Paul, konflik emosi setiap karakternya sungguh nyata. Pertama kita paham betul ketakutan Paul – begitu juga dengan Will – jika  keluarganya sampai terancam bahaya. Paranoia tersebut mengubah manusia menjadi brutal. Membuat orang-orang saling menyerang, demi kepentingan keluarga mereka. Ya, seperti kata quote di tumblr soal gimana kalo lagi ngumpul dan tertawa bareng, kita akan otomatis melihat ke arah orang yang paling kita cintai di dalam kelompok tersebut; saat dalam keadaan takut dan chaos, kita akan menumpukan sandaran kepada keluarga. Hanya keluargalah yang paling dapat kita percaya.

Karena kata Max Black; keluarga hanya menginginkan duitmu, bukan darahmu.

 

Di tengah-tengah isolasi dan bimbang kepercayaan tersebut, ada Travis. Tentu bukan asal sebut saja ketika film memperkenalkan tokoh ini sebagai anak remaja. Travislah yang paling restless. Dia gak bisa tidur. Dia yang selalu galau di malam hari. Emosi yang ada di dalam tokoh ini begitu bentrok. Kalian paham dong pastinya, remaja umur segitu mulai meragukan orangtua – apakah ayahnya melakukan hal yang benar,  mulai takut kehilangan apa yang ia cintai, dan tentu saja mulai naksir cewek. Semua hal manusiawi tersebut menambah level keteganganm, diolah dengan begitu perhatian ke dalam narasi, sehingga kita dapat satu tokoh yang benar-benar kerasa konflik internalnya dan di luar semua itu, dia masih harus mengkhawatirkan virus yang bisa saja menularinya. Jadi kita mengerti dari mana mimpi-mimpi buruk terus menghantui dirinya.

 

 

 

Jika ada sesuatu di luar sana, maka kita tidak akan pernah mengetahuinya. Sebab, horor film ini justru bekerja berlawanan dari yang kita duga. Isolasi tersebut tidak banyak berpengaruh karena ketakutan datang dari dalam diri. Hidup kita rapuh, kita begitu gampang takut, dan ultimately paranoia akan menelan moral bulat-bulat. Ini adalah cerita yang sungguh devastating dan diolah dengan penuh kecakapan. Film ini menggunakan misteri sebagai sarana untuk menghormati kecerdasan penonton. Hanya saja aku bisa mengerti bahwa, sepertinya halnya The Babadook (2014) ataupun The Witch (2016), akan ada banyak orang yang kecele sama horor ini. Tidak ada sosok hantu, semua yang seram-seramnya hanya mimpi, tidak ada jawaban yang disediakan meski memang ceritanya emosional dan thought-provoking.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for IT COMES AT NIGHT.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.