UPGRADE Review

“Computers are useless; they can only give you answers”

 

 

 

Dalam dunia yang penuh hingar bingar, nyaman sekali rasanya bisa menyelam ke dalam kepala sendiri. Ketika kebingungan, atau saat merasa butuh untuk mempertimbangkan sesuatu, kemungkinannya adalah kita merasa perlu untuk bertanya kepada diri sendiri. Bicara kepada suara di dalam kepala itu bukan pertanda kita gila. Malahan akan membuat kita lebih pinter jika kita cukup tenang menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya adalah tindakan menggali kesadaran dan potensi diri. Bahkan, menulis pun sejatinya adalah pekerjaan yang bertanya kepada diri sendiri – kita ngobrol di dalam kepala, kita jelajahi ruang pikir dan pemahaman yang ada di sana.

Masalahnya adalah; bagaimana jika yang ada di dalam kepala itu bukan pikiran kita? Bagaimana cara kita membedakan mana yang suara hati mana yang ‘bisikan setan’? Perlukah kita langsung percaya kepada jawaban yang diberikan oleh suara-suara yang ada dalam kepala kita?

 

Upgrade mungkin memang bukan film yang menonjolkan perjalanan filosofis. Film ini lebih sebagai hiburan tembak-langsung, di mana kita akan melihat aksi berantem penuh kekerasan dan dunia masa depan yang memenuhi dahaga fantasi terhadap kemutakhiran teknologi. Akan tetapi, garapan Leigh Whannell ini memberikan pandangan yang cukup menarik – ia bermain-main dengan konsep seorang manusia yang tidak lagi punya kontrol atas tindakannya sebab sudah menyerahkan semua kendali kepada suara asing di dalam kepalanya.

cue entrance musik Randy Orton

 

 

Cerita tidak akan pernah melebar keluar dari perspektif Grey Trace (Logan Marshall-Green berkesempatan memainkan adegan berantem unik). Pria ini kehilangan istri dan anggota gerak tubuhnya ketika mobil-nyetir-sendiri mereka melaju error dengan tragisnya. Tubuh Grey lumpuh total, kecuali kepalanya. Tatkala ia meratapi nasib, terbaring di tempat tidurnya, seorang ilmuwan komputer memberinya tawaran untuk jadi inang sebuah chip maha-canggih. Dengan chip yang disebut Stem tertanam di lehernya, Grey bisa berjalan dan mengusap air matanya lagi. Tapi kemudian Stem bicara kepada Grey, ia menawarkan bantuan lebih dari apa yang diminta oleh Grey. Stem, dengan izin Grey, bisa mengendalikan tubuh mekanik yang tadinya sirik ama teknologi ini, melakukan pekerjaan yang tak sanggup ia lakukan. Termasuk balas dendam. Mengubah Grey menjadi mesin pembunuh.

Ketika nonton ini, aku ngobrol kepada diriku sendiri. Hey, kita sudah pernah toh melihat cerita seperti begini sebelumnya. Pria biasa yang tiba-tiba jadi perkasa, melakukan aksi tuntut balas. Mesin yang pada akhirnya mengambil alih kemanusiaan. Kepalaku balas bertanya; Tetapi yang ini beda, tuh lihat, adegan berantem pertamanya aja bikin mulutmu otomatis menganga.

Suara di kepalaku benar. Dari adegan Grey yang mendadak jago bertarung – bahkan lebih efisien dari Robert McCall di The Equalizer 2 (2018) kita bisa melihat bahwa film ini diarahkan kepada tone yang berbeda dari cerita balas dendam yang sudah-sudah. Feelnya sangat gelap, ala grindhouse 70an yang dibuat oleh John Carpenter. Sudah jarang sekali kan kita melihat gaya seperti begini hadir di jaman yang mengutamakan kepada budget dan efek yang supercanggih. Film ini berada di titik seimbang antara tragedi dan komedi, sehingga meskipun lingkungannya futuristik, kejadian-kejadiannya brutal, tapi kita masih menemukan pijakan untuk merasakan kenyataan. Berantemnya unik, kocak, dan meyakinkan. Logan Marshall-Green melakukan tugas yang menakjubkan dengan ekspresi wajahnya. Begini, begitu Stem dikasih ijin mengambil alih, Grey hanya bisa melihat dengan matanya saat tangan dan kakinya beraksi menghajar musuh. Dan sebagian besar dari adegan bak-bik-buk itu, Grey tampak takut hingga dia bahkan sampe meminta maaf kepada lawannya. Konsep ini digarap dengan kocak sekali, karena lawannya pun memandang Grey dengan heran, like, man you are crazy what the hell is wrong with you?

“fight your own battle, lazy-ass!”

 

Ada salah satu adegan yang menampilkan Grey berdiri melihat daftar nama tenant sebuah apartemen, dan kita dilihatin dengan jelas nama J. Wan, yang obviously adalah easter egg buat sutradara horor James Wan. Leigh Whannell memang sudah banyak berkolaborasi dengan Wan, karya paling ngehits mereka tidak lain tidak bukan adalah Saw (2004) yang tak pelak menjadi ikonik buat genre horor. Apa yang dilakukan oleh Whannell dan Wan di film tersebut sungguh patut dijadikan suri tauladan buat filmmaker lokal; mereka berkutat dengan budget rendah dan sukses menghasilkan tontonan yang luar biasa meyakinkan, sangat menyenangkan, ngajak berpikir pula, dari dana sesedikit itu. Bikin film gak mesti mahal; kita gak perlu punya yang terbaik karena yang terpenting adalah seberapa besar usaha yang dilakukan supaya menghasilkan yang terbaik. Whannell mengulangi lagi kerja kerasnya pada film Upgrade ini. Dia berhasil ngestrecth konsepnya melewati batas-batas budget. Dan mengingat ini adalah film yang bertempat di masa depan yang sudah canggih, jelas pencapaian Whannell menghidupkan dunianya bukan hal yang bisa diremehkan.

Tak sekalipun semua yang nampang di layar itu terlihat murahan. Lingkungan pada film ini direalisasikan dengan amat baik. Bahkan, dan aku gak melebihkan, dengan budget yang jauh berbeda, film ini bisa kelihatan satu dunia dengan Blade Runner 2049 (2017). Aspek futuristik dan spesial efeknya tidak sekalipun membuat film jadi cheesy. Pun film tidak terlihat sok-sok bergaya ala B-movie, kalian tahu, gerak kameranya enggak pernah terlalu over-the-top. Tidak ada shot-shot ambisius. Justru dieksekusi dengan kreatif sekali. Pergerakan kamera yang sedikit tertahan kepada Grey – memberikan kesan gerak kaku seperti berantem jurus robot yang ia lakukan.

Seperti halnya film enggak lantas menjadi bagus karena punya budget raksasa, kita juga tidak bisa mengupgrade kemanusiaan dengan hanya bergantung kepada kemutakhiran teknologi. Seperti yang disebutkan dalam dialog film ini, mesin yang hanya berisi angka 1 dan 0 tidak akan bisa menanggulangi kekompleksan manusia. Mereka hanya tahu berpikir mencari jawaban yang termudah. Sedangkan manusia, kita dianugrahi rasa yang tak jarang mengoverride pikiran, for better or worse.

 

Ketika aku bilang cerita film ini tak pernah keluar dari frame sudut pandang Grey, kepalaku langsung berontak protes. Hal tersebut mengakibatkan tokoh yang lain gak jadi gak keurus, katanya. Setelah dipikir-pikir, memang ada benarnya juga. Aku terlalu sibuk menggelinjang seru melihat apa yang kutonton sehingga menjadi sedikit bias kepada film ini secara keseluruhan. Untung ada suara di kepala yang mengingatkan. Grey tereksplorasi dengan baik, kita mengerti pandangan orang ini terhadap situasi dunianya, kita melihatnya berkembang dari seorang lumpuh yang berusaha menerima kondisinya lalu dia takut akan apa yang bisa ia lakukan, menjadi seseorang yang embrace it all sebelum akhirnya sadar apa yang sebenarnya ia butuhkan. Kita peduli sekali kepadanya. Namun tidak demikian terhadap tokoh-tokoh yang lain. Polisi wanita yang bertugas menginvestigasi kasus kecelakaannya, ibu yang menemaninya, istrinya yang meski perannya kecil namun sangat integral terhadap karakterisasi Grey, orang yang memberinya Stem, mereka semua begitu satu dimensi. Hacker yang sempat membantu Grey malah ternyata gak penting meski memegang peranan dalam cerita. Bahkan tokoh antagonis tidak banyak diberikan warna, kita membenci mereka karena hal yang mereka lakukan. Kesan kita kepada semua orang di sekitar Grey tidak pernah lebih dari jauh dari apa yang kita lihat. Ini sangat disayangkan, karena dengan konsep yang begitu keren, film justru kesusahan menyeimbangkan antara konsep tersebut dengan para tokohnya.

 

 

 

Kekurangeksploran tokoh lain membuat film dapat menjadi sedikit membosankan tatkala takada kejadian menarik seputar Grey dan Stem yang terjadi, karena memang kita hanya peduli sama tokoh utama seorang. Kita ingin cepat-cepat melihat aksi yang direkam dengan kerja kamera yang kreatif, dengan sinematografi yang unik, dengan konsep yang membuat cerita yang udah sering dilihat ini menjadi terasa menyegarkan. Di luar pencapaian luar biasanya menjadi tontonan yang super fun melewati batasan budgetnya, aku dan suara di dalam kepalaku setuju film ini mestinya bisa diupgrade sedikit lagi sehingga semua elemennya dapat berimbang.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for UPGRADE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

TURAH Review

“Either give up and die or die trying”

 

 

Satu lagi permata di antara kelimpahan batu, Turah adalah film yang berani mengangkat dan mengambil wujud berbeda dari film-film lain. Namun, ini adalah permata yang amat kasar. Menontonnya kita tidak akan merasa senang, atau gembira, atau berbunga, atau jumawa melihat tokoh baik berhasil mengalahkan tokoh jahat. Sebab depresi hidup adalah lawan yang berat; antagonis sebenarnya yang membawahi rasa takut, putus asa, dan berbagai macam perasaan negatif lain. Sutradara Wicaksono Wisnu Legowo menghimpun semua – tanpa memanis-maniskan keadaan – dan memperlihatkan kepada kita secara langsung seperti apa hidup yang untuk berharap aja, kita udah takut.

Kalo mau dideskripsikan, maka aku akan menggunakan istilah tempat jin buang anak untuk menjelaskan tempat seperti apa Kampung Tirang. Literally banyak mayat bayi yang ditemukan di kali dan dikubur di pinggir kampung. Tempat itu bahkan bukan ‘kampung’ beneran. Dia hanya sepetak tanah timbul dari endapan kali yang digunakan sebagai tempat tinggal buat orang-orang yang tidak mendapat tempat di dunia seberang kalinya. Orang-orang terbuang, dilepehkan mentah-mentah. Bagi kelas atas, mereka hanya tambahan suara saat pilkada. Janji-janji kesejahteraan itu tak perlu ditepati. Air bersih dan tempat tinggal yang layak? Pake aja apa yang ada! Turah sudah dari kecil tinggal di Kampung Tirang. Untuk memenuhi nafkah keluarga, dia dan para warga yang lain bekerja sebagai buruh pribadi Juragan Darso. Ternak kambing, barang bekas, tambak ikan, semua dijual ke Darso yang kemudian akan memberi upah kepada mereka.

Cukup? Tentu saja jauh!

 

Turah mungkin manut dan masih bisa legowo, istrinya dengan bijak menolak punya anak hanya untuk menambah korban sengsara, dapur mereka masih bisa ngebul walau hanya pas-pasan. Ditanyai apa ada kebutuhan yang masih kurang? Turah dan segenap penduduk menjawab “tidak ada, sudah cukup semua.” Namun tidak begitu dengan sahabatnya, si Jadag. Pemabuk ini sudah capek hidup susah, sudah bertahun-tahun dia bekerja kepada Darso namun hidupnya tak kunjung naik kelas. Dia cemburu sama Pakel yang sarjana. Jadag menyuarakan aspirasinya, mengajak Turah dan warga untuk membuka mata mereka, bahwa mereka bisa mendapat lebih, keringat mereka mestinya mengering masuk ke pundi-pundi masing-masing. Jadag mengambil rute protes yang beanr-benar frontal sehingga jika air kali yang tenang adalah Kampung Tirang, maka Jadag adalah batu yang dilempar ke sana, membuat riak-riak yang mengancam zona nyaman tempat terkutuk itu.

Hidup, sebagaimana yang diperlihatkan oleh film ini, adalah siklus yang selalu bertemu dengan kematian. Kita bisa menyerah dan mati. Atau mencoba, dan mati karenanya. Jadi, kenapa mesti takut? Keadaan suatu kaum tidak akan berubah, kecuali mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Kita tidak bisa mengharapkan perubahan tanpa mengambil langkah untuk berubah.

 

Suara dan cahaya dalam film ini semuanya berasal dari alam. Kita tidak mendengar musik pengiring. Kita tidak melihat cahaya yang diekpos editing studio berlebihan. Hasilnya adalah sebuah gelaran gambar bergerak yang tampak nyata. Hampir seperti dokumenter ataupun live video. Sekuens menjelang penutup, yang malam-malam ujan gede itu, adalah yang paling membuatku takjub. Ditambah dengan pemahaman konteks cerita saat di titik itu, wuih bulu kudukku meremang saat menontonnya Film ini memang sangat suram. Hampir-hampir sukar untuk ditonton. Sekalipun ada humor yang terlontar dari percakapan para tokoh, maka itu adalah jenis humor yang bikin kita ragu apakah pantas menertawakan atau enggak. Sebab film ini cukup pintar untuk tidak menampilkan hal dalam satu dimensi. Bahkan tokoh Juragan Darso tidak semena-mena ditampilkan culas.

Penampilan akting para pemain nyaris sangat teatrikal. Aku gak bilang aktingnya kaku. Para aktor justru memainkan perannya, mendeliverkan emosi dengan sangat baik. Kita bisa merasakan pengaruh kata-kata Jadag merasuk lewat pancaran mata Ubaidillah yang memainkan Turah. Kita bisa merasakan geram dan later, kebimbangan menyeruak saat perlahan Slamet Ambari yang jadi Jadag runtuh oleh kesadaran tentang keadaan orang-orang di sekitarnya dan apa yang mereka pikirkan atas tindakan dirinya.  Dan menurutku ini agak berkonflik dengan kepentingan film untuk tampil serealistis mungkin. Ceritanya sendiri sudah cukup serius dan kelam, kita melihat penghuni kampung tersebut dalam keadaan susah – tak pernah senang – dan mereka tidak mengeluh. Tepatnya tidak berani mengeluh. I think film perlu memperlihatkan kepada kita gimana mereka tampak senang hidup di sana, sebagai kontras dari inner struggle yang dikubur dalam-dalam. Tapi enggak. Jadi kita dapat film yang muram dari awal hingga akhir, ditambah dengan dialog penuturan yang dibawakan dengan terlalu serius. Sangat menitikberatkan pada hal-hal emosional. Sehingga semakin ke ujung, aku kehilangan atmosfer otentik yang ingin ditonjolkan oleh film.

but seriously, mereka ngebuildnya begitu hebat aku jadi penasaran pengen lihat tokoh Ilah

 

Di satu sisi kita punya Jadag yang nyaris –nyaris menjadi over the top. Di sisi lain, tokoh utama cerita, Turah tidak benar-benar melakukan apa-apa. Tapi actually, ini adalah story arc dari Turah. Sebagian besar film, mengikuti Turah adalah kerjaan yang membosankan dibandingkan dengan adegan-adegan yang ada si Jadag. Turah kalah menarik. Dia tidak mengambil keputusan. Dia tidak memancing konflik. Dia berada di sana hanya bereaksi terhadap aksi yang dilakukan oleh Jadag. At times, aku kepikiran kalo Jadag bisa jadi adalah tokoh utama yang bisa membuat film lebih eventful. Tapi tentu saja, Turah punya kepentingan menyampaikan satu pesan tertentu pada narasi, yang aku bisa mengerti konteksnya kenapa film ini tetap menjadikan dia sebagai tokoh utama.

Meskipun usahanya tidak berbuah manis lantaran penuh oleh amarah, Jadag adalah pahlawan dalam cerita Turah. Sisa-sisa keberanian di dalam diri Turah terbangkitkan, dia belajar dari kesalahan yang dibuat oleh Jadag. Sekali lagi, ini adalah tentang diam saja atau mengambil tindakan. Pertanyaannya sekarang tindakan yang bagaimana. Jadag menggugurkan satu ekuasi, sehingga menyisakan satu lagi. Dan itu  sehubungan dengan kenapa mereka mau tinggal di sana. Kita tidak perlu stuck di satu tempat. Orang-orang di Kampung Tirang sebenarnya punya keahlian. Mereka memang pernah terbuang, tapi mereka bukan sampah. Mereka adalah leftovers yang enggak dipakek. Tindakan yang mereka ambil mestinya adalah sesimpel pergi mencari tempat yang membutuhkan kepandaian mereka.

 

 

 

Wakil terpilih dari film Indonesia untuk bersaing di Film Asing Terbaik ajang Oscar tahun 2018 mendatang. Makanya, aku sempat kecele pas Bandung enggak kebagian jadwal tayang film ini. Dan pada akhirnya, buatku, film Turah ini benar-benar seperti ‘sisa-sisa’ yang aku pungut dari bioskop alternatif, tapi perlu diingat, sisa-sisa bukan melulu berarti sampah. Karena aku justru merasa seperti baru saja menang lotere sehabis menonton film ini. Sisi kemanusiaan yang kuat, komentar tentang kecemburuan sosial, tentang kepemimpinan, film ini menyentuh jauh lebih luas dari sepetak tanah kampung. Kerelevanan ini membuatnya pantas terbang ke Oscar. Meski sebenarnya dia bukan pilihan satu-satunya, ada film yang lebih baik daripada ini – teknis maupun penulisan. Karena buat sebuah film yang menyuarakan harapan, film ini kadang tampil terlalu muram untuk membuat penonton peduli.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TURAH.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK Review

“We share the blame.”

 

 

Ada dua hal yang bisa kita lakukan saat rumah kita kemalingan; pasrah, atau melawan. Sebenarnya ada satu lagi yakni minta tolong. Tetapi jika rumah kita letaknya di tengah-tengah entah di bagian mana Sumba seperti rumah Marlina, teriak minta tolong jelas bukan pilihan yang cerdas.

Rumah Marlina selayaknya adalah sistem yang rusak, karena dia tidak lagi punya suami. Tanpa anak. Marlina adalah istri, seorang wanita yang tidak punya lagi pria sebagai sosok pelindung. Film dengan segera mencengkeram kevulnerablean Marlina melalui tujuh pria yang datang menyatroni rumahnya. Merampok ternak. Memakan sup ayam masakannya. Dan kalo masih ada waktu, bergiliran menidurinya.  Tapi Marlina beruntung, karena sistem di rumahnya akan terestorasi berkat tindakan para pria tak-diundang tersebut. Marlina masih akan berfungsi sebagai wanita; tunduk dalam bayang-bayang lelaki. Toh, ada dua hal yang bisa dilakukan dalam sebuah sistem yang rusak; diem-diem aja sejauh mana bisa bertahan, atau bergerak untuk mengubahnya. Marlina memilih mengayunkan parang. Empat babak cerita ini adalah tentang Marlina si pembunuh dari Sumba yang menunggang kuda, menenteng kepala pria, di sepanjang jalan berbukit nan tandus.

Dengan sebagian besar waktu menampilkan pemandangan alam, film ini tampak SEPERTI FILM KOBOi. Musiknya membuatku pengen bertualang lagi di wilderness  game Wild Arms. Tapi jagoan utama film ini bukanlah pria berpistol. Marlina tidak menunggang kudanya ke balik matahari tenggelam. Ini adalah western gaya timur, yang dengan berani mendobrak pakem-pakem yang ada. Film ini tidak seperti yang lain. Serius deh, aku sampai merasa kasihan sama penonton yang masih berbondong ngantri nonton superhero – bahkan sampai rela mendongak di barisan depan, sementara mereka sebenarnya bisa lega-legaan menonton Marlina yang tayang satu hari sesudahnya, dan menikmati kecantikan dan keindahan cerita yang jarang didapat.

Oh, betapa mereka tidak tahu apa yang mereka lewatkan..

 

Setiap pilihan yang diambil oleh sutradara Mouly Surya adalah beneran pilihan beresiko yang terbayar dengan amat memuaskan. Marlina boleh saja membawa kepala orang ke mana-mana, namun sebenarnya yang melakukan heavy-lifting di sini adalah Marsha Timothy. Dia membawa keseluruhan film ini dengan sangat meyakinkan, emosi perannya begitu menguar lewat penampilan yang penuh oleh ekspresi-ekspresi terkepal penampilan. In fact, arahan Mouly berhasil membuat semua tokoh film ini kuat oleh karakter, mereka terasa nyata.  Novi, teman Marlina yang sedang hamil tua, juga diberikan arc cerita yang berakar pada kenyamanan istri yang ‘ikut’ suami. Dea Panendra juga enggak tanggung-tanggung menampilkan emosi. Novi tadinya ingin pergi mencari suaminya yang kesel lantaran anak mereka belum lahir-lahir. Dari cara Novi bercerita, kita tahu dia masih ingin memegang hubungan yang erat dengan suami, meskipun suami sudah menyalahkannya – menuduhnya ada main dengan pria lain. Ini adalah ciri orang yang playing the victim banget. Mereka bertahan karena ada orang yang bisa mereka salahkan.

Tapi film ini cukup bijak menangani tema yang ingin disinggungnya. Kaum lelaki diberi kesempatan untuk triumph secara kemanusiaan. Film tidak terjebak dalam perangkap sebagai korban. Tidak semua pria digambarkan arogan seperti Markus dan teman-temannya.

Ya, terkadang orang-orang kampung Sumba itu tampak aneh, mengingatkan kita kepada tokoh-tokoh di serial Twin Peaks. Film ini memang sesekali menampilkan adegan yang brutal; pemenggalan kepala actually terpampang tanpa tedeng aling-aling, tetapi film bekerja dengan sangat efektif  ketika dia tampil sebagai KOMEDI YANG BENAR-BENAR DARK. Kebanyakan komedi datang dari reaksi penduduk saat mereka bertemu dengan Marlina. Sekali lagi komentar tentang status gender terucap saat kita melihat para lelaki akan ketakutan, sementara para wanita tampak tidak terlalu mencemaskan. Aku beneran ngakak dan harus menutup mulut demi mendengar salah satu penumpang truk  menanyakan dengan kepedulian “Tidak capek tanganmu, Nona?”, alih-alih berteriak ketakutan ngeliat Marlina menodong supir truk yang ia bajak dengan parang.

 

Dunia yang nestapa menjadikan kita cenderung nyaman berperan sebagai korban. Saat kita menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpa, sebenarnya kita meminta untuk dikasihani.  Bahwa kita enggak salah. Yang salah orang lain, yang jahat adalah orang lain. Kita menggunakan istilah blaming the victim  untuk menuntut keadilan, akan tetapi justru mengukuhkan bahwa kita adalah victim, korban.

 

Jika ditelanjangi dari tema status gendernya, pesan soal menjadi korban atau enggak tersebut masih dapat kita rasakan keluar dari film. Ini bukan lagi sebatas gender mana yang jadi korban, karena kita melihat di bagian akhir cerita, peran ‘korban’ tersebut digulir begitu saja dari cewek ke cowok. Sedari awal, Marlina menuju kantor polisi bukan untuk mengaku telah membunuh orang. Kepala itu dia bawa bukan untuk ditunjukkan sebagai bukti. Dia melakukan perjalanan ke kantor polisi untuk mengadukan pelecehan yang ia alami. Marlina juga menolak mengaku dosanya ke gereja. Karena dia percaya dia enggak bersalah. Butuh tiga babak bagi Marlina untuk menyadari bahwa dia masih memposisikan dirinya sebagai korban. Ya, memang, walaupun digadangkan senang membantu rakyat, instansi pemerintah seperti polisi tidak pernah keliatan menyenangkan ataupun benar-benar membantu dengan segala tetek bengek birokrasinya. Film ini pun mengomentari soal tersebut saat Marlina duduk menceritakan tragedi ke yang berwenang.  Tapi Marlina tidak mendapat reaksi yang diinginkan. Malahan polisi justru tampak menyalahkannya, “kok enggak ngelawan?” polisi basically bilang gitu. Barulah ketika Babak keempat yang diberi judul ‘Kelahiran’, Marlina menyadari dia bisa duduk sebagai pengemudi.

nonton ini enaknya sambil makan sop ayam.

 

Bicara visual, ini adalah film yang sangat menawan. Pencahayaannya, wuiihhh, sama dengan Leonardo DiCaprio’s The Revenant (2016), film ini juga menggunakan cahaya-cahaya alami. Matahari, lampu petromaks, api tungku, menghasilkan gambar-gambar yang bergaung kuat oleh emosi cerita. Momen Marlina berpikir di dapur, dengan api tungku menciptakan riak-riak bayangan adalah salah satu momen favoritku di film ini. Wide shot pemandangan bukit-bukit alam itu dimanfaatkan lebih dari sebuah latar belakang. Kamera menangkap hal-hal indah adalah kerjaan sinematografer, dan kerjaan sutradaralah yang mengomandoi penggunaan dan penggabungannya. Semuanya disunting dengan sempurna, semuanya tergelar tidak dengan sia-sia. Tidak ada satu shot pun yang terasa salah tempat.

 

 

Desain produksi kelas atas. Film ini boleh berbangga sudah menciptakan varian genre baru dalam dunia sinema, karena dia memang pantas untuk berbangga. Pilihan musiknya, pilihan cara bercerita, film ini sangat berani. Ia begitu berbeda dari film-film Indonesia kebanyakan. Robbery – Journey – Confession – Birth adalah babak yang juga menjadi mantra bangkitnya kesadaran internal yang dialami oleh Marlina, juga Novi. Film ini membuka mata bahwa kebanyakan wanita hidup di antara berusaha melawan dan ngikut sistem, mereka melihat sampai kapan mereka mampu. Akan tetapi, adalah hal yang memungkinkan untuk menjadi lebih daripada itu. Bahwa wanita, juga pria, bisa mengambil aksi tanpa harus menyalahkan siapa-siapa. Bahwa setiap kita bisa menjadi tokoh utama dalam kehidupan sendiri.

Tonton ini sesegera mungkin begitu ketertarikan itu tiba, karena kita gak punya hak buat nyalahin bioskop kalo-kalo filmnya keburu turun sebelum kita sempat menonton.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

FLATLINERS Review

“Sometimes a little near death experience helps put things into perspective”

 

 

Wajar kita penasaran sama kematian. Karena kenyataan keras yang mesti kita hadapi adalah bahwa tujuan akhir dari kehidupan adalah mati. Hidup dan mati selalu adalah misteri; apa yang terjadi begitu kita mati? Apakah kita hidup sebagai ruh – ataukah kita bobok panjang sampai kiamat tiba? Beberapa orang, untungnya bisa menggambarkan sedikit ‘jawaban’. Orang-orang yang pernah nyaris-mati, kita banyak mendengar cerita tentang orang yang mengalami mati suri. Gimana mereka melihat cahaya; bertemu dengan kerabat yang sudah duluan almarhum, cerita-cerita semacam ini selalu menarik. Aku sendiri dulu pernah nyobain teori sleep paralysis, itu loh tidur melepas ruh yang katanya kita bisa terbang dan melihat tubuh sendiri. Aku pernah sangat penasaran dan sesiangan menekuni teori yang katanya ilmiah itu – ceile ‘menekuni’, padahal niat mulianya sih lagi males dan pengen nyari alasan bolos kuliah hihi. Jadi, kita bisa bayangkan para murid kedokteran yang setiap hari berurusan langsung dengan orang sakit, orang mati, orang-orang yang tersadar dari koma. Ide atas apa yang sebenarnya terjadi setelah kematian tentu saja begitu menggoda bagi mereka.

Flatliners yang disutradarai oleh Niels Arden Oplev adalah reimagining dari psikologikal thriller Flatliners (1990), mengambil konsep menarik tentang afterlife tersebut. Ceritanya kurang lebih sama, dengan modernisasi di beberapa poin. Lima orang murid kedokteran melakukan eksperimen, mereka mencari cara untuk merekam kerja otak ketika seseorang dalam keadaan mati. Mereka ingin melihat sendiri apa yang terjadi ketika mati, membuktikan cerita-cerita mulut tentang ada kehidupan setelah mati. Usaha mereka berhasil, bergiliran Courtney, Jamie, Marlo, Sophia  nyobain sensasi mati, dan dihidupkan kembali setelah beberapa menit oleh Ray yang setia berjaga.  Awalnya memang tampak aman, mereka bahkan dapat semacam enlightment dari berflatline-ria tersebut. Namun kemudian, berbagai penampakan mengerikan dari masalalu mulai meneror mereka satu persatu

“rohku melayaaang, tak kembaliiiiii bila kau pun pergiiiiii~hii”

 

Film ini adalah contoh yang nyata bahwa tidak peduli betapa cakapnya seorang sutradara, betapa kerennya penampilan akting seorang aktor, pada akhirnya kekuatan naskah, dan produksi lah yang menentukan film apa yang sebenarnya ingin mereka bikin.  Enggak salah memang film ini diberi judul Flatliners, lantaran toh benar filmnya tidak berkembang menjadi apa-apa. Datar. Flatliners mengemban konsep dan ide cerita yang unik, dan mengubahnya menjadi PESTA PORA JUMPSCARE di antara banyak hal yang berusaha mereka capai.

To be honest, aku enggak yakin sedang menonton apa. Film ini dimulai dengan perlandasan drama seputar dunia sekolah kedokteran, kita ngeliat apa yang dilakukan dan backstory karakter-karakternya yang masih muda,  aku sempat teringat sama buku Cado-Cado yang aku suka namun tidak kutonton filmnya ( tayang tahun 2016) lantaran terlihat seperti cinta ala Korea. Drama pada Flatliners  berubah menjadi lebih gelap tentang rasa bersalah sehubungan dengan masa lalu para tokoh, dan ultimately film berubah menjadi thriller saat para tokoh menyadari bahwa eksperimen flatlining yang mereka lakukan ternyata memiliki konsekuensi jumpscare film horor. Dari sudut penulisan, film ini mengambil banyak keputusan aneh tak-terjabarkan. Dan yang kumaksud dengan tak-terjabarkan adalah kita enggak bisa melihat apa produk akhir dari yang mereka inginkan. Nonton film ini dan akan jelas sekali tidak ada cukup komunikasi yang terjalin antara sutradara, penulis, studio, aktor, sebab semua orang terlihat berada dalam film yang berbeda. Flatliners terasa seperi dirancang oleh banyak otak dengan ide berbeda. Dan inilah yang kita dapatkan; sebuah usaha bersama yang tidak berbuah manis.

Sebagai pembelaan, film originalnya sebenarnya juga enggak hebat-hebat amat. Tapi paling enggak, mereka lebih terarah. Tokoh-tokohnya mencari thrill dari sensasi kematian. Dan ketika sampai di aspek cerita yang mengerikan, film tersebut mengeksplorasi misteri dari apakah yang para tokoh alami adalah psikologikal atau memang sebuah fenomena supranatural. Pertanyaan yang diangkat apakah mereka memang melihat hantu atau otak mereka memang sudah rusak karena nge-flatline. Begonya Flatliners versi 2017 ini adalah mereka tidak mengindahkan (atau malah tidak mengerti) framework dari sourcenya sendiri. Heck, mereka bahkan tidak mengerti cara kerja halusinasi. Maksudku, penampakan-penampakan seram itu muncul dengan cara yang ngagetin penonton! Tokohnya malah enggak melihat mereka, penampakannya muncul sekelabat di belakang tokoh. Padahal kan penampakan itu terjadi di dalam kepala si tokoh.

Bagian ‘terbaik’ dari film ini adalah aspek setelah mencicipi pengalaman nyaris-mati, para tokoh mmendapat kemampuan istimewa. Courtney jadi bisa main piano dengan sempurna, dia bisa menjawab pertanyaan dari dosen – bahkan sebelum pertanyaannya selesai diucapkan. Jamie jadi tahan cuaca dingin, mereka literally bermain-main di hujan salju dengan pakaian dalam. Motivasi Sophia ngeflatline adalah demi jadi pinter, dan dia memang terbukti jadi bisa nyelesain kubus rubik dengan amat cepat. It is hilarious dalam cerita tentang orang-orang yang menghentikan jantung mereka, kemudian menghidupkannya lagi, reperkusi yang turut ditonjolkan oleh film ini adalah mereka jadi punya kelebihan. Aspek ini pun kemudian tidak berkembang jadi lebih berarti, they are just there supaya keren.

Obviously, Flatlining adalah metafora dari menggunakan narkoba. Kedua tindakan itu adalah sama-sama kerjaan yang bercanda dengan maut. Kita ‘terbang’ setelah makek drugs, beberapa orang ngerasa lebih kreatif dan produktif dengan obat-obatan. Lucunya Flatliners adalah, film ini juga gagal dalam memperlihatkan bahaya dari eksperimen mereka. Underlying message yang ada ialah beberapa orang harus melakukan hal ekstrim sebelum akhirnya sadar bahwa mereka pernah melakukan kesalahan. Dan kesalahan tersebut bisa dihapus dengan meminta maaf.

 

Dan sama seperti versi baru Pengabdi Setan (2017), Flatliners juga tidak berani menyinggung agama. Padahal dalam film yang dulu, konsep kehidupan-dan-kematiannya berdasarkan teologi Kristen. Dalam film yang sekarang ini, kita tidak pernah diberikan pandangan soal apa yang dipercaya oleh karakter, dan ini hanya menyebabkan karakter-karakternya semakin hampa.

Hubungan antarkelima tokoh sudah minimalis sedari awal. Mereka enggak berteman, mereka cuma seangkatan yang tadinya saling ‘berkompetisi’ sebagai calon dokter. Dengan hubungan yang enggak kuat, film ini sungguh punya nyali untuk mengganti sudut pandang, mengubah tokoh utama di tengah-tengah cerita. Saat cerita berpindah dari tentang Courtney ke tentang Marlo, kita tidak merasakan ada bobot emosional karena mereka tidak terestablish punya hubungan yang dekat. Ellen Page adalah satu-satunya alasan orang datang nonton ini ke bioskop, I know I do. She was so talented dan Courtney benar adalah tokoh yang paling menarik. Dan film ini menghilangkan tokoh yang ia perankan di pertengahan cerita, meninggalkan kita bersama karakter-karakter klise yang mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi saat mereka ‘mati’.

persetan dengan teknik medis, kalian gak bisa gitu aja nyentuh dada Nina Dobrev

 

Bahkan setelah kepergian Courtney, aku masih berusaha bertahan menyelesaikan nonton film ini, melewati semua adegan-adegan horor klise. Melewati efek-efek pasaran. Melewati suara rekaman tangis bayi yang sudah kita dengar sejak film horor tahun 90an. What really does it for me adalah ketika satu dialog bego terlontar dari salah satu tokoh saat mereka mulai bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Sophia, dalam kebijakannya yang tiada tara, menyebut dengan gusar “Maksudmu, kamu tahu ada dampak negatif dari flatlining?” HA!!! Ini bego banget, perfectly menyimpulkan keignorant semua aspek yang berusaha bekerja dalam film ini. I mean, itu sama saja dengan dia menanyakan apakah ada dampak negatif dari mencoba merasakan kematian. Well yea; negatifnya jelas adalah MATI beneran, duh!

 

 

 

Mereka tidak membuat ulang ini karena punya sesuatu yang baru. Mereka tidak menggarap ini karena ingin mengimprove sesuatu dari film yang lama. Mereka tidak punya sudut pandang personal sehubungan dengan materialnya. Mereka cuma ingin manufacturing suatu produk. Makanya kita dapat cerita yang terasa lebih seperti kumpulan ide-ide standar dari studio film. Aku tidak mau menjelekkan siapapun, aku tidak melarang kalian nonton ini, sah-sah aja kalo suka, tapi ini adalah contoh film di mana yang terlibat just dropped the ball. Salah satu film paling membosankan tahun ini, menonton ini adalah cara yang paling aman buat kita ngerasain gimana sih pengalaman nyaris-mati itu.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for FLATLINERS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

BRAWL IN CELL BLOCK 99 Review

“If you love something, you have to protect it.”

 

 

Jadi orang baik itu enggak gampang. Kita bisa saja menjadi orang paling sopan sedunia, dan masih ada orang yang tersinggung ama kita. Kita boleh saja berusaha berbuat benar, dan coba tebak, tetap masih akan ada yang menyalahkan kita. Mantan petinju Bradley Thomas sudah mencoba.  Tapi kemudian dia dipecat dari bengkel tempatnya bekerja. Istrinya selingkuh. Dunia enggak adil, memang. Thomas, sebagai seorang yang punya kompas moral yang kuat, tidak pernah menyalahkan dunia. Sebagaimana dia selalu berusaha meluruskan postur tubuh raksasanya saat berjalan, Thomas selalu berusaha untuk tetap di jalan yang lurus. Lurus menurutnya, loh. Thomas ingin jadi orang baik. Dia cinta istrinya, dia ingin jadi ayah yang baik buat anak yang dikandung istrinya.  Jadi, Thomas bekerja menjadi kurir narkoba yang baik.

Seberapa baik sih, kurir narkoba yang baik itu?

Yang bertanggung jawab dengan barang yang ditanganinya, yang enggak cari masalah, yang tahu kapan musti lari sembunyi – kapan harus melawan polisi. Kalian yang sering berkendara di jalan raya pasti tahu kan, kecelakaan itu penyebabnya selalu antara dua; kalo bukan kita yang kurang hati-hati, ‘lawan’kita yang kurang hati-hati. Apa yang terjadi kepada Thomas saat dia lagi bertugas analoginya persis seperti itu. Thomas terpaksa membunuh rekan kerjanya yang kurang berhati-hati, dan dia pun harus tertangkap polisi. Perbuatan dengan maksud baik, buahnya baik juga. Kelakuan Thomas yang baik, actually tindakannya dilihat sebagai membantu polisi, membuat hukumannya tergolong ringan. Lima tahun dan Thomas bisa berkumpul lagi dengan istri dan anaknya. Tapi sekali lagi, dunia enggak adil. Di dalam penjara, keadaan berubah buruk bagi Thomas. Dia mendapati dirinya dalam posisi yang sulit. Dia harus mencari jalan ke penjara paling brutal demi mencari seseorang demi keselamatan jabang bayi dan sang istri.

Di zaman edan, paling enggak pegang erat moral sendiri

 

Film ini akan membangkitkan minat dan gairah para penggemar action 70’an, tepatnya periode berkembangnya tema genre yang dikenal dengan grind house. Brawl in Cell Block 99 terasa seperti flick GRIND HOUSE, BUT NOT REALLY. Disebut grind house lantaran ini adalah film yang benar mengeksploitasi kekerasan. Brutal, aksi berantem yang disajikan bukan untuk santapan semua orang. Film ini sepertinya memang ditujukan sebagai surat cinta buat tema genre yang satu ini. Kita akan melihat Thomas menghancurkan tengkorak lawan, hidup-hidup, dengan tumitnya. Melihat kulit wajah orang terlepas dari muka. Menyaksikan gimana Thomas mematahkan tangan orang sehingga tidak lagi terlihat seperti tangan. Tapi sekaligus juga ini adalah tempat di mana pengembangan karakter tidak dilupakan. Babak perkenalan Brawl in Cell Block 99 benar-benar dimanfaatkan oleh film supaya kita bisa melihat Thomas sebagai manusia dan supaya kita paham kondisi keluarganya. Kita dibuat mengerti bahwa dia sebenarnya menolak untuk melakukan itu semua, akan tetapi ini demi keluarga dan dia enggak punya pilihan lain. Film meluangkan banyak waktu memperlihatkan Thomas berpikir dan merenung dalam kesendiriannya. Dan tidak seperti grind house traditional yang fungsi tokoh ceweknya tiada lain untuk diselamatkan, dalam Brawl in Cell Block 99 istri Thomas diberikan ruang untuk bergerak dan berperan lebih banyak.

Grind dalam grind house sebenarnya juga bisa kita pake untuk menjelaskan gimana film-film bergenre seperti ini mengembangkan karakter utamanya. Ambil contoh film The Raid (2011). Sang jagoan biasanya harus ngelawan banyak orang, berjuang dengan darah untuk sampai ke tingkat atas, tingkat di mana bos bersembunyi. Layaknya video game. Setiap kali bertemu musuh, berhadapan dengan maut, tokoh utama akan naik level, mereka menjadi semakin kuat, baik secara literal dan figuratif. Mereka menjadi orang yang lebih baik. Thomas dalam Brawl in Cell Block 99 adalah lawan dari ini.

Dia literally harus turun tingkat. Dari penjara paling nyante ke penjara dengan keamanan paling ketat – yang berarti kebebasannya semakin minim. Premis ini pernah dibahas kocak di komik Bowling King, di mana tokohnya harus nyusup ke sekolah untuk anak-anak criminal demi nyari salah satu orang dunia hitam, hanya saja dia ditempatkan di kelas hijau tempat criminal ‘cupu’ alih-alih kelas hitam – jadi dia sengaja buat onar biar dipindahin. Setiap kali encounter, baik dengan inmate penjara maupun dengan polisi penjaga, Thomas berdegradasi. Yeah, dia babak belur – they all do. Terutama, dia menjadi semakin sadis, semakin marah, tapi hatinya tidak berubah. Kompas moralnya masih dipegang teguh. Dan melihatnya seperti begini, membuat kita peduli. Membuat kita ngecheer buat dia, meski apa yang ia lakukan enggak menyehatkan buat semua orang.

Seberapa jauh kita rela turun untuk melindungi orang-orang yang kita cintai? Setiap hari kita membuat pilihan untuk memastikan hal-hal yang kita cinta tetap ada, terus berkembang. Kalo ada yang dihajar hingga bonyok oleh film ini, maka itu adalah saran “kalo benar cinta, lepaskan”. Hal paling simpel dan logis adalah jika kita sudah menemukan yang baik untuk hidup kita, maka lakukan apapun untuk mempertahankannya.

 

 

Sekuens berantemnya akan membuat kita teringat kepada film John Wick (2014), namun juga, not really. Brutal, menghibur dalam cara yang bikin meringis, tetapi kelahinya enggak diolah dengan koreografi yang stylish kayak John Wick. Kata ‘brawl’ pada judul benar-benar dihidupkan. Thomas adalah mantan petinju yang baik, jadi dia hanya menggunakan kepalan tinjunya, menumbuk yang menghadang jalannya yang lurus. Dia menghancurkan semuanya dengan bogem. Gebak-gebuk itu enggak indah, oleh sebabnya masih terasa realistis. Kesan tersebut hanya dilunturkan sedikit oleh keputusan sutradara S. Craig Zahler untuk mengarahkan film ini sebagai tribute ke film aksi 70an, jadi di film ini dia dengan sengaja turut memakai efek shot prostetik untuk beberapa adegan kekerasan. Manekin dan anggota tubuh palsu akan bisa kita temukan dengan jelas

Ryu, here comes your new challenger

 

Jadi, Bradley Thomas basically seorang monster Frankenstein. Kesatria, terhormat, dia bisa matahin kaki orang dengan sangat gentle. Thomas mungkin satu-satunya orang yang adil di sana. Ini adalah peran yang noble sekaligus keras-dan-kumuh, dan Vince Vaughn menyelam sempurna ke dalamnya. Sudah begitu lama kita melihat Vaughn bermain di posisi tokoh yang rada komikal. Terakhir kita melihatnya serius di season 2 serial True Detective (2015) dan peran kecilnya sebagai sersan di Hacksaw Ridge (2016). Tidak satupun dari peran-peran tersebut sebanding dengan tantangan dan apa yang berhasil Vaughn capai di Brawl in Cell Block 99. Bayangkan Stone Cold Steve Austin; botak, violent, resourceful, bedanya Thomas adalah pribadi yang menyembunyikan emosinya dengan baik. Vince Vaughn benar-benar memberikan penampilan terhebat dari karirnya. He’s so badass, dan ketika kita diliatin dia sedang sendiri di dalam sel kurungannya, kita mulai bisa melihat seberapa terluka dan tersiksanya dia. Dan pada beberapa kesempatan, adegan kesendiriannya lebih menggebuk ketimbang ketika dia meledakkan kemarahannya saat berantem.

 

 

Drama karakter yang sangat efektif tersembunyi di balik tarung tangan brutal yang bertempat di penjara. Kepentingannya memperlihatkan set up karakter dan memberikan alasan buat kita peduli kepada tokohnya mengorbankan sedikit kestabilan pacing. Penonton yang mengharapkan pure grindhouse mungkin akan mengeluhkan betapa dua jam film ini terasa panjang. Namun dengan penampilan sebaik yang diberikan oleh Vince Vaughn, dan adegan kekerasan yang disturbingly menghibur – masalah pacing tersebut bisa dengan mudah kita overlook. Sebaik-baiknya film grindhouse, ini adalah salah satu yang terbaik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BRAWL IN CELL BLOCK 99.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

WAR FOR THE PLANET OF THE APES Review

“When a man assumes leadership, he forfeits the right to mercy”

 

 

Kera sering dianggap sebagai kerabat terdekat manusia. Para ilmuwan dengan teori evolusi sih berkata begitu, we are both primates, rantai DNA dan segala macem punya kesamaaan. Namun siapa sih yang sudi dikatain mirip ama monyet? Well, sejak menonton film pertama dari prequel seri The Planet of the Apes, suka gak suka aku jadi terhenyak juga melihat pelajaran yang terus berulang; bahwa manusia dan kera itu memang mirip tanpa kita sadari. Kera juga adalah spesies yang menyayangi keluarga, hidup bersosial dan saling berketergantungan, mereka punya rumah, mereka punya emosi yang membentuk karakter.

Bahwa kemanusiaan bukan ekslusif milik manusia semata. Malahan, oleh film ketiga ini – yang mengeksplorasi kata pertama dari judulnya –  kita akan dibuat benci sama spesies kita sendiri. Kera diserang, diperbudak, mereka adalah korban dari ketidakmampuan manusia mengaplikasikan ‘kemanusiaan’ itu sendiri.

 

The Planet of the Apes has been a great series so far. Kita sudah melihat kebangkitan bangsa kera mengambil alih planet dari manusia. Kita sudah melihat permulaan era baru di mana bukan lagi manusia sebagai spesies terkuat, dan dalam film kali ini kita akan melihat perang antara manusia-manusia yang tersisa dengan kera-kera pintar itu terjebak di tengahnya. Namun lebih daripada tentang memenangkan peperangan tersebut, ini adalah tentang SURVIVE DARI HORORNYA PERANG. Perspektif film ini teramat kuat karena sebagian besar waktu kita akan ngikutin Caesar sebagai pemimpin bangsa kera, and it’s also about pilihan-pilihan yang dibuat oleh pemimpin. Struggle antara rasa belas kasih dan balas dendam menjadi elemen konflik yang mewarnai cerita.

screw science, we are at war!!

 

Pada titik ini, kita tidak lagi mengagumi Caesar hanya sebagai pencapaian teknologi. I mean, not to overlook the production dan efek film ini sih. Yang mana sangat mencengangkan. Sekali lirik adegan pembukanya saja, kita langsung sadar bahwa film ini dibuat tekun oleh sekumpulan orang-orang jenius yang sangat berbakat. Kerja motion capturenya adalah salah satu yang terbaik yang pernah aku tonton, semuanya terlihat nyata. Andy Serkis sekali bermain brilian menghidupkan Caesar. Seperti yang kutulis tadi, mereka bisa menyejejerkan manusia dengan kera dalam satu adegan dan kita akan lebih respek terhadap yang kera, tapi bukan lagi karena bulu dan tingkahnya terlihat asli dan meyakinkan. Caesar di sini teramat menderita. Dia bukan lagi kera kecil yang diajarin bicara sama James Franco. Dia tidak lagi seekor kera naïf yang idealis berusaha menjadi simbol perdamaian manusia dengan kera. Di sini Caesar dan kelompoknya belajar hal baru: Dendam. Amarah menguasai, as Caesar bergulat melawan sisi gelap dari dalam dirinya sendiri. Pertumbuhan inilah yang membuat War for the Planet of the Apes bekerja luar biasa berhasil sebagai penutup trilogi. Journey Caesar bukan hanya bergerak di dalam lingkar film ini saja, jika kita menonton ulang dari Rise, terus Dawn, terus War ini, maka akan terasa pergerakan natural dari arc Caesar dan tokoh-tokoh lain, bahwa arc mereka membentuk satu gambar besar. Tentu saja aku gembira sekali karenanya, sebab meski aku belum nonton seri yang jadulnya, aku suka seri Planet of the Apes modern ini sedari Rise (2011).

Tidak seperti Simian Flu yang enggak ada obatnya, untungnya film ini berhasil menyembuhkan beberapa ‘penyakit’ yang menurutku menjadi masalah dalam dua film sebelumnya. Main problem seri ini adalah mereka bicara begitu banyak sebagai kera, sehingga melupakan karakter manusianya. Tokoh manusia tidak dibuat semenarik Caesar dan kawan-kawan. Setiap kali film membawa kita ke posisi tokohnya James Franco atau tokohnya Jason Clarke, kita pengen cepet-cepet pindah kembali ke Caesar, yang selalu menjadi inti cerita. Dalam film ini, kita setidaknya dapat tiga tokoh manusia yang diolah dengan menarik. Terutama tokohnya Woody Harrelson yang awalnya terlihat komikal sebagai Kolonel keji yang menyerang rumah Caesar. Ada kedalaman di dalam tokoh ini.  Kolonel adalah cerminan seperti apa jadinya Caesar jika dia terjerumus ke dalam lubang kesalahan yang sama. Kedua orang ini adalah pemimpin yang sama-sama menderita oleh pengorbanan dan kehilangan, jadi mereka ingin memastikan kelompoknya tidak lagi mengalami hal tersebut.  Ada gagasan tentang trait pemimpin yang juga dibahas oleh film ini secara subtil lewat dinamika Caesar dan Kolonel.

Dan tentu saja simbolisme. Kolonel menangkap dan memperbudak kera-kera di markas pasukannya yang dibuat mirip banget ama markas pasukan holocaust. Pasukannya bahkan punya chant khusus segala. In fact, ada banyak imaji holocaust dalam film ini. Sejalan dengan itu, masalah kedua film-film Apes ini adalah terlalu banyak dialog eksposisi, terutama Dawn (2014) tuh, banyak banget.  Dalam film War, penulis tampaknya menyadari hal ini, dan mereka membuang semua penjelasan, kecuali pada satu sekuen di mana Caesar dan Kolonel  ngobrol tegang membahas apa yang terjadi di masa lalu.

kera saktiii, membuat semua orang menjadi gempar

 

Aku sudah dibuat ternganga semenjak tembakan pertama berdesing. Ada begitu banyak sekuens dalam film ini yang membuat aku takjub hanya dari sudut pandang filmmakingnya. Arahan Matt Reevers membuat cerita menjadi sebuah perjalanan emosi yang suram namun sangat indah untuk diikuti. Sinematografi dan editingnya pun menyambung dengan mulus. Tidak ada momen yang terasa out-of-place ataupun sia-sia. Semua yang terjadi di sepuluh menit pertama basically ngeset-up segala yang kita butuhkan mengenai narasi dan film ini dan pada akhirnya akan terkonek sempurna dengan babak akhir. Untuk melengkapi pencapaian akting dan visualnya, departemen musik pun turut menyumbangkan peran yang begitu besar buat penceritaan. Suara dan musik eventually menjadi aspek yang penting sekali sebab ada banyak sekuens di mana tidak ada yang berbicara. Caesar memberikan isyarat kepada kera lain, mereka berkomunikasi diam-diam, dan yang kita punya untuk dipegang memang hanya penampilan, timing pengambilan gambar, dan musik. Juga ada momen yang ngebangun detik-detik balas dendam Caesar yang entirely senyap, jadi permainan musik dan desain suara begitu vital. Ditambah dengan penampilan Serkis, maka kita dapat the very definition of epic right there.

Musuh selalu mengintai  dari luar sana. Dan kekerasan manusia terhadap kera dalam film ini berfungsi sebagai metafora yang sangat pas terhadap keadaan kita dengan alam sekarang ini. Kita menjawab hal yang tidak kita tahu dengan ketakutan dan keinginan untuk mengontrolnya. Jadi kita merasa sebagai pemimpin dan berpikir berhak untuk membuang belas kasihan. Maka daripada itu, jika dibalik, siapkah manusia jika suatu saat nanti benar-benar muncul spesies yang lebih pintar untuk menggantikan posisi kita sebagai spesies alpha di muka bumi ini?

 

 

Salah besar jika kita masuk ke dalam studio, mengharapkan tontonan ringan yang ‘ceria’ oleh ledakan dan tembak-tembakan perang. Film ini begitu uncompromising sehingga menyebutnya fun sungguh sebuah typo yang disengaja. War digarap dengan unconventional. We do get a gigantic action scene, namun tidak bakal seperti yang kita bayangkan. Saat menonton pun, mungkin kita akan mulai berpikir, menebak-nebak ke mana arah cerita, you know, like, siapa akhirnya bakal melakukan apa, dan film ini tidak akan melakukan apa yang kita pikirkan. Narasi tidak memberikan jalan keluar gampang untuk karakter-karakternya. Film akan membuat mereka melakukan pilihan dan keputusan yang susah.

But also, film ini dengan berani mengambil resiko. Tone gelap itu berusaha mereka imbangi dengan sedikit suara ringan. Resiko ini datang dalam wujud kera botak yang menyebut dirinya “Bad Ape”. Tokoh ini adaah semacam komedik relief yang sebenarnya punya potensi untuk menghancurkan setiap adegan yang ada dianya dengan lelucon yang bikin nyengir. Sukur Alhamdulillah, film berhasil menemukan celah waktu dan kadar humor yang tepat, dan menurutku peran Steve Zahn ini menjelma menjadi salah satu kekuatan yang dipunya oleh film. Ada juga momen-momen manis yang datang dari tokoh gadis cilik bisu, yang salah-salah garap bisa saja hanya menjadi device nostalgia buat penggemar seri orisinil Planet of the Apes. Tetapi Nova oleh Amiah Miller begitu adorable, kehadirannya jadi simbol bunga di padang salju, eh salah, padang gurun, hmmm… medan perang, ding! Nova adalah harapan sekaligus bukti bahwa kedua spesies dapat hidup berdampingan.

 

 

 

 

Masterpiece ini bukan hanya tambahan yang hebat buat dua film sebelumnya, melainkan juga adalah sebuah penutup yang melengkapi trilogy ini dengan overaching plot yang sungguh-sungguh memuaskan. Setiap menit durasinya terasa sangat emosional dan riveting. Tidak ada dialog ataupun momen yang ‘salah’, kecuali satu kali mereka melakukan adegan eksposisi. Di luar itu, ini adalah cerita brutal tentang perang dan survival dan apa yang membuat pemimpin menjadi seorang pemimpin. Ini bukan blockbuster popcorn. Tetapi tak pelak, this was a beautiful experience. Penampilan aktingnya amazing semua, arahannya sangat riveting. Film ini adalah kasus langka di mana film ketiga menjadi film terbaik dalam trilogi tersebut. Dan juga adalah sebuah pengingat bahwa prekuel bisa kok menjadi sangat bagus jika digarap dengan sepenuh hati seperti ini. Explosive dan emosional, ini tak lagi sekedar khayalan gimana jika kera menguasai dunia. Ini sudah menjadi pembahasan mendalam apakah kita manusia, yang tidak berbelas kasih kepada alam, memang pantas untuk menjadi spesies penguasa dunia.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for WAR FOR THE PLANET OF THE APES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

THE EYES OF MY MOTHER Review

“Being alone with your feeling is the worst because you have nowhere to run.”

 

 

Tumbuh di lingkungan peternakan sepertinya menyenangkan. Dekat dengan alam. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Hamparan hijau seluas mata memandang. Kesannya segar sekali gitu ya. Namun bagi anak-anak, kondisi melegakan tersebut bisa sekaligus jadi kurungan buat mereka. Dengan rumah tetangga paling dekat bermil jauhnya, Francisca bermain boneka sendirian. Aktivitas setiap harinya diselingi dengan melihat Ibu bekerja, memberi makan sapi-sapi, merawat, dan memotongnya sebagai makan malam.

Yup, ibu Francisca enggak segan-segan membawa pulang kepala sapi dan membedah matanya di depan mata Franny yang lugu, yang memegang teguh setiap cerita yang keluar dari mulut ibunya. Dia belajar apa yang diakukan oleh ibunya, dan untuk anak seusianya melakukan hal seperti demikian, jelas bukanlah pengalaman yang bikin sehat jiwa. Lingkungan tidak membaik bagi Franny karena kedatangan seorang asing ke rumah mereka, membuat Franny menyaksikan lebih banyak trauma. Film ini adalah tentang Franny yang perlahan ‘menggila’ sekaligus berusaha keras mempertahankan interaksi sosial. Dia mengurus jasad ayahnya, dia memberi makan orang yang ia sekap di gudang, The Eyes of My Mother akan membawa kita mengintip sedikit ke dalam kehidupan seorang yang berubah drastis dari korban menjadi seorang pembunuh.

meja makan keluarga ini isinya mata sapi beneran, bukan yang telur.

 

Kamera yang statis ngerekam adegan-adegan long take, komposisi warna hitam-putih, desain suara dan scoring yang mengendap dengan eerie abis, drama horor ini diarahkan dengan gaya yang sangat nyeni. Perspektif tokoh utama tidak kita alami langsung, melainkan kita amati dari jauh. Kita enggak diajak masuk ke dalam kepala Francisca yang trauma secara emosi, kita cuma melihatnya berinteraksi seperti Francisca melihat apa yang dilakukan oleh ibunya. Dan di sinilah ketika film menjadi sangat disturbing. Kita tidak pernah melihat Franny kecil bertanya kenapa. Moral tidak pernah jadi permasalahan bagi cerita. Ini murni selayang pandang (sukur Alhamdulillah horor ini hanya satu jam lebih sedikit, siapa tahan ngerasa unsettling lama-lama) kehidupan ‘normal’ yang abnormal, sehingga pertanyaan ‘kenapa’ itu justru datang bertubi-tubi kepada kita. Kenapa kita mesti ngeliat ini semua? Kenapa film ini dibikin, apa sih maksud sutradara Nicolas Pesce memperlihatkan ini semua? Kenapa membunuh itu mendatangkan perasaan menakjubkan? Kenapa oh kenapa?

Karena, baik sebagai pembunuh ataupun sebagai korban, mereka sama-sama adalah manusia.

 

Film ini membagi narasinya ke dalam tiga chapter, masing-masing berjudul Mother, Father, dan Family. Ketiganya dapat kita translasikan sebagai trait ataupun personality yang membentuk pribadi Francisca. Insting merawat yang ia dapat dari ibunya, insting kerahasiaan dan bertindak yang ia peroleh dari ayahnya, dan keduanya terhimpun menjadi jawaban atas masalah Francisca; dia butuh keluarga.

Di balik segala ke-uneasy-an, segala perasaan mengganggu, sesungguhnya ini adalah cerita psikologikal yang sangat humanis. Bukan tidak mungkin orang-orang biasa seperti kita mengalami hal yang sama. Sebab, ketakutkan hakiki dari cerita ini BERINTI KEPADA RASA KESEPIAN. Layaknya film-film horor modern yang keren, film ini pun mengerti bahwa rasa takut itu datangnya dari dalam jiwa manusia. Untuk kemudian diperkuat dengan monster, hantu, ataupun hal-hal gaib yang tak berwujud. Dalam film ini, rasa takut akan kesepian tersebut diamplify menjadi berkali-kali lebih kuat dan disturbing dengan membenturkannya dengan elemen psikopat. Francisca merasa menakjubkan saat membunuh orang, sementara tidak ada yang lebih dia inginkan daripada punya company, punya teman. Konflik inilah yang jadi emotional core dan pusat cerita. Motivasi Fransiska yang terpecah antara pembunuhan dengan merawat, sampai kepada titik Francisca terlihat menyalurkan insting keibuan, itulah yang membuat kita susah untung berpaling dari film ini, meskipun penceritaannya sangat bikin kita enggak-nyaman.

Kesepian juga adalah penyakit mental manusia sebagai makhluk sosial. Banyak orang merasa sepi padahal sedang berada di tengah-tengah kerumunan pesta. Bahkan faktanya, lebih dari 60% pasangan yang sudah menikah masih merasakan kesepian. Rasa sendiri dan sepi itu bergantung kepada kualitas hubungan yang kita jalin. Namun kesepian tidak pernah digolongkan sebagai abnormal. Campurkan ia dengan kejadian traumatis? Nah, barulah kita bicara dengan Francisca!

 

 

Dalam kasus ini, Francisca mendapat personality dari apa yang ia lihat pada ibunya. Her deepest desire adalah merawat, singkatnya bisa dibilang ia ingin menjadi seorang ibu. Sepanjang film kita akan melihat dia berusaha keras untuk melakukan hubungan sosial dengan orang-orang. Ada adegan ketika ia ingin memberi makan sapi, namun sapinya malah mundur menjauh. Dan kemudian kita melihat usahanya menjalin relationship gagal karena pasangannya menjauh, takut. For her psychopathic behavior. Jadi dia menemukan cara termudah dengan menyekap mereka. Dia tidak butuh teman yang balas bicara, dia cuma butuh tubuh untuk dia kasih makan, dia rawat sebaik yang ia yakini.

Gaya macabre film ini, toh, bukan lantas berlebihan. Kita tidak melihat kekerasan yang benar-benar gamblang. Enggak ada yang bikin kita memejamkan mata, dari segi kesadisan adegan. Warna monokrom juga berperan dalam menyamarkan imaji-imaji berlumuran darah. Dalam kata lain, dari segi gore, film ini enggak benar-benar bikin mual. Adegan-adegan sadis itu justru terjadi di luar kamera. Atau sangat jaaaauuuh dari kamera. Kita tidak betul-betul melihat apa yang dilakukan oleh Fransiska kepada cewek yang dia ajak pulang ke rumah. As far as blood splatters, kita hanya melihat darah ketika cairan itu sedang dibersihkan. Tapi tutur film ini begitu efektifnya, sampai-sampai kita merasa seolah tahu apa yang terjadi di antara potongan adegan. Hampir seperti adegan kekerasan tersebut terjadi di depan mata kita walaupun kita tidak pernah melihatnya. Dan jika apa yang tidak dinampakkan oleh film ini bisa dengan jelas kita bayangkan, maka gambar-gambar yang secara eksplisit ditampakkan – bak mandi dengan air seputih susu tempat Francisca berendam dengan mayat ayahnya, misalnya – akan terus terpatri dalam pandangan kita, bahkan jauh setelah kita menyaksikannya.

“look in my eyes, what do you see?”

 

Penampilan para pemain dieksekusi dengan hati-hati. Francisca diniatkan untuk terasa jauh sehingga saat rasa simpati timbul kepada tokoh ini, kita akan merasa semakin tidak nyaman. Kika Magalhaes memerankan Francisca dewasa dengan keanggunan dan level kemisteriusan yang membuatku membandingkannya dengan aktor lokal Shareefa Daanish yang juga kerap bermain di ranah horor. Di bawah pendekatannya, tokoh ini mampu menumbuhkan rasa simpati meskipun tak jarang aksi yang ia lakukan tak dapat kita pahami. Ada perasaan sedih yang merasuk kala kita melihat dia berusaha untuk berfungsi secara sosial in her own screwed up way.

 

 

Di babak awal, pace terasa agak sedikit diburu-buruin, namun secara keseluruhan, film ini digarap dengan kalkulasi yang sangat spesifik. Trauma dan Kesepian seolah dijahit dengan precise ke dalam narasi, menghasilkan sebuah cerita yang sangat mengganggu. Clearly, apa yang diceritakan oleh film ini bukan untuk semua orang. Film ini enggak butuh jumpscare ataupun trik-trik pembunuhan besar untuk bikin kita ngeri. Secara artistik, ini adalah arthouse horror yang amat ambisius. Untuk sebuah karya pertama, pencapaian Nicolas Pesce tergolong luar biasa. Kita bisa melihat visinya. Meskipun mungkin tidak selalu jelas kenapa. Perspektifnya yang enggak necessarily subjektif, membuatnya sedikit artifisial.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE EYES FOR MY MOTHER.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

THE DEVIL’S CANDY Review

“Art is the concrete representation of our most subtle feelings”

 

 

Jangan melukis makhluk hidup, nanti bisa jadi tempat tinggal setan. Pak Ustadz di surau dulu bilangnya gitu. Jangan keras-keras dengerin musik, apalagi yang teriak-teriak, gak enak di denger. Mama biasanya ngomel dari dapur kalo aku udah mulai nyetel Marilyn Manson di kamar. Dan biasanya Papa nimbrung nimpalin; Nyanyi kok kayak kesetanan! Musik, terutama rock, dan lukisan memang lumrah dipandang sebagai tindakan dunia hitam oleh kacamata reliji. But we all did them anyway, dasar manusia pendosa semua ahahaha. The Devil’s Candy bahkan ngepush image ‘negatif’ dari aliran seni tersebut lebih jauh lagi ke dalam pusaran yang membingungkan. Horor ini mencoba untuk lebih dekat dengan orangtua sebagai kaum yang paling menentang rock abis-abisan, sekaligus membawa dirinya menjadi suatu cerita tentang ketakukan terbesar setiap orangtua di dunia; mampukah kita melindungi anak-anak kita.

A struggling painter baru saja pindah ke rumah baru bersama istri dan putrinya yang udah beranjak remaja. Keluarga kecil yang akrab ini keliatan cool banget; Jesse tampilannya udah nyeni banget dengan rambut panjang, jenggot lebat, dan tatoan. Anaknya, Zooey, juga kompakan demen musik rock, dia pengen punya gitar Flying V Gibson dan menutup setiap gambar beruang teddy pada wallpaper kamar barunya dengan poster Metallica, Pantera, dan  other rock bands sangar. Keliatan paling ‘normal’ adalah Astrid, istri Jesse, yang dari matanya terpancar cinta dan dukungan penuh buat keluarga. Diawali dengan mendengar bisikan aneh, Jesse mulai ‘ngaco’. Lukisannya pun berubah drastis. Dari yang tadinya indah bergambar kupu-kupu, lukisan Jesse kini menampilkan wajah anak-anak yang sedang menjerit berlatar belakang api dan makhluk aneh. Jesse enggak tau apa yang terjadi, dia lupa waktu setiap kali masuk ke studio lukisnya. Dan sementara itu semua terjadi, di luar rumah mereka berkeliaran seorang ‘gila’ yang membunuhi penduduk dengan batu.

Proses kreatif berkembang dari pengalaman sehari-hari. Apa yang kita rasakan, yang kita alami, bakal menjadi inspirasi suatu perbuatan seni yang kita lakukan. Makanya ada yang bilang kalo arts imitate life. Yang kita buat secara jujur pasti merefleksikan our inner self, baik itu sadar atau enggak. Dalam film ini kita melihat Jesse tanpa sadar melukis hal-hal mengerikan – termasuk lukisan Zooey dalam keadaan bahaya – yang mungkin saja adalah pengaruh dari ‘kekuatan tidak tampak’ yang mengendalikan dirinya. Namun ini semua dapat diintegralkan dengan bawah sadar Jesse, bahwa mungkin saja lukisan tersebut adalah tindak bawah-sadar yang mencerminkan perjuangan Jesse untuk menjembatani antara imajinasi dengan tanggung jawabnya sebagai ayah. Antara obsesi dan passion, Jesse berada di tengah-tengah posesi.

 

 

Pernahkah kalian ngerasa begitu sukanya sama sesuatu, sampai-sampai kalian enggak sabar untuk nyeritain ke teman atau siapapun karena kalian hanya ingin membagi hal yang sudah bikin kalian sangat excited? Itulah yang aku rasakan saat nonton film ini. Baru mulai lima-belasan menit aja aku udah menggelinjang pengen segera ngereview. Tahun lalu kita dapet The Invitation, dan tahun ini scene indie kembali mempersembahkan kepada kita semua tontonan horor yang luar biasa lewat The Devil’s Candy.

Adegan pembuka film ini akan membuat kita terpaku, dan yang bertanggungjawab untuk hal tersebut adalah orang ini: Pruitt Taylor Vince. Aktor yang fantastis meski memang sepertinya dia selalu dapet peran-peran ‘psychotic’ kayak gini. Aku sangat tertarik melihat karakternya, dia memainkan gitar listrik sekeras-kerasnya demi menenggelamkan suara bisikan setan. This is very conflicted, serius, dia membuat musik rock sebagai semacam pertahanan untuk berlindung di balik setan yang terkutuk, padahal aku taunya rock justru mengundang setan. Tokoh yang dimainkan Pruitt adalah orang yang amat sangat gila, keberadaannya sendiri sudah sukses berat bikin seantero film jadi unsettling. Ngeliat dia ngunyah permen di dalam mobilnya aja udah cukup buat kita meringis dan nebak bakal ada darah tak-berdosa yang tumpah.

Kita bakal bergidik ngeri, deh, setiap kali dia berjalan masuk ke layar.

 

Tentu saja kerja editing yang sangat excellent turut andil dalam menghadirkan sensasi kengerian tiada tara tersebut. Sutradara Sean Byrne punya cara ngecut adegan-adegan dan menjalinnya kembali sehingga tercipta efek kebingungan, kealpaan, yang turut serta kita rasakan. Kita jadi mengerti perasaan heran Jesse ketika sadar hari mendadak sudah malam. Quick cut antara momen Jesse melukis dengan momen si gila yang melakukan ‘kerjaan’nya di tempat lain adalah momen favoritku di film ini. Adegan-adegan film tersusun menguarkan kesan kesurupan yang kuat. Sinematografinya pun kompeten dan tampak dangerously beautiful. Pencahayaan yang really creepy; perhatikan adegan siluet Jesse dan istrinya kebingungan di depan lukisan mengerikan buatan Jesse; pemandangan adegan yang cantik namun hiiii!!! Posisi para tokoh, entah itu mereka ada di depan maupun berdiri sebagai background, sangat diperhatikan, bukan hanya bermakna namun juga menghasilkan imagery yang bakalan jadi bahan bakar mimpi buruk kita. Tentu saja ada kekerasan dan darah, film ini menunjukkannya dengan waktu yang sangat precise, long dan close enough buat kita menyipitkan mata dan berteriak panjang.

Untuk menjadi horor yang baik, tidak perlu melulu soal hantu, monster, ataupun alien. Sean Byrne paham bahwa beberapa film horor terbaik justru adalah cerita yang menfokuskan kepada PENGGALIAN TRAUMA PSIKOLOGIS dari karakternya. Trauma yang sangat mendasar dari manusia diambil untuk kemudian diperkuat dengan elemen-elemen mengerikan. The Devil’s Candy, pada permukaannya, adalah tentang setan yang membisiki manusia, menyuruhnya melakukan hal-hal mengerikan. Tentang ‘rumah hantu’ di mana pernah terjadi suatu tragedi dan sekarang penghuninya melukis wajah-wajah mengerikan dan dia tidak tahu kenapa. Pada saat bersamaan, ini juga adalah sebuah cerita dengan banyak drama keluarga. Jesse yang ‘kesurupan’ menjadi lupa daratan, sibuk dengan lukisannya, sehingga dia melupakan tanggungjawabnya sebagai seorang ayah. Membuat anak dan istrinya merasa teracuhkan.

Ketika kita melihatnya seperti demikian, The Devil’s Candy terasa mirip dengan horor klasik dari Stanley Kubrick, The Shining (1980). Sebagian besar durasi film tersebut dihabiskan buat mengeksplorasi psikologis tokohnya Jack Nicholson yang begitu fokus kerja, lalu ultimately horor dimulai ketika dia mengambil kapak dan memburu anak dan istrinya. Jesse, dalam kasus film indie ini, adalah pelukis yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, kemudian ada kekuatan tak-kasat mata yang membuat Jesse hilang kendali dan melupakan keluarganya. Kedua film sama-sama tentang ayah yang tanpa sadar neglecting keluarga. Namun, keduanya diceritakan lewat cara yang berbeda, dengan perspektif yang juga berbeda. So I’m fine with it, lagipula memang beginilah seharusnya formula film horor yang baik.

Hal paling menyeramkan dari film horor tidak semestinya berupa sosok hantu pucat, monster berdarah-darah, ataupun makhluk-makhluk aneh lainnya. Takut bukanlah fakta, melainkan perasaan. Dan perasaan ketika ada sesuatu yang mengendalikan kita sampai-sampai membuat kita melupakan keluarga dan orang-orang tersayang, adalah perasaan yang genuinely menakutkan dan kita semua bisa relate kepada perasaan tersebut.

 

Ethan Embry juga sepantasnya dapat tepuk tangan yang bergemuruh. He’s really sold the third act. Dia kelihatan sangat agresif ketika memainkan Jesse yang melukis dengan ‘berapi-api’ dan gak sadar keadaan sekitar. Ada momen ketika film ini menjadikannya simbol due to his appearance. Pendekatan yang Ethan lakukan begitu Jesse mulai terpengaruh oleh ‘bisikan’, kadang dia melukis hanya mengenakan celana dalam, sungguh-sungguh menakutkan. Dan dia mampu memainkan kontrasnya peran ketika Jesse harus duduk, dengan gentle, meminta maaf kepada Zooey saat dia terlambat menjemput ke sekolah.

heeeeeeeree’s Jesse!

 

 

Berhubung ini adalah film independen, maka kita bisa lihat sendiri film ini enggak punya budget yang gede-gede amat. Namun sebisa mungkin film ini membuat adegan yang terbaik. Sepuluh menit terakhir, set ‘pertempuran final’ yang mana mereka ingin membuatnya terlihat seperti neraka, I guess, sebenarnya terlihat sedikit menggelikan, bisa jadi cover album rock band tuh haha.. Tapi ini adalah jenis menggelikan yang bisa kita apresiasi dan hormati. Kayak konyolnya serial Twin Peaks lah. Aku juga merasa film ini, delapan-puluh-menitan itu bukan terlalu singkat, tapi mungkin bisa ditambah lima belas atau dua puluh menit lagi buat pembangunan karakter keluarga Jesse. Tokoh Zooey dan Astrid sebenarnya cukup menarik, diperankan dengan lebih dari oke respectively oleh young-and -promising Kiara Glasco dan Shiri Appleby yang mukanya ngademin. Aku bersorak keras saat Zooey dengan kreatif-di bawah-tekanan nunjukin trik melarikan diri nyaingin Houdini. Hanya saja memang mereka butuh diberikan sedikit bobot lagi sehingga kita bisa bener-bener ngerasain ketika keadaan berubah menjadi malapetaka bagi mereka.

 

 

 

Horor yang benar-benar ngena ke sisi psikologis manusia adalah horor yang baik. Film ini mengerti hal tersebut, dan dengan iramanya sendiri yang cepet dan keras berhasil menjalin merahnya cat, darah, dan api sehingga menghasilkan sebuah tontonan yang absolutely terrifying. Diisi dengan penampilan yang semuanya fantastis. Arahan dan editing yang juga sama kuatnya. Film ini layaknya karya seni yang berasal dari neraka personal seorang ayah yang struggling dengan pekerjaannya, dia bahkan enggak yakin apa yang mengendalikannya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE DEVIL’S CANDY.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

INTERCHANGE Review

“Find me where the wild things are”

 

interchange-poster

 

Interchange adalah film crime-slash-thriller-slash-supernatural keluaran Malaysia, yang bekerja sama dengan PH dari Indonesia; Cinesurya Production. Jadi jangan heran jika dalam film ini kalian akan melihat juga penampilan dari Prisia Nasution dan Nicholas Saputra dalam peran yang sangat berbeda dari yang pernah ia lakoni sebelum-sebelumnya.

I was really intrigued by, say, the first twenty-minutes of this movie. Apa yang ditawarkan oleh film ini jelas adalah sesuatu yang pretty unconventional. Sebagai pembuka, kita disuguhin adegan penampilan nyanyi jazz di nightclub yang sukses berat menghantarkan perasaan surreal. Lagu si biduan berdendang tentang jiwa yang lepas dari raga, gimana enggak creepy dan bikin pensaran, tuh? The very next scene memastikan bahwa Interchange adalah film yang completely berbungkus misteri, as kita ngeliat mayat yang tergantung dalam apa yang nampak seperti ayunan dari untaian tali dan bulu-bulu. Putih kering kerontang dengan urat-urat yang terjuntai keluar. Bahkan Detektif dan dokter forensik yang memeriksa mayat tersebut yakin ini bukan kerjaan manusia, “Pontianak?” duga Detektif Man yang mirip-mirip Mas Adi di Tetangga Masa Gitu.

Tapi itu bukan kali pertama Detektif Man dapet kasus ajaib. Beberapa bulan sebelumnya ada kasus yang persis, yang membuat seorang fotografer kepolisian saat itu musti mundur dan ngambil cuti ‘gak enak badan’ setelah motretin mayat korban. Seperti yang kemudian kita pelajari lewat tuturan cerita, alasan Adam berhenti adalah karena kasus tersebut sangat mengganggu dirinya, terutama pecahan kaca negatif film yang selalu ada di TKP. Namun tentu saja, negatif film kuno ini adalah kunci penting dari misteri. Kita akan melihat Adam, terseret masuk ke dalam kasus ini, dia bertemu dengan orang-orang aneh, dia kenalan ama Iva, cewek misterius yang meminta pertolongan Adam, karena turns out Adam dapat melihat lebih dalem dan mengerti lebih banyak ketimbang Detektif Man.

 

Usaha film ini mengeluarkan NUANSA EKSOTIS DAN GAK-NYAMAN patut diacungi jempol. Ada momen-momen yang tak pelak bikin kita ngerasa merinding hanya oleh betapa weirdnya momen tersebut disyut. Adegan opening tadi, misalnya. Ataupun wide shot pandang-pandangan Adam dengan Iva dari balkon masing-masing yang dihandle dengan luar biasa unsettling. Terasa buat kita, film ini bercermin kepada thriller-thriller sukses. Adam yang kerjaannya sekarang motretin kegiatan penghuni lain apartemen dari beranda kamarnya jelas adalah persembahan buat Alfred Hitchcock’s Rear Window (1954). Aku suka film ini mengambil pendekatan kayak season satu serial True Detective. Kita tanpa tedeng aling-aling digedor oleh teka-teki. Hampir seperti kita bekerja sama dengan detektif dan tokoh utama cerita ini. Jika True Detective berpusat pada mitologi Raja Kuning, maka Interchange MENGGABUNGKAN NOIR DETEKTIF DENGAN MITOS DARI PEDALAMAN RIMBA BORNEO. Film ini menampilkan mistisnya ritual suku Dayak, lengkap dengan simbol-simbol, seperti totem burung enggang ataupun burung rangkong.

Kaca bagi Adam adalah simbol yang menunjukkan keadaan yang terperangkap. Apa yang dibutuhkan oleh Adam adalah merasa bebas, sebagaimana para anggota suku dayak. Film ini bicara tentang pembebasan diri ke alam liar, that is our beliefs. Pikiran kita – kepercayaan kita adalah makhluk liar yang hidup di dalam passion, dalam orang-orang yang kita cinta. Dan tak jarang itu adalah tempat tergelap di dalam pikiran kita. Tapi tak semestinya kita takut. Bisa butuh seumur hidup atau beberapa detik saja seperti Adam untuk kita menemukan tempat liar tersebut, tapi begitu ketemu, just like Adam did, kita akan bebas.

 

Eksplorasi kebudayaanlah yang membuat kita datang duduk untuk menonton Interchange. Kita sukses dibuat penasaran bagaimana mitologi dalam film bekerja. Gimana hutan beton Kuala Lumpur mendapat sisipan hutan belantara Kalimantan. Gimana burung-burung tersebut berperan dalam penyingkapan misteri. Visual dalam film ini, untuk beberapa bagian, lumayan mendukung penceritaan. Efek-efek komputernya cukup hold up buat ditonton sekarang. It’s not very great ataupun very seamless, namun dalam tone cerita yang disturbing dan misterius, efek-efek tersebut melakukan apa yang sudah menjadi tugasnya. Begitu pula dengan praktikal efek yang digunakan. Production design film ini terbilang bagus. Pakaian dan aksesoris tribal serta ‘kostum’ burung tersebut nampak elegan dan nakutin. Mayatnya kelihatan believable dan oke, bikin kita takjub dan penasaran makhluk apa yang bisa ngelakuin hal semacam itu. Pemandangan Nicholas Saputra bertransformasi menjadi burung bakal terpatri lama di benak kita. Namun saat sudah beneran jadi burung, tokoh ini terlihat agak sedikit menggelikan. In fact, I didn’t really sold into penampilan tokoh yang diperankan Nicholas Saputra di film ini. Alih-alih misterius, mengerikan, ataupun disturbing, tokohnya malah tampak kayak cacat.

 Demorph, Tobias, demorph!!
Demorph, Tobias, demorph!!

 

Film ini seharusnya bisa jadi bahan pemikiran dan bikin kita takjub hingga jauh seusai kredit penutupnya nongol. Aku suka film-film surreal, yang bikin penontonnya bingung setengah mati. Film yang bikin penontonnya ngerasa gak nyaman. Menonton Interchange, however, aku malah merasa ada something missing dari film ini. Benar ada simbolisme, akan tetapi lapisan yang bisa dikupas enggak sebanyak yang mestinya mampu ditampilkan oleh film seperti ini. Interchange terasa tidak pernah benar-benar fulfilling, in regards of the storytelling. Misterinya tidak benar-benar menjadi misteri karena semuanya bisa terbaca dengan jelas, kita akan sering menemukan diri kita berada selangkah di depan para tokoh. Dan also memang film ini ternyata tidak fokus sepenuhnya kepada penggalian mitos. Interchange, for most, is a detective story, tanpa red herring ataupun clue yang compelling. Tembak-lurus begitu saja. Tidak semua hal kelihatan sebagaimana ia terlihat, apa yang nampak sebagai kasus pembunuhan bisa saja berarti lain. Namun build upnya begitu muddled dan enggak fokus.

Trying so hard nutupin alur, bagi film ini kemisteriusan datang dari karakter-karakter yang ngomong dengan suara digumam-gumamin, dengan intonasi yang kerap aneh, pula. And I grew up watching Doraemon berbahasa Malaysia di tv rumah di Riau. Serius deh, bukan masalah bahasa bagiku. Masalah film ini adalah pada penulisan dan arahan aktingnya; tidak ada yang bisa kita pegang dari karakter-karakter tersebut. Kita kesulitan untuk merasakan apa yang mereka alami, and that is so sad karena film ini harusnya sangat dekat dengan penonton. Akting pemain sangat goyah dan unconvincing. Semua tokohnya kayak sedang dalam perlombaan siapa yang paling sok misterius. Aku lebih enjoy ngeliat penampilan tokoh minor dalam film ini. Interchange adalah jenis film yang butuh banget ada subtitle, karena penampilan para tokoh sendiri enggak cukup kuat untuk menyampaikan cerita.

Sebagian besar Adam akan kelihatan bengong ketimbang sedang mengalami kebimbangan atau apapun yang seharusnya ia rasakan. Penyampaian Iedil Putra adalah yang paling lemah, tidak ada urgensi dalam pemeranan tokohnya. Kita enggak sepenuhnya yakin kenapa semua perkara tersebut sangat personal bagi Adam. Iva nya Prisia Nasution kayak terjebak di interchange antara menggoda Adam dengan ngulum es batu dengan being vulnerable dikejar polisi. Film ini juga ada adegan berantem, yang dikoreografi lumayan intens sampai Nicholas Saputra terbang melayang pake jurus bangau tong tong. Ada banyak adegan yang jatohnya unintentionally funny. Aku ngikik liat cara berlari Belian. Dan aku sampe ditegur bapak-bapak lantaran keceplosan ngakak ngeliat si Detektif keluar dari mobil dan kencing di pelataran parkir.

Adam Iva lari nyari surga
Adam Iva lari nyari surga

 

 

Karakterisasi adalah hal yang penting dan film ini mengorbankan hal tersebut demi kelihatan misterius. Bekerja begitu keras dan kerap efektif dari sinematografi, namun lemah karena tidak punya akar emosi yang benar-benar nyata; yang membuat kita susah peduli kepada nasib-nasib karakternya. Akibatnya hampir semua hal dalam film ini terasa artifisial. Film ini bermaksud menantang pikiran kita soal makna kebebasan, there is some interesting things going on about motif ‘pembunuhan’ di dalam ceritanya yang akan membuat kita melihat para tokoh dari cahaya yang berbeda, jika saja tokoh-tokoh tersebut diberikan penokohan yang matang. Aku enggak yakin apa yang terjadi sama film ini, karena dua puluh menit pertama sudah terasa sangat menarik. But it went downhill from there. All-in-all tho, aku senang ada film yang berupaya mengangkat cerita kolaborasi budaya seperti ini. It’s nice to see surreal story from around here for a change.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INTERCHANGE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.