GLASS Review

“You are what you believe yourself to be.”

 

 

Sembilan-belas tahun! Dengan waktu selama itu, Glass bisa saja adalah salah satu film bertema buku komik, yang paling ditunggu-tunggu oleh pecinta film dan nerd di seluruh. Termasuk. Dan ia bahkan bukan tipikal film superhero yang mengandalkan bak-bik-buk serta CGI. Kalian salah beli tiket kalo ngarepin aksi penuh ledakan dan monster-monster, dewa-dewa, alien, manusia berjubah beterbangan. Karena ini adalah buah pikiran M. Night Shyamalan, yang demen membengkokkan ekspektasi baja kita semua, lantas memecahkannya berkeping-keping, for better or worse. Malahan, dengan beraninya film terang-terangan menampilkan tulisan “A True Marvel”, seolah menantang gagasan kita mengenai apa sih ‘pahlawan super’ itu sebenarnya.

Alih-alih main fisik, sedari awal trilogi ini memfokuskan kepada kejiwaan manusia. Hampir tidak ada adegan aksi di Unbreakable (2000), malahan sebagian besar adalah tentang David Dunn yang harus ‘mengikhlaskan’ dirinya punya kekuatan tidak-bisa-terluka dan actually menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan orang banyak. Sebagai antagonis dari Dunn adalah Elijah Price yang menyebut dirinya sebagai Mr. Glass, penggemar – bahkan ahli – buku komik lantaran banyaknya waktu yang ia habiskan membaca sebagai ganti dirinya yang tidak boleh banyak bergerak karena kondisi tulang tubuhnya yang begitu rapuh. Twist yang dihadirkan oleh film pertama yang dielu-elukan sebagai masterpiece dari Shyamalan adalah bahwa ambisi villain, alias penjahat, tidak melulu menghancurkan superhero. Bahwa ada satu orang yang rela menimbulkan petaka bagi masyarakat hanya demi mencari, membangkitkan, superhero beneran. Ke-grounded-an elemen superhero dari dunia Unbreakable secara mengejutkan diteruskan ke Split (2016). Nobody saw this coming. Tidak ada yang menyangka Kevin yang punya dua-puluh-empat personalita berbeda itu hidup di universe yang sama dengan Dunn dan Mr. Glass. Hingga menit-menit terakhirnya, Split tampak seperti thriller membalut studi psikologis tentang manusia yang ‘kabur’ dari trauma mendalam ke dalam kepalanya, melahirkan identitas-identitas berbeda sebagai pertahanan. Jadi, ya, aku sudah tahu Glass juga bakalan lebih banyak ngobrolnya ketimbang berantem. Antisipasi memang sudah membuncah, pembahasan apa yang bakal diangkat oleh penutup trilogi ini; hal mind-blowing apa yang sudah dimatangkan Shyamalan begitu lama untuk kita semua.

Anya-Taylor Joy masih balita loh ketika Unbreakable tayang di bioskop

 

 

Babak pertama Glass sungguh-sungguh keren. Menakjubkan rasanya diperkenalkan kembali kepada Dunn; kita melihat seperti apa hidupnya setelah bertahun-tahun, gimana dia sekarang bekerja sama dengan anaknya. Dengan segera mereka menemukan tempat Kevin menyekap orang-orang yang ia culik, kemudian wow! aku tak menyangka bakal secepat itu melihat Dunn dan The Beast (identitas Kevin yang paling buas) adu kekuatan. Mereka berdua ketangkep oleh polisi dan diasingkan ke sebuah rumah sakit. Dunn, Kevin, dan juga Mr. Glass yang lumpuh dikarantina di dalam ruangan mereka masing-masing di sana.

Sampai di sini, film mengambil waktu untuk membawa kita menyelami pokok pikiran yang tema cerita. Buat beberapa penonton, babak kedua ini bisa berubah menjadi membosankan. Tetapi perbincangan mereka dengan dokter yang diperankan oleh aktris American Horror Story, Sarah Paulson, sebenarnya sangat menarik. Kita diperlihatkan pula banyak treatmen-treatmen filmmaking yang membuktikan bahwa Shyamalan memang tahu apa yang sedang ia buat. Dan tentu saja, akting dari pemain-pemain lain membuat mataku betah untuk menontonnya. Meskipun memang, kuakui, ada sedikit rasa “loh kok ke arah sini?” yang mengganjal saat bincang demi bincang itu bergulir. Bangunan cerita yang dipilih Shyamalan buat Glass toh lumayan aneh. Dua film sebelumnya dimanfaatkan untuk mengukuhkan semesta dunia cerita ini adalah dunia superhero. Namun babak kedua film ini, kita diperlihatkan ‘debat’ antara si dokter yang percaya apa yang dialami oleh Dunn, Glass, dan Kevin bukanlah kekuatan superhero melainkan kekuatan normal yang bisa dimiliki oleh semua orang. Si dokter berusaha meyakinkan mereka bahwa pikiran merekalah yang membuat mereka percaya penyakit mereka adalah anugrah yang luar biasa. Yang tercipta dari permasalahan ini terasa seperti antiklimaks dua film sebelumnya. Babak ketiga diisi oleh Shyamalan dengan banyak twist, yang masuk akal dan ditanam dengan properly, hanya saja kurang nendang, kalah jauh jika dibandingkan dengan twist dua film sebelumnya. Hal ini disebabkan karena kelokan-kelokan cerita pada Glass tidak benar-benar membawa kita ke ‘tempat’ yang baru.

Kita sanggup melakukan apa saja jika kita percaya mampu melakukannya. Kau adalah sesuatu yang kau percaya itu dirimu. Begitu kuatnya kekuatan pikiran. Orang lain tidak akan bisa menegasi  apa yang kau percaya sekalipun kepercayaan itu hanyalah sebuah fantasi. Glass mengaitkan hal ini dengan mitologi superhero dalam buku komik. Tokohnya percaya hal yang mereka baca di komik, bahwa komik punya landasan kebenaran yang dibuat berdasarkan pengalaman nyata. Komik dijadikan bukti keberadaan superhero, sehingga mereka yang punya sedikit kelebihan percaya mereka juga superhero. Di lain pihak, rasionalisasi bisa kita terapkan pada hal apapun begitu kita sudah percaya terhadap ‘lawan’ dari suatu hal. Yang menarik terutarakan oleh film ini adalah, justru orang yang paling tak percaya-lah yang sebenarnya paling mempercayai apa yang ingin ditentangnya.

Tidak ada pahlawan atau penjahat, semua itu bisa berganti dengan mudahnya. Yang ada hanya pikiran dan usaha kita terhadapnya.

 

jangan-jangan semua orang gila di RSJ sebenarnya adalah superhero dan kita semua bersalah udah menahan mereka

 

 

Meskipun film ini meninggalkan kesan yang kurang nendang dan praktisnya di bawah harapan banyak orang, bukan berarti tidak ada yang bisa kita nikmati selama durasi dua jam lebih tersebut. Malahan, film ini buatku loveable banget. Teknisnya memang tingkat super semua. Perspektif kita didesak oleh kamera yang seringkali mengambil posisi orang-pertama. Ini tidak akan menjadi masalah terutama jika yang kita lihat adalah Kevin alias The Horde. Melihat James McAvoy berganti peran dalam hitungan jentikan jari (atau dalam film ini literally on a flip of the switch) sudah merupakan anugerah tersendiri, yang membayar lunas tiket bioskop kita. Pindah-pindah persona dan gaya bicara seperti itu tampak sangat mudah dilakukan olehnya. Hubungan yang terjalin antara Kevin dengan Casey tampak manis sekaligus devastatingBruce Willis dan Samuel L. Jackson juga menyuguhkan permainan yang sama solidnya, meskipun peran mereka enggak begitu banyak bercakap. Aku suka gimana Shyamalan memberikan treatment warna kepada setiap kemunculan tiga tokoh ini. Dunn hampir selalu disertai dengan warna hijau yang melambangkan kehidupan yang dilindungi olehnya. Kevin dengan warna kuning dan pala botak membuatnya tampak seperti pendeta, yang kultus oleh agenda penyelamat versinya sendiri. Glass dengan warna ungu sebagai simbol yang diagungkan, royalti, karena dia percaya dialah ‘tuhan’ – pencipta dari superhero. “Bukan limited edition. Aku menulis origin story,” akunya dengan bangga. Dalam adegan interogasi, Shyamalan mendudukkan tiga tokoh ini di dalam ruangan pink untuk menunjukkan kepada kita kepercayaan mereka mulai memudar. Keraguan apakah mereka superhero atau cuma orang sakit mulai membesar.

Kebiasaannya membuat cerita twist menjadikan Shyamalan begitu peka terhadap detil-detil. Dengan cermat ia melandaskan banyak hal, menyisipkan informasi demi informasi. Membuat adegan flashback menjadi menyenangkan dengan perlakuan khusus yang begitu diperhatikan olehnya. Maka dari itu, aku jadi sedikit geram ketika ada beberapa aspek dalam cerita yang ‘luput’ olehnya; yang harusnya bisa dieksekusi dengan lebih masuk akal dan gak konyol. Seperti lampu-lampu di kamar Kevin; dia dijaga oleh lampu sorot yang dipasang di dekat pintu masuk supaya ketika ada apa-apa – Kevin memunculkan The Beast atau identitas lain yang berbahaya untuk melarikan diri – lampu otomatis menyala, menyilaukan mata, dan memaksa identitas berbahaya itu kembali masuk dan bertukar dengan identitas lain yang lebih ramah. Tentu, aspek ini memberikan kita momen-momen menakjubkan dari akting McAvoy, namun juga benar-benar bego. Kevin bisa dengan gampang meloloskan diri; dia cukup menutup mata, atau menyarungkan matanya ke pakaian atau sarung bantal ala film Bird Box (2018). Kenapa tidak sekalian aja mereka membuat semua ruangan berisi lampu seperti ruangan Dunn yang penuh oleh keran air.

Sama seperti Avengers: Infinity War (2018), Glass adalah cerita dengan banyak tokoh yang membuat kita bingung siapa tokoh utamanya. Dan sama mengejutkan seperti Infinity War yang ternyata adalah tentang kebenaran versi Thanos, film ini memang dibuat sebagai episode untuk Mr. Glass. Hanya saja tidak gampang membuat cerita di mana penjahatnya memegang kendali, terutama jika kau berniat untuk punya twist dalam ceritamu. Inilah sebabnya kenapa Dunn diberikan porsi yang sedikit, dia bahkan gak punya arc. Kevin Wendell Crumb terlihat lebih cocok sebagai tokoh utama – ia dimunculkan duluan, dia punya arc, porsinya lebih banyak – tapi dia pun tidak melakukan pilihan yang relevan dengan tema cerita. Semua penjahat butuh superhero, semua hal dalam film ini dilakukan oleh Mr. Glass. Twist sebenarnya dalam film ini adalah di mana tepatnya posisi Mr. Glass. Apa dia penjahat atau superhero. Dia protagonis atau antagonis. Dan cerita yang seperti ini hanya berani dilakukan oleh sutradara seperti Shyamalan yang enggak pernah betul-betul peduli terhadap angka box office.

 

 

 

 

Film ini adalah suplemen yang bergizi untuk penggemar komik superhero, terutama di masa-masa di mana cerita fantasi tentang pahlawan dan penjahat berlomba-lomba menghadirkan sudut pandang yang baru. Buat penggemar film pun ada begitu banyak yang bisa bikin jatuh hati dalam film ini. Sinematografi, akting, tema, treatment, film ini benar dibuat oleh orang yang punya visi. Meskipun visi itu kadang membuat kita kecele. Tak kalah banyaknya hal yang mestinya bisa dirapihkan oleh film ini, tapi film masih bekerja di dalam konteksnya. Twistnya – yang kurang nendang – tetap sebuah kelokan yang logis dan solid. Kita boleh jadi sedikit kecewa karena menunggu lama, tapi kita tidak perlu punya kekuatan super melenturkan tubuh, enggak perlu sebegitu long reachnya, untuk memaksa diri menyukai film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GLASS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Komik adalah media cerita yang paling sering diremehkan. Apa pendapat kalian tentang komik, dan cerita superhero secara universal?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD Review

“Each friend represents a world in us, a world possibly not born until they arrive, and it is only by this meeting that a new world is born”

 

 

 

Setiap kali berkenalan dengan orang baru, sesungguhnya kita seperti melangkah ke dalam dunia baru yang mungkin saja belum pernah kita lihat sebelumnya. Kita kemudian bisa berteman dengan mereka, jika ‘dunia’ kita dan milik mereka berjalan beriringan. Sebab dalam menjalin persahabatan, hal terbaik yang kita lakukan terhadap teman kita adalah tidak menarik dunia mereka masuk ke dalam dunia kita.

 

Indahnya persahabatan antara Hiccup, anak kepala suku bangsa viking, dengan Toothless, naga Night Fury yang bersisik dan hitam, sudah kita rasakan bersama-sama semenjak film pertama mereka tayang di bioskop delapan tahun yang lalu. Malahan, persahabatan merekalah satu-satunya hal yang konstan yang dapat kita temukan dalam dunia trilogi film mereka yang senantiasa berkembang. Berawal dari perasaan mutual – sama-sama membutuhkan; Toothless yang cacat tidak bisa terbang tanpa bantuan Hiccup, begitupun Hiccup yang menjadikan Toothless sebagai perangkat untuk membuktikan kemampuannya, hubungan mereka berdua layaknya simbol perdamaian antara manusia dengan naga. Hiccup sudah menjadikan si naga sebagai partner sejatinya, kita lihat mereka bekerja sama. Persahabatan mereka bahkan sudah teruji dalam peristiwa mengharukan di film kedua (2014) saat Toothless berusaha keras mematahkan kekuatan yang menyuruhnya menyakiti Hiccup. Trilogi How to Train Your Dragon tak pelak adalah salah satu dari seri animasi yang benar-benar punya arc menawan untuk kita simak. Menontonnya sendiri-sendiri saja sudah cukup menghangatkan, apalagi jika kita melihat gambar besar dari apa yang diceritakan oleh tiga film ini.

Kita bisa melihat perubahan, katakanlah evolusi, baik dari apa yang mereka hadapi maupun dari segi visual yang terus saja bikin kita takjub. Sensasi perkembangan itu memang jadi nilai kuat dari trilogi film ini. Sebagai penutup trilogi, How to Train Your Dragon: The Hidden World memperlihatkan kedewasaan para tokohnya. Hiccup, kini animasi yang halus itu menunjukkan bulu-bulu jenggot halus mulai membayangi dagunya, adalah kepala suku yang sah untuk klan Berk. Dia memerintah kampung mereka di mana naga dan manusia ia usahakan hidup berdampingan. Bersama teman-teman penunggang naga, Hiccup dan Toothless memimpin misi-misi pembebasan naga-naga yang tertangkap oleh para pemburu. Tapi sanctuary yang mereka buat -desa mereka – lama-lama justru bisa menjadi sasaran empuk buat para pemburu. Terutama yang keji seperti Grimmel, pemburu yang bertanggung jawab atas status Toothless sebagai naga Night Fury satu-satunya. Menyadari keberadaan mereka begitu mudah ketahuan dan disusupi, Hiccup membawa seluruh suku beserta naga-naga mereka, hijrah ke sebuah tempat tersembunyi – tempat asal muasal para naga – yang pernah didongengkan ayah kepadanya. Perjalanan yang mereka tempuh sangat beresiko karena semakin mengekspos eksistensi mereka, dengan Grimmel yang terus mengekor dan menggunakan Light Fury (naga Night Fury betina) memancing Toothless keluar dari perlindungan Hiccup dan para manusia.

I summon Blue Eyes White Dragon!

 

Alih-alih membebani cerita dengan menambahkan karakter-karakter baru (seperti yang dilakukan Ice Age dalam setiap sekuel mereka), sutradara Den Deblois melakukan pilihan yang tepat dengan malah mengekspansi dunia tempat tinggal para tokoh. Dan pada dasarnya ini juga berarti dia terus menggali apa yang dipunya oleh karakternya – Hiccup sedari awal memang adalah seorang petualang dengan ide-ide out-of-the-box, jadi masuk akal ketika tokoh ini mendapat gagasan untuk membawa rakyatnya ke ujung antah berantah sebagai penyelesaian masalah yang dihadapi suku Berk. Setiap teman-teman manusia Hiccup juga terus digali ‘kegunaannya’, jadi ketika mereka melakukan hal yang lucu kita tahu perbuatan tersebut terletak di antara digunakan untuk menguatkan karakter mereka atau bakal berpengaruh terhadap majunya cerita. Setidaknya ada tiga relasi/hubungan penting yang harus kita perhatikan karena merupakan fokus utama cerita. Antara Hiccup dengan Toothless, tentu saja. Antara Hiccup dengan Astrid – yang sejak film pertama dibangun sebagai love interest – perhatikan gimana Astrid yang pejuang membantu Hiccup dengan tidak menggunakan ‘bantahan’. Dan antara Hiccup dengan rakyat yang ia pimpin – ini berkaitan dengan ‘pekerjaan’nya sebagai kepala suku yang full-circle dengan relasi Hiccup dengan ayahnya dahulu.

Menggunakan banyak nama gede sebagai pengisi suara sepertinya memang keputusan yang menguntungkan. Suara-suara milik Cate Blanchett, Jonah Hill, Kristen Wiig, F. Murray Abraham, Christopher Mintz-Plasse, America Ferrera, Jay Baruchel terdengar begitu ekspresif hampir seolah film ini merekam suara terlebih dahulu baru kemudian menyesuaikan animasi dengan suara yang sudah didapat. Interaksi para tokoh sama mulusnya dengan visual yang dihadirkan. Hal ini terlihat sekali saat kita berpindah melihat interaksi Toothless dengan si naga betina. Kita tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan, tetapi emosi-emosi itu tidak pernah tercecer. Kulminasi semua aspek keindahan itu terwujud pada adegan final yang menghantarkan kita pulang dengan penuh kehangatan. Setiap ada pertemuan selalu ada perpisahan, film lewat adegan penutup memperlihatkan dengan indah tidak ada yang absolut dalam pertemuan dan perpisahan.

Dan setiap ada pertemuan, akan selalu ada makan-makan.

 

Dengan tokoh-tokoh dan permasalahan yang lebih dewasa, film harus memutar otak untuk membuat ceritanya tetap tak-berat disantap oleh anak kecil. Jadi kita akan menemukan beberapa kemudahan, yang menurutku memang disayangkan. Membuat film ini tidak bisa terbang mencapai ketinggian yang dicapai oleh film pertamanya. Penulisan dibuat tak sedalam yang semestinya bisa dilakukan. Jika pada dua film sebelumnya kita melihat elemen pengorbanan yang tak lazim ditemukan dalam animasi keluarga seperti ini  – ada kaki yang hilang, bahkan nyawa – maka pada film kali ini kita tidak menemukan tindak seberani itu, meskipun film tetap masih berusaha keras menyampaikan maksud dan emosi yang melandasi setiap adegannya. Poin yang ingin diacungkan adalah bagaimana Hiccup musti ‘membebaskan’ Toothless. Masih mengharukan, tetapi kurang menggigit, buatku mainly karena kita baru saja menyaksikan elemen yang mirip pada hubungan persahabatan antara ‘manusia dengan manusia’ dalam Ralph Breaks the Internet (2018). Bukannya mau mengecilkan persahabatan antara manusia dengan hewan, aku aja gak bakal langsung tega melepaskan kucingku, tapi film ini butuh lebih banyak penekanan dari konflik inner si Hiccup seperti yang kita lihat pada Ralph. Mereka sama-sama diambang perpisahan dengan sahabat karena ulah mereka sendiri, namun pada How to Train Your Dragon ini kita teralihkan dari Hiccup ke satu relasi lagi yang kurang tergarap dengan baik.

Relasi tak-tergali dengan cukup itu adalah antara Hiccup dengan Grimmel, pemburu yang sempat memuji mendiang ayah Hiccup karena mereka satu pemikiran. Film seharusnya memusatkan konflik inner Hiccup di sini. Dia dibuat menyadari apa yang ia lakukan sebenarnya juga sama aja dengan berburu naga (meskipun naga buruan ia selamatkan alih-alih dibunuh), tapi kita tidak benar-benar melihat bobot ini mempengaruhi cerita. Lantaran si Grimmel sendiri dibuat satu-dimensi. Dia adalah penjahat kartun yang total jahat, tidak ada perbedaan filosofi seperti Hiccup dengan ayahnya di film pertama, sehingga kita pun tidak pernah benar-benar melihat dan merasakan problem personal dari Hiccup. Dia seperti membuat keputusan yang salah kemudian menjadi benar karena si antagonis ini jahat banget. Tak lebih dari itu. Di film pertama Hiccup bersusah payah memberikan pandangan baru kepada ayah dan teman-temannya, membelokkan cara pikir mereka terhadap naga, dan di film penutup ini kita melihat Grimmel dengan gampangnya punya serum untuk cuci otak mengendalikan naga-naga. Kemudahan yang timpang sekali, yang tidak memberi ruang untuk kita menarik garis paralel antara protagonis dengan antagonis. Permasalahan dalam film ini jadi seperti versi lebih ringan dari permasalahan yang sudah pernah dihadapi oleh tokoh utamanya.

 

 

 

 

Namun bukan berarti film ini tersimpulkan dengan kata kecewa. Ia tetap sebuah suguhan yang menghangatkan, yang bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Aksinya seru, tokoh-tokohnya lucu. Sebagai penutup trilogi, film menjalankan fungsinya dengan manis. Mungkin ia sengaja menjadi begitu jinak, sehingga kita merasa sayang harus berpisah dengannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Mengapa menurut kalian Hiccup tidak jadi ikut bersama Toothless? Apa makna membebaskan naga dalam film ini?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DREADOUT Review

“Cell phones are the lifeline for teenagers”

 

 

 

Bayangkan menjadi anak sekolah di jaman berteknologi tinggi seperti sekarang. Apa yang paling kalian takutkan sedunia? Kalian punya teman-teman keren yang siap membantu ngebully orang-orang yang membuat kalian sebal (atau iri). Kalian punya follower setia yang siap menaikkan mood dan begitu mencintai kalian sehingga kalian enggak perlu repot-repot untuk mencintai mereka balik. Tempat angker pun kalian jadikan tempat hiburan untuk menaikkan popularitas. Kalian bisa menaklukan apapun dengan internet supercepat dalam genggaman. Satu-satunya yang kalian takutkan adalah, jika kalian lupa membawa smartphone!

DreadOut, semenjak dari video gamenya, mengusung metafora yang bagus soal betapa anak usia SMA sangat bergantung kepada telepon genggamnya untuk bisa menyintas hari-hari mereka.

 

Mengambil periode sebelum kejadian dalam cerita video gamenya yang meledak di kalangan gamer internasional, film DreadOut membawa kita berkenalan dengan masa lalu Linda (dilempar-lempar, ditarik-tarik, tidak hanya secara emosi Caitlin Halderman dipush bermain fisik) yang bekerja di mini market setelah jam sekolahnya selesai. Kita diperlihatkan karena lelah bekerja itulah Linda sempat daydreaming mengenai kejadian sewaktu kecil. Film menjanjikan para penggemar mengenai asal-usul ‘kekuatan’ Linda, dan adegan pembuka diniatkan sebagai tindakan penebusan janji tersebut. Apakah itu cukup atau tidak, you’d be the judge, lantaran film tidak akan membahas lebih jauh. Cerita terus melaju membawa Linda – yang sebenarnya enggan – untuk ikut bersama kakak-kakak kelas yang jauh lebih tajir dan populer darinya ke sebuah apartemen kosong. Uang dijadikan motivasi oleh Linda, yang menyimbolkan keinginannya untuk bertahan hidup. It’s a good thing Linda punya mental ini, sebab geng mereka bakal dengan segera terancam keselamatannya oleh sesuatu di dalam sana. Mereka menemukan kulit ular, kertas bergambar mengerikan, dan simbol besar di lantai kamar apartemen. Linda pun panik saat dia melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh teman-temannya. Beberapa bait tulisan yang begitu dibaca membuat Linda dan temannya tercebur ke dalam kolam yang terhubung dengan dunia di mana pocong bisa mengejar mereka dengan celurit.

Hayo yang lagi nonton di pojokan, itu Takut atau Kesempatan?

 

Smartphone adalah ‘senjata’ yang digunakan Linda, protagonis dalam film adaptasi game DreadOut, untuk mengalahkan hantu-hantu yang menyerangnya secara fisik. Bukan kamera antik yang disepuh oleh batu-batu roh seperti dalam game Fatal Frame. Melainkan gadget teknologi mutakhir yang memancarkan flash. Tanpanya, Linda dan teman-teman sudah barang tentu akan celaka. Film menunjukkan kemenangan dalam bergantung kepada hape. Ilmu pengetahuan menang telak atas klenik dan mitos yang-membudaya dalam film garapan Kimo Stamboel ini. Anak-anak sekolah itu bukan saja berhasil membuka pintu portal ke dunia lain, mengusik Kebaya Merah, mencuri keris pusaka miliknya, mereka memberikan perlawanan yang cukup berarti meskipun mereka tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang mereka alami. Untuk sebuah prekuel, dan possibly episode pertama dari dunia yang katanya luas ini, tidak banyak mitologi yang digali.

Tentu saja hal tersebut bisa menjadi hal yang mengecewakan buat para penggemar. Film ini punya kesempatan seperti sebuah kertas yang benar-benar kosong; film bisa menuliskan apapun, menambah kedalaman cerita, memperpanjang aturan dunianya, mengekspansi tokoh-tokohnya, tapi film hanya ‘menulis’ sedikit sekali. Seolah ada garis pembatas yang pantang dilanggar. Dan bahkan Linda dan teman-temannya berani untuk melanggar batas wilayah yang diijinkan oleh penjaga gedung. Film seperti punya ide-ide yang jauh lebih gila, namun tidak semuanya bisa mereka wujudkan. Tidak banyak jenis hantu yang muncul. Pun adegan aksinya terasa agak nanggung, mengingat kiprah sang sutradara di film-filmnya sebelum ini. Jelas, ini masalah batasan umur. Bayangkan jika mereka terus dengan adegan penggal kepala alih-alih potong pergelangan tangan. DreadOut tampil agak jinak dengan efek-efek komputer yang dipasang lebih dominan – sekali lagi, technology triumphs! 

Tetapi bukan berarti film kehilangan sentuhannya. DreadOut berhasil menginkorporasikan gaya khas sang sutradara dengan gaya yang sudah mendarahdaging sebagai cap-dagang gamenya. Menggunakan pergerakan kamera seperti yang kita jumpai dalam Upgrade (2018), Kimo menambahkan intensitas ke setiap lemparan-lemparan yang dikenai kepada para tokohnya. Pergerakan yang aktif dan terasa penuh energi ini membuat kita bisa langsung tahu dengan sekali lihat bahwa film ini ditangani oleh orang yang biasa bermain di ranah aksi thriller yang sadis. Sama halnya dengan musik, suara, dan atmosfer, sekali dengar (dan sekali lihat) para penggemar video gamenya bisa langsung konek bahwa mereka sedang menyaksikan dunia yang sama dengan yang beberapa tahun lalu mereka mainkan. Film mempertahankan apa yang membuat game ini fenomenal; gameplaynya. Bagaimana hantu bisa dikalahkan dengan masuk ke mode layar handphone. Ada beberapa scene yang memperlihatkan Linda memberanikan diri melihat ke layar hapenya, dan ada juga beberapa di mana ia hanya ‘asal’ jepret karena begitu ketakutan. Mengingatkanku kepada diriku yang mulai serabutan jika hantu yang muncul ternyata terlalu mengerikan.

Bahkan buat yang bukan penggemar pun, film turut memberikan service. Komedi dengan gaya candaan yang gak terlalu in-the-face akan membuat kita terhibur. Dan untuk alasan tertentu, film akan menampilkan Jefri Nichol bertelanjang dada.

Dengan rambut dikuncir, Caitlin jadi mirip Ariana Grande ya

 

Game DreadOut sendiri menjadi populer, sebagian besar disebabkan oleh seorang youtuber luar yang meng-upload video dia memainkan game ini, dan itu kocak banget. Aku dulu sempat kepikiran untuk melakukan hal yang sama, karena memang saat memainkannya, ada saja reaksi kocak yang timbul oleh tantangan dan pengalaman yang diberikan. Aku masih ingat ketika aku mulai khawatir ketika baterai hape si Linda sudah tinggal setengah. Actually, aku sempat menanyakan hal ini kepada produser filmnya saat diundang dinner bareng cast, “Apakah nanti di film akan ada adegan Linda panik karena hapenya kehabisan baterai?” karena itu akan menambah lapisan kenyataan dan ketegangan, tetapi pertanyaanku hanya dijawab dengan tawa. Sayangnya, memang, ternyata film tidak membahas ‘masalah teknis’ seperti ini. Sisi vulnerable dari kekuatan Linda tidak mereka eksplorasi. Linda tidak pernah benar-benar terpisah dari senjatanya tersebut. Hapenya bahkan sempat tercebur dan that thing is still working just fine.

Linda dalam film juga tidak banyak diberikan ‘pikiran’ sama halnya seperti Linda pada game, dan ini buatku menjadi masalah. Saat bermain video game, gak papa jika tokoh kita adalah jenis tokoh yang ‘silent’, yang lebih banyak diam, yang tidak tahu apa yang terjadi, karena kitalah yang sebenarnya menjadi tokoh cerita. Pemain yang melakukan pilihan, pemain yang bereaksi. Beda dengan tokoh pada film; protagonis utama kudu tahu apa yang ia lakukan, kita harus mengerti keputusan yang dia ambil berdasarkan apa. Semakin lama, semakin melelahkan melihat Linda berlarian ‘tak tentu arah’, so to speak, well actually Lindanya hapal banget arah karena lokasi film ini enggak begitu luas meskipun seharusnya adalah hutan, karena kita tak punya pegangan apa-apa selain dia ingin menyelamatkan diri. Naskah yang baik adalah naskah yang memberikan dua problem buat tokoh utamanya; problem di luar dan problem di dalam dirinya sendiri. Teror dalam film ini terasa terus bergulir, dan kita tak melihat di mana kesudahannya. Portal itu terbuka menutup sekena keperluan naskah. Kocaknya, kabur dari gerbang yang terkunci lebih susah daripada masuk ke alam gaib, pada film ini.

Dan tidak menolong pula tokoh-tokoh yang lain dibuat begitu menjengkelkan. Film meninggalkan sahabat Linda, Ira, di belakang. Membuat kita stuck dengan tokoh-tokoh yang dialognya seputar berbuat iseng, dan mencari sinyal. Malahan ada satu yang kerjaannya menggebah Linda dan teman-teman untuk masuk dan melanggar batas – clearly he’s up to something. Film tidak memberikan kita ruang untuk mempedulikan teman-teman Linda ini. Jikapun ada keberhasilan, maka film berhasil membuild-up kekesalan kita sehingga nanti begitu hantu muncul dan satu persatu mereka disiksa, kita akan merasakan puas tak terkira.

 

 

Cukup bangga rasanya Indonesia punya film adaptasi video game, yang menunjukkan seberapa jauh negara ini berkembang dalam dunia perfilman dan pervideogame-an. Sebagai sebuah survival horor, film ini menunaikan tugasnya dengan loud-and-clear. Kita melihat makhluk-makhluk menyeramkan, menyerang remaja-remaja tak berdaya yang hanya bisa mempertaruhkan nyawa dengan hape mereka. Film ini punya gaya sendiri yang menjadikannya unik. Sayang, pada penulisan-lah DreadOut paling terhambat dan kemudian jatuh terjengkang. Film tidak mengambil kesempatan mengeksplorasi dirinya sendiri lebih jauh. Seperti mereka terjebak antara portal ‘memuaskan orang banyak’ dengan portal ‘tidak membuat kecewa gamers penggemarnya’. Dan selalu bukanlah hal yang baik terjebak di antara dua hal.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for DREADOUT.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Linda menggunakan hapenya untuk bertahan hidup dari hantu-hantu. Kalian gimana, bisakah kalian hidup tanpa hape?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BUMBLEBEE Review

“Recalling the past can awaken an emotional response”

 

 

 

Setelah film kedua Transformers, 2009 itu, aku meyakinkan diri bahwa hanya gaya sebesar gravitasilah yang mampu membuatku datang menyaksikan franchise ini lagi ke bioskop. Dan aku bertahan – tepatnya, kapok dan begitu merasa terendahkan sehingga aku bertahan. Ditraktir nonton pun, aku ogah. Hingga sekarang, 2018 ini, aku toh akhirnya terseret juga demi melihat nama Travis Knight yang nongkrong di kursi sutradara alih-alih Michael Bay. Aku mengenali nama Knight karena sebelum ini ia menggarap Kubo and the Two Strings; salah satu animasi stopmotion favoritku – di mana dia dengan sukses menangkap perasaan seorang anak yang berusaha mandiri sepeninggal figur ayah dalam sebuah dongeng berlapis. Jadi aku tahu bisa mengharapkan ‘manusia kaleng’ Transformer kali ini bakal punya hati.

Film-film Transformers versi Michael Bay akan diingat sebagai paling parah terutama oleh para penggemar yang tumbuh menonton serial kartun Transformers. Yang mungkin saja sebenarnya mengenang kenangan menonton serial tersebut lebih banyak ketimbang serialnya itu sendiri. Karena Transformers memang sebenarnya sangat cheesy. Bay hanya menambah level kebegoannya. Sejalan dengan itu, mungkin saja bagi yang belum pernah nonton serialnya, robot-robot versi Bay enggak sejelek ‘itu’. Semua itu sebenarnya berhubungan dengan kenangan emosional yang terasa oleh masing-masing individu. Kenangan emosional inilah, yang dijadikan tema besar oleh film Bumblebee.

 

Oleh Knight, memang Bumblebee menjadi film aksi robot yang enggak sekadar mengandalkan CGI mentereng. Tokoh paling populer dalam geng Transformer ini diberikannya cerita solo yang hangat dan menghibur buat semua keluarga. Mengambil posisi sebagai prekuel, cerita Bumblebee adalah tentang bagaimana si robot kuning dikirim ke Bumi selagi para Autobot mengambil napas dari serangan Decepticon. Sendirian, kehilangan suara, dan mengalami gangguan memori, Bumblebee hanya bisa menyamar menjadi mobil kodok sampai seorang gadis delapan-belas tahun menemukannya. Bagi Charlie, Bumblebee adalah hadiah ulangtahun paling berharga yang pernah ia berikan kepada dirinya sendiri. Karena cewek penggemar mobil ini berubah hidupnya setelah membawa Bumblebee pulang. Ia yang merindukan sang ayah menjadi lebih mudah tersenyum karena ia menemukan teman baik dalam diri Bumblebee. Petualangan dua tokoh ini pun dimulai, Charlie belajar banyak hal tentang sikapnya selama ini dan mencoba untuk membuka diri terhadap orang lain sejak kepergian ayahnya, sementara Bumblebee pun harus belajar mengingat siapa dan kenapa dia di Bumi. Terlebih untuk menjawab kenapa pihak militer dan dua robot asing datang mengejar-ngejar, untuk membunuh, dirinya.

Tak pelak, ada banyak keuntungan ketika cerita kita digarap oleh seorang yang sama sekali baru. Tidak pernah ada salahnya menambahkan visi baru ke dalam barisan kita. Mungkin memang bukan prestasi gede sih, mengingat gimana film-film Transformers yang lain. Namun Travis Knight sudah melakukan sesuatu yang gagal dilakukan oleh sutradara sebelumnya dalam film-film tersebut; dia benar-benar tahu apa yang membuat kita jatuh cinta sama robot-robot tersebut. Travis memperlambat segala aspek, mulai dari pace cerita yang kini memasukkan banyak bangunan-bangunan emosi ketimbang eksploitasi wanita dan orangtua ngeganja dan anjing bersenggama. Porsi aksi yang melibatkan robot-robot keren itu kini dibuat lebih mudah untuk diikuti, kita sekarang tahu apa yang terjadi – mana yang diserang, mana yang menyerang. Hilanglah sudah teknik editing slow motion, trus “Buuummmmm” dan ledakan dahsyat dengan gerakan dipercepat kembali. Bahkan ketika para robot mengalami transformasi, film kali ini memberikan kita kesempatan untuk mengagumi perubahan wujud tersebut. Film ingin membawa kita bersama imajinasinya, bagaimana sebuah mobil bisa berubah menjadi robot terus lanjut menjadi pesawat.

aku sih lihat kuningnya Bumblebee jadi emosional teringat saus keju ayam geprek

 

 

Tidak hanya mengerti medan barunya, sang sutradara juga paham untuk membawa ‘permainan’ ke zona yang sudah ia kuasai, membuat film menjadi semakin asik untuk diikuti. Charlie yang diperankan dengan gemilang oleh Hailee Steinfeld (cewek ini berhasil melampaui apa yang sudah ia capai dalam permainan perannya di The Edge of Seventeendiberikan lapisan yang semakin mendaratkan karakternya ke lembah relasi dan kepedulian kita terhadapnya. Babak pertama film ini benar-benar gampang untuk kita cintai. Dinamika keluarga Charlie, hubungan dirinya terhadap ibu, adik, ayah tiri, ‘permasalahan’ yang ada di sini dibangun dengan begitu loveable. Film memperkenalkan Charlie sebagai cewek yang sedikit menyedihkan, dia suka dengerin The Smiths, dia cuek ama penampilannya, dia lebih suka main ke bengkel karena di sana kerjaan yang gagal ia lakukan enggak bakal diledek sama temen-temen, Charlie benar-benar terpuruk setelah ditinggal ayahnya. Charlie bukannya awkward dan enggak kompeten. Dia hanya merasa tidak nyaman lagi melakukan apa yang ia bisa karena semua hal tersebut mengingatkannya kepada ayahnya – sosok yang selama ini menyemangati dan mendukung hobinya, yang percaya padanya. Dan ini berbalik membuatnya tertekan. Karakter Charlie dibuat berlawanan namun paralel dengan Bumblebee yang juga kehilangan semua kemampuan, namun hanya karena tidak ingat dirinya siapa. Persahabatan Charlie dan Bumblebee yang saling mengisi menjadi hati utama cerita, meski kadang hubungan mereka terasa terlalu familiar.

Setiap kali gagal, Charlie akan merasakan luapan emosi yang membuatnya teringat kepada sang ayah. Ada adegan di awal cerita ketika Charlie ingin membuang piala-pialanya; yang jika bisa dikaitkan dengan ia ingin melupakan ayahnya karena mengenangnya membuat Charlie merasa depresi. Yang pada akhirnya harus dipelajari oleh Charlie adalah bagaimana memilah antara kenangan emosional dengan kenangan sebenarnya yang murni kepada sang ayah. Karena bukan ayahnya yang ingin ia buang, dia hanya perlu emosi yang bisa menggantikan emosi yang ia rasakan ketika ayahnya masih ada untuknya.

 

 

Film mengambil tahun 1987 sebagai latar cerita. Ini bertujuan lebih dari sekadar untuk menyamakan dengan tahun kemunculan serial kartun Transformers. Bukan pula hanya supaya film jadi bisa punya banyak referensi nostalgia. Tentu, melihat Bumblebee nonton The Breakfast Club (1985) kemudian niruin gaya si Bender sambil muterin lagu soundtrack film tersebut akan selalu mengundang tawa dan rasa menyenangkan. Film ingin membangkitkan kenangan emosional kita lebih jauh sehingga kita juga merasakan hal yang menyenangkan saat menonton film ini. Buatku, ini adalah langkah yang sedikit berlebihan, karena Bumblebee punya cerita dan karakter-karakter yang sebenarnya bisa berdiri sendiri. Tetapi film berusaha menyusupkan sesuatu desain supaya kita merasakan kenangan emosional tersebut. Apakah ‘sesuatu’ itu? Well, ini petunjuknya:

Pertama; Sadar gak sih dari segitu banyak referensi budaya pop 80an yang dimunculkan, hanya ada satu yang begitu ikonik tapi sama sekali tidak disinggung oleh film Bumblebee.

Kedua; Steven Spielberg, yang dikredit sebagai eksekutif-produser.

Aku akan menabrak garis spoiler untuk paragraf-paragraf berikut, jadi silahkan tebak maksud dua clue di atas dan stop membaca jika enggak sudi mengetahui lebih banyak sebelum menonton filmnya.


 

 

Yang kumaksudkan adalah film E.T. The Extra-Terrestrial (1982). Cerita Bumblebee praktisnya adalah cerita E.T. yang sudah bertransformasi. Secara subtil, nyaris denyut per denyut kejadian-kejadiannya mirip sekali. Anak yang ditinggal ayahnya ketemu ama Alien ‘jinak’. Si Alien dirahasiakan karena diincar oleh militer yang menganggapnya sebagai makhluk jahat nan berbahaya. Si Alien yang ditinggal di rumah, malah keluar dan merusak rumah tersebut. Hampir seperti menggunakan naskah yang sama. Film seperti membuat alam sadar kita berpikir mengenai E.T. sehingga kenangan emosional saat menonton film manis itu terbangkitkan dan kita jadi semakin menikmati film ini. Menurutku ini malah jadi masalah, jadinya malah tampak film ini sedikit males. Maksudku, kenapa mesti sama banget. Kenapa urutannya enggak ditukar dikit, apa gimana.

Kemiripannya ini malah tampak lebih fatal dibandingkan pilihan film untuk memasukkan adegan-adegan yang hanya untuk tawa. Which is jadinya dimaafkan mengingat ya memang Transformers dari serial kartunnya agak-agak lebay sih. Aku sendiri lebih menikmati komedi yang dihadirkan, terutama yang melibatkan John Cena yang kebagian peran sebagai komandan militer, pemimpin pihak manusia dalam pencarian Bumblebee. Progres karakternya juga enak untuk diikuti, Cena adalah manusia pertama yang melihat bangsa robot mendarat di Bumi, dan sebagai bagian dari pelindung negara (masukin lelucon Amerika praktisnya adalah seluruh dunia) tentu saja dirinya punya prioritas yang mempengaruhi cara ia memandang si robot. Sepertinya Cena akan dapat banyak benefit dari penampilannya dalam film untuk keluarga ini. Let’s just say, para penggemarnya akan baik-baik saja jika dia tidak muncul lagi ke dalam ring WWE.

Ini adalah John Cena paling heel yang bisa kita dapatkan seantero galaksi

 

 

 

 

 

Selain masalah kesengajaan dibuat mirip sama satu film klasik, film ini adalah lompatan yang luar biasa dari film-film pendahulunya dalam franchise Transformers. Akhirnya kita dapat cerita perang robot yang enggak sekadar kling-klang-kling-Boom! Akan banyak penggemar yang terpuaskan bahwa akhirnya ada film Transformers yang benar-benar paham hati dan apa yang sebenarnya ingin dilihat oleh mereka. Aku pribadi senang sekali berkat film ini setiap kali mendengar kata Transformers aku tidak akan lagi berteriak marah penuh emosi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BUMBLEBEE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa tertekan oleh kenangan terhadap seseorang atau sesuatu? Apakah kalian memilih untuk terus mengingat atau malah mencoba melupakan mereka?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

AQUAMAN Review

“Don’t let a legacy become a burden”

 

 

 

Enggak segampang itu mengarungi kehidupan jika kita terombang-ambing di antara dua identitas keluarga yang berbeda, antara bangsawan dan jelata misalnya. Bahkan jika kita ternyata adalah bangsawan yang memiliki kekuatan super. Khususnya ketika kekuatan khusus yang kita punya ‘hanyalah’ bisa berbicara dengan ikan.

 

Aquaman, sebelum film ini muncul, memang tak lebih dari lelucon jika dibandingkan dengan superhero-superhero lain. Berenang dengan ngebut tentu saja kalah keren dibandingkan dengan berlari secepat kilat. Dapat bernapas di dalam air terlihat demikian kurang efisien ketimbang bisa terbang di angkasa. Di tangan James Wan sebagai nakhoda, ke-cheesy-an Aquaman tersebut toh terfasilitasi dengan amat baik. Mengembalikan sedikit respek kita kepada si superhero beserta mitologi di balik dunia bawah airnya. Tentu, ini memang bukan film superhero dengan naskah terbaik di dunia, namun tak pelak, Aquaman adalah salah satu yang teratas dalam urusan menghibur.

Yang dibawa oleh sutradara yang menggarap The Conjuring itu adalah gerak kamera yang begitu fluid merekam setiap aksi. Di menit-menit pertama kita akan dimanjakan oleh pertempuran di dalam rumah yang dilakukan dengan shot panjang kamera yang bergerak memutar. Teknik ini sukses membuatku menantikan adegan berantem berikutnya, karena aku pengen lihat cara hampir-kontinu seperti gimana lagi yang akan dilakukan oleh James Wan. Dan penantian itu terbayar lunas oleh sekuen berantem dan kejar-kejaran di atap rumah pada babak kedua. I looove it, semua dalam layar saat itu bergerak, di belakang, maupun di depan. Kameranya berkedalaman dan kontinu shotnya ditahan cukup panjang. Departemen aksi film ini jelas penuh dengan keseruan.

Sebelum pertempuran bawah laut yang begitu epik – kita bakal melihat pertemuan menarik antara hiu melawan mosasaurus, ataupun prajurit berkendaraan kuda laut raksasa mengeroyok kraken, yang tak kalah raksasa, berlumur oleh lava berpijar – film bakal banyak bermain-main dengan eksplorasi paparan mitologi cerita dan banyak hal yang mengingatkan kita pada cerita lain. Bagian Arthur kecil di akuarium dunia laut mengingatkan aku sama bagian Harry Potter bicara sama boa pembelit di kebun binatang. Juga ada bagian mobil diterjang ‘tsunami’ yang seperti versi dark dari kejadian dalam animasi Studio Ghibli, Ponyo. Ada petualangan di kuil ala Indiana Jones mencari harta karun (atau ala anak-anak kekinian main escape room). Ada juga bagian orang yang ditemukan masih hidup di dunia lain yang mengingatkan kepada Antman. Mereka mereferensikan Pinokio, sebagai cerita dan film. Bahkan literally ada boneka Annabelle di salah satu dasar lautnya. Durasi yang melebihi dua jam itu diisi dengan maksimal sehingga kita tetap terus terhibur.

mereka bisa saja masukin Raja Naga Laut Timur dari Kera Sakti dan kita masih tertawa karenanya

 

 

Secara kontekstual, cerita film ini memang tergolong tradisional. Kuno kalo boleh dibilang. Aquaman, terlahir sebagai Arthur Curry, adalah putra dari pasangan seorang manusia daratan penjaga mercusuar dengan Ratu Atlantis yang kabur karena menolak dikawinkan. Sedari bayi, Arthur sudah dipatri oleh ibunya untuk menjadi raja yang bakal menyatukan penduduk lautan dengan penduduk di darat. Mungkin di antara kalian, generasi millenial, ada yang sedari kecil sudah diarahkan jadi dokter sama seperti mama? jadi pegawai Chevron sama seperti papa? Atau jadi pegawai negeri, mungkin, biar hidupnya terjamin sampai tua? Ya, besar kemungkinan kita ada yang senasib seperti Arthur; yang enggak mendapat kehormatan langka untuk ditanya oleh orangtua sendiri “kamu mau jadi apa kelak? jadi youtuber aja? sana silahkan gausah sekolah”.

Tapi sebagai pembelaan, Arthur tidak sempat ditanya ibunya karena mereka keburu dipisah. Dunia tempat Arthur tinggal adalah dunia di mana sumbu peperangan sudah tersulut diam-diam. Tidak diketahui oleh manusia di daratan, kaum Atlantis yang sudah muak dengan perilaku manusia mencemari lautan, sudah siap tempur untuk mengadakan Perang Dunia Ketiga. Film Aquaman ternyata bukanlah origin story – paling tidak bukan origin story seperti yang kita bayangkan. Alih-alih melihat Arthur tumbuh gede dan mempelajari siapa dirinya sebenarnya, waktu akan membawa kita meloncat melewati timeline di Justice League (2017) saat Arthur sudah fully-developing persona Aquamannya. Kita akan melihat Arthur diminta untuk kembali ke Atlantis, untuk segera menjadi raja, lantaran pemimpin yang sekarang yakni adik tirinya sudah begitu bernapsu untuk menyatukan kekuatan militer tujuh samudra demi menghimpun kekuatan menyerbu daratan. Ceritanya memang seperti kebalikan dari cerita Black Panther (2018)kalian tahu, T’Challa kan raja; harus menghadapi seorang dari luar yang ingin memanfaatkan teknologi Wakanda untuk perang, sebaliknya Arthur adalah ‘orang luar’ yang disuruh menjadi raja supaya pemimpin yang sekarang gagal memanfaatkan teknologi Atlantis untuk perang.

Yang jeli membaca akan menyadari penggunaan kata ‘disuruh’ yang aku gunakan pada paragraf di atas. Karena buatku, ‘disuruh’ itu adalah faktor kunci yang menentukan seberapa menarik sih sebenarnya cerita Aquaman; di mana posisi film ini dalam kancah superhero-superhero yang lain. Ini kaitannya dengan penulisan naskahnya. Tokoh utama dalam cerita kudu diberikan motivasi. Dalam kisah superhero, jagoan kita selalu punya keinginan dramatis yang akan jadi akar dari perjuangannya. Diana Prince ingin menyetop peperangan karena dia dengan naifnya percaya setiap manusia berhati baik. Bruce Wayne ingin ‘balas dendam’ tanpa mengubahnya menjadi speerti penjahat, ia tidak mau ada lagi yang bernasib seperti dirinya yang dirampas dari orangtua. Arthur Curry dalam Aquaman, dia adalah pahlawan super yang ingin…. dia tidak ingin menjadi raja. Arthur adalah orang yang seumur hidupnya mencari tempat untuk dirinya, dan sekarang dia sudah menemukan yang ia cari – sekarang dia sudah diterima sebagai pahlawan di atas permukaan laut. Dia tidak butuh untuk membuktikan apapun, karena dirinya sendiri tidak ingin menjadi raja, karena dia tidak merasa kerajaan Atlantis sebagai tempatnya.

cerita fish-out-of-water di dalam air

 

 

Keseluruhan cerita tampak seperti pihak-pihak luar yang berusaha membujuk Arthur. Mereka yang berusaha membuktikan kepada Arthur bahwa ia pantas menjadi raja. Arthur’d be like, “Gue kayaknya gak pantes deh” dan mentor dan temannya kayak “Kamu bisa kok, cuma kamu yang bisa mendapatkan Trisula Atlantis Legendaris”. Saking kurang termotivasinya, Arthur sering menanyakan langkah kepada putri berambut merah. Bahkan yang semangat mencari senjata yang hilang itu si Mera, yang tanpa tedeng aling-aling langsung terjun dari pesawat. Arthur mengikuti cerita yang maju karena tindakan tokoh lain.

Aku menunggu momen ketika Arthur ‘kehilangan’ senjata terkuat yang sudah ia temukan, supaya dia bisa belajar bahwa dirinya benar adalah raja – terlebih dia tak perlu semua itu karena memang sudah takdirnya atau apa, kalian tahulah, sekuen kehilangan yang pasti ada dalam setiap cerita-cerita seperti ini; seperti ketika Spider-Man diambil kembali kostumnya oleh Iron-Man. Tapi momen seperti begini tidak pernah datang. Aquaman, jagoan kita, butuh bantuan trisula legendaris untuk percaya diri menjadi raja hingga akhir cerita.

Tema besar pada film ini adalah soal warisan, dan bagaimana pandangan kita jika ditinggali hal untuk dilakukan yang mungkin tidak ingin kita lakukan. Ada yang menganggap warisan sebagai anugerah, sebagai hadiah. Ada yang menganggapnya sebagai kewajiban, sebagai misi yang harus dituntaskan. Ada juga yang menganggapnya sebagai beban. Film memperlihatkan keparalelan antara Arthur dengan tokoh Black Manta di mana mereka sama-sama diwarisi senjata dari kedua orangtua, dan keduanya diperlihatkan melakukan hal yang berbeda terhadap benda warisan masing-masing. 

 

Lautan digambarkan sebagai tempat yang keras, penghuninya tidak mengenal belas kasih. Para penduduk Atlantis menghukum Ratu mereka dengan mengumpankannya kepada monster-monster. Penghuninya mungkin kejam begitu lantaran mereka tak bisa melihat airmata mereka sendiri. Film menggunakan ungkapan-ungkapan seperti “menerjang bersama kekuatan tujuh samudera” untuk menguarkan kekuatan yang lantas dikontraskan dengan Arthur, si surface dweller yang penuh dengan komentar kocak jika sedang tidak memberantas bajak laut. Jason Momoa benar-benar sosok yang keren sebagai tokoh ini. Dia punya kharisma yang kuat, dia juga mampu menyampaikan one-liner kocak. Plus tampilannya badass banget, penggemar gulat pasti akan menyebutnya antara mirip Roman Reigns ataupun mirip Tama Tonga. Hal menarik yang dilakukan oleh film ini adalah fakta bahwa Momoa sama sekali tidak terlihat seperti Aquaman di dalam komik. Secara tampang, malah Patrick Wilson (yang bermain jadi adik tirinya, Norm si Ocean Master) yang lebih mirip sama sosok Aquaman klasik. Sayangnya, seperti efek CGI dan visual yang kadang enggak benar-benar tampak menyatu, penulisan dialog ringan dan tone komedi itu tidak bercampur baik dengan bagian cerita yang lebih serius.

Seperti pada bagian ketika Arthur bertualang mencari Trisula hingga ke tempat paling kering sedunia. Untuk develop hubungan karakter antara Arthur dan Mera, film menggunakan komedi. Tapi gap antara tone cerita bagian ini dengan bagian sebelum dan sesudahnya begitu jauh sehingga menonton sekuen Arthur dan Mera bertingkah kekanakan di Gurun Sahara terasa seperti menyaksikan Sherina dan Sadam nyasar di kebun teh. Menjadi semakin receh juga beberapa adegan berkat alunan lagu latar yang antara terlalu ngepop dengan terlalu konyol (seperti gejrengan gitar di adegan introduksi awal Aquaman bersama para bajak laut).

Satu hal yang benar-benar mengangguku, yang kurasa film seharusnya mencari cara lain, satu hal yang terus mereka ulang-ulang adalah adegan ‘penyergapan’; akan sering sekali kita melihat adegan suasana lagi tenang – tokoh di layar lagi ngobrol, nyusun rencana atau apa, dan BLASSST! Pasukan musuh menembak sesuatu di sekitar mereka, menghancurkan objek di sana. Paling tidak ada tiga kali adegan pembuka sekuen aksi seperti demikian dilakukan oleh film. Dan ini konyol sekali kenapa musuhnya selalu meleset menembak target yang lagi lengah, apa mungkin musuh-musuh itu sengaja menembak dengan meleset – mungkin itu ekuivalen dari mengetuk pintu bagi mereka. Aku enggak tahu. Aku sudah mati tertawa setiap kali adegan ini dilakukan.

 

 

 

Untuk sebuah cerita yang secara konteks ketinggalan zaman, film ini berhasil menjelma menjadi hiburan kekinian yang menyegarkan. Film berjuang mencari poin seimbang. Sama seperti tokoh ceritanya, film mencari di mana ia menempatkan diri. Tone yang cheesy diseimbangkan dengan cerita yang diarahkan untuk tidak terlalu gelap. Nice aja rasanya melihat orang-orang mengelukan tokoh yang selama ini ditertawakan, dan mereka jadi tertawa bersamanya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AQUAMAN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Film sempat bicara tentang memenuhi kewajiban terhadap keluarga dan bangsa meski hati kita bertentangan dengannya. Apakah kalian setuju dengan pernyataan tersebut? Menurut kalian apa sih kewajiban kita terhadap keluarga dan terhadap negara?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

ROBIN HOOD Review

Thievery is what unregulated capitalism is all about

 

 

 

“Salah sasaran!” Tadinya, aku ingin mengatakan hal tersebut kepada pasangan suami istri yang duduk menonton di barisan di depanku, dengan dua anak balita mereka. Maksudku, kenapa ada keluarga yang lebih memilih menonton film Robin Hood ini padahal ada Ralph Breaks the Internet di studio sebelah benar-benar di luar logika buatku. Namun kata-kata tadi aku tarik kembali sebelum melesat dari busur bibir, karena aku menemukan ‘sasaran’ yang lebih tepat.

Bayangkan merasa bosan karena sudah lama enggak ke bioskop, dan sekalinya datang yang kau tonton malah film Robin Hood. Itulah “Salah sarasan!” yang sebenarnya. Film ini tidak akan mengobati rasa jemu. Kalopun iya, itu karena kita akan menemukan banyak hal untuk ditertawakan sehubungan dengan pilihan-pilihan yang diambil dan bagaimana mereka tidak cukup kompeten untuk dapat mengeksekusinya dengan baik.

masih mendingan iklan obat; langsung ke pusat sakit kepala

 

Sudah berulang kali cerita pencuri yang menjadi pahlawan bagi rakyat jelata ini diceritakan di layar lebar. Menyadari penuh hal tersebut, Robin Hood versi 2018 sesegera narasi pembuka bergulir mengajak kita meruntuhkan apa yang telah kita ketahui tentang legenda Robin Hood, dan bersiap mengarungi kisah yang katanya tidak seperti kita kenal sebelumnya. Film ini tidak kusebut jelek karena memang menjadi sedikit berbeda dari yang sudah-sudah, malahan aku senang film punya keinginan bercerita dengan caranya sendiri. Heck, aku bakalan girang banget kalo mereka merombak totatl; katakanlah menjadikan Robin cewek atau suku minoritas. Walau enggak mengubah ampe segitunya, toh film ini berusaha menyesuaikan cerita dengan kejadian di masa sekarang – memberikannya relevansi. Orang kaya yang dirampok Robin pada film ini, adalah penguasa korup yang mencopet rakyat secara halus. Lewat slogan-slogan politik. Lewat ayat-ayat Kitab Suci. Perang Salib antara bangsa Eropa dengan bangsa Arab dijadikan latar film ini yang seharusnya berfungsi sebagai cerminan motivasi – berkaitan dengan panji pencitraan agama yang dikibarkan oleh cerita. Robin Hood tidak lagi sekedar anti-hero. Sutradara Otto Bathurst mengarahkan tokoh ini menjadi superhero bagi kaum papa. Sayangnya naskah sepertinya terlalu berat bagi pundak film ini. Segala aspek-aspek politik dan agama yang menarik tersebut hanya laksana tudung yang tak pernah benar-benar membungkus. Dan film ini pada akhirnya dikata-katai film superhero hanya karena usaha ngeset sekuel yang terang-terangan meniru Marvel atau DC.

Segala tetek bengek gimana orang menggunakan agama untuk menakuti, mengontrol massa – menguatkan posisi secara politik, dan pada akhirnya UUD (Ujung-ujungnya Duit) tidak pernah menunjukkan dampak secara emosional karena tokoh utama cerita tidak diperlihatkan benar-benar tertarik kepada itu semua. Robin si Bangsawan dari Loxley (Taron Egerton pembawaannya terlalu boyband untuk karakter sebroke-down ini) sedari sepuluh menit awal yang krusial dikukuhkan motivasinya adalah cinta kepada Marian (begitu juga Eve Hawson yang covergirl jelita banget untuk ukuran rakyat kelaparan jelata). Kebersamaan dua orang yang lebih cocok sebagai idola remaja tersebut dipersingkat oleh surat perintah wajib militer yang datang dari sheriff di kota. Robin kudu ikutan berperang di gurun pasir Arab. Sekembalinya dari medan perang – ia dikirim pulang lantaran gagal patuh terhadap perintah membunuhi orang tak berdosa – Robin mendapati rumah kastilnya disita oleh si sheriff. Eksistensinya juga direnggut lantaran sheriff memasukkan namanya dalam daftar korban perang. Dan paling parah baginya, ia juga mendapati sang istri sudah menjadi istri orang lain. Mendadak miskin, tanpa teman maupun pasangan, Robin sudah akan hancur jika bukan karena John, pejuang Arab yang mengikuti dirinya lantaran terkesan sama sikap Robin di peperangan. John-lah yang ‘membisiki’ Robin apa yang harus dia lakukan. John yang melatihnya melakukan hal-hal keren dengan busur dan anak panah. John yang memberikannya tudung trendi yang bakal jadi seragam ikoniknya. John yang diperankan oleh Jamie Foxx-lah yang sedikit menyelamatkan film ini.

Memparalelkan Robin Hood dengan penguasa lalim; korupsi personal dengan korupsi institusi, benar ini adalah cerita tentang para pencuri. Salah satu kerusakan itu akan memakan kerusakan yang satunya, dan memperbesar diri. Semuanya karena uang. Dalam film ini, uang adalah simbol kekuasaan. Ngerinya, sepertinya di dunia nyata juga begitu.

 

 

Enggak ada yang salah dengan aktor-aktor yang meramaikan film ini. Hanya saja, kita melihat mereka bermain lebih bagus di film lain, kalian tahu, sedangkan di Robin Hood ini mereka semua terlihat biasa-biasa saja. Malah cenderung annoying. Jamie Foxx kelewat over-the-top. Dia lucu saat tidak sedang melucu – seperti sewaktu dia berteriak-teriak sebelum menggantung orang. Sedangkan ada tokoh lain seperti si Friar Tuck yang memang ditampuk sebagai peran komedi malah jatohnya garing; tidak ada yang tertawa mendengar komentarnya yang seperti menyindir. Karakter-karakter yang ada, semuanya tumpul kayak anak panah yang belum diasah. Dan ini lucu mengingat anak panah dalam film ini digambarkan mempunyai kekuatan perusak seperti peluru senjata api. Motivasi tokoh utamanya, seperti yang sudah aku tulis, terasa sepele. Tokoh ceweknya butuh untuk diselamatkan, dan enggak benar-benar punya manfaat selain berdiri di sana, dengan pakaian nyaris tertutup, tersenyum dan terlihat flawless – seolah dia tidak berada di zaman dan kondisi yang sama dengan orang lain di sekitarnya. Gimana dengan tokoh antagonisnya, kalian tanya? Hahahaha mereka jahat, culas. Kalo ngomong selalu keras-keras. Benar-benar komikal dan satu dimensi. Ada satu adegan seorang tokoh petinggi gereja yang tertawa membahana, kemudian mendadak mengubah nada bicaranya dengan mengancam, dan musik juga dramatis banget, dan si tokoh itu enggak pernah dibangun dulu karakternya.

curi… curi-curi pandang

 

 

Kita enggak bakal mampu untuk peduli sama tokoh-tokohnya. Bahkan aspek cinta segitiga tidak mampu untuk membawa kehangatan ke dalam film yang berskala warna coklat dan biru keabuan ini. Aspek mata-mata turut mewarnai cerita; di saat enggak merampok kas pajak, Robin akan bertugas sebagai bangsawan dermawan yang senantiasa di sekitar sheriff dan penguasa. Cara film menggarap bagian ini persis berasa sinetron. Dengan close-up Robin yang senyam-senyum ke kamera ketika dia berhasil mengelabui penjahat, ataupun tampang cemasnya saat ada hal ‘gak enak’ yang harus dia lakukan. Intriknya tidak pernah benar-benar terasa.

Jika kalian merasa porsi aksi akan menjadi obat penawar, maka kalian juga sama salahnya seperti aku. Karena bagian aksi film ini malah lebih memalukan lagi. Di antara hujan anak panah dan derapan kuda-kuda CGI itu, kita akan menemukan orang-orang berlarian dalam gerakan lambat, kemudian melompat dan menjadi cepat, melepaskan anak panah, kembali dalam slow-motion, dan cepat lagi. Aku gak percaya masih ada film yang masih memakai teknik editing yang mengesalkan seperti begini. Cara yang sangat malas dalam upaya membuat adegannya tampak intens. Aku bahkan merasa bosan melihat adegan aksinya. Sama seperti para pemainnya, aku yakin orang-orang yang bekerja di spesial efek dan editing ini bukan orang sembarangan, mereka punya keahlian khusus. Hanya saja pilihan yang dilakukan film membuat semuanya tampak enggak kompeten.

 

 

 

 

Seharusnya bukan cuma aktor saja yang diajari cara memanah. Film harusnya juga belajar menentukan sasaran mereka, menembaknya dengan tepat. Segala unsur modernisasi dan kerelevanan yang ada pada cerita dimentahkan oleh penceritaan dan arahan yang begitu konservatif. Hampir seperti mereka tidak cukup mampu untuk menangani cerita yang bener. Semua penampilan di film ini jatohnya jadi memalukan. Setidak-tidaknya film yang udah kayak cerita superhero ini bisa menghadirkan bagian aksi yang exciting, namun mereka bahkan tidak sanggup untuk melakukannya.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for ROBIN HOOD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah mencuri demi orang lain membuatmu pahlawan?

Pernahkah kalian mencuri untuk kebaikan, share dong pengalamannya

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

RALPH BREAKS THE INTERNET Review

“Sometimes being a friend means mastering the art of timing.”

 

 

 

Ketika memikirkan tentang penjahat dalam video game, kita akan membayangkan monster supergede yang bertampang menyeramkan, dengan kekuatan dan ketangguhan super. King Koopa, M Bison, Shao Kahn, adalah bos-bos video game yang bangga sebagai penjahat. Beda ama Ralph (John C. Reilly mengundang simpati kita lewat suaranya) dari game Wreck-It Ralph yang pengen berbuat baik. Dalam film pertamanya enam tahun yang lalu (timeline cerita sekuel dibuat paralel dengan waktu IRL kita), Ralph si raksasa penghancur bertualang untuk membuktikan kebaikan hatinya yang sering disalahartikan hanya karena dia merusak apapun yang ia sentuh. Ralph pada akhirnya berhasil mengukuhkan diri sebagai penjahat video game paling ‘manis’ seantero dunia arcade tempat mereka tinggal. Ralph bersahabat erat dengan Vanellope von Schweetz (Sarah Silverman adalah manusia langka yang bisa terdengar annoying sekaligus cute), ‘Princess’ super-enerjik dari game balap anak-anak Sugar Rush di mesin game sebelah.

Dalam sekuel ini kita akan melihat Ralph dan Vanellope benar-benar sobat kental. Meminjam istilah 90an – karena film ini erat dengan konsep nostalgia – kedua tokoh kita ‘nempel terus kayak perangko’. Ralph tetaplah Ralph; dia masih selalu ingin membantu walaupun hasil perbuatannya di luar yang ia harapkan. Mendengar Vanellope merasa bosan dengan lintasan balap yang itu-itu melulu – semua jalan pintas rahasia di dunia gamenya sudah ia temukan, Ralph membuatkan ‘lintasan’ baru. Yang berujung dengan rusaknya mesin game Sugar Rush, membuat Vanellope dan teman-teman kehilangan tempat tinggal. Dan Vanellope pun tetaplah Vanellope, cewek ini suka petualangan dan selalu menghargai apa yang dilakukan oleh Ralph. Vanellope melihat masalah ini sebagai kesempatan untuk mengarungi dunia ‘game’ yang baru saja dipasang di toko arcade mereka. Dia langsung menyetujui rencana Ralph untuk masuk ke internet demi mencari suku cadang untuk mesin Sugar Rush. Satu lagi rencana ‘jenius’ buah pikiran Ralph yang bekerja tidak sesuai dengan yang ia harapkan; lantaran Ralph melakukan itu semua demi Vanellope bisa tetap tinggal di arcade. Hanya saja, menapaki kegemerlapan dunia internet yang tanpa batas – mengalami asiknya game balap berbahaya yang tanpa aturan – Vanellope merasa dia sudah menemukan rumah barunya.

syukur peran Fix-It Felix dikurangi dan kita dapat Gal Gadot instead!

 

Seperti film pertamanya yang membuai penonton dengan berbagai referensi video game arcade, film kali ini juga secara konstan membuat kita mengangguk, bertepuk, dan tertawa oleh banyaknya easter egg yang kali ini berasal dari dunia internet. Dunia maya tergambarkan dengan begitu immersive oleh animasi yang penuh warna. Ya kita akan melihat banyak produk placement, namun mereka ‘ditempatkan’ dengan kreatif. Environment terlihat sama sibuknya dengan kejadian dalam cerita. Internet adalah tempat tersibuk di dunia, dan film dengan cerdas menggambarkan hal tersebut. Berbagai user berseliweran ke sana kemari, gimana iklan-iklan pop up bermunculan dan dikaitkan ke dalam cerita, bagaimana komen-komen dan situs seperti ebay dan plattform video dan social media bekerja. Tidak seperti The Emoji Movie (2017)  yang hanya menampilkan tanpa benar-benar meniupkan ruh ke dalam bobot cerita, Ralph Breaks the Internet berhasil membuat kita peduli kepada tokoh-tokohnya karena mereka bukan sekedar produk tak bernyawa. Dan ini membuat perbedaan yang besar, tentu saja. Jika kita tidak peduli dengan tokoh cerita, kita akan segera mengenali produk-produk seperti google, youtube, snapchat, instagram, kita akan memandang kemunculan mereka sebagai hal yang negatif. Namun jika seperti yang dilakukan oleh film ini – kita benar-benar ingin tahu apa yang bakal terjadi sama Ralph dan Vanellope, kita akan melihat produk-produk tersebut sebagai bagian dari cerita; sebagai elemen yang turut membentuk tubuh narasi.

Anak-anak mungkin memang akan melihat film dari sisi kelucuan dan petualangan yang seru. Yang mana film memang melimpah dari dua hal tersebut. Namun tema yang menjadi hati cerita tetap akan tersampaikan dan bisa mereka bawa pulang untuk diobrolin kepada orang tua ataupun pendamping dewasa yang juga peduli akan cerita yang diangkat. Film ini bersuara tentang perasaan insecure; rasa cemas kita terhadap banyak hal di sekeliling kita yang tak bisa kita kontrol. Vanellope akan berpendar, nge-glitch setiap kali dia merasa insecure. Ralph yang tubuhnya gede, actually adalah tokoh yang paling vulnerable karena dia mempunyai rasa insecure yang paling besar yang berasal dari rasa takutnya kehilangan satu-satunya orang yang menganggap dia berjasa – yang memahami value dari tindakannya. Di babak akhir, film menggunakan virus komputer sebagai metafora dari racunnya perasaan insecure yang semakin menyebar. Seluruh dunia internet hancur hanya karena kecemasan satu orang.

Penting untuk menjadi diri sendiri. Maka dari itu, sama pentingnya untuk kita membiarkan orang lain menjadi diri mereka, untuk memilih apa yang mereka mau – yang mereka sukai, yang mereka yakini. Teman satu geng kita tidak harus menyukai hal yang sama dengan kita. Kita tidak harus punya selera, punya idola, atau bahkan punya seragam yang sama untuk menjadi satu kelompok. Teman kita enggak harus menjadi sama seperti kita. Enggak setiap saat kita harus bersama dengan mereka.

Ralph breaks our hearts

 

 

Aksi-aksi dalam film tergerak oleh Ralph yang mengambil resiko, dan sama seperti itulah, film juga bekerja terbaik saat melakukan pilihan yang beresiko. Misalnya ketika Vanellope bertemu dengan para Princess dari universe Disney. Film tidak sebatas menampilkan Cinderella, Snow White, Ariel, Elsa, Moana, dan Vanellope, dan banyak lagi dalam satu layar. Film sungguh-sungguh melakukan sesuatu dengan mereka, kita mendengar candaan tentang tropes dan pakem para putri tersebut – gimana sebagian dari mereka butuh diselamatkan oleh pria berbadan kekar, gimana kemampuan bernyanyi mereka datang dari menatap air dengan sedih, dan gimana sekarang mereka ‘hanya’ sebatas idola sebagai jawaban dari kuis trivia. Film dengan berani make fun of that, sehingga hasilnya beneran lucu. Kita melihat mereka berganti baju menjadi gaya kekinian; it’s a fresh look. Film memainkan dengan cerdas soal Vanellope yang technically juga princess Disney, tapi dia begitu berbeda – Vanellope lebih suka tinggal di dunia balap berbahaya ketimbang di kastil impian. Film seharusnya lebih banyak memperlakukan referensi-referensi seperti begini. Mereka dibecandaain, bikin tokoh yang sudah dikenal melakukan sesuatu di luar kebiasaan, seperti pada game Kingdom Hearts di mana kita bantuin tokoh-tokoh Disney memecahkan masalah yang sudah diekspansi.

Tapi masih sering kita mendapati referensi yang hanya ada untuk bikin kita senang. Seperti pada kasus film Ready Player One (2018) belum lama ini. Menjadi begitu kekinian sekarang, dengan elemen-elemen internet dan hal modern lain, film ini sesungguhnya masih harus melewati ujian waktu untuk membuktikan diri bisa menjadi timeless – membuktikan ceritanya bisa berdiri sendiri tanpa semua referensi dan lelucon internet tersebut. Film yang pertama, dengan referensi jadul, setidaknya sudah membuktikan diri enak untuk ditonton di era sekarang. Aku pengen melihat lebih banyak eksplorasi. Di satu titik cerita, Ralph akan mengunjungi Dark Web yang seharusnya bisa diberikan lebih banyak pengaruh lagi. Ralph juga sempat berusaha bikin video viral untuk mendapatkan uang; di sekuen ini diselipkan komentar soal perilaku orang-orang di sosial media, tapi tidak benar-benar terasa menambah banyak bagi arc Ralph ataupun keseluruhan cerita. Malah lebih seperti stage yang harus dilewati dalam permainan video game. Aku paham mungkin masalah durasi, jadi film berusaha tampil seefektif mungkin, dan mereka mengambil resiko di sana-sini, menyeimbangkan porsi sehingga paling tidak, produk akhirnya tidak terlalu kelihatan sebagai proyek cari duit korporasi yang ingin menjual banyak sekali merengkuh dayung

Internet adalah soal waktu. Begitu juga dengan pertemanan. Ada waktu untuk diam. Ada waktu untuk membiarkan orang mengejar mimpi mereka. Ada waktu untuk menunggu sekembalinya mereka di sana

 

 

 

 

Film ini bekerja lebih dari sekedar pengganti babysitter, you know, lebih dari sekedar bikin anak-anak tenang selama dua jam kurang. Di balik semua keriuhan produk dan referensi itu, dia memang punya gizi untuk dinikmati. Kebanyakan film anak-anak akan bercerita tentang pentingnya untuk bersatu, untuk bekerja sama, mengalahkan orang jahat dan menyelesaikan masalah. Film ini – seperti juga lagu anti-princess yang diusungnya – berani membuat anak-anak untuk berani bukan hanya menjadi diri mereka sendiri, melainkan juga memberi ruang bagi teman atau sahabatnya untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Mungkin terbaca sedikit depressing, tapi film ini benar-benar meriah dan menyenangkan, dan ini adalah prestasi tak terbantahkan dari kelihaian bercerita dan memanfaatkan konsep dalam upaya menyeimbangkan toneAn all-around entertainment yang sukses menghibur banyak kalangan dalam berbagai tingkatan, setidaknya untuk saat sekarang
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RALPH BREAKS THE INTERNET.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Orang berubah. Pernah gak sih kalian ngerasain teman yang dulu dekat, kini cuma ngeliat namanya di instatory, atau cuma kontakan sekali setahun pas ngucapin selamat ulangtahun? Kenapa, menurut kalian, kita perlu move on? Seberapa clingy sih, clingy dalam pertemanan itu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR Review

“Admitting we’re wrong is courage, not weakness”

 

 

 

Suzzahnya untuk enggak berprasangka buruk duluan terhadap film yang berusaha menghidupkan kembali legenda. Selalu ada dugaan, jangan-jangan ini proyek cari duit semata. Palingan cuma ngikut-ngikut Pengabdi Setan. Terlebih proyek ini sendiri sejak awal sudah dikonfirm bukan sebagai cerita remake, maupun reboot, melainkan cerita baru dengan tokoh Suzzanna – basically mereka membuat film berdasarkan mitos-mitos yang membuat seorang Suzzanna populer. Jadi, ya, aku bernapas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke bioskop menyaksikan film ini.

Dan saat kredit penutup bergulir, aku menghembuskan napasku dengan lega!

 

Suzzanna: Bernapas dalam Kubur bukan proyek berkedok ‘reborn’ yang dibuat ala kadarnya alias asal-asalan. Film ini benar-benar punya cerita untuk disampaikan, mereka menggali sudut pandang dengan lebih dalam. Film ini nyatanya juga menghibur, tetapi enggak terpuruk ke level receh, dan enggak sekadar menunggang ombak kepopuleran horor dan Suzanna itu sendiri. Kita bisa merasakan passion terhadap genre ini. Rasa hormat terhadap sang Ratu Horor pun menguar dengan kuat. Di kemudian hari, aku yakin this will be a ‘go to’ movie kalo kita lagi pengen maraton horor atau ngadain nobar. Film ini enggak takut untuk menggunakan formula standar, dengan cerita yang tradisional, karena mereka paham sudut mana yang belum tergali, dan film fokus dalam area ini. Sehingga terasa seperti sesuatu yang pernah kita lihat sebelumnya, namun sekaligus seger. Seperti Suzzanna sendiri; kita tahu siapa dirinya, tapi juga merasa masih banyak misteri padanya yang membuat kita penasaran.

Dalam film, jika ada tokoh yang mengucapkan janji, maka niscaya naskah akan sekuat tenaga membuat janji tersebut terlanggar. Satria (rambut Herjunot Ali membuatnya mirip Eddie Guerrero masih muda) berjanji kepada Suzzanna, istrinya, tidak akan membiarkan apapun mengganggu keluarga kecil mereka. Tidak berapa lama setelah itu, kerjaan mengirimnya ke Jepang – berpisah sementara dengan istri yang sedang mengandung. Meninggalkan Suzzanna (penampilan horor terbaik Luna Maya!) yang begitu cinta dan setia di rumah besar mereka ‘hanya’ bersama tiga orang pembantu. Benar-benar mangsa empuk buat empat karyawan Satria yang berniat menyatroni rumah. Merampok mereka. Malam minggu hujan deras itu, para rampok menjalankan aksi. Untuk beberapa saat, cerita mengambil bentuk thriller home-invasion, Suzzanna yang saat itu lagi sendirian harus berurusan dengan sekelompok orang yang menodai kedamaian malamnya. Dia melawan sekuat tenaga, bahkan membuat empat pria tersebut kalang kabut. Rencana matang itu berantakan. Dari yang tadinya tak berniat mencelakai sama sekali, perlawanan Suzzanna membuat para rampok terpaksa membunuhnya dengan tidak sengaja. Kebayang gak tuh, mentoknya gimana? terpaksa dengan tidak sengaja haha.. Cerita berkembang menjadi menarik ketika Suzzanna yang dikubur hidup-hidup bersama jabang bayinya dalam tanah basah yang dingin, terbangun di ranjangnya yang putih nan hangat. Bukan sebagai manusia, melainkan sebagai hantu Sundel Bolong yang sangat kuat. Dia ada di sana untuk balas dendam, namun terikat oleh cinta kepada sang suami. Dia bisa saja segera membunuh keempat perampok yang bikin rusuh keluarga mereka, akan tetapi itu akan membuatnya benar-benar terpisah dari suami yang sangat ia cintai.

Itu seperti ketika Nobita dalam kartun Doraemon pengen makan dorayaki tetapi ia enggak sudi makanannya habis. Konflik utama film ini datang dari Suzzanna yang mencoba figure out apa yang sebaiknya dia lakukan.  Lucu, kalo dalam konteks cerita anak-anak. Tidak demikian halnya ketika kita melihat dari sisi Suzzanna. Sedih melihat Suzzanna yang ingin menuntut balas, hanya saja dia tidak bisa langsung melakukannya. Sejatinya ini adalah kisah balas dendam. A GHOST’S REVENGE STORY. Film dengan pintar membalutnya ke dalam mitologi klenik lokal. Cerita menetapkan aturan-aturan soal gimana Sundel Bolong ‘bekerja’, bagaimana cara mengalahkannya, dan bekerja dengan konsisten di dalam kotak aturan tersebut. Strukturnya juga sangat jelas; dari set up kematian, babak kedua yang basically Suzzanna ‘bereksperimen’ dengan kekuatan hantunya, hingga penutup saat ‘kedoknya’ sebagai hantu yang menyamar menjadi manusia terungkap.

Jika tujuan hidupmu adalah balas dendam, apakah kau akan tetap melakukannya bahkan ketika itu berarti kau akan kehilangan orang yang kau sayangi? Film ini bicara tentang pengorbanan sebenar besar yang rela kita lakukan ketika begitu kuat rasa cinta tersebut mengakar.

 

Film ini tampak dibuat dengan usaha yang maksimal. Bernapas dalam Kubur adalah salah satu horor paling good-looking yang bisa kita saksikan tahun ini. Efek dan prostetiknya sangat meyakinkan. Untuk riasan Suzzanna sendiri, wah gak sia-sia sih mereka datangin tata rias dari Rusia. Penampilan wajah yang udah kayak diphotoshop ditunjang oleh permainan akting Luna yang diarahkan supaya mirip banget sama gestur dan cara ngomong Suzzanna. Dunia tahun 80an akhir itu pun semakin terlihat sempurna dengan detil-detil artistik yang begitu diperhatikan. Bahkan dialog dan pengucapannya pun terdengar vintage sekali. Film ini boleh dibilang lebih mirip sebuah tindak restorasi jika saja dia tidak memberikan cerita baru. Personally, aku suka opening credit yang menampilkan shot-shot dari angkasa, memberikan nuansa seperti pembuka dalam film horor Stanley Kubrick – yang juga berjaya di tahun 80an. Satu shot paling aku suka ketika Suzzanna melayang pergi sambil mengangkat kepala korbannya, momen kemenangan paling eery yang pernah kita lihat, dan kamera dengan bijaknya bergerak miring melakukan Dutch Tilt menghasilkan kesan yang luar biasa sureal.

Di akhir-akhir Suzzannanya jadi keriting dan jadi lebih mirip Boneka Sabrina hhihi

 

 

Bekerja dengan lumayan baik sebagai komedi, dari bagaimana Suzzanna yang passionate sekali dalam menghantui musuh-musuhnya. Dia tahu dia punya kekuatan atas mereka, kita melihat Suzzanna selalu bermain-main dengan mereka. Mencoba masuk ke dalam kepala mereka satu persatu, membuat mereka takut, memancing mereka ke tempat-tempat membahayakan nyawa, sehingga mereka bisa terbunuh secara tak langsung. Atau bahkan membuat mereka tidak sengaja saling membunuh. Ada satu perampok yang sangat ketakutan – dia actually dipelototin Suzzanna yang lagi meregang nyawa – sampai-sampai dia takut untuk tidur sebab setiap kali memejamkan mata, dia melihat wajah melotot Suzzanna. Cara yang pintar untuk menunjukkan psikologi seorang yang merasa bersalah, dan sedikit mengingatkanku pada elemen Freddy Krueger dalam seri horor A Nightmare on Elm Street. Film benar-benar memanfaatkan durasinya untuk pengembangan karakter, kita diberikan kesempatan untuk melihat dari sisi para perampok – gimana takutnya mereka, gimana usaha mereka untuk selamat dari dendam Suzzanna, bahkan ada satu yang diberikan motivasi yang cukup simpatik. Dan semua itu membuat cerita menjadi semakin berisi. Para penjahat enggak sekedar duduk di sana, menunggu giliran untuk dibunuh.

Dibutuhkan keberanian yang besar untuk mengakui kesalahan. Untuk meminta maaf. Dalam kasus ini, untuk mengakui perbuatan  kriminal kepada polisi. Suzzanna punya kekuatan atas para perampok bukan karena dia benar dan mereka salah. Berbuat kesalahan tidak membuat kita lemah. Tidak mengakuinya lah yang menunjukkan seberapa ‘kuat’ kita

 

 

Inilah yang menyebabkan porsi horor film ini tidak tampil sekuat versi dramanya. Kita tidak pernah benar-benar merasa takut kepada si Sundel Bolong, malahan kita mendukungnya. Kita senang melihat dia berhasil menemukan cara untuk balas dendam. Wujudnya memang mengerikan, tapi fakta bahwa Sundel Bolong hanya memburu orang yang terlibat dalam kematian dirinya, membuat kita merasa aman. Kita gak salah, jadi kita gak akan dikejar oleh Suzzanna. Well, kecuali kalo kalian pernah berbuat salah sama orang yang sudah meninggal, maka film ini tidak akan membuat kalian tersentak terbangun dari mimpi buruk. Sekuen-sekuen kematian hadir dengan cukup sadis, meyakinkan sekali, sehingga kadang muncul sedikit rasa kasihan juga melihat orang-orang jahat itu mendapatkan ganjarannya. Satu lagi dampak positif dari hantu sebagai tokoh utama ini adalah film tidak merasa perlu-perlu amat untuk bikin kita kaget dengan kemunculan Sundel Bolong, sehingga mereka dengan gagah berani memunculkan hantu begitu saja, tanpa disertai suara keras yang ngagetin. Suatu kemajuan buat horor Indonesia.

tanggal mati Suzzanna di film ini sama ama tanggal lahirku, hiii!

 

 

Untuk sebuah cerita yang memasang Suzzanna sebagai hantu yang mencoba hidup sebagai manusia, mengelabui pembantu-pembantu di rumahnya, film sebenarnya agak kurang memperlihatkan bagaimana keseharian Suzzanna. Para pembantu bingung oleh kabar dari tetangga sekitar, mereka bicara seputar gosip yang beredar, tapi kita enggak pernah benar-benar melihat efek Suzzanna terhadap penduduk kota mereka. Kita tidak banyak diperlihatkan bagaimana tepatnya dia berusaha tampil sebagai manusia, sampai menjelang babak akhir di mana Satria pulang ke rumah dan mendengar segala desas desus keanehan Suzzanna selama dia pergi. Sudah cukup bagus sebenarnya, film ngebangun Suzzanna tadinya seorang muslim yang rajin ke mesjid, dan kemudian kita diperlihatkan Suzzanna banyak alesan ketika diajak sholat oleh Satria. Kita merasakan sebersit ketakutan di mata Suzzanna – dia takut ketahuan sudah menjadi hantu – dan ini menakjubkan, maksudku, seberapa sering kita melihat adegan hantu yang ketakutan. Hampir enggak pernah, kan ya. Pun, Suzzanna-lah yang pada akhirnya belajar untuk melepaskan. Film ini memainkan semacam role-swap antara dua makhluk beda-dunia. Namun begitu, menurutku, ending yang dipilih oleh film justru melemahkan arc Suzzanna sendiri.

Aku tidak benar-benar setuju dengan keputusan film di akhir, karena membuat kejadian pada konfrontasi final yang enggak se-tight kejadian-kejadian pada bagian lain. Malah ada beberapa yang konyol seperti kenapa mereka yang bisa mengikat tangan Sundel Bolong enggak sekalian aja menyumpal mulutnya supaya dia enggak bisa bicara dan memperingatkan Satria. Tapi yang paling lucu buatku adalah gimana Satria melihat pantulan dari bola mata Suzzanna seolah sedang melihat cermin spion. Film seperti ‘kesusahan’ mencari cara supaya Satria percaya dan akhirnya melakukan langkah lucu yang tak perlu seperti demikian. Maksudku, toh kalo memang outcome dari pertarungan terakhir itu harus Satria luka di punggung (paralel dengan lubang di punggung Suzzanna), kenapa enggak membuat Satria tertusuk saja di sana? Kenapa mesti dia melihat pantulan dari bola mata, baru sadar, berantem, kemudian tertusuk. Ada cara yang lebih simpel dengan membuat langsung tertusuk dari belakang, sehingga Satria sadar, dan baru deh berantem.

 

 

 

Menyentuh melihat ada hantu yang rela kepanasan dengerin bacaan Al-Quran demi cintanya yang besar dan murni. Ini adalah salah satu film dengan cerita dan usaha yang paling fully-realized yang kutonton tahun ini. Yang perlu diingat adalah, film ini hebat bukan karena kesuksesannya meniru tokoh ataupun menghidupkan legenda. Film ini hebat karena berhasil membangun cerita, dan kemudian menyampaikannya sebagai sebuah tontonan drama cinta yang lumayan heartbreaking, dengan undertone horor yang meriah oleh warna darah. Menghibur juga, meski di akhir aspek fun tersebut agak sedikit kebablasan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Dalam cerita film ini, para penjahat menemukan solusi ekstrim untuk mengalahkan Suzzanna. Tapi apakah itu satu-satunya cara? Bagaimana jika ada satu penjahat yang insaf, dia bertobat dan rajin sholat – apakah menurut kalian dia bisa lolos dari Suzzanna, apakah tindakannya akan mempengaruhi banyak hal dalam cerita? Atau apakah menurut kalian balas dendam itu memang harus dituntaskan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD Review

“The question isn’t whether the world is perfect. The real question is: If it were, would you still be in it?”

 

 

 

 

Kejahatan yang dilakukan oleh Grindelwald bersumber dari keinginannya untuk membuat dunia penyihir hebat kembali.

 

Terdengar familiar? J.K. Rowling tampaknya memang punya visi yang lebih besar ketika diminta untuk melayarlebarkan buku saku kecilnya tentang binatang-binatang dunia sihir. Lanjutan dari petualangan seorang magizoologis, Newt Scamander, ini terhadir lebih sedikit tentang menangkap makhluk legendaris (bayangkan pokemon, hanya yang ini pake tongkat sihir alih-alih pokeball), dan lebih banyak tentang eksplorasi keadaan politik ala jaman Nazi – yang terkadang secara eksplisit diparalelkan dengan kehidupan modern kita yang sekarang.

Tidak butuh waktu lama buat penyihir sebrilian Grindelwald – yang ditahan di kementrian sihir Amerika di film pertama – untuk berhasil melarikan diri. Bermaksud mengumpulkan faksi, Grindelwald mengejar si cowok dengan kekuatan Obscural, si Credence, sampai ke negeri Perancis. Untuk alasan yang diungkap di momen terakhir film, Grindelwald percaya Credence adalah satu-satunya penyihir yang bisa mengalahkan Dumbledore, dan itu berarti mengenyahkan satu-satunya penyihir yang ia tahu mampu menghalangi niat mulia dirinya. Sementara itu, jagoan kita Newt Scamander sedang berjuang supaya larangan bepergiannya dicabut. Newt masih ingin mengoleksi hewan-hewan sihir. Saat itulah Dumbledore datang kepadanya; meminta Newt untuk mencari Credence ke Paris, sebelum Grindelwald berhasil merekrut sang pemuda malang yang sedang kebingungan dengan identitasnya. Cerita film ini sudah cukup njelimet sejak dari bagian awal. Perjuangan di film ini lebih kepada bagaimana mereka menempatkan Newt Scamander di tengah-tengah pusaran konflik dan pencarian identitas tersebut dan drama tokoh-tokoh yang datang silih berganti.

adegan paling lucu buatku adalah melihat bentuk boggart yang menampilkan ketakutan terbesar Newt Scamander

 

 

Sesekali film akan mencuri kesempatan membawa kita masuk ke dalam koper ajaib Newt, just to live it up to its title. kita akan melihat Newt berinteraksi dengan hewan dunia sihir. Ada satu adegan dengan CGI menakjubkan ketika Newt berenang menenangkan Kelpie – si kuda air peliharaannya. Film dengan susah payah berhasil menemukan cara untuk membuat makhluk-makhluk kesayangan Newt tampak berperan di dalam cerita yang punya undertone lebih kelam daripada film yang pertama. Namun, jika ingin menarik benang merah antara Newt sebagai tokoh utama dengan keseluruhan tema cerita, tempat pertama yang harus kita tengok adalah motivasi dari si tokoh itu sendiri. Bukan beban yang ringan sebenarnya bagi Eddie Redmayne untuk memainkan tokoh yang sejatinya diniatkan sebagai pengganti Harry Potter sebagai protagonis sihir yang benar-benar bikin kita peduli. Newt adalah karakter dengan punya banyak cinta untuk diberikan, tapi sikap dan gelagatnya yang eksentrik membuat dia terkadang tampak sama anehnya dengan makhluk yang ia pelajari di mata orang-orang. Cinta lah yang membuat Newt melakukan hal yang benar. Dan di film ini, cinta itu yang tepatnya membuat Newt melanggar peraturan bepergian yang disanksikan kepada dirinya. Newt ingin mencari Tina Goldstein, cewek auror yang ia cinta, yang ia ketahui berada di Paris untuk tujuan yang sama; menghentikan Grinderwald. Terlihat seperti cerita punya pijakan untuk memperkuat posisi Newt sebagai tokoh sentral; asmara itu bukan hanya satu, melainkan ada satu lagi yang bersumber dari Leta Lestrange yang lebih menarik karena menyangkut, well, kalian tahulah, Lestrange adalah nama yang cukup ‘besar’ dalam universe Harry Potter.

Untuk pertama kalinya film akan terasa nyaman untuk dinikmati, ketika cerita membawa kita ke balik dinding sekolah sihir; kita serasa alumni yang mengunjungi kembali sekolah kita yang lama. Dan ini lucu, mengingat kejadian di film ini adalah masa lampau dari cerita Harry Potter. Film terasa berhenti saat semua subplot dan tokoh-tokoh itu berganti menjadi suasana yang kita kenal. Kita melihat Dumbledore di masa mudanya. Di kesempatan berikutnya, kita melihat Newt dan Lestrange remaja. Kenapa mereka gak bikin film tentang mereka masih sekolah aja ya? Momen-momen ini yang kita pengen lebih banyak dimunculkan. Tapi film menemukan kembali rute chaotic-nya. Karena menjelang babak akhir, film banyak membahas drama silsilah keluarga Lestrange dan penelusuran darah Credence yang membingungkan sebelum akhirnya kembali diikat ke dalam masalah Grindelwald yang ingin mempersatukan penyihir di atas kaum non-penyihir.

Dunia yang sempurna adalah dunia di mana kita bisa menjadi diri sendiri dan bebas mencintai siapapun sesuai kata hati kita. Cinta sama muggle. Cinta sama makhluk aneh. Batasan itu bahkan bisa saja dinaikkan ke cinta sama jenis. Grindelwald ingin menciptakan dunia di mana penyihir bebas berkuasa, dia membujuk beberapa calon anggotanya dengan ‘bebas mencintai’. Tapi kebebasan mencinta tersebut sebenarnya adalah ekstensi dari kita tidak terpaksa oleh keadaan, atau rasa bersalah, ataupun rasa takut dan ketidakpastian

 

Yang dihormati Albus Dumbledore dari Newt adalah gimana Newt melakukan sesuatu yang benar tanpa ada apa-apanya, bahwasanya Newt tidak bergerak dengan motivasi mencari kekuasaan. Newt tak pelak adalah orang baik, namun dia sedikit terlalu baik. Karena, bahkan dalam film ini saja, dia enggak protes ketika porsinya tergeser oleh subplot-subplot yang susah dilihat koherensinya lantaran lebih terasa seperti pion-pion catur yang digerakkan, alih-alih progres natural cerita. Newt ‘pasrah’ aja (atau mungkin tepatnya; cuma bisa pasrah) padahal mestinya dia tokoh utama, dia seharusnya yang pimpin cerita. Ada banyak pengungkapan dalam narasi, tapi film tidak pernah terasa seberpetualang ataupun semengagetkan itu. Takjub yang kita rasakan sebagian besar datang dari efek visual, yang sering enggak benar-benar menambah pada bobot cerita.

Actually, banyak aspek pada film ini yang membuatku bertanya-tanya dalam hati “kok gini ya?” sehubungan dengan aspek kecil yang dijadikan detil dalam dunia film. Saat menonton Harry Potter, kita merasakan ada gejolak “whoaa, begitu ya ternyata penyihir itu” Ada sense of wonder melihat mereka begitu berbeda dengan muggle. Begitu kita masuk ke tembok Hogwarts, kita melihat dunia yang berbeda. Dunia dengan orang-orang yang berkeliaran dengan tongkat sihir dan jubah yang aneh. Aku tidak melihat atau merasakan yang serupa pada film ini. Para auror, pengikut Grindelwald, mereka mengenakan… jas. Mantel. Suit. Kenapa penyihir dalam film ini memakai busana yang sama dengan muggle? Bahkan Dumbledore; alih-alih jubah dan topi kerucut dan kacamata separuh bulan, Dumbledore di sini memakai setelan muggle yang sangat necis. Ingat gak betapa ‘norak’nya pakaian Dumbledore ketika dia mengunjungi Tom Riddle muda di panti asuhan muggle; dia pakai dress plum ungu. Kalo di film, dia pakai syal bermotif kembang-kembang. Apakah karena di kala itu Dumbledore sudah openly mengaku gay sedangkan di jaman Newt belum? Penyihir, di dunia Harry Potter yang itungannya modern, memandang aneh kepada selera muggle – mereka tidak tahu teknologi dan segala macem.

na gini dong, bukan begitu

 

Buatku aneh sekali hal seperti begini luput dari perhatian J.K. Rowling; jadi ini mungkin bukan kesalahan. Mungkin, aku mencoba untuk memahami elemen ini, mungkin di tahun 1927 itu hukum antara penyihir dan muggle belum disahkan. Mungkin saat itu mereka masih hidup berdampingan sehingga sedikit banyak fashion dan gaya hidup muggle berpengaruh terhadap penyihir. Tindak Grindelwald dan pengikutnyalah yang merenggangkan hubungan penyihir dengan muggle, yang menyebabkan gap di antara keduanya semakin jauh. Mungkin karena masalah sentimentil golongan aja yang menyebabkan di jaman Harry Potter, gaya hidup penyihir begitu berbeda dengan muggle. Who knows? Mungkin di seri berikutnya akan ada penjelasan mengenai ini.

Inilah menariknya dunia karangan J.K. Rowling. Kita bisa berspekulasi macam-macam. Dalam film ini, mungkin tokoh yang paling banyak dibicarakan adalah Nagini. Ular Pangeran Kegelapan yang ternyata dulunya manusia. Berasal dari Indonesia pula (bahkan sempat heboh kabarnya Acha Septriasa yang tadinya dapet peran ini sebelum akhirnya dibatalkan karena lagi hamil). Menarik melihat gimana tokoh Nagini diceritakan dalam film ini. Gimana tadinya dia adalah pemain sirkus. Bahkan gagasan ada sirkus di dunia penyihir aja sudah cukup aneh buatku haha. Anyway, Nagini dalam film ini dekat dengan Credence yang mencari sang ibu – mirip dengan Voldemort yang juga penasaran dengan ibunya. Ada sesuatu nih mestinyaa.. Film sepertinya menyimpan ini untuk cerita yang akan datang. Yang membuat aku penasaran karena ada bagian dari elemen Nagini yang enggak konsisten; dalam adegan disebutkan dia tidak akan bisa berubah lagi menjadi manusia setelah berubah menjadi ular, namun pada kenyataannya kita melihat Nagini bisa berubah wujud sebanyak yang ia mau. Aku hanya bisa berharap ini bukan kesalahan penulisan.

 

 

 

 

Bagian terburuknya adalah, setelah semua subplot yang bergilir muncul tanpa kesan yang berarti, seolah subplot-subplot itu ber-Disapparate begitu saja, cerita tidak benar-benar punya konklusi. Film ini hanya terasa sebagai jembatan untuk menghantarkan kita ke episode berikutnya. Kita tidak akan mengerti menonton ini jika tidak menonton film sebelumnya, pun kita tidak akan mendapat jawaban yang berarti sebelum menonton film berikutnya. Mengecewakan sekali, karena dari segi narasi, ini adalah cerita yang ‘penting’ dalam sejarah dunia sihir. J.K. Rowling sekali lagi menunjukkan kebolehannya membangun semesta yang kompleks. Tapi sepertinya memang lebih baik dibukukan terlebih dahulu. Sebagai naskah, it’s just too much. Para Potterhead sih, bakal seneng-seneng aja, soalnya mendapat eksplorasi dunia sihir yang lebih dalam. Tapi sebagai film, ini sudah bukan lagi cerita Newt Scamander. Ini adalah crimes of maksain cerita demi menghidupkan franchise yang semestinya sudah kelar.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Grindelwald dan Dumbledore punya motto “for the greater good” sebagai ungkapan untuk membenarkan aksi-aksi mereka. Apakah kalian setuju jika hasil itu adalah hal yang paling penting? Bagaimana menurut kalian perihal kita dibenarkan menempuh tindakan apapun demi kebaikan yang lebih besar?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

 

THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS Review

“With realization of one’s own potential and self-confidence in one’s ability, one can build a better world.”

 

 

 

Kurang garam rasanya kalo Disney tidak bercerita tentang Princess atau tentang anak yang ditinggal mati oleh orangtuanya. The Nutcracker and The Four Realms benar mengikuti formula serupa; Clara, si tengah dari tiga bersaudara, merasa ‘ditinggalin’ oleh ibunya yang telah tiada. Kakaknya mendapat gaun, adiknya diwarisi mainan tentara, dan dia; sebuah telur mekanik yang bahkan tidak bisa dibuka karena sepertinya Ibu lupa memberikan kuncinya kepada Clara. Ibu hanya melampirkan secarik tulisan, “Di dalamnya kamu akan mendapatkan semua yang kau perlukan” begitu bunyinya kurang lebih.

Jika Alice mengikuti kelinci, maka Clara masuk ke dunia fantasi setelah mengikuti benang emas di rumah kakek walinya, Morgan Freeman dengan eye-patch ala bajak laut. Clara disambut baik oleh penghuni dunia sana – manusia serdadu-mainan Nutcracker, manusia bunga, manusia es, dan manusia yang rambutnya terbuat gulali. Dengan segera Clara mengetahui dunia yang terdiri dari empat realm berbeda tersebut adalah ciptaan ibunya. Sang Ibu adalah Ratu di sana, membuat Clara Stahlbaum menjadi seorang Putri. Sebagai seorang Putri, Clara harus mengupayakan kedamaian di sana,  sebab ada satu realm, though, dihuni oleh tikus dan mainan, mereka gak akur dengan penduduk realm lain. Mereka bahkan mencuri kunci emas yang dicari Clara. Kunci penting membuka telur, dan rahasia di balik dunia yang dibuat oleh Ibu Clara.

Oh, Clara juga Ratu sih; ia memerintah dengan Hukum Fisika

 

Melanjutkan tema protagonis wanita masa kini yang mandiri, kuat, tanpa harus mementingkan punya pasangan kekasih yang sudah diusung Disney semenjak Frozen (2013), Clara akan menginspirasi anak-anak cewek kekinian berkat kepintaran dan keberaniannya. Daripada berdansa, Clara lebih suka merakit mekanisme untuk menangkap tikus. Tentu saja, membantu sekali fakta bahwa Mackenzie Foy is absolutely stunning. Antara presence-nya dan cerita dongeng ini, benar-benar sebuah peristiwa yang magical. Meskipun kadang aksennya sedikit goyah, namun Foy (pasti banget masuk nominasi Unyu op the Year tahun ini!) bermain dengan mantap. Entah itu menghadapi pasukan tikus yang bersatu membentuk tikus raksasa, menyisir pinggiran tebing yang basah dan dihuni kelelawar, ataupun memimpin serdadu menembus belantara hutan, Clara jarang sekali menunjukkan ekspresi ketakutan. Kevulnerabelan tokoh ini mudah direlasikan oleh semua orang; ketidakpercayadirian itu kadang menerpa di saat kita paling butuh untuk merasa berani.

Kadang kita butuh orang lain. Bukan untuk disuruh memuji dan mengelu-elukan kita sampai terbang. Bukan untuk diperintah melakukan hal yang tidak kita bisa. Tapi untuk mengingatkan siapa sebenarnya diri kita. Kekuatan dan kelemahan yang ada pada diri, sering kita lupa sehingga berputus asa. Padahal kita selalu punya semua yang kita butuhkan, kita hanya lupa dan butuh teman untuk mengingatkannya.

 

Dalam upayanya lolos dari Bechdel Test – tes kecil-kecilan untuk menentukan film punya karakter wanita yang ‘kuat’ dengan syarat: ada dua tokoh wanita yang saling bicara dan tidak membicarakan soal pacaran – cerita film ini diadaptasi dengan sedikit mengerdilkan beberapa aspek pada material aslinya. The Nutcracker berasal dari pertunjukan balet hasil saduran cerita The Nutcracker and The Mouse King. Balet sendiri hanya dijadikan sebagai pemanis. Didorong jauh ke belakang sehingga adegan balet pada film ini tak lebih dari sekedar media penceritaan eksposisi. Romansa sentral dari versi asli ini diubah oleh Disney menjadi cerita kemandirian, dengan mengangkat secara tersirat hubungan antar-ras. Si serdadu Nutcracker, pada film ini diperankan oleh aktor kulit hitam Jayden Fowora-Knight, tidak terasa sepenting orang yang namanya terpampang sebagai judul film. Nama tokohnya malah baru kita dengar setelah menjelang akhir petualangan.

Kreativitas film ini – toh tidak gampang mengadaptasi sesuatu sehingga menjadi kreasi baru – tampaknya hanya berhenti pada tingkatan ‘menyederhanakan’. Seolah film ini sebenarnya punya sesuatu pamungkas; menyiapkan sesuatu yang gede, tetapi pada akhirnya ambisi tersebut melempem dan mereka membanting arahan begitu saja, melupakan apa yang diniatkan.

Sama seperti judulnya; panjang dan sulit diucapkan namun juga tidak memberikan kejelasan apa-apa sebatas dunia film ini ada empat biji, banyak elemen pada film yang dibangun menjanjikan tetapi tidak pernah berujung kepada sebuah kepuasan. Empat dunia di sini, digambarkan dengan visual yang indah – tokoh-tokohnya meriah oleh riasan dan kostum fantastis, tapi kita kehilangan sensasi eksplorasi. Kita tidak melihat bagaimana exactly masing-masing dunia bekerja. Clara hanya tur sepintas. Bahkan Realm of Amusement yang sesungguhnya adalah sebuah ide menarik menyajikan ranah mainan dan sirkus menjadi tempat menyeramkan, kita hanya diperlihatkan secuil dari apa yang bisa saja dibuat menjadi saingan Negeri Nikmat di Pinokio. Basically hanya hutan gelap dan satu tenda mekanik. Tiga pemimpin Realm yang harusnya adalah pembimbing Clara, kita hanya difokuskan pada satu yang diperankan Keira Knightley dengan suara mencicit kayak anak kecil keselek tikus. Film yang punya dunia begitu luas, dengan banyak aspek cerita yang diangkat, tidak pernah mekar sempurna hingga waktunya tiba dan pergi meninggalkan kita. Hanya mengerucut, menjadi simpel tidak tergali. Karena, guess what, film mendedikasikan diri untuk membangun twist yang bahkan enggak punya motivasi yang cukup jelas sebagai labuhan satu-satunya cerita.

Clara dan empat dunia CGI

 

Sudah cukup aneh pilihan mengubah dongeng fantasi tontonan natal untuk anak kecil menjadi cerita perang. Semakin aneh lagi jika perang yang dikobarkan cerita sama sekali tidak punya penyebab yang jelas. Penjahat-sebenarnya cerita ini pengen gitu aja menyerang dunia atau realm yang lain, dia ingin menaklukkan semua dan sebagai pembelaan dia menyalahkan ibu Clara yang sudah tega meninggalkan dunia ciptaannya sendiri. Elemen perang rebutan kuasa sendiri sesungguhnya memang ada dalam kisah orisinilnya. Apa yang dilakukan oleh film ini, sayangnya, begitu berdedikasi untuk menghadirkan twist dari elemen originial tersebut; mereka memutarbalikkan peran, dan ultimately malah menjungkirbalikkan film ini secara keseluruhan. Mereka lupa memasukkan alasan yang kuat. Seharusnya ada motivasi lebih dalam daripada sekedar grasak grusuk masuk hutan, mengobarkan pasukan, demi merebut kunci emas.

Film ini seperti mengkhianati temanya sendiri. Ini tentang self-trust, keberanian. Dengan percaya kepada kemampuan dan potensi yang kita miliki, kita bisa mencapai begitu banyak hal hebat. Bahkan menciptakan dunia. Tetapi film, ia tidak yakin bisa membangun cerita. Ada begitu banyak hal yang seperti tambalan di sana-sini. Film malah seperti dua visi yang enggak klop. Lebih seperti pengen membuat produk ketimbang dunia imajinasi yang kreatif.

 

 

 

 

Pembangunan dunia dengan ‘aturan’ dan mitosnya tak pernah lebih jauh berfungsi kepada penceritaan. Dunia-dunia tersebut tak lebih dari perkenalan, you know, supaya kalo nanti ada wahananya di Disney, fans sudah tidak bertanya-tanya lagi. Untuk orang dewasa, film ini seperti mimpi yang ngaco – yang hanya terjadi dan lantas dilupakan karena memang tidak banyak hal menarik yang patut diingat. Semuanya serba tanggung. Bagi anak-anak, ada kesenangan dan ketakjuban melihat visual yang cantik, ada petualangan yang hadir dari makhluk-makhluk dengan desain cukup menyeramkan tersebut. Ada pesan yang bisa mereka bawa pulang. Mereka akan menikmati ini sampai twist tentang perang itu muncul mengubah tone film keseluruhan. Semanis-manis kata yang bisa kita ucapkan untuk film ini, bahwa ia adalah kekecewaan yang adorable, berkat Mackenzie Foy.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa makna teman bagi kalian? Mengapa kalian mau berteman dengan teman-teman kalian yang sekarang? Bagaimana kalian tanpa mereka?

Menurut kalian, bagaimana cara Ibu Clara menciptakan keempat realm tersebut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017