CALON BINI Review

“Freedom is the ability to choose”

 

 

Begitu lulus SMA, Ningsih yang gadis desa langsung disuruh nikah. Sama bujang anak kepala desa yang kaya dan terhormat. Ningsih lebih memilih mengejar mimpinya ke kota. Di Jakarta ia bekerja sebagai asisten rumah tangga, dan coba tebak – di sana ia juga dijodohin nikah oleh nenek majikannya sama sang cucu yang tentunya juga kaya raya. Siapa yang dipilih Ningsih? Apakah semua masalah kehidupan Ningsih terselamatkan berkat cowok kaya yang jatuh cinta padanya? Seorang cewek yang mengerjakan tugas rumahan, masak, membersihkan lantai, yang dikekang mimpinya, kemudian muncullah seorang pria, dan kita mendapatkan pernikahan sempurna. Ujung-ujungnya tetap jadi bini. Sepertinya memang cerita yang familiar. Drama komedi garapan Asep Kusnidar ini cocok sekali mengenakan sepatu kaca Cinderella. Bahkan, actually, sepatu juga memegang peranan penting dalam Calon Bini, meskipun memang bukan terbuat dari kaca, melainkan ‘bersayap’. Dan hal tersebut bukanlah hal yang buruk.

Cinderella dari Bantul

 

Selama ini, Cinderella (1950) menuai cukup banyak kritikan. Dikatain anti-feminisme karena dari luar ceritanya seperti tentang  cewek pasif, cewek lemah yang pada akhirnya diselamatkan oleh kekayaan. Calon Bini dan Ningsihnya dari luar juga seperti demikian. Aku agak telat, sih, menonton film ini. Aku sudah banyak mendengar pujian terhadap film ini pada umumnya datang dari penampilan akting yang benar-benar total; dari penggunaan bahasa Jawa yang benar-benar ada usaha untuk terlihat meyakinkan sehingga memperkuat nilai budayanya. Aku setuju sama pujian itu. Michelle Ziudith luar biasa natural sebagai Ningsih, medhoknya tak kedengeran dibuat-buat. Para aktor senior juga memberikan banyak bobot dan nilai plus untuk penampilan film ini. Mungkin para aktor senior seperti Niniek L. Karim, Slamet Raharjo, Butet Kertaradjasa, Cut Mini, mereka sudah dapat melihat kedalaman dan tidak menganggap remeh cerita ini. Yang aku tidak setuju adalah sama banyaknya pendapat yang menyebut Ningsih hampir senada dengan yang disebutkan orang terhadap Cinderella. Karena baik Cinderella maupun Ningsih bukan sekedar tokoh cantik yang beruntung. Sebab kedua cerita ini sebenarnya adalah cerita tentang wanita yang kuat. Inilah yang luput dilihat sebagian besar orang; Lupa melihat konteks hidup Ningsih, dan Cinderella.

Cinderella malah ‘dipersalahkan’, dicemooh karena tidak melakukan apa-apa terhadap situasinya; dia tetap kerja mesti ibu tirinya jahat. Padahal sebenarnya Cinderella melawan, dia tidak kabur dari masalah, lebih memilih kebaikan dan sifat optimis sebagai senjata terhadap kondisi yang sulit, dia menggunakan imajinasi dan kreativitas untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Dan perlu diingat, Cinderella hidup di tahun 1950 di mana wanita belum sepantasnya bekerja, atau hidup sendiri. Inilah hal ‘kuno’ yang terdapat pada Cinderella – bagaimana dia diposisikan sebagai korban, dan dia berjuang atasnya. Calon Bini, buatku, tampak seperti  menjawab kritikan terhadap Cinderella – bukan serta merta meniru cerita impiannya. Film bekerja sesuai zaman ia dilahirkan. Kita lihat Ningsih yang wanita modern tahu ia punya pilihan. Maka ia kabur dari kampungnya, dia pergi ke Jakarta. Bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk melawan opresi berupa paksaan kawin. Dia diantar ayah dan ibunya, tidak pergi diam-diam. Ningsih menawarkan solusi terhadap kemiskinan keluarga. Dia ingin bekerja, wants to be able to provide for herself sehingga gak nyusahin keluarga. Daripada disuruh kawin demi kemakmuran semu keluarga besar di kampung yang menekan dia dengan aturan-aturan sosial beserta segala keterbatasan yang datang bersamanya. Ningsih juga punya imajinasi dan kreativitas. Kita melihat bukti hal ini dari gimana filosofisnya dia mencari nama untuk akun sosial media yang ia gunakan. Sayap yang tadi sempat kusinggung adalah simbol imajinasi yang muncul dari dunia yang menghargai dirinya. Ningsih ini postif dalam melihat apapun, bahkan melihat kesepian dan kematian. Inilah yang membuat dirinya serta merta diterima oleh Oma. Tokoh Oma, sama halnya dengan tokoh Ibu Peri dalam Cinderella, adalah amplifikasi dari sifat-sifat positif dan kekuatan yang dimiliki oleh Ningsih, yang pada akhirnya memberikan tokoh utama kita ini kesempatan untuk menggapai impian.

Setelah nonton ini, aku tak bisa melihat ini sebagai cerita ftv tentang cewek miskin yang diselamatkan oleh cowok kaya. Calon Bini berjuang untuk mengangkat derajat ceritanya, dia ingin membuat kita semua dapat melihat lebih jauh di balik apa yang kita lihat.  Alih-alih seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, film membuat Ningsih dan Satria saling terkoneksi lewat hubungan emosional sedari awal, sedari saat mereka belum tahu lawan berbalas-komen mereka itu kaya atau miskin. Film memainkan aspek chat dan emotional intimacy dengan lebih baik dan lebih ngefek daripada yang dilakukan oleh The Way I Love You (2019) . Catatan kecil; menurutku lucu juga Rizky Nazar memainkan dua tokoh lawan chat yang simpatik namun misterius dalam waktu tayang yang berdekatan haha. Anyway, aspek modern dimanfaatkan benar supaya tak lagi ada celah orang salah membaca film ini, seperti orang misreading film Cinderella. Chat-chat Ningsih bukanlah mimpi-mimpi siang bolong pasif. Terkait ini, perhatikan gimana film dengan gamblang membuat perbandingan antara Ningsih dengan rekan kerjanya, Marni, yang literally hobi tidur siang. Malah ada satu adegan Marni lagi di dunia mimpi tatkala Ningsih menyuarakan impian tepat di atasnya. Semua yang dilakukan Ningsih di internet adalah penampakan dari kekuatan, harapan, dan keberanian yang ada di dalam dirinya.

Ningsih independen. Dia menemukan kesenangan dalam dunia imajinasi, atau katakanlah dunia maya. Foto-foto dengan caption puitis yang ia pos menyuarakan kekuatan, harapan dan impiannya. Hal-hal yang merupakan traits yang paling dihargai dalam femininitas. Tidak banyak orang yang bisa sekuat Ningsih, cewek maupun cowok, yang lebih memilih mengejar impian ketimbang uang di depan mata. Semua ini adalah tentang kebebasan, kemandirian, untuk memilih apa yang terbaik untuk dirinya sendiri sebagai perwujudan dari wanita yang kuat.

 

 

Istilah ‘kisah Cinderella’ seringkali dipakai untuk menggambarkan situasi ketika pihak yang tak dikenal, tak diunggulkan, mendapat kemenangan besar di luar ekspektasi semua orang. Namun sebenarnya cinderella-cinderella dalam cerita tersebut berhasil mewujudkan mimpi mereka bukan tanpa perjuangan dan kerja keras. Ningsih dalam Calon Bini, sederhananya menuai hadiah atas kerja keras, kesederhanaan, dan ketabahan mengejar mimpi yang dilepehkan oleh banyak pihak. I mean, dia kabur dari potensi hidup enak di kampung! Perihal ‘pangeran’nya kaya dan tampan itu bonus untuk sikap baik yang ia miliki. Naskah turut mengerahkan usaha untuk keluarga Ningsih melihat di luar faktor uang. Makanya melihat ada drama usir-usiran yang juga nyambung dengan mulus dengan komedi yang datang sebelumnya. Film menunjukkan compassion Ningsih dari bagaimana dia tekun bekerja dan peduli sama keluarga di tempat ia bekerja, dia melakukan tugasnya dengan baik, penuh perhatian. Sekali lagi film membandingkan Ningsih dengan Marni yang ngasih gula kebanyakan. Cinta Ningsih adalah geunine. Sapto adalah perwujudan dari antagonis baginya, sebuah opresi di mana hanya ingin memiliki tanpa cinta. untuk Sapto ini aku agak kasihan juga sih, tapi dia juga benar-benar kocak – like, aku bisa maklum dia nyiumin foto, tapi dia nempelin foto wajah itu di badan Ramboo benar-benar gila ngakak buatku. Ningsih, sebaliknya, tak sekalipun ngajak cowok teman onlinenya untuk ketemuan, atau bahkan jadian. Dia sudah cinta hanya dengan mengobrol saja.

juga menakjubkan jumlah orang cadel dalam satu film ini hhaha

 

Namun, memang masih banyak elemen yang di-shoehorn masuk ke dalam cerita. Yang meminta kita untuk angguk-angguk saja tanpa memikirkannya lebih lanjut hanya karena cerita pengen seperti begitu. Seperti misalnya kenapa Ningsih bisa kebetulan banget kerja untuk keluarga Oma. Ataupun kenapa Oma yang jelas-jelas ngerti cara media sosial bekerja – dia membuat akun palsu di aplikasi cari jodoh, dia punya grup chat dengan teman-temannya yang tinggal seberapa – tidak ngobrol online saja dengan cucunya yang ia sebut teman baik. Pada lapisan luar, juga tidak begitu banyak yang dilakukan oleh Ningsih; kejadian dan kelakuan orang-orang di sekitarnyalah yang justru membuat maju cerita. Ningsih masih bereaksi ketimbang beraksi. Menurutku naskah dan tokohnya bisa ditulis lebih baik lagi. Ningsih diceritakan punya mimpi, tapi kita tidak pernah diperlihatkan apa yang sebenarnya ia kejar, apa cita-citanya sebagai wanita. Buatku cerita ini kurang memuaskan karena di akhir Ningsih malah jadi ngikut calon suami. Dan terutama, hilangkan saja elemen-elemen yang seolah gak pede untuk cerita tampil tanpa twist. Karena bukanlah twist lagi sedari awal. Kita tahu. Pengungkapan yang dilakukan oleh film hanya bekerja buat Ningsih seorang. Di poin tersebut kita tidak lagi satu sepatu dengannya, kita tidak bergerak bersamanya karena kita sudah tahu duluan.

 

 

 

 

Kitalah yang dangkal melihat Cinderella sekadar cerita tentang ukuran kaki. Kitalah yang luput melihat Calon Bini hanya seperti FTV yang ditayangin di layar lebar. Karena seperti yang diperlihatkan oleh Ningsih, it’s what’s inside that matter. Pun menurutku, di samping komedi yang mengena karena dibawakan dengan baik, film ini benar mencerminkan masa kita, dia tak lupa budaya, dia juga memperlihatkan aspek-aspek yang tak bisa dimiliki oleh kisah Cinderella. Pendekatan ceritanya moderen meskipun kita masih dapat melihat hidup yang masih tradisional dan simpel untuk orang-orang berpikiran sempit. Dan ya, kupikir kita masih butuh satu cerita Cinderella lagi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for CALON BINI

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian Ningsih adalah wanita yang kuat? Atau malah lemah? Seberapa penting cerita Cinderella buat para wanita, benarkah ia masih diperlukan di masa kini? Mengingat Ningsih yang pada akhirnya jadi ngikut aja, apakah kemandirian nyatanya adalah hal yang masih menakutkan untuk wanita?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

Elimination Chamber 2019 Review

 

Kesempatan biasanya digambarkan terletak di luar sangkar. Simbolisasinya adalah dengan bebas dari sangkar, kita bisa terbang mengejar berbagai kemungkinan; kesempatan tak-terhingga akan terbuka bagi kita, akan dapat kita cari, jika kita sudah terbebas dari kurungan. Elimination Chamber 2019 adalah anti- dari hal tersebut. Kerangkengnya boleh jadi didesain untuk menciptakan rasa sakit tatkala tubuh terhempas ke dinding rantai atau kaca tebalnya. Namun acara ini sejatinya didesain untuk menunjukkan kepada kita perjuangan orang-orang mencari kesempatan, menggenggam dan memanfaatkannya, selagi mereka masih terkurung di dalam kerangkeng penyiksa tersebut. Orang-orang yang melawan siksa dan derita mereka demi kesempatan hidup yang lebih baik.

Kebebasan itu tidak ditunggu. Kesempatan itu tidak datang sendiri. Kitalah yang harusnya terus berjuang membuka pintu kesempatan dalam ruang kungkungan personal kita masing-masing sebelum akhirnya mendobrak gerbang pembatas menyongsong kesuksesan.

 

Dulu sekali pernah ada kejuaraan tag team untuk pegulat wanita, tercatat ada setidaknya delapan superstar yang pernah menyandangnya, tetapi kejuaraan ini lantas ditinggalkan begitu saja oleh WWF. Karena situasi dan arahan produknya. Februari tanggal empat-belas tahun 1989 kejuaraan tersebut dinonaktifkan. Tiga puluh tahun kemudian, dengan semangat dan gerakan revolusi di dunia yang baru ini, WWE menciptakan kembali kesempatan untuk superstar-superstar cewek berkompetisi dalam semangat tim. Dan kita mendapatkan salah satu partai elimination chamber terbaik yang pernah ada.

Kita bisa melihat kedelapan superstar cewek yang beruntung untuk terpilih terlibat dalam pertandingan bersejarah tersebut merasa begitu terhormat sehingga mereka bermain dengan penuh respek, spot-spot yang sloppy suprisingly sangat minimal dalam partai pembuka ini. Semua yang terlibat berada dalam kondisi prima; ya superstarnya, penulisan atau bookingnya, ya arahan aksinya. Masing-masing tim dapat kesempatan bersinar. Ada sekuen keren di mana mereka bergantian menyerang dengan jurus pamungkas, yang dimainkan dengan begitu baik. Sekuen kayak gini sebenarnya cukup sering dipake dalam match ramean, tapi biasanya banyak botch tapi tidak untuk kali ini.  Sekuen semacam ini susah untuk dieksekusi karena harus memperhitungkan timing, kurang lebih ekivalen sama long take (shot yang gak di-cut) dalam film.

Aku nonton WWE kayak aku nonton film. Aku akan memperhatikan penulisan cerita, simbolisasi, keparalelan gerakan dengan emosi dan psikologi yang berusaha diceritakan. Satu hal menarik yang terperhatikan olehku adalah enam tim dalam pertandingan ini seperti melambangkan genre; komposisi match tag team cewek tersebut adalah tiga tim aksi, satu tim horor, serta 1 tim drama. Dan kayak di Oscar, genre drama selalu jadi peringkat pertama. Ngelihat tim Nia dan Tamina (usulan nama: Tim Tamia hihihi) dikeroyok ngingetin aku ke film horor Hereditary (2018) yang dibantai oleh awards musim ini. Tapi di sini, aku enjoy melihatnya. Ada spot bikin takjub Nia Jax lari gitu aja menerobos kaca chamber, wuihh!

Billie Kay dan Peyton Royce kayak kakak senior cewek pas ospek: Cakep. Berisik. Galak. Pedes.

 

Film yang baik selalu adalah film yang punya pertumbuhan karakter, kejadian yang ia alami selalu ‘balik’ mengingatkan dia – dan juga kita – akan masa lalu yang menjadi titik balik konfliknya. Elimination chamber cewek ini punya semua itu. Pertandingan dimulai dan diakhiri oleh empat superstar yang tahun lalu juga ‘bermain’ dalam environment kandang ini. It all comes back to us soal gimana ini adalah tentang Sasha Banks dan Bayley yang tahun lalu berantem sedangkan sekarang mereka satu tim. Cerita membangun pentingnya kerja sama tim; kita diperlihatkan tim Iconic sukses mengeliminasi tim Fabulous Glow dengan ngepin berdua – menunjukkan chemistry yang dibangun sejak lama lebih kuat dari hubungan yang baru dimulai. Kemudian cerita berlanjut dengan menunjukkan betapa bahayanya jika satu tim terpisah lewat Tamina yang perkasa harus kalah ketika Nia Jax tak sadarkan diri. Semua kejadian ini secara tak-sadar nempel di kita. Jadi ketika kemudian kita melihat Sasha yang berusaha menolong Bayley manjat chamber (throwback dari kejadian tahun lalu di mana dia ngeScarMufasain Bayley di atas kandang) – Sasha yang mulai mengerti pentingnya tim, dia memberikan kesempatan untuk Bayley menjadi timnya – harus bertempur sendirian ketika Bayley terluka, kita bisa merasakan intensitas yang besar, dan ketika Sasha berhasil menang rasanya high banget meskipun kita mungkin udah jenuh sama tim Sasha dan Bayley. Pertandingan ini menawarkan drama roller-coaster yang merayap diam-diam lewat setiap adegan/spot yang dieksekui dengan amat baik. Drama persahabatan yang dibangun dalam jangka satu tahun. Aku suka ketika WWE memperhatikan pertumbuhan karakter seperti begini, yang sebaliknya juga menurutku sering luput oleh kita semua.

Susunan partai pun biasanya dibuat oleh WWE mengikuti alur naik-turun dalam penulisan struktur film. Fase ‘kekalahan’ ditampilkan mereka lewat cerita Miz. Kita melihat Miz gagal mengkapitalisasi kesempatan di depan mata istri dan rekannya. Kemudian keseruan kita dibawa naik kembali oleh match Finn Balor. Cerita Balor adalah soal gimana dia disebut tidak bisa memanfaatkan kesempatan – dia pernah terpaksa menggugurkan kejuaraan yang ia dapatkan susah payah karena cedera, dia kalah dengan sukses setelah dikasih kesempatan merebut kembali kejuaraannya. Tantangan yang harus ia jawab sekarang adalah bisakah Balor memanfaatkan kesempatan menjadi juara Intercontinental yang sudah dibuat untuk menguntungkan dirinya. Match ini jika disamakan dengan film berfungsi sebagai penghantar kita ke sekuens ‘romantis’. Karena setelah ini, kita akan melihat kemunculan Becky Lynch, tokoh utama dari cerita utama WWE dalam musim Wrestlemania kali ini.

Aku suka-suka aja dengan cerita Becky, tapi arahannya memang agak aneh. WWE membuat dua superstar Smackdown mengejar sabuk Raw. Dengan efektif sekali membuat juara cewek Smackdown seperti tidak berharga. Dalam acara ini, ternyata bukan cuma Asuka yang direndahkan, melainkan juga Ruby Riott. Dan tak pelak mungkin saja keseluruhan superstar cewek di RAW selain yang memegang sabuk. Arahan cerita dipilih oleh WWE ini terbukti merugikan banyak aspek. Bahkan Ronda Rousey si juara yang diperebutkan pun malah jadi kayak berdiri aja di sana – tegak manis dengan kostum Sonya Blade game Mortal Kombat – alih-alih ‘ribut’ dengan Lynch.  Satu-satunya aku bisa setuju dengan angle Vince memasukkan Charlotte ke dalam feud Lynch-Rousey adalah jika nanti pada akhirnya kita akan mendapati Lynch sebagai Stone Cold Steve Austin versi cewek.

Sekuens ‘Taktik Baru’ datang lewat pertandingan Braun Strowman. Di partai ini WWE berusaha mengambil sudut baru dari feud Strowman dengan Corbin yang hampir selalu berakhir dengan cara yang sama. Di sini kita melihat sesuatu yang lumayan baru terjadi kepada Strowman. Dan ini membuat ketertarikan kita tetap relatif di atas. Sejauh ini, memang belum lagi ada partai yang bercerita dan beraksi sekuat dan seseimbang selain partai pembuka yakni Elimination chamber tagteam cewek tadi. Akan tetapi semua partai tersebut dibuat ada ‘mainan’nya. Gak ada yang terasa ‘normal’. Berkat bookingan, acara ini jadi punya pace yang lebih baik dari kebanyakan acara WWE yang biasa kita saksikan. Kemunculan aneh dari Lacey Evans pun tak berarti banyak untuk menjatohkan suasana, dan ini dapat kita artikan sebagai sekuens ‘Resolusi Palsu’ lantaran Evans datang seolah dia bakal bertarung.

Terakhir kali WWE Championship diberikan kehormatan untuk menutup acara adalah sebelas bulan yang lalu, tepatnya pada acara Fastlane 2018. Ini, dan fakta bahwa kejuaraan cewek Smackdown gak kebagian nampil, menunjukkan bahwa meskipun masing-masing brand punya sabuk tertinggi tetep saja kasta Raw lebih ditinggikan. Padahal kita tahu Smackdown selalu punya superstar yang lebih jago dalam urusan aksi di dalam ring, hanya saja WWE seringkali bingung mau ngapain terhadap mereka. Elimination Chamber untuk kejuaraan WWE yang dibuat ramah-lingkungan oleh juara The New Daniel Bryan ini seperti tersusun atas tiga action, satu horor, satu twist (RKO outtanowhere!!)

dan satu kartun anak-anak 80an

 

Alur pertandingannya sendiri gak begitu membekas kayak chop Samoa Joe yang meninggalkan jejak merah di dada Bryan. Terlihat seperti random saja berjalan hingga menjelang akhir saat Kofi Kingston mulai mendapat sorotan. It’s nice to see Kingston finally got a big push. Sebelas tahun loh dia di WWE, dan untuk match ini ‘sejarah’ Kingston benar-benar dipake untuk membangun karakternya. WWE ingin mengubahnya dia menjadi ‘drama’. Secara teori, bekerja dengan amat baik. Hanya saja, I never buy it. Karena aku tahu Kingston ada di sana untuk menggantikan Mustafa Ali yang cedera hanya beberapa hari sebelum acara ini berlangsung. Drama Kingston yang berusaha menggapai kesempatan yang akhirnya datang lagi ini sebenarnya adalah drama untuk Ali seorang underdog yang berusaha memanfaatkan kesempatan untuk menembuskan diri ke puncak. Tentu, Kingston pantas sekali mendapatkan semua itu, namun tak sekalipun aku bisa percaya Kingston bakal menang – despite the last minutes yang dramatis tersebut. Yang menakjubkan sebenarnya di sini adalah kemampuan WWE untuk menggiring opini dan reaksi kita. Mereka ingin kita percaya ini sudah waktunya bagi Kingston, dan mereka konsisten membangun ini, sehingga banyak dari kita termakan pancingannya. Sehingga konten yang kita saksikan di akhir itu tetap tampak keren dan terasa menggugah meskipun kita sudah punya pemahaman terhadap konteks yang dibuat oleh WWE.

 

 

 

Bakal lain ceritanya kalo Ali yang mati-matian berjuang di sana. Bahkan lain ceritanya kalo Kingston sudah terpilih untuk ikut sedari awal. Tapi tetap saja, menakjubkan gimana WWE mengubah ‘perubahan di detik terakhir’ menjadi drama yang mencapai ketinggian sepert yang kita saksikan. Berhasil membuat penonton menitikkann air mata meskipun dalam hati kita tahu Kingston gak bakal menang. Dari segi pertandingan yang bakal paling diingat, The Palace of Wisdom turut menobatkan Elimination Chamber for WWE Championship sebagai Match of the Night, meskipun real craft pada malam itu, Pertandingan Terbaik Malam Itu yang sebenarnya adalah Elimination Chamber for Women’s Tag Team Championship. Salah satu kandidat acara terbaik WWE karena practically kita dapet dua MATCH OF THE NIGHT.

 

 

 

 

Full Results:
1. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER Sasha Banks dan Bayley menang setelah mengeliminasi Sonya DeVille dan Mandy Rose di final-two.
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos merebut sabuk dari The Miz dan Shane McMahon.
3. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP HANDICAP ONE-ON-TWO Finn Balor jadi juara baru ngalahin Lio Rush dan Bobby Lashley.
4. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Ronda Rousey cepet banget ngalahin Ruby Riott.
5. NO-DQ Baron Corbin dan teman-teman mengeroyok Braun Strowman.
6. WWE CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER juara bertahan The New Daniel Bryan tetep juara setelah ngeleminasi Kofi Kingston di final-two.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

HAPPY DEATH DAY 2U Review

“To the world you may be one person; but to one person you may be the world.”

 

 

 

Yang aku inginkan adalah terbangun dalam keadaan sehat wal’afiat. Bahwa hari ini akan baik-baik saja. Aku tidak akan tewas dengan sukses dalam perjalanan ke bioskop demi menonton sekuel dari Happy Death Day (2017) yang seru dan kocak dulu. Semua orang pastinya pengen harinya berjalan mulus, tetapi hidup tidak pernah segampang itu. Toh, aku bersyukur juga, lantaran Happy Death Day 2U ini enggak benar-benar memberikanku masa yang sulit.

Menyambung langsung satu hari setelah kejadian di film pertama, kita melihat Ryan (tokoh minor dari film tersebut) mengalami kejadian loop yang persis sama seperti yang dialami oleh Tree (protagonis cewek paling feisty yang kita saksikan dalam horor baru-baru ini). Ryan bahkan mati juga dibunuh sama orang misterius yang mengenakan hoodie dan topeng bayi maskot kampus mereka. Maka Ryan yang lebih pinter dari kelihatannya itu berkonsul dengan Tree. Mereka bekerja sama menangkap si pembunuh, Tree menemukan kejutan dan kenyataan bahwa kejadian loop tersebut disebabkan oleh alat ciptaan Ryan. Dan bahwasanya teori multiverse itu benar adanya. Eventually, dalam usaha membereskan kekeliruan dan menutup loop, Ryan gak sengaja ‘mengirim’ Tree ke dunia paralel. Di mana Tree mendapat diri terbangun dalam kejadian film pertama, hanya saja di dunia tersebut keadaan sedikit berbeda. Ibu Tree masih hidup; itu perbedaan baiknya, yang bikin Tree girang dan betah di sana. Buruknya – si pembunuh bertopeng bayi yang dulu sudah ia kalahkan juga masih hidup dan masih berniat membunuh, tentu saja. Tree kembali terjebak dalam lingkaran kematian di hari ulangtahunnya!

Reaktor Kuantum Sisyphus, as in Raja Sisyphus yang dihukum mendorong naik batu raksasa ke atas bukit

 

Tadinya aku langsung pengen cemberut, tapi gak jadi. Film membuka diri dengan sudut pandang tokoh Ryan, yang kupikir adalah langkah yang berani sebab jarang ada genre horor yang tokoh utamanya seorang minoritas. Kupikir film ini akan membahas tentang gimana ia menyingkapi proyek sains berbahaya yang ia lakukan. Namun meskipun memang film ini bakal mengarah ke sci-fi dengan teori multiverse dan alat kuantum dan persamaan fisika segala macem (membuatnya lebih mirip Back to the Future 2 ketimbang Groundhog Day), status tokoh utama itu seperti dikembalikan lagi kepada Tree. Ini ternyata masih cerita Tree. Ini masih kekurangrapihan dalam penulisan skenario menurutku, tapi aku seratus persen bisa memaklumi kenapa mereka kembali melempar Jessica Rothe ke dalam cerita. Karena aktris inilah yang jadi kekuatan utama. Dia begitu kocak di film pertama, dialah alasan kenapa penonton meminta adanya sekuel; kita masih ingin dihibur oleh tingkah berani dan nekat Tree yang ia mainkan dengan begitu alami.

Energi dan kharisma ‘kegilaan’ Rothe sebagai Tree dilipatgandakan oleh sutradara Christopher Landon yang meningkatkan dosis komedi dalam ceritanya. Kita akan terbahak ngeliat reaksi Tree begitu sadar dirinya terjebak lagi. Kita akan guling-guling oleh montase-montase berlatar lagu pop seputar Tree melakukan berbagai aksi bunuh diri karena enggak sudi mati dibunuh pada setiap penghujung hari. Film ini juga tidak melupakan sisi emosional, yang datang dari dilema yang harus dihadapi oleh Tree. Elemen multiverse digunakan untuk menambah bobot pada karakter Tree, membuat dirinya semakin menarik lagi; karena di dunianya sekarang semua hal baru bagi dirinya. Dia punya pilihan yang tak ia miliki sebelumnya. Ultimately dia harus memilih antara dua orang yang ia sayangi. Jarang loh horor komedi punya lapisan cerita emosional seperti ini.

kini kalian tahu kenapa aku mengutip lirik Paramore di paragraf pembuka

 

Bagi dunia kita hanya seorang. Atau mungkin enam, jika menganut teori multiverse film ini. Tapi berapa banyak itu, mau tak-hingga sekalipun, sesungguhnya tak jadi soal karena ‘dunia’ kita terbangun atas kecintaan terhadap satu orang yang begitu spesial. Pilihan yang ditawarkan setiap hari kepada kita memang beragam, selalu ada kesempatan untuk memiliki kembali apa yang sudah hilang dari kita. Tapi seperti halnya Tree, yang harus kita ingat adalah, jangan sampai kita kehilangan ‘dunia’ yang masih kita punya hanya demi mengejar kembali ‘dunia’ yang telah hilang.

 

 

Porsi komedi dan drama benar-benar digadang sehingga elemen horornya sudah seperti beda dunia dengan dua elemen pertama tadi. Tidak banyak kengerian, tidak banyak bunuh-bunuhan yang kita saksikan. Setiap momen konfrontasi dengan si pembunuh pun tidak ada yang memorable lantaran dieksekusi dengan begitu standar. Tidak ada peningkatan dalam cara film ini membangun keseraman. Formulanya itu-itu melulu; selalu berjalan pelan ke tempat yang dicurigai, kemudian ternyata enggak ada siapa-siapa, dan si pembunuh muncul dari tempat lain. Kengeriannya hanya dibangun dari musik, sementara adegannya ya gitu-gitu aja. Konfrontasi final yang kita nanti-nanti setelah sekuens yang begitu panjang yang terdiri dari banyak adegan perpisahan juga gagal menorehkan efek yang membekas. Terutama buatku adalah karena motif si pembunuh di dunia paralel ini berbeda dari yang Tree kira. Pembunuhnya juga beda. Aku gak bakal nyebutin di sini, tapi setelah mengetahui motifnya, aku merasa aneh aja. I mean, Tree bisa aja lanjutin hidup di sana karena gak ada yang bunuh dia, dia bisa banget lanjutin dengan milih ngeloop sekali saja khusus untuk nyelametin satu temennya sekaligus nangkep tuh pembunuh, dia lalu gak usah bunuh diri biar bisa keluar dari loop (since loopnya aktif hanya kalo dia mati) dan nerusin hidup dengan Ibu sambil menumbuhkan cinta dengan cowok yang ia sukai. Solusi win-win kan?

Memang, kalo dia gak melakukan hal tersebut, film gak jalan – dia gak belajar. Tapi kemungkinan dia melakukan itu toh tetap ada. Dan film tidak bisa menjelaskan kenapa Tree tidak memilih itu saja. Kita hanya diminta untuk setuju dengan apa yang ditawarkan film, kita diminta percaya. Banyak adegan di film ini yang meminta kita melakukan hal tersebut. Seperti gimana bisa Tree membuat empat temannya percaya dia jenius yang tahu rumus kuantum yang benar sehingga mereka rela mempertaruhkan kena DO dari kampus, padahal kita tahu empat orang tersebut otomatis tidak punya ingatan apa-apa lagi mengenai apa yang mereka lakukan setiap kali loop terjadi. Memperlihatkan adegan Tree menjelaskan kepada mereka memang akan membuat film menjadi repetitif, namun semakin ke sini aku semakin sulit percaya Tree bisa melakukan dan tidak ada ‘perlawanan’. Kita diminta untuk percaya mereka melakukannya karena ‘takut’ dengan Tree yang mean girl.

Kita diminta untuk tidak bertanya apa yang terjadi pada Ryan yang datang dari dunia yang lain; kenapa bisa ada dua Ryan di dunia yang sama, namun ketika Tree nyebrang ke dunia yang lain kita tidak melihat ada dua Tree di sana. Apa yang terjadi kepada Tree B di dunia yang didatangi oleh Tree A? Convenient sekali dia tidak ada. Padahal jika ada enam dunia, bukankah mestinya ada enam Tree, ada enam SISY, ada enam Ryan, ada enam loop? Tidak mungkin Tree B sudah meninggal karena teman-temannya tidak heran melihat Tree A. Kompleksnya kejadian di film ini membingungkan karena cerita film ini menawarkan jawaban kenapa bisa terjadi loop in the first place. Kita mendapat cerita yang berbau sci-fi, namun jawaban itu sendiri tidak dibuat dengan matang. Film hanya ingin punya ‘alasan’ tanpa benar-benar detil membangunnya. Middle-credit scenenya mengisyaratkan seolah bakal ada sekuel, meng-tease seputar mencari kelinci percobaan untuk uji coba loop, dengan kocak Tree mengajukan satu tokoh yang lantas membuatku heran gimana caranya menargetkan loop kepada satu orang – bukannya Tree dan Ryan kena loop secara random?

 

 

 

 

Menurutku itulah kesalahan terbesar dalam film ini. Menjadikannya sebagai usaha untuk menjelaskan sesuatu yang tidak pernah ditanyakan ‘kenapa’. Film pertama bekerja efektif dengan keambiguannya. Tidak diperlukan penjelasan. Namun jika ingin menjelaskan, maka lakukanlah dengan sebenar-benar jelas. Film kedua ini punya landasan sains untuk memasukakalkan semua kejadian, hanya saja landasan tersebut dibangun dengan lemah sehingga justru jadi menimbulkan banyak pertanyaan lain. Pada akhirnya film menyuruh kita untuk menelan bulat-bulat pertanyaan tersebut. Kita disuruh untuk ikut saja, percaya saja, pada kejadian yang mereka susunkan sebagai alur cerita, tidak usah memikirkan alternatif lain. Ironis sebenarnya untuk sebuah cerita tentang multiverse dan pilihan manusia yang begitu beragam. Di samping semua itu, film ini masih mempertahankan pesona yang membuat film pertamanya disukai dan aspek yang membuat dirinya ada; selera humor dan penampilan Jessica Rothe. Makanya film ini bakal bekerja paling baik jika ditonton maraton langsung setelah film pertamanya.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for HAPPY DEATH DAY 2U.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Punyakah kalian ‘dunia sempurna’ yang sering kalian bayangkan sehubungan dengan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan? Maukah kalian menukar apa yang saat ini dimiliki dengan kesempatan untuk tinggal di ‘dunia sempurna’ tersebut? Dan bicara tentang multiverse, kira-kira bisakah kalian menang melawan diri kalian dari dunia yang lain?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

THE LEGO MOVIE 2: THE SECOND PART Review

“When did my life stop being fun?”

 

 

 

Adek itu niruin kamu. Kalimat tersebut sering banget aku dengar, saat masih kecil, ketika aku berantem sama adek cewekku yang meminta mainan apapun yang aku pegang. Tapi aku kesal, maka aku berantakin boneka-bonekanya. Eh, adek yang jaraknya denganku empat-tahun itu malah kesenangan, dikiranya itu bagian dari permainan; dia lempar-lempar juga robot-robotku yang bisa berubah bentuk. Dari yang tadinya dari robot bisa berubah menjadi mobil, sekarang robot tersebut berubah menjadi tidak bisa berubah sama sekali. Semakin dia gede, adekku semakin semangat ngikutin apa-apa yang aku mainin. Dia ngotot ikut main power rangers-power rangersan, padahal kami sudah ada enam orang; Dia maksa jadi ranger oren. Ngarang banget! Main video game pun dia ngikut, padahal mainnya tuh gim fighting atau gim balap CTR. Kalo kalah dia maksa tukeran stik. Masih kalah juga? dia nyiptain peraturan sendiri; dia gak boleh ditembak, dia gak boleh diserang kalo lagi ngisi tenaga (ini pas main dragon ball), dan gak boleh ditangkis kalo lagi membanting. Dan aku gak boleh pakai satu ‘karakter’ jika menurutnya ‘karakter’ yang aku pilih itu adalah pasangan dari ‘karakter’ yang ia pakai. Kalo lagi main petualangan antariksa (kami jadikan tempat tidur sebagai pesawat dan ngayalin ruangan rumah jadi planet asing yang penuh bahaya), dia ngotot untuk kebal dari serangan monster.

The Lego Movie 2 benar-benar membawaku, dan abang-abang yang punya adek, kembali ke masa-masa kecil. Ke waktu-waktu ketika kita rebutan mainan. Ketika kita adu teriak ngedebatin aturan main gak make sense yang kita ciptain sendiri. Mengingatnya sekarang, ya lucu juga. Soalnya apa yang salah sama semua itu. Kenapa kita gak mau ngalah sama anak kecil. Film ini mengatakan tidak ada cara yang salah dalam berimajinasi, dan dalam kapasitasnya sebagai alat untuk sekalian ngejual brand mainan balok, semua lapisan umur boleh untuk bersenang-senang; Tidak ada cara yang salah dalam bermain Lego.

kecuali kalo kita memakan bloknya. atau menginjaknya. ITU. SAKIT. BANGET.

 

 

Film pertama Lego yang tayang 2014 sukses memukau kita semua berkat kejutan yang disiapkan di penghujung cerita; bahwa semua yang dilalui Emmet, segala petualangan di dunia animasi seperti stop-motion (namun bukan) yang semuanya terbangun dari blok-blok Lego itu, ternyata oh ternyata merupakan ‘versi hidup’ dari sandiwara permainan Lego oleh anak kecil, Finn. Tahu dong gimana kita ngayal cerita saat main perang-perangan dengan robot, nah kejadian di film pertama itu adalah ‘khayalan’ si Finn saat dia nyusun Lego dengan ayahnya. Tapi pengungkapan ini bukan sekedar ‘sok-keren’ yang membuat cerita jadi sia-sia, melainkan diparalelkan dengan cerita utama. Bagaimana Finn membuat ayahnya melihat main Lego jadi awesome lagi, karena ayahnya begitu terpaku sama petunjuk. Lego mestinya disusun dengan kreativitas dan imajinasi sendiri, dalam film pertama ini Emmet adalah Finn yang super kreatif.

Cerita tersebut lantas dilanjutkan dalam film kedua – yang berjarak lima tahun dari akhir film pertama; adik cewek Finn diajak ikutan bermain, yang berujung porak porandanya dunia Lego karena si adik mencampur adukkan Lego dengan Duplo (permainan susun-balok yang serupa-tapi-tak-sama). Dalam dunia imajinasi yang kita kenal sebagai dunia tempat tinggal Emmet dan teman-teman makhluk Lego, kita langsung diperlihatkan dampak kedatangan balok-balok Duplo yang dimainkan oleh adeknya (mereka digambarkan sebagai alien); kota Lego berubah menjadi kota mati, wasteland. Dystopia seperti dunia Mad Max. ‘Twist’ dalam film kedua ini dihadirkan langsung di awal; bukan lagi Emmet yang paralel dengan Finn – si empunya dunia, si Tuhan bagi semesta Lego. Melainkan Lucy, tokoh pendukung di film pertama, cewek yang beraksi lebih banyak meski yang dianggap pahlawan adalah Emmet. Berperan juga untuk menaikkan nilai femininitas (rendahnya nilai tersebut jadi kritikan utama untuk film Lego pertama yang mendulang sukses secara finansial), Lucy alias Wyldstyle dijadikan tokoh utama.

Lucy ingin Emmet yang selalu ceria (“Hufflepuff banget!”) beradaptasi dengan kekerasan dunia mereka yang kini tak lagi ‘awesome’. Hidup di sana, haruslah tangguh. Mandiri. Benturan pertama terhadap keinginannya tersebut datang dari Emmet yang diam-diam membangun rumah ceria untuk mereka, bangunan warna-warni yang tentu saja menarik kembali para alien Duplo ke dunia mereka. Kali ini bukan saja merusak, tapi sekalian menculik para-para jagoan di dunia Lego, untuk dibawa ke dunia mereka di Systar System (permainan kaca yang kocak, karena ‘systar’ adalah plesetan dari ‘sister’). Lucy, Batman, Unikitty, termasuk salah satu yang kena angkut untuk menghadap Ratu Watevra Wa’Nabi yang bermaksud untuk menikahi jagoan terkuat. Lucy paralel dengan Finn yang beranjak dewasa, di mana ia mulai merasa hal-hal imut dan ceria itu norak dan memalukan, sehingga dia berusaha untuk meninggalkannya. Di lain pihak, Systar System adalah adek Finn yang membawa mainan Lego ke kamarnya, sebagai upayanya untuk bermain bersama. Dan Emmet? Tinggallah Emmet yang bertekad menyelamatkan teman-temannya, dan untuk itu ia harus berusaha mengubah dirinya menjadi pria yang kuat dan tangguh.

Apa yang harus kita lakukan ketika dunia kita tak lagi keren? Ketika masalah mulai banyak merundung. Menjadi tangguh dan enggak manja bukan berarti musti berhenti untuk bersenang-senang. Seperti pertengkaran dua kakak beradik; seharusnya ada ranah kompromi, di mana kita bisa menjadi dewasa tanpa perlu melupakan siapa diri kita; apa yang membuat kita pernah bahagia.

 

VFF – Vest Friend Forever!!

 

 

Begitu masuk ke babak kedualah, cerita terasa aneh. Tidak banyak yang dilakukan Lucy selain melihat hal-hal baru yang tadinya ia tinggalkan, hal-hal yang menurutnya harus Emmet tinggalkan juga, dan mendengar hal-hal eksposisi dan lagu-lagu. Aksi beralih ke Emmet yang bepergian sendiri ke ‘luar angkasa’ dengan rumah pesawat ciptaannya di mana dia akan bertemu dengan tokoh yang bakal mengajarkan dirinya bagaimana menjadi maskulin, tangguh, dan jantan. Emmet terasa seperti serpihan kecil diri si Finn yang masih tersisa, dan ini membuat bingung karena Finn masih memainkan dirinya sebagai Emmet, namun tokoh utama cerita ini sekaligus adalah Lucy. Sudut pandang naskah kusut di sini. Furthermore, kita akan mendapat cerita berunsur time-travel yang sebenarnya enggak benar-benar diperlukan; dan film hanya sanggup meletakkan satu pembelaan terhadap elemen ini – mereka menyebutnya secara subtil di awal-awal sehingga tidak muncul begitu saja – ini cerita dari kepala Finn, anak kecil, jadi wajar imajinasinya ke mana-mana.

Tapi tetap saja, sebagai cerita film, Lego 2 berjalan dengan tidak selancar yang semestinya mereka bisa jika sudut pandang itu tetap ada pada Lucy. Pacing cerita pun bisa menjadi lebih seimbang karena tak lagi harus berpindah antardua tokoh yang seperti berebut spotlight emosional. Aku mengerti kepentingan untuk membagi Finn menjadi dua tokoh, namun dua tokoh ini tidak dibuat benar-benar berkonfrontasi secara langsung. Bikin saja langsung Emmet yang jadi antagonis; yang harus dikembalikan menjadi ceria oleh Lucy karena kata-kata Lucy di awallah yang membuat Emmet jadi begitu. Dengan begini, time-travel yang terasa dicekokin ke dalam cerita tanpa ada pembelaan untuk menyokongnya bisa ditiadakan.

 

 

 

 

 

Dialognya antara kocak dengan konyol. Lagu-lagunya antara kocak dengan ngeselin, tapi ngeselinnya karena disengaja. Referensi budaya pop yang berlimpah, selalu adalah anugerah dan penikmat rasa. Buatku, menarik sekali menonton film ini jika diserangkaikan dengan nonton Mirai (2018) sebelumnya, karena sama-sama membahas tentang bagaimana seorang anak kecil berinteraksi dan menyingkapi adiknya; sesuatu yang kita semua pernah alami. Ada banyak momen manis dan emosional, meski memang kita harus menggalinya dalam-dalam di balik humor yang tampak lebih tinggi prioritasnya di sini. Namun naskah film ini membuat semua jadi terlalu ribet bagi filmnya sendiri. Ada pendekatan yang lebih terarah dari ini yang bisa kita pikirkan. Film sempat bicara tentang menghancurkan supaya bisa membangun yang lebih baik, well, kupikir elemen time-travel itu mestinya bisa dihancurkan dan cerita dibangun ulang untuk menjadi lebih baik.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE LEGO MOVIE 2: THE SECOND PART.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah punya adik berarti hidup kita berhenti menyenangkan? Bagaimana pendapat kalian tentang hubungan kakak-adik, kenapa sering bertengkar?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE WAY I LOVE YOU Review

“The way to love someone is to lightly run your finger over that person’s soul…”

 

 

 

Bagi remaja yang pendiem seperti Senja, curhat yang nyaman itu kalo enggak sama sepupunya, Anya, yang super rame ya sama buku jurnal. Dia bisa memuaskan uneg-uneg dengan kreatif dan tanpa perlu malu karena buku adalah pendengar yang baik. Dan remaja seperti Senja ini, yang orangtuanya sudah tidak ada, yang mulai bisa naksir ama cowok, memang butuh teman curhat yang aman. Makanya dia sempat sedih ketika buku jurnalnya hilang di bawah pengawasan Anya yang lagi pedekate sama cowok baru keren bernama Bara di sekolah mereka. Gimana Senja bisa marah sebab dia kepalang sayang ama si sepupunya tersebut, apalagi kemudian Anya membelikan Senja laptop. Kini curhatan Senja terasa mendapat respon langsung karena lewat blog dia bisa membagikan apa yang ia rasa. Senja menemukan teman bicara itu pada user-name Badboy yang setia mendengar keluh kesahnya, berbagi hati dengannya.

kurang lebih seperti Ginny Weasley membuka hati pada buku Tom Riddle

 

Secara keseluruhan memang film ini enggak melenceng jauh dari yang dijabarkan tiga pemainnya Syifa Hadju, Rizky Nazar, dan Baskara Mahendra presscon di Bandung pada saat beberapa hari yang lalu. Film ini memang benar mengajarkan kepada remaja-remaja penontonnya ada lebih dari sekedar hubungan cowok dan cewek yang dibahas ketika kita membicarakan cinta. Bahwa ada banyak bentuk cinta yang seharusnya lebih kita perhatikan di sekeliling kita.

Dalam wujud teruniknya, film ini menunjukkan, cinta itu bisa juga datang ketika kita bahkan tidak mengenal siapa yang kita rasa cintai tersebut. Cinta bisa tumbuh cukup dengan kedekatan emosi yang kita rasakan bersama. Seperti yang berbunga di hati Senja begitu ia berkomunikasi dengan Badboy yang tak ia ketahui siapa. Atau sebaliknya, cinta tak cukup hanya dengan ketemu, melihat wujud fisiknya sepanjang waktu. Seperti yang kita simak pada Bara dengan ayahnya. Bahkan saat kita bertengkar dengan seseorang, bukan berarti kita tidak mencintai mereka.

 

 

Film garapan Rudy Aryanto ini menilik cinta bukan dari segi fisik. Melainkan bentuk cinta yang biasa dikenal dengan emotional intimacy – kedekatan emosional. Kedekatan ini terbentuk ketika dua orang menjadi begitu dekat karena mereka merasakan hal yang sama, mereka jadi merasa saling mengerti, saling dukung, dan tak ragu untuk membeberkan hal-hal personal yang bahkan mungkin mereka rahasiakan terhadap diri sendiri. The Way I Love You benar-benar tepat menggambarkan gelora yang dirasakan oleh Senja ketika dia merasakan kedekatan semacam ini kepada Badboy. Film membungkus soal kedekatan emosional ini ke dalam elemen ‘dunia maya vs dunia nyata’ ketika Senja akhirnya bertemu dengan cowok yang mengaku di balik username Badboy tersebut, menjadikannya konflik ketika Senja merasa ada yang tak cocok dengan Rasya. Tapi kukira siapapun bakal langsung melihat ada yang tak beres ketika Rasya tiba-tiba nari Pulp Fiction di acara Valentine padahal musik dan dandanannya enggak merujuk ke sana hihi..

Enggak hanya seru-seruan, film juga menilik sisi yang lebih dramatis dalam lingkup keluarga. Satu yang menarik perhatianku adalah film sempat nunjukin adegan Bara dengan ayahnya bermain basket. Ini adalah kedua kalinya dalam waktu dekat aku melihat adegan ayah-anak bonding dengan bermain basket ini dalam film Indonesia – satunya lagi di Terlalu Tampan (2019). Adegan main basket ayah anak ini digunakan untuk membangun kedekatan emosional pada kedua tokoh; yang membuat aku penasaran adalah kenapa basket? Aku gak sadar apa memang basket sudah menjadi sepopuler itu di Indoneisa. Atau apakah ada filosofi di baliknya? Kalo di film luar, yang kita sering lihat adalah ayah dan putranya bonding lewat permainan lempar tangkap di mana mereka bisa punya waktu untuk mengobrol, ada koneksi yang tersimbolkan ketika bola itu berpindah tangan; emosi ayah ditangkap oleh anaknya. Atau pergi mancing seperti Bart dengan Homer. Atau ngajarin naik sepeda kalo anaknya masih kecil banget kayak Kun di Mirai (2018). Sekali, seingatku, di Barbershop: The Next Cut (2016) aku melihat Ice Cube main basket sambil nasehatin anaknya, dengan konteks anaknya mengalahkan si bapak, menunjukkan ketidaksetujuan terhadap idealismenya. Anyway, percakapan antara Bara dengan ayahnya truly menunjukkan jalinan hubungan emosional yang kuat, dan meski aku gagal melihat pentingnya harus-basket, setidaknya film membuat basket tetap ada hingga akhir cerita.

Mungkin kalian bingung kenapa aku malah begitu mempermasalahkan basket, well, itu karena saat menonton ini aku seperti melihat seorang pebasket yang udah lumayan meyakinkan namun meleset saat berusaha menembak tiga-angka. The Way I Love You punya amunisi yang cukup sebagai cerita remaja yang beneran hangat dan istimewa. Dia juga berani karena bukan adaptasi dari apa-apa. Film ini punya sesuatu untuk diceritakan, penampilannya pun udah remaja banget. Aku suka sekali gimana film menggunakan blog di era facetime-an untuk menguatkan karakter Senja dan si Badboy. Aku suka gimana film ini menangkap ‘gembira’nya punya chatting sama orang yang mengerti kita, membuat kita merasa mengenal dirinya. Aku juga suka humor ringan yang enggak kelihatan untuk melucu yang hadir sebagian besar lewat penampilan natural dari Tissa Biani yang memerankan Anya. Hanya saja bangunan ceritanya rusak karena pilihannya untuk menjadi punya twist. ‘Penyakit’ klasik film-film Indonesia yang berusaha mencari jumlah penonton.

Maaf aku enggak menyesal akan membeberkan banyak poin-poin yang dijadikan twist pada film ini karena menurutku film ini enggak perlu untuk punya twist. Maksudku, lihat saja posternya, Senja dan Bara mejeng berdua, mereka sudah terang-terangan dipajang begitu sehingga kenapa ceritanya musti nitip-nutupin kedua tokoh ini pada akhirnya akan bersama. Film ini begitu twist-minded, merasa perlu untuk menyembunyikan sesuatu, sehingga seperti sendirinya lupa ingin menceritakan apa. Sepuluh menit pertama, diperlihatkan Senja yang enggak mau pisah ama Anya, dia gak marah saat buku jurnal/diarinya dihilangkan Anya. Elemen dua tokoh ini punya pasangan itu adalah konflik untuk menguji apakah si Cewek-yang-Telah-Kehilangan-Segalanya tega mengambil kepunyaan orang yang ia sayang. Siapa sebenarnya Badboy tidak pernah menjadi persoalan utama, semestinya. Namun the way this film goes seolah Badboy itu adalah twist, padahal bagi kita yang mengerti twist yang berhasil mereka buat adalah bahwa ini adalah cerita tentang cinta antara dua sepupu yang udah kayak kakak-adik; Senja dan Anya.

gimana Rasya bisa tahu percakapan Senja dengan Badboy adalah antara dia begitu pintar menerka atau naskah yang memang lemah

 

 

Skrip film ini jadi terasa begitu-belum sempurna. Ada banyak poin-poin yang hilang tak terjelaskan. Seperti si Rasya yang enggak nongol lagi, kita tidak tahu siapa dia sebenarnya, kenapa dia suka ama Senja, atau bahkan dari mana ia datang. Dengan tujuan untuk ngasih kejutan, tentu kita mengira film ini matang memikirkan urutan kejadian yang ditampilkan, dari A ke B harus ada penggerak, setidaknya kita bisa mengandalkan film memperhitungkan hal tersebut kan? Tidak, sayangnya. Tiga-puluh menit pertama, kita mendapatkan dua adegan tabrakan, tiga adegan ‘enggak sengaja’, film ini berjalan dengan banyak kebetulan. Menakjubkan, untuk sebuah cerita tentang cinta yang menemukan jalan, apakah film tidak bisa memikirkan jalan lain untuk menyampaikan cerita dengan lebih matang dan masuk akal? Lucunya, bahkan film ini menjadi semakin meta dengan ada tokoh yang sengaja menciptakan adegan tabrakan.

Ada satu aspek yang buatku meruntuhkan bangunan cerita film ini. Katakanlah semacam plot-hole. Karena cerita film ini bakal beda jika si satu tokoh ini enggak berbuat demikian bego. Ceritanya diserahkan kepada kerelaan kita untuk menganggap tokohnya enggak bisa berpikir. Yang mana plot film ini jadi terlihat maksa karena si tokoh sama sekali enggak bego. Kalian tahu, manis banget memang melihat Bara mencoba mencari pemilik tulisan buku yang ia pungut, ia diam-diam membandingkan tulisan itu dengan tulisan cewek-cewek lain kayak Pangeran nyari pemilik sepatu kaca. Tapi toh semua usaha Bara itu tak perlu, karena di buku itu tertulis nama Senja. Dia tinggal mencari anak di sekolah mereka yang bernama Senja. Dan masa iya dia hingga babak ketiga tidak tahu tokoh si Syifa Hadju ini bernama Senja? Padahal seharinya Bara bersama-sama Anya yang ceplas-ceplos. Dia bahkan melihat buku yang ia pungut itu sebelumnya dipegang oleh Anya. Tinggal tanya Anya!! Bara juga sempat membaca tulisan Senja di majalah ketika dia berkonfrontasi dengan Senja, ia tahu cewek itu yang nulis – tidak terterakah nama penulis di majalah tersebut. Aku sempat ‘ngalah’ dengan berpikir mungkin Bara memang ditulis bego, pasif, dan begitu pemalu jadi mungkin dia sudah tahu Senja adalah yang punya buku tapi tidak mau come up, lagipula dia punya hubungan dengan cewek di blog. Namun datanglah adegan ketika Bara melihat buku catatan Senja dan langsung bisa menyimpulkan pemilik buku dan cewek di blog adalah orang yang sama. Mungkin juga, melalui tokoh Bara ini film ingin menunjukkan contoh creepy dari emotional intimacy.

 

 

 

Buatku elemen buku jurnal itu sama sekali tidak perlu karena membingungkan logika. Pencarian tulisan tangan itu maksa make sense-nya. Cukup dengan blog. Karena lebih masuk akal dan efeknya lebih kuat, lihat saja di Love, Simon (2018).  Juga gak perlu di-twist siapa Badboy, karena tanpa itu kita bisa lebih terarah dibangun ke pertengkaran atau konflik antara Senja dan Anya karena merekalah fokus utama yang sebenarnya. Film ini sebenarnya punya pesona tersendiri, lucu, hangat, bukanlah tontonan yang dibuat dengan ngasal. Kalian tahu betapa aku sangat menghargai cerita orisinil. Tapi cerita film ini terasa masih seperti draft yang butuh beberapa kali penyesuaian lagi supaya menjadi maksimal.
The Palace of Wisdom gives 2.5 out of 10 gold stars for THE WAY I LOVE YOU.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Nyamankah kalian curhat di blog atau sosial media? Ataukah kalian lebih suka curhat di jurnal atau diari? kenapa?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

MIRAI Review

“A sibling represents a person’s past, present, and future.”

 

 

Setiap anak pertama kepengen punya adik. Berdasarkan pengalaman aja sih, walaupun kejadiannya di usia empat-tahun, aku masih ingat jelas berlarian bolak-balik dari pintu depan ke pintu samping, nungguin orangtua pulang dari rumahsakit. Membawa adik bayi. Dan si adik harus cewek! Supaya gak ngambil mainan robot-robotanku, anak cewek mainannya boneka; sudah aku siapkan juga beberapa yang kayak boneka susan.

See, beberapa menit masuk ke film Mirai aku merasa relate banget ama si Kun, yang juga berumur empat dan menunggu kedatangan adik barunya dengan tidak sabar. Tapi tidak seperti diriku, Kun belum siap. Hati-hati terhadap permintaanmu, terutama jika kau tak mengerti apa yang kau minta. Anak seusia Kun belum memahami konsep keluarga. Pikirnya ‘adik’ mungkin sekedar teman yang mampir, atau mungkin mainan baru. Kun tidak mengerti dirinya sekarang menjadi abang. Bahwa adik adalah bagian dari keluarga, posisinya lebih dari anjing peliharaan mereka. Maka Kun pun mengalami apa yang disebut orang dewasa sebagai krisis status diri. Dia menjadi sangat iri ketika semua perhatian ibu dan ayahnya diambil oleh si adik, yang diberi nama Mirai. Dalam ngambek dan rengekannya setiap kali dimarahin ibu karena sudah membuat Mirai menangis, Kun pergi ke taman rumahnya di mana dia bertemu dengan anggota keluarganya yang datang kadang dari masa depan, kadang dari masa lalu. Lewat mereka-mereka ini, terutama Mirai versi remaja, Kun mengarungi zona waktu dan berjuang – dalam kapasitas anak seusianya – belajar memahami apa sebenarnya arti sebuah keluarga.

“Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu”

 

Mamoru Hosoda sudah enggak diragukan lagi punya otak yang brilian sebagai sutradara film animasi. Karya-karyanya – The Boy and the Beast (2015), Wolf Children (2012), Summer Wars (2009) – bukan saja indah untuk dilihat, melainkan juga punya visi yang begitu kuat yang terasa begitu ingin ia komunikasikan kepada para penonton.. bahkan Digimon garapannya saja terasa lebih sedikit berisi. Mirai bukan termasuk pengecualian. Tertampil dalam kemulusan dan keelokan visual yang sudah kita harapkan, film ini berwarna oleh karakter-karakter yang begitu nyatanya sehingga kita jadi lupa mereka cuma tokoh animasi. Kun, ayahnya, ibunya, seperti orang yang benar-benar ada di dunia nyata. Tema fantasi yang dipunya oleh cerita tidak menjadikan film ini jauh, malahan membuatnya semakin grounded sebab fantasi yang kita lihat tersebut dengan kuat dan efektif melambangkan apa yang dilalui oleh karakternya, yang juga pernah dialami oleh kita.

Bagi anak kecil, secara keseluruhan film ini akan terasa sedikit berat. Fantasi yang ada tidak selamanya membawa mereka ke ranah keajaiban seperti pada cerita Alice ataupun Mary Poppins, sebagian besar yang kita saksikan adalah Kun dibawa ke masa ibunya masih seusia dirinya, atau lebih jauh lagi ke zaman kakek buyutnya masih segar bugar. Penonton cilik akan butuh bimbingan untuk mengikuti cerita, untuk memahami apa yang sedang dialami oleh Kun. Karena dalam petualangan Kun inilah letak pembelajarannya. Seperti misalnya petualangan Kun dengan kakek buyutnya sebenarnya adalah pelajaran mengatasi rasa takut yang dialami oleh Kun dalam belajar menaiki sepeda roda dua. Ataupun ketika Kun ngambek sama keluarganya, kita langsung dibawa ke dunia di mana Kun tersesat di stasiun kereta api, dia mengalami kejadian yang buat orang dewasa relatif kocak, namun akan sangat menakutkan buat anak kecil; ini jadi pembelajaran Kun harus mengakui gimana satu anggota keluarga punya keterikatan dengan yang lain, meskipun sering marah-marahan.

Anak kecil bisa meledak oleh begitu banyak emosi yang ia rasakan sekaligus. Karena mereka belum belajar mengontrolnya. Anak kecil seperti Kun yang gembira punya adik baru, tetapi pada saat bersamaan ia cemburu lantaran sang adik mencuri perhatian ayah ibu, mengambil kasih sayang mereka darinya. Juga ada beban yang ia rasakan ketika ayah ibu mengharapkan tanggung jawab dan kelakukan yang lebih baik darinya, yang serta merta akan menjadi penolakan jika anak sulung seperti Kun tidak diberikan pengarahan ataupun bimbingan.

 

 

Sementara perspektif cerita dibuat begitu konstan dan benar dari sudut pandang anak empat tahun (yang memang digambarkan sedikit lebih ‘dewasa’ dan pintar dibanding balita yang pernah kutahu) dalam melihat masalah keluarga dan eksistensi dirinya, di sisi sudut imajinasi, bangunannya sedikit enggak kokoh. Akan jauh lebih menantang jika film ini membuat elemen fantasi yang dialami Kun sebagai ambigu; kita tidak dibuat tahu pasti apa itu semua hanya imajinasi ataukah sebuah kejadian yang benar-benar terjadi. Film punya ‘modal’ untuk membuatnya demikian. Di awal-awal, Kun sudah dibangun sebagai anak yang punya imajinasi kreatif, menjelang akhir aku malah masih percaya bahwa semua kejadian ‘time-travel’ itu hanya imajinasi Kun – dia berinteraksi dengan kepalanya sendiri. Namun kemudian film melakukan adegan-adegan di mana akan menjadi mustahil Kun mengetahui sesuatu tanpa beneran ada orang yang memberitahu. Seperti si kakek buyut tadi. Saat mereka bertualang, Kun menganggap pemuda pincang yang ia temui itu adalah ayahnya. Namun setelah sekuen tersebut, kita menyaksikan Kun surprise melihat foto si pemuda ada di album keluarga, dan ibunya menyebut itu adalah kakek-buyutnya. Tidak mungkin Kun bisa membayangkan wajah orang yang belum pernah ia lihat, membayangkan apa pekerjaannya. Juga ada adegan ketika Kun menaruh surat maaf di dalam sepatu ibunya, meniru apa yang ibunya semasa kecil lakukan kepada nenek. Tidak mungkin Kun membayangkan sendiri detil ini – jadi pastilah dia benar-benar mengarungi waktu dan bertemu dengan ibunya waktu kecil.

tut..tut…tutt.. siapa hendak takut

 

Dan hal tersebut, buatku, mengecilkan perjalanan yang dilakukan oleh Kun. Setiap ada masalah, dia dengan convenient-nya dibawa oleh kekuatan pohon di taman untuk belajar dari anggota keluarga dari masa yang lain. Membuat kekuatan ‘time-travel’ itu benar-benar ada juga mengurangi nuansa fantasi yang diusung oleh cerita. Tidak lagi terasa sureal. Akan lebih memberikan impresi jika film tidak memberikan kepastian soal pertemuan Kun dengan orang-orang tersebut. Apalagi tokoh anjing peliharaannya juga dimunculkan sebagai karakter yang menyerupai manusia – yang sama sekali berada di luar konteks perjalanan menembus waktu. Jikapun memilih untuk tidak ambigu, film seharusnya mengambil rute yang sama sekali absurd, fantasinya betul-betul yang gak-masuk-akal seperti anjing yang menjadi manusia tersebut, sehingga lebih cocok dengan fantasi anak kecil seperti Kun.

Film ini membahas tentang ‘derita’ seorang anak pertama, yang sesungguhnya bukan berarti meniadakan cinta yang dirasa. Ada banyak ‘keuntungan’ yang diperlihatkan oleh film ini secara tersembunyi. Dalam kapasitasnya, film justru menyadarkan kita bahwa jadi anak pertama itu adalah anugerah dan keasyikan tersendiri yang tersembunyi di balik kecemburuan kekanakan.

 

 

 

Kemunculan sekuen time-travel yang seperti episode-episode ini juga membuat pace cerita sedikit gak imbang dan lumayan repetitif. Masalah – masuk sekuen – selesai dengan layar hitam. Penceritaan seharusnya bisa dibuat dengan lebih baik lagi. Memang agak mengecewakan jika kita mengingat ini adalah buatan dari sutradara sekreatif Mamoru Hosoda. Tapi bukan berarti film ini enggak bagus. Masih banyak kesenangan yang bisa kita dapatkan saat menonton. Penampilan voice akting yang meyakinkan – aku baca di IMDB versi amerika disuarakan di antaranya oleh Rebecca Hall dan John Cho yang membuat aku penasaran karena yang aku tonton ini adalah versi sub inggris yang berbahasa Jepang. Karakter-karakter yang ditulis seperti orang beneran sehingga relatable. Film ini menyentuh ranah yang tidak berani disentuh oleh animasi anak-anak kebanyakan, di mana tokohnya yang begitu muda dieksplorasi dengan sangat mendalam dan terasa begitu personal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for MIRAI.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Anak urutan keberapakah kalian? Pernahkah kalian pengen punya adik, atau pengen punya kakak? Dan sebaliknya, pernahkah kalian merasa menyesal udah minta adik, atau kalian harap kalian gak punya abang atau kakak?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

TERLALU TAMPAN Review

“Being attractive might sounds like life is easier but it’s not”

 

 

 

Akan ada masanya setiap remaja memahami makna ‘seleksi alam’ di rimba kemanusiaan. Ketika mereka melihat yang cakep dikasih izin istirahat di UKS oleh pak guru olahraga. Ketika mereka melihat yang ganteng gak pernah digalakin bu guru karena lupa mengerjakan pe-er. Ketika mereka melihat ada saja satu-dua teman mereka yang selalu dikerumunin meski gak jelas prestasinya apaan. Ketika mereka menyadari ada yang beberapa ‘hidup’nya tampak lebih mudah di sekolah dibanding mereka sendiri. Mudah untuk membandingkan hidup kita dengan hidup orang yang kita nilai lebih beruntung dan berpikir “Ah kalo saja aku lebih tinggi”, “kalo saja aku lebih langsing”, “kalo saja aku lebih putih”, “kalo saja aku lebih seksi”. Kalo saja aku lebih….. tampan.

Tapi semua itu mungkin saja tidak benar. Menjadi super kece dan selalu menjadi pusat perhatian tentu saja bisa membuat jengah orang yang mengalaminya. Mas Kulin (Oh, Ari Irham di manakah pori-pori wajahmu?), misalnya, terlahir dengan wajah yang saking overdosisnya tuh kadar ganteng, cewek-cewek yang melihat bisa langsung mimisan, kejang-kejang. Dalam satu adegan yang sangat kocak digambarkan kedatangan Kulin ke sekolah khusus perempuan membuat siswi-siswi di sana mengalami histeria massa. Bukan saja ‘lethal‘ buat wanita, ketampanan Kulin juga berpengaruh pada laki-laki. Cowok yang terkena keringatnya bakal ketularan ganteng, setidaknya selama sejam dua jam. Jadi Kulin merasa terasing oleh sikap-sikap orang yang berada di sekitarnya. Kulin menutup diri, menolak untuk berinteraksi sosial, sampai ia berkenalan dengan Kibo (tokoh Calvin Jeremy berperan lebih dari sekedar side-kick) yang lantas menjadi sobat manusia pertama yang Kulin punya. Dan bertemu dengan Rere (Rachel Amanda mencuri perhatian banget), satu-satunya cewek manis yang enggak pingsan dan mimisan saat melihat dirinya.

Kulin edisi 10 Years Challenge

 

Film ini terlalu unik untuk dicuekin. Jika biasanya cerita akan mengajak penonton bermimpi untuk jadi ganteng, maka film ini menawarkan sudut pandang baru, yang meletakkan kita pada posisi seseorang yang merasa terganggu dengan perhatian spesial dan reaksi kagum berlebihan yang ia dapatkan dari orang-orang di sekitarnya. Kita akan mendapat Kulin yang bersikap sama kayak Auggie, anak di film Wonder (2017); Kulin juga memilih untuk menutup wajahnya dengan helm. Kalian yang sudah menonton Wonder pasti akan bisa melihat uniknya paralel antara Kulin dengan Auggie yang memilih pendekatan berinteraksi  ke luar yang sama, meskipun kondisi mereka berbeda seratus delapan-puluh derajat. Momen-momen Kulin melepas helm tersebut – alih-alih digunakan untuk memantik drama seperti Auggie di Wonder – digunakan sebagai pemancing efek komedi yang benar-benar bikin geger seisi studio bioskop. Dari penggunaan nama-nama tokoh yang lucu; keluarga Kulin yang tampan semua (termasuk ibunya) punya nama yang ajaib seperti Mas Okis, Pak Archewe, Bu Suk, yang mengingatkanku sama nama-nama di komik Donal Bebek dan komik Asterix, hingga ke dialog dan adegan konyol, film menangani porsi komedinya yang absurd tersebut dengan sangat bijaksana. Timing, delivery, semuanya dilakukan dengan pas, dan tidak sekalipun tone komedi tersebut dibuat mentok sama tone drama yang juga dibangun dengan merayap perlahan sebagai lapisan di baliknya.

Well-crafted sekali gimana komedi dan drama tersebut dijalin. Film tidak pernah kehilangan irama dalam menempatkan unsur-unsur yang berpengaruh ke dalam cerita. Bahkan gerakan kamera juga diperhatikan benar mendukung ke penyampaian komedi. Penggunaan warna-warna dan treatment musik, tidak pernah terasa ‘asal tarok’, semuanya berfungsi dan sangat mengangkat emosi dan cerita yang ingin dihantarkan. Adegan Kulin, Kibo, dan Rere nyanyi di karaoke, itu misalnya; bukan hanya pemilihan lagu, blocking para pemain juga dibuat punya makna. Perlakuan-perlakuan seperti demikian, bercerita dengan perhatian terhadap detil seperti yang dilakukan oleh sutradara Sabrina Rochelle Kalangi inilah yang membuat menonton film ini menjadi mengasyikkan, di luar komedinya yang benar-benar sengaja konyol. Gaya filmnya pun unik. Karena diadaptasi dari komik online di Webtoon, sedikit banyaknya kita mendapati gaya-gaya pengaruh manga tertampilkan di film ini.

Aku tidak pernah membaca materi aslinya, aku gak punya pengetahuan apa-apa terhadap cerita film ini, jadi aku sangat tertarik untuk mengikuti ke mana kisah Kulin ini akan dibawa. Melihat Kulin yang sebenarnya penampilan, pembawaan dan kelakuannya enggak cocok dengan imej maskulin, paruh pertama film seperti ingin membawa pesan yang sama dengan iklan pisau cukur Gillette yang lagi viral di Amerika; bahwa jantan atau maskulin itu bukan semata perilaku-perilaku stereotipe ‘pria’ seperti ngomong kasar, main pukul, atau godain cewek – bahwasanya kupikir film ini lewat si Mas Kulin ingin mengomentari bahwa maskulin bukan soal penampilan. Namun kemudian, di paruh kedua, saat Kulin sudah mengembrace ketampanan yang ia miliki, film mengambil keputusan untuk lebih menonjolkan pesan bahwa setiap manusia punya kekurangan.

Punya paras rupawan ternyata tidak lantas menjadikan hidup menjadi segala mudah, tidak lantas berarti kita bisa mendapatkan semua yang kita mau. Karena sejatinya, wajah tidak membuat kita spesial. Rujukan pertama tetap kepada hati dan apa perbuatan yang kita lakukan.

 

Buatku, agak mengecewakan pilihan yang diambil oleh cerita. Aku paham kenapa cerita memilih untuk mengarah ke sana, hanya saja tetap saja ada rasa mubazir; Sia-sia rasanya elemen ‘terlalu tampan’ yang sudah dibangun sedemikian rupa, dengan konsep dan gaya humor yang lucu, yang punya underline pesan yang kuat, ternyata cuma berfungsi sebagai device dalam plot ‘saingan cinta ama sahabat’. Masalah tampannya ini pada akhirnya tidak lagi benar-benar mencuat karena tokoh utama kita terlibat dalam urusan romansa yang bisa terjadi pada siapapun, pada tokoh yang seperti apapun. Tampannya si Kulin hanya dijadikan alasan yang membuat penonton percaya dia bisa bikin deal dengan ‘Queen Bee’ di sekolah khusus wanita itu, yang menggerakkan konflik generik tersebut. Rasanya film ini remeh sekali mengambil fokus di sana, setelah semua hiruk-pikuk unik yang sudah kita nikmati.

while si angkuh Amanda mirip Regina George, Nikita Willynya mirip Lady Gaga hhihi

 

Ada sesuatu pada penulisan cerita film ini yang ‘enggak-beres’ buatku. Apa yang diinginkan oleh Kulin di awal – apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh si Kulin ini terasa agak enggak klop. Film belum benar-benar membuat kita menyelam ke dalam kepalanya. Kulin butuh untuk diperlakukan layaknya manusia normal, tapi kita tidak diberikan kesempatan untuk melihatnya sebagai orang normal. Sebagai perbandingan, kita ambil contoh si Auggie tadi; di balik helm astronotnya Auggie adalah anak yang pintar fisika – dia mendapat respek dari kepintarannya. Sedangkan Kulin, helmnya digunakan untuk menutup wajahnya karena ia gak mau dikejar-kejar – dia mau dilihat normal, tapi Kulin tidak melakukan hal yang membuat orang melihat dirinya beyond his face. Apa kelebihan Kulin? Ini bukan soal gak pede, melainkan soal ia begitu ‘pede’ setiap orang akan menganggapnya spesial, maka ia memutuskan untuk menutup diri. Makanya Kulin ‘kaget’ ketika Rere menganggapnya biasa aja, dan apa reaksi Kulin terhadap Rere? Dia merasa dia ‘jatuh cinta’. Aku berani bertaruh bukan cinta yang sebenarnya ia rasakan, melainkan rasa penasaran. Buktinya di akhir film kita melihat hati Kulin menyala lagi mendengar komentar ‘pedas’ seorang cewek yang berbalik pergi mengenai dirinya. Buatku, Kulinlah yang justru seorang masokis, karena dia ‘suka’ ketika ada orang yang menolak dirinya yang spesial.

Bukan berarti film ini berhenti menjadi menarik buatku. Aku tetap menemukan keasyikan. Bagian ketika Kulin balik minta saran bagaimana bersikap sebagai tampan kepada abangnya yang basically seorang douchebag, ialah bagian yang membuatku paling tertarik karena ini mengubah sikap Kulin lumayan drastis. Karakter Kulin jadi unik lagi di sini sebab dia mengambil tindakan lagi. Mengenai si Kulin ini memang penulisan karakternya agak ilang-timbul. Seperti pada di awal, setelah dia menarasikan film, kita malah diperlihatkan kejadian di luar sudut pandang dia. Kita memulai dari sudut pandang keluarga Kulin yang bersekongkol untuk membuat Kulin berinteraksi dengan orang luar. Dan kemudian barulah kita mengikuti si Kulin, kita diharapkan bersimpati ketika dia ngambil keputusan untuk minggat sebab keluarganya dengan kocak mengambil keuntungan dari ketampanannya; sesuatu yang paling dibenci ama Kulin. Namun kemudian di beberapa adegan setelahnya, kita melihat Kulin ikutan bersorak dengan teman-teman sekolahnya saat mereka disetujui ngeadain prom gabungan – di mana Kulin gagal untuk menyadari dia juga sedang dimanfaatkan kegantengannya.

Aku juga mendapati adegan konsul dengan ibu juga sedikit enggak klop karena seperti ‘memberatkan’ kepada dunia. Yea, dunia took advantage of him, tapi kan Kulin sudah melakukan hal yang sama saat dia menjadi ‘cowok brengsek’ kepada teman-temannya, dan justru ulahnya sendiri yang membuat dirinya patah hati. Yang menarik adalah nasihat dari ayahnya yang sebenarnya mengatakan apa yang sudah menjadi prinsip Kulin pada awal cerita. Jadi Kulin seperti berputar di tempat, menandakan penuturan yang sedikit kurang efeisien, padahal toh perjalanan karakternya menarik; Yang Kulin perlukan adalah keluar dan berbuat salah sehingga dia sendiri juga menyadari dia enggak sesempurna yang orang-orang lihat.

 

 

Terakhir kali mendengar cerita huru-hara ketampanan, aku mendengarnya sambil serius dan agak ngeri karena ada ‘adegan’ jari-jari yang teriris. Kali ini, cerita yang punya masalah serupa tersebut bisa aku simak sambil tertawa-tawa tanpa harus segan sama Pak Ustadz. Film ini memberikan tawaran sudut pandang dan gaya yang unik sehingga terasa segar dan menyenangkan. Kita perlu melihat lebih banyak film ‘aneh’ tapi juga berisi. Namun, untuk sebuah film yang bercerita tentang mengembrace kekhususan, dirinya sendiri tampak masih belum cukup berani untuk menjadi lebih spesial lagi. Pilihan ujung ceritanya tidak benar-benar mengutilisi kekhususan itu, malah membuatnya terasa seperti persoalan biasa.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for TERLALU TAMPAN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian maskulinitas itu apa sih? Penting tidak? Bagaimana pula dengan femininitas?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

PSP: GAYA MAHASISWA Review

“As the old birds sing, so does the young ones tweet.”

 

 

Wah kalo ditanya bedanya, tentu saja anak muda zaman dahulu sangat banyak ketidaksamaannya dengan anak muda masa sekarang. “Anak zaman dulu sekarang sudah pada tua, anak sekarang masih mudaaa” ya ya itu jawaban simpel yang lucu yang bisa dilontarkan oleh orangtua kita. Jawaban yang lebih serius dari mereka mungkin seputar betapa anak dulu sopan-sopan, sedangkan yang sekarang pada ceplas-ceplos sekenanya. Orang-orang suka membicarakan perbedaan ini, membanding-bandingkan. Padahal ada satu yang selalu sama, dari sekian banyak perbedaan yang bisa dikulik, adalah anak muda selalu berpikir kritis. Dulu dan sekarang. Zaman lah yang membuat ‘kritis’nya itu menjadi berbeda. Sekarang, pemuda pemudi bisa langsung demo. Atau paling enggak, bisa langsung curhat ke media sosial, menjadikan viral, dan menghimpun kekuatan protes dari sana. Tidak demikian kondisinya dengan bertahun lalu, mainnya musti cantik, pemuda-pemuda menyalurkan aspirasi dan ekspresi lewat karya yang begitu subtil. Salah satunya lewat musik komedi. Dan begitu jualah titik awal terbentuknya grup Orkes Moral PSP – Pancaran Sinar Petromaks.

Bersama Warkop DKI, grup ini terkenal di tahun 80’an dalam kalangan remaja dan dewasa muda. Musik-musik parodi beraliran dangdut yang punya kemampuan menyentil itu adalah cap dagang PSP. Album mereka lumayan banyak, mereka juga punya film sendiri, namun tidak sepopuler Warkop. PSP: Gaya Mahasiswa ini tadinya kupikir bakal menjadi semacam biopik, tapi mungkin itu dinilai boring, jadilah ternyata mereka membuat film ini sebagai versi kekinian dari kisah-kisah lagu mereka. Actually, film ini dibuat punya self awareness yang tinggi. Kita melihat tokohnya mengenali nama PSP samaan ama nama konsol game handheld (konsol yang bahkan sudah dikata kuno juga ama anak jaman now). Kita menyaksikan tokohnya mengakui istilah orkes moral sudah tidak laku lagi sekarang ini. Dan mereka bersikukuh tetap dengan formasi mereka (delapan orang cowok kuliahan) karena that’s how they roll. In a sense, film ini adalah potret andai para personel PSP terlahir sebagai anak muda di era teknologi.

Era di mana ojek dan jodoh bisa dicari lewat aplikasi.

 

Omen (bertindak sebagai ketua grup), James, Ade, Monos, Rojali, Aditya, Andra, Dindin tinggal satu rumah kosan, belajar di satu kampus yang sama. Kita enggak yakin latar belakang masing-masing, karena itu tidak penting. Cerita dimulai ketika mereka sudah bergerak sebagai satu grup. Mereka sering manggung untuk nyari uang jajan, dan mereka senang dengan apa yang mereka lakukan. Karena sama-sama jahil, kedelapan orang ini terancam diskors dari kampus. Kafe langganan pun memutuskan tali kerja sama dengan mereka. Jadi, grup ini harus segera cari ide, mereka harus buktikan musik mereka, dan terutama mereka sendiri, tidak setidakberguna kelihatannya.

Aku mendapati komedi yang disebar bekerja dengan relatif sukses. Tidak ada yang jatohnya terlalu lebay atau gak masuk akal secara sensasional. Kedelapan bintang komedi muda yang memerankan personel PSP bermain dalam kapasitas yang cukup, range mereka gak banyak – hampir satu-dimensi, malah, tapi buatku masih bisa diwajarkan karena film ingin menguatkan mereka sebagai satu kesatuan.Film ini terasa all-over-the-place karena banyaknya elemen cerita. Dan terkadang, tone cerita jadi tidak bercampur dengan baik karenanya. Cerita dapat dengan mudah berpindah dari lucu-lucuan soal berusaha nyari kerjaan manggung, ke melihat persaingan nyari cewek, ke adegan dramatis mereka marahan karena terancam di-DO. Dari persoalan naksir ama ibu kosan baru yang cantik ke permasalahan pembegalan di jalan. Tema prasangka yang membayangi subplot begal itu sebenarnya bekerja juga terhadap gambaran besar cerita secara keseluruhan.

Bahwa terkadang kita terlalu cepat menilai orang dari penampilan luar, atau sekadar dari apa yang kita lihat. Tak jarang makanya orang-orang pada heran ketika melihat anak-anak muda yang hobinya nongkrong gak jelas, ternyata bisa berprestasi. Semua orang punya keahlian, setiap keahlian unik itu ada gunanya. Mungkin gunanya bukan untuk kita, bukan yang kita butuhkan di saat itu. Namun kita tidak bisa begitu saja gegabah menihilkan nilai seseorang.

 

Di akhir semua elemen itu toh ternyata terikat juga, dengan kesan feel-good yang tinggi, film ini pun tak menanggalkan nada komedinya – ada satu running joke yang awalnya lumayan cringey namun berhasil berbuah sangat manis. Walaupun begitu, ada yang terasa kurang. Film tidak terasa benar-benar accomplish apapun. Dengan stake yang sebenarnya tergolong kuat, dan ada lebih dari satu – ada kemungkinan mereka dikeluarin dari kampus dan dari kosan, bahkan bisa jadi mereka berpisah karena gak dapat kerjaan manggung lagi, film tidak pernah terasa benar-benar membuat kita percaya tokoh-tokoh ini punya masalah. Mestinya ada pembelajaran pada cerita, ada perubahan kondisi, tapi tidak benar-benar terasa oleh kita.

Ini adalah karena pada film ini yang berubah itu adalah yang berada di luar kelompok tokoh utama. Ini adalah cerita yang ingin menonjolkan para tokoh, maka mereka dibuat ‘sempurna’ dalam ketidaksempurnaan mereka. Apapun yang terjadi, anak-anak muda tersebut tidak salah. Dunia di luar merekalah yang diharuskan untuk melihat, memahami, dan menyadari keunggulan dan sisi positif dari mereka. Padahal film seharusnya bekerja dua arah, tokoh juga perlu untuk menyadari kekurangan mereka dalam mencapai keinginan. Mereka harus belajar memahami apa yang mereka butuhkan. Dalam film ini kita melihat geng PSP memecahkan masalah hoax dengan posisi mereka di luar lingkaran hoax itu sendiri; mereka tidak bersinggungan langsung dengan kejadian hoax dan dampaknya. Mereka bertindak seolah penyelamat. Masalah yang menimpa mereka pun tidak digambarkan sebagai ada yang ‘salah’ dari mereka. Omen dan kawan-kawan tidak diperlihatkan mengadakan perubahan terhadap diri mereka sendiri. Karena begitulah anak muda, terlihat serampangan, dan kita yang harus bisa melihat keserampangan mereka itu ada baiknya.

aku gagal melihat apa makna di balik Ade yang menerima cewek penggemarnya setelah tahu si cewek adalah anak dari ibu kos…?

 

Sesekali ada sekuen nyanyian, seperti lagu Fatimeh, yang mengingatkan kita akan esensi grup PSP yang sebenarnya. It’s fun dan gak bikin kita sampai menguap. Tapi selain untuk nostalgia para penggemar, dan menonjolkan musikalitas PSP, tidak banyak ‘daging’ dan kepentingan di dalamnya. Aku mengira dengan set mahasiswa – yang stay true ama kelahiran PSP sendiri – film akan banyak membahas mengenai kritik-kritik sosial di kehidupan jaman sekarang. Kupikir semangat mengkritisi itu yang akan dieksplorasi, you know, mahasiswa dengan kondisi pemerintah. Ada banyak yang mestinya bisa diangkat jadi bahan kritikan, namun sepertinya film memang diarahkan tidak benar-benar berada di jalur tersebut.

Yang berkaitan dengan seni juga banyak; aku tahu bukan salah filmnya jika mereka keluar terlalu cepat sehingga lebih duluan dari masalah RUU Permusikan yang sedang marak, tapi cerita toh bisa dengan mudah mengarah ke mereka dilarang atau dibatasi main musik oleh kampus. I mean, logisnya kalo kita bikin film tentang anak muda main musik, mustinya ada kalanya mereka dihalangi untuk melakukan kerjaan mereka. Film, menjauh dari musik, mengalamatkan kritik kepada sebaran hoax pada masyarakat, tapi ‘kasusnya’ sangat basic dan menjadikannya tidak actually menyelesaikan dengan kekhasan PSP itu sendiri. Di awal-awal kita melihat anak-anak PSP menyabotase seminar kampus yang kuasumsikan sebagai bentuk kritikan mereka terhadap ‘kebohongan’ yang dilakukan oleh rektor. Hanya saja menurutku, candaan di sini lumayan tasteless karena pada akhirnya jatoh seperti delapan mahasiswa itu mengolok-olok seorang orang cacat yang lebih tua. Dan hingga akhir cerita mereka tidak diperlihatkan menyesal atau menyadari apa yang sudah mereka lakukan tersebut.

 

 

 

Film menunaikan tugasnya dengan baik sebagai komedi lika-liku kehidupan mahasiswa Orkes Moral PSP di dunia kontemporer. Para penggemarnya bisa dengan asik bernostalgia. Tapi bagaimana dengan anak muda? katakanlah mahasiswa yang menonton film ini, yang belum pernah mendengar PSP sebelumnya? Film ini di mata mereka hanya akan bertindak sebagai hiburan, dengan kelakuan-kelakuan yang relatable, punya sedikit pesan moral. Ini sesungguhnya bukan hal yang buruk, melainkan prestasi yang lumayan. Hanya saja lampu moral tersebut mestinya bisa dipancarkan lebih kuat lagi. Aku tidak merasa ada banyak yang diwariskan oleh PSP kepada mahasiswa masakini lewat film ini. Mungkin ini memang bukan film yang ke arah sana, tapi membuat anak muda berpikir mereka benar, dan dunia salah karena telah berprasangka seperti suatu pengajaran yang baru setengah langkah.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for PSP: GAYA MAHASISWA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
PSP menyanyikan lagu-lagu yang liriknya dibuat (atau diplesetin) sesuai dengan keadaan dan konteks jamannya. Kaitannya dengan musik dan kapasitas mengkritik yang ia punya, bagaimana menurut kalian soal rancangan Undang-Undang Permusikan yang santer baru-baru ini?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Royal Rumble 2019 Review

 

Lima jam. Lima pertandingan perebutan gelar. Tiga puluh superstar cewek. Tiga puluh superstar cowok. Menonton Royal Rumble menjadi ekstra melelahkan karena membuat kita ‘menghitung’ ekspektasi sembari berteriak-teriak seru. Plus, buatku, aku harus mengetik seribuan kata mereviewnya. Untuk mendeskripsikannya lebih jelas, menonton Royal Rumble tahun ini bagiku adalah seperti ngerjain pe-er matematika sambil naik roller coaster!

Actually, aku ngeskip nonton dua pay-per-view yang terakhir. Survivor Series November lalu tidak sempat kutonton semua karena sibuk persiapan acara puncak Festival Film Bandung. TLC yang bulan Desember juga gagal aku saksikan lantaran bertepatan dengan kelas penulisan kritik yang mengharuskan aku untuk tinggal di Jakarta selama beberapa hari. Jadi mungkin kalian noticed aku enggak ngereview dua show tersebut, dan alhamdulillah ternyata ada yang cukup peduli juga dengan ulasan WWE ku karena aku ditagihin loh, “bro gak review WWE lagi?” So yea, I’m back. Tentu dong, WWE adalah dulu, nanti, dan selalu jadi tontonanku. Buatku Royal Rumble ini seperti lembaran baru karena kemaren-kemaren itu aku benar-benar nyaris stop nonton WWE – kecuali NXT. Dan surprisingly, aku terkesan dengan apa yang kutonton lima jam yang lalu. Terasa benar usaha WWE untuk menaikkan standar kualitas pertandingan mereka. Memang sih, kualitas aksinya belum sebagus NXT TakeOver Phoenix sehari sebelumnya, namun dari segi penulisan – penceritaan, WWE lewat Royal Rumble ini terasa semakin solid.

Semua pertandingan berlangsung secara efektif. Mereka menyampaikan drama dan aksi dalam porsi yang seimbang. Tidak ada partai squash, hanya ada satu ‘cut-scene match’ namun bahkan itupun dilakukan dengan baik. Level ‘kekerasan’ yang disuguhkan juga tampak meningkat. WWE seperti memberikan kelonggaran tambahan buat para superstar, terutama kepada superstar-superstar yang bukan dari brand Raw yang enggak harus langsung nampil besok. Pengecualian untuk ini adalah Ronda Rousey dan Sasha Banks. Dua superstar cewek dari Raw ini bermain sangat fisikal, sehingga terkadang spot-spot yang mereka lakukan tampak sloppy – kurang profesional, dan kelihatan sakit not-in-a-dramatic-way seperti seharusnya. Satu lagi yang tidak aku mengerti adalah kenapa pertandingan kejuaraan tag team Smackdown yang dramatis dan penuh spot keren itu sejatinya berpusat kepada Shane McMahon – kenapa tiga superstar yang lebih ‘muda’ daripada dia yang harus mengimbangi dan work around him.

my girl debuting a new move, yaaassshhh

 

Dua partai royal rumble bekerja dengan sama-sama padunya. Tidak ada elemen yang tersiakan. Aku suka WWE mempertahankan ‘prestasi’ mereka sehubungan dengan ‘surprise entrant’. Nonton royal rumble memang yang selalu ditunggu adalah peserta kejutan yang selalu bikin kita entah itu sukses bernostalgia ataupun pecah bersorak tak-percaya. Seperti yang mereka lakukan tahun lalu, WWE memfokuskan porsi peserta-kejutan ini lebih banyak ke superstar-superstar muda yang nongol di NXT, alih-alih kepada superstar legenda yang untuk jalan ke ring aja sudah tertatih-tatih. Para entrant kejutan ini juga diberikan kesempatan untuk bertanding lebih lama, sehingga penonton bisa menikmati kehebatan mereka sembari WWE bisa mengiklankan brand dari mana mereka berasal. Solusi yang win-win, bukan! Dan tentu saja ada bagian untuk komedi. WWE suka komedi seperti Shyamalan suka twist dalam filmnya. Dalam kedua royal rumble inipun, komedi mereka lakukan dengan tepat guna; enggak benar-benar lebay dengan waktu penempatan yang diperhitungkan. Skit aneh antara Maria Kanelis dengan Alicia Fox enggak jatoh se-‘apasih’, kecuali aku nunggu-nunggu Maria bilang “kau aja pakai musik aku yang dulu” saat ngajak Fox temenan (terlalu ngarep sih memang kalo kita berharap kontinuiti dari WWE), aku gak melihat ada masalah dalam penggunaan komedi dalam pertandingan royal rumble kali ini. Pada royal rumble cowok, komedi digunakan untuk mengurangi kejenuhan, oleh durasi yang memang terlalu panjang.

Menurutku pertandingan royal rumble ceweklah yang seharusnya menutup acara. Sebab tokoh utama show kali ini jelas adalah Becky Lynch. Superstar cewek ini lagi tinggi-tingginya sejak ia menciptakan moniker ‘The Man’. Acara ini dibuka dengan memperlihatkan kegagalan Lynch dalam perebutan gelar cewek Smackdown. Dalam kontes yang dibuat berimbang dengan Asuka – yang mana kejutan pertama dari acara ini buatku; Lynch dibook/ditulis kalah bersih dalam perang submission – seolah penulis sedang merangkai perjalanan teatrikal. Ini seperti sekuen ‘percobaan pertama yang gagal’ pada naskah film-panjang. Kupikir ini bakal berlanjut dengan berbagai adegan di backstage, gimana Lynch berusaha mencari kesempatan lain. Honestly, aku sudah mengantisipasi Lynch bakal masuk ke royal rumble cowok – mengingat julukan ‘The Man’nya tadi – kemudian kembali gagal, dan entah bagaimana dia memasukkan dirinya ke royal rumble cewek, dan berhasil. Namun ternyata WWE membuat susunan yang berbeda; mereka malah mengerahkan Nia Jax untuk ‘menginvasi’ para cowok sebagai sebuah kejutan yang seru-tapi-aneh. Cerita Lynch tuntas di tengah-tengah acara, dan ini membuat partai-partai di antara dua royal rumble ini nyaris mati; berusaha menghidupkan kembali percikan api yang telah padam dibawa oleh kemenangan Lynch yang ditunggu-tunggu para fans.

kasian R-Truth begitu gampang tergantikan.. bahkan Lana aja diberikan kesempatan ‘berjuang’

 

 

Keputusan WWE buatku semakin aneh ketika mereka malah meletakkan Daniel Bryan melawan AJ Styles, dalam pertandingan yang bergaya lambat nan metodical, tepat setelah royal rumble cewek. Masalah bukan dari kedua superstar top-Smackdown, Bryan dan Styles adalah pekerja teknik terbaik yang dipunya oleh WWE, hanya saja jika ingin membuat penonton tetap semangat, mereka harusnya membuat pertandingan ini paling enggak sefast pace pertandingan Brock Lesnar dengan Finn Balor. Keep it short, fill it with high spots. Daripada memakai pertandingan pelan dengan outcome yang gak bersih – partai Bryan melawan Styles ini adalah ‘cut-scene match’ yang kusebut di atas – WWE seharusnya menulis partai kejuaraan WWE ini sebagai pertandingan Street Fight atau Extreme Rules atau apalah yang no-DQ. Sehingga ketika Eric Rowan datang, dia bisa ikut menghajar dan menjadikan akhirannya semakin dramatis oleh Styles yang berusaha mengalahkan dua orang. Dengan begitu penonton akan tetap semangat dan sabuk WWE tidak melulu diperebutkan dalam kontes yang seperti sia-sia.

 

Sebenarnya sudah lama WWE seperti melirik kemungkinan terjadinya pertandingan campuran. Jika WWE memang membangun diri ke arah yang lebih edgy, lewat Becky Lynch – dan Nia Jax – sebagai pionir, katakanlah jika tahun depan kita akan melihat Royal Rumble campuran antara pria dan wanita, atau bahkan melegalkan partai campuran dalam semua jenis match, aku sih seneng-seneng aja. Bayangkan Lesnar melawan Rousey. Atau Nikki Cross tagteam ama Dean Ambrose, tapi bukan lagi dalam mixec tag konyol yang dilakukan WWE di network. Menurutku itu bakal jadi perubahan besar yang positif mengingat isu kesetaraan gender sekaligus bakal bisa menaikkan nilai hiburan itu sendiri.

Pada akhirnya angka-angka dalam Royal Rumble menyimbolkan hitung-mundur sebuah perubahan yang sudah siap untuk terjadi.

 

 

 

Full Results:
1. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka retain setelah Becky Lynch tap out terkena manuver submissionnya.
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Miz dan Shane McMahon jadi juara baru mengalahkan Sheamus dan Cesaro.
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Ronda Rousey tetap juara dengan menge-pin Sasha Banks.
4. 30-WOMAN ROYAL RUMBLE Becky Lynch menang dengan mengeliminasi Charlotter Flair.
5. WWE CHAMPIONSHIP Daniel Bryan bertahan atas AJ Styles.
6. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP juara bertahan Brock Lesnar belum bisa dikalahkan oleh Finn Balor.
7. 30-MAN ROYAL RUMBLE Seth Rollins menang dengan mengeliminasi Braun Strowman
Dengan akhiran match yang tepat, dengan porsi hiburan dan kejutan yang berimbang, dengan dramatisasi yang mengena, The Palace of Wisdom memilih 30-Woman Royal Rumble sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

ORANG KAYA BARU Review

“Sometimes, nothing is better than something”

 

 

Ungkapan “Uang adalah sumber segala kejahatan (alias sumber masalah)”  itu sebenarnya kepotong. Makanya terasa kurang tepat. Bukan uangnya yang bikin seseorang berubah menjadi ‘jahat’ – yang membuat orang sampai rela meninggalkan keluarga maupun sahabatnya sendiri. Melainkan adalah kecintaan terhadap uang itu sendiri. Semakin banyak kita punya, kita akan makin merasa tidak cukup. Kita cinta dengan gagasan mempunyai banyak uang maka hidup akan semakin mudah, dan ini menghilangkan batasan dalam diri kita. Orang yang cinta pada uang, ia juga akan senang membelanjakannya, lantaran ia suka terhadap apa yang bisa ia lakukan dengan uang sebanyak itu.

Itu sebabnya kenapa tokoh Lukman Sardi memilih untuk membesarkan keluarganya dalam kondisi prihatin. Ia merahasiakan kekayaan yang dimiliki kepada istri dan tiga anaknya. Mereka sekeluarga hidup pas-pasan selama bertahun-tahun sebab Bapak ingin menumbuhkan rasa cinta di dalam dada anggota keluarganya terhadap masing-masing, terhadap karib kerabat mereka, bukannya kepada uang. Pelajaran amat berharga sebenarnya yang coba beliau ajarkan. Namun, kematian yang begitu mendadak sampe-sampe film tak sempat menjelaskan kenapa; malah menggoda sekiranya Bapak belum benar-benar tiada, memotong pelajaran tersebut. Membawa Tika, Duta, Dodi, dan Ibu langsung ke ‘praktek lapangan’; Bapak meninggalkan warisan berupa duit bermilyaran, seketika mereka semua berubah hidupnya menjadi milyarder kaya raya!

Ternyata memang lebih enak hidup yang terus berangan punya duit banyak ketimbang hidup yang selalu terjaga lantaran takut harta yang dimiliki hilang.

 

Performa para penampil dalam film ini seragam menggelitiknya. Raline Shah yang menjadi Tika, si sudut pandang utama, didampuk untuk melakukan banyak permainan akting di luar penampilan-penampilan yang biasa ia lakukan. Ia harus belajar bagaimana menjadi seorang miskin – ini sendiri adalah fakta yang sangat lucu bagi kita semua. Sebagai Tika, Raline harus menggapai nada-nada emosi yang punya rentang cukup luas. Dia yang pertama kali menemukan Bapak meninggal – Tika punya momen-momen unik dengan ayahnya, dia yang punya keinginan untuk menjadi orang kaya, dia juga diberikan kesempatan untuk menjalin hubungan asmara. Meskipun di awal-awal kurang meyakinkan – kurang dapat dipercaya – tampil sebagai orang susah, tetapi dengan gemilang Raline, juga para aktor lain memainkan tokoh-tokoh yang berbuat norak dengan harta bendanya. Derby Romero sebagai seniman dalam keluarga, dia diberikan bentrokan soal seni, idealisme, dan duit yang menarik sayangnya tidak diberikan porsi yang banyak. Justru Ibu yang diperankan oleh Cut Mini yang mendaratkan nada tawa tertinggi lewat her take on ibu-ibu sosialita – yang melakukan sesuatu kini atas nama citra. In some sense, para aktor ini bisa jadi memainkan parodi dari diri mereka sendiri, dan memang tak ada hal yang lebih lucu dan mengena ketika seseorang bisa menertawakan dirinya sendiri. Last but not least, pemeran anak Fatih Unru mencuri perhatian; ia mampu mengenai nada-nada emosi berentang luas dengan lebih baik dari rekan-rekan aktor yang lebih berpengalaman. Tokoh Dodi di tangannya terasa enggak over-the-top, dan bisa jadi karena tokoh ini disebutkan ditulis berdasarkan pengalaman masa kecil sang penulis skenario, Joko Anwar, yang suka berandai-andai jadi orang kaya

Aku tidak tahu apakah fakta tersebut membuat film menjadi spesial karena toh semua orang umumnya pernah ngimpi jadi jutawan

 

Kelucuan film ini menguar deras dari tingkah polah keluarga tersebut dalam mengarungi hari-harinya sebagai pemilik uang berlimpah. Film bersenda gurau dengan tingkah-tingkah norak para tokoh. Saksikan transisi si Ibu dari yang tadinya melotot melihat harga teh di restoran mewah menjadi seorang pembelanja yang dengan jumawa membeli semua perabot yang sempat disentuh dan difoto oleh anak-anaknya. Juga sebuah sentuhan bagus membentrokan keadaan tiga kakak beradik yang tadinya menyusup ke acara nikahan buat numpang makan dengan keadaan mereka punya segalanya, bahkan mobil satu seorang meskipun tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menyetir. Kita tertawa oleh komedi mengenaskan saat mereka menghabiskan uang yang mereka punya lebih cepat daripada akun lucu-lucuan berlari mengejar jumlah follower.

Film ini memang sangat terasa seperti kebalikan dari Keluarga Cemara (2019) yang tayang beberapa minggu sebelumnya. Bukan saja dari premis orang miskin yang ternyata menjadi kaya alih-alih keluarga Ara yang kaya kemudian jatuh miskin. Melainkan juga dari bagaimana cerita ini berpusat. Jika cerita Keluarga Cemara menegaskan bahwa mereka sebenarnya bukan soal harga uang; film tersebut menyetir ceritanya keluar dari kait-kait trope kemiskinan yang tertindas, maka Orang Kaya Baru benar-benar meletakkan materialistis sebagai poin vokal untuk menyampaikan pesannya. Emosi kita bakal dipancing demi melihat anak yang sol sepatunya copot dikerjai oleh teman sekelasnya. Kita menyaksikan Tika dituduh mencuri telepon genggam teman di kampus. Uang dan materi benar-benar on-point dalam film ini. Karena ia ingin membangun karakter-karakter sehingga menjadi masuk akal begitu mereka memuja kekayaan nantinya.

bahkan film ini juga punya satu tokoh yang bekerja di mana-mana, hanya saja tidak dimainkan sebagai komedi

 

 

Dan itulah sebabnya kenapa elemen drama dari film ini tidak semuanya terasa mengena. Kita menyaksikan tokoh-tokoh yang menyalami ‘demon‘ mereka dan berakrab-akrab dengannya. Tentu, sebuah hal yang lucu – dan mungkin melegakan -melihat orang miskin yang biasanya dibully jadi punya kesempatan untuk melampiaskan hati mereka. Menyenangkan menyaksikan mereka akhirnya mencicipi indahnya dunia. Tapi antisipasi serta merta tumbuh dalam diri kita; kita paham tokoh-tokoh itu menyongsong kebangkrutan, jadi ketika mereka melakukan suatu ‘pemborosan’ kita tidak lagi benar-benar ikut sedih bersama mereka. Kita ditinggalkan untuk berharap mereka melakukan hal yang benar, dan mungkin untuk kedua kalinya keajaiban datang menyelesaikan masalah keuangan yang kali ini disebabkan oleh mereka sendiri.

Namun film malah terus menge-loop masalah tersebut, hingga film berakhir. Tidak ada penutup yang definitif hingga kita tak yakin harus terus tertawa atau bengong saja. Jika dalam menggarap horor atau thriller, Joko Anwar masih bisa menutupi kekurangan penulisannya dengan twist; terutama twist semacam ‘ternyata cuma mimpi/imajinasi’ yang membuat ceritanya jadi tampak cerdas, maka ranah drama komedi seperti Orang Kaya Baru ini sesungguhnya lebih susah untuk ia bermanuver. Film seperti berjuang untuk menutup cerita dengan menarik, dan pada akhirnya pilihan yang diambil malah tidak definit sebagai pembelajaran terhadap karakternya, or even if they have learned anything at all. Tika yang hidup pas-pasan dan diremehin sehingga berpikir lebih gampang hidup sebagai orang kaya. Kemudian dia jadi kaya, hidup mewah seolah sudah punya semua jawaban hidup. Namun pertanyaan hidupnya berubah; kenapa sekarang masalah itu timbul dari orang-orang di dekatnya. Kemudian dia miskin lagi, dia dekat kembali dengan sahabat dan keluarga. Uang mengontrol kehidupan dan sikap Tika, kita tidak pernah benar-benar diperlihatkan ada perubahan dari dirinya yang didorong oleh ‘kekuatan dari dalam’.

 

 



Paling efektif bekerja sebagai komedi yang memotret – dan dalam nada tertingginya, mengkritik – pandangan dan kehidupan sosial antara si kaya dengan si miskin. Tone antara drama dan komedi itu pun acapkali berbaur dengan mulus, berkat penampilan yang tak-biasa, yang luar biasa menghibur, dari para pemainnya. Terutama Fatih Unru dan Cut Mini. Hanya saja porsi dramanya terasa tidak terasa benar-benar menyentuh, dalam artian sungguh bikin kita sedih. Karena kita sudah mengantisipasi apa yang terjadi. Juga lantaran tidak benar-benar ada stake ataupun konsekuensi dari ‘kegagalan’ yang dihadapi oleh para tokoh. Lebih lanjut, ini disebabkan oleh penulisan naskah yang sengaja dipilih untuk tidak konklusif. Menonton ini seperti kita sedang bermimpi indah, kemudian jadi buruk, kemudian indah lagi, yang tak selesai-selesai.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for ORANG KAYA BARU.

 

 



That’s all we have for now.
Dulu kalo sedang rebutan mainan dengan adik, Ibuku sering bilang “lebih baik enggak ada daripada ada!” Bagaimana menurut kalian; apakah lebih baik miskin daripada kaya raya? Mengapa kebutuhan rasanya semakin meningkat begitu kita punya rezeki berlebih?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.