BEAUTY AND THE BEAST Review

“Sometimes, if you truly love somebody, you have to let them go their own way. And if it’s true love, it will find it’s way back to you.”

 

 

Buatku, menyongsong film Beauty and the Beast ke bioskop ini rasanya seperti menjemput kembali seorang teman lama. Bersama Petualangan Menuju Pusat Bumi karya Jules Verne, cerita bergambar Beauty and the Beast adalah buku cerita pertama yang aku punya. Aku bahkan dapat dua buku itu sebelum aku bisa membaca. Aku masih ingat tampang kesel orangtuaku setiap kali aku minta bacain ulang ceritanya, setiap hari. Jadi terkadang aku cuma melototin gambar-gambarnya. Scene Beast berantem ama serigala, Beast diobatin oleh Belle, Beast kena panah Gaston, cerita dongeng ini strike the little me sebagai pengantar tidur yang magical. Dan setelah bertahun-tahun kemudian, aku duduk, sekali lagi diceritakan – kali ini oleh gambar-gambar manusia yang bergerak — tentang kisah yang sudah familiar, hanya saja sekarang aku sudah bisa ‘membaca sendiri’. Actually, sekarang aku menontonnya sembari mengeksaminasi ceritanya. It’s like being jugemental to an old friend. Dan aku sangat puas, karena teman lamaku ini tidak banyak berubah.

Film ini pretty much MENGIKUTI FORMULA CERITA ORIGINALNYA nyaris pada setiap aspek. Dari adegan ke adegan. Lokasi ceritanya sama, kejadian demi kejadian pun sama. Sebuah istana kerajaan yang dapet hadiah kutukan berkat ulah selfish dan kasar dari si pangeran. Seluruh penghuni istana itu sekarang menjadi benda-benda kayak jam, cangkir teh, lemari, dan candlestick. Kemudian ada si Belle, cewek kutu buku yang harus tinggal di dalam istana tersebut. Belle ‘dikurung’ di sana lantaran para penghuninya ingin Belle bisa jatuh cinta kepada si pangeran yang kini berbulu dan bertanduk dan bertaring. Dengan harapan kutukan terhadap mereka bisa hilang. Hanya ada beberapa adegan baru yang diselipin yang enggak kita temukan pada versi animasi klasiknya. Mereka menambah sedikit elemen baru, mengupdate beberapa sehingga lebih sesuai dengan modern day. Namun secara keseluruhan, ini adalah film yang sama dengan versi animasi tahun 1991, bedanya kali ini diceritakan dalam format live action. Yang mana semuanya terlihat sangat good-looking.

“after all, this is France”

 

Tapinya lagi, keterlalusamaan tersebut bukanlah tergolong cela. Maksudku, kalo enggak ada yang udah rusak, kenapa mesti diperbaiki, ya gak sih. Beauty and the Beast yang sendirinya adalah adaptasi dari kisah rakyat Perancis adalah memang cerita yang udah bagus dan indah. Bukan tanpa ada alasan loh animasi klasik Disney tersebut jadi film animasi pertama yang sukses nembusin diri berkompetisi di nominasi Best Picture Academy Awards. Aku senang (dan honestly, lega) film ini enggak sok-nekat dan mengubah formula gila-gilaan. Beauty and the Beast 2017 adalah FILM JELITA YANG BIKIN BAHAGIA setiap mata yang melihatnya.

Lagu-lagu yang sudah begitu dicintai are still there in the film. Emma Watson dan Dan Stevens, malahan seluruh pemain melakukan kerja yang sangat baik dalam menampilkan musical numbers mereka. Musik film ini begitu asik untuk didendang. Ada beberapa tambahan lagu juga, namun enggak kerasa jomplang dengan lagu klasik, karena film ini actually menghadirkan komposer dari film original untuk nanganin departemen musik dan lagu.

Lagu Evermore yang dinyanyikan oleh Beast dalam film ini bener-bener hits me hard. Tidak lagi aku melihat cerita ini sebagai “kita enggak boleh ngejek orang jelek, nanti kita jadi jelek juga” kayak yang dinasehatin mamaku setiap kali beliau selesai bacain bukunya. Beauty and the Beast juga adalah cerita tentang unrecruited love; tentang berkorban demi sesuatu yang kita cintai. Beast belajar memenjarakan Belle tidak akan menumbuhkan cinta, dia perlu untuk membiarkannya pergi. Karena letting people go so they can be happy adalah salah satu bentuk paling nyata dari cinta sejati.

 

Seluruh pesona magis dari film originalnya berhasil ditangkap dengan sangat permai. Musik, production design, dan penampilan para pemain terasa fantastis. Bill Condon dalam film ini membuktikan bahwa Twilight Breaking Dawn bukanlah salah arahannya hahaha. Di bawah penanganannya, Beauty and the Best tampil dengan kostum cantik dan set yang glamor. Semuanya stunning banget. Tentu saja ada banyak penggunaan CGI dalam film ini, dan dilakukan dengan begitu terinkorporasi ke dalam elemen live-action sehingga semuanya tampak mulus. Tokoh-tokoh benda anthropomorphic digambarkan, tidak dengan imut, tetapi lebih kepada agak-menyeramkan karena film ingin menekankan kepada tema lihat-lebih-jauh-dari-sekedar-tampang-di-luar. Motion capturenya juga bekerja dengan fluid dan sangat baik. Aku suka pembawaan Dan Stevens sebagai Beast. Dia tampak sangat simpatis, namun pada saat yang sama kita enggak benar-benar kasihan padanya hanya karena dia sudah dikutuk.

Tokoh manusia juga terasa sangat hidup. Desa kecil mereka tampak vibrant sekali ketika Belle berkeliling, nyanyi bareng penduduk. Emma Watson sebagai Belle yang mandiri, strong, independen, tapi matanya kelihatan merindukan sesuatu – always long for more terlihat sangat comfort memainkan perannya. Meski begitu, Emma tampak sedikit terlalu pintar buat menyampaikan efek terperangah ketika melihat sesuatu yang ajaib. Cerita sepertinya memang meniatkan buat Belle tampak lebih nyaman berada di istana dibandingkan di kampungnya yang penuh prasangka terhadap persona yang berbeda, but it just sometimes kita ngarepin ada sedikit lebih banyak lagi emosi terkuar dari ekspresi Belle. Salah satu delivery Emma yang aku suka adalah ketika ngeliat tampangnya saat dibawa masuk oleh Beast ke dalam perpustakaan istana. Gaston, however, adalah tokoh yang sangat sempurna dibawakan oleh Luke Evans. Entertaining, deh. Si narsis ini napsu banget ngejar Belle, tapi Belle just want nothing to do with him. Dan dia enggak segan-segan ngebully hanya untuk memperkuat poinnya.

Jika kalian udah pernah nonton atau baca animasinya originalnya (aduh, masa ada yang belum sih?), kalian akan tau ada sedikit dark message dari cerita Beauty and the Beast. Bahwa benih cinta Belle dan Beast tumbuh dari perasaan mutual seseorang yang dikucilkan. Belle dikata-katain karena suka baca buku, ayah Belle dianggap gila karena sedikit eksentrik. Penduduk desa instantly ingin membunuh Beast setelah melihat wujudnya. Lewat Gaston, film ini mendemonstrasikan kecenderungan masyarakat untuk lebih ‘menghargai’ pembully selama mereka punya karakteristik yang sama dengan society.

 

 

Salah satu dari sedikit elemen yang dibengkokkan oleh film ini adalah gimana hubungan Belle dan Beast terbentuk. Dua tokoh sentral ini diberikan backstory yang baru. Kita melihat sejarah keluarga Belle lebih jauh dalam sekuen adegan yang aku sebut dengan sekuen Buku-adalah-Jendela-Dunia. Hahaha, beneran, aku suka gimana film ini RESPEK BANGET SAMA BUKU. Jaman sekarang buku udah mulai ditinggalin, majalah aja banyak yang pindah ke online, aku harap setelah nonton Beauty and the Beast, penonton muda jadi penasaran pengen ngerasain gimana rasanya bertualang bersama buku. Dalam film ini, Beast dikutuk saat dia udah gede dan ketika dia suda menjadi monster, dia masih bersikap sama dengan ketika dirinya masih manusia. Dia cerdas. Dan dia juga suka baca buku. Belle dan Beast berbagi saling kecintaan mereka terhadap buku, saling berbagi pengetahuan, bertukar pikiran, mereka tidak tumbuh jatuh cinta karena Belle kasian dan ngajarin Beast banyak hal kayak di versi 1991. Dalam film ini hubungan mereka terasa lebih mutual dan lebih grounded. Adegan Belle bilang dia suka Shakespeare dan Beast pasang tampang “lu mainstream banget sih, buku lain banyak kali” adalah salah satu adegan termanis buatku.

Begini jualah tampangku ketika pertama kali tahu dan diajak masuk ke toko buku Kinokuniya

 

 

Film ini juga mutusin buat ngetweak certain character. Ada portrayal yang bakal bikin orangtua merasa awkward udah ngebawa anak-anak nonton film ini. Peran tersebut ‘disamarkan’ dengan baik sebagai comic relief, meski saga nya actually berjalan beriring dengan tema unrecruited love yang jadi salah satu bahasan utama film ini. Disney udah ngambil keputusan yang berani buat masukin elemen tertarik-kepada-sesama-jenis ke dalam film buat keluarga. Kita boleh saja bersikap open-minded, namun kita juga gak bisa nyalahin kalo ada yang sampe ngelarang film ini tayang di negara mereka. Ataupun kalo ada orangtua yang enggak suka. Ini adalah masalah yang bisa dimaklumi meski padahal sebenarnya sejak dulu Beauty and the Beast selalu jadi korban becandaan soal bestiality.

 

 

 

Film ini menambah daftar keberhasilan Disney dalam mengadaptasi animasinya ke dalam live action setelah Cinderella (2015), The Jungle Book (2016), dan Pete’s Dragon (2016). I was very happy with what I got. Jejeran castnya really on-point. Ini adalah film yang cantik, menawan kita kayak Beast menawan Belle, fantasi yang ajaib, cerita cinta yang manis dan mengharukan. Punya inklinasi yang jauh lebih dalem dari sekedar “buruk di luar belum tentu buruk di dalam”. Namun buat yang ngarepin tontonan yang lebih original dan yang benar-benar berbeda dari versi sebelumnya mungkin bakal kecewa karena urgensi magisnya memang jadi berkurang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BEAUTY AND THE BEAST.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

LA LA LAND Review

“To (pursue) dream is to accept that you’re going to sacrifice more than you could have ever imagined.”

 

lalaland-poster

 

La La Land merupakan film yang paling berjaya di Penghargaan Golden Globe 2017 kemaren. Nyabet tujuh piala, loh! Dalam drama musikal modern ini, Ryan Gosling jadi Sebastian, seorang pemain piano yang punya passion begitu tinggi terhadap aliran musik jazz. Sementara itu, Emma Stone memainkan Mia yang bercita-cita menjadi seorang aktris. Mereka berdua bertemu dan mulai saling tertarik. Dan mereka kemudian menyanyi dan menari, menceritakan kisah perjalanan menggapai mimpi dengan begitu menawan.

Genre musikal bukanlah genre film yang paling aku sukai, in fact aku malah gak begitu larut dengerin musik secara umum. Namun hal ini bukannya jadi penghalang bagiku untuk menyukai La La Land. Because this is a well-made film. Aku sangat senang menonton film ini. Pertama, aku selalu cinta sama adegan-adegan audisi film dalam film, aku suka film yang menyorot backstage dunia sinema. Kedua, adalah dilihat dari kodratnya sebagai film musikal. The way film ini ngehandle adegan-adegan nyanyi. Begitu ada satu karakter yang mulai bernyanyi lantas menari, film ini membuatnya tampak sebagai progres alami. Kalian tahu, adegan tersebut tidak terasa dibuat-buat, kita instantly konek bahwa mereka bernyanyi dari hati, both literal dan metaphorically. MUSICAL NUMBERS DALAM FILM INI TIDAK PERNAH TERASA ANNOYING. Tidak pernah terasa pisah dari storytelling, tidak terasa seperti “yak, waktunya nyanyiii, semoga suka yaa”. Adegan openingnya saja – para pengguna jalan nyanyi bareng di jalanan yang macet – better dan lebih menyenangkan daripada opening Ini Kisah Tiga Dara (2016).

teletabis, teletabiiiiss!!
teletabis, teletabiiiiss!!

 

Dan oh, betapa cantiknya. Los Angeles, kota para bintang, sangat rupawan tergambar oleh film ini. It looks INCREDIBLE THE WAY IT IS SHOT. Arahan sutradara Damien Chazelle yang hingar bingar namun tetap membuat kita khusyuk menyaksikan adegan-adegan yang mengalun merdu. Editing yang cepat, take-take panjang yang indah, dan sekuens tarian yang elok, semuanya membuka lembar demi lembar cerita dengan mulus sekali. Film ini precise sekali, aku menjadi beneran sedih ketika tulisan ‘Fall’ (re: musim gugur) nongol tepat setelah Sebastian main di grup band electronic-garis-miring-modern Jazz.. Anyway, kalo kalian nanya adegan nyanyi favoritku, maka tentu tentu saja jawabannya adalah ketika Sebastian dan Mia menyanyi dan menari di bukit dengan latar senja LA yang jelita.

Dari scene ke scene, La La Land tampak amat sangat entertaining. Bahkan proses membuatnya pun seperti sungguh menyenangkan. How they played it. I mean, performances dalam film ini sungguh gemilang. Enggak salah kalo film ini diganjar, bukan hanya Best Director, namun juga Best dari penampilan kedua leadnya. Ryan Gosling is always so awesome, ditambah oleh sangat mesmerizing gimana dia memainkan piano itu. Dan Emma Stone memberikan performance terbaik dalam karirnya, sejauh ini. Menakjubkan pencapaian kedua aktor ini. Mereka membuktikan bagus di komedi, bagus di drama, dan bahkan bagus juga di musikal. Masih ingat adegan kocak Stone di Easy A (2010) ini?


When you look at that, kemudian nonton Emma Stone di film La La Land ini, you couldn’t help not to say: “Incredible.”

 

Namun demikian, apa yang paling aku suka, melebihi kualitas teknikal dan penampilannya yang luar biasa, adalah film ini mendorong penontonnya untuk mencapai impian mereka masing-masing; La La Land terasa sangat genuine dalam menyampaikan pesan tersebut, as if film ini dibuat oleh seseorang yang betul-betul paham dan mengerti gimana rasanya bertahan menggapai mimpi.

La La Land adalah surat cinta kepada orang-orang yang penuh passion.

 

Sebastian sangat passionate sebagai pemain piano jazz, akan tetapi dia tidak bisa memainkan apa yang ia suka. Kerjaannya malah mainin Jingle Bells di restoran mewah. Mia tunggang langgang bolak balik ikutan audisi, tapi tidak satu agensi pun yang nunjukin respek; audisinya terpotong singkat, tidak ada orang yang sungguh-sungguh memperhatikan usahanya. La La Land nunjukin gimana pretentious dan absurdnya dunia, khususnya dunia hiburan di LA. Namun apa yang sesungguhnya dilakukan film ini adalah mengguncang keras orang-orang yang punya passion di luar sana. Orang-orang yang punya mimpi. Orang-orang yang ingin sukses melakukan apa yang mereka cintai. Film ini menyuruh mereka untuk ambil tindakan dan lanjutkan kejar mimpimu, tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh orang lain.

There is this one incredible scene. Sebastian dan Mia duduk dengerin band mainin Jazz di sebuah klub. Sebastian ingin Mia untuk mengerti keindahan musik ini. Dia ‘memaksa’ Mia untuk mendengarkan Jazz sebagaimana dirinya sendiri mendengarnya. Sebab Mia bilang baginya Jazz adalah sebatas musik yang menenangkan, musik lembut yang biasa ngiringin dia naik-turun di dalam elevator. Sebastian got so passionate about it, bisa dibilang kinda marah. Sebastian jengkel kenapa tidak ada yang mengapresiasi musik ini apa adanya – sebuah seni. I love how passionatenya Sebastian tergambar dalam adegan ini. As for the relationship, Sebastian dan Mia ini manis banget the way mereka saling support, masing-masing menggapai apa yang mereka cinta because they fall for each other.

jadi pengen bawa cewek jalan ke planetarium juga
jadi pengen bawa cewek jalan ke planetarium juga

 

Personally, aku merasa sangat related kepada both Sebastian dan Mia. Sebastian ingin mainin Jazz, punya klub sendiri, karena dia ingin ‘menyelamatkan’ that dying music genre. Mia ingin punya teater sendiri karena dia cinta bercerita. So they keep digging and digging. Terus menemukan dan mengejar mimpi. Namun kenyataan selalu berhasil menyusul ekspektasi. Mesti ada pengorbanan yang dilakukan. Ketika kita punya begitu banyak dan tidak bisa membuatnya seimbang, akan selalu ada pain yang involved.

Nyanyian Mia menjelang akhir, lagu yang magical banget itu, “Here’s to the one who dream, foolish as they may seem..” buatku terasa seolah dia bersenandung langsung di telingaku. Mendorong untuk terus. Because apa yang mereka lakukan, aku juga melakukannya. That’s what I’m doing here. Aku menulis review ini meskipun aku tahu tidak akan ada yang baca. Aku tetap saja nulis karena aku peduli sama film. Aku mau film terus menjadi bagus. Aku mau bisa bikin film yang bagus. No one would hire me to write so I’m trying to build my own platformthis blog. Kayak Mia yang gagal audisi lagi-dan-lagi, jadi dia menulis ceritanya sendiri. Aku ikutan Nulis Bareng Lupus karena ingin ‘nyelamatkan’ Lupus dari peremajaan-yang-berlebihan, I’ve told this ke mas Hilman Hariwijaya himself, tapi mereka mau beregenerasi dan move on, so I took the risk. And I failed. Tidak berarti berhenti mengejarnya. Yea, film ini punya banyak emotional note buatku, terutama di pertengahan hingga ke akhir.

Semua orang berjuang menggapai mimpi. Banyak yang saling bentur, passion dengan kerjaan. Idealisme dengan realita. Eventually, everything wil be. Kita bisa kapan saja berhenti ngelakuin hal yang tidak kita suka, namun tidak semua orang akan melihat appeal dari apa yang kita inginkan. Lalu bagaimana kita hidup? Dengan menjadi diri sendiri. Tokoh-tokoh film ini don’t shy away dari konsekuensi pilihan yang mereka jalani.

Cari makan, ya cari makan. Ngejar mimpi, ya ngejar mimpi. Sah-sah saja. Hanya saja, jangan bilang pengen ideal, tapi cari makan. Jangan bilang ingin cari makan, kemudian sok berdilema mau-tap- enggak-bisa menjaga kualitas karenanya. Selalu ada pengorbanan. Lakukanlah apa yang dicinta. Lakukan apa yang mesti kau lakukan demi yang dicinta.

 

 

 

Grand Piano (2013), Whiplash (2014), dan sekarang film ini; jelas sekali Damien Chazelle terinspirasi oleh musik. Dan sebagai filmmaker yang masih terhitung muda, tampak benar dia mengerti gimana rasanya menginginkan mimpi, passion, terwujud. Dia mengerti godaan, struggle, dan ultimately pengorbanan yang harus dilakukan agar mimpi tersebut menjadi nyata. Dan film ini sukses berat menceritakan semua tersebut dengan balutan musikal yang hebat. Adegannya mengalun seamlessly. Semulus para pemain menghidupkan perannya. This is one of the best directed movies tahun 2016. This is one of the best musical movies of all time.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for LA LA LAND.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.