ENOLA HOLMES Review

It means I’m strong enough to handle things all by myself.”
 

 
 
Enola adalah kebalikan dari ‘Alone’. Remaja cerdas itu tadinya kurang paham kenapa ibu menamainya seperti itu. Karena nama kedua abangnya jelas-jelas tidak bisa dibolak-balik begitu; Mycroft dan Sherlock. Ya, Sherlock yang itu. Yang detektif terkenal itu. Jadi setidaknya misteri pertama dari cerita ini terungkap sudah. Enola adalah adik bungsu dari Sherlock Holmes. Dan dalam film ini kita akan melihat Enola punya kemampuan memecahkan misteri yang gak kalah mengesankan dari abangnya tersebut. Film yang diadaptasi dari novel karangan Nancy Springer – yang clearly sangat menghormati Sir Arthur Conan Doyle sebagai sumber imajinasi dunia Holmes versi dirinya – mengisahkan petualangan Enola yang punya pesona dan warna berbeda dari petualangan Sherlock Holmes. Sutradara Harry Bradbeer mengemasnya sebagai cerita petualangan detektif wanita yang bahkan lebih ceria dari Nancy Drew, dengan mengedepankan isu feminisme untuk membuat ceritanya semakin relevan.
Namanya jadi misteri yang menarik baginya, sehingga si bungsu Holmes ini jadi menggemari cipher alias sandi/teka-teki susunan kata. Ia awalnya tidak mengerti kenapa sang ibu menamainya ‘alone’ padahal mereka selalu bersama. Setelah ayah meninggal dunia dan dua abangnya merantau ke berbagai penjuru Eropa, Enola tinggal berdua dengan ibu. Mereka menghabiskan hari dengan berbagai aktivitas. Ibu ngajarin Enola bermacam-macam. Mulai dari menenun, main tebak kata, bereksperimen kimia, hingga main tenis – di dalam rumah! Saking deketnya mereka, Enola sama sekali gak kebayang dia hidup sendirian. Hingga sang ibu menghilang dari rumah. Misterius sekali. Dua abang Enola pun pulang untuk memecahkan misteri ini. Tapi kedatangan mereka membawa ancaman kungkungan kepada Enola, karena kedua abangnya kurang terkesan dengan hasil didikan ibu terhadap Enola. Mycroft ingin mengirim Enola pergi ke sekolah wanita untuk menjadikan Enola wanita yang ‘seharusnya’. Sebelum itu kejadian, Enola yang berhasil menemukan petunjuk yang ditinggalkan ibu, pergi diam-diam, dengan menyamar sebagai anak cowok. Dalam memulai petualangannya mencari ibu di London, Enola bertemu dengan kasus pertamanya. Kasus yang membuat ia memikirkan ulang makna dari kesendirian dan menjadi wanita yang kuat.

Ajarkan feminisme sejak dini

 
 
Aku gak bohong kalo ada bagian dari film ini yang membuatku jadi teringat sama Mulan (2020). Terutama karena kedua film ini vokal sekali dengan suara pemberdayaan perempuan. Untungnya, Enola Holmes adalah cerita yang jauh lebih menyenangkan untuk diikuti. Film ini punya dunia yang lebih vibrant dan gak takut menampilkan humor. Dengan karakter yang lebih hidup; dan terutama karakter-karakternya lebih relatable. Agenda feminisme dalam film Enola Holmes ini dimasukkan tidak dengan paksa, melainkan dengan tetap memikirkan dampaknya terhadap narasi. Ada satu adegan yang aku suka karena benar menunjukkan konsistensi pada Enola yakni ketika Enola selamat nyawanya karena korset yang ia kenakan; ini konsisten dengan gagasan wanita menjadi dirinya sendiri, Enola selamat dengan menjadi wanita. Tidak seperti pada Mulan yang gak konsisten dengan adegan Mulan harus menjadi wanita tapi malah menunjukkan dirinya justru diselamatkan ketika ia mengenakan armor lelaki. Enola juga tidak pernah tampil sebagai Mary Sue – istilah buat karakter cewek yang dibuat sempurna yang serba-bisa sampai-sampai melemahkan karakter lain hanya untuk membuatnya terlihat semakin ‘kuat’. Dan buatku inilah kelebihan Enola Holmes dibanding film-film feminis kebanyakan. Film ini masih memikirkan bagaimana menuangkan agendanya ke dalam naskah dengan merata sehingga tidak membuat karakternya demikian sempurna.
Karakter Enola ditampilkan sebagai remaja yang vulnerable, dengan banyak hal yang masih harus ia pelajari di dalam petualangannya.  Ketika Enola digambarkan panjang akal, jago berantem, dan sangat mandiri, naskah menyeimbangkan karakter ini dengan menunjukkan bahwa ia sudah mempelajari semua itu sedari kecil. Dan bahkan dengan segala kemampuan itu, Enola masih diperlihatkan kurang pengalaman. Dia tidak serta merta berhasil. Masih ada kegagalan, lalu berpikir ulang. Karakter ini masih perlu belajar banyak. Konflik pada dirinya terutama adalah tentang ibu yang ia yakini tidak akan meninggalkan dirinya. Namun hal tersebut selalu ditentang saat beberapa kali Enola ditampilkan tertohok oleh pertanyaan dari berbagai karakter mengenai kenyataan bahwa sekarang ia tidak tahu di mana ibunya berada.
Di situlah permainan peran dari Millie Bobby Brown (aktor muda temuan, dan kuyakin sekarang kebanggaan, Netflix) mengangkat film ini setinggi-tingginya. Di tangannya, Enola tampil sebagai karakter utama sejati; kita peduli padanya, kita berempati kepada konfliknya. We just love to cheer for her. Millie adalah Enola yang ceria, funny in her own way, sedikit pemberontak tapi tak pernah annoying. Sutradara Bradbeer tidak menyia-nyiakan karisma dan pesona yang dibawa oleh Millie kepada karakternya. Bradbeer sudah mempersiapkan konsep ‘breaking the fourth wall’ sebagai device untuk menghadirkan Enolanya Millie langsung face-to-face kepada kita. Ini membuat semua eksposisi yang dibutuhkan cerita tersampaikan lewat cara yang kita semua gak bisa tolak. Emangnya siapa juga yang gak mau diajak ngobrol sama Enola, kan? Millie begitu mulus berpindah dari ngomong kepada kita dan ngomong ke karakter-karakter di film. Aktor muda berbakat itu hampir membuat kita merasa seperti bagian dari diri si Enola itu sendiri. Kita bukan cuma sebagai penonton, kita turut jadi bagian dari karakterisasinya.
Millie doesn’t even flinched when the script asks her to do some action. Memang, selain berwarna, lucu, dan berbobot agenda, film ini juga punya muatan aksi. Film ini menampilkan beberapa adegan ketika Enola berantem tangan kosong dengan penjahat. Dan adegan-adegan aksi ini punya rentang tone yang cukup drastis. Ada yang penuh ledakan tapi berbau mirip fantasi. Bahkan ada juga yang lumayan violent. Like, real murder attempt kind of violent. Tingkat kekerasannya yang cukup tinggi tersebut membuat tone cerita film ini secara keseluruhan agak sedikit gak seimbang lagi. Cerita ini memang sedari awal dibangun dengan dibayangi oleh subteks kriminal, tapi menurutku resolusi yang berupa berantem beneran tersebut seharusnya lebih dibangun atau setidaknya dunia yang jadi panggung Enola bisa lebih digelapkan sedikit, supaya menyeimbangkan atau memperkecil rentang tone yang ditampilkan di awal dengan di konfrontasi akhir.
“Jangan sampai jurus Demogorgon Killer gue keluar ya!”

 
 
Sebagaimana film-film petualangan adaptasi novel lainnya, Enola Holmes juga dihadapkan pada tantangan memuat-banyak-dalam-durasi-terbatas. Dan boleh jadi, ini adalah perlawanan yang lebih berat ketimbang memperjuangkan gerakan perempuan. Karena meskipun film ini berhasil membuat tokoh perempuan yang benar-benar kuat dan respectable, di sisi lain film ini masih tersandung saat bercerita hal yang kompleks meski diberi durasi yang sudah cukup panjang. Ada banyak karakter pendukung, ada banyak plot sampingan, yang harus disampaikan tetapi film ini tidak benar-benar mulus dalam menyampaikannya.
Soal fokus ceritanya, film ini jadi seperti terbagi dua. Yang diangkat di awal adalah persoalan mencari ibunya. Namun di pertengahan, seiring dengan perkembangan karakter Enola, fokus cerita berpindah ke menolong seorang anak bangsawan yang diburu oleh seseorang. Meskipun memang naskah sekuat tenaga untuk membuat dua ‘main objectives’ ini saling berkaitan, tetapi tetap saja ini memecah motivasi tokoh utama. Sehingga berakibat pada berkurangnya urgensi pada petualangan besar si protagonis ini secara keseluruhan. Tidak ada, katakanlah deadline, yang mengejar atau menjepit Enola untuk menemukan ibunya secepat mungkin. Begitupun dengan kasus perburuan yang ia tangani; tidak ada urgen yang membuat kita ingin Enola berhasil karena kasus tersebut tidak benar-benar berbahaya bagi Enola. Itulah sebabnya kenapa cerita di bagian akhir dibuat jadi sedemikian violent; Supaya Enola bisa benar-benar tampak dalam bahaya. Thus, stake cerita diharapkan jadi naik. Karena sepanjang cerita, stake yang dimiliki Enola cuma dia gak boleh sampai ketahuan oleh dua abangnya. Sekolah khusus wanita yang strict tersebut tidak kuat atau tidak cukup dramatis untuk dijadikan ganjaran. Misteri hilangnya sang ibu pun pada akhirnya tidak diberikan konklusi yang sebanding dengan build upnya.

Being independent dan mempercayai kekuatan sendiri bukan berarti kita harus mengerjakan semuanya sendirian, ataupun hanya demi diri sendiri. Petualangan yang ditempuh oleh Enola mendewasakan dirinya terhadap hal tersebut. There’s no shame jika dalam perjalanan pemberdayaan, kita menemukan cinta dan malah menunjukkan kebutuhan untuk bekerja sama dengan orang. Karena bisa berdiri sendiri bukan berarti kita harus memilih untuk sendiri.

 
Karakter-karakter pendukung yang cukup banyak jumlahnya itupun masih belum dihidupkan secara maksimal. Salah satu yang niscaya jadi pusat banyak perhatian tentunya adalah karakter Sherlock Holmes. Namun tak banyak dilakukan oleh Henry Cavill sebagai tokoh ini. Melawan pakem karakter eksentrik dan cueknya, Sherlock di sini ditempatkan sebagai low-key mendukung Enola. Namun ini justru membuat tokohnya berada ngambang di tengah-tengah. Di antara Enola yang free-spirited dengan abang tertua mereka yang total strict. Dari sini saja mungkin kita sudah bisa melihat bahwa karakter-karakter di cerita ini sebenarnya bisa untuk padetin lagi. Sherlock dan Mycroft bisa saja dirapel menjadi satu karakter yang lebih bakal terasa lebih flesh out. Bikin aja, misalnya, Sherlock yang strict dan jadi antagonis utama buat Enola. Sehingga ia akhirnya akan mengalami perkembangan dan punya lebih punya banyak hal untuk dilakukan. Mestinya sih bisa jadi lebih menarik, I mean, kapan lagi kan kita melihat Sherlock dalam cahaya yang lain.
 
 
 
Perhaps, jebakan terbesar yang berhasil dilompati oleh film ini adalah jebakan untuk tampil seperti fan-fiction dari cerita Sherlock Holmes. Enola dan karakter-karakter lain boleh jadi bukan kanon dalam semesta Sherlock Holmes, tetapi film ini sendiri berhasil membuktikan diri sebagai cerita utuh yang layak dinanti pengembangannya lebih lanjut. Keberadaan film ini layak untuk ditetapkan sebagai semesta alternatif dari tokoh ikonik yang sudah ada. Tokoh utamanya sendiri benar-benar menarik, kuat, dan adorable. Dia adalah heroine (jagoan cewek) yang ideal, baik dalam narasi detektif maupun dalam agenda feminis. Film ini bisa kita lihat sebagai introduksi yang cukup kuat jika memang ceritanya masih akan dibuat terus berlanjut. Dengan beberapa catatan kecil soal problem yang lumrah ditemukan dalam cerita-cerita petualangan adaptasi buku, film ini tetap menghibur berkat penampilan akting dan nuansa fresh yang dibawa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ENOLA HOLMES

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih ‘merasakan kesendirian’ itu bagi diri kita?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE DEVIL ALL THE TIME Review

“I object to violence because when it appears to do good, the good is only temporary; the evil it does is permanent”
 

 
 
Salah kaprah dalam beragama membuat kita melihat setan sepanjang waktu. Karena tak ada yang lebih parah daripada menjadi munafik; merasa paling suci di antara yang lain lalu bertindak seenaknya hingga sampai menipu atau merugikan orang dengan dalih agama. Dalam film The Devil All the Time kita melihat jemaat yang membunuh, pengkhotbah yang memperkosa, dan orang-orang yang percaya tindakan keji yang mereka lakukan adalah atas nama kebaikan. Film ini mengerikan, begitu banyak kematian, begitu beragam kejahatan yang mampu dilakukan oleh manusia. Yang ditunjukkan oleh film ini bukan hanya sebatas bagaimana tragedi mempengaruhi keluarga, bahkan lingkungan. Melainkan juga memperlihatkan bagaimana sebuah keyakinan dapat  sebuah keyakinan dan kejahatan dapat saling bersisian.
Kejahatan dan tragedi yang dihasilkannya dalam cerita The Devil All the Time berawal dari seorang serdadu Amerika di Perang Vietnam yang pulang kembali ke kota kecil kelahirannya di Ohio. Membawa beban mental dan trauma atas kejadian yang ia alami di medan perang sebagai oleh-oleh. Kenangan yang tak bisa lepas dari pikirannya. Malahan justru menyebar dan saling mempengaruhi dengan keadaan di sekitar. Serdadu ini, si Willard (Bill Skarsgard memainkannya seperti orang yang kesurupan oleh mimpi buruk), meminta pertolongan Tuhan. Dia membangun altar ibadah sendiri di pepohonan di belakang rumah. Dia ke Gereja dengan rutin bersama istri dan anaknya. Cerita berubah menjadi buruk tatkala ibadah itu tidak lagi menjadi sesuatu yang positif bagi Willard. Berdoa justru membuatnya beralih ke kekerasan. Kekerasan yang ia turunkan kepada putra semata wayangnya, Arvin. Dan dari sini semuanya menyebar. Jalur kekerasan membawa Arvin tumbuh gede, tanpa orangtua. Sampai akhirnya, jalan hidup Arvin (Tom Holland membuktikan aksen dan aksi emosional bukan sandungan baginya) bertemu dengan generasi penuh kekerasan lainnya.

Kau sadar dunia itu sempit ketika polisi yang membantumu menjadi polisi yang memburumu.

 
 
Selain Arvin dengan ayahnya, kita juga akan mengikuti karakter-karakter seperti adik tiri Arvin, ayah si adik tiri, sepasang kekasih yang tampak baik hati tetapi nyatanya adalah pembunuh berantai yang punya modus operandi sinting, dan seorang polisi korup. Diperankan oleh aktor-aktor ternama yang jelas tidak main-main dalam menghidupkan perannya. Film ini tumpah ruah oleh penampilan akting yang memukau dengan merata. Kita gak akan cepat melupakan peran Robert Pattinson, atau Sebastian Stan, atau Riley Keough, bahkan peran kecil Mia Wasikowska pun niscaya akan membekas. Segitu banyaknya karakter dalam film ini. Babak awalnya akan sering membawa kita berpindah-pindah dari satu sudut pandang ke sudut pandang karakter lain. Dari satu periode masa loncat mundur ke periode lain, lalu balik kembali. Menonton film ini seperti sedang membaca novel dan kita membayangkan kejadiannya di kepala. Imajinasi akan kejadian itulah yang kita tonton. Dan ternyata film ini memang diadaptasi dari novel.
Sutradara Antonio Campos mencoba untuk sedapatnya melinearkan alur lewat ritme karakter. Willard dan Arvin dijadikan tubuh utama di sini. Jika pada novel, ceritanya tiap chapter membahas atau memfokuskan pada tokoh yang berbeda-beda, maka dalam film ini perpindahan tokoh tersebut dilakukan dengan langsung, tanpa ada pembatas. Hanya suara narator saja yang menuntut kita melewati ‘halaman per halaman’ cerita. Konsep bercerita ini dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan gagasan cerita bahwa kejahatan atau kekerasan itu berputar pada satu siklus. Melibatkan banyak orang di kota kecil tersebut, yang semuanya terhubung oleh sebab yang sama, dan eventually akan saling bertemu.
Setan dalam judul cerita ini bukan merujuk kepada setan supernatural alias hal-hal mistis. Melainkan sebuah simbol. Perjuangan manusia melawan hal yang ia takuti, melawan ‘setan’ di dalam dirinya sendiri. Willard mukulin orang-orang, membunuh anjing kesayangan anaknya, dan kemudian ditemukan bunuh diri. Tindakannya itu bukan karena dia dipengaruhi hantu dari medan perang. Melainkan karena dia menderita begitu banyak sebagai efek dari perang. Kejadian mengerikan yang harus ia lakukan di sana memberikan tekanan kepadanya yang berusaha untuk menjadi ayah yang baik. Lalu ditambah pula oleh istri yang sakit. Hancur-lah dia. Begitu juga dengan karakter lain. Mereka punya masalalu mengerikan masing-masing, dan mereka berjuang untuk meyakini sesuatu sebagai bentuk penguatan diri supaya bisa terus hidup. Mereka mengira mereka lantas menemukan Tuhan, yang merupakan simbol dari keselamatan. Namun nyatanya mereka hanya menciptakan ‘keselamatan’ yang palsu.
Maka dari itu, meskipun film ini menampilkan orang-orang taat – yang kesehariannya dekat dengan agama dan penegak moral lainnya – yang ternyata adalah pelaku kejahatan, tapi agama atau hukum moral itu sendiri tidak pernah terasa dijadikan antagonis. Fokusnya selalu adalah ke si karakter; kita dibuat melihat masing-masing mereka secara personal. Karakter Arvin ditampilkan untuk menyeimbangkan ini semua. Dia tidak bertindak sebagai penganut agama yang taat ataupun punya moral kompas yang lurus. Instead, dia adalah seorang yang benar-benar telah dikacaukan oleh semua kejahatan dan tragedi yang terjadi kepadanya. Ayahnya mengajarkan bahwa kekerasan adalah tindakan yang harus dilakukan untuk membela diri. Dia punya etika dan moral kompas sendiri, yang merupakan produk dari ajaran dan defense mechanism dirinya. Arvin menjadikan kekerasan sebagai solusi. Dan lewat adegan di konfrontasi final serta adegan di ending, film mengisyaratkan kepada kita bakal jadi seperti apa kiranya Arvin dengan ‘kepercayaan’ yang ia yakini ini.

Dan sepertinya memang bukan cuma pistol yang diwariskan ayah kepada Arvin. Kekerasan adalah solusi menurut setiap karakter di film ini. Karena mereka percaya tindakan mereka itu bertujuan demi sesuatu yang lebih baik. Dengan bijaknya, film ini menunjukkan bahwa mempercayai hal seperti itu adalah sebuah bahaya yang besar. Karena kekerasan akan dengan mudah saling berkait, membentuk sebuah lingkaran setan. Sebuah siklus yang bakal terus berulang. 

 

Ketika kau sadar kau lebih baik sebagai vampir ketimbang sebagai pendeta

 
 
Ada dua hal yang kemungkinan besar menonjol terasa saat kita menonton film ini. Bingung. Lalu kemudian miris karena ikutan depress. Dua kombinasi yang niscaya menguras kita setelah menonton. Bingung, karena di awal-awal narasi film ini yang berpindah-pindah memang terasa membebani. Setiap sudut pandang, setiap kejadian, begitu berbobot oleh muatan gagasan dan detil karakter. Sekaligus juga berjalan cepat, sehingga kita gak yakin ini cerita tentang siapa. Sebenarnya film bisa saja menggunakan chapter atau menggunakan konsep bercerita bolak-balik yang seem random serupa ama Pulp Fiction (1994), sehingga setiap sudut pandang punya ruang untuk terflesh out dan kita juga jadi punya waktu untuk meresapi lalu menyusun kepingannya. Tapi jika dilakukan dengan begitu, siklus atau setiap tokoh saling berkait jadi tidak terlalu mencuat. Sehingga film lebih memilih untuk bercerita seperti yang sudah kita saksikan. Dan durasi dua jam lebih itu memang jadi tidak cukup.
Dengan begitu banyak sudut pandang dan runtutan kejadian, film yang harusnya benar-benar hidup – bahkan latar kotanya – menjadi seperti hanya punya satu nada. Cerita membawa kita menerobos kejadian suram ke kejadian suram. Dari satu kematian ke kematian lain. Sehingga film jadi lebih mirip seperti cerita genre. Just story about how people dead. Padahal gagasan dan makna yang dikandungnya jauh lebih besar daripada itu. Cerita ini butuh lebih banyak ruang untuk menggerakkan kehidupan dunia yang sedang ia ceritakan. Sehingga emosi yang kita rasakan pun akan semakin hidup dan terbangun. Enggak cuma berada pada sisi miris. Untuk mencapai itu, kupikir ya mau gak mau film memang kudu membuat struktur berceritanya menjadi lebih baik lagi untuk mencakup semua yang kurang tersebut.
 
 
 
Cerita yang panjang, penuh oleh penampilan akting luar biasa sebagai pelengkap narasi yang kelam tentang bagaimana kekerasan menjadi bagian dari siklus hidup manusia. In a way, film ini memuaskan karena membawa kita ke banyak sudut pandang dan rangkaian runtutan adegan yang diolah dengan ritme yang membuatnya tak perlu banyak eksposisi. Bagian awal dapat menjadi sedikit membingungkan karena seringnya perpindahan karakter yang dilakukan dengan cepat, tapi ketika periode cerita sudah mulai stabil dan tokoh sentral kedua mulai kelihatan, cerita lebih enak untuk diikuti. Namun juga sekaligus film ini terasa kurang. Karena kita hanya akan merasa kelam/depress/suram saja. Dengan karakter banyak dan rentang waktu yang luas, kita seperti dibuat memohon untuk cerita yang lebih hidup lagi. Semuanya dilakukan dengan baik – aku suka gambar-gambar negatif film yang bikin makin ‘seram’ – hanya saja buatku memang beberapa kali film ini terasa seperti kumpulan adegan-adegan ngeri dari beberapa film crime atau thriller. This is truly one horrifying movie, akan tetapi horrifying-nya itu gak benar-benar feel earned.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE DEVIL ALL THE TIME.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bisakah kita menyetop siklus kekerasan, dengan kekerasan? Bagaimana kalian mengubah situasi lingkaran setan seperti yang dialami oleh Arvin?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE SECRET GARDEN Review

“The grass is greener where you water it.”
 

 
Bagi yang belum pernah menonton versi jadulnya (1993), seperti aku, menemukan kebun rahasia untuk pertama kalinya dalam adaptasi terbaru dari cerita klasik karangan Frances Hodgson Burnett serta merta akan menjadi perjalanan magis yang terasa sangat ‘menyembuhkan’. Terlebih karena film ini hadir di waktu yang tepat. The Secret Garden selalu adalah cerita yang sangat menghargai imajinasi, dan sutradara Marc Munden paham akan hal tersebut. Cerita yang digarapnya kali ini tetap mempertahankan pesona aslinya, tapi dikaitkan sedemikian rupa sehingga beresonansi dengan keadaan kita sekarang. Oleh Munden, cerita ini diracik sehingga punya kemampuan untuk mengobati perasaan kesepian dan terisolasi yang dirasakan oleh banyak penonton sekarang ini melalui kekuatan imajinasi yang dimiliki oleh anak-anak.
Setia dengan materi aslinya, film ini mengisahkan seorang anak perempuan Inggris bernama Mary, yang jadi yatim piatu ketika kedua orangtuanya meninggal karena kolera. Dari kediamannya di India, Mary dibawa ‘mudik’ untuk tinggal di rumah besar bersama pamannya. Rumah yang seperti istana itu tidak ada bedanya dengan penjara bagi Mary yang aslinya adalah anak gedongan dan yah, sedikit manja. Sisa-sisa perang dan kemuraman menjalar pada dinding-dindingnya. Mengurung Mary dengan segudang peraturan, yang tak pernah alpa diingatkan secara ketus oleh ibu pengurus rumah. Mary tidak diperkenankan jalan-jalan sembarangan. Namun tentu saja hal tersebut bukan masalah bagi Mary. Sesi eksplorasinya setiap hari membuat Mary bertemu dengan sepupunya yang gak boleh keluar kamar karena sakit. Membawa Mary kepada pengetahuan baru tentang keluarganya. Dan membuatnya menemukan sebuah taman ajaib, yang tentu saja merupakan obat dari penyakit yang diderita bukan saja oleh sepupunya itu, melainkan juga seluruh penghuni rumah termasuk Mary sendiri. Asalkan mereka memanfaatkannya dengan tepat.

Anu.. ini aku gak nyasar ke film Tall Grass atau ke labirin Alice kan?

 
Kedengarannya memang depressing. Film ini punya dunia cerita yang cukup dewasa (kalo gak mau dibilang dark) untuk anak-anak. Mary bukanlah tipe princess yang patuh dan polos. Dia nyebelin, ngebos, gak mau dilarang, dan saking manjanya dia minta dipakaikan baju kepada pengurus rumah, “Kukira kalian akan melayaniku” tudingnya kepada pengurus yang datang mengantarkan sarapan. Dan btw, Mary gak suka sarapan bubur! Tapi karakternya ini ditulis demikian bukan tanpa sebab. Karakter Mary berkaitan erat dengan hubungannya dengan ibu yang telah tiada. Yang terjadi di situlah yang cukup gelap untuk konsumsi anak-anak. Mary adalah seorang anak yang tumbuh dengan percaya bahwa ibu tidak suka dengannya, dan bahkan bahwa dirinyalah penyebab ibunya meninggal. Mary is one scarred-character yang kini tak punya siapa-siapa sehingga dia harus membenahi dirinya sendirian. Dan dari keadaan itulah muncul kekuatan tokoh ini, yang me-redeem tokohnya menjadi panutan bukan hanya anak-anak melainkan juga orang dewasa.
Mary yang menemukan Kebun Rahasia adalah simbol dari penyembuhan diri sendiri. Dia melambangkan perjuangan untuk mengubah diri dan tidak menanggalkan harapan. Gadis cilik ini – dimainkan dengan teramat tangkas oleh Dixie Egerickx – hanya punya satu defense-mechanism, yakni imajinasinya. Melalui tokoh ini, film meminta kita untuk turut seperti Mary. Untuk kreatif dan menjadikan imajinasi bukan hanya sebagai eskapis, melainkan juga sebagai sumber kekuatan. Naskah juga tidak menahan apapun, Mary yang punya ketertarikan dengan buku dan cerita itu ditempatkan dalam keadaan yang begitu suram; di rumah besar pamannya mimpi-mimpi Mary selalu terganggu, dan yang ceria itu enggak pernah sampai happy ending. Inilah yang mendorong Mary untuk melangkah keluar. Melawan ketakutannya akan tempat yang luas, sesosok anjing misterius, dan akhirnya menemukan Kebun Rahasia. Yang merupakan reward dari tindakannya yang tidak menyerah dan terus berusaha mencari ‘kesembuhan’ yakni penghiburan diri dari kesepian.
Paruh pertama yang punya tone seperti kakak-beradik dengan Pan’s Labyrinth (2006)-nya Guillermo del Toro seketika berubah menjadi menakjubkan dan literally cerah begitu Mary menemukan Kebun Rahasia. Tone cerita juga bergeser, kini menjadi penuh harapan sesuai dengan tokohnya yang optimis bahwa Kebun ajaib itu bisa membantu mereka. Dalam film ini sensasi eksplorasi lewat mata anak kecil terasa menyelimuti hingga nyaris keseluruhan narasi. Antara lorong-lorong gelap mencari keberadaan suara, hingga menemukan ruang rahasia, ke menyusur warna-warni hutan dan bertualang mencicipi kemagisan yang ditawarkan – mau tak mau kita turut merasakan petualangan dan keajaiban tersebut. Dan aku suka cara film ini memvisualkan keajaiban Kebun itu. Kita akan melihat daun-daun pepohonannya yang berubah warna sesuai tiupan angin. Tanaman yang membentuk formasi indah. Bukan hewan-hewan yang datang bermain bersama Mary, pada satu adegan diperlihatkan pohon menjulurkan ranting-rantingnya untuk membantu Mary yang sedang memanjat. Di atas kertas, Kebun tersebut punya khasiat menyembuhkan. Pada layar, di samping memperlihatkan penyakit yang sembuh setelah berkunjung ke sana, secara feeling kita merasakan ‘kesembuhan’ yang sama, dengan perubahan tone dan visual yang disajikan. Perlakuan terhadap Kebun itu rupanya adalah hal berbeda yang ditambahkan oleh sutradara. Kebun itu juga berhubungan dengan ibu Mary dan ibu sang sepupu, dan film ini punya cara tersendiri untuk menjalin di antara keempat elemen tersebut, yang menambah depth misteri dan backstory.
Bukit berbungaa, lukisan nirwanaa

 
Belakangan, ketika pertanyaan pada naskah berkembang dari Mary yang sudah menemukan kesembuhan menjadi bagaimana Mary bisa membawa penyembuhan kepada orang lain, sepupu Mary turut menjadi perlambangan dari kesembuhan diri. Lewat tokoh anak cowok yang nelangsa karena merasa dirinya sakit dan gak bisa berjalan itu film membawa pesan bahwa kesembuhan kita tidak bergantung kepada orang lain. Kitalah yang menjadi penentu, dan akhirnya mengundang keajaiban kepada diri sendiri.
Menonton film ini di kala pandemi, however, kita sebaiknya menjaga untuk tidak tersesat dalam sulur-sulur hiburan. Meskipun dalam film ini yang diperlihatkan adalah bagaimana tokoh yang terkurung akan merasa dirinya tak-bisa-sembuh, dan yang ia butuhkan adalah berani keluar dan menemukan Kebun Rahasia yang terletak di luar, kita tidak bisa langsung menafsirkannya sebagai lockdown di rumah gak sehat dan justru harus keluar beraktivitas seperti biasa. Karena sebenarnya ini bukan persoalan tempat, melainkan soal kebun itu sendiri. Kebun itu adalah tempat Mary dan sepupunya merasa paling dekat dengan ibu masing-masing; kebun itu adalah perwujudan dari apa yang mereka rasakan, bisa dibilang sebagai jiwa mereka. Tempat itu bisa saja adalah kamar berisi barang-barang peninggalan yang Mary temukan, jika Mary dan sepupunya juga memupuk harapan di sana. They simply just choose outside. Ke tempat yang lebih bersejarah bagi ibu mereka. Magic literally ada di sana, tapi tidak berarti Mary dan sepupunya tidak bisa memperoleh kesembuhan di tempat lain, malah tetap saja magic kebun itu butuh ‘persetujuan’ dari mereka seperti yang kita lihat pada sepupu Mary, who just don’t believe and don’t want it in the first place.

Antara berkubang di kesuraman sendiri atau ‘mengeluarkan diri’ dan mencari kesembuhan; sesungguhnya adalah keputusan kita. Yang ditumbuhkan di sini adalah harapan, yang disiram di sini adalah semangat untuk hidup. Bukan tindakan untuk keluar secara harafiah, melainkan keluar dari tidak melakukan apa-apa. Kita cuma perlu untuk tetap menyiram dan menumbuhkan.

 
 
Buatku, film ini tidak segelap Pan’s Labyrinth yang hingga hari ini masih tetap satu-satunya film yang berhasil membuatku menitikkan air mata. Film ini memang berawal dengan suram dan depressing, tapi ceritanya akan menjadi terasa melegakan dan menyembuhkan kita secara emosional. Film ini berakhir dengan membuat semangat dan harapan kita membumbung tinggi. But also, dari perspektif penulisan naskah, film ini kayak sedikit membimbing kita ke arah yang salah, membuat kita menunggu sesuatu yang tidak pernah datang karena ceritanya sama sekali enggak segelap itu. Sepuluh menit pertama yang menyedihkan itu membuat kita sedikit mengharapkan sesuatu yang lebih kelam bakal terjadi. Mood-nya sudah diset ke arah yang kelam, tapi ternyata film ini berakhir ceria. Bukan kesalahan pada ceritanya, hanya saja menurutku seharusnya penyesuaian bisa dilakukan dengan lebih baik lagi, sehingga materi ini bisa lebih fit ke dalam bentuk penulisan film. With that being said, I still think film ini adalah sajian positif yang menyejukkan. Karena di hari-hari ini kita butuh sebanyak-banyaknya keajaiban yang bisa kita dapatkan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE SECRET GARDEN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Jika kita bisa punya Kebun Rahasia masing-masing, seperti apa kebun imajinasi kalian? Kekuatan apa yang dimiliki oleh kebun tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

YOU SHOULD HAVE LEFT Review

“The same people who believes your lies are also the ones who believe in you.”
 

 
 
Harusnya tinggal pergi aja. Seringkali itulah yang kita teriakkan ke arah layar setiap kali menyaksikan tokoh yang masuk dan memilih tinggal di rumah angker. Segampang itu sebenarnya; jika malam hari engkau diganggu penampakan, maka hal pertama yang harus kau lakukan di pagi hari adalah pindah atau malah gak perlu nunggu; langsung cabut aja dari situ. Tips selamat dari rumah berhantu: Pergi dari sana! Namun, bagaimana jika setan itu justru dari dalam diri sendiri. Mau lari ke manapun akan terus menghantui. Bagaimana cara kita kabur dari kebohongan dan kesalahan yang kita lakukan di masa lalu. You Should Have Left produksi Blumhouse yang digarap oleh David Koepp mengeksplorasi psikologi seorang pria yang dikutuk oleh aksi yang dipilihnya sendiri, yang menyebabkan seluruh keluarganya sekarang diteror di dalam rumah seolah neraka yang mengurung mereka bersama-sama.
Pria itu bernama Theo (Kevin Bacon membawa banyak kedalaman kepada karakter ini). Ia adalah pria yang punya uang cukup banyak sehingga bisa menyewa rumah mewah modern di atas bukit pedesaan Wales, Skotlandia. Berlibur bersama istrinya yang bintang film – Susanna yang berumur jauh lebih muda darinya (diperankan oleh Amanda Seyfried yang tak canggung) – dan anak perempuan mereka, Ella (Avery Essex yang menceriakan horor rumah tangga ini). Di dalam rumah yang punya desain unik tersebut, Theo yang ingin memperbaiki hubungannya dengan sang istri, malah dirundung oleh kejadian-kejadian yang ia gak tahu beneran atau mimpi. Ia menemukan pintu di balik rak buku. Pintu yang menuju ke ruangan yang berbeda setiap kali dibuka. Hallway yang semakin memanjang. Dan ada seseorang yang menulisi jurnal pribadinya. Menuliskan peringatan untuk segera angkat kaki dari sana. Hanya saja, Theo dan keluarga tidak bisa keluar sebelum Theo bisa memecahkan misteri rumah tersebut.

Mungkin secara tak sengaja, Theo menyewa Hogwarts sebagai tempat berlibur

 
 
Kalo kalian mencari film yang cocok ditonton untuk merayakan Hari Ayah, You Should Have Left ini bisa dijadikan pertimbangan. Karena walaupun film ini tipikal mainstream Blumhouse banget; rumah yang seemingly berhantu, lokasi tertutup, teror melibatkan anak dan keluarga, dan tentu saja ada adegan yang sepertinya udah jadi trademark horor Blumhouse: adegan disembur muntah hantu, film ini juga terasa berbeda dari biasanya karena memuat sudut pandang kejiwaan seorang ayah yang pada akhirnya mengambil keputusan demi putrinya tersayang. Inti emosional dari film ini adalah hubungan Theo dengan anak, dan istrinya. Paruh pertama lebih banyak berkutat di elemen drama. Theo mencurigai istrinya yang artis ini selingkuh – pada kunjungan pertama Theo ke lokasi syuting, ia harus mendengar istrinya melakukan adegan intim, dan dia sama sekali tidak diberitahu film yang dibintangi sang istri bakal mengandung adegan semacam itu. Film juga menekankan hubungan Theo dengan Ella; putrinya ini sangat sayang kepada Theo, mereka ayah dan anak yang akrab, dan clearly Ella percaya kepada ayahnya. Dan inilah yang akan jadi konflik untuk Theo, karena pria ini diperlihatkan punya sesuatu rahasia mengenai masa lalunya.
Mengenai horor di rumah tempat mereka liburan, I must say, misterinya cukup fun dan bikin penasaran. Theo menyadari bahwa ada sesuatu yang janggal dari desain rumah itu. Lantai yang enggak exactly lurus 90 derajat. Ruangan rumah yang ternyata ukurannya lebih luas jika diukur dari dalam dibandingkan dengan dihitung dari luar. Ada sekuen yang sangat menarik yakni saat Theo dari halaman melihat Ella masuk ke ruang keluarga, mengambil jaket, dan ketika membuka pintu hendak keluar, Ella gak kunjung keluar. Ella menghilang di depan matanya. Karena rumah itu punya banyak ruang rahasia dan Ella nyasar karena salah membuka pintu. Aku pengen melihat lebih banyak adegan-adegan seperti begitu, you know, Theo dan Ella menjelajahi rumah, berusaha menguak misteri desain rumah yang aneh ini. Aku tentu saja lebih menyukai misteri demikian ketimbang horor standar berupa bayangan muncul sekelebat di belakang layar atau belakang tokoh, yang sayangnya lebih banyak dilakukan oleh film ini.
Koepp sebenarnya sudah punya pengalaman membuat misteri tentang pria yang merasa jadi gila (atau memang gila) karena tinggal di tempat terpencil. Ia pernah membuat Secret Window (2004) yang dibintangi oleh Johnny Depp yang punya keadaan dan elemen misteri yang serupa. Yang dari film itu kentara Koepp gak butuh trope-trope horor berlebihan, dan dia punya kekuatan pada drama dan eksplorasi psikologi. Namun pada You Should Have Left ini, aku gak tau entah karena studio/produser ataupun karena gak ingin jadi mirip banget ama Secret Window, Koepp banyak menggunakan teknik horor pasaran yang bukannya membuat film semakin berbobot, tapi malah membuatnya jadi semakin datar. Bagian misteri rumah yang seru tadi, actually baru dimunculkan pada paruh akhir film. Sangat terlambat. Pada paruh awal kita justru disodorkan adegan-adegan mimpi dan adegan kelebatan bayangan yang hardly seram. Film ini bahkan dibuka dengan adegan mimpi-di-dalam-mimpi yang mengangkat alis kita karena si tokoh yang ceritanya lagi mimpi tidak ada dalam adegan tersebut. Mana ada kita mimpikan orang lain sementara kita sendiri gak ada di dalamnya. Bergerak dari logika tersebut, kalo dipikir-pikir, opening tersebut justru memberikan spoiler untuk ending film. Membuat satu-satunya sosok misterius di film ini jadi terbuka kedoknya hanya dalam lima-menit awal.
You should have left the filmmakers alone to do their works

 
 
Paruh awal itu film ingin membuat kita peduli dengan memberikan hook berupa ini adalah drama membebaskan diri dari relationship yang buruk alih-alih membebaskan diri dari rumah hantu. Misteri yang ditonjolkan adalah apakah istri Theo selingkuh, kita diharapkan untuk peduli kepada Theo karena dia adalah pria tua yang udah gak kerja, yang gak ngapa-ngapain, yang dicintai oleh anaknya, tapi begitu rapuh sehingga perlu menenangkan diri dengan jurnal dan kaset rekaman yoga. Namun ini semua enggak bekerja karena justru di situlah masalahnya. Kita gak tau siapa Theo ini. Pada novel aslinya, Theo adalah seorang penulis naskah film. Pada sinopsis di halaman IMDB film ini, Theo adalah seorang banker. Jadi siapa dia? Gak jelas, pada film ini sendiri dia pernah diperlihatkan dia ngapain, kerjaannya apa. Background Theo dijadikan rahasia – kita hanya diberikan eksposisi atas sesuatu peristiwa mengerikan pada masa lalu Theo dan hingga kini Theo hidup dalam tuduhan yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Dan hanya itulah dia. Seseorang yang punya masalalu suram, tapi kita tak tahu persis apa itu. Ini menyebabkan kita gak segaris dengan Theo. Motivasi Theo cuma ngajak keluarganya liburan ke villa untuk memperbaiki hubungan, hanya saja kita tidak pernah tahu apa penyebab semua itu, sehingga kita tidak bisa peduli apakah dugaan Theo salah atau benar. Susanna juga tidak diberikan karakter yang mendalam, ia lebih tampak sebagai device cerita saja ketimbang tokoh yang benar-benar mendukung dalam development tipis Theo.
Seluruh kejadian di babak akhir akan sangat membingungkan karena film mengungkapkan semuanya sebagai kejadian yang beneran terjadi. Kita akan melihat siapa yang menulisi jurnal Theo. Kita akan tahu pemilik bayangan yang berkelebatan sepanjang film. Semuanya begitu literal sehingga justru jadi gak make sense. Film mengontradiksi konteksnya sendiri. Mereka ingin menegaskan teror itu berasal dari dalam Theo, tapi sekaligus memperlihatkan bahwa rumah itu beneran sebuah neraka yang menjerat manusia-manusia yang hidup dengan memendam rasa bersalah. Kita mengerti bahwa pelajaran bagi Theo adalah untuk mengakui bahwa ia bersalah dan tidak lagi berbohong, kita paham dia harus sendirian, maka rumah tersebut mestinya adalah metafora perasaan bersalah yang ia tak bisa lari darinya. Dengan malah membuat rumah itu sebagai entitas beneran, juga dengan tidak memberikan kita ruang melihat masa lalu Theo dari sudut pandang yang lain (katakanlah dari sudut pandang Theo sebelum ‘ngaku’), film malah menanamkan ketidakpastian – keraguan – kepada kita, yang ultimately melemahkan gagasan film ini. Kenapa kita harus percaya pada rumah itu? Toh kalo memang beneran dia ‘memangsa’ orang-orang yang punya kebohongan kenapa Susanna yang mengaku selingkuh masih bisa keluar dari sana? Kenapa Theo yang akhirnya juga mengaku dan bertindak untuk kebaikan anaknya tetap saja harus tinggal di rumah itu? I say, kerjaan film ini sebenarnya masih banyak karena dalam menangani misteri dan drama, film lebih banyak meminta pemakluman kita saja daripada punya jawaban yang benar-benar memuaskan.

Kita boleh saja memilih untuk hidup dalam kebohongan. Lari dari rasa bersalah sepanjang waktu dan menganggap kita baik-baik saja. Namun kita harus sadar, bahwa tidaklah adil untuk memerangkap orang yang sayang kepada kita karena mereka percaya kepada kita. People need to hear the truth. Jangan penjarakan mereka bersama dosamu. 

 
 
 
 
Rumah yang bisa memerangkap manusia, yang menyesatkan dengan ilusi ruang dan waktu, memang adalah sebuah ide kreatif untuk sebuah horor. Tambahkan sudut pandang seorang ayah yang menyimpan rahasia kelam. Ini adalah formula sebuah cerita psikologikal menyeramkan yang bagus. Namun film ini memilih banyak pilihan yang miring. Dia terlalu literal dalam bercerita. Dia tidak benar-benar memberikan daging kepada penokohan tokoh-tokohnya, terutama tokoh utama. Sehingga dengan sangat mengecewakan film ini jatohnya hanya mengandalkan kepada shock value.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for YOU SHOULD HAVE LEFT.

 

 
 
That’s all we have for now.
Film ini juga mengajarkan kita untuk segera angkat kaki dari hubungan yang bikin makan ati. Bertahan lama-lama hanya akan bikin makin nyelekit, pasangan akhirnya selingkuh, or worse – pasangan membiarkanmu ‘mati’ begitu saja. Kenapa tidak pernah gampang untuk keluar dari bad relationship? Apakah anak yang membuatnya semakin susah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ARTEMIS FOWL Review

“Trust is that rare and priceless treasure…”
 

 
 
Menyebut cerita fantasimu seperti gabungan Harry Potter dengan Spy Kids seharusnya merupakan pujian. I mean, otomatis kita akan berasumsi itu adalah pujian karena bayangkan saja sebuah dunia dongeng hunian makhluk-makhluk sihir yang mentereng oleh teknologi-teknologi canggih! Tapi entah bagaimana, sutradara Kenneth Branagh mengacaukan imajinasi tersebut. Film Artemis Fowl yang ia adaptasi dari salah satu novel fantasi populer ini seperti penggabungan yang terburuk, karena arahannya justru membuat dunia khayal tersebut jadi tak-berbobot, tak-berhati, dan tak-berjiwa.
Ceritanya malah begitu amburadul, sehingga menuliskannya ke dalam sinopsis akan membuat paragraf ini seperti racauan gelandangan bermulut bau alkohol murahan yang sering kita temukan nongkrong di sudut kota. Tersebutlah Artemis Fowl, anak dua-belas tahun putra seorang jutawan barang antik. Tapi ada sesuatu yang mencurigakan dari ayahnya yang hobi nyeritain dongeng. Suatu hari ayah Fowl diculik dari ‘perjalanan dinas’ dan disekap oleh seorang misterius yang meminta tebusan berupa Aculos. Artifak berkekuatan super milik bangsa peri. Yea, ternyata di bawah tanah, merahasiakan diri dari manusia hiduplah bangsa peri, kurcaci, troll, dan-kawan-kawan, dengan teknologi yang jauh lebih maju daripada manusia. Artemis Fowl harus memaksa dirinya mempercayai dongeng yang ia dengar sejak kecil, dan berusaha menangkap satu peri, supaya dia bisa mendapatkan Aculos untuk nego membebaskan ayahnya dari penculik misterius. Masalahnya adalah, bahkan bangsa peri sendiri tidak tahu di mana Aculos yang sudah lama hilang dari dunia mereka, dibawa ke dunia manusia. Jadi keseluruhan film pertama dari apa yang diniatkan sebagai seri film Artemis Fowl ini akan membahas perebutan ‘The Lost Aculos’ di atas fungsinya sebagai origin atau perkenalan sebuah dunia magis yang baru.

Dan ‘aku-lost’ oleh hiruk pikuk cerita film ini

 
 
Film ini udah sekitar dua-puluh tahunan mengembara di dapur produksi. Begitu novelnya rampung, sudah banyak yang ngebet pengen memfilmkan ini sebelum dibeli oleh Disney. Gak tau deh berapa banyak draft untuk film ini sejak saat itu. Namun yang jelas, poster ‘coming soon’nya mulai mejeng dari tahun lalu di bioskop. Dan akhirnya Disney merilis ini di tengah pandemi. Di saat film-film unggulan Disney yang lain ditunda hingga bioskop buka, Artemis Fowl muncul begitu saja di layanan streaming official Disney+, sehingga lantas saja menimbulkan pertanyaan kenapa sekarang menjadi waktu yang tepat? Mereka udah nunggu bertahun-tahun, apalah arti menunggu sedikit lagi supaya tayang di bioskop? Melihat keseluruhan film ini, kita boleh lancang menjawab karena Disney sendiri tau hasilnya jelek, sehingga menunggu lebih lama akan makin memperbesar ekspektasi orang-orang, maka to lessen the inevitable damage dirilislah sekarang. Akan tetapi, kalo boleh bersikap positif sedikit, mungkin film ini ditayangkan hari-hari ini karena ceritanya mengandung sedikit pesan yang relevan dengan keadaan.

Bangsa peri dan manusia terpisah karena masing-masing takut dengan yang lain. Ada rasa tidak percaya yang tumbuh. Aculos yang berakhir menjadi pemersatu dua bangsa ini adalah simbol dari trust. Ia adalah harta tak-ternilai, yang punya kekuatan super, yang berhasil menyelamatkan semua berkat dua makhluk; manusia dan peri, yang sepakat untuk saling percaya menjaga dan menyimpannya jauh dari tangan-tangan jahat.

 
Dalam ngereview film, biasanya aku selalu menggunakan formula ‘utarakan nilai plus filmnya dulu, ceritakan yang baik-baik di atas, lalu kemudian ditutup dengan kekurangan dan nilai minus film’. Namun untuk Artemis Fowl ini aku benar-benar kesusahan mencari nilai positif untuk disampaikan kepada pembaca. Karena sama seperti suasana wow dan magis, pencapaian bagus film ini juga sama sekali gak ada. Pesan yang kutulis di atas tadi besar kemungkinan adalah long-reach, yang justru terasa karena menontonnya di tengah masa-masa berita #BlackLivesMatter santer alih-alih karena filmnya memang menyematkan pesan untuk keadaan itu. Karena faktanya, film ini tidak pernah melakukan banyak hal terhadap tokoh-tokohnya yang beragam rupa tersebut.
Aku ingin bisa bilang bahwa petualangan dan pencarian Aculosnya seru, mengasyikkan, ataupun menegangkan, tapi gak bisa. Sebab film ini tidak punya adegan petualangan itu sendiri. Lucu gak sih. Ini benar-benar cocok sebagai film yang ditayangkan di masa pandemi karena Artemis Fowl ini adalah FILM PETUALANGAN YANG TOKOH UTAMANYA DI RUMAH AJA! Artemis gak ke mana-mana. Dunia peri bawah tanah itu, dia tidak ke sana. Tidak ada momen dia tercengang oleh dunia atau makhluk-makhluk yang sama sekali belum pernah ia lihat, not to mention mereka adalah eksistensi yang selama ini tidak ia percayai ada di muka bumi. Kita, penonton doang, yang tau-tau dipindah dari rumah gede Artemis ke bawah tanah melihat bangsa peri. Kita melihat teknologi mereka, di bawa masuk ke antara barisan pasukan peri yang bersenjata unik. Namun kita tidak diberikan waktu untuk meresapi semua itu. Hal-hal berlalu begitu cepat, lenyap dalam lontaran-lontaran eksposisi. Lupakan soal eksplorasi, kita bahkan enggak pernah benar-benar diperkenalkan kepada tokoh-tokoh yang muncul satu persatu. Film cuma menampakkan mereka di layar, sementara informasi tentang siapa mereka, apa yang mereka lakukan, semuanya disebutkan. Kita enggak belajar apapun. Fantasi dan wonder itu sama sekali enggak nyangkut, sehingga film ini tumpul secara emosional.
Padahal setidaknya ada beberapa karakter yang menarik. Komandan peri yang udah beratus tahun membenci manusia kemudian menyadari hal penting. Dwarf yang gak diterima oleh bangsanya sendiri karena punya fisik yang berbeda. Pejuang peri yang diremehkan karena ayahnya melakukan sesuatu di masa lalu sehingga dicap pengkhianat. Film tidak pernah sepenuhnya stop untuk mereka. For the sake of Artemis yang benar-benar membosankan. Tokoh utama kita ini enggak punya sesuatu yang spesial. Sikapnya standar anak orang kaya yang bisa jadi annoying atau sedikit brengsek kepada orang lain. Dia diperlihatkan suka surfing, tapi apa hubungannya itu dengan ini semua. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai ‘criminal-mastermind’, tapi sama seperti banyak hal pada film, semua itu hanya diucapkan tanpa pernah diperlihatkan buktinya. Visual storytelling film ini sungguh gak-jalan. Sutradara sendiri sepertinya bingung untuk menggali karakter ini, bagaimana membuat sebuah anak-kriminal sebagai tokoh film anak-anak, jadi dia memberikan petunjuk kepada Ferdia Shaw – aktor cilik yang memerankan Artemis – untuk diam berekspresi kaku saja setiap kali berbicara. Aku berharap dia terus-terusan memakai kacamata hitam, soalnya paling tidak matanya tak lagi terlihat mengawang menghapal dan nunggu dialog berikutnya.
Untuk sebuah dunia fantasi yang supposedly luas, film memaksa kita untuk mendengarkan saja narasi. Menonton ini seperti terikat kepada paparan yang dicuapkan oleh seorang karakter – dan ini adalah konsep yang benar-benar aneh untuk bercerita tentang sebuah petualangan fantasi. Begini, cerita yang kita ikuti di sini basically adalah flashback yang dikisahkan oleh seorang dwarf raksasa (bayangkan Hagrid, tapi less-simpatik). Di raksasa sedang diinterogasi karena punya hubungan dengan keluarga Fowl dan dia disuruh menjelaskan semua kejadian. Yang ia ceritakan itulah yang kita tonton, dengan konteks yang meragukan karena di menjelang akhir ia menjelaskan bahwa penangkapan dirinya sudah direncanakan, dan dia memang diberikan tugas untuk membeberkan informasi sehingga kita gak bisa yakin semua yang kita tonton beneran terjadi atau cuma karangan berbumbu dari si dwarf. Mungkin inilah pembelaan film; penceritaan mereka begitu simpang siur, kita tidak pernah benar-benar kenal dengan si Artemis yang jadi tokoh utama, kita malah melihat lebih banyak dan lebih tertarik sama bangsa peri, karena si dwarf-lah yang mendongeng dan ia adalah pendongeng yang buruk.

More like, ‘Artemis Foul’

 
 
Dari situ aja, film ini udah sedikit cacat pada logika. Salah satu alasan bangsa peri mencari Aculos adalah supaya rahasia keberadaan mereka tidak terbongkar. Tapi kemudian, setelah Aculos berhasil terselamatkan dan Artemis dan bangsa peri menjadi ally, si dwarf tadi disuruh untuk membeberkan cerita pertempuran mereka kepada manusia? Membuka rahasia bangsa peri dan kemudian pergi dari sana dengan cara yang tidak bersahabat? Aku tidak mengerti endgame si bocah kriminal itu sama sekali. Dan bicara soal aksi, mau bilang porsi action film ini keren, aku juga gak bisa, karena adegan pertempuran gede-gedean di rumah Fowl itu sungguh sukar untuk diikuti dengan mata telanjang kita yang gak dibekali teknologi peri. Semua hanya berlangsung se’duar-duar’nya pembuat film aja, segimana yang kira-kira bikin penonton bengong dan berhenti sejenak mengumpat film ini. Begitu banyak yang beterbangan ditangkap oleh kamera, mulai dari tokoh-tokoh yang tidak kita pedulikan hingga hal-hal kecil yang tidak terjelaskan. Misalnya, kenapa Artemis dan pengawalnya tidak terpengaruh time freeeze, ataupun kenapa kemudian time freeze itu mendadak rusak, dan udah tau rusak mereka semua masih diem di sana aja. Dan ketika ada satu tokoh yang terluka, dan mau-tak-mau kita mulai peduli padanya, film membantah itu semua dengan elemen penyelamat; bangsa peri bisa menyembuhkan segalanya. Dan hey, kalopun ada apa-apa, Aculos bisa memperbaiki apapun karena sangat kuat!
 
 
 
 
Hal paling parah dari film ini adalah dia tidak tau mau menjadi apa. Katanya ini adalah film pertama yang seharusnya membahas origin, tapi banyak hal esensial yang terskip dan hanya disebutkan oleh eskposisi, dan film langsung merapel ke konflik pada buku berikutnya. Katanya ini adalah film petualangan, tapi tokoh utamanya sama sekali tidak ke mana-mana untuk mencari benda yang harus dicari. Dan ultimately, film ingin kita menyukai tokoh utama – mereka mengubah cukup drastis karakter tokoh ini dibandingkan dengan novel – tapi si tokoh sama sekali tidak menarik dan gak ngapa-ngapain, kita juga lebih banyak mengikuti tokoh yang lain. Ini bahkan tidak terlihat seperti film dengan narasi dan karakter-karakter yang hidup, melainkan hanyalah rangkaian adegan-adegan gak spesial. My final words, ini adalah kekacauan storytelling yang mentereng.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for ARTEMIS FOWL.

 

 
 
That’s all we have for now.
Kenapa sekarang kebanyakan justru polisi atau yang bersenjata semakin tidak percaya dan semakin takut kepada orang biasa?
Who can we trust now?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE RHYTHM SECTION Review

“When you dance to your own rhythm, life taps it toes to your beat”
 

 
 
Blake Lively yang kutahu adalah makhluk magnificent yang memancarkan aura bidadari yang lembut, bahkan saat ia berdarah-darah berhadapan dengan hiu. Ia adalah tipe yang kau impikan untuk jadi kakak perempuanmu. Namun aku tak mengenali Lively lagi di film The Rhythm Section ini. Ia jadi kumal banget. Begitu broken sehingga aku gak yakin bakal membukakan pintu jika ia datang bertamu. Aku akan memilih untuk bersimpati padanya dari balik tembok, hoping for the best dia kembali ke jalan yang benar. Namun film ini akan memaksa kita untuk berada di balik kepalanya, atau paling tidak di sebelahnya – menggenggam tangannya – melewati segala aksi balas dendam yang ia kira bakal memberinya ketenangan jiwa.
Tahulah kita bahwa Lively di sini bukanlah Lisa sang junkie PSK. Melainkan dia adalah Stephanie Patrick, mahasiswi teladan yang hidupnya menukik tajam setelah seluruh keluarganya – ayah, ibu, kakak, adik – tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat. Steph yang last minute urung ikut naik pesawat technically selamat, tapi dia sebenarnya juga korban. “Kau hanya belum mati saja“, kata reporter yang menemukan Stephanie. Sang reporter sedang menginvestigasi kasus kecelakaan tersebut karena itu ternyata bukan kecelakaan biasa. Melainkan teror bom yang ditutupi. Pembuat bomnya masih bebas berkeliaran. Dalangnya masih di luar sana, bersembunyi di balik nama alias. Mengetahui hal ini, Steph bangkit, memungut dirinya sendiri dari nestapa untuk mencari pelaku. Menorehkan cerita balas dendam sendiri. Bekerja sama dengan sekumpulan orang di pihak si reporter, Steph meminta untuk dilatih menjadi assassin. Namun balas dendam tidak segampang yang dikira, khususnya ketika berhadapan dengan organisasi tersembunyi. Dan ketika dirimu sendiri juga bersembunyi di balik sesuatu yang bukan dirimu.

Jadi assassin wanita yang kuat supaya bisa dikirim misi ke sana kemari oleh pria

 
Paling baik bagi kita untuk tidak mengharapkan film thriller yang penuh laga seru saat menonton film ini. Karena The Rhythm Section diarahkan oleh sutradara perempuan Reed Morano untuk menyanyikan nada yang berbeda. Film ini adalah jeritan hati dari Stephanie, sepanjang waktu kita akan diminta untuk melihat ke dalam Stephanie. Semua adegan laga akan di-examined dari sudut pandang dan perasaannya. Pemberantasan teroris dan politik kriminal di baliknya tidak akan dibahas jika Stephanie tidak meluangkan emosi terhadapnya. Kamera akan strictly melayang di depan wajahnya. Akan ada banyak sekali adegan Stephanie ‘berhenti’, close up ke wajah, dan kita menyelam masuk ke flashback memorinya. Di sinilah peran Blake Lively menjadi sangat penting. She’s the perfect personification untuk tokoh Stephanie yang terlihat ‘keras’ di luar tapi begitu lembek dan rapuh di dalam. Kita akan menemukan simpati menatap lekat-lekat wajah Lively, dan semakin broken tokohnya ini efek yang dihasilkan semakin kuat.
Stephanie pada masa-masa nelangsanya adalah penampilan terbaik dari film ini. Setiap kali dia berada di fase jatuh, gagal, seperti gak punya harapan, dan menyesali kepergian keluarganya, di sinilah film bersinar. Berkat penampilan akting dan struggle genuine yang dikeluarkan. Film paham cara menonjolkan ini semua. Misalnya pada adegan Steph dilatih bertarung satu lawan satu. Morano memerintahkan kameranya untuk merekam aksi dalam single take tanpa-putus, dan mereka membuat adegan ini berlangsung di ruangan sempit. Laga pada adegan ini gak ada flashy-flashy-nya, tapi begitu memukau karena dengan efektif merekam kefrustasian dan usaha Stephanie untuk menjadi jago berkelahi. Ada transformasi karakter yang tampak genuine sepanjang adegan laga yang gak-sempurna ini. Dan adegannya, seperti semua adegan laga dalam film ini deliberately dibuat amatir karena penting bagi kita untuk dapat melihat Stephanie gak mampu untuk menjadi Petra, persona assassin yang harus ia isi.
Setelah semua latihan, dia berenang di danau yang dingin itu, coba tebak apa yang Stephanie lakukan pada misi pertamanya menghabisi orang? Stephanie babak belur dihajar oleh penjahat di kursi roda. Pada bagian-bagian Stephanie jadi penyusup dalam misi membunuh lingkaran tersangka terorislah film berpotensi menjadi sangat membosankan. Dia gak keren kayak John Wick. Dia enggak mematikan kayak Atomic Blonde. She can’t do shit kayak Jackie Chan. Melainkan, misi Stephanie nyaris selalu gagal karena dia terperangkap dalam pikiran dan emosinya sendiri. Rencananya selalu kacau. Film juga membuat on-point soal Stephanie balas dendam karena tindakan teroris membunuh orang tak berdosa, tetapi saat bertindak sebagai assassin, justru Stephanie sendiri yang membuat banyak orang tak berdosa turut menjadi korban. Setiap rencana yang gagal itu membuahkan damage yang berlebihan, yang memberatkan nuraninya sendiri.
Ini sebenarnya merupakan fresh take dalam genre action. Jika kebanyakan seringkali menampilkan tokoh cewek yang membalas dendam dan langsung jago, The Rhythm Section ini berani memperlihatkan ‘kenyataan’, bahwa gak semudah itu menjadi seorang pembunuh. Manusia biasa gak bisa latihan instant untuk menjadi secakap CIA. Terutama, ini cocok dengan gagasan film soal Stephanie yang berusaha mencari comfort dengan kabur dari dirinya. Pertama dia menciptakan Lisa, sebagai alasan untuk mengasihani diri sendiri, berkubang di jalanan. Kemudian dia tertarik untuk menjadi Petra, assassin wanita yang terkenal sangar. Film juga memunculkan tokoh antagonis yang paralel dengan kondisi Stephanie; yang berlindung di balik persona U17, bedanya hanya si antagonis berhasil memanfaatkan identitas tersebut.

Untuk bisa menembak dengan jitu, Steph harus mendengarkan irama jantung dan napasnya. Film bicara soal setiap makhluk punya ritmenya sendiri, dan itulah yang harus didengar oleh masing-masing. Kita harusnya menari dalam irama sendiri, dan ini maksudnya adalah untuk stay true to who you are. Steph gagal sebagai Petra, dia nista menjadi Lisa. Langkahnya baru mulus, dia lebih berjaya saat mengenali dendamnya sebagai Stephanie, putri dari keluarga Patrick yang mengasihani diri dan berani untuk mengubah itu semua.

 

Jantung adalah drum, napas adalah bass… dan mulut adalah riff gitar “tininiw tinininiiiwww”!

 
Film sayangnya tidak cukup bijak untuk mendengarkan gagasannya sendiri. Alih-alih bergerak dalam irama yang menjadi keunikannya, film mengambil banyak keputusan editing dan bercerita yang aneh. Yang bukan-dia-banget. Pemilihan musiknya, for instance, sangat misleading. At heart, ini adalah cerita yang muram. Gagasannya membutuhkan sang tokoh untuk menjadi ‘bego’ dalam setiap misi, entah itu gagal atau ketahuan dan kabur. Supaya ia lantas memikirkan tindakan yang ia lakukan, mempertimbangkan kembali approachnya dalam balas dendam. Namun film malah memperdengarkan kepada kita musik-musik penyemangat, tak ubahnya film laga yang tokohnya keren dan gak-annoying karena sebentar-bentar flashback. Kesalahan besar saat menonton adalah menciptakan ekspektasi lalu hidup dalam ekspektasi tersebut, membuat film terasa jelek karena gak sesuai dengan harapan kita. Dalam kasus film ini, si film sendiri yang mendorong kita untuk berharap sesuatu yang keren. Padahal cerita dan design yang ditetapkan jauh dari semua itu.
Kemudian soal editing gambar dan kamera. The Rhythm Section sebenarnya punya adegan keren, kayak di Extraction (2020), yakni kejar-kejaran mobil yang seolah single take. Bedanya di film ini, kamera menetap di sebelah Steph yang lagi mengemudikan dengan panik, sambil sesekali nge-pan untuk memperlihatkan kerusuhan di belakang, samping, ataupun depan jalanan. Sekuen adegan yang keren, hanya saja terlalu goyang untuk dapat benar-benar dinikmati. In fact, kebanyakan adegan close up dalam film ini terlalu shaky sehingga fungsinya sebagai penghantar kita merasakan langsung emosi tokoh ini jadi buyar. Belum lagi saat dialog, film menggunakan teknik splicing cut ke momen lain – yang merupakan cara film supaya bisa merangkum banyak plot poin dan kejadian karena cerita ini merupakan adaptasi dari novel yang punya lebih banyak ruang untuk bertutur – yang pada akhirnya jadi flat out confusing. Serta merenggut kita dari perasaan ikut terbonding sama para tokoh. Itulah sebabnya kenapa tokoh-tokoh lain tidak terasa nempel dan kita tidak peduli amat dengan mereka. Relasi Stephanie dengan mereka tidak berkembang dengan normal, dan tidak diberikan waktu yang cukup. Film hanya memuat sebanyak mungkin dan mencoba melakukannya dengan bergaya.
 
 
 
Pendekatan film ini terhadap genre thriller laga balas dendam dengan protagonis cewek sebenarnya cukup segar. Tokoh kita berubah dari mengasihani diri sendiri menjadi berani dan mengkonfrontasi masalah langsung sebagai dirinya. No more pretending. Tidak lagi berkubang dalam nestapa. Namun untuk belajar semua itu banyak kegagalan yang harus dilewati. Dan fase kegagalan ini dapat dengan mudah tertranslasi kepada penonton sebagai laga-yang-membosankan, juga annoying karena tokohnya terlihat bego. Film sendirinya seperti ragu terhadap ritmenya, bimbang untuk menjadi muram dan depressing seperti yang dilalui oleh tokohnya, maka memilih beberapa elemen untuk ‘menceriakan suasana’, but it’s not working karena malah membawa penonton semakin jauh ke bagaimana sebenarnya film ini. Buatku, nonton ini seperti mendengarkan cerita teman mengenai seberapa keren dirinya, tapi aku tidak merasakan hal yang sama.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RHYTHM SECTION.

 

 
 
That’s all we have for now.
Tidak ada yang mudah jika kita melakukan sesuatu untuk diri kita, tapi melakukannya dengan standar orang lain. Stephanie tidak gagal jadi assassin, dia hanya gagal menjadi Petra.
Apakah kalian setuju bahwa menjadi diri sendiri itu jauh lebih susah dan lebih membutuhkan keberanian daripada menjadi orang lain?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE TURNING Review

“We all go little mad sometimes”
 

 
 
The Turning sedianya memang bikin kepala kita berputar-putar saat berusaha mencerna yang sedang ia ceritakan. Apakah hantunya nyata atau tidak. Apakah kejadian dalam film ini beneran terjadi atau bukan. However, horor sebenarnya yang mengendap-ngendap di balik cerita ini adalah soal betapa menjadi gila itu merupakan hal yang paling menakutkan di seluruh dunia.
Diperankan dengan ceria (pada awalnya loh ya, pada awalnya) oleh Mackenzie Davis, Kate Mandell menerima kerjaan menjadi pengasuh pribadi seorang anak perempuan yang mengalami trauma karena melihat orangtua meninggal. Kate tahu persis rasanya besar jauh dari orangtua, maka ia dengan personal menganggap pekerjaan barunya tersebut sebagai tugas mulia. Kate sempat mampir dulu menengok ibunya yang dirawat di tempat yang sepertinya adalah sebuah rumah sakit jiwa, sebelum berangkat ke rumah sang anak di pedalaman terpencil. Rumah yang ternyata sangat besar, halamannya luas, ada istal kuda segala. Sedangkan penghuninya cuma dua orang, si anak yang bernama Flora (yaay akhirnya Brooklyn Prince yang natural banget di The Florida Project dapat film lagi) yang ternyata cerdas dan adorable banget, dan pelayan rumah yang tampak sedikit kaku dan misterius. Kenyamanan Kate bekerja di sana mulai terusik tatkala penghuni lain rumah itu – Miles (Finn Wolfhard menggali sisi creep dan dark-nya), abang Flora yang sudah remaja – kembali karena dikeluarkan dari sekolah. Hubungan mereka gak akrab. Miles ini selain jail, juga creepy banget. Ditambah pula, Kate menemukan buku harian milik pengasuh anak-anak sebelum dirinya. Kate belajar kejadian mengerikan sepertinya pernah terjadi di antara pengasuh tersebut dengan instruktur berkuda yang akrab dengan Miles. Kini keduanya telah almarhum, tapi Kate merasa arwah mereka masih berada di sana. Corrupting the mind of the children. Sekaligus meneror dirinya.

Ssst jangan bilang-bilang kami pernah main film kayak gini yaa

 
Cara terbaik kita menonton film ini mungkin adalah dengan menganggapnya sebagai cerita wanita yang menjadi gila. Aku menyebutnya ‘mungkin’ karena memang tidak ada yang pasti dalam film ini. Sutradara Floria Sigismondi tidak menebarkan cukup banyak bukti-bukti penentu untuk kita memecahkan misterinya. Karena film didesain untuk bergerak dalam konteks membingungkan. Tema yang bergaung kuat pada novel The Turn of the Screw yang merupakan materi asli horor ini adalah disorientasi. Bahkan narator pun dipersembahkan sebagai orang yang tidak bisa kita percaya. Kegilaan tadi itu adalah bawaan dari materinya. Sedangkan Sigismondi mengadaptasi ini dengan lumayan ambisius. Ada pesan kekuatan perempuan yang turut ia gulirkan di bawah cerita.
Konflik sentral pada The Turning adalah hubungan antara Kate dengan Miles. Wanita muda yang mandiri ‘versus’ cowok abg yang gede dalam lingkungan berprivilege. Adalah Kate yang pertama kali mampu melihat Miles tumbuh menjadi pribadi yang bermasalah. Dia arogan, full of himself, suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan, dan percaya bahwa kuda harus dikerasin biar nurut – dan siapa yang tahu seberapa jauh jangkauan kepercayaan Miles tersebut, apakah dia juga menganggap manusia harus dikerasin dahulu? Mungkin karena prinsip itulah Miles juga agak semena-mena sama Kate; dia sebenarnya ingin berteman. Namun interaksi mereka semuanya sangat awkward. Miles tampak seperti stalker di mata Kate. Wanita ini – set to be the best parents or whatever – berusaha untuk memperbaiki sikap Miles. Kate tidak mau menyerah, ia terus mengulik akar perangai Miles. Ia sampai pada kesimpulan Miles berpanutan kepada orang yang salah. Sosok Quint si instruktor berkuda lantas menghantui pikiran Kate, just like ia menghantui Miles seperti dalam pikiran Kate.
Sutradara mengikat visinya dengan materi cerita di sini. Sumber kegilaan Kate adalah pengaruh Quint yang kuat melekat. Terwujud sebagai hantu Quint, dalam pikirannya. Ini menantang Kate sebegitu kuatnya. Kate merasa gagal dan gak cukup kuat, dan orang yang ia kenal yang gagal ‘memperbaiki’ anak adalah ibu kandungnya. Yang sekarang melukis di fasilitas penyembuhan mental. Main force di balik perjalanan karakter Kate adalah dia takut menjadi seperti ibunya, ia takut gagal mengasuh Miles dan Flora (Kate gagal total menyembuhkan ketakutan Flora untuk bepergian keluar dari gerbang rumah). Maka tokoh ini perlahan semakin panik dan jadi gila sendiri. Sedari luar, film menampilkan ini lewat semakin intensnya gangguan hantu-hantu. Suara-suara yang Kate dengar, wajah-wajah di cermin. Sedangkan dari dalam, film memperlihatkan perubahan Kate lewat bukti-bukti visual. Kita bisa menangkap ini dengan membandingkan penampilan dan sikap Kate dengan sosok pelayan rumah Mrs. Grose (Barbara Marten menyuguhkan permainan akting paling kuat di sini, karena berhasil memainkan misteri yang ia ketahui dengan sangat mengundang). Kate dan Grose awalnya kontras sekali. Kate selalu memakai baju-baju berwarna terang, sementara Grose berwarna abu-abu. Nyaris menyatu dengan latar rumah. Dua tokoh ini juga melambangkan dua aspek yang berlawanan. Yang satu adalah perlambangan kepatuhan yang dapat berujung sesuatu yang lebih fatal. Dan satunya lagi adalah perjuangan dengan resiko gagal yang membuat hilang akal. Sepanjang cerita berjalan, Kate berkembang menjadi campuran yang parah-parah dari kedua tokoh ini. Dia cerah namun juga semakin kelabu.

Orang gila, meskipun bakal pasti masuk surga, tapi di dunia selalu tampak menyedihkan. Umum bagi kita untuk mengucilkan orang gila, dulu istilahnya ada yang dipasung, dikurung di rumah sakit, disuntik macem-macem. Bahkan tak jarang diasosiasikan sebagai kemasukan setan. Maka kita naturally takut dianggap gila. I mean, bagaimana pun juga ketika sudah dicurigai gila, kita membantah segimanapun hanya akan dianggap semakin gila. Jadi kita takut gila bukan karena gila itu sendiri. Sehingga banyak dari kita yang gak sadar bahwa jadi gila itu sebenarnya mudah, losing touch with reality adalah penyakit yang bisa saja timbul dari ego, kesombongan, dan penyakit hati lainnya. Kita harusnya takut pada hal ini. Takut bahwa kita semua sudah pernah gila sesekali.

 
It’s a lost cause bagi Kate. Bukan lagi masalah apakah kegilaan ibu menurun kepadanya, atau ia gila diganggu hantu beneran atau enggak. Poinnya adalah, kejadian di rumah tersebut – masalah sikap dua anak itu – terlalu gede untuk ia tangani. Ketakutannya bukan kepada hantu. Melainkan kepada kegagalan dan kepada jadi gila seperti ibunya; terkucilkan, dianggap aneh. Inilah membuat ia jadi benar-benar gila. Atau paling tidak, rusak seperti boneka milik Flora yang ia jatuhkan.

Are you me or am I you?

 
Meski gagasan yang diusung film ini dapat diterima. Kita memutar otak cukup keras dan menjangkau cukup jauh – mau tak mau harus berpedoman kepada sumber aslinya, dan baru dapat mengerti dan menerima. Tapi semua itu tetaplah gak bisa dijadikan alasan untuk menyampaikan cerita seperti yang dilakukan oleh film ini. Disorientasi yang jadi tema utama digambarkan oleh film ini  lewat kabut-kabut, lewat labirin, lewat adegan mimpi yang disebar, dan ultimately flat out mengecoh penonton. The Turning turned out to be exactly like modern horror. Penuh jumpscare, sinematografi yang ala-ala goth sebagai appeal. Dan punya twist. Ini mengidap penyakit film kontemporer yang membangun cerita dengan premis ‘ternyata’. Dan memang hanya ‘ternyata’ itulah yang dipunya oleh film ini.
Menge-spoil apa yang terjadi di menjelang akhir film ini actually adalah tindakan yang lebih respectful ketimbang sekuen di menjelang akhir film itu sendiri. Aku benar-benar gak bisa paham kenapa pembuat yang punya visi mau-mau saja mengambil arahan seperti yang dilakukan oleh film ini. Kenapa mereka tidak mengambil rute lain yang lebih menghormati penonton. Jadi; false resolution cerita yang berlangsung sekitar sepuluh menit sebelum ending adalah ternyata semua yang Kate alami sejak masuk babak tiga hanyalah ada di dalam kepala wanita ini semata. Hanyalah imajinasi yang menunjukkan seberapa gilanya dia. Sehingga kita yang menonton, yang sudah melihat perjuangannya untuk kabur dari sana, yang sudah menyaksikan untuk melihat Kate menemukan jawaban dan pembelajaran, dikecoh sebab ternyata film ini sama sekali tidak memberikan penyelesaian. Tidak ada solusi asli. Yang kita lihat sepanjang film adalah wanita yang perlahan menjadi gila, dan tidak ada kesembuhan. Film bisa berakhir lebih cepat tanpa harus perlu ada sekuen false resolution yang ternyata beneran mengecoh. Tidak ada aksi, pilihan, yang sesungguhnya dilakukan. Ini seperti menonton adegan mimpi yang panjang sekali.
Film ini hanya ingin menunjukkan Kate jadi gila. Itu saja. False resolutionnya berfungsi untuk menyampaikan informasi hantu-hantu itu gak ada. Namun film melakukan dengan cara yang mengecoh kita. Mereka gak mau repot nyari penyampaian false resolution yang lebih baik. Dan bahkan settle di ‘Kate gila’ juga tidak menjawab semua pertanyaan yang dipancing oleh film. Kepala manekin yang bergerak sendiri saat Kate pertama bermalam di sana. Lukisan ibunya yang seolah jadi pertanda. Misteri kematian Quint. Bagaimana dengan Flora yang melukis hantu persis seperti imajinasi Kate – jika hantu-hantu itu beneran dalam kepala Kate. Film tidak komit membahas ini, dengan tidak pernah tegas menginformasikan sesuatu yang krusial seperti anak-anak ini beneran bandel dan sengaja ngeprank. Atau ibunya beneran gila dan lukisannya tak berarti apa-apa. Dan dengan agendanya sendiri, film justru seperti menghukum protagonisnya sendiri tanpa alasan yang jelas.
 
 
 
 
Aku sebenarnya sudah sangat enjoy menonton ini. Aku masih bisa memaklumkan jumpscare, ataupun pemilihan musik yang agak ngerock yang gak klop dengan tone cerita. Aku menikmati penampilan akting para tokoh, meski ada beberapa yang sedikit overacting. Dan karena film enggak pernah benar-benar memberi kita sesuatu untuk dipegang, nonton ini tuh sepanjang durasi memang sebatas pengen lihat penyelesaiannya. Namun ternyata film mengecoh, dia tidak punya penyelesaian, ending film hanya berfungsi sebagai konfirmasi tokohnya gila. Kalo ada yang perlu diperbaiki, maka itu bukanlah wajah boneka. Melainkan sekuen false resolution yang menghina kita itu, adegan-adegan repetitif prank anak-anak, adegan mimpi. Hampir semuanya ya ternyata haha.. Yang mau aku tekankan adalah film tentang perjalanan deteriorating seorang tokoh mestinya bisa lebih terhormat daripada ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE TURNING.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kate membayangkan skenario kabur dari rumah dengan melihat lukisan ngasal ibunya, di titik inipun dia belum sadar dirinya gila. Dia sadar setelah konfrontasinya dengan anak-anak menjelang ending. Menurut kalian, in real life, bagaimana cara kita tahu kita sudah gila?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

#TEMANTAPIMENIKAH2 Review

“Unplanned moments are always better than planned ones.”
 

 
 
Namanya udah nikah, urusannya sudah bukan lagi siap atau tidak siap. Melainkan ‘harus siap’. Siap dalam mengubah kebiasaan. Siap dalam berhadapan dengan yang ‘terburuk’ dari teman hidup yang sudah dipilih. Terutama, siap untuk mengurungkan rencana hidup yang sudah disusun. Menjadi pasangan berarti kudu siap menerima kejutan-kejutan rumahtangga. Toh, lagipula hidup tidak akan pernah berjalan sesuai rencana, dan di situlah letak indah dan berharganya kehidupan.
Ayu dan Ditto belum benar-benar siap dalam menghadapi kehidupan baru mereka. Sekian lama menjadi sahabat akrab, hal menjadi sedikit kikuk pada awal-awal pernikahan mereka. Tapi kurang lebih, Ayu bahagia, karena hidup mereka tidak banyak berubah. Berkarir, jalan-jalan. Sampai datanglah karunia tak terduga itu. Ayu hamil. Kehidupan ia yang dulu, rencana-rencananya, jadi harus ditunda. Kalo enggak mau dibilang harus dikesampingkan begitu saja. Ayu stress. Terutama ia takut kehamilan ini akan mengubah total dirinya. Namun dengan berpikir demikian, ia sudah berubah. Kalo kata Ditto, Ayu sekarang berasa serigala. Keseluruhan durasi Teman tapi Menikah 2 ini akan membawa kita mengarungi hari-hari kehamilan Ayu yang dihiasi oleh pertengkarannya dengan Ditto, kecemasannya melahirkan sesar, dan manis yang nanti ia rasakan saat bingkisan karunia dari Pencipta itu hadir ke dunia.

Teman tapi Menyiksa

 
Hal terbaik dari film ini adalah penampilan akting Mawar Eva de Jongh yang memerankan Ayudia Bing Slamet. Dan ini ‘harga’nya mungkin cukup tinggi, karena film actually mengganti pemeran dari film pertamanya yang meraih lebih dari satu-juta-lima-ratus orang penonton. Film sampai melakukan reka ulang beberapa adegan di film pertama sebagai montase pembuka. Langkah ini menimbulkan tandatanya cukup besar karena biasanya jika sebuah film tergolong laku sampai mendorong hadirnya sebuah sekuel, maka pemain terutama pemain utama akan dipertahankan sebab penonton asumsinya sudah klop dengan mereka. Kalopun ada penggantian, maka akan lebih mudah mengganti semuanya misalnya dengan membuat cerita yang periodenya berjarak jauh, sehingga pergantian tersebut menjadi beralasan. Dalam kasus Mawar menggantikan Vanesha Prescilla di film kedua ini, kita tidak melihat alasan yang jelas selain pernyataan sebagian penonton yang beranggapan Vanesha masih belum matang untuk memainkan karakter Ayu di film ini. Kalo memang itu alasannya, maka menurutku Falcon ‘jahat’ juga karena film ini seharusnya jadi kesempatan Vanesha membuktikan dirinya sebagai aktor karena maaaan, Ayu di film ini punya range yang luar biasa. Dan Mawar, untungnya, berhasil capitalized this chance dengan menunjukkan permainan akting yang terasa seperti ia benar-benar melalui semua kecamuk, kegelisahan, bahkan kesenangannya menjadi seorang ibu di usia muda.
Interaksi Mawar dengan Ditto yang masih diperankan oleh Adipati Dolken juga terlihat natural, maupun saat berantem ataupun saat mode pacaran. Malah Adipati yang terlihat lebih ‘lemah’ aktingnya di sini karena dia gak ada peningkatan dari film pertama. Jika dulu Adipati dan Vanesha sama-sama lemah dalam adegan emosional seperti menangis, atau berantem, maka film itu bisa menutupi dengan lebih banyak menonjolkan interaksi unyu hubungan tanpa-status mereka. Namun kali ini, film punya cerita yang lebih menguras emosi. Dengan Mawar bermain luar biasa, momen-momen emosional sering jadi timpang. Ngeliat Ditto di film ini nangis, kita gak pernah yakin dia beneran nangis atau lagi ngelucu.
Kehamilan yang tak direncanakan merupakan sebuah situasi yang tumpah meruah oleh begitu banyak emosi. Takut, panik, bingung, excitement, dan kebahagiaan. Mawar, sebagai Ayu, akan mengalami itu semua satu persatu. Soal kehamilan yang tiba-tiba ini adalah inti dari cerita Teman tapi Menikah 2, yang harusnya bisa menjadi pembahasan yang lebih padat, lebih berisi, dan menginspirasi pasangan suami istri muda seperti Ayu dan Ditto. Film ini bersinar saat mengangkat pembahasan pentingnya suami dan istri untuk saling support, dan bagaimana mereka juga butuh space. Salah satu poin perkembangan karakter Ayu adalah awalnya dia merasa harus selalu dekat dengan Ditto sebagai usaha menunjukkan support. Namun dia akhirnya untuk tidak harus memaksakan, karena dirinya sendiri butuh penyesuaian, ada batasan yang hadir dengan kehamilan. Dan seperti halnya melahirkan; tidak bisa dengan asal ngepush.
Film mencoba mengangkat konflik dramatis dari pasangan muda yang masih punya ego masing-masing, serta bagaimana mereka masing-masing berjuang untuk damai dengan kenyataan bakal punya anak; bahwa mereka kini hanya punya waktu sembilan bulan untuk puas-puasin mengejar mimpi/cita-cita. Baik Ditto maupun Ayu pada awalnya menghitung bulan ini, untuk alasan yang berbeda. Ditto menghitung waktu kebebasan bagai orang yang lagi di penjara, sedangkan Ayu seolah menghitung mundur hari penghabisan bagi dirinya. Tidak keduanya berkesan positif bagi kelangsungan rumah tangga. Namun sembilan bulan itulah durasi pembelajaran bagi keduanya. Dua-ratus-tujuh-puluh hari adalah waktu yang cukup bagi kebanyakan orang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, dan mengarahkan diri ke mindset yang lebih positif. Kita akan melihat Ayu semakin menumbuhkan cinta kepada bayi yang bertumbuh di dalam tubuhnya. Dia membuat banyak perubahan positif, dia berolahraga dengan benar, berusaha mencari cara kehamilan yang lebih sesuai. Begitu juga dengan Ditto yang mulai seperti mengeset ulang prioritas hidupnya. Setengah paruh akhir, sekitar babak ketiga film, adalah bagian yang paling ingin kita lihat dari cerita semacam ini. Di bagian ini lebih mudah untuk peduli kepada tokoh-tokohnya, karena saat ini kita melihat mereka memilih langkah yang, ditambah pula dengan penulisan yang lebih ketat dan lebih ekslusif kepada pekerjaan mereka sebagai publik figur alias bintang televisi. Layer inilah yang seharusnya ditonjolkan film sedari awal.

Terkadang kita harus menerima kenyataan bahwa beberapa hal tidak akan pernah kembali ke sedia kala. Things do change. Plans got scrapped, dan musti dipikirin lagi dari awal. Hanya ada satu yang konstan, dan itu adalah cinta. Si cinta ini bekerja secara misterius. Momen-momen yang terjadi atas nama cinta tidak bisa diprediksi. Sama seperti ketika Ayu yang tidak menyangka bakal nikah sama sahabatnya sendiri. Setiap bumil – direncanakan atau tidak – bakal merasakan kebahagiaan. Sehingga alih-alih berkubang pada hal yang harus digugurkan, nantikanlah cinta dan kedamaian yang hendak didapat sebagai gantinya.

 
Akan tetapi skenario seperti mengulur-ngulur dengan memasukkan banyak hal yang less-signifikan. Paruh awal, mungkin malah sekitar 60-70%nya diisi dengan konflik yang ngeselin. Film ini kasusnya seperti Dilan 1990 (2018) – bukan kesamaan dari cerita, melainkan sama-sama mengandung konflik, hanya saja sebagian besar konfliknya itu gak penting dan kayak diada-adain.

Teman tapi Memaksa

 
“Gak mungkinlah, kita kan baru nikah masa udah hamil” ucapan Ditto merefleksikan kualitas naskah film ini. Atau paling enggak, begitulah naskah nge-depict sifat kekanakan Ditto. Dengan narasi demikian, film seolah membuat kehamilan Ayu sebagai hal yang gak lumrah; ia berusaha membuat kehamilan ini lebih sebagai ‘kecelakaan’ ketimbang hal yang tidak direncanakan. Padahal mereka melakukan, lalu hamil, ya wajar, tapi film membuat mereka kaget karena mereka baru saja menikah. Reaksi ini terlalu dibuat-buat, bahkan untuk mereka berdua yang pasangan muda. I mean, mereka bukan di film Dua Garis Biru. Mereka menikah, komit, tahu cara kerja dan konsep kehamilan. Namun di awal-awal, oleh naskah kedua tokoh ini tampak seperti sedang main rumah-rumahan. Ini mungkin salah satunya disebabkan oleh film ingin tampil untuk penonton dengan rentang usia tiga-belas tahun ke atas, jadi pembahasannya gak boleh mature-mature amat.
Masalah yang membuat mereka berantem hanyalah masalah kecil seperti beda kebiasaan, sehingga setiap kali mereka ribut rasanya gak penting dan buang-buang waktu. Kita bisa melihat keduanya sama-sama salah. Dan ini terus berulang – formulanya selalu ribut, kemudian sadar udah emosi, kemudian maafan – dengan berbagai versi kejadian. Yang semakin mengada-ada. Di satu titik mereka berantem karena Ditti cemburu Ayu lebih perhatian kepada janinnya. See what I mean?
Dengan kejadian selemah itu, tidak pernah sekalipun mereka berantem terasa seperti hal yang mengancam. Kita tidak mengkhawatirkan mereka bakal pisah, kita tidak mencemaskan keadaan bayinya; tidak ada stake yang kuat. Film semestinya segera bermain dengan lapisan-lapisan supaya mereka berantem dengan masalah yang lebih natural dan gak repetitif. Soal kerjaan, soal posisi sebagai artis, soal duit, normal bagi film tentang pasangan muda membahas ini, dan normal juga untuk memantik sedikit dramatisasi demi film berjalan lebih menarik. Daging sesungguhnya ada di paruh akhir, namun pada poin itu sudah terlambat karena menjelang penghabisan film terasa nge-drag luar biasa.
 
 
 
It still has its charms. Ayu dan Ditto begitu lovable, kita suka melihat interaksi mereka. Dimainkan dengan sangat baik pula, terutama di bagian-bagian mereka berbagi suka. Secara narasi, film ini tidak terasa lebih besar dan signifikan dibanding film yang pertama. Padahal ceritanya sekarang mereka sudah menikah dan punya masalah dari kehadiran bayi yang tak-disangka. Masalah yang notabene lebih menguras emosi ketimbang persoalan ngungkapin cinta kepada sahabat. Mestinya ada banyak yang bisa digali, tapi film mengulur dengan menghadirkan konflik-konflik yang kurang menggigit sebagai penghantar.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for #TEMANTAPIMENIKAH2.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kenapa sih menurut kalian menjadi ibu atau orangtua itu begitu membahagiakan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MILEA: SUARA DARI DILAN Review

“The best way to love someone is not to change them, but instead, help them reveal the greatest version of themselves.”
 
 

 
 
Sepanjang pengalaman menonton dua film Dilan (yang mengambil perspektif tokoh Milea) ada gak sih – pernah gak sih – tebersit rasa penasaran cowoknya Milea itu kenapa bisa hobi berantem dan bergeng motor-ria, atau darimana si Dilan ini dapat alamat rumah Milea, atau siapa yang ngajarin dia jurus gombal yang sanggup bikin cewek SMA hingga emak-emak cekikian, atau -mungkin- kemana Dilan pada saat Milea mandi? Nah, jika pertanyaan-pertanyaan semacam itu pernah singgah di benak kalian; yang mengisyaratkan kalian peduli pada karakter si Panglima Tempur, maka film Milea: Suara dari Dilan garapan Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini adalah sajian untuk kalian.
Karena kali ini giliran Dilan himself untuk buka suara. Film ini dibuka dengan semacam breaking the fourth wall; memperlihatkan Dilan meng-acknowledge keberadaan buku Dilan 1990 dan 1991 yang merupakan kata hati dari Milea tentang dirinya. Narasinya menyebut Pidi Baiq telah memberikannya kesempatan untuk menuliskan segala kejadian dari sisi Dilan sebagai penyeimbang cerita Milea. Ketikan Dilan akan membawa kita dari masa dirinya kecil hingga ke momen Milea masuk ke dalam hidupnya, sesaat untuk dua tahun yang indah sebelum akhirnya mereka harus berpisah.

Origin story kenapa Dilan begitu cringey

 
Namun bahkan untuk memenuhi tujuan itu, film ini gagal untuk menjadi sebuah sudut pandang lantaran minim sekali elemen baru yang dihadirkan. Penonton yang ingin melihat seperti apa sebenarnya Dilan, tidak mendapatkan banyak hal berbeda dari tokoh ini karena penggalian yang dangkal yang tidak benar-benar dilakukan oleh film. Alih-alih berfokus kepada pembahasan untuk pembangunan perspektif karakter Dilan, beserta dunianya – melingkupi kehidupan sosial terkait geng motor, pribadi dalam hal hubungannya dalam keluarga – cerita tetap berpusat pada relasinya dengan Milea seperti yang sudah kita tahu dari dua film sebelumnya. Kita tidak diperlihatkan akar kesetiaan Dilan pada geng motor; kenapa dia masuk ke sana in the first place. Kita tidak diperlihatkan hubungan yang lebih detail antara Dilan dengan ayahnya; sosok yang sedari luar dapat kita lihat sebagai yang paling berpengaruh terhadap apa yang membuat Dilan seperti Dilan yang kita dan Milea kenal. Bahkan dalam urusan yang lebih receh seperti sumber ketertarikan Dilan kepada Milea, atau kenapa Dilan begitu maut rayuannya, kenapa dia bisa seajaib itu ngasih kado berupa TTS yang udah diisi — we never get to the bottom of this behavior.
Menceritakan kisah ini sebagai ketikan Dilan yang aware akan keadaan cintanya sekarang, yang berusaha menjelaskan kenapa dirinya dan Milea berpisah, actually membuat keseluruhan cerita semakin buruk lantaran yang ia ceritakan – yang kita tonton ini – tidak terkesan sejujur ketika Milea menceritakan sudut pandangnya. Cerita Milea: Suara dari Dilan tidak bisa dipegang kebenarannya dan lebih seperti pembelaan diri dari seorang yang memandang dirinya sebagai bucin dan pribadi yang cool dan ajaib. Sebuah cerita yang begitu self-centered. Misalnya ketika periode dia masih kecil ditanya cita-cita, Dilan menjawab cita-citanya pengen menikah. Ketika bundanya pengen masuk kamar, dia balik bertanya bundanya siapa. Sure, it’s cute dan unik. Namun karena film tidak menggali karakter ini lebih dalam, dan kita tahu adegan tersebut ‘ditulis’ oleh Dilan dewasa yang menceritakan kisah versi dirinya kepada kita, semua itu jadi terasa gak-real alias dibuat-buat untuk becandaan. Sama sekali tidak mengandung development yang genuine.
To make things even worse; Dilan yang jago berkata-kata, ternyata bukan storyteller yang baik. Kisah yang ia sampaikan melompat-lompat. Dan itu tertranlasi kepada kita sebagai rangkaian penggalan adegan yang sudah pernah kita lihat di dua film sebelumnya. Begitulah keseluruhan film ini. Rangkaian adegan ulangan yang disambung-sambungkan dengan adegan tambahan. Pertama kupikir, okelah mungkin ini montase penghantar yang menyambungkan Dilan 1990 dan 1991 untuk merefresh sekaligus pondasi bagi penonton yang belum tau cerita mereka. Namun dua puluh menit, tiga-puluh, hingga satu setengah jam kemudian montase alias adegan-adegan film lampau yang menandakan poin-poin cerita itu terus bermunculan. Mana cerita barunya, mana sisi lain dari Dilan yang seharusnya dikasih lihat kepada kita. Dan tahulah aku bahwa film ini sama sekali tidak punya hal baru, tidak ada penggalian sudut pandang yang dilakukan – motivasi Dilan yang ditetapkan sedari ia kecil adalah pengen nikah, namun pembahasan arc ‘ajaib’ ini juga sangat minim, jauh lebih parah daripada Milea’s di film pertama. Melainkan, film ini hanya mengulur-ngulur waktu karena sekuen yang benar-benar baru hanya ada di dua-puluh menitan akhir. Yakni saat Dilan dan Milea sudah dewasa, dan setelah berpisah mereka confront each other, dan menyadari ‘kesalahan’ masing-masing.
Dua-puluh menit terakhir itu; that’s our new movie. Pembuatnya gak mau capek mengembangkan cerita singkat itu menjadi film utuh beneran, materi aslinya benar-benar dikultuskan. Ini bisa jadi adalah film dengan usaha produksi yang paling kecil yang bisa dikeluarkan oleh sebuah studio/rumah produksi. I mean, ini adalah semacam trilogi tapi adegan-adegannya cuma kayak dari stock shot alias dicomot dari dua film pertama, kemudian disatukan, ditambah beberapa lagu dari Pidi Baiq untuk menggiring mood, dan jadi deh satu film lagi. Aku bahkan gak yakin Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla dan pemain-pemain mengikuti suting lagi, karena film ini – keseluruhan triloginya – kayak dishoot dari proyek pertama dan kemudian hasil syut dibagi-bagi oleh pembuat sehingga jadi tiga film. Kalopun suting lagi, mereka hanya ngambil untuk tambalan dan memperlihatkan lebih banyak Adhisty Zara yang jadi adek Dilan, karena kepopuleran Zara sudah melesat jauh sekali sehingga kali ini jebolan JKT48 ini perlu lebih banyak dikedepankan sebagai nilai jual. Nonton film ini buatku terasa kayak sedang di-scam oleh orang, karena sama sekali tidak terasa seperti film baru. Melainkan lebih seperti menonton versi extended dari cerita yang sudah pernah aku saksikan. Or even; a highlight. Kalo kalian penggemar WWE dan familiar sama show kayak Velocity atau Afterburn – acara recap dengan narasi penjelasan dari host, film Milea: Suara dari Dilan ini rasanya persis kayak nonton acara tersebut.
Tapi paling enggak kita tahu darimana Dilan mengasah skill meramal yang ia punya.

 
Pengungkapan paling memuaskan yang dipunya oleh film adalah soal kebohongan-kebohongan Dilan. Pada film kedua kita melihat perubahan sikap Dilan ke Milea. Dilan tampak sebagai pribadi yang jelek sekali di menjelang akhir film, aku bahkan menuliskannya sebagai karakter Dark Triad dan merupakan pilihan tepat bagi Milea untuk melepaskan diri darinya karena kadang kita tidak bisa begitu saja mengubah seseorang. Di film terakhirnya ini (semoga bener-bener terakhir!), kita melihat alasan sesungguhnya – paling enggak, alesan dari narasi Dilan – kenapa Dilan bersikap demikian, bahwa itu semua sebenarnya konflik yang menyakitkan bagi dirinya, dan betapa ternyata dia sedang menutupi sisi terbaik dari dirinya yang mekar oleh cintanya kepada Milea.

Jika kita perhatikan, Dilan yang suka berantem itu, sesungguhnya hanya berbohong ketika menyangkut menjaga perasaan Milea. Dilan adalah karakter kompleks dengan relationship yang sama kompleksnya. Keduanya pantas mendapatkan film dan naskah yang lebih baik daripada ini. Keinginan Milea mengubah Dilan actually membuat Dilan mengungkap sisi terbaik dirinya, meskipun itu menyakitkan baginya. Dilan sebaliknya tidak pernah meminta Milea untuk berubah menjadi lebih sesuai dengan dirinya, dan dengan bersikap seperti demikian, keduanya tanpa menyadari telah saling mendorong untuk menjadi lebih baik, thus membuktikan besarnya cinta di antara mereka berdua. 

 
 
Film harusnya bercerita lebih banyak tentang pengungkapan seperti demikian. Seharusnya kisah yang sekarang lebih berfokus kepada karakter dan motivasi, sebab ini cerita tentang pembelaan atau pengakuan dari Dilan, terlebih kita sudah puas dengan adegan-adegan manis pacaran di dua film sebelumnya. Namun bahkan dengan sebagian besar adegan yang diambil dari film-film sebelumnya, film ini somehow gak memasukkan adegan Dilan ‘berantem’ ama Milea disaksikan oleh Bunda yang actually salah satu yang paling penting untuk pendalaman. Aku gak ngerti kenapa adegan itu diabaikan dalam film yang seharusnya penjelasan dari sudut pandang Dilan. Entah kenapa film seperti menolak untuk ‘memanusiakan’ karakter Dilan. Dia dijaga untuk tetap seperti karakter ‘ajaib’ yang kekerenannya bersumber dari semakin banyak hal yang tidak kita mengerti dari dirinya. Di awal ada adegan Dilan bercerita dia sebenarnya sudah punya pacar saat Milea baru masuk ke sekolah. Adegan dari Dilan yang tau-tau terpana mendengar nama si anak baru hingga ke pacar lamanya yang nyosor duluan di bioskop terlihat sangat lemah untuk menjadi akar karakter ini karena sama sekali tidak mengungkap motivasi tokoh utamanya, tidak memaklumkannya sehingga Dilan bisa menjadi dekat dengan kita.  Inilah kenapa padahal sudah ada dua film, dan kini tiga, aku masih merasa susah untuk peduli dan percaya kepada karakter Dilan.
Walaupun dalam film ini Dilan mematahkan soal dirinya adalah Pidi Baiq, namun tetap terasa sang penulis memproyeksikan dirinya terlalu banyak ke dalam diri Dilan, sehingga tokoh ini seperti pada kasus tokoh utama dalam Koboy Kampus (2019). Enggak salah sih penulis memasukkan dirinya ke dalam tokoh cerita. Contohnya Lousia Maya Alcott yang menjadikan kisah hidupnya sebagai panggung cerita Little Women, dan Jo Marsh sudah rahasia umum sebagai proyeksi personal dirinya. Dan di situlah letak perbedaan Jo Marsh dengan Dilan. Jo ditulis dengan logis secara universal, ceritanya digrounded-kan sehingga kita berada di sepatunya. Sedangkan Dilan dibuat terlalu ajaib, kita tidak mengidentifikasi diri kepadanya melainkan seakan diminta untuk mengagungkan dan mengidolakan dirinya. Adaptasi film seharusnya ‘memperbaiki’ ini. Sayangnya, arahan film ini tampak tidak punya visi dan hanya sekadar mewujudkan buku menjadi tontonan bioskop. Dialog pun kali ini terasa jauh lebih cheesy dan brainless. Ada dialog Dilan dan Milea unyu-unyuan, Milea bilang “Kan aku bisa nyusul.” Dilan nanya “Naik apa?”, yang lantas dijawab “Naik kamuuu” oleh Milea, disusul oleh ambyarnya seisi studio bioskop. Sungguh dialog tak logis yang menggadai nalar penonton demi adegan pacaran.
.
 
 
Semestinya bisa jadi cerita yang solid yang menjustifikasi sikap dan siapa sebenarnya Dilan yang pada dua film sebelumnya ditetapkan sebagai tokoh penyelamat, panutan, sekaligus tambatan hati seorang Milea – dan menariknya, tokoh ini bukan ‘anak baik-baik’. Namun film hanya bercerita ulang, separuh adegannya adalah adegan di film Dilan 1990 dan 1991 dipajang kembali, dan baru benar-benar ngasih sesuatu yang belum pernah kita lihat di menit-menit menjelang akhir. Bahkan untuk penonton yang gak nonton dua film sebelumnya, film ini at best adalah cerita lompat-lompat dari seorang tokoh yang motivasinya gak jelas dan stake yang gak greget – dia toh bisa dengan mudah berhenti dari geng motor tanpa ada konsekuensi. Shameless effort dalam nyari duit. Atau ketidakmampuan sutradara mengadaptasi dan meng-refresh cerita. Atau kedangkalan materi. Masalah film ini terletak pada tiga kemungkinan tersebut. But who am I kidding; seperti jawaban soal ujian di sekolah, selalu ada pilihan keempat. Semua jawaban benar. Besar kemungkinan itulah jawaban yang tepat.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for MILEA: SUARA DARI DILAN

 
 
 
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian Dilan dan Milea seharusnya bersama? Kenapa?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

LITTLE WOMEN Review

“Women now have choices”
 

 
Dulu waktu hidup masih simpel, judul Little Women terdengar seperti sesuatu yang cute, yang hangat. Ketika pengarang Lousia May Alcott menuliskan itu sebagai judul novel yang aslinya dibagi menjadi dua bagian, ia memaksudkan Little Women sebagai istilah untuk masa-masa di mana masalah dewasa mulai merayapi gadis-gadis yang beranjak dewasa. It was the 19th century, tepatnya tahun 1890an, dan ‘masalah dewasa’ tersebut berarti gadis-gadis harus mulai memikirkan pernikahan untuk menaikkan status mereka. Karena membahas masalah inilah, cerita ini menjadi klasik. Sudah berkali-kali ia diadaptasi ke medium film, mulai dari 1933 hingga yang terbaru sebelum ini di tahun 2018. Sebab romansa begitu universal dan timeless, cerita tentang empat kakak beradik cewek yang berubah menjadi wanita berdikari dan menemukan cinta masing-masing akan selalu nyantol di hati enggak peduli era berapa. Kini, ada satu hal yang berubah. Di masa SJW dan pergolakan feminisme sekarang ini, judul Little Women kemungkinan bisa dianggap merendahkan. Udahlah wanita, kecil pula. Jika memanglah benar judul ini menghighlight ketimpangan sosial wanita dan pria, maka Greta Gerwig berhasil mengadaptasi cerita ini menjadi sebuah film yang memiliki semangat pemberdayaan yang membuatnya semakin beresonansi lagi.
Sekali lagi kita mengunjungi Jo, Meg, Amy, Beth, sehingga aku merasa agak mubazir juga menuliskan kembali sinopsis cerita mereka. Empat gadis remaja yang seringkali harus saling mengurus diri lantaran ibu dan ayah masih punya urusan di dunia yang baru saja menyudahi perang. Jo pengen jadi penulis, Amy pengen jadi pelukis, Beth pengen jadi pianis, dan si sulung Meg play along with them. Mereka berteman akrab dengan tetangga mereka yang bangsawan kaya. Particularly kepada Theodore Laurence. Ada percikan cinta. Namun Jo belum siap menerimanya. Ini adalah cerita kekeluargaan, sisterhood, perjuangan wanita menggapai cita-cita sebelum siap menerima cintanya. Gerwig yang sukses berat dalam debut penyutradaan film panjangnya di Lady Bird (2017) tampaknya memang jago menguatkan cerita sehingga menjadi sangat personal. Secara literasi, Little Women originally sudah bisa dikategorikan sebagai otobiografi lantaran Alcott menulis cerita ini berdasarkan kejadian hidupnya dan keluarga, namun ia harus membuat beberapa penyesuaian demi penjualan. Di sinilah letak jasa Gerwig; ia mendedikasikan adaptasi versinya ini ini untuk pilihan hidup personal personal yang sudah dipilih oleh pengarang. Dalam sebuah penceritaan yang begitu manis,

memblurkan fiksi dan kayfabe (fakta-dalam-fiksi)

 
Gak gampang membuat cerita lama terasa berbeda. Setiap adaptasi Little Women menggunakan pendekatan berbeda, misalnya versi 2018 yang mengangkut cerita dasar dan meletakkannya di suasana modern kita sekarang ini; film itu bisa bagus jikasaja aktingnya enggak selevel sinetron atau FTV. Gerwig, however, tetap menempatkan Little Women versinya sebagai period piece. Beberapa elemen yang tak berani ditampilkan oleh film-film versi yang lebih lawas, seperti pembakaran naskah tulisan Jo oleh Amy ataupun Amy yang jatuh ke dalam kolam beku, ditampilkan tanpa masalah oleh Gerwig. Sebab ia ingin menonjolkan interaksi, keakraban dalam keluarga Jo March. Inovasi signifikan yang dilakukan Gerwig terhadap materi ini berawal dari penggunaan alur maju mundur sebagai cara bercerita. Literally mengoverlap masa remaja dengan masa dewasa, seperti yang dimaknakan oleh judul menurut sang pengarang bukunya.
Penonton film Indonesia bakal akrab dengan teknik bercerita begini mengingat sepanjang 2019 kemaren hingga ke 2020 ini kita menyaksikan banyak film lokal yang tersusun demikian. Bebas dan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini misalnya. Film crime-drama Darah Daging juga, meski dengan penggarapan dan timing yang lebih buruk. Cerita akan dimulai dari Jo yang sudah dewasa, di kantor percetakan, bermaksud menjual dan menerbitkan cerita yang ia tulis. Seiring proses kreatif Jo saat ia merevisi tulisannya nanti, kita akan dibawa flashback ke masa remajanya karena memang Jo menuliskan masa-masa itu sebagai cerita (walau ia nyangkal dan bilang itu cerita temannya kepada pimred). Penggunaan dua timeline yang saling tindih ini dilakukan dengan cermat oleh Gerwig. Ia memastikan tidak ada emosi yang ketinggalan sebelum sempat terbangun saat mengontraskan antara masa dewasa yang tokoh-tokohnya bergulat dengan profesi dan pilihan hidup masing-masing dengan masa remaja saat mereka masih bersama-sama mengadakan pertujukan drama dan menghias pohon natal. Gerwig sangat precise mengatur waktu, menjahit dua timeline, tidak akan ada tokoh yang diizinkan pergi sebelum kita benar-benar sudah peduli kepadanya.
Kita tidak akan tersesat karena akan senantiasa dibimbing oleh time image, alias gambar-gambar yang menunjukkan waktu. Misalnya gaya rambut para tokoh. Atau yang paling obvious; tone warna. Cerita di masa lalu Jo akan dikuas warna-warna yang lebih hangat dan terang oleh film, menandakan perasaan para karakter pada saat itu. Sedangkan masa ‘kini’ cerita, warnanya lebih dominan biru sehingga terasa lebih ‘dingin’. Film tak perlu repot-repot meng-cast dua aktor untuk masing-masing tokoh. Mungkin kalian masih ingat kesalahan terbesar Little Women 1994 yang bagus itu? ya, menggunakan dua aktor untuk Amy; Samantha Mathis tidak bisa mengimbangi pesona Kirsten Dunst sebagai Amy remaja. Cast pilihan Gerwig terbukti luar biasa solid. Mereka mengarungi dua masa dengan tanpa cela, pertumbuhan mereka yang di babak awal terasa cukup menganga perlahan menutup dan terikat sempurna. Rentang yang harus mereka lakukan tidak membuat satu tokoh terasa seperti dua orang yang berbeda. Saoirse Ronan perfect sebagai Jo, sekali lagi dia menunjukkan permainan peran gak meledak-ledak tapi tetap ‘membakar’. Florence Pugh mencuri perhatian meniti karakter Amy dan tidak pernah terjatuh menjadikan tokoh ini annoying dan jahat meskipun Amy dan Jo paling sering bertengkar dan berbeda pendapat. Emma Watson sebagai Meg juga flawless mendukung Jo lewat keputusannya menikah bukan karena harta – yang menunjukkan menikah bukan tanda kelemahan wanita.
dan Timothy Chalamet sudah siap membuat penonton bersenandung dangdut “Chalamet malam duhai kekasih”

 

Little Women versi Gerwig ini punya agenda untuk menunjukkan bahwa kini wanita punya pilihan. Bahwa pernikahan bukan semata tujuan akhir kehidupan. Meskipun begitu memilih untuk menikah juga bukanlah sebuah pengakuan wanita butuh pria, melainkan pilihan untuk merayakan cinta.

Dalam film ini Gerwig menunjukkan mengakui cinta itu juga sama pentingnya dengan mengejar mimpi dan kemandirian. Film memutuskan untuk tidak lagi mengabaikan pilihan yang diambil oleh pengarang cerita, dan menampilkan sebenar-benarnya dengan cara unik tersendiri. Alcott tidak menikah hingga akhir hayatnya. Dalam film, Jo menulis cerita yang endingnya tanpa pernikahan dan pimred memintanya untuk mengubah dan menjadikan tokohnya menikah. Romansa dan pernikahan itulah yang kita dapat dalam Little Women original dan adaptasi-adaptasi lainnya sebelum ini.
Gerwig mencoba menghormati Alcott, menghormati Jo March. Menghormati wanita-wanita modern. Akhir inovasi maju-mundur film ini menghantarkan kita – tanpa sadar – kepada satu inovasi lagi. Batas masa lalu dan masa kini film semakin tidak jelas, mereka berpindah dengan sangat cepat, dan tau-tau kita melihat Jo duduk kembali di kantor redaksi. Jo penuh konfiden sekarang, sedangkan kita enggak pasti dan mempertanyakan ulang kepada diri sendiri, apakah semua momen manis – malah sempat-sempatnya ada ‘bandara momen’ versi jadul – itu hanya cerita karangan Jo. Tone warna sudah tidak membantu lagi sekarang. Kita di akhir cerita diminta melihat dengan rasa.

Menyaksikan Jo memandang kelahiran buah karyanya seolah film mengajak kita untuk merasakan yang dialami oleh Alcott. Merasakan kebanggaan, sebuah happy ending yang terasa positif dan membawa semangat optimisme bahwa pilihan kita itulah kebahagiaan kita.

 
 
 
Persaingan antar-saudara, cinta yang tak dibalas, penyakit yang memisahkan, perjalanan yang meraih mimpi; semua formula sebuah cerita yang loveable ada dalam film ini. Semuanya itu memang diceritakan dengan manis. Adegan-adegan film ini bakal gampang banget ngena di hati. Castnya aja sudah lebih dari cukup untuk membuat kita jatuh cinta. Film ini punya gagasan yang sangat relevan, namun tidak terasa begitu urgen. I mean bukan untuk merendahkan kepentingan wanita. Hanya saja, dengan fakta film ini sudah adaptasi film panjang kelima dari materi yang sama, enggak semuanya jadi terasa kurang menantang. Penggunaan maju-mundur juga bukan exactly hal baru. Film ini memang beda, inovasinya berhasil membuat cerita jadi segar, dan tak lupa membuat kita merasakan sesuatu right there in the heart, hanya saja kemagisannya berkurang begitu kita ingat ini adalah reinkarnasi dan semua perbedaan tadi gampang diusahakan jika kita sudah punya empat sebagai ‘contoh’nya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LITTLE WOMEN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana menurut kalian akhir film ini, apakah Jo sebaiknya menikah atau tidak? Apa masih pada gemes dia gak jadi sama Laurence? ahahaha

Apa pendapat kalian tentang perempuan yang tidak menikah?

 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.