SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA Review

“Everyone is more interested in being a hero than in being right.”

 

 

 

Menyerang secara frontal markas VOC di Sunda Kelapa, Sultan Agung ingin menanamkan pesan membekas ke para penjajah; bahwa rakyat Jawa adalah pemberani yang tidak akan pernah menjadi bawahan mereka. “Menang atau Mati!” raungan perangnya bergema di dalam sukma para pasukan. Tentu, ‘strategi tembak langsung’ yang dikerahkan Sultan Agung ini bisa diperdebatkan keefektifannya. Apakah perang tersebut bisa mereka menangkan? Apakah dengan mengorbankan rakyat itu yang namanya menunjukkan keberanian? Keraguan terbersit di hati panglima dan pasukan Sultan Agung. Barisan Kerajaan Mataram yang semenjak sebelum diperintah Sultan Agung enggak pernah benar-benar difavoritin rakyat, retak dari dalam. Ada yang meninggalkan medan perang, ada yang malah berkhianat – membelot kepada Belanda. Tapi Sultan Agung tetap bergeming. “Menang atau Mati!” Keraguan yang sama lantas tersampaikan kepada kita. Apa memang iya yang mereka lakukan itu satu-satunya jalan?

Sepertinya, jawaban atas pertanyaan itulah yang menyebabkan sutradara Hanung Bramantyo membawa kita mundur begitu jauh, ke masa tiga setengah abad sebelum Indonesia lahir. Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta bertindak sebagai cermin (yang sangat mewah, mengingat kualitas set dan produksi film ini) di mana saat kita memandang apa yang direfleksikannya, kita bisa ngaca ke masa lalu. Dikemas dalam bentuk fantasi-sejarah, kejadian-kejadian dalam film ini sebenarnya lebih dekat dari yang kita bayangkan. Kerajaan Mataram yang struggle di tengah-tengah politik perdagangan dan adu domba bangsa asing Penduduk yang terombang-ambing dan mudah terpecah belah oleh keraguan dan ketakutan. Pemimpin yang musti bertanggung jawab beresin urusan yang masih tersisa dari kepemimpinan sebelumnya. They all are really close to home. Kita mengobservasi apa yang terjadi di film ini, dan eventually kita akan tersadar seperti Sultan Agung yang akhirnya menyadari kesalahan dan apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Rasakan saja sendiri merindingnya ketika Sultan Agung menyuruh pasukan pulang dan berpesan “ajarkan keluargamu untuk mencintai negeri ini”, sebab kalimat tersebut terasa dibisikkan langsung ke hati kita yang mungkin sudah jenuh sama kebencian dan prasangka dan ketakutan.

Tanah, Perpecahan, Kita

 

Dengan ceritanya yang ternyata begitu relevan, sayang aja sih, enggak banyak penonton yang memilih untuk menyaksikan film ini. Meski aku gak heran. Durasi yang nyaingin film India memang tergolong angker bagi kebanyakan penonton. Siapa yang mau nonton film sejarah yang berat dengan durasi sepanjang itu, melek ampe habis aja rasanya udah prestasi banget. Tapinya, film Sultan Agung ini toh tidak semembosankan itu.  Malahan, aku sendiri juga kaget  sudah dua jam ternyata, sebelum memang pada babak ketiga film ini mulai terasa melambat. Sebagian besar waktu film ini akan terus meng-engage penonton. Kita akan tetap dibuat tertarik dengan keputusan-keputusan yang dibuat oleh Sultan Agung atas nama keberanian. Kita paham kondisi yang menyelimutinya. Dia sendiri diminta tidak ikut berperang, karena meninggalkan tahta berarti memberikan kesempatan pemberontak untuk mengambil alih.

Kita akan melihat tokoh-tokoh lain terpengaruh hidupnya oleh sabda sang Raja. Film ini punya banyak tokoh, kita melihat pandangan mereka terdevelop, gimana dampak perang tersebut kepada mereka. Film ini melakukan kerja yang baik membuat para tokoh itu tampil hidup, walaupun beberapa orang sukar untuk diingat namanya; siapa yang mana. Penampilan mereka secara seragam sangat meyakinkan. Sultan Agung jadi tampak sedikit nyeremin di tangan Ario Bayu, yang kontras sekali dengan ketika dia masih dipanggil Mas Rangsang saat masih muda – dan by the way, salut buat departemen casting dalam nyonyokin Sultan muda dengan Sultan dewasa. Ada satu karakter wanita, sahabat dan person of interest Mas Rangsang, yang ditampilkan sebagai pahlawan yang kuat, mandiri, motivasinya ikut perang adalah mencari abangnya di Batavia. Aku suka tokoh ini. Dia semacam voice of reasons yang menjaga si Sultan Agung tetap menapak karena pendapat cewek ini sangat berarti bagi Sultan Agung. Dan dia sendiri, sebagai pejuang wanita satu-satunya di sana, enggak lantas digambarkan sebagai ‘pendobrak’ karena dia masih menaruh hormat sama peraturan.

Tidak ada seorang pun yang masih waras yang lebih memilih perang. Namun terkadang, kita harus berperang – bukan untuk menang, melainkan untuk mencapai kedamaian. Pertanyaannya adalah; perang yang bagaimana? Di jaman sekarang, semakin banyak orang yang lebih tertarik untuk terlihat sebagai pahlawan, yang mengobarkan api peperangan yang tidak perlu. Padahal semestinya kita, sebagaimana Sultan Agung, mencari dan mengambil langkah yang benar

 

 

Jikalau memang ada emosi yang gagal untuk disampaikan, maka itu lebih kepada masalah urutan penceritaan ketimbang ceritanya sendiri. Karena kita bisa lihat ini adalah cerita yang sangat berani; ia memposisikan seorang pahlawan besar, seorang pemimpin, ke dalam sorot cahaya yang enggak exactly mengundang simpati. Sultan Agung tidak pernah ikutan berperang, dia hanya meneriakkan perintah – dan terkadang ancaman buat pasukannya yang pengen mundur, tapi justru pada karakternya begitulah letak pembelajarannya. Cerita actually akan memisah masa muda sebelum dia diangkat dengan saat dia sudah menjabat sebagai Sultan. Dan pemisahan inilah yang membuat semuanya terasa terputus. Mas Rangsang di babak pertama adalah pribadi yang sama sekali berbeda dengan Sultan Agung, tapi bukan tanpa-alasan. Tadinya dia adalah pemuda berkasta Ksatria yang ingin menjadi Brahmana, ia tinggal dan belajar di padepokan, jauh dari lingkungan keraton. Kita lihat dia latihan silat – di mana dia sudah ditunjukkan sebagai orang enggak seneng kalo tidak terlihat tangguh dan berani. Dia belajar ilmu-ilmu tertulis. Aku suka gimana film menunjukkan dia yang masih muda akan sering sekali mengintip ataupun mencuri dengar sebuah peristiwa, dan setelah gede, giliran harus dia yang berada di sana – di tengah, mengambil keputusan, dan beresiko dimata-matai.

Terputusnya cerita datang dari Sultan Agung yang dibuat melupakan siapa dirinya yang dulu. Akan ada banyak flashback sebagai bagian dari proses penyadaran diri, di mana ia kembali teringat ajaran-ajaran gurunya. Dan ini seperti membuat babak awalnya itu sia-sia. Aku biasanya paling menentang penggunaan flashback berlebih, tapi menurutku film ini adalah film yang mestinya bisa mengambil keuntungan dengan tidak menceritakan filmnya secara linear – dari muda ke dewasa. Sepertinya akan lebih baik jika film dimulai langsung dari Sultan Agung yang memerintah dengan reckless karena gak mau terlihat lemah di mata Belanda. Kemudian perlahan kita dibawa ke masa lalu, bersama dengan dirinya yang kembali mengingat, untuk mengenal kembali Mas Rangsang – Sifat dan keputusan Sultan dan Mas dikontraskan lewat alur yang bolak-balik; Dengan cara begitu, semestinya tidak ada emosi yang terlewat – akan lebih terasa beban yang ditanggung olehnya alih-alih dia terasa simpatik di awal dan tiba-tiba menjadi galak dan frustatingly susah diajak kompromi di babak berikutnya.

“senjata api itu tidak akan kalian butuhkan lagi.., aku pinjam ya untuk film yang nunggang kerbau”

 

Separuh babak kedua actually adalah adegan perang, kita akan melihat penyerbuan, orang-orang berantem, tembak-tembakan, darah dan sebagainya, yang digarap dengan tidak membingungkan. Film tahu kapan harus menutupi koreografi, dia tahu bagian mana yang terlihat lebih lemah dari yang lain, dan kamera dan editing terlihat dimanfaatkan dengan seefektif mungkin. Namun, ada satu elemen yang mengganggu buatku; jurus atau ilmu yang lebih terlihat sebagai bagian dari dunia Wiro Sableng ketimbang dunia di buku sejarah.

Sebagai sejarah fantasi, film ini kita akan melihat jurus orang bergerak secepat kilat, jurus totokan yang bikin lawan gak bisa bergerak (Petrificus Totalus!), yang sebenarnya adalah sebagai device supaya adegan penting Sultan bertemu dengan pemimpin VOC bisa masuk ke dalam logika cerita. Dalam cerita, sukmo Sultan Agung literally bertandang ke kamar tidur si Meneer. Namun dalam tingkatan yang lebih dalam, ini sebenarnya cara pinter film untuk mempertemukan kedua bos tersebut; scene ini juga bekerja sebagai masing-masing tokoh bicara ke dalam hati sendiri, mereka akhirnya mengenali siapa lawan dan diri mereka sendiri. Adegan yang ciamik, yang sebenarnya tidak membutuhkan elemen fantasi. Bisa saja dibuat surealis seperti adegan Kartini membaca buku atau surat di film Kartini (2017)Film ini sebenarnya tidak butuh ngebuild up penggunaan jurus untuk memasukakalkan adegan tersebut.   Malah membuat seluruh film terasa aneh, karena kalo memang jurus-jurus tenaga dalam atau semacam itu exist di dunia mereka, kenapa enggak dipakai dalam melawan Belanda? Kenapa gak semua santri padepokan aja yang menggunakan jurus pukulan bayangan kayak si guru? Film sedikit tidak konsisten di elemen fantasi ini.

 

 

 

 

Walaupun bukan yang terbaik, tapi yang jelas film ini adalah salah satu tontonan TERPENTING yang pernah singgah di layar bioskop. Bicara mengenai hal yang relevan, punya pandangan mengenainya, dan benar-benar digarap dengan effort yang maksimal. Penampilan, set, kamera, semua teknisnya practically top-notch. Adegan perangnya cukup asik untuk diikuti. Aku gak tau seberapa gede budgetnya, tapi kita bisa lihat duit-duit itu digunakan dengan efektif. Film ini tahu diri dan dia menganggap kita semua pun sudah paham bahwasanya film sejarah dapat bekerja dalam logikanya sendiri – because it is a movie. Hanya saja ada elemen fantasi yang digunakan tidak benar-benar konsisten ataupun betul-betul diperlukan. Ceritanya sendiri seharusnya bisa diatur lebih baik lagi. Film ini punya nyali, mengingat ini karyanya Hanung, aku percaya film ini semestinya bisa dipush menembus batas convenient yang lebih jauh lagi.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

TERBANG: MENEMBUS LANGIT Review

“Imagine all the people sharing all the world”

 

 

Sebelum John Lennon membayangkan gimana indahnya dunia tanpa possessions, ayah dari Onggy Hianata sudah menjalani hidup tanpa ada batasan di Tarakan; Beliau adalah keturunan Tionghoa yang begitu peduli kepada tanah tempat ia berpijak, Indonesia. Dia bahkan mengerti bahasa-bahasa daerah lebih daripada penghuni lokal sendiri. Bayangkan seorang Cina yang rela menutup toko demi mendamaikan pertikaian dua orang pribumi. Bukannya mau stereotipe, namun itu big deal banget loh. Betapa menunjukkan prioritas seseorang sebagai warga negara.  Karena begitulah ayah Onggy melihat dunia. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Sementara di sekitarnya berita pembatasan hak warga asing, khususnya Cina, terdengar semakin marak. Ayah Onggy terbang bebas tanpa batasan negara

Selain hidup tanpa ada yang punya, ayah Onggy basically gak punya apa-apa dalam hidup. Keluarga Onggy miskin. Keluarga besar mereka, they only have each other. Mereka tinggal di negara yang bukan negara keturunan mereka. Mereka bahkan orang Cina yang enggak punya toko sendiri. Dan ini adalah bentuk kebebasan yang berbeda yang ingin dicari oleh Onggy sendiri. Sepeninggal ayahnya, Onggy yang waktu mau masuk SD aja susah kehalang biaya, memutuskan untuk pergi merantau. Terbang ke Surabaya demi hidup yang lebih baik. Untuknya, dan untuk seluruh anggota keluarga. Tapi sekali lagi, di atas usaha yang benar-benar ia mulai dari nol, sangkar yang mengungkung Onggy bukanlah sangkar yang kecil. Masa Orde Baru yang menjadi panggung perjalanan kehidupannya menawarkan banyak halangan buat warga keturunan seperti Onggy dan saudara-saudaranya.

Saat itu, Onggy memang masih satu orang pemimpi. Namun, film menunjukkan masih banyak bantuan yang datang kepada Onggy dari orang-orang tak terduga. Karena sesungguhnya bukan dia seorang diri saja yang menginginkan hidup yang damai, yang tidak melihat pada batas-batasan sesepele asal muasal, darah, golongan. Kita berada di bawah langit yang sama, dan atas sanalah yang seharusnya kita lihat. Seperti Onggy. Dan kini, dia adalah salah satu dari sedikit orang yang berhasil mewujudkan mimpinya.

 

penceritaannya mengingatkanku pada film-film Studio Ghibli; berhasil mencampur rasa

 

 

Penceritaan film ini membagi drama kehidupan Onggy ke dalam tiga episode. Saat dia masih remaja di Tarakan, saat dia mulai berusaha membangun usaha dan hidup mandiri di Surabaya, dan ketika dia mengarungi kehidupan rumah tangga beserta sang istri di Jakarta. Setiap babak tersebut adalah perjuangan, kita akan lihat hidup enggak gampang bagi Onggy. Kakaknya sendiri malah terang-terangan bilang “kamu gak capek gagal terus?”. Tapi ini bukan cerita motivasi jika enggak menampilkan karakter yang jatuh berulang kali, dan setiap jatuh tersebut dia bangkit terus menerus. Arahan dari Fajar Nugros membuat setiap kegagalan menguar oleh, bukan semata drama yang bikin kita kasihan terhadap tokohnya, melainkan juga oleh api semangat yang terus berkobar. Melihat adegan-adegan sedih di film ini literally seperti melihat api yang semakin mengecil dan kita berdoa di dalam hati supaya apinya kembali menyala. Kita tidak ingin menangis karena air mata akan membuat api tersebut padam.

Lihat saja, degan ketika Onggy rugi besar setelah jualan kerupuknya, yang ia modali dengan seluruh tabungannya, kandas karena toko yang menjual kerupuk itu bangkrut dan membawa pergi jatah keringat Onggy. Tentu, kita melihat Onggy nangis sambil makanin kerupuk-kerupuk yang tersisa, tapi ada perasaan lain yang aku rasakan ketika melihat adegan ini, yang lebih powerful dari sekedar tangisan drama. It was a realization bahwa perjuangan tidak akan berakhir dengan segampang yang kita mau. Kerugian hanyalah tahapan yang harus dilalui sebelum kita mengenal bahagianya keberhasilan. Nugros berhasil menangkap ini, membawa kita naik turun dalam perjalanan karir bisnis Onggy.

enggak kurang nasionalis kan ya, aku mengerti bahasa daerah di film ini hanya karena ada subtitle bahasa inggrisnya?

 

 

Tapi film Terbang bukan lantas adalah sebuah film yang berat. Selain pelajaran ber-Bhinneka Tunggal Ika yang bisa kita petik, film juga bermuatan komedi. Film ini punya banyak karakter pendukung yang menarik. Dayu Wijanto yang mendapat peran sebagai ibu kost saat Onggy muda merantau ke Surabaya menyebutkan hampir semua adegan lucu film ini tidak tercantum di dalam naskah, alias improvisasi dari Sutradara. “Adegan favorit saya adalah adegan ‘pintu’”, kenang Bu Dayu yang penampilan kecilnya di film-film selalu memberikan kesan yang besar. Warna cerita yang hangat dan menyerempet lucu ini datang lewat interaksi Onggy dengan tokoh-tokoh yang lain. Penampilan akting mereka pun seragam bagusnya sehingga setiap dari mereka meninggalkan impresi yang berarti. Yang membuat kita sadar akan ketidakmunculan mereka. Dion Wiyoko menunjukkan dia mampu memainkan tokoh dengan rentang emosi yang jauh lewat peran Onggy. Menurut Dion sendiri, kerja yang ia lakukan haruslah maksimal, karena di film ini dia berperan menjadi banyak – jadi anak, jadi anak kost, jadi suami, jadi pria “chemistry-nya harus klik”, pungkasnya.

Namun terkadang, perkembangan tokoh Onggy memang terasa sedikit mengawang. Misalnya ketika ‘pemulihan’ Onggy dari usaha kerupuk yang bangkrut ke bekerja di perusahaan yang tidak diperlihatkan. Sehingga kita merasa tertinggal, ada bagian dari karakter Onggy yang kita lompati. Dan kemudian dia menikah, hubungan asmara yang ditampilkan singkat itu sukurnya masih mampu terasa manis dan kocak. Wiyoko dan Laura Basuki punya chemistry yang meyakinkan. Laura menyampaikan setiap dialognya dengan emosi yang pas, tidak berlebihan, tapi sangat mengena. Namun sekali lagi, lompat-lompat adegan membuat aliran cerita terputus-putus. Istri Onggy bisa tampak tiba-tiba marah, dan di adegan berikutnya mereka tampak biasa saja, seolah masalah yang dibahas tadi sudah dipecahkan dan kita tidak tahu bagaimana mereka memecahkannya.

Menyapa Bandung di acara Car Free Day, Minggu pagi 22 April, tampak Sutradara Fajar Nugros bersama Dion Wiyoko dan Dayu Wijanto tak kalah semangat juang.

 

Fajar Nugros menyebutkan salah satu kesulitan dalam menggarap period piece seperti film ini adalah mencari lokasi dan bangunan-bangunan bersejarah yang masih ‘asli’. Karena kebanyakan tempat-tempat semacam itu kini sudah ‘beralih fungsi’. Jadi mereka kebanyakan mesti membuat set sendiri, mereka-reka suasana tahun yang diinginkan, dan memastikan semua objek berada pada ‘waktu’ mereka seharusnya berada. On screen, Terbang layak mendapat panggilan film yang berani karena walaupun film ini membentang dari periode tahun, juga tempat, yang berbeda, kita tidak akan melihat tulisan yang menunjukkan tahun ataupun lokasi. Film mempercayai pemahaman penonton, lantaran mereka tahu persis mereka sudah menyiptakan ‘panggung’ yang benar.

Sutradara, para pemeran, dan cerita-cerita seru mereka

 

 

Dari sekian banyak jatuh bangun yang dialami Onggy yang diceritakan dengan lengkap, film malah meninggalkan bagian terpenting yang terjadi di dalam hidup Onggy. Ketika dia kepikiran untuk jadi distributor apel buat bayar uang kos dan biaya kuliah, kita diperlihatkan dari mana ide tersebut  berasal. Pun ketika dia mencoba jualan jagung bakar, kita melihat awal dan akhir dari usahanya tersebut. Kita juga akan sering dibawa mundur ke ingatan Onggy terhadap ayahnya, karena dari ‘kesalahan’ dan nasihat Beliaulah terutama Onggy melandaskan perjuangan hidupnya. Kita paham tantangan dan apa yang ia pelajari dari sana. Namun, ketika membahas bagaimana Onggy bisa menjadi motivator, well, film tidak benar-benar membahas bagian ini. Aneh memang, terutama jika ada yang orang tahu dari Onggy Hianata, maka itu adalah bahwa dia adalah seorang motivator sukses kelas internasional.

Jika ada film yang menjadikan Onggy Hianata sebagai tokoh utama, maka kita akan berpikir film tersebut pastilah membahas kenapa dia bisa menjadi motivator yang begitu sukses. Tapi film ini melewatkan bagian itu. Kita tidak pernah melihat Onggy sebagai seorang yang ‘pintar bicara’ sedari kecil. Tidak ada build up ke bagian ini. Satu-satunya pengalaman Onggy mengenai bicara di depan orang banyak adalah ketika dia melihat orang gila yang suka pidato di sekitar kampusnya. Mestinya cerita bisa dikaitkan dari sini, tapi enggak, dan tahu-tahu Onggy sudah bekerja sebagai motivator setelah mencoba MLM. Memang, kita diperlihatkan pada mulanya tidak banyak yang datang ke kelas Onggy, dan secara perlahan jumlah pesertanya meningkat dari setiap kelas ke kelas lain untuk memperlihatkan Onggy benar-benar jago di bidang kerjaannya ini. Tetapi kita hanya tahu sedikit sekali dari kerjaannya yang membuatnya ternama tersebut. Kita bahkan tidak tahu siapa yang mengontraknya, siapa yang memberinya gaji, atau malah berapa gajinya.

Sepertinya memang hal tersebut adalah efek samping yang timbul jika kita menghadirkan kisah dengan rentang waktu yang sangat panjang. Cerita Terbang: Menembus Langit melayang saja dari titik satu ke titik lain. Tokoh utamanya bertemu banyak orang, untuk kemudian ditinggalkan, dan move on ke episode perjuangan berikutnya. Tapi, begitulah hidup, bukan. Kita kenalan sama orang, beberapa dari mereka tinggal, beberapa lagi mungkin tidak kita dengar kabarnya lagi.

 

 

Film ini diniatkan sebagai kisah perjuangan dan kerja keras hidup yang bisa menginspirasi banyak orang, bahwa kegagalan dan rintangan itu bukan untuk menahan kita tetap di bawah, melainkan sebagai pegas yang kita gunakan untuk terbang. Makanya, film menekankan kepada begitu banyak kegagalan dan kebangkitan kembali tokohnya. Melalui penulisan dialog dan tokoh-tokoh yang mudah direlasikan dan akrab, film juga ingin memasukkan elemen persatuan dalam keseragaman, sayangnya tidak begitu berhasil tersampaikan dengan mulus sehingga kadang pesan-pesan Bhinneka Tunggal Ika tersebut terasa dijejelin ke tenggorokan kita. Blatant and very obvious. Desain produksinya meyakinkan banget sih, salah satu period piece yang well-realized. Film ini semestinya berupa kisah sehari-hari Onggy dalam mengarungi hidup sebagai minoritas saat Orde Baru, kita seharusnya terhanyut begitu saja di dalam cerita, tapi cukup sering rasa episodik itu hadir, dan membuat kita terloncat-loncat dalam mengikuti perjalanannya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for TERBANG: MENEMBUS BATAS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PHANTOM THREAD Review

“..fashion has to do with ideas, the way we live,..”

 

 

Dunia fashion penuh dengan takhayul. Setidaknya begitu di tahun 1950. Gaun penganten aja, misalnya, banyak mitos yang dipercaya oleh orang-orang. Cewek-cewek muda takut menyentuhnya karena percaya mereka bakal susah nikah nanti. Para model ‘ngeri’ punya suami botak jika mereka memegang gaun penganten yang bukan milik sendiri. Yang bikin gaunnya, however, banyak yang mengaitkan superstitions sebagai bentuk dari kreativitas. Reynolds Woodcock, sebagai seorang yang eksentrik, mengakui dia lebih takut menikah ketimbang melihat orang-orang yang sudah mati menghantui dunia. Karena menikah membuatnya mendua; mendua dari kerjaannya merancang busana. Reynolds sudah membuat gaun sedari usia enam-belas tahun. Tepatnya semenjak dia membuatkan gaun untuk pernikahan kedua mendiang ibunya. Dan kini, dalam setiap hasil karyanya, Reynolds menyisipkan sedikit bagian personal dari si pemesan. Seperti dirinya yang menyulamkan rambut sang ibu ke antara benang-benang jas, sehingga dia bisa terus dekat dengan sosok yang sangat ia cintai itu.

Kedengaran sedikit creepy memang. Phantom Thread sesungguhnya adalah kisah cinta yang unik, dan yea, mengerikan. Latar belakang soal Reynolds dengan ibunya, soal ‘kepercayaan’ yang ia jadikan dasar kreativitas dalam berkarya, kita perlu untuk memahami semua itu supaya ketika film memperlihatkan actual romance yang jadi batang inti cerita, kita dapat mengerti apa yang dijadikan ‘taruhan’. Apa yang membuat hubungan antara kedua tokoh sentral, gejolak dan dinamika antara mereka, akan menjadi terang begitu kita dapat memilah di antara benang-benang siluman yang menyatukan cerita.

Nama belakang Reynolds yang dapat membuat Spongebob dan Patrick terbahak-bahak, benar-benar mencerminkan kepribadian sosialnya. Dia kaku. Dan dalam soal percintaan, dia lebih seperti mencari karyawan yang mengikuti perintahnya ketimbang mencari partner dalam berbagi kehidupan. Reynolds Woodcock (Daniel Day-Lewis sungguh fenomenal dalam peran terakhir dalam karir bintangfilmnya) boleh saja teliti dalam merajut benang, namun dia tampak enggak begitu banyak memperhatikan hubungan dengan pasangan. Reynolds bertemu dengan seorang wanita yang bernama Alma (pastilah kehormatan gede bagi Vickie Krieps beradu akting dengan Lewis, dan adalah kejutan bagi kita aktris ini bisa mengimbangi aktor kawakan tersebut). Pelayan kafe yang tampak canggung-canggung innocent itu pada awalnya tampak begitu menarik bagi Reynolds, malahan Alma boleh dikatakan menjadi muse, sumber inspirasi dari Reynold dalam membuat gaun. Eventually, mereka menjadi sepasang kekasih. Ketika mereka mulai hidup bersama, barulah kebiasaan serius Reynolds menjadi benturan kepada keinginan wanita seperti Alma. Alma ingin menyintai seutuhnya, taking care Reynolds, dan semacam menggenggam tangannya sepanjang waktu sementara Reynolds enggak memerlukan pasangan seintens demikian. Atau paling enggak, dia enggak pernah menampakkan kalo dia butuh perhatian dari Alma. Inilah yang menjadi konflik utama film Phantom Thread.

“Gaun bersulam sutera dia berikan dulu. Untuk apaaaahh, kalau, dia tak cintaa~~”

 

 

Untuk sebagian besar waktu dari durasi dua-jam, tidak benar-benar ada kejadian dalam film ini. Hanya ada sedikit sekuens yang terhimpun menjadi sesuatu yang gede. Itupun bergerak dalam ritme atau pace yang lambat. Jadi aku dapat mengerti jika beberapa orang akan merasa bosan menontonnya. Buatku, penulisan tokohnya yang membuat aku betah. Meskipun menggunakan gaya ‘satu tokoh diceritakan oleh tokoh yang lain’, film ini tetap mengolah para tokoh dengan bijak. Setiap tokoh sentral diberikan motivasi, mereka punya karakter yang bisa kita pegang – kita dukung karena kita dapat melihat apa yang menyebabkan mereka bertingkah laku demikian.

Reynolds lebih dari sekedar desainer fesyen, jelas dia sendiri memandang dirinya sebagai seorang seniman. Seorang seniman yang sangat serius, kalo boleh ditambahkan. Pagi-pagi dia akan duduk di meja makan mencatat ide-ide busana pada buku catatan kecil. Konsentrasinya penuh  tercurah di situ. Dan jika ada orang yang mengajaknya bicara, ataupun ada orang yang mengunyah dengan terlalu ‘berisik’, dia akan merasa terganggu dan lantas membentak orang tersebut. Bukan hanya soal seni, soal makanan pun Reynolds menuntut ketepatan yang sesuai dengan standar dirinya. Orang model begini yang dihadapi oleh Alma yang dengan tanpa dosa menawarkan kue buatannya kepada Reynolds. Pernah juga dia membawakan teh ke ruangan Reynolds, yang serta merta disambut dengan bentakan. “Tehmu memang udah keluar, interupsimu yang terus masuk di dalam mengganggu!” aku ngakak di adegan ini. Reynolds menyembunyikan kebutuhannya akan orang lain. Malahan dia lebih suka memperlakukan semua orang layaknya bidak catur, yang bisa ia gunakan kapan dia suka, dengan cara yang ia inginkan.

Entah itu perancang busana, ataupun pelukis, pematung, penulis, pembuat film, kita perlu untuk berhubungan dengan orang lain. Maksudku, setiap pekerja seni butuh untuk melakukan koneksi dengan teman, dengan pasangan, atau bahkan lebih baik lagi, dengan para fansnya. Untuk berbincang-bincang bertukar ide. Karena hanya dengan berinteraksilah ide dapat berkembang secara kreatif.

 

 

Ada satu sekuen yang aku harap kalian masih mampu membuka mata menonton, karena menurutku sekuen ini adalah salah satu bagian terbaik yang dipunya oleh film dalam rangka menunjukkan karakter para tokoh. Menjelang pertengahan, Reynolds diminta untuk membuatkan dress buat seorang wanita kaya yang hendak mengadakan jamuan pesta di rumahnya. Reynolds dan Alma diundang untuk hadir, dan di sana kita bisa melihat dari ekspresi Reynolds bahwa dia sesungguhnya enggak suka menyerahkan buah tangannya kepada wanita ini. Di depan mata, si wanita minum-minum dan teler sebelum akhirnya tepar masih berbalut busana buatan dirinya. Kita dapat melihat hal ini sangat mengganggu Reynolds, membuat ia geram. Tapi Reynolds tidak mau mengambil aksi karena dia lebih tidak suka lagi berinteraksi dengan orang. Alma lah yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu terhadap apa yang menurutnya bisa dibilang pelecehan terhadap karya seni tersebut.

Seperti melihat karya kita dijadikan bungkus gorengan

 

Ngomong-ngomong soal kreativitas, penulis sekaligus sutradara SEKALIGUS bertindak sebagai sinematografer Paul Thomas Anderson benar-benar mengambil resiko kreatif ketika dia mengikat cerita film ini. Babak terakhirnya dibuat sangat menusuk dengan seorang tokoh membuat sebuah keputusan terhadap suatu hal, dan sesungguhnya adegan itu merupaka pertaruhan yang gede. Aku gak mau spoiler berlebihan, aku hanya bisa bilang film ini literally menggunakan racun untuk menggambarkan relationship Alma dengan Reynolds yang beracun. In a way, hubungan tokoh film ini mirip sama tokoh The Shape of Water (2017), tapi Phantom Thread meninggalkan kesan yang sedikit lebih kelam, dengan konotasi hubungan yang lebih ke negatif. Kebayang gak gimana jika cerita cintamu lebih ‘ngeri’ daripada cinta manusia dengan makhluk monster haha

Film memang tidak pernah menjelaskan kenapa Alma bisa begitu cintanya kepada Reynolds, dan juga sebaliknya. Tidak ada yang menghalangi Alma untuk pergi dari rumah yang udah kayak kandang burung bagi dirinya secara mental tersebut. Tapi jika kita melihat kembali ke belakang, ke masa lalu Reynolds –seperti yang ia ceritakan kepada Alma, kita dapat melihat semuanya masuk akal. Semuanya terkonek. Kedua insan ini saling membutuhkan; mereka literally butuh yang lain untuk memenuhi kebutuhan inner mereka, tapi dihalangi oleh sikap Reynolds yang mendominasi. Pilihan ekstrimlah yang dijadikan jawaban.

Tidak jarang seorang yang sukses dan sangat precise dalam berkarya, punya hubungan cinta yang tidak benar-benar mulus. Malah sering berbanding terbalik. Karena cinta itu tidak bisa dipas-pasin. Cinta tidak bisa diprediksi awal dan akhirannya.

 

Hubungan pertama seorang pria adalah dengan ibunya. Dan eventually, hubungan masa kecil itu akan mempengaruhi hubungan asmaranya kelak dengan wanita lain. Beberapa pria akan mencari pasangan yang bersifat seperti ibunya. Namun terkadang ini malah ‘mengganggu’ lantaran agak sedikit enggak realistis mencari sosok yang serupa, kebanyakan hanya akan menjadi rintangan, membuat pria jadi banyak tuntutan. Beberapa lagi malah akan mencari yang berlawanan dengan ibunya. Karena mungkin ada trauma atau kejadian tragis. Bagi Reynolds, ibunya adalah personifikasi dari segala ketelitiannya dalam membuat busana. Busana pertama yang ia buat adalah untuk menyenangkan hati si ibu.  Dia harus memegang kendali, meskipun dia sadar dia juga butuh untuk ‘mengerem’ sedikit. Dia ingin diurusi. Untuk alasan itulah, Alma sangat penting baginya. Hanya Alma yang berani mengambil aksi yang actually berbuntut kepada terpenuhnya kebutuhan Reynolds untuk slow down. Hanya Alma yang tidak bisa ia kontrol. Aku enggak bilang hubungan seperti ini adalah hubungan yang sehat, tapi ini adalah satu-satunya yang bekerja buat mereka berdua. Dan ini efektif membuat cerita menjadi menarik.

 

 

 

 

Sebuah pandangan yang miris tentang bagaimana kepentingan memegang kendali membuat seorang seniman mengalami kesulitan dalam menerima orang lain, dalam memenuhi kebutuhan terdalamnya sendiri, serta dampaknya terhadap orang-orang yang mencintainya, yang benar-benar peduli dan mengasihinya. Penampilan di film ini luar biasa semua. Desain produksinya juga enggak maen-maen. Pacing yang lambat tentu dapat membuat panjangnya durasi benar-benar kerasa, tapi tidak akan mengurangi kualitas terbaiknya. Buatku, film ini seperti baju keren yang ukurannya kekecilan; aku akan berusaha diet supaya bisa memakainya.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for PHANTOM THREAD.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

THE POST Review

“Information is the currency of democracy.”

 

 

Istimewanya demokrasi adalah pemerintahan yang ada didasarkan kepada keinginan publik, bukan kepada ketakutan akan penguasa. Dengan berdiri bukan pada kekuasaan inilah makanya setiap warga negara memiliki kesempatan mengambil bagian aktif dalam pemerintahan. Kita berhak ngomong, mempertanyakan, dan menuntut keterbukaan dari pemerintah. Makanya media atau pers yang kritis, yang hobi ngulik menginvestigasi, dan mampu berdiri tanpa ditebengi disebut sebagai sumber kehidupan dari sistem demokrasi apapun.

Kebebasan pers adalah benteng dari kemerdekaan berpendapat. Namun sistem ini pun menemui celah ketika pemerintah berusaha mengendalikan informasi dengan alasan media kebablasan, informasi yang dikabari enggak akurat. Menyebarkan kebencian. Berbahaya.

 

Aku paham bagaimana susahnya menahan diri untuk enggak segera mengambil tindakan ketika  kita punya sesuatu yang menurut kita begitu penting. Begitu menarik. Kayak waktu kecil, dibeliin mainan baru, aku langsung melejit keluar rumah untuk dipamerin ke teman-teman. Susah memang untuk nahan diri. Sehabis nonton aja kita suka gitu, kan. Ngerasa kita dapet sesuatu topik yang penting yang dibawa pulang dari bioskop– apalagi kalo nontonnya pas gala premier – kita langsung nyerocos di sosial media, sampe terkadang sering lupa diri untuk enggak terlalu spoiler. Makanya, ketergesaan Steven Spielberg mengangkat The Post ke tahap produksi mestinya dapat kita maklumi. Spielberg literally mengerjakan film ini nyaris tanpa perencaan lantaran memang naskah yang ada di tangannya itu memang sangat menarik. Begitu relevan dengan iklim politik negaranya. Hasilnya? The Post adalah sebuah tontonan yang akan mengingatkan kita bahwa dalam negara berdemokrasi yang harus dilindungi adalah rakyat. Bukan pemerintah.

Bebas tapi harus bertanggung jawab

 

The Post menceritakan peristiwa nyata yang bagi warga Amerika adalah sebuah pengungkapan yang sangat mengejutkan.  Sebuah skandal soal pemerintah yang ketahuan menutup-nutupi langkah yang mereka ambil sehubungan dengan Perang Vietnam. Empat Presiden Amerika diketahui berkata bohong; Enggak mendukung perang, tapi malah mengirim tentara tambahan. Enggak akan mencampuri urusan Asia, eh nyatanya mereka duluan menyerang Vietnam. Wartawan dari koran New York Times saat itu berhasil membobol keamanan Pentagon dan mendapatkan catatan tentang kejadian yang sebenarnya. Mereka mencetak berita laporan rahasia tersebut di koran, menyebabkan negara gempar. Presiden Nixon memutuskan untuk menuntut New York Times dan mereka akan menutup semua surat kabar karena penyebaran informasi yang tidak berbukti. Penerbit koran kecil milik ibu Kay Graham (Meryl Streep panteslah dapat nominasi atas perannya ini), Washington Post-lah yang actually punya bukti. Seseorang misterius menaruhnya begitu saja di meja redaksi. Membuat editor Ben Bradlee (suka deh ngeliat Tom Hanks penuh determinasi kayak gini) kontan bersemangat. Inilah bahasan yang mereka cari-cari. Akan tetapi, para reporter sudah dihadapkan dengan dilema. Apakah mereka akan tetap mempublikasikan, dapatkah mereka mencari keabsahan informasi yang mereka dapat, apakah ada cukup waktu untuk mencetaknya. Sekarang, nasib demokrasi negara berada di pundak mereka.

Meskipun kejadian Pentagon Papers itu terjadi tahun pada 70an silam, film ini benar-benar berdering kompak sama kejadian di masa sekarang. Aktris Meryl Streep bahkan sempat nambahin sindiran di akhir film dengan menyebutkan “Semoga aku gak harus melewati semua masalah ini lagi” yang actually diimprovisasi olehnya sendiri. Sebenarnya bukan semata di Amerika sih film ini akan terasa sangat relevan. Enggak cuman administrasi pemerintahan Trump saja yang saat ini demen menghardik media dan mencoba untuk mengendalikan arus informasi.Bukan tidak mungkin, film ini akan terus relevan hingga bertahun-tahun ke depan, yang mana adalah sebuah masa depan yang cukup horor kalo dibayangkan. Di negara kita sendiri juga arus informasi itu seringkali harus diatur, mana yang aman diketahui oleh publik, mana yang harus dirahasiakan. Hanya saja, sekarang keadaan semakin pelik dengan banyaknya hoax-hoax berkeliaran.

Tapi soal keberhasilan film ini untuk terus relevan tentu saja bergantung kepada keberhasilan Steven Spielberg dalam menangani ceritanya. Kuakui, jika ada sutradara yang kupercaya bisa bikin film buru-buru dan hasilnya tetap berkualitas, maka sutradara itu pastilah Spielberg. Dan Ridley Scott, apparently dia sudah membuktikan diri lewat All the Money in the World (2018) yang dirombak banyak menjelang tayang dan hasilnya tetep kinclong. Dalam kasus The Post, kita bisa merasakan sang sutradara juga sangat passionate sama cerita yang ingin disampaikan. Spielberg memilih untuk memfokuskan inti kepada masalah penerbitan koran, gimana susahnya mencari dan menerbitkan cerita tepat waktu. Film menunjukkan banyaknya kerja fisik yang diperlukan untuk mencetak satu edisi koran. Dan menurutku, aspek ini yang membuat film menjadi stand out, paling enggak membedakannya dengan Spotlight (2015) yang juga film tentang tantangan jurnalisme mengungkap berita. Fokus pada cara kerja penerbitan ini juga turut menambah bobot kepada tone realistis yang berusaha dibangun.

sepertinya sekarang kita butuh film tentang bisnis majalah yang sudah gulung tikar

 

Ada banyak adegan yang terasa seperti adegan khas Spielberg, kalian tahu, adegan di mana kamera mendekat perlahan kepada seorang tokoh saat si tokoh memberikan monolog ataupun pidato yang intens tentang kehidupan mereka yang inspirasional. Penampilan para pemain, hingga ke tokoh paling minor pun, semuanya bagaikan diarahkan untuk memenangkan penghargaan.

Enggak hingga paruh akhir kita baru merasakan efek sepenuhnya dari elemen dramatis film. Washington Post baru mendapat paper bukti itu pada midpoint, dan barulah pertanyaan menarik apakah mereka akan mempublish berita tersebut mengetahui resiko penjara yang menunggu, kelangsungan dunia pers, dan bahkan apakah waktu untuk semua itu cukup datang menggebu. Film memang menjadi exciting di bagian ini dan sangat terasa kontras dengan separuh bagian pertama di mana ceritanya tampak meraba-raba. Konflik dibangun di babak awal, bagian emosional yang kita temukan pada titik tersebut adalah soal tokoh Meryl Streep yang dikerdilkan diam-diam oleh para reporter karena dia adalah pemimpin cewek, dan di masa itu cewek dianggap kurang kompeten dibandingkan para pria. Mereka mencoba menggunakan kuasa mereka untuk membuat Graham membagi wewenang karena mereka merasa akan mampu membuat kinerja penerbitan menjadi lebih baik. Aspek cerita ini sebenarnya juga masih relevan dengan keadaan kekinian, ini juga adalah bagian yang lebih personal; Bagi Graham ini semua adalah soal pembuktian diri. Tapinya lagi, aspek cerita ini enggak benar-benar baru dan in fact, kita lebih tertarik untuk mengikuti peristiwa penerbitan cerita sebab drama jurnalis inilah yang membuat kita duduk menonton sedari awal.

 

 

 

Hal terbaik dari film ini adalah bagaimana dirinya sangat menarik dan relevan dibicarakan pada masa sekarang-sekarang ini. Sebuah proyek yang sangat penting bagi si pembuat untuk segera disampaikan. Yang mana cukup disayangkan jika saja dia mau untuk memperlambat pembuatan film ini sedikit lagi. Aku enggak bilang film ini dibuat dengan terlalu terburu-buru hingga tidak mencapai potensi sesungguhnya. Desain produksinya tetap kelas top, penampilan akting yang benar-benar kuat, cirri khas sutradara juga tetap hadir di sana, Namun memang, mestinya film ini bisa digarap dengan sedikit lebih baik lagi. Karakternya bisa dibikin lebih berdaging lagi jika naskah diberikan tambahan waktu untuk matang. Elemen drama yang harusnya bisa diaduk dengan lebih baik, karena film ini terasa kayak dua bagian di mana bagian yang terakhir tampak lebih menarik dan fokus ketimbang bagian awal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE POST.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017