SI DOEL THE MOVIE Review

“The things we’re most afraid of are actually the things we want the most”

 

 

 

Katenye,
Film Indonesia ketinggalan jaman.

Katenye,
Film Indonesia gak berbudaye.

Aduh sialan, ni Si Doel anak betawi asli filmnya juga jalan-jalan!

Eits, jangan salah.

Meskipun ceritanya memang tentang si Doel yang pergi ke Amsterdam, namun film ini  really really hits us home hard; tidak akan sekalipun emosi kita terbang ke mana-mana berkat kuatnya eksplorasi karakter yang manusiawi, yang juga menunjukkan budaya dan bagaimana manusia harus menyeleraskan diri dengen perkembangannya. Si Doel adalah drama yang menyenangkan, yang paham seberapa jauh mesti mengambil dramatisasi.

Bicara mengenai kepentingannya untuk eksis, kenapa sih harus banget ada filmnya – kenapa harus sekarang, setelah bertahun-tahun; tentu saja ada kepentingan uang. Namun lebih daripada itu, film Si Doel ini akan sangat penting bagi penggemarnya, karena menawarkan sebuah konklusi yang selama ini dinanti. Sebuah penutup yang juga bisa dijadikan oleh pelajaran buat sebagian besar penonton, lantaran apa yang dialami oleh tokoh-tokohnya sungguh adalah hal yang mendasar, yang bisa direlasikan oleh setiap jiwa yang pernah merasakan beratnya dilema hubungan cinta.

Dunia si Doel sebenarnya sudah dibangun sejak 1970an. Namun bagi yang gede di tahun 90-an, umumnya kita mengenal Doel dari serial televisi. Karakter-karakternya yang sederhana, penuh dengan komentar dan permasalahan yang dekat sehingga terasa luar biasa lucu dan menyenangkan, permainan akting yang gak lebay. Sinetron si Doel kerap diungkit kalo ada yang lagi ngomongin betapa hancurnya acara televisi sekarang ini. Bahkan generasi kekinian yang baru melek, sedikit banyaknya tahu tentang karakter-karakter dalam serial ini melalui video-video meme potongan adegannya di sosial media. Film ini pun merupakan kelanjutan dari episode televisinya. Aku sendiri gak bisa ngomong banyak soal sinetronnya, karena aku gak ngikutin sampe bener-bener episode terakhir. Malahan, jujur, aku gak nonton acara tersebut karena si Doel. Si Tukang Insinyur ini sedikit terlalu kaku. I find Doel dan masalah cintanya dengan Zaenab dan Sarah lumayan boring. Aku malah tertarik ngeliat Mandra, Mas Karyo, Atun, dan karakter-karakter lain.

Does Doel ever have fun?

 

Di film pun seperti demikian. Doel begitu driven, seperti namanya yang berarti tujuan dalam bahasa Belanda. Kerjaannye Sembahyang dan mengaji juga turut ditampakkan dalam cerita. Doel bukan karakter yang sempurna, dia ‘cacat’ karena sudt pandangnya yang ‘primitif’. Bahkan saat nonton film ini pun, aku ngarep Mandra yang jadi tokoh utama. Dia pamit ama Mak Nyak, disuruh supaya jangan malu-maluin si Doel nanti di Amsterdam, I was like, nah itu bisa jadi landasan stake yang bagus; Mandra nanti susah menahan diri di sana, dia juga harus ‘menjaga’ Doel. Karakternya akan mentok ama si Doel yang kaku selama mereka bersenang-senang di Belanda. Aku akan senang sekali menyaksikan komedi fish-out-of water Mandra di Belanda. Tapi tentu saja enggak, karena Si Doel adalah film drama. Ceritanya tetap tentang si Doel, yang kini sudah menikah dengan Zaenab. Doel dipanggil ke Belanda oleh Hans yang katenye mau ngasih kerjaan. Dan berangkatlah Doel bersama Mandra (Atun gak diajak, menjadi hiburan tersendiri buat Mandra hihi), dengan wanti-wanti dari Mak Nyak: Doel gak boleh nyari Sarah. Setengah bagian pertama, film ini akan sok mengenai alas an di balik undangan Hans – kita akan bolak-balik ngeliat Doel yang berusaha santai di Belanda dengan Zaenab yang berusaha biasa aja ditinggal di rumah. Meskipun kita semua tahu pasti, Sarahlah orang di balik pergerakan Doel. Ketika di pertengahan akhir mereka bertemu, barulah konflik cinta yang menarik-narik hati kita itu dimulai.

Aku gak pernah tahu siapa yang akhirnya dipilih oleh si Doel, tapi film ini berhasil menerangkan garis besar apa yang terjadi di luar bingkai cerita ini. Penonton yang belum pernah nonton si Doel sekalipun bisa dibuat mengerti oleh beban yang dialami. Paham sama kondisi Doel-Zaenab-Sarah sebagai triniti drama. Buatku, apa yang mereka alami memang sungguh posisi yang berat. Keputusan yang harus dilakukan oleh Doel dalam situasi ini sungguh berat. Apa yang kudapat dari informasi cerita adalah bahwa Sarah, 14 tahun yang lalu, ninggalin Doel untuk mengetes sang suami. Tetapi Doel tak tahu harus mencari ke mana, jadi dia tinggal, dan menikah dengan Zaenab. Selama bertahun-tahun tersebut, ketiganya hidup dengan alasan karangan di kepala masing-masing; mencari pembenaran atas tindkaan yang mereka lakukan, berharap ketakutan mereka itu semua tidak terwujud. Sungguh menyedihkan, hidup dengan hati yang berat seperti demikian.

Takut adalah perasaan saat kita dapat mengenali apa yang kita inginkan, dan pada gilirannya, mampu mengidentifikasi apa artinya saat kita kehilangan sesuatu tersebut. Jadi kita membangun system pertahanan sendiri. Kita mencoba melindungi diri dengan menjadi pasif terhadapnya. Doel takut bertemu Sarah, karena dia tahu mereka tidak akan bisa bersama lagi – tapi dia mau mereka tetap bersama. Zaenab takut Doel bertemu dengan Sarah, karena dia tahu dia tidak akan bisa menolak Doel yang ternyata bisa saja lebih bahagia bersama Sarah. Hanya Sarah yang berani menantang ketakutannya, Doel dan Zaenab mestinya berterima kasih terhadap Sarah yang udah kayak malaikat pelindung buat mereka.

 

 

Aku juga gak tau bakal ngomong apa kalo ada yang memberi nama anak mereka dengan namaku selain “aku minta maaf”

 

 

Si Doel tahu bagaimana meremajakan ceritanya dengan tetap memberi hormat kepada penonton yang datang untuk bernostalgia. Seger ngelihat Mandra masih punya ‘lawan’, dia kirimkan foto selfie dan jalan-jalan ke Atun lewat hape, sekaligus ngatain Doel yang gak semangat ngapa-ngapain. Interaksi-interaksi kecil kayak Mandra dengan opletnya, Atun dengan anaknya hobi main ke warnet (mirroring dulu si Atun dimarahin karena kebanyakan maen layangan), atau bahkan kedatangan Koh Ahong bertemu Zaenab; aku senang kita dapat momen kayak gini. Adegan Mandra makan, wuiiihh legend banget deh. Aku masih ingat setiap kali adegan Mandra makan di tv, mamaku pasti langsung ngambil nasi dan ikut makan. Dia kebawa laper padahal yang dimakan Mandra tak jarang tempe ama nasi putih doang. Benar-benar mengikat ke cerita yang dulu. Membuat kesan bahwa para tokoh tersebut juga turut hidup sepanjang waktu, mereka tidak diam di tempat. Beberapa adegan mungkin terbatas karena kemampuan pemainnya yang sudah enggak muda lagi (cepat sembuh, Mak Nyak~), tapi adegan-adegannya berhasil menunaikan maksud. Aku pikir aku gak perlu ngomong banyak tentang permainan peran para tokohnya; Rano Karno, Mandra, Maudy Koesnaedi, Cornelia Agatha, Aminah Cendrakasih, Suti Karno, tidak ada yang perlu diragukan lagi; masing-masing mereka merasuk ke dalam peran legendarisnya. Membuatku berharap seandainya semua pemain serialnya masih hidup, dan kita dapat melihat mereka sekali lagi – kali ini di layar lebar.

Setelah waktu berpisah yang begitu panjang, aku heran juga kenapa film ini dibuat begitu pendek. Enggak lebih panjang dari sinetronnya di televisi (tapi mungkin itu karena di tv banyak iklan). Ada banyak yang mereka cuma tunjukin, dan gak benar-benar berarti lebih dalam seperti anak si Atun dan kedatangan Koh Ahong tadi. Aku gak tahu, mungkin mereka memang merencanakan membuat film Si Doel lebih banyak lagi, dan film ini hanya bertindak sebagai perkenalan, tapi itu adalah alasan jualan paling klise untuk nutupin kekurangan penulisan.

Salah satu momen kunci adalah ketika Doel bertemu dengan anaknya, Dul, yang kini sudah berusia lima-belas tahun. Mungkin bagian dari keputusan kreatif filmnya untuk tidak terlalu dramatis, katakanlah seperti di film-film Hollywood, di mana kita melihat seorang bapak yang berusaha konek dengan anak yang tidak pernah ia kenal. Tapi tetap buatku, ini adalah kesempatan yang dilewatkan. Interaksi antara Doel dengan Dul sangat terbatas. Anak remaja usia segitu semestinya sudah punya pemikiran sendiri, karakternya mestinya bisa ditulis dengan lebih baik dibandingkan dengan hanya sekedar ada sebagai alat naskah. Bahkan jika memandang dari sudut meremajakan pun, Dul mestinya bisa dijadikan penarik anak remaja untuk menonton film ini. Maksudku, jika memang berniat untuk bikin kelanjutan sekalipun, kenapa tokoh-tokoh baru di film ini terasa seperti sayur asem yang dimasak oleh Sarah; kurang diperhatikan.

 

 

Katenye, drama itu berhasil kalo bikin penontonnya kebawa perasaan. Dalam tingkatan tersebut, film ini berhasil banget. Kita tidak pernah sedetikpun dibuat merasa jauh sama tokoh-tkokhnya, sama apa yang mereka rasakan. Pada akhirnya memang menyesakkan hati, sekaligus juga memuaskan. Lantaran ceritanya sendiri benar-benar tertutup rapat, meski bukan tidak mungkin dibuat kelanjutannya. Dalam melakukan hal tersebut, film ini bukan hanya terasa singkat, melainkan memang pendek sekali. Bukan lantas jadi kekurangan atau jelek sih, hanya saja aku berharap mereka menggali lebih banyak. Paling enggak konfliknya bisa dibuat datang lebih cepat. Ada bagian-bagian, tokoh-tokoh, yang mestinya bisa dikembangkan lebih jauh, tapi film memilih untuk tidak melakukannya. Dan kita hanya bisa berkate-katenye membayangkan alasannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SI DOEL THE MOVIE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

R – RAJA, RATU & RAHASIA Review

A secret is barrier that keeps a couple from being truly close with each other.”

 

 

 

Lika-liku kehidupan anak SMA yang dadanya bergelora oleh hasrat namun lebih nyaman untuk memendamnya disajikan sebagai lapangan bermain cerita R – Raja, Ratu & Rahasia. Adalah Ratu (Aurora Ribero men-tackle kembali peran keduanya sebagai tokoh yang gak bisa ngomongin ketakutan terdalamnya like a boss), nama seorang cewek yang baru saja ditinggal pergi untuk selamanya oleh kedua orangtua. Ratu yang merasa hatinya kesepian, bergabung dengan komplotan rahasia di sekolahnya, dalam usaha untuk mengisi kembali lubang kosong  menganga pada hidupnya. Masalah timbul ketika sahabat masa kecil Ratu, cowok pebasket bernama Raja (Brandon Salim cukup charming mainin tokoh yang sekilas tampak keras, namun sangat peduli sama teman-temannya), menghimpun benci teramat sangat terhadap komplotan tersebut. Ratu kini harus berahasia agar keikutsertaannya sebagai anggota tidak diketahui oleh Raja. Karena ia tidak akan sanggup jika satu lagi orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya.

Sudah bukan rahasia lagi bahwasanya kepopuleran novel remaja mampu menarik minat pembuat film untuk merealisasikan kesuksesannya ke layar lebar. Tentu dengan harapan meraih taraf pencapaian yang sama, kalau tidak melebihi. Mengekor Dear Nathan (2017) yang besar dari Wattpad sehingga dibukukan, Starvision Plus kali ini menggandeng karya penulis, Wulanfadi, yang juga berawal dari platform penulisan yang sama dan sudah punya penggemar yang sedari 2016 udah tidak sabar menanti filmnya. Materi ini diserahkan kepada Haqi Achmad yang sudah malang melintang di ranah penyaduran cerita teenlit ke dalam scenario film. R – Raja, Ratu & Rahasia sudah barang tentu akan kuat sekali menguarkan pesona remaja, lengkap dengan konflik cinta dan persahabatan yang mewarnainya.

Aku pikir masuk akal sih kalo orangtua-orangtua yang saling sahabatan akan janjian menamai anak mereka selayaknya berpasangan

 

R- Raja, Ratu & Rahasia akan ramai oleh celoteh anak muda. Dengan canda-candaan khas mereka. Oleh persaingan yang sebenarnya sepele namun tampak begitu menekan jika dilihat dalam balutan seragam putih abu. Memberikan sensasi manis-manis nostalgia kepada penonton yang lebih dewasa. Karena cinta itu urusan yang tak lekang oleh waktu, semua orang pasti pernah merasakan dan mengerti pentingnya menyimpan suatu hal ke dalam diri sendiri, karena takut hidup akan berubah begitu rahasia tersebut terbongkar.

Menyimpan rahasia itu memang enggak sama dengan flat-out berbohong. Dengan berahasia kita bukannya enggak jujur, melainkan ‘hanya’ enggak mengatakan semua hal. Tapi tentu saja, rahasia tetaplah suatu pembatas yang menghalangi dua orang untuk benar-benar dekat antara satu sama lain. Dan jenis rahasia yang paling berbahaya untuk dijaga, tampaknya, adalah rahasia seperti Ratu kepada Raja – jenis rahasia yang ditakutkan akan membuat orang yang kita cintai jadi bertentangan dengan kita. Rahasia yang menabir identitas; dan Ratu menutupi kevulnerableannya dari Raja. Dia seharusnya menyadari semakin lama ia menyembunyikannya, akan semakin membahayakan komunikasi di antara mereka berdua.

 

Sutradara Findo Purnowo boleh saja mampu untuk memastikan film ini tidak akan keluar dari jalurnya, sebagai sebuah cerita untuk remaja. Tapi kehangatan dan senda gurau, atau bahkan lagu jazz itu, mestinya ia sadari tidak akan mampu untuk menutupi kelemahan film ini yang sebagian besar berasal dari kurangnya intensitas dan emosi yang real. Dan ini berarti adalah masalah pada arahannya. R – Raja, Ratu & Rahasia sesungguhnya punya dua elemen menarik, yang membuatnya berbeda dengan drama cinta remaja yang lain. Ini bukan exactly tentang cewek baek-baek yang naksir sama cowok badboy di sekolah. Ratu dan Raja sudah berteman sejak kecil, orangtua mereka sahabatan, but recently Ratu develop  perasaan khusus buat Raja – yang ternyata berbalas – namun keadaan membuat Ratu menumbuhkan satu perasaan lagi. Takut ditinggal. Salah satu elemen menarik yang dipunya oleh film ini adalah kita benar-benar diperlihatkan ketakutan yang dirasakan oleh hati Ratu dalam bentuk visual. Satu lagi elemen menariknya adalah sekolah mereka punya komplotan rahasia, tempat di mana Ratu mencoba untuk kembali ceria dan melupakan rasa takutnya itu.

Sayangnya, pada saat menangani dua elemen inilah, arahan Purnowo tidak kelihatan berhasil mengangkat film ini menjadi sesuatu tontonan yang remarkable. Direksinya sangat bland. Sudah cukup aneh memulai sebuah cinta remaja dengan adegan pemakaman – yang mana secara otomatis mengeset mood sedih dan rapuh yang menempel hingga akhir ke tokoh utama. Apa yang dilakukan film ini kepada adegan-adegan rasa takut Ratu membuatnya terlihat sangat fake dan menggelikan. Susah untuk menganggap sesuatu sebagai hentakan emosi yang serius jika sesuatu tersebut dihiasi oleh kelap-kelip dan latar efek komputer yang sangat kasar. Aku percaya mereka memaksudkan adegan tersebut sebagai peristiwa yang surreal, tapi hasil akhirnya jauh sekali. Adegannya pun itu-itu melulu. Ekspresi Ratu setelah ia membayangkan adegan pun tidak membantu kita untuk bisa menyelami adegan ini lebih dalam, karena ia terlihat seperti kebingungan, seolah hal tersebut semacam premonisi dari luar yang datang menghantamnya; lebih kayak sesuatu yang baru saja kepikiran alih-alih perasaan yang merayap membayangi hatinya.

Komplotan rahasia yang diikuti oleh Ratu, yang konon didirikan oleh abang Ratu… well, bagaimana komplotan tersebut seusatu yang big deal juga tidak berhasil diceritakan oleh arahan film ini. Tidak pernah ada build up ke komplotan tersebut. Film yang baik akan memperlihatkan kepada kita kenapa komplotan ini punya pengaruh di sekolah. Tapi film ini, set upnya datar sekali. Bahkan untuk bisa masuk ke dalam komplotan tersebut pun terlihat sangat gampang. Dibilang kelompok nerd, enggak. Kelompok siswa-siswa yang populer juga tidak. Dia tidak tampak sebagai seusatu yang ekslusif. I mean, selain Raja kita tidak melihat tokoh lain yang bukan anggota dari perkumpulan ini. Teman-teman Raja, semua masuk. Teman-teman Ratu pun semuanya diundang, meski cuma si Ratu yang punya alasan yang masuk akal bisa diundang. It was supposed to be an exclusive, elite club, tapi apa yang mereka lakukan di sana? Pertemuannya cuma pesta topeng, olahraga bareng, kenapa harus jadi kumpulan rahasia segala kalo toh kegiatannya tampak kayak kegiatan afterschool bareng teman-teman biasa. Seharusnya kelompok ini dibangun semisterius dan sepenting mungkin, sehingga ketika Ratu harus memilih, kita merasakan keterikatan terhadap kelompok ini. The way this film goes, Ratu dan Raja bisa keluar masuk sesukanya, kelompok ini tidak lagi tampak sebagai hambatan.

“Aja gak bakal ninggalin Ratu. Aja gak bakal blablabla”.. Gimana kalo filmnya udahan AJA?

 

Cerita punya banyak kejadian yang menyangkut banyak tokoh, dan kita bisa melihat film ini tidak mampu menangani semuanya dengan baik. Banyak adegan yang jatuhnya konyol dan gak penting. Ya, aku bicara tentang adegan ‘mengejar ke bandara’. Ada tokoh anak baru yang jadi sahabat Raja, yang titik puncak eksistensi karakter ini hanya ke Raja main basket yang tiangnya pendek sama om-om. Ada tokoh yang kerjaannya cuma nabokin tokoh lain, dan berakhir dengan dia jadian sama tokoh yang lain lagi. Menjelang akhir, ada satu tokoh lagi yang meninggal, dan kupikir ini untuk nunjukin bahwa Ratu sudah belajar untuk kuat, namun ternyata hanya dipakai untuk mengangkat drama, dan Ratunya sendiri masih seperti sedia kala; dia tetap rapuh dan masih membayangkan ketakutannya yang penuh gestur manis dan sparkle-sparkle.

Akan sangat susah untuk berusaha menetapkan apa sebenarnya yang ingin diamanatkan oleh cerita film ini. Karena secara logika, jika kita ingin bercerita tentang seorang yang takut untuk sendirian, maka mestinya cerita akan berlabuh ke tokoh tersebut menjadi berhasil mengovercome ketakutannya. Aku gak bilang dia harus tetap sendiri di akhir. Film did the right thing dengan membuat Ratu giliran berada di posisi dia yang ninggalin orang, akan tetapi membuat tokoh ini masih mengkhayalkan yang ia tinggalkan, kinda messed up with the whole journey. Benar juga soal, biarkan kali ini orang yang datang kepadanya, tapi pikirku film yang berani akan membuat Ratu berakhir dengan orang baru yang menyatakan cinta padanya. Hanya dengan begitu tokoh ini bisa menutup sempurna. But I guess, film ini butuh untuk memuaskan target pasarnya, jadi mereka memilih jalan yang paling meromantisasi meski itu berarti karakternya belum benar-benar tampak belajar.

 

 

 

Hadir sebagai bentuk dari usaha mengapitalisasi kisah remaja yang serba berahasia, terlebih kepada orang yang dicinta. Punya semua elemen yang disukai remaja, romantisasi, dramatisasi, candaan khas anak muda. Tapi akan bisa menjadi tontonan yang jauh lebih baik di tangan penggarap yang lebih kompeten. Arahan film ini begitu bland, bener-bener sangat bergantung pada musik untuk menyampaikan rasa. Sepertinya ia tidak peduli pada apapun selain tampak cantik dan menyentuh, terbukti dari adegan seorang abang yang berusaha menenangkan hati adiknya dengan berbicara ke puncak kepala sang adik, hanya karena shot tersebut tampak manis dilihat dari depan.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for R – RAJA, RATU & RAHASIA.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SABRINA Review

“Revenge may be wicked, but it’s natural.”

 

 

 

‘Rocky Horror Picture Show’ sepertinya akan mendapat tambahan arti. Jika lawas, kita mengenal kata itu sebagai judul film cult klasik bergenre musical horror. Maka bukan tidak mungkin di era kekinian, mendengar kata tersebut orang-orang jaman now pada langsung kepikiran Rocky Soraya dan rentetan horror sadis buatannya dalam seri The Doll yang dimulai sejak 2016. Sabrina, entry teranyar dari seri ini, hadir dengan cap dagang yang sama; boneka berisi setan dan tusuk-tusukkan hingga potongan anggota badan. Jualan yang ampuh. Seri ini sudah semakin mantap menyemen jalan menuju status cult klasik miliknya sendiri. Meski aku heran juga kenapa boneka ugly-not-creepy kayak Sabrina dibeli oleh banyak anak kecil dalam film ini.

ayo rolling-eyes bersama Sabrina

 

Setelah dua kali sukses, The Doll dan The Doll 2 (2017) mendapat sambutan hangat dari both kalangan penggemar body horror dan mainstream, Rocky dan timnya di rumah produksi Hitmaker Studios tampaknya menjadi semakin gede kep… gede hidung menangguk keberhasilan yang serupa. Tetap bercokol di lingkungan keluarga – yang membuat cerita film ini somewhat relatable – mereka mulai mengekspansi sudut pandang cerita. Sabrina tidak lagi sekedar membahas gimana boneka yang tampangnya kayak versi kartun Luna Maya bermata besar berambut keriting ini menjadi medium entitas jahat yang mengganggu satu keluarga. Ini juga adalah tentang pertempuran ilmu putih dan roh hitam. Malahan, begitu ambisiusnya cerita, status film ini menjadi agak ‘kabur’; pembuatnya bilang ini spin-off, meskipun secara jelas cerita merupakan kelangsungan dari kejadian di The Doll 2. Either way, sesuatu yang mengerikan bakal terjadi, dan tokoh ahli supranatural yang sudah kita kenal di dua film sebelumnya, harus segera menghentikan. Tak peduli meski nyawa mereka sendiri yang sekarang menjadi incaran.

Aku sendiri lebih suka menganggap ini sebagai sekuel karena memang ceritanya terasa lebih besar. Tapi tentu saja lebih besar bukan berarti lebih baik. Aku sempat bingung juga siapa sih tokoh utama di film ini. Seharusnya memang Laras, si paranormal. Hanya saja untuk sebagian besar pertengahan pertama – also the heart in the story – kita akan melihat Maira berusaha menata keluarga barunya. Dia menikah dengan anak pemilik pabrik mainan yang memproduksi boneka Sabrina yang baru. Pasangan ini mengangkat anak bernama Vanya, yang actually adalah keponakan dari Aiden, suami Maira. Kita juga bisa melihat cerita dari sudut pandang Vanya yang bersikap dingin kepada orangtua angkatnya, karena Vanya masih mengenang dan sulit melepaskan sosok ibu kandungnya yang telah tiada. Vanya dan Maira punya hubungan yang cukup menarik; mereka sama-sama kehilangan orang yang mereka cintai. Maira tadinya berpikir Vanya yang lebih suka main boneka dan ngobrol sendiri punya masalah yang sama dengan dirinya di film terdahulu; halu bahwa ibunya (anak dalam kasus Maira) masih hidup. Little did she know, Vanya mengontak dan memanggil roh ibunya lewat permainan anak-anak. Hantu ibu Vanya ini mulai menimbulkan masalah, karena dia sepertinya cemburu Maira mendekati anaknya. Or so we thought. Tapi hal menjadi lebih mengerikan lagi. Iblis yang dipanggil oleh Vanya ternyata punya masalah personal dengan Laras, paranormal kenalan Maira. Cerita kemudian berpindah ke si Iblis Baghiah dan Laras, dan bagaimana Laras harus mengalahkan makhluk halus yang haus tubuh manusia tersebut.

Ini adalah cerita tentang sosok-sosok yang dibesarkan oleh keinginan untuk balas dendam. Di film ini kita akan melihat seberapa jauh dan mengerikannya balas dendam bisa terwujud, jika kita memang berniat untuk melakukannya. Atau bagaimana kesumat itu bisa diredam dengan willing to let go

 

 

Cerita semakin tak terkendali menjelang babak ketiga. Udah susah untuk bisa kita pedulikan. Semua kejadian berbelok dan masuk sekena pembuatnya saja. Ada yang involving senjata mustika. Ada twist yang berhubungan dengan soal persaingan internal keluarga pebisnis mainan. Elemen-elemen cerita ini sebenarnya terikat dengan rapat. Plot pun menutup dan film ini bisa berdiri sendiri. Momen menarik buatku adalah ketika Laras sempat ragu apakah akan mengambil pisau atau kalung daun kelor untuk memusnahkan Baghiah; ini adalah momen ketika dia memilih apakah harus membalas dendam secara langsung atau tidak, karena iblis itu sudah menghancurkan keluarganya sejak film-film yang lalu. Mengenai twistnya, THE CLUE WAS ON THE NOSE, if you know what I’m speaking. Pada dasarnya, drama film ini akan terasa dangkal kurang terdevelop, karena memang porsi yang lebih menarik sudah mereka ceritakan di The Doll 2. Sekaligus juga terasa membingungkan karena jumlah cerita dan elemen-elemennya banyak dan semua ditulis setengah hati, dengan karakter yang lemah.

Ada adegan ketika Vanya mau masuk ruangan yang gelap, tapi dia takut. Dia mencoba menghidupkan lampu, sayangnya saklar terlalu tinggi. Jadi dia masuk saja gelap-gelap. Ini adalah contoh gimana malasnya ngembangin cerita sehingga mengorbankan karakter. Naskah butuh si anak masuk ke ruangan yang gelap; banyak hal yang bisa dilakukan untuk jadikan rintangan – kita perlu melihat usaha si anak karena dia adalah karakter yang seharusnya kita pedulikan. Tapi enggak, Vanya malah terlihat bego gak bisa ngidupin lampu; sebagai hasil dari adegan ini. Satu lagi; di bagian akhir ada pengungkapan yang memperlihatkan semua kejadian mengerikan itu terjadi karena ada satu tokoh yang membayar dukun untuk memanggil setan. Actually, setannya yang membeberkan hal ini. Kemudian kita lihat si tokoh ditangkap polisi, sebagai penyelesaian. Dan ini membuatku berpikir; atas dasar apa polisi menangkap orang yang secara fisik tidak pernah menyentuh, apalagi melukai, korban? Bisakah hukum menahan orang yang ke dukun atau bahkan dukunnya sendiri jika tidak ada bukti mereka melakukan kejadian, katakanlah, pembunuhan? Mungkin kita bisa berkilah ‘ini cuma film’ namun mengambil penyelesaian termudah itu sesungguhnya mendangkalkan cerita lantaran mereka bisa mengeksplorasi gimana nasib si tokoh dengan lebih baik – dan in turn, membuat tokohnya jadi lebih dalem dari sekadar twist device

Paruh terakhir toh bisa saja memuaskan untuk penggemar horror sadis yang tak peduli melihat hal yang sama berkali-kali. Sara Wiijayanto sukses tampil intens, seteru Laras dengan Baghiah, melibatkan banyak orang berdarah-darah tak pelak ada highlight dari film ini. Kalo kalian bertanya kenapa hantunya musti repot ngerasuki orang, membunuh pakai pisau, padahal sebenarnya dia tinggal membanting dengan kekuatan gaib, maka jawabnya adalah karena persoalan sudah begitu personal, hantunya ingin memberikan rasa sakit sebanyak mungkin. Dan juga karena ditusuk pisau aja masih bisa hidup, gimana mau dibanting.

Begitu juga dengan Luna Maya yang dengan berani menjajal semua. Dia jadi wanita yang berusaha memenangkan hati anak angkatnya. Dia kesurupan jadi setan pencabut nyawa. Dia dikubur hidup-hidup. Dia dilempar hingga punggungnya menabrak rak sehingga dahinya terluka. Make up dan efek darahnya hebat. But the filmmakers need to put a new spin into their product. Dan jelas ‘spin’ yang dimaksud di sini bukan spin dari game Pencil Charlie. Serius deh, adegan-adegan permainan memanggil arwah ini digarap dengan begitu malas sehingga dengan begonya kita menatap shot yang sama sampai lima kali. Masa iya mereka gak bisa memfilmkan pensil menuju kata ‘yes’ dengan arah atau sudut yang berbeda. Shoot yang ngezoom pintu setiap kali pindah adegan juga sama overusednya. Awalnya memang terlihat keren, tapi diulang begitu-begitu terus ya jadi bosen.  Ini menjadi bukti bahwa pembuat film ini memang suka mengulang memakai sesuatu yang menurut dia bagus dan cukup berhasil. Film ini kita mendapat banyak adegan yang mirip, beat-to-beat poin adegan nyaris kayak film sebelumnya. Dan betapa lucunya melihat begitu banyak yang kesurupan di film ini, dan semuanya jadi berhidung gede. Ini udah kayak Truth or Dare (2018) di mana yang kesurupan senyum aneh semua.

Kalo lagi main game fighting, pembuat film ini pastilah selalu memakai tokoh yang sama untuk menang, dengan mengeluarkan jurus yang itu melulu – tak lebih dari tendang bawah. I mean, penting untuk menemukan formula keberhasilan – jurus dalam video game adalah formula-formula tersebut, dan tak kalah pentingnya untuk menemukan cara-cara baru untuk mengeksekusi formula tersebut. Karena menggunakan jurus yang sama terus menerus akan membuat orang belajar menemukan kelemahan kita. Dan tentu saja; membosankan.

yang belum pernah kita lihat sebelumnya di film ini adalah Luna Maya berhidung gede

 

Dengan minimnya kemauan untuk mengembangkan cerita, dialog-dialog terdengar kaku karena sebagian besar berisi eksposisi. Sedari awal saja kita sudah dikasih kado-kado berupa penjelasan dan latar belakang cerita.  Film merasa perlu untuk menjelaskan setiap detil kecil. Cara dobrak pintu, misalnya. “Kalo saya bilang ‘dobrak’, kamu dobrak yang keras.” Enggak semua hal musti diucapkan. “Kalo tiga dari jawabannya ada yang salah, berarti hantunya palsu.” Enggak semua kesimpulan musti dijabarin. Malahan, dialog Luna Maya saat menemui Laras pada dasarnya sama aja ama ngerangkum plot yang sudah dilewati. Dan setelah semua ekposisi yang enggak perlu tadi, mereka malah ninggalin yang mestinya mereka jelasin. Tokoh yang diperankan Jeremy Thomas, kita tak tahu apa-apa tentang tokoh yang cukup signifikan ini. Backstorynya hanya dideliver dalam satu kalimat bahwa dia adalah rekan kerja Laras yang dulu, and that’s it. Gimana kita mau peduli, coba, yang ada malah curiga.

 

 

 

Maira, Aiden, Vanya.
Marah. Edan. Paniang.
Itulah yang kurasakan saat menonton ini. Marah karena mereka tidak melakukan apa-apa yang baru, semua yang kulihat di sini tak ubahnya adegan-adegan yang kulihat pada film kedua. Bahkan shot-shot yang digunakan pada film ini pun repetitif. Edan, lantaran kekuatan film ini terletak di kenekatannya tampil berdarah-darah, dan mereka terus mengepush kualitas ini. Dan paniang, pening oleh banyak hal ‘bego’ yang tak terjelaskan, juga oleh naskahnya yang begitu convolute – tiba-tiba ada yang berubah, tiba-tiba ada elemen yang dijejel masuk – mereka seharusnya menulis cerita dengan lebih tight; jika memang pengen memperkenalkan ini sebagai spin-off buat saja dari sudut pandang Laras, misalnya. Buat penonton yang baru menyaksikan ini, tanpa menonton film sebelumnya, kalian bisa saja menjadi fan baru yang kepincut dan penasaran pengen nonton prekuel-prekuelnya. Tapi buat penonton yang sudah ngikutin, jenuh pasti datang, karena kita pengen melihat aplikasi gimmick seri ini dalam sajian yang fresh.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SABRINA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ANT-MAN AND THE WASP Review

“Stepping out of your comfort zone is the best way to grow.”

 

 

Dunia superhero Marvel menjadi kecil dalam film Ant-man and The Wasp, tentu saja ‘kecil’ di sini bukan dalam artian kerdil karena minim aksi dan kurang kepentingan. Karena film ini meriah dan benar-benar sebuah ledakan menyenangkan. Kocak dengan gaya humor yang dapat kita bedakan di antara yang lain, much like sekuen aksinya yang merupakan gimmick khas yang selalu dinanti. Ceritanya lah yang mengambil ruang lingkup yang lebih kecil. Tidak ada ancaman kehancuran global, tidak ada malapetaka dahsyat  dari luar angkasa. Scott Lang adalah contoh langka seorang pahlawan super yang benar-benar mengalami konsekuensi dunia nyata,  dia gak punya duit banyak untuk membuat hidupnya lebih mudah, dia tidak benar-benar punya kekuatan super – kostum Ant-Man harus  ia kenakan dengan prasyarat.

Dan dalam film ini, Scott Lang terpenjara di rumahnya sendiri.

 

Hidup Scott Lang sebagai manusia biasa saja sudah cukup susye, apalagi ketika dia harus mengemban tugas sebagai superhero. Nafsunya untuk menjadi pahlawan yang bener, sebagai lawan dari kehidupan kriminalnya – membuat Lang  harus berada dalam posisi tahanan rumah selama dua tahun. Cerita film ini dimulai  ketika Lang sudah dalam hari-hari terakhir masa tahanannya. Dia sudah enggak sabar menunggu alarm di pergelangan kakinya dilepas sehingga dia bisa pergi keluar rumah dan menjadi ayah yang ia inginkan bagi putri semata wayangnya. In a comical fashion, kita melihat bagaimana hari-hari dihabiskan olehnya; dia membuat lorong sarang semut dari kardus untuk main misi mencuri-mencurian sama anaknya, dia ngerock pake drum set mainan untuk anak kecil, dia dengan khusyuk membaca novel young-adult, dia latihan sulap lewat youtube. Zona nyaman pahlawan super kita diusik oleh Hope dan Hank Pym, mentor yang bikinin kostum superhero buat Lang. Keluarga ini bermaksud mencari ibu mereka yang hilang di dunia kuantum berpuluh tahun yang lalu – sebagai resiko jika mengecilkan tubuh melewati batas. Dan mereka pikir, Scott yang pernah keluar hidup-hidup dari dunia kuantum tersebut dapat membantu mereka.

Avengers: “Scott Lang, main yuuuukk, ada Thanos niiih” / Cassie: “Papa gak boleh keluaarr”

 

Setelah narasi pembuka yang entah bagaimana mengingatkanku sama porsi awal game God of War, film ini memang tidak pernah berhenti menyuguhkan sesuatu yang membuat kita terhibur.  Kita seperti terus diping-pong antara karakter segar, dialog lucu, dan aksi berantem yang koreografinya supercepet dan bermain dengan tokoh-tokoh yang mengecil dan membesar sekejap mata. Film ini juga banyak bersenang-senang dengan adegan yang mengambil komedi pada persepsi kita terhadap ukuran.  Adegan akan dimulai dengan tokoh-tokoh lagi ngobrol di mobil, kamera dibuat nyaris close up, untuk kemudian suatu yang enggak semestinya sebesar itu muncul dari belakang, shot di zoom out, dan kita sadar apa yang sebenarnya terjadi regarding dimensi ukuran tokoh-tokoh pada adegan tersebut.

Kita memang sudah semestinya harus bisa melihat gambaran besar dari suatu masalah, supaya kita bisa mengerti dalam mengambil langkah apa yang harus dilakukan. Tapi terkadang, gambaran besar yang harus dapat kita lihat itu, nyatanya, adalah penyederhanaan dari situasi yang menurut kita pelik.

 

 

Dibintangi oleh begitu banyak talenta, Ant-Man and the Wasp bergantung kepada keahlian sutradara dalam mengembangkan tokoh-tokoh yang ada. Peyton Reed tampaknya sudah nyaman dengan dunia superhero yang ia tangani sejak ‘episode’ pertamanya. Dia paham betul bahwa Ant-Man akan banyak bicara tentang fiksi ilmiah, jadi ia memainkan itu semua ke dalam komedi. Celetukan Lang bakal membuat kita terbahak mengenai kata ‘kuantum’ di depan setiap; that’s how ribet aspek keilmuan yang dipunya oleh film ini sebenarnya. Komedi tentu saja dilakukan supaya penonton enggak bingung diterpa eksposisi tentang bagaimana peraturan ilmu-ilmu yang dibahas pada cerita. Salah satu contohnya adalah bagaimana, seperti yang juga kita lihat pada film pertama, Michael Pena dengan terrific menceritakan kejadian saat diinterogasi oleh salah satu tokoh penjahat. Dia nyerocos cepat dan layar akan nunjukin gambaran yang sedang ia omongin, di mana para aktor akan ngelyp-sinc setiap dialog yang ia ucapkan. Film ini berhasil membuat eksposisi menjadi hal yang lucu. There’s also adegan ‘serum kejujuran’ yang sukses membuatku ngakak. Hank Pym yang diperankan oleh Michael Douglas juga salah satu favoritku di film ini, karakternya sort of pemarah dan suka ngedumel, tapi itu sebenarnya di dalam hati, dia sosok yang peduli. Pasif-agresif tokoh ini mirip sama tokoh Sam di serial GLOW, sutradara acara gulat khusus cewek yang punya gerutu tersendiri dalam nunjukin kepeduliannya terhadap pemain yang ia tangani, actually aku sedang ngikutin season 2nya – aku rekomendasikan serial ini buat kalian yang tertarik sama struggle pembuat acara tv yang kurang popular, dan drama komedi  secara umum.

Balik ke Ant-Man and The Wasp, tho, Scott Lang sendiri enggak berada di kursi kemudi, kalian tahu, karena sebenarnya ini adalah cerita tentang Hope alias The Wasp. Menurutku, film ini punya masalah yang sama dengan Kulari ke Pantai (2018) di mana sebenarnya tokoh utama cerita film ini adalah tokoh lain, tetapi pada Ant-Man ini aku bisa melihat kenapa mereka gak bisa gitu aja mengganti tokoh utamanya menjadi The Wasp. Karena ini adalah universe Ant-Man, Ant-Manlah yang ada berperan di Avengers. Jadi, dia harus tetap menjadi tokoh utama, meskipun dia sebenarnya enggak begitu paralel dengan apa yang ingin dikatakan oleh film, dengan apa yang ingin dicapai oleh tokoh penjahat dan The Wasp. Jika di film pertama, Lang ditunjukkan sebagai mantan kriminal yang pinter, dia bisa bikin alat untuk masuk ke rumah orang, dia jago parkour, dia dengan cepat menguasai aplikasi kostum pengubah ukuran yang dipinjamkan kepadanya. maka di film ini dia hanya ngomentarin hal-hal dengan lucu. Kalo bukan karena pesona Paul Rudd yang bikin tokoh ini jadi begitu likeable, akan susah untuk peduli padanya sebagai tokoh utama. Dia bahkan gak benar-benar niat untuk sneak out dari rumah yang menahannya. Dia pernah mengalahkan Falcon, salah satu Avengers, dan di film ini dia diselamatkan dari tenggelam oleh The Wasp. Dan randomly dia tidak bisa menguasai kostumnya. Kita tidak ngecheer Ant-Man lebih besar dari kita menginginkan The Wasp berhasil reuni dengan ibunya, atau bahkan itupun kita tidak benar-benar mencemaskan keselamatan Pym yang masuk ke dunia kuantum. Film memang seperti kurang greget, tapi tidak bisa dipungkiri cerita dibangun dengan The Wasp sebagai highlightnya.

Jika The Wasp tidak segera meminta bantuan kepada Ant-Man, dia akan kehilangan ibunya. Jika Ghost – tokoh antagonis di sini – tidak mencuri lab dan teknologi dari ayah Wasp, dia akan mati. Dua tokoh ini harus segera keluar dan mengusik zona nyaman yang membawa malapetaka bagi mereka.  Ant-Man adalah kontras dari ini, dia tidak perlu melakukan semua itu. Dia bisa duduk baik di rumah dna dia akan menjadi ayah yang baik. Dia diseret ke dalam situasi di mana dia tak punya jalan lain selain mesti berhasil, demi kembali ke zona nyamannya.

 

Tayang setelah Avengers: Infinity War (2018) yang begitu depressing, film ini mendapat keuntungan hadir sebagai film yang didesain untuk menjadi tontonan yang menyenangkan. Hampir tidak ada unsur suram pada film ini. Sangat ringan dan luar biasa menyenangkan. Makanya, aku pikir kita akan gampang bias dalam menyingkapi film ini. Kita menganggapnya segar, karena kita baru saja dibuat ‘dendam’ sama Thanos. Namun, bayangkan jika kita menonton ini lagi, jauh nanti setelah Infinity War, atau bayangkan ada orang yang belum nonton Infinity War dan dia hendak marathon Ant-Man dan Ant-Man 2.. Tidak ada yang begitu berbeda pada dua film Ant-Man. Sekuelnya ini tidak benar-benar sesuatu yang fresh dibandingkan dengan film pertamanya. Malahan, tokoh utamanya jadi kurang kuat, meskipun keseluruhan film tetap adalah tontonan yang ekstra menyenangkan. I guess film ini benar-benar dipush untuk menjadi menyenangkan, karena ada rencana di dalam dunia sinematik ini. Tapi kita harus melihat film sebagai sesuatu yang berdiri sendiri; film ini mampu, tapi banyak elemen yang sebenarnya tampil lebih lemah. Satu tokoh jahatnya, si Burch, kehadiran tokoh ini memang mengundang tawa di ujung, tapi in a long run karakternya enggak benar-benar penting. Sekiranya dihilangkan, beberapa hal pada film ditulis ulang, cerita mungkin bisa menjadi lebih baik.

berkat film ini kita tahu for a fact bahwa suara semut bukan “oee..oee” seperti yang disebut pada lagu anak-anak

 

 

Alih-alih dunia, film ini bicara mengenai menyelamatkan keluarga; yang mana adalah semesta personal bagi setiap individu. Menghibur kita dengan ritme yang cepat, aksi-aksi dnegan efek komputer yang memukau, tokoh-tokoh yang kocak, akan susah sekali untuk terkulai tertidur ketika menonton ini. Bisa dibilang, film ini mengorbankan cerita yang lebih kuat, karakter yang lebih baik, demi tampil lebih ringan bahkan dari film pertamanya. Dia akan menjelaskan hal-hal dengan cara yang lucu, jika tidak bisa, maka film akan meninggalkannya tanpa penjelasan. Film mengharapkan kita, terutama pada babak ketiganya, untuk menerima saja, atau paling enggak sudah membaca komiknya. Big Hero 6 (2014) akan menghasilkan impresi yang lebih membekas untuk tantangan dan tema yang nyaris serupa. Setelah Infinity Wars, gampang untuk dengan cepat bilang film ini fresh, tapi jika dibandingkan dengan film pertamanya, film ini lebih kompleks. Namun kekompleksannya tidak dimainkan dengan benar-benar membuatnya unggul dan berbeda. But hey, it’s a small world, afterall.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ANT-MAN AND THE WASP.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LOVE, SIMON Review

“Everyone can find love.”

 

 

Simon punya rahasia.

Iya, Simon yang hidupnya bahagia itu. Yang punya ayah dan ibu yang suka menggoda, tapi sebagai tanda peduli dan sayang kepadanya. Yang punya adik cewek hobi masak dan seneng menjadikan Simon sebagai kelinci percobaan resep-resep ‘maut’nya. Simon yang kalo di sekolah selalu terlihat barengan empat sohib karibnya ke mana-mana. Makanya, gak ada yang nyangka kalo si Simon menyimpan satu ketakutan besar.

Rahasia besar Simon menyangkut reputasinya sebagai anak remaja. Dia enggak bisa curhat begitu saja karena, bayangkan jika orangtuanya tahu.. wuih, Simon yakin kedua orangtuanya akan oke saja mengetahui rahasia tersebut, mereka tak akan marah. Simon paham kedua orangtuanya berpikiran cukup terbuka sehingga tidak akan menghukumnya. Apalagi adiknya, dan teman-teman, Simon pokoknya tahu deh  mereka semua pasti akan mengerti. Hanya saja Simon takut dia akan diperlakukan berbeda, gimana orang-orang di sekitarnya akan membuatnya merasa seperti Simon yang berbeda. Jadi, ketika dalam dunia maya, Simon menemukan satu orang di sekolahnya yang punya rahasia serupa – yang juga punya ketakutan yang senasib dengannya, Simon segera reach out ke pengirim pesan misterius tersebut. Mereka pun akhirnya saling berkorespondensi dengan menggunakan nama samaran.

enggak ada orang normal yang menggunakan nama aslinya saat chatting random di internet

 

Keakraban dan rasa cinta mekar di antara keduanya, film dengan indah dan hangat menumbuhkan rasa tersebut dari rasa saling peduli, dari gimana Simon dan sahabat ‘pena elektronik’nya saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Koneksi di antara mereka jauh melebihi sekadar koneksi internet, eh salah maksudku koneksi perasaan yang bisa dibuat-buat. Adalah koneksi hati dan jiwa yang berperan di sini. Begitu nyata senyata-nyatanya. Rasa cinta Simon memuncak, dia butuh untuk mengetahui siapa yang selama ini membalas keluh kesah dan mengerti ketakutannya. Salah satu aspek yang membuat film yang diadaptasi dari buku karangan Becky Albertalli menarik adalah karena pada denyut nadinya, film ini membahas tentang hal yang bisa direlasikan oleh banyak orang mengenai pergaulan dan jati diri. Melihat Simon mencoba mencari tahu, menerka-nerka, dan salah – semua usaha subtil Simon itu adalah adegan-adegan yang hebat, memberikan ELEMEN INVESTIGASI yang sama sekali tidak kuharapkan ada pada film ini.

Karena sejujurnya aku tidak tahu apa-apa mengenai cerita film ini. Ada bukunya saja aku baru ngeh setelah lihat internet. Aku nonton karena ada Hannah Baker main di sini. Ketika cerita dibuka dengan Simon menarasikan gimana ada rahasia besar di balik hidup normalnya, instantly I was hooked.  Keren sekali gimana film menuliskan, gimana Simon bragging about dia sama seperti kita, padahal jelas-jelas rumahnya beda, adiknya bukan sebangsa titisan iblis kayak adik-adikku, dan rahasia Simon semakin membuatnya berbeda denganku. Kita adalah orang yang dianggap default oleh Simon. Di sinilah letak kepintaran film. Bukan apa rahasia Simon yang membuat kita merasa dekat dan terhubung dengannya, melainkan fakta bahwa kita semua, pada suatu waktu di hidup kita, menyimpan rahasia yang kita takut orang lain mengetahuinya.

Kalo adikku, makanannya pasti dikasih racun

 

Jika kalian pernah berjuang semasa sekolah, mencoba bilang cinta ke teman yang kalian suka hanya saja kalian tak cukup berani, atau jika kalian mengaku kalian takut keadaannya makin runyam – kalian tidak bisa lagi berteman dengannya, atau jika kalian pernah dirundung di  lingkungan sekolah. Film ini punya hal yang dapat diapresiasi oleh banyak orang, yang membuat film ini menjadi punya nilai appeal yang tinggi selain karena permainan cast yang cakep dan arahan yang oke punya.

 

Sudah bukan rahasia film drama remaja tak ayal berusuan dengan cinta, bahwa romantisme menjadi hal yang begitu penting buat remaja. Love, Simon pun begitu. Akan tetapi, hal menakjubkan yang dilakukannya sebagai film mainstream adalah sama sekali tidak memasukkan trope-trope lumrah, yang menurunkan nilai romansa itu sendiri seperti pada film remaja kebanyakan. Tidak setiap lima menit sekali kita melihat Simon dan teman-temannya mengecek sosial media, komen-komenan facebook, atau facetime, apalagi bertik-tok ria. Tidak ada dialog-dialog gombal yang mengincar penonton untuk berhihihi kayak kuntilanak lagi puber. Film mengambil waktu untuk ngebuild setiap perbincangan. Email-emailan yang dilakukan oleh Simon dengan Blue diberikan bobot dan actually berpengaruh terhadap stake yakni putusnya hubungan pertemanan. Percakapan para remaja benar-benar menunjukkan betapa mereka adalah makhluk sensitif haus perhatian, namun juga penuh ironi dan pancingan. “Aku adalah orang yang ditakdirkan untuk terlalu peduli kepada seseorang hingga perasaan tersebut membunuhku,” begitu kata salah satunya. Tidak semua adegan film ini dibentuk menjadi adegan gede yang dramatis yang membuat penonton menghela napas. Malahan, cerita terbendung sedemikian rupa sehingga kita baru akan  benar-benar bernapas di momen terakhir.

Salah satu rahasia yang menyebabkan film ini asik dan menantang untuk ditonton adalah betapa lucunya, karakter, dialog, dan situasi, yang dihadirkan. Namun kita tetap merasakan perasaan dan emosi yang kuat. Nick Robinson sepertinya baru saja menyuguhkan permainan peran terbaik sepanjang karirnya. Menyedihkannya begitu nyata dan meyakinkan, namun tidak kelewatan sehingga terasa over-the-top. Simon tidak meminta kita berbelas kasih kepadanya, ia tidak mengancam kita untuk bersimpati kepadanya. Film tidak pernah meminta kita menonton perjuangan Simon, dia terpaksa harus membohongi teman-temannya hanya karena dia takut untuk melakukan hal yang benar, dia bahkan tidak benar-benar tahu mana hal yang benar, supaya kita bisa kasihan kepadanya. Film hanya meminta kita untuk merasa dekat. Tidak ada satupun elemen dan aspek yang terasa dipaksakan. Bukan Simon seorang, setiap karakter punya sesuatu di dalam diri mereka yang bisa kita pahami, dan pada akhirnya akan membuat kita mengapresiasi tindakan dan pilihan yang mereka ambil. Atau yang terpaksa mereka ambil.

Well, kecuali ada dua tokoh yang tidak bisa kita apresiasi. Karena film hanya selenting saja membahas mereka berdua. Mereka berfungsi sebagai semacam antagonis, tukang bully yang suka gangguin anak-anak yang berbeda dari yang lain. Mereka melakukan hal-hal awful kepada Simon dan anak lain. Dan film hanya membahas segitu. Ada adegan mereka didisiplinkan oleh kepala sekolah gaul, dan semuanya menjadi baik-baik saja. I just think, porsi tokoh ini seharusnya mendapat lebih banyak perhatian. Sebab di dunia nyata – dan segala hal lain film ini terasa begitu otentik – masalah seperti ini bukan tidak mungkin dapat menyebabkan trauma yang mendalam kepada ‘Simon-Simon’ di luar sana. Mereka adalag bagian dari masalah, salah satu yang menyebabkan Simon overthinking keputusan untuk membuka rahasianya, dan untuk menyelesaikannya dengan semudah itu tampak seperti menyepelekan bahaya yang sebenarnya.

Tidak peduli siapa, cinta selalu ada untuk kita. Jika kita mau mencari. Jika kita mau membuka diri. Mungkin memang sulit, tapi kita akan selalu menemukan segalanya menjadi lebih mudah jika kita membuka diri, membiarkan orang untuk memahami kita, dan pada gilirannya kita akan memahami mereka juga.

 

 

 

 

 

Pssst, aku pikir aku tidak perlu beberin apa tepatnya rahasia Simon di sini kepada yang belum nonton filmnya. Yang harus diketahui, film ini patut disanjung karena hal terpenting pada film dalam situasi sosial dan budaya sekarang ialah seberapa banyak orang-orang merasa terwakili olehnya. Film ini, dalam kapasitasnya, menambah banyak jumlah tersebut. Ia menjadi suri teladan bagi penonton yang benar-benar seperti Simon, maupun sebagian yang lebih besar lagi yang pernah mengalami perjuangan serupa. Penuh pesona, gebrakannya sebagai film mainstream yang berani untuk come out benar luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LOVE, SIMON.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

JAILANGKUNG 2 Review

“The captain goes down with the ship.”

 

 

 

Jailangkung 2 dibuka dengan tak bisa lebih menarik lagi buatku yang sudah hopeless mengingat performa film pertamanya tahun lalu. Kita dibawa mundur ke Sumatera tahun 1948, ke sebuah anjungan kapal besar yang sedang rame orang-orang menaikkan muatan. Mengenyahkan pandangan menembus asap komputer – sebuah efek malas yang tidak diperlukan, jika mau harusnya mereka bikin asap beneran – maka kita akan melihat nama kapal yang bakal bikin para penggemar misteri dunia menggelinjang heboh. Kapal S.S. Ourang Medan. Kapal hantu ‘legendaris’ yang cerita tentangnya sudah barang tentu dikenal para pelaut di seluruh dunia. Diceritakan kapal ini ditemukan dengan seluruh awaknya mati dalam ekspresi ketakutan, sebelum akhirnya kapal tersebut terbakar dalam cara yang sama anehnya. Aku membaca tentang kapal ini beberapa tahun yang lalu dari blog Enigma, kalian bisa baca artikel lengkapnya di sini. Karena Jailangkung 2 menghadirkan misteri ini cukup mendetil, kecuali bagian lokasi yang disesuaikan meskipun gak begitu masuk akal. Tapi paling tidak film ini benar-benar menempel tentang kapal itu sesuai dengan mitos yang diberitakan, hingga ke pesan-pesan morsenya. So actually I was interested, sampai ke pertanyaan itu timbul; bagaimana cara mereka mengikat misteri kapal itu dengan mitos jailangkung yang menjadi tajuk utama cerita?

Jawabannya adalah, mereka tidak bisa.

Jailangkung 2 nyaris membahas tentang jailangkung itu sendiri. Film ini berusaha memasukkan begitu banyak misteri, tetapi mereka begitu tak mampu membangun cerita sehingga durasi yang hanya delapan-puluh-menit lebih sedikit saja terasa amat membosankan. Jailangkung 2 kembali mengambil Mati Anak sebagai entitas yang harus dikalahkan. Ceritanya langsung tancap gas menyambung film yang pertama. Dengan flashback yang menghighlight kejadian di film pertama, film berusaha membuat penonton yang nyasar ke bioskop menonton ini mengerti apa yang terjadi. Kita melihat Bella (Amanda Flawless… eh salah, Rawles) masih berkutat menjaga keutuhan keluarganya dengan mencemaskan sang ayah dan adik yang masih merindukan almarhumah ibu mereka. Kali ini rundung keluarga mereka ditambah oleh kakak Bella yang berperilaku aneh (aneh as in bisa memporakporandakan meja makan hanya dengan melotot) semenjak ia mengasuh anak-tanpa-ayah yang ia lahirkan di pekuburan pada episode cerita yang silam

Setelah melihat si bayi bertumbuh dengan cepat menjadi anak seusia adiknya, Bella lantas melakukan riset bersama pacar tersayang, Rama (Jefri Nichol kembali memerankan tokoh eksposisi yang tak punya tugas apa-apa selain membawa follower instagramnya yang bejibun untuk nonton) yang punya akses ke buku-buku klenik semacam ensiklopedia hantu. Si Mati Anak tentu saja tidak diterima di keluarga Bella. Stake datang dari adik Bella yang kesepian karena kakak-kakaknya sibuk sama hantu. Si adik yang ngikutin jejak sang ayah, terobses sama kernduan akan ibunya, main jailangkung dan kemudian hilang ke alam goib. To fix all of this occult problems, Bella dan Rama tetap membaca buku dan internet sampai menemukan informasi bahwa Mati Anak yang dituduh Bella jadi sumber semua ini bisa dikendalikan dengan sebuah mustika yang hilang. Masalah dari mustika yang hilang itu adalah, tidak ada yang tahu tempatnya di mana. Jadi, Bella menabrak seorang anak baru yang ternyata mengetahui di mana mereka bisa menemukan the same exact mustika yang mereka butuhkan tersebut. Yup, tak perlu jenius untuk bisa menebak, Bella dan Rama harus terjun ke dasar selat untuk mencari mustika yang jadi penyebab kapal S.S. Ourang Medan tenggelam.

saking berantakan, aku nonton nyaris jungkir balik kayak setannya

 

Sesungguhnya cerita Jailangkung 2 ini bisa saja menjadi menarik. Di tangan pembuat film yang lebih kompeten, Jailangkung 2 jelas akan berdurasi lebih panjang demi memfasilitasi elemen-elemen cerita yang ada dengan lebih baik, untuk mengembangkan tokoh-tokohnya, membuat mereka lebih dari sekedar di sana tanpa karakterisasi. Pembuat film yang peduli terhadap ceritanya tentu akan mengerti kakak Bella yang begitu terattach sama si anak setan akan bisa menjadi tokoh utama yang lebih layak. Pembuat film yang memegang teguh idealisme ceritanya sejatinya paham bahwa psikologis adik Bella yang pada satu adegan tampak creepy sekali main boneka sendirian sambil bertanya “Mana Ibumu? Mana ibumu?” akan memberikan sudut pandang dan penggalian cerita yang lebih menantang. Tapi tidak, film ini berpendapat lain. Mereka hanya peduli sama angka jumlah perolehan penonton, jadi tokoh dan fokus haruslah ke yang cakep, yang muda, yang lagi hits, dan punya jumlah penggemar aktif di sosial media yang banyak, meskipun tokoh-tokoh tersebut tidak diberikan bobot atau hal yang benar-benar make sense untuk dilakukan. Alih-alih menggali cerita dari drama yang berakar trauma, film mendudukkan kita di belakang Bella yang dikejar-kejar pasukan ghoul/demit kuburan. Beberapa adegannya aku akui serem, aku suka ama adegan di supermarket, namun semua kesereman tersebut terasa sia-sia, pointless, karena kejadian menyangkut tokoh-tokoh di rumahlah yang sebenarnya lebih berarti.

Seorang kapten tidak dibenarkan untuk duluan meninggalkan kapal yang tenggelam. Dia haruslah yang terakhir pergi, karena dia yang  bertanggungjawab atas tenggelamnya kapal. Kita bisa menarik perbandingan antara kapal dengan keluarga. Dalam kasus ini keluarga Bella sudah akan tenggelam karena masalah yang  bermula dari sang kapten, ayah mereka, bermain jailangkung. Mengetahui hal tersebut, Bella adalah penyelamat yang mampu bertindak di luar sang kapten; memastikan ‘kapal’ keluarga mereka tidak bermasalah sehingga bakal tenggelam lagi.

 

Isi film ini tak lain dan tak bukan adalah eksposisi dan kejadian seram yang pointless. Semua ‘petualangan’ mereka dibuat mudah. Tokoh paranormal, investigasi lewat internet, itu semua tak lebih dari device untuk maju cerita dengan begitu gampang. Permainan perannya begitu minimalis. Kemajuan dari film sebelumnya adalah Bella actually menjadi orang yang hit the last nail ke hantunya, tapi kejadiannya dibuat begitu gampang – tidak ada tantangan. Yang ada hanyalah twist yang semakin membuat kita teringat sama film Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati (2018) yang sama parahnya. Para pemain hanya perlu untuk pasang tampang cemas dan takut sepanjang waktu. Tapi aku mengerti. Kalo aku bermain di film seperti ini, aku pastinya juga akan merasa cemas terus menerus. Aku akan mencemaskan karirku, karena film ini sama sekali tidak membantu apa-apa untuk pemain-pemainnya.  Naskahnya tidak memberikan tantangan, tidak memberikan kesempatan. Ada alasannya pemain waras seperti Butet Kertaradjasa tidak muncul lagi di film ini. Tidak ada pengembangan karakter di sini. Hubungan Bella dan Rama hanya diperlihatkan sebatas mengikat gelang keberuntung sesaat sebelum mereka menyelam. Film berusaha menampilan sedikit tantangan cinta dari orang ketiga, tapi itupun terasa datar dan tampak film menyerah di tengah jalan.

doooo betapa romantis bakal satu masker berduaaa

 

Penulisannya begitu malas dan ngasal. Banyak sekali dialog yang membuatku tertawa terbahak-bahak. Untuk menyelamatkan kalian semua dari menonton film ini, berikut aku salin beberapa kutipan yang keluar dari mulut tokohnya:

“Papa enggak mau kamu mikirin urusan soal itu” – Pemborosan kalimat , Papaaaaa

“Buku ini menarik, Bell” / “Tentang apa?” / “Membahas salah satunya tentang Mati Anak” / “Kalo itu aku sudah tahu!” –Nice try, Ram. Nice try.

“Ambil obor itu dan alihkan perhatiannya” / “Tapi di sini enggak ada obor, Bu” / “Obor itu ada di tanganmu, Verdi” –Lah Ibu, ngasih obor aja belibet amat, mau membuat saya tampak bego ya?!

 

 

 

 

Film ini bagaikan kapal yang tenggelam. Namun tidak seperti S.S. Ourang Medan, film tenggelam dengan sebab yang kita ketahui. Sebab kaptennya tidak kompeten, namun begitu salut karena si kapten tidak meninggalkan kapalnya begitu saja. Masih kelihatan sisa-sisa perlawanan dari sang kapten berupa adegan-adegan dengan visual yang creepy. Akan tetapi, tentu alangkah baiknya lain kali sang kapten berani dengan tegas menolak untuk membawa kapalnya menuju nasib naas yang kita semua sudah bisa lihat.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for JAILANGKUNG 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE GIFT Review

“If you can’t find light in the darkness, be the light in the darkness.”

 

 

Sisi terang dari kegelapan ialah dia membuat, ah tidak, memaksa kita untuk merasakan dengan lebih kuat. Kalian tentu sadar kita sering termerem-merem sendiri ketika mengingat kenangan yang indah, menghayati lagu yang klop buat mewakili jatuh cinta, atau bahkan saat sedang mencicipi makanan yang begitu lezat. Ada kenyamanan yang bisa ditemukan seseorang di dalam kegelapan. Apalagi buat seseorang seperti Tiana, cewek di awal tiga-puluhan yang masih sering terkenang trauma keluarga pada masa kecilnya. Tiana menjadikan kegelapan sebagai tempat pelarian. Bukan karena dengan kegelapan dia tidak bisa melihat kenyataan, melainkan karena kegelapan menghantarkannya kepada cahaya impian. Dan secercah cahaya itulah yang dia jadikan tujuan; sesuatu yang Tiana usahakan untuk terwujud.

Dewasanya, Tiana tumbuh menjadi seorang penulis novel. Mentok nyari ide ngerangkumin cerita novel terbaru, dia melangkahkan kaki ke Yogyakarta. Tiana ingin tinggal lagi di sana, karena di kota itulah kehidupannya dengan segala kenangan berawal. Jadi, malam pertama Tiana ngontrak, dia begitu terganggu sama suara musik rock yang diputar kenceng-kenceng. Ketika mencari sumbe suara untuk melayangkan protes itulah, pertama kalinya Tiana melihat sosok Harun – putra dari pemilik kontrakan.  Harun yang kehilangan penglihatan karena kecelakan menarik-narik tali penasaran di dalam diri Tiana. One thing leads to another, Harun merasakan affection yang mendalam dari Tiana. Perasaan mereka berdua bisa saja saling beresonansi, tapi hidup selalu menawarkan sesuatu tak peduli kita butuh atau tidak. Seorang teman masa kecil, datang menawarkan cahaya baru bagi hidup Tiana. Memaksa wanita ini untuk sekali lagi masuk ke dalam lemari, mencari titik terang masalah dari dalam kegelapan yang begitu hangat baginya.

di sela semua itu, sempat-sempatnya Hanung nyeletuk soal gak musti melulu idealis dalam bikin cerita. Sliiiccckkk!

 

The Gift mungkin akan membuat kita bertanya-tanya, hadiah atau berkah apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh film ini. Tentu, mata adalah salah satu anugerah terindah. Akan tetapi, perasaan dan emosi yang ditangkap oleh hati kita dapat dengan gampang mengalahkan lima panca indera sekaligus. Sering sekali kita melihat Tiana memejamkan matanya, entah itu ketika dia bersiap dihantam gelombang flashback ataupun ketika dia berusaha menajamkan perasaannya. Pada adegan awal saja, kita menyaksikan Tiana naik becak melewati jalanan kota Yogyakarta, mendeskripksikan betapa ia merindukan tempat tersebut, menyebut suasana dan lingkungannya yang indah, tetapi dengan masih mengenakan kacamata hitam. To be honest, sekuen pembuka ini terasa pretentious buatku; aku merasa susah untuk ikut ketarik masuk ke dalam yang Tiana rasakan karena yang aku lihat di depan mataku adalah seorang cewek yang menulis hal-hal bagus tentang kota yang ia datangi, tanpa benar-benar melihat objek yang ia tulis. Tapi film ini toh berhasil membuatku terus memikirkan ceritanya hingga tiba giliran aku yang menyusuri kota dalam perjalanan pulang dari bioskop. Aku terlambat melihat konteksnya, dan begitu menyadarinya, aku bisa melihat film ini dari cahaya yang lebih terang.

Ada alasannya kenapa Tiana menggambarkan kehangatan Jogja dengan perumpaman tangan wanita tua yang keriput. Karena itulah yang ia rasakan, dengan menutup matalah ia melihat. Tiana adalah tokoh yang berpikir dia bisa melihat lebih baik, perceiving apapun objek dan masalah dengan lebih baik, dengan tidak literal melihatnya dengan mata. Sebagai wanita yang mandiri, setiap kali membuat suatu keputusan, Tiana akan menutup matanya, membayangkan apa yang bisa ia pikirkan untuk mengatasi masalahnya. Bahkan, Tiana lebih suka curhat dengan sahabatnya lewat telefon. Sementara aku suka gimana sutradara berhasil mengarahkan dua versi Tiana (kecil dan dewasa) sehingga tampak meyakinkan sebagai satu orang yang sama – tepuk tangan juga buat kedua pemainnya, Ayushita Nugraha dan Romaria Simbolon berhasil mendeliver emosi terutama di momen-momen ketika seolah yang mereka lihat adalah sesuatu yang begitu berat mereka ingin mundur ke dalam bayang-bayang. Actually, saking meyakinkannya pertumbuhan karakter Tiana, aku geram juga film tidak benar-benar membahas apa eksaknya yang dilalui Tiana. Kita memang akan dibawa menggali lebih dalam masa lalu Tiana, tapi terlalu menyebar, dan film menyinggung beberapa yang justru malah menimbulkan lebih banyak pertanyaan dan penasaran. Relationshipnya dengan ibu panti yang diperankan oleh Christine Hakim, misalnya, sepertinya heartfelt sekali – aku pengen tahu gimana tepatnya mereka berpisah, gimana Tiana keluar dari panti. Aku pengen melihat lebih banyak bagaimana dia bisa berubah dari ‘anak lemari’ menjadi seorang cewek yang enggak totally politically correct.

Sebagai tokoh utama, karakter Tiana ini memang rada tricky untuk dikembangkan. Tiana diplot sebagai sebagai cewek yang egois di awal cerita, dan berakhir dengan melakukan pengorbanan gede yang menunjukkan betapa banyak karakter ini belajar dalam jangka waktu dua jam kurang. Tapi kita supposed untuk peduli terhadap karakternya, supaya ketika dia berubah, emosi yang dipancarkan itu sampe dengan sukses. Membuat kita juga turut menyayangkan apa yang ia lakukan. Di sinilah letak ‘susahnya’, kita harus diyakinkan untuk peduli di saat dia mendekati Harun, hanya karena Tiana penasaran kepada cowok itu. Itulah alasan kenapa Tiana mendekati Harun; dia yang selama ini menemukan kenyamanan dalam memejamkan mata, bertemu dengan seorang pria yang benar-benar tidak bisa melihat. Tiana sempat mempertanyakan dirinya sendiri, apakah dia berdosa? Namun selain itu, film juga tampak kesulitan untuk terus memperlihatkan kondisi tokoh utama yang begini. Makanya, romansa di film ini terasa loncat-loncat. Tiana dan Harun hampir seperti mendadak jadi saling cinta, kemudian mendadak pula mereka bertengkar. Bahkan kepergian Tiana dari Harun juga terasa abrupt. Susah mematri lampu simpati itu ke Tiana jika hubungannya yang berdasar penasaran doang itu harus lemat-lemat diperlihatkan

Mau mata normal, mata minus, tunanetra, ataupun malah buta warna, kita tidak akan pernah benar-benar melihat suatu hal dengan jelas, jika kita tidak menyertainya dengan berusaha untuk merasakan, peduli sama apa yang kita lihat. Dan jika kita terus saja tidak dapat menemukan cahaya untuk ‘melihat’, jadilah cahaya itu sendiri.

 

 

Pun begitu, momen-momen indah kebersamaan mereka tetap bisa terbangun. Adegan meraba wajah yang dibuat begitu dekat sehingga kita nyaris bisa mendengar degup jantung mereka. Pembangunan adegan ini tampak dipikirkan dengan seksama, permulaan Tiana yang sengaja mengalah adu suit memberikan bobot yang lebih gede. Momen tersebut membantu melandaskan suatu hal yang penting terhadap mereka berdua; bahwa mereka sebenarnya berbeda. Harun  adalah orang yang selalu bisa melihat kenyataan, bahkan sebelum matanya buta. Inilah cikal bakal konflik dari hubungan mereka; Tiana ingin nyaman-nyaman berdua dalam kegelapan, so to speak, dia senang membiarkan Harun dalam ‘gelap’ atas apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Harun selalu bisa melihat. Nyaris dialah cahaya itu sendiri.  Seperti yang actually disebut dalam salah satu ribut-ribut mereka, ini bukan semata soal control, ini adalah soal gimana Harun membuyarkan kegelapan yang ingin dipertahankan oleh Tiana. Dan Tiana tidak suka ini, seperti halnya dia juga menganggap Arie, sahabat kecil yang cinta mati ama dia, terlalu menyilaukan buatnya.

Karena itulah saat menonton ini aku tidak bisa melihat kenapa mereka harus jadian, aku tidak merasa perlu untuk melihat mereka berakhir bersama. Aku juga tidak dapat merasakan konfrontasi mereka. Well, terasa keras sih, sebab setiap konfrontasi disuarakan dengan begitu lantang, teriak-teriak penuh emosi. Feelingnya yang gak dapet. Tapi kita gak bisa percaya Tiana setelah ia baru saja terang-terangan berbohong. Bukan cinta sebenarnya dirasakan oleh Tiana kepada Harun. Bukan pula rasa bersalah. Alasan kenapa dia menjadi begitu ingin termasuk ke dalam hidup Harun adalah dia ingin menunjukkan cahaya kepada Harun, dia ingin berguna, namun sikap Harun selalu dapat melihat terus saja menantang keinginan Tiana.

Tutup mata kiri, ada dua jari. Tutup mata kanan, loh susternya kok ilang whoaaaaa??!!!

 

Soal penampilan sih, Reza Rahadian juara banget meranin Harun. Malahan saking meyakinkannya sebagai seorang tunanetra, kamera tidak berani menangkap wajahnya dari depan pada adegan pertama kali Tiana face-to-face dengan Harun saat diundang sarapan bareng. Kamera ngesyut dari belakang, ataupun hanya sebatas dagu, meskipun sudut pandang film ini adalah Tiana, dan cewek itu sudah melihat wajah Harun di depannya. I guess, kalo disyut dari depan juga (sesuai pandangan Tiana), konteks yang diniatkan – Tiana enggak ngeh Harun buta – bisa buyar lantaran Reza sangat total bermain sebagai orang buta. Yang tidak aku mengerti dari Harun adalah bagaimana dia bisa menulis dengan huruf yang perfectly centered; pas di tengah-tengah kertas. Mungkin sih, dia dibantu si Mbok atau asisten rumah yang lain, tapi tokoh ini terlihat bukan tipe orang yang mau minta bantuan kalo sudah menyangkut urusan pribadi. Dan jika kita masih bicara soal cinta, Harun indeed jadi beneran genuinely sama Tiana. Yang mana membuat adegan-adegan ia nangis di akhir itu terasa nyesek. Masalah ada apa di Kaliurang juga masih berakhir dengan tanda tanya.

 

 

Untuk sebuah kisah hubungan antara insan-insan manusia yang tragis, yang mengambil batasan pandangan sebagai tema, film ini tampak sungguh luwes dalam penggarapannya. Setiap adegan diambil dengan sudut-sudut yang dengan subtil mendukung cerita, seperti adegan konfrontasi lewat pantulan cermin-cermin itu. Ada juga kamera goyang-goyang yang aku gak mengerti kepentingannya apa. Film ini penuh berisi penampilan akting yang luar biasa meyakinkan. Yang mendorong cerita yang sebenarnya tidak begitu make sense dan lumayan mengandalkan factor kebetulan ini dapat terus mencengkeram untuk diikuti. Lebih dari kisah percintaan, film ini bekerja terbaik sebagai tontonan perilaku manusia dalam mengatasi trauma masa lalu yang kemudian membentuk pribadi dan keputusan mereka. Karena, afterall, kita ingin bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE GIFT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SOLO: A STAR WARS STORY Review

“Trust is a two way street”

 

 

Terserah kita, sebagai penonton yang terhanyut oleh petualangan luar angkasa ketika menonton Star Wars original, mau milih pengen kuat kayak Luke Skywalker atau mau sekeren Han Solo. Buatku, jawabannya selalu adalah Han Solo. Dia lucu, jago nembak dan nerbangin pesawat, dan dia sombong akan hal tersebut. Sesuatu yang hebat pada tokoh ini adalah gimana dalam skenario cerita fantasi yang larger-than-life itu dia terasa seperti orang biasa yang lagi nongkrong di planet nun jauh di sana. Han bukan pejuang Jedi, dia hanya seorang penyelundup barang. Tapi melihat dari teman gaulnya yang monster berbulu, kita tahu Han Solo sudah melewati banyak petualangan seru; yang membuat tokoh berandal ini lebih menarik ini.

Jadi, tentu saja natural bagi studio yang punya hak nyeritain kisahnya pengen menggali lebih banyak soal petualangan solo dari seorang Han Solo. Dan setelah melalui banyak kemelut produksi, bolak-balik diarahkan banyak orang sebelum akhirnya Ron Howard mendapat kredit final sebagai sutradara, film yang memperlihatkan kepada kita seperti apa Han Solo sewaktu masih muda akhirnya mendarat juga. Sebagai sebuah aksi petualangan, film ini sangat exciting. Akan ada banyak adegan kejar-kejaran dengan kendaraan yang hanya bisa kita bayangkan, entah itu ketika Han melarikan diri atau mau menyelamatkan sesuatu, dengan keseruan yang terbangkit oleh menit-menit terakhir skill kenekatan Han Solo yang beruntung itu menunjukkan tajinya. Adegan di kereta api dan adegan kabur dari monster dengan Millennium Falcon itu sungguh luar biasa menyenangkan. Ya, dengan serunya film ini akan memberikan jawaban seputar kehidupan awal dari Han sebelum adegan pertama di Star Wars episode IV (1977), tentang bagaimana dia bisa berteman dengan Chewbacca, asal usul dirinya bisa berada di balik kursi pilot pesawat angkasa paling ngehits di dunia – Millennium Falcon – yang tentu saja kita juga akan melihat interaksi Han dengan Lando Calrissian. Kita akhirnya akan melihat langsung peristiwa menarik gimana tepatnya Han memenangkan Millennium Falcon dari taruhan dengan Lando. Pretty much apa yang kita suka dari karakter Han Solo, kesombongannya, skillnya, keberuntungannya, akan diangkat dalam film ini.

dan ada droid yang mendambakan kesetaraan hak antara mesin dengan manusia hihihi

 

 

Yang sering luput dari pembicaraan rangorang ketika ngegosipin Han Solo adalah mengenai sikapnya yang suka jengkel dengan ketidakkompetenan makhluk di sekitarnya. Selain kocak, jago, tengil, dan segala macam sikapnya yang charming tersebut, Han Solo cukup ‘galak’ ketika ada orang yang tidak melakukan sesuai dengan yang seharusnya mereka lakukan. Ada banyak kejadian yang menunjukkan trait karakternya ini dalam film-film Star Wars terdahulu, seperti misalnya ketika Han bete ngejelasin cara kerja Force kepada Rey dan Finn di Star Wars The Force Awakens, “That’s not how the Force works!”. Han Solo punya sedikit superiority complex, namun dia susah mengekspresikannya oleh sebab deep inside, dia adalah orang yang lebih memilih untuk rileks dan melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Dalam Solo: A Star Wars Story inipun aspek karakter itu nyaris lupa diangkat. Film actually mengerti, mereka mengolah cerita dengan tema kepercayaan terhadap orang lain, yang berusaha mereka sangkutkan dengan sikap grumpy Han terhadap orang sekitar, like, lewat film ini kita akan mengerti kenapa Han Solo lebih suka bertindak sendiri – atau paling enggak kenapa dia hanya percaya berat kepada Chewie.  Hanya saja, aspek ini dimainkan oleh film dengan datar, lebih kepada sebagai komedi dan tidak benar-benar membuat aspek ini sebagai kedalaman yang berarti bagi si tokoh sendiri.

Dibesarkan di bawah naungan geng bandit di pipa-pipa bawah tanah menjadikan Han Solo punya insting untuk selalu bekerja sama dengan orang lain. Akan tetapi, apa yang ia lakukan lebih sering mengharuskannya untuk mempercayai diri sendiri, berimprovisasi tidak menurut sama perintah. Konflik inilah yang membebani Han Solo pada hari-hari awal petualangannya. Kepercayaan adalah jalan dua-arah. Simpelnya, jika kita tidak percaya kepada orang lain, maka pada gilirannya, mereka pun akan mengalami kesusahan untuk mempercayai kita. Han Solo pada akhirnya membuat perhitungan ini menjadi lebih sederhana lagi; dia memasukkan keberuntungan dalam ekuasi yang harus ia percaya.

 

 

Sebenarnya Solo ini dapat menjadi cerita yang menarik, dengan pertimbangan bahwasanya ia adalah cerita yang tidak benar-benar harus terkait langsung dengan trilogi original. Akan tetapi, jika kita menggarap sebuah prekuel dari cerita yang sudah dikenal luas, maka akan selalu ada tuntutan – akan selalu ada beban, lantaran cerita yang sedang kita bikin sudah tertambat oleh cerita yang lain. Mau tak mau kita harus mengembangkan cerita baru ini ke arah yang orang sudah tahu, dan jika ada beda dikit aja, kesinambungan cerita gedenya akan terganggu. Dan kalo sudah begitu, siap-siap menghadapi celotehan protes terutama dari para fans. Yang mau aku bilang adalah, butuh nyali untuk menggarap prekuel. Yang sayangnya, nyali ini tidak aku temukan dalam film Solo.

Jarang sekali film ini membahas dalem tentang Han Solo itu sendiri, meskipun kalo mikir logika ini adalah cerita tentang dirinya. Kita hanya melihat petualangan demi petualangan, tanpa ada bobot karakter di dalamnya. Film ini secara berhati-hati membuat kejadian, sehingga jika kita nonton film ini kemudian dilanjutkan dengan film Star Wars yang pertama, tidak ada cerita ataupun interaksi tokoh yang terasa janggal. Tidak ada kontinuitas yang dicoreng. But at the same time, apa yang film ini accomplished regarding tokoh Han Solo itu sendiri; nol besar. Han Solo tidak diberikan aspek yang baru kita lihat, dengan lain kata; tidak ada development. Mereka hanya mengeksplorasi hal-hal yang ingin kita minta, yang mana membuat film ini terasa seperti fans service semata, tanpa menempuh resiko apa-apa. Seolah mereka sebenarnya tidak punya sesuatu yang ingin diceritakan lagi dari Han Solo sebagai seorang karakter, selain petualangan-petualangan itu.

Salah satu alasan Harrison Ford menginginkan Han Solo meninggal di Return of the Jedi adalah karena dia merasa karakter ini enggak punya banyak kedalaman sehingga dengan membuatnya melakukan pengorbanan, Han Solo bisa mendapat peningkatan karakter. Dan kita melihat keinginan Ford ini dikabulkan pada The Force Awakens, dan kita bisa rasakan sendiri gimana kematian itu menambah banyak bagi Han sebagai seorang karakter. Dia jadi punya sesuatu yang lebih dalam untuk kita rasa. Dalam Solo kali ini, sayangnya, tokoh Han Solo tidak berusaha untuk digali lagi. Plot tokohnya tipis. Tidak banyak ruang gerak yang diberikan kepada Alden Ehrenreich untuk menerbangkan karakter ini. Dia hanya senyum smug, ngedipin sebelah mata, nunjuk-nunjuk, seperti yang dilakukan oleh Han Solo yang kita kenal. Sepatu yang ditinggalkan oleh Harrison Ford buat tokoh ini adalah sepatu yang besar, dan arahan cerita yang tidak berani mendorong batasan ini membuat Han si Alden tampak tak lebih dari seperti parodi dari Han Solo yang asli. Interaksi Han Solo dengan tokoh-tokoh yang lain pun terasa terbatas. Dia punya hubungan romansa dengan cewek dari masa kecilnya yang turns out menjadi salah satu elemen gede dalam cerita (yang tampaknya berlanjut ke sekuel). Han diberikan tokoh mentor yang ngajarinnya soal dunia selundup-selundupan, tapi sama sekali tidak tampak seperti demikian, mereka malah tampak seperti teman satu tim. Dengan Lando dan Chewie-lah, film menemukan titik terang. Donald Glover sebagai Lando adalah pilihan yang tepat, dia tidak tampak bermain menjadi seperti aktor  lain yang memainkan tokoh Lando, dia memberikan sentuhan lain buat karakter yang kita kenal ini.

“This is Sabbac, don’t catch you slippin’ now”

 

 

 

Bukan berarti ini adalah film yang jelek. Aku sendiri enggak akan ragu untuk nonton ini dua kali. Adegan-adegan aksi petualangannya seru, film ini tahu cara ngebuild stake sehingga membuat para tokoh utama kelihatan menghadapi sesuatu yang actually bisa gagal. Hanya saja film ini mengecewakan karena tidak berani mengembangkan sesuatu yang baru. Alih-alih punya cerita Han Solo yang ingin digali, membuatnya semaki dalem sebagai sebuah karakter, film lebih memilih untuk sekedar memperlihatkan asal muasal adegan-adegan yang kita tahu. Tanpa menempuh resiko. One way or the other, apa yang mereka lakukan di sini membuat aku percaya kepentingan eksistensi film ini tak lebih dari sekadar karena uang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SOLO: A STAR WARS STORY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ANANTA Review

“Life is the art of drawing without an eraser.”

 

 

Hidup bekerja dalam cara yang misterius. Kita tidak bisa memilih siapa yang akan nongol di hidup kita, pun kita tidak bisa menembak siapa yang bakal bertahan dan siapa yang pergi. Seperti Tania yang terheran-heran sendiri, apa dosanya sehingga dia bisa ditegur sama cowok anak baru lugu nan udik yang berjudul Ananta itu. Padahal Tania sudah memastikan dirinya untuk enggak ramah sama orang lain. Tania menenggelamkan diri di dalam dunia lukisan. Tania merasa sudah begitu hebat dalam sendirinya, hingga terjadilah Ananta yang mengomentari gambar karyanya dengan logat Sunda yang khas. Ananta yang mengerti, yang mengingatkan Tania kepada pujian Ayahnya tatkala Beliau melihat coret-coretan Tania Kecil. Ananta yang kemudian berlanjut menjadi pasangan Tania… dalam berbisnis. Ananta yang kreatif dengan kata-kata, dan cepat akrab dengan orang, didaulat menjadi penjual lukisan Tania, sementara cewek cantik itu tetap bekerja di belakang layar. Dan kemudian Ananta menghilang. Tapi tidak bersama dengan kebahagiaan Tania. Sebab, ya itu tadi, hidup bekerja dalam cara yang tidak kita ketahui.

Sekali lirik, Ananta terlihat seperti drama relationship yang sudah lumrah yang terjadi di antara seseorang dengan orang yang kurang ia hargai di awal, yang ujungnya sudah bisa kita tebak; mereka pasti berakhir bahagia hidup bersama. Akan tetapi, film ini punya elemen-elemen yang lain, it does feel like elemennya merupakan gabungan dari berbagai film-film drama yang setipe, dan ini menunjukkan bahwa sebenarnya Ananta punya nature cerita yang kompleks. Bertindak sebagai panggungnya adalah seni; unsur kesenian, terutama seni gambar atau lukis, akan menguar dari cerita. Hubungan antara Tania dan Ananta dijadikan porosnya, kita melihat mereka membangun bisnis galeri lukisan, ada kerja sama profesional di sana. Tentu saja ada elemen romansanya juga. Dalam level personal, Ananta juga bertindak sebagai kisah hubungan anak cewek dengan ayahnya. Semua elemen itu dihubungkan dengan benang merah yang bicara tentang  bagaimana pentingnya mengapresiasi seseorang.

Sesungguhnya setiap manusia adalah seniman yang sempurna. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita mengapresiasi setiap jiwa yang pernah amprokan sama kita dalam kehidupan. Karena kita tidak tahu apa yang sudah mereka lalui. Kita tidak menyukai karya seni yang kita tidak mengerti maksud pembuatnya, begitu juga yang terjadi terhadap kita dengan manusia lain. Untuk itu, berikanlah waktu dan usaha untuk mengerti. Karena jika manusia adalah seniman, maka hidupnya adalah seni menggambar yang dikerjakan seorang seniman tanpa penghapus.  

 

Penceritaan film sesungguhnya juga adalah sebuah seni. Ironisnya, rasa terhadap hal tersebut kurang dimiliki oleh film Ananta. Arahan dan tutur cerita film ini tidak mampu membawa keadilan kepada kompleksnya materi yang dipunya sebagai dasar cerita. Semua diolah dengan satu-dimensi demi kepentingan menjadikan cerita ini punya twist. Inilah problem mayorku buat garapan Rizki Balki ini; babak terakhirnya berubah menjadi begitu banyak kelokan. Setiap sekuen di babak ketiga diniatkan untuk membuat kita melihat satu tokoh dalam cahaya yang baru. Film membuat ini sebagai ujung tombak cerita, hanya saja dengan melakukan hal tersebut, banyak set up yang harus dikorbankan. Menjadikan tokoh-tokoh tampak sederhana, terutama tokoh utama. Dan ini adalah pilihan yang riskan. Kita tidak bisa mempersembahkan sesuatu yang kompleks dengan merahasiakan beberapa elemen, tanpa menjadikan elemen tersebut jatohnya jadi sederhana.

Tania, misalnya. Tokoh ini dibuat terlalu over-the-top, dia meledak-ledak marah terhadap hal kecil. Suatu kali, dia mengiris jarinya dan Ananta untuk kontrak darah, di meja makan, saat lagi dinner bareng keluarga! Penceritaan membuat dinding di sekilingnya, sehingga kita enggak mengerti apa yang ada di kepalanya. Padahal sebenarnya Tania ini karakter yang menarik. Dia cinta seni, dia ingin terus membuat seni. Dia percaya dia adalah seorang seniman, karena dengan percaya hal tersebut berarti dia menghormati pendapat ayah yang sangat ia cintai. Dia punya imajinasi yang tak tertandingi sehingga ia susah mencari orang yang sepadan untuk berkomunikasi. Tania jadi galak, sama guru seninya, sama keluarganya, basically hampir sama semua orang. Kecuali orang-orang yang pandai masak nasi kerak. For some reason, Tania digambarkan suka nasi kerak, dan menurutku ini adalah bentrokan simbol paling menarik yang dipunya oleh cerita; bahwasanya seniman warna warni seperti Tania sangat menyukai sesuatu yang ‘salah bikin’ dan berwujud tak menarik seperti nasi yang dimasak kegosongan.

itu nasi kerak yang suka dimakan ama mbah-mbah bukan, sih?

 

But instead, kita kerap mendapat Tania yang begitu dramatis. Karakter ini dipersembahkan sebagai anak jahat berhati dingin. Kasar sama semua orang. Mustahil untuk menyukainya, bahkan untuk peduli kepada diri Tania sebagai seorang seniman muda pun susah. Motivasi Tania, hubungannya dengan sang ayah diungkap belakangan. Terlalu lambat malah. Tidak hingga momen terakhir kita paham bahwa ketakutan terbesar Tania bukanlah menerima orang dalam hidupnya, melainkan adalah Tania takut untuk kembali masuk ke pondok kenangan ia dan ayahnya. Yang mana enggak masuk akal; Tania punya menyimpan erat lukisan ayahnya dan secara konstan mengingat beliau, namun ogah ke pondok tempat pastinya beberapa memorabilia sang ayah bergeletak di sana untuk dikangen-kangenin?

Film juga enggak mengalir dengan benar-benar niat untuk menunjukkan perkembangan karakter Tania. Momen ketika Tania membuka pameran tunggal di Yogyakarta, momen dia tampil mempersembahkan karyanya di depan orang banyak untuk pertama kalinya, mestinya ini menjadi momen kunci perubahan karakter Tania. Tania sudah menghilangkan salah satu ketakutannya di titik ini. Tapi film malah menceritakan kejadian di sini dengan gaya montase, seolah ini adalah hal yang sama pentingnya dengan adegan Tania dan Ananta mandi hujan siraman air selang di kebun. Film tidak paham mana bagian yang nyata secara emosional, film tidak fokus bercerita. Yang ada ialah film terlalu sibuk mengorkestra dramatisasi dan komedi sehingga tak ada kejadian yang benar-benar tampak real. Kemudian tiba-tiba Tania menyadari cinta sejatinya. Momen ini sangat mendadak, apalagi ditambah kita tidak pernah tahu persis apa yang menjadi motivasi tokoh utama ini.

udah kayak iklan rokok aja “Tania kenapa?”

 

Salah satu momen pamungkas adalah ketika Tania sadar seberapa besar Ananta sudah mengubah hidupnya. Bahkan kakak-kakak dan ibu Tania diberikan adegan khusus untuk menyuarakn hal ini. Kemudian di sini ada twist yang mungkin kalian juga sudah bisa menebaknya; film ingin menjadikan ini sebagai adegan banjir air mata; Michelle Ziudith pastilah sudah dikunci sedari awal untuk memainkan Tania lantaran kemampuan nangis over-the-topnya (atau malah film ini dijadikan over dramatis demi mengeksploitasi kemampuan nangis Ziudith?), tapi sama kita enggak kena sebab Tania  begitu unlikeable kita sudah di pihak Ananta sedari awal. Kita sudah melihat jelas motivasi Ananta sepanjang cerita. Pada adegan cangkir bulan dan matahari di sekitar pertengahan, keluguan dan kejujuran Ananta membuat kita mengerti. Dan untuk ini, aku perlu menyebut akting Fero Walandouw dengan tepat hit every note yang karakternya tampakkan. Tokoh Ananta tidak pernah tampak mendua, Tanianya saja yang begitu self-absorbed sehingga jadi kecele sendiri.

Seniman paling jago di film ini sebenarnya adalah Ananta. It’s one thing bisa menyimpan rahasia dan bertindak mengelabui orang di depan hidung mereka. Dan sedari awal, dia sudah bisa mengerti apa yang harus dilakukan dan diucapkan menarik perhatian Tania. Kupikir kita bisa bilang, menarik simpati orang lain itu adalah bentuk lain dari seni itu sendiri.

 

Ketika sekuen pengungkapan kejadian sebenarnyalah, cerita film ini menjadi semakin dibuat-buat. Udah makin gak make sense. Ironisnya, yang paling jatoh justru adalah Ananta – tokoh yang paling difavoritin penonton di film ini. Revealingnya membuat Ananta tak lebih dari tokoh device yang tak punya hidup sendiri di luar kehidupan Tania. Jawaban kenapa Ananta begitu tepat memahami Tania sungguh tak memuaskan, karena ternyata Ananta punya semacam walkthrough  atau pedoman langsung dari orang yang paling dicintai oleh Tania. Ananta seketika menjadi orang yang paling tak jujur dan tak tulus di dunia film ini. Yang mana setelah kupikir lagi, hal tersebut mungkin memang disengaja mengingat ending film ini perlu untuk diterima banyak orang – penonton butuh untuk seketika move on dari Ananta. But still, dari poin karakter dan cerita, aku tidak bisa melihat kenapa Ananta tidak jujur aja sedari awal, dia tidak perlu melewati segala bentakan, dan Tania bisa jadi better person dengan lebih cepat. Dan kita jadi tidak perlu menghabiskan waktu yang lebih banyak melihat orkestrasi drama yang bikin geli alih-alih merasakan emosi yang nyata.

 

 

 

 

 

Adaptasi novel yang punya ceritadan tokoh-tokoh yang kompleks ini pada ujungnya tidak menawarkan sesuatu yang baru atau apapun yang memberikan urgensi. Selain set dan banyak gambar-gambar yang cantik, film ini tampak sama saja dengan drama dari novel yang lain. Mengoverused elemen-elemen dari film lain, tidak ada arahan yang spesial karena berniat pada twist, juga mengeksploitasi pemerannya yang berfollower banyak tanpa memberikan sebenarnya balas jasa berupa ruang dan pengembangan kemampuan yang signifikan. Watchable, kalo mau mewek mewekan silahkan ditonton. Hanya belum berhasil film ini memberikan warna baru yang permanen.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for ANANTA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

TRUTH OR DARE Review

“When you help other people, you also help yourself.”

 

 

Jawab jujur, ada gak sih yang tahu pasti alasan kita takut sama hantu? Seperti, jika aku nantangin kalian keluar tengah malem dan berjalan di tempat sepi, kemudian kalian ngelihat satu sosok yang membelakangi kalian, kapan dan apa tepatnya yang membuat kalian lari terbirit-birit? Sebagian besar pasti terjadi saat  kalian mendekati si sosok, kemudian dia berbalik, menampakkan wajahnya yang berdarah-darah. Namun wajah seram enggak selalu menjadi patokan. Orang yang super pemberani dan mikir reasoning dan kelogisan (alias gak mikir macem-macem!), masih akan kepikiran bahwa yang dilihatnya di tepi jalan barusan adalah orang yang sedang membutuhkan pertolongan medis. Atau, bagaimana jika yang kalian lihat di tepi jalan itu sosok yang berjalan tanpa kepala – kalian otomatis tunggang langgang, enggak peduli tampangnya gimana, kan. Poinku adalah, kita takut kepada hantu, karena kita melihat mereka sebagai sesuatu yang enggak semestinya berada di sana – karena sebenarnya kita semua sudah ada ground realita, yang kita butuhkan adalah sedikit kondisi yang meruntuhkan realita tersebut – dan jadilah kita takut. Dalam film, ‘kondisi’ itu yang disebut dengan background story. Hantu-hantu tersebut juga mesti punya alesan keberadaan yang membuat kita bisa merasa takut kepada mereka. Jadi, bukan hanya sekedar wajah atau penampakan yang seram.

Apalagi kalo kita mengeksplorasi horor dari hal yang abstrak, seperti permainan ‘Truth or Dare’. Buat yang belum familiar, ‘Truth of Dare’ adalah permainan anak-anak remaja di Amerika sana kalo mereka lagi ngumpul-ngumpul bareng teman satu geng. Permainan yang simpel, karena peraturannya adalah setiap yang ikut akan mendapat giliran untuk ditantang harus memilih antara melakukan suatu hal atau mengungkapkan satu rahasia kepada teman-temannya. Nah, horor terbaru produksi Blumhouse mengadaptasi permainan tersebut, akan tetapi mereka sepertinya kesulitan (itu juga kalo gak mau dibilang enggak punya ide matang) mengeksplorasi hal apa yang sekiranya bisa membuat permainan tersebut menjadi seram. Tidak seperti Ouija atau Jelangkung – permainan anak-anak juga – yang memang berhubungan dengan dunia orang mati, ‘Truth or Dare’ hanya berdasarkan seru-seruan belaka. Jadi, film ini berusaha memasukkan satu entitas misterius yang mengutuk permainan tersebut; mengubahnya basically menjadi permainan Hidup atau Mati. Hanya saja film ini missing the point dari apa yang bikin hantu menyeramkan. Cerita yang mereka bangun seputar elemen horornya sangat gak make sense. Jika Final Destination punya kecelakaan-kecelakaan yang freaky, Saw punya trik dan alat pembunuhan yang pinter, Truth or Dare mengandalkan kepada hantu yang membuat tokoh-tokoh di film itu menyeringai aneh, sehingga membuat wajah mereka seperti yang dideskripsikan lewat dialog; “a messed up snapchat filter”.

Atau supaya gampang kebayang, tokoh-tokoh film ini seakan berlomba menirukan senyuman Willem Dafoe

 

Aku gak yakin  mereka sengaja membuat film ini menjadi lucu, karena hampir sepanjang film pundakku terguncang-guncang demi menahan ketawa. Rusukku sampe sakit karenanya. Actually, kalo film ini dibuat dengan arahan sengaja menjadi konyol, aku yakin hasilnya akan lebih baik dari apa yang kita saksikan di bioskop saat ini. Wajah seram itu benar-benar gak seram; menggelikan. Film juga berusaha menggali drama, membuat motivasi tokoh utama dan relasinya dengan tokoh lain cukup ribet dalam usahanya memancing simpati, tapi gagal, lantaran semuanya terasa konyol. For instance, yang kita lihat di sini adalah anak-anak kuliah yang main truth or dare – dan bahkan para aktornya enggak benar-benar tampak seperti anak kuliahan, mereka tampak terlalu tua, sepertinya mereka pada lulus terlambat. Dan cerita di babak awal membuat kita susah untuk peduli sama mereka.

Olivia (Lucy Hale enggak tampak berbeda dari sosok  pembohong kecil nan cantiknya yang biasa kita lihat ketika dia bermain sebagai Aria) diajakin ikut liburan ke Meksiko karena ini adalah spring break terakhir mereka sebagai mahasiswa. Setelah melihat montase hura-hura Olivia dan teman-temannya, ada salah satu tokoh pake topeng Rey Mysterio, kemudian mendengarkan dubstep dogol sembari melihat mereka have fun di bar, kita dibawa ngikut mereka pergi ke sebuah gereja tua terpencil. Kemudian pria asing yang mengajak mereka ke sana, mengajak mereka main truth or dare, dan sekali lagi mereka mau-mau aja. Jika saja mereka mau berpikir, maka mereka enggak bakal terjebak ke dalam lingkaran kematian di mana mereka harus bermain truth or dare maut di mana peraturan tersebut dibayar dengan nyawa. Pilih ‘Truth’ tapi enggak ngomong jujur, mereka mati. Pilih ‘Dare’ tapi kemudian ciut nyali ngelakuin tantangan, mereka mati. Si hantu senyum herp derp enggak menyisakan jalan keluar buat Olivia karena truth or dare mereka terkutuk mereka punya peraturan tersendiri; Olivia dan teman-teman tidak bisa terus-terusan memilih ‘Truth’; setiap dua kali consecutive ‘Truth’, pemain  berikutnya harus memilih ‘Dare’

Peraturan karangan ini digunakan untuk memfasilitasi perkembangan karakter Olivia. Film ini pengen bicara soal manusia dan pilihannya lewat sudut pandang Olivia. Ini satu-satunya aspek yang aku suka dari film ini. Mereka berani mengembangkan tokoh utama ke arah yang tak biasa. Meskipun memang motivasi Olivia ini enggak logis, tapi dia punya pijakan moral yang jelas. Olivia adalah cewek yang melindungi perasaan orang lain ketimbang perasaanya sendiri. Dia selalu mikirin “ntar kalo gue gitu, yang lain gimana”. Olivia suka sama pacar bestfriend-nya, tapi dia menelan perasaan tersebut dan memastikan mereka berdua tetap jadian. Olivia tidak mau memilih ‘truth’ lantaran dia khawatir, teman yang mendapat giliran sesudahnya tidak bisa menghindar dari ’dare’ yang berbahaya. Bahkan, di adegan-adegan awal ketika mereka bermain di gereja tua, Olivia menerangkan jikalau ada alien yang menyerang Meksiko, dia tidak ragu untuk mengorbankan dirinya beserta teman-teman di sana, demi menyelamatkan seluruh populasi negara tersebut. Makanya, perubahan karakter Olivia di akhir cerita terasa menarik. Pada dasarnya, Olivia mengorbankan seluruh penduduk Bumi, melibatkan semua orang ke dalam permainan terkutuk tersebut, lewat video Youtube. Serius, mereka bisa membuat film berdasarkan ‘pembunuhan massal’ ini aja, sepertinya bakal lebih menarik dari Truth or Dare. Olivia udah kayak Thanos dan Infinity War; merasa diri pahlawan, namun pada akhirnya memberikan jumlah banyak untuk menjadi korban si Hantu Senyum CGI

Tak selamanya kita harus mengalah demi orang lain. Terkadang kita perlu memprioritaskan apa yang kita inginkan. Kita selalu punya pilihan, sebagai cara untuk melakukan apa yang harus kita lakukan. Apa yang terjadi pada Olivia seperti di grup whatsapp aja – ketika ada yang menikah atau keluarganya meninggal, misalnya, bagaimana cara kita mengucapkan adalah pilihan yang kita ambil. Tulus mengucapkan demi kebahagiaan atau bersimpati terhadap orang, kita akan mengetikkan sendiri kalimat-kalimatnya. Sebaliknya, jika hanya mengopy paste ucapan orang, sebenarnya itu kita hanya mengucapkan demi membuat diri kita merasa baik. Bukankah, jika kita membantu orang lain hanya supaya kita bisa merasa lebih baik terhadap diri kita sendiri, itu namanya enggak benar-benar noble, kan?

‘dare’ paling susah; nonton ini sekali lagi tapi enggak boleh bereaksi.

 

Film ini sebenarnya punya materi, sayangnya penulisan dan penggarapannya seperti dikerjakan ngasal oleh anak remaja yang baru satu kali membuat film. Jumpscarenya selalu adegan dikagetin oleh orang dari belakang, ayo dong, ini enggak pernah menjadi hal yang menakutkan. Malahan, Wes Craven udah ngeledek teknik jumpscare begini sedari Scream di 1996 – filmmaker belajar enggak sih dari sini? Pengadeganan juga begitu basic. Ada satu tokoh yang setiap kali marah, selalu dibuat berjalan ke luar ruangan. Tiga kali adegan loh yang kayak gini, bayangkan. Ada banyak sekuen yang tidak berujung apa-apa. Justru, ada banyak yang mestinya bisa dihilangkan karena enggak benar-benar perlu selain membuatku merasa seperti alay yang ribut terkikik ngangguin penonton lain di bioskop. Para karakter ditulis begitu hampa emosi. Pacar teman mereka baru saja mati, dan beberapa menit kemudian mereka seolah melupakannya. Ada satu kematian teman mereka yang disebar videonya, mereka menonton video ini, kemudian bereaksi kaget dan takut dan ada juga yang menyangkal, dan enam detik kemudian  video tersebut ditonton kembali oleh si tokoh. Wow.

Skill yang ditunjukkan dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam film ini adalah keahlian menggunakan google search. Beneran, tonton deh. Olivia berantem ama temannya dengan saling tunjuk kebolehan mencari orang dan informasi lewat google. Film ini begitu kekinian. Adegan awalnya aja udah tokoh yang lagi live video curhat ke follower. Masalah dari film yang sangat ngepush social media, facebook, snapchat, instagram, kayak gini adalah elemen-elemen tersebut akan dengan cepat kemakan jaman. Kenyataannya adalah segala referensi itu malah membuat ceritanya susah untuk menjadi timeless.

 

 

 

Tidak ada substance, tidak ada style. Film ini tampak seperti banyak ide yang digodok, namun pembuatnya tidak mampu mengeksekusi. Semuanya enggak logis; motivasi tokoh utama, cerita latar hantunya, cara ngalahin hantunya. Supaya bagus, mestinya mereka menjadikan ini film yang konyol dan komikal, karena rute beneran film yang menegangkan jeas-jelas tidak bekerja untuk horor yang diangkat dari permainan anak-anak yang enggak serem. Ngomong soal anak-anak, toh film ini memenuhi tujuannya sebagai produk peraup duit yang ditujukan buat anak-anak muda yang bisa tetap merasa relate karena penggunaan social media dan referensi pop-culture kekinian dalam cerita.
The Palace of Wisdom gives 1.5 out of 10 gold stars for TRUTH OR DARE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017