SIKSA KUBUR Review

 

“There is no truth, only who you choose to believe”

 

 

Horor-horor modern Joko Anwar, kuamati, cenderung tersiksa oleh narrative yang melemah. Karakter dengan development mengambang, bahasan atau gagasan yang mengawang, dan lantas mengirim kita pulang dengan ‘easter eggs’ instead. Aku sampe pernah membuat thread di Twitter soal protagonis di film-filmnya tersebut basically gak ngapa-ngapain, kurang ‘dihajar’, karena narrative yang tidak mencapai banyak selain keseruan wahana horor. My honest opinion; Joko Anwar desperately need to step up his writing. Sukur Alhamdulillah, usaha untuk peningkatan penulisan tersebut bisa kita rasakan pada horor terbarunya yang diset sebagai tontonan lebaran tahun ini. Siksa Kubur yang tadinya kupercaya sebagai pengembangan dari film-pendek yang dibuat Jokan tahun 2012 (dulu hits banget di Kaskus) ternyata berusaha menyajikan lebih. Bahasan mencoba lebih terarah kepada tema yang lebih jelas, yakni soal kepercayaan. Arahan yang pede menggiring bahasan agama tersebut sehingga tidak terkesan seperti horor-horor lain yang belakangan banyak beredar yang menjual ‘gimmick agama’ semata. Dan terutama sudut pandang protagonis utama yang kali ini benar-benar ditempa.

Kayaknya kita semua pernah, deh, punya hal yang kita percaya saat masih kecil, namun saat dewasa kita sadar yang kita percaya itu ternyata bohongan. (Like, aku dulu nyangka Kane dan Undertaker itu beneran kakak-adik, sampe bela-belain mendebat dan berantem ama teman). Nah, Siksa Kubur seperti berangkat dari soal kepercayaan tersebut, tapi tentunya dengan bahasan yang lebih serius, dan puteran yang lebih mencengangkan. Karena yang dipercaya Sita sedari kecil sejak dua orangtuanya jadi korban bom bunuh diri adalah bahwa agama justru membuat orang menjadi jahat. Bahwa agama cuma ‘alat’ atau alasan orang. Sepeninggal kedua orangtua, Sita dan abangnya, Adil, dibesarkan oleh pesantren. Di lingkungan religius itu pun, kepercayaan Sita bahwa agama cuma kedok menjadi semakin kuat. Sita tidak lagi percaya ajaran agama. Dia tidak mau, sebab pemimpin yang jadi donatur pesantrennya justru juga seorang pendosa yang melukai anak-anak, termasuk abangnya. Sita tumbuh besar dengan tekad untuk membuktikan kepercayaannya. Hal nyata yang bisa ia lakukan adalah dengan ikut masuk ke dalam kuburan, Sita ingin merekam bukti bahwa siksa kubur itu tidak ada. Jadi, di panti jompo itulah Sita dewasa menunggu. Menunggu pak tua yang menurutnya paling keji sedunia untuk mati supaya dia bisa segera melaksanakan pembuktiannya.

review siksa kubur
Siksa kubur Pak Wahyu? I was there.

 

Sita might be the most interesting Joko Anwar’s character so far. She’s so conflicted. She doesn’t even belief what she believed. Like, kita percaya pada agama, kita beriman, tanpa merasa perlu untuk bisa melihat wujud tuhan ataupun mukjizat religius yang lain. Kita seperti yang juga berulang kali disebut dalam dialog film ini; percaya berarti meyakini – tidak perlu melihat dengan mata, melainkan ‘melihat’ dengan hati. Dengan ini, berarti beriman adalah percaya tanpa perlu menuntut pembuktian kalo kita yang percaya itu adalah benar. Kita beriman kepadaNya justru karena kita percaya Dia-lah kebenaran in the first place. Sedangkan Sita, tragedi yang menimpanya membuat perempuan itu tidak percaya akan agama. Keluarganya justru terbunuh, menderita, oleh orang-orang yang percaya pada agama. Orang yang teriming-iming imbalan dari agama, orang yang takut terhadap ancaman/peringatan pada agama. Orang jadi leluasa jahat karena berlindung di balik agama; itu yang Sita percaya. Menurut Sita, moral justru terpisah dari agama. Bahwa dia, dan harusnya juga manusia lain, bisa berbuat baik sekalipun tanpa imbalan atau petunjuk agama. Namun iman Sita terhadap kepercayaannya ini masih lemah, karena berbeda dengan orang beragama yang tidak perlu membuktikan apa-apa terhadap kebenaran yang dianut. Sita justru ngotot untuk membuktikan kepercayaannya tersebut benar. Dia ingin masuk ke kubur, ingin menangkap bukti – yang juga sama conflictednya. Karena pertama, Sita ingin membuktikan siksa kubur – dan agama – itu tidak ada (sehingga perbuatan teroris bom bunuh diri yang menewaskan orang tuanya itu benar adalah kriminal bodoh yang tertipu suara rekaman siksa kubur palsu), tapi sebaliknya terlihat juga secercah harapan Sita untuk adanya siksa kubur karena ada dialog dia seperti frustasi menyebut jangan sampai orang sejahat Pak Wahyu saja terbukti tidak disiksa di dalam sana,

What if everything you believed turned out to be false? what if agama yang kita percaya cuma dongeng belaka? Gimana pula jika kita telah mati-matian percaya agama itu dongeng, tapi ternyata kepercayaan itu-lah yang salah? Enggak akan ada habisnya keraguan, dan di situlah masalah Sita. Dia gagal menyadari bahwa sebuah kepercayaan tidak membutuhkan pembuktian kebenaran. Yang harus dipelajari Sita dalam cerita ini adalah bagaimana membuat dirinya percaya pada apa yang ia pilih untuk percaya. 

 

Basically, yang dieksplorasi sebagai horor dalam film ini adalah state of mind dari Sita. Cara film melakukan itu pun sangat menarik. Sita seperti tegas tidak percaya pada hal gaib, baik itu tuhan maupun setan, tapi kemudian film mengontraskan itu dengan memperlihatkan bahwa pikiran Sita merupakan relung-relung kenangan dan harapan yang menyeleweng dari fakta. Kenangannya terhadap momen terakhir bersama orangtuanya, misalnya, kita saksikan sendiri kenangan Sita itu slightly berbeda dengan peristiwa ‘asli’ kejadiannya. Ketidakstabilan state Sita yang membuatnya menjadi unreliable sekaligus vulnerable, menambah banyak pada elemen horor psikologis film ini. Untuk memperkuat kesan surealis (film membidik ke vibe yang terasa calm, kalo gak dibilang slow, sebagai kontras dari kecamuk kepercayaan yang dirasakan Sita), film menerjunkan kita ke dalam cerita lewat kamera yang bergerak di tengah-tengah dunia. Teknik yang menghasilkan kesan immersive sekali, juga tentunya ampuh saat sekali-kali film berniat mengagetkan kita lewat jumpscare. Struktur cerita pun didesain demikian horor. Meskipun jika kita menghitung durasi, naskah film ini clocked out right on time – point of no return-nya tepat di tengah durasi saat Sita masuk kubur, misalnya – tapi alur yang dibuat linear itu sengaja dipatah-patah oleh, misalnya, skip waktu antara Sita kecil ke Sita dewasa, atau antara mana yang realita dan mana yang surealis (yang sampai review-telat ini ditulis pun batas realita film ini masih seru, santer diperdebatkan di linimasa).

Kesan immersive dalam dunia surealis tersebut salah satunya terjaga lewat penampilan akting yang benar-benar terasa berkesinambungan. Lihat saja bagaimana Reza Rahadian sebagai Adil dewasa ‘meneruskan’ nada maupun gestur weak dan awkward dari Muzakki Ramdhan (weak awkward yang diniatkan karena karakter Adil yang abang dari Sita ini punya wound personal sendiri). Karakter-karakter orang tua di panti jompo, ataupun guru-guru di pesantren, semuanya aktornya paham untuk menampilkan kesan ganjil tersendiri.  Salah satu kritikanku buat horor modern Joko Anwar adalah protagonisnya kurang ‘disiksa’; di film ini, aku tidak lagi jadi kaset rusak karena Sita benar-benar dipush out of her limit. Baik itu Widuri Puteri maupun Faradina Mufti, dapat ‘jatah’ masing-masing untuk mengeksplorasi ketakutan psikis yang didera Sita dalam tahap usia masing-masing.  Mana film tepat banget mengclose up  Sita saat teriak-teriak tobat. Sita terutama akan terasa perkembangannya saat di pertengahan awal dia seperti lancar memegang kendali, tapi di pertengahan akhir semuanya tampak menganeh dan spin out of her control.

Konsep neraka-personal film ini versi lebih calm dari episode terjebak di lubang ketakutan di ‘Fear No Mort’ Rick and Morty

 

Untuk menjelaskan kelogisan dari hal-hal aneh dan di luar kendali Sita setelah dia mencoba masuk ke liang lahat dan merekam jenazah Pak Wahyu, film tampak menggunakan konsep yang serupa dengan yang ada pada film Jacob’s Ladder (1990) atau Stay (2005)-nya Ryan Gosling. Bahwa semua itu terjadi di dalam kepala karakter yang sedang sakaratul maut. Jadi Sita debat dengan Adil, Sita melihat salah satu kematian orang tua di panti, kasus selingkuh di panti yang berujung pembunuhan, semuanya hanya terjadi di dalam kepala Sita yang sedang dikubur hidup-hidup bernapas bermodalkan pipa. Bukinya beberapa dialog film ini menyebut soal kekurangan oksigen dapat mengakibatkan halusinasi. Dan inilah yang membedakan penerapan konsepnya dengan Jacob’s Ladder ataupun Stay. Karena di dua film tersebut jelas kapan momen kritis dan nasib sang protagonis. Sedangkan film Siksa Kubur yang mengelak dari potensi dikecam me-reka sesuatu yang tidak seharusnya dibayangkan oleh manusia beragama, membuat sampai akhir semuanya tetap ambigu. Kendati Sita ‘dilock’ mati oleh naskah pun, film tetap mengaburkan kapan exactly matinya Sita. Adegan siksa kubur yang ujug-ujug over the top itu (mendadak jadi lebih seperti vibe chaos Evil Dead ketimbang tone atmosferic dan slow yang di awal konsisten dibangun film – sampe jadi kayak video karaoke lagu reliji segala!) bisa ‘berlindungi di balik alasan toh gambaran itu masih ambigu nyata atau tidaknya, benar atau salahnya, karena perspektif realita Sita yang dikaburkan.

Dari perbedaan keadaan untuk menerapkan konsep dan perspektif yang harus dikaburkan itulah muncul sedikit masalah pada arahan/penceritaan film ini. Karena di dalam ‘vision-kubur’ Sita (kita sebut saja begitu) juga terdapat perspektif Adil. Jadi semuanya nyampur dan film seperti kehilangan pegangan sehingga bergerak keluar dari perspektif dan jadi lebih seperti untuk bermain dengan penonton directly saja. Film seperti memuat development Adil ke dalam perspektif Sita, meskipun mustahil bagi Sita mengetahui apa yang terjadi kepada abangnya. Kayak soal ular yang mendekati Adil di atas makam aja, film went off memperlihatkan ular tersebut merayap melewati Adil (untuk petunjuk bagi penonton) dan kemudian Adil muncul dengan mata bengkak. There’s no way Sita tahu di atas sana Adil sedang didekati ular, sehingga mustahil juga untuk dia bisa menghalusinasikan Adil menyelamatkannya dengan kondisi seperti habis diserang ular. Jikapun adegan tersebut ternyata nyata, maka itu berlawanan dengan ‘rule film’ soal Man Rabbuka yang didengar Sita setelah escape tersebut (bahwa adegan escape tersebut supposedly terjadi saat Sita meninggal). Sebenarnya yang rugi di sini adalah Adil, karena film udah extra menginclude dirinya, tapi kemudian jadi kabur begitu saja karena film harus stay pada ambigunya perspektif Sita. Yang turut terasa extra sebenarnya banyak, seperti Ismail, seteru kecil Sita dengan keluarga Pak Wahyu, hingga panti jompo itu sendiri. Kepentingannya sebenarnya bisa kita pahami, mereka jadi elemen dalam development Sita (menunjukkan Sita soal tadinya dia pegang kendali, menunjukkan apa yang harus dia pelajari/lakukan, dsb), tapi yang mengganjal adalah kenapa film tidak tetap di pesantren. Semua aspek extra tersebut tampak masih bisa dilakukan, goal film terhadap development karakternya masih bisa tercapai, tanpa Sita (dan Adil) melompat sejauh itu.

 

 




Mungkin film tidak mau terpaku pada konteks satu agama tertentu? Mungkin juga, karena salah satu yang menarik dari film ini adalah memang identitas karakternya adalah Islam tapi dialog-dialog bahasan soal kepercayaan yang relate dan tidak mengunci pada satu ajaran saja. Mungkin seperti Sita, film ini ingin ‘menjauh’ dari agama. Namun pilihan film tersebut tidak serta merta bisa kita judge sebagai hal yang salah. Karena pilihan tersebut dijustifikasi oleh bahasan psikologis yang cukup eksplorasi. Dialog yang baik adalah dialog yang seperti pembicaranya terlibat pertikaian serang dan defense, dan di film ini Sita terus didera perdebatan soal kepercayaannya. Ini membuat kita juga ikut masuk dan peduli. Untuk setelahnya arahan horor yang sedari tadi merayap, mengambil alih dan menghantarkan kita sampai ke finale yang ambigu. Bentukan dan karakter yang hebat untuk sebuah horor psikologis yang surealis. Usaha yang patut diapresiasi, karena kali ini film Joko Anwar tidak semata nyerocos soal easter eggs dan reference, tapi benar-benar ada usaha untuk ngasih something deeper untuk dibicarakan. Aku terutama tertarik dengan karakter utamanya, si Sita yang menyita perhatian.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SIKSA KUBUR.

 




That’s all we have for now.

Apa kalian punya hal yang dulu kalian percaya tapi sekarang terbukti bahwa hal itu palsu?

Silakan share cerita dan pendapat di komen yaa

Yang pengen punya kaos Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE EXORCIST: BELIEVER Review

 

“Religion without humanity is very poor human stuff”

 

 

Horor adalah soal kemanusiaan, di atas urusan spiritualisme. Pemahaman itulah yang tampaknya melekat pada horor-horor modern. Karena pada horor jaman dulu, simpel. Tapi efektif. Kebaikan lawan kejahatan. Setan, ya lawannya Tuhan. The Exorcist original tahun 1973 sudah lima-puluh tahun lamanya (and counting!) sukses jadi salah satu horor terseram berkat penggambarannya terhadap derita seorang anak yang kerasukan, dan bagaimana pihak gereja mati-matian berusaha menolong si anak sekeluarga . Pengaruh film tersebut terasa karena bahkan di skena horor jadul kita, bermunculan film-film horor dengan penyelesaian cerita ditolong oleh pemuka agama. Horor-horor jadul itu dibuat untuk mengembalikan keimanan ke dalam hati pemirsa. Supaya penonton jadi rajin sholat; ibadah. Horor-horor kontemporer, however, melihat dunia tidak hitam-putih. Melihat bahwa manusia itu kompleks; bahwa setan mungkin berasal dari perasaan negatif manusia itu sendiri. Dan bahwa orang-orang suci terutama dan utama sekali adalah manusia juga. Maka kita lihatlah di horor-horor kekinian, ustadz kalah telak lawan hantu. Bermunculan horor dengan plot twist karakter yang disangka baik, ternyata yang melakukan ritual dengan iblis. Di horor barat, ‘final girl’ sudah enggak mesti lagi perempuan yang perawan. Lawan setan, kini adalah kemanusiaan.

Aku paham apa yang berusaha diincar David Gordon Green pada sekuel The Exorcist ini. Rasa kemanusiaan. Green ingin cerita horor pengusiran-setan-dari-tubuh-manusia ini lebih berfokus kepada bagaimana manusia yang terlibat bangkit rasa kemanusiaannya, di atas kepercayaan agama/spiritual yang beragam, atau malah bahkan pada orang yang sudah tidak lagi punya iman kepada Tuhan. Konsep ini sudah kita lihat berhasil dilakukan oleh Qodrat (2022), yang memperlihatkan seorang ustadz yang terbangkit dahulu rasa kemanusiaannya, dan baru menggunakan pengetahuan exorcist dan keagamaannya untuk menolong warga desa. Film yang dibintangi Vino G. Bastian tersebut berhasil, bukan exactly sebagai horor religi seperti The Exorcist original, melainkan menciptakan bentuk baru, yakni horor superhero. Green berjalan di jalur yang sama. Dia bahkan sudah berusaha melakukan ini – melakukan horor dengan mengutamakan kepada eskplorasi rasa kemanusiaan – sejak sekuel reboot Halloween. Di Halloween Kills (2021), Green  memfokuskan kepada warga kota yang bersatu bahu membahu memburu Michael Myers. Tapi sebagaimana karakter ceritanya gagal membunuh momok, Green juga gagal mengeksekusi cerita. Kegagalan yang sayangnya terulangi di The Exorcist: Believer ini. Maksud dan niatan baik Green, selalu amblas karena cerita dan perspektif yang ia angkat ujungnya tetap terlalu melebar.

Katanya sih film ini kayak awal dari anekdot “Si Katolik, si Protestan, dan si Atheis duduk di bar”

 

Dua anak perempuan hilang di hutan. Satu putri dari keluarga pemeluk Katolik yang taat. Satunya lagi putri dari Victor, seorang single-father yang skeptical sama urusan keagamaan. Dan Victor jadi begitu untuk alasan yang bagus. Alasan yang sebenarnya sudah dibangun film sebagai pembuka, tapi baru belakangan diungkap sepenuhnya. Dari latar belakang yang berbeda tersebut, bisa dibayangkan apa yang terjadi kepada masing-masing keluarga ini saat dua anak perempuan yang sudah berhari-hari dicari tapi tanpa hasil tersebut, mendadak muncul. Primbon (2023) style! Alias, dua anak ini muncul begitu saja, tanpa ingatan apapun tentang mereka hilang, dan dengan ‘oleh-oleh’ berupa sikap dan temper yang sangat aneh. Mereka suka ngeblank, tiba-tiba teriak, bicara kasar, menyakiti diri sendiri. Ketika sudah jelas mereka ‘didiagnosa’ kesurupan setan, dua keluarga dengan latar berbeda tadi harus berembuk, sudi gak sudi, percaya gak percaya, demi kesembuhan dan keselamatan anak mereka.

Ternyata sutradara Green bukan hanya ingin mengelevasi cerita kesurupan dengan tema kemanusiaan, dia juga ingin menaikkan level horor cerita ini dua kali lipat. Dua anak, dua kasus kesurupan, dua keluarga dengan latar berbeda. Secara cerita dan tema, menurutku ini masih bisa untuk worked out. Karena memang temanya itu ngasih bobot yang bikin film ini bukan sekadar remake cash grab (walau mungkin memang dibuat untuk itu), melainkan memang punya suatu pandangan baru yang ingin dibahas. Film ini toh memang jadi punya delevopment dari dua sudut pandang tadi, mereka berusaha memahami masalah, dan akhirnya menemukan cara untuk membuat mereka jadi paling enggak jadi percaya satu sama lain. Adegan ‘rukiyah’ bareng-bareng antarsesama warga biasa – ‘berdoa’ dengan keyakinan masing-masing – menurutku juga sebenarnya bukan ide atau konsep yang ngawang-ngawang. Karena memang, society modern kita yang either terlalu fanatik sama kepercayaan sendiri atau terlalu cuek sama keadaan orang lain sekali-kali perlu dikasih gambaran bisa gini loh kalo kita saling menghormati. Tidak harus soal kepercayaan siapa yang paling benar. Tidak melulu tentang kepentingan siapa yang harus didahulukan. Meski memang film ini masih terjebak perangkap modern untuk bikin pemuka agama (dalam film ini adalah pastor) kalah telak, tapi momen-momen orang biasa berusaha saling kompromi dalam bentuk bergantian berusaha exorcist dengan cara masing-masing, buatku jadi momen kemanusiaan yang baik, sesuai dengan kacamata horor film ini.

Taat agama tanpa nilai-nilai kemanusiaan hanya akan membuat kita jadi fanatik berlebihan. Karena kehidupan beragama tidak sebatas kepada soal kepercayaan kepada Tuhan. Hubungan dengan sesama manusia juga harus dipupuk. Bahkan seharusnya manusia tidak perlu rajin ibadah  dulu baru bisa berbuat baik. Kita gak harus hafal ayat suci untuk mengulurkan tangan kepada tetangga yang kesusahan. Kemanusiaan harusnya adalah insting utama manusia, regardless kepercayaan mereka apa. 

 

Secara penceritaan horor, film ini keteteran. Dua perspektif keluarga yang diniatkan untuk perbandingan, nyatanya malah membuat kita terlepas setiap kali perpindahan. Dua kasus kesurupan yang dibentuk untuk ngasih variasi horor kesurupan, nyatanya malah terasa melama-lamain masalah. Film ini sendiri, kita bisa lihat, enggak begitu pede dengan keputusan horor mereka tersebut. Yang satu horor di lingkungan gereja. Yang satu horor di lingkungan rumah sakit yang pendekataannya scientific. Tidak satupun dari penggalian itu yang dijadikan andalan oleh film ini. Yang bikin film originalnya begitu horrifying adalah momen ketika anak perempuan yang normalnya masih polos itu melakukan hal-hal ‘iblis’. Ketika sosok kecil itu dikuasai sepenuhnya oleh setan yang membuat dia melakukan bukan saja hal-hal di luar kemampuan manusia, tapi juga dalam sense yang lebih mendasar yaitu ketika si kecil itu menjadi seperti orang dewasa yang amat sangat berdosa. Di film itu kita menyaksikan anak kecil rusak fisik dan mentalnya, oleh setan. Sekuel ini, agak lebih condong ke sakit fisik. Horor yang ditampilkan masih lebih bersandar kepada pemandangan yang naas. Adegan-adegan kesurupannya tidak memorable. Film lebih banyak bermain horor dari luar, I mean, dari editing dan suara-suara keras dan sebagainya. Banyak sekali adegan yang dimulai dengan sesuatu yang mengeluarkan suara keras. Suara laci dibuka, bunyi lonceng gereja, orang teriak. Ketakutan yang dipancing terasa artifisial.

Sense takut dari hal yang tidak kita mengerti harusnya jadi pancingan utama. Karena ini kan urusannya gaib. Sebagai horor yang berurusan dengan setan, film ini kesannya terlalu berusaha rasional. Walau film menggunakan editing untuk membuat peristiwa itu benar sebagai misteri, tapi alasan kenapa si anak kesurupan akan dibeberkan dengan jelas. Ini membuat cerita jadi kurang terasa spesial, agak mematikan perbincangan yang bisa timbul dari kita menonton ini. Aku lebih suka jika film horor masih menyisakan suatu misteri untuk kita bicarakan, betapapun gak masuk akal atau malah bego sekalian.

Ujung-ujungnya tetap gak jauh dari variasi main ‘jelangkung’

 

Yang bikin film ini semakin terasa ‘steril’;  dalam artian terasa sama kayak remake-remake reboot yang tampil try too hard beda dari originalnya, alih-alih tampil berbeda dan groundbreaking untuk genrenya (seperti yang dilakukan oleh film original) adalah pilihan untuk memunculkan legacy character. Karakter dari film original. Dan film ini masang karakter tersebut dengan main aman, dan parahnya membuat kacau cerita. Karena gak nyambung. Like, karakter ibu si anak kesurupan di film original dimunculkan dengan development karakter yang gak make sense dengan yang telah ia lalui. Basically karakternya diubah. Seorang ibu yang tersiksa jiwa raga melihat anaknya itu kini menjadi semacam paranormal ahli exorcist yang serba tahu. Hampir kayak film ini pengen Exorcist reboot-an mereka punya sosok seperti Laurie, Elise, atau Lorraine sehingga mereka mengubah si Ibu menjadi seperti demikian. Seketika film ini pun jadi berubah annoying bagiku, ceritanya jadi kemana-mana. Terlalu melebar karena berisi bukan hanya tentang Victor yang berusaha menyelamatkan anaknya tapi juga soal mengaitkan itu kepada apa yang kira-kira terjadi pada karakter di film pertamanya.  Dan persoalan mereka ini cuma muncul di tengah, dan sebagai penutup (maybe sebagai teaser sekuel berikutnya). Mereka gak benar-benar esensial pada babak akhir, pada babak para karakter baru berusaha mengusir setan. Jadi ya kayak momen detour yang sebenarnya gak perlu.

 




Dengan bahasan kemanusiaan di dalam bangunan cerita horor spiritual (kalo gak mau dibilang religi), tadinya pas nonton aku udah mau ngasih skor empat untuk film ini. Toh memang bahasannya penting. Tapi eksekusinya yang juga ingin mengelevasi horor itu dua kali lipat sebenarnya justru jadi boomerang. Perspektif jadi sering berpindah, aspek horor jadi terasa berulang, semuanya terasa bloated. Dan begitu mereka munculin karakter legacy, film ini terasa semakin melebar dan semakin gak-unik lagi. Melainkan hanya jadi kayak produk dari mesin reboot yang steril dan main aman sesuai dengan standar horor modern. Skornya pun jadi semakin turun buatku. I’m not its believer anymore.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE EXORCIST: BELIEVER

 




That’s all we have for now.

Berarti sebenarnya horor ada dua tipe. Tipe yang tentang kebaikan lawan kejahatan. Dan tipe horor yang menggali perasaan terdalam dan terkelam manusia. Dari pengelompokan itu, horor tipe mana yang lebih kalian suka? kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



AVE MARYAM Review

“Love is like God: both give themselves only to their bravest knights”

 

 

“Aaaaaaaaave Mariiiiiii~~aaa…aamm”

Loh kok Maryam, kan lirik lagunya Maria?

Maria dan Maryam, toh, sebenarnya adalah sosok orang yang sama. Cuma yang satu penyebutan di kitab Kristen, satunya lagi penyebutan umat muslim. Maka naturally aku tertarik nonton film ini; judulnya udah kayak sebuah collab banget. Tapi ternyata garapan Robby Ertanto ini enggak benar-benar memfokuskan kepada toleransi antarumat beragama seperti yang disugestikan oleh judulnya. Namun begitu, Ave Maryam dapat juga kita jadikan sebagai jendela mengintip toleransi kemanusiaan yang lain. Toleransi dalam cinta.

Tokoh utama cerita, Maryam (Maudy Kusnaedi – mungkin – dalam peran paling berani yang pernah diterimanya) adalah seorang biarawati yang bertugas mengurusi suster-suster sepuh di biara mereka di Semarang. Dengan nama berbau Islam, dan mengucapkan alhamdulillah, tokoh ini sekilas tampak dalam krisis kepercayaan. Namun sebenarnya poin film ini ialah untuk menunjukkan tidak ada perbedaan antara Katolik ataupun Islam secara manusia. Sehingga pesan yang ingin disampaikan tak-terbatas pada agama yang jadi latar ceritanya. Apa yang terjadi kepada Maryam, bisa saja terjadi kepada setiap maria, atau siapapun di luar sana. Tantangan beragama terhadap pemeluknya yang taat itu sama pada agama manapun. Pada satu poin dalam hidup, setiap kita mungkin akan mengalami ujian siapa yang lebih kita cintai; Tuhan atau sesama manusia. Seperti Maryam yang kemudian jatuh cinta. Enggak tanggung-tanggung, dia jatuh cinta kepada Romo Yosef (kalo pemuka agamanya sekeren Chicco Jerikho, Valak juga bakal jinak kali’). Kedua insan ini harus merenungkan kembali apa yang sebenarnya mereka cintai.

filmnya jadul tapi duitnya tampak kekinian

 

 

Untuk dapat melihat lebih jelas maksud dari gagasan yang berusaha diangkat oleh film yang lumayan berat ini, kita perlu mundur jauh dulu demi mendengar kata Sigmund Freud tentang hubungan atau kecintaan manusia terhadap tuhan. 

 

Freud mengemukakan teori bahwa tuhan hanya ada dalam pikiran para pengikutnya. Tercipta dari kebutuhan akan sosok ‘ayah’ yang melindungi. Hidup ini keras. Orang dewasa tentu gak bisa lagi bergantung kepada orangtua untuk keselamatan, jadi kita – kata Freud – mencari sosok ‘orangtua’ lain yang bisa memberikan perlindungan, ketentraman, menghadirkan keamanan, membimbing ke jalan yang benar. Bagi Freud, tuhan merupakan gambaran manusia akan sosok paling sempurna, paling ideal, dari seorang ayah yang harus diikuti dengan taat. Cewek-cewek akan rela menjadi biarawati, meninggalkan keinginan duniawi supaya selangkah lebih dekat dengan tuhan. Cowok-cowok memilih jadi pastur, meninggalkan privilege hidup bebas demi sabda-sabda dari sosok yang bahkan tidak bisa dilihat.

Hal tersebut adalah akar dari konflik cinta-terlarang yang menjadi fokus utama film Ave Maryam. Seorang biarawati tidak boleh jatuh cinta, apalagi kepada seorang romo. While Maryam sendiri pada awalnya berusaha mengelak; dia menghindar ketika diajak jalan oleh Yosef, dia ingin merahasiakan – memendam saja rasa tersebut – literally hanya melihat Yosef dari balik terali jendela, Yosef bertindak sedikit lebih frontal dalam mengekspresikan cintanya. Dia menitipkan surat untuk Maryam kepada suster lain. Yosef tidak mengerti – atau malah ia menentang ketentuan seorang romo dan biarawati tidak boleh jatuh cinta; di salah satu adegan menjelang akhir kita melihat Yosef mempertanyakan alasan kewajiban mematuhi sesuatu yang tidak bisa dilihat. At that point, aku berpikir film sekiranya akan dapat bekerja lebih dramatis, lebih maksimal jika kursi tokoh utama diberikan kepada Yosef alih-alih Maryam. Karena bahkan adegan pengakuan di bilik penebusan dosa pada menjelang ending yang benar-benar emosional itu tampak lebih menohok kepada Yosef. Paralel dengan amarah yang ia lontarkan sebelumnya. Realisasi baginya, bahwa tidak harus melihat sesuatu untuk mencintai, mematuhi, dan yakin kepadanya. Sepanjang narasi kita akan belajar siapa Yosef, kenapa dia yang free-spirited memilih untuk menjadi romo. Sedangkan Maryam, kita tidak banyak diberikan pengetahuan siapa dia, dari mana asalnya, kenapa dia memilih untuk jadi biarawati. Kamera membawa kita melihat seperti apa Maryam seolah dari pinggir ruangan; kita tidak pernah merasa ikut bersama Maryam, oleh kamera yang menangkap latar cantik itu kita hanya diposisikan sebagai observer. Kita melihat di awal dia fokus terhadap tugasnya, dan saat dia jatuh cinta kita menyaksikan tugas-tugas tersebut mulai gagal ia kerjakan. Kita paham bagaimana cinta tersebut mulai mempengaruhi cintanya terhadap tuhannya. Sebagai landasan motivasi, kita diperlihatkan adegan mimpi Maryam dengan jendela di pantai yang sepertinya menunjukkan Maryam ingin kebebasan. Tapi film tidak menggali lebih dalam perihal alasannya merasa gak-bebas, kenapa dia sendiri melanggar komitmen atas nama cinta yang bahkan rasa cintanya terhadap Yosef pun tidak tergambar semeyakinkan Yosef tampak mencintai dirinya.

Cinta itu sama seperti Tuhan. Tak bisa dilihat, tapi terasa. Tak bisa dipegang, tapi ada. Kita cuma harus berani meyakini keberadaannya.

 

Perjalanan tokoh Maryam ini terasa abrupt. Mendadak. Tentu, adegan paling manis dan menarik yang dipunya oleh film ini terkait dengan penggambaran jatuh cinta kedua tokohnya adalah adegan di restoran di mana Maryam dan Yosef ‘ngobrol’ melalui tayangan yang diputar oleh restoran tersebut. Penggunaan dialog yang sangat pintar dan unik. Tapi selain itu, rasa cinta yang disebut-sebut Maryam itu tak pernah terasa benar-benar ada. Dia hanya diajak ke toko roti, dikirimi surat yang isinya ngajak ketemuan, I mean, darimana cintanya kepada Yosef tumbuh? Adegan pengenalan Yosef pun tidak tampak spesial. Dia tiba di gereja mereka begitu saja. Kamera tidak memperlihatkan seperti apa istimewanya Yosef di mata Maryam. Dari yang kutonton malah terasa seperti Maryam tersugesti oleh anak kecil pengantar susu yang pertama kali menyebut Yosef “tampan”. Dari Maryam ‘cuek’ ke dia cinta, buatku seperti sebuah loncatan narasi. Durasi film ini terlalu pendek untuk sebuah cerita hubungan dua manusia yang dilarang saling jatuh cinta. Dan setelah cinta, tau-tau Maryam menangis, lalu dia menyesal, what’s happening here? Ada momen penyadaran Maryam yang completely terskip. Ada adegan kunci yang tidak film ini masukkan. Aku duduk di bioskop dari awal hingga akhir, tapi tetap saja rasanya entah ada sekuen yang terlangkau, atau Maryam baru saja mengalami mood-swing paling drastis yang bisa terjadi pada wanita. Apa yang terjadi di pantai di malam ulangtahun Maryam?

hampir kayak nonton Dilan dengan setting The Nun

 

Buat yang udah baca sinopsisnya sebelum menonton ke bioskop (untung aku bacanya sesudah menonton, sebelum nulis review ini), Ave Maryam at best adalah sebuah false advertising. Kita tidak melihat separuh yang diinfokan oleh sinopsis sepanjang hamparan durasi filmnya. Dan buatku sebuah kegagalan jika sinopsis malah bertindak sebagai komplementer ketimbang ringkasan singkat dari actual filmnya. Ave Maryam sepertinya tak-cukup berani. Maryam seperti mendambakan kebebasan tapi kita tidak melihat bentuk ‘kekangan’ selain larangan jatuh cinta itu. Film sepertinya khawatir akan membuat lingkungan gereja jatohnya antagonis, tapi mestinya mereka bisa mengambil pelajaran kepada Lady Bird (2017) yang berhasil membuat tokoh utamanya tampak terkekang walaupun asrama katolik yang penuh aturan tempatnya berada tidak sekalipun tampak ‘jahat’.

 

 

Aku bingung juga kenapa teman-teman banyak yang memuji dan memberi nilai tinggi kepada film ini. Hampir seperti aku dan mereka menonton film yang berbeda. You know, aku tidak bisa begitu saja meyakini film ini bagus hanya karena dia ikut festival, atau karena banyak yang muji, apalagi hanya karena ada Joko Anwar. Aku harus menonton sendiri, dan menilai berdasarkan apa yang aku lihat. Hanya apa yang aku lihat. Narasinya berjalan dengan lumayan mendadak. Pacingnya enggak lambat-lambat amat, cuma memang setiap shot kayak enggak benar-benar ada yang penting selain visual yang cantik. Kejadian-yang-berhubungan dengan tokohnya yang mendadak cepet. Menghindar, suka, tobat – diceritakan dengan abrupt, sebelum masing-masingnya sempat mekar sempurna. Seperti ada yang hilang – seperti ada yang tak kulihat. Hanya kepada tuhan kita bisa percaya tanpa harus benar-benar melihat sosoknya. Dan film ini, aku yakin sekali, bukan tuhan.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for AVE MARYAM.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kenapa sih masalah percintaan terkait aturan agama harus selalu rumit? Bukankah jika cinta kepada Tuhan, naturally orang juga mencintai sesama manusia? Menurut kalian kenapa kita bisa begitu ngotot cinta sama satu orang?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

[Readers’ NeatPick] – THE GREEN MILE (1999) Review

“Frank Darabont berhasil membius pikiran saya hingga masuk ke dalam setiap karakter-karakter yang disajikan. Hingga akhirnya Darabont dengan cerdas menciptakan kekuatan dari setiap karakter….”Mochamad Ridwan Alamsyah, pemilik akun instagram @m.ridwanalamsyah

 


Sutradara: Frank Darabont
Penulis Naskah: Frank Darabont, Stephen King (penulis novel aslinya)
Durasi: 3 jam 9 menit

 

 

The Green Mile, satu lagi cerita berlatar penjara adaptasi novel Stephen King yang disutradarai oleh Frank Darabont. Tapi tidak seperti The Shawshank Redemption (1994), Green Mile punya elemen supernatural dalam ceritanya. Ini adalah cerita tentang Paul Edgecomb, seorang sipir penjara di blok khusus terpidana mati, yang menyaksikan dan mengalami sendiri, literally, keajaiban di dalam sel yang ia jaga. Keajaiban berupa sesosok raksasa kulit hitam tinggi besar – yang pandangan mencela akan cepat memandangnya sebagai seorang dengan cacat mental – yang ditahan di sana karena tuduhan sudah membunuh dua gadis cilik. Dalam hari-hari menjelang eksekusi matinya, John Coffey ternyata tidak seseram pandangan mata. Bagi Paul tentu saja jadi beban apakah Coffey benar-benar membunuh atau bukan, sementara dalam hati dia sudah yakin jawabnya. Bagaimana mungkin orang yang mengorbankan diri demi menghidupkan kembali tikus yang sudah mati, yang menyembuhkan penyakit kelamin Paul – dan keharmonisan keluarganya – adalah seorang pembunuh. Bagi Paul, seperti yang selalu ia lakukan terhadap tahanan di sana, adalah bagaimana memperlakukan mereka tetap sebagai manusia yang punya martabat, dan konflik yang ia rasakan setiap kali dirinya menggiring mereka melewati lantai hijau – mil terakhir di hidup para terpidana, menuju kursi listrik yang mengakhiri nyawa mereka.

“Film ini menyuguhkan drama yang rapi. Dialog-dialog yang berwarna. Kadang serius dan penuh isi, kadang satir dan lucu.”

“Durasinya termasuk panjang banget, udah jarang kita temuin film Hollywood dengan durasi melewati tiga-jam. Kalo film ini dibuat di masa-masa sekarang, aku gak yakin mereka bakal berani membuatnya sepanjang ini. Remake It (2017) saja kan, adaptasi Stephen King juga, difilmkan jadi dua film. Studio gak ada yang berani lagi bikin film sepanjang ini. Dan hebatnya, tiga jam film ini buatku terasa sekejap.”

“180 menit yang saya habiskan di depan layar tidak sekalipun membuat saya ingin beranjak meninggalkan film ini. Saya sangat menyukai sekali film yang mempunyai cerita yang menarik, fresh, berbobot, dan mempunyai gaya tersendiri dalam menyampaikan cerita tersebut kepada penonton tidak peduli film itu panjang atau pendek. Bagiku film ini mempunyai plot yang sangat baik sekali dan ceritanya juga tidak klise, dari awal film sampai akhir kita akan menemukan beberapa plot twist yang cukup mengejutkan.” 

“Efektif sekali memang film mengisi durasinya. Kita merasakan waktu berjalan di balik sel-sel penjara tersebut dengan kuat. Perubahan karakternya, baik dari para penjaga maupun para tahanan. Dan Coffey sebagai pusat perubahan itu memang terasa hidup sekali”

“John Coffey juga Paul Edgecomb adalah tokoh yang berkesan buat saya. Peran mereka berdua di film ini paling dominan tetapi peran pendamping lainnya juga tidak kalah penting. Banyak adegan-adegan memorable, salah satu adegan yang paling emosional tentu saja ada pada bagian menjelang akhir cerita dari film ini di mana John Coffey akan dieksekusi mati”

“Ya benar, ada banyak sekuens adegan yang benar-benar powerful. Menurutku ini satu lagi pembeda waktu buat film ini; sekali lagi, kalo The Green Mile dibuat di tahun 2019 aku gak yakin mereka benar-benar akan memperlihatkan eksekusi di kursi listrik, ataupun adegan Mr. Jingles yang diinjak, dengan benar-benar gamblang seperti yang ditampilkan oleh film ini. The Green Mile sangat intense, suspensnya begitu menguar dan terbuild up dengan rapi karena film memanfaatkan waktu untuk kita mengenal setiap karakternya. Si Coffey ini memang dibangun untuk pancingan emosional kita, dan di akhir itu .. maaan… aku nonton ini pertama kali sekitaran 2014 yang lalu, disaranin ama seorang teman, katanya “this will broke your heart”, dan setelah nonton itu aku… aku masih memunguti pecahan hatiku saat temanku nongol dan bilang “I told you so, Kak””

“The Green Mile bukanlah film drama tragis yang bisa dengan mudah membuat saya mengeluarkan air mata di setiap adegannya. Sedangkan air mata dan kesedihan yang ada justru berada hampir di penghujung film, saat semua kisah sudah terangkum dan kita mengerti dan mengetahui banyaknya hal hal yang sudah dibangun oleh Darabont untuk membangun emosi tersebut di setiap menit dan menitnya. Menurut saya sangatlah tidak adil bila John Coffey harus dieksekusi mati atas perbuatannya karena ia tidak bersalah atas segala tuduhan pembunuhan terhadap dirinya dia hanya ‘A right man in the wrong place and situation’. Namun, ada satu pertanyaan dasar yang tidak saya dapatkan disini. Yaitu tentang asal kekuatan magis yang dimiliki Coffey. Melalui dialog, film ini hanya mampu menjelaskan jika kekuatan magis yang dimiliki Coffey semata-mata mukjizat dari Tuhan. Saya berasumsi jika hal ini sengaja dilakukan oleh penulis supaya penonton dapat memutuskan secara bebas menggunakan imajinasi mereka.” 

“Mungkin memang bukan tanpa alasan kenapa tokoh yang dimainkan penuh penghayatan oleh si Michael Clark Duncan itu diberi nama John Coffey. Yang jelas bukan karena mirip ama kopi, seperti yang disebut oleh si tokoh sendiri haha.. Banyak teori yang menyandingkan inisial Coffey; J.C. dengan Jesus Christ. Apa yang dilakukan Coffey dengan mukjizat-mukjizat itu juga sama. Dia menyembuhkan orang lain dengan menelan ‘penyakit’ itu, membuat dirinya sendiri sakit. Dan dia melakukannya dengan tulus.”

“Mungkin karena unsur supranaturalnya yang spiritual seperti demikian itu film berlatar penjara ini bisa disebut sebagai film religi, ya”

“Mungkin juga. Tapi toh ada juga kan adegan di mana Coffey ‘menghukum’ tokohnya si Sam Rockwell – dan film ini membiarkan kita memutuskan apakah yang dilakukan Coffey kepadanya itu sebuah tindak ‘main hakim’ sendiri atau memang sebuah ‘balasan dari Tuhan’. Tapi mungkin memang di situlah letak kekuatan film ini. Dia menggambarkan perjuangan yang besar antara melakukan perbuatan baik dengan melakukan perbuatan yang  buruk. Serta ganjaran yang kita terima terhadap perbuatan kita kadang tidak seadil yang kita harapkan. Film ini juga bicara tentang prasangka, makanya secara fisik Coffey digambarkan ‘kontroversial’ menurut standar tokoh-tokoh yang lain.”

“Dengan prasangka tersebut, bisa jadi film ini cukup kontroversi bila dibuat tahun 2019, tetapi mengingat banyaknya film yang mengangkat tema isu rasisme terhadap orang kulit hitam seperti BlackKklansman (2018) mungkin kontroversi tersebut tidak akan terlalu diperbincangkan.”

“Tokoh Coffey ini sebenarnya masuk ke dalam trope ‘Magical Negro’; sebutan yang dicetuskan oleh Spike Lee untuk tokoh-tokoh kulit hitam dalam film yang tidak diberikan bangunan cerita yang kuat, selain mereka punya kekuatan khusus dan berfungsi untuk membantu tokoh utama kulit-putih menjadi pribadi yang lebih baik. I do think tokoh Coffey ini mestinya bisa dikembangkan dengan lebih baik lagi, mungkin kita bisa dikasih tahu siapa dirinya sebelum semua itu terjadi, apa yang dia inginkan dalam hidup, mungkin dia dibuat sedikit mengadakan perlawanan terhadap hukum mati yang ia terima. But then again, jika memang tokoh ini diniatkan sebagai simbol yang mewakili Yesus, masuk akal juga kenapa kita tidak diberikan lebih banyak soal backstory dirinya. Dia di sana untuk membuat Paul dan semua tokoh lain melihat dan berprasangka lebih baik lagi. Mungkin hukuman mati justru adalah jalan pembebasan yang selama ini ia cari.”

“Hukuman mati, dalam dunia nyata, memang sangat diperlukan tetapi saya juga terkadang tidak setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati karena saya ingin mereka memetik pelajaran juga mengambil hikmah serta menyadari atas apa yang mereka perbuat agar mereka dapat menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Di sisi lain kita juga harus mendukung adanya pemberlakuan hukuman mati di dunia ini agar orang-orang yang melakukan tindak kejahatan seperti menghilangkan nyawa orang lain harus dibayar sesuai dengan mereka perbuat atau istilah lainnya yaitu ‘nyawa dibayar nyawa’, tapi tentu saja harus dilakukan dalam cara yang manusiawi yaitu dengan cara hukuman suntik mati atau Lethal Injection, dilakukan melalui tiga tahapan. Tahap pertama adalah memberikan suntikan untuk anasthesi (pembiusan). Tahap kedua adalah memberikan suntikan untuk melumpuhkan tubuh dan menghentikan pernafasan. Tahap ketiga atau terakhir adalah memberikan suntikan untuk menghentikan detak jantung. Tanpa Anastesi, terhukum akan mengalami asphisiasi, sensasi terbakar pada seluruh tubuh, nyeri pada seluruh otot, dan akhirnya berhentinya detak jantung. Oleh karena itu, anastesi yang memadai diperlukan untuk meminimalisir penderitaan dari terhukum dan untuk memperkuat opini publik bahwa hukuman suntik mati itu relatif bebas rasa sakit.”

“Dalam film ini juga benar-benar ditunjukkan prosedur hukuman mati dengan kursi listrik yang dilakukan dengan memastikan si terpidana bisa langsung isdet tanpa berlama-lama menanggung sakit. Tapi di film ini mereka membuat hukuman mati sebagai tontonan. Buatku hal tersebut kurang manusiawi. Juga, menurutku, sebaiknya terpidana mati langsung dieksekusi saja, jangan lagi menunggu hari-hari mereka dipanggil. The Green Mile menekankan cerita pada soal ‘hari-hari menunggu’ ini. Istilahnya sendiri kan merujuk pada jarak. Buatku gak adil aja seseorang yang sudah berbuat salah dan dijatuhi hukuman, diberikan ruang untuk introspeksi – antara hari-hari itu mereka bisa saja insaf dan berperilaku laksana malaikat – hanya untuk dimatikan tanpa bisa mengurangi hukuman. Bukankah mengetahui batas akhir umur kita itu sesungguhnya adalah suatu keuntungan?”

“Mengetahui batas akhir dari umur kita menurut saya memang bisa jadi menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi kita karena hal tersebut membuat kita menjadi orang yang lebih baik lagi dari hari ke hari dan dapat membuat kita meningkatkan keimanan kita kepada tuhan kita sebelum kematian itu tiba saatnya, jadi kita senantiasa mempersiapkan diri untuk berbuat kebaikan. Tapi itu juga tergantung bagaimana orang tersebut menyikapi tentang kematian itu sendiri. “

“It was unfortunate apa yang terjadi pada Coffey, tapi di sisi lain mungkin dia bebas dan justru Paul-lah yang menderita setelah mendapat anugerah dari dirinya. Aku bayangin konflik banget buat Paul ketika dia tidak bisa mendapatkan apa yang diperoleh oleh kriminal-kriminal yang ia eksekusi, dan mungkin Coffey bukanlah yang terakhir yang duduk di kursi listrik itu dalam keadaan tidak bersalah. Umur panjang memang sering dikaitkan sebagai musibah dalam film-film, tak terkecuali di sini”

“Bagi saya itu adalah sebuah anugerah yang tuhan berikan melalui perantara si John Coffey kepada Paul agar ia dapat menikmati hidupnya dengan penuh harapan, cinta, dan kedamaian seperti Coffey yang selalu membantu orang-orang yang sedang kesulitan. Mungkin Coffey memberikan umur panjang kepada Paul agar paul dapat menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang.”

“Coffey tentu tidak meniatkannya sebagai kutukan. Paul adalah penjaga paling baik dan hormat kepada para tahanan. Tentu, tokoh yang diperankan Tom Hanks ini awalnya tidak percaya keajaiban, tapi dia tahu hidup sangat berharga. Coffey yang respek sama tokoh ini hanya ingin memberikan waktu yang panjang kepada Paul supaya Paul bisa memanfaatkan umur-umur orang yang dieksekusi sebagai penebusan. Tapi bagi Paul jelas ini jadi beban. Karena dengan umur panjang, tidak seperti para tahanan yang harus meninggalkan orang-orang yang mereka sayangi, justru Paul harus ditinggalkan oleh orang-orang yang ia sayangi. Justru ia yang merasakan Green Mile yang paling panjang. Mungkin dia baru bisa menemukan kedamaian entah berapa tahun lagi haha. Ada loh fans yang niat menghitung berapa tahun lagi Paul bakal meninggal..”

“Haha kira-kira 125 tahun lagi kali yah”

“Mungkin malah jutaan, mengingat banyaknya yang sudah ia eksekusi. Ngomong-ngomong soal eksekusi, it’s scoring time! The Green Mile adalah salah satu film favoritku sepanjang masa, ini adalah film yang mungkin tak-akan berani dibuat lagi, begitu intensnya mengobrak-abrik perasaan, aktingnya flawless, tapi memang pengkarakteran seharusnya bisa lebih dikembangkan lagi. Aku putuskan untuk memberinya 7.5 bintang emas dari 10.”

“I give this movie 8.5/10 stars. Film paling emosional yang pernah saya saksikan.” 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Mochamad Ridwan Alamsyah udah berpartisipasi dan ngusulin film ini, sudah lama aku ingin membahas film-film kayak The Green Mile.

Apakah menurut kalian ini adalah film religi? Apakah umur panjang adalah suatu anugerah? Atau apakah lebih mending kita tahu batas umur kita, walaupun pendek?

 

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

[Readers’ NeatPick] – HIJAB (2015) Review

“Jenaka tanpa perlu menggurui. Hijab adalah bukti film mampu melucu tanpa harus menghadirkan sketsa ala komika yang belakangan ini sering menghiasi film komedi Indonesia saat ini.”Raja Lubis, Komandan Komunitas Forum Film Bandung – Pengamat Film, FTV dan Serial Televisi Indonesia.

 

 

Setiap orang tentu punya film favorit sendiri, film yang ketika ditonton pengen disebarin ke orang lain. Namun, favorit enggak mesti karena filmnya bagus loh, bisa jadi kita suka karena filmnya lucu, atau mungkin geli. Yang jelas, selama bikin blog ini aku sering dapet rekues review; mulai dari yang nyaranin film yang bagus, yang pusing, hingga yang konyol. Dan percayalah, biasanya aku langsung nyari dan nontonin film yang direkues, cuma ya memang tak sempat kutuliskan reviewnya. Kalo ada waktu ketemu temen-temen sih enak, kami bisa langsung obrolin bareng film yang ia rekues. Kalo sama temen-temen di dunia maya, gimana? Maka lantas aku kepikiran untuk bikin segmen khusus review bareng. Dinamakan [Readers’ NeatPick] karena segmen ini terbuka untuk setiap pembaca My Dirt Sheet mengajukan usulan film, dan akan kuhubungi langsung untuk mereview film tersebut bersama-sama.

Di edisi perdana ini, aku menerima usulan Raja Lubis untuk menonton film Hijab, komedi besutan sutradara Hanung Bramantyo yang dibuat dengan gaya unik, ala-ala dokumenter, yang menilik kisah sukses empat cewek mendirikan bisnis hijab. Kita akan mendengar cerita persahabatan mereka, gimana mereka memulai bisnis lantaran pengen punya ‘sesuatu’ di luar nafkah dari pasangan masing-masing, dan eventually apa yang membuat mereka mengenakan hijab.

“Film Hijab penting karena bisa dijadikan pembelajaran dari banyak aspek.”

“Jadi komedi bisa, jadi religi bisa juga ya, Mas.”

“Justru Hijab ini bisa dikatakan salah satu standar film religi yang dituturkan jenaka. Dan saya memang selalu suka pada film komedi yang punya daya untuk melakukan kritik atas isu sosial budaya yang terjadi di lingkungan sekitar. Hijab melakukannya dengan sangat baik.”

“Dan sepertinya ini memang ranahnya Hanung, kan. Dia selalu bisa menemukan cara untuk menyelipkan komentar-komentar di balik hal dan fenomena hits (saat itu).”

“Hahaha kontroversi gitu ya maksudnya? Kontroversi itu datangnya bukan dari filmnya melainkan dari sudut pandang orang yang menilainya. Terlepas dari itu, sebagai sebuah karya saya kira Hijab hanya memotret, mengkritisi fenomena sekitar dengan gayanya sendiri. Namun jika ada yang mempermasalahkan film ini dengan sudut pandangnya juga, itu pun hak mereka.”

“Gaya ala dokumenter – yang bukan dari tokoh real – ini menurutku tepat digunakan oleh Hanung, karena dia ingin memperlihatkan banyak sudut tentang hijab. Meskipun tema yang berulang di sini jelas adalah favoritnya Hanung; isu kesetaraan. Selalu soal kesetaraan. Dia, seperti yang mas bilang, memotret sehingga filmnya terasa relevan.”

“Hijab memotret dan menunjukkan tentang peran suami-istri yang berbeda-beda. Apa yang ditunjukkan oleh Hijab bukan hanya masalah relevan atau tidak relevan dengan masa kini. Tapi lebih ke menunjukkan bagaimana suami istri bekerja sama dalam berumah tangga. Dan prinsip itu akan terus berjalan sampai dunia ini berhenti berputar”

“Dinamika suami-istri di film ini mulai bergeser ketika istri merasa bosan gak ngapa-ngapain. Mereka pengen berkarya sendiri. Dan akhirnya malah jadi lebih sukses daripada suami. Film ingin membuka mata kita melihat apa sih masalah yang bisa timbul dari istri yang bekerja. Buatku film ini cukup materialistis, sih. Uang di cerita ini berperan penting; ia yang memulai dan jadi middle-ground. Suami-suami di film ini enggan ngasih izin para istri bekerja lantaran mereka punya ego. Intensitas cerita naik saat para istri ketahuan bekerja, namun jadi adem lagi begitu usaha mereka itu sukses. Aku pengen melihat apa yang terjadi kalo usaha hijab itu gagal, menurutku pembelajarannya bisa lebih besar lagi jika uang dikeluarkan dari ekuasi – seperti apa dinamikanya nanti.”

“Uang memang penting banget! Nggak ada uang hidup bakal nggak jalan. Film ini nyata seperti demikian. Makanya para istri berbisnis hijab agar bisa leluasa menggunakan uang untuk keperluan pribadinya. Dibawa ke saya sendiri; Saya mempersilakan istri bekerja selama tidak mengganggu dan menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Di zaman sekarang ini banyak profesi yang bisa dilakukan seorang istri tanpa harus keluar rumah. Tapi intinya saya memberikan kebebasan kepada istri untuk berekspresi, tentu dengan izin suaminya.”

“Hmm.. ya.. ya, aku juga kalo udah nikah kayaknya bakal bolehin istri kerja tetapi tidak saat anak masih kecil banget, aku gak bisa soalnya ngurus anak ahahaha.. Film ini juga seperti menunjukkan izin suami masih berperan besar ya. Menurutku menarik gimana dengan segala pesan kesetaraan itu, poster film malah menampilkan keempat tokoh kita sebagai boneka marionet yang dikendalikan tangan. Buatku ini low-key ngasih liat bahwa masih ada yang mengatur mereka – entah itu aturan; suami atau agama atau sosial, atau malah duit itu sendiri”

“Saya hanya melihat poster itu sebagai bentuk karikatural yang menandakan bahwa Hijab adalah film komedi. Lebih lanjutnya saya enggan berkomentar.”

“Memang sih, yang aku gak nyangka adalah betapa ringannya ternyata Hanung mengemas. Enggak sampai ke level receh, film ini punya nyali dan tidak meninggalkan rasa hormat sama sekali terhadap yang ia bicarakan, tapi memang film Hijab ini terasa beda dengan film-film Hanung lain yang lebih ‘serius’.”

“Adegan yang paling bikin ngakak banyak sih ya, secara delapan aktor utamanya bermain bagus semua. Tapi kalau yang paling saya ingat sih adegan Dijah Yellow, meski sedikit perannya tapi memorable. Kalo dari tokoh utama, saya suka sama karakter Anin (Natasha Rizky), karena dia adalah karakter yang paling banyak mengalami perubahan sekaligus juga bisa dikatakan menjadi inti cerita filmnya.”

“Anin udah kayak tokoh penentu di film ini. Aku suka gimana Anin dibuat kontras di film ini; dia satu-satunya yang gak berhijab, dia satu-satunya yang belum menikah. Dan dia belajar dari keadaan di sekelilingnya, dia menemukan sesuatu, seperti wakil dari penonton untuk menangkap apa yang sedang diceritakan. Anin mengalami transformasi. Benar-benar berbeda dari tiga tokoh lainnya, kita diperlihatkan proses dirinya mengenal hijab – baginya bukan sebagai pelarian, atau keharusan, tapi sebagai pilihan. Dan di sinilah istimewanya film, dia memberikan ruang bagi hijab untuk dilihat dari banyak segi. Bukan sebatas busana muslimah.”

“Menurut saya Hanung juga memotret Hijab dari sisi budaya. Kan memang sekarang Hijab itu seperti sudah menjadi tren di kalangan wanita Indonesia. Bahkan ada satu dialog juga yang memperkuat fenomena ini. Yakni dialog yang bilang bahwa Hijab menggantikan konde yang biasa dipakai di zaman order baru.”

“Jadi tidak semata hijab adalah simbol kungkungan atau peraturan kan ya. Karena perkembangan dunia, sudut pandang kita pun juga mesti berkembang.”

“Benar. Sejauh yang saya tahu dan saya imani, hijab adalah kewajiban bagi setiap wanita muslim yang ketentuannya sudah diatur dalam Islam. Adapun ketika Hijab menjadi fashion, itu sebuah pergeseran budaya. Namun dengan berubahnya hijab menjadi tren hijab ini jadinya banyak hijab yang diproduksi kurang memperhatikan ketentuan yang sudah mengaturnya.”

“Benar, dari film ini kita juga bisa lihat ada garis pembeda antara hijab sebagai fashion dan sebagai budaya. Adalah pilihan nurani masing-masing, mau memparalelkannya atau tidak. Meski kalo aku sih, aku gayakin juga kalo misalnya aku ini cewek aku bakal makai hijab dari dulu atau enggak hahaha.. mungkin aku kayak Anin atau malah kayak Tata hhihi”

“Waaah itu andai-andai yang sulit dibayangkan karena nggak akan pernah terjadi, kecuali atas izin Allah.”

“Hahaha benar juga. Jadi kalo mau diangkain, dari skala satu sampai sepuluh, Mas Raja ngasih skor berapa nih buat Hijab?”

“Saya berikan 8.5/10. Hijab digunakan judul dan inti utama film ini sebagai bisnis, sekaligus menyindir banyak hal lain. Sebagai jalan bagaimana Hanung melalukan kritik pada aspek kehidupan sosial budaya yang nggak semata-mata soal Hijab. Misal soal karir dan pekerjaan dan peran suami istri dalam rumah tangga.”

“Dalem dan menggelitik ya. Kalo aku ngasih 7/10 karena buatku memang filmnya terasa sedikit ‘main aman’, gaya bercerita yang dipilih bikin berbeda, kreatif, tapi jadi sedikit ‘menyimpan’ tokoh utama atau tokoh sebenarnya yang jadi poin vokal cerita.”

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Raja Lubis untuk edisi perdana segmen ini. 

Bagaimana menurut kalian tentang film Hijab? Apa kalian setuju dengan yang disampaikan oleh film ini?

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

GURU NGAJI Review

“…. we all have the urge to be a clown”

 

 

Tiada yang lebih membahagiakan bagi Mukri selain menjadi guru yang mengajari anak-anak kecil di desanya mengaji. Bagi Mukri, guru ngaji adalah pekerjaan yang mulia. Tapi toh dia masih belum bisa membayar utang, duitnya masih kurang, apalagi buat ngajak istri dan anaknya jalan-jalan ke Istiqlal. Jadi guru ngaji, Mukri dibayar pake sembako. Maka ia pun berusaha di lapangan pekerjaan lain, dengan bayaran berupa duit beneran. Mukri menjadi badut di sebuah Pasar Malam. Kerjaan yang Mukri lakukan dengan sama cakapnya, hanya saja ia khawatirkan akan mengundang malu kepada keluarga. Jadi, Mukri tutup mulut rapat-rapat soal badut ini. Sebagian besar waktu di Guru Ngaji, kita akan melihat Mukri yang berjuang juggling di antara dua pekerjaan. Toh yang namanya diam-diam, suatu saat akan ketahuan juga. Mukri pun harus bersiap menghadapi reaksi dari warga kampung dan keluarganya mengenai pekerjaannya satu lagi yang selama ini ia rahasiakan.

Kesederhanaan yang terhampar membuat film terasa begitu dekat. Sederhana bukan berarti gak cantk loh. Polesan warna membuat film ini meriah, bahkan ketika tempat bukan di lingkungan Pasar Malam. Film ini punya humor, punya cinta, dan punya hati. Para pemain juga membawakan peran mereka dengan tidak sekalipun menjadi over-the-top. Donny Damara menghadirkan sosok ayah yang berjuang di balik masker badutnya dengan sangat meyakinkan, gesture-gestur seperti Mukri yang tidak pernah menatap mata bosnya di Pasar Malam turut memberi lapisan dan kedalaman bagi karakter ini. Guru Ngaji terasa benar-benar down-to-earth sehingga jadi mudah untuk dinikmati semua kalangan. Film ini bicara tentang gimana pandangan orang lain, pandangan dunia luar, masih menghantui orang-orang seperti Mukri. Padahal tidak ada yang salah dengan cari makan. Tidak ada yang ganjil dari berusaha membuat orang yang kita cintai bahagia. Mukri, mungkin memang dibuat sedikit terlalu ‘baik hati’, tapi apa yang terjadi kepada tokoh ini – terhadap pilihan yang dibuatnya – bisa kita jadikan cermin ketika kita dihadapkan pada pilihan yang serupa.

Kita semua berusaha keras untuk membuat yang tersayang bahagia. Tertawa. Kita semua jadi ‘badut’ demi mereka. Untuk apa malu karenanya?

 

Sebenarnya, film punya set up yang menarik. Kita diperlihatkan dua dunia kerjaan Mukri, yang semuanya punya universe sendiri – Mukri bersosialisasi dengan orang-orang dengan ragam kepercayaan dan sudut pandang yang berbeda. Untuk kemudian kita diperlihatkan ke kehidupan rumah tangganya, kita lihat istrinya yang jualan kerupuk tapi matanya ijo lihat kain jilbab baru yang ditawarkan teman, kita lihat anak Mukri dibully karena pinter. Set up di babak awal film mengisyaratkan seolah-olah Mukri nantinya harus berkronfontasi dengan keluarga, dia harus memilih satu di antara dua, yang bakal membawa kita ke false resolusi sebelum akhirnya Mukri menyadari apa yang sebenarnya ia butuhkan. Aku menunggu-nunggu adegan yang bakal jadi realisasi besar bagi Mukri. Namun Guru Ngaji berjalan dengan sangat lempeng. Konflik-konflik yang dihadirkan beres dengan gampangnya. Konfrontasi itu datang untuk selesai dengan sekejap. Mukri punya keinginan, tapi sedari awal dia sudah tahu apa yang dia butuhkan. Sehingga kita tidak menemukan Mukri sebagai karakter yang banyak belajar. Sisi emosional film datang dari luar seperti Mukri digebukin orang, baju badutnya dirampas, alih-alih dari dia sendiri yang memilih untuk menjadi badut. Seperti jalan cerita filmnya sendiri, Mukri juga sangat lempeng. Istrinya jelas-jelas bohong gak bayar utang, Mukri masih punya tenaga untuk mengikhlaskan. Dan pada akhirnya masalah soal kegilabelanjaan istrinya ini pun dimaafkan begitu saja di akhir cerita.

“usaha maksimal!” kata Deadpool, eh salah… kata badut!

 

Film seperti bingung dalam menggali masalahnya. Mukri akhirnya dikasih ultimatum enggak boleh lagi mengajar ngaji karena warga desa resah sama kerjaannya sebagai badut. Mukri sedih. Di sinilah letak anehnya. Sebagai guru ngaji dia cuma dibayar sembako, enggak dapet respect pula. Saat jadi badutlah baru ia mendapat terima kasih ditambah duit yang ia perlukan untuk bayar utang dan mewujudkan cita-cita, jadi di mana sebenarnya letak masalah? Menurutku, mestinya di titik ini film bisa membelokkan karakter Mukri menjadi lebih menarik. Aku menunggu konflik gede saat Mukri yang dilarang jadi guru ngaji malah tampil sebagai sinterklas di publik. Tapi momen tersebut tidak pernah datang. Film tampak tidak pasti dalam bagaimana mengakhiri kisah Mukri, penyelesaian film terasa sangat dragging, ada banyak momen ketika kita berpikir ceritanya sudah habis ternyata belum, karena mereka menggali di tempat yang salah, serta tidak menanamkan hal-hal yang penting untuk karakter Mukri sedari awal.

Sedikit banyak aku bisa relate sama pilihan yang dihadapi Mukri. Currently aku punya dua pekerjaan, yang satu buka kafe eskrim yang menghasilkan uang, satu lagi sebagai blogger kritik film di mana aku dibayar pake nonton gratis. Jikalau aku dilarang nonton dan diharuskan buka kafe saja setiap hari, aku akan bisa dapat lebih banyak uang, tapi aku tidak akan bahagia karena itu bukan diriku yang sebenarnya. Passionku di menulis, dan buatku itu akan menjadi pilihan yang sulit. Namun pada kasus Mukri, aku tidak dibuat benar-benar percaya bahwa menjadi guru ngaji begitu penting bagi Mukri. Karena sedari awal, film sudah menetapkan perihal duit sebagai stake. Hanya ada satu anak yang kita lihat diajari mengaji oleh Mukri. Sementara saat membadut, dia bikin tertawa banyak anak-anak. Jadi, jika pilihan guru ngaji dihilangkan, aku tidak melihat ada masalah bagi Mukri untuk jadi badut saja – dia dibayar dan membuat bahagia anak-anak.

Cerita berakhir bagi Mukri dengan gampang. Jalan keluar datang dari partner badut yang bermurah hati dan dari anaknya yang jago mengaji. Perihal anak, sebenarnya gak jadi soal asalkan relationship Mukri dengan anaknya dieksplorasi secara fokus sebelumnya. Tapi tidak. Kita bahkan tidak melihat Mukri mengajar anaknya sendiri mengaji. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada Mukri dari ia mulai di awal hingga cerita berakhir. Kerjaannya tetap guru ngaji dan badut. Dia tetap pribadi yang ikhlas. Kalo aku yang punya cerita, aku akan memutar sedikit narasi dan menjadikan Mukri naik kelas sebagai ustadz di desa pada akhir cerita, di mana dia menggabungkan pengetahuan agama dengan showmanship natural yang dimilikinya sebagai badut.

atau malah bikin Mukri turn heel dengan marahin anaknya gaboleh jual ngaji di tivi hhihi

 

Secara berkala kita akan dibawa ke lingkungan Pasar Malam tempat Mukri bekerja, untuk melihat satu subplot yang heartwarming tentang perjuangan cinta partner badut si Mukri, Parmin (penampilan paling emosional dalam karir Ence Bagus). Bagian cerita ini sangat likeable, porsi komedi yang pas hadir dari bagian ini. Akan kocak sekali melihat Yanto (Dodit Mulyanto, seperti biasa sukses deliver komedi dengan ciri khasnya) unjuk gigi dengan motor dan handphone, sedangkan Parmin hanya gigit jari dan terus bermimpi ingin punya motor juga demi merebut hati si cantik Rahma (peran pertama Andania Suri tanpa adegan nangisnya!!) Parmin actually belajar lebih banyak dari Mukri, kita akan melihat dia belajar untuk berani stand up buat dirinya sendiri dan menyadari bahwa dia tidak butuh motor untuk dapat cewek. Meskipun film tetap menggambarkan perubahan Parmin ini dengan ‘aneh’. Maksudku, pertama kalinya Parmin stand up for himself dengan menggunakan sepeda sebagai alat. Dia juga membelikan Rahma helm, yang mana tetap adalah sebuah materi. Dan menggunakan sulap untuk practically ‘nembak’ Rahma – padahal sulap literally adalah sebuah trik. Jadi, adalah sebuah stretch untuk kita bisa percaya apa yang dipelajari Parmin jika kita melihat hal yang ia lakukan sebagai bukti perubahan/pembelajaran karakternya.

Salah satu aspek mengharukan dalam film ini adalah ketika gimana baik Mukri maupun Parmin yang siap menghapus wajah sedih banyak masalah mereka dengan riasan badut yang tertawa, demi tugas mereka sebagai penghibur. Sayangnya, aspek ini juga tidak benar-benar dieksplorasi oleh film. Yang mana adalah satu lagi kesempatan untuk genuinely menjadi emosional yang dilewatkan. Lihatlah betapa kuatnya adegan ketika Mukri masih berdandan badut duduk merenung di belakang rumahnya, kita perlu melihat adegan ‘bentrok’ seperti ini lebih banyak lagi.

 

 

Seujug-ujug film akan menyuarakan pesan toleransi, kerukunan dan saling pengertian dalam kehidupan beda agama, menjadikan paruh akhir film terasa berjubel, tanpa jelas ujungnya di mana. Film ini sederhana, meski ia ceria dalam warna. Kisah komedi dan mengharukan dibuat seimbang sehingga tidak mengganggu tone cerita. Membuat film ini gampang untuk disukai banyak orang. Hanya penyelesaian yang terlalu cepatlah yang membuat cerita menjadi tidak terpatri dengan kuat. Secara teknis, kita masih mendapati editing yang enggak tight, latar yang enggak klop antara frame satu dengan frame berikutnya, juga beberapa obvious dubbing dan stuntmen yang cukup mengganggu telinga serta mata. Jika kalian merindukan film dengan suasana down-to-earth seperti ini, gak ada salahnya coba menyaksikan langsung ke bioskop.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GURU NGAJI.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

AYAT-AYAT CINTA 2 Review

“Real people aren’t perfect.”

 

 

 

Tinggi-tinggi sekolah, ujungnya di dapur juga. Orang jaman dulu begitu tuh pandangannya, cewek gausah belajar pinter-pinter, tahan deh mimpi-mimpi itu, salurkan semuanya untuk jadi ibu rumah tangga yang baik. Istri yang berdedikasi. Tapi ya itu flashback bertahun-tahun yang lalu. Sekarang udah 2017. Pemikiran orang semakin dewasa. Banyak yang sudah berubah. Sembilan tahun yang lalu aja, waktu film Ayat-Ayat Cinta yang pertama keluar, aku masih belum peduli sama film. Apalagi film Indonesia.  Tapi ternyata aku tidak perlu khawatir saat menonton sekuelnya ini. Karena bagi Ayat-Ayat Cinta 2, waktu berjalan di tempat. Kita malah musti sedikit menyejajarkan diri ke belakang untuk dapat menikmati film ini.

Bukan berarti tidak ada yang berubah dalam kehidupan Fahri (ekspresi melotot Fedi Nuril kadang-kadang kocak juga). Sekarang pria ini adalah seorang dosen di Universitas Edinburgh, Skotlandia. Menjadi muslim di sana berarti menjadi minoritas. Fahri harus berurusan dengan pandangan-pandangan menghakimi, kerendahhatiannya tak dipandang oleh orang-orang yang marah atas peristiwa terorisme yang di berbagai belahan dunia. Tetangga Fahri, misalnya, Keira (Chelsea Islan sepertinya dilahirkan dengan dandanan pemain biola, cocok banget) dan adiknya blak-blakan menuding Fahri teroris. Mereka ‘meneror’ mobil Fahri sebagai wujud kebencian. Namun hal ini tidak mengusik si sabar Fahri segede kepergian Aisha menghantuinya. Sang istri diduga menjadi korban pengeboman di Palestina dan sejak itu Fahri gundah dengan kekosongan di hatinya. Kharisma cowok ini membuatnya populer di kalangan cewek-cewek, apalagi mahasiswinya, tapi dia menolak mereka semua.

Di saat film-film kekinian berlomba menulis tokoh wanita yang independen dan punya ‘strength’, film ini membuat tokoh-tokoh wanitanya terlibat dalam semacam kompetisi demi mendapatkan hati Fahri. Bahkan Sabina (Dewi Sandra banyak berekspresi dengan matanya saja), muslimah berkerudung yang ditampung Fahri sebagai asisten rumah tangga, tampak sedikit banyak memendam sesuatu terhadap Fahri. Dan kemudian muncullah Hulya (cowok mana sih yang keberatan kalo Tatjana Saphira yang motong pembicaraan mereka?) yang punya ‘keunggulan’ sebagai sepupu Aisha. Dengan cepat mereka menjadi akrab. So I guess, kita semua kudu penasaran, siapa yang akan dipilih oleh Fahri.

Tatjana dan Chelsea satu film, rahmat mana lagi yang engkau dustakan?

 

Atmosfernya terasa sangat grande, tata musiknya, gambarnya, desain produksi film ini termasuk di level atas. Penampilan aktingnya juga tepat mengenai sasaran nada dan emosi yang ingin disampaikan – kecuali adik cowok si Keira. Duduk di studio, di lautan penonton berambut panjang dan sebagian besar lainnya berhijab (aku paling ganteng dong!), babak set up film ini cukup menarik buatku. Ada beberapa aspek seperti Fahri yang beribadah di dalam kelas sebelum mengajar – enggak di belakang kelas, dia harus banget melakukannya di depan mata semua murid yang berasal dari latar yang berbeda-beda – yang tampak intriguing. Aku juga suka gimana mereka memanfaatkan cadar ke dalam penceritaan.  Namun, lama kelamaan, frekuensi aku menguap dengan mata kering menjadi semakin sering. Sampai ke titik aku tidak tahan melihat Fahri, karena tokoh utama idaman wanita ini begitu membosankan. Dia terlalu jauh dari kita.

Tokoh-tokoh superhero seperti Wonder Woman, mati-matian ditulis sangat grounded agar mereka tampak seperti manusia biasa, diselipkan adegan-adegan kecil yang memanusiawikan mereka, tidak melulu mereka superpower. Thor yang dewa, dibikin jadi konyol dalam Thor: Ragnarok (2017) juga dengan alasan ini; supaya kita relate ke dia. Ayat-Ayat Cinta 2, sebaliknya, punya Fahri yang seorang manusia biasa namun dibuat setinggi mungkin, semulia mungkin, tokoh ini punya kebaikan dan kesabaran kayak Nabi Muhammad sekaligus diceritakan punya ketampanan yang membuat wanita tergila-gila kayak Nabi Yusuf, sempurna sekali. Dia lebih baik dari superhero manapun. Fahri’s thing is he does right things. Sedikit saja kekurangan, mungkin bikin dia miskin atau apa, bisa membuat cerita lebih menarik. Membuat perjalanannya lebih compelling. Satu-satunya cela karakter Fahri di film ini adalah dia nutupin perasaannya sendiri.

Terlalu sempurna adalah kecacatan. Dan hal itu tidak membuat film yang bagus.

 

Benar film ini mengeksplorasi komentar sosial perihal Islam di mata publik; film ini relevan karena menyinggung isu-isu seperti bagaimana kedudukan wanita di mata Islam, bagaimana pandangan Islam terhadap perang dan terorisme. Akan tetapi, seperti yang di-foreshadow oleh salah satu adegannya, film ini tidak mengeksplorasinya lebih dalam. Film tidak menjatuhkan ‘bola’ kesempatan itu. Dia menusuknya dan mengempeskan semua hal-hal menarik yang mestinya dapat dikandung oleh cerita. Rintangan-rintangan yang dialami Fahri selesai dengan gampang, dalam rentang waktu satu adegan sahaja. Fahri punya semua jawaban. Menurutku bagus juga kebaikan dan amal soleh yang dilakukan oleh Fahri yang actually bicara tentang siapa Fahri kepada orang-orang, namun ini membuat dia seperti missing-in-action. Seperti ketika ditanya mahasiswa sok-pinter di kelas, Hulya yang memotong dan menyelesaikan jawaban. Pada sekuen adegan debat ilmiah yang dengan cepat menjadi personal, Fahri sama sekali gak membela diri, seorang nenek yang eventually stand up for him, membuatku kepikiran mungkin sebaiknya film ini mengganti tokoh utamanya.

Ketika mengadaptasi novel menjadi film, keputusan kreatif sepenuhnya di tangan pembuat film. Akan selalu ada tuntutan untuk setia dan sesama mungkin dengan novel sumbernya, namun pada dasarnya film berbeda dengan novel. Ada aturan-aturan penulisan screenplay; ada kewajiban untuk menjadikan film sebagai perjalanan tokoh. Tokoh kita harus engage penonton. Perubahan-perubahan kreatif demi alasan tersebut, hukumnya wajib untuk dilakukan. Katakanlah karena terlalu sempurna – sedangkan tokoh utama yang menarik adalah yang sedikit ‘bengkok’, Fahri enggak mesti jadi tokoh utama. Cerita bisa ditranslasi ke dalam sudut pandang tokoh lain. Keira bisa menjadi tokoh utama yang menarik di cerita ini – jika mereka mau mengubah arcnya sedikit. Atau Sabina. Aku gak mau spoiler banyak, but I tell you this: perhatikan tokoh ini baik-baik.

Asal jangan Hulya sih. Maksudku, tokoh ini karakternya apa sih? Apa yang ia lakukan, apa motivasi terdalamnya? Hulya adalah wanita yang pintar. Dia cukup mandiri. Tapi dia cuma ngikutin ke mana Fahri pergi. That’s it. Itulah karakter Hulya. Dia muncul gitu aja, dan undur diri dalam sirkumstansi yang random banget. Mereka harusnya bisa mengonstruksi konfrontasi final dengan lebih baik, di set up dengan lebih perhatian, tapi enggak. Bagian itu terjadi di suatu rest area pom bensin. Kebetulan yang mencengangkan, mukjizat,  pemirsa!

Perbuatan baik dapat pahala, perbuatan jahat bakal dikasih Fahri piala

 

 

Film ini ‘malas’ seperti itu. Sungguh ironis lantaran film ini lewat salah satu dialognya yang bukan eksposisi menasehati kita dengan  “Niat baik tanpa effort, dapat merusak hasil.” Dan turns out, film ini adalah perwujudan dari kalimat tersebut. Naskah film pada ujungnya hanya mengerucut menjadi drama-drama romansa yang over–the-top. Emosinya begitu melodramatis. Contoh simpel film ini favoring ke dramatis yang sintesis adalah mereka membuat adegan seorang ustadz yang berjalan dengan slow motion di dalam mesjid. Dibuat mendekat perlahan supaya tampak intens. I mean, natural aja di mesjid kan memang jalannya pelan-pelan, dan untuk membuat si ustadz tampak marah, mereka malah memelankan lagi yang udah pelan itu.  It really takes away the moment, karena padahal kalo mau bikin adegan yang ngekonflik  ya sekalian bikin ustadznya setengah berlari geram menuju Fahri.

Aku gak bisa menyimpulkan arc tokoh Fahri. Apa yang ia pelajari dari kejadian-kejadian penuh twist yang terjadi padanya. Aku semula mengira ini adalah soal Fahri yang belajar bahwa terlalu sempurna itu enggak baik, dia harus jujur pada diri sendiri.  Bahwa  tidak ada orang-orang nyata yang sempurna. Tapi enggak. Di akhir hari, film ini bicara tentang betapa pentingnya penampilan fisik. Mestinya cinta itu karena hati – cantik jelek tidak jadi soal. Di sini, kita punya seorang wanita yang merasa sudha begitu rusak physically, dia bersembunyi dari suaminya, dan dia setuju untuk berubah – out of insecurity – dan demi menyenangkan orang lain. Buatku it  just feels so wrong.

Dan ya, aku setuju dengan kalian yang menyebut ending film ini menggelikan. Ini adalah momen penting pada film. Banyak tokoh yang hidupnya berubah karena proses setelah ending tersebut. Tapi ketika kita melihat ke belakang, film ini bertempat di Britania Raya alasannya bukan lagi karena di sana adalah tempat dengan kebudayaan yang beragam, dengan perbedaan yang meriah. Melainkan agar aspek operasi di akhir cerita jadi mungkin untuk terjadi. Dan ini benar-benar menurunkan nilai dan kepentingan film.

Melihat Fahri yang begitu tinggi menjunjung toleransi, takpelak mengundang buah pemikiran; benarkah kita harus menoleransi yang tidak toleran? Jika dipikir-pikir, toleransi adalah sebuah paradoks. Katakanlah jika di bulan puasa kita menghormati yang tidak berpuasa – warung bebas dibuka, orang-orang tetap makan minum di jalan, maka di mana jadinya letak toleransi terhadap yang lagu berpuasa? Karl Popper, seorang filosofis, bilang ketika kita extend toleransi shingga ornag-orang bisa openly intolerance, maka yang toleran akan hilang bersama dengan sikap toleransi itu. Kesimpulannya adalah kebablasan toleransi akan membunuh sikap itu sendiri, dan guna mempertahankan toleransi kita butuh untuk enggak toleran terhadap yang gak-toleran.

 

 

 

Fahri bilang kita kadang harus mundur sedikit untuk dapat melompat lebih lanjut. Tapi film ini mengambil kemunduran yang terlalu jauh, dan akhirnya jatuh. Ini adalah film yang bagus jika ditonton di jaman Siti Nurbaya masih disuruh kawin. Dibawa ke jaman kekinian, generasi now, tokoh-tokoh film ini sangat outdated. Isu kekiniannya ditinggalkan begitu saja demi drama dan romansa yang digali berlebih-lebihan. Bicara tentang putting women in pedestal, namun twist film ini mendorong jatuh para wanita itu dari pedestalnya dalam setiap kesempatan. Tapinya lagi, mungkin kita memang masih berada di jaman jahiliyah sehingga masih bisa terbuai oleh ayat-ayat drama seperti ini.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for AYAT-AYAT CINTA 2

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

NYAI AHMAD DAHLAN Review

“Behind every great man is a great woman.”

 

 

“Bajumu jangan membuatmu lupa untuk berjuang,” nasihat Nyai Ahmad Dahlan kepada Jenderal Besar Soedirman ketika dua tokoh sejarah ini berdiskusi. Adegan yang kita jumpai di babak ketiga tersebut benar-benar menunjukkan sebesar apa pengaruh dan peranan Nyai terhadap Indonesia. Aku suka gimana Soedirman tidak sekalipun menatap mata Nyai, mengisyaratkan wanita di depannya adalah seorang yang penting luar biasa. Nyai bukan sebatas istri dari seorang Kyai hebat yang disegani. Nyai sudah berjuang bersama dalam dakwah, beliau adalah seorang tegas, agamis, guru yang cerdas dan begitu bijak dia berbicara dengan alat peraga dan analogi yang sangat mengena kepada lawan bicaranya. Dan di poin adegan Nyai dan Soedirman tiba di babak ketiga itu,  Nyai sudah berjuang sendiri. Tanpa Kyai di sisi, kita melihat perubahan yang terjadi pada Nyai baik dari gestur, cara dia memandang orang, dan bahkan suaranya. Tegas dan kinda creepy melihat determinasinya. Tika Bravani menunjukkan pemahaman kepada gejolak yang dirasakan oleh tokoh ini. Membuat kita ingin melihat lebih banyak perjuangan yang dialami oleh Nyai Ahmad Dahlan sendiri.

Nyai dan Kyai Ahmad Dahlan berjuang lewat dakwah demi memberantas jahiliyah dari tanah Jawa. Kala itu rakyat umum masih percaya takhayul, masih banyak yang puas di garis kebodohan, belum lagi ancaman dari londo-londo yang membawa ajaran yang merusak akidah. Perjuangan mereka masih relevan dengan keadaan sekarang ini, di mana musuh kita adalah masih banyak yang percaya hoax internet, gampang dibegoin troll di sosial media, dan tentu saja bablasnya budaya luar yang malah mengikis  atau katakanlah membuat kita mengenyampingkan akidah.

 

Ini adalah film biopik yang enggak menawarkan banyak selain PELAJARAN SEJARAH BERBALUT CERAMAH. Namun bahkan menyebut menonton film ini seperti membaca buku sejarah adalah sebuah pujian yang melebihi dari yang pantas diterima olehnya. Karena, to be fair, aku enggak banyak tahu tentang Nyai Ahmad Dahlan, jadi setelah nonton aku nyari informasi tentang tokoh pahlawan ini. Aku membaca Wikipedia dan menonton film ini terasa sama persis dengan aku membaca halaman Wikipedia Nyai Ahmad Dahlan.

I mean, narasi cerita film ini – plot poin-plot poin yang menghantar kita dari satu adegan ke adegan lain – sama sederhana dan melompat-lompatnya sama poin-poin yang ditulis di Wikipedia. Nyai Ahmad Dahlan menggunakan struktur bercerita yang linear; kita melihat Nyai sedari kecil hingga beliau wafat, tanpa ada inti atau benang merah yang merangkai perjalanan tokohnya. Kita tahu Nyai ingin mencerdaskan kaum kecil dan wanita, ingin ajaran Islam ditegakkan. Tapi sampai film berakhir, kita tetap enggak kenal siapa dirinya. Kenapa dia bisa menjadi begitu alim dan cerdas. Apa konflik internal yang melandaskan pembentukan karakternya. Film ini terjangkit penyakit yang kusebut dengan “Jyn Erso Problem” di mana narasi malah ngeskip bagian yang penting; bagian ketika pribadi tegas nan cerdas itu terbentuk. Sama seperti Jyn Erso yang tau-tau udah gede dan jagoan, Nyai juga tau-tau sudah menjadi istri Kyai Ahmad Dahlan and she’s instaniously mulia dan sangat bijak. Kita gak liat dari mana segala kebijakan itu hadir di diri Nyai. Dan setelah itu, kita ngikutin dia ngikutin suaminya sepanjang besar film. Semua terasa sangat membosankan hingga babak ketiga dimulai ketika kita melihat perjuangan Nyai seperti yang kusebut di atas. Akan tetapi, bukan hanya sudah sangat telat, film juga membahas perjuangan sendiri ini dengan sangat singkat. Tidak ada arahan yang jelas, film sepertinya tidak tahu apa yang menarik untuk dibahas dari materi tokoh sejarah yang mereka punya.

Mereka gagal melihat konflik menarik yang bisa datang dari Kyai menganggap dokter sebagai setan yang menghalanginya berdakwah

 

Sebagai period piece pun, film ini tidak pernah berhasil membawa kita ke puncak interest. Ada banyak yang bisa kita kritik dari tampilannya seperti wardrobe error ataupun ‘kebocoran’ properti yang lain. Penampilan film ini tidak pernah kelihatan megah. Dari segi teknik, film tidak terasa professional. Di awal-awal ada adegan warga ngobrol di pasar yang sama sekali tidak meyakinkan, terlihat seperti adegan di sinetron-sinetron kolosal. Jangankan dengan Hollywood, jika dibandingkan dengan Kartini (2017) biopik yang juga bicara tentang emansipasi dan pemberdayaan, film ini masih terasa subpar. Editingnya kasar, dialognya antara ceramah ama eksposisi, musiknya nerobos banget hingga terdengar komikal ketimbang epik.  Ada sekuen aksi yang diambil dengan biasa aja. Kamera memang sepertinya terbatas dalam hal pergerakan, soalnya ada banyak syut yang ngambil dari kanan kemudian kamera muter 90 derajat ke kiri.

Sebagian besar adegan di film ini berupa sekelompok orang duduk di sekitar Nyai, ataupun Kyai, yang sedang bicara memberikan pelajaran. Sungguh, hanya ada tenggang waktu beberapa kali sebelum kita menguap lebar-lebar demi melihat pemandangan orang manggut-manggut ngedengerin ceramah. Film ini tidak pernah menghandle ceramah mereka sebagai sesuatu yang menarik. Menjelang midpoint ada adegan pengajian Wal Asri yang boring banget, selama beberapa menit kita duduk di antara ibu-ibu tanpa ada hal menarik yang terjadi. Saking bosennya, aku berdoa Rick dan Morty datang kemudian menghabisi mereka dengan trash talk dan pistol laser, kemudian Nyai membuka kedoknya yang ternyata alien dengan seribu tentakel yang bisa kungfu dan SopoTresno itu ternyata adalah nama planet asalnya!

It is easy to nitpick this tapi masalah sebenarnya terletak pada ketidakpahaman film soal mengbuild up adegan. Pengadeganan film ini rumusnya begini: orang lain ngutarakan pendapa atau masalah, Nyai menanggapi dengan bijak pake analogi, dan musik latar akan berkumandang seolah menyimpulkan bahwa setiap yang Nyai katakana sangat mindblowing dan begitu megah. Tapi kita enggak akan benar-benar peduli karena tidak pernah ada build up atas apa yang dikatakan Nyai. Misalnya, ketika Kyai bilang tantangan mereka adalah duit, dan Nyai masuk ke dalam rumah mengambil harta warisan orangtuanya untuk kemudian diberikan kepada Kyai, dan musiknya menggelegar mengamini yang dilakukan Nyai adalah mulia walau berat, but we don’t feel that karena kotak warisan tersebut tidak pernah dibuild up terlebih dahulu. Kita tidak pernah tahu stake yang dipertaruhkan Nyai ketika dia menyerahkan bantuan tersebut.

 

The one time music did it right adalah saat mereka melelang barang. Selebihnya, konflik-konflik film ini datang dan pergi gitu aja. Salah satu ‘rintangan’ yang dihadapi Nyai dan Kyai adalah organisasi Muhammadiyah mereka diprotes warga lantaran dianggap sesat. Namun kita enggak pernah diperlihatkan kenapa warga menganggap begitu. Mereka bilang penjajah menghalang-halangi ajaran mereka, tapi hanya satu kali kita melihat penjajah dateng dan mengusik asrama Nyai. Dialog dan adegan dimasukkan gitu aja, tanpa pernah benar-benar diperhatikan ritme ataupun kepentingannya. Ketika penghuni rumah dan murid-murid menyambut kedatangan Nyai dan Kyai dengan cemas, percakapan gulir begitu saja dari “Kami dengar Kyai hendak dibunuh” menjadi kurang lebih ke “Kami ingin seperti Nyai, dapet cowok sekeren Kyai hehehe” tanpa ada weight ke adegan possible murder sebelumnya. Dan yang buatku jadi hilarious adalah actually adegan Kyai dan Nyai mau dibunuh itu, mereka ‘ribut’ dengan beberapa warga di… PANTAI! I mean, betapa randomnya, kenapa bisa di pantai coba. Aku jadi membayangkan sebelumnya mereka bertemu kayak gini… crrriiiingggg *bunyi efek adegan fantasi*

WARGA A: Kami mau memprotes ajaran Kyai dan Nyai!
WARGA B: Betul! Biarkan parang kami bicara!
KYAI: Baiklah, kita bicarakan sambil santai di pantai

NYAI: Cihuuuii, aku lagi butuh vitamin sea nih! *ngedipin mata ke Kyai*

 

 

Jika film ini ingin menceritakan tentang perjuangan Nyai, mestinya dia mengambil babak ketiga dan mengeksplorasi narasi dari sana. Jika film ini ingin memperlihatkan kehidupan Nyai dari kecil hingga wafat, mestinya mereka memfokuskan kepada pertumbuhan tokoh Nyai alih-alih membuat kita lompat langsung ke saat bersama Kyai. Juga mestinya kita tidak lagi dihadapkan dengan flashback, terutama jika flashback itu ditujukan buat mancing dramatisasi semata. Jika film ini ingin bercerita tentang Nyai, mestinya dia tidak membuat Nyai terlalu ngekorin Kyai – sebab sesungguhnya di balik pria hebat ada wanita yang sama hebatnya, jika tidak lebih. Dan kehebatan Nyai tidak kita lihat hingga film benar-benar berakhir. Biopik mestinya membuat sejarah tidak membosankan, namun sebenarnya tidak ada yang lebih bosan dari tokoh utama yang lurus saja tanpa kita pernah kenal konflik personal dan internalnya.
The Palace of Wisdom gives 3 out 10 gold stars for NYAI AHMAD DAHLAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners .
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

BID’AH CINTA Review

”The reason many people in our society are miserable, sick, and highly stressed is because of an unhealthy attachment to things they have no control over.”

 

 

Pembaruan itu perlu. Terkadang kita melakukannya supaya memudahkan persoalan, tangga batu diganti jadi eskalator misalnya. Rumah yang dindingnya mengelupas, yang atapnya bocor, perlu diperbarui. Tapi itu konsepnya adalah memperbaiki yang rusak. Bagaimana dengan yang masih baik? Perlukah dilakukan inovasi? Perlukah film atau karya diremajakan (ehm.. ehmm.. remake) meski padahal dirinya sendiri sudah terbukti tak-lekang oleh waktu? Dan dalam konteks agama Islam, yang seharusnya kita yakini sebagai agama yang sempurna, apakah kita benar-benar perlu menambah ataupun mengurangi beberapa hal sehingga ibadah kita bisa ngikutin perkembangan jaman?

Masalah bid’ah adalah concern utama yang diangkat oleh film Bid’ah Cinta. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dilempar oleh narasi film, dan kitalah yang bertugas untuk menangkap dan menimbang sendiri jawabannya. Dalam film ini kita akan ditempatkan pada sebuah kampung yang mayoritas Islam. Hanya saja mereka terbelah menjadi dua kubu; aku enggak tahu istilah benernya, tapi katakanlah di kampung itu ada Islam Modern dengan ajaran-ajaran yang lebih fleksibel, dan Islam Tradisional yang melarang bentuk perayaan diadakan di Masjid. Lingkungan yang semula damai berubah menjadi sinis-sinisan sejak golongan Islam Tradisional ‘menduduki’ Masjid. Ada sikut-sikutan kecil, pengikut ajaran satu pindah ke ajaran yang lain. Tuduhan dan prasangka mulai bermunculan. Ajaran mana yang paling kuat imannya? Ajaran mana yang ngasilin pengikut bermental teroris?

abangmu inget gak sih waktu kecil justu dialah yang meneror Warkop dengan kodok?

 

Dengan anggunnya DRAMA GARISMIRING KOMEDI SATIR INI MENGAMBIL PERSPEKTIF DI TENGAH, sehingga kita dengan aman bisa mengobservasi kedua belah pihak (jangan lupa ngaca!). Film ini memastikan kita dapat menangkap semua permasalahan yang timbul dari pengkubuan. Kita bisa melihat bahwa sejatinya tidak ada satu yang lebih benar dari yang lain, bahwa sesungguhnya kita butuh untuk menyatu. Jika ada yang bisa kita tunjuk ‘kalah’ dari argumen-argumen mereka, maka itu adalah pihak yang mengeraskan suaranya terlebih dahulu. Out of insecurity. Pertengkaran mereka tidak pernah menghasilkan apa-apa. Mereka sama-sama tidak punya jawaban. Mereka gak bisa mutusin pahala-dosa sama halnya dengan mereka gayakin terhadap jalan tengah yang diambil. Namun film ini juga bikin kita bisa paham betapa peliknya masalah jika sudah menyangkut keyakinan, dan – pada level tertentu – kebanggaan terhadap apa yang kita percaya. Rasa bertanggung jawab untuk memeliharanya. Film ini actually memberikan banyak hal untuk kita pikirkan, terutama ketika sampai di babak kedua.

Bahwa terkadang hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mengerjakan yang benar, alih-alih yang gampang, buat diri kita sendiri.

 

Kampung mereka vibrant oleh aktifitas dan tokoh-tokoh yang saling berinteraksi. Sangat menarik untuk ngikutin cerita hanya untuk melihat bagaimana kesemua tokoh ini ‘amprokan’ pada akhirnya. Ada subplot tentang preman yang actually jadi belajar agama. Sesungguhnya memang perjalanan kedua preman ini terasa lebih menarik sampai-sampai aku sempat khawatir kalo mereka hanya berakhir sebagai ‘alat perang’ semata, you know. Aku kesel banget kalolah ternyata entar mereka jadi teroris atau semacamnya. Juga ada subplot seorang waria yang dipertanyakan identitasnya; apakah dia sholat di barisan depan bareng cowok-cowok? Ataukah dia bisa di belakang bersama wanita? Apa dasar kita memutuskan keputusan pilihan tersebut? Dan adegan ketika sholat si Sandra ini diinterupsi oleh pengurus mesjid, daaang, aku suka kepada apa yang film ini lakukan terhadap musiknya yang ngehigh pitch gimana gitu. Memberikan kesan surreal yang lumayan disturbing.

Jika Bid’ah secara literasi berarti inovasi atau pembaruan, maka film ini diharapkan bisa menjadi bid’ah yang sangat diperlukan bagi genre religi Indonesia yang sudah lelah dengan tropes semacam poligami, orang sakit, selingkuh, dan lain sebagainya.

 

Film ini diarahkan dengan sangat cakap. Penceritaannya yang cenderung ke visual membuat cerita tidak berasa ceramah. Pelurusan saf saat sholat memberikan kepada kita gagasan soal pentingnya merapatkan barisan, yang dalam hal ini berarti menjaga hubungan sesama umat agar jangan renggang. Karena, you know, setan akan datang mengisi di sela-sela kita. Atau bahkan percakapan sepele soal kuping punya peran dalam diskusi juga memberikan makna bahwa umat layaknya satu tubuh, masing-masingnya sangat penting, untuk itu haruslah saling menjaga.

Sebagian besar waktu film akan terasa sangat grounded, sangat dekat. Akrab karena memang kurang lebih seperti kampung itulah umumnya lingkungan tempat kita tinggal. Tentu saja juga ada humor yang nyentil-nyentil yang bikin film menggigit balik jika kita iseng meghakimi tokohnya. Penampilan para aktor kebanyakan memang sudah meyakinkan. Alex Abbad yang jadi salah satu ustad berhasil ngedeliver perannya yang rather gimmicky dengan fantastis. Tidak ada peran yang terasa over-the-top. Sandra yang dimainkan oleh Ade Firman Hakim tampil manusiawi. Pun tidak terasa buat pemantik air mata semata. Dan Tanta Ginting, oh man, sekali lagi dia sukses menguarkan a really terrifying persona meski porsi penampilannya cukup sedikit. Aku enggak yakin dari mana, mungkin dari bruise keitaman pada jidat tanda banyaknya sujud, tapi begitu melihat tokohnya nongol pertama kali aku langsung nyeletuk “nah ini, speaking about radical!”

Tentu tak dosa untuk berharap, namun sayangnya Bid’ah Cinta masih terjatuh ke dalam lubang pakem yang sama. Kita masih melihat cewek drooling openly over karakter cowok yang simpatis. Bagian drama cinta adalah elemen yang perlu untuk hadir, karena cinta adalah solusi dari segalanya bukan? Hanya saja memang porsi cinta-cintaan film ini tidak terasa semenarik isu sosial kehidupan umat beragama. I mean, aku bakal salut banget kalo film ini berani menghadiahkan posisi tokoh utama itu kepada Sandra yang easily lebih dramatis. Atapun kepada Faruk si preman kampung, karena dia dan temennya punya plot yang lebih clear. Come on, kita ngeliat perjalan mereka dari preman mabok oplosan menjadi ‘remaja masjid’ yang ngebongkar balik kereta dangdut keliling yang biasanya jadi langganan mereka joget. That’s one clear journey yang dipunya oleh film ini

Alhamdulillah, luar biasa

 

Tokoh utama kita justru adalah Kamal (Dimas Aditya memainkan peran yang mestinya paling simpatik) yang menemukan dirinya berada di tengah-tengah persoalan yang timbul dari beda pandangan tersebut. Kamal yang meyakini Islam sejati (dalam artian tidak ada penambahan ritual dan semacamnya) harus ditegakkan, merasa perjalanan cintanya mentok. Karena Khalida (tokoh Ayushita kurang cukup kuat, udah sedewasa itu tapi dia masih perlu diselamatkan dari argumen oleh “masuk kamar!”) memiliki pandangan yang berbeda soal toleransi dan menegakkan ajaran agama. Asmara mereka eventually akan jadi ‘juru damai’ dan di poin inilah aku enggak setuju sama keputusan yang diambil oleh film. Bekerja begitu baik dengan nempatin diri di tengah, saat babak penyelesaian, mau tak mau film harus kelihatan memihak kepada pilihan yang musti diambil oleh tokoh utama. Dan ini bikin ceritanya melemah, karena memang hooknya enggak kuat. I mean, apa sih hal terburuk yang terjadi kalo Kamal enggak jadian sama Khalida? Kamal ngambek loh, mintak orangtuanya mengerti apa yang ia rasakan dan ‘berdamai’ agar bisa melamar Khalida. Shouldn’t it be the other way around- mereka berdua bersatu dulu, baru bareng usaha mendamaikan yang lain? Dan Khalida comes off rather shallow, dia ingin Kamal berubah demi dirinya, and hey noleh dong, itu si Faruk insaf ke jalan yang lurus karena cintanya lu tolak loh haha.

Penggarapan porsi drama ini juga terasa enggak seserius bagian yang lain. Pengulangan shot di taman yang actually gak berarti apa-apa. There’s attempt to make this sebagai kisah cinta segitiga, namun gatot lantaran tokoh Ibnu Jamil sama sekali gak ngapa-ngapain. I don’t get it why Hasan ini terlihat begitu penting, karena ganteng? Dia jarang terlihat ngumpul bareng yang lain, ke Mesjid juga jarang. Film ini bisa lebih tight lagi jika kita diperlihatkan lebih banyak interaksi antarwarga di kampung. Bagian teroris yang dikaitkan dengan actual event juga terasa abrupt.

Yang ingin kita lihat adalah dua kubu Islam akhirnya berjalan bersisian, dan perjalanan mencapai itulah yang bikin seru. Film ini memang mengakhiri diri dengan berusaha sebisa mungkin untuk ngampil posisi paling tengah, sebagaimana kita melihat Ustadz yang just being there demi kesopanan, dia enggak really ikut berpesta, tapi dengan tokoh utama yang ‘beralih’, seolah menggiring kita ke gagasan bahwa yang dipilih itulah the right thing to do. But it is not. Itu adalah cara termudah untuk mengakhiri konflik, dan itulah yang membuat nilai film ini jatuh buatku.

Terkadang kita suka memperebutkan sesuatu yang belum kita punya. Mempermasalahkan yang kita sendiri enggak punya jawabannya. Kayak Faruk dan Ketel yang heboh membahas duit yang belum ketauan juntrungannya, kita sibuk saling bertengkar membagi-bagi pahala dan dosa yang tidak satupun dari kita punya kuasa atasnya.

 

 

 

Mengambil tema cerita yang sangat unconventional buat scene religi tanah air, film ini bagai bid’ah yang diperlukan. Penting untuk ditonton karena memberikan banyak bahan renungan. Akan tetapi secara penceritaan, inovasi yang dilakukan seolah tersendat oleh tropes yang enggak begitu diusahakan untuk dihindari. It could be so much better jika drama cinta enggak jadi fokus nomor satunya. Babak ketiganya sedikit terseok-seok due to effort naskah mengaitkan semua saga karakter yang ada kepada plot tokoh utama, which is not really paid off well karena memang perspektifnya kalah menarik dibanding yang lain. Film ini seharusnya tetap di tengah, dan enggak abisin terlalu banyak waktu menumpul di eksplorasi asmara.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BID’AH CINTA

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.