STAR WARS: THE LAST JEDI Review

“The opposite of Love is not Hate, but Indifference”

 

 

Luke adalah Yoda. Dan Kylo Ren adalah Bezita. Itu teori yang kupatenkan setelah aku selesai nonton The Force Awakens tahun 2015 yang lalu. Yup, aku memang termasuk salah satu penonton yang suka berspekulasi dan nebak-nebak dan bikin kajian lengkap sendiri terhadap sebuah film. Jika kalian juga begitu, maka kita bisa jadi teman baik ngobrol berjam-jam membahas film. Aku tahu bukan aku sendiri yang punya penyakit begini. Di internet banyak kita jumpai artikel-artikel semacam “Fakta Mengejutkan Seputar Star Wars” yang membahas berbagai kemungkinan seperti Rey itu anak Luke, atau Rey itu saudara kembar Ren, atau yang paling gampang; bahwa Rey adalah Jedi Terakhir. Tidak satupun prediksi dan teori tersebut terbukti benar. Star Wars: The Last Jedi, di tangan sutradara Rian Johnson yang biasanya membuat film-film ngeart, MENGENYAHKAN SEMUA EKSPEKTASI DAN BERCERITA DENGAN SUARA KHASNYA SENDIRI.

Itulah yang membuat pengalaman nonton film ini terasa begitu menyenangkan. Ada begitu banyak kejutan yang diberikan. Seni dalam film ini adalah bagaimana mereka memainkan konflik moral, membuat kita terombang-ambing di dalam dilema para karakternya. Dalam lapisan terluar, The Last Jedi sukses menjelma menjadi film dalam franchise Star Wars yang punya sekuens aksi yang paling menarik dan sangat menghibur sejauh ini. Ada aksi tembak-tembakan Millenium Falcon yang sangat keren; visual efeknya makjaaaanggg! Tarung lightsabernya adalah yang terbaik dari pernah kulihat dari seri Star Wars. Dengan wide shot nampilin para tokoh dari kepala ampe ujung kaki, mereka pasang stance masing-masing, kemudian “zing..zingg…zinggg”, mereka udah kayak ngayunin samurai dengan koreografi dan pengaplikasian lightsaber yang begitu awesome

Plus para Porg itu imut bangeettt. Dan perlu dicatet mereka enggak annoying

 

The Force Awakens literally berakhir dengan cliffhanger, cerita dibiarkan ‘menggantung di tebing’. The Last Jedi melanjutkan ceritanya tepat di kejadian itu, dan itu sama sekali di luar apa yang kita kira. Contoh simpelnya adalah Luke Skywalker yang tampak begitu cool sampe jadi intimidating saat didekati oleh Rey yang mengulurkan lightsaber, ternyata malah membuang senjata paling keren sealam semesta tersebut dalam fesyen yang mengundang kikik penonton. The Last Jedi memang mengeset ulang franchise Star Wars hampir seperti gimana Thor: Ragnarok (2017) merevitalisasi karakter dan persona Thor.  Jadi, Rey harus berusaha minta diajarin menggunakan The Force kepada Luke yang memilih mengasingkan diri. Sementara Poe, Finn, dan pasukan Resistance yang lain di bawah pimpinan Leia (serius, agak tercekat haru nih ngeliat Carrie Fisher, ihiks) berjuang sebisa mungkin untuk bertahan, sukur-sukur bisa melakukan serangan balasan, dari serangan First Order yang semakin nafsu memburu mereka. Yang paralel dari perjalanan para tokoh adalah gimana mereka sama-sama membutuhkan ‘spark’ untuk membalikkan keadaan; sebuah percikan yang bisa membuat mereka di atas angin dan semakin kuat. Namun, percikan apa sih yang dimaksud? Itulah yang harus mereka cari tahu.

Hakikat dari berjuang dan menang sebenarnya bukanlah ‘berhasil mengalahkan yang kita benci’. Melainkan adalah melindungi orang-orang yang kita sayangi. Cinta dan benci memang adalah perasaan yang intens yang kita rasakan terhadap sesuatu hal, terhadap orang lain, jadi in a way, cinta dan benci adalah perasaan yang sama, yang diekspresikan berbeda. Ini yang tercermin dari Kylo Ren dan Rey. Mereka basically adalah pribadi yang sama; mereka punya kekuatan yang sama, tapi mereka tidak bisa ‘melukai’ satu sama lain. Setidaknya belum, karena sesungguhnya lawan dari cinta bukanlah kebencian. Melainkan ketidakpedulian, sesuatu yang hampir saja dilambangkan oleh Luke dalam cerita epik kebingungan moral ini.

 

“Pada dasarnya, aku sama sekali enggak setuju sama setiap pilihan yang kau tulis buat tokoh Luke”, begitu pengakuan Mark Hamill ketika dia pertama kali disodorin skrip film ini oleh si sutradara. Luke Sykwalker memang benar-benar dibuat ‘tak disangka-disangka’. The Last Jedi adalah film yang lucu. Banyak lelucon kocak di sana-sini. Namun hebatnya, lucu-lucuan tersebut tidak pernah digunakan dengan mengorbankan karakter ataupun cerita ataupun pakem mitologi yang sudah ada. Semuanya bekerja dalam konteks. Buktinya, Luke Skywalker tidak jatoh konyol. Malahan, dia adalah salah satu karakter paling keren dalam film ini. Salut itu pantas juga kita berikan buat Mark Hamill yang jelas bekerja profesional. Semua arahan yang diberi kepadanya berhasil dia eksekusi dengan meyakinkan. Ada eksplorasi mengapa karakter ini mengasingkan diri, Luke bergulat dengan sebuah tragedi masa lalu, semua itu ditampilkan dalam visi yang sangat sangat berbeda. Aku gak pernah tahu aku ingin melihat Luke yang seperti ini, dan hasilnya memang sangat keren.

Sebagai seri kedelapan dari seri film populer, akan sangat sia-sia jika mereka enggak bermain-main dengan referensi dari film-film sebelumnya. Justru adalah hal yang wajar jika mereka melanjutkan sistem yang sudah ditetapkan, merecognize aspek-aspek dunia dalam cerita mereka. The Last Jedi toh memang memasukkan adegan referensi, akan tetapi tidak semata sebagai penghibur buat penggemar Star Wars. Enggak terasa seperti mereka memasukkan hal begitu saja supaya kita bisa “hey lihat itu si anu”, kayak di Rogue One (2016) di mana kehadiran C-3PO tampak sekedar dimasukin aja. Alih-alih demikian, yang dilakukan oleh film ini adalah memasukkan hal-hal yang sudah terestablish, merecognize pakem dan kelemahannya, dan eventually mempertanyakan hal tersebut lewat karakter baru, yang masuk akal dong kalo si karakter ini enggak punya pengetahuan tentang itu. Misalnnya ketika film ini mengeksplorasi gimana Jedi yang udah seperti semacam aliran kepercayaan, dipertanyakan aturan-aturannya oleh Rey, dan sebagai jawabannya, film actually melandaskan pakem baru yang sangat mengejutkan.

Tokoh di film ini udah kayak Big Show, sering ‘turn’ antara baik dan jahat

 

Penampilan Daisy Ridley seolah berkata “Lihat gue, gak nyesel kan lo udah milih gue sebagai Rey!” Cewek ini dahsyat banget kalo udah urusan adegan-adegan dramatis dan bagian-bagian berantem. Tokoh Rey dibentuk dengan sangat baik sebagai protagonis utama, dia kuat, dia mau belajar, dan dri berbagai pilihan yang dia ambil jelas tokoh ini bergerak dalam moral kompasnya sendiri. Menurutku, secara karakterisasi, si Rey inilah yang paling dekat dengan Anakin. Kupikir film berikutnya akan mengeskplorasi gimana Rey adalah apa yang terjadi kepada Anakin jika dia tidak menyeberang ke Dark Side.

Tokoh favoritku di film ini, bagaimanapun juga, adalah Kylo Ren. Penampilan emosional yang sangat luar biasa dari Adam Driver. Kita sudah dapat melihat sedari Episode VII bahwa Ben Solo adalah karakter yang sangat conflicted. Dia bukan antagonis biasa, dia lebih dalem daripada itu. Dia adalah petarung yang belum matang, dia diliputi kemarahan, dia belum siap, dan di Episode VIII ini kita akan lebih mengerti kenapa. Kita jadi dapat melihat alasan dia begitu mengidolakan Darth Vader, meskipun aspek ini diberitahukan impisit oleh narasi. Kylo diberikan kesempatan untuk bersinar di sini. Aku suka koneksi yang tercipta antara Ren dengan Rey. Aku sungkan untuk ngebahas lebih banyak soal ini, karena menurutku ini adalah aspek terpenting cerita yang harus kalian alami sendiri.

Semua tokoh diberikan kesempatan untuk unjuk kebolehan. Bahkan Chewie dan BB-8 dikasih momen tersendiri. Arc si Poe juga cukup menarik. Aku suka gimana tadinya dia melanggar perintah Leia, dan kemudian di babak akhir, dia berada di posisi pemberi perintah dan guess what; dia mendapati perintahnya dilanggar. Masalahku hanya ada pada ceritanya si Finn. Secara berkala, narasi akan membuat kita mengikuti petualangan Finn bersama tokoh cewek baru, Rose. Mereka punya misi mencari seorang pemecah kode, jadi dua orang ini pergi ke sebuah planet. Aku enggak bisa menikmati bagian ini, karena setiap kali kita balik ke mereka, cerita menjadi melambat. Malahan, hampir terasa seperti menjadi sebuah cerita lain, sebuah film pendek petualangan ke planet yang bahkan gak terasa seperti planet dari galaksi far far away. Setting lokasi yang Finn dan Rose datangi adalah setting yang gak aneh bagi kita penduduk Bumi. Dan yang  mereka lakukan juga gak benar-benar menarik. Terasa seperti detour yang gak diperlukan. Tentu, apa yang mereka kerjakan tersebut memiliki dampak di akhir cerita, semuanya ada koneksi, hanya saja mestinya ada cara yang lebih baik dalam menceritakan ini.

 

 

Yang perlu aku tekankan adalah film ini membuatku terhibur, amat malah. Maksudku, Luke malah jadi kayak Goku di sini hahaha. Dan setelah nonton dua kali, teoriku soal ‘Luka Adalah Yoda’ masih belum tertutup gagal seratus persen, asal jangan diartikan secara harafiah tentunya; Anak kecil yang nonton juga pasti tahu Luke dan Yoda adalah dua makhluk yang berbeda. Namun, kesamaan arc mereka sangat mencengangkan, penggemar sejati pasti ngerti deh apa yang kumaksud. Secara struktur, however, ini adalah film yang bisa berdiri sendiri. Sebuah cerita pertengahan dari sebuah trilogy yang tidak terasa seperti bagian dari rangkaian produk. Film yang memiliki awal-tengah-akhir dari sudut karakter-karakter yang mampu membuat kita peduli. Pencapaian teknisnya juga luar biasa, sekuens aksi dengan wide shot tercantik yang bisa kita harapkan dari film fantasi seperti ini. Ada sekuens yang belum pernah kita saksikan dalam franchise Star Wars. Mitologi Jedi pun mendapat penggalian yang lebih dalam, ada pengetahuan baru yang bisa kita dapat mengenainya. Dan setelah menonton film ini, kita akan memohon semoga semua petualangan awesome itu tidak pernah berakhir.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STAR WARS: THE LAST JEDI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kami mau ngucapin terima kasih buat kamu-kamu yang udah sudi mampir baca dan bahas film di sini sehingga My Dirt Sheet jadi kepilih sebagai nominasi Blog Terpilih Piala Maya 6.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

BLADE RUNNER 2049 Review

“Our memories are not always our own”

 

 

Di masa depan, waktu di mana mobil bisa melayang, kota-kota menjulang, hologram dan teknologi sudah pesat berkembang, tetapi lingkungannya sangat suram. Tidak adakah manusia yang menjaganya? Masa depan adalah waktu di mana manusia telah tersesat, sementara robot-robot android yang mereka bangun mengetahui persis apa yang jadi keinginan hidupnya; ingin menjadi manusia. Ironi itulah yang menjadi tema utama di balik beragam dimensi cerita Blade Runner 2049.

Satu lagi cerita pinokio, pencarian jawaban terhadap eksistensi, hanya saja digarap dengan nuansa filosofis kental menghiasi penceritaan yang sangat kuat. Memancing emosi dan pikiran. Meskipun eksterior film suram dan dingin banget, kota-kota gelap, San Diego udah beneran kayak kota sampah di salah satu adegan, ada hati yang hangat berdenyut di dalam cerita. Statusnya sebagai film sekuel tidak menjadi beban, sebab sukur Alhamdulillah, Denis Villeneuve mengerti apa yang harus dia lakukan ketika menangani sekuel dari karya flawed-masterpiece seperti Blade Runner (1982). Kenapa aku bilang flawed, well Blade Runner original udah bikin pembuatnya bingung. Ridley Scott mengeluarkan tiga versi film, masing-masing dengan editing cerita yang berbeda, sebab tampaknya Scott masih belum puas. Film tersebut punya pengaruh besar bagi sci-fi scene, tema filosofisnya mengundang banget untuk kita menontonnya lagi dan lagi. Dengan begitu, alih-alih ngotot ngereboot atau menjadikan sekuel ini set up dari franchise baru, Villeneuve merekonstruksi cerita tiga babak yang sangat kuat. Plotnya punya awal-tengah-akhir, Blade Runner 2049 adalah film yang benar-benar punya cerita, yang kokoh berdiri sendiri, it’s a very contained, dan aku harus bilang ini adalah salah satu film terbaik yang bisa kita saksikan di tahun 2017.

Tanpa kenangan, kita bakal nyasar. Akan tetapi,Blade Runner 2049 mengungkapkan bahwa beberapa kenangan yang paling berharga bagi kita bisa jadi bukan milik kita.

 

Ketika para robot android tidur, mereka bermimpi menjadi manusia. Mereka ingin merasakan ‘keajaiban’ hidup yang hanya bisa dirasakan oleh manusia. Agen KD6-3.7 tahu persis dirinya adalah Replicant – sebutan untuk android yang dibuat demi membantu pekerjaan manusia. K bekerja sebagai Blade Runner, polisi yang melacak Replicant-Replicant liar untuk kemudian ‘memensiunkan’ mereka. Mungkin karena itu, dia juga membayangkan dirinya sebagai sosok yang lebih mulia daripada replicant-replicant yang lain; bahwa dialah yang paling mendekati apa yang disebut dengan manusia. Ryan Gosling – keliatan sedikit berotot dibanding penampilannya di La La Land (2016) – bermain dengan teramat baik di sini. Selagi dia bepergian ke tempat-tempat, mencari petunjuk dalam investigasinya mengenai sebuah misteri kasus masa lalu, Gosling’s K harus berurusan dengan berbagai macam emosi, terutama ketika setiap misteri yang ia buka membuatnya belajar hal baru yang menimbulkan gejolak pada dirinya. Susah baginya untuk bagaimana menanggapi hal yang ia sibak, penampilan Gosling di sini sangat menarik untuk kita simak. K harus mencari Deckard (tokoh utama Blade Runner original), sebab Deckard-lah yang bisa membantunya. Harrison Ford bermain sangat menakjubkan, di usianya dia masih mampu melakukan banyak aksi fisik. Di sini dia sangat terguncang oleh kejadian masa lampau, dan kita akan belajar kenapa dia melakukan apa yang ia lakukan, kalian akan bisa memahami tokoh ini walaupun belum nonton film yang pertama. Blade Runner 2049 bekerja dengan sangat baik menjelaskan tanpa pernah menjadi terlalu eksposisi dan tidak sekalipun emosi terlupa untuk digaungkan.

kirain ingatan masa kecilnya adalah waktu jadi Mousekeeter di Mickey Mouse Club hhihi

 

Untuk kali ini, aku gak akan beberin banyak plot poinnya, kalian harus saksikan sendiri sebab film ini worth banget untuk ditonton. Serius, cari deh yang layarnya paling gede dan suara paling kenceng sekalian. Bagi para penggemar berat Blade Runner yang menanti jawaban – mungkin lengkap dengan catatan teori sendiri – salah satu pertanyaan sinematik terpenting sepanjang masa “Apakah Deckard manusia, ataukah dia Replicant?”, maka rasa penasaran dan teori kalian mungkin akan bertambah. Film ini menawarkan jawaban tanpa pernah benar-benar tegas akan hal tersebut. Banyak kejutan yang bakal bikin kalian menggelinjang, aku sempat di”sssst!”in sama penonton di sebelah lantaran kelepasan ngomong “Ohmygod What!!?” kenceng banget di salah satu adegan Jared Letto mereveal sesuatu di bagian akhir.

Kalo itu belum mampu untuk mendorong kalian bangkit dari depan laptop dan segera ke bioskop, mari aku beri sedikit ilustrasi pribadi; Aku gemar nonton film bisa dikatakan rada telat, karena aku tumbuh di kota yang gak ada bioskop. Dan lagi kata mentorku, aku lahir di tahun yang salah. Aku tidak pernah menyaksikan klasik seperti Psycho, The Shining, bahkan Jurassic Park di bioskop. Tapi kemudian aku menyaksikan film-film kayak Enemy (2014), Sicario (2015), Arrival (2016), dan Blade Runner baru ini, yang membuatku berpikir “Maaan, seperti inilah rasanya menonton filmmaking kelas Master di bioskop” Jadi poinku; sukurilah Denis Villenueve selagi kita masih bisa nyaksiin karyanya yang udah kayak Hitchcock atau Spielberg modern secara langsung. Di bioskop!

Ingatan tentang kejadian baik lebih tidak bisa dipercaya dibandingkan dengan ingatan buruk. Kita bisa sampai pada kesimpulan ini demi melihat gimana proses ingatan masa kecil dipasangkan kepada para replicant. Dan episode Total Rickall serial Rick and Morty akan menguatkan teori ini. Ingatan kita tidak bisa dipercaya sebab kita mengingat dengan perasaan. Kita cenderung suka tampered with good things, yang kita ingat sebenarnya bukan kejadiannya, melainkan apa yang kita rasakan saat itu. Dan ketika merelive lagi, perasaan tersebut akan dibesar-besarkan. Kenangan yang terlalu detil, seperti kenangan anak ulangtahun yang dilihat K sedang dalam proses pembuatan adalah kenangan sintetis, sedangkan memorinya tentang dibully, meskipun tampak aneh dan kurang detil, justru adalah yang otentik dan benar terjadi.

 

 

Aku mengerti kenapa banyak yang was-was ngeliat durasinya yang memang panjang banget, nyaris tiga jam. Film memang banyak menghabiskan waktu dalam bercerita, ada banyak yang disampaikan sehingga bikin bingung. Beberapa orang di studio juga kedengaran bilang bosan pas keluar, bahkan di tengah film ada suara orang menguap. Nah, kalo urusan bosan ini aku kurang mengerti gimana bisa seseorang merasa bosan padahal sepanjang film matanya terus disuapi pemandangan-PEMANDANGAN BERGIZI? Visual film ini marvelous banget, kandidat kuat sekali untuk sinematografi terbaik Piala Oscar. Aku sampai lupa ngunyah permen karet saking takjubnya ngeliat layar. Tampak begitu hidup seolah kita bisa menjangkau ke dalam layar, dan masuk ke dunia tahun 2049 tersebut. Agenda filosofis film ini juga semakin lancar tersampaikan berkat iringan musik yang eerienya menyentuh banget. Blade Runner 2049 akan ngingetin kita semua kenapa kita suka nonton film. Craftmanship dan treatment adegannya luar biasa. Aku jadi teringat masa ketika aku nonton Mulholland Drive dan seketika tergerak pengen nulis cerita dan ngerekam, punya mimpi bikin film sendiri.

atau malah bikin hopeless kita gak akan pernah bisa bikin karya semasterpiece ini

 

Film ini sendirinya adalah sebuah mesin yang indah sekali untuk ditonton. Untuk diselami. Untuk dinikmati. Penokohan karakternya paralel. Aku senang Batista dapat peran yang cukup signifikan sehingga dia bisa bermain di luar karakter Drak, and he plays it good. Romansa antara K dengan hologram yang ia pasang di rumahnya sangat membantu pengembangan karakter, kita bisa simak K belajar banyak dari Joi soal keinginan untuk menjadi manusia. In fact, setiap karakter yang dijumpai K adalah pembelajaran. Dari elemen ini, aku melihat satu (dan hanya satu) kekurangan pada film. Mungkin menyadari ceritanya yang panjang dengan banyak informasi yang harus disusun oleh penonton, film memberikan sedikit kemudahan berupa pengulangan dialog via voice-over yang bergaung di dalam kepala K. Ada banyak adegan ketika tokoh kita diam, suara karakter dari adegan sebelumnya diperdengarkan kembali, kemudian K pasang tampang dia berhasil menyimpulkan sesuatu. Menurutku, di sini film agak meremehkan penonton. Karena bagi penonton yang benar-benar memperhatikan, dialog-dialog untuk mengingatkan itu sama sekali tidak perlu. Kita sebagai penonton mestinya bisa memilah mana informasi penting, mengingat, dan menyambungkannya sendiri.

 

 

 

Ini adalah jenis tontonan yang begitu menakjubkan, visual mewahnya secara konstan menyuapi mata, sehingga mampu menginspirasi banyak orang. Meskipun bercerita tentang makhluk buatan, tidak ada yang terasa seperti replika. Emosinya genuine. Perasaan yang disampaikan tokoh-tokohnya begitu manusiawi. Lewat plot yang kuat, pembangunan dunia yang masuk akal, dan rentetan pertanyaan filosofis yang mengalir mulus sebagai dimensi cerita, film ini sukses berat menjadi bukan saja salah satu sekuel terbaik – dia bisa berdiri sendiri, enggak tergantung kepada film lain – namun juga film terbaik yang pernah ada.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLADE RUNNER 2049

 

 

 

That’s all we have for now.
Buat yang mau nonton Blade Runner (1982) bareng sambil diskusi, dateng aja ke markas My Dirt Sheet di kafe es krim Warung Darurat, Jalan Teuku Umar 6A, Dipati Ukur, Bandung. Kami muterin film by request!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE DARK TOWER Review

“Mind over matter”

 

 

Jake Chambers punya mimpi. Mimpi buruk sekali. Ada menara hitam menjulang tinggi, seolah menopang seluruh semesta. Anak-anak diculik oleh sekelompok orang yang kulit wajahnya bisa melorot. Lalu ‘pikiran’ anak-anak itu diperas untuk meruntuhkan menara tersebut. Dan Jake melihat Pria berpakaian hitam berlari di gurun, diikuti oleh seorang Gunslinger. Perang sedang berlangsung di suatu tempat. Sesuatu yang buruk sedang terjadi terhadap dunia, Jake sadar mimpinya berhubungan erat dengan gempa yang semakin sering terjadi di kota tempat dia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Tapi tentu saja enggak ada yang percaya. Malahan, alih-alih senang anak punya imajinasi yang hebat, demi melihat sketsa-sketsa yang digambar Jake untuk menjelaskan mimpinya, Ibu Jake yang cakep itu malah hendak mengirim Jake ke rumah sakit jiwa. Jake kabur, dia lantas menemukan sebuah portal yang membawanya ke dunia yang ia lihat lewat mimpi. Tak lama bagi Jake untuk bertemu dengan Gunslinger, mereka bertualang bersama. Untuk menyelamatkan dunia. Serta membalaskan dendam personal si Gunslinger kepada si Penyihir berbaju hitam.

Kecuali kalian punya pistol, percaya sajalah pada mimpimu.

 

Setiap kali kita hendak mengadaptasi entah itu novel, anime, serial tv, atau bahkan film dari negara lain, menjadi sebuah film, kita akan selalu menemukan masalah. Ekspektasi dari fans akan senantiasa tinggi, mereka akan minta film yang semirip mungkin ama source materialnya, dan itu bisa jadi penghalang kreativitas yang dimiliki oleh pembuat film. Jika ada yang aku setujui dari pola pikir Vince McMahon dalam menyuguhkan konten acara gulat WWE, maka itu adalah bahwa fans enggak tahu apa yang mereka mau. The Dark Tower benar-benar menerangkan DEFINISI ‘ADAPTASI’ kepada fansnya. Cerita The Dark Tower diangkat dari seri terkenal dari salah satu author horor favoritku, Stephen King, dan aslinya cerita ini ada delapan buku. Ketika jadi film, tim penulis skenario tidak mengambil satu buku dan meringkasnya. Film ini mengambil resiko; mereka ngemash up kejadian kedelapan buku sekaligus! Aku belum ngatamin membaca semua seri The Dark Tower, maka buatku film ini adalah sebuah petualangan aksi supernatural yang oke-oke saja. Suka amat enggak, sepele juga enggak. Ada fun juga deh ngikutin petualangan yang satu ini. Tapi meski begitu, aku bisa menebak para fans dari serial ini akan kecele berat, karena film jelas akan sangat berbeda dengan apa yang sudah mereka nanti-nantikan.

Ketiga tokoh sentral The Dark Tower  berkembang lewat kemampuan mereka menggunakan mental yang kuat, lebih daripada kemampuan fisik. Jake punya bakat psikis yang luar biasa. Penjahat utama film ini adalah seorang penyihir yang mampu memerintahkan orang lain melakukan apa yang ia sampaikan kepada mereka. Dalam salah satu jampi-jampinya, si Gunslinger bilang bahwa ia membunuh bukan dengan pistol, melainkan dengan hati. Kedisiplinan pikiran sejatinya bisa mengalahkan kekuatan otot. Latihlah kekuatan otak, imajinasi, dan keyakinan hati sebelum belajar untuk menggunakan fisik sebagai solusi.

 

Langsung keliatan beda adalah tokoh utamanya. Bukan lagi kepada Gunslinger, film menempatkan kita ngikutin Jake Chambers. Alasan yang terpikirkan olehku adalah karena cerita tentang remaja bermasalah dianggap mewakili lebih banyak kalangan penonton; untuk alasan yang sama juga kenapa kita mendapat adaptasi Stephen King yang berating PG-13, padahal King punya nama bukan sebagai pengarang novel young adult. Apart from that, aktor muda Tom Taylor memerankan Jake dengan mumpuni. Dia dapet range karakter yang lumayan luas, dari yang tadinya pendiam menjadi pemarah, dia melalui banyak perasaan emosional. Stephen King adalah master dari cerita balas dendam, tokoh Roland si Gunslinger meski agak kedorong ke belakang, namun kita masih bisa ngerasain elemen personal yang menghantui dirinya. Mata Idris Elba menyimpan banyak emosi. Jake dan Roland selain punya hubungan yang menyentuh hati juga diberikan momen-momen humor yang terdeliver bagus. Seperti pada Wonder Woman (2017), ada aspek fish-out-of-water yang menghibur saat Jake belajar tentang dunia Roland, dan begitu juga sebaliknya saat Roland dilarang ngeluarin – bahkan bicara tentang – pistol di Bumi kita.

Tokoh antagonisnya lah yang sedikit membuat aku khawatir. Menjelang The Dark Tower rilis, aku ngadain pemutaran spesial film-film adaptasi Stephen King setiap malam di kafe eskrimku (boleh kaka cek insta kita di @warungdaruratbdg ~~), filmnya enggak semua bagus, dan tokoh jahat cerita-cerita itu kerap menjadi terlalu over the top. Matthew McConaughey is kinda perfect mainin Man in Black yang licik kayak ular. Gaya bicaranya worked really well. Dia tampak menikmati perannya. Masalah datang dari si tokoh sendiri; he’s just an evil powerful sorcerer. Kita enggak diberikan pengetahuan soal kenapa dia ingin menghancurkan menara dan memanggil monster-monster itu. Darimana dia bisa ngumpulin organisasi Wajah M’lorot, apa motivasi terdalamnnya. Kita enggak mendapatkan semua itu. Kita hanya mendapat apa yang kita lihat di permukaan, dan menurutku ini sangat mengecewakan.

Secara lengkapnya, ‘mantra’ yang dikumandangkan Roland sebelum beraksi berbunyi “I do not kill with my gun; he who kills with his gun has forgotten the face of his father. I kill with my heart.” Dengan penekanan kepada ‘(who) has forgotten the face of his father.’ Ada tema tentang ayah yang juga diparalelkan dengan kehidupan Jake. Orang yang melupakan wajah ayahnya, dalam artian tidak lagi orang tersebut ingat latar belakang dirinya sendiri, adalah orang yang tidak pantas untuk memegang senjata; dalam hal ini bisa diartikan sebagai enggak pantas untuk memegang power. Sebab dia tidak lagi ingat apa yang mendasari motivasinya, dia tidak lagi punya kekuatan hati.

 

some of us will not forgot the face of Jake’s mother soon

 

 

 

Sayangnya, resiko yang berani diambil oleh The Dark Tower hanyalah sebatas ngerangkum keseluruhan buku dan ngurangin durasi. Masih ada hiburan serta pelajaran yang bisa kita ambil dari nonton ini.  Sekuen aksinya pretty good, banyak stunt dan spesial efek yang menarik. Hanya saja semuanya terasa terlalu konvensional. Tidak ada adegan ataupun momen yang benar-benar mindblowing. Lupakan juga aspek horor. Film ini jatohnya seperti film-film petualangan biasa sebab kita tidak pernah benar-benar merasakan pembangunan semesta cerita. Padahal sebagian besar dialog film ini wujudnya berupa eksposisi. Jake, dalam perspektif penceritaan, tak lebih dari sekadar device gampang untuk menghadirkan penjelasan universe. Dan tetap saja di akhir cerita kita sadar kita enggak belajar banyak mengenai dunia fiksi ini. The way they present certain things seolah semua penonton sudah punya pengetahuan dasar tentang serial bukunya.

Ngebangun cerita sudah semestinya jadi tujuan filmmaker demi membuat film yang bagus. Namun, seperti banyak film modern yang lain, film ini juga cenderung lebih fokus dalam membangun franchise instead. Ada banyak referensi terhadap karya Stephen King lain yang bisa kita temukan seakan-akan mereka ingin membuat Universe Stephen King. Kekuatan psikis yang dimiliki oleh Jake disebut “Shine” as in The Shining. Sebenarnya cukup annoying, tapi oleh karena aku lumayan bosen sama narasi film yang basic banget, aku toh jadi menikmati juga ketika melihat angka 1408, reruntuhan sirkus bertulisan Pennywise lengkap dengan balonnya, poster Rita Hayworth, mobil Christine, dan banyak lagi.

 

 

 

Enggak begitu buruk. Buat aku yang enggak nuntasin semua seri bukunya, film ini adalah tontonan yang bisa dijadikan hiburan, jika benar-benar enggak ada pilihan lain. Tapi buat fans berat, film ini bakal sama rasa mengecewakannya dengan diphpin ama cewek. Dengan source material sekompleks ini, film mestinya bisa menjadi lebih jauh lagi. Nyatanya dia tampil datar dan sangat konvensional. Mitologinya menarik, dengan background karakter yang mendalam. Namun film hanya membahas di permukaan. Tidak ada yang benar-benar berbeda yang bisa kita jadikan pengingat yang ikonik. Penampilan aktornya bagus; Elba dan MacConaughey is so great sehingga kita ingin meraih ke layar, mengangkat mereka, untuk dipindahkan ke film yang lain. Ibarat kata, film ini lupa membangun menara cerita terlebih dahulu untuk menopang semesta yang sekaligus berusaha mereka ciptakan.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THE DARK TOWER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS Review

“History is written by the victors.”

 

 

Apalah artinya sejarah, cuma dongeng yang disepakati bersama. Dulu banget Napoleon pernah berkata begitu. Kalimat yang enak banget buat diperdebatkan, namun berdering benar dalam film science fiction terbaru garapan Luc Besson yang diadaptasi dari komik asal Perancis.

 

Satu ras alien nyaris punah lantaran planet hunian mereka meledak, sebagai korban dari peperangan antargalaksi. Bayangkan Batman berantem dengan Superman di tengah kota. Gedung yang hancur, nah seperti itulah nasib planet cantik yang kita lihat di adegan pembuka film ini. Catatan tentang peristiwa naas tersebut dihapus oleh sekelompok orang jahat yang enggak ingin ‘prestasi’nya diketahui umum karena bakal berpengaruh terhadap apa yang sudah mereka usahakan selama ini. Mayor Valerian mendapat premonition tentang peristiwa itu. Bersama partner in crimenya, Sersan Laureline yang kece, Valerian mencoba memecahkan apa yang terjadi sekaligus berusaha untuk membantu segelintir penyintas ras tersebut mengembalikan peradaban, menyelematkan mereka dari kemusnahan.

Valerian and the City of a Thousand Planets seharusnya dijuduli Valerian and the City of a THOUSAND AWWWWWW. Visual film ini benar-benar spektakuler. Kita bisa dengan gampang nulis artikel internet semacam “Seribu Hal yang Menakjubkan di Valerian” karena memang ada sangat banyak penampakan yang bikin kita takjub. Efek CGInya terender mulus banget. Film ini dengan sukses menghidupkan fantasi penggemar science fiction di seluruh dunia; ada banyak jenis alien yang muncul dan desain mereka semua amat kreatif. Yang membuat rasa tertarikku semakin terpancing adalah sense optimis yang terkandung di dalam ceritanya. Universe dalam film ini berpusat di sebuah stasiun luar angkasa luar biasa besar. Ribuan alien dan manusia tinggal harmonis di sana. Montase di awal membuat kita mengerti gimana perdamaian semesta itu  bisa tercapai. It’s weird, but it’s okay to dream, kan ya. I mean, toh membuatnya menjadi relevan dengan kondisi dunia. Di mana kita mengharapkan hal yang sama bisa terjadi di dunia. Film ini pun berhasil meletakkan kita ke dalam perspektif baru; sudut pandang survivor yang sebenarnya enggak ada kaitan langsung dengan perang.

Gajah sama gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah.

 

Ini adalah petualangan luar angkasa yang seperti gabungan Avatar, The Matrix, dan yes, Star Wars. Meskipun begitu, film ini masih terasa orisinil. I have to say beberapa sekuens aksi film ini bakal bikin kita menahan napas. Valerian memanfaatkan konsepnya dengan baik, kita dapat menikmati contohnya di adegan kejar-kejaran antardimensi di Pasar. Di bagian tengah juga ada sekuen yang amazingly stunning di mana Valerian dengan suit pelindungnya berlari gitu aja, ‘menembus’ dinding-dinding, dan kita ngikutin dia melewati beragam environment dengan cepat. Permainan CGI yang luar biasa. Memang sih, beberapa  terasa seperti gabungan beberapa hal yang sudah pernah kita lihat, tetapi tetap teramat menarik karena dipersembahkan dengan lumayan unik. Adegan yang menyenangkan, nonetheless. Film ini punya banyak aspek untuk kita sukai.

Dalam kartun Dragon Ball kita belajar kalo sebuah planet intinya udah hancur, maka tidak butuh waktu lama buat keseluruhan planet tersebut runtuh dan menjadi debu di tata surya. Ini jualah yang menjadi masalah pada film Valerian; Inti narasi film ini tidak pernah benar-benar kuat. Jika kita liat dari dasar storytellingnya banget, maka kita akan menemukan kekecewaan. Narasi mengalami banyak pergantian tone, dan lebih sering ketimbang enggak, ceritanya highly uneven. Ada satu poin dalam narasi ketika kita mendadak diperkenalkan kepada tokoh yang diperankan oleh Rihanna. Kita ngeliat kebolehannya dia menari sembari instantly ganti kostum (udah kayak musik video), yang kemudian membawa kita ke adegan penyusupan yang kocak dan inovatif, untuk kemudian berakhir dramatis. Tonenya berganti dengan cepat, dan clashnya kentara sekali.

Valerian terutama bercerita dengan mengandalkan humor, dan untuk sebagian besar waktu enggak ada penonton yang tertawa. Ketika Valerian dan Laureline berinteraksi – Valerian menggoda, dan Laureline menepis dengan mau mau tapi dingin – humornya enggak nyampe. Datar. It just doesn’t work. And a lot of that datang dari ketiadaan chemistry di antara dua tokoh lead kita. Bantering keduanya kayak enggak punya jiwa. Kalaulah boleh diadu, permainan akting Cara Delevingne lebih meyakinkan daripada Dan DeHaan. Tokohnya pun memang lebih menarik Laureline sih. Bisalah disejajarin ama hero-hero wanita yang lagi hits sekarang. Cara memainkan tokohnya dengan level fierce yang pas, sehingga para penonton yang cowok pun bakal ikut penasaran ‘ngedapetin’ hatinya. Sebaliknya, Valerian malah terlihat seperti anak remaja yang pengen banget menjadi keren seperti Han Solo. Tokoh utama kita ini mestinya adalah seorang yang cocky, semau gue, lady-killer, dan ketika dibutuhkan; dia cakap beraksi. Tapi tidak sedetikpun dari dua jam lebih film ini aku percaya dan yakin kalo tokoh ini adalah space adventurer paling keren sealam semesta. Dan DeHaan adalah aktor yang cakap, tapi di film ini dia sangat enggak pas dengan peran yang ia dapatkan.

“ella ella eh eh”

 

Pretty much seluruh momen film ini disyut di hadapan green screen. CGI efeknya menawan. Gambarnya halus. Downsidenya memang adalah aktor-aktor yang terlibat bakal kesusahan untuk stay in character. Dan DeHaan serta Cara Delevingne cakep banget di kamera, beautiful people yang kamera udah jinak deh sama mereka. Namun berinteraksi dengan  practically nothing bukanlah hal yang gampang untuk dilakukan. Kedua aktor kadang terlihat off, maka terang saja kita enggak begitu tersedot kepada petualangan mereka. Relationship mereka kayak dipaksakan, dialog yang mengisi ‘pacaran’ mereka berdua antara humor gak-kena dengan kalimat puitis seputar tumbuhnya rasa cinta yang bikin kita meringis geli.

 

Ketika dua kubu atau lebih beradu, pemenang dari benturan tersebut akan mengukuhkan diri. Dibuatlah catatan kemenangan gimana heroiknya peristiwa yang mereka alami. Sementara yang kalah, akan menjadi catatan kaki. Mereka ada dalam belas kasihan pihak yang, katakanlah, hidup untuk menceritakan kisahnya. Terlebih buat pihak yang jadi colaterral damage, yang sengaja dikorbankan. Mereka enggak akan disebut sampai ada celah bagi pemenang untuk memanfaatkan mereka demi keuntungan sendiri.   

 

 

Masih ada banyak kesenangan yang bisa didapat dari menonton film ini. Punya tampilan yang cantik, semarak oleh warna dan efek yang mulus. Mampu membangun universe yang spektakular dan benar-benar hidup. Film ini akan menumbuhkan banyak pengikut yang setia dan sangat passionate, yang masih akan membicarakan film ini bahkan setelah bertahun-tahun. Para penggemar yang masih akan cinta dan enggak akan peduli bahwasanya penceritaan film ini sangat uneven. Banyak pergantian tone, menghantarkan kepada humor yang enggak bekerja dari tokoh lead yang hampir punya sedikit sekali chemistry.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ALIEN: COVENANT Review

“When you stray from the trail, that’s when you get lost.”

 

 

Susah memang untuk memuaskan banyak orang, toh begitu, Ridley Scott tetap berusaha. Dan buah dari perjuangannya itu dapat kita nikmati dalam wujud sci-fi horor terbarunya yang berjudul Alien: Covenant. Film ini terlihat sangat berjuang untuk berada di tengah, sepertinya sutradara ini mendengarkan keluhan protes penonton as Scott ngimbangin unsur filosofis penciptaan yang ia angkat lebih banyak di Prometheus (2012) dengan nostalgia horor yang sudah mengakar sedari Alien (1979)a very effective sci-fi thriller btw! Jadi, antara sekuel dari Prometheus atau prekuel dari Alien, film kali ini membahas dunianya dengan actually memberikan lebih banyak jawaban sekaligus tetap membuat kita tersedot oleh thrilling action, suspens, dan jalan cerita yang kali ini ditulis dengan sama baik dan rapinya, hanya saja lebih terang dan straightforward. Apakah hasil akhirnya adalah film yang lebih baik?

We be the judge.

Haha bukan mau mengakhiri ulasan ini lebih cepat, actually we have a long way to go. Tapi, of course, kita para penontonlah yang jadi hakim untuk sebuah film.

 

Saat selesai nonton, sejujurnya aku enggak bisa langsung mutusin palu penilaian buat film ini. I got a mixed feeling, ini soal cinta-fans lawan realita lagi, sih. Aku suka banget sama Alien dan Prometehus, serta Aliens (1986), sementara film-filmnya lainnya dari franchise ini; well ya, katakanlah aku gak cukup peduli untuk menonton mereka dua kali. Ridley Scott mengerti bahwa film sci-fi yang bagus adalah yang tidak memberikan semua jawaban dengan gamblang, dan film-film alien garapannya memang meninggalkan banyak bagian-tak-terjawab dan dibiarkan terbuka untuk interpretasi. Dalam Alien, kita tidak pernah dapet penjelasan siapa yang mengirim sinyal ke pesawat Ripley dan kenapanya. Tapi banyak fans (dan – herannya – kritik) yang menganggap apa yang dilakukan Scott terhadap cerita Promotheus terlalu, ah, enggak-fun. Didedikasikan untuk ngejawab beberapa, Alien: Covenant menjelma menjadi horor thriller yang amat SERU DAN MENYENANGKAN UNTUK DIIKUTI, lebih gampang untuk disukai, namun di lain pihak, juga terasa seperti VERSI YANG LEBIH LEMAH DARI GABUNGAN ALIEN DENGAN PROMETHEUS.

Alien: KoEnak

 

Buat yang belum nonton Prometheus (or even have no idea film ini ada hubungannya ama Prometheus), adegan pembuka antara David (Michael Fassbender‘s reprising his Android role dengan meyakinkan) dengan pembuatnya akan terasa sangat thought-provoking. Aku pun suka, jika saja aku bisa overlook bahwa adegan ini sebenarnya lebih kayak versi rangkuman karakter David yang dipersimpel. Dan kemudian kita dibawa terbang ke spaceship Covenant di mana belasan kru manusianya terbangun mendadak dari cryosleep. Kru android yang selalu stand-by, Walter (wow Michael Fassbender mainin dua android ‘kembar’ tapi juga essentially sangat berbeda), enggak perlu repot-repot jelasin sebabnya lantaran pesawat induk tersebut terang-terangan lagi dalam masalah. Peristiwa ‘kiamat kecil’ ini sukses bikin seisi awak trauma, sehingga begitu mereka menangkap sinyal dari sebuah planet yang bisa ditinggali – malahan, menurut data, planet ini bisa saja berpotensi lebih baik dari planet tujuan misi awal mereka, lebih dekat tujuh tahun pula! Kapten langsung memerintahkan Covenant untuk belok arah, menuju planet tersebut.

Alien adalah franchise yang kerap berganti-ganti genre, meski tetap mempertahankan beberapa ‘pakem’ yang sudah menjadi cirri khas. Elemen cerita Alien: Covenant tentang awak pesawat yang memilih untuk berganti jalur di tengah jalan, however, terasa seolah celetukan dari Ridley Scott tentang bagaimana mestinya franchise ini bisa menjadi lebih baik. Ini sama seperti ketika kita mengusahakan sesuatu; semestinya tetap fokus lurus pada tujuan dan tidak stray away, melipir ke mana-mana. Karena film ini memang terasa seperti usaha untuk kembali ke akar semula dari film Alien.

 

Paruh pertama ketika kru menjelajahi planet misterius adalah bagian film yang terasa refreshing. Inilah pertama kalinya (Alien Versus Predator kita anggap angin lalu saja , yaa) kita melihat alien memanfaatkan setting di lingkungan outdoor. Ridley Scott adalah sutradara yang punya mata tajam dalam urusan shot-shot cakep, yang setiap framenya bermakna terhadap narasi, it was actually a pleasant sight ngeliat horor scientific digenerate ke alam terbuka. Lihat saja sekuen ketika kru Covenant diserang Xenomorph baru di ladang yang penuh dengan ilalang dan gandum; adegan yang intensnya bikin kita nyaris berputar-putar ngeri di tempat duduk. Ridley Scott benar-benar cakap dalam mengolah situasi kacau menjadi pemandangan mimpi buruk yang indah.

kemudian coklat menghujani ladang gandum, dan PUFF..jadilah koko krunch!

 

Tampaknya sudah jadi pakem, atau bisa dibilang semacam running-jokes, dalam setiap film franchise Alien bahwa insiden Xenomorph (apapun variannya) menembus tubuh manusia selalu dimulai dari tindakan bego oleh tokoh-tokoh yang mestinya adalah orang-orang cerdas itu. Dalam film ini, cerita memberikan usaha yang efektif dalam menjustifikasi tindakan bloon tersebut. Sehingga kita bisa merasakan beban emosi kepada tokohnya, kita jadi mengerti kenapa mereka harus melakukan whatever it is yang mereka lakukan. Karena misi mereka adalah untuk bikin populasi pertama di planet baru, maka para anggota kru ini adalah orang-orang yang sudah menikah, atau paling enggak punya pasangan. Aspek ini bermain baik menghantarkan emosi dan pembenaran ketika ada satu kru yang tewas dan pasangannya meledak ngelakuin hal yang bertentangan dengan nalar. Benar, mereka semua pada dasarnya adalah umpan hidup, tapi sekali lagi film ini memainkan kekuatan yang dimilik oleh Alien orisinal; kita enggak tahu pasti siapa yang bakal bertahan hidup hingga akhir. Para aktor bermain sangat simpatis dalam menghidupkan tokoh mereka. Dan sekali lagi kita dapet tokoh utama berupa sesosok wanita setrong, yang tadinya aku kira bakal jadi tokoh yang annoying, tapi enggak. Ada sedikit jiwa Ripley dalam tokoh Daniels ini.

Ada satu kalimat dari tokoh Kapten, yang actually membuat karakternya lumayan kuat serta menarik sebab nunjukin gimana dia dealing with krisis kepercayaan – ditambah beberapa keputusan salah yang ia ambil sejak ditunjuk jadi pemimpin kru, dan kalimat ini relevan dengan keadaan negara kita sekarang. Kapten tersebut sedikit galau lantaran tadinya dia cuma Wakil, namun it was revealed dia enggak kepilih2 jadi Kapten; dengan alasan “Orang yang taat beragama tidak akan pernah diberikan kekuasaan, karena kau akan dianggap ekstremis. Dianggap seorang yang gila!” Padahal sebenarnya, taat beragama berarti taat pada satu jalan lurus.

 

Begitu lewat dari mid-point, narasi beranjak ke arah yang sedikit berbeda. Pertemuan David dengan Walter membawa kita ke bagian cerita yang difungsikan sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan oleh film Prometheus. Penampilan Fassbenderlah yang memegang peranan penting di bagian ini, kita melihat dia dengan begitu menariknya memainkan dua tokoh android yang memiliki pandangan yang berbeda. Emosi dan premis pada adegan dengan seruling kayu terasa sangat kuat tersampaikan. Karakter David dengan point of view yang twisted, yang terbosesi dengan prinsip Tuhan dan ciptaanNya terlihat meyakinkan sekaligus creepy in a thought-provoking way. Ketika dia memerankan Walter dengan kapasitas drama lebih utama, pun, Fassbender berhasil mempertahankan sisi compellingnya. Oleh karenanya, meski kita bisa berargumen soal apakah elemen ini justru merampas sisi drama survival karakter-karakter lain yang lebih seru dari kita, bagian akhir dari babak kedua pun masih bisa kita nikmati dari segi penampilan aktingnya.

Bagaimana jika Tuhan menciptakan manusia, hanya karena Dia bisa. Bagaimana jika sifat arogan kita sendiri yang membuat kita merasa begitu penting sehingga menganggap keberadaan kita punya suatu maksud tujuan. Bagaimana jika kita sudah menjadi sok pentingnya sampai-sampai kita akhirnya tiba di tahap bisa menciptakan android karena kita bisa. Dan sama seperti David, bagaimana jika kita sebenarnya terperangkap dalam ilusi menciptakan sesuatu; obsesi terhadap seni, terhada kreasi dan penciptaan. Obsesi menjadi Tuhan.

 

Tidak hingga di babak akhirlah semua nostalgia itu kumplit terasa. Kita akan dibawa kembali ke pesawat yang serta merta menjadi ruang tertutup. Film ini dengan sabar nahan-nahan kemunculan Xenomorph klasik yang sudah ditunggu-tunggu banyak penonton yang udah ngikutin franchise ini dari awal. Tampilannya mantep, Xenomorph adalah salah satu monster dengan desain terkeren dalam sejarah horor. Di sini, efek komputer dan efek praktikal berhasil digunakan bareng dengan sangat mulus untuk menghidupkan Xenomorph. Tapi ada perbedaan mendasar antara alien film ini dengan alien yang muncul di original. Dalam film Aliens jadul, tentu saja teknologi tidak sebaik sekarang; kita tidak melihat Xenomorph secara full, monster ini ditampillan ‘terbatas’, sehingga misteri dan suspen adalah senjata utama supaya bikin kita takut maksimal. And it was done dengan sangat efektif. Dalam film Covenant ini; Xenomorph tampil frontal, ketakutan datang dari cepatnya gerakan dan sergapan makhluk ini, bahkan di sini kita belajar banyak tentang asalmulanya, sehingga tak-pelak misteri seputar Xenomorph terasa sirna. Ditambah dengan elemen David/Walter yang predictable, film ini ditutup dengan note yang lebih rendah dari saat ia dimulai.

 

 
Sama seperti ketika kita membandingkan Ghost in the Shell (2017) dengan versi anime orisinilnya, film ini akan terasa seperti gabungan Alien dan Prometheus dengan level easy. Tidak begitu menantang pikiran karena cerita kali ini lebih straightforward. Film ini berusaha kembali ke akarnya yang berubah sci-fi body horor, dan ia melaksanakan misinya dengan gemilang. Dari jajaran franchise Alien, film ini termasuk yang paling seru. Gampang untuk disukai, film ini berusaha tampil seimbang dan memuaskan banyak orang. Sendirinya adalah film yang stunning. Editingnya precise. Kesannya film gede banget, hey, it’s an Alien movie by Ridley Scott! Masalahnya adalah aku suka Alien dan Prometheus untuk alasan yang dalam film ini dikurangi elemennya. Narasi film ini pun terasa lebih kacau buatku. Dan predictable. So yea.. untuk mempersingkat, kupikir yang gaksuka sama Prometheus bakalan suka banget sama film alien terbaru ini.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALIEN: COVENANT

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

COLOSSAL Review

“A person who cannot give up anything, can change nothing.”

 

 

Cewek, kalo marah, bisa jadi menyeramkan kayak monster. Tapi masalahnya adalah, Gloria enggak ingat dia marah. Malah, Gloria enggak bisa ingat apa-apa dalam rentang waktu dia mabok. Penyakit kecanduan minum wanita muda ini memang sudah sampai taraf gawat, Gloria kesulitan menahan diri untuk enggak menenggak sebotol bir yang nganggur di depan matanya. Padahal hidupnya sudah nyaris berantakan lantaran kebiasaan jelek tersebut. Pacarnya udah nyerah bilang “I can’t deal with this anymore.” Maka Gloria pun kembali ke kota tempat ia dilahirkan. Ingin berbenah diri, niatnya. Di kota masa kecilnya itu dia ketemu teman lama, yang mengajak Gloria bekerja di bar miliknya untuk sementar. Namun ada waku-waktu ketika Gloria tidak ingat dia ngapain sepulang kerja. Dan kini Gloria mendapati dirinya sedang menonton berita ulangan liputan serangan monster raksasa yang memporakporandakan kota Seoul di Korea Selatan. Yang bikin Gloria heran, dan takut; dia melihat monster tersebut ngelakuin gestur gerakan yang sama dengan yang ia lakukan setiap kali dia bingung. Jadi, Gloria harus mencari tahu apa dia ada hubungannya dengan kemunculan sang monster. Apakah memang dia yang bertanggungjawab atas hilangnya ratusan nyawa korban injakan mau tersebut.

Jika biasanya film-film yang menampilkan monster raksasa penghancur kota adalah cerita tentang manusia melawan alam, di mana metaforanya berskala besar; dan monster-monster tersebut adalah cerminan dari kecemasan global, maka Colossal menghadirkan monster yang sama sekali berbeda. Kaiju gede di sini adalah manifestasi dari ketakutan satu orang; rasa insekur yang menjelma menjadi teramat besar sehingga mampu menghancurkan kehidupan di sekitar orang tersebut.

 

Pernah mandi ujan tapi airnya air sirop? Enggak pernah kan, sama, aku juga belum pernah. Tapi aku yakin rasa menyegarkannya pasti sama dengan perasaan refreshing yang kita alami ketika melihat elemen-elemen cerita film ini perlahan turun. Karena memang film ini benar-benar berbeda dan orisinil punya. I was genuinely surprised by this movie. Baru sekali ini loh ada yang ngebahas aspek monster raksasa dengan perspektif seperti yang dilakukan oleh garapan Nacho Vigalondo ini. Fantasi sci-fi yang actually sangat membumi alias personal. Monster Reptil yang muncul dan bikin panik seisi kota tersebut dijadikan sebagai lapisan terluar. Di balik elemen tersebut, sebenarnya ini adalah tentang struggle seorang wanita yang berusaha mengatasi ketergantungan terhadap alkohol; seorang wanita yang berusaha untuk menata kembali hidupnya yang porak poranda akibat ‘penyakit akut’nya itu.

Ketika kalian was-was ngeliat diri sendiri terlihat jelek pas nampil di tivi

 

Pusat semesta dari cerita ini adalah Gloria dan temen masa kecilnya, Oscar. Sebagian besar waktu akan kita habiskan nongkrong bareng mereka di bar. Kedua aktor yang memerankan mereka, untungnya, mampu mempersembahkan penampilan yang menarik sehingga elemen drama yang juga dipunya oleh film ini dapat bekerja dengan baik. We’ll get into the drama aspect later, but, Anne Hathaway is really good in this movie. Dia berikan nuansa yang berbeda dalam pengekspresian karakter Gloria. Ada banyak emosi subtle yang ia tambahkan, bukan hanya pada unsur komedi, melainkan juga ketika elemen drama datang mengambil alih. She’s damaged, pribadi yang sangat bercela, tapi kita masih merasakan simpati karena kita mengerti usaha yang dilakukan olehnya. Dan tampaknya sedikit sekali aktor yang mampu memainkan Oscar selicin yang dilakukan oleh Jason Sudeikis. Dia adalah teman sepermainan yang sudah lama enggak ketemu ama Gloria, jadi vibe alami yang dikeluarkan tokoh ini adalah sedikit-misterius. Like, gimana bisa setiap kali dia tersenyum, kita bisa menangkap makna-makna yang berbeda. Dinamika hubungan Gloria dan Oscar – dua orang ini mendadak bakal highly at odds with each other – tak pelak akan menjadi begitu penting sehingga mengambil alih fokus.

Dan di situlah ketika film mulai berjuang untuk mempertahankan atensi kita yang masih tertinggal di Korea sana.

Elemen monster dalam film ini luar biasa keren lantaran begitu berbeda. Siapa sih yang enggak demen ngeliat film yang genrenya udah punya pakem kayak film monster ini ternyata dikembangkan dengan arah dan actually punya twist yang belum pernah kita lihat sebelumnya? Kalo kalian tanya aku, aku suka sekali dengan arahan yang diambil film ini dalam ngebahas elemen tersebut. Unik. Khususnya di bagian ending, shot terakhirnya bahkan sangat apik. Namun, ketika film ini membahas elemen drama yang lebih standar, tidak lagi ia terasa sekuat saat membahas elemen fantasi. Sejujurnya, adalah langkah yang sangat berani film ini membenturkan dua tone yang berbeda. Fantasi dan drama. Komedi dan serius. Colossal tampak punya AMBISI YANG KOLOSAL demi ingin ngegabungin itu semua, gimana caranya agar cerita sesimpel cewek yang berusaha membenahi hidup dan come in terms dengan apa yang sudah ia lakukan di masa lalu, tapi dikonfrontasi oleh masa lalu itu sendiri, bisa menjadi cerita yang sangat penting dan memiliki skala gede.

Tapi benturan dua tone tersebut just don’t match up. Enggak exactly merusak kayak jika Godzilla ketemu King Kong, sih. It’s just transisi antara dua tone itu enggak sepenuhnya mulus; cerita film ini akan beralih dari yang sangat kocak dan ringan ke sangat serius dengan mendadak di mana korban-korban berjatuhan. Problem dunia yang sangat serius, tapi kemudian kita lihat monster itu menari, lalu ada ancaman banyak orang terinjak, dan kemudian blank, it’s just doesn’t match up very well.

just.. drink it in, maaaan!

 

‘MENDADAK’ adalah kata kunci yang dipakai film ini untuk menjembatani tone-tone tersebut. Karakter Oscar adalah contoh berikutnya dari clashed tone yang hasil dari perantaraan si ‘mendadak’ ini. Dalam satu adegan, Oscar terlihat sangat perhatian. Dia baik, dia mengerti, dia peduli sekali. Membuat kita ingin gabung juga ke bar miliknya setiap kali ada masalah. Di hari berikutnya, senyum orang ini seperti punya makna yang lain, dia tampak seperti pembunuh berantai psikopat yang menakutkan dan sangat berbahaya. Kita enggak bisa tahu apa persisnya yang dipikirkan oleh kepala orang ini. Perubahannya begitu tiba-tiba sehingga seolah aku cabut ke kamar kecil di tengah-tengah film. Tapi enggak. Aku enggak melewatkan adegan Oscar membuat pilihan yang mengubah segala hal tentang karakternya. Perubahan tokoh ini memang sangat drastis, dan film ini menjadikan ‘mendadak’nya itu sebagai hal atau simbolisme yang penting di dalam narasi. Did it work tho? Well, obviously, not so much.

Ada satu pasang tone lagi yang buatku terasa enggak klop; Anne Hathaway dengan orang mabok! Hihi, I mean, look at her. Hathaway cantik banget dengan rambut lebat bergelombang dan senyum tigajari, dia tetap cantik seperti itu bahkan ketika dia hangover berat. Susah untuk percaya bahwa Gloria adalah seorang pecandu alkohol. Gloria akan lupa daratan; ia gak ingat waktu, dia alpa dan kesulitan mengingat kejadian ataupun sekedar apa yang dia ucapkan tadi malam, tapi tetep aja cewek ini terlihat menakjubkan. Alih-alih terlihat sebagai pemabok yang kerap terjatuh di lubang yang sama, tokoh ini lebih terlihat kayak cewek kuliahan yang sengaja dijelek-jelekin untuk menghindari masalah hidup.

Monster itu, anehnya, juga adalah simbol dari keberdayaan sebagai seorang manusia. Sebagai monster, Gloria menghancurkan apa saja yang di depannya, tapi tidak sekalipun monster itu menengok ke bawah. Tapi itu sebelum dia menyadari bahwa kekuatan datang bukan dari keinginan besar untuk menghancurkan, melainkan dari keinginan kecil untuk melawan; melawan alkohol, melawan trauma masa lalu. Keinginan kecil untuk meninggalkan kebiasaan, meskipun jika hal tersebut adalah sebagian kecil dari dirinya.

 

 

 

Metafora campur-campur, penceritaan yang kerap bersilih fokus dari satu tone ke tone lain yang really clash out, semua itu pada akhirnya bisa termaafkan lantaran film ini benar-benar orisinil dan sangat berbeda. Elemen fantasi sci-finya sangat menyenangkan. Kocak dan dibarengi dengan drama serius. Ia dihidupkan oleh penampilan yang bagus, meskipun kadang sedikit tidak berimbang antara kebutuhan narasi dengan penyampaian. Tapinya lagi, aku sangat merekomendasikan, tonton film ini duluan jika kalian punya waktu luang, karena film ini juga ngajarin yang kecil-kecil bisa berdampak besar. Apresiasi kecil dari kita bisa membuat film kreatif ini jadi gede, dan siapa tahu, bakal bermunculan cerita-cerita orisinal lain yang berani dan ambisius seperti film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for COLOSSAL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE SPACE BETWEEN US Review

“The greatest gift you can give to someone is the space to be his or herself”

 

 

Jarak di Antara Kita…….

….Ha! Judulnya aja udah mengisyaratkan ini bakal jadi sesuatu yang cheesy banget, well ya meski sekaligus juga memang permainan kata yang menarik. Mengartikan ungkapan “Boys are from Mars” secara harafiah, The Space Between Us bercerita tentang seorang cowok yang gede di planet asal Marvin musuh Bugs Bunny, dan cowok ini diam-diam menjalin pertemanan spesial dengan cewek di Bumi. Kalian pikir LDR itu sulit, coba bandingkan dengan Gardner dan Tulsa dalam film ini. Mereka chatting antarplanet, mereka belum pernah ketemu satu sama lain; karena lahir di Mars, keadaan tubuh Gardner actually disangsikan berfungsi dengan baik di planet kita. Namun tentu saja biar dramatis, maka kita akan ngeliat Gardner, against all odd, berusaha menapak jalan pulang ke Bumi – demi menemui Tulsa serta mencari ayahnya yang enggak ada seorang pun yang tahu siapa.

Selalu menyenangkan melihat karakter mengalami sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Perasaan joy kita bakal keangkat tinggi menyaksikan Gardner ngerasain mandi hujan untuk pertama kali. Momen-momen dia berjalan sendirian, dengan sedikit canggung karena berat oleh gravitasi bumi, momen dia bertanya “apa yang paling kalian sukai tentang Bumi?” kepada setiap orang yang dia jumpai adalah momen yang genuinely menyenangkan.

Asa Butterfiled bisa dengan memesona memainkan karakter yang polos enggak-banyak pengalaman, namun tidak mesti innocent. Tokohnya pintar, dia actually ngelakuin banyak pilihan yang risky – enggak membosankan kayak waktu jadi lead di Miss Peregrine’s Home for Peculiar Childern (2016). Memasangkannya dengan Britt Robertson yang di real life tujuh tahun lebih tua membuat kesan ‘jauh’ kedua insan ini terasa natural. Britt di sini sebagai cewek yang street-smart. Clash antara dua karakter ini cukup menarik, I do like karakter Tulsa, masuk akal gimana dia yang dibesarkan dari orangtua asuh satu ke yang lain merasa urgen buat mempertemukan Gardner dengan sang ayah. But to be honest, ketika Britt dan Asa menyentuh ranah romansa, aku enggak bisa ngerasain spark di antara mereka. Sekali lagi, mereka terlihat ‘jauh’. Ada yang gak klop dari koneksi mereka sebagai pasangan, especially the way Tulsa manggil Gardner dengan “Bub”. Britt Robertson adalah salah satu aktor yang fleksibel dalam soal usia, maksudku, dia kerap memerankan tokoh yang rentang usianya sangat variatif. Tahun 2016 kemaren, dia jadi mama muda, dia hamil dalam setiap film yang ia bintangi. Dan sekarang dia kembali jadi gadis remaja. Kupikir masalahnya bukan pada akting atau di dianya sendiri sih, melainkan lebih kepada kita sudah punya ekspektasi Britt bakal move on memainkan tokoh yang lebih dewasa. Dengan cerita yang lebih matang pula tentunya.

sayang sekali mereka lupa menjemput Matt Damon di atas sana

 

Para aktor dalam film ini kelihatan sangat berusaha. Gary Oldman turut bermain, bersama Carla Gugino dan Janet Montgomery. While Janet sebagai ibu Gardner enggak banyak mendapat screen time, Gary dan Carla mencoba melakukan yang terbaik menghidupkan karakter yang hanya berlarian dan menghabiskan waktu dalam komunikasi yang enggak efektif. Ketiga orang ini berperan sebagai pihak NASA yang bertanggungjawab pada proyek pemukiman di Mars.

See, sebelum kita masuk ke kisah cinta Gardner dan Tulsa, film ini akan menggugah moral kita terlebih dahulu dengan sesuatu yang sebenarnya adalah elemen cerita yang sangat segar. Saking freshnya, elemen ini bisa dijadikan satu film sendiri, yang bahkan punya potensi lebih menarik ketimbang apa yang kita dapatkan dari menonton The Space Between Us. I was actually feeling really intrigued by the first 15-minutes. Aku sudah siap untuk ngeliat romansa cheesy, but hey, malah disuguhin sama permasalahan manusiawi. Tokoh Gary Oldman mengirim enam astronot sebagai manusia pertama yang akan tinggal di Mars, namun setengah jalan ke sana, janin mengisi rahim si kapten astronot. Tentu anugrah tak-terduga ini mengacaukan protokol, apalagi setelah melahirkan di Mars, sang kapten meninggal. Kejadian ini ditutupi lantaran ekspedisi gede itu bakal ter-reflect bad ke publik. Yang tentu saja memunculkan pertanyaan, bagaimana nasib sang anak? Dibesarkan di atas sana, jauh dari peradaban manusia normal? Atau dibawa pulang dengan resiko membunuhnya?

Mau di planet manapun, keadaannya selalu sama. Anak-anak bakal mengantagoniskan orangtua, terutama jika figur orangtua tersebut mengekang mereka. Dalam kasus Gardner yang kabur dari NASA, yang juga integral dengan arc si Tulsa, ini adalah metafora dari seorang anak yang lari demi mencari tahu siapa dirinya, untuk mencari jati diri. Mencari tempat yang familiar dengan diri. Dan orangtua yang keep their children in the dark, they should have know better Bahwa terkadang, jarak perlu untuk diberikan kepada orang yang kita cinta.

 

Untuk sebuah film yang membicarakan tentang kehidupan di tempat tanpa gravitasi, The Space Between Us sendirinya sudah seperti CERITA YANG MELAYANG BEGITU SAJA. Dia tidak bisa menemukan pijakan. Apa yang ingin penonton lihat adalah bagaimana mereka memainkan gimmick cinta beda-planet, akan tetapi film ini mengeset elemen cerita dengan tone yang serius dan thoughtful di awal, hanya untuk meninggalkan elemen tersebut begitu saja; menimpanya dengan pancingan-pancingan dramatis yang standar. Film ini kelihatan seperti ingin menjadi banyak sekaligus. Hasilnya adalah perjalanan yang membosankan, tidak ada elemennya yang bekerja dengan baik, satu-satunya yang bikin kita melek adalah adegan-adegan yang menjadi unintentionally hilarious sebagai akibat dari numpleknya penulisan skenario film ini.

Ada bagian soal anak yang bosen dikurung, yang resolve menjadi perjalanan ngeliat balon-balon dan ketemu Indian hippie. Ada bagian temenan sama robot, you know, ala-ala pesan moral Artificial Intelligent; Gardner dan robot pengasuhnya kayak “Aku sedih loh, bukannya kita teman?”/”Kamu kan robot, mana punya perasaan”. Ada juga bagian yang mengingatkan kita sama Wall-E; sebelum berangkat ke Bumi ketemuan ama Tulsa, Gardner yang begitu ingin ngerasain hubungan manusia menonton film cinta jadul dan dia berlatih adegannya. Tentu saja, juga ada bagian roadtrip romantic saat Gardner dan Tulsa kabur mencari alamat ayah sambil diuber-uber oleh NASA. Yang dengan cepat menjadi konyol, kayak, Tulsa yang tiba-tiba nyanyi pake gaun di swayalan. Siapa sih yang lagi di perjalanan jauh malah milih pakai gaun?? Ada juga satu adegan di kafe di mana tiba-tiba ada cowok sok akrab yang nimbrung dalam obrolan mereka, who the hell is that guy anyway?!  Dan bagaimana dengan remaja yang bisa ngendarain pesawat, normal toh

Bagi film remaja, sepertinya sudah menjadi kebutuhan primer buat mengantagoniskan orang dewasa. Film ini mencoba untuk membuat Gary Oldman and-the-gank kelihatan jahat di mata Gardner dan Tulsa, but of course kita tahu lebih baik – kita tidak pernah melihat mereka sebagai badguy yang mau mencelakakan, dan itulah sebabnya kenapa elemen ini tidak bekerja.

but hey, kita dapat adegan ledakan. It’s a good thing, right?

 

Dari gimana hidup di Mars, cerita dibawa kembali ke Bumi, dan sesungguhnya sangat susah buat menarik kembali perhatian kita. I mean, seexciting apa sih kejadian di Bumi dibandingkan dengan di Mars? Film ini sepertinya aware dengan hal tersebut, jadi mereka memasukkan apapun biar bagian di Bumi menjadi menarik. Akan tetapi akibatnya ada BANYAK KEENGGAKKONSISTENSIAN, sampai-sampai kita bingung sendiri ini film niat apa enggak sih. Seting waktu ‘masakini’ film ini adalah di masa depan, enam belas tahun dari 2018, tahun kematian ibu Gardner. Bumi dan Mars bisa ditempuh dengan hanya tujuh bulan perjalanan. Gawai terlihat mentereng, desain laptop sudah demikian majunya. Tapi pakaian, mobil, pesawat, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan masa kini kita semua. Penulisan Gardner juga linglung, dia malah cenderung kayak orang gua ketimbang orang dari Mars yang sudah maju. Masuk akal jika dia euphoria pacaran ataupun mandi hujan, karena itu adalah hal baru yang sekali itu pernah ia rasakan. Tapi heran dan ketakutan ngeliat kuda? C’mon masa iya dia belum pernah liat hewan di internet? Terkecuali di act ketiga, kita bisa melupakan sama sekali bahwa Gardner adalah orang Mars, karena dia bertindak kayak orang ‘sakit’ instead.

 

 

 

Lucu betapa penuhnya film ini namun enggak benar-benar ada bobot yang terasa. Film ini harusnya mendengar sendiri pesanya; berikan ‘jarak’ supaya elemen cerita bisa berkembang. Akan bisa lebih baik jika film ini memfokuskan kepada Gardner sebagai lead tunggal, film bisa dimulai dengan kehidupannya di Mars terus dia menemukan video keberangkatan ibunya, sehingga kita enggak perlu ngeliat prolog sebagai sepuluh-menit-pertama yang enggak benar-benar memberi bayangan tentang pusat cerita. Malahan apabila film ini just stick menjadi full cheesy, mungkin tetep akan lebih baik. At least, it would be enjoyable dalam level ‘so bad it’s good’. Nyatanya, kisah anak dari planet ketutup oleh banyak hal, termasuk oleh drama cinta yang enggak klik. Dan keinginan buat ngasih twist yang sebenarnya enggak perlu-perlu amat. Apakah film ini berupa action, komedi, romance, sci-fi, adventure, not even pembuatnya tahu pasti. Drama ini persis seperti pemandangan set Mars yang ia tampilkan; kering meranggas.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE SPACE BETWEEN US.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

GHOST IN THE SHELL Review

“Eyes are the window to the soul”

 

 

Film adaptasi dari anime — yang actually saduran dari manga klasik – ini punya beban yang berat bertengger di pundaknya. Elemen filosofis dan pencapaian teknikal membuat versi originalnya yang keluar tahun 1995 dinobatkan sebagai salah satu anime terbaik yang pernah dibuat. Banyak film-film sci-fi yang membahas tentang artificial intelligence dan sebagainya openly admit dipengaruhi oleh elemen dalam cerita Ghost in the Shell. Jadi, garapan Rupert Sanders ini bener-bener has a lot to live up to. Sehingga sampai detik pantatku mendarat mulus di kursi bioskop, aku masih terombang-ambing antara gembira dan ragu-ragu. But mostly aku takut, lantaran aku gak mau Hollywood merusaknya sehingga ini menjadi Dragon Ball kedua. Dan serius, jika kalian mengaku penggemar sinema, hobi nonton film, dan peduli sama film yang bagus, sempatkanlah buat menonton anime Ghost in the Shell; for the film is so influential, aku tersinggung ketika tadi di bioskop ada ignoramus yang nyeletuk “niru Matrix, ya.”

Dunia dalam film ini sudah begitu modern, sampai-sampai teknologi dan manusia sudah nyaris menjadi satu. Tren masyarakatnya adalah masang hologram gede sebagai cara iklan, nyambungin diri ke net yang bahkan lebih canggih dari internet yang kita punya, dan memodifikasi sebagian tubuh – atau malah seluruhnya – dengan bagian robot. Tokoh utama kita, Mira Killian, adalah Mayor di pasukan elit Section 9 yang khusus menangani kasus kriminal, terutama kriminal siber yang sedang berkembang dengan pesat. Diciptakan sebagai ‘weapon’, Mira tidak punya unsur tanah di tubuhnya. Dia diberitahu bahwa dia adalah yang pertama dari progam penginstallan kesadaran manusia yang disebut ghost ke dalam tubuh-tubuh buatan yang istilahnya adalah shell. Namun apakah setiap yang punya ghost diyakini sebagai manusia? Mira mengenali kenangan di dalam dirinya. Dan sembari berusaha menangkap teroris siber berinisial Kuze yang menimbulkan kekacauan dengan ngehack ghost robot dan orang-orang, Mira sets out buat mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Ghost in the Shell termasuk jejeran film yang membuat kita mempertanyakan tentang eksistensi, tentang kesadaran,tentang apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Apa yang memisahkan kemanusiaan dengan teknologi? Apa yang terjadi jika keduanya bersatu? Apakah sesuatu yang diciptakan bisa menyebut dirinya sebagai manusia karena dia punya kesadaran? Dan bagaimana dengan kenangan, apakah kemampuan mengingat kenangan adalah bagian dari kesadaran? Well, ada banyak benda-benda yang bisa menyimpan kenangan, dan mereka enggak hidup. Apakah Major Mira Killian termasuk salah satu di antara benda-benda tersebut.

 

 

Sebagai adaptasi live-action, film ini sukses mengemban predikatnya. Dia tetap setia dengan versi orisinil. It has the same formula, dengan beberapa penambahan yang signifikan pada beberapa elemennya. Jadi, yaah, kupikir aku akan berusaha mengulas film ini sebagai sebuah cerita yang berdiri sendiri, aku akan coba untuk enggak nyangkut pautin dengan film buatan Mamoru Oshii.

Peningkatan yang pertama kali langsung bisa kita rasakan adalah pada visualnya. Film ini sangat GLORIOUS OLEH PENAMPAKAN EFEK-EFEK VISUAL. Adegan ‘pembuatan’ shell Major bener-bener indah sekaligus surreal dengan bentrokan warna merah disusul putih. Kota masa depan tempat mereka tinggal terlihat meriah. Desain kotanya yang semarak oleh teknologi mentereng mencerminkan kebutuhan manusia untuk tampil ‘mengkilap’, seperti yang dijadikan tema cerita. Sehingga kita bakal mengharapkan ada sedikit saja jejak kemanusiaan dari penghuninya. Ketika itu beneran kejadian, ketika tokoh setengah robot kita ngelakuin hal sesederhana memberi makan anjing jalanan, ataupun pergi berenang tengah malem, kita bakal ngerasain hentakan euphoria tanda cerita berhasil mengenai saraf berpikir kita.

Scoringnya juga sukses bikin film terasa dark dan bikin uneasy.
Ghost in the Shell menyuguhkan beberapa sekuen aksi tembak-tembakan yang seru. Robot geisha itu creepy banget. Pertempuran melawan robot laba-laba bakal menghujani kita dengan peluru-peluru emosional. Sekuen aksi yang paling captivating adalah ketika Major menyimpan senjata apinya, membuka mantel, mengaktifkan kamuflase optik, dan mulai menghajar orang yang dikendalikan oleh Kuze. Adegan berantem ini difilmkan dengan menarik; lokasinya, koreografinya, kerja kameranya, semuanya terlihat mulus dan engaging. Dengan pace yang cepet, porsi aksi lumayan mendominasi film ini as kita dibawa dari konfrontasi satu dengan konfrontasi lain. Dan di antara aksi-aksi tersebut kita akan dibawa melihat Mira lebih dekat sebagai seorang karakter, kita akan ngikutin inner journeynya, kita akan melihatnya berinteraksi dengan tim serta partnernya, Batou. Kita akan melihatnya membuka misteri di balik Kuze dan belajar apa faedah dia ada di dunia, entah sebagai robot atau manusia.

“doakan saya yaaa”

 

Masalahnya adalah, segala kelebihan yang kutulis di atas (selain robot geisha yang sepertinya bakal hadir di mimpi burukku malam ini) actually berasal dari elemen orisinil yang dimasukkan kembali ke dalam versi live-action ini. Film ini just recreating them all seperti yang dilakukan oleh Beauty and the Beast (2017) terhadap animasi klasiknya. It’s a great job, aku tepuk tangan karena mereka berhasil melakukannya dengan baik. Namun tidak seperti Beauty and the Beast, penambahan elemen yang dilakukan oleh Ghost in the Shell actually terasa ngedeteriorating eksistensi ceritanya secara keseluruhan. Sebagaimana kita sudah setuju untuk menghormati film ini sebagai unit yang berdiri sendiri, I have to point out beberapa poin dan elemen baru di dalamnya yang enggak benar-benar bekerja dengan baik. Dan yea, aku harus melakukan beberapa perbandingan untuk mempertegas poinku.

Enggak semua sekuen aksi benar-benar berbobot. Misalnya pada bagian di klub, kebanyakan memang terasa sebagai filler buat manjang-manjangin waktu. Karena adegan tersebut pun tidak digunakan untuk ngeflesh out karakter-karakter sampingan. Anggota tim Major tidak mendapat sorotan yang berarti. Malahan ada satu tokoh, pada cerita original dibuat ‘penting’ bagi Major karena dia satu-satunya yang masih seratus persen manusia, namun di film ini trait tersebut hanya disebut sepintas sahaja.

Major lah yang mendapat permak backstory yang signifikan. Dia bisa mengingat sedikit hal dari kehidupannya saat masih manusia. Major clearly galau mengenai, bukan identitas, melainkan ‘apa’ dirinya. Tapi penulisan karakternya di sini terlihat cengeng, I mean, dia come off lebih sebagai manusia yang enggak mau dipanggil seorang robot. Dia meminta belas kasihan kita. Scarlett Johansson adalah ‘shell’ yang tepat untuk tokoh ini. Penampakan wujudnya mirip banget sama yang anime. Namun, ‘ghost’ karakternya agak enggak klop. Cara berjalannya enggak pernah tampak natural, kayak dibuat-dibuat, walaupun memang enggak ada masalah dalam adegan aksi. Ketika, katakanlah, momen berkontemplasi, pembawaan Scarlett membuat Major tidak seperti robot dengan perasaan; dia terlihat seperti manusia yang menyembunyikan perasaan. Dalam versi anime, karakter ini diarahkan sehingga kita merasa terdiskonek dengannya; Major malah tidak berkedip, tapi dari gambaran ekspresi dan visual storytelling kita bisa memahami apa yang ia rasakan, kita bisa rasakan betapa intriguednya Major kepada setiap aktivitas manusia. Dalam film ini, tidak ada arahan supaya Scarlett enggak ngedip, perasaan Major terlampiaskan semua lewat kata-kata yang ia lontarkan, tanpa pernah terasa dalem dan filosofis.

Identitas mereferensikan aku, atau saya. Di mana otak mengenalinya sebagai ‘diri’. Tapi apakah sebenarnya aku itu? Apakah personality? Apakah aku adalah perasaan – apakah aku adalah jiwa? Well, orang bilang mata adalah jendela jiwa. Ada alasannya kenapa Major di sini memiliki mata yang hidup, tidak seperti pada versi anime.

 

 

Dosa terbesar yang menyebabkan FILM INI DANGKAL ADALAH KARENA DIA MEMBERIKAN JAWABAN. Baik itu jawaban terhadap apa yang terjadi; bahkan tulisan pembuka di awal memaparkan secara gamblang, tidak seperti opening teks di versi anime yang lebih kiasan. Maupun jawaban terhadap pertanyaan filosofis yang diajukan oleh tema ceritanya. Ini membuat Major menjadi karakter generik, kita bisa melihat ke arah mana arcnya berlabuh. Jadi gampang melihat apa yang terjadi selanjutnya. Setelah Major ketemu Kuze, film menjadi biasa saja dan kehilangan semua hal yang engaging. Ini berubah menjadi ‘kebaikan’ melawan ‘kejahatan’. Kuze, meskipun keren, tidak pernah menggugah kita dengan pertanyaan apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Kita sudah sering melihat elemen ‘melawan sang pencipta’ dan ‘menciptakan dunia sendiri’ sebelumnya. Major menjadi seperti Alice di Resident Evil. Padahal jika dibiarkan terbuka tanpa-jawaban, maka tentu cerita akan menjadi lebih menantang, membuat kita merasakan euphoria memikirkan jawaban, seperti yang sudah dibuktikan oleh film orisinilnya.

Apakah robot ada gendernya hanya karena dibuat menyerupai cowok atau cewek?

 

 

They go with a different goal this time, yang mana masih bisa kita apresiasi. Para fans lama pun mestinya bisa dibuat menggelinjang dengan revelation di akhir cerita yang mengambil referensi kepada cerita anime. But I think they should’ve not tampering too much with the formula. Ini adalah film full-action dengan kontemplasi dan nostalgia saling berbagi ruang di antaranya. Bahkan meniliknya sebagai film yang berdiri sendiri pun, penilaianku tetap sama. Sukurnya enggak separah, malahan jauh lebih bagus daripada Dragon Ball Evolution sih. Meski begitu, film harusnya bisa menjadi lebih berbobot lagi. Tidak banyak karakter dengan penampilan yang memorable. Dan lagi, sulit untuk tidak membandingkan karena hal yang bagus dari film ini adalah hal-hal yang sudah pernah kita lihat pada film tahun 1995. Mereka seperti memindahkan ghost cerita ke dalam shell yang lebih mentereng belaka. Dengan banyak hal bagus dan filosofis yang tertinggal saat proses perpindahan tersebut.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOST IN THE SHELL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

LIFE Review

“… the only form of life we have created so far is purely destructive.”

 

 

Jake Gyllenhaal di luar angkasa? C’mon gimana aku bisa bilang “tidak” kepada film ini!

Jadi ceritanya, Jake bersama Deadpool dan empat astronot lain harus stay di orbit buat mengawasi misi Mars Pilgrim 7; mencari sampel kehidupan di Planet Merah. Keenam kru harus menjemput dan memastikan spesimen organis dari planet Mars itu bisa nyampe Bumi dengan selamat, karena tentu saja itu merupakan penemuan yang sangat luar biasa. Dibawalah organisme tersebut ke stasiun luar angkasa mereka, diteliti, dirawat baik-baik. Enggak ada yang curiga dong, ketika alien imut tersebut mulai bergerak. Jake dan teman-teman malah girang, begitu juga orang-orang di Bumi. Si alien diberi nama Calvin. Namun, apa yang tadinya hanya satu sel dengan cepat berkembang menjadi susunan jaringan otot, otak, dan indera. Dan horor! Sekarang misi enam manusia itu berputar 180 derajat menjadi menjauhkan makhluk cerdas, highly adaptable, dan berbahaya ini dari Bumi, dan dari diri mereka sendiri.

Seperti kamera yang berkesinambungan ngesyut aktivitas di dalam stasiun luar angkasa pada sepuluhan menit pertama, film ini pun akan terus mendera kita dengan perasaan teror dan terkurung begitu Calvin mulai menjebol kotak penangkarannya. Discovery yang kita dapati adalah bahwa ternyata film ini enggak berniat membahas hal-hal filosofis. Ini bukan jenis film di mana Jake Gyllenhaal punya kembaran ataupun mimpi didatengin kelinci dan dia harus mencari tahu makna di balik semuanya. There’s really nothing beyond pembahasan bahwa di dunia ini kita enggak sendirian dan setiap makhluk hidup berhak atas yang namanya bertahan hidup. Life adalah HOROR SURVIVAL DI LUAR ANGKASA. Dengan kehadiran tropes standar, dirinya mungkin akan mengingkatkan kita sama Alien (1979) atau malah premisnya bikin teringat dengan game jadul Game Boy Advance; Metroid Fusion, film digarap dengan sangat capable dan punya perspektif penceritaan yang cukup berciri. I mean, kita enggak bisa ngeshoot down film ini “enggak original!” begitu saja. For once, gimana tokoh film ini ngetreat Calvin saja sudah membuatnya agak berbeda dengan survival horor kebanyakan.

“we’re not alone.. there’s more to this I know”

 

Pace yang lumayan cepet, namun tetep terasa contained. Setnya terlihat compelling dan memenjarakan, meskipun mungkin mata kita masih terbuai oleh menterengnya pesawat Passengers (2016). Kita akan menikmati perasaan terkungkung dan mencekam yang dialami oleh para tokoh. Aku enjoy ngeliat mereka main kucing-kucingan dengan Calvin yang bisa nyelip masuk ke mana-mana. In fact, ada banyak waktu ketika aku malahan ngecheer si alien yang kayak gabungan gurita dengan amuba tersebut. Karena dalam film ini, kita enggak benar-benar yakin mesti ngedukung tokoh yang mana.

Semenjak Alien memang terbit semacam tren di dalam genre survival horor bahwa semakin penonton enggak bisa menerka tokoh mana saja yang bakalan selamat, maka itu artinya film semakin sukses ngedeliver elemen aksi dan horornya. Life juga sukses bikin kita nerka-nerka siapa yang mati duluan, aku kecele juga karena tadinya kukira tokoh kulit hitam yang bakal mati duluan, malahan kayaknya di trailer aja dia udah game over hhihi, tapi enggak. Namun faktor enggak bisa nebak yang selamat ini tidaklah lantas dijadikan alasan untuk sengaja tidak mengembangkan para tokoh manusia. It would be suck buat ngeliat tokoh-tokoh hanya jadi korban gitu aja tanpa kita merasa kehilangan atas mereka. Film butuh supaya skripnya memegang satu karakter sebagai pondasi agar strukturnya bisa kuat. Dalam Life, kita bisa menyaksikan ada usaha untuk memberikan personality kepada para tokoh manusia.

Dari enam, ada tiga yang diberikan backstory. Well, ya lumayanlah dibanding kosong melompong. Yang paling menarik adalah ahli biologi Hugh Derry yang diperankan oleh Ariyon Bakare. Hugh yang kakinya cacat merasa lebih hidup di luar angkasa, dia enggak perlu pakai kursi roda di atas sini. Dan kemudian, sebagai orang yang bertanggung jawab langsung dalam mengurus Calvin, Hugh memberikan pandangan yang menarik ketika dia merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukan oleh alien tersebut. At one point, Hugh tampaknya sudah terattach secara emosional kepada Calvin.

Sudah seperti orangtua dengan anaknya sendiri. Hugh ngerasa bertanggung jawab karena dia yang sudah memberikan kesempatan hidup buat Calvin. Eventually ini menjadi konflik moral yang sempet disinggung sekilas banget oleh film; seperti apakah tepatnya tanggungjawab tersebut, apakah dengan memberikan hidup maka kita juga yang bertugas untuk menghentikannya. Tidak seperti hape – setiap kali kita ngecharge, kita meniupkan kehidupan kepada baterainya, Calvin actually adalah makhluk hidup yang berhak untuk bertahan. Sayang memang film ini tidak menggali lebih jauh soal hubungan menarik yang terbentuk antara Hugh dengan Calvin.

 

Sesungguhnya ada orangtua beneran dalam ensemble ini, tokoh yang dimainkan oleh Hiroyuki Sanada adalah seorang yang baru saja menjadi bapak. Namun backstory personal ini tidak berkembang lebih jauh karena kelahiran putranya tersebut hanya digunakan sebagai pemantik emosi. Kesempatan besar juga dilewatkan dalam penanganan karakter Jake Gyllenhaal. Dia memerankan David, seorang dokter yang actually sudah berada di sana selama 473 hari, paling lama di antara rekan-rekannya. David begitu betah di luar angkasa, dia enggan balik ke Bumi, dan alasan di balik itu semua cukup menarik; dia enggak tahan melihat apa yang bisa kita lakukan terhadap sesama. Dokter ini sangat terpukul setelah apa yang ia saksikan saat dikirim ke medan peperangan. Sayangnya, motivasi dan traits personal David enggak pernah sekalipun dikaitkan sebagai lapisan cerita. Hanya dibahas begitu saja, dan tidak hingga di akhir backstorynya ini memberikan impact.
Selebihnya ya, mereka cuma ada di sana, dengan peran minimal masing-masing. Ryan Reynolds di sini hanyalah seorang astronot realis yang keren penuh komentar lucu. PENGARAKTERAN YANG TIPIS BANGET. Kharisma dan kemampuan para aktor yang membuat film ini watchable.

Atau mungkin, kita beneran betah duduk lantaran ingin melihat gimana aktor-aktor tersebut menemui ajal. Bukan bermaksud sadis, tapi memang film ini mendadak menjadi KREATIF SAAT PARA TOKOH MENEMUI AJAL. Cara matinya, gimana mereka ngesyut adegan mati tersebut, lumayan unik. Lagian, kita juga enggak bisa jadi lebih peduli lagi sama mereka. So much for survival thing, kita malah dibuat penasaran pada apa yang bisa dilakukan oleh Calvin. Meskipun disebutkan sebagai makhluk karbon seperti manusia, sepanjang film kita akan melihat alien ini ngelakuin hal luar biasa, dia tahan api, dia bisa mencerna tikus dengan cepat bulat-bulat, dia bisa ‘tahan napas’ di outer space. Kontras banget sama tokoh manusia yang kerap mengambil keputusan-keputusan yang bego. Pada satu sekuen Calvin meloloskan diri, ada seorang tokoh yang terus mengambil tindakan yang bakal bikin kita jerit-jerit stress. Satu sekuen loh itu bayangkan, apa yang mau didukung dari karakter manusianya coba! Orang-orang pintar ini kayak pada berlomba nyari cara paling bloon buat mati.

“dumb ways to die, so many dumb ways to die”

 

Soal twist endingnya, aku enggak tahu, it did feels like they want to push it into a sequel tapi aku enggak yakin. Apakah endingnya resolving a plot? Aku enggak mau spoiler banyak, tapi in a way, iya, ada tokoh yang plotnya, istilahnya, ‘kebales’. Apakah ending ini stupid? Jawabannya iya juga, wakwaw banget, kerasa film ini dibuat ya cuma supaya mereka bisa seru-seruan dengan bagian akhir ini. Kayak saat pitching mereka bilang gini “gimana kalo kita bikin film alien seru kayak Alien, tapi endingnya dibikin mirip-mirip Gravity, gini nih sini deh aku bisikin…” dan voila, film ini lantas diperjuangkan untuk hidup supaya adegan surprise ini terlaksana. Apakah endingnya ini worked? Iya juga, ini bekerja sebagai paradoks tentang kehancuran manusia akan datang sebagai akibat dari apa yang kita hidupkan.

Hidup adalah proses. Bukan hanya pengciptaan, melainkan juga kehancuran. Pada akhirnya ini adalah soal siapa yang memiliki naluri bertahan yang paling kuat. Siapa yang rela menghancurkan demi kelangsungan. Apakah manusia akan punah jika suatu saat ada spesies yang lebih ‘canggih’ sekaligus lebih ‘primal’ seperti Calvin? Atau sebaliknya, apakah kehancuran adalah satu-satunya bentuk kehidupan yang bisa kita ‘hidupkan’?

 

 

 
Film ini mengembalikan kita kepada citarasa alien tradisional setelah kedatangan Arrival (2016) yang begitu berbeda. It is a fast-paced, confined-space survival horror yang tau persis apa yang ia lakukan. Tone dan arahannya ketat menghasilkan petualangan hidup-mati yang mendebarkan. Namun tidak banyak yang terkandung di dalamnya. Enggak kosong total sih; setengah berisi, dan film ini pun tidak ingin disibukkan dengan mengisi sampai penuh. Dia malah kelihatan lemah saat berusaha menjadi sedikit berbobot. Ditambah dengan banyaknya bad decisions yang dilakukan oleh para tokoh, film ini tampaknya justru hidup dengan membiarkan mereka mati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for LIFE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

POWER RANGERS Review

“Don’t expect to see a change if you don’t make one.”

 

 

Ayayayay, Zordon! Mereka sekali lagi membuat reboot dari acara tv anak-anak jadul dengan nuansa yang cukup kelam dan karena mereka ingin membangun franchise yang baru jadi kita harus duduk dulu mantengin cerita asal muasal sebelum kita dapat bagian aksi penuh nostalgia yang notabene hanya porsi itulah yang mendorong kita buat datang ke bioskop. Jadi, gimana nih Zordon? Kita pasti nonton dong ya?! Yayayaya!!

Buat anak-anak yang gede di tahun 90an, Power Rangers bisa jadi adalah bagian yang tak-terpisahkan dari kenangan masa kecil. I mean, setiap anak cowok pasti pengen jadi kayak Tommy si Ranger Hijau. And their first crush pastilah Kimberly. I know I did haha.. Dulu aku dan temen-temenku setiap sore keluar pake kaos warna-warni dan kami main Power Rangers, berantem-berantem di rumput. Ada juga yang kebagian jadi monster. Ceritanya kami karang bareng, bahkan karena yang main terlalu banyak, kami sampai nyiptain Ranger sendiri, kayak Ranger Orange atau Ungu. Yang cewek-cewek pun akhirnya ikutan main, dan karena kehabisan warna, kami bikin cerita tentang Power Rangers yang ketemu sama geng Sailor Moon.

It was so fun back then, jungkir-jungkir balik, mengangguk-angguk, meng’wush-wush’ setiap pukulan karena memang begitulah film Power Rangers. Over-the-top, seratuspersen hiburan, dan filmnya sendiri benar-benar nikmatin memposisikan diri sebagai personifikasi dua kata tersebut: Fun dan Lebay. Film pertamanya yang keluar tahun 1993 was so bad it’s good. Jadi aku masuk ke bioskop nonton versi reboot ini dengan girang, expecting hal cheesy yang sama, dan turns out aku mendapat lebih. Dan sayangnya aku enggak bisa bener-bener bersuara bulat bilang aku suka sama film ini.

Sincerely yours, The Power Rangers Club

 

Adegan pembuka film ini terlihat menjanjikan. Tim Power Rangers yang dipimpin oleh Ranger Merah Zordon kalah telak. Salah satu teman mereka, Ranger Hijau Rita Repulsa, turn on against them dan pada detik-detik krusial, meteor menghantam medan pertempuran – memisahkan Zordon dan Rita, dan kita dibawa ke masa kini. Mengetahui Rita akan bangkit dan kembali menghancurkan dunia dengan kekuatan emasnya, Zordon berusaha mencari pasukan Power Rangers yang baru. Unfortunately for Zordon, lima orang yang berhasil menemukan koin morphingnya, lima manusia yang pantas menyandang kekuatan sebagai Rangers, ternyata adalah remaja. Masih anak kemaren sore yang labil, dengan segala masalah dunia darah muda mereka. Jadi mereka perlu digembleng terlebih dahulu. Kita akan melihat kelima tokoh kita berusaha untuk saling mengenal dan menumbuhkan rasa persahabatan. Karena bukan saja mereka tidak mengenal satu sama lain, masing-masing mereka actually adalah anak-anak bermasalah dengan mental either pemberontak ataupun terlalu indiviualistis.

Ini seperti film The Breakfast Club (1985) mendapat kekuataan berubah wujud dan menjadi Chronicles (2012), dan kemudian bertarung dengan robot-robot seperti di Pacific Rim (2013).

 

Power Rangers garapan Dean Israelite bukan hanya berjuang pada konsistensi naskah, namun juga kesulitan buat nentuin pijakan ke mana film ini akan dijual. Babak pertama dan kedua Power Rangers terasa LEBIH COCOK BUAT DITONTON OLEH REMAJA yang udah lumayan dewasa, karena there’s no way anak kecil bisa betah dicekokin cerita pengembangan karakter dengan pacing seperti ini. Sedangkan babak terakhir adalah big-action total yang enggak peduli lagi sama kedaleman tokoh dan lain-lain. But actually, dua babak pertama itulah yang jadi bagian favoritku. Iya, film ini niru The Breakfast Club dengan tokoh-tokoh kita kena detensi segala macem, namun selama itu jadi alasan supaya para tokoh ini jadi punya karakter dan backstory, aku toh seneng-seneng aja. Paling enggak, filmnya sendiri jadi jauh lebih berbobot ketimbang Kong Skull Island (2017). Kalo ada orangtua yang ngajak anak-anak kecil nonton film ini, maka mereka pastilah canggung ketika film ngebahas siapa para tokoh. Mereka bukan the perfect hero, mereka remaja bermasalah, like in, masalah yang lebih dewasa. And in the end, orangtua dan anak kecil pada sepakat mereka ingin film ini cepet-cepet beralih ke adegan robot berantem melawan monster.

Jason adalah atlet sekolah yang udah ngecewain ayahnya lantaran ketangkep tangan dalam sebuah tindak prank, dan sekarang kelangsungan prestasinya dipertaruhkan. Kimberly dijauhin oleh temen-temen setelah insiden penyebaran foto tak-senonoh. Zack adalah penyendiri yang salah-dimengerti oleh orang lain, dia actually taking care ibunya yang sedang sakit. Triny adalah anak baru yang rebelling against semua stereotipe, dan film ini berani banget mengangkat Triny sebagai pahlawan anak-anak yang openly admit that she’s gay. Dan sebagai heart of the group, ada Billy; autis, korban bully, kena detensi lantaran kotak makan siangnya meledak. Film benar-benar menyempatkan waktu supaya karakter kelima anak ini terbangun dengan baik, sehingga pada akhirnya kita memang menjadi peduli kepada mereka. Menjadi Ranger enggak sekonyong-konyong bisa berubah dan bertarung, kita akan melihat mereka kesusahan untuk berubah. Mereka gagal bekerja sebagai sebuah tim, di sinilah letak hook cerita; tentang gimana remaja ini berusaha saling mengenal satu sama lain, despite of their angst and their problems. Kita terinvest kepada mereka, momen saat mereka beneran bisa berubah (and that’s not until 90 minute into this movie) terasa sangat menghentak.

Adegan api unggun semestinya adalah salah satu adegan terpenting di film ini, namun sayangnya adegan tersebut tidak terasa lebih dari sekedar tiruan The Breakfast Club. Alasan kenapa dalam Power Rangers development karakter seperti begini tidak maksimal adalah karena ada perbedaan kebutuhan tokoh dari kedua film ini. Pada The Breakfast Club, remaja-remaja tersebut kudu bisa melihat bahwa di balik label mereka adalah pribadi yang sama, so in the end they wear the labels proudly together karena mereka tahu label-label tersebut tidak berarti apa-apa. Pada Power Rangers, label ini coba diaddress but it doesn’t do anything karena pada akhirnya para tokoh menggunakan topeng untuk menutupinya. Mereka berubah, literally, mereka mencari sisi baik dari sifat mereka. Mereka enggak bisa berubah, sebelum mengubah ‘diri’ mereka masing-masing. They hide their labels instead.

 

Sebagaimana terdapat shot-shot yang diambil dengan keren – aku suka kerja kamera yang acapkali bikin kita ngerasa so-in-the-moment – penampilan akting para pemain yang kece pun cukup mumpuni. Enggak ada yang keliatan kayak akting level FTV. Mereka semua capable menyampaikan emosi meskipun memang penulisan ceritanya tidak pernah berhasil menjadi sesuatu yang punya dampak yang kuat. Ada begitu BANYAK PERGANTIAN TONE yang membuat cerita ini menjadi labil; ini mau serius apa gimana sih? Kayak di pembuka tadi, image api ledakan meteor terdissolve menjadi lambang tim sekolah dan menit berikutnya kita dapet adegan konyol soal Jason yang ‘memerah’ sapi jantan. Duh! Atau ketika setelah magnificent momen kita ngeliat Zord dan para Ranger bersiap, kita lantas disuguhi adegan Zack yang diem-diem nyobain zordnya, menghancurkan pegunungan for no reason. Di satu saat kita coba dibuat terenyuh oleh pengakuan dan rasa bersalah Kimberly, dan di saat lainnya kita diliatin Rita Repulsa sedang mengunyah donat. Film ini berpindah dari serius ke sepele tanpa tedeng aling-aling, dan itu bukanlah gimana film yang bagus dibuat.

Bicara soal Rita Repulsa, Elizabeth Banks bermain cukup total sebagai penjahat utama. Penampakannya nyeremin. Tapi ada yang kurang pada tokohnya ini. Dengan pahlawan kita yang enggak lurus-lurus amat, Rita juga enggak terasa terlalu jahat. Motifnya standar, dia enggak benar-benar ngelakuin hal yang membuatnya menjadi sosok penjahat yang berbeda. Sukur waktu Rita kalah dan ditampar ke luar angkasa, film ini enggak ngebikinnya kayak adegan kekalahan Team Rocket di kartun Pokemon hhihi

Goldar “Crush” is about to visit the Suplex City

 

Action yang kita tunggu-tunggu dateng barengan sama perasaan nostalgia. Ada sensasi di hati begitu lagu tema Power Rangers terdengar. Aku ngikik ngeliat mereka berantem sambil nyeletuk-nyeletuk lucu. Aku terlonjak ngeliat ‘the real’ Tommy dan Kimberly muncul sebagai cameo di menjelang akhir. Koreografi berantemnya terlihat menyenangkan dan power ranger banget. Aku pada akhirnya bisa memaklumi perihal penampakan kostum baru mereka yang tampak terlalu ngerobot, karena ternyata film berhasil ngejual aspek kostum ini sebagai sesuatu yang benar-benar dibutuhkan oleh Rangers. Efeknya juga keren. Terlihat berat beneran. Saat mereka lari dari markas ke mulut goa, aku kepikiran kayaknya berat banget memakai kostum tersebut.

Dan memang hanya nostalgialah yang jadi andelan babak ketiga. Segala build up tuntas remeh begitu saja. Adegannya memang seru namun tidak ada apa-apa lagi di sana. Standar huge-explosive-big-fight-scene. Penampakan Zordnya aneh, aku heran kenapa zord Ranger Hitam bukan Mastodon kayak di original. Megazordnya terlihat rapuh dan enggak gagah. Begitu juga dengan Goldar. Karakter-karakternya juga mundur jadi cheesy. Bagian inilah yang paling mudah dinikmati oleh anak kecil, karena yang kayak beginilah the real Power Rangers. But at this point, kita sudah nunggu terlalu lama, capek oleh pergantian warna cerita, sehingga kita enggak bisa lebih peduli.

 

 
Ini adalah action superhero movie yang cukup seru. Berusaha menjadi dewasa, meski tidak menyumbangkan hal yang baru dalam elemen berceritanya. Dari semua remaja berattitude tersebut, Ranger favoritku adalah Triny, si basketcase of the group. CGI bekerja lumayan baik, tampilan Zordon, Alpha, dan kostum Rangernya keren dan terlihat kekinian. Zord, robot, dan monster, sebaliknya, terlihat parah dan generic. Jika saja film ini ‘tahu diri’, jika saja film ini tidak terlalu banyak berganti-ganti tone, jika saja film ini enggak labil dan masukin banyak elemen film lain yang lebih sukses, kita akan bisa lebih mengapresiasinya. But no, jurus Megazord melawan Goldar adalah German Suplex, kayak di film Dangal (2016), aku enggak ngerti kenapa jurusnya mesti itu; tokohnya enggak ada yang pegulat padahal. Film ini kesulitan bahkan untuk mastiin buat siapa dirinya dibuat. Mestinya Jason dan teman-teman belajar berubah dari film ini, karena ada begitu banyak perubahan tone di sepanjang narasi. Alih-alih menjadi fun dan cheesy seperti biasa, film ini berubah menjadi dua hal lagi; aneh dan sedikit tidak-nyaman untuk ditonton.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for POWER RANGERS.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.