CANDYMAN Review

“We need to define gentrification as separate from the process of displacement”

 

Awalnya, Candyman diciptakan sebagai horor tentang mitos. Ia merupakan gabungan dari legenda-urban Bloody Mary (panggil namanya di depan cermin berulang kali!) dan The Hookman (pembunuh bertangan kait-tajam). Cerita original Candyman menyebut, sosok Candyman akan muncul di belakang siapapun yang menyebut namanya lima kali di depan cermin “Candyman.. Candyman.. Candyman.. Candyman.. (kalian sambung sendiri, aku ogah!)”, lalu mengoyak tubuh mereka dari ujung ke ujung.

Tentu saja film originalnya tersebut sukses menjadi cult-horror, namun bukan karena terbangun atas unsur mitos yang fun dan oleh kesadisan berdarah-darah semata, melainkan juga karena kengerian gagasan yang dibicarakan sebagai tema yang menyelimuti cerita. Candyman bicara terutama tentang ketimpangan sosial antara si hitam dan si putih. Bahasan yang – to no one surprise – masih relevan dan penting untuk dibicarakan di masa sekarang, nyaris tiga-puluh-tahun kemudian. Sutradara Nia DaCosta dan produser Jordan Peele jeli melihat ini. Mereka tahu horor ketimpangan sosial itu masih berlanjut meskipun keadaan seperti sudah dipoles untuk mengesankan perbaikan. Candyman 2021 mereka hadirkan dengan turut memoles mitos dan legenda dalam cerita franchise horor ini supaya lebih cocok untuk memuat problematika injustice yang dihadapi saat ini.

candyman2992287039
Nyanyi lagu Candyman Aqua saat cuci muka di depan cermin masuk itungan nge-summon Candyman gak ya? Duh, gawat….

 

 

Film ini dengan cueknya mengabaikan film-film Candyman terdahulu, kecuali film originalnya yang rilis tahun 1992. Cabrini-Green (kompleks apartemen ghetto alias hunian warga kulit-hitam di Chicago) yang jadi lokasi begitu banyak pembunuhan sadis terkait Candyman, sudah dibangun ulang, diremajakan. Kini jadi kompleks yang cukup elit untuk kalangan seniman. Sejarah kelamnya ikut terkubur. Sampai ketika Anthony McCoy (peran mimpiburuk bagi Yahya Abdul-Mateen II karena intens dan beragamnya horor yang harus ia lakoni), yang lagi berjuang mencari ide untuk installment seni di galeri mendatang, mendengar tentang legenda Candyman. Anthony tadinya hanya tertarik untuk menjadikan Candyman sebagai karya seninya, tapi riset-risetnya tentang itu justru menguak kembali mitos kelam di daerah tersebut. Yang berarti satu hal; Candyman juga ikut bangkit, dengan kesadisan yang sama untuk menempuh tujuan dan bentuk yang sedikit berbeda. 

Naskah film ini dikerjakan bareng oleh Peele, DeCosta, dan Win Rosenfield. Mereka mengambil cerita film pertama sebagai landasan, dan kemudian berhasil mengikatkan cerita asli tersebut ke dalam naratif yang mereka kembangkan. Meskipun ada sedikit yang berubah, atau mungkin tepatnya disesuaikan untuk fit pada narasi yang mereka bikin, tapi film ini tetap menghormati apa yang sudah dilandaskan. Kejadian di film pertama jadi urban-legend baru pada dunia film kedua ini. Karakter-karakternya jadi sosok legenda. Malahan, ada karakter yang sama dimunculkan kembali; ada karakter yang di film pertama masih bayi, di sini akan dijumpai sebagai karakter yang berperan dalam cerita. Untuk karakter utamanya sendiri, si Anthony, well.. Pada review Fear Street Trilogy (2021) sebelum ini, aku sudah menekankan betapa pentingnya bagi cerita untuk mengeset kepentingan tokoh utama yang membuat dia pantas untuk berada di dalam cerita. Horor di dalam cerita harus benar-benar berkenaan, kalo tidak personal, bagi dirinya. Film Candyman terbaru ini tidak punya masalah dalam hal tersebut. Karena Anthony betul-betul digarap sebagai titik sentral. Kita bisa bilang horor film ini berputar di sekelilingnya. Tadinya aku SangChi — eh itumah film Marvel… tadinya aku sangsi karena Anthony ‘hanya’ baru saja mendengar urban-legend Candyman dari karakter lain. Tapi ternyata film berhasil memberikan Anthony purpose dan andil dan keterikatan yang kuat. Bukan saja baginya ini personal karena dia telah memilih Candyman untuk dijadikan proyek seni, tapi juga karena semua itu diungkap berkaitan dengan masa lalu Anthony. Kejadian di film ini jadi sungguh-sungguh berarti baginya, yang membuat kita jadi peduli dan jadi berarti juga bagi kita.

Mitologinya terkait banget, namun juga tidak benar-benar perlu untuk menonton film pertamanya bagi penonton yang belum pernah menyaksikan. Karena film ini sudah menyiapkan beberapa bagian eksposisi yang menuturkan apa yang terjadi sebelumnya. Dan penjelasan itu dilakukan dengan kreatif. Dari segi visual, film menceritakan itu lewat gaya animasi seperti wayang (alias berupa boneka bayangan). Lalu dari segi ceritanya sendiri, film melakukannya dengan variasi, seperti pertama-tama diceritakan sesuai dengan bagaimana kejadian tersebut dipandang oleh masyarakat kulit-hitam sekarang, lalu baru kemudian diceritakan bagaimana kejadian itu sebenarnya terjadi. Jadinya, walaupun cukup banyak eksposisi, tapi tidak terasa membosankan. Karena memang dari segi gaya, film ini melakukan perombakan yang bahkan mencuat di antara genre horor itu sendiri. Like, ada adegan pembunuhan yang dilakukan sembari film ngezoom out – selagi kita dibuat menjauh dari ruangan tempat pembunuhan itu berlangsung. Kita dibiarkan menyipitkan mata berusaha melihat apa yang terjadi. Dan ini menambah misteri dari sosok Candyman itu sendiri. Sosok yang dalam film ini ditampilkan beraksi lewat pantulan-pantulan di cermin. Pembunuhan di galeri seni jadi terasa benar-benar berkreasi saat film hanya membiarkan Candyman bisa kita lihat lewat cermin.

Indikasinya tentu saja adalah bahwa Candyman dipersembahkan sebagai refleksi dari situasi ketimpangan itu sendiri. Anthony melihat dirinya menjadi Candyman di cermin, Anthony mengerang ketika sengatan lebah di tangannya menyebar, membentuk kulit bolong-bolong kayak sarang lebah. Body horor seperti demikian juga merupakan cerminan yang memperkuat gagasan film ini tentang si Candyman. “He’s not a man” Melainkan situasi atau sesuatu yang dirasakan yang terpersonifikasi menjadi makhluk horor. Anthony menjadi Candyman berarti Anthony perlahan mulai merasakan situasi tersebut, perlahan paham bahwa dia perlu mengambil tindakan atas situasi tersebut.

candymanc3MjljZGI3MGQzXkEyXkFqcGdeQXVyMTE4Nzk0MzE4._V1_
Tadinya aku kira sedang nonton versi bajakan karena credit pembuka film ini diberi font terbalik atau mirrored.

 

Sekarang saatnya kita berjingkat memasuki ranah spoiler. Apa sebenarnya makna dari Candyman. Bagaimana film mengembangkan mitologi Candyman dari film pertama menjadi bentukan yang sekarang, menjadi sosok horor yang membawa semangat keadilan bagi masalah ras.

Dalam film pertama, Candyman adalah entitas – atau katakanlah hantu – yang hidup sebagai mitos. Aslinya dia adalah anak seorang budak yang disiksa sampai mati karena ketahuan jatuh cinta sama wanita kulit putih. Candyman bangkit untuk memastikan cerita ketimpangan yang ia alami terus tersampaikan. Dia kembali setiap kali ada orang yang menganggapnya tidak nyata, dan bermain-main dengan ‘mantra pemanggilannya’. Rekam jejak nasib naas orang kulit hitam tetap hidup selama mitos Candyman hidup. Sesuai dengan yang diperlihatkan film baru ini, setiap kali ada korban ketimpangan, mereka akan berubah menjadi versi berikutnya dari Candyman. Namun, keberadaan Candyman mengalami peyorasi. Di opening film diperlihatkan ada orang hitam yang dikeroyok oleh polisi kulit putih karena dia dituduh sebagai pelaku yang mencelakai anak-anak lewat permen berisi silet. Si orang tadi mati dan menjadi Candyman, tapi orang-orang malah mengingatnya bukan sebagai korban hakim polisi, melainkan dari sesuatu yang tidak ia lakukan. Inilah yang jadi motivasi dalang dalam cerita film baru ini. Dia ingin mengembalikan Candyman kepada ‘fungsi’ terdahulu. Karena si dalang tahu yang sebenarnya terjadi pada si Candyman terakhir. Bahwa ini masih masalah kulit putih menghakimi kulit hitam hanya karena warna kulit yang berbeda. Sistem, tidak peduli sudah dipercantik, tetap busuk seperti demikian di dalamnya. Jadi sekarang si dalang, menggunakan Anthony yang membangkitkan Candyman, berusaha menciptakan Candyman baru untuk tujuan tersebut. Memberantas racial injustice yang merayap di balik kemajuan zaman, di balik gentrifikasi tempat tinggal mereka.

Bangunan bisa direnovasi. Brand bisa di-rebrand. Reputasi bisa diperbaiki. Bahkan sejarah bisa ditulis ulang. Orang-orang bisa lupa akan kejadiannya yang sebenarnya jika tidak ada yang namanya legenda. Peristiwa yang turun temurun diceritakan dari mulut ke mulut. Film Candyman memperlihatkan bahwa legenda itulah yang seharusnya tidak boleh hilang. Karena sebelum mereka dikesampingkan menjadi mitos, mereka memuat yang paling dekat yang kita sebut sebagai kebenaran. Dan dalam sistem yang timpang, yang memandang ras satu lebih mulia atau lebih nestapa, sedang terjadi ‘gentrifikasi’ untuk menutupinya. Candyman, di film ini telah berubah menjasi sosok pelindung, sosok yang memastikan bahwa permasalahan racial injustice masih ada – di mana-mana.

 

Jadi, ya, film yang disebut sebagai ‘spiritual sequel’ ini lebih fokus pada satu gagasan. Tidak seperti film originalnya yang hanya menjadikan Candyman sebagai sosok mitos yang pengen eksistensinya selalu dibicarakan orang, dijadikan “writing on the wall”. Candyman yang baru ini mengaitkan mitos tersebut lebih jauh, mencerminkannya dengan realita sehingga film ini bisa lebih berbobot untuk jadi sesuatu yang dipikirkan. Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, film baru ini malah jadi terasa kurang kompleks. Jangkauan film pertama ternyata lebih luas. Selain tentang ras, film itu juga bicara tentang dinamika gender dan kelas. Dan tentang rasnya itu sendiri, film tersebut lebih… apa ya, mungkin lebih balance tapi kurang tepat juga. Begini, pada film pertama Candyman menyerang siapapun yang mengucapkan namanya lima kali. In fact, Candyman khusus tampil di Cabrini-Green, kepada sesama kulit hitam. Dia jadi momok di sana. Candyman tidak peduli menumpahkan darah tak-bersalah. Film pertama itu berakhir dengan protagonis kulit putih yang balik mendapat prejudice sebagai black-hater, dan kemudian dia mendapat respek kembali dari komunitas minoritas tersebut. Bahkan diperlihatkan cewek yang bukan kulit hitam bisa juga kok jadi Candyman. Film itu terasa ‘whole’. Sedangkan pada film baru ini, Candyman hanya menyerang kulit putih. Candyman kini punya agenda untuk menegakkan keadilan. Dia tidak lagi membunuhi semua orang yang ada di ruangan (ada beberapa kali adegan Candyman tidak menyentuh orang kulit hitam yang ada saat dia beraksi)

Tentu, masalah polisi rasis, dan timpang ras secara umum adalah masalah serius yang perlu mendapat concern, dan kita semua perlu aware demi dunia yang lebih baik. Tapi dalam konteks conversations sebagai muatan film, Candyman baru ini terasa lebih sempit. Percakapannya terbatas jika dibandingkan Candyman original yang observasinya dari dua sisi. Film ini terlalu berusaha memberikan arti kepada sosok Candyman – bahwa dia harus melambangkan suatu gerakan atau agenda – sehingga bahkan elemen-elemen karakter lain jadi kurang mendapat porsi. Padahal karakter pacar Anthony punya backstory yang menarik; tentang hubungannya dengan adik, dengan ayahnya, juga soal pekerjaan dan perspektifnya sendiri. Menjelang akhir, memang ada seperti pergantian karakter utama – dari Anthony ke pacarnya ini, dan film kurang mulus pada transisi ini karena baik si pacar maupun Anthony selama durasi adalah nomor dua (dan tiga). Nomor satunya tetap bahasan Candyman. Dan itu kayak beating the dead horse, kita paham filmnya udah set Candyman sebagai penghukum orang putih yang cenderung rasis, jadi kenapa tidak expand the conversations a little more.

 

 

 

Bicara soal gentrifikasi, film ini sendiri juga melakukan perbaikan dalam beberapa hal yang ada pada film originalnya. Kesadisan masih tetap ada, tapi kali ini, nuansa film terlihat mewah dan stylish dengan gaya-gaya bercerita (bahkan gaya-gaya saat adegan pembunuhan) yang membuat film ini mencuat dari jenis horor pembunuh-hantu yang biasa. Ceritanya berhasil menyambungkan dengan film pertama sebagai landasan. Tapi juga dengan beberapa penyesuaian. Mitologi sosok ikoniknya juga diperbaiki sedikit, supaya sesuai dengan narasi yang diagendakan. Film ini punya gagasan, dan fokusnya pada gagasan tersebut membuat film sedikit terlalu banyak berusaha memberikan makna kepada sosok itu. Sehingga bahasannya jadi terbatas. Tidak sekompleks film originalnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CANDYMAN.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang perubahan Candyman seperti yang digambarkan pada film ini? Film Candyman mana yang lebih kalian sukai?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

FEAR STREET PART 2: 1978 Review

“Beware of that monster called ‘self-loathing'”

 

Bagian kedua dari trilogi Fear Street garapan Leigh Janiak mengambil tempat pada sebuah perkemahan musim-panas tahun 1978. Kemah musim-panas sendiri memang tahun 80an sudah menjadi staple dalam cerita-cerita horor Amerika, termasuk dalam film dan dalam cerita-cerita karangan R.L. Stine sendiri. Dalam seri Goosebumps originalnya aja ada tujuh cerita yang berset di kemah musim-panas. Sehingga tentu saja makes perfect sense jika Fear Street melangkahkan kaki ke sana. Membuat cerita perkemahan anak sekolah itu menjadi lebih sadis dan lebih berdarah-darah. Sesuai dengan ‘fitrahnya’ dalam jagat film horor. Kita tentunya tahu persis nama-nama kemah Crystal Lake, kamp Arawak, kamp Stonewater, Hurrah, beserta nama-nama pembunuh psikopat yang mengganas di masing-masingnya.

Kemah musim-panas adalah panggung bermain ideal untuk horor slasher, dan untungnya bagi Leigh Janiak, film-film tersebut tidak mengeset standar yang tinggi – paling enggak, tidak setinggi standar Scream yang berusaha dicapai (dengan gagal gemilang) oleh Janiak di Bagian Pertama Trilogi ini. Subgenre dari slasher 80an ini enggak harus cerdas. Enggak harus trendi. Untungnya bagi kita, Janiak kali ini paham mengenai advantage-nya tersebut. Dia menyuntikkan segenap hati pada cerita bunuh-bunuhan dan misteri supernatural. Membuat Fear Street Part Two sedikit lebih berbobot dan lebih gampang dinikmati daripada bagian sebelumnya.

fearstreethttps___netflixlife.com_files_image-exchange_2021_07_ie_70794-850x560
Kalo di kita, summer camp ini mungkin padanannya adalah pesantren kilat (?)

 

Pencarian kebenaran mitologi penyihir bernama Sarah Fier yang mengutuk kota Shadyside dengan serial-killer psikopat tak berkesudahan, membawa Deena (protagonis film bagian pertama) dan kita ke Camp Nightwing tahun 78 silam. Tepat beberapa saat sebelum kutukan penyihir itu menghantam, mewarnai kabin-kabin di tengah hutan itu dengan warna darah. Di masa lalu itulah kita bertemu dengan protagonis film bagian kedua ini. Dua kakak beradik Berman. Ada Ziggy, yang dibully oleh teman-teman dari Sunnyvale. Dan Cindy, yang bekerja sebagai pengawas perkemahan. Hubungan antara dua saudari inilah yang jadi hati dalam cerita. Karena hubungan mereka sebagai kakak-adik actually sangat tidak akur karena situasi keluarga, tapi mainly karena keduanya punya reaksi yang sangat bertolak belakang perihal dipandang kecil sebagai warga Shadyside. Ketika malam tiba, dan pacar Cindy disihir oleh kutukan sehingga menjadi Pembunuh Berkapak, Ziggy dan Cindy yang terpisah harus berusaha menyelamatkan diri sembari mencari cara untuk menghentikan kutukan tersebut. Berdua, atau tidak sama sekali.

Instantly, cerita yang jadi tubuh film bagian kedua ini terasa lebih kuat dan menarik dibandingkan film bagian pertama. Di sini kita dapat protagonis kakak-beradik yang berkonflik langsung dengan semuanya. Cerita ini sepenuhnya milik mereka. Ini bukan sekadar cerita survival dari pembunuh (yang kenal mereka secara personal), melainkan ada konflik sisterhood yang bisa kita pedulikan. Penulisan film kali ini bekerja dengan efektif mengaitkan karakter dengan bangunan mitologi, more importantly dengan kota yang menjadi bagian dari mitologi tersebut.

Soal kota tersebut actually adalah poin lemah pada bangunan film 1994. Film itu terlalu sibuk live it up ke slasher 90an sekaligus kepayahan untuk membuat protagonisnya tampak penting. Sehingga lupa untuk menghidupkan mitologi secara natural. Kebanyakan hanya lewat eksposisi, sedangkan kota Shadyside yang harusnya jadi karakter tempat mitologi tersebut bisa bersemayam dilewatkan begitu saja. Film 1978 kali ini, meskipun memang masih terdapat banyak eksposisi (kali ini tampak lebih natural karena hanya lewat buku catatan), tapi menyebut lebih banyak tentang bagaimana rasanya menjadi penduduk sebuah kota yang terkenal ‘sial’ karena banyak terjadi pembunuhan sadis. Film dengan bijak menggunakan setting kemah musim panas untuk melakukan hal tersebut. Kemah tersebut dihuni oleh anak-anak dari Shadyside dan Sunnyvale. Lewat interaksi para karakternya lah, kota-kota ini (terutama Shadyside) mulai terasa hidup sebagai karakter tersendiri. Kita melihat perbedaan status (dan bahkan nyaris perbedaan fisik) yang ditimbulkan oleh tinggal di kota tersebut. Setiap kali nama Shadyside disebut dalam perbincangan, kepercayaan kita akan kutukan dan ‘jelek’nya kota tersebut bertambah. Kita jadi seperti merasakan langsung pengaruh buruk kota tersebut kepada karakter-karakter penghuninya. Karena baik Ziggy, Cindy, maupun karakter pendukung seperti Alice dibuat punya kebencian dan ‘mekanisme bertahan’ sendiri terhadap status mereka sebagai warga.

Sadie Sink lebih beruntung dibandingkan alumni Stranger Things yang muncul di film 1994, karena dia mendapat peran yang lebih demanding secara emosi, dan literally lebih penting, pada film 1978 ini. Sebagai Ziggy, Sink harus memainkan angst remaja ke dalam note-note emosi yang intens. Ada kemarahan dan keputusasaan yang nyaris konstan harus dia keluarkan. Ziggy membenci fakta bahwa dia adalah warga Shadyside, dan tak ada yang bisa dia lakukan dengan hal itu. Dia hanya bisa menjadi diri sendiri, yang itu berarti dia harus dibully sepanjang waktu oleh anak-anak Sunnyvale. Dan ini membuatnya menjadi benci ama diri sendiri. Lalu datanglah kakaknya. Cindy (Emily Rudd diberikan karakter yang seperti ‘bermain’ dengan trope heroine slasher 80an), remaja baek-baek dengan kemeja polo putih sebagai lambang kemurnian atau kepolosan, atau apalah. Masalah Ziggy kepada Cindy adalah, kakaknya itu fake. Mencoba untuk menjadi seperti anak-anak Sunnyvale yang mentereng. Tapi tentu saja, sebenarnya ada alasan yang mengundang simpati juga kenapa Cindy memilih bertingkah ekstra-suci, tidak seperti sahabatnya, Alice, yang benar-benar embracing sisi gelap dari perkataan Sunnyvale seputar warga Shadyside.

Film bagian kedua ini memainkan konteks kota sebagai kutukan dengan lebih baik, karena semua ditempatkan ke dalam karakter. Manusia-manusia remaja dalam film ini semuanya membenci kota mereka. Bagi mereka melawan Sarah Fier adalah berjuang mengalahkan reputasi kota.  Ini membuat mereka lantas membenci diri mereka sendiri. Dan nantinya mereka harus menyadari, bahwa self-loathing itulah justru sebenarnya monster yang lebih berbahaya. Mereka akan menghancurkan diri sendiri jika terus berkubang di dalamnya. 

 

Untuk aspek horornya sendiri, film ini really embrace satu-serial-killer, dan juga tampak lebih fokus. Karena kesuperanaturalan cerita enggak jauh beda dengan monster-monster slasher seperti Jason Vorhees. Sama-sama inhuman. Dibandingkan film pertama yang tampil lebih blak-blakan dan kreatif, film kedua ini secara aksi tampil lebih tradisional. Penggal kepala dan beberapa yang seperti body-horror kayak tulang patah ataupun digerayangi lintah (dan berkecimpuk dalam kotoran) jadi sajian horor di sini. Tapi film ini justru membuktikan minimalis seperti demikian, bukan berarti tidak seram. Secara konteks justru sebenarnya lebih mengerikan, karena di sini yang dibunuhi dengan kejam pake kapak itu adalah anak-anak. Bahkan slasher 80an tidak banyak yang berani melakukannya, kebanyakan hanya menyerang remaja. Karena melibatkan anak-anak itulah, maka pembunuhan dalam 1978 ini banyak yang dilakukan di luar kamera. Tapi film memainkan semuanya dengan baik. Memperlihatkan potongan-potongan kecil anggota tubuh, membuat kita jadi membayangkan sendiri kejadiannya, and in a way, cara tersebut terasa lebih seram. Dan lebih membekas. 

fear-street-2
Adegan terakhir Ziggy dan Cindy aja udah no mercy banget

 

Apa lagi ya yang bisa kita bandingkan antara film ini dengan film pertama… oiya, keotentikan suasana. Buatku film 1994 itu gagal karena semua kemudahan dalam ceritanya malah membuat film terasa seperti sangat modern. Sementara itu, film 1978 ini punya keuntungan dari panggung kemah musim-panas tersebut. Secara kehororan, it is easier to replicate. Secara gimmick, juga enggak perlu banyak repot-repot. Film ini cukup memperlihatkan tape dan kaset berisi lagu-lagu 70an populer. Aku suka lagu-lagu rock semacam Cherry Bomb atau Carry On My Wayward Son, I mean who doesn’t. Tapi toh memang film ini terasa trying too hard untuk menghidupkan suasana, dengan memainkan lagu-lagu tersebut secara over. Yang gak benar-benar berhasil mereka perlihatkan alasan kenapa adegannya harus pakai lagu.

Fear Street 1978 adalah tontonan slasher ala 70-80an yang perfect, jika ceritanya dibuat berdiri sendiri. Sayangnya, ini adalah bagian dari trilogi. Dan konsep trilogi yang dipakai oleh Janiak membawa banyak, katakanlah, pengurangan nilai bagi performa film. Jadi, semua kejadian di perkemahan itu diceritakan kepada Deena dan adiknya, oleh C. Berman dewasa. Problema itu datang dari sini. Pertama, film ini bisa terlihat sebagai kelanjutan cerita Deena, yang Deenanya benar-benar total gak ngapa-ngapain selain duduk dengerin flashback. Ini akan membuat film bagian dua ini seperti cuma jembatan. Kedua, soal posisinya sebagai flashback itu sendiri. Ini adalah kisah dua bersaudara yang diceritakan oleh satu orang. Film akan membawa kita antara melihat sudut pandang Ziggy, dan sudut pandang Cindy. Kan jadi gak masuk akal, dari mana si satu orang yang bercerita ini tahu sudut pandang dari saudaranya – apa yang dialami oleh saudaranya. Padahal kita lihat adegannya lengkap, dan waktunya mepet sekali untuk ada tenggat si saudara telah menceritakan petualangannya. Jadi, film ini bermasalah pada perspektifnya. Dan ketiga, ini nitpick sih, tapi menurutku aneh sekali bagaimana film ini membuat siapa C. Berman itu sebagai twist, padahal siapa dia sebenarnya pasti sudah bisa langsung ditebak (karena memang gak perlu dirahasiakan). Mending mereka mengungkap kenapa C. Berman itu banyak banget ngoleksi jam di rumahnya.

Tentu, ini baru bagian kedua dari tiga cerita. Pertanyaan-pertanyaan belum terjawab pasti ada. Bisa dimaklumi film ingin ngebuild up dengan menyinggung atau memberi clue sedikit. Seperti soal mitologi penyihir, soal kekuatannya. Kita diperlihatkan ada benda berdenyut mengerikan di bawah tanah yang bikin penasaran banget. Mungkin itu hati si Sarah Feir, aku gatau. Kita mulai paham bahwa kekuatan Fier ditujukan untuk para warga Shadyside. Di film ini yang dibunuhnya cuma anak-anak berbaju biru. Tapi ketika darah menetes tulang atau kuburannya, Feir akan melepas semua pasukan psikopatnya untuk mengejar si empunya darah. Melihatnya sekarang, rule dari kekuatan penyihir ini masih membingungkan. Apalagi jika membandingkannya dengan film pertama, saat tentara si penyihir membunuh tiga orang Sunnyvale di rumah sakit, dalam rangka mengejar si Sam yang darahnya mengenai kuburan. Kinda breaking the rules? Kenapa yang dikapak paling parah di akhir film kedua ini justru bukan orang yang darah mimisannya netes (bukan orang yang harusnya jadi target pengejaran)? Dan bagaimana soal mimisan – kenapa ada beberapa orang yang mimisan, apa artinya mimisan itu?

 

 

 

Film ini bekerja terbaik saat dilihat sebagai cerita yang berdiri sendiri. Dia berhasil membangun mitologi dengan cara yang lebih efektif. Eksposisinya dimainkan dengan seimbang dengan penggalian karakter. Bahkan kota Shadyside berhasil dicuatkan. Karena ceritanya enggak melulu tentang orang panik dikejar-kejar. Ada momen-momen manusiawi yang bisa kita resapi di antara bunuh-bunuhan sadis ala slasher 80an. Sayangnya saat harus mengikatkan diri kepada film pertama, sebagai bagian dari trilogi, film ini justru jadi banyak minusnya. Perspekifnya jadi gak kuat, kepentingannya jadi berkurang. Eksistensi keseluruhannya jadi lemah. Tapi, sekali lagi, sebagai film sendiri, ini lebih baik daripada film bagian pertama. Lebih bisa dinikmati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for FEAR STREET PART 2: 1978.

 

 

 

That’s all we have for now.

Sebelum mencapai penutup trilogi, sudahkah kalian punya teori-teori sendiri mengenai Sarah Fier?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

WRONG TURN Review

“The ultimate tendency of civilization is towards barbarism.”
 

 
 
Sekelompok anak muda yang lagi travelling, salah belok, dan lantas tersesat di hutan. Membuat mereka jadi buruan dan dibunuh satu persatu oleh keluarga kanibal. Penulis Alan B. McElroy telah menetapkan konsep tersebut sebagai fondasi franchise Wrong Turn sejak 2003. Empat sekuel lahir dari film original tersebut, bukan karena bagus, melainkan karena kesimpelan trope ‘Remaja bego vs. Kelompok pembunuh sadis’ yang terus dipertahankan. Dan setelah bertahun-tahun mempertontonkan mindless torture dan kebrutalan bunuh-bunuhan, McElroy tampaknya tobat. Kini – hampir satu dekade dari film pertamanya – McElroy bersama sutradara Mike P. Nelson membanting stir franchise ini. Wrong Turn distart ulang, lalu dibelokkan arahnya ke tontonan yang lebih berisi. ‘Remaja bego vs. Kelompok pembunuh sadis’ tadi diberikan lapisan dan bobot. Sehingga kini mereka menjadi ‘Remaja vs. Kelompok Pembunuh” dengan lebih banyak depth di balik benturan di antara keduanya. Dengan ‘sadis’ dijadikan pertanyaan yang digunakan untuk menantang gagasan kita terhadapnya.

Akhirnya kita dapat reboot yang benar-benar dilakukan untuk memperbaiki kualitasnya

 
 
Slasher bunuh-bunuhan itu ditinggalkan jauh di belakang, salah satunya karena zaman yang memang sudah berubah. Sehingga film harus berevolusi guna menunjukkan fungsinya sebagai penanda zaman itu sendiri. Dan ini bukan hanya soal tren saat itu. You know, 2000an awal memang genre slasher lagi ngehits, film-film penyiksaan lagi sangat bergairah saat itu. Namun tentu saja semua itu berkaitan erat dengan subjek pelaku tren itu sendiri. Dalam hal ini, pelaku itu adalah anak muda. Nelson dan McElroy paham ada perbedaan signifikan antara perilaku dan gaya hidup anak muda atau remaja sekarang dengan anak muda yang hidup di 2000an (Yang bilang bedanya adalah anak muda sekarang masih remaja, anak muda dulu udah jadi tua-tua, aku jitak!) Meskipun masih sama suka hura-hura, tapi anak muda sekarang lebih cepat melek dan lebih mantap dalam mengenali apa yang mereka inginkan dalam hidup. Berkat teknologi yang semakin memegang peranan penting dalam kehidupan mereka.
Aspek itulah yang kini digali oleh Nelson dan McElroy dan dijadikan fondasi bangunan cerita mereka. Kelompok anak muda dalam Wrong Turn terbaru ini terdiri dari Jen (Charlotte Vega juggling antara cerdas, annoying, dan bad-ass) yang berbangga menjadi seorang barista dengan double degree seni tari dan art history, pacar Jen – si Darius – bekerja di lembaga sumberdaya nonprofit, teman-teman mereka pun semuanya punya keahlian. Ada yang menggeluti medis, ada yang ngembangin app, dan ada yang bisnis restoran-cabang kecil-kecilan. Mereka semua masih muda, suka hura-hura, tapi juga sudah berkontribusi kepada masyarakat dengan bekerja. Untuk membuat kelompok ini lebih kekinian dan ‘woke’ lagi, McElroy membuat karakter mereka terdiri dari pasangan antar-ras dan pasangan LGBT. Jen dan kelompoknya merepresentasikan generasi modern. Di film ini mereka akan mendapat tantangan dari older generation yang masih memegang ‘cara’ lama, yang memandang anak muda seperti mereka dengan sebelah mata. As in, mereka dianggap cuma tahu bersuka ria dan gak mau bekerja. Tapi konflik utama – clash utama – yang disajikan film ini bukanlah tentang Milenial melawan Boomer. Melainkan adalah ketika cara pandang dan gaya hidup modern mereka dituding sadis oleh kelompok penduduk yang memutuskan hidup terpencil di dalam hutan belantara.
Tema modern vs. barbar; penduduk kota lawan suku tradisional, merupakan tema yang bisa dibilang timeless. Tema ini bahkan sudah dieksplorasi pada 80an. Bagi genre bunuh-bunuhan, tema ini memang sudah seperti soulmate. It’s easy bikin cerita anak kota nyasar kemudian menemukan horor berupa kehidupan suku liar. Sudah banyak slasher yang hadir dari situ. Wrong Turn ini bahkan enggak lantas conform ke arah sana. Pertanyaan apakah sebenarnya manusia modern-lah yang lebih barbar dan sadis itu diajukan ke permukaan dengan lebih elegan.
Jen dan teman-teman hiking menyusur hutan hendak melihat-lihat trail atau jejak peradaban penduduk Appalachia jaman dahulu kala. Tapi mereka salah belok, mereka malah masuk ke wilayah komunitas yang menyebut diri sebagai The Foundation. Yakni komunitas yang memilih untuk tinggal di hutan, tinggal dengan alam, guna mempersiapkan rakyat baru. Komunitas itu percaya bahwa Amerika yang sekarang sudah semakin bobrok dan terbelakang, jadi mereka menyepi ke hutan untuk menjadi cikal bakal masyarakat yang lebih manusiawi. Jadi, antagonis Jen di film ini bukanlah penduduk kanibal terbelakang, melainkan manusia yang sama-sama modern, hanya saja berpandangan berbeda. Film membangun benturan kedua sisi ini dengan abu-abu. Pembunuhan pertama yang terjadi di dalam cerita, actually dilakukan oleh kelompok Jen terhadap anggota komunitas The Foundation. Kok bisa? karena Jen dan teman-teman sangat kebingungan di hutan yang penuh perangkap dan jebakan mematikan. Mereka terluka, mereka panik. Sehingga ketika bertemu dengan anggota The Foundation yang berpakaian bulu dan bertopeng tengkorak hewan, yang berbicara bahasa lokal, Jen dan teman-temannya semakin ketakutan dan menyangka yang enggak-enggak.
Jadi, ya, film ini sebenarnya adalah konflik dari dua sudut pandang mengenai cara hidup masyarakat yang dibalut oleh kejadian-kejadian yang mengenaskan. Film memposisikan diri persis berada di tengah-tengah. Bersama film, kita ikut setuju ketika kepala kelompok The Foundation bilang masyarakat normal-lah yang barbar dengan uang, eksploitasi, gaya hidup yang semakin individualis, dengan ketimpangan hidup yang semakin besar. Tapi kita juga setuju bareng Jen, bahwa hukuman mati,  dan memasang jebakan untuk membahayakan manusia lain – menganggap manusia enggak beda banyak ama binatang buruan, tak pelak merupakan perilaku barbaric.

Mungkin memang, Hukum Rimba – makan atau dimakan itu – sesungguhnya masih akan terus ada dalam peradaban manusia. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Mungkin, benar kata Nikolas Tesla. Yang kita perlukan sebenarnya adalah kontak dan pemahaman yang lebih baik, yang lebih dekat, antara individu dan komunitas. Film ini pun punya resolusi serupa dengan ide ‘penghapusan kebanggaan nasional dan pengabdian fanatik’ yang diajukan oleh Tesla tersebut.

 
Pilihan yang dibuat oleh Jen di menjelang akhir babak kedua film, membuat cerita tetap menarik. Membuat film ini terasa semakin fresh lagi di dalam genrenya sendiri. Kedalaman itu terus digali. In fact, dari penceritaannya, kita bisa melihat betapa film kali ini memang memfokuskan kepada kedalaman. Seolah sutradara ingin membuktikan bahwa film bunuh-bunuhan bisa kok punya kedalaman yang berarti. Wrong Turn actually dibuka pada periode Jen sudah menghilang selama enam minggu. Yang kita lihat pertama kali justru adalah ayah Jen yang berkeliling mencari putri semata wayangnya itu. Alur bercerita seperti ini mengingatkanku pada film bunuh-bunuhan dari Polandia yang kutonton baru-baru ini, All My Friends are Dead (2021). Film itu juga dibuka dengan adegan penyelidikan, untuk mengedepankan misteri pada cerita, dan kemudian di babak kedua kita dibawa flashback melihat apa yang sebenarnya terjadi. I’m not a fan of style like this. Namun, penceritaan pada Wrong Turn dilakukan dengan lebih baik daripada film tersebut. Karena ayah Jen nantinya akan kembali dibahas. karakter ayah Jen bukan hanya difungsikan sebagai pengantar, tapi juga menambah banyak ke dalam konteks dan untuk karakter Jen itu sendiri. Relasi Jen dengan ayahnya juga dibahas, dan didesain sebagai bentuk dari bagaimana generasi muda berkontra dengan generasi tua. Singkatnya, karakter ayah Jen membuat film ini jadi punya lapisan lebih banyak lagi.

Berbelok kembali ke jalan yang benar

 
 
Sementara telinga kita terus terbuka demi mendengar lebih banyak konflik dan bentrokan sudut pandang, mata kita mungkin akan lumayan kesulitan untuk tetap melotot. Karena sutradara enggak lupa dengan identitas dan legacy yang dibawa oleh filmnya ini. Wrong Turn masih meriah oleh banyak adegan kematian yang brutal. Absennya pembunuh kanibal digantikan oleh perangkap-perangkap maut tak-pandang bulu. Kamera akan menatap korban-korban mengenaskan itu tanpa segan, kalian mungkin harus mikir dua kali jika berniat nonton ini sebagai teman makan malam. Bagian awal film saat menceritakan ayah Jen mencari putrinya itu terasa lebih tenang dan misterius, sedangkan bagian tengahnya terasa sangat frantic dan berdarah-darah. Sesuai dengan kebutuhan cerita. Semua hal di hutan itu sukses dibuat mengerikan, bahkan pohon aja ternyata bukan pohon biasa di sana! Bagian akhir film ini, hebohnya, terasa sureal. Aku suka. Yang tidak aku suka adalah proses antara bagian tengah menuju bagian akhir. Terasa kurang banyak ruang untuk pengembangan yang maksimal, alias terasa agak terlalu cepat. Time skip dari cara bercerita yang membuatnya harus seperti itu, jadi mungkin kita masih bisa maklum.
Yang gak bisa dimaklumi itu adalah, karakter-karakter anak muda – yang demi identitas dan legacy tadi – dibuat tetep bego. Ketika mereka disebutkan mereka punya pekerjaan dan actually serius dalam menjalani hidup, kita agak kurang percaya. Karena yang kita lihat nanti adalah aksi-aksi dan pilihan yang terlalu sukar dipercaya. Reaksi yang terlalu berlebihan. Mereka sebagian besar masih tampak sama dengan karakter-karakter film slasher tahun 90-2000an. Kita tidak pernah melihat mereka sebagai karakter yang bakal survive. Sekiranya film juga melakukan pembenahan dari bentukan karakter mereka, maka tentu film ini akan jadi lebih baik lagi.
 
 
 
McElroy dan Nelson tidak salah belok saat mereka memutuskan untuk mengubah haluan franchise ini. Karena yang kita dapatkan adalah cerita bunuh-bunuhan yang lebih berisi. Enggak sekadar mati yang sadis dan karakter yang bego. Melainkan ada gagasan yang membalut kuat di balik aspek horor atau thrillernya tersebut. Ceritanya punya banyak lapisan, dan terkadang cukup terasa juga perjuangan film untuk menyeimbangkan dan mengikat semuanya. Usaha yang belum maksimal, tapi seenggaknya pantas sekali untuk diapresiasi. Karena sudah lama sekali kita selalu bertanya-tanya dalam protes, kenapa film bunuh-bunuhan selalu simpel dan dungu. Film ini hadir sebagai salah satu bukti bahwa jika pembuatnya berusaha, film genre tersebut ternyata mampu untuk jadi berbobot.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for WRONG TURN
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian setuju bahwa sekarang kita hidup dalam masyarakat yang sadis dan barbar?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FREAKY Review

“It’s what’s inside that counts”
 

 
 
Ada trademark baru yang sepertinya sedang dibangun oleh sutradara Christopher Landon. Yakni membangun narasi horor dari konsep unik pada film-film komedi tahun 80-90an. Landon sudah melakukannya – dengan cukup sukses pula! – pada franchise Happy Death Day yang muncul pertama tahun 2017; di mana ia merombak konsep time-loop pada Groundhog Day (1993) dan menjadikannya slasher komedi whodunit ala Scream. Dan di tahun yang aneh dan mengerikan ini, Landon mencoba kembali menyampaikan perpanjangan surat cintanya terhadap komedi dan horor, dengan membuat Freaky. Film yang ceritanya udah kayak gabungan dari elemen film Friday the 13th dan Freaky Friday (1976). Landon dalam film terbarunya ini membuat cerita bertukar-tubuh yang kocak dengan bumbu slasher. Menghasilkan sebuah tayangan menghibur dan lumayan aktraktif.
Yang bertukar-tubuh dalam cerita ini bukan ibu dan anak. Melainkan seorang cewek remaja bernama Millie (Kathryn Newton mengambil pilihan yang tepat, dengan enggak jadi menolak tawaran main di sini) dengan seorang serial killer yang udah jadi urban legend di kota; The Butcher (sekali ayun, Vince Vaughn dengan sukses menebas peran komedi dan peran brutal). Enggak dijelasin kenapa si Bucther sengaja memilih Millie untuk bertukar tubuh atau semua itu hanya ketidaksengajaan. Namun yang jelas Millie hanya punya waktu dua-puluh-empat jam untuk melacak Butcher yang bergerilya membunuh murid-murid di sekolah, mencuri pisau ajaib yang disita polisi, dan bertukar tubuh kembali sebelum pertukaran mereka menjadi “permanente”

Mungkin karena monster pembunuh setinggi 7 kaki sudah ketinggalan zaman?

 
 
Walaupun basically ini adalah cerita Millie, yang gak populer di sekolah dan dealing with keluarga yang jadi ‘saling pendiem’ sejak kepergian ayah, tapi adalah Vince Vaughn yang menggendong film mencapai tingkat kelucuan yang diharapkan. Aktor berbadan gede ini jadi highlight film ini berkat penampilan dual-aktingnya. Terutama di bagian saat dia harus berperan menjadi Millie yang terperangkap di tubuh lelaki dewasa. Vaughn dalam peran monster pembunuh memang tergolong sudah cukup biasa kita lihat. Di benakku masih membekas jelas akting ganasnya di film bag-big-dhuagg Brawl in the Cell Block 99 (2017). Tapi sebagai gadis remaja, he clearly is on another layer. Vaughn actually memang lebih banyak menghabiskan durasi dengan bermain sebagai Millie di tubuh pembunuh ketimbang sebagai monster pembunuh. Komedi datang dari dia harus memainkan karakter yang berorientasi terhadap tubuh barunya (bayangkan gimana gelinya cewek ketika dia sadar kini harus kencing berdiri) ataupun dari dia bertingkah lembut, tingkah yang nyata kontras sekali dengan tubuhnya. Film ini bijak untuk gak membuat Millie dalam tubuh Butcher otomatis gemulai – menjadikan tokoh ini kayak layaknya ‘banci’. Karena bagaimana pun juga karakter itu memang berbadan dan bertenaga kuat. Ada adegan ketika Millie dalam tubuh gede itu merasa bersalah karena menyakiti teman-temannya dengan tak sengaja. Vaughn-lah pilot dari semua akting tersebut, dan dia nailed it dengan meyakinkan.
Sebaliknya, Kathryn Newton enggak banyak kebagian porsi untuk bermain-main dengan perannya. Bagi Kat, aktingnya sebagai Millie beneran dan sebagai pembunuh berdarah dingin dalam tubuh anak cewek, simpelnya hanya kayak berpindah dari peran yang talkatif ke peran lebih banyak diam sembari nunjukin tampang sinis. Enggak banyak layer di karakter perannya setelah kedua tokoh bertukar tubuh. Porsi aksi dan bunuh-bunuhan memang lebih banyak dilakukan oleh Kat, tapi tentu saja ada banyak ‘bantuan’ teknik kamera dan editing dan stunt. Supaya gak salah paham, aku bukannya memandang gampang peran begini, karena sebenarnya bisa sangat menarik. Seperti karakter detektif Rosa Diaz dalam serial komedi Brooklyn Nine Nine, orangnya garang tapi bisa flip switch jadi cewek manis dalam penyamaran. Kuncinya adalah karakterisasi. Dalam Freaky, Kathryn Newton enggak banyak kebagian ‘main’ terutama karena naskah gak bisa terlalu banyak memberikan karakter untuk Butcher. Dia harus tetap satu-dimensi; jahat, karena cerita akan gagal kalo kita bersimpati kepada tokoh pembunuh. Bisa saja jadi menarik kalo film meneruskan elemen Butcher kini menemukan kesulitan membunuh orang karena kini tubuhnya lemah dan lebih kecil. But that element is quickly forgotten untuk alasan yang sama yakni jangan sampai kita bersimpati kepada tokoh pembunuh tadi.
Reaksi sekitar mereka terhadap pertukaran tubuh ini turut mengundang tawa dan memantik kejadian-kejadian menarik. Namun hal yang paling ‘freaky’ dari pertukaran ini adalah kenapa serial killer punya sense of fashion yang lebih tajam daripada cewek remaja hahaha… Millie tadinya diledekin teman-temannya karena pilihan pakaian yang ia kenakan. Ketika si Butcher yang di dalam tubuhnya, Millie tampil ke sekolah dengan jaket kulit dan rambut diikat ekor-kuda. Dia jadi badass. Yang tadinya ngeledek, kini terkesima. Si Pembunuh itu ternyata lebih jago mengarungi kehidupan remaja daripada si remaja itu sendiri. Sesuai dengan konteks dan gagasan film, itu karena Millie yang sekarang oozing with confidence. Seekor singa tentu tak akan mendengar celetukan para domba. Begitu juga dengan serial killer – seumur-umur pastilah dia tak pernah peduli sama opini orang-orang yang di benaknya mereka semua adalah calon korbannya. Masalah confidence seperti itulah yang jadi topik utama cerita film ini.

Film ingin nunjukin bukan masalah kau kecil atau tinggi-besar, cakep atau mengerikan, pada akhirnya yang tetap beresonansi dengan orang-orang itu adalah sesuatu yang ada di dalam jiwa kita. Semangat kita. Bagaimana karakter kita di dalam. Kita berani sebenarnya bukanlah karena berbadan besar. Atau kita lemah bukan karena badan kita ceking. It was more than that. Dan kepercayaan diri terhadap itulah yang harus dipupuk. 

 
Konteks gagasan tersebut jadi ada alasan buat film ini ngecast cewek secakep Kat sebagai gadis tak-populer. Ini sebenarnya kan trope Hollywood sejak 90an. Karakter yang dibully pasti dibintangi oleh bintang film yang memang udah cakep, lalu filmnya tinggal nge’makeover’ si tokoh. Pasang lipstik, pake baju modis, buka kacamata, ganti model rambut, dan voila! barulah orang-orang lihat dia sebagai cakep. Tadinya Kathryn Newton di sini, ya gitu juga. Aku gak bisa percaya dia diledek jelek dan gak ada yang suka, gak populer di sekolah. Tapi saat menghubungkan itu dengan gagasan film ini, it all adds up membangun sebuah konteks. Ketidakpercayaan diri Millie itulah yang membuat dia tampak lemah dan enak untuk ditindas. Dia hanya punya dua teman; keduanya dari stereotype minor; gay dan berkulit hitam, sehingga asumsinya adalah mereka bertiga adalah bahan bullyan anak-anak di sekolah – makanya mereka jadi bersahabat. Nantinya pengalaman Millie memiliki badan gede saat bertukar tubuh, menjadi dorongan semangat yang ia butuhkan supaya dia bisa belajar jadi lebih konfiden. Kita juga melihat tidak susah-susah amat bagi Millie untuk membuat teman-temannya percaya bahwa dirinya ada dalam tubuh si pembunuh, karena sahabatnya dapat melihat dan mengenali Millie yang sesungguhnya dari dalam. Ini message yang kuat untuk anak-anak seusia tokoh mereka. Dan yang aku senang adalah film enggak lupa untuk mengikat message ini. Millie diberikan kesempatan untuk unjuk mengembangkan diri, dia diberikan waktu untuk membuktikan dia bisa pede dan jadi berani saat dia sudah di tubuhnya sendiri, tanpa bantuan tubuh gede. Ini adalah cara film ngasih tahu bahwa si tokoh sudah belajar, arcnya telah komplit.

Seru ya kalo ada crossover: Freaky Death Day!!

 
 
Selain oleh karakter, film ini meriah oleh tropes dan reference dan parodi. Salah satu adegan pembunuhan yang jadi pembuka mirip banget ama adegan di Scream. Dengan itu saja film ini memang sudah menghibur. Akan lebih baik kalo dibarengi dengan penulisan yang lebih menambah ke dalam cerita. Dalam Freaky kita akan nemuin banyak elemen dan treatment yang ditarok hanya untuk seru-seruan dan gak banyak pemikiran di dalammnya. Kayak tulisan hari dan tanggal yang sempat muncul tiga kali di awal-awal. Dipakai hanya untuk referensi ke Jason, dengan font dan kata-kata yang dibuat serupa ama serial Friday the 13th. Padahal informasi hari Jumat tanggal 13 itu gak ada hubungannya langsung ama cerita. Belati ajaiblah yang bikin Millie dan Butcher bertukar tubuh, bukan hari jumat tanggal 13. Dan bahkan belati itu tidak diungkap jelas cara kerja dan segala macamnya, melainkan hanya difungsikan sebagai pembawa stake waktu dan sebagai latar bahwa ini adalah peristiwa supernatural.
Konflik keluarga Millie juga gak begitu sejalan dengan gagasan utama. Ibunya yang down sejak kematian ayah, Millie juga down, hanya kakaknya yang polisi-lah yang tegar; relasi ini enggak banyak bermain ke dalam cerita selain Millie dan ibunya jadi renggang karena sama-sama gak mau nunjukin perasaan dan duka masing-masing. Drama itu jadinya malah kayak sebuah alasan aja supaya si ibunya bisa make-sense untuk gak ada di waktu-waktu penting, sehingga story tokoh remaja ngejar pembunuh ini bisa berlangsung.
Ada satu lagi aspek yang buatku mengganjal dan menjadi kejatuhan utama nilai film ini. Adegan-adegan pembunuhan didesain gruesomely fun – menguatkan aura tongue and cheek film ini. Tapi aneh aja rasanya pembunuhan-pembunuhan sadis itu terasa berlalu gitu aja. Karena yang dibunuhi itu adalah orang-orang yang jahat ke Millie. Jadi kita gak tahu harus merasa gimana. Bersorak demi Millie, tapi yang beraksi bukan beneran Millie – hanya tubuhnya saja yang Millie. Kita mau kasihan sama korban juga gakbisa, karena mereka tadinya jahat ama Millie. Jadi gimana dong? Enggak banyak emosi di balik cerita saat memperlihatkan ‘Millie’ yang jahat. Cerita baru menarik saat cerita fokus di Millie yang berada dalam tubuh Butcher. Sederhananya; elemen bunuh-bunuhan dalam komedi slasher ini jadi kalah menarik ketimbang konflik – dan bahkan komedi fisik – yang datang dari raksasa yang berjiwa cewek remaja.
 
 
 
Untungnya nuansa thriller bisa tetap berkobar berkat kejar-kejaran antara kedua karakter yang saling bertukar tubuh. Gencetan dari waktu juga turut nambah lapisan ketegangan, menciptakan batas ‘game over’ pada narasi. Cerita yang dimiliki sebenarnya menarik, dan mengandung banyak muatan, sehingga punya potensi jadi thriller komedi yang benar-benar bulk up. Tapi, gencetan yang sebenarnya datang dari status karakternya. Satu karakter humanis, dan satunya lagi karakter ‘monster’ yang bisa dibilang kartunis. Film tidak bisa mengembang menjadi lebih berisi lagi karena dengan karakter begitu, outcome cerita tidak bisa berbalik dashyat. Hanya bisa ada satu perhentian untuk cerita dengan karakter begini. Karena jika dipaksa mau jadi lebih dramatis atau apa, maka pesan dan gagasan akan terkhianati. Maka film ini cukupkan diri hanya sebagai penghibur. Dan capaiannya sudah lebih dari cukup.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for FREAKY.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian nasib atau kehidupan kalian akan berbeda, jika kalian punya penampilan fisik yang berbeda dari diri kalian yang sekarang?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE BABYSITTER: KILLER QUEEN Review

“You will never get over with a crush until you find a new one.”
 

 
 
Ngelupain ‘crush’ atau ‘orang-yang-kita-idolain-ampe-naksir-berat’ itu dapat menjadi hal yang susah untuk dilakukan. Terutama jika ‘pujaan’ kita itu benar-benar dalam kondisi gak mungkin untuk kita dapatkan. Semakin mustahil justru semakin susah. Karena kita penasaran dan tidak mendapat closure terhadap perasaan naksir yang simply tak tersampaikan tersebut.
Tengok saja si Cole. Udah dua tahun. Udah dua film. Tapi dia masih belum bisa melupakan babysitter lamanya yang kece dan keren; Bee. Hubungan yang menarik antara Cole dan Bee memang menjadi salah satu aspek yang bikin kita begitu kepincut sama horor-komedi The Babysitter (2017). Karena bukan hanya sebagai cem ceman, Bee ini udah kayak kakak sekaligus sahabat terbaik bagi Cole. Dan juga, seorang musuh. The Babysitter berubah menjadi horor slasher over-the-top ketika mengungkap bahwa Bee ternyata adalah pemimpin dari klub pemuja setan. Kelompok Bee mengincar darah Cole, si anak polos. Jadi, di samping masih terbayang-bayang sosok Bee, Cole yang sekarang udah SMA juga masih teringat-ingat akan peristiwa mengerikan tersebut. Dia jadi awkard sendiri di sekolah. Orangtua Cole sudah akan mengirimnya ke Psychiatric Academy, jika Cole hari itu tidak kabur ke pantai bersama teman masa kecilnya, Melanie. Namun toh Cole memang tidak gila. Di alam bebas itu, Cole bertemu kembali dengan hantu-hantu dari masa lalunya. Mereka kini bekerja sama dengan geng baru pemuja setan. Dan mereka semua juga belum melupakan soal Cole dan darah innocent Cole yang begitu berharga untuk ritual mereka!

Dan kejar-kejaran konyol itupun dimulai~

 
Aku suka film film pertama; Samara Weaving-nya keren, ceritanya unik, sadisnya fun. Sebagai sebuah sekuel, The Babysitter: Killer Queen ini mempertahankan banyak hal dari film pertamanya. Penonton yang suka dengan gaya gore dan humor lebaynya, sudah pasti akan menggelinjang karena film kali ini menghadirkan lebih banyak ‘tubuh’ yang bakal digunakan untuk eksplorasi kreasi adegan mati yang kocak-kocak. Penonton yang suka dengan gimmick komedi tulisan dan visual akan bernostalgia berat karena film kedua ini menggunakan gimmick yang persis sama. Mulai dari menampilkan judul di opening hingga ke kemunculan momen ‘WTF’ yang dibikin sebagai throwback buat film pertama. Di sekuen finalnya juga; jika film pertama menggunakan lagu We are the Champions, maka di film kedua ini lagu Queen yang dipasang adalah – you guessed it – Kille Queen. So yea, buat penonton yang suka ama sensasi mengenali hal-hal familiar, film ini punya kelebihan pada aspek tersebut. Pemain-pemain yang lama juga semuanya masih lengkap, memainkan karakter mereka terdahulu. Bahkan adegan mati mereka di film ini digambarkan punya kemiripan dengan adegan mati mereka di film sebelumnya. Misalnya, tokoh si Bella Thorne kembali kena tembak di dada dan akhirnya mati dengan kepala yang misah dari badan. Walaupun film terlihat kesusahan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Samara Weaving (karena karakternya mendapat pengurangan durasi yang cukup besar dibanding pada film pertama), elemen horor yang konyol masih dihadirkan dengan level maksimal untuk menyenangkan kita yang semakin hari semakin bosan dan butuh tontonan yang membuat kita sekejap kabur dari realita.
Sayangnya, hal vital satu lagi – selain Samara Weaving – gagal dihadirkan kembali oleh film. Penulis skenario yang menggarap The Babysitter pertama, Brian Duffield, yang notabene bertanggung jawab atas hadirnya penggalian cerita antara Cole dan Bee, yang membuat horor ala home-invasion menjadi menegangkan plus seru dengan ide-ide segar, tidak lagi ambil bagian nulis pada sekuel ini. Duffield hanya terkredit sebagai pencipta karakter. Sebagai gantinya, naskah digarap rombongan oleh sutradara McG bersama tiga kepala lain. Dan hasilnya langsung kelihatan di layar yang kita tonton. Absen sudah narasi yang terstruktur kuat dengan karakter-karakter yang menarik karena bersenang-senang dengan trope karakter dalam genre horor. Kejadian dalam The Babysitter: Killer Queen ini terasa semakin serabutan karena tuntunan dunia atau panggung cerita yang semakin luas, sementara para penulis naskah tidak mampu mengimbangi perluasan tersebut.
Kejar-kejaran itu jadi terasa random. Literally menampilkan tokoh random. Bicara soal gak bisa move on, empat orang di balik naskah ini sepertinya benar-benar memuja para tokoh lama dan gak peduli ama tokoh baru sehingga justru para tokoh lama yang mendapat backstory lebih lengkap. Itupun penceritaannya dilakukan dengan ala kadar dan kayak tempelan. Tokoh-tokoh baru tak sekonyol tokoh lama. Di sini dimunculkan tokoh pendukung mayor baru; seorang cewek pindahan yang punya masa lalu dengan Bee, hanya saja pengkarakteran tokoh ini begitu tipis. Dia baru benar-benar diungkap di akhir, dan sepanjang durasi sebelumnya si cewek ini tak lebih dari device cerita saja.
Hal yang menarik dari tokoh itu adalah, melaluinya dirinya film tampak ingin meng-subvert atau menggulingkan salah satu trope horor klasik. Atau sederhananya, ingin mengubah solusi-klasik dari film horor. Menjadikan solusi itu menjadi lebih cocok dengan keadaan masa-sekarang. Bahasan di paragraf ini bakal jadi spoiler ringan, aku mau ngingetin sedikit sebelum lanjut. Jadi, horor-horor klasik dibuat berdasarkan formula kebaikan menang mengalahkan kejahatan, yang digambarkan seringkali dengan simbol kemurnian lawan sesuatu yang korup. Putih-hitam. Kemurnian di situ berarti keperawanan. Kita acap melihat dalam slasher klasik tokoh yang mati duluan itu ya remaja-remaja binal. Yang dibunuh saat lagi ena-ena. Protagonisnya adalah cewek baik-baik. Kemurniannya bakal mengalahkan corrupt-nya setan. Trope ini pernah ‘ditumbangkan’ oleh Scream (1996) dengan menjadikan Sidney final girl meski gak lagi ‘murni’. The Babysitter: Killer Queen ini seperti menggulingkan apa yang sudah pernah ditumbangkan itu sekali lagi. Di sini setannya mengejar sesuatu yang polos alias murni, dan solusi yang dihadirkan adalah dengan tidak menjadi murni. Justru ketidakmurnian itu yang langsung dijadikan senjata untuk mengalahkan setan. Implikasinya bisa tergantung bacaan masing-masing penonton, dan film tidak ngejudge apapun. Dan kupikir elemen ini tentunya adalah kekuatan dari film ini, jika saja si film ini sendiri tidak terlalu khusyuk menguatkan kekonyolan-kekonyolan dan ceritanya dibuat jauh lebih rapi lagi.
Mungkin The Babysitter dibuat dengan deal ama setan, dan sekuel ini dijadikan tumbal

 
 

Salah satu cara ampuh untuk melupakan ‘crush’ adalah dengan menemukan pujaan yang baru. Cole menemukan ini dan akhirnya mendapat closure. Sayangnya si film sendiri belum, sehingga dirinya jadi terlalu berkubang di film terdahulu dan malah jadi seperti parodi dari film tersebut.

 
Jangankan untuk menyamai film pertamanya, untuk menjadi sebuah tontonan yang menghibur saja film ini tidak lagi mampu. Kekonyolan yang dihadirkan tidak lagi bikin kita senang karena terlalu over. Untuk awal-awal masih bisa ditolerir, namun kemudian semakin menjadi-jadi. Menyeruak ke mana-mana. Lelucon film ini bersandar pada referensi pop culture, dengan rentang yang sungguh luas. Dari polisi yang nyanyi “Ice, ice, baby” hingga ke Joe Exotic dan celetukan soal horor post-Jordan Peele. Untuk komedi dan aksi slashernya, film ini udah menyerempet level ‘edan’, dan edan yang bukan dalam artian positif. Edan, dalam artian kejadiannya terjadi tanpa ada bobot karena begitu random. Semuanya terasa overkill. Dan yang membuatnya semakin parah adalah, kejadian-kejadian tersebut akan jarang sekali terasa fresh. Ada satu sekuen-adegan yang buatku sangat garing. Yakni ketika ada dua tokoh yang berantem; film membuat berantem mereka itu dengan konsep seperti video game. Ada suara “Fight!” dari narator, di sudut atas layar kita kemudian tampil life-bar seperti pada game fighting, dan kedua tokoh tadi berantem pake jurus-jurus. Itu semua terjadi out-of-nowhere. Tampak seperti ingin niru Scott Pilgrim vs. The World, hanya saja dilakukan dengan lebih poor, dan randomnya tidak termaafkan karena tak sesuai degan dunia cerita yang dibangun. Like, kenapa di dunia yang ada cult dan setan, malah nonjolin konsep video game.
 
 
 
Masing-masing penulis tampaknya punya ide dan referensi. Tapi alih-alih berembuk dan menyatukannya menjadi satu konsep yang solid, semua ide dan referensi itu ditampilkan serabutan. Dicampurkan ke dunia dan tokoh-tokoh yang sudah kita kenal. Dan hasilnya ya memang sebuah kekonyolan yang menyerempet ke segala arah. Film ini tidak mampu menulis cerita dan karakter baru yang menyamai, setidaknya, bobot pada film pertama. Film ini tidak mampu menciptakan konsep baru. Film hanya tahu membuat semuanya jadi berskala lebih besar. Sayangnya, itu termasuk kebegoan. Malahan kebegoan itulah yang justru diprioritaskan untuk membesar.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE BABYSITTER: KILLER QUEEN

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Who’s your biggest crush ever? Dan bagaimana cara kalian move on darinya, jika bisa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CHILD’S PLAY Review

“And this is a friendship that will never ever end”

 

 

Lewat beragam poster teaser yang cerdas, meski sedikit terlampu nekat, digambarkan secara eksplisit Chucky membantai tokoh-tokoh mainan Toy Story. Reboot Child’s Play di negara asalnya memang tayang berbarengan dengan Toy Story 4 (2019). Dan ternyata, untuk menambah kesan ‘mengerikan’, kesamaan film ini dengan animasi Pixar tersebut tidak berakhir sampai di sana.

Pertama-tama, pemilik Chucky juga bernama Andy. Tapi tentu saja tidak semua film yang memajang tokoh anak kecil dimaksudkan sebagai tontonan untuk anak-anak. Terutama jika tokoh anak tadi punya mainan yang mengucapkan sumpah serapah dan bisa belajar untuk berbuat kekerasan. Chucky dalam Child’s Play adalah gambaran gelap dari keinginan Woody dan teman-teman dalam Toy Story. Film ini juga memiliki filosofi yang sama; semua mainan ingin dimainkan. Seperti Woody kepada Andy, Chucky kepada Andy-nya (as in, Andy miliknya satu-satunya) juga punya masalah ketergantungan. Hanya saja, ketergantungan Chucky – ‘kepolosan Chucky’ – enggak ada imut-imutnya sama sekali.

Dalam adegan pembuka kita melihat Chucky merupakan produk boneka modern merek Buddi yang diprogram untuk berteman selamanya dengan anak yang membeli. Tapi Chucky diprogram untuk bisa berbuat jahat, berkat salah satu pekerja yang sakit hati diperlakukan semena-mena oleh mandor pabrik mainan. Chucky yang matanya menyala merah alih-alih biru itu pun sampai di tangan Karen (peran ibu muda yang cool yang cocok banget dibawakan oleh Aubrey Plaza), seorang single-parent berjuang sebagai karyawan supermarket, yang menghadiahi Chucky kepada anaknya. Andy (Gabriel Bateman memainkan anak menjelang ABG yang edgy) yang tak punya teman di lingkungan baru mereka pada awalnya memang senang bermain dengan boneka Buddi yang canggih. Dengan ‘safe protocol’ tak pernah terinstall, Chucky punya keistimewaan yang membuat dirinya tidak semembosankan boneka-boneka yang lain. Tapi yang diperbuat oleh Chucky semakin lama tampak semakin berbahaya. Boneka ini hanya mau membuat Andy senang, namun dia tidak punya batasan. Andy yang merasa ngeri mulai menjauh, tapi itu hanya membuat Chucky semakin bernapsu untuk terus bermain bersama. Mayat-mayat pun mulai menumpuk di sekitar Andy, yang berjuang untuk membuktikan semua kejadian tersebut merupakan ulah dari sebuah boneka.

ide judul film horor: Hutang Buddi Dibawa Mati.. ayo, Produser-Produser, ditunggu teleponnya

 

Sejak 1988, Chucky susah untuk dibunuh. Literally. Bahkan pembuatnya saja, Don Mancini, gak sanggup untuk menghentikan lajunya bibit-bibit sekuel yang terus bermunculan. Child’s Play versi baru ini lucu lantaran lahir di saat sekuel orisinalnya masih berlanjut. Bahkan bakalan ada series yang menyambung timeline di cerita aslinya.  Sutradara asal Norwegia, Lars Klevberg, jelas punya visi yang begitu kuat sehingga dengan pedenya dia tetap membuat Child’s Play. Paling tidak, dia paham untuk membuat suatu reboot atau remake dibutuhkan perubahan dan alterasi yang benar-benar matang, perlu gagasan yang membuat cerita tadi terasa segar. Jadi, ya, kita akan melihat banyak perbedaan signifikan antara Child’s Play versi ini dengan versi orisinal-dan-peranakannya. Terutama dari si Chucky itu sendiri.

Untuk meremajakan kisah ini, Klevberg membuang elemen supernatural. Chucky tidak lagi dirasuki oleh jiwa Charles Lee Ray, seorang kriminal penyembah setan. Chucky di film ini adalah sebuah gadget sangat canggih. Dia boneka yang dibuat oleh perusahaan elektronik besar – bayangkan Apple yang tidak membuat telepon pintar melainkan boneka pintar. Chucky dan boneka-boneka Buddi punya sistem online yang membuat mereka terhubung dengan aplikasi-aplikasi seperti saluran televisi, layanan transportasi, dan mainan-mainan elektronik. Jadi begitu Chucky mengamuk di paruh akhir cerita dengan menggerakkan berbagai macam barang-barang, kita merasa lebih ngeri karena lebih mudah membayangkan teknologi yang kita miliki tiba-tiba malfungsi alih-alih membayangkan ada makhluk poltergeist mengendalikan mereka. Mungkin kita bakal merasa sedikit ditegur, karena film ini menunjukkan malapetaka bernama Chucky itu justru datang dari kelalaian manusia dalam menangani teknologi. Melihat Chucky, berarti kita melihat perjalanan sesuatu yang tadinya netral menjadi berbahaya karena manusia di sekitar Chucky memutuskan untuk menggunakannya untuk sesuatu yang buruk ataupun tak berfaedah. Chucky belajar membunuh lewat televisi; dia menyaksikan Andy dan teman-temannya terhibur oleh adegan sadis. Sebaliknya, melihat Andy, berarti kita melihat pembelajaran tentang betapa kita kadang tidak menyadari kita tidak memerlukan hal yang kita pinta, sebab film ini menunjukkan harapan-harapan Andy diwujudkan oleh Chucky secara mengerikan.

Persahabatan hingga-akhir yang disebut oleh film ini boleh jadi merujuk kepada hubungan saling ketergantungan antara manusia dengan teknologi. Manusia menciptakan sesuatu berkenaan dengan kebutuhannya akan penghiburan. Sebaliknya, hiburan yang diciptakan justru berbalik menjadi mempengaruhi manusia. Dalam film ini kita melihat pengaruh kekuatan Chucky bisa begitu luas lantaran manusia sudah sedemikian konsumtifnya terhadap penggunaan teknologi, sehingga manusia menjadi lepas kontrol.

 

Klevberg, untungnya tidak seperti Chucky yang galau gak diajak main sehingga melakukan hal-hal di luar norma. Klevberg tahu batasan dalam ‘bermain-main’. Child’s Play yang dibuatnya punya perbedaan signifikan tetap mempertahankan sisi-sisi yang membuat film aslinya menjadi sensasi horor-cult. Film ini, sukur alhamdulillah, tidak dibuatnya ekstra kelam dengan backstory yang serius. Film-film Chucky selalu merupakan film horor hiburan yang konyol. Sadis tapi menggelikan. Kita dimanjakannya dengan adegan-adegan kematian yang over-the-top. Banyak hal-hal horor yang hilarious bertebaran di sepanjang film. Rating R membuat film ini lebih leluasa dalam bercanda dan berslasher ria. Aku tantang kalian untuk tidak tertawa miris melihat semangka yang dihadiahkan Chucky kepada Andy. Film ini tahu cara menjadi horor 80-an yang baik. Kita punya keluarga  dengan dinamika yang khas – aku suka cara film menghubungkan Andy dengan ibunya dengan seorang polisi yang juga punya ibu. Kita punya geng anak-anak yang berusaha merahasiakan sesuatu, yang di luar nalar dan kemampuan mereka. Kita punya adegan ‘one last scare’ dan satu dialog pamungkas dari seorang ‘final girl’. Film ini sudah memenuhi kriteria horor yang ikonik – ia akan menjadi modern-klasik. Pembuat film tampak banyak bersenang-senang. Ada banyak adegan easter egg dan foreshadowing, seperti ketika di awal-awal kita melihat ibu Andy melakukan gestur gantung diri sebagai tanggapannya terhadap reaksi Andy ketika dihadiahi Chucky. Mark Hamill, terutama, terdengar sangat asik menyuarakan Chucky. Hamill memberikan ciri tersendiri yang membuatnya berbeda, sekaligus tak dipandang sebelah mata.

Andy tadinya mau ngasih nama Han Solo kepada boneka Buddinya hhihi

 

Dan sebagaimana pada horor-horor jadul, tokoh pada film ini pun tak banyak diberikan karakteristik. Beberapa di antara mereka sangat klise. Dalam teman segeng ada yang gendut, ada yang aneh, ada yang jahat. Ibunya Andy punya pacar dan si pacar itu brengsek satu-dimensi yang punya masalah dengan Andy. Semua trope karakter itu mungkin bisa dioverlook, karena kita lebih peduli sama cara mereka dibuat mati nantinya. Tapi tetep saja kita berpikir, kalo saja mereka ditulis dengan lebih baik.  Kita tidak harus menunggu mereka mati, tertawa ngeri, dan kemudian tak peduli. Inilah yang membuat film-film horor barat itu yang terkenalnya malah sosok pembunuhnya. Mereka malah menjadi ‘hero’ yang kita cheer. Kita tidak merasa kasihan sama manusia-manusia yang menjadi korban. Padahal mestinya paling enggak kita peduli sama mereka. Salah satu hubungan yang menurutku bakal bikin film semakin asik ditonton adalah antara ibu Andy dengan polisi tetangga mereka. Aku ngarep mereka lebih banyak ditonjolkan lagi.

Perbedaan yang dibuat oleh sutradara, selain memberikan rasa segar, juga menjadi salah satu kekurangan. Chucky dalam film ini kehilangan jiwa. Karena dia tak pernah seorang manusia seperti Chucky jaman dulu. Chucky kini hanya A.I. Film berusaha membuat dia tampak polos – seperti E.T. malah, dia belajar dari sekitar. Tapi bahkan E.T. adalah makhluk hidup. Sedangkan di sini kita sudah tahu bahwa Chucky hanya diprogram. Kita tahu perasaan ingin berteman dan membahagiakan Andy itu artifisial sedari awal. Kemudian kita tahu dia dibuat bisa melakukan kekerasan yang malah membuat kita mempertanyakan aturan main dari kejahatan di dalam ciri Chucky. Kenapa dia tidak langsung berkembang sedari awal. Pada titik mana tepatnya Chucky meninggalkan kebaikan. Film ini lumayan mengeksplorasi lingkungan sekitar, yang berkaitan dengan perkembangan Chucky – soal Andy yang juga termasuk ‘kasar’ karena Ibunya sedikit terlalu bebas dalam hal parenting. Tapi tetap saja, Chucky yang sekarang punya karakter yang lebih tipis ketimbang yang dulu. Salah satu cara film untuk memperlihatkan seolah Chucky punya karakter adalah dengan adegan dia ‘bercandar’ dengan Andy saat mengubah wajahnya. But it’s more silly karena memusatkan perhatian kita semua kepada betapa anehnya desain Chucky yang sekarang. Cukup susah untuk mempercayai desain creepy seperti itu dipilih sebagai mainan sahabat manusia.

 

 

 

Pada dasarnya ini adalah salah satu dari sedikit sekali remake/reboot yang bener; yang dibuat dengan bener-bener ada perubahan positif dan visi baru yang membuatnya tampak serupa tapi tak sama. Film ini juga berhasil tampil seru, menyenangkan, menghibur, sekaligus berdarah – khas horor klasik jaman dulu. Aku bener-bener senang di bulan Juli ini dapet dua horor yang tau persis cara membuat horor yang menghibur. Jika kalian bisa tahan sedikit jumpscare dan enggak masalah soal desain baru Chucky yang hanya sedikit lebih rupawan daripada Annabelle, film ini hiburan yang cocok ditonton berkali-kali. Karena pengkarakteran yang tipis itu tak-pernah menadi sandungan besar untuk film-film seperti ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for CHILD’S PLAY.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Child’s Play, tampaknya, adalah seri pertama dan satu-satunya yang diciptakan saat originalnya masih berlangsung. Kayak gak mau kalah ama Annabelle. Menurut kalian kenapa orang suka menjadikan benda-benda polos seperti boneka sebagai simbol horor?

Kenapa, seperti Andy dan teman-teman, kita begitu excited melihat benda-benda lucu melakukan hal-hal kasar/keji/tak-senonoh?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

HALLOWEEN Review

Be the person you needed when you were younger

 

 

 

Jangan macem-macem dengan orang gila. Terutama orang gila yang ditahan karena membunuh para babysitter remaja, bahkan kakaknya sendiri. Jangan dekati dia. Jangan diajak bicara. Jangan kasih lihat topeng yang dipakainya beraksi. Dan terutama, jangan berusaha melakukan mediasi antara si Gila dengan korbannya. Pertama, hal tersebut bisa tampak sebagai solusi bego seperti yang dilakukan Grab menangani kasus driver mesum. Dan kedua, bisa saja sekarang si korban sudah sama gilanya!

Trauma tidak berakhir begitu saja seselesainya masalah. Trauma dapat berdampak jangka panjang dan mempengaruhi bukan saja korbannya, melainkan juga orang-orang di sekitar korban. Perjuangan dan efek dari kekerasan terhadap korban nun jauh setelah peristiwa mengerikan itu terjadi menjadi tema utama yang dibahas dalam Halloween, menjadikan film ini salah satu dari jarang sekali horor slasher yang benar-benar punya makna mendalam

 

Halloween garapan David Gordon Green, menebas mati semua sekuel dari Halloween buatan John Carpenter (1978), karena ceritanya ini melompati empat-puluh tahun setelah kejadian 1978. It is a direct sequel. Halloween 2 enggak pernah terjadi. Halloween H20 apalagi. Halloween Rob Zombie pun dengan sangat menyesal, lantaran aku suka film-filmnya, ke laut aje. Dan kita melihat langsung dampak trauma selamat dari kejaran Myers tersebut kepada Laurie Strode. Bahkan film ini juga menepis aspek Laurie adalah adek dari Myers seperti yang selama ini kita ketahui. Laurie (Scream Queen legendaris Jamie Lee Curtis bertransformasi menjadi nenek paling badass) masih terus terbayang-bayang Myers, meskipun si maniak tersebut sudah bertahun-tahun mendekam di tahanann. Laurie, secara masuk akal, menjadi wanita yang paranoid. Dia melatih dirinya supaya menjadi lebih kuat, dia mempersiapkan banyak hal, dia mengurung diri di dalam rumah yang ia bangun penuh dengan senjata, ruang bawah tanah rahasia, praktisnya dia mengubah hunian menjadi benteng perang karena ia percaya Myers akan keluar dari penjara dan kembali mengejarnya. Jika ada satu kata orang yang ia percayai, maka itu adalah “Just kill it” ucapan Dr. Loomis yang sudah lama menyerah mempelajari Michael Myers.

Dan sekarang kita punya tiga film berjudul Halloween, selamat bersenang-senang membedakannya

 

 

Laurie Strode dan masalah ketakutannya menjadi hal terbaik yang dipunya oleh Halloween 2018 ini. Film akan memperlihatkan gimana hubungan Laurie dengan keluarganya. Laurie menjadi ‘jauh’ dengan anak perempuannya, yang ia besarkan dengan latihan menembak dan segala situasi panik lainnya. Karen, si anak, tentu saja jengah dengan ketakutan dan keterlalusiapin ibunya. Ada tensi dalam hubungan ibu dan anak ini. Sementara, anak Karen, Allyson; alias cucunya Laurie mencoba untuk menjembatani, untuk menghubungkan kembali keluarga mereka. Ada banyak orang yang terlibat dalam plot film ini. Aku berharap mereka lebih fokus dalam bercerita, karena apa yang kita dapat di sini sebenarnya sangat terpecah. Laurie punya perspektif yang kuat, kita butuh lebih banyak pembahasan mengenai dirinya. Tetapi film berusaha menyeimbangkan tiga tokoh beda generasi, sehingga ceritanya menjadi kurang fokus. Dalam sebuah perjalanan pindah ke penjara, bus tahanan yang mengangkut Myers dan dokter barunya kecelakaan. Menyebabkan Myers kabur dan kembali ke kota lamanya, dia mengejar bukan hanya Laurie – tapi juga seluruh keturunannya. Kita hanya bisa berasumsi Myers tahu keadaan Laurie dari mencuri dengar berita saat dia berada dalam tahanan.

Yang ingin dilakukan Laurie adalah mempersiapkan keluarganya akan trauma yang sudah menyerangnya. Laurie ingin anaknya, cucunya, bisa membela diri saat keadaan menjadi buruk – sehingga mereka tidak menjadi sehancur dirinya.

 

 

At first, sepertinya film akan membawa kita ke semacam pertukaran peran. Obsesi Laurie soal kembalinya Myers sempat menggoda benakku dengan kemungkinan gimana kalo ternyata kali ini Laurie yang memburu Myers, gimana kalo topeng itu dikenakan oleh Laurie dan actually Myers harus bertahan hidup darinya. It’s kinda silly thought, namun sebagai pembelaan aku merasakan elemen komedi dalam arahan film ini. Dan toh, menjelang masuk babak tiga kita beneran melihat – aku gak mau spoiler banyak – seseorang tak terduga memungut dan mengenakan topeng Myers. Buatku it should be a legit story point, namun film membuatnya hanya jadi semacam aspek sampingan yang dianulir dan dilupakan sesegera mungkin aspek tersebut diperlihatkan. Maksudku, cukup menarik kita dikasih lihat segala precaution yang diambil Laurie membuat dia tampak ‘jahat’ di mata anaknya. Sudut pandang Karen juga sebenarnya lumayan menarik. Aku tidak akan masalah jika film ini mengambil Karen sebagai tokoh utama. Tapi film seperti kesulitan menyeimbangkan porsi cerita. Dan ultimately, film harus menyerah kalah kepada kebutuhan untuk tampil meta dan tampak menarik di mata penonton muda. Alih-alih berpusat pada drama kejiwaan wanita yang membuang segalanya demi menjamin keselamatan diri dan orang yang ia sayangi, film merasa perlu untuk kembali memperlihatkan kehidupan remaja; drama pacaran mereka, dengan tokoh-tokoh pendukung yang hanya ada di sana sebagai penyumbang warna merah untuk pisau Myers.

Halloween yang kesulitan tampil konsisten dalam bercerita tidak pernah punya waktu lagi untuk membangun atmosfer. Penggunaan musik ngagetin juga cukup banyak kita dapati di film ini, dan ini menyedihkan mengingat original Halloween adalah film yang sunyi, yang dengan berani memperlihatkan adegan ngagetin begitu saja tanpa suara non-diegetic. Dan menurutku inilah kesalahan film yang paling fatal yang paling mengecewakan. Tidak ada suasana yang membuatnya terasa mencekam, apalagi terasa berbeda. Padahal adegan opening film ini sangat unsettling; kita melihat Myers yang diam tak bergeming – bersusah payah menahan diri – ketika disodorin topeng, sementara orang-orang gila dan anjing-anjing penjaga di sekitarnya pada melolong gila. The rest of this film tidak pernah lagi mencapai kengerian yang serupa. Suasana Halloween film ini tidak banyak berbeda dengan malam halloween yang kita lihat di Goosebumps 2: Haunted Halloween (2018), bahkan adegan di pesta pada kedua film ini hampir sama persis.

dan yang keselnya kedua cowok brengsek di dua film itu sama-sama enggak kena ‘hukuman’

 

Ada banyak adegan yang diniatkan untuk persembahan kepada Halloween orisinil, tapi atmosfernya tidak terasa. Jadi seperti hanya meniru. Green seharusnya menyadari bahwa sinematografi yang menyamai dan musik ikonik yang diputar ulang tidak serta merta mampu mereplika atmosfer secara keseluruhan. Bahkan ada juga adegan-adegan yang seperti direka ulang dari sekuel-sekuel Halloween yang semestinya sudah dianggap tidak ada, seperti adegan di bilik toilet yang mirip sekali dengan adegan di Halloween H20 (1998). Serta cukup aneh gimana para tokoh di film ini menganggap Myers seperti legenda paling mengerikan, mengingat di dunia cerita ini Myers ditahan 40 tahun, dan korbannya hanya lima orang remaja – rasanya gak sesuai dengan reputasinya, apalagi di satu adegan ada tokoh anak muda yang terang-terangan bilang yang dilakukan Myers gak begitu sadis untuk ukuran jaman sekarang.

Kiprah Green dalam membesut cerita komedi dan drama kadang hadir dalam film ini. Particularly dalam drama seputar keluarga Laurie, yang mana menurutku, kita butuh lebih banyak dari yang beneran kita dapatkan. Untuk komedinya, sayangnya, cukup mengganggu. Ada banyak adegan lucu yang jatohnya enggak perlu dan hanya mengusik tone seram yang sedang dibangun. Misalnya ketika cucu Laurie bertemu dengan Myers, kita diselingi adegan humor dua orang polisi yang sedang membicarakan bekal makanan mereka. Betapa sebuah distraksi yang membuat kita terlepas dari suasana. Ada banyak adegan semacam itu dalam film ini, membuat tone cerita juga sama tidak seimbangnya.

 

Selain topeng yang terlihat otentik seram dan presence dirinya yang seolah menelan bulat-bulat kita semua, yang terutama membuat Michael Myers fenomenal adalah dulunya, tindak pembunuhan yang ia lakukan bisa dilihat sebagai bentuk metafora dari akibat bobroknya moral remaja. Meta horor slasher yang ditetapkan oleh film Halloweennya John Carpenter adalah remaja yang berhubungan di luar nikah, yang mabuk-mabukan, akan jadi korban dari Myers. Sementara Laurie Strode yang inosen dari pergaulan semacam itu berhasil selamat dan jadi jagoan. Dalam film Halloween kali ini, korban Myers tidak terbatas pada remaja yang melakukan perbuatan amoral. Myers ngestalk pelajar cupu, dia membantai seorang ibu rumah tangga, sebenarnya secara tematis hal tersebut diniatkan sebagai kontra dari segala kesiapan Laurie; bahwa kemalangan bisa datang kapan saja di mana saja.

Karena hal tersebutlah, Myers adalah antagonis sempurna buat protagonis Laurie di film ini; tragedi tidak bisa diantisipasi.

 

 

 

 




Aksi kekerasan dalam film ini brutal, pembunuhannya kreatif – baik itu menyuguhkan hal baru ataupun merombak adegan yang lama dan menjadikannya sebagai referensi subtil. Mengatakannya sekuel Halloween terbaik enggak necessarily adalah prestasi yang membanggakan. Sebab eksplorasi yang dilakukan film seharusnya lebih jauh daripada ini. Ada elemen trauma dan drama keluarga yang mestinya bisa diceritakan lebih banyak dibanding pembunuhan orang-orang tak berdosa. Film ini punya banyak tokoh, dan sebagian mereka diperkenalkan sesaat sebelum Myers menikam mereka, sehingga banyak elemen dalam film yang terasa pointless. Film ini seharusnya meniru Michael Myers yang dalam mencari korban dia memilih satu dan fokus mengejarnya sampe sukses; film seharusnya memilih satu sudut pandang dan fokus di sana aja. Buatku, sudut pandang yang harus digali film ini tentu saja Laurie, atau bisa juga Karen. Jangan keduanya – atau malah tiga sekaligus. Sebagai horor, film ini masih tetap menyenangkan. Kita bisa nonton ini dengan hanya meniatkan pengen melihat maniak membunuhi orang-orang. Hanya saja, aku melihat potensi yang tidak berhasil mereka gali dengan baik di sini. Dan itu mengecewakan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for HALLOWEEN.

 




That’s all we have for now.
Halloween versi siapa favoritmu? Buatku pribadi aku paling suka Halloween 1978, lalu Halloween Rob Zombie, Halloween 2, dan baru Halloween 2018 ini.

Apa yang menurut kalian menyebabkan Michael Myers bisa bangkit berkali-kali? Apakah karena kesumatnya kepada Laurie? Kenapa dia begitu suka membunuhi orang-orang? Apa dia bakal bangkit lagi?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017



HAPPY DEATH DAY Review

“The definition of insanity is doing the same thing over and over again, but expecting different results”

 

 

Bagi Tree, hidup adalah film slasher pribadi – sebuah mimpi buruk yang tidak berhenti, akan tetapi senantiasa terus berulang. Kehidupan Tree membentuk lingkaran sempurna saat hari ulang tahunnya menutup menjadi hari kematian. Dan Tree terbangun hanya untuk mengulangi lagi satu hari spesial tersebut. Tentu saja tidak butuh waktu banyak bagi Tree untuk menyadari hal ini; Hanya beberapa hari, dan itu itungannya tetep sehari bagi Tree hehehe. Pagi berikutnya dia terbangun di kamar kos cowok yang sama (as opposed to various), berjalan teler melewati orang-orang yang melakukan hal-hal yang persis seperti yang sudah ia lihat kemaren, dikasih surprise cupcake oleh teman sekamar, disirikin oleh saingan Regina Georgenya, dan malamnya disatroni oleh seorang misterius bertopeng bayi yang ngebet pengen ngebunuhnya, Tree langsung tahu dia harus segera menyibak siapa orang yang berusaha membunuhnya supaya dia bisa mencegah kematian dan hopefully mengembalikan hidupnya ke alur yang normal.

Akan butuh banyak banget kematian yang kejam untuk menyelamatkan satu nyawa.

 

Menjalani hidup yang itu-itu saja mungkin membosankan. Beberapa orang toh merasa nyaman dengan repetisi. Tetapi, melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda, jelas adalah satu kegilaan. Dan adalah suatu kebegoan untuk terus jatuh ke lubang yang sama. Happy Death Day menunjukkan bahwa  yang terbaik dari kita sekalipun kadang harus gila, atau bego dulu, sebelum bisa berkembang dan keluar dari lingkaran penderitaan.

 

Bayangkan film Mean Girls (2004), lalu taroh karakter cewek plastiknya ke dalam situasi yang sama dengan yang menimpa Bill Murray di Groundhog Day (1993), aduk rata, kemudian ditaburin kejutan-kejutan horor slasher whodunit ala Scream (1996). Itulah resep membuat kue tart Happy Death Day.  Dan kue tart yang satu ini rasanya sangat meriah. Berbagai macam rasa ‘cerita’ loop yang sudah pernah kita cicipi, bergabung menjadi satu. Belum lama ini Zoey Deutch di film Before I Fall (2017) juga terbangun di hari yang sama, dan terus mengulang kejadian over and over – Happy Death Day basically mengikuti alur cerita yang sama, Tree juga harus belajar menjadi orang yang lebih baik, tapi film ini melapis perjalanan innernya dengan gimmick thriller. Film ini tidak sesendu drama Before I Fall. Dari semuanya, Groundhog Day lah yang berpengaruh paling kuat. Malahan, film ini sadar diri dan mengakui hal tersebut. Ada adegan di mana satu tokoh beneran nyebut tentang film tersebut saat Tree lagi curhat soal apa yang ia alami. Namun alih-alih nostalgia, Happy Death Day adalah film yang kekinian.

Film ini digarap dengan sangat komersil. Sutradara Christopher Landon yang menulis film-film Paranormal Activity sudah barang tentu tak asing dalam mengolah cerita yang mudah disukai oleh banyak kalangan, khususnya remaja. Filmnya tampak sangat cantik, sekuens kejar-kejarannya exciting, aku suka arahan Landon ketika menangani blocking di sekuens aksi film ini. Happy Death Day tidak pernah menjadi terlalu serius. Tone film ini benar-benar mengejutkanku, aku tidak menyangka film ternyata LIGHT-HEARTED, KOCAK, DAN SANGAT ENJOYABLE. Kalo mau dibandingin, menonton Tree di sini membuatku teringat sama Emma Roberts dan perannya sebagai Chanel di serial Scream Queens.

Attitude dan karakter Tree yang membuat film ini begitu menyegarkan untuk ditonton meskipun cerita seperti ini sudah berulang kali kita dapatkan. Jessica Rothe melakukan banyak permainan emosi, juga sangat ekspresif. Memainkan Tree adalah sebuah perjalanan yang fisikal, dengan lapisan psikologis, dan Roth melakukan pekerjaan yang fantastis di sini. Tree mungkin adalah tokoh pertama yang mengemban tugas sebagai tipikal tokoh ‘jalang’ yang bakal mati duluan dan cewek heroin yang selamat berkat kebaikannya sekaligus.

Sebagai cewek populer, Tree berlaku kasar sama semua orang. Ada adegan kocak ketika dia membuat daftar orang-orang yang sekiranya punya motif untuk membunuh dirinya, dan dia kewalahan sendiri begitu sadar bahkan pengemudi uber pun pernah ia kasarin dan berkemungkinan menyimpan dendam kesumat. Di sekitar midpoint, kita ngeliat penggalan-penggalan yang sangat lucu saat Tree menguntit para ‘tersangka’ satu-persatu, hanya untuk menemukan bahwa mereka tidak bersalah dan dia membiarkan dirinya terbunuh oleh si Pembunuh Berwajah Bayi yang muncul menyerangnya dari tempat tak terduga. Lama kelamaan memang adegan pembunuhannya tidak lagi seram, malah berubah menjadi lawak.

Terkadang bukanlah kesempatan yang banyak yang kita perlukan. Pada akhirnya, yang benar-benar diperhitungkan adalah tindakan yang kita pilih untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Perubahan itu harus kita sendiri yang memulai.

 

Dalam perjalanannya, film ini tidak lagi terasa seperti horor buatku. Tree yang dibunuh terus, kemudian mengulang lagi pencariannya, malah menjadi seperti permainan video game dengan nyawa tak terbatas. Tonenya yang ringan dan cenderung tidak-serius juga turut membantu raibnya faktor-taku tersebut, meskipun film memang menaikkan taruhan dengan menetapkan kondisi Tree semakin melemah setiap kali dia terbangun dari keadaan terbunuh. Jika kalian penggemar horor yang ada jumpscarenya, mungkin kalian bahkan lebih terhibur lagi daripada aku saat menonton ini. Ada banyak taktik jumpscare yang digunakan untuk memancing rasa takut, sayangnya sebagian besar lemah banget untuk membuat kita beneran kaget.

Cerita yang klise tidak memberikan banyak ruang untuk kejutan. Dan bicara soal kejutan, film ini punya dua momen gede sehubungan dengan identitas pelaku. Tentu saja, sebelum pengungkapan terdapat sejumlah red-herring yang ditebar. Film ini banyak banget red herringnya,  setiap dari mereka langsung tereliminasi dengan dibunuh langsung oleh the real culprit. Masalahnya adalah, pengungkapan identitas pelaku tampak begitu berjalan-sesuai-skema. Kita tidak merasa begitu terkejut. Di bagian false resolution, pengungkapannya memang tidak memuaskan. Dan ketika resolusi yang sebenarnya datang, it just doesn’t hold together, tidak terasa benar-benar masuk akal.

Hidup seolah tak ada hari esok, literally

 

 

 

Toh, film ini memang menghibur. Aku tidak menyangka mereka mengolah misteri dengan konsep ‘mengulang hari’ menjadi sajian yang ringan. Ada banyak adegan yang diolah untuk memancing kelucuan alih-alih kengerian. Perjalanan inner Tree tidak ditangani dengan dramatisasi berlebihan. Tapi itu bukan berarti film ini serta merta bagus. Landon paham bagaimana harus mengikuti selera pasar, khususnya remaja-remaja putri. Kekerasan dibuat minimal. Aksi-aksi fisik jatohnya kocak. Film ini menyenangkan untuk dinikmati pada permukaan. Dalam tingkatan yang lebih dalam, however, tidak banyak kejutan yang diberikan. Ceritanya klise. Lebih seperti gabungan plot-plot sejenis, hanya saja digarap dengan visi supaya menjadi menyenangkan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for HAPPY DEATH DAY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

THE DOLL 2 Review

“Hey, Girl, open the walls, play with your dolls, we’ll be a perfect family.”

 

 

Rumah tangga yang ideal itu adalah rumah tangga yang kayak ditampilkan oleh rumah boneka. Coba deh intip rumah tangga yang dipajang di kamar adek cewekmu, ada ayah, ada ibu, ada anak, yang duduk ngumpul, mungkin di ruang tv. Yang beraktivitas bersama. Bibir plastik mereka dibentuk ceria.

 

Persis seperti begitu jualah keadaan keluarga Maira (Luna Maya dalam sebuah peran yang sangat unconventional, and she nailed every emotions). Bedanya pada jumlah orang, di rumah Maira juga tinggal asisten rumahtangga, Yani yang rajin. Keluarga kecil Maira tampak harmonis. Maira dan suami, Aldo (Herjunot Ali perlu bekerja lebih giat dalam urusan ekspresi) sering menghabiskan waktu bersama putri mereka, Kayla, yang demen ngerekam aktivitas sehari-hari dengan handycam. Main cari harta karun, menghitung kartu memori video bidikan Kayla, tiada hari tanpa nemenin Kayla dengan boneka kesayangannya, Sabrina, deh. Sayangnya, hari-hari itu sirna. Maira kehilangan Sabrina dalam sebuah kecelakaan; mobil yang membawa mereka bertiga tabrakan. Keharmonisan keluarga ini merenggang as Maira terus kepikiran Kayla. Sampai-sampai dia merasakan ‘kehadiran’ di rumahnya, kejadian ganjil mulai terjadi. Maira kerap melihat boneka Sabrina bergerak, berpindah tempat, mengajak dirinya bermain. Hal ini membuat Maira dan Aldo harus ‘bekerja’ sebagai keluarga kembali demi menuntaskan misteri sekaligus mengembalikan kehangatan di rumah mereka.

Ada sedikit psychological nudge dalam narasi, di mana Maira terlihat enggak benar-benar yakin apakah yang dilihatnya memang penampakan hantu atau berasal dari perasaan duka dan kehilangannya yang amat mendalam. Sahabat dan suami Maira malah enggak pernah melihat Sabrina beraksi dengan mata kepala sendiri. Langkah normal dan logis buat menyelesaikan masalah ‘boneka ku; hidup!’ tentu saja adalah dengan menyingkirkan that said doll, Sabrina dari rumah. Karena Sabrina adalah objek yang menghubungkan Maira dengan Kayla, membuat ibu ini tidak bisa melupakan kejadian tragis yang menimpa putri kecilnya itu. Membuat Maira enggak bisa move on. Dan di sinilah film The Doll 2 mengejutkanku. Cerita berkembang ke arah yang sama sekali berbeda. Yea it could destroy the movie entirely, lantaran reasoning dan menggarapnya masih dengan cara ‘menyembunyikan karakter’, you know, kayak sengaja biar gak ketebak sama penonton doang – enggak really terbuild up. Namun aku suka dengan sekuens berdarah-darah yang timbul dari pengungkapan ini. Revealing di menjelang babak tiga, katakanlah twistnya, benar-benar turn the movie around.  Mengubah film yang tadinya lebih ke DRAMA HOROR, MENJADI ACTION SLASHER yang lebih membabi buta daripada Membabi-Buta (2017). Membuatku memikirkan ulang segala catatan yang udah kupetik sepanjang film.

ide buat pesta Halloween: lomba karaoke Lingsir Wengi.

 

 

Sepuluh menit pertama adalah waktu penting yang sempit buat narasi melandaskan mood, tone cerita, motivasi, dan stake yang akan dihidangkan. Aku masuk ke sekuel ini siap mencerca lantaran sepuluh menit pertama mereka habiskan untuk memperlihatkan kejadian akhir di film The Doll (2016). It was like a clip penuh oleh jumpscare, dialog eksposisi, dan elemen dari film-film horor luar yang jauh lebih sukses. Dan tadinya aku mengira adegan itu dimasukkan buat penonton yang belum pernah nonton film pertamanya, penonton seperti aku, semacam langkah buat nyambungin cerita lah. Tapi setelah aku melihat babak ketiga, setelah revealing yang membanting setir arah film, memasukkan adegan awal seperti itu bukan hanya supaya make sense, namun juga jadi langkah yang perlu banget. Karena itu adalah cara film ini untuk ngeset, ngasih tau kita kalo yang kita tonton sebenarnya adalah horor yang slasher abis. It was brutal, mereka memanfaatkan rating 17+ dengan maksimal. Adegan berdarahnya enggak nahan-nahan. Perut ditusuk-tusuk, badan dibanting-banting, aku seketika seger nontonnya. It was full of scream. Yea, kupikir sutradara Rocky Soraya sebagian besar mendapat pengaruh dari seri slasher buatan Wes Craven, Scream.

Dan mereka gak bisa ngesetup itu dengan sekaligus harus menyemen keharmonisan keluarga Maira. Film ini butuh cuplikan, dan itu adalah cara yang aman. Untuk selanjutnya, film mengambil waktu untuk memperlihatkan keharmonisan keluarga Maira. Kita benar-benar melihat perbedaan Maira antara sebelum dengan sesudah kecelakaan. Namun perihal kerenggangan rumah tangga, bahwasanya Maira tidak really merhatiin Aldo seperti yang direveal di akhir, tidak pernah tergambar jelas. Sekali lagi, setelah melihat film ini – aku banyak berpikir ulang – menurutku, kekurangeksploran build up soal hubungan Maira dan Aldo adalah disengaja sebab film ingin bekerja dalam ruang memperlihatkan keluarga mereka benar seperti keluarga boneka. Plastik. Terlihat harmonis dari luar sampai bikin iri pembantunya, namun di baliknya mereka punya masalah.

Let’s talk about design boneka Sabrina; I’m not a fan. Banyak orang mimpi buruk tentang boneka karena wajah boneka biasanya menunjukkan ekspresi yang statis. Seram datang setelah diliat-liat biasanya ekspresi minimalis boneka tersebut seolah berubah. Namun di sini, mereka overdid it, pengen nyaingin boneka film negara luar, eh malah membuat Sabrina jadi kurang seram. I mean, boneka standar kayak Susan aja sebenarnya udah seram kok. Dilihat dari betapa meyakinkannya praktikal efek yang digunakan dalam bagian-bagian yang gory, juga dalam make-up hantu, film ini punya SENSE HOROR YANG BAGUS. Jadi aku toh cukup tertarik juga menunggu untuk melihat apa sih yang bisa mereka lakukan dengan si Sabrina. Dan aku sedikit kecewa, lantaran selain matanya yang bergerak dan ngeluarin darah, mereka enggak bikin Sabrina bisa ngelakuin banyak hal.

Sebagian besar adegan berdarah, adegan horornya, dishot dengan bagus. Favorit film ini adalah ngambil view dari atas kipas angin di tengah ruangan, dan memang paduan kipas berputar dengan bercak darah yang diseret menghasilkan gambar yang cukup mengerikan. Film ini juga banyak bermain dengan cermin, yang mungkin adalah simbol subtil, but I guess it was played just for the cool effect.

“aku bukan boneka, bonekaaa~~”

 

Kebanyakan memasukkan elemen dan tropes horor lain menjadi beban yang menghalangi film ini untuk jadi lebih gede lagi. Separuh awal dihabiskan untuk membuat kita kaget oleh false jumpscare; udah ngagetin, bukan setan pula. Cuma orang yang datang bawa keranjang cucian. Padahal seperti yang kubilang tadi, film ini punya sense of horor yang ciamik. Seperti pada adegan akhir antara Maira dengan hantu Kayla. Untuk sekali ini, Kayla diliatin tanpa diiringi suara musik keras, dan hasilnya sungguh sebuah adegan serem sekaligus touching. Beautiful! Arc Maira sebagai ibu yang kehilangan anak, juga arc Kayla sendiri sebagai anak yang dirampas dari kasih sayang, selesai dengan menyeluruh. Adegan yang powerful; melihat ibu menunjukkan cinta kepada anak yang tampangnya menyeramkan, dan ultimately casting her away, merelakan. Ah seandainya semua adegan seram film ini mendapatkan perlakuan seperti adegan tersebut…

Ini adalah cerita tentang ibu yang kehilangan anaknya. Mengeksplorasi seberapa dalam orang terjatuh dalam duka, struggle untuk –bukan melupakan- hanya untuk menyimpannya sedalam kita bisa menjalankan hidup tanpa terusik oleh rasa kehilangan. Dan it doesn’t shy away dari fakta bahwa ketika kita kehilangan seseorang yang teramat disayangi, kita ingin menuntut balas.

 

Film inipun terlihat pengen menjadi banyak sekaligus. Bahkan beberapa adegan direkam dengan shaky cam, you know, sebab film horor kebanyakan berkamera goyang-goyang. Sepertinya ini dijadikan ciri khas, film ini adalah GABUNGAN GENRE HOROR; dalam cerita ini kita dapatkan elemen drama, horor hantu, slasher bunuh-bunuhan, dan even psikologis – enggak semuanya toh bekerja dengan baik, mainly disebabkan oleh penulisan yang gak bisa mengimbangi dan menampung semuanya. Kualitas dialog dalam film ini enggak begitu menonjol, masih mengandalkan eksposisi yang menurunkan nilai adegan. Misalnya, ada karakter yang sudah terbangun dari Kayla, dia nyebut dia suka bangun tengah malam, nonton dan buang air kecil. Later setelah dia meninggal, Maira mendengar suara tv dan siraman air di kamar mandi pada tengah malam. Sebenarnya kan itu adalah adegan yang seram, kita menyimpulkan yang didengar Maira bisa jadi adalah hantu anaknya, namun film malah memutuskan supaya hal subtil yang visual kayak gini diperjelas oleh dialog yang menerangkan semua. Juga terlalu banyak adegan “Tadi Kayla di sini. Ada boneka juga, liat deh,” dan ta-daa! bonekanya hilang. Totally a waste of dialogue yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk build up ke twistnya.

Beberapa aspek cerita gak berujung apa-apa, seperti wish yang diucapkan oleh Aldo, yang membuat kita teringat akan Krampus (2015) atau malah permintaan ulang tahun Danur (2017) yang dibuat oleh film seolah bagian yang penting, they literally ngesyut asapnya beberapa detik kayak mau ngebuild up sesuatu, tapi tidak pernah ada efek nyata pada cerita. Ada juga sih, usaha untuk merasionalkan beberapa hal yang janggal pada narasi. Kayak teman Maira yang gak percaya takhayul, namun justru dia yang menyarankan mencari pemanggilan arwah lewat medium di internet. Namun tetap saja, hanya berakhir menambah paparan ketimbang memperkuat karakter minor. Dan menurutku, mereka benar-benar membuang kesempatan pada adegan kecelakaan, they should have sold it more convincing. Akting dan pengadegan di sana kurang intens, like, mereka melaju di dalam mobil yang remnya blong, itu adalah hal yang mengerikan, namun penampilan aktingnya enggak membuat kita ngeri yang maksimal, tabrakannya enggak ‘dijual’ dengan spesial.

 

 

It worked as a stand-alone movie; aku belum nonton yang pertama dan masih bisa ngikutin. Malahan bisa berkembang menjadi seri slasher/horor tanah air yang sangat bagus, jika tetap mempertahankan gimmick boneka digabung terus mengeksplorasi hubungan antara ibu dan anak. Unsur budaya lokal yang cukup kental juga membuat film ini jadi punya sudut pandang sendiri. Dan please… kurangi elemen-elemen film lain, dan tinggalkan sepenuhnya trope-trope horor usang yang membuat film jadi sebuah wahana enggak seram alih-alih tontonan yang creep out on us. Aku enggak tahu harus mengharapkan apa, dan berakhir dengan really surprised dan mildly entertained oleh babak terakhir yang gut-busting. Film ini memilih langkah dan arahan yang beralasan, namun masih ketutup dan terbebani oleh keinginannya untuk menjual banyak hal. Punya good sense of horror, bekerja baik sebagai drama, dan even better sebagai slasher. hanya saja dia ingin terlihat perfect untuk menyembunyikan kelemahan aspek pada narasi.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE DOLL 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MEMBABI-BUTA Review

“Curiosity killed the cat.”

 

 

You can tell dari posternya yang lumayan keren, film ini bakal berdarah-darah. Prisia Nasution kelihatan sangat mengancam mejeng bareng kapak gede dari abad pertengahan tersebut. Genre Thriller apalagi yang berturunan slasher akan selalu dapat sambutan yang hangat, akan sangat menarik untuk melihat apa yang bisa dilakukan oleh sutradara Joel Fadly dalam film debutannya ini sehubungan dengan efek-efek praktikal anggota tubuh yang tercincang-cincang. Kita bisa mengharapkan film ini bakal goes medieval on us.

Membabi-Buta adalah cerita tentang wanita bernama Mariatin yang baru saja mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediaman Sundari dan Sulasmi, kakak-beradik yang masih memegang teguh budaya Jawa. Kedua wanita paruhbaya tersebut sayangnya bukan tipe nenek-nenek yang suka masakin kue. Mereka galak. Sulasmi suka ngebentak. Sundari dingin banget, meski dia masih nunjukin kepedulian sama anak kecil yang menggigil kedinginan. Namun kepada Mariatin, mereka berdua ini udah kayak ibu tiri. Mariatin diberikan peringatan dan aturan-aturan yang cukup aneh begitu dia masuk ke dalam rumah tersebut. Pintu dan jendela yang senantiasa tertutup rapat, kamar yang hanya bisa dimasuki dengan ijin terlebih dahulu, telepon yang tak boleh ia pakai, dan peraturan utama rumah tersebut adalah jangan banyak tanya. Untuk memperaneh suasana lagi, Mariatin kerap mendengar suara wanita di tengah malam; jeritan yang seolah sedang disiksa. Mariatin berusaha untuk enggak mikirin semua ini, dia tetap bekerja meski rasa ingin tahunya semakin gede. Garis batas bagi Mariatin adalah ketika putri kecilnya, Asti, makin hari makin menunjukkan gelagat aneh dan kemudian jatuh sakit. “Mungkin kebanyakan main”, kata Ndoro Sundari ketika ditanyai. Eventually, misteri yang terjadi di rumah tersebut terkuak dan Mariatin bertindak membabi buta demi keselamatan putrinya dan kita mendapatkan sebuah film slasher.

A very bad one.

Film ini MEMBOSANKAN. Oke, aku sendiri enggak percaya seumur-umur aku bakal ketemu slasher yang bikin mataku berair karena kebanyaka menguap. I mean, hakikatnya genre ini pastilah brutal dan menegangkan, dan jika kau berhasil membuat hal-hal brutal tersebut menjadi boring, maka kupikir, itu bisa menjadi prestasi tersendiri. Jadi, selamat deh buat film Membabi-Buta, you are breaking a new ground!

Hingga babak ketiga, film ini akan datar-datar aja. Tak sekalipun elemen lokasi tertutup dimanfaatkan dengan benar-benar maksimal. Kita hanya melihat Mariatin yang disuruh-suruh. Thriller haruslah punya set up, segala ketegangan mestinya dibendung dari awal untuk kemudian dilepaskan di akhir. Menciptakan sensasi seram tanpa membuat penonton merasa lega. Film ini tidak mampu menguarkan ketegangan. Untuk bikin takut, film ini hanya mengandalkan kepada trope-trope horor. Banyak adegan berupa; seseorang mengintip, lalu yang diintip menoleh mendadak, dan BLAAARR suara keras di layar saat yang ngintip tersentak kaget. Dan memang kelihatannya film ini berusaha terlalu keras untuk menjadi seram dan menegangkan. Sundari dan Sulasmi bersikap misterius dan kejam sepanjang waktu sampai ke titik aku bingung sendiri; ini film pembantu yang teraniaya atau film tentang majikanku misterius kayak hantu, sih? Di akhir-akhir, film bahkan mencoba memancing sisi dramatis, yang nyatanya juga berdampak datar karena enggak disetup dengan baik.

“Sifat sok-seram kamu yang berlebihan akan menyusahkan kamu sendiri!”

 
Tokoh utama kita sebenarnya punya karakter yang cukup ‘berdaging’. Mariatin dituliskan punya sifat ingin tahu yang besar, dia cenderung nekat. Sebagian besar bentakan majikannya datang dari Mariatin yang dinilai bersikap kurang sopan, main masuk kamar seenaknya. Ada satu adegan yang bikin aku ngakak, yaitu ketika mereka makan malam. Sundari dan Sulasmi mempersilakan Mar dan anaknya makan bareng di meja makan, tapi Mar pada awalnya menolak. Selain takut gasopan, aku mikirnya mungkin Mar sedikit jijik ngeliat mata cacat Sulasmi, atau mungkin dia masih kebayang kuku kaki Sulasmi yang panjang-panjang yang baru saja ia cuci (ewwww!), jadi dia enggan makan bareng mereka. Namun ternyata, setelah mereka makan, justru ternyata Sulasmi yang ilang selera demi mendengar Mar yang makannya ngecap alias ngunyah dengan mulut terbuka sehingga bunyi decapannya konser ke mana-mana ahahhaha. Mariatin ternyata makannya lahap loh, sebodo amat kalo tempat ama majikannya nyeremin gilak!

Hal menarik dalam film ini adalah gimana Sundari dan Sulasmi bersikap lebih ramah kepada Asti dibandingkan kepada Marianti.Yea, mungkin karena dia anak kecil dan dua saudari ini punya latar belakang sehingga numbuhin soft spot kepada anak kecil. Tapi kupikir ini juga ada kaitannya dengan Asti yang patuh dan Mar yang bertindak atas rasa ingin tahunya. Asti dianggap baik, tapi is it truly what makes a “good girl”? Apakah memang kemampuan untuk mengikuti perintah atau intruksi tolak ukur seseorang bisa dikatakan anak baik?

 

Masalahnya adalah, dengan sifat yang penuh ingin tahu sehingga bikin kesel majikannya itu, narasi tidak memberikan banyak ruang bertindak kepada Mariatin. She’s rarely making any choices. Dan di waktu-waktu langka tokoh yang mestinya relate buat kita ini memilih suatu keputusan, yang dia ambil adalah keputusan yang bego. Gini contohnya, Mariatin baru saja melihat sesuatu yang menyeramkan di bawah sana, ada cewek yang dirantai dan disiksa, in fact, dirinya sendiri practically baru saja lolos dari maut, dan bukannya langsung kabur bawa anaknya, dia malah naik ke atas minta tolong ke kamar salah satu majikan yang gak bisa dibilang ramah kepadanya. Konteks film ini adalah Mariatin menahan diri untuk kemudian, akibat tekanan yang terus menempa, dia akan membabi buta melepaskan semuanya. Tapi konteks ini tidak diisi dengan konten-konten yang meyakinkan. Alih-alih bermain di ranah pengembangan karakter Mariatin, film ini fokus ke mengorkestrain serem dan drama. Yang dibutuhkan film ini adalah layer untuk mmeperkuat perspektif tokohnya. Tapi film tidak pernah mempedulikan hal tersebut, film ingin terus menakuti-nakuti penonton. Makanya kita dapat adegan mimpi yang entah dari mana dan gak make sense dan gak klop dengan tema cerita, like, kenapa Mariatin ngalamin mimpi tersebut? Emangnya ada hantu yang minta tolong or something?

Ada banyak pertanyaan yang ditimbulkan oleh film ini lantaran memang plot-plot thread tersebut tidak dibungkus dengan baik. Atau malah lantaran kelupaan dibahas. Kita dianggap nerimo begitu saja ‘jawaban’ yang diberikan, tanpa cerita benar-benar menjelaskan kenapa dan bagaimananya. Aku gak mau ngespoiler terlalu banyak, tapi motivasi dua saudari ini rada gak jelas dan enggak benar-benar klop dengan jawaban sebab musabab yang diberikan.

nah ini, baru seram!

 

Bahkan adegan yang paling kita tunggu-tunggu, adegan ketika semuanya menjadi hantam-hantaman, tubuh terpotong-potong, enggak dihandle dengan cakap. Kamera seringkali ngecut di setiap momen-momen penting. Koreografi kelahinya juga terlihat gemulai, enggak intens. Mungkin karena keterbatasan fisik para pemain, tapi masa sih enggak pake pemeran pengganti? Inti problemnya memang di pengarahan. Penampilan akting di sini terletak di antara over-the-top dengan enggak meyakinkan. Bahkan Prisia Nasution yang biasanya bermain bagus, dalam film ini enggak convincing enough. Karakter Mariatin seharusnya babak belur secara fisik dan emosi, tapi sama sekali tidak tergambar ke layar. Tidak ada bobot emosi yang terdeliver kepada kita para penonton. Dan tokoh anak kecilnya, ya sesuai standar film Indonesia lah; anak-anak hanya sebagai device yang tokohnya enggak berjiwa, enggak berattitude. Film ini ditutup dengan ending yang sebenarnya bisa bekerja baik jika didevelop telaten sedari awal. Dari plot standpoint sendiri, memang endingnya harus begitu karena membuat tokohnya mengalami perubahan. Sayangnya, karena narasi yang amburadul dan tidak dieksplor dengan genuine, jadinya terasa maksa dan out-of-nowhere.

 

 

 
Bertemakan tentang tindakan nekat, tapi filmnya sendiri malah bermain aman. Tidak ada resiko kreatif yang diambil. Sebelum sampai di bagian slashernya, kita akan dininabobokkan oleh cerita yang tidak dimasak, satu-satunya yang bikin kita tetap terjaga adalah suara musik yang keras dan suara bentakan Sulasmi. Dan ketika sampai di bagian slasher di akhir pun, rasanya penantian tidak terbayar tuntas. Adegan-adegannya tidak maksimal, aku mengharapkan praktikal efek yang bener-bener seger dan unik. Namun sama seperti bagian lain film ini, bagian akhir juga tidak menampilkan sesuatu yang baru. Jadi jangan dulu bilang sebagai karakter studi atau apa, sebagai media hiburan semata saja, film ini gagal menjalankan tugasnya.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for MEMBABI-BUTA.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.