Banyak cara menunjukkan rasa cinta kepada orang yang kita sayangi. Namun yang sering dilupakan adalah cinta itu sendiri sebenarnya bukan sebatas ama pacar. Antara cowok dan cewek. The Way I Love You, cerita asli tulisan Johanna Wattimena dan Gendis Hapsari, mengembangkan cinta yang biasa dikenal oleh kalangan remaja calon penontonnya. Dan ini buatku menarik karena meskipun film remaja Indonesia kebanyakan memang bergenre cinta alias drama romantis, namun yang benar-benar original bukan adaptasi novel dan semacamnya bisa kita hitung dengan jari.
“Film ini berbeda karena tidak seratus persen cinta-cintaan, enggak melulu seru-seruan. Ada harunya juga. Cerita TWILY melingkupi keluarga. Ada rasa persaudaraan. Ada persahabatan,” terang Rizky Nazar, yang bermain dalam film ini sebagai Bara, saat konferensi pers yang diadakan dengan asik di HARRIS Hotel & Conventions Festival Citylink, Bandung, siang 2 Februari 2019.
Bercerita tentang Senja yang dekat dengan sepupu ceweknya. Akrab banget udah kayak kakak-adik. Berbeda dengan sang sepupu, Senja ini anaknya pendiem. Pemikir. Pikiran-pikirannya biasanya ia tuangkan ke dalam tulisan. Blog-lah yang membawanya kenal dengan seorang cowok. kedekatan mereka membawa pengaruh terhadap hubungan Senja dengan sepupu, dengan cowok sepupunya, dan bahkan Senja sendiri merasa ada yang berbeda saat dia beneran ketemuan sama cowok teman blognya tersebut. Kisah keempat tokoh ini bahkan bakal dijanjikan semakin menarik karena Rizky Nazar juga menyebutkan ada twist di dalam plot ceritanya.
Bukan hanya Rizky Nazar seorang yang menempuh macet dari Jakarta untuk bincang-bincang dengan teman-teman media dan komunitas di Bandung. Aktor muda itu hadir bersama dua pemeran lain; Baskara Mahendra yang berperan sebagai Rasya, dan tentu saja tak ketinggalan (nyaris, karena datangnya belakangan hihi) Syifa Hadju yang menjadi Senja. Dengan ceria mereka berbagi cerita keseruan saat proses reading dan syuting. Syutingnya berlangsung selama dua-puluh hari, dan sebagian besar berlokasi di Jakarta. “Di Bogor kita cuma dua hari” tambah Rizky. Ketika ditanya mengenai tantangan saat syuting oleh salah satu media, ketiga aktor remaja yang lagi naik daun itu sepakat menjawab selain pendalaman karakter, mereka tidak menemukan kesulitan yang berarti. Kecuali ketika Rizky sedikit kesusahan mengendarai sepeda motor tahun 70-an. Malahan Baskara dan Rizky menyebutkan keseruan karena sutradara Rudy Aryanto memberikan mereka semua kebebasan. “Pak Rudy open terhadap masukan. Beliau selalu ngobrolin scene bareng pemain. Menerima sudut pandang dari kita-kita” tembah Rizky lagi.
para pemain banyak mendapat pelajaran dari karakter mereka masing-masing
Syifa Hadju yang tampil dengan rambut menggulung yang membuatnya tampak semakin cute punya cerita sendiri tentang mendalami karakter Senja. Ia menerangkan perannya itu justru sebenarnya lebih banyak berinteraksi dengan tokoh sepupu, Anya (diperankan oleh Tissa Biani). “Kalo Bara dan Rasya kan, bagi Senja mereka sama-sama ‘orang baru’. Sedangkan sama Anya ini udah deket banget. Padahal aku ama Tissa juga belum lama kenal. Kita jadi sering jalan bareng buat numbuhin chemistry dua sepupu yang akrab itu”, jelas Syifa. Para pemain memang dipertemukan lewat proses casting, dan inilah yang terutama membuat proses syuting mereka menjadi seru. Syifa lanjut membicarakan dia dan Tissa bahkan jadi sering memanggil masing-masing dengan nama tokoh yang mereka perankan supaya feel karakternya lebih dapat lagi.
Kepada keluarga, kepada teman dan sahabat, rasa cinta itu juga sama pentingnya untuk kita tunjukin. Kepada pekerjaan juga. Apa yang diceritakan tiga pemain The Way I Love You ini membuktikan kecintaan dan dedikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Syifa, Rizky, dan Baskara dengan bangga menyebutkan aktor-aktor yang bukan sekedar favorit, melainkan juga inspirasi mereka dalam berakting. Rizky menyebut dia sangat mengidolakan Tio Pakusadewo dan Robert Downey Jr. Baskara dengan detil menyebut satu persatu kiprah almarhum Heath Ledger yang ia jadikan panutan. Dan Syifa… psst tau gak siapa aktor yang diidolakan oleh artis yang pernah bermain di Beauty and the Best (2016) danAyat-Ayat Cinta 2 (2017) itu?
Siapa ya kira-kira?
Hmmm..
Yakin, mau tau?
“Rizky Nazar dan Baskara Mahendra!”, jawab Syifa mantap. “Aku kagum dan selalu ngikutin perjalanan karir film kakak-kakak ini” Waaaah, manis sekali yaaa
Film The Way I Love You bakal tayang ke hadapan seluruh Indonesia tanggal 7 Februari 2019, segera temukan jalan kalian ke bioskop yaa, jangan sampai lupa dan nyasar sehingga ketinggalan berbaper ria menyambut Valentine bersama film yang satu ini~
ceria-ceria amat ya sehabis makan siang hhihi
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
“Hope in reality is the worst of all evils because it prolongs the torments of man.”
Ada ungkapan yang menyebutkan rasa penasaran membunuh seekor kucing. Rasa penasaran di sini maksudnya bisa bermacam-macam; rasa keingintahuan yang begitu besar, perasaan tak-tuntas yang ingin diselesaikan, juga sesuatu mengganjal yang ingin dipuaskan. Rasa-rasa tersebut sering menjerumuskan kepada melakukan hal-hal yang tak perlu, sia-sia, malah mungkin berbahaya. Kata berikutnya yang masih menjadi misteri; siapakah kucing dalam ungkapan tersebut? Seseorang yang masih terusik oleh rasa penasarannya; seseorang yang semakin dilarang maka semakin dilakukan.
‘Kucing’ dalam Tabu: Mengusik Gerbang Iblis adalah Keyla dan teman-temannya yang nekat pergi ke Leuweung Hejo demi mencari penampakan makhluk halus. Bermodal kamera, peralatan kemping, dan baju ganti seragam, mereka menerobos hutan, melanggar begitu banyak pantangan, bermalam di situs angker tersebut. Dan benar saja, belum sempat bibir kita mengucapkan “penyakit kok dicari”, Diaz, salah satu teman Keyla yang paling napsu motoin hantu, kesurupan. Kemudian muncul sesosok bocah misterius. Gak jelas juga hubungannya apa si anak dengan kesurupan yang dialami Diaz. Untuk alasan tertentu pula, Keyla malah membawa anak tersebut pulang ke kota bersama mereka semua yang lari kocar-kacir dikejar nenek-nenek berkuku hitam.
Datang berenam, pulang bertujuh… hayo di hutan ngapaiiiinnnn?
Tabu: Mengusik Gerbang Iblis nyatanya adalah salah satu kelangkaan – dari sekian banyak horor yang dibuat oleh Indonesia tahun belakangan ini, Tabu merupakan salah satu dari sedikit sekali yang benar-benar punya cerita untuk disampaikan. Tabu membawa kita menyelam ke dalam penjelajahan rasa penasaran terhadap suatu peristiwa kehilangan. Ia membahas bagaimana rasa kepuasaan itu belum datang, jadi seorang akan terus mencari jawaban. Yang terjadi kepada Keyla adalah harapan dalam wujud terburuk. Keluarga Keyla terpecah oleh satu tragedi di masa lalu, saat Keyla masih terlalu kecil untuk seragam SMAnya. Tragedi tersebutlah yang membentuk pribadi Keyla di masa sekarang, kita melihat dia yang paling ‘takut’ tapi toh tetap ikut dalam setiap ekspedisi menyeramkan. Dia ingin mencari closure atas kejadian tersebut, jadi dia tetap mencari meskipun dia tahu kebenarannya.
Rasa kehilangan masih terus menghantui seseorang yang berduka. Itulah ketika harapan berubah menjadi siksaan. Apapun yang kita lakukan untuk menutupinya, hati yang belum ikhlas tetap tidak akan tenang. Dalam film ini, kita akan melihat rasa yang disalahartikan sebagai harapan itu menjadi bumerang.
Hebatnya, film ini tidak menceritakan itu semua lewat dialog alias secara gamblang. Kengerian, apa yang dirasakan oleh Keyla dan keluarganya direkam secara subtil oleh kamera. Lihat juga bagaimana kamera ‘menceritakan’ hutan sebagai tempat mengerikan dan berbahaya lewat selipan shot-shot hewan liar seperti ular, kalajengking, dan kelelawar. Transisi dari ketika satu tokoh menciptakan realita sendiri, tetapi kemudian penyadaran itu tiba, dan dia dihempaskan lagi ke realita beneran, dilakukan dengan begitu mulus oleh pergerakan kamera yang menangkap gestur-gestur terkecil dari si tokoh. Film tidak pernah gagal menangkap sudut pandang. Semuanya diceritakan dengan cermat dan efisien. Bahkan subplot yang menurutku kocak – film ini punya nyali untuk masukin subplot cinta segitiga yang enggak benar-benar berujung – juga dilakukan dengan seperti ‘cicak’ begini; you know, diam-diam merayap dan kena. Sedari adegan pembuka di dalam gua, kita bisa paham bahwa film ini digarap dengan perhatian tinggi kepada artistry. Film ini tahu cara menceritakan sesuatu yang klise dengan membuatnya tidak metodical. Namun juga tetap mudah untuk disukai – ada banyak hal-hal yang jadi favorit penonton horor yang dapat ditemukan di sini; kematian tokoh yang menyakitkan, sosok hantu yang seram, dan jumpscare yang tepat waktu.
Maka dari itulah, aku tidak mengerti kenapa film ini memilih untuk memulai ceritanya dengan cara dan siatuasi yang paling tidak menarik (lagi) sedunia akhirat. Sekelompok remaja yang ke hutan nyari setan. Basi! Kenapa membuka dari sini jika engkau punya kisah tragis keluarga yang kehilangan anaknya. Film memilih untuk merahasiakan elemen utama cerita di awal, bahkan Keyla juga ‘disembunyikan’ – kita tidak tahu bahwa ternyata dia adalah tokoh utama sampai dia memilih untuk membawa bocah misterius tersebut ikut pulang ke rumah, dan aku gagal mengerti alasan di balik keputusan yang diambil oleh film ini. Sebab jadinya sama sekali tidak ada yang menarik pada babak pertama. Para remaja itu tidak punya motivasi yang cukup dan alasan yang jelas; kenapa harus moto hantu, kenapa harus tempat angker yang itu, kita tidak tahu apa-apa dan mereka tidak memberikan alasan kenapa kita harus peduli kepada mereka. Jujur, aku sudah siap jiwa raga untuk menjelek-jelekkan film ini, udah senam pipi – siap untuk menertawakan sekerasnya hal-hal bego yang kusangka akan dilakukan. Dan persiapanku tadi jadi tak berguna karena ternyata aku menemukan sedikit sekali yang bisa ditertawakan. Yah, selain nenek Diaz yang dengan potongan rambut begitu membuatnya mirip sekali dengan Jamie Lee Curtis di serial Scream Queen.
Dan seolah setiap ayat punya fungsi dan efek berbeda terhadap hantu-hantu
Babak kedua hingga akhirnya di mana film dengan tepat menginjak nada ngeri dan tragedi. Aku bahkan sedikit ter-throwback ria melihat Mona Ratuliu menggunakan bahasa isyarat (ketahuan deh, umurku huhuu). Bahkan tokoh-tokoh lain, termasuk tokoh remajanya enggak se-annoying yang sudah aku antisipasi. Mereka masih bersikap masuk akal dan reasonable, meskipun tak ada pembelaan untuk kualitas akting yang menghidupkan mereka. Namun begitu, awalan film inilah yang justru paling banyak andil dalam menurunkan nilai secara keseluruhan. keputusan untuk memasang semacam twist pada tokoh utama, ultimately melemahkan cerita karena pembangunan karakter adalah hal yang sangat penting. Kita dihalang untuk masuk ke dalam kepala Keyla, seolah pikiran dan emosinya tabu untuk kita ketahui. Malahan di awal-awal, film seperti menunjuk Diaz sebagai tokoh utama. Dan kemudian membelokkannya untuk efek dramatis. Tak perlu seperti itu, Keyla punya cukup backstory dan landasan emosi yang mampu membuat tokoh ini menjadi dramatis jikapun dikembangkan sedari awal.
Yang film ini lakukan malah membuat karakter Keyla terasa tidak ‘klik’, di awal dia terlihat paling enggak semangat untuk TKP. Padahal justru sebenarnya dia yang paling punya motivasi untuk ke sana. Meskipun inner journey Keyla semakin dapat terbaca seiring berjalannya film, tetapi film tetap tidak memperlakukan tokoh ini sebagai protagonis yang beraksi. Keyla, dengan segala keterbatasan akting Isel Fricella, kebanyakan hanya berteriak menyaksikan tokoh-tokoh lain berjuang ataupun tertangkap oleh hantu-hantu. Juga aneh film tidak memperlihatkan momen perubahan tokoh Keyla. Alih-alih, kita diperlihatkan ibunya yang berjuang untuk mengikhlaskan. Keyla seperti ikhlas begitu saja saat kita ditunjukan adegan dia menoleh ke belakang melihat sosok yang dibuat bisa berarti hantu atau hanya imajinasi yang menyimbolkan perpisahan damai yang dilakukan oleh Keyla dengan tragedinya.
Sense misterinya kuat. Penceritaan yang efektif. Tokoh-tokoh yang tidak terlalu over-the-top. Film ini punya bumbu-bumbu sebuah film horor yang bagus. Namun pilihan untuk membuka film, babak pertama, tidak menguntungkan film karena tidak menarik dan benar-benar menonjolkan keklisean. Film baru benar-benar bekerja di babak kedua, like, kalo kalian tidur atau bahkan telat masuk ke bioskop tiga-puluh menit, dan hanya menonton dari babak keduanya saja, kalian pasti akan bilang film ini bagus banget. Begitu anehnya pilihan yang dilakukan oleh film ini. Dan jangan kira ini seperti yang dilakukan oleh One Cut of the Dead (2018); film itu juga punya babak awal yang lemah namun dilakukan dengan sengaja untuk menguatkan konteks tema besarnya. Tidak demikian. Sebaliknya, babak pertama film ini tidak menambah banyak terhadap konteks karena diniatkan sebagai twist. The filmworks in no favor of it’s protagonist. Dia menutupi tokoh utamanya, dan sepertinya lupa sama sekali untuk menimbulkannya kembali sebagai karakter. The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for TABU: MENGUSIK GERBANG IBLIS.
That’s all we have for now.
Keyla dan keluarga, walaupun tahu itu hantu, tapi mereka masih tetap menyayangi sang adik. Kalian takut gak sih didatengi hantu kerabat sendiri? Bagaimana kalian meyakinkan diri itu beneran mereka dan bukan hantu lain yang menyamar? Menurut kalian darimana rasa penasaran Keyla muncul?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
Dikasih aturan, ngelawan. Diberi kelonggaran sedikit, malah ngelunjak seenak udelnya. Anak kecil yang beranjak remaja sekilas memang cenderung nakal dan susah diatur seperti demikian. Karena mereka terkadang memang lebih membutuhkan sosok seorang teman, dibandingkan seorang pimpinan.
Alih-alih orang yang mereka pandang ke atas – yang menunjuk-nunjuk mereka mana yang benar mana yang salah, seusia mereka sebenarnya perlu banyak-banyak bergaul dengan yang bisa diajak tertawa bersenang bersama. Bermimpi bersama. Untuk kemudian, bikin salah, jatuh dan bangkit lagi bersama.
Sunny Suljic dalam Mid90s memerankan Stevie ‘Sunburn’ dengan begitu hidup selayaknya anak cowok tiga-belas tahun yang masih mencari jati diri dan pegangan hidup. Perbedaan periode waktu enggak menjadi masalah bagi Suljic karena dia bukan saja menangkap, ia yang anak modern menghidupi tokohnya yang ‘berjuang’ sebagai seorang skateboarder amatir di tahun 90an dengan teramat sukses dan meyakinkan. Absennya figur ayah, yang kemudian digantikan oleh abang yang suka memukul dan ibu yang lebih sering mengurusi dirinya sendiri, membuat Stevie ‘melarikan diri’ ke jalanan. Berkat pukulan yang sering dihadiahkan oleh abangnya, Stevie boleh jadi berkembang menjadi anak yang tangguh secara fisik. Namun secara emosional, bocah ini rapuh. Dia butuh teman, secepatnya. Jadi Stevie lantas ngintilin geng skateboard yang ia lihat lagi bikin onar di pinggir jalan. Stevie mencuri duit ibunya demi membeli papan skate. Dia latihan sendiri, dalam jarak pandang geng skateboard yang terdiri dari empat remaja yang lebih tua darinya itu, supaya punya alasan bergabung ke genk mereka. Persahabatan yang terjalin antara Stevie dengan para skateboarder tersebut akan menjadi fokus utama cerita. Gimana mereka, dengan tembok security masing-masing, berusaha mengomunikasikan perasaan mereka. Karena mereka semuanya adalah cowok dengan keadaan rumah yang bermasalah, sehingga mereka saling membutuhkan lebih dari yang mereka tahu.
Jatuh. Bangkit. Repeat. You wanna be dumb, you gotta be tough
Ketika pertama kali dirinya disapa oleh salah satu anggota geng, tampak begitu senang. Dia mengucapkan terima kasih, tetapi langsung ditepis “Don’t thank me. That’s gay.” Untuk sebagian besar babak kedua kita lantas melihat Stevie berjuang untuk enggak keceplosan mengucapkan terima kasih, ataupun seluruh perasaannya kecuali dalam bentuk amarah. Ini rupanya adalah salah satu adegan kunci untuk kita memahami dinamika yang terbentuk di antara remaja-remaja bau kencur tersebut. Gratitude yang dianggap menunjukkan kelemahan; bahwasanya mereka adalah pria belum-matang yang belum mengerti sepenuhnya terms kejantanan itu sesungguhnya. Ibarat main skateboard, mereka belum lagi melaju. Masih menendang-nendang aspal panas nan keras – inilah dunia mereka. Yang ada hanya kompetisi; kau berteman atau musuhan, pilihannya hanya dua itu. Wanita hanyalah bagian dari kompetisi – pada sekuen Stevie ngobrol dengan cewek remaja di pesta rumah, si cewek mengatakan anak-anak cowok seusia Stevie sudah memasuki fase brengsek dan dia senang Stevie tidak termasuk seperti mereka. Namun di beberapa adegan setelahnya kita tetap melihat Stevie membangga-banggakan apa yang tadi ia lakukan ke teman-teman skateboardnya.
Tapi tentu saja hal tersebut tidak menunjukkan ketimpangan, ataupun ‘dosa’ yang harus segera dibenarkan. Film tidak bermaksud menjadi komentar sosial perihal bagaimana remaja seharusnya bertindak. Ini juga bukan tentang bagaimana cara menjuarai papan skateboard. Film adalah hamparan sebuah tahap, bayangkan sebuah jendela, yang dilalui oleh anak-anak seusia Stevie. It’s about that moment. Ini adalah tentang mencari teman sejak dini, tumbuh bersama mereka, berkembang bahkan ketika nanti pilihan hidup memisahkan kita dengan teman-teman.
Meskipun dalam menyaksikan film kita seharusnya hanya ‘bicara’ soal apa yang kita tonton, kadang kita susah untuk tidak terlalu kontekstual dan keburu ngejudge berdasarkan reputasi dari auteur alias pembuatnya. Mid90s adalah debut penyutradaraan film panjang dari aktor dan penulis komedi Jonah Hill. Orang ini dikenal dengan komedi-komedi wacky, yang seringkali seputar (dan dibuat oleh kebanyakan) ngeganja dan orang-orang berpesta pora. I mean, anak-hollywood mencoba membuat film tentang anak-anak jalanan dan ke-streetsmart-an mereka? Bahkan saat menulis kalimat tersebut aku maqsih merasakan seonggok ketidakpercayaan di sudut pikiranku. Seberapa meyakinkan scene-scene itu dalam visi Jonah Hill? Jawabannya adalah sungguh-sungguh meyakinkan. Katakan kepadaku jika perasaan uplifting tidak menguar dari hati kalian saat melihat Stevie dan temannya meluncur zig-zag ‘berirama’ di tengah jalan.
Tentu saja ada hal-hal konyol kayak tokoh yang dikasih nickname gabungan dari dua kotor karena si tokoh setiap kali ngomong selalu ngucapin dua kata itu. Mungkin juga ada beberapa generalisasi depiksi skateboarder yang bakal bikin anak skateboard beneran tersinggung. Tapi interaksi para tokoh, marahnya Stevie kepada ibunya, canggungnya hubungan antara Stevie dengan abangnya – ada satu adegan yang aku pengen ketawa tapi gak tega yakni pandangan Stevie ketika dia melihat abangnya diajakin berantem ama teman skateboardnya yang paling sok jago – berhasil terlihat enggak dibuat-buat. Semua itu karena Jonah Hill adalah orang yang pertama kali tahu untuk tidak berusaha menjadi pemimpin kepada para remaja. Hill tampak mengerti bahwa penting sekali untuk berjalan bersama remaja, dan menjadi teman bagi mereka. Para aktor-aktor muda tersebut, diberikannya kebebasan untuk menghidupkan karakter mereka masing-masing. Juga membantu, gimana dalam setiap peran yang ia mainkan Hill dikenal suka berimprovisasi. Dia menerapkan ini kepada aktor-aktornya, dan hasilnya sungguh luar biasa meyakinkan. Geng skateboard itu tampak seperti sudah berteman sejak dulu. Kita percaya mereka punya masalah di benak masing-masing. Kita bisa melihat kecemasan dari jerawat mereka.
kalo versi Indonesia mungkin ada tokoh yang namanya Anying
Hill menyetir filmnya keluar dari kotak drama ala Hollywood. Stevie tidak diperlihatkan berhasil menjadi skateboarder profesional. Dia tidak memenangkan piala dan perhatian palsu dari cewek, penggemar, dan orang-orang yang tidak perlu ia buat terkesan in the first place. Aku suka sekali gimana film ini berakhir; menurutku Hill berhasil mengkorporasikan elemen 90an ke dalam pesan yang ingin dipersembahkan. Kita, barengan Stevie dan gengnya, bakal menonton film video hasil rekaman teman mereka yang paling bego (dijuluki Fourth Grade karena akalnya gak kalah ‘panjang’ ama akal anak kelas empat es-de) sepanjang hari-hari mereka bersama-sama. Ending ini tidak memperlihatkan apa-apa, tapi kita tahu bahwa kelima anak ini; mereka tidak akan bermain skateboard bersama lagi setelah film ini berakhir. Stevie yang di awal film pengen nyari teman akan belajar bahwa temenan bukan berarti harus melakukan setiap hal bersama-sama.
Bukan berarti kudu melakukan apa yang teman kita lakukan. Kita harus belajar untuk menghormati keputusan mereka, untuk percaya kepada mereka. Kita bisa tetap menjadi teman dengan melakukan hal masing-masing, kita masih bisa seerat saudara meskipun punya jalan hidup masing-masing. Dan begitu juga sebaliknya, film mengajarkan kepada Stevie dan teman-temannya dan penonton bahwa keluarga, bisa kok dijadikan sahabat.
Direkam seluruhnya dengan 16mm, film ini berhasil membawa kita kembali ke masa 90an, lantaran sukses terlihat seperti film dari video-tape jaman dulu. Anak-anak itu terlihat seperti anak jalanan, anak broken home 90an beneran, lengkap dengan skateboard ala Bart Simpson mereka. Penampilan mereka meyakinkan sekali. Ceritanya menyenangkan dan tidak terasa dibuat-buat, walaupun kita meragukan apakah sutradaranya tahu apa yang sedang ia kerjakan. Pernah mengalami, ataupun tidak, Jonah Hill dalam debutnya ini berhasil menyuguhkan sebuah potret yang bisa melebur smepurna ke dalam album kenangan setiap orang yang pernah merasakan butuh teman semasa remajanya. The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for MID90s.
That’s all we have for now.
Pernahkah kalian bergabung dalam satu geng hanya untuk kabur dari orangtua dan keadaan rumah? Apa yang kalian rasakan, apakah masuk geng membuat kalian merasa menjadi lebih baik? Kenapa menurut kalian, kalian merasakan hal tersebut?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Terkadang, kita suka menggunakan jargon atau ungkapan-ungkapan untuk melabeli hal yang tidak sepenuhnya kita mengerti, memberikannya semacam ilusi bahwa kita sudah memahami hal tersebut. Sama teman aja, kita suka ngasih mereka nickname, supaya memanggil mereka terasa lebih akrab. Untuk satu hal, memang label seperti demikian itu bagus, karena sejatinya adalah usaha kita untuk mencari tahu – bukannya menjauhi. Namun yang perlu diingat adalah, mengenali orang atau hal tidak sepatutnya berhenti di satu label atau jargon saja. Kita harus ingat masih ada aspek lain yang belum kita ketahui dari mereka.
Generasi Z, misalnya. Generasi yang terlahir dari tahun 1995 hingga 2012, dalam artian para remaja saat ini, mereka kita baptis dengan sebutan Generasi Micin. Karena dari yang kita lihat, memang anak-anak jaman now kelakuannya pada aneh. Istilah tersebut hadir dikaitkan dengan konsumsi micin alias MSG yang dapet konotasi negatif sebagai bahan penyedap yang membodohkan. Kerjaan anak generasi ini nonton hape sepanjang waktu, curhat enggak jelas di sosial media, gampang ribut sama hal remeh temeh dan bahkan hoax, serta segalanya mereka mau yang instan-instan. Bandingkan dengan kita, Generasi Millenial, yang lebih menghargai proses ketimbang hasil. Kita lebih menghargai pengalamannya. Semua itu adalah sebagai akibat dari kita hidup melewati berbagai perkembangan teknologi; kita ada saat masa emas pertelevisian, masa kemunculan telepon dan handphone, kita ngikutin perubahan komputer dari disket, kita dengerin musik dari pita kaset hingga teknologi teranyar. As opposed to Generasi Micin yang sejak lahir sudah dimanjakan oleh kenyamanan. Tapi tentu saja, itu tidak berarti mereka tidak lebih pintar daripada kita. Bukan berarti mereka yang menurut kita manja, tidak bisa lebih kritis daripada kita. Faktanya, seorang jurnalis New York Times sempet surprise melihat justru remaja-remaja yang sangat vokal dan berani menggalakkan gerakan AntiSenjata di tengah konflik kepemilikan senjata api di Amerika beberapa waktu yang lalu. “Are Today’s Teenager Smarter and Better Than We Think?” katanya menuliskan judul artikel tentang Generasi Kekinian.
Fajar Nugros, lewat balutan komedi, mempersembahkan kepada kita film Generasi Micin sebagai jendela untuk memandang remaja-remaja lebih jauh dari layar smartphone dan akun media sosial mereka. Memperlihatkan tantangan yang remaja hadapi di dunia yang terus berputar. Tidak ada yang salah dengan anak-anak jaman sekarang. Bahwa sebenarnya tidak ada generasi yang lebih hebat daripada yang lainnya. Setiap generasi, pada kenyataannya, akan selalu menghasilkan remaja-remaja yang melakukan hal-hal menakjubkan terhadap zaman mereka.
Kevin mirip-mirip Raditya Dika
Kevin Anggara (youtuber dan penulis buku ini memainkan dirinya sendiri) memasuki tahun ketiga di SMU Harapan Mrs. Ana. Sekolah adalah tempat paling membosankan baginya, dia pengen tahun terakhirnya ini menjadi waktu yang paling berkesan. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Temannya sudah duluan tenar bikin vlog keseharian di sekolah. Dia enggak cukup fasih untuk ikutan klub Inggris bareng cewek sahabat masa kecilnya. Kevin lumayan socially awkward sehingga satu-satunya dia terlihat ‘fasih’ bicara adalah ketika dia gugup dan serabutan ngomong berbagai hal dari Naruto hingga Pintu Ajaib Doraemon. Kevin lebih nyaman curhat di blog, yang sekarang sudah tak ia lakukan lagi lantaran malu dikatain alay. Dia merasa sudah cukup dengan dilabeli #tertuduhmicin. Jadi apa yang Kevin lakukan demi mengisi hari-hari terakhir di sekolah? Dia ikutan website prank, dia ngajakin teman-teman sekelasnya (literally tiga orang) untuk berbuat jahil kepada guru-guru dan penghuni sekolah. Peringkat dan status Kevin di website tersebut boleh saja meroket, tapi orang-orang di sekitar Kevin jadi susah karena ulahnya. Hubungan Kevin dengan sahabat kece yang diam-diam ia taksir tersebut jadi renggang. Kevin harus melakukan sesuatu sebelum dia benar-benar membuat kecewa Ayah dan Ibunya. Juga seisi sekolahnya.
Film mencoba memberikan gambaran perbandingan antara generasi Z dengan Millennial, atau bahkan dengan generasi X yang jauh lebih ‘tua’. Kita akan melihat keluarga Kevin, gimana sudut pandang ayahnya yang buka toko sehari-hari tentang bisnis dan moral. Kevin actually punya ‘paman’ yang masih muda, tinggal serumah dengan mereka, dan banyak adegan yang mencakup Kevin dengan pamannya dengan ayah ibunya merupakan komentar mengenai gimana bedanya cara ‘kerja’ hal-hal dalam setiap generasi. Menjelang akhir, kita akan melihat adegan debat berbahasa inggris yang membahas topik dan ‘pembelaan’ terhadap generasi Micin. Dan ini sebenarnya mengecewakan buatku, karena komentar terhadap pandangan antargenerasi tersebut semestinya bisa dihadirkan dengan lebih baik. Film punya tokoh-tokoh yang sudah cukup mewakili, mereka seharusnya bisa memikirkan cara yang lebih mulus dalam menceritakan tema, dalam membangun cerita sesuai konteks yang dipunya. Menggunakan lomba debat yang adegannya hanya peserta ngomong bergantian, bahkan tanpa benar-benar ada debat pendapat yang dramatis, membuatnya hanya seperti dakwah yang enggak exactly mulus menyatu dengan keseluruhan film. Ohiya, dan si Kevin enggak ikut ambil bagian dalam debat tersebut.
Yang membuat penulisan cerita ini tampak membingungkan adalah posisi Kevin, si tokoh utama, yang enggak jelas ada di mana. Secara umur, dia termasuk generasi micin, tapi dia tidak bersikap seperti demikian. Bahkan poster film ini cukup mengundang pertanyaan, I mean, di IMDB dan situs LSF judul resminya adalah Generasi Micin, namun coba lihat posternya; aku sendiri merasa judul film ini memang lebih cocok jika ditambah dengan ‘vs. Kevin’. Karena Kevin berbeda dengan teman-temannya yang beneran mencerminkan pola pikir dan tindak generasi Z.
Salah satu keunggulan Generasi Z adalah gimana mereka dengan gampangnya mengekspresikan diri. Segala tool dan fasilitas yang ada itu, mereka gunakan untuk berkarya. Mereka paham untuk tidak malu dengan diri sendiri. Mereka dikatakan lebih narsis karena memang mereka sangat menghargai tinggi diri sendiri.
Teman Kevin ada yang bikin vlog dengan konten joget-joget absurd, ada juga yang begitu suka ama Korea dan dia tidak punya masalah mengekspresikan diri sebagai K-Popers (meskipun untuk sebagian besar waktu aku tidak mengerti candaan yang diucap oleh si Dimas ini). Dia berjoget di game center, sedangkan Kevin disuruh ikutan, malah malu. Alay, katanya. Untuk alasan yang sama juga Kevin berhenti menulis blog. Malahan, Kevin tidak melakukan apa-apa selain pasang tampang I-don’t-wanna-be-here sepanjang waktu. Dia bersungut “tidak ada yang mengerti dunia gue”, tapi dunia apa? Yang kita lihat kerjaannya setiap hari adalah mengurung diri di kamar bermain game sepak bola. Kevin tak-menarik, terlihat fake (dia tak pernah terlihat beneran jahil ataupun beneran angsty atau apapun). Didukung permainan akting yang bland yang membuatku bertanya-tanya sendiri kenapa mereka tidak menggunakan aktor beneran aja, Kevin adalah tokoh utama yang begitu uninspired.
Kita bahkan enggak tahu kenapa dia milih masuk IPA sementara teman-teman yang lain, yang segenerasi, berbondong masuk IPS. Berbeda dengan teman-temannya, Kevin masih punya mindset melakukan sesuatu untuk menghasilkan impresi dari orang lain. Dia ikutan website prank biar dianggap keren. Dia melakukan hal bukan untuk mengekspresikan diri, makanya dia ini sering banget berkilah “malu dibilang alay”. Tahukah kamu; Di luar sebuah perbuatan yang salah, malu hanya ada karena kita memikirkan pendapat orang lain tentang kita. Menjelang akhirpun, Kevin sepertinya belum menyadari ‘harga’ dari generasinya sendiri. Dia hanya berhenti ngeprank dan kembali menulis setelah dijauhi oleh teman-temannya. Dia berpikir kompetisi itu penting, dan film yang mengambil sudut pandangnya sebagai fokus, mendukung Kevin dengan membuat sekolah mereka menang kompetisi dalam setiap cabang. Seolah kemenangan adalah hal yang penting, mengimpresi berada di atas sekedar mengekspresikan diri. Dan ini semua terjadi bahkan setelah dia mendapat wejangan dari ayahnya seputar banyak lebih berharga dari ‘uang’.
semenarik itukah musik dan komentar dalam video game sepak bola sehingga harus banget pasang headphone?
Misi film ini adalah memperlihatkan keunggulan generasi yang selama ini diremehkan, hanya karena mereka belum punya cukup waktu untuk membuktikan diri. Tapi susah untuk konek dan percaya kepada suara tersebut lantaran dunia yang diperlihatkan terlalu laughable dan susah dianggap serius. Menurutku, tone cerita tidak musti terlalu over untuk mencapai komedi. Guru-guru yang ketiduran sambil berdiri, yang bicara sambil bernyanyi, yang mendikte buku pelajaran tanpa mengetahui anak muridnya yang hanya empat orang keluar dari kelas, kelewat bego sehingga tidak lagi lucu – hanya berfungsi sebagai distraksi dari isi cerita. We could have normal teachers and still make a funny story, right? Membuat yang lain ‘gak normal’ bukan lantas menjadikan subjek cerita ‘normal’. Lewat sudut pandang Kevin, film tidak benar-benar berhasil memperlihatkan kebolehan generasi Z. Pembelaan yang dilakukan film terhadapnya adalah dengan mengatakan generasi ini menghadapi tantangan yang lebih besar; mereka langsung dijugde begitu berbuat salah, nama mereka seketika bisa hancur di social media, dan semacamnya. Akan tetapi, bukankah kehidupan – apapun generasinya memang begitu? Ibaratnya, segala yang kita usahakan toh memang bisa dalam sekejap mata musnah karena bencana seperti gempa, kebakaran, ataupun kematian.
Film ini pun sepertinya lebih ingin mengimpress people, alih-alih mengekspresikan suaranya tentang perbedaan antargenerasi. Atau mungkin, justru film ingin memperlihatkan bahwa manusia tidak seharusnya dibagi-bagi ke dalam kelompok generasi? Yang jelas, ending film ini yang tampak draggy hanya seperti ingin memperlihatkan Kevin sayang banget ama Chelsea. Dan itu tak ada hubungannya dengan keseluruhan eksplorasi cerita. Delivery komedinya lebih sering miss ketimbang hit, dan menurutku hal tersebut erat hubungannya dengan kualitas penampilan akting dari beberapa pemainnya. Tema menarik seperti ini, seharusnya penulisan bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for GENERASI MICIN.
That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa generasi remaja sekarang mendapat bad rap sehingga dijuluki sebagai Generasi Micin? Apakah kita didefinisikan oleh generasi kelahiran?
Apakah kemajuan teknologi ada hubungannya dengan deteoritas manusia? Have smartphones destroyed a generation?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Jilbab tidak mencegah kehamilan. Sama seperti kita pakai helm bukan supaya enggak bakal kecelakaan. Melainkan sebagai tindak untuk melindungi diri. Hal yang lucunya adalah enggak semua orang memilih untuk pake helm. Bahkan tak jarang malah keki disuruh pakai. Buat apa sih? Banyak yang mencari alternatif lain. Pandai-pandai jaga diri aja. Lagian siapa sih yang suka disuruh-suruh. Kalo mau aman, disuruh pake helmlah. Kalo mau masuk surga, disuruh pake jilbab. Kalo mau bertamu, disuruh masuk. Kalo haus, disuruh harus minum air kelapa dingin yang seger. Eh, kalo disuruh begitu mah semua pasti pada mau yaa.
Ketika disuruh untuk melakukan sesuatu, mekanisme pertahanan manusia otomatis akan membuat seseorang masuk ke mode ‘melawan’. Ingin membuktikan bahwa sebenarnya suruhan itu bukan berarti yang nyuruh benar, dan yang disuruh itu salah. Kita cenderung akan berusaha untuk membuktikan sebaliknya. Makanya, semakin dilarang, kita akan semakin nakal. Untuk alasan itu jualah Amanda (Audi Marissa berhasil untuk tidak membuat tokohnya annoying) suka keluar malem. Dia nekat melanggar aturan di depan idung ayahnya yang tertidur lelap. Gak boleh pacaran, eh Amanda tetep aja backstreet-an. Film Udah Putusin Aja! sepertinya paham bahwasanya suruhan hanya akan dijawab dengan perlawanan, maka film ini menyampaikan ceritanya dalam nada komedi. Dari Amanda hingga papanya, dari sahabatnya yang cowok semua hingga ke ibu gurunya, semua akan tampil dengan tingkah yang konyol. Kita mungkin akan geli sendiri melihat rentetan adegan ayah Amanda menemukan pregnant test dalam tas, yang ternyata adalah milik teman dekat Amanda, yang menuntun kita ke peristiwa di mana Amanda harus ikut pesantren kilat yang diadakan oleh Faraz, siswi paling surgawi di sekolah (Elyzia Mulachela paling jago mainin tokoh yang lembut kayak gini). Dari sana adegan-adegan konyol yang sebenarnya adalah sentilan, kalo gak mau dibilang sebagai ceramah terselubung, terus bergulir. Amanda dan gengnya berusaha kabur!
“makin ditolak, makin semangat”
Tegas di dalam gagasan dan konteksnya, film ini punya treatment aktor yang tidak seperti pada film-film lain. Felix Siauw – pembuat dan pemilik ceritanya – menjelaskannya di kredit penutup film, jadi aku gak akan ceritain di sini. Film benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Di samping itu, film tidak begitu saja menegur dengan drama-drama orang mulia ataupun semata membuat penonton mengucurkan airmata. Yang film ini lakukan adalah mengambil sudut pandang dari seseorang yang akrab dengan remaja sehari-hari. Menarik penonton untuk masuk berkat sifat tokohnya yang menolak untuk diatur. Amanda kuat oleh perspektif, dia punya kompas moral sendiri. Mengatakannya seorang bad girl akan dianggap pujian oleh cewek ini. Ada banyak adegan yang mengundang tawa seputar bentrokan yang dilakukan oleh Amanda. Ketika dia berdoa agar rencananya kabur dari pesantren berhasil, misalnya. Ataupun ketika dia berbalik memutuskan untuk tetap tinggal di pesantren, hanya demi membuktikan bahwa Faraz yang berjilbab sebenarnya tak-lebih baik dari dirinya sendiri. Perubahan yang dialami oleh Amanda, seiring berjalannya cerita, akan membuat kita mengerti pemahaman dan gagasan yang coba diangkat oleh film ini. Ya, film ini memang cukup ambisius, dia ingin membuat kita benar-benar melihat apa yang dirasakan oleh Amanda – dia ingin penontonnya juga berubah. Film ini ingin penontonnya – mereka menargetkan remaja wanita – untuk mencari dari dua sisi; dampak negatif dan dampak positif (kalo ada) dari pacaran. Dan meski tone komedi film ini agak berlebihan, apa-apa yang terjadi pada para tokoh sebenarnya memang mungkin terjadi di dunia nyata.
Romantisasi tidak musti melulu berarti datang dari cewek dan cowok yang lagi kasmaran. Cinta bukan hanya soal berpacaran. Kita melihat di sini Amanda menemukan cinta yang tulus, yang sejatinya adalah perwujudan dari rasa saling peduli, rasa saling mensyukuri, rasa saling menghormati. Tidak kurang tiga kali Amanda jatuh cinta tanpa ia sadari; kepada Faraz yang tadinya ia antagoniskan, kepada ayahnya yang tadinya ia lawan, kepada Tuhan yang tadinya sengaja ia lupakan. Hati pada cerita ini berasal dari hubungan antara Amanda dengan ketiga sosok tersebut. Film ini membuat Amanda sadar bukan dari ceramah-ceramah guru ataupun Kang Guru di Pesantren, kita malah diberikan kesempatan untuk menertawakan mereka bersama-sama. Amanda sadar karena dia berpikir sendiri, karena dia melihat dari sekitarnya.
Wanita moderen adalah cewek yang mandiri, yang tahu bahwa kebahagiaan yang ia cari tak perlu harus berasal dari orang lain. Jika begitu, kenapa masih saja banyak cewek yang merasa perlu untuk punya pacar? Yang sampai berlomba banyak-banyakan jumlah mantan? Karena, seperti Amanda yang merasa disuruh-suruh, dia hanya cinta terhadap gagasan tentang cinta
Film juga memperlihatkan gimana pacaran dari sisi cowok, mereka mencoba sejujur-jujurnya memperlihatkan isi pikiran cowok, dengan juga cukup bijak menyuarakan “enggak semua cowok brengsek” meski memang film literally sempat menyebut bahwa penampakan paling seram adalah yang berwujud manusia tampan. Yang agakl mengkhawatirkan adalah minimnya konsekuensi yang dijatuhkan kepada para cowok dalam film ini, karena ceritanya ingin menguatkan poin ceweklah selalu yang paling dirugikan.
kecuali kalo nginjek kotoran sapi itu dianggap konsekuensi
Menjelang babak ketiga, film menjadi sedikit terlalu preachy. Yang menurutku ada hubungannya dengan pergantian tone cerita yang lumayan drastis. Ada adegan di mana Amanda yang terkantuk-kantuk diajak sholat jam 3 malam oleh ayahnya; doa dari sang ayah membuat Amanda menitikkan air mata. Kemudian ayahnya memberikan kembali barang-barang milik Amanda, seperti hape dan privilage memakai mobil, yang sebelumnya ia sita karena Amanda sudah membuat dirinya bahagia. kemudian Amanda juga turut gembira karena barang-barangnya sudah kembali. Menurutku ini membuat pesan yang ingin disampaikan sedikit melemah. Membuat Amanda seperti belum belajar apa-apa, karena di titik itu seharusnya dia dibuat bahagia meski tanpa barang-barang tersebut, mestinya Amanda sudah tahu dia tidak butuh semua itu – dia tidak butuh pacaran – untuk bahagia. Instead, dari adegan tersebut yang bisa kita simpulkan justru adalah Amanda hanya merasa kasihan kepada ayahnya.
Sepertinya film memang cukup kesulitan merangkai penutup, karena setelah mereka beres dari pesantren, film meninggalkan komedinya dan masuk ke dalam mode yang serius. Kelihatan cerita hilang keseimbangan di poin ini. Menyampaikan cerita yang serius, film seperti sedikit terlalu berhati-hati, mereka tak lagi menyuguhkan rentetan kejadian yang bergulir. Kita malah mendapat adegan Amanda curhat di vlog, seperti gadis yang menulis buku diari, dia benar-benar menceritakan apa yang ia rasakan, dan ini sesungguhnya adalah storytelling yang paling gampang yang bisa terpikirkan oleh pembuatnya – kalo gak mau disebut malas. Seharusnya film membahas elemen prejudice terhadap Faraz dengan lebih dalam lagi, tidak cukup banyak waktu yang diinvestasikan cerita ke sana, padahal sebenarnya ini bagian yang integral dalam konteks memperlihatkan gimana dampak dari hubungan cewek dan cowok bisa terblow up begitu gede di kalangan masyarakat.
Semua orang bebas menentukan jalan hidupnya. Semua orang mestinya tidak perlu ditantang perihal kemampuannya dalam menjaga diri sendiri. Orang bisa melawan. Orang diharuskan mencari kebahagiaan demi dirinya sendiri, baru buat orang lain. Tapi di atas semua itu, seseorang tersebut haruslah bertanggungjawab. Lewat Faraz, film menunjukkan betapa pun baiknya nama kita, jika terjadi apa-apa, kerugian itu lebih banyak jatoh ke wanita. Tapi jika kita benar-benar mandiri, kita akan tahu untuk tidak berbangga sebagai victim.
Over-the-top, cheesy (film ini berakhir dengan lagu pop), preachy, tapi paling enggak film ini konsisten dan tegas dengan gagasan yang ia usung. Tone ceritanya sedikit tak seimbang, dengan ada elemen bercerita yang tidak benar-benar menambah banyak untuk narasi – selain menambah keconvenience-an, yang ultimately membuat film ini semakin lebih mirip film televisi dan kurang teatrikal. Komedi sebenarnya bisa/cukup dilakukan dengan gimana Amanda memandang orang-orang dan kebiasaan agamis itu dengan aneh, gaya hidup mereka bisa dibentrokan, dan jadinya juga bakalan lucu sehingga jarak tone cerita di bagian awal dan akhir film ini dapat dipersempit. Penggunaan flashback yang berlebihan juga mengurangi poin untuk film ini. Tapi ini adalah cerita yang berani dengan pesan yang bagus, dan relevan. Kalian bisa nonton ini dan terhibur, atau malah tersinggung dan kesal olehnya. The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UDAH PUTUSIN AJA!
That’s all we have for now. Menurut kalian apa yang terjadi jika cewek-cewek di dunia ini pada kompakan untuk gak mau pacaran? Akankah cowok akan semakin kompetitif, atau dunia malah jadi membosankan tanpa ada gosip dan cela yang bisa diumbar?
Sebaliknya, jika kita diharuskan untuk berbaik sangka, kenapa kita tidak bisa berbaik sangka sama pacaran? Benarkah tidak ada sisi baik yang datang dari pacaran?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Dua orang anak cewek mengajak seorang teman mereka ke hutan. Bukan untuk bermain-main layaknya anak berumur dua-belas tahun yang biasa. Mereka mengajak si teman, untuk ditusuk berkali-kali, demi membuat Slender Man senang. Gilanya; cerita tersebut benar-benar terjadi di Winsconsin, Amerika, May 2014 yang lalu. Sayangnya; film Slender Man tidak banyak mengeksplorasi elemen ini, mereka membuat cerita baru yang semakin mengaburkan aspek utama yang bikin sosok Slender Man itu sendiri menarik; Obsesi.
Sejak kemunculannya di kontes photoshop online tahun 2009, Slender Man memang menarik perhatian orang-orang, khususnya fanatik horor. Cerita karangan fans tentang entitas ini, kejadian-kejadian penampakannya, peraturan untuk dapat melihatnya, tips buat selamat darinya, bermunculan di forum-forum internet. Slender Man jadi semacam urban legend era digital. Bahkan sampai dibuatin software gamenya sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak orang yang sudah terobsesi sama makhluk reka ini. Mereka semua ingin percaya makhluk tersebut ada; hingga ke titik puncak; merekalah yang membuat Slender Man eksis di dunia.
Menakjubkan seberapa keras usaha manusia untuk mengejar sesuatu yang kita serahkan hati dan pikiran kepadanya. Obsesi bisa mendorong kita menjadi lebih kreatif, melakukan hal-hal yang tadinya tidak kita bisa. Dan memang menjadi menyeramkan tatkala kita hanya memikirkan satu hal terus menerus dengan berlebihan. Menyangka kita hanya bisa bahagia olehnya saja. Film Slender Man sesungguhnya menawarkan obat untuk obsesi seperti demikian; dengan membuang hal yang kita cinta. Dengan mencari sesuatu yang lain untuk dicintai.
Selain temanya, film ini punya beberapa ide menarik dan shot-shot gambar creepy untuk membuat kita bertahan menyaksikan. Pencahayaannya membangun suasana gak enak dengan ciamik.Video yang disaksikan para tokoh pada film ini digarap surreal kayak video terkutuk di horor Jepang, Ring (1998) atau The Ring (2002) – versi Amerikanya, jadi gambar-gambarnya yang random itu akan membuat bulu kuduk kita merinding, menghipnotis bukan hanya tokoh film namun jika kita, para penontonnya. Mengenai ide, Slender Man yang menyatroni rumah orang, memanggil mereka lewat video call dan actually menampakkan dirinya lagi melihat apa itu sebenarnya elemen yang serem, lagi seger. Aku akan suka sekali jika bagian tersebut dibahas lebih banyak. Juga ada sekuen horor di perpustakaan, yang memainkan perspektif kamera untuk menghasilkan efek-efek yang disturbing. Tokohnya yang berlarian panik antara rak demi rak, dan gak tau Slender Man bakal muncul di mana. Perasaan ngeri yang hadir saat memainkan gamenya benar-benar terasa di bagian ini.
karena perpustakaan dan buku-buku adalah momok yang nyata bagi remaja
Hanya saja Slender Man tidak tahu mau menjadi film seperti apa. Slender Man butuh untuk menjadi film yang senyap. Dalam gamenya, kita gak pernah tahu Slender Man itu munculnya di mana. Kengerian yang menjadi mitos dari sosok ini adalah kita tidak mendengar apa-apa selain suara tapak kaki dan napas kita sendiri. Tapi di film ini, kita tahu setiap kali Slender Man akan muncul. Terima kasih berkat musik gede yang ngasih kisi-kisi dan kesempatan kita untuk membangung antisipasi. Fun nya jadi enggak ada. Terlebih, kita tahu dia bakal muncul, dan yang kita lihat juga adalah sosok CGI. Seramnya musnah sudah.
Mereka bisa saja membuat film found footage atau sesuatu dengan first person point-of-view tentang remaja yang berburu Slender Man, ala Blair Witch, biar sama kayak gamenya. Mereka bisa saja memfokuskan kepada apa sih sebenarnya Slender Man itu, dari mana ia berasal. It would make a much better movie. Tapi enggak. Alih-alih itu mereka membuat cerita tentang empat cewek remaja yang mempraktekkan apa yang ada pada video ‘bagaimana memanggil Slender Man’ di internet, Slender Man kemudian beneran datang. Mengambil geng cewek tersebut satu persatu, kecuali diberikan sesuatu yang paling dicinta sebagai pertukaran.
makanya yang diculik duluan adalah pemain yang aktingnya paling jago
Aku seneng juga ngeliat ada Annalise Basso main di sini, karena pemenang Unyu op the Year dua tahun yang lalu punya prestasi nongol di horor yang bagus kayak Oculus (2013) dan Ouija: Origin of Evil (2016). Tapi keberadaannya di Slender Man, meski memang dia yang main paling meyakinkan dan tokohnya yang paling kuat menyuarakan tema obsesi, sama sekali tidak mengangkat banyak buat film ini. Hal tersebut dikarenakan filmnya sendiri demen sekali memindah-mindahkan tokoh utamanya. Katie bisa jadi tokoh utama yang paling menarik dari empat pilihan yang ada, tapi aku juga paham film butuh suatu bukti bahwa stake yang dihadapi tokoh utama enggak main-main. Jadi, kita punya Hallie yang diperankan oleh Julia Goldani Telles yang aktingnya paling biasa aja, Aku gak mengerti kenapa mereka enggak memberikan peran Hallie buat Basso, ataupun kepada Joey King saja – mengingat dia yang paling terkenal di sini. Kenapa harus diserahkan kepada bintang lain, kalo toh hanya untuk membuat penonton melompat-lompat pindah antara Wren (tokoh yang diperankan oleh King) dengan Hallie. Bukannya Hallie gak punya motivasi di cerita, cewek ini punya. Dia atlet lari di sekolah yang gak benar-benar menyukai apa yang ia kerjakan, dia juga punya adik yang look up to her, dia naksir sama cowok di sekolah. Namun dengan menggonta-ganti sudut pandang, arc nya si Hallie ini jadi terasa mentah, kita jadi gak pernah bisa betah di belakang si tokoh. Eksplorasi tokohnya dangkal sekali.
Empat peran sentral ini gak banyak ngapa-ngapain. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan adegan chat layar handphone. Bahan obrolan mereka tak jauh dari seputar cowok. Mereka menghabiskan waktu dengan menonton bokep di laptop bareng-bareng. Di babak ketiga, Hallie malah mangkir dari Slender Man dan pergi kencan ke rumah cowok. Bicara soal pindah obsesi, huh?
Film juga lanjut membuat mereka bego untuk alasan yang tak jelas. Seperti saat mereka menutup mata dengan kain supaya enggak melihat Slender Man, dan di detik pertama ada bunyi di hutan itu, ada satu tokoh yang langsung mengintip dari balik kain penutup matanya. Wren mencemooh Hallie yang enggak mengorbankan piala dan medali larinya kepada Slender Man, terasa datang entah dari mana. Karena meski diceritakan Hallie jago lari, kita tidak pernah benar-benar melihat dia cakap dalam berlari. Malah lucu sekali di adegan akhir; Hallie lari dan dia tertangkap. Lebih lucu lagi, Hallie saat itu sebenarnya lari dari sikap kepahlawanan; like, dia datang untuk menyerahkan diri demi menyelamatkan seseorang, dan ketika Slender Man muncul, tebak apa yang terjadi: Hallie ngibrit – lupa ama niat baik dan pelajaran yang sudah ia sadari. Ngibrit dan ketangkep. Sukses berat film ini bikin protagonisnya terlihat kayak pengecut tanpa nilai baik sama sekali.
Perasaan horor pun semakin merayapiku yang duduk si studio itu, menonton makhluk supranatural yang membuatku penasaran – karena aku tidak pernah bisa menamatkan gamenya. As I watched cerita yang tak benar-benar padu, tema obsesi yang berdenyut lemah di balik hingar-bingar jumpscare, gambar-gambar creepy yang menjadi mentah karena arahan yang tak berjiwa, tokoh-tokoh yang punya karakter sama banyaknya dengan pohon-pohon, sudut pandang cerita yang berganti-ganti, dan mendengar bapak di kursi sebelahku yang mendengkur keras – tertidur, aku sadar akan ketakutanku yang menjadi nyata; bahwa obsesiku soal horor sudah membuatku harus mengorbankan waktu dan duit yang berharga. Tapi kuakui, sebenarnya bisa saja film ini menjadi lebih buruk dari ini, lantaran tema dan ide menarik dan gambar-gambar creepy yang ia punya. The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SLENDER MAN.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“You never look good trying to make someone else look bad”
Sharing bukan lagi disebut caring jika yang disebar itu adalah cela dari orang lain. Karena saat kita membeberkan keburukan orang, yang ada hanyalah betapa kita mempedulikan diri sendiri.
Hanya orang-orang paling insecure sedunialah yang merasa wajib untuk membuktikan diri mereka hebat, maka mereka akan melakukan segala cara. Kebetulan, cara paling gampang adalah menertawakan orang lain; mempermalukan orang di depan umum. Sayangnya, remaja termasuk ke dalam kategori ‘orang-orang paling insecure’ ini; remaja dapat dengan mudah dan tanpa beban mentertawai orang demi popularitas, tanpa mau peduli bahwa mereka baru saja merendahkan makhluk yang berperasaan. Jarang sekali ada remaja yang mau memikirkan bahwa melakukan hal tersebut bukan hanya tidak ngefek apa-apa terhadap kebaikan dirinya, melainkan juga membuka kesempatan bagi orang untuk menyerang balik dirinya, dan lingkaran setan itu akan terus berulang. Hingga seseorang literally terluka.
Sarah dan delapan sohibnya tidak lebih dalam berpikir selain tentu lucu jika seluruh sekolah mengetahui rahasia yang tak-boleh disebut teman mereka yang bernama Caca. Jelas sekali, mereka tidak merasa apa-apa. Kenyataan toh berkata lain. Caca bunuh diri loncat dari lantai dua sekolah, tepat saat Sarah cs bergrup-selfie ria. Kita kemudian akan ngeskip waktu satu tahun kemudian, di mana Caca masuk ke dalam grup video chat Sarah and the genk yang sekarang sudah mulai kuliah dan berkarir sendiri-sendiri; memaksa mereka untuk memainkan permainan maut yang kira-kira berjudul Buka Aib atau Mati dalam rangka merayakan anniversary kematiannya. Aku memang agak mixed soal banyak cerita jaman kekinian yang membuat tokoh hantu yang simpatik kayak gini; mereka dibully hingga meninggal bunuh diri alih-alih terbunuh, dan balik menuntut balas sebagai hantu. Menurutku elemen ini seolah berpesan bunuh diri dapat membuat keadaan menjadi lebih baik. Adalah tanggung jawab film atau ceritanya sendiri buat melandaskan dengan tegas bahwa ‘hantu’ di sini adalah perumpamaan simbolis bahwa pelaku bully sejatinya tidak akan pernah sepenuhnya merasa tenang, rasa bersalah itu akan terus menghantui hingga ke titik mereka menghancurkan diri mereka sendiri.
Music video This is America dengan tepat membuktikan kritikannya
Keuntungan dari menyontoh sesuatu adalah kita jadi punya kesempatan untuk menjadi lebih baik dari yang dicontoh. Misalnya di sekolah, sering kan ada murid yang dapet nilai lebih tinggi dari nilai orang yang ia contek. Lantaran saat menyontek, dia harus improvisasi biar gak ketauan ama guru. Nyontek matematika, dia tinggal nyatetin jawaban yang benar dengan rapi, kertas jawabannya gak mesti penuh coretan kayak si rangking satu yang sempet salah hitung dua kali sebelum menemukan rumus yang benar. Aib #Cyberbully paham betul tiap jengkal kekuatan sekaligus kekurangan yang dimiliki oleh Unfriended (2015). Film garapan Amar Mukhi ini mencoba keras untuk mengungguli thriller misteri yang konsepnya menampilkan perspektif layar laptop tersebut.
Unfriended adalah film yang secara mengejutkan menyenangkan buatku. Film itu bercerita dengan pinter dan sungguh orisinil. Aku terkesan sekali dengan Unfriended. Makanya, begitu tahu ada film Indonesia yang mendaur ulang konsep penceritaannya, aku toh jadi penasaran juga. Semua poin kelemahan film yang kutulis dalam review Unfriended, well, Aib #Cyberbully seolah berusaha untuk memperbaikinya. Delapan tokoh sentral yang nantinya bakal dibully sama hantu kali ini diperlihatkan keseharian mereka, kita actually akan melihat mereka lagi ngapain sebelum chatting, sebagai upaya untuk melandaskan karakter dan memberikan kesempatan untuk mengenal mereka lebih dalam. Untuk kepentingan itu pula, Aib menginkorporasikan berbagai variasi shot. Membuat jurang pemisah pada konteks dua film ini; Unfriended bermain di ranah kengerian anonimitas pada internet – makanya kita tidakdibawa masuk mengenal karakter-karakter dengan lebih dalam, sedangkan Aib lebih kepada setiap orang punya rahasia, dan mengeksploitasi rahasia mereka tidak akan membuat kita menjadi orang yang lebih baik.
Anonim benar-benar ditonjolkan dalam Unfriended, maka kita melihat sekuen ketika tokohnya mencoba mengontak sembarang orang. Berusaha mencari bantuan. Pada Aib, kita tidak pernah mendapat sense mereka mencari pertolongan, yet aspek ‘teman menjadi saling menghujat’ benar-benar dinaikkan volumenya hingga maksimal. Menit-menit terakhir akan penuh dengan sumpah serapah di mana para tokoh saling berteriak, menghakimi yang aibnya kebuka, mengutuk yang sudah membuka aibnya, to the point ada salah satu dari mereka tidak lagi menjadi sedih saat ada teman mereka yang mati. Bagian ini mungkin too much buat sebagian orang, but it was needed dan menjadi poin drama dan konflik terkuat yang dimiliki oleh film. Film tidak lagi begitu cheesy, para pemain pun tampak mendeliver emosi dengan tepat. Pada delapan tokoh tersebut dibebankan masing-masing tiga aib, yang merupakan adalah cara film ini menunjukkan kerelavanan dengan isu-isu perihal kehidupan sosial anak muda yang dapat dijumpai di sekitar kita.
Tema cyberbully sudah ada, paling enggak sejak tiga tahun yang lalu. Film ini mengangkatnya lagi. Dan masih terasa sangat relevan. Ini menunjukkan betapa sosial anak muda di dunia maya memang belum sembuh dan cukup mengkahawatirkan.
Ada waktunya ketika denyut per denyut film ini persis sama dengan Unfriended, dan ini otomatis menjadi momen-momen yang paling menjemukan buatku.Karena aku gak ngerti kenapa adegan di Unfriended juga mesti diadain pada film ini. Ada banyak elemen yang mestinya bisa diganti atau dihilangkan saja sama sekali. Mulai dari topik chat mereka – gimana kedelapan orang itu terlibat – hingga phrase “byeee (baaa-iiiii)” sama persis. Kompakan nunjukin tangan ke layar supaya jadi bukti chat dari hantu itu bukan ulah hack salah satu dari mereka, mestinya bisa diganti dengan, maybe, mereka dibuat kompakan untuk menjauh dari layar. Dan adegan saling menggoda buka baju di film ini, entah kenapa dibuat begitu panjang.Aku paham sedari Unfriended pun adegan ini dari perspektif penulisan karakter penting untuk menunjukkan bahwa tokoh utama kita memang punya habit untuk berahasia; bahwa dia melakukan sesuatu yang secara moral kurang bener. Bahwasanya setiap orang punya sisi personal yang enggak semua orang diijinkan melihat, bahkan sahabat sekalipun. Yang aku gak mengerti ialah kenapa Aib begitu mengekstensi adegan ini, padahal sebelumnya mereka sudah menunjukkan bahwa mereka punya sisi lain untuk digali. Maksudku, daripada sepuluh menit ekstra chat privat di kasur, bukankah akan lebih baik jika waktunya digunakan untuk set up hal yang lain; perpanjang sedikit bagian waktu mereka masih SMA, misalnya.
mereka juga harusnya mengganti sosmed, karena… SIAPA YANG MASIH PAKE FACEBOOK DAN SKYPE HAREGENEE!!?
Kemunculan hantu adalah poin vokal yang digunakan film ini sebagai pembeda utama. Kita benar-benar melihat wujud hantunya muncul di layar laptop Sarah, kita melihat bagaimana dia tepatnya membunuh satupersatu, membuat Sarah menyaksikan semuanya. Tentu, hantu adalah cara paling efektif untuk membuat film kita diterima oleh banyak penonton di sini. Hantu dapat sangat menyeramkan jika ditangani dengan benar. But mainly, hantu di film ini digunakan untuk jumpscare yang tidak menyisakan ruang banyak buat imajinasi penonton. Imbasnya adalah adegan kematian yang menyertai kemunculan si hantu jadi berkurang kengeriannya – juga tidak menolong gimana setiap kematian dioverlook dengan segera begitu saja oleh para tokoh lain. Malah ada kematian yang kelihatannya enggak sakit, I mean, badan dililit kabel headphone? Nanggung sekali – kenapa tidak dibikin talinya nyekek leher aja, impresi yang dihasilkannya bakal lebih gede.
Kebayang sih, bikin film yang bercerita lewat video chat ini butuh usaha ekstra. Editing dan kesinambungan harus benar-benar diperhatikan. Aib #Cyberbully pun tahu apa yang harus mereka lakukan buat mengimbangi konsep yang sudah ada, paling enggak audionya benar terasa sesuai arah. Namun polesannya terasa terlalu banyak. Jaringan internet Indonesia tampak begitu kuat dibandingkan internet anak-anak di film Unfriended.Kesan real jadi berkurang. Unfriended menggunakan interface platform chat yang dibuat sesuai aslinya, lengkap sampai ke glitch suara dan gambar yang hadir di momen-momen random. Kadang gambarnya patah dan suara merekakeluar padahal gambarnya gak gerak. Sesuatu yang kita alami saat berkomunikasi video di dunia maya. Pada Aib, glitch digunakan untuk menyensor kata dan gambar yang ‘dewasa’. Tampilannya yang lebih variatif adalah hasil kerja editing, yang kadang membuat kita suspend our belief soal konsepnya. Misalnya, jumlah aib yang ditampilkan di window chat seolah itu adalah hitungan nyawa mereka; kita tidak akan dapat itu kalo ngeskype. Unnecessary, gak emnyeramkan, selain untuk memaparkan kepada penonton.
Kalo mau ngenitpick di luar perbandingannya dengan Unfriended, kita bisa mulai mengomentari dari kenapa ada cowok seragam SMA yang rambutnya gondrong. Tadinya kupikir ini akan dikaitkan sebagai salah satu aib atau apa yang berhubungan dengan statusnya, tapi enggak. Jikalau pemainnya menolak pangkas pun, sebenarnya bisa dengan gampang ‘disembunyikan’ dengan membuatnya memakai topi. Kemudian ada juga bingkai foto yang berubah dari satu shot ke shot berikutnya yang terlihat jelas. ‘Glitch-glitch’ kecil kayak gini sebenarnya bisa dikurangi jika saja film tidak terlalu focus ke usahanya membuat sesuatu yang lebih baik dari konsep yang mereka tiru.
Menyadari pentingnya pesan yang berusaha ia sampaikan demi dunia remaja, film mengambil langkah yang enggak nanggung-nanggung. Dengan berani menyandingkan diri dan berusaha membuat lebih dari Unfriended. Bahkan film ini dengan berani memberikan gratis satu tiket untuk setiap pembelian satu tiket kepada siapa saja hingga empat hari setelah penayangan perdana. Film ini mengeluarkan usaha yang ekstra karena film seperti ini tidak gampang dibuat. Bagi penonton awam, anak-anak muda yang menjadi targetnya,film ini punya semua yang mereka cari ketika mau nonton film horror. Yang perlu diingat adalah film ini bisa menjadi sangat vulgar dan kasar untuk konsumsi mereka, it really doesn’t hold back. Aku malah lebih suka jika tanpa sensor. Namun bukan hantunya yang menjadi horror buat penonton yang sudah punya banyak referensi, melainkan kenyataan bahwa mereka harus melihat berbagai hal yang sudah pernah dilakukan dengan lebih meyakinkan sebelum sampai ke bobot drama yang jadi topik utama cerita. The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for AIB #CYBERBULLY
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“A secret is barrier that keeps a couple from being truly close with each other.”
Lika-liku kehidupan anak SMA yang dadanya bergelora oleh hasrat namun lebih nyaman untuk memendamnya disajikan sebagai lapangan bermain cerita R – Raja, Ratu & Rahasia. Adalah Ratu (Aurora Ribero men-tackle kembali peran keduanya sebagai tokoh yang gak bisa ngomongin ketakutan terdalamnya like a boss), nama seorang cewek yang baru saja ditinggal pergi untuk selamanya oleh kedua orangtua. Ratu yang merasa hatinya kesepian, bergabung dengan komplotan rahasia di sekolahnya, dalam usaha untuk mengisi kembali lubang kosong menganga pada hidupnya. Masalah timbul ketika sahabat masa kecil Ratu, cowok pebasket bernama Raja (Brandon Salim cukup charming mainin tokoh yang sekilas tampak keras, namun sangat peduli sama teman-temannya), menghimpun benci teramat sangat terhadap komplotan tersebut. Ratu kini harus berahasia agar keikutsertaannya sebagai anggota tidak diketahui oleh Raja. Karena ia tidak akan sanggup jika satu lagi orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya.
Sudah bukan rahasia lagi bahwasanya kepopuleran novel remaja mampu menarik minat pembuat film untuk merealisasikan kesuksesannya ke layar lebar. Tentu dengan harapan meraih taraf pencapaian yang sama, kalau tidak melebihi. Mengekor Dear Nathan (2017) yang besar dari Wattpad sehingga dibukukan, Starvision Plus kali ini menggandeng karya penulis, Wulanfadi, yang juga berawal dari platform penulisan yang sama dan sudah punya penggemar yang sedari 2016 udah tidak sabar menanti filmnya. Materi ini diserahkan kepada Haqi Achmad yang sudah malang melintang di ranah penyaduran cerita teenlit ke dalam scenario film. R – Raja, Ratu & Rahasia sudah barang tentu akan kuat sekali menguarkan pesona remaja, lengkap dengan konflik cinta dan persahabatan yang mewarnainya.
Aku pikir masuk akal sih kalo orangtua-orangtua yang saling sahabatan akan janjian menamai anak mereka selayaknya berpasangan
R- Raja, Ratu & Rahasia akan ramai oleh celoteh anak muda. Dengan canda-candaan khas mereka. Oleh persaingan yang sebenarnya sepele namun tampak begitu menekan jika dilihat dalam balutan seragam putih abu. Memberikan sensasi manis-manis nostalgia kepada penonton yang lebih dewasa. Karena cinta itu urusan yang tak lekang oleh waktu, semua orang pasti pernah merasakan dan mengerti pentingnya menyimpan suatu hal ke dalam diri sendiri, karena takut hidup akan berubah begitu rahasia tersebut terbongkar.
Menyimpan rahasia itu memang enggak sama dengan flat-out berbohong. Dengan berahasia kita bukannya enggak jujur, melainkan ‘hanya’ enggak mengatakan semua hal. Tapi tentu saja, rahasia tetaplah suatu pembatas yang menghalangi dua orang untuk benar-benar dekat antara satu sama lain. Dan jenis rahasia yang paling berbahaya untuk dijaga, tampaknya, adalah rahasia seperti Ratu kepada Raja – jenis rahasia yang ditakutkan akan membuat orang yang kita cintai jadi bertentangan dengan kita. Rahasia yang menabir identitas; dan Ratu menutupi kevulnerableannya dari Raja. Dia seharusnya menyadari semakin lama ia menyembunyikannya, akan semakin membahayakan komunikasi di antara mereka berdua.
Sutradara Findo Purnowo boleh saja mampu untuk memastikan film ini tidak akan keluar dari jalurnya, sebagai sebuah cerita untuk remaja. Tapi kehangatan dan senda gurau, atau bahkan lagu jazz itu, mestinya ia sadari tidak akan mampu untuk menutupi kelemahan film ini yang sebagian besar berasal dari kurangnya intensitas dan emosi yang real. Dan ini berarti adalah masalah pada arahannya. R – Raja, Ratu & Rahasia sesungguhnya punya dua elemen menarik, yang membuatnya berbeda dengan drama cinta remaja yang lain. Ini bukan exactly tentang cewek baek-baek yang naksir sama cowok badboy di sekolah. Ratu dan Raja sudah berteman sejak kecil, orangtua mereka sahabatan, but recently Ratu develop perasaan khusus buat Raja – yang ternyata berbalas – namun keadaan membuat Ratu menumbuhkan satu perasaan lagi. Takut ditinggal. Salah satu elemen menarik yang dipunya oleh film ini adalah kita benar-benar diperlihatkan ketakutan yang dirasakan oleh hati Ratu dalam bentuk visual. Satu lagi elemen menariknya adalah sekolah mereka punya komplotan rahasia, tempat di mana Ratu mencoba untuk kembali ceria dan melupakan rasa takutnya itu.
Sayangnya, pada saat menangani dua elemen inilah, arahan Purnowo tidak kelihatan berhasil mengangkat film ini menjadi sesuatu tontonan yang remarkable. Direksinya sangat bland. Sudah cukup aneh memulai sebuah cinta remaja dengan adegan pemakaman – yang mana secara otomatis mengeset mood sedih dan rapuh yang menempel hingga akhir ke tokoh utama. Apa yang dilakukan film ini kepada adegan-adegan rasa takut Ratu membuatnya terlihat sangat fake dan menggelikan. Susah untuk menganggap sesuatu sebagai hentakan emosi yang serius jika sesuatu tersebut dihiasi oleh kelap-kelip dan latar efek komputer yang sangat kasar. Aku percaya mereka memaksudkan adegan tersebut sebagai peristiwa yang surreal, tapi hasil akhirnya jauh sekali. Adegannya pun itu-itu melulu. Ekspresi Ratu setelah ia membayangkan adegan pun tidak membantu kita untuk bisa menyelami adegan ini lebih dalam, karena ia terlihat seperti kebingungan, seolah hal tersebut semacam premonisi dari luar yang datang menghantamnya; lebih kayak sesuatu yang baru saja kepikiran alih-alih perasaan yang merayap membayangi hatinya.
Komplotan rahasia yang diikuti oleh Ratu, yang konon didirikan oleh abang Ratu… well, bagaimana komplotan tersebut seusatu yang big deal juga tidak berhasil diceritakan oleh arahan film ini. Tidak pernah ada build up ke komplotan tersebut. Film yang baik akan memperlihatkan kepada kita kenapa komplotan ini punya pengaruh di sekolah. Tapi film ini, set upnya datar sekali. Bahkan untuk bisa masuk ke dalam komplotan tersebut pun terlihat sangat gampang. Dibilang kelompok nerd, enggak. Kelompok siswa-siswa yang populer juga tidak. Dia tidak tampak sebagai seusatu yang ekslusif. I mean, selain Raja kita tidak melihat tokoh lain yang bukan anggota dari perkumpulan ini. Teman-teman Raja, semua masuk. Teman-teman Ratu pun semuanya diundang, meski cuma si Ratu yang punya alasan yang masuk akal bisa diundang. It was supposed to be an exclusive, elite club, tapi apa yang mereka lakukan di sana? Pertemuannya cuma pesta topeng, olahraga bareng, kenapa harus jadi kumpulan rahasia segala kalo toh kegiatannya tampak kayak kegiatan afterschool bareng teman-teman biasa. Seharusnya kelompok ini dibangun semisterius dan sepenting mungkin, sehingga ketika Ratu harus memilih, kita merasakan keterikatan terhadap kelompok ini. The way this film goes, Ratu dan Raja bisa keluar masuk sesukanya, kelompok ini tidak lagi tampak sebagai hambatan.
“Aja gak bakal ninggalin Ratu. Aja gak bakal blablabla”.. Gimana kalo filmnya udahan AJA?
Cerita punya banyak kejadian yang menyangkut banyak tokoh, dan kita bisa melihat film ini tidak mampu menangani semuanya dengan baik. Banyak adegan yang jatuhnya konyol dan gak penting. Ya, aku bicara tentang adegan ‘mengejar ke bandara’. Ada tokoh anak baru yang jadi sahabat Raja, yang titik puncak eksistensi karakter ini hanya ke Raja main basket yang tiangnya pendek sama om-om. Ada tokoh yang kerjaannya cuma nabokin tokoh lain, dan berakhir dengan dia jadian sama tokoh yang lain lagi. Menjelang akhir, ada satu tokoh lagi yang meninggal, dan kupikir ini untuk nunjukin bahwa Ratu sudah belajar untuk kuat, namun ternyata hanya dipakai untuk mengangkat drama, dan Ratunya sendiri masih seperti sedia kala; dia tetap rapuh dan masih membayangkan ketakutannya yang penuh gestur manis dan sparkle-sparkle.
Akan sangat susah untuk berusaha menetapkan apa sebenarnya yang ingin diamanatkan oleh cerita film ini. Karena secara logika, jika kita ingin bercerita tentang seorang yang takut untuk sendirian, maka mestinya cerita akan berlabuh ke tokoh tersebut menjadi berhasil mengovercome ketakutannya. Aku gak bilang dia harus tetap sendiri di akhir. Film did the right thing dengan membuat Ratu giliran berada di posisi dia yang ninggalin orang, akan tetapi membuat tokoh ini masih mengkhayalkan yang ia tinggalkan, kinda messed up with the whole journey. Benar juga soal, biarkan kali ini orang yang datang kepadanya, tapi pikirku film yang berani akan membuat Ratu berakhir dengan orang baru yang menyatakan cinta padanya. Hanya dengan begitu tokoh ini bisa menutup sempurna. But I guess, film ini butuh untuk memuaskan target pasarnya, jadi mereka memilih jalan yang paling meromantisasi meski itu berarti karakternya belum benar-benar tampak belajar.
Hadir sebagai bentuk dari usaha mengapitalisasi kisah remaja yang serba berahasia, terlebih kepada orang yang dicinta. Punya semua elemen yang disukai remaja, romantisasi, dramatisasi, candaan khas anak muda. Tapi akan bisa menjadi tontonan yang jauh lebih baik di tangan penggarap yang lebih kompeten. Arahan film ini begitu bland, bener-bener sangat bergantung pada musik untuk menyampaikan rasa. Sepertinya ia tidak peduli pada apapun selain tampak cantik dan menyentuh, terbukti dari adegan seorang abang yang berusaha menenangkan hati adiknya dengan berbicara ke puncak kepala sang adik, hanya karena shot tersebut tampak manis dilihat dari depan. The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for R – RAJA, RATU & RAHASIA.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“Good friends don’t let you do stupid things…alone”
Tentu kita akan melakukan hal-hal bego saat bersama teman-teman. Kita masih muda. Akan membosankan sekali jika kita gak mengambil resiko dan ga melanggar semua peraturan itu. Hampir seperti masing-masing kita berlomba untuk menjadi yang paling ngaco, kita bangga melakukan sesuatu yang tak banyak orang lain bisa. Masuk kelas tepat waktu layaknya murid normal? Well, kita akan buktiin bisa masuk telat, lewat jendela belakang, demi mendapat elu-eluan dari teman satu genk; Hebaaaat. Berani banget, ih. Kemudian teman-teman akan meniru, bola bergulir, dan menimbulkan efek yang semakin membesar. Dengan mencoba tampil beda, ingin mendapat pengakuan – dalam masa kekinian; mau dapat view dan follower banyak – tak sadar kita menjadi contoh yang buruk.
Kita tidak bisa menilai diri sendiri. Orang bilang, pergaulanlah yang membentuk kita. Tapi pada kenyataannya, kita tidak pernah selalu sepasif itu. Sedikit banyaknya, baik buruknya perbuatan, kita kerap memberikan pengaruh. Kedewasaan dan pengalamanlah yang bakal ngajarin kita untuk berpikir matang dahulu sebelum bertindak.
Dalam konteks tersebut, sebenarnya Alas Pati punya dasar cerita yang menarik untuk dikembangkan dari karakternya. Ini adalah tentang seseorang yang menyadari dia sudah memberikan pengaruh yang buruk dalam lingkaran pertemanannya, dan berhubung ini film horor, ia memplajari hal tersebut dari sebuah kejadian naas mengerikan yang literally terus menghantuinya.Nikita Willy dan teman gengnya sudah dikenal di kampus sebagai kelompok songong yang suka mengupload video-video viral berisi kenekatan ekspedisi mereka. Dimotivasi oleh dahaga akan ketenaran siber, juga uang yang didapat darinya, mereka pergi ke pedalaman Jawa Timur. Ke sebuah pekuburan adat tradisional di dalam hutan yang terkenal angker. Disebut tidak ada yang dapat kembali dari sana, tokoh utama kita semakin tertantang. Mereka menemukan tempat tersebut dan make fun of it. Tentu saja ada korban jatuh. Mereka kabur ke habitat asal mereka (yang kuasumsikan adalah Jakarta, karena di mana lagi kita banyak menemukan anak muda spoiled yang belagu, right?) . Tapi tidak tanpa makhluk-makhluk dan kejadian poltergeist menyeramkan yang ngikutin.
Respect. Satu hal yang tidak berani dipunya oleh anak muda
Pada awalnya, Alas Pati tampak bakal dibangun menjadi horor yang ‘berbudaya’’ dengan actually punya sesuatu yang ingin disampaikan. Set-nya udah kayak settingan sebuah game Fatal Frame yang baik; Mereka punya urban legend yang dikunjungi. Mencakup ritual di pemakaman di mana makam-makam didirikan di atas platform kayu di daerah terbuka di tengah hutan terpencil. Ada mayat-mayat yang seperti dimumifikasi dengan mata terjahit di sana. Bahkan tokoh kita menggunakan kamera dan teknologi lain untuk melihat hantunya. Aku sudah siap diterpa cerita trauma personal yang dikaitkan dengan pembahasan ritual Alas Pati itu sendiri. Tapi film Alas Pati tidak pernah membahas ritual tempat tersebut dengan lebih dalam, praktisnya hanya dijadikan alas cerita saja. Horor yang kita dapatkan, sebaliknya, adalah cerita horor biasa yang bisa saja terjadi kalo judul film ini diganti. Mereka bahkan enggak perlu ke hutan itu, trigger cerita ini bisa terjadi di mana saja. Satu-satunya pengikat tokoh-tokoh ini mesti kembali ke lokasi itu adalah karena Nikita Willy mengambil kalung dari salah satu mayat dan memakainya layaknya kalung sendiri. Dan kita enggak tahu kenapa dia melakukan hal tersebut, mengapa dia nekat mengambil kalung dari mayat.
Jika kalian suka film di mana tokohnya mempelajari suatu misteri, kemudian berjuang melawan misteri tersebut karena ternyata bersangkut paut dengan masa lalu kelamnya sebagai seorang manusia, maka sebaiknya kalian jangan mengharap banyak kepada film ini. Ya, memang, tokoh utama kita akan menyadari dan mencemaskan apa yang sudah ia lakukan membawa dampak buruk bagi teman-temannya, tapi kita tidak melihat ia memilih untuk bertanggung jawab sendiri. Dia tetap ‘kabur’dan ketika udah kepepet, dia mulai berpikir lurus demi batang lehernya sendiri. Tidak ada eksplorasi. Film melewatkan kesempatan besar, mereka bisa saja membangun mitos sendiri soal ritual Alas Pati, yang mana seratus persen akan membuat film ini menjadi horor yang solid. Bayangkan betapa berbobotnya film jika durasi diisi oleh tokoh-tokoh yang actually melakukan sesuatu. Take action alih-alih bereaksi terhadap kondisi diteror hantu melulu.
Babak kedua film ini hanya diisi oleh tokoh yang bergantian diteror hantu. Dan setiap sekuen tersebut berakhir mereka revert back ke denying apa yang terjadi dan kembali meyakinkan diri mereka untuk menutupi apa yang mereka lakukan. Makanya film terasa sangat membosankan ketika sudah di bagian tengah. Kita praktisnya sama saja melihat hal yang sama berulang-ulang kali. Film terlalu malas untuk menciptakan cerita yang berlapis. I mean, bukan saja elemen ritual yang dibiarkan dingin. Ada satu poin di mana ada seseorang yang mengupload video mengenai kejadian yang mereka semua tutupi dari orangtua dan publlik. Dengan panik mereka mencoba menurunkan video tersebut dari linimasa, menghapusnya dari internet, dan that’s it. Poin ini enggak ada reperkusinya. Entah bagaimana tidak ada orang yang melihat video tersebut. Tidak ada pembahasan kenapa video tersebut bisa terupload. Film just drop it, tidak berujung kemana-mana selain para tokoh jadi ribut saling tuduh.
Tapi paling enggak, peta yang mereka gunakan sudah jauh meyakinkan dari peta Ular Tangga (2017)
Film justru melompati hal-hal seru untuk diceritakan. Misalnya lagi saat perjalanan mereka menuju Alas Pati. Seluruh perjalanan ke tempat terpencil itu dibuat begitu mudah. Hanya ada satu kali mereka mencemaskan enggak bawa pengaman. Tapi kemudian kita dicut langsung menuju mereka sampai di lokasi. Membuat film ini tampak enggak kompeten, seolah cerita yang mau mereka usung jauuuuuhhh lebih gede dari kemampuan pembuat filmnya. Mereka tidak bisa membuat mitos seputar Alas Pati, mereka tidak bisa membuat misteri yang lebih eksploratif , mereka tidak bisa membuat perjalanan yang intens. Adegan di sepuluh menit pertama – yang ditutup dengan Nikita Willy melempar botol mineral tepat kena kepala temannya yang berlari menjauh, konyol! – sungguhlah berperan dengan super efektif sebagai tangisan minta tolong dari film untuk kita memperhatikan bahwa mereka gak bisa membuat cerita yang benar-benar terasa intens dan mencengkeram. Di menit tersebut kita melihat Nikita Willy ditantang main panjat tembok sama temennya; editingnya sungguh-sungguh begitu bland, kita tidak merasakan kompetisinya, yang dilakukan film ini hanyalah mereka merekam ekspresi meringis pemain dan kemudian memainkan musik rock sebagai penghantar emosi. There’s nothing pada kamera dan editnya yang menguar emosi.
Ketergantungan terhadap musik dan suara keras inilah yang bikin film ini sungguh tampak nyebelin. Usaha mereka cuma di bagian itu, dan mereka pikir itu sudah cukup. Bahkan saat menangani adegan inti yang pembuat film percaya bakal laku keras pun, film tampak begitu malas. Rambut yang dipakai hantu ‘beneran’ di sini clearly gak ada bedanya ama wig yang dipakai tokohnya si Stefhanie Zamora waktu ia nakut-nakutin temennya. Juga di bagian akhir film, ada adegan ngebut-ngebutan di mobil yang jelas malesin buat ditake ulang jadi mereka masukin ngasal aja potong-potongan adegan, alhasil itu plat mobil berubah-ubah dari B 459 PM menjadi B 9 PM dalam setiap shot.
Diibaratkan, film ini adalah teman kita di sekolah yang kerjaannya bolos, nyontek, sok ngartis, tapi punya penggemar banyak karena dia kece. Dia tidak melakukan apapun dengan potensi yang ia punya. Harapan kita tentu saja adalah semoga film ini gak lantas menjadi pengaruh buruk buat ranah perfilman horor tanah air. The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for ALAS PATI: HUTAN MATI
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“If you judge people, you have no time to love them.”
Tidak ada yang lebih nge-ftv daripada menggunakan adegan tabrakan untuk memperkenalkan dua tokoh dalam romansa remaja, yang tentu saja kemudian akhirannya bisa kita tebak. Dua tokoh tersebut akan berakhir menjadi pasangan. The Perfect Husband adalah contoh sempurna dari formula kisah cinta dalam film televisi, ia tidak membuang waktu memperlihatkan gimana Ayla, gadis cantik anak kelas 3 SMA, yang mobilnya bersenggolan dengan mobil seorang mas-mas berseragam pilot, yang ternyata adalah pria yang telah dipatri oleh ayah Ayla untuk menjadi calon suami Ayla.
Mendengar informasi sepihak tentang masa depan hidupnya, terang saja Ayla bereaksi heboh. Dia tidak berlama-lama di fase penyangkalan. Malahan dia bisa dibilang nyaris langsung marah, dan Ayla tetap bertahan di tahap tersebut. Ayla mengambil sikap protes kepada ayahnya. Dia menolah Arsen, si pilot, mentah-mentah. Di balik usianya, Ayla memang tampak seperti wanita muda dengan pola pikir yang cukup kritis, namun film tidak berada di jalur yang demikian. The Perfect Husband mengambil tone yang sangat ringan untuk menceritakan konflik seputar perjodohan, yang mengakar kepada keinginan anak versus kebahagiaan orangtua, dengan tidak malu-malu menyebut komedi kepada tingkah laku para tokoh. Nyaris keseluruhan film adalah debat Ayla terhadap keputusan ayahnya, tetapi tidak benar-benar dalem. Alasan Ayla enggak mau dijodohin adalah karena Arsen yang hanya muda jika dibandingkan dengan si ayah, dan Ayla sudah punya pacar anak band.
kita bicara tentang band yang lagunya….. ngerock!
Alih-alih membuat diri dan pacarnya tampil lebih baik sehingga dapat dipercaya di mata ayah, Ayla malah sengaja tampil urakan dan kurang ajar. Sampe-sampe teman satu geng Ayla sendiri malah jadi kasihan kepada Arsen yang selalu ‘dikasarin’ sama Ayla. Actually, perspektif ini yang membuat film menjadi menarik. Ayla melakukan segala cara minus, mulai dari bersikap dingin, terang-terangan miih Ando, nyuekin, sampai berbohong, dalam upayanya mengeluarkan diri dari perjodohan. Ayla ingin menggunakan penilaian ayahnya terhadap Ando sebagai senjata utamanya kala keluarga Arsen datang berkunjung. Tapi tentu saja, hal tersebut semakin membuktikan ketidaksukaan ayahnya kepada pilihan Ayla yang begundal. Dinamika ayah-anak ini menjadi bumbu cerita. Arsen kerap meminta panduan dari calon mertuanya demi meluluhkan hati Ayla. Kita akan mendengar banyak bentrokan seputar tua melawan muda, mapan melawan kegakjelasan, yang kita inginkan melawan apa yang sebenarnya kita butuhkan.
Semua orang di dalam film ini saling bersikap judgmental terhadap satu sama lain. Ayah menjodohkan Ayla karena ia tidak percaya pergaulan dan pilihan Ayla. Begitupun Ayla punya curiga kepada Arsen kenapa mau-mau aja dijodohkan. Masih ada ibu Arsen yang punya prasangka dan penilaian sendiri terhadap Ayla. Begitu jualah kita dalam kehidupan, kita banyak berprasangka. Kita enggak mau dijudge, sehingga kita menyimpan rahasia, dan pada gilirannya kita jadi menganggap orang lain juga menyimpan sesuatu. Jadinya saling tuduh-tuduhan.
Berlawanan dengan ceritanya yang mengusung dukungan terhadap prasangka, film ini sendiri lumayan bisa kita nikmati dengan memendam dulu pikiran judgmental bahwa film ini tak lebih dari ftv di layar lebar. Karena memang tidak benar sepenuhnya demikian. Ceritanya sendiri tidak completely sepele, masih ada yang bisa kita bawa pulang seputar kebahagiaan dan bagaimana kita memandang orang lain. Secara teknis pun, film ini enggak basic-basic amat – tidak ada yang wah, it is just competent enough. Ada satu adegan yang kusuka, buatku itu adalah adegan terbaik yang dipunya oleh film ini, yakni ketika Arsen dan ayah ibunya lagi mengobrol memutuskan untuk meneruskan usaha mendekati Ayla atau enggak, ibu Arsen akan bolak-balik keluar ruangan, ngobrol sambil lepas dandanan, untuk menggambarkan urgensi dari judgment dirinya terhadap keputusan anaknya, dan adegan ini ditutup dengan punchline komedi yang tepat. Karakter-karakter ditulis sesuai konteks, mereka mendapat pengembangan, mereka berubah – karena pengungkapan dan/atau pembelajaran – meskipun memang film meminta mereka untuk enggak terlalu cepat ngejudge mereka.
Across the board, penampilan para pemain juga sama kompetennya. Slamet Rahardjo berhasil memainkan ayah yang menuntut, yang diantagoniskan oleh tokoh utama, tanpa membuat tokohnya tampak tidak-menyenangkan. Ayah adalah tipe karakter yang berkembang dan memajukan cerita dengan pengungkapan karakter yang ia simpan sepanjang film, dan Slamet Rahardjo mampu membawakan tokoh ini dalam jalur yang make sense. Meskipun, memang, jika ia jujur dan gak berahasia sedari awal, film bisa selesai dengan lebih cepat, namun tokohnya tidak terasa annoying. Arsen yang diperankan oleh Dimas Anggara juga tidak berupa tokoh device belaka. Dia punya motivasi sendiri, jadi karakternya enggak entirely jatoh creepy. But still, orang dewasa ngendong paksa anak SMA bukanlah hal yang lumrah untuk didiemkan dan dianggap so sweet.
Dari semuanya, menurutku aman untuk kita bilang Amanda Rawleslah yang membopong film ini lewat permainan range akting yang variatif. The problem is, karakter Ayla enggak dibahas berlapis sesuai layer yang semestinya ia punya. Ayla adalah cewek groupie rock band, yang sesungguhnya tidak suka ama genre musik tersebut, dia hanya suka sama Ando yang vokalis, cerita tidak pernah membahas ini lebih dalam, maka ketika Ayahnya menyinggung soal Ando dan musiknya, efek terhadap Ayla tidak bisa menjadi lebih dalam. Aku setuju sama ground pemikiran yang dipijak oleh Ayla, hanya saja Ayla tidak menunjukkan dia tahu yang terbaik untuk dirinya. Kebanyakan, dia mengambil keputusan karena ‘cinta buta’ terhadap Ando, film tidak clear melandaskan apakah Ayla memilih Ando sebagai bentuk perlawanan kepada ayahnya, karakter ini semacam terombang ambing antara clueless atau benar-benar tahu apa yang ia mau.
dengan kata lain, beneran kayak anak SMA
Dalam usahanya yang cukup berhasil membuat kita tetap duduk di tempat, tetap saja banyak elemen dalam film ini yang bikin kita cengo’ sambil mengutuk ‘betapa begonya’. Aku enggak paham kenapa mereka enggak nunggu Ayla selesai kuliah dulu baru menikah. Ending film ini adalah salah satu yang paling cheesy dan benar-benar meruntuhkan tone dramatis yang sudah dibangun. Aku tidak tahu kenapa film memilih untuk menggunakan adegan tersebut, selain untuk menunjukin Arsen beneran bisa nerbangin pesawat. Di adegan flashback menjelang akhir, kita dengan jelas mendengar ayahnya menyebut Alya alih-alih Ayla, aku enggak tahu kenapa film membiarkan kebocoran ini, mereka bisa dengan gampang mendubbing atau mereshot adegan.
Film punya jawaban dan sudut pandang sendiri terhadap pemecahan masalah perjodohan yang ia angkat. Film membuat penonton bersimpati kepada Arsen ketika Ayla membentaknya di depan teman-teman sekolah lantaran main gendong sekenanya. Ayla yang kemudian minta maaf adalah salah satu dari beberapa adegan yang menunjukkan film berdiri di ranah cewek bertanggungjawab mengemban pilihan orangtuanya. Aku tidak begitu setuju dengan gimana film ini memandang sikap anak terhadap perjodohan oleh orangtuanya, tapi aku harus ngasih respek karena film ini berani mengutarakan suaranya sendiri. Dan paling tidak, aku masih bisa setuju soal pesannya yang mengatakan bahwasanya berbohong tidak akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan siapapun. Umur ayah menjadi semakin singkat karena mendengar kebohongan Ayla, film tidak sepenuhnya menekankan ke aspek ini, tapi nyatanya adegan tersebut kuat untuk menjadi titik balik penyadaran Ayla.
Bicara tentang Arsen, alasan kenapa dia mau dijodohkan yang diungkap menjelang akhir babak tiga adalah hal terbullshit yang kudengar sepanjang hari ini. Karena sesungguhnya kebahagiaan manusia adalah tanggungjawabnya sendiri. Bukan tugas orang lain untuk membuat kita bahagia. Membalas kebaikan orangtua tidak harus dengan sampai mengorbankan kebahagiaan kita sendiri agar mereka bahagia. Tentu, kita mungkin saja menemukan kebahagiaan yang lain saat berusaha membuat orangtua bahagia, tapi itu bukan berarti membuktikan mereka benar, atau mereka yang salah. Bahagia itu datang sebagai misi diri sendiri, dan untuk mendapatkannya tidak bisa dengan berbohong.
Ini adalah kisah cinta remaja yang twisted, yang menggambarkan bagaimana tepatnya dalam kehidupan sosial, setiap orang bersikap judgmental terhadap orang lain. Dan film ini membuat lebih sering daripada tidak, prasangka tersebut benar adanya. Seperti ketika film lewat tokoh ayah Ayla ngejudge rocker tanpa memberi kesempatan pihak itu membela diri. Perjodohan dan konflik keinginan anak dengan keinginan orangtua dijadikan panggung untuk mengeksplorasi masalah tersebut, yang actually disampaikan dengan ringan. Menjadikan pesan dan feeling film ini tidak untuk semua orang. Ironisnya, jika kalian menahan perasaan judgmental terhadap film ini dan mau tetap duduk di sana, film ini sebenarnya adalah sebuah tontonan yang watchable dengan penampilan akting yang menarik. The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE PERFECT HUSBAND.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017