SEHIDUP SEMATI Review

 

“Not even death can do us apart”

 

 

Kesakralan pernikahan  dibuktikan dengan ikrar untuk menjadi pasangan yang sehidup semati. Janji untuk senasib sepenanggungan. Susah senang selalu bersama-sama, hingga maut memisahkan. Janji suci dua insan Katolik tersebut dapat berubah menjadi beban toxic mengerikan, seperti yang terjadi dalam psychological thriller terbaru dari Upi ini, Ketika rumah tangga jadi tak lagi harmonis, pernikahan hanya jadi neraka personal bagi istri yang tidak diperkenankan melawan, melainkan bertambah fungsi jadi punching bag emosi dan frustasi suami. Afterall, istri harus senantiasa tunduk dan patuh terhadap suami. Perceraian merupakan aib keluarga, dan adalah tugas istri untuk menjaga martabat suami dan keluarganya. Dengan muatannya ini, Sehidup Semati dengan cepat menjadi sebuah gambaran naas yang bakal berkembang menjadi jauh lebih menyeramkan lagi. Karena Upi membenturkan penafsiran ekstrim dari dogma atau ajaran agama itu dengan pandangan yang sepertinya solutif, hanya datang dari tempat yang tidak benar-benar bisa dipercaya. Penceritaan film ini pun akhirnya baur, antara benar psychological atau sebuah supernatural.

Pasangan tak-bahagia dalam film ini adalah Renata dan Edwin. Laura Basuki jadi Renata yang tersiksa mental dan fisik. Bukti visual memperlihatkan perempuan berambut seleher itu jadi korban KDRT. Ario Bayu jadi Edwin, pria yang keras, dingin, distant, dan tersenyum hanya kepada layar hapenya. Karena cerita ini dari sudut pandang Renata, kita tidak benar-benar diperlihatkan sisi Edwin, kenapa dia bisa berubah begitu violent kepada perempuan yang tadinya ia cintai. Alasan ‘kecewa’nya sih kita diberitahu. Mereka pengen punya anak tapi Renata physically tidak bisa. Jadi, Renata harus mengalami ‘siksaan’ janji sucinya itu sendirian. Luka dan sakitnya ia pendam sendirian. Toh, agama dan keluarga besar mengajarkan sudah kodrat istri untuk patuh. Sampai, dia mendengar ada suara lenguhan perempuan dari ruang kerja Edwin. Ruang kerja yang sama sekali tidak boleh ia buka/datangi. Renata mulai curiga suaminya literally punya simpanan perempuan lain. Beruntung, Renata yang biasanya sehari-sehari cuma ‘berteman’ dengan televisi, kini punya tempat mengadu. Tetangga barunya, Asmara, perempuan yang completely bertolak belakang dengannya. Asmara liar dan berani, dia malah meledek Renata yang patuh sebagai ‘perempuan bego’. Meski begitu, Asmara tetap masih menyisakan aura misterius (Hmm, siapa lagi yang paling cocok meranin karakter ini kalo bukan Asmara Abigail) Dari perempuan yang sepertinya segala merah itulah, Renata belajar untuk menjadi sedikit lebih berani untuk stand up for herself. Tapi masalahnya, bayangan perempuan simpanan Edwin semakin kerap menghantui. Suara-suara dan kejadian aneh kian santer di sekitar Renata.

Di film ini ikrar suci dibalik menjadi ‘sampai maut menyatukan kita’

 

Sebagai thriller psikologis film ini memang benar menyejajarkan kita dengan psikis Renata. Kita merasakan sama kecil dan terisolasinya dengan Renata yang dititah suami untuk tetap tinggal di rumah. Kita dibuat ikut merasakan derita fisik dan mentalnya. Film ini mampu mencapai itu berkat penampilan akting getir serta treatment yang diberikan kepada karakter ini. Renata seperti titik kecil pucat yang dikontraskan pada setting latar yang pekat. Ya, putihnya Renata lebih terasa seperti pucat, ketimbang suci. Seantero apartemen yang dia huni pun dijelmakan menjadi tempat yang (nyaris) kosong. Hanya Asmara dan seorang ibu tua (dan satpam Muklis!) yang tampaknya kenal dan berinteraksi dengan Renata. Ketika Renata berjalan di lorong-lorong menuju unitnya, dia seperti berjalan di labirin yang persis suasana hatinya. Dingin dan banyak sudut gelap. Ketika kita masuk ke dalam unitnya, keadaan tidak menjadi lebih nyaman, karena bahkan ruang pribadi perempuan itu pun tampak muram dan terasa restricted baginya. Kamar yang tak boleh dibuka. Benda-benda yang either bertukar tempat ataupun bukan miliknya. Zona nyaman Renata hanya di depan televisi. Dan aku suka gimana film membuat Renata seperti sangat susceptible terhadap apa yang ia tonton dan dengar di televisi. Siaran ceramah yang bagi kita terdengar esktrim, seperti larangan tegas bagi Renata. Waktu Renata mulai curiga ada perempuan di rumahnya, siaran yang ditontonnya adalah sinetron tentang pelakor. Dan masuk babak akhir, sebelum ketegangan dan kecurigaan kepada suami memuncak, Renata kita dapati tengah menonton berita kriminal seputar ditemukan mayat istri korban kekerasan suami.

Seolah teror psikologis belum cukup seram dan ‘membingungkan’, film juga menyiapkan teror lain, Teror dari supernatural. Sosok perempuan yang kerap sekelebat hadir di ekor mata Renata ditreat oleh film lebih seperti penampakan arwah penasaran. Ditambah pula si ibu tua diperlihatkan pernah melakukan semacam ritual dengan dukun di unitnya sendiri. Unsur supernatural yang dibaurkan dengan psikologis tadi memang menambah layer kepada misteri. Aku sendiri memang sangat menikmati menebak-nebak apa yang sebenarnya sedang ‘dihadapi’ oleh Renata. Tapi pace film ternyata jadi agak goyah ketika sudah waktunya mereveal dan menyelesaikan cerita. Like, film ini jadi terasa terlalu lama bermain-main di misteri penampakan perempuan sehingga paruh akhirnya jadi kayak lebih buru-buru, padahal konfliknya lebih banyak di paruh akhir. Kecamuk psikologis juga lebih dahsyat di bagian paruh akhir, dengan segala ketakutan baru Renata soal orang-orang lain di sekitarnya selain suaminya.

Akibatnya, penjelasan yang diungkap film akan terasa ‘short’. Meskipun sebenarnya cukup gede, dan tragis, tapi penonton sebagian besar akan masih terlalu sibuk dengan berusaha mencerna kepingan puzzle tragedi yang telat dibagikan tersebut. Film ini akan dengan cepat menjadi supermembingungkan begitu baru di pertengahan kita dikasih penyadaran bahwa Renata, satu-satunya perspektif yang bisa kita pegang justru ternyata ‘agen’ dari kerancuan. Bahwa dia adalah perspektif yang unreliable. Kita sangka kita akan mengungkap misteri bersamanya, tapi ternyata dialah misterinya. Hal yang tidak real ternyata justru hal-hal yang berinteraksi dengannya. Dan ‘tidak real’ di film ini bukan saja hanya perihal suatu kejadian tidak benar-benar terjadi, melainkan juga kejadian yang beneran terjadi tapi bukan pada waktu yang seperti kita lihat di film. Alias, soal urutan juga teracak. Jadi berikut kotak spoiler soal bagaimana menurutku urutan kejadian kisah tragis Renata sebenarnya terjadi (serta siapa sebenarnya karakter-karakter seperti Asmara dan Ana). Kalian bisa skip kotak di bawah ini jika tidak ingin kena spoiler

Spoiler Urutan Kejadian:

Renata kecil liat Ayah pukulin Ibu – Renata kecil liat ayah muntah darah dan lumpuh – Keluarga mereka tetap utuh Ibu tetap merawat Ayah yang kini gak bisa ngapa-ngapain Ibu – Renata gede nikah sama Edwin – Renata gak bisa hamil – Edwin dicurigai selingkuh sama perempuan lain – Renata mulai kesepian, temannya cuma televisi – Renata ngadu ke keluarga tapi malah disalahin – Edwin mau minta cerai – Renata kalut, stress, terilham rumah tangga Ibu dan Ayahnya, membunuh Edwin – Ana nelfon dan Renata jadi terkonfirm siapa selingkuhan edwin – Renata bunuh Ana – Cerita film dimulai – Di dalam halu kepalanya, Renata nganggap Edwin masih hidup – Tapi hantu Ana mulai menghantui, tetap sebagai pelakor – Renata menciptakan teman/pelarian/alter ego dari karakter sinetron yang ia tonton, yaitu Asmara – Gangguan Ana semakin intens – Asmara ‘membunuh’ hantu Ana – Ibu Ana mulai mencari anaknya yang tidak pulang dan mencurigai Renata berkat petunjuk dukun – Renata membunuh Ibu Ana via Asmara – ‘Asmara’ yang ia ciptakan semakin kuat, sehingga Renata jadi berkonfrontasi dengan realita – Revealing kejadian sebenarnya – Renata membunuh ‘Asmara’ yang ia takutkan jadi pelakor berikutnya – Renata mereset halunya, hidup berdua dengan Edwin  masih sayang padanya – Cerita film selesai

 

Bukan sama-sama hidup/mati, melainkan satu hidup, yang satu mati

 

So yea, film ini pretty ribet. Karakter yang kita kira nyata, sebenarnya tidak ada di sana. Kejadian yang kita sangka baru, sebenarnya terjadi bahkan sebelum frame film ini dimulai. Masa lalu bercampur dengan present chaos Renata. There is a lot to unpack, baik bagi kita, maupun bagi filmnya sendiri. Aku melihat film ini sendirinya keteteran. Sehingga bahkan untuk membangun simbol aja tidak sempat. Seperti ruang kerja Edwin, film udah hampir habis ruangan tersebut tidak kita dan Renata ‘lihat’ sebagai apa sebenarnya.  Padahal ruangan tersebut adalah simbol dari ‘truth’. Selain mengintip dan melihat suaminya selingkuh dengan Ana, perempuan yang ada di poster orang hilang di sekitar apartemen, harusnya ada adegan yang memperlihatkan Renata konfrontasi dengan ‘truth’ yang sebenarnya di sana, entah itu mayat atau sesuatu yang membuat Renata kembali menapak ke realita.

Selain misterinya yang jadi bloated, pesan film ini juga tampak agak terlalu melebar. Meskipun memang sutradara sekuat tenaga berusaha mengembalikan ke ‘jalan yang benar’. Awalnya film ini tampak seperti kisah peringatan atau malah sindiran untuk tidak terlalu ekstrim dalam menerapkan ajaran agama. Tapi ternyata bukan ajaran agama saja yang berbahaya jika kita gak rasional dalam ‘mengonsumsinya’ Karena kita lihat Renata justru sebenarnya terpengaruh oleh apapun yang ia dengar di televisi. Pembahasan soal perempuan saling support juga berkembang jadi aneh, lantaran turns out cerita ini berakhir dengan pembunuhan antarkarakter perempuan. Bahasannya utama seperti malah jadi soal pelakor. Seolah ini jadi thriller atau horor pelakor, ‘genre’ yang memang sempat surprisingly laku di skena horor lokal tahun lalu.

 

Motivasi  Renata sebenarnya cukup clear. Dia pengen menuhin janji suci. Dia rela bertahan walau suaminya kasar. Tapi sang suami langsung mau pisah begitu dia gak bisa punya anak. Jadi Renata pengen take control back. Persoalan pelakor malah menginterfere. Karena ini harusnya adalah soal dia dengan suaminya. Apalagi film membuat seperti sebuah momen kemenangan ketika Renata membunuh Ana. Melebihi momen saat Renata akhirnya ‘berkonfrontasi’ dengan Edwin. Penonton di studioku pada bersorak. Padahal seharusnya ini adalah thriller psikologis seorang perempuan yang jadi ‘rusak’ mentalnya karena situasi yang menekan. Peristiwa pembunuhan itu harusnya dilihat sebagai proses downward spiral yang tragis, journeynya seharusnya yang ditekankan. Bukan ke soal ‘ternyata istrinya yang membunuh!’

 




Aku senang mulai banyak yang bikin, namun begitulah sayangnya, aku melihat tren genre psychological thriller di film kita. Seperti miss bahwa harusnya ya tentang psikis seseorang yang mengelam, bukan tentang orang psycho (alias ‘gila’)  Bukan soal kejutan di akhir bahwa karakter utamanya ternyata ‘gila’, melainkan lebih ke menggambarkan proses yang membuat si karakter terjun ke dalam kegilaan. Apakah dia memilih, atau didorong tanpa punya pilihan. Filmnya harusnya bukan cuma tentang ‘lihat dia jadi gila karena keadaan atau sistem masyarakat’ dan lalu ditutup dengan kegilaan yang dibaurkan dengan momen seolah kemenangan, seolah ‘rasain tuh sistem!’ Harusnya tidak ada kemenangan. Sehidup Semati mirip sama Sleep Call (2023). Pemeran utamanya sama, karakternya mirip. Direveal punya kondisi yang mirip. Sleep Call sebenarnya melakukan soal journeynya dengan lebih baik, tapi film itu messed it up dengan reveal bahwa karakternya sudah berbakat gila sedari awal. Masih tetap seputar revealing mengejutkan. Sehidup Semati memainkan atmosfer thriller dan misteri dengan lebih baik, karakter-karakternya lebih menantang, tapi seperti puas di revealing dan dengan awal journey yang tidak ditegaskan. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SEHIDUP SEMATI

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian di manakah batas seorang perempuan yang setia dan taat bisa disebut bego seperti kata Asmara? Pantaskah mereka kita sebut bego?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MONSTER Review

 

“You can call me a monster. That’s fine. It honestly doesn’t bother me. Because you see, that’s what society does, they put labels on things they don’t understand.”

 

 

Monster besutan Kore-eda Hirokazu seperti mengajak kita bermain-main dengan prasangka. Vibe yang dibuat misterius lewat konsep melihat kejadian dari berbagai sudut seolah menuntun kita kepada pertanyaan “siapa sebenarnya yang monster di sini?” Aku sendiri teringat sama kalimat promo dari salah satu superstar WWE jagoanku, Bray Wyatt (rest in peace). Kalimat yang aku kutip sebagai penggalan pengantar ulasan ini. Basically karakter/gimmick Bray Wyatt saat mengucapkan itu adalah seorang yang merasa dirinya berbeda, dan orang-orang yang tidak mengerti dirinya, takut kepadanya. Mencampakkan dirinya. Namun upon arriving to the squared-circle, Bray telah mengembrace perbedaan dirinya, dan menjadikan itu sebagai kekuatan. He now takes back control from them. Dia tidak lagi peduli sama yang orang-orang katakan terhadapnya. Kalimat itu mengantarkanku kepada pemahaman bahwa film Monster pada intinya adalah sebuah journey menuju self honesty seperti yang telah diembrace oleh Bray Wyatt (walau karakter film ini tidak mesti berakhir jadi sekelam Bray Wyatt). Dan dalam journey nya tersebut, setidaknya ada  empat jenis ‘monster’ yang dibicarakan oleh karya Kore-eda ini.

Jika kita sama judgmental-nya dengan society yang suka dengan cepat melabeli orang yang ‘berbeda’ sebagai monster, atau alien, atau whatever, maka kita juga akan cepat melepehkan film ini without giving it much thought. Naskahnya, dari luar, tampak berpindah ke mana-mana tanpa karakter utama yang jelas.  Konsep kembali kepada kejadian A tapi dari perspektif yang berbeda, bisa sekilas tampak seperti usaha manipulatif arahan yang menyandarkan diri kepada kejutan-kejutan dari pengungkapan kejadian. Monster dibuka dari seorang single mother yang merasa kelakukan anaknya yang baru kelas 5 SD jadi berubah, dan dia mencurigai itu semua karena ulah wali kelas anaknya di sekolah. Sehingga si ibu mulai mencecar sekolah yang juga tampak menutup-nutupi kejadian. Kemudian cerita memindahkan kita ke belakang si wali kelas, guru cowok yang ternyata tidak sejahat ataupun seaneh kelihatannya. Dan finally di pertengahan akhir, film akhirnya settled di bahasan dari perspektif Minato, si anak kelas 5, yang sikap dan tingkah lakunya bikin cemas ibunya tadi. Bukan hanya tiga perspektif, film ini actually juga bisa dibilang berpindah genre tiga kali. Di awal seperti thriller, lalu jadi studi karakter yang ironis, dan berakhir sebagai drama anak-anak. Perpindahan tersebut tidak dilakukan dengan se’sopan’ cara film menceritakan/mengeksplorasi tiap sudut pandang karakter (lewat sinematografi dan musik yang brilian), melainkan dengan deliberately rough. Kembali ke kejadian sebelumnya dengan memusingkan tanpa tedeng aling-aling. Inilah yang membuat kita urung menjudge terlalu cepat. Desain yang diniatkan seperti begini, justru semakin menarikku masuk dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “Kenapa Kore-eda melakukannya seperti ini?”

Kenapa, jika cuma ingin memperlihatkan prasangka yang ternyata membuat semua orang adalah ‘monster’ bagi orang lain, film berkutat lama di perspektif Minota dan ‘teman rahasianya’ Yori Hoshikawa?

Kenapa pula, jika inti yang ingin diceritakan itu adalah drama anak yang merasakan sesuatu yang tak-biasa di dalam dirinya, film ini harus melewati perspektif karakter yang lain terlebih dahulu? 

Clearly, film ingin penonton merasakan. Bukan hanya merasakan dramatic irony, ataupun kejutan-kejutan ‘oh ternyata dia begini, dia tidak jahat, dan sebagainya’. Melainkan film ingin penonton merasakan atau mengalami sendiri keadaan yang menciptakan berbagai bentuk monster. Dan ultimately film ingin penonton merasakan journey yang dialami oleh seseorang ketika dia mulai merasa benar dirinya adalah monster.

Kalo ini film indonesia, pig-brain kayaknya bakal ditranslate jadi ‘otak-kebo’

 

Kita diperlihatkan gimana monster di film ini terbentuk lewat bagian awal yang membahas perspektif ibu Minato. Gimana bola liar desas desus membuat dia jadi mengantagoniskan pak guru. Lalu membesar mencurigai pihak sekolah, mencurigai kepsek. Bahkan si ibu jadi melihat Minato, anaknya sendiri sebagai ‘monster’. Bentuk monster pertama yang diperlihatkan oleh film adalah monster prasangka. Pak Guru yang malang; hanya karena pembawaan dan gesturnya, apapun yang ia lakukan (meskipun niatnya baik) mudah disalahartikan oleh orang lain sebagai tindakan yang creepy. The worst part about monster tipe ini adalah, dirinya sendiri tidak mengerti atau tidak bisa melihat kenapa orang lain bisa melihatnya dalam ‘cahaya’ yang menakutkan seperti itu. Ini mengakibatkan pembelaan yang dia lakukan akan semakin memperparah keadaan. Monster kedua juga datang dari orang luar, tapi dari pelabelan. Di film ini contohnya adalah sahabat Minato, si Yori Hoshikawa, yang dilabeli monster oleh ayahnya sendiri karena Yori ini anak cowok yang ‘kemayu’. Walau Yori tampak oke-oke saja dikatain monster dan dijauhi teman, the heartbreaking part darinya adalah anak sekecil dia bahkan belum paham yang ia rasakan itu enggak exactly hal yang salah, tapi dia hanya bisa nurut saja ketika dipahamkan oleh orang lain bahwa dia adalah kesalahan yang harus diperbaiki. Monster ketiga adalah kebalikan dari semuanya. Datang dari dalam diri sendiri, dan full aware yang ia lakukan pantas untuk membuat dirinya disebut monster, meski dia tahu dia tidak punya pilihan. Monster tipe berahasia ini adalah kepala sekolah Minota. Ibu guru yang melakukan hal buruk secara tak sengaja di masa lalu, tapi mau tak mau dia harus menutupi kejadian tersebut. Karena dia punya tanggungan dan hal lain yang dipertaruhkan. Nyesek, ketika kita lihat misalnya pada adegan niup terompet itu, bahwa dia aslinya adalah pribadi yang sangat lembut dan baik lagi bijaksana. Namun selain tiga tipe monster itu, yang paling malang sekaligus berbahaya adalah tipe monster yang hampir saja ‘jadi jelmaan’ oleh Minato, yang actually adalah gabungan terburuk dari yang dirasakan/dialami oleh Pak Guru, Yori, dan Bu Kepsek.

Yang paling berbahaya itu adalah monster yang disebut dengan self-loathing. Orang yang memonsterkan dirinya sendiri, dan berkubang dalam perasaan buruk dan prasangkanya sendiri. Orang yang self-loathing akan menghindar dari minta tolong, dan bahkan bisa sampai menyakiti diri sendiri.

 

Itulah kenapa cerita ini sebenarnya merupakan cerita Minato. Anak yang tahu persis dirinya ‘berbeda’ dari anak cowok lain, dia knows better about himself ketimbang Yori terhadap dirinya sendiri, tapi juga tidak seberani Yori. Sehingga Minato memendam semuanya di dalam diri. Minato punya rahasia seperti Bu Kepsek tapi tidak punya positif force behind it, selain takut malu dan tidak diterima oleh teman-temannya. Dia takut ketahuan kalo dia suka ama cowok. Minato bahkan tidak mau nunjukin dia bersahabat akrab dengan Yori di depan teman-teman sekelas yang lain. Kediam-diamannya ini membuat dia tampak aneh di mata ibunya. Yang gak beres pada Minato jadi terlihat lebih besar oleh sang ibu. Tindakan Minato seperti potong rambut diri sendiri bisa demikian red flag bagi ibu (padahal alasannya either karena sesimpel keinosenan anak kecil yang mau ngilangin ‘noda’ bekas disentuh oleh teman yang dianggap ‘berpenyakit’, atau hanya karena tidak mau rambut panjangnya dianggap kecewek-cewekan). Bayangkan gimana reaksi ibu begitu mendengar Minato bilang soal terlahir kembali saat ngobrolin ayah yang sudah meninggal. Kalo sudah menumpuk begitu, biasanya orang seperti Minato akan menarik diri dari lingkungan sosial. Dan itulah yang persisnya Minato lakukan di pertengahan akhir cerita.

Jadi film ini adalah journey Minato menemukan kedamaian atas dirinya yang sebenarnya. Stake cerita ini adalah salah pilih sedikit, Minato akan benar-benar jadi monster self loathing yang berbahaya terutama bagi dirinya sendiri. Beruntung dirinya punya sahabat dan tempat pelarian, yaitu Yori. Di pertengahan akhir itulah, film menjadi tontonan yang dramatis lagi beautiful dalam memperlihatkan struggle Minato – yang masih seorang anak kelas lima SD! Pencarian jati diri, menghadapi resiko bullying, ‘berguyon’ dengan ide telahir kembali, dilakukan oleh film dengan penuh respek terhadap perspektif, dengan desain detil, menutup kepada sebuah kejujuran dan penerimaan diri yang dengan metaforanya sendiri memperlihatkan ‘lesson learned, tapi hidup hanya akan lebih menantang dari sini’.

Yes, we are little dirty monsters from the forest. So what?

 

Konsep/struktur tiga perspektif, dan cerita yang seperti berevolusi antara tiga ‘genre’ berbeda, secara psikologis membawa kita ke dalam journey yang dialami karakter dan lingkungan mereka. Kita jadi melihat monster-monster itu bisa bertumbuh dari karakter yang begitu compelling dan terasa dekat karena mereka hidup dalam environment yang sederhana. Film ini tidak lagi terasa seperti kecohan dari kenyataan yang sengaja disembunyikan belaka. Everything we see is not what it seems, terutama jika kita terbuka melihat dari sudut pandang lain. Dan ini diwujudkan oleh film ke dalam visual-visual yang punya tone misterius yang kuat sehingga minat penonton juga semakin membendung menyaksikannya. Satu lagi adegan yang artinya bisa mendua, yang aku suka di film ini adalah adegan penghapus jatuh. Ibu Minato hendak pergi beli semangka, dan saat dia lewat Minato sedang menyondongkan badan ke bawah hendak mengambil penghapusnya yang jatuh ke lantai. Adegan itu langsung dicut memperlihatkan Ibu kembali dari belanja, dan saat masuk dia melihat Minato masih dalam posisi nyondongin badan ke bawah yang sama dengan saat dia pergi. Seolah Minato gerakannya berhenti saat dia pergi, dan baru bergerak lagi saat dia pulang. Ini kan misterius sekali. Kalo baru nonton otomatis kita akan menyangka hal yang serupa dengan Ibu “Ni anak kesurupan apa gimana sih!?”  Tapi tentu saja adegan tersebut bisa jadi hanya kebetulan penghapusnya jatuh lagi, dan kengerian itu hanya berasal dari prasangka ibu terhadap Minato berkelakuan aneh yang sudah terbangun sebelum kejadian tersebut terjadi.

 

 




Tahun 2024 kayaknya bakal jadi roller coaster yang hebat, sebab kemaren film pertama yang aku review ‘meh’ banget, dan film kedua di ulasan tahun ini. WOW. At first, aku memang honestly cukup judgmental terhadap penceritaannya yang seperti mengarah ke ‘ternyata begini, ternyata begitu’ doang. Tapi ternyata, aku menyadari film ini punya desain khusus dalam menyampaikan journey karakternya. Journey yang hanya bisa maksimal jika kita ikut secara menyeluruh merasakan gimana ‘monster’ itu bisa terbentuk. Yang lantas ditutup dengan pilihan karakter untuk mengembrace monster versi dirinya sendiri. Awalnya bermain dengan prasangka, tapi film justru menjadi begitu powerful dengan berkembang membuat kita berefleksi, berkontemplasi, bukan tidak mungkin di antara kita jadi ada yang menunjuk hidungnya sendiri demi mendapat jawaban masing-masing dari menonton film ini. Film Jepang ini ticked the box untuk ‘syarat’ skor tertinggiku. Cerita yang berevolusi, dengan konsep yang kuat dan karakter dan dunia yang luar biasa compelling.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for MONSTER

 




 

That’s all we have for now.

Tanyakan kepada diri sendiri, monster seperti apakah aku?

Dan jika tidak keberatan, silakan share di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRINIL: KEMBALIKAN TUBUHKU Review

 

“How do you sleep at night?”

 

 

Fenomena ketindihan jadi salah satu bahasan dalam comebacknya Hanung Bramantyo ke ‘ranah’ horor. Waktu kecil, aku cukup sering ngerasain ketindihan. Mungkin karena dulu itu aku suka minum softdrink dan minuman manis-manis lainnya, sehingga walau badan udah tidur, pikiranku masih aktif kemana-mana kebanyakan gula. Memang, secara medis, ketindihan yang disebut dengan sleep paralysis merupakan keadaan ketika seseorang tidur tapi dia merasa masih sadar, hanya tidak bisa bergerak ataupun berbicara, sampai mulai mengalami ilusi yang dianggap mengerikan. Aku masih ingat jelas betapa anehnya perasaan saat ketindihan. Yang kualami, udara atau ruang di kamar itu terasa membebani sementara mataku terpaku ke gorden di jendela, gak bisa pindah melihat ke titik lain. Lalu suara-suara. Aku mendengar suara orangtua lagi ngobrol di luar kamar, tapi suara mereka terdistorsi. Seperti ada yang memainkan setting audio sehingga kadang suara itu jadi melambat, atau juga jadi mencepat. Maka dari itu aku tertarik pengen nonton Trinil: Kembalikan Tubuhku ini. Aku ingin melihat gimana jadinya jika experience ketindihan tersebut ‘diadaptasi’ jadi full cerita horor. Bagaimana pengalaman seperti yang pernah kualami itu divisualkan. Terlebih, kalo di barat sono, ketindihan diasosiasikan dengan iblis wanita seperti Succubus atau Incubus yang duduk di dada orang yang berbaring hendak tidur. At least, kupikir Trinil bakal ngasih serangan horor psikologis. Tapi ternyata, Hanung membuat film ini dengan lebih straight forward. Ketindihan itu hanya bentuk lain dari kesurupan. Despite latar peristiwa politik 70an yang membayangi, Trinil yang diadaptasi dari drama radio 80an ini hanya horor kejadian-kejadian, yang berisi eksposisi dan pengungkapan, tanpa benar-benar menyelami karakternya.

Trinil adalah panggilan masa kecil untuk Rara, perempuan keturunan wanita pribumi dengan meneer Belanda juragan perkebunan teh di Jawa Tengah 1977an.  Meski panggilan kecilnya sama, tapi Rara enggak seperti Ibu kita Kartini. Rara orangnya cerdas, tapi cukup galak. Ketika dia dan suaminya kembali ke rumah besar mereka di tengah perkebunan dari bulan madu, Rara yang gak sadar dirinya mengalami ketindihan setiap malam, memarahi orang-orang yang berusaha menolong. Areal perkebunan mereka memang sedang dihantui oleh sosok hantu kepala perempuan, yang diduga menjadi penyebab banyak pekerja yang mati misterius. Either gantung diri, atau tercekik di tempat tidur masing-masing. Sutan suami Rara mengundang teman yang bisa mengusir hantu ke rumah mereka, tapi Rara pun sempat ribut dengan Yusof si dukun Melayu. Memprotes cara kerja Yusof yang ingin menyelidiki origin si pengganggu, Rara justru inginnya si hantu kepala terbang itu segera diusir sebelum kejadian mengerikan di perkebunan mereka diketahui publik secara luas.

Begitu lihat pemainnya, ku baru ngeh kenapa kepala hantu itu mirip Scarlet Witch

 

Dua film horor Hanung sebelumnya, Legenda Sundel Bolong (2007) dan Lentera Merah (2006), dibuat dengan landasan sejarah yang kuat. Sama-sama berhubungan dengan peristiwa politik di tahun 1965. Pada film horor terbarunya ini pun, Hanung mengisi latar itu dengan latar sejarah. Era 70an saat Indonesia memasuki fase Pemilu dengan tiga partai peserta untuk pertama kalinya. Soeharto akan menjabat kembali, situasi politik memanas, dan banyak pembunuhan terjadi terutama di kalangan ulama. Namun sebagaimana dengan ekspektasiku terhadap bahasan ketindihan, ekspektasiku terhadap landasan sejarah ini juga tidak mendapat balasan yang memuaskan. Selain set up informasi dari headline koran-koran sebagai kredit pembuka, latar tersebut tidak terasa betul dimainkan di dalam cerita. Mungkin karena aku juga gak begitu paham seperti apa kejadian politik tersebut, asumsi terbaik yang bisa kuberikan adalah kemelut rumah tangga atau keluarga yang dialami karakter, kejadian-kejadian mengerikan yang terjadi kepada mereka, tebas-tebas kepala, tidur di malam hari dalam ketakutan, merupakan penggambaran horor dari kejadian politik tersebut. I’m not sure, mungkin kalian yang lebih ngerti politik bisa berbagi di komen soal gimana latar politik itu actually dimainkan ke dalam penceritaan film ini.

Bagiku sebagai penggemar film khususnya horor, yang jelas cukup berhasil dilakukan oleh Hanung di sini terkait era jadul adalah menghantarkan vibe horor di era tersebut. Film ini dengan sosok kepala terbangnya, ketawa cekikikan khas hantu wanitanya, bahkan penyelesaian dengan ayat suci, terasa seperti horor era 80an. Hanya dengan kualitas desain yang lebih kinclong. Percakapan dari para karakter yang sangat diverse juga menambah pada kesan ini. Karakter ceritanya ada yang orang Jawa, Medan, Belanda, hingga Melayu. Cukup memberikan warna. Harapannya sih harusnya semua aspek di sini diperdalam lagi. Penceritaannya dilakukan dengan lebih matang lagi. Karena yang actually kita saksikan, bisa dibilang masih berantakan. I don’t even know where to start. Baiknya mungkin dari tampilan horornya. Film ini sebenarnya bermain dengan build up yang baik dan terencana. Kita dikasih tau dulu ‘suasana’ yang mencirikan si hantu bakal muncul. Ada lagu khususnya, juga. Film perlahan membendung sosok si hantu. Awalnya ditampilkan lewat bayangan kepala terbang. Ini buatku efektif sekali, karena somehow kayak lihat sebuah pertunjukan shadow puppet alias wayang yang sangat seram. Kemudian di tengah-tengah durasi barulah film beralih ke trik-trik jumpscare. Si hantu kepala terbang itu bisa muncul kapan saja, tau-tau ada di akhir panning kamera. Inilah bentuk film menaikkan intensitas horornya seiring meningkatnya tensi cerita. Arahan yang jempolan, hanya saja masalahnya adalah cerita yang dipunya. Seperti yang sudah kusebut, film ini tidak menyelami karakternya.

Ketindihan tidak dibuat sebagai teror psikologis seseorang yang restless atas hal buruk yang di masa lalu pernah mereka lakukan dan mereka masih dihantui perasaan tersebut meskipun berusaha bersikap keras untuk move on hidup seperti biasa. Ketindihan di sini hanya bentuk lain dari kesurupan, dan karakternya hanya bereaksi terhadap rasa takut. Siapa dan apa yang sebenarnya mereka rasakan di balik ketakutan itu ditutupi oleh film, yang memilih bercerita dengan formula pengungkapan-pengungkapan ‘ternyata begini, ternyata begitu’

 

Ini sangat mengecewakan karena karakter Rara dan Sutan suaminya sebenarnya kompleks. Mereka ini bentukan protagonis yang amat dark. Tapi alih-alih membahas psikologis mereka sebagai sudut pandang utama, film memilih untuk menyimpan sebagai ‘twist’ dan karakter mereka dari awal hingga ke pertengahan-akhir di-reduce sedemikian rupa, hingga penonton di studioku lebih banyak ketawa ngelihat mereka teriak-teriak ketakutan. Ngeliat Sutan yang kayak penakut kocak. Ngeliat Rara yang kayak sok galak tapi nyalinya ciut juga. Selain motivasi, dinamika dua karakter sentral ini sebagai pasangan juga jadi tidak jelas. Like, film bahkan tidak benar-benar berhasil melandaskan kenapa mereka bisa jadi suami-istri yang kompak dan saling cinta. Karena peristiwa mereka bisa ‘jadian’ itu saja melibatkan sengketa berdarah yang cukup pelik. Dengan ‘menyembunyikan’ kompleksnya karakter mereka, film malah jadi bergantung kepada karakter pendukung untuk menggerakkan cerita. Di sini bagiku konyolnya. Karakter dukun dari Malaysia itu, si Yusof, entah kenapa malah dibentuk seperti hero utama. Bentukan dan karismanya dibuat lebih gede daripada Sutan. Dia lebih rasional dan lebih beralasan daripada Rara. Plot jalan karena investigasi yang dia lakukan – bayangkan seorang detektif yang nyentrik, dan supernatural. Dia dibentuk seperti hero, tapi lantas dicut dari cerita sebagai just another surprise setelah fungsi utamanya dirinya sebenarnya terlaksana. Yaitu jadi alat buat mewakili kita mendengar flashback eksposisi.

Trinil: Kembalikan Waktuku

 

Ah, ya, flashback eksposisi. Plot device kegemaran horor-horor Indonesia yang terlalu napsu pengen tayang cepet sehingga malas merampungkan naskah dengan benar. Sebenarnya makek flashback itu gak dosa. Cuma yang sering gak bener adalah pemakaiannya, yang kebanyakan hanya jadi shortcut, hanya jadi ‘kemudahan’ untuk menyampaikan sesuatu. Gini, ketika seorang karakter menceritakan kejadian masalalu, maka flashback kejadian yang kita tonton harusnya ada menampilkan si karakter tersebut. Karena logikanya, dia tidak bisa bercerita tentang hal yang tidak ia ketahui. Kecuali yang ia ceritakan adalah sebuah legenda. Tapi meskipun begitu, film yang bagus akan menggunakan flashback legenda tersebut sebagai sesuatu untuk sang karakter. Entah itu legendanya ternyata salah karena ia adalah karakter yang tak-bisa-dipercaya, atau at some point diungkap peran dia terhadap legenda tersebut lebih besar daripada kelihatannya. Di Trinil, flashback eskposisinya adalah masa kecil Rara, dan kejadian sebenarnya di balik ibu Rara yang menghilang, yang menghubungkan misteri kematian dengan hantu kepala terbang. Flashback tersebut diceritakan kepada Yusof, oleh seorang karakter yang tidak pernah dibangun reliabilitasnya kenapa dia bisa sampai tau semua itu. Kenapa dia bisa sampai tahu posisi eksak orang-orang di dalam cerita, kenapa dia sampai tahu cerita dari berbagai sudut pandang tokoh. Inilah kenapa aku bilang penceritaan harusnya dilakukan dengan lebih matang. Karena semua informasi itu belum benar-benar diramu penyampaiannya. Naskahnya masih kayak basic draft, bahkan karakter-karakternya masih terasa lebih seperti device ketimbang manusia yang hidup di dunia cerita itu sendiri. Pembelajaran Rara, momen yang nunjukin dia berubah jadi pribadi yang lebih baik; dilakukan dengan tiba-tiba ada ‘hantu’ ayahnya datang memberikan nasehat.

Mantra yang berkali-kali terucap di kepalaku saat menonton adalah, masa iya Hanung bikin film kayak gini? Sebenarnya ini gak separah horor-horor ngasal, cuma yang kudapati di sini adalah ‘penyakit’ yang biasanya dilakukan oleh sineas baru yang cara berceritanya belum punya bentuk. Yang belum se-establish seorang Hanung Bramantyo. Apakah tuntutan industri sedemikian jadi momok? Dari segi akting aja, udah kerasa lepas dari standar Hanung yang biasa. Para pemain ekstra tampak lebih lumayan kebentuk dibanding karakter sentral.  Yang paling lumayan adalah Wulan Guritno, karena kebutuhannya di sini adalah jadi hantu yang over-the-top, easily tackled by her. Namun Rangga Nattra sebagai Sutan, jadi kayak lagi main komedi. Fattah Amin mungkin memang diniatkan sebagai stealer, tapi karakternya diintroduce dan diperlakukan dengan build up yang aneh. Carmela van der Kruk, mungkin aku salah satu dari sedikit orang yang sampai sekarang masih ngikutin perkembangan Gadis Sampul, dan aku selalu excited dan dukung dan selalu berusaha nonton kalo ada Gadsam main film. I’m happy Carmela dapat peran utama dan main horor pertama. Apalagi ini filmnya Hanung! Di sini talent fashionnya kepake banget pake dress-dress cute ala Eropa. Jadi kontras setting yang seru di lingkungan horor. Tapi pelafalan dialognya need more work. Apalagi untuk kalimat-kalimat panjang yang masih sering dilakukannya dalam satu tarikan napas. Again, ini seperti kurang tight pengarahan yang dilakukan oleh sutradara di bawah standar Hanung yang biasa.

 




Film pertama yang kutonton di tahun 2024, bukanlah sebuah tontonan yang memuaskan. Setidaknya ada dua ekspektasiku (dari yang seperti yang dijanjikan film) tidak terpenuhi. Pertama soal teror ketindihan, yang ternyata hanya kesurupan biasa, dan film lebih sebagai sebuah sajian teror kejadian-kejadian seram dan eksposisi alih-alih sebagai penyelaman karakter terhadap hal kelam nan kompleks yang mereka lakukan. Kedua soal era politik/sejarah yang dijadikan latar, yang ternyata tidak benar-benar jadi bahasan. Yang mungkin cuma jadi gambaran saja. Ultimately, film ini mengejutkanku karena tidak terasa seperti standar buatan Hanung yang biasa. Bahkan dramanya saja tidak terasa benar-benar kuat. Mungkin ada yang putus lagi selain kepala hantunya?
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for TRINIL: KEMBALIKAN TUBUHKU

 




 

That’s all we have for now.

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 13 (13 BOM DI JAKARTA, SALTBURN, MAY DECEMBER, PRISCILLA, THE FAMILY PLAN, DREAM SCENARIO, THANKSGIVING, THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES)

 

 

Batch terakhir sebelum ngisi rapor buat nyusun daftar Top-8 Movies of 2023, who’s excited? Dengan Volume ini, pr-ku rampung, dan semoga bisa liburan dengan tenang. Karena film-film di Volume ini bener-bener aku kejar tayang nonton! (eh, apa ‘kejar nonton’ aja kali istilahnya, ya?) Tapi sebagai penutup tahun, film-film ini ngasih experience yang ‘wah’ juga. So sebelum liburan dimulai, mari kita langsung saja ‘hajar’ dengan ulasan!!

 

 

13 BOM DI JAKARTA Review

Wow Volume 13, pembukanya film 13 Bom haha.. Anyway, tahun lalu sukses dengan action heist, Angga Dwimas Sasongko kini kembali dengan tawarkan action yang lebih gede. ‘Film action Indonesia terbesar tahun ini” begitu bunyi tagline di posternya. Kurang gede apa coba. Pasalnya, tahun lalu itu ‘kebetulan’ saja film Mencuri Raden Saleh disukai karena ngasih genre yang tergolong baru di film kita. Filmnya sendiri, seperti yang kuulas di sini, sebenarnya overrated lantaran naskahnya lemah. Pada 13 Bom di Jakarta terulang lagi kelemahan yang sama (kalo gak mau dibilang lebih parah). Actionnya sangat gede dan elaborate, tapi tanpa atau dengan sedikit sekali hal yang make sense soal kenapa action itu bisa sampai terjadi atau dipilih oleh karakter ceritanya.

Menarik sebenarnya, persoalan yang diangkat film ini. Soal terorisme, yang enggak terjebak di dalam lingkaran agama. Melainkan lebih ke celetukan sosial tentang gambaran keadaan ekonomi masyarakat. Jadi ceritanya sekelompok teroris tak dikenal mengancam Jakarta dengan 13 bom yang akan diledakkan satu per satu jika tuntutan mereka tak dipenuhi. Para teroris gak mau duit tunai, mereka meminta duit digital. Krypto. Bitcoin. Sehingga dua pemuda pemilik start-up bitcoin yang dipakai oleh teroris jadi terseret ke dalam kasus. Dicurigai, nyaris jadi korban. Kesalahan pertama naskah film ini adalah tidak dengan clear menunjuk siapa karakter utama. Apakah pemuda start-up. Apakah pimpinan teroris. Apakah agen perempuan di Badan Anti-Teroris yang somehow selalu ‘dilawan’ oleh partner cowoknya. Atau apakah pemimpin dari pasukan antiteroris itu sendiri. It would be much better jika film sedari awal mengarahkan ini sebagai cerita dari banyak perspektif.

Actionnya sendiri enggak jelek, tapi arahannya agak-agak cheesy. Film ini, aku bilang, kayak kalo Michael Bay trying to make film Nolan. Like, Bay mau bikin action explosive tapi dengan ‘kecerdasan’ ala Nolan. Hasilnya, film ini jadi snob yang berusaha kelihatan jago, berusaha terdengar pinter. Dengan ‘twist’ standar soal ada karakter yang sebenarnya jahat, dan scheme teroris yang sekilas tampak massive. Tapi kok ya dipikir-pikir sangat unnecessary. Like, kenapa musti 13 bom kalo ternyata si teroris sudah menyusupkan orang yang bisa dengan gampang langsung melancarkan ‘bom pamungkas’.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 13 BOM DI JAKARTA

 

 

DREAM SCENARIO Review

Karya Kristoffer Borgli ini bikin aku ngakak begitu menyadari bahwa komedi horor ini sebenarnya kayak dream counterpart dari yang dibahas oleh Budi Pekerti (2023). Film ini bahkan ada menggunakan istilah ‘pendagogy’ as opposed to Budi Pekerti yang judul internasionalnya adalah ‘andragogy’

Kenapa kusebut dream counterpart? Karena unlike di Budi Pekerti yang karakter gurunya jadi dimusuhin satu kota gara-gara videonya viral di sosial media, Dream Scenario bercerita tentang dosen yang diantagoniskan semua orang karena si dosen (yang diperankan dengan brilian oleh Nicholas Cage, yang tau betul timing dan pembawaan antara akting ‘nyata’ dengan ‘sureal’) for some reason, muncul dalam mimpi orang-orang. Jadi dosen ini dijauhi karena hal yang bahkan tidak ia lakukan hahaha… Dia yang tadinya menikmati perhatian semua orang karena dia jadi terkenal muncul di mimpi orang-orang sebagai bystander yang doing nothing, jadi stress saat mimpi orang-orang itu semakin aneh. Di mimpi mereka, si dosen jadi pembunuh!

Sebenarnya ini gambaran perilaku manusia yang jenius sekali sedang dilakukan oleh naskah. Tentang gimana kita, manusia pelaku media sekarang, suka kemakan khayalan sendiri. Kita mengelukan berlebihan orang yang tidak benar-benar kita kenal – karena tren tertentu, misalnya – dan lantas kita terganggu sendiri saat ‘image-image’ tentang orang tersebut, yang kita ciptakan sendiri secara kolektif, menjadi semakin liar. Kita menciptakan ‘dream scenario’ sendiri, dan menelannya bulat-bulat sebagai fakta. Kita kegocek ‘fakta impian’ kita sendiri. Buatku film ini berhasil menceritakan itu lewat kehidupan karakter yang bukan hanya terseret, tapi juga tetap ada pembelajaran dalam dirinya. Lapisan di balik karakterisasi dan situasi yang ia alami – aku gak bilang sampai demikian kompleks – tapi berhasil tersusun menjadi sebuah hiburan surealis. Bakal langka banget film kayak gini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DREAM SCENARIO

 

 

 

MAY DECEMBER Review

Dari komedi berlapis satu ke komedi berlapis yang lain. May December karya Todd Haynes ranahnya bukan sureal, tapi lebih ke drama psikologis dengan undertone yang sebenarnya dark. Sekilas, kayak kisah inosen seorang aktris yang ingin mendalami peran. Peran yang sedang dirisetnya itulah letak darknya. Dia memerankan seorang perempuan yang menikah dengan ‘daun muda’, yang jauh banget rentang usianya. Mereka menikah karena melakukan hal yang basically, itungannya udah tindak kriminal. Tante-tante kepada seorang anak SMP. Jadi, si aktris ini, Elizabeth, selama beberapa waktu hidup di keseharian keluarga ‘bermasalah’ tersebut, Gracie dan suaminya yang kini sudah dewasa, dan mereka punya tiga anak yang sudah masuk usia kuliah. Demi method acting, si Elizabeth ingin mengenal kehidupan Gracie, supaya dia bisa memerankannya nanti dengan lebih baik, lebih mengerti tentang apa yang dilalui Gracie. Karena, katanya, dia ingin bikin film yang tidak menjudge kehidupan Gracie dan keluarga.

Nonton ini bikin kita sadar bahwa there’s no way kita bisa mengerti kehidupan orang. Urusan orang, seharusnya jadi urusan mereka sendiri. Walaupun memang di film ini kita melihat Elizabeth jadi katalis bagi orang-orang di sekitar Gracie – terutama suaminya – untuk bisa melihat apa yang sudah ia lewatkan di dalam hidup. Mungkin inilah yang paling keren dilakukan oleh film. Membuka luka, memaksa karakter melihat luka, tapi bukan untuk disalah-salahin. Film ini menceritakan imbang, semuanya dikembalikan kepada karakter masing-masing. Bagi yang kelewat batas, mereka akan jadi seperti Gracie dan Elizabeth.  Dua orang yang bukan cuma ‘dimiripin’ secara fisik, tapi sebenarnya punya ‘masalah’ yang sama. Sama-sama terlalu naif, dan menggunakan kenaifan itu sebagai defense. Film berakhir ketika masing-masing mereka dihadapkan kepada akibat dari kenaifan tersebut.

Natalie Portman dan Julianne Moore. Man. Di sini akting mereka beneran ada berlapis-lapis. Susah kita menunjuk garis mana ketika Natalie jadi Elizabeth sebagai Elizabeth, mana ketika jadi Elizabeth try to be Gracie. Mana batas aktingnya. Mana batas Gracie bohong dan mana yang dia beneran sudah nerimo.  Aku selalu punya soft spot buat film yang nunjukin adegan-adegan belakang layar bikin film, dan ending film ini buatku adalah one of the best yang nunjukin gimana seorang aktris berusaha berakting karena sudah merasa sudah ngerti karakternya, tapi kemudian dia ragu sendiri.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MAY DECEMBER

 

 

 

PRISCILLA Review

Kadang aku takjub sendiri ama yang namanya kebetulan. Like, kompilasi ini kan urutannya berdasarkan abjad, tapi ternyata bisa nyambung. Tadi dari komedi berlapis, kini nyambung dari cerita relationship dengan minor satu ke yang lain. Film tentang Priscilla yang waktu masih sekolah, kebetulan, bertemu dengan orang yang kenal dengan Elvis Presley, dan mengajaknya ketemu Elvis. Sehingga Elvis jadi jatuh cinta kepada Priscilla. Sofia Coppola membuat ini sebagai biografi yang benar-benar menelisik romansa kompleks yang dirasakan seorang Priscilla ketika berhubungan dengan salah satu manusia paling tersohor di jagat dunia hiburan.

The respect is there. Kepada kedua sosok. Tapi yang paling bersinar tentu saja adalah karakter Priscilla. Yang benar-benar diselami. Ini particularly menarik, karena di awal tahun ini kita sudah melihat mereka dari sudut pandang cowok di biografi Elvis. Menarik kedua buatku adalah karena yang jadi Cilla adalah Cailee Spaeny, yang awal muncul di film yang lebih mainstream kayak Pacific Rim atau Bad Times at the El Royale. Di sini dia main bagus bangeett. Bukan mau bilang pasangan Elvis-Cilla bukan ‘mainstream’, loh. Cumak memang filmnya ini diarahkan bukan sebagai tontonan sensasional, melainkan lebih ke sebuah selaman terhadap tokoh figur itu sebagai sebuah karakter cerita. Film enggak main gampang, menuding Elvis sebagai predator atau manipulatif, misalnya. At least, di film ini dia diperlihatkan menegaskan Cilla untuk melanjutkan sekolah dulu. Perasaan Cilla sebagai seorang gadis biasa yang punya pacar superstar, yang berkecamuk oleh gairah, oleh insecurity. itu yang difokuskan oleh film.

Tapi juga sebagaimana film-film dari tokoh nyata, dari kehidupan mereka. ada aspek-aspek cerita yang enggak benar-benar klop untuk dimasukkan ke alur film. Ada beberapa hal yang mestinya bisa dibikin lebih dramatis atau gimana, tapi enggak bisa karena ‘bukan begitu kejadian aslinya’. Film ini buatku sering terkendala di hal-hal seperti begitu. Naik turun alurnya enggak bisa benar-benar diatur ke flow atau struktur film. Kadang konfliknya muncul, ilang lama, lalu muncul lagi. Gitu-gitu.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PRISCILLA

 




SALTBURN Review

Ingat tadi aku ngomongin soal kebetulan di urutan kompilasi ini? Well, yah, yang jadi Elvis di Priscilla adalah Jacob Elordi. Tahun ini dia main di tiga film lagi selain itu. Tebak satu judul film lainnya. Yup. Saltburn karya Emerald Fennell ini. But while Jacob Elordi di sini masih punya vibe superstar kayak Elvis, toh bintang sebenarnya di Saltburn adalah Barry Keoghan. Aktor satu ini, gila, dia tuh udah kayak spesialis karakter awkward gak ketebak tapi sekaligus juga tampak berbahaya. He was born for this role, for this story.

Saltburn juga actually sebuah dark comedy, yang benar-benar menekankan kepada kelamnya itu sendiri. Keoghan di sini jadi Olliver, maba (mahasiswa baru) yang cupu. Awalnya film ini tampak seperti kisah Olliver yang berusaha memberanikan diri untuk masuk ke circle karakternya si Elordi. Kita melihat cowok jangkung itu melalui gaze-nya Olliver, kita pikir ada cinta ‘terlarang’ di sana. Tapi perlahan gaze dan sikap Ollie tersebut menjadi semakin intens. Dari gairah menjadi semacam ingin memiliki. Ingin menguasai. Transformasi film lewat karakter utamanya itulah yang jadi kehebatan, sekaligus juga kelemahan pada film ini.

Secara penampilan akting, seperti yang disebut tadi, Keoghan terutama sangat fenomenal. Dia total banget. Adegan-adegan creepy dia hantam tanpa canggung. Film ini punya banyak ‘WTF’ momen. Nekat banget mereka bikin adegan kayak gitu. Kelemahan yang hadir dari cara bercerita ini adalah karakter si Ollie itu sendiri tidak punya growth. Dia tipe karakter ‘ternyata’. Kita tidak menyelam kepada siapa sebenarnya dirinya. Dia tidak punya development, melainkan sebuah revealing yang membuat kita melihat dia ternyata bukan seperti di awal. Perubahan dia bukan karena terdevelop tapi karena aslinya dia disimpan untuk ‘kejutan’ cerita. Jadi secara teknis, sebagai film, Saltburn is not really good, tapi sebagai tontonan, dia menghibur dan nawarin suatu kegelapan dengan perspektif tak biasa.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SALTBURN

 

 

 

THANKSGIVING Review

Origin film ini begitu menarik. Thanksgiving tadinya cuma fake trailer, segmen pendek dalam film horor Grindhouse tahun 2007. Cuma parodi dari skena horor gore yang dibuat oleh Eli Roth. Tapi fans tertarik melihat konsep pembunuh yang kayak jadi saingan Halloween tersebut. Permintaan fans akhirnya terkabul, Eli Roth benar-benar membuat film Thanksgiving. Dan aku agak kecewa sama hasilnya.

Mungkin karena bias dari pengaruh originalnya yang vibe-nya beneran low budget dan rough dan konyol tapi seru. Film actualnya ini terasa tidak memenuhi harapan. Sure, momen-momen yang ada di fake trailer, kayak pembantaian saat pawai, dimunculkan. Satir soal perilaku konsumtif orang Amerika terkait ‘tradisi’ Black Friday yang mengalahkan esensi sebenarnya dari Thanksgiving, juga ada. Gore-nya yang over the top dengan kematian-kematian sadis yang unik, juga berhasil menghiasi film menjadi nilai jual. Tapi overall, film ini terasa kosong. Karakter-karakternya cuma ada di sana untuk berusaha survive, menduga-duga siapa pelaku. Sementara naskahnya juga ke sana kemari ngasih red herring supaya pelakunya gak ketebak. Akhirnya film ini pun terasa jadi either terlalu Scream, terlalu I What You Did Last Summer. Terlalu gak really spesial karena toh sudah banyak thriller whodunit yang menjual hal serupa

Kalo dibilang membosankan sih, enggak. Cuma ya, biasa aja. Mendingan nonton Saltburn tadi sekalian. Kejutan dan momen WTF nya lebih membekas.

The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THANKSGIVING

 

 

 

THE FAMILY PLAN Review

My ultimate guily pleasure of the year hahaha… Komedi keluarga karya Simon Cellan Jones ini enggak bagus-bagus amat, tapi aku terhibur menontonnya. Enggak ngerasa bosan meskipun formulaic, dan bahkan konsepnya yang gabungin liburan keluarga dengan aksi assassin enggak dikembangkan dengan maksimal. Aku terhibur karena lucu aja melihat Mark Wahlberg jadi ayah yang sekilas kayak suami rumahan banget ternyata punya masa lalu tak terduga. Dia mantan assassin yang punya banyak musuh. Dia berhenti dari kerjaannya, dan sekian tahun ‘menyamar’ jadi pria biasa-biasa saja, sampe kemudian identitasnya kelacak dan dia terpaksa kabur. Membawa keluarganya yang tak tahu apa-apa, dengan dalih mau ngajak roadtrip.

Menurutku film ini mungkin bisa lebih mudah diterima penonton kalo dibikin sebagai animasi, kayak Boss Baby. Karena memang film ini seperti berjalan di garis antara gak make sense dengan cerita yang grounded tentang hubungan keluarga. Para karakter sentral, Mark dan keluarganya bermain di porsi yang pas, tapi harus diakui melihat mereka sebagai manusia ‘beneran’ membuat penonton bisa kesulitan memaklumkan banyak hal. Misalnya, bayi yang tahu rahasia ayahnya. Film tidak bisa maksimal melandaskan konsep yang diniatkan. Ketika bagian action, tidak bisa terlalu ‘gila’. Ketika bagian yang grounded, terasa gak klop. Jadinya film ini terasa setengah-setengah. Makanya, mungkin kalo dibikin sebagai animasi, mereka bisa meningkatkan aksi mustahil dan hati grounded yang dimiliki oleh naskahnya.

The Palace of Wisdom gives 5.5 gold star out of 10 for THE FAMILY PLAN

 

 

 

THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES Review

Hunger Games sering dibandingkan dengan Harry Potter, dan kupikir, film prekuelnya ini sukses bikin malu franchise Harry Potter yang film prekuelnya begitu maksa sehingga tidak terasa ditulis dengan proper. The Ballad of Songbirds & Snakes actually memang diangkat dari novel prekuel (bukan buku spin-off non-cerita yang dikembangkan serabutan) dan penulisannya kelihatan memiliki bobot. Karena di adaptasi karya Francis Lawrence ini kita benar-benar dikasih lihat development dari seorang Coriolanus Snow sebelum ia menjadi presiden yang ruthless.

Sering heran kok di luar sana banyak contoh mahasiswa aktivis ketika jadi ‘orang gede’ ternyata korup juga? Nah, journey Snow di film ini basically seperti itu. Kita melihat Snow dari yang awalnya dia mahasiswa pintar, yang actually peduli sama tribute dalam permainan Hunger Games. Kita melihat background dia dari keluarga macam apa. Apa yang dia inginkan. Dan bagaimana pada akhirnya dia memutuskan pilihan, bagaimana dia menjadi sampai seperti yang kita kenal di cerita Hunger Games original.  Inner journeynya tersebut yang membuat film ini layak ditonton. Hubungannya dengan Lucy Gray jadi heart of the story. Tak lupa film juga menyiapkan referensi ke Hunger Games-nya Katniss di sana-sini, supaya penonton merasakan gejolak nostalgia dari something yang familiar. Dan memang film ini berhasil menghadirkan vibe yang selaras dengan film-film Hunger Games sebelumnya. Desain produksinya total menghadirkan dunia itu kembali. Prekuel ini memang terasa seperti fondasi dari kejadian di film yang sudah kita kenal.

Tapi dari novel juga membawa sedikit sandungan bagi film ini. Durasi yang amat panjang, karena film terasa seperti pengen sama dengan novel, at least secara urutan. Dan ini membuat dirinya sebagai film, terasa agak aneh. Karena film ini kayak dua film yang disatukan. Bagian hunger gamesnya, dan bagian aftermath dari hunger games tersebut. Bagian yang satu terasa lebih menarik dibanding bagian lainnya. Menurutku harusnya cerita bisa lebih digodok lagi, bangunan ceritanya bisa lebih dimainkan lagi, supaya kesan terbagi dua ini bisa lebih mengabur. Supaya film bisa berjalan lebih mulus, dan penonton tidak diberikan momen untuk terlepas dari cerita yang disajikan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES

 




 

 

That’s all we have for now

Dengan ini, resmilah, review tahun 2023 sudah tutup buku. Film-film 2023 yang tayang setelah post ini terbit akan kuanggap sebagai film tahun 2024 (jika direview), dan itu at least ada dua film yang kayaknya memang gak tayang di kita jadi terpaksa nunggu digitalnya tahun depan. Akhir tahun nantikan rapor film 2023 di twitterku @aryaapepe dan menyusul beberapa hari setelahnya, tentu saja, daftar Top Movies 2023 di blog ini. Sampai ketemu tahun depan!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ANATOMY OF A FALL Review

 

“Being aware of how our actions affect others and acting accordingly leads to happy, strong relationships”

 

 

Seorang wanita menjadi tersangka pembunuhan suaminya. Dan anak mereka yang buta harus menghadapi dilema moral karena menjadi satu-satunya saksi utama di kasus ini. Begitu bunyi sinopsis IMDB film karya sineas Perancis, Justine Triet ini. Film yang dikemas sebagai drama kasus kematian, tapi dalam lapisan terdalamnya merupakan kemelut rumah tangga, seorang ayah dan seorang ibu. Seorang istri dan seorang suami. Dan anak yang ada di sana, mengalami efek dari semua, tanpa benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. ‘Anak yang buta’ di kisah ini serves sebagai both literal dan perumpamaan. Karena anak memang tidak akan bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan orangtuanya. Apakah mereka bahagia? Apakah mereka punya rahasia? Apa yang harus dipercaya?  Sehingga anatomi yang sebenarnya sedang diperiksa oleh film yang dengan brilian meng-cover semua perspektif ini adalah anatomi dari kejatuhan sebuah pernikahan.

Seperti inspirasinya, Anatomy of a Murder (1959), film Justine ini pun basically adalah sebuah courtroom drama. Sebagian besar adegan akan bertempat di ruang persidangan, tempat Sandra, sang ibu dalam cerita, menjalani sidang untuk membuktikan dia tidak bersalah atas kematian yang cukup janggal dari Samuel, suaminya. Jadi, kasusnya adalah Samuel ditemukan bersimbah darah di halaman rumah mereka yang bersalju. Tak ada jejak lain selain milik Daniel, anak mereka, yang menemukan mayat sehabis berjalan-jalan dari luar rumah bersama anjing penuntunnya. Diduga Samuel jatuh dari loteng, tempat dia bekerja. Nah, jatuhnya itu yang dipertanyakan. Melompat sendiri, kecelakaan, atau didorong oleh satu-satunya orang di rumah itu yaitu Sandra. Anatomy of a Fall juga sensasional seperti genrenya tersebut, tapi dalam sense yang berbeda. Kita memang akan terikut dalam menebak-nebak dan terperangah setiap kali ada ‘fakta baru’ terkuak di persidangan. Tapi ini bukan soal tentang gimana kasusnya secara eksak, gimana cara membunuh, gimana senjata pembunuh, alur kejadian, ataupun bahkan bukan semata soal siapa yang sebenarnya membunuh. ‘Siapa yang bersalah’ dalam film ini diarahkan oleh Justine agak keluar dari maksud persidangan yang cuma dijadikan outer layer, melainkan yang lebih penting adalah inner layernya. Untuk menyentuh soal bagaimana tragedi malang ini bisa sampai ‘terjadi’.

Kenapa musti lagu 50 Cent wkwkwk

 

Sandra dijadikan perspektif utama diniatkan supaya pembahasan kasus di persidangan itu lebih personal, karena yang ingin dicapai oleh film ini adalah menelisik seberapa jauh sebenarnya seseorang punya tanggungjawab terhadap orang lain. Dan keluarga sebagai unit terkecil dan terpersonal dari hubungan sosial yang komplekslah yang dijadikan sebagai objek studi kasus. Sandra Huller yang memerankan Sandra benar-benar tampak seperti ibu, istri, yang merasa dirinya tidak bersalah. Kepercayaannya itu yang terus diserang oleh tuduhan-tuduhan penuntut. Yang pada akhirnya membuat adegan persidangan itu jadi device film untuk membuat Sandra flashback dan memeriksa ulang perbuatannya. Yang membuatnya melihat momen-momen dia bertengkar dengan suami dari sudut yang lain. Sementara kita, penonton film akan merasa seperti ikut jadi hakim dalam relationship tersebut. Yang salah istri, atau suami. Ambigu yang dilakukan dengan brilian oleh film tidak hanya terbatas kepada matinya bunuh diri atau dibunuh. Melainkan juga berhasil membuat kita memikirkan ulang, siapa yang kita dukung di dalam hubungan mereka. Sementara apa yang mereka berdua lakukan sesungguhnya sama-sama berakar dari pilihan mereka untuk dealing with keadaan anak mereka yang penglihatannya terganggu karena kecelakaan.

Oh yea, sedikit banyaknya ini tentu saja jadi persoalan peran gender. Kita sering mendengar tentang suami yang gak bolehin istri bekerja karena membuat dirinya merasa seperti lelaki yang lemah. Kita sering mendengar soal cowok punya problem begitu ceweknya lebih capable. Cekcok rumah tangga antara Samuel dan Sandra basically mirip seperti ini. Keduanya sama-sama penulis, Tapi berada di titik kesuksesan yang berbeda. Dari pertengkaran di meja makan yang diam-diam direkam audionya oleh Samuel, kita tahu ini adalah masalah yang satu merasa dirinya berkorban terlalu banyak dibanding yang lain. Film dengan pintar memasukkan banyak hal-hal kecil untuk ‘membangun’ kasus tersebut, seperti soal bahasa yang mereka pakai di rumah. Walau tinggal di Perancis, Sandra yang asli German masih sering menggunakan bahasa Inggris, dan ini dianggap egois oleh Samuel karena sekali lagi dia yang harus nurut kemauan istri. Kemungkinan frustasi dan bunuh diri memang dibiarkan terbuka oleh film, sembari terus memperlihatkan hal-hal yang memberatkan Sandra. Membuatnya seperti yang dituduhkan oleh penuntut. Dan inilah yang harusnya jadi ‘journey’ karakter Sandra yang merasa dirinya tidak bersalah. Tidak bertanggungjawab atas kematian suaminya.

Well, memang benar kita tidak bertanggungjawab atas pilihan orang. Kita enggak bisa mengendalikan apa yang dirasakan oleh orang terhadap apa yang kita lakukan. Tapi toh efek atau konsekuensi itu pasti ada. Apa yang kita lakukan pasti ada ngaruhnya kepada orang lain. Hanya masalah ‘sebesar apa’. Film ini mengangkat argumen bahwa pilihan kita memang berdampak kepada orang sekitar. Pilihan seorang istri bisa mempengaruhi hidup suami, dan tentu saja berefek kepada anaknya. Tapi itu juga bukan berarti dia pantas untuk dipenjarakan karenanya.

 

Di dunia nyata aku setuju dengan keputusan sidang film ini. Bahwa kemungkinan besar Samuel bunuh diri, atau setidaknya tidak ada cukup bukti untuk memenjarakan Sandra. Kebohongan-kebohongan Sandra bisa dimaklumi karena dia juga memikirkan anaknya yang terpaksa harus ikut hadir mendengarkan semua masalah ‘belakang dapur’ keluarga mereka. Hanya saja, sebuah film harusnya karakternya at some point kalo gak bersalah, ya merasa bersalah. Supaya ada journey, dan dia gak benar-terus tanpa false believe sedari awal. Anatomy of a Fall ini menurutku kurang bisa mencuatkan journey Sandra tadi. Film ini membuat keputusan sidang disampaikan off-screen untuk mempertahankan ambigu, tapi yang jelas Sandra bebas tanpa tuduhan. Dan dia kembali ke rumah, bertemu kembali dengan anaknya. Poin-poin yang menunjukkan Sandra merasa bersalah selama proses sidang tidak benar-benar kelihatan, meskipun dari gimana naskah ini terdesain seharusnya hal itu seperti yang sudah kujabarkan. Sandra menangis di dalam mobil saat Daniel pada malam sebelum kesaksian terakhirnya bilang ingin sendirian bersama guardian saja di rumah. tidak terkesan sebagai tangisan karena dia merasa sadar telah membuat Daniel sebagai anak berada di posisi yang susah (harus memilih percaya ibu yang bunuh ayah, atau ayah bunuh diri), melainkan lebih seperti tangisan karena dia dan Daniel akan berpisah karena hal yang dia kekeuh tidak ia lakukan.

Pun arahan film untuk menjaga ambigu kadang terasa miss dan malah seperti membuat hasil sidang itu sendiri tidak benar-benar tepat (eventho hasil itulah yang terbaik bagi Daniel). Like, Daniel-lah yang dijadikan ‘kunci’. Tapi karakter Daniel itu sendiri dibuild up sepanjang durasi oleh film sebagai karakter yang juga unreliable. Daniel yang masih anak-anak, kesaksiannya sering berubah. Antara ingatan nyata Daniel dengan hal/kejadian yang ia bayangkan juga dibuat ambigu. Ketika penuntut mempersembahkan teori pembunuhan saat sidang, film memperlihatkan visual Sandra memukul Samuel hingga terjatuh yang ada di pikiran Daniel yang duduk di kursi hadirin. Ketika pengacara Sandra menjelaskan teori mereka tidak bertengkar, kita juga dibawa ke ingatan Daniel bahwa mereka memang tidak bertengkar. Sehingga ketika di menjelang akhir Daniel bersaksi bahwa ayahnya pernah mengucapkan sesuatu yang seperti sebuah pesan ingin bunuh diri, film memperlihatkan itu lewat visual adegan, enggak clear apakah adegan itu termasuk imajinasi/hal yang ingin diingat Daniel atau adegan dari hal yang memang terjadi.

Akting terbaik film ini justru datang bukan dari aktor manusia

 

Dengan membuat film berakhir tetap ambigu, film jadi kurang nendang dan malah bikin penonton penasaran sama hal yang bukan arahan atau goal film di awal. Aneh aja cerita ini berakhir dengan vibe lega, benar-bukan-salah-nya, apalagi penentunya adalah ingatan dari karakter anak kecil yang dibuild up sebagai unreliable oleh  naskah. Menurutku film akan bisa lebih impactful jika setidaknya ‘bersalah’nya si karakter ditegaskan. Supaya development dan journey yang diniatkan itu benar-benar terasa. Dan ini bukan miss dari aktingnya, karena everyone di sini benar-benar memerankan perasaan karakter mereka dengan baik. Bahkan anjingnya si Daniel aja total banget, aku belum pernah lihat pemain non-manusia berakting seperti itu hahaha.. Menurutku ini hanya sedikit over dari arahan saja yang pengen tetap ambigu. Ambigu itu bagus untuk membuat penonton tersedot dan penasaran dan ‘bicara’ kepada film. Sometimes ending ambigu juga keren banget bikin penonton terus mendiskusikan film. Tapi kalo journey, mestinya jangan terlalu ambigu.

 




Actually bisa merangkap dua genre – drama rumah dan drama courtroom – menjadi sajian yang berhasil bikin kita terinvest total. Awalnya cuma menebak pembunuh ala whodunit, lalu lantas berubah menjadi something yang lebih berisi untuk didiskusikan. Meninggalkan persoalan ‘siapa’ menjadi ‘kenapa’ dengan penceritaan yang sangat engaging dan dalem. Aku bisa paham kenapa film ini dinotice dan menang penghargaan. Penceritaannya ada di level yang berbeda. Film ini juga pesona yang membuatnya bisa diterima oleh penonton mainstream. Tapi juga pesona dari ambiguitasnya ini yang bagiku terasa kurang klop dengan desain yang diniatkan. Membuat journey karakternya kurang tercuat, dan jadinya kayak ngikutin kasus asli yang berakhir happy (bikin kita ikutan happy karena di real life jarang kasus berakhir happy) alih-alih sebuah story tentang manusia yang come off better people di akhir.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANATOMY OF A FALL

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, setelah film selesai, apakah kematian Samuel adalah sesuatu yang menyedihkan? Kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, ada satu film yang kukasih score 8.5 tahun ini yang tayang di Apple TV. Killers of the Flower Moon. Untuk nonton, kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



LEAVE THE WORLD BEHIND Review

 

“Escapism sometimes is healthy… The problem is when people stay there”

 

 

Dunia maya harusnya jadi tempat pelarian. You know, stress dengan persoalan dunia nyata, kita bisa tinggal log in ke facebook menyapa teman-teman yang sudah lama tidak berjumpa. Bisa main game have fun bareng. Kita bisa nulisin semua uneg-uneg, bonus langsung dikomen, udah kayak Ginny nulis di diary Voldemort. Bisa nostalgia lihat-lihat foto liburan beberapa waktu yang lalu. Tapi kemudian dunia maya kita got real. Social media meluas kebutuhan dan fitur-fiturnya. Kita sendiri yang bikin dunia maya jadi tempat nyata yang baru dengan terlalu banyak menghabiskan waktu di sana. Kita sendiri yang bikin diri tergantung sama teknologi-teknologi yang mengkoneksikan dunia nyata dengan dunia maya. Kalo sudah begini, lantas ketika dunia itupun ada masalah, kita kabur ke mana lagi? Aku pikir inilah yang berusaha dikatakan oleh Sam Esmail ketika dia mengangkat novel tulisan Rumaan Alam menjadi sebuah thriller bencana alam. Leave the World Behind, seperti yang disebutkan oleh judulnya; mengajak kita kabur ninggalin dunia. Kita dibawa ke dunia film, ke sebuah sajian hiburan, tapi untuk berefleksi terhadap kebiasaan kita mencari eskapisme. Sementara urusan hiburannya itu sendiri, well, aspek inilah yang ternyata memunculkan reaksi yang beragam dari penonton sekalian.

Sumpek sama rutinitas yang membosankan, Amanda bikin liburan spontan untuk suami dan kedua anaknya. Keluarga mereka hari ini akan liburan di kota kecil. Amanda sudah menyewa vila mewah lewat online, dan mereka sekeluarga akan bersantai di sana. Tapi senang-senang mereka tak berlangsung lama. Kejadian aneh mulai terjadi di sana. Internet, televisi, telefon mendadak tak berfungsi. Kapal dan pesawat pada karam. Dan tengah malam, dua orang asing, George dan putrinya, Ruth, mendadak mengetuk pintu rumah. Mengaku sebagai pemilik rumah, keduanya minta ijin menginap karena ternyata kekacauan komunikasi ini terjadi di seluruh negara bagian. Amanda tak tahu harus percaya atau tidak, sementara keadaan di luar semakin menjadi-jadi dengan suara dengung misterius yang bikin retak jendela, dan rusa-rusa yang bertingkah di luar normal.

Amanda adalah tokoh paling relate sekali saat dia bilang “I hate people”

 

Thriller bencana alam jadi dapat makna baru berkat film ini. Karena di sini, kita ataupun para karakter cerita tidak pernah benar-benar tahu apa persisnya ‘bencana alam’ yang sedang terjadi. Yang jelas efeknya bikin kecelakaan di mana-mana. Bikin hewan-hewan bertingkah aneh. Apakah ini semua buatan manusia? Apakah dari makhluk asing – alien? monster? hantu? Apakah lagi ada perang? Kalo iya, antara siapa lawan siapa? Siapa yang menghack satelit sehingga sistem komunikasi jadi kacau balau? Teroris dari negara mana? Apa yang mereka incar? Konspirasi apa yang sedang terjadi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menghantam karakter silih berganti, membangun ketegangan yang nyampe ke kita juga sebagai teka-teki. Kita pengen jawaban. Karena ini film, maka kita butuh penyelesaian dan semua itu harus terjawab supaya kita tahu apa yang sebenarnya kita tonton, kan?

Well, rancangan film ini justru untuk memerangkap kita ke dalam tanda-tanya tersebut. Jawaban yang diberikan cuma satu: tidak ada definitive answer. Loh kok? Karena tujuan film ini adalah supaya kita melihat ke karakter-karakternya. Ini bukan sekadar cerita yang menempatkan karakter di situasi aneh, lalu mereka mengalahkan situasi tersebut. Survive, atau malah jadi korban dari situasi itu. Bukan. Flm ini ingin kita berefleksi kepada karakter-karakternya. Amanda dan suaminya tentu saja pengen menjaga keselamatan keluarga mereka. Begitu juga dengan George, kepada putrinya. Dua keluarga ini adalah orang-orang normal, tapi mereka harus bekerja sama di tengah situasi yang benar-benar membuat mereka tak tahu apa-apa, melainkan jadi saling curiga. Layer ras ditambahkan oleh naskah, supaya situasi semakin intens. Karena both Amanda dan Ruth, diam-diam punya prasangka terhadap warna kulit yang berbeda dengan mereka. Prasangka yang tumbuh dari mana lagi kalo bukan dari media dan informasi yang selama ini mereka konsumsi. Tapi sekarang mereka semua terputus dari semua sumber informasi. So there’s no answer. Sama kayak kita. Gak ada jawaban pasti dari covid, perang, politik, ataupun peristiwa-peristiwa lain yang ada di dunia kita. Kita hanya bisa menyimpulkan masing-masing dari informasi yang kita dapatkan dari media, dari internet. Kita ambil mana yang ‘cocok’ dengan kita. Sekarang bayangkan kalo suapan informasi itu mendadak distop. Secara teori, mestinya kita lebih ‘tenang’. Tak ada ribut di sana-sini. Tapi film ini menunjukkan keadaan justru menjadi kacau, karena karakter-karakternya perlu kembali belajar, perlu kembali jadi gelas kosong, tentang bagaimana mempercayai sesama manusia.

Inilah alasannya kenapa film bertabur cast yang bukan kaleng-kaleng. Julia Roberts jadi ibu ansos yang curigaan, Ethan Hawke jadi ayah yang lebih open minded tapi ternyata dia juga masih punya prasangka. Mahershala Ali jadi family man yang lebih nyaman berahasia. Kevin Bacon jadi redneck parnoan yang gampang termakan teori konspirasi sehingga jadi kayak Karen versi cowok. Interaksi karakter-karakter ini, aksi dan reaksi mereka dalam berusaha memahami apa yang sedang terjadi di dunia mereka, jadi elemen volatil yang membuat film ini pantas menyandang genrenya sebagai thriller. Menonton ini, bagiku rasanya desperate sekali. Desperate ingin mengattach diri kepada salah satu, tapi masing-masing punya flaw dan aku berpindah-pindah sehingga merasa aku berada di ruang tengah berdinding kaca itu. Berdiri di sana, dan benar-benar terjebak situasi membingungkan tersebut. Cara film mereveal poin-poin juga terukur. Di satu adegan film seperti menuduhkan penyebab kepada satu kelompok tertentu, untuk kemudian di adegan belakangan membuka bahwa itu cuma tuduhan kosong. Sehingga kita yang nonton, dan ada yang percaya sama tuduhan di awal jadi ikut kecele.

Atau bisa juga judul film ini Final Destination: Death by Tesla

 

Kebingungan, misinformasi, ternyata adalah bencana yang diangkat oleh film ini. Alamnya adalah manusia. Jadi ini sebenarnya adalah bencana kemanusiaan. Itulah sebabnya kenapa film memilih untuk tidak memberikan jawaban, Memilih untuk jadi bahan refleksi. Sendirinya adalah media, film ini sadar dirinya adalah bagian dari ‘tempat kabur’ manusia dari masalah. Sehingga masalah eskapisme ini akhirnya bukan hanya mereka gambarkan, tapi mereka pilih sebagai pembungkus narasi. Akhir film akan memperlihatkan Rosie, putri bungsu Amanda – yang sepanjang durasi cerita punya satu keinginan yakni menamatkan nonton serial Friends, tapi gak bisa karena service streaming mati – akhirnya menemukan cara untuk menonton episode terakhir serial tersebut. Ending film mutlak bikin kesal sebagian besar penonton, karena membuat film terasa benar-benar tidak memuaskan. Like, ngapain capek-capek penasaran dan tegang tapi ujung-ujungnya cuma kayak tentang anak kecil nonton Friends. Aku yang paham fungsi dari adegannya yang dipilih begitu aja, kesal juga. Film ini benar-benar nyeleneh dan gak peduli sama struktur. Oh, karakternya memang ada development terkait jadi saling percaya. Ceritanya juga punya chapter-chapter tersendiri. Tapi di samping peningkatan intensitas, film ini sama sekali minimal dalam ‘sebab-akibat’. Hanya seperti episode-episode ganjil, yang ditutup oleh ‘selera humor’ ironis.  Yang seperti mengenyahkan build up misteri begitu saja. Ini sungguh resiko yang gede, tapi film ini knowingly, dan aku bisa bilang – proudly – mengambil resiko tersebut.

Leave the World Behind adalah soal eskapisme. Kesel-kesel begini, toh aku relate dengan Rosie. Di tengah hingar bingar politik, atau bahkan saat ribut-ribut vaksin dan konspirasi ini itu, aku hanya duduk di ruangku sendiri. Cuek sendiri. Nonton film, serial, WWE, main video game. Itu serial Friends-ku. Apakah dengan punya ‘tempat kabur’ itu membuat aku lebih baik dari orang lain, menurut film? No. If anything, itu hanya membuatku jadi orang yang belum dewasa, seperti Rosie. Dunia udah mau kiamat, tapi yang dipikirin masih aja film. Hidup di dunia sendiri, juga akhirnya tidak akan baik, apa bedanya nanti sama orang paranoid seperti karakter Kevin Bacon yang sudah persiapan tapi merasa dirinya yang paling benar. Kita juga gak pernah tahu apakah Rosie akan membiarkan para orang dewasa menemukannya. Bisa jadi dia berkurung sendiri nonton Friends itu berulang-ulang. Menurutku, pada akhirnya film ini cuma mau bilang:

Media, seni, dunia maya adalah bentuk dari eskapisme. Yang sebenarnya adalah sesuatu yang menyehatkan dan perlu bagi kita untuk punya something sebagai bentuk eskapisme. Supaya kita bisa healing dari reality. Supaya kita gak berpikiran sempit, gak terkurung, kita butuh melihat atau melakukan sesuatu di luar sana. Tapi lantas, eskapisme tak lagi healthy jika kita memilih untuk terus-terusan kabur. Abai dari real problems. Bahkan lebih buruk terkurung di sana ketimbang di dunia nyata.

 

 




Dunia udah terlalu bergantung kepada internet, sehingga begitu internet lenyap, kehidupan terputus total. Padahal awalnya internet dan teknologi diciptakan untuk memudahkan saja. Manusia escape dari dunia nyata ke sana, dan malah ‘stay’ di situ. Film ini jadi cerminan tentang itu. Dan film rela ‘ngerusakin’ dirinya sendiri demi itu. Aku sendiri minta maaf kalo review ini gak benar-benar explained kejadian di film, karena filmnya sendiri memang tidak memberikan jawaban.  Film menjadikan diri seperti jurnal mahasiswa suaminya Amanda “media yang both berfungsi sebagai sebuah eskapis dan sebuah refleksi” Hal yang bahkan disebut oleh sang suami sebagai sesuatu yang bertentangan. Film ini senekat itu. Jadi thriller teka-teki yang aneh yang bahkan ‘twist’nya gak bakal kepikiran sama M. Night Shyamalan, aku rasa. Kirain bencana alam, taunya bencana kemanusiaan. Darurat kemanusiaan. Kita tanpa sadar meninggalkan dunia kita jauh di belakang. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for LEAVE THE WORLD BEHIND

 




That’s all we have for now.

Aku pikir, bahasan film ini kalo diterusin bakal nyambung ke bahasan pas Budi Pekerti kemaren. Kenapa hal-hal di sosial media itu dianggap penting, like, tidakkah minta maaf cukup dengan dikatakan langsung antara si bersalah dengan yang jadi korban? Kenapa harus banget dilakukan secara publik di sosial media? Menurut kalian mungkinkah di titik ini kehidupan sosial kita kembali seperti ke era sebelum ada internet?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, ada satu film yang kukasih score 8.5 tahun ini yang tayang di Apple TV. Killers of the Flower Moon. Untuk nonton, kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



MINI REVIEW VOLUME 12 (PAST LIVES, THE CREATOR, THE ROYAL HOTEL, WHEN EVIL LURKS, A HAUNTING IN VENICE, HELL HOUSE LLC ORIGINS THE CARMICHAEL MANOR, FIVE NIGHTS AT FREDDY’S, SISTER DEATH)

 

 

Bagian kedua dari kompilasi yang harusnya jadi edisi halloween. I gotta say, halloween tahun ini memang banyak film horor yang menyenangkan, bahkan yang bukan horor ternyata bisa ngasih goosebumps yang sedap. Highlight untuk Volume 12 ini; mereka semua – kecuali satu – really surprised me. Film-film ini punya sesuatu yang bikin aku “hey, ini gak biasanya ada di tipe film seperti ini!”. Meskipun gak semuanya aku suka, tapi masing-masing ngasih sesuatu yang di luar ekspektasi. Cuma satu film yang ‘di luar ekspektasi’nya berada dalam kotak ‘mengecewakan’. Film yang manakah itu? Yuk langsung cari tahu di mini review di bawah iniii!!

 

 

A HAUNTING IN VENICE Review

Misteri detektif digabung dengan misteri supernatural. Sesuka-sukanya aku sama penggabungan itu ketika terjadi pada beberapa kasus di komik Detektif Conan, tapi untuk urusan di film Hollywood mainstream, aku toh merasa skeptis juga. Takut jadi ngandelin fake jumpscare doang. Takut gaya dan charm Hercule Poirot di film ketiga ini ‘kalah’ oleh adegan-adegan horor yang dimasukkan dengan paksa. Sayang banget kalo sampe begitu, karena satu hal yang bikin film-film Poirot ini delightful, ya, kekhasan Poirot yang dibawakan penuh kharisma oleh Kenneth Branagh

Sir Branagh yang juga duduk di kursi sutradara, untungnya tahu untuk tidak ‘menjual jiwa filmnya kepada setan industri’. Well, at least, gaya film ini tidak berubah sama sekali. Elemen supernatural dimainkan dengan bijaksana, cukup untuk memberikan pojn tambahan dan ngasih variasi kepada kasus. Film ini tetap menitikberatkan kepada misteri kasus, dan karakter-karakter yang terlibat (yang tentu juga membuat film ini jadi showcase akting spektakuler) – terutama lanjutan dari journey karakter Poirot. Pembahasannya sebenarnya gak baru, tapi seru aja melihat Poirot harus struggle dengan logika dan kepercayaannya terhadap supernatural. Keraguan Poirot juga lantas terdeliver kepada kita dari arahan yang sukses membuat rumah besar tempat lokasi pembunuhan tertutup itu sekaligus jadi rumah hantu, seperti di film-film horor.

Not bad sebagai pembuka Volume ini. Tapi juga enggak spesial-spesial amat sehingga aku gak nyesal nontonnya nunggu di platform aja

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A HAUNTING IN VENICE

 

 

FIVE NIGHTS AT FREDDY’S Review

Dari dulu aku gak ngerti di mana letak seramnya seri game Five Nights at Freddy’s. Konsep game jumpscarenya sih aku paham, cuma, karakter-karakter animatronicnya. Aku gagal paham seramnya di mana. ,Makanya aku heran kok anak-anak pada suka. Tapi kalo soal filmnya, aku bisa maklum kenapa garapan Emma Tammy ini laku. Simpel. Mereka benar-benar bikin Freddy dan kawan-kawan hidup. Bukan sebagai CGI tapi beneran sebagai robot ‘pembunuh’.

Yang bikin aku takjub adalah ceritanya. It’s so easy membuat film ini sebagai cerita tentang penjaga yang harus melewatkan malam-malam sepi di ‘rumah’ Freddy, dan dia akan diganggu. Film ini ternyata gak mau segampang itu. Mereka menyiapkan cerita personal tentang abang yang terus-terusan dirundung rasa bersalah atas adiknya yang hilang saat mereka masih kecil. Film ini mencoba memperdalam mitologi-dunia dengan konsep mimpi untuk mencari jawaban atas masa lalu. Coba ngasih stake dengan urusan hak asuh adik. Coba mengrounded-kan lagi dengan bahasan tentang orang tua. It is kinda ambitious, untuk ukuran film adaptasi game horor untuk anak-anak.

Namun meski usaha elevasinya harus kita apresiasi, toh film ini akhirnya terpuruk karena tone yang sangat tak berimbang. Enggak simpel, tapi juga jadi agak ribet buat penonton anak. Level kekerasan yang juga tinggi, meski dibuat tanpa darah berlebih. Elemen hantu yang gak pernah terasa seram, karena clash out dengan misteri grounded. Tapinya lagi yah, bahkan Matthew Lillard enggak bisa menyelamatkanku dari kebosanan menonton ini

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FIVE NIGHTS AT FREDDY’S

 

 

 

HELL HOUSE LLC ORIGINS: THE CARMICHAEL MANOR Review

Atau bisa juga judulnya jadi Hell House: Five Nights at Carmichael’s haha.. Nah, film inilah perwujudan ‘konsep gampang’ dari yang kubilang di review Freddy tadi. Bikin karakter bermalam di tempat berhantu. Mereka ngerekam kegiatan, jumpscare-jumpscare, and call it a day. Tapi yah, at least Stephen Cognetti sudah tahu persis apa yang mau ia buat. Dia menyempurnakan yang ia tahu, dan film ini overall jadi lebih menghibur.

Hell House LLC adalah seri horor mokumenter found footage, aslinya merupakan sebuah trilogi seputar bangunan bekas hotel, yang jadi tempat cult yang pengen buka gerbang neraka. Film pertamanya asli seru dan aku suka banget. Tentang sekelompok orang yang bikin wahana rumah hantu di bangunan tersebut. Film keempat ini hadir dengan maksud memperdalam mitologi cult di tempat berhantu lain. Secara presentasi, film ini ingin kembali ke vibe film pertama, yakni dengan footage-footage yang lebih ‘genuine’ dan drama karakter di balik misteri horornya.

Dan memang, penceritaan film ini berhasil tampil lebih baik daripada film kedua dan ketiga, dan mendekati film pertama. Hanya saja untuk urusan kengerian dan atmosfer, gagal mengimbangi keberhasilan film pertama. Manekuin-manekuin badut yang jadi ikon franchise ini tetap seram, tapi penampakan dan hantu-hantunya tampil sangat blak-blakan. Membuat atmosfer dan detil-detil horor yang terekam kamera, yang jadi senjata utama franchise ini jadi kehilangan ketajaman. Ceritanya pun drag dengan annoying, karena film kesusahan mencari alasan logis untuk karakter-karakter ini mau bertahan selama empat malam di rumah itu. Rintangan yang membuat mereka harus tinggal juga tidak kuat. Jatohnya, karakter utama di film ini jadi sangat annoying dengan alasan-alasannya untuk tidak angkat kaki dari situ.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for HELL HOUSE LLC ORIGINS: THE CARMICHAEL MANOR

 

 

 

PAST LIVES Review

Dua sahabat masa kecil yang saling suka tapi harus berpisah negara, lalu saat dewasa mereka bertemu kembali, harusnya berakhir jadian karena sudah takdir, kan? Kan? KAN??

Past Lives debut sutradara Celine Song bicara dengan sangat anggun dan dewasa soal takdir antara hubungan dua anak manusia, yang saking anggunnya hati kita yang nonton akan menghangat betapapun naas akhir ceritanya. Past Lives is not like any other ‘CLBK’ stories. Karena ini bukanlah semata cerita tentang dua orang yang bertemu kembali berusaha dealing dengan closure atas perasaan mereka, film ini membahas dengan kompleks tanpa meninggalkan faktor-faktor lain. Tempat. Waktu. Dan another person. Faktor-faktor yang berperan sangat besar dalam ‘perubahan’ seseorang. Yang mestinya memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Film ini bicara tentang kehidupan; yang ditinggalkan, yang datang, yang bertahan, yang telah lewat, dan banyak lagi begitu kompleksnya. Hasilnya, Past Lives jadi dialog-dialog dan keputusan karakter yang bakal bikin kita ikut berkontemplasi.

Film ini sendiri kayak punya awareness terhadap jebakan-jebakan cerita serupa. Maka film mendesain karakternya sedemikian rupa, sehingga bisa agak meta. Karakternya dibikin sebagai penulis, dan ada dari yang mereka aware kalo kisah mereka ada di dalam cerita, maka dia akan berada di posisi orang yang menghalangi cinta masa kecil pasangannya. Cara film menggeliat keluar dari jebakan, membuatnya masuk ke dalam bahasan cerita, dan actually semakin memperdalam para karakter sebagai manusia, menurutku ini merupakan penulisan yang sangat cemerlang. Sedikit ‘koreksi’ dariku cuma maybe sebagai film, cerita ini bisa lebih dramatis lagi jika diambil dari sudut pandang karakter yang lebih ‘aktif’ – dalam artian yang lebih banyak mengalami pembelajaran.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for PAST LIVES

 




SISTER DEATH Review

Semoga kalian belum jengah sama cerita suster hantu, karena suster horor karya Paco Plaza ini actually lumayan worth to watch,

Dengan backdrop setelah perang sipil di Spanyol tahun 40an, film ini actually memberikan banyak waktu untuk ceritanya berkembang. Suster Narcissa tadinya ke biara yang sekarang jadi sekolah khusus anak perempuan untuk mengajar, tapi tempat itu sebenarnya membutuhkan kekuatan Narcissa sebagai ‘Holy Girl’. Karena di situ sedang dihantui oleh spirit, yang punya kisah tragis. Yang agak mengganggu buatku adalah adegan horor berupa mimpi, yang cukup kebanyakan. Padahal sebenarnya adegan-adegan horor yang ditampilkan film ini seram semua. Karena ceritanya slow, build up horornya jadi enak. Menjadikan horor itu cuma mimpi, membuatku terlepas dari kengerian dan dunia film.

Padahal cerita dan misteri yang dimiliki film sangat compelling. Aku bahkan gak nyadar kalo ini adalah sebuah prequel dari film horor tahun 2017. Judulnya Veronica. Aku bahkan belum pernah nonton film itu. Tapi saking tightnya bangunan cerita, film Sister Death ini jadi kokoh berdiri sendiri. Sekuen finalnya juga cukup keren, para karakter dibikin seolah berada di masa kini dan masa lalu sekaligus, menghasilkan trik horor yang unik. Dan si Suster Narcissa itu sendiri, man di akhir itu dia dibikin ‘menderita’ fisik dan mental. Sosok protagonis dengan mata mengalir darah jelas akan terpatri jadi salah satu bahan mimpi buruk kita di kemudian hari.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SISTER DEATH

 

 

 

THE CREATOR Review

Epik sci-fi war dari Gareth Edwards ini udah kayak Star Wars versi lebih grounded. Gimana enggak, ceritanya ngambil setting masa depan saat manusia klaim perang terhadap hal yang mereka ciptakan untuk kemudahan hidup, robot dan A.I. Untuk menambah kompleks, ini bukan sekadar manusia vs. robot, melainkan ada sisi abu-abunya. Ada pihak manusia yang memihak A.I. – yang menganggap robot-robot itu punya perasaan dan layak hidup. Ada pihak manusia yang menganggap mereka teknologi berbahaya yang harus dimusnahkan, dan manusia yang membantu robot mereka anggap tak ubahnya teroris. Kebayanglah, manusia dari bangsa mana yang dengan entengnya bilang yang tak sependapat mereka sebagai teroris. Film ini memang sedekat itu.

Visual film ini oke punya. Dunianya terbangun dengan detil, New Asia dengan padi-padi dan berbagai bahasa yang akurat. Robot-robotnya seamless hadir di tengah-tengah manusia. Karakter-karakternya juga ‘hidup’ dengan masalah personal merayap di balik konflik global cerita. Protagonis cerita, Joshua, adalah tentara yang masuk ke wilayah musuh dan harus meng-escort seorang anak robot ke tempat sosok dengan alias Nirmata yang diduga mengembangkan senjata rahasia. Like I said, epik sci-fi war ini harusnya memang sangat epik dengan cerita dan skala (dan durasi!) sebesar itu.

Nyatanya, film ini membosankan dan uninspiring. Karena penulisan yang teramat lemah dan praktisnya tidak ada hal baru. Cerita film ini terasa seperti recycle dan gabungan dari beberapa cerita perang dan sci-fi yang pernah ada.  Sehingga cerita film ini tidak pernah terkesan spesial. Hampir seperti pihak-pihak di balik film ini takut ngasih sesuatu yang benar-benar original, sehingga mereka memaksa film ini harus punya banyak elemen-elemen yang sudah pernah ada di cerita lain.

The Palace of Wisdom gives 6  gold stars out of 10 for THE CREATOR

 

 

 

THE ROYAL HOTEL Review

Sutradara Kitty Green kembali bersama aktris Julia Garner menghadirkan thriller dan horor ‘nyata’; teror yang dialami perempuan di tempat kerja. Sama seperti The Assistant (2020), skor audiens The Royal Hotel di Rotten Tomatoes jeblok. Karena memang horor/thriller yang ‘dijanjikan’ berbeda dengan yang penonton harapkan. Ketika penonton film mengharap kejadian sadis berdarah, tragedi dramatis yang physically mengguncang protagonis, monster-monster, hantu, ataupun psikopat sakit jiwa, filmmaker Australia yang di film ini juga pulang ke negara asalnya ini malah menghadirkan ketakutan yang tak bisa terlihat langsung. Yang tidak langsung terbuktikan oleh action. Tapi ketakutan itu ada, dirasakan benar oleh protagonisnya.

Sudut pandangnya memang dari cewek, tapi sebagai cowok pun, aku nonton ini masih merasakan horor tersebut nyata. Karakter sentral di cerita ini adalah dua perempuan muda, turis, yang harus membayar masa hukuman dengan jadi pelayan bar di kota tambang kecil di pelosok Negara Kanguru. Mendengar di mana mereka ditempatkan saja sudah otomatis bikin merinding. Dua perempuan itu akan berada di tengah kelompok laki-laki yang butuh ‘hiburan’. Things won’t go well. Karena jujur saja, aku tahu gimana cowok kalo udah bergerombol seperti itu, karena bahkan aku pernah guilty catcalling dan godain cewek saat sedang ngumpul sama teman-teman di kampus dulu. Hal yang dianggap cowok “ah, cuma dibecandain doang” itulah yang digambarkan jadi siksaan psikologis bagi karakter Julia Garner. Perasaan terancam berada di tengah sana saat gak ada satupun cowok yang tampak baik-baik saja. Mau itu si mulut besar, si ngeres, ataupun si pendiam yang tampak respek, garis batas itu bisa tau-tau roboh

Dua karakter perempuan ngasih cara pandang yang berbeda, antara ‘mereka kurang ajar sama kita’ dan ‘it’s okay, we’re just having fun’, digunakan film untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi, pandangan tersebut bisa bikin narasi berimbang, yang lantas jadi bikin suasana semakin ngeri lagi. Ultimately, film take a strong stand, meskipun memang konfrontasi penyadaran antara kedua karakter ini harusnya bisa lebih kompleks lagi

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE ROYAL HOTEL

 

 

 

WHEN EVIL LURKS Review

Bukan ‘where’, tapi ‘when’ yang dijadikan poin utama oleh horor orang kesurupan dari Argentina ini. Sutradara Demian Rugna dengan tegas ingin menilik apa reaksi manusia jika daerah mereka membusuk oleh pengaruh setan. Apa aksi yang diambil oleh manusia yang katanya punya society yang terbangun oleh aturan dan keimanan. Jawabannya, menurut yang tergambar oleh film ini; aturan dan keimanan/kepercayaan itu runtuh nyaris seketika.

Ya karenanya When Evil Lurks jadi sebuah horor mencekam yang benar-benar banal. Iblis dari roh penasaran berjalan di muka bumi sambil ngemil otak manusia. Orang kesurupannya bukan semata anak kecil menyumpah serapah, melainkan literally sebuah abomination, gumpalan nanah dan kotoran yang sekarat. Busuk, berdarah-darah. Siap untuk melahirkan setan berikutnya. Hewan-hewan peliharaan jadi beringas, tidak lagi mengenal tuannya, yang by the way juga telah siap melempar keluar semua kemanusiaan demi menyelamatkan diri dan keluarga. Ini adalah horor yang brutal. Sadis, jijik, najis, ngumpul jadi satu penceritaan bikin miris. Film ini bukan saja bukan untuk yang gak kuat iman, tapi juga bukan sajian untuk yang gak kuat perut. Ada satu adegan di film ini yang benar-benar bikin terpekik kaget, karena rasa-rasanya belum ada yang nekat bikin adegan kayak gitu bahkan di film horor sadis sekalipun.

In other words, harusnya ini adalah horor yang sangat menghibur. Tapi aku gak bisa menyukainya. Lantaran satu hal. Protagonis yang annoying. Aku mengerti penulisannya didesain seperti itu untuk memperlihatkan dia pendosa, bahwa dia sama dengan kita yang just try to save keluarga sementara gak benar-benar tahu harus berbuat apa. Hanya saja sayangnya dia tertranslasikan ke layar sebagai karakter yang ribut teriak-teriak dan memilih keputusan-keputusan bego yang aku yakin kita gak akan memilih pilihannya. Like, ada satu adegan dia nyaris putus asa kesusahan menjebol panggung. Lalu anak kesurupan iblis bilang ada kapak di ruangan sebelah. Tanpa pikir panjang, tanpa mendengarkan larangan paranormal yang tahu banyak dan telah sukses menunjukkan jalan kepadanya, dia ngikut saja perkataan si anak iblis. Resulting kerugian nyawa yang sangat besar di pihak manusia. Maan, I just can’t follow character like that. Aku berharap film ini punya karakter yang lebih menarik dan simpatik.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WHEN EVIL LURKS

 




 

 

That’s all we have for now

In case belum jelas mana satu film yang mengecewakan itu adalah The Creator. Aku kecewa banget. Bahkan Five Nights at Freddy’s aja ngambil resiko lebih banyak ketimbang film tersebut. Yang bikin tambah kesel, dan khawatir, adalah bahwa dia film original. Ngeri aja kalo film original epik kayak gitu kurang diminati. Bioskop dan studio hanya akan melihatnya sebagai kegagalan materi, sehingga yang original bakal makin dipandang tidak menguntungkan. Padahal pengembangannya saja yang sangat main aman. Film harusnya lebih berani, apalagi kalo sudah punya materi yang unik. And by the way, sudah hampir penghujung tahun dan aku belum dapat film yang skornya 8.5. Alamak!!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 11 (V/H/S/85, NO HARD FEELINGS, STRAYS, TOTALLY KILLER, BLUE BEETLE, PET SEMATARY BLOODLINES, THEATER CAMP, CONCRETE UTOPIA)

 

 

Harusnya sih ini edisi halloween. Tapi ternyata yang belum kutonton dan kuulas ada berbagai genre!! Jadilah aku kumpulin aja semua seperti biasa, dan ya, inilah edisi kesebelas. Dan mungkin kita akan segera bertemu di edisi berikutnyaaa

 

 

BLUE BEETLE Review

It has its charms. I mean, pusat di balik cerita superhero robot kumbang ini adalah keluarga latin, yang struggle dengan keadaan ekonomi. Dan karena berasal dari keluarga latin, kejadian seputar protagonisnya menjadi superhero pun jadi punya ‘warna’ yang berbeda. Jika biasanya superhero merahasiakan yang terjadi kepadanya dari keluarga, maka Blue Beetle berubah persis di depan ayah, ibu, adik, paman, dan neneknya sekaligus. Masalah Blue Beetle juga adalah masalah keluarganya. Bahkan ada sekuen saat justru si superhero yang kekuatannya bisa menciptakan senjata apapun yang ia bayangkan (dia pakai Buster Sword kayak Cloud di FF VII!!) yang harus diselamatkan oleh keluarganya.

Ada momen-momen lucu dari sini. Dan tentunya juga momen seru. Jika sutradara Angel Manuel Soto diberikan kreasi penuh, aku yakin film ini harusnya bisa lebih kuat lagi pada identitas dan perspektif keluarga tersebut. Sayangnya film Blue Beetle bermain aman. Tidak mau mengambil terlalu banyak resiko dengan menjadikan ini film superhero mexico. Film ini bangunan superheronya amat sangat template. Korporat jahat, pasukan militer super, villain yang kekuatannya sama dengan si superhero – only bigger dan badder. Ujung-ujungnya, nonton ini aku tetap merasa bosan. Durasi dua jam lebih itu kerasa banget karena meskipun identitasnya unik tapi yang mereka lalui, plot ceritanya, kejadiannya, terasa seperti yang udah sering kita tonton.

Jika semua studio film superhero modern main aman seperti begini, maka gak heran penonton terkena ‘superhero fatigue’

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BLUE BEETLE

.

 

 

CONCRETE UTOPIA Review

Bencana yang dipotret sutradara Tae-hwa Eom dalam Concrete Utopia bukan exactly runtuhnya tanah karena gempa. Melainkan soal runtuhnya kemanusiaan. Potret yang sangat powerful, dan bikin merinding. Digambarkan manusia bisa seketika turn on each other, saling serang gak peduli sama yang lemah, kalo urusannya udah tentang tempat tinggal. Demi menduduki suatu tempat. Lihatlah ke luar jendela, dan kita akan lihat bentuk konkrit dari yang disimbolkan oleh film ini.

Di cerita ini penduduk satu-satunya apartemen yang masih berdiri berusaha survive, bertahan di apartemen, membentuk komunitas dan aturan-aturan sendiri. Sumber makanan, obat-obatan, dan air yang sedikit membuat mereka tega mengusir pendatang yang ingin mencari perlindungan. Padahal di masa sulit seharusnya manusia bekerja sama. Gak peduli dari mana dia berasal. Film ini nunjukin dengan ironis bahwa pemimpin mereka apartemen sebenarnya juga seorang pendatang. Orang luar yang membunuh seorang penghuni apartemen sebelum bencana datang.

Eksekusi ceritanya luar biasa. Kita dibuat terus menyimak gimana komunitas ini bekerja, dengan ironi tadi membayangi di baliknya.  Akan ada banyak sekali adegan-adegan yang menghasilkan perasaan yang kontras. Terkadang memang terasa over, tapi semuanya masih bekerja dalam satu kesatuan bangunan-dunia yang senada. Dan kupikir, cara film ini mengakhiri ceritanya pun terasa puitik. Benih-benih harapan itu mereka tebar, sehingga api harapan itu masih terasa hangat.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CONCRETE UTOPIA

 

 

 

NO HARD FEELINGS Review

Ternyata Jennifer Lawrence bisa juga jadi Girl on Fire di film komedi! No Hard Feelings terasa bergelora dan penuh energi chaotic berkat penampilan komedik Jen-Law. Dia gak ragu untuk tampil total!!

Karakter yang dia mainkan, Maddie, memang bukan tipe yang mudah untuk kita kasihani. Orangnya keras kepala, cuek, dan bukan exactly tipe kakak cewek yang anggun. Sikapnya itu kemudian dibenturkan saat Maddie kepepet duit. Maddie menerima lowker dari pasangan kaya yang lagi mencari ‘pacar bayaran’ untuk anak cowok mereka yang udah mau kuliah tapi sampai sekarang belum punya pacar karena ansos dan introvert banget.

Dari sinilah komedi romantis karya Gene Stupnitsky ini jadi laen. Rootnya dari awkwardness yang timbul dari seorang tante-tante mencoba mendekati daun muda. Beberapa adegan awal cenderung hard to watch, dalam artian ngenes, tapi di situlah poin dagang film ini. Relationship dua karakter sentral berkembang, bukan lagi dari perasaan romantis yang dibuat-buat, tapi jadi genuine hubungan yang saling mendewasakan. Rasanya sudah jarang kita dapat suguhan ringan, tapi juga nekad serta nyeleneh.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NO HARD FEELINGS

 

 

 

PET SEMATARY: BLOODLINES Review

Kok ya aku jadi agak kasian sama Stephen King. Tahun ini dua ceritanya dikembangkan menjadi film yang benar-benar sebuah adaptasi lepas. Dan kedua film itu tidak benar-benar bagus. Pertama, The Boogeyman, yang malah melanjutkan cerita asli King dengan karakter-karakter baru. Dan sekarang, Pet Sematary: Bloodlines, yang mengambil posisi sebagai prekuel dari cerita asli; thus film ini mengarang bebas dari karakter-karakter yang sudah ada. Sedikit banyak mengubah mereka. Sesuatu yang sama sekali tidak perlu.

Sebenarnya sutradara Lindsey Anderson Beer masih respek. Dia berusaha mengarahkan dan menuliskan cerita ini semirip mungkin dengan vibe cerita-cerita King. Kota kecil dengan penghuni yang turun temurun menempatinya dijadikan pusat cerita. Karakter-karakter penghuninya – Judd muda dijadikan protagonis cerita – berusaha dikembangkan. Premis tanah yang semua makhluk yang dikuburkan di dalamnya bakal balik jadi makhluk jahat, coba diperdalam. Dipersonalkan. Film ini nyaris setengah berhasil melakukan itu semua.

The best thing yang bisa kubilang untuk film ini adalah dia seperti fan-fic yang bland. Sampai ke aspek horornya pun nanggung. But it’s okay. Masih bisa jadi tontonan pengisi waktu-lah, sebenarnya. Namun semua itu diperparah oleh hal-hal yang diretcon. Hal-hal yang beda ama materi aslinya. Jadinya film ini konyol aja, jadi kayak ngada-ngada.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PET SEMATARY: BLOODLINES

 




STRAYS Review

Ngomong-ngomong soal pets, nah ini baru film tentang hewan peliharaan yang benar-benar serasa seperti sebuah perjalanan liar!

Paling tepat ya menyebut komedi garapan Josh Greenbaum ini sebagai film anjing. Karakternya 95% live-action anjing, dan tingkah mereka pun benar-benar anjing. Sepertinya memang film ini terutama memparodikan film-film tentang anjing peliharan yang kebanyakan bicara tentang persahabatan anjing dengan manusia. Di film ini, yang ditekankan adalah persahabatan antara sesama anjing, dan mereka mau balas dendam sama owner yang sudah menelantarkan si karakter utama. Dan para anjing dan komedi di sini vulgar dan raunchy abis. Ini bukan tipe film yang diputar untuk ditonton bareng keluarga.

Tapi bukan berarti film ini enggak punya hati. Yang dialami Reggie sebagai anjing peliharaan, sebenarnya menyedihkan. Pemiliknya sebenarnya gak suka sama dia. Tapi Reggie terjebak dalam somekind of toxic relationship yang membuat dia merasa pemiliknya akan sayang, kalo dia nurut. Udah dibuang pun, dia ngerasa pemiliknya lagi ngajak main. Reggie dealing with perasaan ini yang jadi bobot dramatis film. Karena bahkan kita manusia bisa terjebak toxic relationship. Tonenya boleh aja agak random, tapi film ini lebih dari sekadar komedi jorok – yang sebenarnya juga berusaha dijustify oleh film dengan menjadikan dirinya sebagai parodi film anjing. Bahwa anjing itu ya, anjing. Dan manusia bisa lebih anjing lagi,

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for STRAYS

 

 

 

THEATER CAMP Review

Agak susah mutusin film ini satir tentang komunitas camp teater, atau surat cinta terhadap mereka. Tapi boleh jadi, inilah bentuk tertinggi dari sebuah passion dan kecintaan; mampu menertawakan sekaligus menceritakannya dengan penuh hangat. Theater Camp karya Molly Gordon dan Nick Lieberman akan ikut membuat kita jatuh cinta, meskipun kita bukan teater geek seperti mereka.

Karena pada hatinya, film tentang influencer yang terpaksa menjalankan summer camp teater milik ibunya ini bicara tentang hal yang relate. Yakni tentang tempat bagi anak-anak – bagi orang-orang yang not really fit in di kehidupan sosial yang ‘normal’. Tentang orang-orang yang menemukan rumah dan keluarga, dan mereka harus menyelamatkan rumah mereka bersama-sama. Duh, lagu ‘Camp isn’t Home’ yang jadi adegan musikal pamungkas film ini sukses bikin emosiku jumpalitan.

Banyak karakter di cerita ini. Permasalahan mereka punya benang merah yaitu dilema antara stay di sana atau tidak. Antara bertahan di passion dan mengejar mimpi, atau ‘menyerah’ kepada realita. Film mengambil posisi yang sangat berimbang, tidak menghukum, mengolok pilihan manapun. Semuanya diserahkan kepada penonton, untuk ikut memilih. Komedi film ini juga dituliskan dengan mumpuni. But I do think, film ini bisa menjangkau lebih banyak penonton lagi jika eiher durasinya dipanjangin supaya penonton in general bisa  mengenal masing-masing mereka lebih lama, atau fokusnya agak dirapatkan ke satu karakter secara khusus.

The Palace of Wisdom gives 7.5  gold stars out of 10 for THEATER CAMP

 

 

 

TOTALLY KILLER Review

Premis film ini ngingetin aku sama filmnya si Taissa Farmiga, The Final Girls (2015) – duh, jaman2 masih ngereview di Path haha. Kalo di film tersebut protagonis ceweknya tersedot ke film slasher tahun 80an yang dibintangi ibunya dan berusaha mencegah karakter ibunya mati, sedangkan di karya Nahnatchka Khan ini, ceritanya tentang protagonis cewek remaja yang kembali ke masa lalu untuk menggagalkan rencana seorang pembunuh berantai yang membunuhi ibu dan teman-teman ibunya di SMA. Kedua film tersebut sama-sama mengandalkan referensi film 80an sebagai bumbu di balik bunuh-bunuhan. Tapi di Totally Killer, referensi yang digunakan gak sebatas pada film horor.

Dari Back to the Future ke Halloween ke film-film remajanya John Hughes, Totally Killer bakal totally bikin kita tetep have fun bernostalgia sambil jejeritan, dan ikut menebak-nebak pembunuh seperti saat nonton Scream. Toh naskah film ini gak cuma berisi referensi sana-sini. Kecerdasan penulisan ditunjukkan dari konsep time travel dan gimana mereka menggunakan kesempatan itu untuk membandingkan dengan kocak antara remaja jaman dulu dengan remaja jaman sekarang.

Gimana Jamie heran di 80an orang-orang pada selow ngata-ngatain orang, sekolah yang pengamanannya nyante. Apa-apa gak ribet kayak di 2023. Tapi sekaligus juga memperlihatkan ke kita gimana selownya orang jaman dulu sama ternyata bisa berdampak pada anak jaman sekarang. Film ini did a great job ngangkat diskursus soal kebiasaan sosial pada dua era berbeda – meskipun ini sebenarnya horor komedi yang dibuat sebagai tontonan ringan. Ini lantas  terefleksi juga kepada film. Film jaman sekarang, seperti film ini sendiri, cenderung harus jadi ribet dibandingkan horor jaman dulu yang cukup bunuh-bunuhan saja. Pertanyaannya dioper ke kita nih sekarang, jaman mana yang lebih baik?

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for TOTALLY KILLER

 

 

 

V/H/S/85 Review

Franchise V/H/S/ tampaknya sudah resmi jadi staple penggemar horor setiap halloween. Tahun ini mereka ngeluarin lagi, dan tema besar kali ini adalah video-video horor, snuff film, dan rekaman ganjil dari tahun 1985.

Sebagai antologi cerita, at least V/H/S/ semakin kreatif dalam menampilkan atau menempatkan lima horor pendek. Kali ini film ini bermain-main dengan urutan. Ada cerita yang displice jadi dua bagian supaya kita makin penasaran. Dan karena cerita-cerita ini random, nonton film ini ada sensasi masuk ke something unknown yang menambah minat kita ngikutin sampai habis.

Lima horor pendek dalam film ini sendiri, menurutku tidak terlalu seram. Sebagian besar gak benar-benar ngasih sesuatu yang baru juga, meskipun memang mereka berusaha menghadirkan kesan cerita itu memang direkam tahun 85. Kayak cerita tentang virtual reality, yang dihadirkan dengan gaya monolog seseorang lagi perform di teater. Komedi atau satir cerita tersebut works karena dibuat (dan ditonton) oleh yang tau sekarang teknologi ada di mana, dan gimana masyarakat menggunakannya. Pada akhirnya segmen cerita ini adalah showcase horor gore yang memang jadi ciri khas horor 80an.

Ada juga segmen yang bermain-main dengan premis Pet Sematary – yang di tahun 85 itungannya masih novel horor yang baru booming. Sekelompok pemuda pemudi main di danau, lalu mereka ditembaki seseorang misterius, dan yang mati di danau bisa hidup kembali, kayak di cerita Pet Sematary. Segmen ini sebenarnya sangat fun, tapi sayangnya terlalu singkat. Apalagi bagian keduanya, yang melibatkan satu keluarga dengan perayaan sinting. Terlalu singkat, membuat kita pengen lebih. Segmen Rory yang dijadikan pembungkus semua cerita, juga terlalu singkat padahal kisah creature-nya sudah bikin penasaran.

Segmen favoritku adalah Dreamkill, yang melibatkan seorang detektif yang berusaha memecahkan kasus aneh. Serangkaian kasus pembunuhan yang serupa dengan video-video rekaman yang ia tonton seminggu sebelumnya. Kayaknya jarang segmen di V/H/S/ yang ngasih horor surealis kayak gini. Sedangkan segmen yang paling tak kusuka adalah God of Death, terinspirasi dari gempa Mexico di tahun 85. Buatku segmen ini kepanjangan dan annoying kameranya bikin pusing.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for V/H/S/85

 




That’s all we have for now

Empat film horor dari list ini menurutku sangat cocok untuk dijadikan maraton horor tahun ini.  Bahkan Concrete Utopia bisa ditambahkan, mengingat basically itu adalah horor kemanusiaan yang relevan dengan keadaan sekarang. Bagaimana dengan kalian, apa list tontonan halloweenmu tahun ini? Share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SAW X Review

 

“It’s not life or death, it’s a game”

 

 

Halloween adalah tradisi. Bagi orang luar yang merayakan dengan acara trick or treat. Sedangkan bagi kita penggemar film, dulu saat halloween kita punya tradisi nonton franchise Saw di bioskop! Aku yakin adegan-adegan sadis dari alat dan permainan mengerikan dalam film-film Saw pasti ada yang membekas banget di ingatan kita masing-masing. Well, tahun ini, tradisi itu bisa kembali kita rayakan karena they made a new Saw movie. Kevin Greutert, yang biasanya mengedit film-film Saw dan dulu pernah menyutradarai beberapa, kembali duduk di kursi sutradara. Dan langkah besar yang ia lakukan adalah… eng ing eng membuat John Kramer menjadi protagonis cerita! Dia membuat film yang franchisenya dikenal sebagai torture porn ini menjadi lebih sebagai sebuah perjalanan personal dari John Kramer yang mencari kesembuhan dari kanker yang ia derita. And by doing so, Kevin literally membuat film ini sebagai Tobin Bell‘s acting clinic!!

Yeah, akhirnya setelah sekian tahun, setelah sembilan film, ada sineas yang nekat benar-benar menjadikan bintang dari franchise ini – si John Kramer, dalang di balik Jigsaw, yang diperankan dengan ikonik oleh Tobin Bell – sebagai tokoh utama. Di film horor memang biasanya karakter penjahat selalu lebih ‘superstar’, lebih diingat oleh penonton, ketimbang karakter utama. Karakter penjahat – dalam kasus genre horor biasanya adalah sosok monster, hantu, atau psikopat – diposisikan sebagai tantangan terberat yang harus diovercome oleh si hero. That way, mereka yang sebagai antagonis jadi lebih berkesan dari protagonisnya. Bertahun-tahun kita kagum sama John Kramer. Sama kejeniusannya merancang alat-alat mematikan. Sama kecerdasannya ‘menebak’ yang bakal dilakukan korbannya (sehingga membuat film-film Saw punya twist unik). Sama prinsip dan pandangannya terhadap manusia dan pilihan hidup. Kramer selalu memilih orang-orang bobrok dengan moral yang rusak sebagai calon korban. Dan dia tidak membunuh mereka. Melainkan Kramer membuat mereka memainkan game hidup-mati, sebagai bahan pelajaran bagi mereka. For the victims niscaya akan survive kalo ngikutin aturan permainan death trap, yang seringkali seputar mereka menyadari kesalahan personal masing-masing. Menurut Kramer, dia adalah semacam seorang motivator. Aspek inilah yang digali oleh Saw X. Dari sinilah mereka mengambil sudut untuk membentuk Kramer, kali ini, sebagai protagonis cerita.

I would tell children that this is Eminem

 

Mengambil timeline antara kejadian di film pertama dengan film kedua, Saw X bercerita tentang masa-masa John Kramer lagi down berat karena kanker yang ia derita. Hidupnya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Di saat itulah, Kramer mendengar tentang suatu pengobatan eksperimental di Mexico. Dia mendaftar ke sana, dan terpilih oleh Dr. Cecilia sebagai pasien mereka berikutnya. Kramer pikir operasi mahal dan rahasianya di sana itu berhasil. Kramer sudah siap untuk memulai hidup barunya, aku pikir kesembuhannya itu membuat dia bakal meninggalkan kota Mexico sebagai totally jadi orang baik. Tapi Kramer ditipu. There was no pengobatan eksperimental. Yang ada, Kramer harus kembali menjadi ‘motivator hebat’ buat Dr. Cecilia dan semua krunya. Supaya mereka tobat, kembali ke jalan yang benar, lewat proses yang luar biasa menyakitkan.

Tahun lalu kita dapat film Orphan: First Kill (2022) yang berusaha melakukan hal yang sama. Menjadikan antagonis franchisenya seorang protagonis. Film tersebut mati-matian membuat kita bersimpati kepada Esther, sosok yang di film originalnya adalah seorang psikopat; wanita dewasa yang nyamar jadi anak-anak, dan merusak rumah tangga keluarga yang mengadopsinya. Film tersebut gagal memantik simpati yang genuine dari Esther, lantaran mereka hanya sekadar menghadirkan sosok yang lebih jahat sebagai antagonis di arc Esther, seolah dengan kehadirannya Esther otomatis jadi korban lemah di tangan yang lebih kuat. Film tersebut tidak menggali ataupun menetapkan moral compass Esther sedari awal (like, waay awal di film pertama). Saw X bisa berhasil menjadikan Kramer protagonis karena penonton sudah tahu di mana karakter ini berpijak. Bahkan ketika dia jadi villain di film-film Saw, kita sudah bisa melihat bahwa dia ini semacam ‘orang jahat adalah orang baik yang teraniaya’. Alih-alih orang dewasa yang bertubuh kecil, Kramer adalah orang tua yang sakit parah. Sisi vulnerablenya lebih genuine. Persahabatannya dengan seorang anak Mexico lebih genuine ketimbang kebaikan Esther terhadap tikus. Namun ketika film menghadirkan antagonis bagi dirinya pun, moral compass Kramer tetap digali. Kita sedih melihatnya ditipu, tapi kita tetap dibuat melihat Kramer sebagai psikopat yang membuat orang-orang melakukan permainan maut, walaupun kini korbannya adalah orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya. ‘Lawan’ yang dihadirkan untuknya pun sepadan, jahat dan moralnya sama-sama sinting. I think film juga cukup sayang mematikan karakter ini sehingga nasibnya di akhir cerita belum benar-benar diputuskan.

Bagaimana dengan penonton yang belum pernah nonton Saw, atau sama sekali enggak tahu seperti apa karakter John Kramer sebelumnya? Film ini bercerita bukan tanpa development. Paruh awal ditulis dengan seksama, kita benar-benar dibuat melihat Kramer sebagai manusia yang butuh pertolongan, tapi dia punya sisi gelap. Badannya boleh ringkih, tapi sorot matanya. Menatap orang seperti memutuskan orang ini layak hidup atau enggak. Film bahkan memperlihatkan Kramer ‘berfantasi’ menyiksa seseorang dengan alat penghisap bola mata, saat dia mengintip si orang ini sedang mau mencuri barang berharga milik pasien yang tengah tak-sadarkan diri di rumah sakit. Menurutku, ini set up yang efektif sekali untuk memperkenalkan siapa sebenarnya John Kramer kepada penonton baru. Sekaligus juga tentu saja mempertahankan vibe khas franchise Saw di tengah-tengah penceritaan yang lebih dramatis. Sedangkan untuk paruh akhir cerita, saat cerita fully masuk ke status lebih berdarah-darah, film mengeksplorasi hubungan antara Kramer dengan ‘muridnya’, Amanda. Hubungan yang cukup heartfelt, supaya penonton masih bisa merasakan kemanusiaan dari si karakter psikopat yang punya moral ini.  Dan ini juga abu-abu, karena Amanda gak yakin apakah dia bisa jadi penerus, dan Kramer berusaha meyakinkan dengan ngasih pemahaman betapa pentingnya ‘kerjaan’ mereka ini bagi korban-korban mereka.

Hidup bagi Kramer adalah suatu perjuangan, permainan kalo boleh dibilang, dengan kematian sebagai taruhannya. Itulah sebabnya dia memperjuangkan kesembuhannya dengan sungguh-sungguh. Itu juga sebabnya kenapa para korban dia tempatkan di posisi maut, antara berjuang melawan sakit demi survive, atau kalah dan mati.

 

Karena dimulai dengan lebih drama dan personal itulah, vibe Saw X akan terasa janggal bagi penggemar berat franchise torture horror ini. Beruntungnya, pak sutradara bukan orang baru dalam per-Saw-an. Dia yang pernah jadi editor dan nyutradarain cerita-cerita Saw, paham betul apa yang membuat Saw X ini Saw. Dia tahu resep horor ala Saw. Adegan-adegan perjuangan sampai mati, gaya kamera menangkapnya, gaya editing menampilkan adegan penyiksaan yang benar-benar bisa bikin ngilu itu, semuanya dia garap sama persis dengan vibe Saw yang kita ingat. Game/alat siksaan favoritku di film ini adalah trap ala patung Mexico yang mengharuskan korban membuka batok kepala dan mencungkil otak sendiri. Kebayang kalo kepala lagi pusing, mungkin teknik itu bisa dicoba hahaha… Kevin tahu satu lagi hal yang ditunggu oleh penonton; momen kejeniusan Kramer. Sehingga meskipun kali ini film enggak langsung terjun ke siksa-siksaan, tapi bercerita dengan lebih humanis dahulu, film ini enggak tergagap dan langsung konek ketika momen berdarah-darah – ketika momen ‘genre’nya hadir. Bahwa ini benar film yang sesuai dengan ruh film-film terdahulu, bukan sebuah poser yang mereplika Saw.

Bacanya Saw ‘Eks’, atau Saw ‘Ten’, atau Saw ‘Twitter’ sih?

 

Yang bikin lebih menarik lagi adalah situasi Kramer saat merancang trap tersebut. Dia harus berimprovisasi dengan alat-alat kesehatan yang ia temukan di lab ‘palsu’. Sekali lagi, film mempush karakter Kramer sebagai seorang yang bukan semata sadis tapi punya kreativitas yang tinggi. Dia bisa menciptakan alat mengerikan, tapi sekaligus juga estetik dan tematis. Like, sempat-sempatnya dia bikin desain serupa patung Mexico yang ia lihat jadi spot foto turis di jalanan. Film berhasil membuat hal yang sebenarnya convenience, kemudahan, bagi karakter utama sebagai hal yang balik mendukung karakterisasinya. Karena saat menonton kita tidak akan mempertanyakan, kok bisa dia bikin semua itu secara mendadak. Padahal sebenarnya cukup banyak juga momen-momen ‘gak mungkin’ pada cerita. Momen-momen yang terlalu ‘kebetulan’ para korban melakukan suatu hal, atau Kramer melakukan atau meletakkan sesuatu, yang sesuai dengan ‘hasil’ yang dia inginkan. Karakternya yang sudah well-establish membuat hal tersebut dengan mudah kita maklumi sebagai ‘kejeniusan’ karakternya alih-alih sebagai ‘pemaksaan’ kehendak naskah.

Meskipun memang secara journey, aku rasa film ini bakal bisa lebih terasa punya perkembangan jika diposisikan sebagai origin John Kramer sebagai Jigsaw. Karena di film yang kita saksikan ini, journey Kramer sebenarnya sudah berakhir di pertengahan. Saat dia memutuskan untuk ‘balik’ jadi Jigsaw, untuk balas dendam. Setelah momen itu, sebenarnya film berjalan tanpa plot, melainkan hanya memperlihatkan momen sadis ala Saw, sambil menunggu revealing-revealing yang bikin cerita seru saja. Tapi yah, itulah Saw. Momen-momen itu harus ada karena itulah yang membuat sebuah film bisa disebut sebagai film Saw. Kehadiran film dengan berusaha menggali drama personal dari Kramer, membuat Kramer jadi manusiawi sebagai protagonis, itulah yang mengelevasi film ini, walaupun memang enggak full dan kurang merata.

 




Mungin memang inilah film yang paling bisa mengaplikasikan formula khas franchise Saw ke dalam struktur penceritaan film dengan benar. It’s not perfect, tapi toh memang ini jadi film yang paling berbobot seantero franchisenya. Gak cuma twist dan revealing. Gak cuma adegan penyelidikan polisi. Gak cuma adegan penyiksaan dengan jebakan mematikan. Di sini kita diajak menyelami karakter utamanya, yang notabene juga bukan orang baik-baik. Kalo secara timeline, aku gak bisa ngomong banyak. Karena se-ngefans-ngefansnya pun, aku udah gak bener-bener ingat urutan kejadian semua film Saw. Dan filmnya pun memang sengaja ngeluarin cerita yang bakal membuat kita melompat-lompat timeline. I think timeline gak benar-benar jadi soal. Buatku, bisa menikmati horor yang berbobot dan punya karakter unik dan karismatik, itu hiburan yang sudah lebih dari cukup.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SAW X

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian franchise Saw masih layak untuk dilanjutkan dan di-elevate menjadi lebih berbobot? Kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



NO ONE WILL SAVE YOU Review

 

“It is the confession, not the priest, that gives us absolution.”

 

 

Bekal-diri, atau pengalaman, alias juga referensi saat kita menonton film ternyata memang ngaruh ke tangkapan kita terhadap film tersebut. Makanya film yang kita sukai pada masa kecil mungkin akan terasa berbeda jika ditonton saat sudah dewasa.  Aku ngerasain ini saat nonton No One Will Save You, horor karya Brian Duffield. I feel like aku gak bakalan ngerti film ini kalo aku menontonnya sebelum nonton Sleep Call (2023). Loh kok Sleep Call? Diskursus soal literally ‘gak bakal ada yang nolongin kamu’ dibuka di film itu. Lewat pembahasan film itu soal jakarta/hidup itu keras, aku bisa lebih mudah menangkap bahasan yang juga diangkat di sini – hanya lebih tegas sebagai perspektif personal. Lebih mudah karena memang film No One Will Save You dibuat oleh Brian Duffield dengan desain yang cukup aneh. Asing. ‘Alien’, kalo boleh dibilang. Horor alien, tapi juga teror home-invasion. Penuh aksi menegangkan, tapi juga sunyi dengan nyaris tak ada dialog. Kejadiannya memang merupakan penyimbolan, tapi sekaligus juga literal.

No One Will Save You merupakan tipe film yang keren karena penceritaannya. Penonton yang hanya melihat outer journey alias urutan kejadian bakal missed hal yang membuat film ini spesial. Karena memang peristiwa filmnya simpel saja. Seorang gadis muda bernama Brynn, tinggal sendirian di rumahnya yang terletak di pinggir hutan cukup jauh dari pusat kota kecil. Suatu malam rumahnya kedatangan tamu jauh dari angkasa luar. Survive dari kejar-kejaran malam itu, paginya Brynn mencoba lapor polisi. Tapi dia punya masalah dengan salah satu polisi, serta ternyata beberapa penduduk sudah dikendalikan oleh alien. Sehinga minta tolong sudah bukan lagi opsi. Malamnya, Brynn bersiap di rumah, mencoba mengcounter serangan alien berikutnya.

Sampai gak bisa berkata-kata

 

Storytelling arahan sutradaranya lah yang membuat film jadi begitu rich dan efektif. Konsep unik yang ia jadikan penentu adalah tidak ada dialog, kecuali satu baris kalimat yang esensial sebagai penanda resolusi pada development karakter utama. Film ini bakal banyak momen-momen personal Brynn di ruang-ruangnya sendiri, hingga ke kucing-kucingan melawan alien, tapi semua itu diceritakan tanpa banyak berkata-kata. Semua informasi disampaikan lewat penceritaan visual. Kita kenalan dengan karakter si Brynn lewat menyimak tingkah lakunya. Bahkan namanya saja kita tahu dari tulisan. Film seolah selalu berhasil menemukan cara untuk menyampaikan sesuatu tanpa menyebut hal tersebut. Sehingga nonton film ini jadi change of pace yang menyegarkan, di tengah sumpeknya film-film jaman sekarang yang meledak-ledak, lagi cerewet ngasih eksposisi di sana sini. No One Will Save You menampilkan karakter – backstorynya, konflik personalnya, hingga nanti tantangan fisik dan emosional journeynya  – lewat pengadeganan yang terukur. Semua aspek teknis seperti kamera, suara, punya treatment khusus untuk mendukung penceritaan visual ini.

Walau nyaris tanpa dialog, toh film ini bukan bisu. Kita tetap mendengar suara-suara. Dengung sinar UFO, suara tapak kaki alien yang jari-jari kakinya udah kayak kaki-kaki kecil sendiri. Dan desain suara-suara itu tuh keren banget! Film ini benar-benar memanfaatkan suara untuk menghasilkan efek horor yang maksimal. Setiap pekik tertahan, suara derit, semuanya itu ngebuild up kepada tensi yang jadi urat hidup film ini. Pun diselaraskan dengan kerja kamera. Momen di babak awal saat pertama kalinya Brynn menyadari ada alien di lantai bawah rumahnya, benar-benar momen yang menegangkan. Cara film ‘memperkenalkan’ alien itu juga precise dan terukur sekali. Kadang Brynn hanya melihat sosok blur alien dari balik kaca, kadang dia hanya melihat kaki mereka. Sudut pandang yang kuat, pembangunan adegan yang tepat, sukses bikin kita ikut menahan napas. Seiring berjalan durasi, sosok alien semakin ditampilkan dengan jelas oleh film. Desain mereka juga luar biasa. Meskipun tampilan dasar mereka cukup klise ‘alien abu-abu bermata besar, berbadan kecil’  tapi film menyimpan banyak kejutan. Cara mereka bergerak saja selalu berhasil bikin kita bergidik. Yang menurutku paling seram adalah alien besar seperti laba-laba, sekuen kejar-kejaran Brynn dengan makhluk ini juga seru dan ngeri sangat.

Sementara aliennya memang pencapaian teknis, keseluruhan film sebenarnya bertumpu pada delivery Kaitlyn Dever sebagai perspektif utama. This is practically film dengan satu karakter. Cerita menempel erat pada sudut pandang Brynn, dan Kaitlyn Dever mengerti tugasnya dan kupikir ini adalah yang terbaik dari penampilan aktingnya so far. Raut wajahnya bicara, matanya bicara, dan dia gak ragu untuk meraih ke dalam sisi emosional karakternya. Dan semua itu dia lakukan sambil dikejar-kejar oleh alien! Sisi emosional dan inner karakter, inilah yang bikin film ini dalem. Dan spesial. Karena bagaimana pun juga horor bukan semata soal survive dari makhluk mengerikan, bukan sebatas soal mengalahkan mereka. Melainkan juga mengenai apa ‘arti’ survive tersebut bagi si karakter utama. Mengalahkan momok itu berarti dia mengalahkan apa di dalam hidupnya. Refleksi terhadap karakter inilah yang jarang dipunya oleh horor kita, tapi di film ini ada. Malah itu yang benar dijadikan urusan utama, merayap di balik persoalan invasi alien. Semua treatment storytelling yang digunakan film ini – seperti yang sudah kusebutkan tadi – membangun kepada tema yang berasal dari galian inner journey karakter Brynn.

Kalo dibikin tahun 2000an, pasti Amanda Seyfried yang dicast jadi Brynn haha

 

Ketika pertama kali kita melihat Brynn, gadis ini tampak damai di ‘dunia’ kecilnya. Di rumahnya. Dia menari, bermain dengan diorama kota yang dikumpulkannya sendiri, dengan riang menulis surat untuk sahabatnya yang bernama Maude. Vibe bimbang baru nampak ketika dia hendak ke kota. Brynn berlatih senyum di depan cermin. Tampak menguatkan diri sebelum berinteraksi dengan orang lain. Saat dia beneran berinteraksi, kita merasakan ada hubungan yang dingin antara warga dengan Brynn. Seorang polisi dan istrinya malah tampak dihindari oleh Brynn. Menghindar seperti saat dia dengan sengaja ‘tidak menjawab’ telfon.  Aku mengenali gelagat itu. Waktu kecil, aku pernah gak sengaja bikin tangan temanku patah saat kami bermain Benteng Takeshi-Takeshian, dan setelah itu aku gak berani main ke rumahnya, gak berani ketemu sama orangtuanya. Aku tahu walaupun gak sengaja, aku harusnya minta maaf, tapi tetap saja itu sungguh hal menakutkan untuk dilakukan. Jangankan minta maaf, mau ngomong aja takut. Film dibuat tanpa dialog karena Brynn juga merasa bersalah terhadap sesuatu. Later deep within the story, kita dikasih tahu apa yang dulu terjadi pada Brynn dan temannya, Maude. Dan aku langsung, damn, aku yang gak sengaja aja dulu bisa takut sampai segitunya, gimana Brynn ini yaa..

Rasa bersalah. Guilt. Inilah yang sebenarnya dimaksud film ini ketika menyebut tak akan ada yang bisa menyelamatkan kita. Gak ada yang bisa menyelamatkan kita dari rasa bersalah, kecuali diri kita sendiri. Gimana caranya? Dengan gak mangkir dari perbuatan. Dengan mengakui. Dengan meminta maaf. Kesempatan meminta maaf bagi Brynn datang secara tak sengaja melalui invasi alien, dan adalah up to her untuk menggunakan itu. Pada pilihannya itulah tercermin perkembangan Brynn sebagai karakter utama cerita.

 

Jadi ‘dunia kecilnya’ itu ternyata juga adalah penjara sosial. Tokoh utama kita ternyata ‘di-shun’ warga akibat perbuatannya di masa lalu. Dikucilkan. Invasi alien justru berbuah kesempatan buat Brynn untuk resolve urusan personalnya tersebut. Dalam salah satu ‘serangan’ alien, Brynn justru mendapat kesempatan untuk meminta maaf; hal yang selama ini tidak bisa dia dapatkan karena keadaan dan dirinya sendiri. Di bahasan ini, sendirinya film punya pilihan. Menjadi kisah manis penuh harapan dengan happy ending Brynn akhirnya dimaafkan masyarakat. Atau menjadi kisah miris, bahwa Brynn tidak bisa mengharap maaf, bahwa memaafkan diri sendiri adalah satu-satunya healing yang bisa ia terima, dan itu sesungguhnya cukup.

Pada pilihan krusial itulah film menunjukkan keistimewaan. Jujur, saat menonton aku mengharapkan pilihan yang pertama. Aku berharap film ngasih lihat Brynn mendapat pengampunan yang layak karena dia selama ini menyesali perbuatannya dalam diam. Brynn has suffer so much, meski tak kelihatan dari luar. Aku berharap seenggaknya ada adegan Brynn openly bicara kepada keluarga Maude, meminta maaf, eventho it’s too late. Pilihan ini aku yakin lebih memenuhi struktur skenario terkait aksi dan development karakter. Tapi film enggak mau benar. Film menunjukkan kecintaan mereka terhadap karakter Brynn dengan memilih untuk tetap ‘real’ alih-alih benar sesuai aturan. Dan ini yang bikin ending film mengejutkan dan sangat kuat. Dengan membuat ‘alien aja kasihan sama Brynn’, tema dan gambaran yang menyentil kehidupan sosial kita (balik lagi ke Sleep Call’s “hidup itu keras”) terasa lebih menohok. Alien yang awalnya ditampilkan misterius, seiring durasi menjadi lebih fokus dan malah tampil close up adalah paralel dari gimana masyarakat seharusnya melihat Brynn, for she is an alien among them. Seorang berbeda – berdosa – yang dianggap berbahaya dan tak punya tempat di antara mereka. Apapun yang keluar dari mulutnya gak bakal dipercaya. Brynn tidak dikasih kesempatan.

 

 




Makanya film ini pun hadir dengan tidak banyak berkata-kata. Itu jadi pembuktian betapa kuatnya treatment dan perspektif penceritaan. Semuanya dilakukan untuk mewakili yang dirasakan oleh Brynn, sang karakter utama. Kejadian invasi alien ke rumah mungkin tampak biasa, tapi penceritaan di baliknya, semuanya kuat dan didesain dengan sangat terukur. Kerja kamera, desain suara, penampilan akting. Film ini sukses berat baik itu dalam menampilkan horor dikejar-kejar alien maupun kejadian-kejadian yang lebih sureal setelahnya. Pilihan endingnya merupakan salah satu yang paling mencengangkan. Film ini gak ragu untuk sedikit berbelok dari yang seharusnya. Dan memilih untuk tampil dengan gambaran dan pesan yang lebih real dan menohok.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NO ONE WILL SAVE YOU

 

 




That’s all we have for now.

Dina di Sleep Call gak punya Rama, sedangkan Brynn di film ini punya alien. Menurut kalian kenapa alien-alien itu membiarkan Brynn hidup di antara koloni yang mereka kendalikan?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL