“Protecting your family is every person’s basic instinct”
Film yang serius biasanya mengutip kalimat dari orang-orang terkenal – dari filsuf, budayawan, seniman, bahkan dari kitab suci, memajangnya sebagai pembuka, untuk pointed out betapa relevan dan pentingnya landasan gagasan cerita mereka. Sementara itu, Cocaine Bear garapan Elizabeth Banks justru membuka cerita dari kutipan Wikipedia. Dengan efektif ngasih tau kita betapa tidak-seriusnya cerita yang bakal kita saksikan. Jaga-jaga kalo judulnya sendiri belum berhasil ngeset tone komedi di benak penonton. Beruang dan kokain disatukan demi mencapai puncak tertinggi komedi, dan pada sebagian besar waktu film ini berhasil menjalankan misinya. Segala kegilaan (dan kebuasan) yang bisa kita bayangkan dari peristiwa beruang mabok dihadirkan oleh thriller komedi ini. Kita akan merasa konyol melihatnya, tapi sekaligus juga nagih!
Yea, it is a camp horror movie – film yang dibuat begitu absurd sehingga jadi sangat kocak – tapi sebenarnya Cocaine Bear diangkat dari kisah nyata. Di tahun ’85, seorang polisi korup membuang sejumlah besar kokain dari angkasa, sebelum akhirnya terjun dan tewas. Kokain tersebut tersebar di hutan, dan dimakan oleh seekor beruang hitam. Opening film ini persis sama seperti kejadian tersebut. Namun alih-alih tewas overdosis seperti beruang yang asli, beruang di Cocaine Bear dibikin jadi ‘high’. Menari-nari di hutan, lalu lantas beringas. Dibikin jadi superduper nagih, dan melakukan apapun demi mencari bubuk putih yang lain, Termasuk merobek-robek tubuh manusia yang ia temui. Dan dia akan bertemu banyak orang sepanjang cerita. Karena itulah yang dilakukan piawai oleh film ini. Memasukkan banyak karakter – diperankan oleh ensemble cast yang juga luar biasa kocak – yang nasibnya akan saling berpaut. Ada geng drug dealer yang disuruh ke sana untuk ngumpulin kembali kokain yang hilang, ada detektif yang bermaksud menangkap mereka, ada ibu yang mencari dua orang anak yang bolos demi main ke hutan, ada ranger hutan yang lagi kasmaran sama cowok pecinta alam, dan ada remaja berandalan. Mereka semua akan berinteraksi dengan kokain, dan tentu saja berujung jadi buruan si beruang. Tidak semua dari mereka bakal selamat, tapi yang jelas, mereka berhasil bikin kita ngakak meskipun mereka kadang bego dan gak exactly memantik simpati. Serius deh, sebagian besar waktu aku justru ngecheer beruangnya hahaha
Dan memang begitulah cerita ini terdesain. Seperti thriller binatang buas lainnya, sudah biasa kalo ternyata ceritanya gak benar-benar menunjuk si hewan sebagai kambing hitam, atau sumber masalah. Bahwa mereka awalnya justru korban. Korban dari kelalaian manusia. Beruang di sini jadi monster karena kelakukan manusia. Naskah Cocain Bear, however, enggak benar-benar rapi dalam mempersembahkan apa yang sebenarnya di balik cerita. Fokus pada kekocakan dari plesetan kreatif kejadian nyata berujung petaka, membuat film ini mendahulukan ngeset situasi ‘unik’ dari karakternya yang banyak tersebut. Perspektifnya jadi tersebar, ada pegangan dramatis tapi hanya sekenanya saja. Situasi mereka akan berkembang menjadi ‘ajaib’, kita akhirnya akan melihat gimana semua orang ini bisa ketemu, namun baru setelah film masuk babak terakhirlah benang merah dramatis mereka semua kelihatan. Baru kelihatan saat cerita sudah mencapai goal.
It was all about protecting family. Binatang buas yang mengamuk kecanduan itu gak ada bedanya sama si gembong narkoba. Gak ada bedanya sama polisi yang mau memberantas narkoba. Gak ada bedanya sama ibu yang gak mau anaknya deket-deket masalah. Mereka melakukan apa yang mereka lakukan, demi kelangsungan hidup keluarga. Yea, cocaine is bad. Kita akan mati mengonsumsinya (walau tanpa serangan beruang sekalipun), tapi seburuk-buruknya mereka yang menjual, monster yang mengonsumsi, film ini nunjukin mereka rela berurusan dengan bad thing tersebut karena mereka percaya mereka punya keluarga yang harus ditanggung. Yang harus dilindungi.
Mau sekonyol apapun, selalu ada yang bisa kita petik dari cerita manusia dan hewan. Mumpung sampai bulan Mei ini masih ada promo gratis sebulan, kalian bisa nyobain nih nonton animasi pendek pemenang Oscar kemaren di Apple TV. Tentang anak kecil yang mendapat pelajaran berharga dari kuda, rubah, dan tikus tanah. Tinggal klik saja link https://apple.co/3ZAMup1 atau badge di bawah ini:
Di luar bobotnya yang tipis dan baru keliatan di akhir itu, toh Cocain Bear berhasil menjadi sesuai apa yang dirinya mau. Tidak kurang, tidak lebih. Gak sok-sok serius dan embrace kekonyolan mereka. Durasinya terasa pas, gak berlebihan. Dialognya cukup pintar dengan celetukan-celetukan yang jokenya ngelingker. Serangan beruangnya kocak sementara juga cukup sadis berdarah-darah. Aku cukup terhibur nonton ini, meskipun memang karakter manusianya gak langsung bisa dipedulikan. Mereka punya development, tapi ya itu tadi; journey ke sananya not really there. Most of them ada di sana untuk menghibur kita dengan kematian dengan kejadian yang kocak. Tapi actually, mereka kind of annoying. Mereka ngelakuin hal-hal bego, hanya supaya jadi lucu dan cerita bisa lanjut. Yang paling annoying buatku aku adalah dua petugas medis. They were not helpful at all, dan tingkahnya terlalu lebay. Karakter yang paling likeable, certainly, adalah dua drug dealer. Daveed yang diperankan oleh anaknya Ice Cube, O’Shea Jackson Jr. dan rekan sekaligus sahabatnya, Eddie – diperankan oleh Alden Ehrenreich – yang sebenarnya adalah putra bos mereka. Eddie punya backstory dia sudah capek ama kerjaan kotor mereka, sehingga dia memutuskan berhenti. Tapi pacarnya kemudian meninggal, dan dia terus dipaksa ayahnya (Syd, peran terakhir dari Ray Liotta, rest in peace) untuk balik jadi dealer. Eddie kali ini hanya setuju karena diminta oleh Daveed, sahabatnya. Duo Eddie dan Daveed sedikit banyak mengingatkanku sama duo Vincent Vega dan Jules Winnfield di Pulp Fiction (1994). Akting mereka memang belum selevel Samuel L. Jackson dan John Travolta, tapi chemistry dua aktor muda tersebut closed enough. Dua karakter ini akhirnya memang paling menarik simpati, kita jadi melihat mereka juga sebagai geng-jahat yang gak sejahat itu
Karakter utama memang tidak pernah diset dengan mutlak oleh naskah. Tapi Daveed dan Eddy tampak jadi lebih mencuat ketimbang karakter ibu dan anak yang supposedly dibikin sebagai yang paling gampang untuk relate dengan penonton. Karena kebanyakan aksi dan momen dramatis, serta lucu, datang dari Daveed dan Eddy. Screen timenya aja, rasanya-rasanya banyakan mereka. Kita gak pernah tuh, melihat langsung petualangan si ibu menyisir hutan mencari anaknya. Kita hanya melihat dia menemukan petunjuk, lalu sampai di gua. Enggak banyak aksi ataupun adegan ketemu beruang pada mereka. Dan anaknya yang menghilang, maaan, kupikir film ini benar-benar melewatkan potensi Brooklynn Prince (tentu masih ingat dong betapa natural penampilan anak ini di The Florida Project?) Brooklynn sekarang sudah mulai remaja, dan peran yang ia dapatkan di sini cuma jadi anak yang nunggu diselamatkan. Sayang sekali kita gak melihat dia banyak beraksi di sini.
Kayaknya Elizabeth Banks belum menemukan cara yang benar menghandle karakter anak dalam komedi thriller yang raunchy, berdarah, dan actually mengandung narkoba. Dia hanya menjadikan mereka bandel dan bertingkah kayak mau nyobain hal orang dewasa. Karakter remaja yang gedean, sih, masih oke ditampilkan seperti ini. Tapi ketika menggarap karakternya si Brooklynn dan teman sekolahnya, kesannya lebih ke cringe. Eventually film membuat dua anak kecil ini nyoba menyuapkan bubuk kokain ke mulut, dan kemudian terbatuk-batuk. Aku gak yakin ini maksudnya supaya lucu apa gimana. Padahal sebenarnya seru ada sudut pandang anak dalam cerita bertone dewasa kayak gini. Gimana anak-anak didekatkan pada topik dengan range cukup jauh kayak narkoba dan lingkungan. Tapi film not really capitalize that, dan mencukupkan diri sebagai film just camp; dumb and fun.
Most of the time, itu memang suduh cukup. Sebuah film gak mesti jadi gede dan over dan punya something penting untuk bisa jadi sebuah tontonan. Kalo film memang merasa cukup dengan hanya jadi hiburan -dan gak ambisi untuk jadi hiburan yang berbobot – ada dua hal yang bisa kita sebagai penonton lakukan. Nikmatin, sementara juga acknowledge bahwa film ini ya hanya ‘itu’. Premis beruang jadi pembunuh karena hutan tercemar ulah manusia menjadikan film ini menghibur, punya banyak adegan berdarah yang seru, dengan banyaknya ‘calon korban’ yang juga dibikin unik dengan masalah masing-masing. Tapi gak banyak bobot dan depth di balik cerita. Film ini pikir mereka tidak butuh itu karena punya goal yang sama sekali berbeda. Naskahnya juga tidak benar-benar fokus, melainkan punya perspektif yang menyebar. Pada level tersendirinya ini, aku hanya berharap film ini bisa lebih memaksimalkan karakter-karakter manusianya, seperti saat film menghandle si beruang yang bahkan saat high seperti itu hewan CGI ini punya range yang gak kecil.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for COCAINE BEAR
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian melakukan bad things atas alasan melindungi keluarga itu bisa dimaklumkan?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA