JUMANJI: THE NEXT LEVEL Review

“Life was meant for big adventures and good friends”
 

 
Saat sekuel dari video game yang kita suka rilis, kita excited mengharapkannya punya konsep yang familiar, punya karakter yang sudah kita kenal, namun dengan level-level yang lebih luas dan lebih menantang. Jumanji: The Next Level persis seperti demikian. Film ini hadir dengan konsep dan rule yang kurang lebih sama dengan film sebelumnya, Jumanji: Welcome to the Jungle (2017). Karakter-karakter yang sudah sukses menghibur kita, baik karakter ‘asli’ maupun karakter avatar (in-game) mereka, semua hadir kembali. Dengan petualangan, cerita, dan bahkan pemeranan yang dinaikkan levelnya. It is more… wild!
Geng Spencer kini hidup di kota yang berbeda-beda. Persahabatan mereka mungkin masih seerat dahulu – bersama-sama menempuh petualangan hidup-mati dalam dunia video game akan cenderung membuatmu akrab dengan temanmu – namun selayaknya anak remaja, LDR mau tidak mau membuat Spencer insecure. Ia canggung bertemu dengan Martha. Jadi ketika liburan natal ini geng mereka sepakat pulkam dan temu-kangen di kafe bekas kepunyaan kakek Spencer, pemuda ini semakin galau. Dia merasa perlu untuk mengumpulkan kepercayaan diri dengan… menjadi Dr. Bravestone lagi. Spencer nekat masuk ke dalam video game Jumanji yang sudah rusak itu seorang diri. Martha, Bethany, dan Fridge yang mencemaskan Spencer mencoba menyusul. Membantu Spencer menyelesaikan game berbahaya yang sudah pernah mereka tuntaskan. Namun kerusakan Jumanji membawa kekacauan. Mereka masuk ke dunia Jumanji secara random; as in Kakek Spencer yang grumpy, Eddie, dan mantan sahabatnya yang ngeselin, Milo, terseret ikut bermain alih-alih Bethany yang tertinggal di rumah. Dan dunia game di dalam Jumanji yang harus mereka ‘kalahkan’ kali ini; totally dunia yang berbeda. Dunia yang jauh lebih luas dan lebih berbahaya ketimbang sekadar hutan belantara.

“At least, that time I was still black” Jangan ngeluh dong, kamu Jack BLACK sekarang

 
Yang paling lucu dan menarik dari konsep Jumanji modern adalah pemeranannya. Di dalam dunia game, mereka punya tubuh yang berbeda, tapi sangat sesuai dan dengan tepat mencerminkan keunggulan dan kelemahan pribadi masing-masing. Para aktor yang memerankan tubuh dalam-game tokoh film ini – disebut avatar – mendapat tantangan untuk bermain di luar kebiasaan, misalnya Jack Black yang memerankan seorang gadis stereotype dumb-blonde yang terjebak dalam tubuh pria urakan tambun yang jago baca peta. Komedi sebagian besar memang datang dari sini. Dan pada Jumanji: The Next Level soal avatar ini semakin kocak lagi, karena sangat random. The Rock Dwayne Johnson kocak parah ketika dia harus memerankan kakek-kakek sakit pinggang yang mendadak punya tubuh begitu kuat dan segar bugar. Dia memainkan Danny DeVito yang jadi kakek cranky yang terjebak di tubuh pria berotot. Sejak hari-hari emasnya di ring gulat, sisi komedi terbaik The Rock selalu adalah bermimik pongah, dengan permainan suara saat talk-trash ke orang-orang. Dalam Jumanji baru ini, Rock kembali dapat kesempatan untuk menggali sisi komedinya tersebut. Jack Black kebagian peran yang annoying, tapi penguasaan komedinya membuat segala keluh kesah yang ia lontarkan jadi pancingan dan punchline yang kuat. Karen Gillan tidak banyak mendapat perubahan – remaja yang masuk ke tokoh avatarnya masih tetap remaja yang sama dengan film pertama. Namun bukan berarti itu karena Gillan tidak punya range akting sebaik lawan mainnya. Gillan diberi satu adegan menjadi ‘tokoh lain’, dan dia memerankan peran komedi itu dengan flawless.
Aku masih ingat menuliskan “Sebagian besar pemeran dalam film ini diberikan kesempatan untuk bermain-main dengan peran yang sangat unik, kecuali Kevin Hart.”  pada ulasan film pertama, sebab memang yang paling boring adalah Kevin Hart karena dia practically memainkan dirinya sendiri, leluconnya selalu sama di mana pun ia berada; selalu mengejek fisik dirinya sendiri. This is not the case pada film kedua. Hart menjadi Danny Glover, dia seperti memparodikan gaya bicara tokoh Glover yang begitu lamban. Ini fresh untuk ukuran komedi Hart. Tek-tokan dia dengan The Rock jadi pemancing gelak utama. Tokoh Milo yang bersemayam di avatar Hart punya hubungan persahabatan yang menarik dengan Eddie yang di dalam Bravestone The Rock. Mereka dulu partner dan sekarang Eddie bahkan tidak sudi ngobrol dengan Milo. Bukan hanya komedi, drama berhati pun hadir dari interaksi mereka. Surprise performance buatku datang dari Awkwafina. Aku bahkan gak tahu sebelumnya bahwa dia bermain di film ini – aku gak lihat trailer dan materi promosi. Bikin terenyuh di The Farewell (2019), Awkwafina kembali menunjukkan taring di zona nyamannya, yakni komedi. Dia juga dapat dua lapis akting, dan perannya yang paling kocak adalah ketika avatarnya dimasuki oleh… ah, kupikir ini bakal jadi spoiler jadi baiknya kalimat itu tidak kulanjutkan. Nick Jonas juga kembali kebagian peran, and he’s the weakest link, yang paling bosenin di antara semua kerusuhan positif tadi.

Petualangan dalam dunia Jumanji mengajarkan pada tokoh-tokoh untuk melihat kelemahan dan kekuatan rekan tim mereka. Jika kita punya masalah dengan sahabat, habiskanlah waktu lebih banyak bersama mereka. Utarakan maksud, utarakan arah. Cari tahu kembali apa yang membuat kita saling dekat pada awalnya. 

 
Sebenarnya bukan cuma Kevin Hart, ada beberapa perbaikan lain yang dilakukan oleh film ini. Aku kutip lagi kekurangan film pertama terkait perspekif ‘cutscene video game’ yang kutulis di review: “Tokoh utama kita juga melihat cutscene ini. Namun, terdapat juga beberapa adegan cutscene yang memperlihatkan tokoh penjahat sedang mempersiapkan pasukan, dan tokoh utama kita sama sekali enggak tahu tentangnya.” Dalam film kedua, tidak ada lagi cutscene seperti begitu. Perspektif dibuat setia, dari tokoh-tokoh yang sedang menghidupi video game, kita tidak lagi melihat adegan yang tidak dilihat oleh para tokohnya. Kemudian berkaitan dengan avatar dan pesan film; aku di review film pertama menuliskan: “Maka semestinya film membuat mereka tidak lagi menggunakan nama avatar saat film mencapai akhir. Seharusnya mereka dibuat berhasil atas nama diri mereka sendiri.” Di film kedua ini, mereka semua pakai nama asli tokohnya. Tokoh yang diperankan The Rock hanya beberapa kali di-refer sebagai Bravestone, dan nama avatar Awkwafina disebutkan sebagai device komedi. Jadi, film kedua ini benar-benar berusaha untuk menjadi lebih baik daripada film pertama. Setidaknya kekurangan pada film pertama yang aku tulis tidak lagi ditemukan pada sekuel ini.

Hayo kalian baca reviewku ya?

 
Untuk urusan visual, film ini tampak lebih mahal. Duit keuntungan box office mereka yang luar biasa tahun lalu menunjukkan efeknya di departemen ini. CGI dan efek komputernya terlihat lebih luwes dan meyakinkan. Adegan-adegan aksi juga lebih menegangkan. Tokoh-tokoh kita banyak dikejar-kejar, dengan ‘panggung’ yang bervariasi. Mulai dari gurun pasir hingga serangkaian jembatan gantung. Konsep nyawa video game – mereka masing-masing punya tiga nyawa yang berarti cuma punya tiga kali kesempatan untuk ‘mengacau’ – dibuat lebih berbobot daripada sekadar stake yang menambah ketegangan cerita. Ada kalimat yang aku suka sekali di film ini yakni nasehat kakek kepada Spencer “Don’t lose everything when you fail. You still got a life.” Benar-benar merefleksikan keadaan mereka, mengingatkan untuk tidak down ketika gagal karena kesempatan masih ada. Apalagi jika masih muda.

Actually, bukan masalah masih muda atau sudah tua. Kakek Spencer, Eddie, pada awalnya begitu cranky karena dia merasa tua, waktunya sudah habis, dan tidak ada lagi kesempatan untuk berubah. But there’s still a life. Menjadi tua berarti masih ada waktu. Untuk bertualang. Untuk stage yang berikutnya. Dia masih punya kesempatan memperbaiki hidup yang sama besar dengan kesempatan cucunya.

 
 
Segala excitement film ini terasa mengempis pada babak terakhir, saat film memutuskan untuk mengembalikan mereka ke kondisi semula – ke kondisi film pertama. Ini adalah keputusan terburuk yang diambil oleh sutradara Jake Kasdan sepanjang durasi film. Kita melihat begitu banyak hal segar, dan kemudian dia seolah membuat kita menonton kembali film pertama. Karen Gillan kembali menari sambil berkelahi. The Rock kembali memerankan tokoh laga serba bisa yang baik hati alias boring. Also, pertarungan bossnya benar-benar lemah. Film mengembalikan mereka seperti pada film pertama seolah film tidak mampu mencari jalan keluar yang baru. Para tokoh seharusnya belajar meng-embrace avatar mereka, seperti yang sudah berhasil mereka lakukan pada film sebelumnya. I mean, kalo kita main video game, kita toh harus mampu mengendalikan banyak tokoh – enggak hanya melulu memainkan satu tokoh yang sama.
Empat avatar ini sejatinya masih sama, yang berbeda hanya ‘jiwa’ yang menghidupi mereka. Aksi dan tantangan sebelum babak terakhir menarik karena kita melihat pendekatan berbeda yang diambil oleh ‘jiwa’ yang memasuki avatar tersebut. Lebih menarik melihat ini, bahkan ketimbang melihat trait baru yang ditambahkan oleh film yang malah membuat tokoh-tokoh dan rintangan seperti terprogram. Malahan ada satu yang gak benar-benar ter-establish, yakni kemampuan berbicara dengan hewan. Yang sepertinya hanya bekerja pada hewan tertentu karena mereka tetap saja dikejar-kejar oleh burung unta, kera mandril, dan kuda nil. Kenapa tidak bernegoisasi saja dengan hewan-hewan buas tersebut.
Selain arc tokoh Danny DeVito, arc tokoh-tokoh yang lain terasa sama saja dengan arc mereka pada film pertama. Namun ada satu tokoh yang arc-nya benar-benar mencengangkan, dan film mengabaikan begitu saja konsekuensi dunia nyata dari pilihan yang diambil oleh tokoh tersebut.
 
 
 
Sebagai sekuel, film ini sukses terasa lebih besar dan lebih heboh daripada film pertamanya. Dan memang beginilah seharusnya sebuah level adventure yang baru. Tokoh-tokoh yang familiar, tapi dengan rintangan yang baru, dan penambahan yang memang berarti. Film pun berusaha menjadi lebih baik, dia memperbaiki kesalahan terdahulu. Memperkuat keunggulan dan keunikan yang sudah dimantapkan. Namun pilihan di akhir film benar-benar fatal. Para tokoh dan arc mereka terasa sama lagi dengan film yang lalu. Sehingga babak akhir jadi jatuh membosankan. Keasikan nonton ini bakal tergantung masing-masing; jika kalian lebih suka film yang babak akhirnya strong, film akan sedikit mengecewakan namun bakal segera terpulihkan karena di akhir banget ada teaser yang menggugah nostalgia. Jika kalian enggak begitu mempermasalahkan, film ini akan jadi hiburan dari awal sampai selesai.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for JUMANJI: THE NEXT LEVEL.

POKEMON DETECTIVE PIKACHU Review

“The absent are never without fault, nor the present without excuse.”

 

 

 

Setiap anak pengen punya Pokemon. Kecuali Tim Goodman. Selidiki punya selidik, sifat keterkurangtertarikannya itu ternyata berkat ayahnya yang seorang detektif. Tim tumbuh menjadi pemuda yang antipati terhadap monster-monster lucu tersebut lantaran sang ayah lebih memilih menghabiskan banyak waktu memecahkan kasus-kasus bersama pokemon di kota ketimbang bareng dirinya. Keabsenan berubah menjadi misteri yang memanggil Tim untuk datang ke kota Ryme tempat ayahnya bekerja. Setelah sebuah kecelakaan besar, ayah Tim beneran menghilang. Jasadnya tidak pernah diketemukan. Satu-satunya harapan yang mengisyaratkan beliau mungkin masih hidup adalah pokemon partnernya, Pikachu, selamat dari kecelakaan tersebut. Pikachu yang memakai topi ala Sherlock Holmes itu bergerak lincah, sehat, berbicara lancar, mengajak Tim untuk bekerja sama memecahkan misteri. Tunggu. Berbicara?

Pikachu yang satu ini, bukan cuma listriknya loh yang menyengat

 

 

Pokemon Detective Pikachu secara teknis adalah adaptasi dari video game Pokemon berjudul Great Detective Pikachu yang rilis di Jepang tahun 2016 buat konsol handheld Nintendo 3DS. Jika boleh kutambahkan, film ini mengadaptasi game pokemon yang paling boring di antara game-game pokemon lain. Pokemon menjadi fenomena pop-culture yang dahsyat, ia punya serial anime yang sampai sekarang masih berlanjut, ia punya game kartu, Nintendo sendiri punya countless game pokemon RPG yang semuanya tentang anak yang keliling dunia menangkap pokemon, melatihnya untuk ditandingkan dengan pokemon peliharaan tokoh-tokoh lain. Kita bisa bilang pokemon ini adalah sabung ayam versi lebih cute dan lebih keren. Tak perlu lulus sekolah detektif untuk kita bisa melihat kesuksesan game mobile Pokemon Go-lah yang membuat film live-action ini menjadi kenyataan. Studi film tahu bahwa pokemon ini ada pasar yang menguntungkan. Kecanduan dari menangkap berbagai macam pokemon, kemudian melatih mereka untuk menjadi lebih kuat, berevolusi menjadi  even better, kemudian ngeclaim bragging right mengalahkan trainer yang lain, itulah inti yang menyebabkan pokemon menjadi begitu hits. Jadi, keputusan mereka malah mengangkat film dari game yang tanpa aksi, hanya berkeliling mencari petunjuk, memang cukup aneh buatku.

Berlawanan dengan pertanyaan yang diusung oleh film mengenai kenapa Tim bisa mengerti perkataan Pikachu, melihat film ini pertanyaan yang muncul di benakku malahan adalah apakah pembuatnya mengerti perkataan/permintaan para penggemar?

 

Tapi hey, paling enggak film ini mengerti cara memvisualkan para pokemon tersebut dengan benar, baik itu sesuai dengan bentuk maupun kemampuan yang sama persis dengan versi game dan animenya.

Sutradara Rob Letterman yang sebelumnya berhasil menghidupkan monster-monster mengerikan dalam Goosebumps (2015) memang mengerti untuk tidak mengkhianati penggemar secara visual. Pokemon benar-benar tampak hidup, seperti layaknya binatang di dunia nyata. Kita seolah bisa merasakan halusnya bulu Pikachu, keras dan bersisiknya badan Charizard, hanya dengan melihat mereka. That’s how good the visual in this movie. Di samping alasan nostalgia, kupikir kenapa pokemon-pokemon dalam film ini lebih didominasi oleh generasi pertama (yang muncul di kartun dulu) padahal secara timeline, film ini mengacknowledge generasi pertama itu sebagai masa lalu adalah karena desain pokemon-pokemon jadul lebih kelihatan cocok dengan dunia nyata ketimbang pokemon generasi baru yang kelihatan lebih seperti mainan ketimbang makhluk beneran. Untuk beberapa menit awal, kita akan dimanjakan oleh imajinasi hidup bersama pokemon, melihat pokemon di alam liar.

Tapi kemudian film seperti menyempitkan dunianya. Kita diajak masuk ke dalam kota Ryme – kota megapolitan yang visualnya juga luar biasa grande – di mana pokemon-pokemon itu dipasangkan dengan manusia. Literally, satu manusia masing-masing punya partner satu pokemon. Kayak konsep digimon. Meskipun toh seru juga melihat kerjasama manusia dan pokemon, seperti pemadam kebaran dengan barisan Squirtle, tapi keajaiban yang kita lihat di luar kota seperti menguncup. Ryme seperti tiruan yang aneh dari kota Zootopia. Dunia di dalam kota ini juga tidak pernah benar-benar dijelaskan cara kerjanya seperti apa. Apakah partner pokemon diassign sesuai pekerjaan, atau boleh bebas memilih, misalnya. Keseruan menangkap pokemon liar digantikan oleh melihat pokemon berjalan bersisian dengan manusia. Ketika film membawa kita mengikuti Tim dan Pikachu ke arena pertarungan underground, ataupun ketika ada sekuen aksi yang berhubungan dengan kekuatan pokemon, itulah saat sebenar-benarnya hiburan terasa. Aku berharap adegan seperti demikian jauh lebih banyak porsinya. Tapi di lain pihak, aku toh tidak bisa memberikan nilai 3 buat film ini hanya karena aku tidak mendapat pokemon yang aku inginkan. Kita tidak bisa ‘mengajarkan’ kepada film mana cerita pokemon yang benar, pembuat film sah-sah saja jika ingin mengangkat cerita pokemon dari gagasan dan versi pilihan mereka.

That being said, mari kita lihat bagaimana film ini memperlakukan ceritanya.

Jargonnya bukan “Gotta catch ’em all” lagi karena poligami itu enggak baik

 

Cerita film ini tepatnya adalah cerita buddy-cop dengan Pikachu dan Tim sebagai pusatnya. Bagian terbaik film ini jelas adalah suara Ryan Reynolds dalam tubuh mungil berwarna kuning berekor zig-zag. Meskipun kadang-kadang suara dan tubuh itu mentok banget, namun Pikachu yang dibawakan Reynolds akan jarang sekali membuat kita krik..krikk.. oleh komedinya. Aku terbahak keras ketika Reynolds menyanyikan lagu tema serial kartun Pokemon. Misteri yang Pikachu dan Tim hadapi sih sebenarnya enggak begitu membuat penasaran, tapi kita mendapat banyak momen humor jenaka darinya. Misalnya ketika Pikachu dan Tim menginterogasi Mr. Mime. Elemen investigasi film ini memang tidak digambarkan serius-serius amat, malahan cenderung ‘mudah’. Tidak ada teka-teki cerdas yang harus mereka pecahkan. Tidak ada petunjuk-petunjuk tersembunyi yang harus mereka temukan. Pikachu juga tidak pernah benar-benar menemukan kesulitan dari amnesia yang ia derita akibat kecelakaan. Mereka tidak benar-benar memecahkan misteri, sebab film mengandalkan hologram canggih sebagai device eksposisi yang secara praktis menihilkan tantangan kedua tokoh.

Fokus diniatkan kepada tokoh manusia. Film membuat Tim sebagai tokoh yang bisa kita sebut sebagai anti- dari tokoh-tokoh utama Pokemon sebelum ini. Dia enggak mau punya partner pokemon. Kebohongan personal/Lie yang ia percaya adalah dia tidak butuh pokemon, yang berakar dari Luka masalalu/Wound ditinggal oleh ayahnya. Perjalanan inner Tim adalah soal dia yang ‘terpaksa’ mandiri harus menyadari bahwa dia sebenarnya butuh banget sosok yang mensupport dirinya. Ini berkebalikan dengan tokoh-tokoh di serial dan movie anime yang seringkali harus belajar untuk percaya kepada kemampuan diri sendiri, bahwa mereka bukanlah bukan siapa-siapa tanpa pokemon, bahwa kehadiran partner pokemon adalah bukti kekuatan mereka sendiri. Dengan kata lain, film ini sebenarnya menarik karena punya tokoh yang melawan pakem semesta pokemon itu sendiri. Pokemon Detective Pikachu ingin menonjolkan drama antarmanusia dengan pokemon sebagai asesorisnya. Masalahnya adalah; tokoh-tokoh manusianya ini tidak pernah dibuat lebih menarik daripada para pokemon.

Tim merupakan tokoh yang sangat menjemukan, sekaligus ngeselin. Dan itu bukan semata karena permainan akting bland Justice Smith yang semakin kebanting dipasangkan dengan Reynolds, melainkan juga karena tuntutan naskah. Ini tentang Tim mencari ayahnya, arc tokoh Tim ini secara garis besar bergerak dari dia yang tadinya tidak peduli sama sang ayah berubah menjadi peduli. Untuk menggambarkan hal tersebut, kita dapat tokoh yang sebagian besar waktu tidak benar-benar termotivasi. Pada menjelang pertengahan, bukan saja Tim tidak tahu di mana ayahnya yang mungkin saja telah mati, dia juga tidak peduli. Ini membuat kita juga susah peduli sama tokoh ini. Dalam cerita pokemon, film malah memberikan kita tokoh utama yang gak suka pokemon, yang enggak peduli dia punya partner atau tidak – sesungguhnya itu adalah problem yang nyata buat cerita. Kita tidak benar-benar bersama si tokoh utama, karena aku yakin semua yang nonton film ini suka ama pokemon, atau paling tidak menonton karena pengen melihat pokemon. Tim, dia sebodo amat ama pokemon. Tokoh ini tidak memandang pokemon dengan ketertarikan. Satu tokoh manusia yang lumayan menarik buatku adalah Lucy, jurnalis magang yang pengen menguak misteri hilangnya ayah Tim demi karirnya sendiri. Tapi itupun menarik sepertinya karena aku agak bias lantaran si Kathryn Newton ini orangnya manis banget.

Dan cerita tentang anak dan ayah ini pun pada akhirnya lebih menimbulkan kecanggungan ketimbang menawarkan kedalaman. Tidak banyak yang bisa kita gali. Tim, meskipun pandangannya terhadap ayah sudah berubah, namun kita tetap tak bersimpati karena di akhir cerita dia masih bukan seperti kita-kita. Tim tetap tidak punya partner pokemon, dan dia masih tidak peduli sama hal tersebut. Hubungannya dengan Pikachu akan menjadi sangat awkward, karena sebagaimana yang diperlihatkan oleh film ini, semua perjalanan itu sebenarnya adalah tentang Tim dengan ayahnya. Menurutku akan jadi sentuhan yang bagus jika film ini mempasangkan Tim dengan Cubone yang berusaha ia tangkap di awal cerita.

 

 

 

 

 

Dibuat untuk mewujudkan imajinasi penggemar Pokemon tentang dunia di mana manusia dan pocket monster hidup berdampingan. Visualisasi mosnter-monsternya keren. Pikachu-nya lucu, meski mungkin lucunya berbeda dengan yang dibayangkan. Sekuen aksinya seru, dan literally kita pengen nambah (karena porsinya minim). Para penggemar pokemon akan menikmati film ini, asalkan bisa berpikiran terbuka terhadap pilihan yang dilakukan oleh film. Pokemon-pokemon yang dipimpin oleh Pikachu itu tetap menjadi bagian terbaik film, hanya saja cerita berpusat kepada tokoh manusia – terutama ayah dan anak – yang tidak pernah ditampilkan lebih atau malah semenarik tokoh pokemonnya. Enggak akan gampang untuk kita mengatakan “I choose you!” kepada film ini karena ia menghadirkan tokoh utama yang membosankan.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for POKEMON DETECTIVE PIKACHU.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa makna ketidakhadiran seorang ayah dalam sebagian besar hidup anaknya? Apakah film ini menawarkan solusi soal keabsenan seorang ayah yang menjadi tema/inti utama cerita? Apakah menurut kalian Tim akan bertemu dengan ayahnya jika kecelakaan di awal cerita tidak terjadi? Apakah kalian punya solusi sendiri mendekatkan anak dengan ayahnya?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

DREADOUT Review

“Cell phones are the lifeline for teenagers”

 

 

 

Bayangkan menjadi anak sekolah di jaman berteknologi tinggi seperti sekarang. Apa yang paling kalian takutkan sedunia? Kalian punya teman-teman keren yang siap membantu ngebully orang-orang yang membuat kalian sebal (atau iri). Kalian punya follower setia yang siap menaikkan mood dan begitu mencintai kalian sehingga kalian enggak perlu repot-repot untuk mencintai mereka balik. Tempat angker pun kalian jadikan tempat hiburan untuk menaikkan popularitas. Kalian bisa menaklukan apapun dengan internet supercepat dalam genggaman. Satu-satunya yang kalian takutkan adalah, jika kalian lupa membawa smartphone!

DreadOut, semenjak dari video gamenya, mengusung metafora yang bagus soal betapa anak usia SMA sangat bergantung kepada telepon genggamnya untuk bisa menyintas hari-hari mereka.

 

Mengambil periode sebelum kejadian dalam cerita video gamenya yang meledak di kalangan gamer internasional, film DreadOut membawa kita berkenalan dengan masa lalu Linda (dilempar-lempar, ditarik-tarik, tidak hanya secara emosi Caitlin Halderman dipush bermain fisik) yang bekerja di mini market setelah jam sekolahnya selesai. Kita diperlihatkan karena lelah bekerja itulah Linda sempat daydreaming mengenai kejadian sewaktu kecil. Film menjanjikan para penggemar mengenai asal-usul ‘kekuatan’ Linda, dan adegan pembuka diniatkan sebagai tindakan penebusan janji tersebut. Apakah itu cukup atau tidak, you’d be the judge, lantaran film tidak akan membahas lebih jauh. Cerita terus melaju membawa Linda – yang sebenarnya enggan – untuk ikut bersama kakak-kakak kelas yang jauh lebih tajir dan populer darinya ke sebuah apartemen kosong. Uang dijadikan motivasi oleh Linda, yang menyimbolkan keinginannya untuk bertahan hidup. It’s a good thing Linda punya mental ini, sebab geng mereka bakal dengan segera terancam keselamatannya oleh sesuatu di dalam sana. Mereka menemukan kulit ular, kertas bergambar mengerikan, dan simbol besar di lantai kamar apartemen. Linda pun panik saat dia melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh teman-temannya. Beberapa bait tulisan yang begitu dibaca membuat Linda dan temannya tercebur ke dalam kolam yang terhubung dengan dunia di mana pocong bisa mengejar mereka dengan celurit.

Hayo yang lagi nonton di pojokan, itu Takut atau Kesempatan?

 

Smartphone adalah ‘senjata’ yang digunakan Linda, protagonis dalam film adaptasi game DreadOut, untuk mengalahkan hantu-hantu yang menyerangnya secara fisik. Bukan kamera antik yang disepuh oleh batu-batu roh seperti dalam game Fatal Frame. Melainkan gadget teknologi mutakhir yang memancarkan flash. Tanpanya, Linda dan teman-teman sudah barang tentu akan celaka. Film menunjukkan kemenangan dalam bergantung kepada hape. Ilmu pengetahuan menang telak atas klenik dan mitos yang-membudaya dalam film garapan Kimo Stamboel ini. Anak-anak sekolah itu bukan saja berhasil membuka pintu portal ke dunia lain, mengusik Kebaya Merah, mencuri keris pusaka miliknya, mereka memberikan perlawanan yang cukup berarti meskipun mereka tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang mereka alami. Untuk sebuah prekuel, dan possibly episode pertama dari dunia yang katanya luas ini, tidak banyak mitologi yang digali.

Tentu saja hal tersebut bisa menjadi hal yang mengecewakan buat para penggemar. Film ini punya kesempatan seperti sebuah kertas yang benar-benar kosong; film bisa menuliskan apapun, menambah kedalaman cerita, memperpanjang aturan dunianya, mengekspansi tokoh-tokohnya, tapi film hanya ‘menulis’ sedikit sekali. Seolah ada garis pembatas yang pantang dilanggar. Dan bahkan Linda dan teman-temannya berani untuk melanggar batas wilayah yang diijinkan oleh penjaga gedung. Film seperti punya ide-ide yang jauh lebih gila, namun tidak semuanya bisa mereka wujudkan. Tidak banyak jenis hantu yang muncul. Pun adegan aksinya terasa agak nanggung, mengingat kiprah sang sutradara di film-filmnya sebelum ini. Jelas, ini masalah batasan umur. Bayangkan jika mereka terus dengan adegan penggal kepala alih-alih potong pergelangan tangan. DreadOut tampil agak jinak dengan efek-efek komputer yang dipasang lebih dominan – sekali lagi, technology triumphs! 

Tetapi bukan berarti film kehilangan sentuhannya. DreadOut berhasil menginkorporasikan gaya khas sang sutradara dengan gaya yang sudah mendarahdaging sebagai cap-dagang gamenya. Menggunakan pergerakan kamera seperti yang kita jumpai dalam Upgrade (2018), Kimo menambahkan intensitas ke setiap lemparan-lemparan yang dikenai kepada para tokohnya. Pergerakan yang aktif dan terasa penuh energi ini membuat kita bisa langsung tahu dengan sekali lihat bahwa film ini ditangani oleh orang yang biasa bermain di ranah aksi thriller yang sadis. Sama halnya dengan musik, suara, dan atmosfer, sekali dengar (dan sekali lihat) para penggemar video gamenya bisa langsung konek bahwa mereka sedang menyaksikan dunia yang sama dengan yang beberapa tahun lalu mereka mainkan. Film mempertahankan apa yang membuat game ini fenomenal; gameplaynya. Bagaimana hantu bisa dikalahkan dengan masuk ke mode layar handphone. Ada beberapa scene yang memperlihatkan Linda memberanikan diri melihat ke layar hapenya, dan ada juga beberapa di mana ia hanya ‘asal’ jepret karena begitu ketakutan. Mengingatkanku kepada diriku yang mulai serabutan jika hantu yang muncul ternyata terlalu mengerikan.

Bahkan buat yang bukan penggemar pun, film turut memberikan service. Komedi dengan gaya candaan yang gak terlalu in-the-face akan membuat kita terhibur. Dan untuk alasan tertentu, film akan menampilkan Jefri Nichol bertelanjang dada.

Dengan rambut dikuncir, Caitlin jadi mirip Ariana Grande ya

 

Game DreadOut sendiri menjadi populer, sebagian besar disebabkan oleh seorang youtuber luar yang meng-upload video dia memainkan game ini, dan itu kocak banget. Aku dulu sempat kepikiran untuk melakukan hal yang sama, karena memang saat memainkannya, ada saja reaksi kocak yang timbul oleh tantangan dan pengalaman yang diberikan. Aku masih ingat ketika aku mulai khawatir ketika baterai hape si Linda sudah tinggal setengah. Actually, aku sempat menanyakan hal ini kepada produser filmnya saat diundang dinner bareng cast, “Apakah nanti di film akan ada adegan Linda panik karena hapenya kehabisan baterai?” karena itu akan menambah lapisan kenyataan dan ketegangan, tetapi pertanyaanku hanya dijawab dengan tawa. Sayangnya, memang, ternyata film tidak membahas ‘masalah teknis’ seperti ini. Sisi vulnerable dari kekuatan Linda tidak mereka eksplorasi. Linda tidak pernah benar-benar terpisah dari senjatanya tersebut. Hapenya bahkan sempat tercebur dan that thing is still working just fine.

Linda dalam film juga tidak banyak diberikan ‘pikiran’ sama halnya seperti Linda pada game, dan ini buatku menjadi masalah. Saat bermain video game, gak papa jika tokoh kita adalah jenis tokoh yang ‘silent’, yang lebih banyak diam, yang tidak tahu apa yang terjadi, karena kitalah yang sebenarnya menjadi tokoh cerita. Pemain yang melakukan pilihan, pemain yang bereaksi. Beda dengan tokoh pada film; protagonis utama kudu tahu apa yang ia lakukan, kita harus mengerti keputusan yang dia ambil berdasarkan apa. Semakin lama, semakin melelahkan melihat Linda berlarian ‘tak tentu arah’, so to speak, well actually Lindanya hapal banget arah karena lokasi film ini enggak begitu luas meskipun seharusnya adalah hutan, karena kita tak punya pegangan apa-apa selain dia ingin menyelamatkan diri. Naskah yang baik adalah naskah yang memberikan dua problem buat tokoh utamanya; problem di luar dan problem di dalam dirinya sendiri. Teror dalam film ini terasa terus bergulir, dan kita tak melihat di mana kesudahannya. Portal itu terbuka menutup sekena keperluan naskah. Kocaknya, kabur dari gerbang yang terkunci lebih susah daripada masuk ke alam gaib, pada film ini.

Dan tidak menolong pula tokoh-tokoh yang lain dibuat begitu menjengkelkan. Film meninggalkan sahabat Linda, Ira, di belakang. Membuat kita stuck dengan tokoh-tokoh yang dialognya seputar berbuat iseng, dan mencari sinyal. Malahan ada satu yang kerjaannya menggebah Linda dan teman-teman untuk masuk dan melanggar batas – clearly he’s up to something. Film tidak memberikan kita ruang untuk mempedulikan teman-teman Linda ini. Jikapun ada keberhasilan, maka film berhasil membuild-up kekesalan kita sehingga nanti begitu hantu muncul dan satu persatu mereka disiksa, kita akan merasakan puas tak terkira.

 

 

Cukup bangga rasanya Indonesia punya film adaptasi video game, yang menunjukkan seberapa jauh negara ini berkembang dalam dunia perfilman dan pervideogame-an. Sebagai sebuah survival horor, film ini menunaikan tugasnya dengan loud-and-clear. Kita melihat makhluk-makhluk menyeramkan, menyerang remaja-remaja tak berdaya yang hanya bisa mempertaruhkan nyawa dengan hape mereka. Film ini punya gaya sendiri yang menjadikannya unik. Sayang, pada penulisan-lah DreadOut paling terhambat dan kemudian jatuh terjengkang. Film tidak mengambil kesempatan mengeksplorasi dirinya sendiri lebih jauh. Seperti mereka terjebak antara portal ‘memuaskan orang banyak’ dengan portal ‘tidak membuat kecewa gamers penggemarnya’. Dan selalu bukanlah hal yang baik terjebak di antara dua hal.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for DREADOUT.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Linda menggunakan hapenya untuk bertahan hidup dari hantu-hantu. Kalian gimana, bisakah kalian hidup tanpa hape?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

RALPH BREAKS THE INTERNET Review

“Sometimes being a friend means mastering the art of timing.”

 

 

 

Ketika memikirkan tentang penjahat dalam video game, kita akan membayangkan monster supergede yang bertampang menyeramkan, dengan kekuatan dan ketangguhan super. King Koopa, M Bison, Shao Kahn, adalah bos-bos video game yang bangga sebagai penjahat. Beda ama Ralph (John C. Reilly mengundang simpati kita lewat suaranya) dari game Wreck-It Ralph yang pengen berbuat baik. Dalam film pertamanya enam tahun yang lalu (timeline cerita sekuel dibuat paralel dengan waktu IRL kita), Ralph si raksasa penghancur bertualang untuk membuktikan kebaikan hatinya yang sering disalahartikan hanya karena dia merusak apapun yang ia sentuh. Ralph pada akhirnya berhasil mengukuhkan diri sebagai penjahat video game paling ‘manis’ seantero dunia arcade tempat mereka tinggal. Ralph bersahabat erat dengan Vanellope von Schweetz (Sarah Silverman adalah manusia langka yang bisa terdengar annoying sekaligus cute), ‘Princess’ super-enerjik dari game balap anak-anak Sugar Rush di mesin game sebelah.

Dalam sekuel ini kita akan melihat Ralph dan Vanellope benar-benar sobat kental. Meminjam istilah 90an – karena film ini erat dengan konsep nostalgia – kedua tokoh kita ‘nempel terus kayak perangko’. Ralph tetaplah Ralph; dia masih selalu ingin membantu walaupun hasil perbuatannya di luar yang ia harapkan. Mendengar Vanellope merasa bosan dengan lintasan balap yang itu-itu melulu – semua jalan pintas rahasia di dunia gamenya sudah ia temukan, Ralph membuatkan ‘lintasan’ baru. Yang berujung dengan rusaknya mesin game Sugar Rush, membuat Vanellope dan teman-teman kehilangan tempat tinggal. Dan Vanellope pun tetaplah Vanellope, cewek ini suka petualangan dan selalu menghargai apa yang dilakukan oleh Ralph. Vanellope melihat masalah ini sebagai kesempatan untuk mengarungi dunia ‘game’ yang baru saja dipasang di toko arcade mereka. Dia langsung menyetujui rencana Ralph untuk masuk ke internet demi mencari suku cadang untuk mesin Sugar Rush. Satu lagi rencana ‘jenius’ buah pikiran Ralph yang bekerja tidak sesuai dengan yang ia harapkan; lantaran Ralph melakukan itu semua demi Vanellope bisa tetap tinggal di arcade. Hanya saja, menapaki kegemerlapan dunia internet yang tanpa batas – mengalami asiknya game balap berbahaya yang tanpa aturan – Vanellope merasa dia sudah menemukan rumah barunya.

syukur peran Fix-It Felix dikurangi dan kita dapat Gal Gadot instead!

 

Seperti film pertamanya yang membuai penonton dengan berbagai referensi video game arcade, film kali ini juga secara konstan membuat kita mengangguk, bertepuk, dan tertawa oleh banyaknya easter egg yang kali ini berasal dari dunia internet. Dunia maya tergambarkan dengan begitu immersive oleh animasi yang penuh warna. Ya kita akan melihat banyak produk placement, namun mereka ‘ditempatkan’ dengan kreatif. Environment terlihat sama sibuknya dengan kejadian dalam cerita. Internet adalah tempat tersibuk di dunia, dan film dengan cerdas menggambarkan hal tersebut. Berbagai user berseliweran ke sana kemari, gimana iklan-iklan pop up bermunculan dan dikaitkan ke dalam cerita, bagaimana komen-komen dan situs seperti ebay dan plattform video dan social media bekerja. Tidak seperti The Emoji Movie (2017)  yang hanya menampilkan tanpa benar-benar meniupkan ruh ke dalam bobot cerita, Ralph Breaks the Internet berhasil membuat kita peduli kepada tokoh-tokohnya karena mereka bukan sekedar produk tak bernyawa. Dan ini membuat perbedaan yang besar, tentu saja. Jika kita tidak peduli dengan tokoh cerita, kita akan segera mengenali produk-produk seperti google, youtube, snapchat, instagram, kita akan memandang kemunculan mereka sebagai hal yang negatif. Namun jika seperti yang dilakukan oleh film ini – kita benar-benar ingin tahu apa yang bakal terjadi sama Ralph dan Vanellope, kita akan melihat produk-produk tersebut sebagai bagian dari cerita; sebagai elemen yang turut membentuk tubuh narasi.

Anak-anak mungkin memang akan melihat film dari sisi kelucuan dan petualangan yang seru. Yang mana film memang melimpah dari dua hal tersebut. Namun tema yang menjadi hati cerita tetap akan tersampaikan dan bisa mereka bawa pulang untuk diobrolin kepada orang tua ataupun pendamping dewasa yang juga peduli akan cerita yang diangkat. Film ini bersuara tentang perasaan insecure; rasa cemas kita terhadap banyak hal di sekeliling kita yang tak bisa kita kontrol. Vanellope akan berpendar, nge-glitch setiap kali dia merasa insecure. Ralph yang tubuhnya gede, actually adalah tokoh yang paling vulnerable karena dia mempunyai rasa insecure yang paling besar yang berasal dari rasa takutnya kehilangan satu-satunya orang yang menganggap dia berjasa – yang memahami value dari tindakannya. Di babak akhir, film menggunakan virus komputer sebagai metafora dari racunnya perasaan insecure yang semakin menyebar. Seluruh dunia internet hancur hanya karena kecemasan satu orang.

Penting untuk menjadi diri sendiri. Maka dari itu, sama pentingnya untuk kita membiarkan orang lain menjadi diri mereka, untuk memilih apa yang mereka mau – yang mereka sukai, yang mereka yakini. Teman satu geng kita tidak harus menyukai hal yang sama dengan kita. Kita tidak harus punya selera, punya idola, atau bahkan punya seragam yang sama untuk menjadi satu kelompok. Teman kita enggak harus menjadi sama seperti kita. Enggak setiap saat kita harus bersama dengan mereka.

Ralph breaks our hearts

 

 

Aksi-aksi dalam film tergerak oleh Ralph yang mengambil resiko, dan sama seperti itulah, film juga bekerja terbaik saat melakukan pilihan yang beresiko. Misalnya ketika Vanellope bertemu dengan para Princess dari universe Disney. Film tidak sebatas menampilkan Cinderella, Snow White, Ariel, Elsa, Moana, dan Vanellope, dan banyak lagi dalam satu layar. Film sungguh-sungguh melakukan sesuatu dengan mereka, kita mendengar candaan tentang tropes dan pakem para putri tersebut – gimana sebagian dari mereka butuh diselamatkan oleh pria berbadan kekar, gimana kemampuan bernyanyi mereka datang dari menatap air dengan sedih, dan gimana sekarang mereka ‘hanya’ sebatas idola sebagai jawaban dari kuis trivia. Film dengan berani make fun of that, sehingga hasilnya beneran lucu. Kita melihat mereka berganti baju menjadi gaya kekinian; it’s a fresh look. Film memainkan dengan cerdas soal Vanellope yang technically juga princess Disney, tapi dia begitu berbeda – Vanellope lebih suka tinggal di dunia balap berbahaya ketimbang di kastil impian. Film seharusnya lebih banyak memperlakukan referensi-referensi seperti begini. Mereka dibecandaain, bikin tokoh yang sudah dikenal melakukan sesuatu di luar kebiasaan, seperti pada game Kingdom Hearts di mana kita bantuin tokoh-tokoh Disney memecahkan masalah yang sudah diekspansi.

Tapi masih sering kita mendapati referensi yang hanya ada untuk bikin kita senang. Seperti pada kasus film Ready Player One (2018) belum lama ini. Menjadi begitu kekinian sekarang, dengan elemen-elemen internet dan hal modern lain, film ini sesungguhnya masih harus melewati ujian waktu untuk membuktikan diri bisa menjadi timeless – membuktikan ceritanya bisa berdiri sendiri tanpa semua referensi dan lelucon internet tersebut. Film yang pertama, dengan referensi jadul, setidaknya sudah membuktikan diri enak untuk ditonton di era sekarang. Aku pengen melihat lebih banyak eksplorasi. Di satu titik cerita, Ralph akan mengunjungi Dark Web yang seharusnya bisa diberikan lebih banyak pengaruh lagi. Ralph juga sempat berusaha bikin video viral untuk mendapatkan uang; di sekuen ini diselipkan komentar soal perilaku orang-orang di sosial media, tapi tidak benar-benar terasa menambah banyak bagi arc Ralph ataupun keseluruhan cerita. Malah lebih seperti stage yang harus dilewati dalam permainan video game. Aku paham mungkin masalah durasi, jadi film berusaha tampil seefektif mungkin, dan mereka mengambil resiko di sana-sini, menyeimbangkan porsi sehingga paling tidak, produk akhirnya tidak terlalu kelihatan sebagai proyek cari duit korporasi yang ingin menjual banyak sekali merengkuh dayung

Internet adalah soal waktu. Begitu juga dengan pertemanan. Ada waktu untuk diam. Ada waktu untuk membiarkan orang mengejar mimpi mereka. Ada waktu untuk menunggu sekembalinya mereka di sana

 

 

 

 

Film ini bekerja lebih dari sekedar pengganti babysitter, you know, lebih dari sekedar bikin anak-anak tenang selama dua jam kurang. Di balik semua keriuhan produk dan referensi itu, dia memang punya gizi untuk dinikmati. Kebanyakan film anak-anak akan bercerita tentang pentingnya untuk bersatu, untuk bekerja sama, mengalahkan orang jahat dan menyelesaikan masalah. Film ini – seperti juga lagu anti-princess yang diusungnya – berani membuat anak-anak untuk berani bukan hanya menjadi diri mereka sendiri, melainkan juga memberi ruang bagi teman atau sahabatnya untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Mungkin terbaca sedikit depressing, tapi film ini benar-benar meriah dan menyenangkan, dan ini adalah prestasi tak terbantahkan dari kelihaian bercerita dan memanfaatkan konsep dalam upaya menyeimbangkan toneAn all-around entertainment yang sukses menghibur banyak kalangan dalam berbagai tingkatan, setidaknya untuk saat sekarang
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RALPH BREAKS THE INTERNET.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Orang berubah. Pernah gak sih kalian ngerasain teman yang dulu dekat, kini cuma ngeliat namanya di instatory, atau cuma kontakan sekali setahun pas ngucapin selamat ulangtahun? Kenapa, menurut kalian, kita perlu move on? Seberapa clingy sih, clingy dalam pertemanan itu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

DREADOUT: Menjawab Ketakutan Para Fans – [Movie Preview]

 

Film horor Indonesia pertama yang diangkat dari game!

um… wait, let me rephrase that..

Game Indonesia pertama yang begitu sukses secara internasional akhirnya diangkat menjadi film!!!

panjang, but I like the sound of that better.

 

Karena DreadOut buatku, dan aku yakin buat penggemar game survival-horror lainnya juga, adalah game yang fenomenal. Aku malah pertama kali tahu game ini dari channel youtuber luar. Padahal game PC ini terlahir di Bandung, lho! Melalui crowdfunding, developer Digital Happiness berhasil mewujudkan khasanah mitologi horor lokal, terinspirasi dari mekanik game Fatal Frame (2001) dari Jepang, menggabungkan dua elemen tersebut membentuk dunia dan atmosfer yang nyata-nyata fresh nyeremin, seketika membuat para gamer di seluruh dunia berlomba-lomba untuk berpetualang motoin hantu bersama tokohnya, Linda. Jadi, mengatakan ini film pertama yang berani mengadaptasi dari game (lewatlah sudah adaptasi novel dan personal literatur) terdengar agak sedikit ‘mengecilkan’ di telingaku, lantaran, enggak setiap hari kita melihat ada game buatan Indonesia yang menarik perhatian dunia seperti yang berhasil dilakukan oleh game Dreadout. It was more than deserved to have its own movie. Dan lagi, buatku yang penggemar film, sekaligus penggemar game, also, horor adalah genre favoritku untuk keduanya, Dreadout adalah kulminasi dari apa yang namanya ultimate entertainment.

Fans sudah lama bermain-main dengan kemungkinan misteri Linda dengan The Lady in Red diangkat ke layar lebar. Beruntung produser Wida Handoyo
(Petak Umpet Minako)
yang kebetulan juga penggemar horor, dan pengembang DreadOut Rachmad Imron, peka dan actually listen to the fans, and long story short, ini teaser film DreadOut garapan mereka:

 

 

Tapi…. kok agak lain ya?

Seperti lumrahnya film adaptasi video game di luar negeri, DreadOut ini cukup ‘mengerikan’ buat fans gamenya. Karena ada ekspektasi, ada standar yang sudah di-set. Apakah film ini nantinya akan sesuai dengan ekspektasi. Kita takut filmnya nanti enggak sama. Takut kalo nanti hanya berupa proyek cari duit yang gagal paham mengenai apa sih yang membuat gamenya dicintai in the first place. Aku punya segudang pertanyaan yang menumpuk setelah melihat teaser tadi, to be honest, sebagian besar berupa keraguan.

Beruntung, Minggu tanggal 11 November lalu, aku dapat kesempatan duduk semeja bareng cast dan pembuat film DreadOut. Di antaranya ada Caitlin Halderman, Irsyadillah, Wida Handoyo, dan Rachmad Imron. Kita cuap-cuap seru seputar film ini. Pertanyaan pertamaku literally apakah pocong naik motor bakal ada dalam film hahaha.. Jadi ini dia, lima hal yang dikhawatirkan oleh para fans, dijelaskan dengan penuh passion oleh tim DreadOut:

 

Ceritanya kok beda?

Game DreadOut menceritakan tentang Linda bersama teman-teman sekolah dan ibu Guru mereka yang ‘terdampar’ di sebuah kota mati. Linda menemukan dia bisa melihat makhluk gaib lewat smartphonenya. Sebagai pemain, kita memerankan Linda; menguak misteri di kota, di sekolah kosong, di bangunan-bangunan angker, motoin hantu-hantu yang muncul sebagai cara untuk survive. Ada tema reinkarnasi pada plot game. Dari teaser, set versi film memang cukup mirip, hantu-hantunya bisa kita kenali, tapi ada sedikit perbedaan dari rangkaian adegan. Menurut sinopsis, film ini bakal bercerita tentang Linda dan teman-teman sekolahnya yang berkunjung ke apartemen kosong, dalam usaha mereka mencari konten yang bisa viral. Mereka menemukan portal ke dunia lain, dan semua kengerian terlepas dari sana. Tokoh-tokohnya pun ada yang tidak kita tahu. Seperti Irsyadillah, salah satu cast yang hadir malam itu, yang memerankan Beni – tokoh yang tidak ada di game.

Mbak Wida dan mas Imron menjelaskan, naskah film yang dikembangkan dalam empat tahun ini (gamenya rilis 2013) dikawal ketat oleh pengembang game. Perbedaan yang kita rasakan di teaser dikarenakan film DreadOut mengambil timeline sebelum kejadian yang dialami Linda di dalam game. IT’S A PREQUEL STORY. Film basically membawa kita berkenalan dengan Linda lebih jauh lagi, siapa dirinya, darimana dia mendapat ‘kekuatan’ bisa melihat makhluk halus lewat media tertentu. Film ini membahas akar dari mitologi semesta DreadOut, termasuk menggali lebih dalam hubungan Linda dengan Lady in Red dan The Three Sisters yang jadi bos terakhir dalam versi game.

 

 

Kok Kimo Stamboel sih?

Jika memikirkan sutradara Kimo Stamboel dan video game dalam satu frame konteks, maka aku akan kepikiran Mortal Kombat. Rasanya lebih klop. Kimo yang rekam jejaknya menggarap horor dengan aksi brutal berdarah-darah tampak long stretch jika dikaitkan dengan DreadOut; game survival yang senjata utama protagonisnya (cewek pula) adalah kamera. Hanya ada sedikit porsi aksi dalam game yang mengutamakan menguak misteri ini. Yang aku ingat hanya ada satu adegan laga di mana kita harus kabur dari kejaran teman Linda yang berubah menjadi semacam zombie. Jadi, sebenarnya ke mana arahan film ini akan dibawa? Apakah Kimo adalah pilihan yang tepat jika mengincar horor untuk remaja?

“Awalnya, memang film ini rasa mas Kimo banget” Mas Imron mengenang kisah pertama kali proyek DreadOut mendapat lampu hijau, “Sedari bikin gamenya dulu, saya memang sudah berangan-angan kalo ntar dijadiin film, sutradaranya kalo bisa Kimo Stamboel” Harapan tersebut kewujud, karena Kimo-nya sendiri yang menawarkan diri ikut kerja sama. Ada alasannya kenapa butuh empat tahun untuk merampungkan naskah. Masing-masing kepala bekerja untuk mencari jalan tengah yang paling baik. “Semuanya terasa kekeluargaan,” kata mbak Wida. Banyaknya re-write, brainstorming ide-ide, semua saling mendengarkan dan mengisi.

Rest assured, film DreadOut akan tetap punya ciri khas Kimo sebagai sutradara, ciri yang sudah menjadi trademark dan yang digemari oleh fans – mbak Wida bilang film akan jatuh di rating 17 – dengan tidak mengenyahkan elemen-elemen yang membuat gamenya begitu diminati. Elemen seperti memotret hantu tetap dijadikan sebagai poin utama.

 

 

Lindanya gimana, gak salah casting tuh?

Aku sendiri tidak pernah begitu mempermasalahkan soal casting, malah sebagai tukang review film, aku selalu senang jika ada pemain yang berani mengambil tantangan; yakni peran di luar kebiasaan genre film yang biasa dimainkannya. Apalagi bintang muda seperti Caitlin Halderman, yang masih punya banyak untuk dibuktikan.

Sebenarnya perihal ini, mbak Wida sama mas Imron-lah yang curhat, bahwa mereka mendapat banyak komen dari fans seputar pemilihan pemain regarding penampilan fisik. “Seperti ketika banyak yang protes Lara Croft dimainkan oleh Alicia Vikander,” ujar mbak Wida. Saat mencari pemain, mbak Wida ngescout talent dengan nonton film remaja, dan dia melihat ‘sesuatu’ dari Caitlin. Dia percaya aktris remaja tersebut bisa memberikan sesuatu buat Linda. Untungnya, Caitlin enggak menolak ditawarin main horor.

“Aku gak main gamenya, karena… alasan utamanya sih takut,” gelak Caitlin, “Tapi horor adalah pertama buatku. Aku biasanya main di drama, it’s a big opportunity buatku bisa main di horor, apalagi sutradaranya mas Kimo” Caitlin lebih lanjut menceritakan gimana Kimo ngepush para cast untuk memberikan penampilan yang berbeda, yang enggak standar. “Misalnya meja gerak sendiri nih, kalo di horor lain, kan, biasanya tokohnya ketakutan tapi takutnya itu takut bengong. Nah, mas Kimo mendorong kami untuk memberikan ekspresi takut yang benar-benar mendalam dengan gestur-gestur yang ekspresif,” sambil cerita Caitlin actually memperagakan dengan kocak mana yang takut bengong, mana takut yang nyata.

tips survive di horor game ala Linda dan Beni: Ikutlah menjerit saat yang main gamenya menjerit hhihi

 

Menjalani banyak latihan fisik yang intens, Caitlin bangga bisa melakukan sendiri stun-stun ‘keras’ yang diberikan kepada tokoh yang ia perankan. “Dilempar-lempar. Ditarik-tarik pake sling. Sampe kena celurit. Prop sih, tapi luka juga hahaha” Dari pengkarakteran sendiri, banyak ruang bagi Caitlin untuk menghidupkan Linda. Dalam game, Linda kan hampir enggak ada dialog – dia tipe silent character. Jadi tugas Caitlin-lah untuk meniupkan ruh kepada tokoh ini. “Nanti setelah filmnya keluar, penonton akan melihat Linda dalam film ini dan berpikir, ya inilah Linda yang sebenarnya” kata mas Imron.

 

 

Hantunya muncul semua gak?

Sayangnya, memang tidak semua hantu yang muncul di game bisa dihadirkan di film karena cerita yang mengambil set sebagai prekuel. The Three Sisters akan banyak mendapat sorotan sehubungan cerita yang menggali latar Linda. Tapi jangan khawatir, hantu-hantu lain yang ikonik seperti pocong-pocong bersenjata akan tetap muncul. Bahkan, menurut mas Imron, secara detil Kimo memasukkan throwback elemen-elemen yang ada di dalam gamenya sebagai reference atau ajang seru-seruan yang pasti langsung bisa dikenal oleh penonton yang pernah memainkan gamenya.

Pertimbangan kemunculan hantu-hantu ini adalah mereka tidak mau mengumbar terlalu banyak, para pembuat ingin menyimpan misteri untuk kesempatan yang akan datang.

 

Jadi apakah bakal ada sekuel? What next in line dalam franchise DreadOut?

Mitologi DreadOut memang luas sekali. “Kami memang sudah membuat cabang-cabang cerita dan lore di dunia game tersebut” kata mas Imron. Gamenya sendiri sudah dalam pembuatan sekuel. Harapannya memang filmnya juga bakal ada sekuel lantaran cerita yang begitu kompleks dari semesta ini. Makanya, film DreadOut ingin tampil netral; maksudnya mereka ingin DreadOut tidak hanya membuat penasaran para gamer, namun juga para penonton yang tidak bermain game. Pasar internasional juga turut menjadi inceran mengingat gamenya sendiri memang lebih banyak menuai untung dari pasar luar. “Yang diincar terutama adalah branding productnya” sambung mbak Wida. Mereka percaya para gamer pasti akan menonton film ini, tantangannya adalah bagaimana menarik appeal dari penonton casual. Melihat dari jajaran cast yang sudah punya fans base kuat – mereka juga memasang Jefri Nichol, Marsha Aruan, Hannah Al Rashid, Ciccio Manaserro, Susan Sameh – sepertinya jumlah penonton enggak bakal menjadi masalah buat film ini.

“Kalo game sehits DreadOut yang udah terkenal di luar negeri dibikin filmnya, masa iya sih penggemar game di sini pada gak mau nonton?”

 

 

 

Jadi apakah film ini bakal terhindar dari kutukan-film adaptasi game?

Well, kita hanya bisa menjawab pertanyaan itu setelah film DreadOut tayang bulan Januari 2019 nanti.

thank you, we’ll see you soon

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pada pernah main DreadOut belum? share dong momen terWTF kalian, hantu favorit, kejadian lucu dan segala macem hihi

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SLENDER MAN Review

“Cure for an obsession: get another one”

 

 

 

Dua orang anak cewek mengajak seorang teman mereka ke hutan. Bukan untuk bermain-main layaknya anak berumur dua-belas tahun yang biasa. Mereka mengajak si teman, untuk ditusuk berkali-kali, demi membuat Slender Man senang. Gilanya; cerita tersebut benar-benar terjadi di Winsconsin, Amerika, May 2014 yang lalu. Sayangnya; film Slender Man tidak banyak mengeksplorasi elemen ini, mereka membuat cerita baru yang semakin mengaburkan aspek utama yang bikin sosok Slender Man itu sendiri menarik; Obsesi.

Sejak kemunculannya di kontes photoshop online tahun 2009, Slender Man memang menarik perhatian orang-orang, khususnya fanatik horor. Cerita karangan fans tentang entitas ini, kejadian-kejadian penampakannya, peraturan untuk dapat melihatnya, tips buat selamat darinya, bermunculan di forum-forum internet. Slender Man jadi semacam urban legend era digital. Bahkan sampai dibuatin software gamenya sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak orang yang sudah terobsesi sama makhluk reka ini. Mereka semua ingin percaya makhluk tersebut ada; hingga ke titik puncak; merekalah yang membuat Slender Man eksis di dunia.

Menakjubkan seberapa keras usaha manusia untuk mengejar sesuatu yang kita serahkan hati dan pikiran kepadanya. Obsesi bisa mendorong kita menjadi lebih kreatif, melakukan hal-hal yang tadinya tidak kita bisa. Dan memang menjadi menyeramkan tatkala kita hanya memikirkan satu hal terus menerus dengan berlebihan. Menyangka kita hanya bisa bahagia olehnya saja. Film Slender Man sesungguhnya menawarkan obat untuk obsesi seperti demikian; dengan membuang hal yang kita cinta. Dengan mencari sesuatu yang lain untuk dicintai.

 

 

Selain temanya, film ini punya beberapa ide menarik dan shot-shot gambar creepy untuk membuat kita bertahan menyaksikan. Pencahayaannya membangun suasana gak enak dengan ciamik.Video yang disaksikan para tokoh pada film ini digarap surreal kayak video terkutuk di horor Jepang, Ring (1998) atau The Ring (2002) – versi Amerikanya, jadi gambar-gambarnya yang random itu akan membuat bulu kuduk kita merinding, menghipnotis bukan hanya tokoh film namun jika kita, para penontonnya. Mengenai ide, Slender Man yang menyatroni rumah orang, memanggil mereka lewat video call dan actually menampakkan dirinya lagi melihat apa itu sebenarnya elemen yang serem, lagi seger. Aku akan suka sekali jika bagian tersebut dibahas lebih banyak. Juga ada sekuen horor di perpustakaan, yang memainkan perspektif kamera untuk menghasilkan efek-efek yang disturbing. Tokohnya yang berlarian panik antara rak demi rak, dan gak tau Slender Man bakal muncul di mana. Perasaan ngeri yang hadir saat memainkan gamenya benar-benar terasa di bagian ini.

karena perpustakaan dan buku-buku adalah momok yang nyata bagi remaja

 

Hanya saja Slender Man tidak tahu mau menjadi film seperti apa. Slender Man butuh untuk menjadi film yang senyap. Dalam gamenya, kita gak pernah tahu Slender Man itu munculnya di mana. Kengerian yang menjadi mitos dari sosok ini adalah kita tidak mendengar apa-apa selain suara tapak kaki dan napas kita sendiri. Tapi di film ini, kita tahu setiap kali Slender Man akan muncul. Terima kasih berkat musik gede yang ngasih kisi-kisi dan kesempatan kita untuk membangung antisipasi. Fun nya jadi enggak ada. Terlebih, kita tahu dia bakal muncul, dan yang kita lihat juga adalah sosok CGI. Seramnya musnah sudah.

Mereka bisa saja membuat film found footage atau sesuatu dengan first person point-of-view tentang remaja yang berburu Slender Man, ala Blair Witch, biar sama kayak gamenya. Mereka bisa saja memfokuskan kepada apa sih sebenarnya Slender Man itu, dari mana ia berasal.  It would make a much better movie. Tapi enggak. Alih-alih itu mereka membuat cerita tentang empat cewek remaja yang mempraktekkan apa yang ada pada video ‘bagaimana memanggil Slender Man’ di internet, Slender Man kemudian beneran datang. Mengambil geng cewek tersebut satu persatu, kecuali diberikan sesuatu yang paling dicinta sebagai pertukaran.

makanya yang diculik duluan adalah pemain yang aktingnya paling jago

 

 

Aku seneng juga ngeliat ada Annalise Basso main di sini, karena pemenang Unyu op the Year dua tahun yang lalu punya prestasi nongol di horor yang bagus kayak Oculus (2013) dan Ouija: Origin of Evil (2016). Tapi keberadaannya di Slender Man, meski memang dia yang main paling meyakinkan dan tokohnya yang paling kuat menyuarakan tema obsesi, sama sekali tidak mengangkat banyak buat film ini. Hal tersebut dikarenakan filmnya sendiri demen sekali memindah-mindahkan tokoh utamanya. Katie bisa jadi tokoh utama yang paling menarik dari empat pilihan yang ada, tapi aku juga paham film butuh suatu bukti bahwa stake yang dihadapi tokoh utama enggak main-main. Jadi, kita punya Hallie yang diperankan oleh Julia Goldani Telles yang aktingnya paling biasa aja, Aku gak mengerti kenapa mereka enggak memberikan peran Hallie buat Basso, ataupun kepada Joey King saja – mengingat dia yang paling terkenal di sini. Kenapa harus diserahkan kepada bintang lain, kalo toh hanya untuk membuat penonton melompat-lompat pindah antara Wren (tokoh yang diperankan oleh King) dengan Hallie. Bukannya Hallie gak punya motivasi di cerita, cewek ini punya. Dia atlet lari di sekolah yang gak benar-benar menyukai apa yang ia kerjakan, dia juga punya adik yang look up to her, dia naksir sama cowok di sekolah. Namun dengan menggonta-ganti sudut pandang, arc nya si Hallie ini jadi terasa mentah, kita jadi gak pernah bisa betah di belakang si tokoh. Eksplorasi tokohnya dangkal sekali.

Empat peran sentral ini gak banyak ngapa-ngapain. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan adegan chat layar handphone. Bahan obrolan mereka tak jauh dari seputar cowok. Mereka menghabiskan waktu dengan menonton bokep di laptop bareng-bareng. Di babak ketiga, Hallie malah mangkir dari Slender Man dan pergi kencan ke rumah cowok. Bicara soal pindah obsesi, huh?

Film juga lanjut membuat mereka bego untuk alasan yang tak jelas. Seperti saat mereka menutup mata dengan kain supaya enggak melihat Slender Man, dan di detik pertama ada bunyi di hutan itu, ada satu tokoh yang langsung mengintip dari balik kain penutup matanya. Wren mencemooh Hallie yang enggak mengorbankan piala dan medali larinya kepada Slender Man, terasa datang entah dari mana. Karena meski diceritakan Hallie jago lari, kita tidak pernah benar-benar melihat dia cakap dalam berlari. Malah lucu sekali di adegan akhir; Hallie lari dan dia tertangkap. Lebih lucu lagi, Hallie saat itu sebenarnya lari dari sikap kepahlawanan; like, dia datang untuk menyerahkan diri demi menyelamatkan seseorang, dan ketika Slender Man muncul, tebak apa yang terjadi: Hallie ngibrit – lupa ama niat baik dan pelajaran yang sudah ia sadari. Ngibrit dan ketangkep. Sukses berat film ini bikin protagonisnya terlihat kayak pengecut tanpa nilai baik sama sekali.

 

 

 

Perasaan horor pun semakin merayapiku yang duduk si studio itu, menonton makhluk supranatural yang membuatku penasaran – karena aku tidak pernah bisa menamatkan gamenya. As I watched cerita yang tak benar-benar padu, tema obsesi yang berdenyut lemah di balik hingar-bingar jumpscare, gambar-gambar creepy yang menjadi mentah karena arahan yang tak berjiwa, tokoh-tokoh yang punya karakter sama banyaknya dengan pohon-pohon, sudut pandang cerita yang berganti-ganti, dan mendengar bapak di kursi sebelahku yang mendengkur keras – tertidur, aku sadar akan ketakutanku yang menjadi nyata; bahwa obsesiku soal horor sudah membuatku harus mengorbankan waktu dan duit yang berharga. Tapi kuakui, sebenarnya bisa saja film ini menjadi lebih buruk dari ini, lantaran tema dan ide menarik dan gambar-gambar creepy yang ia punya.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SLENDER MAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

RAMPAGE Review

“Human beings are the only species capable of deceiving themselves and other people.”

 

 

Bagaimana cara membuat kota porakporanda dan manusia dicabik-cabik hewan-hewan raksasa menjadi sebuah tontonan yang fun dan enggak bikin trauma? Itulah tantangan yang dihadapi Brad Peyton ketika dia menyutradai film yang diadaptasi dari video game klasik yang pertama kali muncul di mesin arcade yang masih pakai koin. Rampage di PS, dulu jadi salah satu kaset favoritku untuk menghabiskan waktu pas puasa. Bermain Rampage, gamer akan bersenang-senang sebagai manusia yang berubah menjadi monster karena eksperimen, dengan misi utama mengamuk menghancurkan gedung-gedung, menepuk helikopter tentara layaknya lalat, sambil sesekali menyantap manusia untuk menambah nyawa. Dan hal itu jualah yang pastinya dicari oleh gamer dan orang-orang yang pergi membeli tiket film Rampage; demi ngelihat aksi seru para monster.

Tapi tentunya bikin film panjang yang isinya melulu monster hancurin gedung dapat dengan cepat menjadi monoton. Kita bakal bosan juga. Brad Peyton paham film yang baik harus punya hati, harus lekat ke penonton. Jadi dia nge-grounded film dengan cerita berbasis persahabatan manusia dengan binatang. Dwayne Johnson berperan sebagai Davis Okoye, ahli primata di sebuah penangkaran. Dia jadi begitu akrab dengan gorilla albino yang dulu ia selamatkan dari kawanan pemburu liar. ‘Begitu akrab’ sepertinya memang agak mengecilkan, karena Okoye dan George si gorilla ini benar-benar punya hubungan yang unik. Mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat, mereka saling ngeledek sebagai cara menunjukkan rasa peduli. Okoye dan George udah kayak abang adek deh. Eventually, George terkena dampak dari kapsul eksperimen yang jatuh dari satelit. Bersama seekor serigala dan buaya, George membesar, menjadi beringas, termutasi, dan oleh akibat ulah pimpinan eksperimen yang ingin mengambil sampe mereka buat diduitin, tiga monster ini terpanggil pergi ke Chicago. Menghancurkan apapun dalam perjalanan. Membuat bule-bule di sana teriak stress. Satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan kota adalah Okoye, karena dia mengenal George, dan tentu saja dia berharap dia masih bisa menyadarkan sobat berbulunya itu menjadi seperti sedia kala.

Okoye lebih suka bergaul dengan binatang dibandingkan dengan manusia. Sedari babak awal kita diperlihatkan gimana Okoye biasa-biasa aja ketika cewek yang ia bimbing menunjukkan ketertarikan. Ketika ditanya “Lo aneh banget sih?” Okoye menjawab enteng bahwa binatang lebih mudah dipercaya. Dan itu benar adanya. Walau memang ada juga binatang yang mengenal konsep bohong, namun mereka melakukannya demi survival. Tidak seperti manusia yang demen berbohong untuk memanipulasi, untuk mencari keuntungan semata. Kita bahkan menipu diri sendiri bila perlu. Binatang harus belajar dulu baru bisa bohong. Sebaliknya, manusia; yang musti kita pelajari justru adalah bagaimana cara untuk jujur.

The Rock di sini bukan People’s Champion, melainkan Animal’s Champion

 

Bobot cerita begitu sepertinya dinilai terlalu besar dan memberatkan apa yang mestinya menyenangkan. Jadi, Peyton sekali lagi memutar otak; maka akhirnya ia menjadikan Rampage sekaligus sebagai dumb action movie. Adegan pengenalan tokoh yang cool tadi, di mana The Rock ngobrol ama gorilla, seketika menjadi receh berkat gestur jari kurang ajar yang dilayangkan oleh George. Dan kita tertawa. Untuk kemudian lebih banyak lagi makian dan sumpah serapah yang menyusul; film ini dikasih PG-13 bukan hanya karena ada potongan tubuh. Dan kita tertawa. Merasa belum cukup, film membuat kematian orang-orang karena dampak dari serangan monster-monster tersebut sebagai bahan becandaan, kematian massal bukanlah hal serius dalam film ini. Dan kita juga tertawa.

Inilah masalah kenapa film adaptasi video game itu seringkali berkualitas di bawah garis ‘lumayan’. Karena pembuat filmnya enggak mengerti apa yang membuat video game yang mereka adaptasi begitu digandrungi. Point dari gamenya biasanya jadi hilang, atau dipindahkan. Mereka menambahkan hal-hal yang bahkan tidak diminta oleh penggemar video gamenya. Tomb Raider (2018) adalah pengecualian, film itu benar-benar terasa seperti video gamenya, baik dari aksi maupun cerita.

 

Tidak ada yang mengharapkan cerita dalem sekelas Oscar dengan karakterisasi berlapis-lapis ketika menonton Rampage. Tapi, toh, ceritanya berusaha menggali lebih, setelah mengganti elemen aslinya. Kemudian mereka menambahkan elemen konyol supaya terlihat menyenangkan. Kenapa mesti mengganti sedari awal coba? Seperti  yang kita tahu, dalam video game, monster-monster itu adalah manusia yang berubah karena eksperimen yang gagal. Di film ini, mereka menggantinya menjadi binatang liar, kecuali George. Bukankah versi yang manusia mestinya sudah punya kedalaman cerita jika difilmkan; akan ada dilema moral yang menarik ketika kita ingin membunuh monster yang membuat kerusakan ketika kita tahu tadinya dia adalah manusia yang jadi korban eksperimen? Gak perlu repot-repot mengganti lalu menambah ini itu, kan. Atau kalolah tantangan yang pembuat film ini cari, kenapa mereka gak sekalian aja membuat George menjadi tokoh utama – dia kan dibuat punya perspektif sebagai gorila yang dibesarkan dan ngebond sama makhluk yang satu spesies dengan yang membunuh ibunya, dan kemudian dia dapat kekuatan yang basically membuat kelangsungan spesies itu ada di tangannya yang jadi segede mobil. Tapi enggak. Film lebih memilih untuk menjadi generik, dengan memancing unsur fun di tempat yang gak bener.

Dialog film ini parah banget. Lelucon yang dilontarkan jatuh di antara klasifikasi ‘garing’ dengan ‘miris’. “Dijadiin asbak seseorang” adalah kalimat favoritku. Tokoh-tokoh manusia film ini lebih terasa seperti tokoh video game ketimbang para monsternya. Sejak dari zaman dia bergulat pake kolor di atas ring, The Rock sudah punya kharisma luar biasa, tapi penulisan film ini membuatnya dia jauh dari sekadar kharisma. Okoye ini manusia fantastis yang selamat dari apapun.  Jatuh dari helikopter, terjun bebas dari gedung yang runtuh, ditembak di perut, dia dihajar bertubi-tubi, dan dia ngesold nothing. Makanya kita juga enggak ngerasakan apa-apa. Dia selamat tanpa cedera berarti padahal dia melakukan hal-hal yang mestinya hanya bisa masuk akal di dunia video game. Tidak ada sense realism di sini, dan sementara itu kita diharapkan peduli sama drama yang berusaha cerita angkat. Masalah terbesar film ini memang terletak di penulisan. Enggak bisa setengah-setengah, jadinya bakal keteteran, Tokoh yang diperankan Naomi Harris misalnya, tidak banyak yang ia lakukan selain berlarian dengan tampang bingung sambil bertanya apa yang harus dilakukan selanjutnya kepada Okoye. Si Okoye ini memang bisa apa saja. Rencana yang ia bikin di menit-menit terakhir selalu berhasil. Hampir seluruh bagian aksi film dilakukan dengan formula demikian.

Tiga dari empat tokoh ini tidak pernah disebut dan kelihatan lagi setelah babak pertama berakhir

 

Rampage memutuskan untuk bermain-main dengan tokoh manusia. Mereka dibuat gede hingga gak make sense. Padahal aku suka loh sama desain monsternya. Serigala yang punya selaput sayap, gorila putih, yang paling keren adalah monster buayanya. Bagian terbaik dari film ini mungkin adalah Jeffrey Dean Morgan sebagai agen FBI yang aktingnya maksimal, meski sebenarnya tokoh yang ia perankan hanya device untuk memfasilitasi tokoh utama. Bagian terburuknya? Aku bilang, duo penjahatnya. Mereka dibuat begitu culas, dan mereka komikal banget – sampe ke penampilannya. Yang cewek akan mengenakan gaun merah di akhir cerita, hanya supaya kita bisa bernostalgia dengan video gamenya; actually di game akan ada cewek bergaun merah yang bisa kita makan sebagai bonus optional. Film butuh alasan yang menjadi sumber dari eksperimen ilmiah yang jadi sumber kekacauan, jadi kita dapat dua orang yang mengepalai proyek tersebut. Dua orang ini enggak peduli sama apapun, motivasi mereka totally uang, dan kita sering banget dicutback melihat mereka menyusun rencana jahat, yang sebenarnya konyol.

Dalam usaha terakhir mengaitkan film dengan video game, kita dicekoki sebuah easter egg, dengan harapan kita girang saat melihatnya. Di kantor si duo penjahat, kamera akan memperlihatkan adegan dengan mesin arcade Rampage di latar belakang. Selalu senang rasanya melihat referensi, namun alangkah baiknya kalo referensi tersebut punya hubungan atau digunakan secara paralel dengan cerita. Sebab apa yang dilakukan film ini hanya sebatas meletakkannya di sana. Kenapa ada mesin game di kantor itu? Apa mereka menciptakan eksperimen karena terinspirasi game? Kalo gitu, wah hebatnya kebetulan yang terjadi, nama-nama monster di game dan di dunia mereka sama! Wow magic….

 

 

 

Film ini adalah definisi dari ‘film popcorn’. Seru, tapi enggak benar-benar meninggalkan bekas. Enak untuk ditonton, namun kita akan dengan cepat melupakannya, begitu film serupa datang. Dalam kasus film ini, ceritanya punya unsur drama yang emosinal hanya saja diceritakan dengan sangat cheesy. Tokoh-tokohnya membuat keputusan di menit terakhir yang dengan sukses menyelamatkan mereka. Padahal yang ingin kita lihat adalah monster menghancurkan kota. Memang, kita mendapatkan itu di babak terakhir. Akan tetapi, untuk sampai ke sana, kita harus melewati cerita generik yang membuat kita terombang ambing antara drama dengan lelucon maksa, yang bahkan tidak benar-benar membuat kita teringat akan karakter video gamenya. Adaptasi video game itu susah, dan ini salah satu contoh gagalnya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 gold stars out of 10 for RAMPAGE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

READY PLAYER ONE Review

“Reality is broken, game designers can fix it.”

 

 

Kita berkomunikasi dengan studio film, dengan Hollywood, melalui dompet kita. Mereka mendengarkan kita dari apa yang terjadi kepada Wreck-it-Ralph, Deadpool, It, Stranger Things. Dan Scott Pilgrim, yea, film ini meminjam cukup banyak dari penyelesaian dan aspek pada Scott Pilgrim. Tayangan yang populer selalu adalah tayangan yang berakar kuat pada rerefensi dan nostalgia. Tidak ada yang bisa mengalahkan sensasi kesenangan melihat hal-hal yang kita sukai dihidupkan kembali. Dan tanpa pake loading keraguan lagi, Ready Player One adalah salah satu film paling nerd yang pernah dibuat. Dalam hatiku teriak-teriak senang sepanjang film ini demi ngeliat referensi demi referensi berseliweran. Video game, anime, kartun, film, segala pop-culture terutama dari tahun 1980an senantiasa menghiasi layar setiap framenya, sehingga aku jadi capek sendiri.

Mengambil tempat di kota Columbus di masa depan, Ready Player One melandaskan dunia yang sudah demikian canggih teknologi gamenya sehingga orang-orang, bukan hanya remaja kayak Wade Watts, lebih suka untuk log in dan menjalani kehidupan mereka di dalam Oasis, sebuah semesta virtual reality di mana kita bisa menjadi siapapun, berkekuatan apapun yang kita mau. Oasis diciptakan oleh seorang gamer yang sangat jenius, namun begitu eksentrik sehingga menjadi misterius (bayangkan perpaduan antara Steve Jobs dengan Willy Wonka). Sebelum meninggal dunia, si pembuat ini merancang permainan terakhir di dunia Oasis, di mana dia menyembunyikan tiga kunci entah di mana di dalam jaringan game-game tersebut. Tiga kunci yang jika ditemukan akan menghantarkan pemain mendapatkan telur emas, berupa kontrak yang akan membuat si pemenang sebagai satu-satunya orang yang mendapat kontrol penuh atas Oasis. Tak terhitung jumlahnya gamer yang mencoba memenangkan tantangan ini. Wade, sejumlah temannya, wanita misterius beruser name Art3mys, dan petinggi perusahaan virtual reality yang culas adalah beberapa dari yang menginginkan Oasis untuk kepentingan mereka.

gg, noob, gg.

 

Tentu saja Ready Player One akan sangat luar biasa dari segi visual. Sekuen aksi-aksinya dazzling gilak! Sepertinya tidak ada yang bisa mengalahkan Steven Spielberg dalam memfilmkan suatu adegan sehingga perspektifnya terasa begitu menganggumkan. Bagian balap-balap di sekitar awal film itu adalah bukti yang bisa kita lihat dengan mata kepala langsung. Apa yang mau ia tampilkan kelihatan semua tanpa membuat kita keluar dari konteks sudut pandang tokoh utama, scene blocking yang luar biasa. Dan betapa cepatnya semua itu terjadi, beberapa shot tampak mulus melebus menjadi satu. Belum lagi penggunaan musik dan efek suara yang bertindak lebih dari sekadar latar belakang. Segala teknik filmmaking master itu bisa kita saksikan sepanjang film ini bergulir. Spielberg juga paham dia tidak harus terlalu mengikuti buku ketika mengadaptasi jadi film, lihat saja Jurassic Park nya. Spielberg tahu dia harus melakukan penyesuaian, dan itu pula yang ia lakukan pada film ini. Pembaca bukunya akan menemukan beberapa adegan tambahan yang tidak ada pada source asli dan itu hanya membuat pengalaman menonton menjadi semakin mengasyikkan. Memang, film ini tetap terlalu panjang, babak tiga terasa sedikit diulur-ulur, tapi menurutku masalahnya terletak kepada penokohan yang memang tidak semenakjubkan teknis dan pengalaman sinematis yang disuguhkan filmnya.

Reperkusi dari banjir referensi pop-culture yang kita temukan sepanjang film adalah, filmnya sendiri akan terasa bergantung oleh hal tersebut. Kita akan gampang terbiaskan demi melihat Batman, Ryu, The Shining, motor Akira, Iron Giant, dan banyak lagi, bergantian muncul di layar. Aku gak akan bohong aku terkekeh-kekeh menyaksikan mereka semua. Namun aku juga gak akan bohong, referensi-referensi itu pada akhirnya terasa hambar. Mereka sekilas lewat saja. Sementara yang sebenarnya kita butuhkan adalah koneksi emosional yang bertahan lama, yang membuat kita memikirkan para tokoh cerita.

Secara singkat, beberapa adegan menunjukkan kepada kita kehidupan rumah Wade (Tye Sheridan cocok sekali sebagai nerd yang penyendiri). Dia tinggal bareng bibi dan pacar bibinya yang abusif. Dari momen-momen ringkas itu kita tahu bahwa Wade tidak bahagia hidup bersama mereka, rumahtangga mereka penuh kekerasan dan ancaman, sehingga tentu saja kehidupan di dalam dunia video game menjadi alternative menyenangkan buat Wade. Dia lebih betah sebagai Parzival di Oasis. Nah, karakternya di dalam sinilah yang hampir sama aja dengan gak ada. Parzival enggak mau bikin klan, tapi toh dia punya beberapa orang teman yang rela membantunya menyelesaikan misi di game. Parzival pun bertemu Art3mys (Olivia Cooke main keren banget di sini), dan seketika ia jatuh cinta. Terasa sangat diburu-buru, namun aku bisa mengerti kenapa harus dibuat seperti itu. Wade sangat butuh kasih sayang. Dia dengan cepat ‘jatuh cinta’ kepada gadis pertama yang memberikan perhatian lebih kepadanya, meski mereka belum pernah bertemu, karena sebenarnya itu adalah jeritan minta tolong dari Wade atas betapa mengerikan hidupnya yang asli.

Wade, dan orang-orang yang tinggal di Oasis menggunakan sosok avatar untuk reach out dan mendapatkan teman, sebagai simbol dari kepercayaan diri. Sesuatu yang tidak mereka dapatkan di dunia nyata. Film ini mengeksplorasi kenyataan yang lebih dekat dari yang kita duga; di mana sekarang pun, sosial media dan internet memberikan kesempatan penggunanya – yang kebanyakan adalah anak muda yang masih begitu insecure – untuk mengekspresikan emosi terdalam mereka dalam penyamaran identitas avatar. Tentu saja ini bisa berarti bagus, karena kepercayaan diri yang mereka develop di dunia virtual itu bisa saja terbawa ke diri mereka di dunia nyata. Namun, seseorang harus menyadari bahwa untuk melakukan hal tersebut sesekali dia harus terjun ke dunia nyata, log out dari sosial media, untuk berinteraksi dan sosialisasi beneran. Karena sungguh sebuah hal yang menyedihkan jika kita hanya hidup dan penting di dunia maya.

aku kasihan sih sama adekku, kalo main game bareng, mana pernah dia jadi player one hhihi

 

Dunia yang begini besar tentu akan membutuhkan penjelasan. Dialog-dialog eksposisi memang tidak terhindarkan dalam film ini, karena akan selalu ada peraturan yang harus dijelaskan, ada sistem yang kudu dilandaskan. Namun kupikir semestinya film bisa menggarapnya dengan lebih baik lagi. Lima belas menit awal yang kita dapatkan di sini sungguh berat oleh narasi yang memaparkan alih-alih memperlihatkan. Wade akan menjelaskan Oasis kepada kita, padahal toh dia melakukan itu sambil berjalan di sepanjang daerah tempat tinggalnya. Di mana kita melihat orang-orang sedang log in ke dalam virtual reality tersebut. Kita melihat bocah kecil jadi petinju, seorang ibu rumah tangga jadi penari, pesan yang ingin disampaikan cukup jelas – bahwa dalam Oasis semua orang bisa menjadi apapun yang mereka mau, tetapi tetap saja kita mendengar penjelasan itu dari mulut Wade. Seringkali, dialog-dialog penjelasan seperti ini dihadirkan seolah film menganggap penontonnya bego dan tidak mengerti jika tidak dijelaskan benar-benar.

 

 

 

Video game sejatinya dibuat untuk dimainkan bersama-sama. Menjadikannya sebuah pelarian, sebagai media untuk menyendiri, supaya menang sendiri, jelas sebenarnya adalah sebuah penyalahgunaan. Film ini pada puncaknya berusaha menyampaikan pesan bahwa bergerak bersama, sebagai sebuah tim, sebagai sebuah kesatuan dari lingkaran sosial, adalah kemampuan yang semestinya kita pelajari. Sebuah skill yang mestinya diasah. Sebuah klasik Spielberg yang sangat menyenangkan, meriah oleh referensi pop culture dari 80an, yang semestinya bisa bekerja dalam level yang lebih dalam lagi jika para tokohnya dieksplorasi dengan sama menakjubkannya dengan unsur-unsur teknis yang dimiliki oleh penceritaannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for READY PLAYER ONE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

TOMB RAIDER Review

“You need to be independent in order to survive in the world.”

 

 

Lara tidak seperti Croft yang lain. Dalam film ini, kalimat tersebut merujuk ke dalam konteks bahwa tokoh utama kita, Lara Croft, berbeda dari ayahnya; seorang bisnisman yang punya perusahaan besar.  Yang bagi Lara, ayahnya adalah sosok orang sibuk yang sering bepergian, sehingga meninggalkan Lara  seorang diri. Jadi, Lara enggak mau semua itu. Dia tidak tinggal di rumah yang besar. Dia bekerja sebagai kurir makanan bersepeda.

Kalimat ‘Lara tidak seperti Croft yang lain’ tersebut, however, juga bekerja di dalam konteks bahwasanya di dalam versi FILM REBOOT YANG DIADAPTASI DARI REBOOT VIDEO GAME ini, Lara Croft yang kita jumpai tidak sama dengan Lara Croft yang ikonik berbibir tebal seksi, berkepang panjang hingga ke pinggulnya yang sangat ramping, sementara dadanya, well yea, sudah jadi joke umum di kalangan gamer, Lara di PSX punya upper body yang begitu ‘menonjol’ sehingga grafik yang dahulu masih terbatas malah membuatnya tampak seperti segitiga alih-alih membundar.  Secara sederhana, kita bisa lihat masalahnya ketika para fans langsung membandingkan antara Angelina Jolie yang berperan di Lara Croft: Tomb Raider (2001) dengan aktris Alicia Vikander di film ini. Selain masalah fisik, Lara kali ini juga punya sepak terjang yang berbeda – perbedaaan gedenya adalah Lara tampak sangat vulnerable. Meski sisi adventurous, kecerdasan, ketertarikannya sama kode dan  tempat tersembunyi cewek ini udah kelihatan bahkan dari saat dirinya masih bocah, namun Lara Croft bukanlah jagoan. Setidaknya belum.

Dia pasti jago main Pandora Experience

 

Cerita petualangan aksi Tomb Raider ini memang bertindak sebagai origin karena pada intinya kita melihat siapa Lara Croft sebelum dia mulai menjelajahi makam dan kuil-kuil kuno penuh jebakan dan tak jarang kutukan mistis untuk mencari benda-benda peninggalan yang berkekuatan misterius. Lara Croft di film ini terlihat sangat vulnerable, dan Alicia Vikander benar-benar hebat memerankan setiap emosi yang harus dia jabanin. Aksennya juga pas, terdengar menguar ketegasan sekaligus sedikit rebellious. Film berhasil menyeimbangkan eksplorasi yang dilakukan oleh Lara, baik itu eksplorasi medan beneran maupun pencarian ke dalam dirinya, dengan aksi-aksi berlari, pengalaman  hidup-mati, yang mengdegup jantung. Sense of discovery yang disampaikan terasa lumayan kuat, karena terkadang kita diberikan kesempatan untuk memecahkan teka-teki bareng Lara. Misteri kebudayaan yang melapisi cerita film juga menarik. Kisah Legenda Himiko, yang supposedly adalah antagonis dalam film, dibuat sedikit berbeda dengan versi video game demi melandaskan keparalelan dengan salah satu layer perjalanan Lara Croft.

Saat film dimulai, kita sudah melihat Lara babak belur. Dia kalah saat latih tanding martial arts. Dia gagal dapet duit hadiah di permainan kejar-kejaran bersepeda. Ranselnya bahkan hampir dibawa kabur oleh berandalan. Lara memang sudah sedikit belajar tentang pentingnya mempertahankan diri – dia berusaha untuk hidup mandiri. Tapi cewek ini punya satu masalah yang membayangi setiap geraknya. Hati pada cerita ini adalah pada bagaimana Lara sangat menyintai sang ayah, sosok yang baginya sekaligus sebagai seorang ibu, walaupun ayahnya sering pergi-pergi dan Lara sendiri belum tahu apa yang ‘pekerjaan’ ayah yang sebenarnya. Aku suka gimana film membuat Lara tidak mau menandatangani surat wasiat dari si ayah, sebab kita tahu bahwa alasannya tidak semata karena Lara memilih hidup sederhana. Melainkan karena dengan menandatangani surat itu, Lara berarti sudah mengamini ayahnya yang hilang sudah meninggal.

Dalam penceritaan video game (yea, video game juga punya cerita layaknya tontonan sinematis) ada satu aturan baku standar yang udah jadi semacam pakem yang diikuti oleh banyak cerita, yakni: Jikalau tokoh utama punya sanak yang diceritakan sudah meninggal, tapi kita sebagai tokoh utama enggak pernah melihat mayatnya, maka sanak keluarga tersebut pastilah sebenarnya masih hidup. Dalam film juga sebenarnya elemen cerita begini sering dipakai, namun Tomb Raider menggunakan trope ini bukan tanpa sebab. Inilah yang menjadi motivasi perjalanan Lara – bagaimana apa yang ia inginkan akan berbuah menjadi hal yang tak ia inginkan. Lara butuh untuk melihat ayahnya masih hidup, untuk kemudian direnggut lagi darinya demi menyadari apa yang ia butuhkan; kemandirian sesungguhnya dari seorang penyintas sejati, her true self.

Kemampuan untuk mandiri tidak dimiliki oleh semua orang. Kadang tanpa disadari, kita bergantung terlalu banyak kepada orang lain, lebih dari yang kita perlukan. Di penghujung hari,  toh,  kita hanya akan punya diri sendiri. Kita perlu untuk mandiri demi bertahan hidup, dalam hal apapun. Adalah sangat penting untuk kita bisa mengambil keputusan, bisa mengambil tindakan, tanpa perlu selalu kompromi dengan orang lain. Betapa sangat berdayanya mengetahui bahwa kita mengendalikan hidup dan pilihan sendiri. Apalagi jika pilihannya adalah sepenting berkorban atau tidak.

 

Totally jalannya enggak lagi kebentur-bentur dinding kayak di game originalnya

 

Mengelak dari perangkap cerita origin yang biasanya menghabiskan satu film untuk mengubah karakter menjadi yang kita kenal, Tomb Raider hanya butuh satu jam kurang untuk kita dapat melihat glimpse dari Lara yang sebenarnya. Sangat empowering melihat Lara Croft yang tadinya seperti underdog, yang berani namun senantiasa ragu-ragu di dalam sehingga selalu gagal, menjadi semakin pede ketika dia mendaratkan kakinya di pulau tak berpenghuni itu. Alih-alih rubuh oleh bertubi-tubinya benturan fisik dan mental, Lara menjadi semakin kuat oleh setiap tantangan. Turning point bagi Lara adalah ketika dia harus mengalahkan – dia harus membunuh satu orang – yang mana adalah Lara’s first kill di seri ini, karena di titik itu dia mulai mengerti bahwa dia harus berjuang sekuat itu untuk bertahan hidup. Sendiri. Film menggarap adegan tersebut dengan lumayan menyentuh, mereka mengambil waktu untuk memperlihatkan ekspresi di wajah Lara, yang tentu saja dimainkan sangat meyakinkan oleh Vikander. It was a strong moment. Untuk kemudian diikuti dengan Lara bertemu dengan orang yang selama ini dicarinya, yang membuat inner-nya semakin berkonflik lagi lantaran dia kembali punya keinginan untuk menjadi putri kecil. Film membuat keputusan bagus untuk menampakkan momen-momen karakter seperti begini, aliran pengembangannya – naik turun karakter – dijaga sehingga menarik. Di bagian pacing-lah film ini sedikit terlalu kedodoran.

Cerita berlalu dengan cepat, antara adegan aksi satu dengan adegan aksi berikutnya, film akan mengerem dengan development karakter dan beberapa dialog eksposisi. Secara kesuluruhan, akibat eskposisi yang melambatkan film nyaris seolah secara mendadak, dengan aksi seru yang direkam dengan kecepatan tinggi, menonton film ini rasanya kayak melihat video ornag berlari yang kadang dislow-motion. Ada aspek-aspek cerita tertentu yang membuat kita “hey, darimana datangnya?”. Beberapa adegan flashback juga turut membebani jalannya cerita dengan perlambatan yang tidak perlu. Kita tidak butuh begitu sering kembali ke masa lalu, yang kadang adegannya itu-itu melulu. Menurutku, yang dibutuhkan film ini untuk mengerem justru  adalah momen-momen survival seperti memperlihatkan Lara membunuh hewan untuk makan, seperti pada video game. Tapi film malah melewatkan itu.

Kematian adalah petualangan. Salah satu aspek seru dari video game yang juga disadur oleh film ini adalah momen-momen berbahaya yang siap menerjang Lara. Dalam video game, kita bisa sengaja game over hanya untuk melihat adegan kematian yang kadang over-the-top namun menyenangkan. Film ini juga sama seperti itu, banyak adegan aksi yang bisa dibilang lebay dan agak gak masuk akal; Lara yang lompatannya jauh sekali, Lara menarik pecahan yang menembus perutnya padahal kalo luka tembus sebaiknya jangan dicabut karena pendarahannya akan semakin parah, akan tetapi kita tetap enjoy menontonnya. Adegan-adegan tersebut juga dijaga sehingga tidak mengakibatkan film menjadi konyol, menjadi terlalu Hollywood, menjadi guilty pleasure seperti film Tomb Raider terdahulu. Ada satu sekuen seru banget yang dicomot dari video game, yang bakal bikin penggemar video gamenya girang, yang melibatkan Lara dengan bangkai pesawat, namun basically sekuen ini hanyalah versi lain dari adegan kaca belakang bus di Jurassic Park. So yea, aksi dalam film ini seru dan menyenangkan, hanya saja memang tampak generic, film tidak menampilkan sesuatu yang benar-benar baru.

 

 

 

Menonton ini seperti memainkan video game yang punya replay value yang tinggi. Kita sudah bermain berkali-kali, kita sudah hapal, namun kita tetap suka. Kita ingin mencari cara lain untuk menamatkannya – karena film ini mampu bekerja dengan efektif, baik sebagai eksplorasi karakter maupun sebagai pure action adventure. Bicara soal mandiri, filmnya sendiri juga cukup mandiri. Di balik usaha film untuk membangun landasan universe, untuk membuat kait ke film berikutnya, film bertindak bijak dengan memastikan kita mendapat cerita yang contained, dengan plot tokoh yang melingkar tertutup. Di samping beberapa aspek penceritaan yang mestinya bisa dibuat lebih tight lagi, flashback dan eksposisi mestinya dapat dikurangi, ini tetap adalah salah satu adaptasi video game terbaik. Karena semua orang dibuat peduli sama tokohnya, kita bisa merasakan tokoh tersebut, kita ingin dia berhasil, walaupun kita enggak pernah memainkan video gamenya sebelum ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TOMB RAIDER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

JUMANJI: WELCOME TO THE JUNGLE Review

“Life isn’t hard, Megaman is.”

 

 

Dalam video game kita akan dikejar-kejar zombie kelaparan. Ditembaki robot-robot kalap. Melompat dari satu jurang ke jurang lain. Kalo gagal, kita mati, sure di jaman now ada save point,  tetapi dulu kita harus mengulang kembali dari awal setiap kali game over. Beberapa game bisa menjadi begitu bikin stress sampe joystick pada rusak. Nintendoku dulu kabel stiknya nyaris putus karena kugigit-gigit ngamuk mati melulu main Circus Charlie di level tali ayunan itu. Namun betapapun susahnya, kita tetap suka melarikan diri ke dalam dunia video game kalo lagi mentok di kehidupan nyata. Anehnya kita bisa refreshing setelah mati berulang kali di dalam video game.

Kayak Spencer dan teman-temannya. Mereka didetensi harus bersihin gudang sekolah bareng-bareng. Kata gurunya sih supaya mereka tahu siapa diri mereka. Di sela-sela kerjaan gak asyik itu, Spencer menemukan mesin video game jadul dengan kaset cartridge bertuliskan Jumanji. Spencer yang jago main video game seumur-umur belum pernah mendengar nama itu, ataupun belum pernah melihat konsol yang begitu antik. Jadi, dia dan Fridge dan Bethany dan Martha mencoba permainan tersebut. Dan seperti salah satu episode film Boboho jaman dulu, mereka berempat tersedot ke dalam layar. Spencer yang kini berwujud The Rock, dan teman-temannya yang juga berubah tampang menjadi karakter game yang sudah mereka pilih, harus bertualang menembus hutan. Mencari dan mengembalikan permata Jaguar yang hilang supaya bisa pulang. Masing-masing mereka cuma punya tiga nyawa, tiga kali kesempatan untuk gagal, sebuah angka yang minim sekali mengingat hutan arena bermain mereka dihuni oleh berbagai binatang buas, serta satu geng bandit yang pemimpinnya bisa mengendalikan hewan-hewan tersebut.

Video game terlihat gampang karena kita sudah tahu apa tujuan kita bermain. Mengalahkan monster. Mencari harta karun. Menyelamatkan putri raja. Kita jadi tertantang buat menyelesaikannya. Ketika tivi dimatikan, tombol power konsol ditekan dan lampunya mati, kita balik ke kehidupan nyata di mana kita tidak mengerti ngapain sih kita di dunia ini. Apa misi yang diberikan kepada kita di sini Hidup sangat kompleks, kita harus memahami diri sendiri, menciptakan sendiri tujuan hidup kita. Itulah kenapa kita menganggap hidup lebih susah. Tujuan itu sama sekali tidak terlay out seperti pada video game. Tapi begitu kita tahu siapa kita, mau jadi apa kita, hidup tidak lebih susah daripada menjatuhkan raja Koopa ke dalam lava. Hidup adalah rimba yang sebenarnya, hanya jika kita tersesat.

Breakfast Club, now in a fully rendered-8 bit

 

Tadinya kupikir film ini adalah remake dari Jumanji 1995 yang ada Robin Williamsnya. Ternyata enggak, ini lebih sebagai sebuah sekuel, dan sort of a reboot. Papan permainan Jumanji yang dimainkan oleh Kirstern Dunst ditampilkan kembali di film ini. Kita lihat gimana si papan merasa ketinggalan jaman dan mengubah diri menjadi kaset dan konsol video game. Dan dari sinilah film mengeksplorasi banyak hal-hal keren yang menyenangkan yang timbul dari gimana manusia masuk ke dalam video game. Oke aku nerd, bahkan sampe sekarang aku habisin waktu luang dengan main video game, jadi mungkin kalian menyangka aku bisa sedikit bias menilai film yang udah nyaris kayak adaptasi video game ini. Tapi enggak sebias itu juga sih, film ini memang TONTONAN MENGASYIKKAN DALAM KONTEKS VIDEO GAMENYA.

Para tokoh di sini dibuat bisa melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing, persis kayak status di video game, dan mereka bekerja sama dengan memanfaatkan aspek ini. Interaksi mereka dengan tokoh tiang garam juga kocak banget. Eh pada tahu ‘Tokoh Tiang Garam’ gak sih? itu loh, di game-game petualangan kan selalu ada tokoh-tokoh yang gak bisa kita mainin, dan diprogram untuk ada di game buat memberikan informasi. Di luar dialog-dialog yang sudah diprogramkan, mereka enggak bisa ngomong hal lain lagi. Jadi kalo kita ajak ngomong terus, ya ucapannya itu-itu melulu. Nah, dalam film, elemen ini jadi salah satu pemancing ketawa yang dibuat dengan sangat menyenangkan. Namun dari konteks-konteks video game yang seru tersebut juga muncul berbagai plothole pada universe yang menjadi kelemahan film.

Salah satu aspek paling seru dari Jumanji: Welcome to the Jungle adalah karakternya.  Jadi kan remaja-remaja itu tersedot ke dalam dunia game, dan mereka sekarang berwujud seperti avatar yang mereka pilih. Dan pada beberapa, tubu mereka sangat bentrok ama sifat asli. Dwayne Johnson hanya kekar di luar. Di dalam otot-ototnya, The Rock adalah Spencer – si kutu buku bertubuh kecil yang sangat penakut, bahkan tupai aja bisa bikin dia jejeritan histeris. Jack Black sangat kocak di film ini; dia adalah cewek paling populer di sekolah, yang kerjaannya main hape melulu, dan dia terperangkap di dalam tubuh tambun pembaca peta. Jadi bisa dibayangkan betapa ngakaknya melihat penampilan akting Jack Black di film ini. Tokoh yang diperankan Karen Gillan punya arc yang menarik; di dunia nyata ia adalah cewek yang benci olahraga, namun di game dia seorang petarung, jadi dia dibuat tertarik untuk menggerakkan tubuhnya dalam cara-cara yang bikin berkeringat.

Sebagian besar pemeran dalam film ini diberikan kesempatan untuk bermain-main dengan peran yang sangat unik, kecuali Kevin Hart. Komedian ini sendirinya kocak banget, kita bisa betah duduk berjam-jam nonton dia menghina dirinya sendiri, dan itulah salah satu kekuatan utama pesona kocaknya. Di film ini, Kevin Hart kembali memancing jokes dari sana, dan buatku malah jadinya biasa aja, dia tidak melakukan sesuatu yang baru di sini. Dia sama The Rock banteringnya persis kayak di Central Intelligence (2016), Hart mengejek tinggi badannya sendiri yang kalah jauh ama The Rock. Kevin Hart kocak namun dia pretty much bermain sebagai dirinya sendiri, dan ini kalah menarik dibandingkan aktor-aktor lain yang benar-benar membanting image mereka memainkan karakter yang di luar kebiasaan.

Keberanian enggak ada hubungannya ama ukuran tubuh

 

Kalo di Jumanji dulu kita ternganga ngeliat badak berlarian dari rumah ke jalanan, sekarang kita akan melihat berbagai sekuens aksi yang mengalir lancar berkat keunggulan teknologi. Orang-orang bertebangan ke sana kemari. Stun work di sini amat impresif, meskipun pada beberapa sekuens, film lebh mengutamakan efek CGI. Akan ada banyak adegan yang menampilkan efek yang obvious, yang menurutku adalah disengaja sebagai cara film untuk terlihat sebagai dunia video game. Aku sedikit menyayangkan film ini melewatkan kesempatan untuk tampil kayak di salah satu episode Rick and Morty di mana Rick terjebak dalam dunia simulator. Di serial kartun itu kita melihat Rick berjalan di dunia yang hanya sekitarnya saja yang terender kumplit, begitu dia melihat ke ujung jalan dia hanya melihat polygon, pemandangan sekitar Rick terender seiring dia berjalan karena begitulah lingkungan dalam simulator atau dunia game berjalan. Menurutku, jika perihal render dunia diimplementasikan ke dalam Jumanji ini, tentulah akan semakin banyak hal keren dan kekocakan yang bisa digali.

Bermain-main dengan struktur video game, seperti yang aku singgung di atas, film ini mengambil beberapa pilihan aneh yang bukan saja menjadikan ceritanya tampak tak-lagi seperti video game, melainkan juga jadi membuat ceritanya punya plothole. It’s cool ketika film ini menggunakan flashback dan mengatakannya sebagai adegan cutscene pada video game. Tokoh utama kita juga melihat cutscene ini. Namun, terdapat juga beberapa adegan cutscene yang memperlihatkan tokoh penjahat sedang mempersiapkan pasukan, dan tokoh utama kita sama sekali enggak tahu tentangnya. Ini bertentangan dengan konsep video game karena mestinya tidak ada pengembangan dunia lain di luar pengetahuan tokoh utama. Ini sebenarnya soal perspektif, kita seharusnya melihat hal dari sudut pandang Spencer yang jadi tokoh video game, bukannya sebagai pemain. Tapi film tidak pernah menjelaskan kenapa ada cutscene yang tidak diketahui oleh Spencer. Pun juga tidak menerangkan seperti apa persisnya dunia buatan Jumanji. Karena kalo dipikir-pikir, video game yang mereka mainkan mengembangkan programnya sendiri, game ini berevolusi sesuai dengan keadaan pemain yang termasuk ke dalamnya. Karena semua kejadian yang mereka alami seperti sudah diatur, mereka ketemu Missing Piece, mereka bisa menyelesaikan satu stage karena stage tersebut terlihat diprogram untuk diselesaikan empat orang. Bagaimana kalo ternyata ada, katakanlah dua orang, yang memainkan game sebelum mereka. Apakah hal akan berbeda buat Missing Piece? Apakah settingan skill mereka juga berganti. Mestinya film bisa melandaskan aturan mainnya dengan lebih kuat.

Soal arc cerita sebenarnya aku juga bingung, apa yang ingin dicapai oleh film ini. Karena jika menurutku poros utama film ini bicara tentang gimana anak-anak itu belajar memberanikan diri berjuang di dunia nyata, maka semestinya film membuat mereka tidak lagi menggunakan nama avatar saat film mencapai akhir. Seharusnya mereka dibuat berhasil atas nama diri mereka sendiri.

 

 

Film ini seperti video game, kita akan bersenang-senang dengannya. Perfectly enjoyable dengan penampilan peran yang sebagian besar unik. Aku sendiri cukup capek terbahak-bahak sepanjang durasi. Bagaimanapun juga, ketika dipikirkan baik-baik, ada beberapa hal yang mengganjal. Semua yang kelemahan yang kutulis di sini , in fact, baru kepikiran ketika aku mulai menulis. Kita bisa menutup kekurangan ini dengan memberikan alasan sendiri, tentunya, karena semuanya bisa terjadi di dunia video game. It’s just kupikir film bisa menggali dan melandaskan dunia ceritanya dengan lebih baik lagi. Siapa sih yang enggak mau lebih baik, ya gak?
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for JUMANJI: WELCOME TO THE JUNGLE

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017