THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS Review

“With realization of one’s own potential and self-confidence in one’s ability, one can build a better world.”

 

 

 

Kurang garam rasanya kalo Disney tidak bercerita tentang Princess atau tentang anak yang ditinggal mati oleh orangtuanya. The Nutcracker and The Four Realms benar mengikuti formula serupa; Clara, si tengah dari tiga bersaudara, merasa ‘ditinggalin’ oleh ibunya yang telah tiada. Kakaknya mendapat gaun, adiknya diwarisi mainan tentara, dan dia; sebuah telur mekanik yang bahkan tidak bisa dibuka karena sepertinya Ibu lupa memberikan kuncinya kepada Clara. Ibu hanya melampirkan secarik tulisan, “Di dalamnya kamu akan mendapatkan semua yang kau perlukan” begitu bunyinya kurang lebih.

Jika Alice mengikuti kelinci, maka Clara masuk ke dunia fantasi setelah mengikuti benang emas di rumah kakek walinya, Morgan Freeman dengan eye-patch ala bajak laut. Clara disambut baik oleh penghuni dunia sana – manusia serdadu-mainan Nutcracker, manusia bunga, manusia es, dan manusia yang rambutnya terbuat gulali. Dengan segera Clara mengetahui dunia yang terdiri dari empat realm berbeda tersebut adalah ciptaan ibunya. Sang Ibu adalah Ratu di sana, membuat Clara Stahlbaum menjadi seorang Putri. Sebagai seorang Putri, Clara harus mengupayakan kedamaian di sana,  sebab ada satu realm, though, dihuni oleh tikus dan mainan, mereka gak akur dengan penduduk realm lain. Mereka bahkan mencuri kunci emas yang dicari Clara. Kunci penting membuka telur, dan rahasia di balik dunia yang dibuat oleh Ibu Clara.

Oh, Clara juga Ratu sih; ia memerintah dengan Hukum Fisika

 

Melanjutkan tema protagonis wanita masa kini yang mandiri, kuat, tanpa harus mementingkan punya pasangan kekasih yang sudah diusung Disney semenjak Frozen (2013), Clara akan menginspirasi anak-anak cewek kekinian berkat kepintaran dan keberaniannya. Daripada berdansa, Clara lebih suka merakit mekanisme untuk menangkap tikus. Tentu saja, membantu sekali fakta bahwa Mackenzie Foy is absolutely stunning. Antara presence-nya dan cerita dongeng ini, benar-benar sebuah peristiwa yang magical. Meskipun kadang aksennya sedikit goyah, namun Foy (pasti banget masuk nominasi Unyu op the Year tahun ini!) bermain dengan mantap. Entah itu menghadapi pasukan tikus yang bersatu membentuk tikus raksasa, menyisir pinggiran tebing yang basah dan dihuni kelelawar, ataupun memimpin serdadu menembus belantara hutan, Clara jarang sekali menunjukkan ekspresi ketakutan. Kevulnerabelan tokoh ini mudah direlasikan oleh semua orang; ketidakpercayadirian itu kadang menerpa di saat kita paling butuh untuk merasa berani.

Kadang kita butuh orang lain. Bukan untuk disuruh memuji dan mengelu-elukan kita sampai terbang. Bukan untuk diperintah melakukan hal yang tidak kita bisa. Tapi untuk mengingatkan siapa sebenarnya diri kita. Kekuatan dan kelemahan yang ada pada diri, sering kita lupa sehingga berputus asa. Padahal kita selalu punya semua yang kita butuhkan, kita hanya lupa dan butuh teman untuk mengingatkannya.

 

Dalam upayanya lolos dari Bechdel Test – tes kecil-kecilan untuk menentukan film punya karakter wanita yang ‘kuat’ dengan syarat: ada dua tokoh wanita yang saling bicara dan tidak membicarakan soal pacaran – cerita film ini diadaptasi dengan sedikit mengerdilkan beberapa aspek pada material aslinya. The Nutcracker berasal dari pertunjukan balet hasil saduran cerita The Nutcracker and The Mouse King. Balet sendiri hanya dijadikan sebagai pemanis. Didorong jauh ke belakang sehingga adegan balet pada film ini tak lebih dari sekedar media penceritaan eksposisi. Romansa sentral dari versi asli ini diubah oleh Disney menjadi cerita kemandirian, dengan mengangkat secara tersirat hubungan antar-ras. Si serdadu Nutcracker, pada film ini diperankan oleh aktor kulit hitam Jayden Fowora-Knight, tidak terasa sepenting orang yang namanya terpampang sebagai judul film. Nama tokohnya malah baru kita dengar setelah menjelang akhir petualangan.

Kreativitas film ini – toh tidak gampang mengadaptasi sesuatu sehingga menjadi kreasi baru – tampaknya hanya berhenti pada tingkatan ‘menyederhanakan’. Seolah film ini sebenarnya punya sesuatu pamungkas; menyiapkan sesuatu yang gede, tetapi pada akhirnya ambisi tersebut melempem dan mereka membanting arahan begitu saja, melupakan apa yang diniatkan.

Sama seperti judulnya; panjang dan sulit diucapkan namun juga tidak memberikan kejelasan apa-apa sebatas dunia film ini ada empat biji, banyak elemen pada film yang dibangun menjanjikan tetapi tidak pernah berujung kepada sebuah kepuasan. Empat dunia di sini, digambarkan dengan visual yang indah – tokoh-tokohnya meriah oleh riasan dan kostum fantastis, tapi kita kehilangan sensasi eksplorasi. Kita tidak melihat bagaimana exactly masing-masing dunia bekerja. Clara hanya tur sepintas. Bahkan Realm of Amusement yang sesungguhnya adalah sebuah ide menarik menyajikan ranah mainan dan sirkus menjadi tempat menyeramkan, kita hanya diperlihatkan secuil dari apa yang bisa saja dibuat menjadi saingan Negeri Nikmat di Pinokio. Basically hanya hutan gelap dan satu tenda mekanik. Tiga pemimpin Realm yang harusnya adalah pembimbing Clara, kita hanya difokuskan pada satu yang diperankan Keira Knightley dengan suara mencicit kayak anak kecil keselek tikus. Film yang punya dunia begitu luas, dengan banyak aspek cerita yang diangkat, tidak pernah mekar sempurna hingga waktunya tiba dan pergi meninggalkan kita. Hanya mengerucut, menjadi simpel tidak tergali. Karena, guess what, film mendedikasikan diri untuk membangun twist yang bahkan enggak punya motivasi yang cukup jelas sebagai labuhan satu-satunya cerita.

Clara dan empat dunia CGI

 

Sudah cukup aneh pilihan mengubah dongeng fantasi tontonan natal untuk anak kecil menjadi cerita perang. Semakin aneh lagi jika perang yang dikobarkan cerita sama sekali tidak punya penyebab yang jelas. Penjahat-sebenarnya cerita ini pengen gitu aja menyerang dunia atau realm yang lain, dia ingin menaklukkan semua dan sebagai pembelaan dia menyalahkan ibu Clara yang sudah tega meninggalkan dunia ciptaannya sendiri. Elemen perang rebutan kuasa sendiri sesungguhnya memang ada dalam kisah orisinilnya. Apa yang dilakukan oleh film ini, sayangnya, begitu berdedikasi untuk menghadirkan twist dari elemen originial tersebut; mereka memutarbalikkan peran, dan ultimately malah menjungkirbalikkan film ini secara keseluruhan. Mereka lupa memasukkan alasan yang kuat. Seharusnya ada motivasi lebih dalam daripada sekedar grasak grusuk masuk hutan, mengobarkan pasukan, demi merebut kunci emas.

Film ini seperti mengkhianati temanya sendiri. Ini tentang self-trust, keberanian. Dengan percaya kepada kemampuan dan potensi yang kita miliki, kita bisa mencapai begitu banyak hal hebat. Bahkan menciptakan dunia. Tetapi film, ia tidak yakin bisa membangun cerita. Ada begitu banyak hal yang seperti tambalan di sana-sini. Film malah seperti dua visi yang enggak klop. Lebih seperti pengen membuat produk ketimbang dunia imajinasi yang kreatif.

 

 

 

 

Pembangunan dunia dengan ‘aturan’ dan mitosnya tak pernah lebih jauh berfungsi kepada penceritaan. Dunia-dunia tersebut tak lebih dari perkenalan, you know, supaya kalo nanti ada wahananya di Disney, fans sudah tidak bertanya-tanya lagi. Untuk orang dewasa, film ini seperti mimpi yang ngaco – yang hanya terjadi dan lantas dilupakan karena memang tidak banyak hal menarik yang patut diingat. Semuanya serba tanggung. Bagi anak-anak, ada kesenangan dan ketakjuban melihat visual yang cantik, ada petualangan yang hadir dari makhluk-makhluk dengan desain cukup menyeramkan tersebut. Ada pesan yang bisa mereka bawa pulang. Mereka akan menikmati ini sampai twist tentang perang itu muncul mengubah tone film keseluruhan. Semanis-manis kata yang bisa kita ucapkan untuk film ini, bahwa ia adalah kekecewaan yang adorable, berkat Mackenzie Foy.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa makna teman bagi kalian? Mengapa kalian mau berteman dengan teman-teman kalian yang sekarang? Bagaimana kalian tanpa mereka?

Menurut kalian, bagaimana cara Ibu Clara menciptakan keempat realm tersebut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA Review

“Everyone is more interested in being a hero than in being right.”

 

 

 

Menyerang secara frontal markas VOC di Sunda Kelapa, Sultan Agung ingin menanamkan pesan membekas ke para penjajah; bahwa rakyat Jawa adalah pemberani yang tidak akan pernah menjadi bawahan mereka. “Menang atau Mati!” raungan perangnya bergema di dalam sukma para pasukan. Tentu, ‘strategi tembak langsung’ yang dikerahkan Sultan Agung ini bisa diperdebatkan keefektifannya. Apakah perang tersebut bisa mereka menangkan? Apakah dengan mengorbankan rakyat itu yang namanya menunjukkan keberanian? Keraguan terbersit di hati panglima dan pasukan Sultan Agung. Barisan Kerajaan Mataram yang semenjak sebelum diperintah Sultan Agung enggak pernah benar-benar difavoritin rakyat, retak dari dalam. Ada yang meninggalkan medan perang, ada yang malah berkhianat – membelot kepada Belanda. Tapi Sultan Agung tetap bergeming. “Menang atau Mati!” Keraguan yang sama lantas tersampaikan kepada kita. Apa memang iya yang mereka lakukan itu satu-satunya jalan?

Sepertinya, jawaban atas pertanyaan itulah yang menyebabkan sutradara Hanung Bramantyo membawa kita mundur begitu jauh, ke masa tiga setengah abad sebelum Indonesia lahir. Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta bertindak sebagai cermin (yang sangat mewah, mengingat kualitas set dan produksi film ini) di mana saat kita memandang apa yang direfleksikannya, kita bisa ngaca ke masa lalu. Dikemas dalam bentuk fantasi-sejarah, kejadian-kejadian dalam film ini sebenarnya lebih dekat dari yang kita bayangkan. Kerajaan Mataram yang struggle di tengah-tengah politik perdagangan dan adu domba bangsa asing Penduduk yang terombang-ambing dan mudah terpecah belah oleh keraguan dan ketakutan. Pemimpin yang musti bertanggung jawab beresin urusan yang masih tersisa dari kepemimpinan sebelumnya. They all are really close to home. Kita mengobservasi apa yang terjadi di film ini, dan eventually kita akan tersadar seperti Sultan Agung yang akhirnya menyadari kesalahan dan apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Rasakan saja sendiri merindingnya ketika Sultan Agung menyuruh pasukan pulang dan berpesan “ajarkan keluargamu untuk mencintai negeri ini”, sebab kalimat tersebut terasa dibisikkan langsung ke hati kita yang mungkin sudah jenuh sama kebencian dan prasangka dan ketakutan.

Tanah, Perpecahan, Kita

 

Dengan ceritanya yang ternyata begitu relevan, sayang aja sih, enggak banyak penonton yang memilih untuk menyaksikan film ini. Meski aku gak heran. Durasi yang nyaingin film India memang tergolong angker bagi kebanyakan penonton. Siapa yang mau nonton film sejarah yang berat dengan durasi sepanjang itu, melek ampe habis aja rasanya udah prestasi banget. Tapinya, film Sultan Agung ini toh tidak semembosankan itu.  Malahan, aku sendiri juga kaget  sudah dua jam ternyata, sebelum memang pada babak ketiga film ini mulai terasa melambat. Sebagian besar waktu film ini akan terus meng-engage penonton. Kita akan tetap dibuat tertarik dengan keputusan-keputusan yang dibuat oleh Sultan Agung atas nama keberanian. Kita paham kondisi yang menyelimutinya. Dia sendiri diminta tidak ikut berperang, karena meninggalkan tahta berarti memberikan kesempatan pemberontak untuk mengambil alih.

Kita akan melihat tokoh-tokoh lain terpengaruh hidupnya oleh sabda sang Raja. Film ini punya banyak tokoh, kita melihat pandangan mereka terdevelop, gimana dampak perang tersebut kepada mereka. Film ini melakukan kerja yang baik membuat para tokoh itu tampil hidup, walaupun beberapa orang sukar untuk diingat namanya; siapa yang mana. Penampilan mereka secara seragam sangat meyakinkan. Sultan Agung jadi tampak sedikit nyeremin di tangan Ario Bayu, yang kontras sekali dengan ketika dia masih dipanggil Mas Rangsang saat masih muda – dan by the way, salut buat departemen casting dalam nyonyokin Sultan muda dengan Sultan dewasa. Ada satu karakter wanita, sahabat dan person of interest Mas Rangsang, yang ditampilkan sebagai pahlawan yang kuat, mandiri, motivasinya ikut perang adalah mencari abangnya di Batavia. Aku suka tokoh ini. Dia semacam voice of reasons yang menjaga si Sultan Agung tetap menapak karena pendapat cewek ini sangat berarti bagi Sultan Agung. Dan dia sendiri, sebagai pejuang wanita satu-satunya di sana, enggak lantas digambarkan sebagai ‘pendobrak’ karena dia masih menaruh hormat sama peraturan.

Tidak ada seorang pun yang masih waras yang lebih memilih perang. Namun terkadang, kita harus berperang – bukan untuk menang, melainkan untuk mencapai kedamaian. Pertanyaannya adalah; perang yang bagaimana? Di jaman sekarang, semakin banyak orang yang lebih tertarik untuk terlihat sebagai pahlawan, yang mengobarkan api peperangan yang tidak perlu. Padahal semestinya kita, sebagaimana Sultan Agung, mencari dan mengambil langkah yang benar

 

 

Jikalau memang ada emosi yang gagal untuk disampaikan, maka itu lebih kepada masalah urutan penceritaan ketimbang ceritanya sendiri. Karena kita bisa lihat ini adalah cerita yang sangat berani; ia memposisikan seorang pahlawan besar, seorang pemimpin, ke dalam sorot cahaya yang enggak exactly mengundang simpati. Sultan Agung tidak pernah ikutan berperang, dia hanya meneriakkan perintah – dan terkadang ancaman buat pasukannya yang pengen mundur, tapi justru pada karakternya begitulah letak pembelajarannya. Cerita actually akan memisah masa muda sebelum dia diangkat dengan saat dia sudah menjabat sebagai Sultan. Dan pemisahan inilah yang membuat semuanya terasa terputus. Mas Rangsang di babak pertama adalah pribadi yang sama sekali berbeda dengan Sultan Agung, tapi bukan tanpa-alasan. Tadinya dia adalah pemuda berkasta Ksatria yang ingin menjadi Brahmana, ia tinggal dan belajar di padepokan, jauh dari lingkungan keraton. Kita lihat dia latihan silat – di mana dia sudah ditunjukkan sebagai orang enggak seneng kalo tidak terlihat tangguh dan berani. Dia belajar ilmu-ilmu tertulis. Aku suka gimana film menunjukkan dia yang masih muda akan sering sekali mengintip ataupun mencuri dengar sebuah peristiwa, dan setelah gede, giliran harus dia yang berada di sana – di tengah, mengambil keputusan, dan beresiko dimata-matai.

Terputusnya cerita datang dari Sultan Agung yang dibuat melupakan siapa dirinya yang dulu. Akan ada banyak flashback sebagai bagian dari proses penyadaran diri, di mana ia kembali teringat ajaran-ajaran gurunya. Dan ini seperti membuat babak awalnya itu sia-sia. Aku biasanya paling menentang penggunaan flashback berlebih, tapi menurutku film ini adalah film yang mestinya bisa mengambil keuntungan dengan tidak menceritakan filmnya secara linear – dari muda ke dewasa. Sepertinya akan lebih baik jika film dimulai langsung dari Sultan Agung yang memerintah dengan reckless karena gak mau terlihat lemah di mata Belanda. Kemudian perlahan kita dibawa ke masa lalu, bersama dengan dirinya yang kembali mengingat, untuk mengenal kembali Mas Rangsang – Sifat dan keputusan Sultan dan Mas dikontraskan lewat alur yang bolak-balik; Dengan cara begitu, semestinya tidak ada emosi yang terlewat – akan lebih terasa beban yang ditanggung olehnya alih-alih dia terasa simpatik di awal dan tiba-tiba menjadi galak dan frustatingly susah diajak kompromi di babak berikutnya.

“senjata api itu tidak akan kalian butuhkan lagi.., aku pinjam ya untuk film yang nunggang kerbau”

 

Separuh babak kedua actually adalah adegan perang, kita akan melihat penyerbuan, orang-orang berantem, tembak-tembakan, darah dan sebagainya, yang digarap dengan tidak membingungkan. Film tahu kapan harus menutupi koreografi, dia tahu bagian mana yang terlihat lebih lemah dari yang lain, dan kamera dan editing terlihat dimanfaatkan dengan seefektif mungkin. Namun, ada satu elemen yang mengganggu buatku; jurus atau ilmu yang lebih terlihat sebagai bagian dari dunia Wiro Sableng ketimbang dunia di buku sejarah.

Sebagai sejarah fantasi, film ini kita akan melihat jurus orang bergerak secepat kilat, jurus totokan yang bikin lawan gak bisa bergerak (Petrificus Totalus!), yang sebenarnya adalah sebagai device supaya adegan penting Sultan bertemu dengan pemimpin VOC bisa masuk ke dalam logika cerita. Dalam cerita, sukmo Sultan Agung literally bertandang ke kamar tidur si Meneer. Namun dalam tingkatan yang lebih dalam, ini sebenarnya cara pinter film untuk mempertemukan kedua bos tersebut; scene ini juga bekerja sebagai masing-masing tokoh bicara ke dalam hati sendiri, mereka akhirnya mengenali siapa lawan dan diri mereka sendiri. Adegan yang ciamik, yang sebenarnya tidak membutuhkan elemen fantasi. Bisa saja dibuat surealis seperti adegan Kartini membaca buku atau surat di film Kartini (2017)Film ini sebenarnya tidak butuh ngebuild up penggunaan jurus untuk memasukakalkan adegan tersebut.   Malah membuat seluruh film terasa aneh, karena kalo memang jurus-jurus tenaga dalam atau semacam itu exist di dunia mereka, kenapa enggak dipakai dalam melawan Belanda? Kenapa gak semua santri padepokan aja yang menggunakan jurus pukulan bayangan kayak si guru? Film sedikit tidak konsisten di elemen fantasi ini.

 

 

 

 

Walaupun bukan yang terbaik, tapi yang jelas film ini adalah salah satu tontonan TERPENTING yang pernah singgah di layar bioskop. Bicara mengenai hal yang relevan, punya pandangan mengenainya, dan benar-benar digarap dengan effort yang maksimal. Penampilan, set, kamera, semua teknisnya practically top-notch. Adegan perangnya cukup asik untuk diikuti. Aku gak tau seberapa gede budgetnya, tapi kita bisa lihat duit-duit itu digunakan dengan efektif. Film ini tahu diri dan dia menganggap kita semua pun sudah paham bahwasanya film sejarah dapat bekerja dalam logikanya sendiri – because it is a movie. Hanya saja ada elemen fantasi yang digunakan tidak benar-benar konsisten ataupun betul-betul diperlukan. Ceritanya sendiri seharusnya bisa diatur lebih baik lagi. Film ini punya nyali, mengingat ini karyanya Hanung, aku percaya film ini semestinya bisa dipush menembus batas convenient yang lebih jauh lagi.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PACIFIC RIM: UPRISING Review

To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment.”

 

 

Jake Pentecost bukan ayahnya. Dia tidak mau dipandang tinggi karena nama ayahnya, yang sudah mengorbankan nyawa sebagai pilot dalam perang Jaeger – Kaiju sepuluh tahun yang lalu. Meski toh Jake juga punya kemampuan besar dalam mengendarai Jaeger; mech weapon yang dioperasikan oleh dua orang dengan saling mengsinkronisasi otak, namun Jake tidak mau bergabung dengan militer yang ia anggap sebagai tak ubahnya penjara. Jake hanya mau hidup senang, mumpung dunia sudah damai. Tidak terdengar lagi serangan Kaiju – monster raksasa kiriman alien lewat celah di lingkaran Samudra Pasifik. Demi memperkukuh statusnya sebagai ‘pemberontak’, Jake hobi menjual parts dari Jaeger kepada preman-preman penadah. Dalam salah satu ‘misinya’ tersebut, Jake bertemu dengan cewek remaja 15-tahun yang jenius, yang bisa membuat Jaeger mini dari rongsokan Jaeger beneran. Mereka berdua akhirnya direkrut (secara paksa jika dilihat dari sudut pandang Jake) oleh pihak militer. Dan sekarang Jake harus memimpin pilot-pilot Jaeger yang sebagian besar masih sangat muda melawan serangan tak-terduga dari Kaiju, yang kini juga bisa mengendarai Jaeger!

Jake Pentecost bilang “aku bukan ayahku”. Setiap dari kita bukan orang lain. Percaya pada kemampuan diri sendiri. Setiap orang adalah pilot dari kendaraan hidupnya, sebagai bagian dari keluarga

 

Steven S. DeKnight bukan Guillermo del Toro. Ketika pada film pertamanya, Del Toro delivering pertarungan mech melawan monster yang exciting namun sedikit kosong pada sisi kemanusiaan. Maka pada film kedua ini, DeKnight mengambil alih, dan dia berusaha memaksimalkan pengkarakteran tokoh manusia, terutama pada dua tokoh lead – Jake Pentecost dan si cewek remaja, Amara Namani. Tapi usahanya tersebut bukan tanpa cacat, karena Pacific Rim: Uprising punya niat mulianya tersendiri. Yakni menjadi sebuah brand. Mau nyaingin Transformers, mungkin. Dan mereka enggak berniat bikin lebih baik dari franchisenya Michael Bay tersebut. Usaha ngeflesh out karakter yang menurutku pada babak awal lumayan meyakinkan, malah jadi terkesampingkan karena begitu build up itu beres, film berubah menjadi tak lain tak bukan non-stop aksi Jaeger melawan Jaeger, Kaiju, dengan pengkarakteran yang dipaksa masuk dengan kasar di sana sini lewat flashback saat para tokoh berusaha menyeleraskan otak mereka.

John Boyega bukan Idris Elba. Walaupun sama-sama likeable dan kharismatis, namun John Boyega lebih ke komedi. Sebagai Jake, pada film ini dia punya range emosi yang jauh, namun penulisan lebih menekankan porsinya ke komedi yang bikin kita nyengir karena lebih sering daripada enggak, tingkah Jake pada film ini menyerempet ke batas-batas memalukan. Jake akan sering menyebutkan betapa tampan dan sempurna struktur wajahnya, actually ini jadi running jokes di film, namun yang membuatnya jadi tampak awkward adalah dia nyebutin itu ke Amara yang masih lima-belas tahun, yang buatku malah tampak aneh. Jake juga sering nyebutin gimana partner pilot Jaegernya juga berwajah ganteng dan seksi. Ini dimainkan sebagai komedi, namun punchlinenya tidak efektif sehingga malah bikin nyengir daripada ngakak. Penampilan terbaik di sini datang dari pendatang baru Cailee Spaeny yang jadi Amara. Cewek ini sangat charming, bahkan ketika dia seharusnya menjadi karakter yang annoying buat Jake. Cailee membuatku teringat sama Britt Robertson waktu masih muda, aku excited untuk melihat penampilan Cailee pada film-filmnya setelah ini, karena menurutku cewek ini punya masa depan yang cerah dengan penampilan akting seperti yang ia tampilkan di sini. Sikap antusias Amara ketika dia pertama kali menjejakkan kaki di markas militer, ketika ia melihat Jaeger-Jaeger terkenal yang ‘terparkir’dengan mata kepalanya langsung, benar-benar terasa mewakili antusias kita para nerd melihat robot-robot.

nerd mana sih yang gasuka diwakili cute girl seperti Amara

 

Baik Jake maupun Amara diberikan kesempatan untuk ngeredeem diri mereka masing-masing. Cerita cukup bijak untuk membuat mereka melakukan sesuatu yang menjadi bagian dari apa yang menghantui diri mereka; Amara diberikan kesempatan melompat seperti yang tidak sempat ia lakukan saat masih kecil. Sedangkan Jake diberikan kesempatan untuk menangkap seperti yang dulu pernah gagal ia lakukan. Hanya saja usaha untuk memperkuat karakter pada film ini, terasa sangat dikalkulasi. Hampir terasa seperti film benar-benar memberi petunjuk atas mana bagian untuk karakter development, mana bagian untuk aksi. Ditambah tidak membantu lagi oleh cepatnya pace cerita yang membuat kita tidak yakin ini cerita tentang apa sih sebenarnya. Seharusnya ini adalah cerita tentang gimana dunia menata kembali hidup setalah serangan Kaiju, tapi bagian menata kembali tersebut dengan cepat terlupakan. Aku personally tidak akan menolak jika kita dapat tentang Jake yang melakukan hal yang tak ingin ia lakukan – ada momen menarik di mana dia mendukung Shao Industry yang ingin meluncurkan Jaeger tanpa pilot yang mana akan membuat pilot-pilot militer kehilangan pekerjaan, hanya supaya ia bisa kembali ke kehidupan jalanan yang bebas dan lepas. Tapi cerita ini ditumpangtindihkan dengan berbagai subplot yang diselesaikan dengan cepat, seperti cerita Amara sebagai anak baru yang merasa dirinya doesn’t belong there. Terutama sekali, hal ini disebabkan oleh film yang tidak ingin menjadi lebih dari sekadar film Jaeger melawan Kaiju. Apa yang berpotensi menjadi cerita emosional, hanya berujung menjadi cerita sesimpel yang biasa kita temui dalam film kartun untuk anak-anak. Ada cerita tentang pemanfaatan darah Kaiju yang mengancam populasi manusia, tapi pada akhirnya hanya gimana cara mengalahkan Kaiju yang jadi persoalan.

Setengah paruh akhir film adalah aksi tarung, yang tentu saja seru melihat makhluk-makhluk raksasa bertarung dengan senjata dan teknik masing-masing. Tetapi toh akan bosan juga melihat robot dan monster dilempar menghancurkan gedung-gedung. Film meniadakan dampak begitu saja sehingga kita tidak lagi menganggap serius apa yang kita saksikan. Pada satu pertempuran, sebuah Jaeger menggunakan sinar plasma yang mengikat mobil-mobil, menjadikan mereka semacam bola untuk dilempar sebagai senjata menumbuk Jaeger jahat. Tidak pernah ada usaha untuk memastikan, atau mengangkat dampak dari perbuatan ini; apakah ada orang di dalam mobil-mobil tersebut, ada berapa orang yang jadi korban di sana. Akan ada banyak adegan seperti demikian pada Pacific Rim: Uprising di mana kita diminta untuk tidak peduli dan tidak menggunakan akal sehat dan nikmati saja. Dan sebagaimana film-film blockbuster, film ini juga berusaha tampil hits dengan masukkan twist pada satu tokohnya. Demi menjaga spoiler, aku gak akan bilang tepatnya apa, tapi tokoh yang diperankan komedian Charlie Day akan membuat kita tertawa, karena beberapa bagian memang diniatkan untuk lucu-lucuan, namun eventually film melakukan hal lain dengan karakter ini dan tetap saja membuat kita tertawa padahal sudah tidak semestinya lucu, karena apa yang dilakukannya betul-betul malu-maluin.

Saat kita yang paling kecil di antara yang besar-besar, film menyarankan kita untuk menjadi yang terpintar di sana. Kadang kita harus bisa untuk outsmarted the situation. Menggunakan berbagai resources untuk menjawab tantangan. Karena tidak ada gunung yang terlalu tinggi, pandai-pandainya kita aja gimana harus mendaki

 

Ada satu shot saat lokasi cerita ada di Jepang yang nunjukin patung Gundam. Adalah hal yang bagus mereka memasukkan tribute spesifik untuk robot asal Jepang tersebut, namun akan jadi lebih bagus lagi jika mereka juga ‘meniru’ apa yang membuat Gundam begitu fenomenal. Gundam bukan semata soal robot mech yang bertempur di luar angkasa, bukan sekedar ledakan tak berarti. Tema gede dari Gundam adalah horor dan penderitaan yang disebabkan oleh perang. Pertempuran robot hanyalah lapisan terluar yang anggaplah sebagai bonus dari penceritaan yang menarik. Pacific Rim: Uprising, semuanya tentang lapisan terluar. Film ini mengerti bagaimana mengadegankan sekuens aksi yang menghibur, hanya saja tidak ada apa-apa di balik permukaannya. Beberapa penonton mungkin akan terhibur, tapi sebagian besar waktu, film ini tak lebih dari usaha agresif  mengapitalisasi sebuah brand yang baru.

Scrapper ngingetin aku sama Acguy di game Gundam

 

 

 

Benar-benar film studio dengan ledakan tanpa seni di dalamnya. Jika kalian hanya peduli monster dan robot berantem dengan spesial efek yang keren, kalian akan bersenang-senang dengan film ini. Jika kalian ingin sesuatu yang bisa membuat kalian peduli dan menonton sesuatu yang actually punya maksud dan kedalaman, film ini tidak akan memuaskan tuntunan kalian.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for PACIFIC RIM: UPRISING

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

12 STRONG Review

“Spirit, that made those heroes dare to die…”

 

 

 

Dengan wajah berlumuran tanah Afghanistan yang hitam, Chris Hemsworth berlindung di balik puing-puing. Dia baru saja terjatuh dari kuda tunggangannya, yang sekarang pergi entah ke mana. Hemsworth tidak bisa mencemaskan itu sekarang, karena kesebelas pasukannya – kesebelas teman dekatnya – juga tidak ia tahu keadaan mereka bagaimana. Para Taliban yang selamat dari jatuhan bom dari pesawat, sedang melakukan serangan balasan secara tiba-tiba. Pasukan Amerika boleh saja menguasai udara, namun perang dimenangkan di darat. Dengan tank Taliban menyerbu balik. Pasukan sekutu kocar-kacir. Hemsworth menembaki pasukan musuh dengan marah. “Nah, kau punya Mata Pembunuh sekarang,” pemimpin pasukan Afghanistan yang jadi sekutu memujinya.

Ada banyak momen intens seperti demikian pada 12 Strong. Film perang garapan sutradara baru Nicolai Fuglsig ini paham betul cara menggambarkan tokoh protagonisnya sebagai pahlawan aksi. Adegan-adegan kuat yang merefleksikan perjuangan, yang membuktikan kehebatan juang dari pasukan pertama Amerika setelah peristiwa 9/11 itu akan membuat kita ikut merasa berdebar. Chris Hemsworth di sini memainkan tokoh yang beneran ada, dan dia sudah siap untuk semua aksi heroik tersebut. Dia adalah Nelson, seorang kapten yang belum pernah turun ke medan pertempuran. Namun kini, dia mengajukan diri untuk memimpin sebelas pasukannya ke tanah konflik di Afghanistan demi mengacaukan rencana teroris; menghambat pergerakan pasukan teror yang berencana menjadikan negara tersebut training ground sebagai semacam Hogswart buat teroris, kali’ . Dua belas orang ini adalah simbol perlawanan dan harapan kemanusiaan. Mereka, hanya berkuda saja, berjuang melawan tank baja. How cool is that? Dan ini nyata!

Kuda lawan tank, eng-ing-engg!

 

Secara mengejutkan,  meski memang fokus film ada pada ledakan dan aksi yang terlalu artificial, filmnya punya pengarakteran yang dangkal dan kebanyakan berangkat dari trope-trope usang film perang, sesungguhnya cerita punya daging yang membuat film ini lumayan menarik. Bagian terkuat cerita bukanlah pada saat tank-tank itu meledak, melainkan pada saat cerita membahas kemanusiaan dari perang. Di Afghanistan, pasukan Kapten Nelson dibantu oleh sepasukan pejuang lokal yang membenci Taliban, sekaligus juga gak menganggap Amerika  benar-benar sebagai teman. Jadi, Nelson harus berusaha menjalin komunikasi dengan mereka. Kalian tahu, mencoba mencari tahu apakah pasukan ini pantas dipercaya, mempelajari motif mereka, berusaha menyatukan dua kepentingan yang berbeda. “Hari ini kita teman. Besok bisa saja jadi musuh.” Begitulah persisnya situasi yang mereka hadapi. Jelas, ada perbedaan kebudayaan di antara kedua kubu yang bersekutu tersebut. Film menunjukkan ini lewat dialog antara Nelson dengan pemimpin pasukan sekutu, Abdul Rashid Dostum. Kita bisa lihat kedua orang ini belajar banyak dari masing-masing soal kepemimpinan. Soal motivasi perjuangan yang mereka lakukan. Soal perang.

Kata siapa mereka melakukannya karena berani mati? Nelson dan teman-teman, mereka ketakutan setengah mati. Mereka ingin pulang dengan selamat ke keluarga yang dicinta. Makanya mereka jadi berani. itulah yang membuat mereka menjadi begitu hebat. Reward mereka adalah kemenangan. Berbeda dengan pasukan Taliban yang tidak punya stake, karena bagi mereka reward mereka ada di saat setelah kematian. Kita justru akan membuat yang terbaik jika kita punya sesuatu yang ingin dipertahankan, jika ada suatu kehilangan yang kita takutkan.

 

Aku bisa memahami kesulitan yang diambil oleh film ini dalam menggambarkan bahaya. Maksudku, ini diangkat dari kisah nyata dan kita tahu apa yang terjadi, jadi ya akan sedikit ‘kebegoan’ yang kita rasakan ketika tembakan para Taliban itu enggak ada yang kena. Mereka dibikin udah kayak Stormtrooper demi kebenaran cerita. Tetapi pada akhir film, kita toh masih bisa menghargai perjuangan para tokoh. Kita masih melihat mereka sebagai pahlawan.  Ada juga beberapa adegan yang bikin kita ngeri akan keselamatan mereka. Dan kebanyakan hal tersebut datang dari pengorbanan para tokoh yang lain. Pemimpin pasukan Taliban dalam film ini, bandit gedenya, diperlihatkan sebagai benar-benar jahat. Pakaiannya aja udah hitam dari ujung kaki sampai ke turban. In fact, pertama kali kita melihatnya, orang ini sedang mengeksekusi mati seorang wanita di depan anak-anaknya. Apa dosa si wanita? Dia ngaajarin anak-anak ceweknya itu ilmu pengetahuan. Jadi, tidak banyak dilema moral yang dihadirkan. Tipikal pahlawan lawan penjahat. Orang yang sedikit ‘baper’ akan melihat film ini sebagai kehebatan Amerika melawan negara asing terbelakang. Orang yang kebanyakan main video game seperti aku akan menikmatinya sama seperti menikmati permainan video game yang seru dengan setiap adegan aksi sebagai stage yang harus dikalahkan oleh jagoan kita.

Pertanyaan moral tidak ditinggalkan sepenuhnya, meskipun juga tidak pernah benar-benar diangkat ke permukaan. Pasukan yang membantu Nelson itu, misalnya. Mereka membantu dengan agenda pribadi, kita diberikan pengetahuan tentang ada dua pasukan sekutu lain di Afghanistan, tapi mereka ini saling benci juga satu sama lain. Aspek ini hanya dijadikan latar saja lantaran kita tidak pernah tahu pasti apa yang sedang terjadi di negara tersebut. Kita tidak dibawa melihat ke dalam lingkup politiknya. Karena film ingin tampil ringan, maka ia mengenyampingkan elemen-elemen lebih gelap yang terkandung di dalam ceritanya. Seperti aspek ‘Mata Pembunuh’ yang kusebut di awal ulasan tadi. Kita tidak pernah benar-benar merasakan beban itu bergulat di dalam diri Nelson. Film perang yang baik akan menjadikan dilema moral tokoh utamanya sebagai fokus. Ambil contoh Full Metal Jacket (1987), tokoh utama film itu tadinya enggak mau membunuh anak-anak dan wanita. Di akhir film, justru dialah yang harus menarik pelatuk ke sniper remaja cewek Vietnam yang udah membunuhi teman-temannya. Konflik yang selaras sama perjalanannya memahami kematian merupakan salah satu jalan untuk mendapat kedamaian. Sebaliknya pada 12 Strong ini, perubahan yang Nelson alami; dari tentara menjadi pejuang, dari matanya gak memancarkan aura pembunuh menjadi punya tatapan nanar dengan keinginan untuk menghilangkan nyawa musuh, kita tidak betul-betul merasakan inner struggle dari ‘transformasi’  atau pembelajaran ini.

Dari yang ga pernah perang tau-tau jadi yang paling paham

 

Elemen yang menjadi pembeda cerita ini dengan cerita perang lain adalah gimana mereka berdua belas begitu ditekankan berperang dengan menunggang kuda. Tapi bahkan ‘gimmick’ ini pun tidak mendapat pengembangan yang berarti. Film gagal menggali stake atau bahaya dari aspek berkuda ini, padahal sudah ada build up kesebelas rekan tim Nelson tidak ada yang pernah berkuda sebelumnya. Hanya ada satu kali kesusahan naik kuda ini diperlihatkan sekilas, dan cuma satu orang yang eventually pinggangnya sakit kebanyakan menunggang kuda. Pada saat perang berlangsung, mereka udah kelihatan kayak joki paling profesional semua. Malah mungkin lebih jago mengingat terrain pegunungan berbatu dan ledakan bom di mana-mana. Dan tentu saja penggunaan kuda buat berperang itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk menambah kedalaman cerita dengan menantang moral – yang mana sesuai konteks dengan Nelson yang gak mau ada pertumpahan darah – namun film sama sekali tidak menggubris soal ini.

 

 

Film perang, dulu, digunakan untuk ‘menyindir’ perang itu sendiri. Dibuat sebagai sentimen dari pesan-pesan antiperang dengan mempersembahkan dilema moral yang dialami para tokohnya. Sekarang, film perang kebanyakan dimanfaatkan selayaknya media iklan untuk mempropagandakan kehebatan militer tentara tertentu. Film garapan Fuglsig ini mencoba untuk menjadi film perang berjiwa old, yang sayangnya malah ditangani dengan nyaris tidak berjiwa. Film ini mestinya bisa menjadi lebih baik lagi, mungkin, apabila pembuatnya mau terjun riset ngobrol ama veteran-veteran perang ketimbang mencatat aksi-aksi seru pada film-film perang yang pernah dibuat sebelumnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for 12 STRONG.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DARKEST HOUR Review

“The art of communication is the language of leadership.”

 

 

Ada orang-orang tertentu di dalam hidup yang kita harap mereka tidak gampang ditebak, seperti tetangga sebelah rumah atau cewek yang lagi kita taksir. Dan kemudian, ada orang-orang tertentu yang kita tidak mau mereka gak gampang ditebak. Seperti orangtua kita, atau dokter gigi. Atau Perdana Menteri. Kita mau pemimpin yang tegas, yang mengambil langkah pasti ketika negara berada pada masa-masa sulit.

 

Winston Churcill ditakuti ketika pertama kalinya dia menjabat Perdana Menteri Inggris pada bulan Mei 1940 itu. Karena enggak ada satu orang anggota partai di parlemen pun yang tahu apa yang selanjutnya bakal  keluar dari mulut salah satu pemimpin paling disegani di dunia tersebut. Sementara Inggris dan negara-negara Eropa lain dalam posisi terdesak. Pasukannya digempur Nazi sampai ke pinggiran pantai Perancis, Inggris dihadapkan pada dua pilihan; bernegosiasi dengan Jerman, atau terus melawan – pantang kalah. Tau dong apa yang dipilih oleh Winston Churcill. Ada dalam catatan sejarah. Atau paling enggak, disebutin dalam film Dunkirk (2017) yang fenomenal tahun lalu.  Film Darkest Hour menceritakan tentang bagaimana keputusan yang diambil oleh Churchill bukanlah hal yang mudah bagi dirinya. Churchill mendapat banyak tantangan, dia dikecam sadis. Pandangan dan keputusannya dianggap fantasi  delusional yang membahayakan. Kita melihat kebenaran di mata Churchill, dibayangi oleh keraguannya sendiri – apakah mengirim jiwa-jiwa muda ke ‘tempat pembantaian’ adalah langkah yang benar. Kita juga melihat Churchill dari mata orang-orang terdekatnya.

“Saat kepala kita ada di dalam mulutnya, kita tidak bisa nego sama macan.” begitu tingginya semangat Churchill dalam melawan tirani. Komplikasinya datang dari beberapa orang yang menginginkan semua berakhir dengan baik-baik. But at what cost? Buatku, aspek inilah yang membuat cerita Darkest Hour menarik. Kita hampir melihat film sebagai studi psikologis dari karakter Churchill. Dia bisa melihat bertempur hingga akhir adalah jalan yang benar untuk kebaikan yang lebih besar, akan tetapi dengan melawan, tidakkah nanti dia jadi sama-sama aja dengan Hitler?

Pertempuran hebat terjadi di depan mata kita, tapi enggak semua dari kita menyadarinya. Aksi film ini terletak pada kata-kata, pada semangat berjuang Churchill yang membara di dalamnya. Dan musuhnya bukan hanya pihak Nazi. Karena sesungguhnya hal yang paling susah dalam berperang adalah menjaga diri untuk enggak menjadi sama dengan pihak yang kita lawan. Di dalam gedung parlemen itu, Churchill udah nyaris selalu diantagoniskan, namun dia tetap bertahan. Film menangkap dengan tepat momen-momen intens mengenai konflik inner Churcill. Makanya, adegan di menjelang akhir, ketika Churchill memutuskan untuk pergi naik kereta bawah tanah sendirian, di mana dia ngobrol dengan penduduk kota, terasa sangat mantap menghangatkan. Sebab itulah momen yang meneguhkan pilihan sang protagonis. Bahwasanya setiap orang, jika punya kesempatan, akan memilih untuk berjuang.

kalo kamu berbeda, itu artinya antara kamu paling maju atau kamu paling gila.

 

Now, let’s just address the big elephant in the room. Gajah yang tertutup oleh make up dan efek prostetik yang membentuk seutuh sosoknya. Gary Oldman sebagai Winston Churchill. Perubahannya menjadi sosok yang ia perankan, maaan, ini udah bukan lagi level meniru. Gary Oldman udah kayak menciptakan Winston Churchill dari dalam dirinya. He was completely changed, kecuali matanya yang terus mengobarkan perjuangan dan tampak restless kayak mata Sirius Black. Ini adalah dedikasi tiada tara dan permainan peran kelas dewa. Definitely penampilan terbaik Gary Oldman sepanjang karirnya. Aku enggak akan heran kalo setelah Golden Globe, aktor ini juga akan menyabet Oscar karena penampilannya di film ini. I mean, kita bisa saja bego total sama sejarah dan enggak tahu siapa Winston Churchill, dan tetap akan tertarik sepanjang dua jam lebih durasi hanya karena permainan akting tokoh utama ini. Oldman benar-benar menangkap esensi dari Churcill, dia tampak sepertinya, terdengar sepertinya, bergerak sepertinya, bahkan sampai kebiasaan ngerokok pun gak luput untuk diwujudkan.

Meskipun karakter Churchill dieksplorasi dengan mendalam, kita enggak mendapat banyak tentang karakter-karakter lain di sekitarnya. Di sini ada Lily James yang berperan sebagai sekretaris pribadi Churcill yang bernama Elizabeth Layton yang ada di sana untuk mengetikkan langsung kata-kata Churchill saat Perdana Menteri itu ingin mengirimkan surat. Hubungan kedua orang ini sebenarnya cukup menarik. At first, Elizabeth yang baru bekerja dimarah-marahin karena enggak sesuai dengan standar pengetikan yang ditetapkan oleh Churchill. Ngetik harus elegan – gak boleh berisik karena suara mesin ketik itu malah mengganggu proses berpikir,  spasinya kudu dobel,  juga tidak pake kol(!). Motivasi Elizabeth tetap bekerja pada Churchill, dia gak marah dibentak – malah nyalahin diri sendiri –  sebenarnya juga cukup menarik. Ini bukan masalah karena Elizabeth pengen banget kerja untuk Perdana Menteri, tapi lantaran cewek ini begitu kagum  kepada Churchill. Dia melihat si bapak tua sebagai seorang manusia, sama seperti film ini membuat kita melihat Oldman sebagai sosok yang manusiawi. Kemampuan speech Churchill terutama menarik banget buat si sekretaris, kita bisa melihat dia senang mengetikkan kalimat-kalimat berapi tersebut. Juga ada alasan personal yang menyangkut salah satu anggota keluarga Elizabeth. Kelamaan, kita melihat kedua orang ini menjadi dekat. Tapi film enggak pernah mengeksplorasi sudut pandang Elizabeth lebih lanjut.

ngetik gak ada backspace/delete/undo itu kayak main game tapi gak pake save-an

 

Begitu pula dengan sudut pandang istri Churchill, Clementine. Menurutku aktris Kristin Scott Thomas kurang diberdayakan di sini, padahal tokohnya punya peran yang menarik. Clementine adalah makhluk pertama yang mengingatkan kepada Churchill atas sikapnya yang mengalami deteriorasi (baca: Churchill semakin kasar) sejak suaminya itu meletakkan politik di atas segala kepentingan. And later, tentu saja, aspek ini bermain kembali saat kita melihat Churchill mulai mempertanyakan keputusannya mengirim tiga ratus ribu pasukan terdampar di pantai Dunkirk; apakah benar dia sudah mengalami kemunduran perasaan terhadap sesama manusia. It would be nice jika kita dikasih lebih banyak kesempatan untuk melihat hubungan antara Churchill dengan orang-orang terdekatnya. Paling enggak, bisa jadi alasan untuk mengubah ‘pemandangan’ biar gak bosen ketimbang melulu melihat pria-pria di ruang rapat.

Seperti apa sih pemimpin yang bagus itu? Winston Churchill berani menunjukkan apa yang menurutnya diperlukan untuk membawa negara menuju kemenangan. Dia berani bersuara, mewakili rakyat. Karena ternyata rakyat juga menginginkan perjuangan. Bahkan Raja Inggris saat itu pun sebenarnya ingin berjuang, alih-alih pindah ke Kanada. Negosiasi dapat diartikan sebagai tindak menyerah. Dan perjuangan itu bisa diawali dengan menggunakan kata-kata yang tepat. Bersuaralah. Gunakan kata yang tepat. Karena hanya kata-kata yang tepat yang bisa menggerakkan.

 

 

 

Film ini adalah pelajaran sejarah yang penuh oleh suara-suara yang akan menggenggam erat kita. Menontonnya akan terasa seperti lagi dengerin ceramah guru sejarah beneran; bicara sangat lama sehingga kita mengantuk, akan tetapi suaranya lantang penuh intensitas sehingga kita menolak untuk tertidur. Dan perlu diingat, kita dapat belajar lebih banyak tentang masa kini dengan melihat kepada masa lalu, demi kemajuan. Dengan penampilan akting tingkat dewa, dengan production design yang detil, film ini menunjukkan masa-masa gelap, jahiliyah, dan untuk itu kita perlu menyukuri jaman now di mana kita melihat banyak suara-suara resistance di mana-mana mengenai masalah kepemimpinan. Jika ada yang diperlihatkan oleh film ini, maka itu adalah antara rakyat dengan pemimpinnya perlu untuk ‘bertemu’ demi kemajuan negara.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for DARKEST HOUR.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MERAH PUTIH MEMANGGIL Review

You either die a hero or live long enough to see yourself become the villain”

 

 

Sesungguhnya mati sebagai pahlawan atau hidup cukup lama kemudian menjadi penjahat itu bukan pilihan. Karena kita enggak bisa memilih untuk menjadi pahlawan. Untuk menjadi pahlawan dibutuhkan pengorbanan, keberanian. Enggak sekedar mejeng di uang kertas atau nampang jadi nama jalan. Kita enggak bisa mutusin untuk nolong orang lalu mati supaya bisa minta “ntar patung gue dilapis emas ya”. Meski ikhlas kerjaan mereka gak pernah enak, tentara-tentara dalam Merah Putih Memanggil jelas tidak akan ngarep sukur-sukur mereka gugur di medan perang. Mereka punya keluarga yang menanti di rumah. Bahkan pada detik-detik peluru menghujani tubuh mereka, mereka tidak tahu mereka adalah pahlawan.  Dan itulah poin gede kalimat yang diucapkan Batman di atas;

Kita belum menjadi sebenar-benarnya pahlawan selama kita masih menyadari kita memilih melakukan sesuatu yang heroik. Pahlawan adalah penghargaan terbesar yang bisa diberikan orang lain atas tindak pengorbanan dan kemanusiaan yang kita lakukan.

 

Sekelompok teroris menyandera tujuh orang penumpang kapal pesiar di dalam pulau persembunyian mereka. Which is just outside of Indonesia’s jurisdiction. Demi keselamatan warga negara yang merupakan salah satu dari sandera, angkatan militer Indonesia bermaksud melakukan penyusupan. Masuk ke pulau, keluar dengan membawa para sandera. Tentara gabungan Indonesia hanya diberikan waktu 48 jam untuk melaksanakan operasi Simpel. Namun  bukan tanpa bahaya. Dalam pulau yang tak ramah tersebut, segala rencana yang disusun bisa berantakan oleh pertanyaan moral. Ini berubah menjadi misi hidup atau mati yang mengerikan. Para tentara harus mengawal sandera-sandera ke titik penyelamatan, secepat dan seaman-amannya, menyusuri hutan yang dipenuhi oleh pasukan teroris. Mereka literally dikejar peluru, satu persatu gugur berjatuhan.

“sekarang kita istirahat, silahkan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kenalan dan pengembangan karakter”

 

Belum lama ini kita sudah menyaksikan gimana Christopher Nolan menembus batasan film perang lewat Dunkirk (2017), ada begitu banyak terobosan yang dibuatnya dari segi filmmaking, dan juga bercerita. Nolan dengan berani menaruh kita so in-the-moment of war, sehingga kita tidak perlu mengenal para tokoh untuk menjadi peduli. Makanya, begitu menonton Merah Putih Memanggil, ada perasaan sedikit aneh. It’s just like, we revert back to that time. Mungkin perbandingannya memang terlalu jauh, namun T.B. Silalahi tidak melakukan inovasi dalam cerita garapannya ini. Tidak ada pilihan-pilihan baru yang diambil. Trope-trope seperti prajurit yang ninggalin istrinya yang sedang hamil kembali kita temukan sebagai langkah mudah dalam usaha memancing sisi dramatis. Film ini diniatkan sebagai epos tentang KEPAHLAWANAN DAN KEPERKASAAN KEKUATAN MILITER INDONESIA, dan mereka melakukannya dengan triumphant, mengusahakan terbaik yang mereka bisa. Tetapi  sesungguhnya ada begitu banyak yang bisa dilakukan untuk mengimprove ataupun membuat film ini menjadi lebih menantang dan menyenangkan lagi untuk kita tonton.

Sinopsis resmi film ini mengatakan tujuh sandera adalah orang-orang dari kewarganegaraan yang berbeda. Sayang sekali, tidak banyak dari mereka yang diberikan kesempatan berbicara, apalagi diberikan perspektif yang dalem. Menurutku, film benar-benar melewatkan kesempatan besar di sini. I mean, warga negara A, B, C disandera bareng oleh warga negara D, disekap di pulau negara E, diselamatkan oleh negara C, mereka bisa menciptakan dialog dan konflik kemanusiaan skala global di sini. Tapi enggak, film hanya tertarik memperlihatkan sedikit backstory tokoh-tokoh yang nantinya dibuat tewas supaya kita bisa kasihan sama mereka. Perang menarik karena kita tidak semestinya melihat tragedi tersebut sebagai sesuatu yang hitam putih. And it looks like this film didn’t get that memo. Cerita tidak pernah mengeksplorasi sisi teroris, siapa mereka, kenapa Ariyo Wahab menculik orang-orang berkewarganeraan berbeda, kenapa dia bisa punya seragam dan pasukan sendiri. Apakah dia hidup terlalu lama sebagai tentara sehingga beneran berubah menjadi penjahat?

Di sisi lain, toh film ini juga punya sisi menarik yang muncul ke permukaan saat babak ketiga. Ada keretakan dalam barisan musuh sebab mereka enggak tahu berhadapan dengan siapa. Aku suka dengan plot poin ini, karena di awal film sudah menetapkan bahwa sebelum berangkat, tentara Indonesia menanggalkan semua identitas dan atribut negara. Mereka enggak ingin dikenali sebagai tentara Indonesia oleh musuh, mungkin dengan alasan politis. Ini menciptakan misteri di pihak musuh. Poin ini juga dimainkan dengan baik, di mana di akhir pertempuran, ada satu tentara yang memutuskan untuk mengikat perban berlumuran darah di kepala, memakainya sebagai bandana, dan tindak ini adalah berupa kebanggaannya bertempur atas nama Indonesia. Film mestinya banyak memasukkan hal-hal subtil seperti ini, karena ini feelnya dapet banget.

Plis jangan marahin Lexis, dia bukan tentara. Dia bukan superstar, kaya dan terkenal.

 

Babak satu adalah babak set up standar yang sangat terbebani oleh banyaknya eksposisi. Kita mendengar detil rencana mereka, kita mendengar informasi dengan istilah-istilah militer. Menurutku bagian inilah yang paling membosankan. Aku juga merasa ada tone yang kontras antara babak satu dengan babak tiga. Di tiga puluh menit awal, film seperti bermain aman. Adegan tembak-tembakannya bersih, tidak ada darah berlebihan, kamera juga sering ngecut dengan cepat – beralih dari adegan yang cukup menegangkan, seolah film ini ingin meminimalisir kekerasan supaya bisa dapet rating Remaja. Kupikir, ini adalah keputusan yang aneh. Sebab film perang akan susah sekali meyakinkan jika enggak berani mempertontonkan kekerasan. Dan sepertinya film ini pun setuju, sebab di babak tiga mereka seakan bilang “ah sebodo amat” dan kita dapat adegan orang menggigit putus jarinya sendiri. Bagian aksi pun seketika meningkat di babak ketiga. Quick-cut dan kamera yang goyang berkurang, kita lebih mudah grasp towards the scenes. Karena di bagian sebelumnya, editing bagian aksi tampak chaos sekali, kita enggak bisa tau pasti siapa nembak, siapa yang mati, mereka ada di mana, dan lain-lain.  Adegan penyusupan awal, saat tentara terjun payung masuk ke wilayah teroris, tidak terasa intensitasnya. Build upnya ada namun teroverlook oleh kasar dan abruptnya editing – penyatuan adegan.

Malahan, ada beberapa adegan yang jatohnya kocak dan mengundang tawa penonton. Tentara menembak sarang lebah terus pasukan teroris kabur disengat kayak adegan Tuyul dan Mbak Yul, sukses bikin empat pemuda berbadan kekar yang nonton di barisan di depanku ngakak. Para pasukan sempat-sempatnya ganti riasan kamuflase, mereka ngumpet di semak-semak, lucunya adalah hutan mereka enggak serimbun itu. Akting sedikit kaku dari tokoh tentara bisa dimaafkan sebab mungkin memang begitulah tentara di dunia nyata. Sesungguhnya set dan properti juga terlihat genuine, dan mungkin memang ‘sesederhana’ itu perjalanan misi tentara sesungguhnya. Namun, ketika kita mengolah film, kita harus bisa memancing excitement. Membangun hal menjadi menarik, membumbui dengan drama dan konflik yang meyakinkan. Film ini kurang banget dari sisi plot.

Aku bahkan lebih peduli kepada ular yang mereka makan, itu ular beneran? Apakah film ini ngepull Cannibal Holocaust (1980) dengan adegan makan binatang itu? Karakter-karakter Merah Putih Memanggil seharusnya bisa digali lagi. Atau kalo mau kayak Dunkirk, rekam adegan aksinya dengan meyakinkan dan perlihatkan sesuatu penceritaan yang baru. Dari sekian banyak sandera, hanya satu yang dikasih dialog. Dan itupun hanya sebatas nanyain orangtuanya.  Aku selalu high setiap kali teman-teman Gadis Sampul mendapat peran dalam film, apalagi film yang berani ngambil tema tak biasa seperti ini. Akan tetapi, Mentari De Marelle di sini tidak diberikan karakter yang berarti. Tokohnya di sini cuma cewek blasteran, and she did nothing selain nanya-nanya di mana orangtuanya. Teriak-teriak. Panik, Annoying. Tatapan Prisia Nasution (yang btw di sini tokohnya pendiem banget) ketika si Mentari lagi-lagi merengek bikin aku teriak “shoot her!”  

Jika pipis adalah hal yang dinotice oleh film, kenapa kita tidak pernah lagi melihat ada yang kebelet lagi di sepanjang film? Mungkin ditahan. Mungkin enggak kerasa. Ini mengindikasikan bahwa bahkan saat disandera, kita merasa lebih rileks ketimbang saat berlarian di medan perang. Kita masih bisa kepikiran kencing saat nyawa di bawah belas kasihan orang lain. Namun, ketika kebebasan yang dipertaruhkan, apalah faedahnya sedikit kenyamanan. It’s a long stretch, but I think inilah yang dilakukan oleh pahlawan. Mereka tidak lagi kepikiran apapun di luar tindakan yang mereka ambil atas dasar kemanusiaan. Oh man, aku gak percaya aku baru saja menarik garis antara pipis dan kepahlawanan.

 

 

 

Sebenarnya susah juga mengulas film ini, karena ia punya kepentingan, dan aku ngeri disalahartikan tidak menghargai jasa pahlawan. I mean, aku bahkan enggak tau apakah ini dari kisah nyata atau bukan; di kredit penutup mereka ngasih liat foto-foto jadul para tentara yang aku enggak yakin apa hubungannya dengan cerita. Aku terutama melihat ini dari sisi produk akhirnya sebagai sebuah film. Plotnya simpel. Yang tadinya dalam bahaya, jadi selamat. Yang tadinya tentara, jadi pahlawan. Ada nuansa genuine saat porsi aksi. Hanya saja mereka tidak menggarapnya sehingga menjadi cukup intens. Film ini terlalu standar untuk menjadi tontonan yang patut diperhitungkan dalam genre survival dan perang. Toh, film ini menyampaikan maksudnya; Jika film G30S PKI sukses berat memperlihatkan PKI sebagai antagonis, maka film ini tak pelak membuat kita lebih nyaman percaya kepada kekuatan militer Indonesia.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for MERAH PUTIH MEMANGGIL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MEGAN LEAVEY Review

“Whoever said diamonds are a girl best friend, never owned a dog.”

 

 

Anjing dapat merasakan ketakutan seseorang. Aku tahu teori itu seratus persen benar. Aku hanya enggak tahu apakah kalimat tersebut seharusnya bisa menenangkan orang yang takut sama anjing. Maksudku, setiap kali papasan sama anjing di jalan, lututku malah semakin lemas terutama jika teringat saran “Jangan takut, nanti anjingnya tahu kalo kau takut”. Arya kecil memang sering dikejar anjing-anjing tetangga, malah aku bersumpah istilah yang tepat adalah Arya kecil sering dibully anjing tetangga. Karena mereka tahu aku gugup dan takut banget sama mereka.

Bukan hanya rasa takut, para ahli berpendapat bahwa anjing bisa mengetahui perasaan atau emosi seseorang. Kemampuan ini sejalan dengan penciuman anjing yang luar biasa tajam. Mereka dapat membaui adrenalin, pheromone, ataupun senyawa lain yang menguar dari manusia. Saat anjing menggonggongi orang tak-dikenal, bisa saja karena mereka mencium senyawa yang keluar dari perasaan negatif manusia. And they didn’t like to sniff those feelings. Orang yang sedang disalaki biasanya antara sedang cemas, gelisah, sedih, atau sedang merasa bersalah.

 

Bahkan ketika kita membawa anjing jalan-jalan, getaran perasaan yang kita alami bisa sampai ke anjing melalui tali leash mereka. “Semua yang kau rasakan mengalir di tali itu,” Sersan Andrew Dean menasehati Megan Leavey seperti itu ketika Megan terihat tidak nyaman dipasangkan dengan anjing paling galak di camp pelatihan mereka, “Aku tidak bisa mengajarkan gimana hubungan tercipta di antara kalian” lanjut Sersan Andrew. Mempertahankan hubungan sosial, berakrab-akrab ria jelas bukan kelebihan yang dimiliki Megan. Malahan, alasan cewek ini ikutan gabung di US Marine Corps awalnya adalah semata karena dia males berhubungan sama manusia. Megan dipecat dari berbagai pekerjaan. Dia berantem melulu sama ibunya. Dan sekarang Megan justru harus dealing with anjing pelacak bom yang belum apa-apa sudah menggigit separoh bokongnya.

Apapun yang terjadi jangan nurunin celana di depan K-9. Apalagi nungging!

 

Film ini diangkat dari kisah nyata VETERAN PERANG DAN ANJING PAHLAWAN, bersama mereka sudah berhasil menemukan sejumlah besar bom dan ranjau, dan menyelematkan nyawa banyak orang. Pada beberapa kesempatan, film ini bisa menjadi sedikit too much buat para penyayang binatang. Terutama penyayang anjing. Sekuens perang yang dihadirkan sangat intens. Kita dapat banyak build up yang sangat menegangkan. Megan dan anjingnya, Rex, berjalan di depan garis depan mengendus bom, mencari ranjau dan peledak tersembunyi yang lain. You know, adegan-adegan yang membuat kita mendapati diri berdoa dalam hati “semoga anjing itu enggak terluka”. Kita begitu terinvest terhadap keselamatan mereka dan itu disebabkan oleh penampilan akting yang sangat hebat dari Kate Mara (Megan Leavey adalah penampilan terbaiknya sejauh yang pernah kutonton) dan dari anjing (mungkin juga anjing-anjing) yang memerankan Rex.

Elemen pelacak bom memberikan semacam pengalaman baru buat kita.  Ada sudut pandang segar yang orisinil sebab kita melihat perang dari bagian militer yang belum banyak dieksplorasi sebelumnya. Kita melihat Megan dan Rex berlatih. Anjing diajarkan untuk mengenali peledak, dan tentara pendampingnya harus belajar bagaimana memberikan perintah, membimbing, memberi anjing-anjing itu pujian, dan merawat – jika diperlukan – memberikan pertolongan medis. Dari sinilah bond mereka yang sangat menyentuh hati itu berkembang. Film ini melakukan kerja yang fantastis dalam menunjukkan gimana hubungan yang dalam bisa tumbuh dan terjalin antara manusia dengan hewan. Dengan terasa sangat real. Namun begitu, beberapa orang mungkin akan menangkap film ini sebagai terlalu overdramatis. Menurutku, hanya penyayang binatang yang benar-benar bisa mengerti bonding tersebut.

Jikapun aku penyayang binatang, maka obviously aku bukan penggemar anjing. Bisa dibilang I’m more of a cat person. Tapi aku tetap tersentuh oleh film ini, sebab aku bisa mengerti apa yang dirasakan oleh Megan ketika unexpected bonding terjadi. Dulu pernah ada kucing hitam yang terluka ngabur cari perlindungan ke kamar kosanku. Lukanya parah, kakinya patah. Karena takut kalo-kalo tuh kucing isdet di balkon kamar dan mikirin betapa repotnya harus menguburkan dan segala macem, kucing itu aku kasih makan. Eh setelah sembuh, bukannya pergi, dia malah betah di kamar. Masalahnya adalah aku juga enggak berani-berani amat sama kucing, sementara kucing yang satu ini liarnya bukan main. Mungkin dia ngajak main, tapi kukunya enggak pernah dimasukin. Kaki dan tanganku penuh luka goresan. Saking liarnya, kucing item jantan itu aku kasih nama Gelap Jelita dengan harap supaya jadi jinak. Namun enggak ngaruh. Jadi aku ngerti deh ketakutan yang dialami Megan ketika disuruh masangin perban ke Rex yang pernah menggigit tentara lain sampai tangan tuh orang patah. Dan ketika nonton film ini, mau-tak-mau aku teringat sama kucing itu.

Wajah nginyemmu ketika mereka bawa pulang tulang-tulang sebagai balas jasa

 

Belum lama ini di Netflix tayang film Okja (2017) yang juga menceritakan tentang hubungan antara manusia dengan binatang. Namun, di balik kisah manis anak kecil dengan babi mutan peliharaannya itu, terasa ada ambisi lain yang turut dibicarakan oleh film. Megan Leavey terasa lebih manusiawi karena film ini hanya memfokuskan tentang gimana manusia yang begitu mendambakan hubungan sosial dan apa yang terjadi ketika dia mendapatkannya dari makhluk hidup lain. Film ini lebih mengeskplorasi feeling tanpa benar-benar menjadi cengeng atau sappy. Persahabatan dalam Okja terhalang oleh komentar soal perangai konsumtif dan ekonomis manusia. Dalam Megan Leavey, persahabatan manusia dan hewan ini terhalang oleh aspek teknikal; di mana anjing veteran perang – terutama yang galak kayak Rex – dicap berbahaya jika kembali hidup di masyarakat. Ada tema perang yang digunakan untuk mewarnai narasi dengan sedikit elemen budaya – gimana perlakuan negara muslim terhadap anjing – tapi itu dibahas dengan ringan, tanpa menjadi terlalu hitam-dan-putih.

Siapapun yang berkata berlian adalah teman terbaik wanita, pastilah belum pernah memelihara anjing. Atau belum pernah mendengar cerita tentang Megan Leavey.

 

Kehidupan normal Megan juga diberikan kesempatan untuk tampil. Kita melihat hubungannya dengan orangtua, masalah pribadinya. Juga ada kisah cinta dengan sesama tentara. Hanya saja romansa ini tidak benar-benar pergi ke mana-mana. Seolah hanya untuk menunjukkan perubahan personal Megan setelah dia menyintai Rex. Lebih sering daripada enggak, transisi kehidupan Megan ini terlihat dipercepat. Misalnya, ketika dia abis dipecat, kemudian dia melihat dua tentara masuk toko, dan dia kontan jadi berniat masuk angkatan bersenjata juga. Lalu ada sedikit masalah bullying, yang kalo di naskah ini adalah bagian ‘tantangan pertama’, yang berakhir begitu saja. Aku mengerti film ingin memperlihatkan banyak sisi kehidupan Megan. Durasi keseluruhan film sudah nyaris dua jam, sehingga terkadang mereka sengaja mempercepat proses. Menggunakan montase untuk menjelaskan momen-momen emosional, ataupun dengan menggunakan teks. Ini dapat menjadi menyebalkan sebab kita ingin merasakan progres tokohnya, mengalami transisi itu secara langsung.

 

 

Kita tidak butuh penciuman setajam anjing untuk dapat mengendus sense of realism perasaan dan emosi yang terkandung dalam film ini. Menghadirkan drama excellent soal hubungan persahabatan manusia dan hewan dengan tidak pernah menjadi terlalu cengeng. Namun tetap bakal menarik-narik hati kita, terutama para penyayang binatang. Penampilan aktingnya memukau, sekuens aksinya sukses bikin kita khawatir.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for MEGAN LEAVEY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

WAR FOR THE PLANET OF THE APES Review

“When a man assumes leadership, he forfeits the right to mercy”

 

 

Kera sering dianggap sebagai kerabat terdekat manusia. Para ilmuwan dengan teori evolusi sih berkata begitu, we are both primates, rantai DNA dan segala macem punya kesamaaan. Namun siapa sih yang sudi dikatain mirip ama monyet? Well, sejak menonton film pertama dari prequel seri The Planet of the Apes, suka gak suka aku jadi terhenyak juga melihat pelajaran yang terus berulang; bahwa manusia dan kera itu memang mirip tanpa kita sadari. Kera juga adalah spesies yang menyayangi keluarga, hidup bersosial dan saling berketergantungan, mereka punya rumah, mereka punya emosi yang membentuk karakter.

Bahwa kemanusiaan bukan ekslusif milik manusia semata. Malahan, oleh film ketiga ini – yang mengeksplorasi kata pertama dari judulnya –  kita akan dibuat benci sama spesies kita sendiri. Kera diserang, diperbudak, mereka adalah korban dari ketidakmampuan manusia mengaplikasikan ‘kemanusiaan’ itu sendiri.

 

The Planet of the Apes has been a great series so far. Kita sudah melihat kebangkitan bangsa kera mengambil alih planet dari manusia. Kita sudah melihat permulaan era baru di mana bukan lagi manusia sebagai spesies terkuat, dan dalam film kali ini kita akan melihat perang antara manusia-manusia yang tersisa dengan kera-kera pintar itu terjebak di tengahnya. Namun lebih daripada tentang memenangkan peperangan tersebut, ini adalah tentang SURVIVE DARI HORORNYA PERANG. Perspektif film ini teramat kuat karena sebagian besar waktu kita akan ngikutin Caesar sebagai pemimpin bangsa kera, and it’s also about pilihan-pilihan yang dibuat oleh pemimpin. Struggle antara rasa belas kasih dan balas dendam menjadi elemen konflik yang mewarnai cerita.

screw science, we are at war!!

 

Pada titik ini, kita tidak lagi mengagumi Caesar hanya sebagai pencapaian teknologi. I mean, not to overlook the production dan efek film ini sih. Yang mana sangat mencengangkan. Sekali lirik adegan pembukanya saja, kita langsung sadar bahwa film ini dibuat tekun oleh sekumpulan orang-orang jenius yang sangat berbakat. Kerja motion capturenya adalah salah satu yang terbaik yang pernah aku tonton, semuanya terlihat nyata. Andy Serkis sekali bermain brilian menghidupkan Caesar. Seperti yang kutulis tadi, mereka bisa menyejejerkan manusia dengan kera dalam satu adegan dan kita akan lebih respek terhadap yang kera, tapi bukan lagi karena bulu dan tingkahnya terlihat asli dan meyakinkan. Caesar di sini teramat menderita. Dia bukan lagi kera kecil yang diajarin bicara sama James Franco. Dia tidak lagi seekor kera naïf yang idealis berusaha menjadi simbol perdamaian manusia dengan kera. Di sini Caesar dan kelompoknya belajar hal baru: Dendam. Amarah menguasai, as Caesar bergulat melawan sisi gelap dari dalam dirinya sendiri. Pertumbuhan inilah yang membuat War for the Planet of the Apes bekerja luar biasa berhasil sebagai penutup trilogi. Journey Caesar bukan hanya bergerak di dalam lingkar film ini saja, jika kita menonton ulang dari Rise, terus Dawn, terus War ini, maka akan terasa pergerakan natural dari arc Caesar dan tokoh-tokoh lain, bahwa arc mereka membentuk satu gambar besar. Tentu saja aku gembira sekali karenanya, sebab meski aku belum nonton seri yang jadulnya, aku suka seri Planet of the Apes modern ini sedari Rise (2011).

Tidak seperti Simian Flu yang enggak ada obatnya, untungnya film ini berhasil menyembuhkan beberapa ‘penyakit’ yang menurutku menjadi masalah dalam dua film sebelumnya. Main problem seri ini adalah mereka bicara begitu banyak sebagai kera, sehingga melupakan karakter manusianya. Tokoh manusia tidak dibuat semenarik Caesar dan kawan-kawan. Setiap kali film membawa kita ke posisi tokohnya James Franco atau tokohnya Jason Clarke, kita pengen cepet-cepet pindah kembali ke Caesar, yang selalu menjadi inti cerita. Dalam film ini, kita setidaknya dapat tiga tokoh manusia yang diolah dengan menarik. Terutama tokohnya Woody Harrelson yang awalnya terlihat komikal sebagai Kolonel keji yang menyerang rumah Caesar. Ada kedalaman di dalam tokoh ini.  Kolonel adalah cerminan seperti apa jadinya Caesar jika dia terjerumus ke dalam lubang kesalahan yang sama. Kedua orang ini adalah pemimpin yang sama-sama menderita oleh pengorbanan dan kehilangan, jadi mereka ingin memastikan kelompoknya tidak lagi mengalami hal tersebut.  Ada gagasan tentang trait pemimpin yang juga dibahas oleh film ini secara subtil lewat dinamika Caesar dan Kolonel.

Dan tentu saja simbolisme. Kolonel menangkap dan memperbudak kera-kera di markas pasukannya yang dibuat mirip banget ama markas pasukan holocaust. Pasukannya bahkan punya chant khusus segala. In fact, ada banyak imaji holocaust dalam film ini. Sejalan dengan itu, masalah kedua film-film Apes ini adalah terlalu banyak dialog eksposisi, terutama Dawn (2014) tuh, banyak banget.  Dalam film War, penulis tampaknya menyadari hal ini, dan mereka membuang semua penjelasan, kecuali pada satu sekuen di mana Caesar dan Kolonel  ngobrol tegang membahas apa yang terjadi di masa lalu.

kera saktiii, membuat semua orang menjadi gempar

 

Aku sudah dibuat ternganga semenjak tembakan pertama berdesing. Ada begitu banyak sekuens dalam film ini yang membuat aku takjub hanya dari sudut pandang filmmakingnya. Arahan Matt Reevers membuat cerita menjadi sebuah perjalanan emosi yang suram namun sangat indah untuk diikuti. Sinematografi dan editingnya pun menyambung dengan mulus. Tidak ada momen yang terasa out-of-place ataupun sia-sia. Semua yang terjadi di sepuluh menit pertama basically ngeset-up segala yang kita butuhkan mengenai narasi dan film ini dan pada akhirnya akan terkonek sempurna dengan babak akhir. Untuk melengkapi pencapaian akting dan visualnya, departemen musik pun turut menyumbangkan peran yang begitu besar buat penceritaan. Suara dan musik eventually menjadi aspek yang penting sekali sebab ada banyak sekuens di mana tidak ada yang berbicara. Caesar memberikan isyarat kepada kera lain, mereka berkomunikasi diam-diam, dan yang kita punya untuk dipegang memang hanya penampilan, timing pengambilan gambar, dan musik. Juga ada momen yang ngebangun detik-detik balas dendam Caesar yang entirely senyap, jadi permainan musik dan desain suara begitu vital. Ditambah dengan penampilan Serkis, maka kita dapat the very definition of epic right there.

Musuh selalu mengintai  dari luar sana. Dan kekerasan manusia terhadap kera dalam film ini berfungsi sebagai metafora yang sangat pas terhadap keadaan kita dengan alam sekarang ini. Kita menjawab hal yang tidak kita tahu dengan ketakutan dan keinginan untuk mengontrolnya. Jadi kita merasa sebagai pemimpin dan berpikir berhak untuk membuang belas kasihan. Maka daripada itu, jika dibalik, siapkah manusia jika suatu saat nanti benar-benar muncul spesies yang lebih pintar untuk menggantikan posisi kita sebagai spesies alpha di muka bumi ini?

 

 

Salah besar jika kita masuk ke dalam studio, mengharapkan tontonan ringan yang ‘ceria’ oleh ledakan dan tembak-tembakan perang. Film ini begitu uncompromising sehingga menyebutnya fun sungguh sebuah typo yang disengaja. War digarap dengan unconventional. We do get a gigantic action scene, namun tidak bakal seperti yang kita bayangkan. Saat menonton pun, mungkin kita akan mulai berpikir, menebak-nebak ke mana arah cerita, you know, like, siapa akhirnya bakal melakukan apa, dan film ini tidak akan melakukan apa yang kita pikirkan. Narasi tidak memberikan jalan keluar gampang untuk karakter-karakternya. Film akan membuat mereka melakukan pilihan dan keputusan yang susah.

But also, film ini dengan berani mengambil resiko. Tone gelap itu berusaha mereka imbangi dengan sedikit suara ringan. Resiko ini datang dalam wujud kera botak yang menyebut dirinya “Bad Ape”. Tokoh ini adaah semacam komedik relief yang sebenarnya punya potensi untuk menghancurkan setiap adegan yang ada dianya dengan lelucon yang bikin nyengir. Sukur Alhamdulillah, film berhasil menemukan celah waktu dan kadar humor yang tepat, dan menurutku peran Steve Zahn ini menjelma menjadi salah satu kekuatan yang dipunya oleh film. Ada juga momen-momen manis yang datang dari tokoh gadis cilik bisu, yang salah-salah garap bisa saja hanya menjadi device nostalgia buat penggemar seri orisinil Planet of the Apes. Tetapi Nova oleh Amiah Miller begitu adorable, kehadirannya jadi simbol bunga di padang salju, eh salah, padang gurun, hmmm… medan perang, ding! Nova adalah harapan sekaligus bukti bahwa kedua spesies dapat hidup berdampingan.

 

 

 

 

Masterpiece ini bukan hanya tambahan yang hebat buat dua film sebelumnya, melainkan juga adalah sebuah penutup yang melengkapi trilogy ini dengan overaching plot yang sungguh-sungguh memuaskan. Setiap menit durasinya terasa sangat emosional dan riveting. Tidak ada dialog ataupun momen yang ‘salah’, kecuali satu kali mereka melakukan adegan eksposisi. Di luar itu, ini adalah cerita brutal tentang perang dan survival dan apa yang membuat pemimpin menjadi seorang pemimpin. Ini bukan blockbuster popcorn. Tetapi tak pelak, this was a beautiful experience. Penampilan aktingnya amazing semua, arahannya sangat riveting. Film ini adalah kasus langka di mana film ketiga menjadi film terbaik dalam trilogi tersebut. Dan juga adalah sebuah pengingat bahwa prekuel bisa kok menjadi sangat bagus jika digarap dengan sepenuh hati seperti ini. Explosive dan emosional, ini tak lagi sekedar khayalan gimana jika kera menguasai dunia. Ini sudah menjadi pembahasan mendalam apakah kita manusia, yang tidak berbelas kasih kepada alam, memang pantas untuk menjadi spesies penguasa dunia.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for WAR FOR THE PLANET OF THE APES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

DUNKIRK Review

“We shall fight on the beaches

 

 

Bayangkan dirimu seorang serdadu Inggris yang terjebak dalam perang, empat ratus ribu pasukanmu dipukul mundur hingga ke garis pantai. Tempat di mana kalian menunggu untuk evakuasi. Hanya saja kondisimu itu sama aja seperti bebek yang berenang di dalam baskom; setiap detiknya kalian dalam bahaya ditembaki oleh pemburu, yang dalam perang ini adalah pesawat angkatan udara Jerman. Jadi tentu saja kalian akan melakukan apapun untuk bertahan hidup. Dunkirk menceritakan tentang survival perang, begitu simpel dan sungguh nyata. Dan oya, kejadian di pesisir pantai Dunkirk ini diangkat dari peristiwa dari Perang Dunia Kedua, yang tercatat di buku sejarah sebagai peristiwa ‘ajaib’ yang mengubah pandangan dunia terhadap perang.  Ajaib bahwa kemanusiaan masih ada as selain tentang gimana para tentara di daratan berusaha keluar dari pantai, ini juga menilik tentang penduduk sipil yang berjuang mengerahkan kapal-kapal pribadi demi menyelamatkan pahlawan bangsa mereka.

At one point of the movie, salah satu tokoh film ini keheranan disambut baik sesampainya di ranah Inggris. Padahal dia merasa malu, negara mereka kalah. “All we did is survive” katanya. Secara militer, memang, mereka kalah. Tapi mereka berhasil selamat dalam jumlah banyak. Mereka selamat untuk melanjutkan hari esok, and it is a glory of humanity. Karena orang-orang Inggris itu menunjukkan semangat dan solidaritas patriotik untuk bersatu, untuk menjadi kuat, melawan situasi yang sulit. Survival tidak pernah adil, dan peristiwa Dunkirk menunjukkan kemanusiaan masih punya harapan dan peluang untuk menang.

 

Sekarang, coba bayangkan, kamu berlari, loncat dari kapal, menyelam, menggapai-gapai mencari udara, dalam cemas dan harap menemukan tempat di luar bidikan bom, dan kalian melakukannya di antara seribuan lebih orang yang melakukan hal yang sama. Benar-benar tidak ada waktu untuk menghembuskan napas lega, apalagi saling menyapa dan get to know each other. Begitulah persisnya film Dunkirk dipersembahkan. Film perang yang bagus seperti Saving Private Ryan (1998) biasanya menceritakan karakter di dalam situasi mengerikan, dan gimana mereka beraksi terhadap perang. Gimana mereka dilanda oleh dilemma. Dunkirk, however, adalah ‘HANYA’ TENTANG PERANG. The actual event. Dan bagaimana terrifyingnya jika kita terjebak di sana. Tokoh utama film ini ya bisa dibilang tentang peristiwa itu sendiri. Tentang evakuasi orang-orang. Film ini begitu in-the-moment. Dramatic impact bukan datang dari kita ngecheer seseorang untuk hidup, untuk kembali kepada keluarganya. Film ini adalah tentang manusia sebagai spesies. Tentang gimana kalo kepepet dan punya tujuan yang sama, kita bersatu. Nolan paham dia enggak perlu membahas karakter terlalu dalam, maka dia meletakkan ‘ledakan’ kepada sekuens perang yang dibuat serealistis mungkin. Dia menangkap event ini dengan sangat menawan. Mengerikan, ya memang, tapi beautiful.

Tom Hardy sukses berat nampilin emosi hanya melalui bolamatanya

 

Jadi ya, karena itulah aku memaafkan pengarakteran yang enggak digali oleh film ini. Meski aku enggak bisa benar-benar konek sama tokoh-tokoh dalam film ini, mereka tidak benar-benar punya arc, kita enggak tau backstory mereka, tapi hal tersebut enggak pernah berdampak begitu besar. Bukan hanya karena film ini dibuat oleh Christopher Nolan.  Enggak ngelebih-lebihin sih kalo aku bilang kebanyakan orang akan suka film ini lantaran ngeliat nama sutradaranya. Nolan itu udah jadi semacam brand sendiri, orang sudah hampir pasti  akan nonton setiap film yang judulnya diiringi oleh “A Christopher Nolan’s film”. This is truly a MAGNIFICENT FILM. Dunkirk menggunakan kapal-kapal asli, pesawat-pesawat tempur beneran, lokasi yang nyata – bukan greenscreen, dan sejumlah besar pemain kayak film india. Dunkirk sangat thrilling dari awal hingga akhir. Karena sedari dimulai, kita sudah langsung diletakkan di tengah-tengah battlefield. Beberapa karakter diperkenalkan dengan cepat, kita ngikutin beberapa tokoh yang berfungsi sebagai wakil dari kita. Dan walaupun mereka jarang ngomong, tidak pernah ada momen-momen hampa.

Untuk selanjutnya, keseluruhan film adalah tentang serangan. Spektakel aksinya benar-benar terlihat realistis. Semuanya terasa otentik. Tidak ada adegan pesawat meledak seperti ledakan yang sering kita lihat di film-film action Hollywood. Tembakan senjata apinya enggak terasa teatrikal. Aspek realistis inilah yang terutama membuat kita tersedot ke dalam cerita. It’s a whole gigantic battle sequence yang dibuat seolah kita ada di sana. Kita tidak mengalihkan pandang dari mereka karena kita begitu masuk oleh perjuangan mereka untuk bertahan, mengatasi segala tantangan.

Jika kalian masuk ke studio mengharapkan cerita yang linear, maka itu berarti kalian belum banyak makan garam soal perfilman.  Salah satu yang membuat karya Nolan selalu dihormati banyak orang adalah film-film Nolan juga menghormati kecerdasan penonton. Karakter boleh saja sederhana, namun tidak ada yang sederhana dari langkah penceritaan yang dilakukan Nolan pada film ini. Dunkirk membagi diri menjadi tiga sudut pandang; di pantai – ngikutin prajurit inggris, di kapal – ngikutin sipil yang mau bantu nyelametin tentara, dan di pesawat – ngikutin Tom Hardy yang berusaha menghalau pesawat Jerman. Akan ada momen ketika kita bingung “loh yang ini kok udah malam, yang di pesawat tadi masih siang..?”  Narasi hanya memberi petunjuk berupa waktu; seminggu untuk pantai, sehari untuk kapal, dan sejam untuk pesawat. Penceritaan film ini seperti soal matematika di sekolah dulu; ada kapal, pesawat, dan orang bergerak dengan waktu yang berbeda, maka kapankah mereka akan bertemu? Film ini membuild up momen sehingga ketika tiga layer waktu tersebut menjadi satu di akhir, semua akan terasa wah. Editing film yang apik turut membuat kita enggak pernah terlepas dari cerita, pergantian-pergantian sudut pandang terasa mengalir dengan mulus.

serius deh, aku senewen akut dengar bunyi detik jam yang terus terdengar

 

Dalam perang, orang-orang tewas – terkadang mereka gugur sendirian, gugur dalam ketakutan, dengan tidak mengetahui nasibnya sendiri pada esok hari. Film ini tidak memalingkan diri dari kenyataan tersebut. Tapi selalu ada harapan. Kata-kata bisa menggerakkan satu negara. Dan film ini menggambarkan, orang-orang sipil sebagai simbol harapan dalam sebuah perang.

 

Untuk standar Nolan, memang Dunkirk adalah film yang singkat. Tapi juga sangat efektif dalam mengisi durasinya. Buatku, durasi film ini udah pas. Kalo terlalu panjang jadinya lebay, terlalu singkat malah ntar jadi kurang ngefek. Segala kengerian perang sudah berhasil digambarkan dengan baik. Kita merasakan ngerinya dikurung, tenggelam, terkunci dalam pesawat yang jatuh, diitembak blindly tanpa tahu di mana yang menembak. Meskipun enggak ada darah terlihat, enggak ada potongan tubuh berceceran, film ini bermain di ranah PG-13, kita tetap tergoncang oleh efek psikologis yang sangat kuat. Sungguh mengerikan menyaksikan karakter-karakter itu literally mencakar-cakar dan merangkak demi hidup mereka. Bahkan kepada tokoh yang pengen menyelamatkan, kita merasakan dorongan yang kuat dan ikut merasakan perjuangan dan halangan yang mereka tempuh.

 

 

 

Menangkap peristiwa bersejarah dengan sangat realistis, tidak ada satupun kejadian yang luput dari rasa otentik dan penuh ketegangan. Penceritaan non-linearnya mengantarkan film menjadi satu kesatuan yang mulus. The look of this movie is outstanding, sekuens battlenya benar-benar tergambar mengerikan, layaknya perang beneran. Dan this whole movie adalah peperangan. Sedikit hindrance adalah di bagian penokohan yang ditulis sederhana, tanpa arc dan tedeng aling-aling. Tapi hal tersebut tidak pernah menjadi hal yang tanked the movie, karena dampak emosional film datang dari sisi psikologikal dan feeling in-the-moment yang membuat kita merasa benar-benar ada di tengah peristiwa tersebut.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for DUNKIRK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

THE WALL Review

“You can’t see me.”

 

 

Poster film ini enggak bohong ketika ia bilang “Ini bukan perang. Ini adalah permainan.” Walau sejatinya setiap pihak yang terlibat peperangan bakal selalu ngalamin dilema moral, The Wall memfokuskan eksplorasinya kepada apa yang sebenarnya dilakukan orang saat berperang. Dari bentuknya yang paling polos, memang, perang tak lebih adalah permainan bunuh-bunuhan yang melibatkan strategi. Kadang kita gak peduli lagi soal kenapa kita mulai saling menyerang, kita cuma mau mengalahkan musuh. Seperti permainan catur, but worse. Kehorriblean perang enggak seketika berakhir ketika para pemimpin sudah menyerah. Ini lebih seperti permainan Yugioh, di mana kedua duelist sudah mengerahkan kartu-kartu terkuatnya, namun kedua pihak tetap bertahan dengan sisa seratus life point. They want to break each other mentally, bersilat lidah menggunakan siasat, dengan harapan pihak lawan keceplos mengungkapkan kelemahan. Duduk diam, stalling, menunggu pihak seberang salah langkah. The Wall adalah sebuah MIND GAME.

Sersan Isaac (kalo dipanggil Ize juga nengok) dan Sersan Matthews (te-ret-te teeet! Tet te-re-teeet!) bangkit dari pos pengintaian mereka di site di tengah gurun Irak. Kepanasan dan lelah. Perang sudah hampir berakhir, sekitar mereka terlihat sepi. Selain mereka berdua, manusia yang tampak hanyalah tubuh-tubuh tak bernyawa di bawah sana, dekat pipa-pipa, mobil, dan reruntuhan tembok. Jadi, mereka turun mengecek keadaan. Out in the open, Sersan Matthews jatuh ditembaki. Isaac yang berusaha menolong juga kena tembus peluru entah dari mana. Serabutan, dia terjun berlindung ke balik reruntuhan tembok. Apa akal? Yes exactly! Sersan Isaac harus berpikir keras mengerahkan segala pengetahuan yang ia tahu, sebab si sniper Irak misterius itu dengan pinternya menghubungi radio tentara Amerika tersebut. Permainan kucing-kucingan mental mereka dimulai as si sniper menggunakan kelihaiannya bicara to get the soldier to show themselves, sementara Ize (namanya dilafalkan “eyes”) membuka mata lebar-lebar mencari tahu di mana posisi maut yang mengintainya.

Peluru bisa melihat John Cena

 

The Wall adalah FILM YANG AMAT KECIL. Durasinya singkat. Lokasinya di gurun thok, dan pemainnya hanya tiga orang. Satu di antaranya adalah suara di radio. Dari segi produksi, film ini terlihat relatif sederhana. Apalagi jika dibandingkan dengan karya-karya Doug Liman sebelum ini; aku terutama suka ama The Bourne Identity (2002) yang benar-benar menunjukkan talenta super yang dimiliki oleh sutradara ini. Tapi dari segi emosi, film yang berelemen thriller-pada-satu-lokasi kayak gini bisa menjadi sangat menarik sebab kita akan melihat cerita yang sangat personal. Sejak nonton 12 Angry Men (1957) yang keren banget, aku selalu tertarik sama contained-thriller. Dan The Wall, meskipun miskin aksi dan ledakan, film ini kaya oleh sudut pandang manusia yang berseberangan, namun essentially mereka adalah orang yang sama-sama terikat, katakanlah pada sumpah setia, dan struggling menjaga ‘kesetiaan’ berbangsa dan beragama tersebut dalam keadaan yang buruk.

Si sniper Irak, at one point, bilang bahwa semuanya tergantung dari sudut mana kita melihat. Namun sebenarnya dalam perang semuanya sama aja. Kalah jadi abu, menang jadi arang. The Wall mengambil resiko mengangkat soal ketidakgunaan perang dengan memberikan perspektif ‘duluan-ayam-atau-telur’, membangun tembok tersendiri, figuratively, di dalam struktur cerita.

 

Yang paling efektif yang dilakukan film ini adalah bagaimana dia membuat kita tetap tertarik dan terinvest ke dalam tokoh-tokohnya. Sebagai filmmaker, Liman lumayan underrated, so it’s understandable dia pengen bikin film yang kecil-namun-intim seperti film ini. Dalam menggarap The Wall, Liman memilih untuk tidak membuat presentasi yang terlalu Hollywood. Dia menggunakan teknik pacing yang sama dengan yang dilakukan oleh BW Purba Negara dalam film Ziarah (2017); deliberately slow. Kamera enggak akan dipindah-pindah, dia akan jarang sekali ngecut adegan. Liman tidak ingin mempersingka waktu, dia hanya ingin kita semua lebih terinvest ke dalam hal-hal sesimpel bikin tali laso ataupun turniket untuk membebat pendarahan. Meskipun film ini enggak exactly real time, kadang Isaac kehilangan kesadaran dan kita meloncati dimensi waktu. Namun pada sebagian besar waktu, semua peristiwa diperlihatkan sehingga kita bisa turut ngerasain frustasi yang dialami oleh tokoh utama. Dan semua adegan pengulur waktu itu akan terbayar tunai oleh emosi .

Elemen perang psikologis antara Isaac dengan Sniper misterius Irak (“Elo Juba kan, ngaku!”) mengangkat film ini menjadi semakin menarik. Tidak banyak adegan aksi dalam film ini, yang mana bisa jadi membosankan untuk beberapa penonton, but it was a contained-psychological- thriller, tiga istilah yang kalo digabungkan maka sudah pasti akan ada aku duduk manis di sana menontonnya. Tapi bukan berarti film ini tidak akan mempengaruhi kita secara fisik. I mean, coba deh nonton ini siang-siang pas puasa. Wuihhh. Matahari film ini terasa memanggang kita. Debu dan pasir di mulut mereka membuat kita ingin meludah. Hausnya para tentara beneran kontan terasa. Nonton film ini rasanya getir sekali.

“unless you’re a professional”

 

Tentu saja penampilan akting para aktor menjadi hal yang paling signifikan jika kau punya film yang tidak banyak menjual ledakan. To be honest, aku enggak naruh harapan gede ke John Cena. But oh wow, dia jadi biggest surprise buatku dalam film ini. Karisma Cena membuatnya sangat likeable sebagai sersan Matthews. Dengan gampangnya dia dipercaya sebagai tentara, karena di WWE pun gimmicknya adalah seseorang yang menjunjung tinggi patriotisme. Di sini, Cena punya bermain intens dan kocak bersamaan. Dan karakternya di sini punya ‘weight’ yang tidak kita lihat di dalam ring. Ngeliat Cena merangkak dramatis adalah hal biasa di episode WWE, tetapi di film ini adegan tersebut benar-benar kejual dengan real olehnya. Aaron Taylor-Johnson, pada awalnya aku enggak ngeh, sebab aksen redneck dan literal kamuflase menyamarkannya. He is that good in this movie, melebur sempurna. Adegan-adegan yang harus ia lakukan kebanyakan adalah adegan yang menjurus ke horor, you know, like in body-horror, di mana dia harus mencongkel keluar peluru dari kakiknya. Grueling to watch banget. Dan kita benar-benar merasakan derita dan sakitnya.

Sebagai antagonis, suara di radio yang terus ngajak Isaac ngobrol terdengar sangat licin dan berbahaya. Dia punya agenda untuk mencari sisi lemah dari tentara yang berusaha dia bunuh, dia ingin memancing mereka keluar, dan yang ia lakukan bukan semata talk trash kayak pegulat yang mau bertanding. Sniper Irak ini tahu banyak tentang Amerika, dia belajar banyak dari korban-korbannya, dan mendengar Isaac ngobrol dengan suara itu membuat kita ngeri sendiri perihal siapa yang akan terpengaruh oleh siapa.

Kata-kata bisa dijadikan tembok yang paling efektif dalam rangka menyamarkan diri, baik sadar atau enggak. Bukan sekali-dua kali kita sengaja menggunakan kalimat yang bermakna mendua untuk menyembunyikan maksud ataupun buat cari celah untuk ngelak komit dari sesuatu nantinya. Orang banyak memutarbalikkan kata, putting words onto people’s mouth, menjadikan kata-kata sebagai senjata yang berbahaya. Dan kita bisa alami sendiri gimana orang mengucapkan alasan untuk menjustifikasi perbuatan yang mereka lakukan. Tembok yang paling berbahaya tercipta dari mulut manusia adalah tembok alasan agama. Mata untuk mata, katanya. But really, semua itu sebenarnya adalah kedok yang tidak sadar mereka kenakan dengan bangganya.

 

Bukan helikopter saja yang jatuh di babak akhir film. Keseluruhan ceritanya juga. Sangat pilu dan mengecewakan menyaksikan film ini kebingungan mengakhiri narasinya. Resiko yang diambilnya membuahkan ujung yang enggak enak. Character-arc yang mestinya bisa kokoh dibangun, malah runtuh begitu saja. In fact, malah segala yang usaha yang dilakukan tokoh utama terasa sia-sia. Inner journeynya menjadi hampa, meninggalkan kita kebingungan apakah ini psiko-thriller yang sangat lemah ataukah ini action yang gagal meledak. Semuanya jadi terasa enggak realistis, tidak menyisakan ruang reaching bagi kita. Terkadang, aku mikir film ini sengaja enggak total ngasih perspektif karena kan jarang banget ada film yang mempersembahkan Amerika sebagai underdog tanpa memperlihatkan mereka sebagai pahlawan, dan film ini masih ragu-ragu untuk menampilkan hal tersebut. So film ini kindof terbentur dinding serupa yang ia bangun pada narasinya.

 

 

 

 

Punya performance akting yang sangat kuat, diarahkan dengan fantastis. Terutama; punya kesempatan buat menjadi studi sosial yang sangat intens yang membuat kita duduk di posisi karakter di ujung perang, namun film ini kesulitan untuk melanjutkan langkah yang dipilihnya. Untuk dua babak awal, film akan terus membuat kita tertarik, karena ini adalah perang psikologis. Ini adalah tentang gimana sebuah pemikiran dapat menyingkap tembok yang dibangun seseorang di dalam dirinya. Saat penyelesaiannyalah film terasa seperti kembang api yang masuk angin. Meletup pelan alih-alih meledak. Tidak memberikan penyelesaian ataupun decisive journey sebagai sebuah pesan dan insight yang berharga.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for THE WALL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.