Survivor Series 2020 Review


 
 
Yang spesial dari Survivor Series tahun ini adalah bukan saja ini merupakan acara yang semua pertandingannya adalah champion melawan champion – mempertandingkan juara-juara dari brand Raw melawan juara-juara dari Smackdown – melainkan juga acara yang bertepatan dengan tiga puluh tahun karir Undertaker bergulat di WWE. Acara ini adalah perayaan bagi Undertaker yang resmi menutup kiprah legendarisnya.

Undertaker, tak pelak, adalah salah satu karakter dengan karir tersukses seantero dunia gulat hiburan. Bagaimana tidak. Karakter supernatural yang penuh gimmick seperti itu tentu saja susah untuk dipertahankan, apalagi dikembangkan menjadi sesuatu yang dipedulikan banyak orang. Namun Mark Calaway mampu. Dia mendedikasikan diri kepada karakter yang dipercayakan kepadanya, no matter how over the top it might be. Taker mendapatkan respek besar karena kiprahnya menghidupkan karakter yang ‘mustahil’ tersebut. Benar kiranya, Undertaker adalah survivor dalam artian yang sebenarnya. 

 
Sayangnya, acara Survivor Series 2020 ini seperti tidak mampu merangkul dua kekhususan tersebut. Baik itu perayaan tutup-karir Undertaker maupun pertandingan-pertandingan tim dan juara antarbrand, tidak ada yang berhasil diperlihatkan benar-benar spesial, secara maksimal. WWE melakukan banyak pilihan-pilihan yang aneh. Dan juga penulisan atau booking yang, seperti standar acara mingguan mereka yang biasa, terasa seperti digarap mendadak. Acara selebrasi Undertaker itu dilakukan di akhir, setelah semua pertandingan selesai, sehingga terasa terpisah dari acara. Serupa dengan ekstra pada sebuah dvd/bluray film yang baru saja kita tonton. Penyelenggaraannya pun awkward sekali. Beberapa legend yang bersangkut paut dengan Undertaker datang berkumpul ke atas ring, mulai dari The Godfather, Savio Vega, hingga ke Shawn Michaels, Triple H, dan tentu saja Kane. I wonder if they would wanna bring all of the Streak’s victims tho, karena pastilah menarik kalo ada Randy Orton, Brock Lesnar, dan Batista. Dan CM Punk, anyone? lol..
Balik lagi ke acara, para legend yang berkumpul di atas ring itu tau-tau hilang semua setelah pemutaran video; digantikan posisinya oleh Mr. McMahon yang memanggil Undertaker. Taker datang dan ngasih speech, lalu berlutut, berpose untuk terakhir kalinya bareng hologram Paul Bearer. Kemudian acara berakhir, tidak satupun dari para legend tadi kelihatan lagi, tidak ada interaksi mereka dengan Undertaker. Which is weird, dan tampak pointless, buat apa mereka semua muncul kalo begitu. Buatku, tampak seperti ada perubahan rencana/acara yang dilakukan oleh WWE.

Semoga WWE gak lupa mereka pernah menggunakan lagu Katy Perry untuk entrance Undertaker dalam sebuah klip rekap Wrestlemania resmi.

 
 
Daya tarik yang dijual pada event perang-antar-brand seperti Survivor Series kali ini tentu saja adalah ketika juara masing-masing brand diadu. Superstar lain dari brand tersebut membentuk tim, lalu turut bertanding melawan brand saingan. WWE sudah sering melakukan ini. Dan pada setiap kali gimmick acara seperti ini dilakukan, WWE selalu kesusahan untuk membangun sesuatu yang benar-benar spesial. Seperti pada pertandingan-pertandingan kali ini. Yang paling terasa adalah kurangnya stake alias pertaruhan. ‘Best of the Best’ yang jadi tagline itupun hanya seperti ucapan basi. Mereka harusnya menciptakan sesuatu yang kongkrit untuk bisa dimenangkan oleh brand yang berhasil unggul atas brand lain. Brand supremacy sebagai hadiah tertinggi, katanya, tidak lagi menarik karena tahun demi tahun kita melihat kemenangan brand di Survivor Series tidak pernah berarti banyak. WWE harusnya membangun cerita yang lebih bermakna bagi para superstar yang bakal bertanding. Paling tidak bangun alasan kenapa mereka harus mau bekerja sama memenangkan brand mereka, kenapa mereka harus menang bareng, ciptakan kerugian atau kehilangan ketika mereka gagal. Seperti pada cerita film. Harus ada motivasi, harus ada ganjaran kalo gagal mencapai keinginan, harus ada dorongan yang membuat aksi mereka urgen. Semua itu tidak dapat kita temukan pada match-match di sini.
Padahal dengan adanya momen 30 Tahun Karir Undertaker, WWE bisa saja mengaitkan kemenangan brand tersebut. Like, mereka bisa bikin brand yang menang bakal dapat hak untuk mengirim delegasi sebagai ngasih tribute ke Undertaker. Atau sekalian saja, brand yang menang bakal dapat kehormatan mengirimkan salah satu superstarnya untuk melawan Undertaker di pertandingan terakhir sang Legenda. Seharusnya ada banyak hal/stipulasi kreatif yang bisa WWE lakukan untuk membuat pertandingan di Survivor Series punya lapisan, therefore menjadi jauh lebih menarik lagi.
Tapi nyatanya Survivor Series tahun ini justru semakin membosankan. Karena pertandingan antarjawara yang dihadirkan oleh WWE tidak punya dinamika face-v-heel. Baik melawan jahat. WWE seperti lupa bahwa juar-juara pada dua brand yang mereka punya ternyata pula formula yang sama. Juara Tag Team sama-sama face. Juara papan tengah sama-sama antagonis. Juara cewek juga sama-sama tokoh-baik. Tim di Tradisional Tag Teamnya juga gak ada yang bulet karakternya. Para superstar yang bertanding bisa jungkir balik berkali-kali, bisa ngeSuperkick ratusan kali, bisa ditimpuk ke meja ampe patah-patah pun, tapi tanpa dinamika karakter protagonis-antagonis, tanpa ada drama dan psikologi pada alur, semua yang mereka lakukan akan tetap terasa hambar. Karena bagi kita yang nonton, pertandingan mereka jadi bukan soal siapa yang menang dan kalah. Kita tidak bisa peduli kepada hal tersebut. Ketika yang kita tonton hanya aksi demi aksi, maka acara itu akan terasa garing, tidak ada naik turun. Tidak ada hasil dan konsekuensi. Apa bedanya bagi kita kalo yang menang New Day dan bukan Street Profits? Apa ngaruhnya ke greget kita kalo Smackdown berhasil menyusun Raw, kalo nantinya poin itu akan tetap disusun susul menyusul – karena WWE tidak mau ada brandnya yang kelihatan jadi benar-benar lemah; bisa-bisa mereka diprotes sama network penyiar yang namanya udah jadi bagian dari seragam masing-masing brand.
Bukan pekerjaan gampang, memang, menulis cerita pertandingan untuk partai yang sama-sama baik atau yang sama-sama jahat. Masalahnya, WWE di acara ini sama sekali tidak tampak berusaha maksimal. New Day melawan Street Profits, misalnya. Kedua tim sama-sama face. Persona karakter mereka buatku annoying semua, tapi mereka berempat punya in-ring work yang fantastis. Untuk ngasih bumbu pertandingan ini, WWE bisa saja memasukkan Big E ke dalam equation. Bikin Street Profits datang bersama Big E, untuk kemudian bisa dibikin Big E entah itu membantu mereka sebagai sesama Smackdown, atau malah balik membantu New Day; yang merupakan mantan rekan satu tim. Hal seperti demikian tidak akan merusak karakter, melainkan membantu memberikan lapisan kepada match dan kepada karakter superstar itu sendiri. Yang Intercontinental lawan U.S champion, lebih parah lagi. Juara yang satu suka main curang, yang satunya lagi suka main keroyokan. WWE ninggalin kita untuk bengong gak tahu mau jagoin siapa di antara dua karakter heel tersebut.
Mungkin kita harus jagoin ‘si anak bawang’ aja?

 
 
Melihat itu, aku jadi berpikir jangan-jangan WWE memang gak mikirin soal pemasangan juara ini sedari awal. Mereka gak ada rencana, dan hanya tersadar juara mereka ‘sama’ semua saat sudah masuk acara. The only working pair is Sasha Banks dan Asuka, itupun karena Sasha so good mainin karakter abu-abu (antara heel dan face) dan terutama karena Asuka dan Sasha sudah punya ‘sejarah’. Jadi saat menonton mereka, kita seperti melanjutkan babak baru. Pilihan finish yang dilakukan pun menurutku relatif aman, dan bisa jadi memang beginilah seharusnya. Ini satu lagi masalah yang bakal muncul ketika membuat match juara-lawan-juara; Para juara tersebut haruslah ‘dilindungi’. Naturally, semua pemegang sabuk harus di-book supaya terlihat kuat. Karena kalo tidak mereka jadi gak believeable, atau yang parah malah bisa-bisa sabuknya jadi turun prestise. Melindungi itulah yang sulit. Gak semua superstar berada dalam posisi serupa karakter Sami Zayn, yang masih bisa come out okay setelah dibuat terlihat lemah sebagai juara.
Satu lagi yang mestinya diperhatikan oleh WWE jika mereka memang ingin mempertahankan gimmick perang-brand adalah brand itu sendiri; Raw dan Smackdown, haruslah punya ‘karakter’ juga. Coba kita bedakan keadaan sekarang dengan keadaan saat baru-baru ada brand-split sekitar 2002-2003an. Raw dan Smackdown terasa sangat distinctive, udah kayak dua acara yang berbeda jauh. Punya manager yang beda visi, punya set panggung yang berbeda, punya daftar superstar dengan keahlian yang berbeda – Raw more of a hardcore, sedangkan Smackdown lebih ke cruiserweight. Karakterisasi khusus brand tersebut memudahkan kita untuk memilih favorit; kita lebih suka dan peduli sama brand yang mana, dan ketika mereka beradu kita akan mati-matian menjagokan salah satunya. Brand yang sekarang, selain warna dan musik pembuka, tidak ada lagi perbedaan yang mencolok. Semua sama, dari set hingga ke ‘kelakuan’ superstarnya.
Maka ketika mereka beradu dalam Traditional Tag Team, kita tidak benar-benar melihat mereka sebagai kubu yang berbeda. Partai Traditional Tag Team Cowok adalah match yang paling parah. Kelihatan hanya seperti random superstar yang dikumpulkan. Yang punya cerita cuma Seth Rollins dan Jey Uso. Keduanya berada di Smackdown, tapi kita tetap susah untuk mendukung Smackdown karena karakter mereka berdua berada pada titik yang membingungkan; kita tidak yakin mereka baik atau jahat at that point. Sehingga easily, match yang paling menghibur adalah Traditional Tag Team Cewek. Kedua kubu terasa sangat berbeda, dan mereka punya cerita masing-masing. Ada Bayley yang ngasih karakter ke Smackdown, dan – ya I hate it too – ada Lana untuk tim raw. Tonton dan perhatikan booking membuat Bayley yang heel tersingkir duluan; ini effectively membuat Smackdown tim face di sini, as opposed to Shayna dan Nia Jax, dan Lana. Dan meskipun kita bisa melihat ending yang bau-baunya bakal either menarik atau jengkelin, match ini tetap terasa lebih menarik di antara partai-partai sebelumnya.
“It doesn’t have to be pretty. It just have to be hurt” Exactly

 
 
On the paper, sure it is fun. Acara yang menampilkan adu-brand. Yang terbaik dari masing-masing brand saling berhadapan satu sama lain. Hanya saja pada praktiknya, para superstar just have less things to work with karena WWE enggak menyediakan ruang untuk dinamika karakter pada match-matchnya. Perayaan Undertaker pun seperti terpisah dari acara, padahal mestinya bisa dimasukin dan dijalin mulus ke dalam rangkaian acara. Diberikan weight lebih ke acara.
Bukti mutlak WWE gak punya cerita jangka panjang dan just scrap everything on the go adalah mengganti Orton sebagai juara WWE, dengan Drew McIntyre. WWE sebenarnya tentu paham menulis face-lawan-face atau heel-lawan-heel itu susah dan matchnya bakal ngebosenin, maka khusus untuk main event, mereka terpaksa untuk mengganti pemain. Randy Orton yang heel, meski baru saja jadi juara, tidak akan menarik jika ditandingkan dengan Roman Reigns yang lagi hot-hotnya setelah bertukar peran menjadi antagonis. Mengganti karakter Orton jadi face akan makan lebih banyak waktu. Maka WWE mengembalikan sabuk kepada Drew McIntyre yang sudah jadi salah satu babyface terbesar di Raw. Dengan efektif menunjukkan mereka jadiin Orton juara itu tanpa pemikiran sedari awal, tanpa kesadaran bahwa sebulan setelah itu mereka butuh partai seru juara melawan juara. Dan aku senang WWE comes to their senses pada match ini. Karena McIntyre lawan Reigns – udah kayak battle antara dua kepala suku – easily baik secara teori maupun eksekusi adalah MATCH OF THE NIGHT. Terbaik. Terseru. Endingnya make sense. Semua itu karena ada dinamika, ada drama, psikologi karakter mereka berjalan. Dengan baik pula.
 
 
 
 
Full Results:
1. TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Tim Raw (AJ Styles, Matt Riddle, Braun Strowman, Keith Lee, dan Sheamus) menyapu bersih Tim Smackdown (King Corbin, Jey Uso, Seth Rollins, Otis, dan Kevin Owens)
2. CHAMPIONS VS. CHAMPIONS Street Profits (Smackdown Tag Team Champions) ngalahin New Day (Raw Tag Team Champions)
3. CHAMPION VS. CHAMPION Bobby Lashley (United States Champion) bikin tap out Sami Zayn (Intercontinental Champion)
4. CHAMPION VS. CHAMPION Sasha Banks (Smackdown Women’s Champion) merebut kemenangan dari Asuka (Raw Women’s Champion)
5. TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Tim Raw menang dengan Lana sebagai sole survivor (Shayna Baszler, Nia Jax, Peyton Royce, Lacey Evans) mengalahkan Tim Smackdown (Bianca Belair, Liv Morgan, Ruby Riott, Natalya, Bayley)
6. CHAMPION VS. CHAMPION Roman Reigns (Universal Champion) unggul atas Drew McIntyre (WWE Champion)
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Hell in a Cell 2020 Review


 
Sebagai atraksi setiap halloween, ppv Hell in a Cell selalu ‘dijual’ oleh WWE sebagai malam yang intens. Pertandingan-pertandingannya dipersiapkan untuk memiliki cerita yang benar-benar personal, sehingga ketika mereka ditempatkan di Hell in a Cell, pertandingan tadi jadi terasa berkali lipat lebih spesial. Tajuk yang diangkat sebagai tema besar Hell in a Cell tahun ini adalah ‘personal hell’.Tiga HIAC match yang dihadirkan mewakili seteru persahabatan, keluarga, dan kepercayaan. Tiga hal personal yang gampang untuk relate ke kita-kita yang bahkan bukan pegulat. Makanya ketiga pertandingan tersebut seketika menjadi menarik. Menjadikannya HIAC match hanya membuat mereka menjadi lebih seru lagi. Dengan berpijak dari situ, mestinya sudah hampir pasti yang disuguhkan oleh WWE ini adalah tayangan yang luar biasa.
Namun ternyata dari tiga HIAC, hanya ada satu yang benar-benar spesial. Ketiganya memang intens dan personal, tapi tidak terasa seluarbiasa itu. Tidak terasa seperti sebuah puncak, melainkan hanya seperti pengulangan. Dan memang begitulah adanya. Dua dari tiga match HIAC yang kita dapatkan di sini adalah pengulangan dari match di Clash of Champions 2020. WWE punya tugas untuk melanjutkan cerita tersebut, tapi tidak sepenuhnya berhasil melampaui keseruan yang sudah mereka hadirkan pada PPV sebelumnya itu.
Sebelum membahas yang kurang berhasil, kita akan ngomongin yang sukses dulu. Tiga kata. Bayley. Sasha. Banks. Satu-satunya yang failed dari pertemuan mereka ini (at last!) adalah failed-nya WWE dalam memposisikan pertandingan ini. Kejuaraan Wanita Smackdown ini seharusnya dijadikan partai terakhir. Dijadikan main event. Karena begitu seru, kreatif, dan sungguh cocok mengemban cerita dengan build up yang sudah demikian panjang. Ketertarikan kitapun tidak bisa lebih tinggi lagi. Kita masuk ke pertandingan ini mengetahui fakta bahwa Sasha Banks enggak pernah menang HIAC meskipun dia memegang rekor sebagai satu-satunya anggota Four Horsewomen yang paling banyak bertanding di HIAC – semuanya melawan sesama anggota Four Horsewomen! – dan juga fakta bahwa ketegangan antara Sasha dengan Bayley udah mencapai puncak ubun-ubun. Story mereka ditulis dengan sangat baik, setiap detil dijadikan hook. Rekor Bayley menjadi juara selama 380 hari dijadikan stake buat si juara bertahan yang jadi antagonis di cerita ini. Membuat posisi mereka jadi berimbang, keduanya punya stake, keduanya mungkin untuk menang. Membuat kita yang nonton geregetan.

Boss in a Cell!!

 
Menonton bentrokan Bayley dan Sasha Banks ini membuat ingatanku terpelanting ke belakang, ke saat menyaksikan dokumenter WWE Untold mereka yang membahas pertandingan Ironman legendaris mereka di NXT. Saat itu Sasha bilang, mereka gak bisa terlalu banyak latihan karena jika pegulat wanita ‘ketahuan’ melakukan banyak adegan diving berbahaya, maka senior dan para produser akan melarang dan menyuruh untuk mengurangi aksi mereka sedikit. Kenapa aku jadi terflashback ke sana? Well karena di HIAC kali ini aku melihat lutut Sasha Banks beterbangan ke sana kemari! Gerakan Meteora itu dijadikan Sasha sebagai signature dan di match ini kita melihat berbagai macam variasi. Dan semuanya tampak berbahaya. Yang paling mencengangkan adalah Meteora yang dilakukan oleh Sasha sambil berlari di atas meja (sebagai landasan/ramp) untuk kemudian meloncar dan menubruk Bayley ke kandang. Aku yakin sekali Sasha dan Bayley juga merahasiakan spot-spot mereka yang seperti ini, dan barulah mereka meledakkan semuanya ketika sudah live bertanding. Bayley dan Sasha di sini membuktikan kepada dunia gulat hiburan bahwa WWE – kendati strict dan paling main-aman – tetap mempunyai divisi gulat cewek terbaik.
Kecepatan tempo dan kreativitas dua pegulat cewek itu bahkan tidak mampu ditandingi oleh main event acara; Randy Orton dan Drew McIntyre. Keduanya justru stuck di tempo lambat dan alur tanding yang lebih metodikal. Dengan kata lain, partai Kejuaraan tertinggi di WWE Raw itu terasa membosankan ketimbang kejuaraan wanita barusan. Pada satu titik, terlihat seperti Orton dan McIntyre ingin melakukan sesuatu yang luar biasa. Mereka berdua memanjat kandang tinggi itu, dan melanjutkan berantem di atasnya. Namun selain shot epik dan pemandangan yang bikin penonton yang fobia ketinggian keringet dingin, tidak banyak yang kedua pegulat itu hasilkan di atas sana. Mereka hanya adu jotos sebentar, lalu kemudian turun lagi. Aksi menjadi lebih fisikal justru pada saat mereka sudah setengah turun. McIntryre pake gimmick darah di sini, ia muntah darah seolah ada internal bleeding setelah terbanting jatuh ke atas meja komentator dari dinding yang sedang mereka panjat. Sisanya, pertandingan tersebut terasa datar. Bahkan hasil akhir pertandingan ini tidak pernah benar-benar mengejutkan. But I guess kita semua udah mengharapkan pertandingan datar seperti itu ketika ada nama Orton tertera sebagai pesertanya. Dan bahkan sebenarnya match tersebut gak sedatar itu jikasaja mereka tidak harus punya Sasha dan Bayley sebagai patokan. However, di antara ketiga HIAC yang bisa dibilang paling mengecewakan buatku adalah Roman Reigns lawan Jey Uso, yang justru supposedly adalah yang paling unik karena merupakan HIAC pertama yang menggunakan stipulasi I Quit match.

Kurungan yang jadi personal hell itu bagi WWE sendiri sebenarnya adalah soal ke-strict-an mereka dalam mempersembahkan diri sebagai brand. WWE sebenarnya punya lebih dari satu kesempatan seperti HIAC ini untuk sesekali mengambil resiko dan menyimpang sedikit dari ‘rutinitas’ dan format presentasi aman yang mereka lakukan. Tapi tidak pernah hal tersebut dilakukan dengan maksimal. 

 
Hal terbaik dari Kejuaraan Universal itu adalah penerapan I Quit itu sendiri. Tidak lagi wasit nyodorin mic ke peserta yang tepar kayak jaman dulu. Melainkan langsung komunikasi verbal antara semua pihak yang terlibat. Dan berkat itu, Roman Reigns jadi kayak orang sakit jiwa, membuat karakternya menjadi semakin menarik. Nyuruh Jey untuk quit. Ngoceh-ngoceh sendiri soal dia kepala suku. Fresh melihat karakternya seperti ini. Sayangnya, pertandingan mereka ini secara naratif udah kayak pengulangan plek-plek dari pertandingan luar biasa mereka sebulan sebelumnya. Bahkan sekuen di endingnya mirip juga. Sehingga menontonnya jadi biasa aja, walaupun ada kandang neraka itu yang jadi playground mereka sekarang. Kemudian malah pertandingan ini jadi janggal karena hal-hal seperti melakukan gerakan submission yang mencekik lawan. Ini membuat si superstar yang melakukan jadi kelihatan blo’on karena inti I Quit ini kan supaya lawan menyerah dengan bilang “I quit”. Kalo lawan kecekek terus pass out, gimana mereka bilang kata tersebut? Matchnya gak bakal berakhir dong kalo lawannya pingsan. Dan lagi, si wasit juga gak kalah blo’onnya nanyain quit atau enggak setelah si superstar terlepas dari submission. Padahal kan logisnya orang bakal nyerah saat dia kecekek; setelah cekekan atau kuncian lepas, ya mereka gak ada urgensi lagi untuk bilang quit.
Selain proses match yang kurang logis, kejadian setelah ending pertandingan ini juga rada aneh. Development karakter dan cerita setelah ending itu adalah Jey menunjukkan kualitas sebagai orang yang care dengan saudara dan keluarganya. Ini penting karena masalah kedua superstar ini adalah membuktikan bahwa Roman Reigns cocok sebagai kepala suku keluarga gulat mereka. Nah di match ini diperlihatkan Jey cukup tangguh, dia bertahan gak mau menyerah – biarlah badannya sakit dihajar. Namun begitu saudara kembarnya yang disakiti, Jey langsung bilang I quit supaya Reigns menghentikan serangan. Jey berkorban dan memikirkan saudaranya. Tapi lantas, setelah match berakhir, Afa dan Sika muncul dan menyerahkan simbolik kepala suku kepada Roman Reigns, meskipun jelas si Reigns ini menunjukkan bahwa dia rela melakukan apa saja – termasuk menyakiti sepupu/keluarganya sendiri. Kita masih cuma bisa meraba kemana arahnya storyline mereka ini, tapi menurutku ini aneh keluarga besar Reigns justru mendukung dirinya jadi kepala suku. Aku gak tau. Apakah WWE menyelipkan kritikan soal pemerintah tirani – aku ragu writer mereka kepikiran sejauh itu.

Yang jelas bagi Reigns, dia gak akan membiarkan Jey quit seterhormat Khabib menyatakan dirinya quit.

 
 
The rest of the cards adalah match-match gak-spesial, yang mestinya bisa aja dilangsungkan di show mingguan. WWE pun tidak usaha banyak untuk membuat mereka spesial. Retribution dapat match hampa yang justru membuat mereka terlihat lebih lemah lagi karena anggotanya ditumbalkan begitu saja kepada Lashley. Jeff Hardy malah dibikin kayak gak peduli untuk memenangi pertandingan; karena situasinya dituliskan dia DQ gitu aja. Yang paling unfortunate buatku adalah Otis. WWE kayak kehilangan kepercayaan gitu aja ke superstar ini dengan mencabut Money in the Bank darinya. Padahal bukan salah Otisnya, kesempatan aja yang jarang diberikan kepadanya. Mestinya justru di sinilah kesempatan untuk Otis. WWE bisa membuat pertandingan ini sebagai push supaya Otis tampak kredibel dengan mengalahkan mantan juara WWE. Tapi enggak. WWE just give up on him. Menggantikan posisi MITB dengan Miz (alih-alih Morrison), and for some reason membuat Tucker jadi heel.
 
 
Hitam putih di sini bukanlah lagu Isyana, melainkan attire Sasha-Bayley dan Reigns-Jey. WWE membuat simbolik mereka sesederhana itu. Jahat hitam. Protagonis putih. Dan tampaknya memang keseluruhan acara ini enggak pernah berkembang jauh dari kesimpelan semacam itu. Simpel yang berarti kurang usaha. Kurang berani ambil resiko. Untuk acara dengan occasion seseram halloween, dengan gimmick sebrutal hell in a cell, acara ini justru terasa main aman dan datar-datar saja. The Palace of Wisdom menobatkan HIAC Sasha Banks mendobrak ‘kutukan’ melawan mantan sahabatnya, Bayley sebagai MATCH OF THE NIGHT 
 
 
 
 
Full Results:
1. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL I QUIT MATCH Roman Reigns bertahan sebagai juara dengan memaksa Jey Uso berkata “I quit”
2. SINGLE Elias menang DQ atas Jeff Hardy
3. MONEY IN THE BANK CONTRACT ON THE LINE The Miz merebut koper dari Otis
4. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL Sasha Banks jadi juara baru ngalahin Bayley
5. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Bobby Lashley defending against Slapjack (yea aku tau namanya bego)
6. WWE CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL Randy Orton mengalahkan juara bertahan Drew McIntyre 
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review


 
 
Dulu bernama Night of Champions, dan buatku pay-per-view ini selalu punya pesona tersendiri. Karena ini adalah malam di mana semua pemegang sabuk di WWE turun ke arena untuk bertanding mempertaruhkan kejuaraan mereka masing-masing. Konsep ini menciptakan kesan bahwa kejuaraan tersebut benar-benar sakral. Buat para jawara, ini adalah ajang pembuktian. Buat para penantang, tentulah acara ini kepentingannya lebih grande lagi, sebab ini adalah kesempatan besar bagi mereka. Dan bagi sebagian besar superstar (at least, yang feud dan storyline mereka digarap dengan sungguh-sungguh), match di Clash of Champions selalu sangat personal. Terakhir, buat kita sebagai penonton, well, buatku menonton Clash of Champions ini terasa seperti ngeliat event boss-fight video game yang beruntun.

Klop Gladiator banget Clash of Champions diadain di Thunderdome!!

 
 
Tentu saja semua kesan tersebut berasal dari baiknya build up yang dilakukan oleh WWE terhadap bukan hanya para superstar (juara dan penantang), tapi juga ‘drama’ di antara mereka. Dan untuk tahun ini, Clash of Champions punya satu storyline yang digarap paling menarik di antara semua. Karena dia juga adalah yang paling fresh. Yang kita bicarakan di sini adalah pertandingan antara Roman Reigns mempertahankan sabuk Universal melawan salah satu saudara sepupu kembarnya; Jey Uso. Inceran WWE tentu saja adalah cerita gede yang melibatkan salah satu keluarga paling gede dalam sejarah dunia gulat. Yakni keluarga Samoa yang sudah generasi bergenerasi bekerja sebagai penampil untuk bisnis gulat hiburan. Heritage yang bisa ditarik dari Wild Samoa, ke Yokozuna, ke Rikishi. Umaga. Dan tentu saja The Rock. This family means money. This family means business. Maka WWE menyiapkan cerita dari keluarga tersebut untuk generasi sekarang. Roman Reigns. Dan Uso. Reigns putra dari Sika. Kembar Uso putra dari Rikishi. They are part of the Samoa’s Bloodline. Reigns dan Jey tumbuh bersama, di lingkungan wrestling. WWE membuat dua ‘ahli waris’ itu beradu. Membuatnya personal bagi kedua superstar.

Karena sabuk juara yang diperebutkan di sini bukan saja merepresentasikan siapa yang terkuat. Lebih dari pada itu, bagi kedua pegulat muda ini, sabuk itu adalah simbol kekuasaan. Pemimpin dalam keluarga besar mereka. Para komentator menyebutnya sebagai Penentuan Kepala Suku.

 
WWE bisa saja membuat match ini sebagai cerita underdog yang menarik. Jey sama sekali belum pernah memenangi kejuaraan solo, sementara sepupunya itu sudah malang melintang di kejuaraan dunia. Kalian yang niat ngitungin pasti tahu udah ada tujuh championship reigns di bawah kepimpinan Roman Reigns. Jey selama ini selalu bermain di divisi tag team berpasangan ama saudara kembarnya, Jimmy. Sementara Roman Reigns sudah jadi top single star bahkan saat dia merupakan bagian dari grup/stable. Motivasi Jey di sini pun cukup dramatis; dia mau mengubah pertanyaan ‘dia kembar yang mana?’, dia ingin supaya orang mengenal dirinya sebagai juara. Namun WWE sudah kukuh untuk membuat ini adalah cerita tentang Roman Reigns. Cerita tentang sisi gelap Reigns yang belum pernah kita lihat. Cerita bahwa Reigns begitu tinggi sehingga dia merasa perlu untuk diakui sebagai Kepala Suku alias The Tribal Chief. Pilihan ini tadinya kupikir bakal membuat storyline ini menjadi kurang nendang karena predictable. Tapi spektakular tetaplah spektakular. Karena WWE paham pada where the money is, dan eksekusi cerita ini pada Clash of Champions benar-benar luar biasa.
Mengutip sedikit jargon seorang pegulat paling ‘nyetrum(?)’; “It doesn’t matter!” Gak peduli kalo hasil akhirnya ketebak. Yang penting adalah bagaimana hasil tersebut disampaikan kepada kita. Roman Reigns melawan Jey Uso sukses berat dari segi penceritaan, dengan didukung juga oleh aksi ring yang benar-benar intens. WWE mempersembahkannya dengan sedramatik mungkin. Untuk membantu mengomunikasikan perubahan karakternya, Roman Reigns menggunakan approach bertanding sambil bicara. Dan ini benar-benar membantu kita untuk melihat Reigns sebagai pribadi yang telah berubah. Karena Reigns sebelum ini enggak pernah banyak omong, ataupun dia juga gak pernah melepas vest ‘armor’nya. Aksi yang disuguhkan menambah banyak kepada bobot cerita dan karakter. Bahkan sekuen Jey fired up aja dibuat sedemikian intens dengan Cole berteriak-teriak takjub dari meja komentator “He’s gonna do it! He’s gonna do it!!”. WWE lantas dengan sengaja mengangkat pertanyaan untuk menambah layer drama dengan membuat Reigns kick out pake gerakan yang ngelow-blow Jey. Sengaja atau tidak? Apakah Reigns perlu sampai curang untuk menang? Ending partai ini juga tak kalah spektakular dalam bercerita karena menampilkan adegan yang subtil buat Roman Reigns saat Jimmy datang menggunakan tubuhnya sebagai ‘shield’ untuk melindungi Jey dari pukulan.
Selain Jey, ada satu lagi superstar yang ‘naik kelas’. Tampil pertama kali sebagai penantang dalam perebutan gelar juara wanita, Zelina Vega memainkan perannya dengan maksimal. Membuat kita melihatnya sebagai penantang yang legit untuk juara sekaliber Asuka. Well, cerita pertandingan ini memang tentang Asuka yang sedikit ‘kaget’ akan kebolehan Zelina; Asuka diposisikan seperti kita; dia sedikit go easy on Zelina, tapi nyatanya dia harus mengerahkan tenaga lebih untuk menundukkan Zelina. Aku senang feud ini masih berlanjut karena rotasi karakter itu benar-benar kelihatan. WWE tidak lagi terlalu kentara memakai pemain-pemain yang itu-itu saja. Satu kekurangan buatku adalah betapa cepatnya Zelina tap out. Apollo Crews juga dibuat secepat itu tap out kepada kuncian Bobby Lashley di Kejuaraan United States. Sebaiknya mereka bertahan sedikit lebih lama sebelum tap out untuk memperlihatkan determinasi dan perjuangan itu kepada kita.

Nonton ini dijamin kita gak perlu pasang mata boboho kayak Jeff Hardy

 
Selain itu, ada dua lagi match yang berlangsung sangat fun. Yakni Kejuaraan Intercontinental yang dilangsungkan sebagai Ladder Match dan Kejuaraan WWE dalam Ambulance Match. Kalolah ada juara terkreatif, maka aku jelas akan menobatkan titel itu kepada Ladder Match di sini. Sami Zayn, Jeff Hardy, dan AJ Styles sudah barang tentu mampu melakukan aksi-aksi yang bikin tahan napas dengan tangga. Namun di match ini mereka bahkan bekerja dengan lebih kreatif lagi. Gimmick boleh jadi kuat di sini, tapi dilakukan dengan sangat unik dan menghibur. Belum pernah aku melihat taktik memborgol orang ke tangga lewat lubang kupingnya ataupun memborgol lawan ke tangan sendiri. Match ini sungguh original karenanya. Ambulance Match antara Drew McIntyre melawan Randy Orton juga sebrutal dan seasik itu. Spot ketika McIntyre terbanting keras ke kaca depan ambulans (punggungnya ampe luka-luka!) bakal membuat kita bernostalgia ke era gulat hardcore. Selebihnya, Ambulance Match juga kuat di gimmick. Beberapa superstar legend yang ‘dimatikan’ oleh Orton sepanjang build up ke match ini sejak berbulan yang lalu, bergantian muncul untuk membalas dendam kepada Orton. WWE menggunakan aturan No-DQ dan bertarung hingga ke backstage sebagai device untuk berkreasi dengan kemunculan mereka. I kinda wished mereka ngetwist sedikit atau apa, like, buat Ric Flair di akhir namun ternyata malah menyerang McIntyre, tapi aku cukup senang dengan mereka membuat Ric Flair sebagai supir ambulans yang membawa Orton yang kalah keluar arena. Karena buatku itu juga masih bisa dimaknai ambigu sebagai Flair membawa Orton dan menyelamatkannya. Seriously, aku menolak untuk percaya Flair gak up to something bad hahaha…
Jika bukan karena pandemi, tentulah acara ini bakal lebih seru lagi. Clash of Champions terpaksa meng-cut dua pertandingan karena superstar yang terlibat di dalamnya tidak diijinkan bertanding karena ‘masalah medis’. Shayna Baszler dan Nia Jax (meski ini aku curiga jangan-jangan ditarik karena Nia Jax masih sodaraan ama Reigns dan Jey sehingga WWE gak mau menarik perhatian kita ke arah sana). Dan Nikki Cross. ‘Mitigasi bencana’ WWE untungnya cukup cepat tanggap. Match Bayley dengan Cross diganti menjadi Bayley melawan Asuka (dobel duty!). Intensitas storylinenya tetap hidup, dan masih nyambung ketika WWE butuh ‘cutscene’ kemunculan Sasha Banks. From the looks of it, WWE sepertinya mengincar pertandingan Hell in a Cell antara Bayley dan Sasha bulan depan. Yang membuat episode Sasha melawan four horsewomen di HIAC terus berlanjut.
Toh WWE cukup tersandung juga ketika terjadi ‘bencana’ yang cukup mendadak. Ending Kejuaraan Tag Team antara Street Profits melawan Andrade dan Angel Garza tampak begitu awkward. Matchnya dihentikan prematur karena Garza mengalami cedera saat melakukan Knee Strike (ketarik terlalu jauh kayaknya uratnya). Namun komunikasi antara semua pihak di ring tidak berhasil dilakukan dengan mulus. Andrade tetap kick out saat wasit seharusnya menghitung sampai tiga. Bahkan Angelo Dawkins pun tampak kaget dan sedikit emosi sebelum akhirnya sadar dengan kondisi Garza di luar ring.
 
 
Dikawangi oleh dua match yang sangat menghibur dan dramatik di awal dan akhir match, menonton Clash of Champions 2020 benar-benar terasa seperti naik wahana superseru. Tadinya kupikir karena pertandingannya berkelas semua maka WWE akan mengambil arahan klasik dan menjadikannya serius dan sesuai format standar. Tapi ternyata ada banyak hal kreatif dilakukan. Ada banyak gimmick yang dipakai, tapi tidak membuat pertandingan berkurang urgency ataupun kepentingannya. Bahkan dengan perubahan di last-minute, WWE masih mampu kembali asik setelah tersandung tersebut. The Palace of Wisdom menobatkan Tribal Fight antara Roman Reigns melawan Jey Uso sebagai MATCH OF THE NIGHT 
 
 
 
 
Full Results:
1. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT LADDER MATCH Sami Zayn membuktikan bahwa dia juara sesungguhnya dengan mengakali Jeff Hardy dan AJ Styles
2. RAW  WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka bikin Zelina Vega tap out
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Bobby Lashley retains over Apollo Crews
4. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Street Profits unggul lagi atas Andrade dan Angel Garza
5. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley nyelametin sabuknya dari Asuka 
6. WWE CHAMPIONSHIP AMBULANCE MATCH Juara bertahan Drew McIntyre masukin Randy Orton ke ambulans
7. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Romain Reigns ngalahin Jey Uso ampe babak belur 
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SummerSlam 2020 Review

 

Apa asiknya ngadain pesta tapi tanpa orang. Maka WWE pun memutar otak mereka, hingga akhirnya menemukan konsep baru yang membuat SummerSlam, si Pesta Terbesar di Musim Panas kali ini bisa tetap meriah oleh penonton yang hanya bisa menyaksikan dari rumah. Pada SummerSlam 2020 kita melihat aplikasi dari konsep yang disebut WWE sebagai ThunderDome.
Tribun penonton di sekeliling ring disulap menjadi barisan LED, yang akan menampilkan wajah ratusan fans yang menonton dari webcam masing-masing. Such a fun concept, kita yang di Indonesia juga bisa mendaftar untuk jadi penonton di sana, dan ternyata memang konsep ini terlihat keren di TV. WWE berhasil menemukan cara untuk membuat wajah-wajah penonton ini mendistraksi kita dari atraksi yang sesungguhnya. Mereka melakukannya demi mendapatkan keriuhan fans yang tepat untuk menghidupkan suasana. Tepuk tangan dan sorakan itu jelas jauh lebih baik daripada yel-yel maksa dari ‘penonton’ di Performance Center, seperti yang selama ini kita dapatkan semenjak pandemi. Menonton SummerSlam kali ini, rasanya nyaris sama seperti menonton acara WWE sebelum Corona. Dan untuk membuat hal lebih greget, WWE yang kayaknya lagi murah rezeki, mengembalikan pyro ke arena! Jadi, ya, pesta kali ini memang beneran rame oleh sorakan, lighting, pyro. Dan cup!

Kalo di Indonesia, mungkin acara ini udah masuk rekor Muri sebagai Pertunjukan TV Live dengan Penonton Virtual Terbanyak

 
 
As exciting as seeing Street Prophet’s entrance, kita-kita penonton gulat ini tentulah akan tetap menomorsatukan aksi di atas ring. SummerSlam 2020 tidak punya pertandingan spesial, dengan momen atau spot yang luar biasa mencengangkan. Walau sekilas itu terdengar seperti sesuatu yang buruk, tapi pada kenyataannya tidak sejelek itu. Karena pada pay-per-view itu semua partai terasa berimbang. Dengan outcome yang terarah, entah itu sesuai dengan gimmick/tema acara ataupun didesain untuk mendeliver cerita. Jadi, meskipun tidak ada satu pertandingan yang mencuat, acara ini sebaliknya juga tidak punya banyak kelemahan. Hanya ada satu pertandingan yang benar-benar terasa kurang memuaskan, kita akan bahas itu di bagian akhir.
Untuk sekarang aku mau bicara soal seorang non-pegulat bikin kejutan di atas ring! Well, sebenarnya dua orang, karena that happened twice dalam dua hari ini! Pertama kita melihat Pat McAfee menyuguhkan pertandingan yang lebih menghibur daripada keseluruhan acara Raw minggu lalu di NXT TakeOver hari Sabtu. Dan kini, di SummerSlam ini kita melihat anak Rey Mysterio, si Dominik, berhasil membuat kita berjingkrak-jingkrak seru saat melihat dia membanting tulang demi ayahnya, berhadapan dengan Seth Rollins. Yea, time flies fast – rasanya baru SummerSlam kemaren kita menonton Rey dan Eddie Guerrero rebutan hak asuk Dominik yang gemetar jadi saksi di pinggir ring, dan sekarang kita melihat Dominik itu terbang dengan jurus-jurus Rey dan Eddie! Jelas bukan hanya waktu yang bisa terbang di sini! Namun sebenarnya, yang membuat partai ini menghibur adalah character-work yang kuat dari kedua kubu. Rollins sedari awal sudah menunjukkan permainan heel yang istimewa dengan muncul mengenakan attire tribute untuk kostum pertandingan legendaris Mysterio di WCW. Bergerak mulai dari sana, Rollins menunjukkan pemahamannya terhadap psikologi yang diniatkan oleh cerita. Karena tidaklah logis jika Dominik bisa mengungguli Rollins yang sudah tinggi jam terbang, maka Rollins ‘memberikan’ Dominik celah untuk mengoutsmart dirinya dengan kerap meledek atau talk trash. Ada satu momen ketika Dominik berhasil menghindar dari Curb Stomp, dan nyaris mencuri pertandingan. And that was really good. Walaupun match ini agak kepanjangan, tapi mereka berhasil mendeliver cerita, dan itulah sebabnya jadi tetap terasa menghibur.
Narasi-narasi drama di WWE belakangan memang lagi keren-kerennya. Salah satu yang paling dipush adalah soal Bayley dan Sasha Banks, dengan perjuangan Asuka sebagai bumbu yang bikin sajian ini semakin pedes. Di sini Asuka bergulat dua kali, melawan Banks dan Bayley, memperebutkan sabuk mereka bergantian. But really, di drama ini Sasha Banks adalah tokoh utamanya. Urutan pertandingan tersebut jadi kunci yang penting, dan SummerSlam melakukannya dengan benar. Pertama Banks dibuat khawatir saat Asuka berhadapan dengan Bayley, karena bukan saja dia mencemaskan sohibnya, Banks juga mencemaskan bakal berhadapan dengan Asuka yang seperti apa nanti. Apalagi komentator juga memberikan subteks bahwa Bayley dan Asuka merupakan yang paling berprestasi dari NXT, keduanya telah mencapai semua. Perbedaan Asuka dan Bayley adalah Bayley belum pernah menang Royal Rumble, dan reigns NXT Bayley diakhiri oleh Asuka sendiri. Ini menciptakan tekanan – yang terdeliver keren lewat ekspresi Banks. Maka Banks aktif membantu Bayley. Dan saat tiba giliran dia melawan Asuka, kita bisa merasakan urgensi darinya.
Setiap kali bertanding, Asuka dan Banks selalu menyuguhkan pertarungan yang keras, dengan banyak gerakan counter yang seperti dilakukan impromtu karena keduanya sama-sama intens. Dalam SummerSlam ini juga seperti demikian. Dan jika ini sebuah film, maka ini adalah cerita tentang kegagalan Sasha Banks. Kejadian akhir pada match Banks dibuat mirip dengan kejadian akhir di match Bayley. Perbedaannya tentu saja terletak pada kali ini siapa yang berada di luar dan seharusnya membantu.
Tampangmu ketika menyadari kau tak pernah menang setiap mempertahankan sabuk di PPV

 
Menakjubkan gimana WWE berhasil menarik-ulur dan menggoda kita dengan storyline Banks-vs-Bayley. Kita sudah dapat kisah ‘persahabatan’ mereka ini dari tahun 2018 loh. Aku gak tau, mungkin WWE bingung mau ngasih posisi face dalam skenario tersebut untuk siapa. Yang jelas, dengan build up dan pengembangan seperti ini, kupikir kita semua bisa berharap untuk pay off yang bener-bener pecah. Karena toh yang sesimpel storyline Mandy Rose dan Sonya DeVille saja bisa worked greatly. Semua orang respek sama Sonya sekarang, aku yakin; setelah promonya yang keren di Smackdown sebelum acara ini. Akan menarik untuk memantau bagaimana WWE mengakali stipulasi ‘loser leaves’ ini, mungkin setelah kasus yang menimpanya di real life Sonya memang butuh rehat sebentar, tapi kita bisa yakin bahwa dia akan comeback one way or another.
Match teraneh di acara ini adalah Kejuaraan WWE antara Drew McIntyre melawan Randy Orton. Aneh dalam artian yang sebagian besar positif. Partai ini, menilik dari storyline dan star power, seharusnya jadi main event. Namun WWE mengincar sesuatu yang benar-benar ‘you’ll never see it coming’ untuk menutup acara. Sehingga partai Kejuaraan WWE ini mendapat arahan yang berbeda, meski sama-sama masih dalam lingkup tajuk ‘you’ll never see it coming’. Dan inilah yang membuatnya jadi aneh-tapi-menarik. Both Orton dan McIntyre sudah sah jadi papan atas, mereka punya semua; kharisma, skill, segala macam. Interestingly, dalam pertandingan ini tidak satupun dari mereka yang berhasil menyarangkan special move masing-masing. Tidak ada RKO. Tidak ada Claymore (so it would be clay-less xD). Pertarungannya seru, kelas partai utama, tapi tidak berlangsung seperti yang kita semua sangka. Malah, seingatku aku belum pernah menyaksikan pertandingan sekaliber ini, dengan superstar top semacam mereka, yang berlangsung tanpa finisher.

Dengan tema You Will Never See It Coming, dalam acara SummerSlam ini WWE ingin membuktikan bahwa mereka masih bisa memberikan kita kejutan.

 
‘It’ dalam ‘You’ll never see it coming’ ternyata merujuk kepada Roman Reigns. Sungguh sebuah kejutan baik yang beneran tidak terduga. Bukan saja menyelamatkan kita dari main event yang uninspiring antara The Fiend melawan Braun Strowman, tapi sepertinya juga penyelamat rating acara WWE untuk ke depannya. Tapinya lagi, ‘It’ di situ ternyata juga merujuk kepada Alexa Bliss. Yang benar-benar tak kelihatan wujudnya. Padahal Bliss jadi faktor penting dalam storyline antara Strowman dengan Bray Wyatt. Aneh jika karakter ini tidak dimunculkan karena jadi tidak ada pay off. Semua orang sudah terinvest ke dalam cerita mereka yang melibatkan Bliss. Membuatnya tidak ada hanya membuat penulisan/bookingan seperti trying too hard untuk menjadi tak-tertebak. It’s also weird saat ada juara dan ada pemenang MITB di satu tempat, tapi saat sang juara tak berkutik, si Mr. MITB tidak datang menggunakan kesempatan.

Padahal aku sekalian pengen lihat gimana kocaknya The Fiend kena Caterpillar

 
 
 
Geng Retribution juga absen di sini. Padahal selama ini mereka selalu datang mengganggu acara WWE. Mereka di sini hanya nongol di video package. Yang menariknya adalah kaos baru si Roman Reigns. Tulisannya ‘Wreck Everyone and Leave’. Apakah menurut kalian Reigns ada sangkut pautnya dengan Retribution? Anyway, SummerSlam 2020 cukup menghibur. Matchnya fairly good, enggak ada yang terlalu unggul, ataupun terlampau jelek. Main event-nya lah yang paling parah, tapi tertebus oleh kejutan yang menyusul. Selebihnya ada yang bagus tapi agak kepanjangan kayak matchnya anak Mysterio, ada yang terlalu ngikut tema kayak Kejuaraan WWE. Milih Match of the Night di sini cukup susah, tapi aku akan membagikannya kepada pertandingan yang punya storyline yang paling matang, dan aksi yang garang. MATCH OF THE NIGHT dijatuhkan kepada Asuka melawan Sasha Banks.
 
 
 
 
Full Results:
1. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley mempertahankan gelar dari Asuka
2. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Street Prophet retains over Andrade and Angel Garza
3. NO DISQUALIFICATION LOSER LEAVES WWE Mandy Rose dikalahkan meja, eh maksudnya, Mandy Rose mengalahkan Sonya Deville
4. STREET FIGHT Seth Rollins menghajar Dominik Mysterio
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka merebut kembali sabuk dari Sasha Banks
6. WWE CHAMPIONSHIP Juara bertahan Drew McIntyre ngalahin Randy Orton
7. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP The Fiend Bray Wyatt jadi juara baru mengalahkan Braun Strowman 
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review


 
 
Pertama-tama, marilah kita panjatkan apresiasi kepada poster, yang mungkin sebenarnya gambar teaser, tapi tak pelak merupakan salah satu promo terkreatif yang pernah dirilis oleh WWE. Memejeng Sasha Banks berpose seperti Florence Pugh dalam poster film Midsommar (2019) bukan saja ide pinter, melainkan juga berfungsi sebagai penegas bahwa acara ini adalah cara WWE membuat film horor versi mereka sendiri.
Extreme Rules sudah dikenal sebagai acara yang berkonsep ekstrim. Selama ini selalu dijual sebagai ‘malam di mana WWE bermain keras’. Atau dalam penerapannya; malam kala semua pertandingannya punya stipulasi yang tak-biasa. Tahun ini, WWE menghadirkan Extreme Rules dengan penekanan kepada elemen horor yang ditimbulkan dari storyline dan jenis pertandingannya itu sendiri. Ada dua konsep atau stipulasi pertandingan yang jadi ujung tombak acara ini. SWAMP FIGHT dan EYE FOR AN AYE MATCH. Yang belakangan particularly interesting karena WWE menjanjikan akhir pertandingan yang brutal; untuk menang dalam pertandingan ini kau harus mencabut bola mata lawanmu. Ini membawa kita kembali pada permasalahan ‘kegedean nama’ yang membayangi Backlash bulan kemaren yang memejeng The Greatest Match Ever sebagai nilai jual. Sekali lagi kita bertanya; bagaimana WWE akan melakukan itu?. Sekali lagi kita meragukan.

Mungkin Horror di sini merujuk pada keadaan Covid-19 yang semakin parah, ya gak Apollo Crews?

 
Konsep Eye-for-an-Eye, pada kenyataannya, menjelma menjadi pertandingan yang seru. Stipulasi ini membuka berbagai cara baru yang bisa digunakan oleh Seth Rollins dan Rey Mysterio untuk saling menyerang. Mereka menggunakan benda-benda seperti kaki kursi, ujung kendo stick, dan bahkan pulpen sebagai senjata yang langsung menarget mata. It was pretty violent, untuk standar WWE. Secara cerita, ini adalah pertandingan yang sangat personal bagi Rey yang matanya sudah dilukai duluan oleh Rollins. Jadi ini adalah ajang balas dendam bagi superstar bertopeng tersebut. They are not just out to stab opponent’s eye, melainkan ada bobot drama sehingga pertandingan ini jadi lebih intens lagi. Kita masuk ke pertandingan ini dengan pemahaman bahwa ini bakal jadi pertandingan terakhir Rey di WWE, bahwa dia either menyerahkan estafet perjuangan ke anaknya, atau si Dominick itu justru bakal membelot ke geng Greater Good-nya Rollins. Di lain pihak, kita juga penasaran dan mulai membayangkan bakal sekeren apa Rollins dengan penutup mata kayak Nick Fury; karena biasanya dalam pertandingan dengan stake fisik kayak gini (hair vs. hair atau mask vs. mask) tokoh heel yang kalah karena mereka perlu bertransformasi seperti CM Punk yang dibotakin dulu. Jadi pertandingan ini benar-benar membuat kita penasaran karena hasilnya masih belum kebayang; bukan saja seperti apa cara mereka menang, melainkan juga kedua superstar punya kans yang sama – mereka sama-sama punya kepentingan untuk dibuat ‘kalah’.
Dan aku akan oke kalo ini beneran jadi match terakhir Rey jikasaja endingnya tidak dibuat konyol seperti yang kita lihat pada menit ke-tujuhbelas saat bel berbunyi. Kegedean-nama itu benar-benar jadi backlash di sini. Kita sudah terbuild up untuk sesuatu yang sadis – heck, Rollins datang dengan memamerkan semacam tang, for god sake! – Kita sudah percaya WWE pada titik ini sudah mampu mengimplementasikan efek dan teknik editing yang mumpuni untuk sesuatu seperti mencongkel mata. Namun WWE nge-php kita dengan malah mengeksekusi ending match ini dengan konyol. Mata Rey digencet ke steel steps, dan voila, tau-tau bola mata palsu itu muncul, Rollins muntah melihatnya, dan dia dinyatakan menang. Kesannya jadi seperti antiklimaks. Bayangkan kalo nanti match ini ada di video game, dan cara kita memenangkannya adalah dengan memepet lawan ke steel steps dan menekan X, gitu aja.
Swamp Fight antara Braun Strowman dan Bray Wyatt – yang merupakan another take WWE dalam menggarap so-called cinematic match – juga enggak berprestasi lebih baik. Alih-alih mengeksplorasi environment dan hubungan kedua karakter ini lebih jauh, kita malah diberikan ‘kilas balik trippy’ lagi. Match ini adalah soal Bray yang berusaha membujuk Strowman kembali ke ‘rumah’, dalam artian kembali menjadi dirinya yang dulu. Yakni monster tanpa-hati yang diciptakan oleh Bray Wyatt. Yang kita dapatkan di sini adalah aksi gulat yang semakin minim (digantikan oleh pertarungan melawan minion, ala sinetron) dan beberapa adegan yang supposedly mengerikan dan surealis karena enggak make sense untuk terjadi. Salah satunya – dan yang paling menarik buatku – adalah ini:
Mimpiku malam Jumat nanti

 
Sebelum aku heboh sendiri bilang itu adalah biggest cinematic revealed in 2020, aku harus nahan diri karena semua kejadian ini dilandaskan kepada kita terjadi di ‘dunia Wyatt’. Jadi bisa aja semua ini hanya ada di kepala Strowman. WWE menempatkan kejadian di match ini terletak di antara bego-dan-gakmungkin dengan mungkin-dan-makesense. It could be an illusion, karena di awal kita diperlihatkan Strowman ketemu dengan dirinya sendiri. Namun juga masuk akal karena Alexa Bliss punya sejarah ama Braun. Baru pas nonton Smackdown kemaren aku mikir mereka harusnya bawa Bliss ke feud ini biar seru. And while at it, they should bring Nicholas too lol. Yang jelas, Swamp Fight ini berakhir dengan menimbulkan segudang pertanyaan baru. Sehingga jelas ini sebenarnya adalah ‘cutscene’ penambah cerita feud doang.
Main event sesungguhnya acara ini – I’d like to believe – adalah kejuaraan WWE antara Drew McIntyre melawan Dolph Ziggler. Karena Ziggler begitu uninteresting di titik kita sekarang, WWE tampaknya kerja ekstra keras dalam memberikan stipulasi. Berbeda dengan dua stipulasi utama di atas, stipulasi pada pertandingan ini lebih simpel tapi berdampak lebih gede dan bekerja dengan lebih baik – baik dari segi kayfabe alias karakter, maupun dari segi hiburan. Ziggler membeberkan stipulasi pilihannya beberapa menit sebelum match dimulai, and it was: Extreme Rules match yang hanya berlaku untuk dirinya. Sungguh pilihan (alias konsep) yang cerdas. Jadi, Ziggler boleh ngapain aja, boleh menyerang pakai senjata apapun yang ia mau, boleh curang tanpa takut didiskualifikasi. Sementara Drew enggak boleh. Drew akan kehilangan gelarnya kalo melakukan semua itu. Ini menciptakan semacam kevulnerablean bagi Drew – sesuatu yang ia butuhkan karena kita perlu sesuatu untuk percaya dia dalam bahaya sehingga lebih mudah bagi kita untuk mendukung juara bertahan ini untuk menang. Match ini berlangsung singkat, tapi sangat menarik. Karena banyak momen-momen seru saat Drew harus menahan diri, dan di lain waktu dia harus mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk bangkit dan gak count-out. Ending Claymore vs. Superkick itu juga sangat spektakuler. Kalo diberikan lawan yang lebih up-to-date lagi, niscara pertandingan ini bisa berkali lipat lebih seru.

Ziggler menciptakan Drew McIntyre. Bray Wyatt menciptakan Strowman. Kita menciptakan horor kita sendiri. Makanya, harus kita sendirilah yang berjuang balik menghadapinya.

 
 
Satu lagi hal penting untuk dibahas adalah Bayley dan Sasha Banks. Guilty karena mencuri skit “Cringe Hallo” milik The Iiconics, mereka toh memang lagi over-overnya. Dan gimmick heel mereka sebagai role-model dengan dua belt (empat kalo digabung!) semakin memperdalam relationship dan incident yang paling kita tunggu-tunggu; perpecahan keduanya. Perlu kita perhatikan, meskipun kini mereka sedang di-push sebagai top tag-team dari kedua brand, WWE tetap menanamkan benih-benih untuk angle permusuhan dengan memperlihatkan Sasha memilih untuk mengenakan kejuaraan wanita milik Bayley di pinggangnya (sabuk tag team mereka hanya disandang di bahu) saat megangin sabuk-sabuk tersebut di match Bayley melawan Nikki Cross.

‘2 Beltz Banks’? I prefer ‘Dos Intros Boss’

 
Poster itu juga mengungkapkan bahwa Sasha Banks bisa jadi adalah bintang utama di sini. Dan ya, memang Sasha begitu on fire tonight. Matchnya melawan Asuka harusnya jadi Match of the Night di review gulat manapun. Sasha dan Asuka mengisi pertandingan mereka dengan spot-spot unik dan keren. Mereka seringkali bertukar jurus dengan fantastis, misalnya spot German Suplex dari pinggir ring. Sasha memberikan match ini energi dan berhasil membuat Asuka tampak mengerikan, seperti pada jaman mereka di NXT dulu. Sempat ada botch saat dia terjatuh dari posisi hendak melompat menyerang dari turnbuckle, tapi Sasha berhasil menutupinya dengan permainan karakter, yang juga langsung ‘disambut’ dengan baik oleh Asuka. Kedua superstar ini menunjukkan komunikasi dan penguasaan ring yang cerdas. Sayangnya, match ini harus dinodai oleh ending yang enggak jelas. Sehingga batal menjadi Match of the Night. Drama gak-perlu yang menjadi penutup pertandingan ini berfungsi untuk membuat kita semakin benci kepada Bayley, sehingga mungkin jika Bayley dan Sasha beneran berantem, Sasha-lah yang melakoni peran babyface.
 
 
 
Jika aksi yang kalian cari, ada fair amount of really good wrestling dalam acara ini. Jika hal unik yang kalian cari, The Horror Show at Extreme Rules menawarkan banyak momen unik, yang seringkali tidak tergolong menyenangkan untuk diingat. Seperti ending yang lemah dan cinematic match yang ‘serius enggak konyol juga enggak’. I must say; acara ini terbaik saat dia menggunakan stipulasi kreatifnya untuk mendorong inovasi dalam aksi gulat. Seperti yang kita nikmati pada partai yang menjadi pilihanku untuk MATCH OF THE NIGHT, Drew McIntyre melawan Dolph Ziggler.
 
Full Results:
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP Cesaro dan Shinsuke Nakamura jadi juara baru ngalahin The New Day (Nakamura tiga tahun berturut-turut menang sabuk di Extreme Rules!) 
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan dari Nikki Cross Sheamus mengalahkan Jeff Hardy
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP MVP menang W.O. karena Apollo Crews ‘cedera’
4. EYE FOR AN EYE Seth Rollins pop out mata Rey Mysterio
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Sasha Banks merebut sabuk dari Asuka
6. WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre bertahan ngalahin Dolph Ziggler
7. SWAMP FIGHT Bray Wyatt menenggelamkan Braun Strowman 
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Backlash 2020 Review


 
 
Nama adalah doa. Bukan sekadar merek penanda, melainkan ada hembusan harapan – ada ekspektasi – yang tersematkan ketika seseorang memberikan nama kepada sesuatu. Makanya agama melarang kita memberikan nama-nama atau julukan yang bermakna buruk. Dumbledore aja tau pentingnya sebuah nama, ia menegaskan kepada setiap orang untuk memanggil Voldemort dengan nama yang benar karena julukan hanya akan memperbesar ketakutan. Sebegitu besar pengaruh nama, ia dapat mempengaruhi kepribadian ataupun cara kita memandang sesuatu. Orang-orang dulu percaya nama bahkan bisa mempengaruhi kesehatan; ada banyak cerita tentang anak sakit-sakitan karena ‘enggak cocok nama’ dan lantas beneran sembuh begitu namanya diganti secara resmi oleh orangtuanya. Dan aku tau ini adalah paragraf yang aneh untuk memulai sebuah ulasan acara gulat, maka aku pastikan bahwa kalian enggak salah baca artikel, atau aku enggak keliru ngepos artikel, karena semua ini berhubungan dengan WWE yang memberikan nama “The Greatest Wrestling Match Ever” kepada pertandingan Edge melawan Randy Orton yang jadi main event di Backlash 2020.
See, nama dapat menjadi beban. Kita meletakkan begitu besar tekanan dengan menyebut, atau bahkan menjanjikan sesuatu sebagai ‘sesuatu-yang-terhebat’. I mean, misalnya aku gak akan mempromosikan blog ini sebagai ‘The Greatest Review Blog Ever’ meskipun boleh jadi itu memang strategi pemasaran yang ampuh. Tentu aku berharap blog ini suatu hari bakal jadi yang terbaik, tapi memasang itu sebagai plang identitas hanya akan membawa beban, karena aku bakal terus kepikiran bagaimana jika ‘janji nama’ tersebut tidak terpenuhi. Ini akan membuat menulis jadi less-mengasyikkan dan more-of-a-work. Persis itulah yang terjadi kepada match Edge dan Randy Orton, hanya beberapa saat saja setelah partai tersebut diumumkan secara resmi.
Orang-orang mulai mempertanyakan langkah seperti apa yang bakal dilakukan WWE. Sebagian besar curiga nama itu hanya gimmick untuk mendongkrak rating di tengah terpuruknya performa acara ini semenjak format ‘new-normal’ akibat pandemi. Awas aja kalo jadi sok-sok cinematik lagi begitu komentar salah satu temanku terhadap match ini. Low key; ekspektasi terhadap WWE untuk menghasilkan pertandingan sesuai janji semakin gede. Dan begitu menonton match ini, jelas WWE beneran terberatkan oleh ekspektasi ini. Sebelum mulai, komentator mengumumkan partai utama ini akan di-enhance oleh audio sorakan penonton (ngasih ambience ekstra di belakang teriakan-teriakan awkward pegulat development yang disuruh jadi penonton suruhan), direkam duluan dan enggak live seperti match-match lain pada acara ini, dan menggunakan sudut kamera unik (which means, cut-cut impossible yang dimasukkan untuk menambah dramatisnya pertandingan, seperti shot momen wajah Edge sesaat sebelum dibanting di bawah pitingan yang jelas gak bakal bisa direkam kalo match-nya live dan tanpa cut). Dua dari tiga hal tersebut nyatanya tidak diperlukan sama sekali, karena hanya membuat match ini menjadi tontonan yang semakin awkward. Juga berlawanan dengan pengertian ‘match terbaik’ sebab gulat sejatinya adalah live performance, jadi terbaik dalam konteks ini adalah hal yang berlangsung on-the-go, bukan yang sengaja di-recreate.
Dua hal tersebut juga tidak diperlukan karena Edge dan Orton, toh, benar-benar sanggup menyuguhkan pertandingan gulat tradisional yang kuat secara in-ring psikologi dan menyampaikan cerita dengan efektif. Dua superstar ini tidak membutuhkan perlakuan spesial untuk dapat memberikan kepada kita pertandingan yang katanya terbaik sepanjang masa.

bukan Edge lawan Orton kalo gak ngereference-in Chris Benoit

 
Tentu, match itu jelas bukan terbaik sepanjang masa, tapi ini adalah yang terbaik yang bisa kita dapatkan sejauh era pandemi ini. This is way better than those cinematic matches. Orton dan Edge mengambil moniker nama itu, bukan sebagai beban, melainkan sebagai tantangan yang mereka inkorporasikan menjadi konteks pertandingan. Match yang durasi tiga-puluh-menitan ini diarahkan untuk memuat berbagai reference atau throwback dari pertandingan-pertandingan klasik yang tak pelak merupakan kandidat kalo kita nyebut pertandingan terbaik sepanjang masa di WWE. Edge dan Orton akan ‘menirukan’ laga Savage lawan Steamboat dari Wrestlemania 3, menggunakan jurus-jurus dari legenda semacam Ric Flair, Kurt Angle, Bret Hart, The Rock. It was really fun; fun dalam artian fun positif konteks gulat tentunya. Mereka at some points juga memakai jurus dari superstar yang berpengaruh dalam karir mereka, seperti Orton menggunakan Pedigree milik Triple H yang dulu jadi mentornya di stable Evolution, dan Edge yang menggunakan The Unprettier milik rekan tag team dan sahabat sejatinya di real life, Christian. Alur pertandingan ini sungguh seru karena kedua superstar bertarung dengan mati-matian. Edge kick out dari sejumlah RKO, begitupun Orton masih idup walau udah terkena Spear dan Edgecution berkali-kali.
WWE benar-benar berusaha keras bukan saja ‘membantu’ match ini jadi lebih seru, melainkan juga karena mereka ingin untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama pada match Edge melawan Orton di WrestleMania bulan April lalu. Elemen enhance-audio memang cukup membantu meramaikan suasana, apalagi sekarang komentatornya benar-benar aktif dan semangat mengomentari. Dan memang begitulah seharusnya. Karena bagaimana pun juga ini adalah pertandingan gulat, bukan sebuah kejadian kriminal or something. Komentator gak perlu sok-sok hening dramatis dan ekstra berpura-pura match yang mereka komentari adalah hal mengerikan. Buatlah penonton terus excited dan berikan reaksi dan insight-insight supaya match semakin seru dan kita percaya dengan keseruan tersebut.

Setiap orang, sadar atau tidak – langsung atau tak langsung, akan terdorong untuk bersikap sesuai nama yang ia berikan atau yang diberikan kepadanya. Kita akan berusaha keras memenuhi citra yang diciptakan duluan alih-alih berkembang membentuk citra yang natural. Pemberian nama dapat menghasilkan backlash yang merugikan ketika kita tidak mampu memenuhi hal tersebut. Acara WWE Backlash 2020 menghadapi masalah demikian. Namun ini adalah wrestling show, ia tahu cara ‘bergulat’ dan yang kita dapatkan adalah one-hell-of-a-fun ride!

 
Pertandingan-pertandingan lain yang kita dapatkan di Backlash kali ini juga seru-seru. Aku bahkan oke sama Jeff Hardy melawan Sheamus, walaupun punchline feud mereka terbilang konyol. Nyiramin pipis itu tipikal Vince McMahon banget; komedi yang cuma dia sendiri yang menganggapnya lucu. Untungnya match mereka yang lambat masih punya beberapa momen yang bikin melek, mainly karena Jeff Hardy yang jago nge-bump. Satu lagi filler yang enggak-jelek adalah handicap untuk Universal Championship. Ada penambahan stipulasi yang berfungsi sebagai stake. Aksi dari Miz dan Morrison tampak bervariasi dan sangat balance dengan gaya-tarung Strowman yang powerhouse. Match ini berhasil membuat ketiga superstar yang terlibat tak tampak konyol, dan Twist kecil di akhir membuat pertandingan ini jadi sedikit lebih berarti. Memberi match ini secercah story dan menunjukkan kepada kita Morrison dan Miz kalah bukan exactly karena Strowman, melainkan karena Miz yang naluri egoisnya muncul. Ini bisa jadi permulaan story baru untuk team Dirt Sheet.

Lagu itu mestinya jadi entrance mereka aja untuk memaksimalkan waktu tho

 
 
It would be cool kalo Morrison jadi juara, tapi kita tentunya tak mau ada situasi yang sama persis ama story Bayley dan Sasha, yang btw sudah berlangsung lama banget. Kita dari tahun lalu udah gregetan pengen liat dua sahabat ini pecah dan berantem, WWE dengan cerdas mengulur-ngulur. Dan mereka mulai growing on me, honestly. Story relasi mereka ini bekerja jauh lebih baik sekarang karena mereka berdua adalah heel, alih-alih babyface kayak tahun lalu. Karena kedua superstar cewek ini so good sebagai heel jadi kita menebak bagaimana cerita perpecahan bakal ditangani oleh WWE. Yang berkhianat adalah yang menjadi face, ini kejadian yang lebih langka dibanding yang berkhianat berubah menjadi jahat yang sudah kita lihat berkali-kali.
Kejuaraan Tag Team Cewek itu comes full circle karena melibatkan tim-tim yang punya peran terhadap eksistensi sabuk tersebut, seperti yang dijelaskan panjang lebar oleh komentator. Thus make this match interesting. Mereka juga menyuguhkan aksi yang segar, karena kali ini WWE menggunakan rule triple threat yang ketiga perwakilan tim aktif di ring di saat yang bersamaan, instead of two. Peyton Royce paling menonjol di sini. Kedua adalah Alexa Bliss yang di sini terlihat lebih agresif daripada biasanya. Ini bisa jadi karena pengaruh bullying yang baru-baru ini ia terima dari seorang podcaster yang mengkritik performanya dalam bergulat. Alexa tampak benar-benar ingin membuktikan dia adalah The Goddess, sesuai namanya, dan aku senang melihatnya. Sahabat Alexa Bliss, Nia Jax, juga mengalami masalah yang sama. Dalam matchnya melawan Asuka di sini, Nia tampak bermain berbeda dari yang biasanya, dan kemungkinan besar itu karena belakangan ia santer dihujat karena bermain dengan terlampau ugal-ugalan. Nia Jax dengan sukses membuat WWE melarang jurus Buckle Bomb saat ia mencederai Kairi Sane dengan menggunakan jurus tersebut. However, match dia melawan Asuka terasa standar dan cukup boring. Meskipun Asuka berkali-kali melancarkan stiff kick, tapi match ini powerless, apalagi karena endingnya yang basically memperpanjang feud mereka.
Satu lagi yang suffer from bad ending adalah match perebutan sabuk WWE antara Drew McIntyre melawan Bobby Lashley. Padahal partai ini dimulai dengan intriguing. Semua yang terlibat, termasuk MVP yang jadi manager Lashley, punya peran yang membuat match ini sangat berimbang antara aksi dengan story. Lashley dan Drew punya potensi gede, mereka tampak mampu menghasilkan match powerhouse yang seru. Namun keinginan kita tersebut tidak terwujud di sini. Karena, you guessed it, Lana muncul and ruined everything.
Menurutku WWE masih harus terus menilik ulang prioritas mereka. I know, dalam sebuah show, enggak bisa untuk terus memberikan match bagus dan penting, card harus diimbangi dengan match filler, match komedi, main event, promo, dan sebagainya. Hanya saja harusnya posisi filler atau komedi sebaiknya tidak diberikan pada match championship. Perpanjangan feud bisa dilakukan tanpa menjadi mengecewakan. Pada Backlash ini, sebagai bathroom break/pengurang tensi/apalah namanya, WWE menggunakan kejuaraan tag team dalam environment match ‘sinematik’. Dan ini konyol sekali. Street Profits dan Viking Raiders bukannya bergulat, mereka malah kayak main power ranger-power rangeran. Battle komedi yang melibatkan ninja anak motor dan flashback sequece ke lomba-lomba konyol yang jadi feud mereka setiap minggu di Raw sebelum acara ini. Yea, ini fun, ini bekerja memenuhi fungsinya pada struktur acara, but it also is a giant waste of time. Aku bisa ngebayangin Jim Cornett ngumpat-ngumpat ‘pertandingan ini.
 
 
 
Tapi honestly, aku senang WWE tidak lagi menganggap serius ‘cinematic match’ mengingat posisinya sebagai bridge alias bathroom break di acara ini. WWE kembali mementingkan gulat dalam artian yang lebih tradisional. Match Edge melawan Randy Orton, meskipun masih jauh dari Greatest Match Ever, tapi easily adalah MATCH OF THE NIGHT, karena benar-benar menawarkan aksi seru, psikologi yang tepat, dan cerita yang padu. Match-match lainnya, meskipun beberapa punya ending yang males (dan malesin), juga dibangun dengan actual wrestling yang seru. WWE harus menyadari bahwa mereka mampu menghadirkan sesuatu yang spesial, aku percaya mereka masih bisa, dan mengurangi bergantung pada hal muluk dan penggunaan nama-nama yang berlebihan seperti ‘greates ever’ atau ‘first time ever’ yang jatohnya malah jadi annoying duluan.
 
 
 
 
Full Results:
1. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Sasha Banks dan Bayley tetap juara ngalahin Alexa Bliss dan Nikki Cross, dan The IIconics 
2. SINGLE Sheamus mengalahkan Jeff Hardy
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka menang ring-out atas Nia Jax
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP HANDICAP Braun Strowman retains over John Morrison and The Miz
5. WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre masih juara ngalahin Bobby Lashley
6. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Street Profits dan The Viking Raiders malah ngelawak
7. THE GREATEST WRESTLING MATCH EVER Randy Orton unggul dari Edge  
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Money in the Bank 2020 Review


 
 
Tangga Korporat, WWE mengumumkan, adalah yang akan dipanjati oleh para superstar yang berlomba untuk mendapatkan kontrak pertandingan kejuaraan tahun ini, alih-alih ‘tangga-pertandingan’ yang biasa. Sebagai bukti geliatnya konsisten menghadirkan tayangan olahraga hiburan di tengah pandemi, langkah ini jelas menarik. Premis pertandingan Money in the Bank yang berbeda menjanjikan banyak hal-unik karena akan ada begitu banyak kemungkinan yang terjadi. Terlebih, penonton masih ter-wah-kan oleh konsep ala-sinematik yang dihadirkan pada Boneyard Match dan Firefly Funhouse di WrestleMania sebulan sebelumnya. The buzz was loud. The expectation was high. WWE pun dengan cepat menangkis skeptis yang menganggap seunik apapun bakal boring karena ada dua MITB yang disuguhkan, dengan pengumuman lanjutan bahwa MITB cewek dan cowok akan dilangsungkan pada saat bersamaan! Jadi, dengan lebih banyak superstar yang terlibat, seperti apa kiranya MITB diadakan?
Acaranya sendiri masih diadakan di Performance Center. Tanpa penonton live. Hanya pertandingan MITB yang diboyong ke kantor alias markas besar WWE di Stamford. Para superstar yang menjadi peserta match tersebut (enam masing-masing partai men and women) akan memulai ‘memanjat’ dari lantai bawah gedung. Dua koper yang berisi kontrak digantung di atas ring, di atas puncak gedung! So yea, it could be a really massive hunt game. Ada begitu banyak potensi. Perebutan di atap outdoor itu sekiranya bisa menegangkan kayak acara Fear Factor. Sementara, brawl di dalam gedung akan menarik. Dulu WWE sering ngadain match di mana para superstar bertarung sambil ‘jalan-jalan’ ke backstage; ada begitu banyak momen seru dan kocak dari sana. Namun baru kali inilah WWE benar-benar ‘menjual’ latar tempat sebagai obstacle course alias elemen penting pada konsep pertandingannya. Mereka bisa membawa kita ke semacam tur isi kantor WWE. Mau dipersembahkan sebenarnya keadaan kantor, atau mereka bisa menjual tempat itu sebagai a make-believe place, like, mereka bisa mendandani beberapa ruangan, menjadikannya sebagai set-piece yang bakal digunakan secara kreatif. MITB cowok dan cewek yang dilangsungkan bersamaan juga bisa dijadikan sebagai semacam tes intergender match. Ada Asuka, Nia Jax, Shayna Baszler, Dana Brooke yang masuk akal bertanding melawan laki-laki. Bahkan Lacey Evans, si superstar feminis, bakal jadi tontonan menarik diberikan interaksi bersama superstar cowok semacam King Corbin.
And it could be symbolic too. Superstar yang saling berlomba dari lantai paling dasar, menerjang apapun untuk bisa sampai ke atas. Benar-benar merepresentasikan perjuangan karir seseorang yang ingin berhasil di WWE. Kita banyak mendengar soal ‘glass-ceiling’, ‘brass-ring’, ataupun politik-politik di belakang panggung semacam Triple H yang suka nge-bury, John Cena yang menggunakan privilege golden boy untuk mengatur hasil pertandingan, atau locker-room leader yang nunjukin kesenioran. One could hope WWE menempuh jalur meta, dan memasukkan adegan-adegan simbolik dari elemen-elemen itu ke dalam plot atau bookingan pertandingan MITB ini. Yang tentunya bakal tampak pintar dan edgy. Mainly, kebanyakan kita mengharapkan pertandingan sinematik yang mirip film action. Hanya saja, bukan itu semua yang diberikan oleh WWE. MITB kali ini actually lebih over-the-top daripada Boneyard atau Firefly Fun House sekalipun. Arahan yang diambil WWE membuat pertandingan ini tampak konyol, hampir seperti film kartun.

Money in the Bank 2020 gak bisa dibilang jelek-total. Karena toh memang mampu menghibur; tujuan acara ini diadakan untuk menghibur penonton. Tertawa di tengah corona. Tapi tetap bukan tayangan gulat yang bagus. Karena ‘menghibur’nya itu bisa diperdebatkan. Cara terbaik menilai acara ini adalah dengan mengatakannya, simply, sebagai pengingat bahwa WWE sudah mengambil arah yang berbeda dari yang membuat kita jatuh cinta pada awalnya.

 

Sedih juga sih nonton food fight saat siang-siang lagi puasa

 
Aku menyadari hal tersebut sejak nonton film The Main Event (2020), kolaborasi feature pertama antara WWE dengan Netflix. Dari situ terlihat jelas bagaimana WWE bermaksud menjual brand mereka ke luar. Sebagai kartun live-action. Sebagai fantasi. Anak kecil mampu bergulat dengan kekuatan super. Poin yang dibuat film itu, yang merupakan cara WWE memandang mereka sendiri sebagai jualan adalah, di WWE apapun bisa terjadi. Tidak perlu berpijak pada logika. Karena yang terpenting adalah menghibur seluruh lapisan keluarga.
So yea, pada MITB ini tidak akan ada brawl backstage seru, tidak akan ada frantic chase, melainkan hanya skit-skit komedi yang disebar. Pertandingan bahkan mengandung sedikit sekali wrestling. Yang kita dapatkan di sini adalah cameo-cameo seperti Paul Heyman yang mau makan tapi buffetnya dan seantero ruang makan itu dijadikan arena food fight oleh peserta MITB (WWE cukup tega membuat Shayna harus ikutan perang makanan konyol ini). Jangan salah, ini memang menghibur. Aku bahkan tergelak melihat muka John Laurinaitis kena lempar pie. Tapi ini bukan pro-wrestling yang biasa kita santap. Ini bukan aksi-aksi bergizi yang jadi asupan hiburan kita yang biasa. Aksi dalam match ini berupa banyolan. Ada satu adegan para superstar cewek berlari di ruangan yang sedang dipel, kemudian Dana Brooke jatoh kepleset seolah dia bernama Dono. Corbin comically melempar Mysterio dan Black dari pinggir arena ring, like he kill them. Dan pada satu titik, AJ Styles lebih peduli mencari di mana Daniel Bryan ketimbang buru-buru berlari supaya sampai ke atap lebih duluan daripada yang lain. Sedikit sekali memang elemen dalam pertandingan ini yang masuk akal. Sehingga melihat Vince McMahon cuci tangan pake sanitizer aku jadi curiga, jangan-jangan itu bukan sekedar candaan coronoa, melainkan dia sedang menyampaikan pesan “gue kagak ikut campur tangan sama kekonyolan ini”
Outcome dari match itu sesungguhnya menyenangkan. Serta mengejutkan. Menarik sekali Otis menang, aku penasaran mau dibawa ke mana storyline dia dan Mandy berikutnya dengan kemungkinan sabuk di tengah-tengah mereka. Hanya ‘cara bercerita’nya saja yang mestinya bisa dilakukan lebih baik lagi. Masalahku buat ending MITB cowok ini persis seperti masalahku pada kejuaraan tag team Smackdown di WrestleMania 36; they’re trying too hard to be different. Yang MITB cewek masalahnya lain lagi. Setelah berkali-kali bereksperimen dengan teknik edit dan kamera, WWE tidak kunjung membaik. Setelah Asuka mendapatkan kopernya (dalam situasi aneh kenapa dia menghajar Corbin yang mau naik ngambil koper bagiannya), kamera ngecut gitu aja sehingga superstar cewek lain yang masih ada di ring seperti lenyap gitu aja. Jika kalian juga suka nonton film, dan terbiasa mengamati gerak kamera dan cut-demi-cut adegan, aku yakin kalian juga bisa melihat editing yang dilakukan WWE masih ‘kendor’. Setiap sambungan seperti lazily stitched together. Dan bukan hanya pada match MITB, yang membawa kita ke rest of the whole show…
2020 bukan tahunnya Corona, tapi Tahun Otis

 
Match Bray Wyatt melawan Braun Strowman juga memanfaatkan editing untuk menyampaikan cerita. Partai ini sebenarnya adalah yang paling komplit; gulatnya beneran banyak, ‘gimmick’ juga jalan. Alur pertandingan ini lumayan menarik, soal Braun yang berusaha melawan bujukan Wyatt untuk kembali ke sisinya. Namun eksekusinya, seperti skipped a beat. Pertandingan ini berakhir saat Braun yang jatuh ke luar ring, abruptly muncul dengan topeng hitam yang dulu ia kenakan saat masih jadi hamba Bray Wyatt. Seharusnya timing dan cerita matchnya bisa digarap dengan lebih baik lagi, berikan waktu sedikit lebih banyak supaya plot poin pertandingan ini bisa berkembang sempurna.
However, WWE toh memang tampak memberikan perhatian yang lebih untuk event-event dan segmen cerita. Terlebih karena sekarang penonton mereka semuanya menyaksikan dari rumah. Aksi di dalam ring tidak akan maksimal karena gulat sejatinya membutuhkan penonton live. Superstar dilatih untuk perform live, dan mereka bergantung kepada reaksi penonton. Dengan absennya penonton di studio, aku tidak tahu bagaimana mereka bisa mengimprove pertandingan. Mereka gak bisa begitu saja meningkatkan intensitas dengan menyuruh superstar melakukan jurus-jurus berbahaya sepanjang waktu untuk memancing teriakan geunine dari komentator. Jadi mungkin itu sebabnya kenapa WWE tidak terlihat begitu perhatian sama partai-partai yang mengutamakan pada tradisional wrestling.
Semua match di acara ini berlangsung standar. Tag Team fatal 4 way yang jadi opening berjalan dengan tempo cepat, karena mereka berfungsi sebagai pemancing hype. And just that. Matchnya sendiri enggak spesial, hanya para superstar bergantian menyarangkan jurus masing-masing. Bayley melawan Tamina adalah yang paling parah – jika kita menganggap squash match Lashley lawan R-Truth sebagai pengisi durasi aja. Lambaaaat banget, aku gak yakin apakah Tamina ini ogah-ogahan atau memang gerakannya selamban itu. Hanya ada satu pertandingan yang benar-benar aku apresiasi sebagai tontonan gulat, dan itu adalah Seth Rollins melawan Drew McIntyre. Man, kalolah arena penuh penonton, dijamin match mereka ini akan mendapat tepukan “this is awesome!” setiap beberapa menit sekali. Pertandingan ini tidak diberatkan oleh gimmick; it’s just two guys performing the best they can, sambil mengembangkan karakter mereka. Penilaianku buat Drew mainin peran babyface-nya masih belum final, tapi aku bisa melihat Seth Rollins mulai enjoy sebagai Monday Night Messiah. Dia bahkan keliatan seneng dapat musik baru.
 
 
Ketika kita memikirkan wrestling match yang menghibur, Rollins melawan McIntyre adalah yang paling dekat dengan pikiran kita. Namun tampaknya, hiburan gulat seperti demikian – superstar yang keliatan seperti ‘benar-benar’ bertarung, bukannya melakukan sebuah segmen – mulai menjadi langka. Karena keadaan membutuhkan WWE untuk mencari alternatif hiburan lain. Dan arahan yang dipilih WWE; some of you will love it or some will hate it. Aku, personally, lebih suka tradisional seperti Rollins melawan McIntyre. Aku pikir hiburan yang bisa dinikmati anak-anak enggak mesti jadi receh, dan sebaliknya juga, brawl yang lebih serius pun gak mesti harus ekstrim. WWE di MITB ini buatku masih terlihat berada di tengah-tengah anak tangga menyesuaikan diri dan strugglingnya sebagai bisnis di tengah pandemi. The Palace of Wisdom menobatkan Seth Rollins vs. Drew McIntyre sebagai Match of the Night.
 
 
 
 
Full Results:
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY The New Day pertahankan gelar dengan berhasil atas Lucha House Party, Miz and Morrison, and Forgotten Sons
2. SINGLE Bobby Lashley squashed R-Truth
3. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan mengalahkan Tamina
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Braun Strowman retains over Bray Wyatt
5. WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre masih juara ngalahin Seth Rollins
6. MONEY IN THE BANK CORPORATE LADDER Asuka menang di partai cewek, dan Otis menang di partai cowok 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

WrestleMania 36 Review


 
 
WrestleMania 36 memecahkan buaanyak sekali rekor. WrestleMania pertama yang enggak diadakan live. WrestleMania pertama yang diadakan bukan di stadion gede, melainkan di pusat pelatihan WWE alias Performance Center. WrestleMania pertama yang diadakan pada hari Sabtu. WrestleMania pertama yang diadakan bukan pada hari Minggu — sejak 1986. WrestleMania pertama yang dibagi menjadi dua hari. WrestleMania pertama yang dihost oleh pemain futbal Rob Gronkowski. Tentu saja, WrestleMania ini juga mecahin rekor jumlah penonton di arena, yakni nol orang. Kok bisa?
Well, yea, pastinya kalian sudah tahu kalo dunia kita lagi sakit. Virus Covid-19 alias virus corona mewabah secara global. Pandemi ini mau gak mau membuat banyak bisnis terpaksa tutup. Karena semua orang dihimbau untuk menjaga jarak, menghindar dari berkumpul, demi memutus penyebaran penularan virus yang punya masa inkubasi empat-belas hari tersebut. Jadi semua orang kudu diam di dalam rumah masing-masing, meratapi gak bisa bekerja dan ketakutan setiap hari melihat angka pasien positif terjangkit yang terus bertambah. Di sinilah peran WWE, aku Stephanie McMahon yang membuka WrestleMania 36 dengan speech soal mereka hadir sebagai eskapis – untuk membuat kita lupa terhadap bencana di luar sana. Untuk menghibur semua orang.
WWE adalah bisnis hiburan dengan storyline yang terus bergulir, agenda yang sudah terencana, sehingga mereka tidak bisa begitu saja menambatkan jangkar dan melabuhkan show. Instead, WWE berusaha beradaptasi dengan keadaan. Kreativitas bisnis hiburan seperti WWE memang dituntut untuk bergeliat, mereka harus mencari cara menjual sinetron-aksi live ala teater tetap menarik untuk disaksikan meskipun kini tak ada penonton di studio. Bukan hanya dari segi cerita, melainkan juga mengakali presentasi secara keseluruhan – memanfaatkan keterbatasan resource seperti kru dan superstar yang bisa tampil dengan maksimal. Dalam WrestleMania 36 tampak WWE berhasil crack the code. Ada beberapa match yang arahannya berubah menjadi lebih mirip film kelas B.
Dan the good thing about B-Rated action flicks adalah: they tend to be very, very entertaining.

“Let me in!” kata Corona.. eh salah, maksudnya, kata Bray Wyatt

 
Dua match yang unik, berbeda, dan benar-benar ngepush sisi kreatif WWE adalah Boneyard match antara AJ Styles melawan Undertaker, dan Firefly Funhouse antara John Cena berhadapan dengan The Fiend Bray Wyatt.
Boneyard (istilah yang dipake karena WWE ogak pakai kata graveyard) match adalah brawl yang berlangsung malam hari di areal pekuburan. WWE berhasil mengubah konsep ini menjadi menyenangkan dengan tidak meniatkan menjadi sesuatu yang sok-sok serius. Gimmick-gimmick yang bersangkut paut dengan karakter Undertaker maupun Styles dipakek semua. They just want to have fun with this, and they did. Aksinya sendiri sebenarnya cringe, mirip-mirip berantem di sinetron malah. Namun WWE malah menonjolkannya sehingga malah jatohnya berhasil. Yang kita lihat di sini adalah Undertaker yang jadi American BadAss lagi – dia muncul naik motor dan diiringi musik Metallica. Sementara AJ Styles muncul dibantu, bukan hanya oleh Gallows dan Anderson, melainkan juga oleh beberapa orang berjubah. Taker bakalan berantem dengan orang-orang ini. Semuanya, mulai dari kemunculan, cara ngalahin, ditampilkan dengan smoke & mirrors, alias pake trik. Kamera kerap ngecut, efek-efek cahaya dan musik dipakai proses editing, pengambilan gambar pun ‘sinematik’ kita lupa ini seharusnya adalah pertandingan gulat. Kita bersorak seolah sedang menyaksikan film pendek genre aksi supernatural. At one point, Taker muncul dari belakang Styles seolah berteleportasi, dengan pencahayaan ala film horor. Dialog mereka juga sering terdengar konyol. Namun itu semua memenuhi fungsi yang disebutkan di awal oleh Stephanie; membuat kita terhibur,mengistirahatkan otak kita dari kemumetan keadaan dunia yang lagi sakit.
Jika Boneyard yang menutup malam pertama dengan fenomenal itu mirip seperti film genre, maka Firefly Funhouse di malam kedua adalah aliran arthouse jika pertandingan gulat punya aliran arthouse haha.. Titus O’Neil aja abis nonton langsung bengong. Gue abis nonton apaan barusan. Pertemuan kedua Wyatt dan Cena ini berlangsung berdasarkan sudut pandang Wyatt yang dikalahkan oleh Cena di WrestleMania beberapa tahun yang lalu. Bukan karena Cena lebih unggul, melainkan karena politik. Jadi cerita mereka kali ini adalah Wyatt ingin menyadarkan Cena atas betapa toxicnya pegulat pahlawan anak-anak tersebut. Yang kita dapatkan, yang mereka sebut sebagai ‘pertandingan’ di acara kali ini adalah sebuah perjalanan aneh ke masa lalu. Kita akan melihat Cena kembali ke gimmick-gimmick lamanya, kita akan melihat Wyatt dan Cena nge-renact momen Hulk Hogan hingga ke jaman nWo segala. Cena kebingungan, dia berusaha menyerang Wyatt, tapi Wyatt menghilang dan berubah menjadi boneka babi. Pertandingan ini berakhir dengan kemunculan The Fiend menyerang Cena yang terlalu shock untuk melawan. Ini bahkan lebih menghibur dan aneh dan kreatif daripada Boneyard. Menyaksikannya membuat kita berpikir apa yang sebenarnya terjadi, seolah kita sedang menonton film David Lynch. Meski minim aksi, tapi psikologi dan storytelling partai ini begitu kuat. Menganalogikan Cena dengan Hogan adalah cara yang pintar dan subtil untuk menyinggung masalah ‘anak emas company’ yang selama ini jadi problem bagi superstar babyface.
Kedua match tersebut memang bukan lantas jadi teladan pertandingan gulat yang bagus. At least, not in sense of traditional wrestling. Kalo mau objektif, sure, aku berharap ‘cinematik crap’ seperti begitu cukup sampai di acara ini aja. Karena meskipun prinsipnya mirip sama-sama show bercerita, gulat tetap bukanlah film. Wrestling is supposed to be live action tanpa editing. Tapi aku pikir kita juga harus melihat keadaan. Dan pandemi corona yang belum jelas kapan redanya ini bukan tidak mungkin bakal mengubah arahan produk WWE secara keseluruhan, jika WWE mau terus exist. They could get benefit from it. Misalnya supsertar yang gak harus kerja terlalu capek, like, mereka bisa ngedit dalam spot-spot berbahaya sehingga superstar gak perlu ngambil resiko berlebihan. Seperti saat Uso dijatuhin dari tangga dalam Ladder Match; kamera gak memperlihatkan dia mendarat keras melainkan ngecut dan kemudian baru disambung dengan shot aftermath jatohnya. Elemen surprise juga bisa diperkuat, seperti pada saat match tag team cewek Nikki Cross ngepin Asuka, awalnya di turnbuckle gak ada Kairi Sane, namun WWE sudah merekam adegan yang ada Kairi Sane, dan dua adegan tersebut dijahit bareng sehingga saat ngepin seolah ada Kairi menyelamatkan entah dari mana. WWE juga bisa lebih sering bikin legends balik dan melibatkan mereka dalam aksi kayak Undertaker di Boneyard – bagian sulitnya bisa disyut pake teknik editing – sehingga para legends tampak masih oke bergulat dan tidak terlihat memalukan. I say, jika WWE menolak hiatus dan tetap berlangsung. sepertinya cara paling asik ya menjadikan weekly show ala-ala film alias gak pure wrestling. Mereka bisa develop story dan karakter dengan lebih menarik. Barulah pada saat pay perviewnya diberlangsungkan match.
Tips bertanding aman ala John Morrison: Lipatlah tangga menggunakan kaki

 
Khusus buat match tradisional alias yang berlangsung beneran di ring, dengan absennya penonton di arena tak bisa dipungkiri menonton WrestleMania ini seringkali terasa hambar. Kayak makan sayur gak pake sendok. Reaksi penonton tak pelak adalah bagian dari show. Untuk mengakali ini, mestinya WWE meningkatkan game komentator mereka. Komentator mestinya digebah untuk ngepush match dengan excitement. Kita butuh reaksi natural mereka, sebagai wakil untuk bisa relate. Sayangnya, kebanyakan match di acara ini komentatornya garing semua. Cuma baca skrip dan menyebut hal yang sedang kita lihat. Match Randy Orton melawan Edge harusnya seru sekali karena mereka berkeliling arena. Akan tetapi, justru partai ini yang terasa paling lamban dan gak mengena. Sebab pada saat hajar-hajaran keras pakai alat-alat, komentatornya kebanyakan diem. Paling sesekali berujar “Uuugh” atau “Oh my”. Sekalinya berujar, mereka ngasih tahu “Edge and Orton are on the top of pickup truck” Duh!!! Kita bisa melihat itu. Yang kita perlukan sekarang adalah reaksi atau celetukan atau bahkan celaan kepada superstar terhadap apa yang hendak mereka lakukan. Seperti Jerry Lawler dan Jim Ross di Attitude Era dulu. Kadang dua komentator itu malah sibuk berdebat berdua, membela dua superstar yang berbeda, dan kita terhanyut oleh emosi mereka. Melangsungkan match di arena tanpa penonton, butuh komentator yang komunikatif seperti demikian untuk membantu delivery match, untuk menyambung reaksi yang terputus.

WrestleMania disebut-sebut sebagai show abadi untuk orang-orang imortal. Kehadirannya di tengah-tengah pandemi dan suasana dunia yang lagi muram tak ayal membawa angin penghibur, tapi benarkan dia bisa ada selamanya? Akankah bisnis gulat-hiburan ini bisa outlast pandemi? Dengan keadaan yang mengharuskan dirinya mengubah arahan dan gaya, mampukah WWE memenuhi fungsinya sebagai sebuah penghiburan. Atau akankah acara ini hanya bertindak sebagai dying breath?

 
Dalam lingkup dua malam berturut-turut, WrestleMania 36 punya lebih dari selusin pertandingan. Yang beberapa terasa seperti filler card, entah itu karena mengerucut kepentingannya oleh keadaan atau karena memang terasa kurang penting. Namun ternyata match-match ‘filler’ ini jatohnya lebih seru karena tiga pertandingan kejuaraan utama dihadirkan dengan amat sangat tidak memuaskan. Terlalu cepat dan tidak berhasil mengimbangi hypenya. Tadinya aku pengen bikin review per malam juga, tapi I’d figure review dua berturut-turut bakal monoton dan lebih baik memang melakukan satu review dan membuatnya sebagai perbandingan.
Malam kesatu WrestleMania 36 terasa sangat tak berimbang. Pertandingannya banyak yang berakhir dengan tidak memuaskan. Contoh paling buruk adalah Shayna Baszler melawan Becky Lynch. Dengan build up feud yang hot – WWE ngeoverbook Shayna jadi kayak vampir pemakan darah dan gladiator kandang yang tangguh, dan di sisi satunya ada The Man yang badass, pertandingan mereka terlalu singkat dan berakhir dengan roll up. Enggak cocok konsep dengan eksekusinya. Dua tipe petarung harusnya berakhir dengan sense ‘mengalahkan’, walaupun misalnya feud mereka masih akan berlangsung. Finish dengan roll up hanya bisa berkesan jika matchnya dibuat dalam tone persaingan berat-sebelah, salah satu licik atau salah satu outsmart yang lain. Ini jauh dari elemen perseteruan Baszler dan Lynch. Sehingga match mereka terasa sia-sia. Malam kesatu kebanyakan berakhir antara dengan roll up atau dengan distraksi. Ironisnya di awal acara JBL sempat berkomentar bahwa bertanding di WrestleMania akan membuatmu kekal – well, gimana bisa terlihat kuat, apalagi kekal, jika pertandinganmu selesai dengan kamu sendiri tampak tidak menduganya.
Porsi kedua yang ditayangkan hari Minggu – Senin di kita – adalah presentasi yang overall lebih solid. Match-matchnya lebih berarti, dengan akhiran yang beneran satu superstar mengalahkan lawannya. Yang membuat malam ini sour di mata fans adalah beberapa hasil pertandingan yang nyebelin, kayak kemenangan Charlotte, ataupun Bayley dan Sasha yang belum berbuah apa-apa. Namun bagiku ini bukan masalah besar. Sure I hate Charlotte winning, aku juga gak suka sama komentator yang sepi dan gak niat menghidupkan match, tapi secara storytelling ini lebih padet daripada malam kesatu. Kejuaraan Dunia di kedua malam berlangsung dengan formula yang sama persis, aku gak peduli sama kemenangan Braun (nilai plusnya cuma bukan Goldberg lagi yang juara), tapi aku kasian ama Drew McIntyre yang selebrasi kemenangannya juga hampa sekali. This guy is fulfilling his prophecy, akhirnya jadi juara dunia setelah terlunta-lunta cukup lama, dan momen ia bersinar ditampilkan dengan seadanya. Kenapa mereka gak ngedit ini sehingga jadi lebih meriah?
 
 
Aku gak bisa bilang WrestleMania ini jelek, tapi juga gak bilang ini spesial banget. Hal baik yang bisa kubilang adalah bahwa ini merupakan usaha terbaik yang bisa dilakukan oleh WWE dalam beradaptasi dengan keadaan. Yang paling penting adalah dia berhasil menghibur kita, selama dua hari berturut-turut, saking excitednya aku bahkan enggak tahu sudah diwajibkan pake masker dan bahwa jumlah pasien corona sudah naik jadi dua ribu lebih. But who’s counting, right? Di luar Boneyard dan Firefly Funhouse, in sense of traditional wrestling The Palace of Wisdom menobatkan Seth Rollins vs. Kevin Owens sebagai Match of the First Night and Charlotte vs. Rhea Ripley sebagai Match of the Second Night.
 
Full Results:
FIRST NIGHT
1. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP Alexa Bliss dan Nikki Cross jadi juara baru ngalahin The Kabuki Warriors
2. SINGLE Elias mengalahkan King Baron Corbin
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Becky Lynch retains atas Shayna Baszler
4. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Sami Zayn bertahan dari Daniel Bryan
5. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT LADDER John Morrison jadi juara bertahan ngalahin Jimmy Uso dan Kofi Kingston 
6. SINGLE Kevin Owens menang DQ dari Seth Rollins
7. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Braun Strowman merebut sabuk dari Goldberg

8. BONEYARD The Undertaker mengubur AJ Styles

 
SECOND NIGHT
1. NXT WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte Flair unggul dari juara Rhea Ripley
2. SINGLE Aleister Black ngalahin Bobby Lashley
3. SINGLE Otis mengalahkan Dolph Ziggler Becky Lynch retains atas Shayna Baszler
4. LAST MAN STANDING Edge menghajar Randy Orton
5. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Street Profits bertahan atas Angel Garza dan Austin Theory
6. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP ELIMINATION Bayley sukses bertahan mengalahkan Lacey Evans, Sasha Banks, Tamina, Naomi
7. FIREFLY FUNHOUSE The Fiend Bray Wyatt bisa dibilang ngalahin mental John Cena

8. WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre menuhin takdirnya jadi juara ngalahin Brock Lesnar

 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Elimination Chamber 2020 Review


 
Bertepatan dengan Hari Perempuan Sedunia (International Women’s Day) 2020, enam pegulat wanita berjalan memasuki struktur kerangkeng berterali rantai baja yang dikenal dengan Elimination Chamber. Mereka bertarung memperebutkan hak untuk menantang “The Man” sang Juara Wanita di Wrestlemania. Asuka, Liv Morgan, Natalya, Ruby Riott, Sarah Logan, Shayna Baszler. Mereka sejatinya adalah personifikasi dari karakter wanita masakini. Yang kuat, independen. Berdaya. WWE seharusnya bisa mengapitalisasi ini, lebih dari sekadar membuatnya sebagai partai utama. Namun penulisan alias booking yang dilakukan oleh WWE dalam ngepush superstar wanitanya malah mengurung mereka dalam bayang-bayang perlakuan terhadap superstar pria. Dan kemungkinan terburuknya, WWE malah justru mengubur keenam superstar ini sebagai dampak jangka panjang. 
Masalah utama yang menggerogoti pertandingan ini berasal dari tidak adanya ke-unpredictable-an. Meskipun dengan planting berita Vince McMahon meragukan Shayna, tetapi tetap tidak menyurutkan dengung penggemar yang sudah bersikeras tahu bahwa satu-satunya superstar yang jadi Juara Wanita NXT dua-kali itulah yang bakal menang dan melawan Becky Lynch di bulan April nanti. Jadi, WWE lantas membuat Shayna menjadi begitu powerful dan melibas semua lawannya di pertandingan Elimination Chamber ini – mereka ingin membuatnya sebagai sesuatu yang spesial sehingga sekalipun bagi kita enggak surprise dia yang menang, paling enggak mereka bakal melakukannya dengan sensasi heboh.
I like Shayna Baszler. Aku menikmati masa-masa kejayaannya di NXT. Di sana, dia sudah brutal – Shayna ini memancarkan kesan “well, she could legit broke her opponents if she wanted to” – tapi dia dibuat grounded, as in, dia masih mungkin untuk kalah. Setiap pertandingannya di NXT, kita masih bisa merasakan kemungkinan lawannya bakal mengungguli dia. Sayangnya, kesan itu sirna ketika Shayna muncul di Raw dan mengigit leher Lynch hingga berdarah-darah. WWE demen membuat sensasi besar untuk produk utama mereka. Alih-alih membuat Shayna menang Royal Rumble sehingga bisa diperkenalkan sebagai petarung kuat manusiawi dan kemudian membuild up-nya perlahan sebagai penantang yang legit mengerikan buat Becky Lynch, WWE mengambil jalan yang lebih sensasional dengan membuatnya seperti vampir dan ‘membunuh’ lima superstar-cewek top di Elimination Chamber. Kita semua sudah tahu Shayna bakal lawan Becky tapi WWE tetap mengadakan match Elimination Chamber untuk ‘melantik’nya dengan mengorbankan lima talent lain.
Sehingga yang kita dapatkan adalah pertandingan yang menampilkan Shayna mendapat treatment persis seperti Brock Lesnar di Royal Rumble bulan Januari kemaren – hanya saja sekarang environmentnya adalah kandang – namun lebih membosankan karena jeda antara terbukanya bilik satu peserta dengan bilik berikutnya adalah lima menit sehingga kita akan lebih banyak melihat Shayna bergaya ketimbang actual wrestling. Efek ke depannya bakal lebih parah, karena enggak seperti Royal Rumble, dalam Chamber peserta yang kalah itu adalah yang  bener-bener dihajar sampai out. Kelima lawan Shayna yang malang itu kalah dengan mengenaskan sehingga jika nanti Shayna beneran jadi juara, tidak ada lagi penantang yang dirasa benar-benar kredibel untuk melengserkannya. Because everyone of them has been destroyed easily. Dengan kata lain, WWE sekali lagi mendorong karakter mereka ke sudut mati – membuat mereka bakal susah berkembang – hanya demi sensasi.

Dikarantina, tapi bukan karena corona.

 

Jika ada yang bisa dipetik dari persoalan Shayna Baszler di Elimination Chamber ini, maka itu adalah sensasi jangan terlalu dicari-cari. Seperti misalnya ketika march di IWD2020, kita cukup bawa spanduk bercetuskan opini, menyuarakan pendapat sesuai tempat; enggak perlu ampe buka baju segala kan, yang ada malah mancing ribut ntar. Pesan yang ingin disampaikan WWE jelas dan dapat diterima, hanya saja cara yang mereka pilih dalam menyampaikannya bukanlah cara yang baik dan bisa diterima oleh banyak penonton.

 
Sebagai perhentian terakhir sebelum Wrestlemania, acara ini memang gak bisa berkelit dari posisinya sebagai filler. Setidaknya ada dua kejadian un-unpredictable lagi yang kita saksikan sebelum main-event ‘pembantaian karakter’ tadi terjadi. Kemunculan Undertaker dan kemunculan Kevin Owens. Masing-masing pada match AJ Styles melawan Aleister Black dan match tagteam Seth Rollins dan Murphy melawan Street Profits. Kenapa bisa ketebak? Ya karena sudah sebulan ini mereka nanemin bibit seteru antara Styles dengan Undertaker dan antara Owens dengan Rollins untuk Wrestlemania. Jadi ketika di Chamber ini salah satu dari dua pasangan-feud itu bertarung dengan lawan yang berbeda, maka sudah bisa dipastikan akan ada ‘tamu tak diundang’. Akibatnya tentu saja pada match yang sedang berlangsung itu sendiri. Pada match tagteam tadi misalnya; kemunculan Owens (yang sudah dinanti-nanti) completely mengalihkan fokus dari Street Profits yang menampilkan salah satu aksi pertandingan yang paling menghibur. It was a good match tapi kepentingannya malah jadi seperti membuild up Owens dan Rollins. Begitu juga dengan kasus Black melawan Styles. Aduh, ini mungkin sajian buruk dari kedua superstar hebat itu, karena matchnya sedari awal sudah gak make sense. Pertandingan no-DQ mereka jadi terasa terlampau panjang, karena mereka gak langsung ngegas. Styles ditemani dua rekannya, tapi mereka membantu dengan malu-malu, padahal sah bagi mereka untuk langsung masuk dan menyerang Black sedari bel bunyi.  Dengan begitu, susah untuk kita merasa peduli dan ya kita jadi hanya menanti kemunculan Undertaker saja.

mungkin mereka mengulur waktu dalam rangka nungguin Undertaker jalan menuju ring

 
Literally, hal tak-terduga yang kita dapat di acara ini adalah kemenangan Sami Zayn, dalam pertandingan Handicap 3-lawan-1. Matchnya sendiri sangat gak spesial, bahkan aku cenderung kasian ama Braun Strowman yang keliatan jelas penulis bingung memberikan cerita buat dirinya. Namun setidaknya WWE kali ini menjalankan logika dan enggak membunuh kredibilitas Zayn, Nakamura, dan Cesaro dengan membuat mereka kalah melawan satu orang. Pertandingan Elimination Chamber satu lagi – yang antar 6 tim memperebutkan sabuk Tag Team Smackdown – juga penuh dengan kejutan menyenangkan. Berupa gerakan-gerakan spektakuler dari para superstar dalam menyerang lawan-lawannya. Lince Dorado manjat ampe tengah kandang, dan berayun terjun kayak spiderman kesurupan. Otis berlari menembus pintu kaca anti-peluru. Masing-masing tampak beraksi pada rel karakter mereka, sehingga pertandingan ini jadi terasa enggak sebatas crash-n-burn, melainkan juga beberapa cerita yang numplek jadi satu. Ending pertandingan ini lebih lambat dan kalah menarik dibandingkan porsi tengahnya, tetapi memuat bobot karakterisasi Miz dan Morrison sebagai tim songong yang bertarung dengan otak sebagai pelengkap aksi parkour mereka.
Permulaan acara ini sesungguhnya tidak buruk. WWE memberikan kepada kita variasi gaya gulat, terbaik dari yang mereka punya. Jika kalian suka pure high-flying, maka match Andrade melawan Humberto Carillo sudah barang tentu akan sangat menghibur kalian. Kedua superstar latin ini udah bertemu untuk kesekian kali, hebatnya; belum ada pertandingan mereka yang membosankan. Malahan pertemuan kali ini terasa lebih intens karena ada cerita dendam di antara keduanya. Namun jika kalian prefer ke gulat teknik, dengan banyak submission dan taktis, maka partai pembuka antara Daniel Bryan melawan Drew Gulak bakal jadi kejutan paling menghibu sepanjang acara. Bagaimana tidak. Dua orang yang kayak manusia biasa. Rambut cepak. Celana pendek. So average. Sama sekali gak ada yang sensasional dari mereka. Namun yang mereka suguhkan adalah gulat yang intens baik secara fisik maupun secara psikologi. Cerita seteru mereka cukup unik. Gulak mengkritik Bryan, menyebutkan kelemahan dari gaya gulatnya. Dia bahkan ngajarin beberapa superstar teori untuk mengalahkan Bryan. Bagi Bryan, tentu saja, match ini adalah cara ia memberikan pelajaran kepada Gulak yang banyak bacot. Namun ternyata, sembari match berjalan, kita dapat melihat bahwa Bryan kini berusaha mati-matian untuk membuktikan perkataan Gulak itu tidak benar. Justru ia sendiri yang percaya ia punya kelemahan. Pertandingan mereka sangat bercerita, Gulak menangkis semua serangan Bryan. Emosinya pun dapet karena setiap serangan yang mereka lakukan, kita bisa melihat dampaknya. Bibir robek. Mata memar. Punggung baret. Siku berdarah. Dan German Suplex itu, sungguh luar biasa. Match ini adalah dua-puluh menit tercepat dalam pengalamanku nonton WWE.
 
 
 
Elimination Chamber tak menarik di atas kertas, bukan saja karena matchnya banyak filler, namun juga karena tak ada juara dunia yang muncul dan bertanding. Tapi sesungguhnya ini adalah kesempatan untuk mengepush superstar-superstar muda. WWE melakukan ini kepada Drew Gulak, Humberto, Lucha House Party, Aleister Black, dan bahkan Shayna Baszler. Sesungguhnya ini adalah hal yang patut kita sukuri. Namun nafsu untuk jadi sensasi, atau mungkin juga rasa insecure ingin viewer yang banyak, membuat WWE mengambil langkah yang enggak bijak. Mereka mengulang ‘tradisi’ mengoverpush satu orang dan merendahkan yang lain.  Sehingga partai-partai utama dalam acara ini jadi terasa tak-penting, pointless, tak lebih dari usaha sensasional dalam menyampaikan sesuatu yang semua orang sudah tahu akan terjadi. Hanya ada satu match yang membuat The Palace of Wisdom terkejut dan terhibur karenanya, sehingga kami nobatkan menjadi Match of the Night, dan match itu adalah Daniel Bryan melawan Drew Gulak. 
 
 
 
 
Full Results:
1. SINGLE Daniel Bryan mengalahkan Drew Gulak.
2. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Andrade tetap juara ngalahin Humberto Carrillo.
3. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER Miz & Morrison bertahan dari The Usos, New Day, Ziggler & Roode, Heavy Machinery, dan Lucha House Party.
4. NO-DQ Aleister Black menang atas AJ Styles.
5. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Juara bertahan Street Profits mengalahkan Seth Rollins & Murphy.
6. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP HANDICAP 3-ON-1 Sami Zayn, bersama Cesaro dan Shinsuke Nakamura, merebut sabuk dari Braun Strowman.
6. WOMEN’S NO.1 CONTENDER’S ELIMINATION CHAMBER Shana Baszler sapu bersih Sarah Logan, Ruby Riott, Natalya, Liv Morgan, dan Asuka

 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Royal Rumble 2020 Review


 
On this day, clearly… kalian semua sudah nonton Royal Rumble, atau paling enggak sudah membaca tentang kehebohan paripurna kembalinya salah satu pegulat yang paling gak disangka-sangka untuk kembali. Edge. Sembilan tahun yang lalu, si Rated R Superstar ini mengumumkan dia terpaksa gantung-sepatu lantaran komplikasi cedera leher. Penggemar gulat gak pernah lupa wajahnya saat itu. Dan di Royal Rumble 2020, sebagai peserta urutan ke 21, Edge kita lihat lagi dengan wajah siap tempur. Suasana pecah begitu Edge beraksi. Seantero stadiun baseball yang luas itu terkesima menyaksikan Edge melakukan gerakan-gerakan andalan, seolah dia tidak pernah pergi.

Seperti kita menghitung mundur entrance royal rumble berikutnya, Edge menghitung mundur waktu yang tersisa bagi karirnya. Dan keduanya adalah hitungan yang penuh optimis. Setiap hitungan melambangkan kekhawatiran, pertanyaan, dan harapan. Royal Rumble adalah cerita “bagaimana jika” dan Edge adalah tokoh utama yang pas untuk ini. Karena dia adalah pria yang menyangka dia tidak akan bisa lagi melakukan hal yang ia cintai. Pria yang sudah bekerja keras untuk sampai di atas, untuk kemudian begitu saja disuruh turun tidak boleh naik lagi. Pada akhir countdown tersebut, dia disambut dengan begitu hangat, wajahnya mengingatkan kepada kita bahwa mungkin cuma within sepuluh hitungan orang bisa dipisahkan dari mimpinya.

 

dan gambar inilah yang dianggap lebih penting oleh kamera WWE dibandingkan Spear pertama yang dilakukan Edge dalam pertandingan yang mengisyaratkan reborn karirnya.

 
Selain Edge, ada banyak lagi momen dan cerita keren yang berhasil dihimpun oleh pertandingan Royal Rumble. Makanya acara ini selalu ditunggu-tunggu oleh penggemar. PPV Royal Rumble adalah show selain Wrestlemania yang hypenya selalu gede. Pengalamanku bikin acara nobar, Royal Rumble malah selalu yang paling ramai peserta nobarnya. Di tahun ini, dua pertandingan Royal Rumble yang kita dapatkan terasa sangat seru, terutama yang pertandingan cowok. Bahkan sebelum perhatian dan haru kita dicuri oleh Edge, Brock Lesnar membuat partai ini teramat menarik. Obviously gak semua kalian akan setuju denganku, karena Lesnar memang kebangetan. Lima belas superstar ia buang begitu saja kali ini; legends, juara, pendatang baru, jobber — semuanya dijadikan jobber oleh Lesnar. Aku gak kebayang gimana tim kreatif ngepitch ide ini ke para superstar “Ayo siapa yang mau jadi tumbal Lesnar, nanti dikasih bonus deh”.. Tapi ini menghasilkan pengalaman seru yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Berkat Lesnar dan kemampuannya; bergulat dan memancing (alias membelah) reaksi dan emosi penonton, match ini jadi berbeda sekali dari yang sudah-sudah. Belum pernah kita melihat satu ornag mendominasi dari awal, bahkan Reigns saat dalam cerita one-versus-all-nya dulu enggak sepecah ini. Meskipun mengerang dan protes melihat favorit-favoritku dikeluarkan olehnya, deep inside aku ingin melihat Lesnar beneran sampai ke akhir Rumble dengan membuang satu persatu yang datang.
Tapi kemudian Lesnar toh dikeluarkan juga, oleh Drew McIntyre – yang bakal memenangkan partai bergengsi ini dan maju ke partai utama di Wrestlemania. WWE told a perfect somekind-of-passing-a-torch story di sini. Rumble seolah terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Lesnar mendominasi. Mengalahkan semua ‘hantu-hantu masa lalunya’ alias superstar-superstar yang pernah bertanding melawannya, yakni Rey Mysterio, Kofi Kingston, Braun Strowman, Ricochet, dan bahkan Shinsuke Nakamura. Lesnar begitu hebat membawa cerita di pertengahan pertama. Aku suka gimana Lesnar bereaksi terhadap NXT’s Keith Lee, yang aku yakin di bawah pengarahan Paul Heyman sehingga lawannya ini tampak beneran menggentarkan. Kita di-tease berbagai versi interaksi, berbagai usaha yang gagal, karena Lesnar beneran kuat. Sampai kemudian – mengambil julukannya dulu – the next big thing datang dalam wujud McIntyre. Kekuatan dan strategi sang juara melawan passion dan semangat penantang – ini cerita klasik yang sempurna, yang dieksekusi dengan menakjubkan. Separuh akhir beralih menjadi cerita McIntyre berjuang memenangkan seantero pertandingan, sebab membuang Lesnar belum cukup. Ia harus menang dan mengambil spot untuk benar-benar bisa mengalahkan Lesnar dan memenuhi ‘ramalan’ yang menjadi gimmicknya dulu – bahwa ia, Drew McIntyre, adalah Sang Terpilih.
PPV Royal Rumble selalu susah untuk direview karena hal-hal begini. The Rumble was so hype, udah kayak nonton film antologi, sehingga kita selalu hanya nunggu match rumble-nya saja. Apalagi sejak ada dua match rumble, cewek dan cowok. Padahal dalam PPV selalu ada match lain yang enggak kalah solidnya. Seperti kali ini ada very physical kontes antara Daniel Bryan yang memilih Strap Match untuk mengalahkan lawannya yang sepertinya urat sakitnya udah putus; The Fiend Bray Wyatt. Salah satu peningkatan yang dapat kita rasakan adalah WWE tidak lagi menggunakan lampu temaram untuk match The Fiend. Matchnya sendiri memang cukup brutal. Cambukan sabuk kulit itu berbekas nyata di kulit kedua superstar ini, mereka benar-benar saling menyakiti. Bray Wyatt beruntung ia mengenakan topeng, sebab aku yakin di balik itu ia juga pasti meringis kesakitan meski tokohnya ditulis untuk tidak ngejual damage untuk menghasilkan efek dramatis dan mengerikan. Asuka melawan Becky Lynch juga sebenarnya told a great story. Bukan saja aksinya solid, melainkan juga mengandung bobot yang penting dalam pembangunan salah satu karakter utama Wrestlemania nantinya.  Semua ini adalah soal Lynch yang harus mampu membuktikan dirinya bisa mengalahkan Asuka yang menyimbolkan ‘demon’ yang belum ia taklukkan. The Man lawan Demon, kalo boleh dibilang. Finishing match ini terbendung bagus, juga dari perspektif Asuka yang belakangan seperti jadi bergantung kepada jurus semburan mautnya.
Kedua match tersebut sayangnya kurang mendapat perhatian karena berada di antara dua partai rumble. Penonton masih terengah dari rumble cewek dan menyimpan tenaga untuk rumble cowok. Jika ditempatkan berbeda, niscaya reaksi kita yang nonton akan berbeda. Buktinya adalah match Roman Reigns melawan Baron Corbin yang sudah basi namun karena dijadikan pembuka acara, maka masih ramai oleh reaksi. Penonton cukup terhibur karena, dan padahal mereka basically hanya, berkeliling arena. Match yang beneran jelek adalah Bayley melawan Lacey Evans. Ceritanya cukup berbobot, tapi dimainkan dengan sangat datar. Lacey masih berjuang untuk konek kepada penonton dan memperkuat deliveri ekspresi dan memperketat timing, meskipun dia sudah diberikan patriotisme dan feminisme sebagai modal untuk karakter babyfacenya. Bayley juga masih belum menemukan kekhasan karakter heelnya, sebab tipuan pura-pura cedera yang ia lakukan masih terlihat akting dan gak ada yang percaya itu bukan trik jahatnya. Kedua superstar belum maksimal
Harusnya ada adegan Izzy nyerang anaknya Lacey aja sekalian biar seru

 
Dua match rumble kali ini sebenarnya punya struktur-gede alias formula yang sama. Satu orang dibuild kuat hingga separuh jalan, dan kemudian dioverthrow oleh new challenger. Lesnar diganti oleh Drew. Hanya saja di rumble cewek, formula ini kebalik. Yang gak really new-lah yang justru mengambil alih dari yang superstar yang baru. Dan ini membuat kesal banyak orang, termasuk aku. Kemenangan Charlotte terasa sangat getir bagi penonton. Terutama karena dia membuang begitu saja Bianca Belair yang masuk dari nomor dua, bertahan 33 menit, dan mengeliminasi delapan orang. Rumble cewek yang menarik di paruh awal; ada begitu banyak interaksi superstar seru seperti Mandy Rose diselamatkan oleh Otis dengan jurus kasur empuk, menjadi kering di paruh akhir. Karena setelah mengeliminasi Belair, tidak ada lagi selain Flair yang viable untuk benar-benar memenangkan pertandingan. Ring diisi oleh bintang tamu seperti Beth Phoenix, returning yang gak benar-benar relevan seperti Naomi, dan ya, surprise seperti Santina Marella. Mestinya SJW marah nih ngelihat WWE jadiin karakter cowok yang kecewekan sebagai komedi semata. Yang jelas, logika -gak-jalan itu adalah Naomi yang bertingkah seolah menyebrang dari meja ke dalam ring adalah lompatan yang sulit, padahal dia tinggal melompat-lompat dengan satu kaki saja karena rule eliminasi adalah menyentuh lantai dengan kedua kaki. Satu-satunya penantang yang mungkin menang selain Charlotte adalah Shayna Baszler. Yang juga mengeliminasi delapan lawannya, namun mesti kalah dengan datar oleh Charlotte.
Aku benar-benar gagal paham kenapa WWE terus ngepush Charlotte ke spotlight. Enggak ada yang mau lihat dia menang karena bakal jadi jalan yang boring menuju Wrestlemania. Siapa yang mau dia tantang? Bayley yang lebih membosankan atau Lynch untuk kesekian kalinya? WWE harus menyiapkan cerita atau kejutan yang out of the box untuk ngangkat Charlotte. Atau mending sekalian semua fourhorsewomen itu diadu saja di winner takes all nanti.
ultimate heel adalah ketika kamu tetap dikasih menang saat semua orang males lihat kamu menang

 
 
Sensasi euforia Royal Rumble enggak hanya mempengaruhi penonton. Tapi juga para superstar. Karena banyak sekali botch pada acara ini. Mulai dari yang simpel bergerak terlalu semangat kayak Lesnar yang kesandung tali saat mau ngejar Elias atau Lacey Evans yang nyaris jatuh saat menggunakan jurusnya, dan kemudian detik berikutnya hampir terpeselet saat springboard dari tali ring, ke yang lupa cue gerakan kayak Aleister Black yang harus dipanggil oleh Rollins karena lupa menendang Rollins dari belakang atau Natalya yang kelupaan berdiri di belakang Santina sehingga Santina harus dua kali bergaya di depan Beth Phonenix, hingga ke yang menyebabkan cedera. Beth Phoenix terlalu bersemangat ngejual pukulan sehingga lupa dirinya against pojokan ring. Alhasil belakang kepalanya berdarah dan sepanjang match rambut Phoenix antara kayak habis diombre atau ketumpahan saus spagheti. AJ Styles juga agak terlalu lincah ngesold Spear dari Edge sehingga bahu kirinya terhimpit dan dia harus keluar lebih cepat daripada rencana supaya cederanya tidak semakin parah.
 
 
WWE memulai tahun, seperti biasa, dengan sangat seru. Lesnar yang banyak dipotes sebenarnya bermain dengan keren. Dua match Royal Rumble begitu epik, walaupun yang cewek hasilnya pahit, sehingga match-match yang lain jadi tampak biasa saja. Aku kembali mengadakan nobar setelah vakum nyaris dua tahun, dan nobar kali ini adalah yang paling seru. Apalagi kita menontonnya di dalam bioskop mini. Experience yang cocok sekali lantaran ppv yang satu ini memang menjual spektakel, momen, dan kejutan lebih banyak daripada porsi gulat-benerannya. The Palace of Wisdom menobatkan MATCH OF THE NIGHT kepada partai Royal Rumble cowok yang punya cerita keren yang menjadi set up pertemuan gede antara Drew McIntyre dengan Brock Lesnar di Wrestlemania nanti, dan kemunculan Edge sebagai MOMENT OF THE NIGHT
 
 
Full Results:
1. FALLS COUNT ANYWHERE Roman Reigns mengalahkan King Baron Corbin
2. 30-WOMEN’S ROYAL RUMBLE Charlotte Flair menjadi last woman standing
3. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan atas Lacey Evans
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP STRAP MATCH The Fiend Bray Wyatt tetap juara mengalahkan Daniel Bryan 
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara bertahan Becky Lynch akhirnya bisa mengungguli Asuka
6. 30-MEN’S ROYAL RUMBLE Drew McIntyre membuang mimpi 29 superstar lain menjadi main event Wrestlemania
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.