PENGABDI SETAN Review

“One man’s cult is another man’s religion.”

 

 

Orang yang hidup sebenarnya lebih berbahaya dari orang yang sudah mati. Terutama orang hidup yang enggak beriman kepada Tuhan. Dalam bahasa film ini; yang enggak sholat. Orang hidup dapat actually mencelakai kita. Dan pas mereka mati, orang-orang kayak gini akan bangun lagi, dan jadi hantu. Lagi-lagi menganggumu.

 

Pengabdi Setan (1980) hakikatnya adalah cerita kemenangan iman atas keingkaran. Tentang sebuah keluarga yang begitu gampangnya disusupi kekuatan hitam, diganggu, dan pada akhirnya dicelakai lantaran mereka memilih untuk berlindung kepada yang salah. Versi remakenya ini, however, masih mengeksplorasi aspek yang sama. Hanya saja kali ini digarap menggunakan teknik bercerita yang relevan dengan mainstream appeal jaman sekarang. Dan film ini sukses melakukan itu. Narasinya semakin diperluas, stake dan misterinya juga ditingkatkan.

Keluarga yang kita ikuti kali ini adalah keluarga dengan empat orang anak. Mereka ‘mengungsi’ ke rumah nenek karena rumah mereka digadai. It’s 1980s dan karir nyanyi Ibu mereka sudah meredup. Ibu sudah tiga tahun sakit parah sebelum akhirnya meninggal dengan misterius. Pasca kematian Ibu, Bapak berangkat ke kota untuk mencari penghasilan. Meninggalkan Rini, Tony, Bondi, dan Ian di rumah Nenek. Namun apa yang seharusnya anak-anak menunggu Bapak pulang, berubah menjadi mengerikan. Tanpa ada yang nunggu, Ibu mereka yang tadi baru dikubur mendadak pulang. Menebar ketakutan di tengah Rini dan adik-adiknya. Salah satu dari mereka akan diajak ke alam baka, dan Rini harus figure out siapa, kenapa, dan apa yang sebenarnya terjadi yang berkaitan dengan masa lalu orangtua mereka.

Atmosfer mencekam sedari awal sudah terestablish. Di babak awal, kita diperlihatkan kehidupan keluarga ini ketika Ibu masih hidup seadanya. Hanya bisa berbaring di tempat tidur. Ini adalah elemen yang tidak kita temukan di film orisinalnya. Kita tidak tahu seperti apa hubungan para tokoh dengan Ibu yang mayatnya sedang dikuburkan begitu film dimulai. Pengabdi Setan modern, memberi kita kesempatan untuk melihat seperti apa Ibu di mata masing-masing anaknya. At least, seperti apa Ibu saat sakit keras. And it was very interesting, kita ngeliat mereka takut kepada Ibu kandung mereka sendiri. Mereka sayang, peduli, dan ingin Ibu sembuh, namun di saat yang sama mereka tampak enggan untuk berlama-lama di kamar dengan Ibu berdua saja. Sakit Ibu yang misterius membuat sosoknya menjadi semakin menyeramkan. Bahkan Bondi terang-terangan mengungkapkan ketakutannya. Misteri ini juga langsung berpengaruh kepada kita, ada apa sebenarnya dengan si Ibu yang lagu hitsnya punya lirik bikin merinding itu.

I’m gonna make sure malam ini tidak akan sunyi

 

The whole deal soal menjadi abdi setan mendapat eksplorasi yang lebih dalam. Motivasi akan dibeberkan kepada kita, but just enough. Film ini masih menyisakan misteri yang membuat kita berpikir ke mana arah cerita dibawa. Ada beberapa referensi ke film orisinalnya – tokoh maupun pengadeganan – yang diberikan dengan subtil, yang menurutku ada beberapa yang work, ada yang enggak. Dan film ini begitu pede dengan materi yang ia punya, sehingga berani mengambil resiko berupa benturan tone cerita demi mendelivery beberapa referensi ataupun jokes.

Untuk sebuah cerita tentang sekte, film ini termasuk pengikut lantaran dia banyak memakai trope-trope cerita horor yang sudah pakem. Meninggalkan kita dengan rasa yang enggak benar-benar fresh. Rumah di area terpencil, over reliance sama jumpscare – hanya sedikit sekali adegan-adegan subtil seperti hantu nongol di cermin, elemen komunikasi dengan lonceng, sumur, elemen anak kecil yang sulit bicara. Penggemar horor jangan kuatir, penampakan hantu; kostum mayat hidup, pocong, efek dan darah dan sebagainya jelas mengalami peningkatan. Kalo Pengabdi Setan jadul masih bisa bikin kalian ketakutan, maka versi baru ini jelas akan BIKIN KALIAN JEJERITAN.

Desain produksi film ini nomor satu banget. Build up adegan-adegan seram menjadi efektif olehnya. Sinematografinya juga all-out, teknik-teknik kayak wide shot dengan kamera melengok ke kanan dan kiri, Dutch Angle untuk memperkuat kebingungan dan kengerian secara psikis, close up shot, bahkan quick cut ala Edgar Wright juga digunakan untuk mengantarkan kepada kita pengalaman visual yang bikin kita penasaran-tapi-gak-berani-melototin-layar-berlama-lama. Musik dan suara dirancang untuk benar-benar menggelitik saraf takut. Most of them are loud, jadi buat yang demen dikagetin bakalan have a scary good time nonton ini.

Personally, meskipun digunakan dengan efektif, jumpscare dalam film ini terlalu keseringan. Ngikutin kesan beberapa teknik yang digunakan hanya karena bisa, maka karena aku bisa, aku akan menarik perbandingan antara horor dengan bercinta. Saat kita nonton horor, kita gak ingin cepat-cepat teriak “aaaaaaaaaaahhh!”. Kita ingin ada build up menuju adegan menyeramkan, membangun teriak ketakutan  layaknya fore play. Dan jumpscare berujung ke premature orgasm, hanya akan membuat kita terlepas dari kengerian yang udah kebangun. Untuk kasus film ini, jumpscarenya malah sama dengan fake orgasm. Setiap kali ada setan muncul, penonton di studio ketawa sambil teriak ketakutan, lebih tepatnya ditakut-takutin. It’s annoying. Kesan yang ada adalah mereka teriak setiap kali ada hantu, untuk lucu-lucuan, atau hanya supaya dibilang berpartisipasi – kebawa reaksi video penonton premier Pengabdi Setan yang sempat rame di social media menjelang film ini rilis untuk umum.

what’s more of a sign than sign language?

 

Manusia adalah makhluk yang vulnerable. Selalu butuh untuk mencari tempat perlindungan. Kita cenderung ingin menyandarkan insecurity kepada sesuatu yang lebih gede dari kita, yang bisa kita percaya. Anak akan bersandar kepada orangtua. Orangtua yang beriman akan meneruskan cari perlindungan ke Tuhan. Dan tak sedikit yang terjerumus kepada hal-hal ghoib. Ini menjadi polemik, sebab sekte menurut satu orang adalah agama bagi orang lain.

 

Keluarga Rini tidak dekat dengan Tuhan, sebab Ibu yang menjadi pusat semesta mereka sudah lebih dahulu diam-diam menyandarkan bahu, meminta kepada setan. Journey Rini semestinya sudah jelas. Dia harus memegang kendali membawa keluarganya ke jalan yang benar. Akan tetapi, tidak seperti Pengabdi Setan dahulu yang less-ambitious – film tersebut dibikin hanya untuk menyampaikan baik melawan jahat, Pengabdi Setan versi baru ini terkesan ingin membuktikan bahwa dia bisa melakukan yang lebih baik, makanya dia banyak memakai teknik dan trope-trope film lain. Tak pelak, ini jadi bumerang.  Dalam film ini, not even Ustadz dapat mengalahkan kekuatan setan. Dan ini menihilkan keseluruhan journey dan pembelajaran. Narasi film tidak terasa full-circle. Semakin mendekati akhir, revealing atas apa yang mereka lakukan terdengar semakin konyol. Like, “Tadinya gini, eh ternyata ada diralat.” Terasa seperti film ini bernapsu untuk mengupstage plot poin mereka sendiri dengan twist dan turn yang kelamaan makin gak make sense.

At its worst, film lupa untuk mengikat banyak hal, memberi banyak celah untuk kita nitpick. Editing di bagian kejar-kejar akhir agak off, eye tracingnya membuat kita bingung persepsi dan arah bangunan rumah. Beberapa poin cerita juga tersambung dengan aneh dan goyah banget. Sepanjang bagian tengah dihabiskan Bondi tampil kayak kesurupan; berdiri diam, dia bahkan ngambil pisau, dan tau-tau di akhir, dia menjadi baik saja. Sebelum Bapak pergi ke kota, anak-anaknya mencemaskan gimana kalo nanti ada apa-apa, Bapak bilang apa sih yang bisa terjadi? Beberapa hari kemudian, nenek bunuh diri, dan kita enggak melihat usaha dari Rini ataupun Tony untuk menghubungi ayah mereka. I mean, ibu dari ayah mereka baru saja tiada, alasan apa lagi sih yang ditunggu buat nyari Bapak? Ada adegan ketika mereka nunggu jam duabelas malam, Bapak menyuruh Rini dan Tony tidur duluan pukul setengah sebelas, dia bilang dia masih kuat nungguin bareng Pak Ustadz. Adegan berikutnya yang menampilkan Bapak, jam duabelas teng ketika all hell broke loose, kita melihat beliau bobok di ranjang. Tokoh ini tidak ada determinasi sama sekali. Well, yea, semua tokoh Pengabdi Setan memang ditulis seadanya. Selain Rini, enggak banyak karakter yang dapat development, selain beberapa di antara mereka ternyata punya pengetahuan tentang Ibu, dan beralih fungsi menjadi easy eksposisi.

Karakter terbaik dalam film ini adalah si bungsu Ian (M.Adhiyat mampu menafsirkan arahan dengan baik). Tingkahnya beneran seperti anak-anak, and he was so likeable. Ketika nyawanya terancam di bagian akhir, kita beneran peduli. Tokoh ini juga satu-satunya yang punya plot. Bahkan Rini, tokoh utama, enggak berkembang banyak. Karakternya cuma sebagai si Kakak Tertua. Tara Basro dan kebanyakan pemain sudah cukup kelimpungan oleh penggunaan aksen jadul seperti pemakaian kata ‘kau’, sehingga mungkin memang penulisan karakternya sengaja tipis-tipis saja. Tony adalah anak yang paling deket dengan Ibu, setiap malam dia nyisirin Ibu. Sementara Bondi, well, anak macam apa sih yang nyebut kuburan lengkap banget dengan “areal pekuburan”? I mean, bahkan Lisa Simpson aja enggak sekaku itu ketika dia mengadu ketakutan melihat kuburan dari jendela kamarnya dalam salah satu episode The Simpsons. Bondi adalah anak paling boring sedunia, he only good at screaming like a girl. Dan Hendra, oh boy, anak Pak Ustadz ini has the worst flirting tactic ever. Dia plainly bilang ke Rini dia ngestalk kuburan dan rumah mereka di malam hari, namun dia malah melihat hantu Ibu, dan ujung-ujungnya dia ngajak Rini nginap di rumahnya.

 

 

 

Remake dari horor cult classic Indonesia ini adalah contoh penerapan yang sangat baik dari template horor mainstream James Wan. Bahkan dengan twistnya – yang merupakan upaya untuk menutupi kegaklogisan plot-plot poin – film ini pun tidak pernah terasa benar-benar fresh. Tapi ini adalah horor yang sangat fun dan enjoyable. Design dan teknik produksi kelas atas. Beberapa adegannya akan mudah sekali membuat kita menjerit kaget. Merasa kita ketakutan. Terutama jika kita nonton ini bareng-bareng dan termakan sama strategi viral video reaksi penonton premier.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PENGABDI SETAN.

 



That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.



KINGSMAN: THE GOLDEN CIRCLE Review

“Kindness is still the best antidote.”

 

 

Pernahkah, selagi duduk di meja sarapan mengaduk teh manis hangat sambil nontonin berita tentang pengedar narkoba yang tertangkap, kalian berhenti sejenak dan berpikir bahwa sesungguhnya gula membunuh orang lebih banyak ketimbang obat-obatan terlarang? Berpikir bahwa gula nyata-nyata lebih adiktif, sembari kalian menyadari orang-orang di tv itu sebagian besar udah tergolong overweight, mengonsumsi gula berlebihan setiap hari? Jika gula yang secara data lebih berbahaya bisa dijual bebas, maka kenapa pengedar drugs kelas kakap seperti gue harus direndahin, kudu jualan diem-diem, musti ngasingin diri di oasis nostalgia 1950an di tengah belantara, begitu kiranya pikir Poppy si ratu kartel narkoba. Jadi, demi mendapat pengakuan, dia ngespike dagangannya yang paling laku, you know sebangsa heroin, dengan virus yang berujung kematian massal. Practically dia menyandera semua pemakai, about sebagian besar penduduk dunia – no surprise there – dengan mengeluarkan ultimatum; serum penawar virus akan dibagikan jika Amerika gencatan senjata dengan narkoba. Melegalkan usahanya.

Itulah musuh yang harus dihadapi oleh agen-agen Kingsman dalam film sekuel ini. Seperti pendahulunya, The Golden Circle juga berusaha untuk menangkap masalah dunia yang relevan dengan keadaan recent dan membalutnya dengan aksi yang begitu gila dan komedi yang in-your-face sehingga hasilnya adalah tontonan yang sangat over-the-top namun tak pelak seru dan menarik. Actually, Eggsy harus bekerja sama dengan agensi agen rahasia Amerika, Statesman, yang menyamarkan organisasi mereka dalam bisnis minuman beralkohol. Eggsy yang kehilangan sebagian besar rekan-rekan Kingsmannya tak punya pilihan. Sama seperti kita yang tidak diberikan waktu senggang untuk berpikir tentang betapa lemahnya alasan dan motivasi villainnya, thus membuat film ini juga enggak sekuat yang pertama. Sebab Kingsman tidak menawarkan pemikiran ataupun emosi, dia cuma punya aksi-AKSI KEKERASAN YANG DIBUAT SEMUSTAHIL MUNGKIN SEHINGGA TAMPAK AMAT GAYA. Dan nyali untuk mempertontonkannya.

Tempat tanpa pemakai narkoba mungkin adalah utopia yang nyaman untuk ditinggali. Orang-orang hidup bersih. Hidup sehat. Enggak ada si brengsek yang bertindak nekat. Namun kenyamanan tempat itu dipertanyakan jika untuk mencapainya berarti kita harus menciptakan terlebih dahulu tempat tanpa ada yang mau menolong pemakai narkoba. Kingsman: The Golden Circle, at its best, akan mengingatkan kita akan hal tersebut.

 

Tidak ada titik lemah dalam jajaran pemain. Taron Egerton sekali lagi sangat bagus sebagai Eggsy. Attitude dan timing comedynya pas banget. Channing Tatum menghibur, Colin Firth, Mark Strong, dan karakter-karakter lain bermain sama baiknya. Aku suka Julianne Moore bertindak sebagai gembong penjahat di sini. Yang dia berikan adalah performance yang sangat menarik dan sangat fun, meskipun naskah memilih untuk menggunakan tokoh Poppy ini dengan cara yang aneh. Aneh yang not in the good way.

Untuk sebagian besar waktu, Poppy ditampilkan terpisah dengan tokoh lain. Dia enggak pernah keluar dari persembunyiannya, yang enggak benar-benar tempat persembunyian ataupun tempat yang terpencil, as kita melihat berbagai macam orang keluar masuk tempat yang hanya dilindungi oleh ranjau itu. Dia punya dua anjing robot sebagai henchmennya yang paling diandalkan. Dia menculik seorang penyanyi terkenal yang dibiarkan ikut tinggal di area hideout (by the way, Elton John juga teramat menghibur di film ini, dan perannya actually lebih gede dari kelihatannya). Jadi kejahatan dan kekejaman Poppy tidak banyak tercermin, kecuali melalui rencana narkobanya. Dalam sense dan moral film ini, orang jahat dan orang baik tidak bisa gitu aja diputuskan lewat apakah dia memakai narkoba atau enggak, yang mana membuat kekejaman tindak Poppy lagi-lagi bergantung kepada pandangan kita tentang suara besar film tersebut. Secara pribadi, Poppy adalah karakter yang fun dan menarik, akan tetapi buatku tindakan Poppy enggak cukup jahat, dia tidak begitu mengancam sebagai penjahat, dan ultimately aku enggak begitu khawatir akan keselamatan tokoh utama.

kekuatan film diukur dari kekuatan penjahatnya

 

Pujian terbesar yang bisa kita berikan kepada film ini disarangkan buat departemen sinematografi. Adegan-adegan percakapan, lokasi set yang beragam, semuanya terlihat begitu menawan dan simetris. Ini adalah film yang sangat cantik. However, prestasi bagian action film pertamanya tampak menjadi beban. Kingsman terkenal dengan aksi yang sangat over-the-top, yang sangat liar, masih ingat dong ya dengan Gazelle yang tendangan kaki spesialnya mampu mengupas orang menjadi dua kayak kulit pisang yang dibuka. Pada Kingsman terbaru, meski adegan aksinya dibuat dengan sangat menarik secara visual, film kali ini tampak terlalu bergantung kepada penggunaan CGI. Efek dipakai untuk menyatukan shot-shot. Sekuens berantem dan aksinya lebih tampak seperti adegan keren dalam video game, mereka ingin melakukan begitu banyak hal-hal mustahil yang menghibur, mereka mencoba untuk menjadi super over-the-top, namun orang-orang yang dilempar ke sana ke mari, meloncat melakukan hal-hal gila, tidak lagi tampak masuk akal sebagai manusia biasa.

“Terlalu penuh” biasanya bukanlah ungkapan yang memiliki arti positif. Begitu juga buat Kingsman: The Golden Circle. Film ini memasukkan banyak subplot, ada banyak kejadian ataupun cerita yang berusaha disampaikan oleh naskah. Kita melihat tentang pilihan hidup, sekaligus ada romansa dan loyalitas, ada pembahasan soal bagaimana jika orang yang kita jadikan panutan berubah menjadi pribadi yang sama sekali berbeda. There are some many different things yang terjadi di sini. Ketika sekuen aksi berlangsung, film menjadi exciting. Namun ketika kita berada di kejadian di antara sekuen-sekuen aksi, film menjadi membosankan. Durasinya yang dua-setengah-jam terasa semakin berat dan panjang. Film berkembang menjadi semacam banyak adegan-adegan kecil yang diulur-ulur dan enggak benar-benar perlu.

Karakter berangkat dari titik A menuju titik B terlebih dahulu, dengan tujuan aslinya ada di titik Z. Alih-alih menggunakan alasan logis untuk membuat karakter tersebut maju, film  ini menggunakan ‘perjalanan’ yang berbelit. Contohnya ketika Eggsy harus menemukan lokasi suatu tempat, dan untuk mendapatkannya dia harus menyusup ke konser musik untuk mencari cewek salah satu bandit. Dan dia bersama agen lain berusaha untuk ngeflirt sama cewek itu supaya mereka bisa menaruh tracker di dalam tubuh si cewek sehingga mereka bisa ngikutin si cewek kalo dia pergi ke markas. Dipanjang-panjangin dan sangat gak-perlu. I mean, masa sih gak ada cara lain yang lebih singkat dan praktikal lagi.

Pengen liat Statesman lawan Gin dan Vodka dan pasukan Baju Hitam dari Detektif Conan

 

 

 

Tak jarang memang sekuel merasa punya tuntutan untuk menjadi lebih besar dan lebih baik dari film pertama. Kadang mereka mencoba untuk menghadirkan penjahat yang lebih dahsyat ataupun sinting, kadang dengan sekuens aksi yang lebih banyak dan edan, dengan penggunaan efek yang lebih dahsyat. Film ini sebagian besar menderita karena ingin tampil lebih grand ini. Mereka gagal. Penjahatnya enggak mengancam, actions mencoba untuk lebih seru dengan efek yang lebih banyak – hanya membuat tokoh-tokoh yang terlibat tidak lagi terlihat sebagai manusia normal. Menderita dari kebanyakan hal yang ingin mereka lakukan. Naskahnya digarap lebih santai dibandingkan aksi yang benar-benar dienchance dan dikoreografi dengan matang. Dari perspektif narasi, mestinya banyak yang bisa dipotong demi mempersingkat. Dan membuat film yang seru ini lebih menyenangkan lagi.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for KINGSMAN: THE GOLDEN CIRCLE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

No Mercy 2017 Review

 

Simpati enggak melulu berbuah empati loh. Malahan rasa simpati lama-lama dapat berubah menjadi apati. Kalo enggak percaya, tonton deh WWE No Mercy 2017.

 

Lima minggu adalah waktu yang cukup lama untuk membuild up cerita dan menjelang No Mercy udah sukses bikin kita semua excited. Roman Reigns  melawan John Cena boleh saja mereka bangun seperti versi kekinian dari The Rock melawan Stone Cold Steve Austin, kita sudah bersorak, geregetan sendiri mendengar kata demi kata yang nyelekit terlontar baik itu dari mulut Cena ataupun Reigns. Di papan atas, kita melihat Braun Strowman dibangun benar seperti monster di antara manusia kala dia melempar tubuh sang juara dengan begitu tanpa-usahanya. Itu adalah untuk pertama kali kita melihat Brock Lesnar tampak kebingungan menghadapi lawan. Bahkan saat berhadapan dengan Godlberg, Lesnar tidak kelihatan setak-berdaya itu. Sulit untuk membendung antisipasi, lima minggu yang dihabiskan untuk mengestablish cerita perseteruan tak pelak menggiring kita ke konklusi-konklusi yang bukan hanya terlihat plausible, melainkan juga tampak paling logis. Namun, sama seperti Joko Anwar yang suka memasukkan twist ke dalam filmnya hanya karena dia bisa, WWE juga lebih suka membelokkan arah ketimbang menyuguhkan sesuatu yang sudah banyak diprediksi orang. Atau dalam istilah lain, ketimbang nurutin kemauan fans.

 

 

Creative: Ada ide nih, gimana kalo kita bikin Balor enggak bisa mengendalikan kekuatan Demon King
Vince: Terus?
Creative: Bray menantangnya, menyebut Balor curang, dan bilang dia bisa ngalahin Balor tanpa kekuatan.
Vince: Menarik, terusin
Creative: Bray menyerang Balor sebelum pertandingan, menghajarnya sampe babak belur sehingga Balor dibopong ke backstage. Bray mengejek Balor pengecut. Balor angot, lari balik ke ring sementara Bray terkekeh layaknya heel sejati.
Vince: Ide bagus! Kemudian Bray kalah clean!!
Creative: Tapi Pak, kan inti ceritanya…..
Vince: Ya ya aku suka! Kalah tepat di tengah.

 

 

Ini bukan sesepele ekspektasi melawan kenyataan. Aku kesel bukan karena yang aku inginkan enggak kejadian. It’s just that mereka melewatkan begitu banyak kesempatan dalam pertandingan Reigns melawan Cena. Matchnya dibooking dengan cara paling biasa yang bisa dipikirkan oleh tim penulis. Mereka sebenarnya bisa melakukan banyak. Dari cara feud ini terbuild up, dari segmen-segmen promo yang dilakukan di Raw setiap minggu, ada banyak layer yang mestinya bisa diconvey ke dalam narasi pertandingan. But instead, Roman Reigns melawan John Cena hanya berlangsung dengan formula standar “banyak-banyakan kick out dari finisher”. Empat AA (di antaranya ada Super AA), couple of Spears dan Superman Punch tidak benar-benar menceritakan banyak selain adu kekuatan. Which is sangat menyederhanakan muasal feud mereka. Jikapun ada layer, maka WWE berusaha menanamkan ke kita bahwa ini adalah pertandingan terakhir Cena, mereka membuatnya paralel dengan match Reigns melawan Undertaker di Wrestlemania, yang mana kali ini enggak terasa meyakinkan karena masalah Cena pensiun kentara terlalu cepat untuk diperbincangkan sekarang.

Elemen yang paling nyata absen dari pertandingan mereka ini adalah aspek mempermalukan lawan. Padahal di promo mereka building up to this match, aspek humiliating ini kuat sekali. Cena ngatain Reigns wannabe, Reigns ngatain Cena The Rock wannabe. Simpelnya sih, alur saling menggunakan finisher lawan dapat digunakan untuk memfatilitasi aspek ini. Kita sudah melihat saling curi finisher di masa lalu dapat dengan mudah mengangkat pertandingan menjadi semakin seru. I think Reigns melawan Cena butuh aspek ini. Meskipun Reigns bilang dia bukan John Cena nomor dua, tetapi apabila kita melihat dia begitu desperate sampai-sampai harus menggunakan, katakanlah AA, akan membuat konflik yang lebih gede untuk karakternya.

Main event Lesnar melawan Strowman juga berjalan dengan formula yang persis sama dengan match Cena lawan Reigns. Lesnar kick out banyak finisher dari Strowman, dan berbalik memenangkan pertandingan dengan satu F5 pamungkas. Ini udah kayak kebalikan total dari gimana feud mereka dibangun. Aku paham mereka ingin melindungi finisher, tapi matchnya begitu antiklimatik seolah dari Braun looked strong ke dia kalah begitu saja seperti ada bagian yang keskip. In the end, match mereka ini yang terasa paling mengecewakan.

 

Toh ketika ada beneran yang di luar ekspektasi, hal tersebut menjadi high note yang masih bisa disyukuri dari keseluruhan acara. Celana baru Finn Balor bukan satu-satunya yang jadi highlight. Kejuaraan Wanita Raw mempersembahkan usaha-usaha yang luar biasa dari kelima pesertanya. Semuanya, terutama Nia Jax, terlihat kuat. Walaupun personally aku dukung Alexa Bliss nyaaaww, namun aku gak punya masalah sama siapapun yang menang di sini. My only problem adalah kalo mereka membuat Emma jadi korban pin. Dan hal tersebut sama sekali enggak kejadian. Matchnya begitu penuh energi sehingga semua prasangka buruk sirna, dan kita menikmati jalannya pertandingan.

Bukannya ingin kelihatan seperti penonton barbar yang haus darah, namun darah memang terbukti sebagai salah satu device yang penting dalam match-match WWE. Ketika kita melihat seseorang berdarah, apalagi yang enggak sengaja berdarah kayak Cesaro di acara ini, maka kita akan diingatkan bahwa pertandingan WWE adalah koreografi yang punya stake yang serius. Kita terbantu untuk mengingat bahwa superstar yang sedang kita tonton adalah tokoh-tokoh yang punya sesuatu yang mereka pertaruhkan, lebih daripada sabuk emas. Darah membantu kita untuk lebih menghargai superstar. Ada alasannya kenapa superstar-superstar jaman dulu lebih convincing dan punya aura ‘galak’ beneran. Kita sudah melihat Stone Cold Steve Austin bertopeng darah, Triple H mandi paku payung, The Rock dicurangii dengan brutal, Mick Foley jatuh dari kandang – dipukul pake kursi sampe muncrat, Eddie Guerrero’s over bladejob, even John Cena had earned our respect through a bloody match. Braun Strowman selamat dari ambulans maut dan emerging sebagai pahlawan di mata kita semua.

no mercy: no tooth, no cry

 

So yeah, blood helps, WWE shouldn’t shy away from it, dan darah (di luar eskpekasi) jualah yang membuat match yang hebat antara Cesaro dan Sheamus melawan Dean Ambrose dan Seth Rollins menjadi super hebat. Kita hanya bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan empat superstar ini jika mereka benar-benar dibebaskan main sehardcore mungkin. Karena dengan limitation begini aja, mereka selalu berhasil menyuguhkan sesuatu yang seru dan menegangkan. Match mereka berhasil ngeupstage pertemuan mereka di Summerslam bulan lalu, aku pikir aku bisa menonton mereka sampai beberapa kali lagi.

Jason Jordan dan Enzo Amore adalah personifikasi yang tepat untuk kalimat “dari simpati menjadi apati”. Storyline anak Kurt Angle dengan cepat berbalik menjadi target cacian fans, meski Jordan bermain dengan gemilang di atas ring. Matchnya dengan Miz berjalan menarik, pas banget ditaroh sebagai pembuka, akan tetapi tidak mendapat reaksi seperti yang diharapkan oleh WWE. Kasus Enzo Amore lain lagi; dengan mic skill dan penjualan merchandise yang tinggi, Enzo ketiban push gede, tetapi semua orang membencinya di atas ring. WWE tampaknya ingin membuat Enzo seperti Eddie Guerrero, menarik simpati dengan curang-untuk-menang, clearly that doesn’t work. Kemenangan Enzo membuat anggota divisi Cruiserweight lain yang sebelumnya pernah bertarung epic dengan Neville menjadi termentahkan, seolah mereka adalah afterthought. Melihat dari konklusi after match mereka, bisa jadi WWE ingin mengcapitalized reaksi penonton dan mengubah Enzo dan Jordan menjadi heel.

Sekarang kita tahu kenapa Austin Aries minta keluar.

 

 

Aku tidak bercanda soal simpati jadi apati, karena memang ada salah satu peserta nonton bareng yang bilang udah jadi gakpeduli lagi sama WWE begitu No Mercy berakhir. Ada banyak momen bagus, seperti Roman Reigns yang possibily menoreh prestasi memberhentikan Undertaker dan John Cena dalam tahun yang sama, yang menjadi garing karena semakin ke akhir, pertandingan-pertandingan dalam acara ini kehilangan intensitasnya. They practically cutting Neville’s leg to push Enzo. Braun lawan Lesnar enggak sesuai hype banget.  Sukur masih ada yang memuaskan seperti kejuaraan cewek dan intercontinental. The Palace of Wisdom menobatkan Tag Team Championship sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Result:

  1. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP The Miz retains over Jason Jordan
  2. SINGLE Finn Balor mengalahkan Bray Wyatt
  3. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIPS Dean Ambrose dan Seth Rollins bertahan atas Sheamus dan Cesaro
  4. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP FATAL FIVE WAY Alexa Bliss ngepin Bayley sekaligus bikin Nia Jax, Sasha Banks, dan Emma kecele
  5. SINGLE Roman Reigns ngalahin John Cena
  6. CRUISERWEIGHT CHAMPIONSHIP Enzo Amore jadi juara baru ngalahin Neville
  7. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Brock Lesnar menang atas Braun Strowman

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

A GHOST STORY Review

“I wanna be alive. I am alive. Alive, I tell you!”

 

 

A Ghost Story akan membuat banyak orang kesal alih-alih takut, sebab meskipun benar ini adalah cerita yang ada hantunya, film ini juga adalah kisah cinta, kisah tentang kesendirian, kisah tentang penyangkalan, kisah pencarian, dan kisah lompatan waktu sekaligus.

 

Mobil yang dikendarai Casey Affleck tabrakan, dia meninggal dunia. Namun pria tersebut menolak untuk mengakhiri hidupnya. Affleck terbangun di rumah sakit, wujudnya sekarang berbungkus selimut putih dengan dua lingkaran sebagai mata – persis kayak kostum hantu-hantuan yang dipakai anak kecil sewaktu Halloween. Sebagai hantu, Affleck berjalan balik ke rumah, tempat Rooney Mara; istrinya, menghabiskan masa berkabung. A Ghost Story literally adalah cerita hantu, as in cerita seorang hantu, di mana kita akan ngikutin perjalanan eksistensial si hantu Affleck, melewati masa lalu dan masa depan. Kita akan menonton hantu Affleck sejak dia mengobservasi istrinya, hingga mengamati roh nelangsa tersebut berusaha menemukan sesuatu yang ia cari-cari.

(un)lucky to be coming home again

 

Kita tidak akan mendapatkan jumpscare ataupun adegan-adegan horor pada film hantu yang satu ini. Tapi itu tidak berarti nonton film ini kita tidak merasa ngeri. A Ghost Story diarahkan oleh David Lowery menjadi sebuah tontonan yang sangat berbeda dan teramat orisinil. Lowery mengambil trope-trope pada horor kebanyakan, seperti buku yang jatuh sendiri, lampu yang hidup-mati, suara aneh di tengah malam, dan memberikan arti yang berbeda terhadap tropes tersebut. Bukan lagi sebatas ada keberadaan gaib yang mencoba menakuti kita, namun ada makna yang lebih dalem di balik segala macam fenomena tak-terjelaskan itu.

Ini adalah film yang bakal menghantui kita secara emosi. Malahan, saking impactfulnya, aku duduk terhenyak beberapa menit setelah film ini usai. Suasan sekitarku seolah surut ke dalam keheningan, karena apa yang kusaksikan di ending, juga semua peristiwa menjelang ending itu sudah berhasil mengguncangku secara emosional. A Ghost Story adalah SALAH SATU FILM TERSEDIH yang pernah aku tonton. Di sini kita melihat bagaimana seseorang bisa menjadi sangat tersesat oleh ketidakpahamannya terhadap purpose ataupun terhadap fakta bahwa dia tidak perlu untuk kembali sebab pada satu titik tertentu kita memang harus terus.  Ada getir yang menohok ketika kita menyaksikan hantu Affleck terus menetap di rumah, lama setelah isrinya pindah, hanya karena ia ingin mengambil catatan yang disimpan oleh istrinya. Sebuah tujuan yang sederhana, poinnya adalah setiap kita ingin mengerti. Seperti yag juga digambarkan oleh si tetangga hantu yang terus menunggu seseorang untuk kembali ke rumah, meski ia tidak lagi ingat siapa yang ia tunggu tersebut. Keberadaan kita adalah semata untuk memahami tujuan, dan begitu kita achieve that, poof! Kita undur diri seketika.

Kematian benar-benar dieksplorasi di sini. Derita dan kehilangan yang seseorang alami saat harus mengalami perpisahan dengan yang dicintai. Rooney Mara dan Casey Affleck perfectly menyampaikan emosi tersebut, tanpa banyak dialog. In fact, film ini memang minim sekali dialog. Saking pelit ngomongnya, kita bahkan enggak diberitahu siapa nama tokoh utama. Film ini menggunakan visual sebagai lidah untuk bercerita, dengan hint-hint subtil menghiasi sinematografi yang sudah memukau sedari awal. Long takes digunakan dengan efektif, Lowery berhasil menghasilkan gambar tanpa sekalipun terlihat pretentious. Semua ada maknanya. Adegan Rooney Mara duduk makan pie demi menelan bulat-bulat perasaannya akan membuat kita turut merasakan duka, juga terasa sangat manusiawi.

kenyataanlah yang susah untuk ditelan

 

Seni adalah wujud kebudayaan suatu bangsa. Dalam ruang lingkup yang kebih kecil, seni adalah apa yang kita hasilkan just to show that “ini loh karya gue”. Gue hidup. Ini loh bukti gue pernah hidup di dunia! Manusia begitu desperate untuk meninggalkan jejak, meskipun sebenarnya seperti yang diperbincangkan oleh dua tokoh film ini di awal cerita; kita cepat atau lambat akan meninggalkan dunia – yang dalam kasus ini dianalogikan sebagai rumah dan catatan-catatan keci yang disembunyikan oleh tokoh Rooney Mara di dalam rumahnya. Keengganan untuk pergi tanpa meninggalkan jejak, atau malah tanpa pernah tahu pasti apa punya jejak atau enggak, membuat seseorang menjadi terikat dan gak gampang move on. Seperti hantu.

 

Penggunaan frame yang tepiannya membundar kayak bingkai instagram membuat menonton ini seperti menonton video rumahan. Treatment ini menurutku bekerja in favor of the movie karena membuat feel cerita terasa real. Sekali lagi, film ini enggak kayak dibuat-buat. Lumrah bagi film-film arthouse untuk mempersembahkan cerita lewat sinematografi yang mesmerizing, namun tak jarang  seberes nonton kita ngerasa “meh, that’s just a bunch of pretty scenes”. Pada A Ghost  Story, adegan-adegan tersebut terlihat benar punya pesan dan kita akan mencoba untuk memahami mereka.

 

Jika hantu adalah sebutan buat entitas yang ngambang di antara dunia nyata dengan dunia fana, maka A Ghost of Story adalah film yang memastikan tidak ada penonton yang jadi hantu setelah menontonnya. I mean, tidak ada ‘di antara’ dalam hal suka film ini, it’s either cinta atau benci. Buatku; I adore this film. So much. Aku setuju sekali sama keputusan film untuk enggak menampakkan apa yang ditulis oleh Rooney Mara di kertas itu.

Kita enggak akan dapat film yang seperti ini lagi entah untuk berapa tahun lamanya. Sedangkan untuk kekurangan, well I do have an issue buat satu adegan yang terasa sedikit enggak selaras dengan keseluruhan film. Sekitar pertengahan, hantu Affleck mendapati rumahnya dijadikan tempat pesta oleh sekumpulan anak muda, dan salah satu dari mereka berceloteh tentang manusia dan usaha yang dilakukan untuk mengukuhkan eksistensi. Monolog yang berbobot banget, kalian mungkin akan merasakan dorongan untuk nyatetin kata-kata yang dilontarkan oleh orang ini. Masalahku adalah, adegan ini seperti film nyuapin ke kita tentang ide yang hendak mereka sampaikan. You know, it was just too frontal, padahal sebelum ini film amat subtil lewat visual. Kita sudah semangat dan terlanjur tertarik untuk menelaah apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh pembuat film, dan kemudian adegan monolog yang menjelaskan ini datang. Ini kayak mendadak film mutusin untuk switch ke mode easy, untuk talking down ke penonton. Menurutku kita enggak perlu untuk mendapat penjelasan gamblang seperti itu.

 

 

Hantu adalah pengamat yang baik. Dan untuk itu, film ini membuat kita semua menjadi hantu, mengamati orang-orang dalam duka seperti itu. Namun begitu, apakah ada sebutan untuk hantu yang baik? Sebab hantu juga adalah sisa-sisa, jejak, dari urusan tak selesai yang muncul ketika kita merasa bahwa kita belum selesai mengukir keberadaan di atas dunia. So emotionally haunting, ini adalah drama sedih yang hidup oleh sinematografi memukau, musik yang mengiris hati, dan penceritaan visual yang luar biasa menghanyutkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A GHOST STORY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE BOOK OF HENRY Review

“A tiger dies and leaves his skin.”

 

 

Enggak ada yang tampak luar biasa di kelas pagi itu. Bu Guru lagi membimbing murid-murid mengungkapkan warisan apa yang ingin mereka tinggalkan di dunia, dan seperti di hari-hari biasa, Henry mengejutkan seisi ruangan dengan opininya yang penuh pemikiran, jauh lebih dewasa dari umurnya. But that just a normal day di kehidupan Henry. Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Sedari adegan pembuka tersebut, film ini sudah mengait kita masuk dengan pernyataan seputar apa yang ingin kita tinggalkan di dunia ini. Tentu, semua orang pengen namanya dikenang. Jasa-jasa besarnya diingat. Semuanya mau melakukan hal yang spesial. Namun Henry, being special brain and mind as he is, malah ingin melakukan hal sebiasa membantu apa-apa yang bisa ia bantu selagi dia hidup bernapas dan berjalan di muka bumi. Simpel. Biasa aja.

Just do good to others. Saling bantu satu sama lain. Jika perlu buatlah urusan orang lain sebagai urusan kita sendiri. Sebab, kalolah ada tindak paling kejam di atas dunia, maka itu bukanlah tindak kekerasan. Melainkan ketidakpedulian kita terhadap sesama.

 

Dalam urusan warisan, sutradara Colin Trevorrow tampaknya ingin meninggalkan jejak, ia ingin dikenang, sebagai sutradara yang menghasilkan film yang unik ketimbang sebagai pembuat film yang laku. Karena The Book of Henry benar-benar tidak seperti yang lain. Trevorrow sudah mengembangkan cerita ini selama lebih dari 19 tahun. Dan dalam prosesnya, keunikan dan keorisinilan film ini tidak lagi datang dari betapa berbedanya dia dari film-film lain. Aku percaya saat pertama kali mikirin idenya, The Book of Henry terdengar sangat fresh, namun ditonton sekarang-sekarang ini, aku bisa melihat sedikit Goosebumps (2015), sedikit Gifted (2017) dan malahan sedikit serial Thirteen Reasons Why (2017) di dalam elemen narasi. Yang membuat The Book of Henry tetep terasa sangat unik adalah penggarapan dan arahannya yang SANGAT BERANI. Pembelokan tone yang amat tajam, ngetackle hubungan keluarga, dan permasalahan child abuse, semuanya diceritakan oleh Trevorrow dengan melanggar banyak aturan filmmaking.

Pada babak satu, The Book of Henry terlihat kayak film keluarga biasa. Semuanya tampak menyenangkan. Henry bersama adiknya naik sepeda seputaran lingkungan ramah dengan aman. Mereka semua bahagia. Naomi Watts memainkan Susan, seorang single mother yang sangat cool. Kalian harus lihat dan denger sendiri gimana cara Susan ngobrol kepada kedua anaknya yang masih kecil. Dia pake metode yang bakal bikin asosiasi orangtua kaku kebakaran jenggot. Mungkin kita sedikit bergidik melihat caranya yang penuh kejujuran dan gakpake sensor pemanis. Aku sempet shock dikit pas Susan pake gestur jari khasnya Stone Cold Steve Austin ke Henry, dan dibenerin oleh Peter sebab apparently jari telunjuk Susan belum lurus. Tapi toh anak-anaknya tetap cinta dan hormat. Karena sepertinya memang begitulah cara yang bener bicara sama anak kecil; anggap mereka sebagai orang dewasa juga. Susan ngegedein dua putra yang sangat spesial, terutama Henry yang obviously seorang bocah jenius. Dinamika ibu-anak antara Susan dan Henry terjalin dengan terbalik; Susan main video game dan dilarang oleh Henry. Susan juga lumayan reckless ngurusin keuangan, semuanya diatur oleh Henry yang masih sebelas tahun. Dan di malam hari, setelah siangnya minum-minum dengan teman sesama pelayan di kafe eskrim, Susan membacakan cerita pengantar tidur tentang punk rock band kepada Henry dan adiknya, Peter, yang diperankan dengan sekali lagi gemilang oleh Jacob Tremblay. Begitulah rutinitas hidup mereka yang harmonis. Kadang Peter ngambekan sih, semua orang suka Henry, sehingga rasa iri itu sedikit muncul. Namun permasalahan kecil seperti itu dapat diselesaikan berkat kepintaran dan kebaikan Henry.

“kids jaman now” harusnya bikin rumah pohon dengan jebakan deh, ketimbang bikin akun sosial media

 

The Book of Henry masih ngikutin struktur tiga-babak, namun dengan cara yang sama sekali berbeda. Bagian mid-point benar-benar mengubah keseluruhan film. Cerita menjadi lebih kelam, dan kecurigaan Henry mengenai ada tindak kejahatan yang terjadi di rumah anak cewek di sebelah rumah mereka tampaknya semakin terbukti. Aku enggak mau bilang banyak, karena spoiler di bagian ini bakal merusak pengalaman menontonnya. Aku hanya bisa bilang bahwa di paruh kedua film, akan ada karakter yang harus mengambil banyak keputusan berat. It was a very ballsy thing to do in regards of storytelling. Hingga akhir film aku duduk menonton sambl gigit kuku, enggak percaya film ini melakukan apa yang mereka lakukan, and got away with it.

Pergantian tone cerita juga berarti jangkauan range karakter yang cukup luas yang harus dimainkan oleh para aktor. Dan mereka semua berhasil membuat performa film ini meyakinkan. Arahan sutradara juga berperan besar di sini. Tokoh anak-anak berhasil mengimbangi Naomi Watts yang semakin kuat memainkan peran ibu. Jaeden Lieberher adalah Henry yang sangat meyakinkan, tidak terbata dia berperan sebagai anak jenius yang bertingkah jauh di luar anak-anak umurnya pada umumnya, dia jarang tersenyum namun sangat perhatian. Sekaligus punya emosi dan sense of humanity yang kuat. Kepada Maddie Ziegler yang jadi tetangga Henry lah sepertinya kita  perlu bertepuk tangan salut paling keras. Dia enggak diberikan banyak dialog, sebab dia harus banyak berakting lewat ekspresi, dan cewek ini brilian sekali. Ada sekuens di talent show sekolah yang benar-benar membuktikan ini; Maddie harus melakukan banyak gerakan menari yang sangat fisikal sembari harus menampakkan ekspresi penuh derita dan duka yang subtil di wajahnya. She was so good dan penuh penghayatan.

 

warisan yang ditinggalkan Henry ternyata adalah 13 reasons why and how to killed your bad neighbor

 

Tindak berani selalu ada saja resikonya. The Book of Henry dengan pergantian tone cerita yang drastis tentu berpotensi bikin kesel banyak orang. Pengen drama keluarga yang fun, eh malah dapet yang lebih kelam. Tapi semestinya penonton film 2017 sudah terbiasa dengan film-film ‘mengecoh’ kayak gini. Kita udah dapet Get Out dan It Comes at Night di antaranya. Di mana The Book of Henry sedikit goyah adalah di paruh kedua. Tepatnya pada elemen anak jenius yang mengatur keputusan karakter lain. Semuanya terlihat sangat diatur dan dipermudah, padahal keputusan yang diambil oleh karakter yang satunya adalah keputusan yang sangat berat. Ultimately, it makes the story was somewhat predictable. Jadi, filmnya seolah berubah namun pada akhirnya tidak banyak kejutan yang kita rasakan.

 

Topik, penceritaan, kejadian, semua itu diolah dengan cara yang sangat berani. Dia melawan banyak aturan film. Menjadikan dirinya sendiri sebaga tontonan yang sangat unik. Film ini akan meninggalkan para penonton terbagi menjadi dua kelompok; yang merasa kecele, dan yang terkesima atas keberanian dan keorisinilan yang hadir buah dari keberanian tersebut.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE BOOK OF HENRY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

GERBANG NERAKA Review

“You can’t prove God exists and you can’t prove God doesn’t exist.”

 

 

Kita hidup di era informasi di mana sumber berita yang paling tak-terpercaya di dunia adalah media. It’s pretty ironic sebab media gemar ngomporin hoax dan tahayul-tahayul justru karena kita sendiri selalu napsu sama yang namanya misteri yang belum-terselesaikan. Dan dalam pertumbuhan mengecam banyak misteri-misteri tersebut, tak sedikit yang berubah menjadi skeptis. Karena memang lebih mudah tidak mempercayai apapun ketimbang mempercayai hal yang tidak bisa dibuktikan langsung. Manusia adalah makhluk visual, kita percaya dengan melihat. Namun ketika dihadapkan dengan agama, di sinilah permasalahan tersebut menjadi menarik. Keberadaan Tuhan sama tidak bisa dibuktikannya dengan Ketidakberadaan Tuhan. Dan memperdebatkan itu hanya membuktikan keterbatasan indera dan persepsi kita.

Pesan terpenting yang bisa kita petik dari film Gerbang Neraka adalah bahwa kepercayaan, entah mau skeptis ataupun klenik, sesungguhnya adalah pilihan kita dalam menyingkapi pertanyaan-pertanyaan atas misteri yang tak-bisa kita selesaikan, atau dalam kata lain; atas misteri kehidupan.  

 

The important thing is that Badurah believes in himself and so can you.

 

Dibintangi oleh Reza Rahadian, Julie Estelle, dan Dwi Sasono di antara pemain-pemain lain, Gerbang Neraka mencoba untuk berkembang menjadi lebih dari sekedar misteri petualangan horor yang melibatkan setan kuno pencabut nyawa manusia. Ada lapisan dalam cerita. Ada perbincangan soal SKEPTIK MELAWAN KLENIK, juga soal idealisme melawan rasionalisme yang menambah bobot keseluruhan film. Mitologi fiksi terbangun steady di balik kejadian seputar penemuan situs Gunung Padang yang sempat menggoncang scene geologi dan arkeologi dunia beberapa tahun yang lalu. Gerbang Neraka cukup banyak mengeksploitasi fakta terkait Gunung Padang, memberikan penonton pandangan tentang how big of a deal situs tersebut.

Build up dan set up adalah fondasi yang membuat film ini kokoh. Sehingga terbukti ketika semakin mendekati akhir, film semakin tidak meyakinkan, kita masih tetap duduk di sana. Kita berhasil dibuat penasaran pada apa yang ada di dalam piramida terbesar itu. Kita berhasil dibuat peduli pada nasib tokoh-tokoh, atau paling enggak kita ingin melihat mereka isdet dengan cara yang bagaimana. Personally, menjelang ending adalah bagian yang paling malesin buatku, it’s kinda bogged down, tapi aku suka ngeliat adegan Reza Rahadian dan Lukman Sardi ngobrol tentang Tuhan dan setan. Mereka-mereka ini adalah salah dua dari storyteller terbaik yang dimiliki oleh sinema Indonesia hari ini. Sehingga meskipun di paruh kedua film ini agak seret, adegan Reza dan Lukman bisa menjadi pelipur lara yang worthy banget untuk disaksikan.

Penemuan Piramid yang selama ini disangka gunung biasa oleh orang-orang sontak bikin heboh, bukan hanya Indonesia, melainkan juga seluruh dunia. Apa yang ada di dalam sana, siapa yang membuatnya, mengapa dia didirikan di antara lima gunung beneran. Arni Kumalasari (Julie Estelle adalah arkeolog paling bening sedunia) terang saja bangga menjadi bagian dari tim ekskavasi bersama profesor sekampusnya. Melihat potensi berita perpaduan mistis dan sains yang bisa ngasilin duit banyak, wartawan majalah Ghoib Tomo Gunadi (kadang Reza Rahadian akting skeptisnya terlalu kuat sehingga dia malah tampak unmotivated) berangkat ke site untuk ngeliput langsung. Di TKP dia bertemu dengan seorang dukun bintang televisi bernama Guntur Samudra (oke tidak lagi langsung  “Mas Adi!”, buatku Dwi Sasono di sini mirip superstar NXT Andrade Cien Almas). Tadinya, Tomo dan Guntur ditolak lantaran ‘yang gak ilmiah gak boleh masuk’. Tapi kemudian semakin banyak arkeolog yang ditemukan meninggal secara misterius, dengan kondisi yang mengenaskan. Arni, Tomo, dan Guntur akhirnya bergabung, menyatukan kepandaian masing-masing untuk membuka pintu masuk ke dalam piramid, sekaligus mengunci gerbang yang udah melepaskan Badurah dan petaka-petaka mengerikan lainnya ke dunia.

Nama arkeologku di lapangan serem kayak gitu pastilah Ari Kumalalari

 

Semua orang butuh untuk cari makan. Tapi kalo cari makan, ya cari makan, jangan berdalih dan mengatakan terpaksa. Kita tidak punya hak untuk berpura sebagai korban ketika kita sudah melakukan sesuatu, memilih sendiri untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan  idealisme sendiri. We can’t have both and be a hero, sebab hidup adalah pilihan.

 

Tomo mengerti akan hal tersebut. Dan itulah yang menyebabkan karakter ini menarik. Tomo adalah wartawan yang sudah membuang idealismenya keluar jendela, demi menyediakan nasi untuk keluarganya. Untuk anaknya. Dia enggak punya masalah untuk nulis tentang hal-hal ganjil yang belum terbukti keabsahannya. Namun kita bisa melihat Tomo masih malu untuk mengakui dia kerja di majalah seperti itu. Masalah idealisme ini masih keliatan bentrok dan menjadi running konflik yang terus dibahas oleh cerita. In a way, Tomo adalah katalis dari Arni yang ‘orang sains’ dengan Guntur yang ambasador dari hal-hal gaib. Hubungan antara Tomo dan Guntur mestinya bisa dibuat lebih baik lagi karena sangat menarik melihat dua pola pikir dan kepercayaan itu dibenturkan.

Film punya rancangan yang kompleks, tapi penulisan mulai menunjukkan titik lemah. Naskah tidak mampu mengconvey semua dengan baik dan rapi. Ada banyak hal yang mestinya bisa diatur dan dibangun dengan lebih baik lagi. Misalnya, Arni yang diceritakan merasa vulnerable menggantikan profesor sebagai pemimpin ekskavasi. Kita tidak melihat rintangan yang ia alami, apa yang membuat dia merasa kurang dari apa yang dikerjakan oleh profesor. Motivasi makhluk jahatnya juga enggak benar-benar terang, memang sih ada kait personalnya dengan tokoh utama kita, si Tomo. Akan tetapi pertanyaan ‘kenapa’ tidak pernah dimunculkan ke permukaan. Kenapa mesti Tomo? Apakah karena dia dipandang lebih lemah lantaran ‘iman’nya somewhere di antara level skeptis Arni dengan level klenik Guntur? Aku juga enggak begitu bisa melihat kenapa Tomo bisa ada di sana, selain karena tuntutan naskah bahwa Tomo adalah salah satu dari ‘triforce’ mitologi Gerbang Neraka.

Maksudku; mereka bertiga bekerja sama. Arni dengan penggalian arkeolognya. Guntur dengan pengetahuan ilmu gaibnya. Tomo dengan….. moto-motoin sekitarnya? Paling enggak mestinya Tomo ikutan ngitemin kuku dengan ngegali atau apa kek. Aku bisa mengerti kenapa Guntur terlibat; karena Arni butuh penjelasan atas misteri kematian teman-temannya, dia butuh seorang yang beneran mengerti kekuatan mistis. Aku enggak melihat alasan kenapa Tomo dilibatkan oleh Arni. Kalo alasannya biar ada liputan, kenapa arkeolog mau liputan ekskavasi mereka ditulis oleh wartawan majalah hoax yang udah ngaku mau duit aja, padahal ada banyak wartawan lain di sana. Penjelasan paling logis yang terpikirkan olehku adalah di samping butuh penjelasan misteri kematian, Arni juga butuh dukungan moral. She wants to still be able to feel better about herself, makanya dia ngajak Tomo yang basically sama-sama skeptis seperti dirinya, namun Tomo sudah membuang idealismenya demi perut. Dengan kehadiran Tomo, Arni bisa merasa dirinya masih lebih baik, walaupun dia pada akhirnya juga minta tolong kepada Guntur yang percaya kepada mistis.

 

Untuk komentar soal efek yang digunakan dalam film; well, dana terbatas, teknologi juga terbatas. Kita paham itu. Akan tetapi, jika kita hanya punya sepuluh menit untuk membuat penonton tertarik, hal logis yang kita lakukan jelas adalah dengan tidak memamerkan keterbatasan yang kita punya.

 

 

Babak set upnya adalah bagian yang terbaik, dan still it could have been better. Aku menemukan keseluruhan film ini tidak konsisten. Penulisan tokoh yang tidak dibarengi oleh keputusan yang masuk akal. Tomo adalah karakter utama yang hebat tapi dia tidak diberikan banyak hal untuk dilakukan, dia tidak benar-benar berguna dalam tim mereka. Build up yang tidak semuanya punya pay off yang memuaskan. Contohnya menit-menit menjelang penampakan Badurah yang dibuat sangat subtil – mereka menggunakan lalat sebagai penanda – hanya untuk dimurahkan dengan jumpscare yang membuat kita terlepas dari intensitas cerita. Eksposisi yang enggak mash up dengan baik sehingga beberapa tone film menjadi awkward, seperti ketika dialog tentang kujang (alat ritual) yang langsung dipotong dengan seseorang yang minta diri pulang. Efek-efek yang enggak semuanya meyakinkan; ketika ada yang mati keren banget, namun porsi aksi terlihat konyol oleh efek yang gak mulus. Ini adalah horor, action, mystery, adventure, yang enggak pernah benar-benar memenuhi tuntunan genrenya; semuanya terasa setengah-setengah. Film ini mengeksploitasi banyak sebagai landasan, akan tetapi proses eksplorasi yang mereka lakukan tidak pernah berbuah menjadi tontonan yang truly menyenangkan.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for GERBANG NERAKA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

ROUGH NIGHT Review

“Friendship isn’t about whom you have known the longest.”

 

 

Erat persahabatan bisa dibuktikan salah satunya dengan hal-hal bodoh apa yang rela kita lakukan atas nama kesenangan bersama. Semakin bego, atau malah semakin berbahaya kegiatan yang kerjakan bareng teman segenk, maka itu berarti semakin kental hubungan di antara kita. Beneran, soal sering atau jarang ketemu tidak pernah menjadi soal. Yang paling penting adalah quality time yang kita usahakan setiap kali kesempatan ketemuan itu tiba.

 

Rough Night yang digarap oleh sutradara Lucia Aniello menceritakan tentang empat bff cewek yang bakal ketemu lagi setelah mereka lulus kuliah dan punya karir sendiri-sendiri. Jess (Scarlett Johansson bermain lepas) sudah akan menikah, jadi dia perlu mengumpulkan teman-temannya untuk ngadain pesta ‘bujang’, atau dalam kasus mereka yang cewek semua istilah yang cocoknya adalah pesta ‘jalang’, mungkin? You get the point. Jess dan teman-temannya menghabiskan malam yang seru, mereka bersenang-senang, minum, ngekokain, nyewa stripper. Dan saat itulah bachelorette party mereka berubah menjadi sangat salah. Jess dan teman-teman gak sengaja membunuh si stripper cowok sehingga kini mereka kebingungan; mau diapain mayatnya, apa mereka harus menyerahkan diri ke polisi, apa mereka harus ngasih tau tetangga vila mereka yang sepertinya ‘gila’, atau apa mereka cuma harus menyembunyikan mayat dan bertingkah seolah tidak ada yang terjadi.

Yea, Rough Night memang tidak mengenakan selempang penghargaan premis paling orisinal di dunia sinema. Kita gak dosa kalo nuduh Rough Night sebagai counterpart cewek dari banyak cerita grup cowok yang lagi pesta. Aku gak ingat judulnya, tapi dulu pernah ada juga film thriller tentang sekelompok cowok yang enggak sengaja membunuh penari telanjang yang mereka sewa. Rough Night terasa seperti pandangan feminim dari mish mash antara cerita film tersebut dengan cerita ala The Hangover. Dua-puluh-lima menit pertama basically enggak ada bedanya dengan cerita standar sekumpulan grup bestfriend yang bersenang-senang. Mereka mabok. Penuh oleh komedi jorok dan tingkah konyol yang dilebaykan. It’s kinda bored me, kita enggak melihat sesuatu yang benar-benar baru. Para tokoh pun terlihat ‘sesuai skrip’ banget. Dalam komedi penting untuk punya karakter konyol yang sifatnya saling kontras; Rough Night punya Jess yang paling bisa kita definisikan paling dekat dengan kata ‘serius’,  ada Alice yang annoying dan orangnya gak mau kalahan, ada Pippa si free spirit dari Australi, ada Frankie si aktivis tangguh, dan Blair yang high maintenance. Oh iya, dulunya Frankie dan Blair pacaran. Tapi tidak ada dari mereka yang terasa benar-benar real sebagai seorang yang personal.

I don’t find penis jokes are funny, because I see penis everyday.

 

Hati cerita sesungguhnya terletak setelah plot poin pertama berakhir. Sesegera mungkin setelah stripper yang mereka sewa tewas, film ini berubah menjadi komedi yang lebih kelam. Leluconnya pun mengalami sedikit peningkatan. Lewat kematian tidak sengaja tersebut, Rough Night dengan tepat menangkap ketidaknyamanan, atau kita juga bisa menyebutnya sebagai kesenangan yang dipaksakan yang hadir dalam situasi REUNI GILA-GILAAN seperti ini. It’s one thing melakukan hal bego ketika kita masih muda, namun ceritanya selalu akan lain jika kita dna sobat-sobat sudah lama berpisah, kemudian berkumpul kembali. Akan selalu ada tensi tak-terucap di antara pribadi-pribadi yang sudah dewasa dengan orang-orang seperti tokoh Alice yang diperankan oleh Jillian Bell, orang-orang yang seperti belum move on dari masa muda, orang-orang yang terlalu clinging onto the others.

Perlu diingat, tokoh-tokoh kita di sini adalah cewek semua. Dan bahwa persahabatan antara kelompok cewek punya keunikan sendiri. Ikatan persaudarian mereka tidak hanya menjadi latar dari komedi situasi, kita akan melihat SISTERLY BOND tersebut tumbuh kembali. Memfokuskan kepada persahabatan, memperlihatkan apa yang membuat mereka merasa seperti saudara meskipun mereka enggak punya ikatan darah adalah langkah yang bijak. Jess dan sahabat-sahabatnya, mereka sudah temenan sejak lama dan kita dibuat bisa merasakan dan percaya terhadap hal tersebut. Chemistry antara para pemain berjalan dengan baik. Komedinya dapat menjadi agak lebay, tetapi ketika aku tertawa, maka itu biasanya disebabkan oleh Kate McKinnon yang diberikan kesempatan untuk menginjak garis batas antara sangat kocak dengan over-the-top.

Persahabatan antarcewek bersifat lebih emosional. Makanya persahabatan cewek lebih rapuh dari cowok. Sahabat cewek akan saling membutuhkan satu sama lain, dan mereka akan ketemuan begitu ada yang perlu, meski gak semua anggota lagi gabisa ngumpul. Sementara cowok lebih senang ngumpul banyakan, ketika semuanya bisa ikutan.Sehingga sering banyak insecurity di dalam persahabatan cewek; ada kecemburuan, ada yang merasa terexclude. Kita dapat melihat itu pada tokoh Alice. Di luar dia terlihat menjengkelkan, baperan, jealous, dan segala macam. Terlebih kepada Pippa, sahabat baru Jess. Namun semakin narasi maju, kita menyadari bahwa traits tersebut penting bagi Alice. It actually berperan besar terhadap perspektif dramatis yang bisa kita saksikan pay offnya pada babak ketiga. Bukan siapa yang lebih lama kenal, persahabatan adalah soal siapa yang paling lama bertahan ngelakuin hal bodoh bareng.

also, women secretly hate each other

 

Kontras hubungan dalam geng cowok dan  geng cewek akan semakin terlihat lantaran film juga membawa kita ke aktivitas yang dilakukan oleh Peter, tunangan Jess. Saat Jess sibuk nyembunyiin mayat di pantai, Peter dan teman-teman cowoknya sedang mencicipi anggur.  Masalah film ini buatku adalah aku enggak benar-benar suka ketika film membawa kita ke porsi petualangan si Peter. Eventually, personal space antara cowok dan cewek membuat Peter kepikiran, dia merasa ada yang gak beres, sehingga dia pergi menyusul Jess. Dengan mengenakan popok. Setiap kali kita kembali ke adegan Peter, dia semakin terjebak dalam situasi yang semakin memalukan, komedi sebenarnya kuat di sini,  tapi aku serta merta selalu berpikir “oh my god, I don’t want to see this scene”. Situasi yang menimpa para cewek, konflik tak-terlihat di antara mereka, terasa lebih menarik. Bagian Peter lebih terasa seperti jeda buat manjangin durasi. Elemen peran-terbalik dari hubungan mereka tidak bekerja dengan baik, lelucon yang hadir dari sana terlihat either too obvious ataupun terlalu berlebihan.

 

 

Ada yang mati di tengah cerita. It doesn’t necessarily seorang pria. Film ini surprisingly punya sesuatu yang lebih yang menjadikan dirinya adalah sebuah peningkatan dari standar komedi situasi pesta dengan banyak orang mabok dan musik-musik tekno. Hubungan sisterhood membuat cerita dengan premis mish mash yang udah sering digarap ini menarik. Tokoh-tokoh dan komedinya lah yang enggak benar-benar terasa hidup. Tidak semua dari mereka dilepaskan dari satu dimensi. Film ini bisa mencapai lebih baik dengan penokohan yang tidak terlalu standar, karena ada emosi dan hati yang mereka punya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ROUGH NIGHT.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

THE BIG SICK Review

“Pleasing your parents is to attain Allah’s pleasure”

 

 

Fun fact: Di Pakistan, ‘Arranged Marriage (Perjodohan)’ disebut ‘Pernikahan’. Tanpa embel=embel.

Kalo di Sumatera Barat, Siti Nurbaya bilang “aku gak mau dijodohin, Ma!”, maka sebagai ekuivalen di Pakistan Siti Nurbaya simpelnya bilang “aku gak mau nikah, Ma!” Yang bikin makin kompleks adalah enggak banyak yang nekat jadi Siti Nurbaya di sana. Keseluruhan tradisi Pakistan adalah soal menghormati kehendak orangtua. Itulah yang dihadapi oleh Siti Nurbaya film komedi romantis ini, tapi dia bukan cewek. Seorang cowok stand up comedian yang juga nyambi jadi pengemudi Uber, namanya Kumail Nanjiani.  Dan ini adalah kisah nyata tentang gimana Kumail (memainkan diri sendiri di debut peran utamanya) bertemu dengan seorang yang sangat spesial bagi dirinya, menyangkut hubungan asmara mereka yang bergelombang oleh perbedaan kultur. Kumail pacaran sama cewek Amerika, yang mana melanggar salah satu peraturan emaknya yakni harus nikah sama cewek Pakistan. Cerita juga membahas gimana Kumail dan Emily (Zoe Kazan punya chemistry luar biasa dengan Kumail) pada akhirnya saling mengapresiasi – baik budaya dan ego mereka sendiri maupun orangtua masing-masing.

ada cewek yang nyaman-nyaman aja ngomongin boker di sekitar kalian? nikahin!

 

 

Aspek agama dan budaya, kompleksnya masalah yang timbul dari perbedaan pandang terhadap keduanya, menjadi tema besar yang diangkat oleh The Big Sick. Ini adalah masalah yang obviously benar-benar terjadi, banyak orang yang mengalami kejadian serupa, sehingga film ini bakal dengan mudah menemukan koneksi dengan penonton. Banyak orang terelasi dengan apa yang dihadapi oleh Kumail. Dan tidak sebatas itu saja pengrelasian kita terhadap tokoh ini. The Big Sick juga adalah tentang kerumitan keinginan anak beradu dengan keinginan orangtua. Seperti keluarga bahagia normal di Pakistan, keluarga Kumail yang tinggal di Amerika adalah keluarga yang taat terhadap peraturan agama dan peraturan sosial. Lewat tokoh Kumail, film ini menggambarkan pemeluk Islam sebagai tidak selalu serius seperti yang sering diduga oleh orang-orang Amerika. The Big Sick enggak ngasih pandangan yang menyudutkan, malahan film ini menangkap perjuangan identitas seorang imigran seperti Kumail dengan menghibur.

Kumail adalah muslim dengan pola pikir barat. Dia tidak mengerti kenapa dia harus sholat lima waktu, dengan diketahui oleh orangtuanya. Dia makan ati setiap kali kerjaannya sebagai stand up komedian disebut-sebut di meja makan mereka. Dia juga struggle untuk enggak langsung kabur balik ke kos setiap kali ibunya mengundang cewek pilihan untuk makan di rumah. Heck, Kumail bahkan disuruh manjangin jenggot kayak adiknya, meski dia udah bilang beberapa kali jenggot membuat wajahnya gatal-gatal. Stake yang tersaji adalah jika orangtua udah gak demen banget sama pilihan Kumail, dia akan ditendang dari silsilah keluarga, tidak akan ada lagi kerabat yang boleh bicara kepadanya.

Banyak dari kita yang dibesarkan oleh orangtua dengan tuntutan sebagai pupuknya. Kita diharapkan untuk menjadi sesuatu, memilih jalan hidup yang bener karena orangtua tahu yang terbaik. Makanya, banyak anak-anak yang tumbuh menjadi orang dewasa dalam keadaan takut-takut mereka mengecewakan orangtua. Susah untuk bikin orangtua bahagia. Susah untuk mendapat restu mereka, namun kita paham itu adalah hal yang penting, terlebih karena dalam agama Islam restu orangtua adalah restu Allah. Dan ini ditangkap dengan elok oleh The Big Sick karena pada akhirnya film ini menyentuh lebih dari sekadar romansa yang sangat lucu.

 

 

Di sinilah keindahan penulisan naskah menunjukkan perannya. The Big Sick tidak pernah mempersembahkan diri sebagai tontonan yang super serius. Dia tidak pretentious, enggak bermaksud totally ngajarin penontonnya. Komedi yang dihadirkan sangat real. Interaksi para tokoh tertangkap dengan mulus dan natural, bahkan terkadang film ini terlihat seperti semi dokumenter. Kita seperti menyimak percakapan beneran. Makanya film ini jadinya lucu banget, bukan semata karena diangkat dari kisah nyata, melainkan juga DIBANGUN TANPA PRETENSI. Beberapa adegan tampak seperti dimprovisasi gitu aja. Dengan chemistry luar biasa, tidak pernah terasa aktor-aktor tersebut overdoing akting mereka, hanya untuk jadi dramatis ataupun supaya lucu. Namun bahkan ketika aspek cerita yang lebih kelam dan sedikit lebih kuat hadir, mereka masih menemukan cara untuk memancing bibir kita tertarik membentuk garis senyuman.

Temanya sungguh real dan relevan dan relatable, kita sudah banyak mendapatkan film tentang hubungan cinta beda-budaya seperti ini. Film klasik Guess Who’s Coming to Dinner (1967) bisa dijadikan pioneer, atau kalo mau lebih deket lagi ada Ernest Prakasa dengan Ngenest (2015) yang menilik perbedaan sebagai momok yang walaupun kita berusaha cool about it, tetapi tetep ada dampaknya secara emosional. Awal tahun kita mantengin Get Out (2017) yang dengan kocaknya mengamplify ketakutan terhadap clash of culture dan ironisnya masalah rasisme. Dalam The Big Sick kita melihat Kumail yang menghadapi masalah seperti saat dia tampil ngestand-up, ada penonton yang merujuk ke stereotype teroris. The Big Sick  juga memiliki elemen yang membuat film ini berbeda dari film-film bertema serupa. Romantis dalam film ini bukan sekedar datang dari adegan dua sejoli tokoh kita saling cuddle di tempat tidur, mereka pacaran, kemudian berantem, terus balikan. Kejadian di babak kedua membuat film ini menjadi orisinal karena membuat Kumail harus menghabiskan banyak waktu dengan keluarga Emily yang sangat, sangat kocak. Secara personal, Kumail menjadi deket banget sama kedua orangtua ini, dia belajar banyak tentang masalalu Emily, hubungannya dengan kedua orangtua, serta Kumail mengerti apa yang terjadi di antara kedua orangtua Emily itu. Dan itu menjadi bahan pembelajaran yang lebih berharga lagi buat dirinya dalam kaitannya dengan menyintai orangtuanya sendiri.

kalo mau jadian ama cewek, deketin dulu orangtuanya hihi

 

Masalah yang bisa kutemukan buat film ini adalah pada durasinya. Menjelang babak ketiga bakal terasa panjaaaaaaang banget, sebab ada banyak sekuens yang tampak hendak menuju ke suatu titik, seperti ngetease akan terjadi sesuatu, tapi ternyata enggak. Sebenarnya ini lebih kepada masalah kodrat film ini sebagai kisah nyata. Susahnya mengulas dan mengritik film-film dari kisah nyata adalah akan tiba masanya bagi kita, saat menonton, untuk mempertanyakan sejauh mana porsi bagian nyata yang ditampilkan oleh film. Ketika ada suatu adegan yang lucu, misalnya, kita jadi ingin tahu apa memang benar di kejadian nyata seperti ini, mereka simply nunjukin dengan detil, atau mereka menambahkan bumbu-bumbu penyedap. Saat menjelang dan pada babak ketiga, banyak adegan yang membuatku bertanya seperti demikian, sehingga cerita rasanya sedikit terseok.

 

 

 

Amazing performances dari Kumail Nanjiani, Zoe Kazan, Ray Romano, Holly Hunter menghidupkan film dari kisah nyata ini menjadi benar-benar menggelora, karena kalo ada nilai kuat maka itu adalah komedi romansa ini sama sekali tidak prententious. Ini juga sangat lucu. Percakapannya terasa real. Akan ada banyak adegan ketika praduga dan konflik yang timbul dari perbedaan budaya dan agama, mereka harus work out their differences, namun sama sekali tidak pernah ditangani dengan klise. Dia juga tidak jatuh dalam jurang menghakimi ketika memperlihatkan struggle Kumail sebagai ‘alien di Amerika’. Tidak ada momen mereka meledak penuh emosi. Film ini sangat light-hearted meskipun tetap punya bobot emosional yang sangat kuat. Dan babak keduanya berhasil membuat film menjadi stand out. Itulah yang membuatnya menjadi menarik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE BIG SICK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

PETAK UMPET MINAKO Review

“We are what we hide.”

 

 

 

Apa yang sebaiknya dilakukan ketika sewaktu sekolah kita sering dibully oleh teman-teman? Well, itu tergantung kita masing-masing. Kita bisa mendem sendiri terus diam-diam bikin kaset sebelum bunuh diri kayak Hannah Baker. Atau kita bisa menyimpan dendam kesumat sampe bertahun-tahun lamanya, untuk melampiaskannya saat reuni. Kita adalah apa yang kita simpan. Yang kita sembunyikan akan mendefinisikan apa yang akan kita perbuat.

Seperti yang dilakukan cewek di film Petak Umpet Minako. Malam itu, cewek yang kuliah di Jepang tersebut mengusulkan kepada teman-teman reuninya untuk nostalgia ke gedung sekolah mereka yang lama. Sesampai di sana, niat mulia si cewek langsung kelihatan. Dia mengajak mereka semua untuk bermain petak umpet. Tapi ini bukan sembarang petak umpet, ini petak umpet impor dari Jepang di mana yang manusia bersembunyi sementara yang ‘menjaga’ adalah hantu! Dan untuk membuat hal lebih gawat, permainan itu punya satu peraturan gede: hanya ada satu orang yang bisa memenangkan pertandingan. Yup, sebaiknya segera aktifkan mode survival karena di dalam gedung sekolah yang lagi direnov tersebut, mereka tidak bisa percaya kepada siapapun.

definitely jangan percaya sama peran aktor yang punya nama yang enggak ngapa-ngapain di awal cerita

 

Hitori Kakurenbo, nama asli permainan yang jadi ide dasar film yang diadaptasi dari novel ini, konon sebenarnya adalah salah satu ritual pemanggilan arwah menggunakan medium boneka yang lazim dilakukan di Jepang pada jaman dahulu. Dan tentu saja, the whole tradisi dan urban legend tersebut menarik minat anak-anak muda yang penasaran. Aku salah satunya. Kalo saja aku bisa menjahit, maka aku bakal nekat ngelakuin berbagai macam peraturan untuk memainkan permainan ini. Aku gak akan menjelaskan peraturan permainan, apa yang dibutuhkan, dan segala macem teknisnya sebab film Petak Umpet Minako sudah mengambil banyak waktu untuk menerangkan kepada kita gimana sih cara memainkan petak umpet maut. Lengkap dengan pantangan dan catatan ekstra mengenai cara menangkal roh jahat yang bakal menjelma menjadi boneka yang kita pakai. Kita tahu ada pepatah barat yang mengatakan “curiosity killed the cat”, dan yeah, rasa penasaran atas permainan tersebut berhasil membujukku untuk menonton film ini. Dan aku berasa pengen mati di bioskop.

Keseluruhan film adalah cerita penyelamatan diri di dalam gedung sekolah di malam hari. Banyak yang bisa dieksplorasi dari lingkungan ini, belum lagi banyak tokoh-tokoh seolah mereka meminta untuk diberikan cerita. Tapi film tidak pernah mengolah mereka dengan dalem. Di menit-menit pertama aku masih tertarik. Aku masih bisa memaafkan kehadiran eksposisi yang amat banyak soal peraturan permainan. Eksposisi yang dibutuhkan, dan aku yakin ada cara yang lebih kreatif dan yang less-boring yang bisa dilakukan untuk menjelaskan semua. Tapi pada awal-awal itu aku tertarik karena menurutku adalah sebuah pilihan yang bagus mengangkat naskah dari sudut pandang korban perundungan (eh, pada udah tau belum sih kalo bully itu istilahnya Indonesianya ‘rundung’?) yang begitu ingin balas dendam sampai-sampai dia rela melakukan permainan yang turut mengancam dirinya sendiri.

Aku salah. Tokoh utama film ini bukan Vidha si cewek yang mengusulkan permainan petak umpet boneka. Jagoan kita adalah seorang cowok bernama Baron yang telat datang ke reuni, dan satu-satunya alasan dia dateng adalah karena ingin mencari pacarnya. So yeah, motivasi tokoh utama cerita ini adalah pengen menyelamatkan ceweknya. Standar abis. Baron adalah salah satu tokoh utama terburuk yang pernah ada di dunia sinema. Dia enggak bisa menghentikan pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Moral compassnya hanya jalan untuk hal-hal yang menyangkut sang pacar. Di tengah-tengah keadaan gawat, gagasan terbaiknya adalah berpencar. “Kamu tunggu di sini, aku masuk ngambil korek api”, kenapa gak barengan AJAHHHH? Baron juga butuh 3 scenes untuk membakar boneka, yang sudah ada di tangannya beserta alat-alat untuk membakar. Dan tau gak apa yang dilakukan Baron ketika giliran his butt yang harus diselamatkan – ketika dia disuruh cepat-cepat lari suapay temannya bisa buy some time dengan mengorbankan diri? Baron malah lari dengan slow motion, sebelum akhirnya jatuh pingsan!

Film ini tidak melakukan hal kreatif ataupun hal baru pada premis mereka. If anything, film ini cukup lihai menggabungkan ritual petak umpet setan dengan elemen Battle Royale (2000) dengan elemen The Mist (2007). Dan elemen zombie. Hanya saja di sini zombienya bisa mukul dan berantem alih-alih pengen gigit orang. Ada usaha untuk mengembangkan karakter dalam lingkungan tertutup ini. Kita melihat ada salah satu tokoh yang berkembang menjadi semacam cult leader, di mana dia dianggap penyelamat yang berhasil membawa mereka ke gedung Gereja yang aman, seperti Mrs. Carmody di The Mist. Tapi narasi tidak pernah melakukan hal yang benar-benar pinter buat tokoh ini. Sebenarnya ada banyak yang bisa digali dari petak umpet dan mitologi sekitar permainan itu sendiri, namun film sepertinya hanya tertarik pada twist yang enggak benar-benar masuk akal. I mean, ini adalah permainan di mana kita bisa memanggil arwah yang bisa hidup dengan mengambil wujud boneka mediumnya, mereka bisa paling enggak menggali sesuatu tentang obsesi dari sana. Sayangnya, Petak Umpet Minako hanyalah cerita satu lapis yang kadang-kadang belok dikit tanpa benar-benar terbayar dengan memuaskan.

kebayang gak sih susahnya bagi orang Jepang nyebut kata “leluhur”?

 

Sebagai makhluk horor, Minako punya presence yang mengerikan. Dia bukan boneka yang dirasuki, Minako adalah hantu yang mengambil wujud boneka yang dirasuki. Bayangin tuh. Kostum dan segala macam penampakannya berhasil membuat takut, namun tidak banyak yang dilakukan oleh Minako. Dia cuma going around mencari orang-orang sambil mengayun-ayunkan pisau. Di tengah-tengah kacaunya penceritaan dan mish mash elemen, film bahkan sepertinya melupakan Minako ini adalah hantu. Aku ngakak berat ketika Baron dan temannya berhasil mengalahkan Minako di gereja, kalimat pertama yang terucap dari mulut Baron adalah pertanyaan “Apa dia sudah mati?” I’m like, DUH SHE’S A GHOST!!!  Malahan ada satu adegan ketika Minako dibuat main tarik-tarikan pintu sama satu orang manusia. Apa Minako segitu takutnya sama air garam sehingga dia melupakan kodratnya sebagai setan yang bisa tinggal mencekek saja orang yang menghalangi jalannya?

Kalo ada benang merah yang menghubungkan poin-poin film ini maka itu adalah kata ANNOYING. Editingnya annoying; antara satu adegan dengan adegan lain dijahit enggak mulus, gak ada ritmenya. Tokoh-tokohnya annoying; mereka semua melupakan konsep utama main petak umpet, yakni diam-diam – gak ngeluarin suara. Reaksi dan motivasi tokohnya terlihat staged, enggak ada yang meyakinkan. Dan aktingnya? Aku yakin para aktor akan merasa malu kalo film ini ditonton oleh teman-teman mereka. Eksposisinya annoying; dialog film ini jarang sekali soal pengembangan karakter, it was either nerangin aturan main, teriak-teriak gak jelas demi drama,  ataupun “Mana yang lain?” “Si anu lari ke sana, si itu lari ke sini”  dan beberapa detik kemudian si anu dan si itu muncul. I mean, kenapa gak diliatin aja sih mereka tadi ngalamin kejadian apa, alihalih mendengarkan penjelasan dari orang yang gatot menampilkan eskpresi teror dan ketakutan. Flashbacknya annoying; akan banyak dijumpai adegan Baron ketemu temannya, dia nanya apa yang terjadi, dan si teman akan bercerita membuat kita masuk ke flashback yang  menjelaskan backstory yang enggak pernah ada build up ataupun pay offnya. Film ini bisa lebih baik jika diceritakan linear.

Efek dalam film ini lumayan bisa menghadirkan imaji yang seram. Tapi ada satu yang aku heran, kenapa mereka harus banget nampilin adegan boneka dibakar dengan menggunakan efek komputer? Apa budget segitu fokus di promosinya sehingga mereka enggak bisa mengusahakan properti dummy untuk dibakar beneran. Lucu aja ngeliat di satu adegan ada boneka terbakar dan di adegan berikutnya terlihat jelas di lantai enggak ada apa-apa.

 

 

 

Sebenarnya semua elemen-elemen yang bekerja parah tersebut bisa saja jadi mengasyikkan jikasaja film ini mempersembahkan dirinya sebagai sesuatu yang mengarah ke komedi. Nyatanya, film ini menganggap dirinya keren, it takes itself way too seriously. Ini adalah horor sejenis kucing-kucingan rumah-hantu dengan elemen menyelamatkan diri dengan jangan-percaya-kepada-siapapun yang penceritaannya sangat kacau. Tokoh-tokohnya tidak pernah bertingkah layaknya manusia beneran, kita tidak bisa peduli kepada mereka. Padahal ada premis dan sudut pandang menarik yang bisa saja menjelma menjadi horor yang segar. Tapi ngumpet banget dan arahan filmnya malah membuat kita enggan untuk menemukannya.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for PETAK UMPET MINAKO.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

IT Review

“Adults are the real monsters.”

 

 

Masa kecil ninggalin kenangan, hanya jika kita punya kelompok bermain. Teman-teman sepermainan yang sharing suka dan duka, bertualang naik sepeda bersama. Bahkan ketika kelompok tersebut dijuluki anak-anak lain sebagai The Losers’ Club. Bill, Ben, Richie, Eddie, Stan, Mike, dan Beverly jadi deket lantaran mereka sama-sama sering dibully. Bagi lingkungan sekitar, mereka tak lebih dari si Gagap, si Gendut, si Mulut Besar, si Penyakitan, si Anak Rabi, si Orang Luar, dan si Cewek Murahan. Tahun 1988an itu adalah waktu yang keras di kota Derry. Tapi Bill dan teman-temannya, mereka baik saja as they have each other. Perundung yang mereka benar-benar cemaskan bukanlah Henry Bowers yang suka main pisau lipat itu. Yang mereka takutkan adalah sosok yang sudah membuat banyak anak-anak lain menghilang, termasuk adik Bill. Sosok yang satu ini munculnya di tempat-tempat tak terduga, dia ‘memangsa’ rasa takut dan imajinasi anak-anak. Sosok yang jauh lebih menyeramkan daripada orangtua masing-masing. Pennywise the Dancing Clown. Dan dia bahkan bukan badut beneran!!

come float with us

 

Dengan seribu-seratus lebih halaman, sesungguhnya It adalah novel yang sulit sekali untuk diadaptasi ke layar lebar. Belum lagi predikatnya sebagai salah satu cerita paling seram yang pernah ditulis oleh Stephen King. Sebelum ini, It pernah disadur ke miniseri televisi yang dibagi menjadi dua episode. Quick review: miniseri televisi tersebut sudah berusaha untuk loyal kepada materi bukunya, mempersembahkan penampilan Pennywise yang seram, tapi dari segi efek memang terasa tertahan. Lagipula ketika ditonton bareng sekarang-sekarang ini, efek filmnya terasa sangat out-of-date. Banyak aspek kemampuan Pennywise yang tidak bisa digambarkan dengan baik tahun 1990 itu.

Makanya aku seneng sekali melihat apa yang mereka lakukan kepada Pennywise di film baru ini. Aktor Bill Skarsgard did an awesomely creepy touch terhadap si badut horor. Aku suka matanya tampak natural ketika melihat ke dua arah sekaligus, aku suka gimana ilernya menetes-netes setiap kali ngebujuk anak-anak. Sebenarnya Pennywise itupun hanyalah salah satu dari wujud jelmaan dari makhluk yang Bill and-the-genk sebut sebagai It (aku jadi teringat cerita Lupus yang nyebut hantu sebagai Anuan karena dia takut menyebutnya sebagai hantu). It mengambil bentuk yang berbeda-beda tergantung dari anak mana yang mau ia mangsa berikutnya. Dan dari adegan pembuka kematian Georgie yang sangat ikonik hingga ke menit-menit It bergiliran menakuti tujuh protagonis kita, film ini setia mengikuti apa yang tersurat di novel. Efek yang digunakan juga terlihat meyakinkan. Sutradara Andy Muschietti – sebelumnya menggarap horor Mama (2013) – paham bagaimana menebar visual untuk membangun adegan seram. Adegan Ben di perpustakaan ketika dia melihat halaman buku yang terus berulang dengan nenek-nenek menyeringai mengerikan di latar belakang adalah salah satu favoritku.

Para aktor cilik bermain luar biasa fenomenalnya. Mereka terlihat kayak teman sepermainan beneran. Highlight paling terang tersorot dari Finn Wolfhard yang kembali berperan sebagai anak 80an yang keliling naik sepeda, dia kebagian sebagai Richie si ‘badut’ dalam grup, dan Finn really nails his comedic role. Persahabatan mereka, gimana anak-anak bergaul, film ini merekamnya dengan jujur. Banyak serapah dan kata-kata jorok, hal tersebut bisa dimengerti karena – bagi orangtua yang masih menyangka anak mereka anak-anak manis – memang seperti itulah anak kecil kalo lagi bermain, di luar pengawasan orangtua mereka. Ada nuansa underdog beneran yang melingkupi mereka karena mereka harus berurusan dengan sesuatu yang tidak mereka mengerti, yang tidak akan ada yang percaya kepada mereka.

Untuk urusannya sebagai adaptasi, karakter para tokoh sebagian besar sama, dengan beberapa apa-yang-mereka lakukan yang dibuat sedikit berbeda. Ada beberapa tokoh yang terasa jadi sedikit lebih sederhana, like, mereka jadi agak terlalu stereotypical, terutama si Ben. Dari ketujuh anak, Ben actually tokoh favoritku di novel It. Makanya aku agak kurang sreg kenapa di film ini mereka enggak lagi bikin dam; yang meniadakan kemampuan Ben di mana Ben lah yang merancang dam. Juga soal ‘cinta segitiga’ Ben-Bill-Beverly yang menurutku mereka mengecilkan skenario sweet secret admirer Ben dan Beverly lantaran di sini Ben dibuat canggung banget.

Persahabatan anak-anak bertemu dengan monster tukang bunuh, humor ketemu horor – semuanya terasa fisikal. Meski demikian, It bukan sekedar cerita sekumpulan anak muda melawan musuh terbesar mereka, yakni ketakutan, yang terpersonifikasi sebagai badut dengan balonnya. Ada tone kelam seputar tumbuh remaja, sexuality, trauma dan gimana untuk melupakannya yang dibahas dalam narasi. Satu pesan yang menguar dari balik It adalah bahwa anak-anak muda begitu terbebani oleh ketidakadilan dunia yang lebih dewasa. Para orangtua digambarkan entah itu pemabuk, terlalu mengatur, manipulative, ataupun downright cruel – tidak pernah dipandang sebagai pahlawan oleh anaknya.

 

ada alasannya kenapa orang dewasa takut sama anak-anak

 

 

Aku tidak mengikuti perkembangan dan promosi untuk film ini, aku enggak nonton trailernya. Dan aku harus bilang, saat menonton film ini aku merasa sudah termisleading. Jadi menurutku, aku harus ngespoiler  sesuatu buat calon-calon penonton yang sudah pernah membaca buku ataupun nonton miniseri televisinya dan mengharapkan sesuatu yang berbeda dari film berdurasi dua-jam-sepuluh-menitan ini: It yang ini juga adalah CHAPTER SATUNYA SAJA. Dengan durasi sepanjang itu ditambah dengan beberapa perubahan kecil namun signifikan, saat menonton It kita bisa dengan mudah menumbuhkan asumsi bahwa film ini mengambil langkah adaptasi yang eksrim as in cerita bakal selesai tanpa ke babak mereka dewasa. Tapi enggak. Bagian masa kecil ini penting untuk pelandasan karakter dan relationship, sehingga meskipun agak ngestrech, film tetap harus membagi buku menjadi dua chapter (atau mungkin lebih, kita bisa ngarep). Fokus cerita adalah pada masa kanak-kanak para tokoh, and I just think they need to put the ‘Chapter One’ bit sedari awal.

Di sinilah sedikit masalah timbul; daging cerita It sebenarnya terletak di bagian ketika Bill dan kawan-kawan yang sudah dewasa ‘diundang reuni’ oleh Pennywise. Saat itulah cerita mengerikan soal trauma atas apa yang kita takuti mulai kick in. Maka dari itulah sebabnya, kenapa in the long 2 hours run film ini terasa semakin kehilangan intensitasnya. It bekerja dengan sangat baik sebagai HOROR SLASHER MENAMPILKAN ANAK KECIL DENGAN LEVEL KENGERIAN YANG SAMA SEKALI JAUH DARI LEVEL SEKOLAH DASAR. Aksinya brutal, nasib beberapa tokoh mengenaskan, walaupun kamera tidak pernah benar-benar menangkap sesuatu di luar batas sadis yang wajar. Akan tetapi, ada kehampaan pada intinya. Motivasi inner karakternya belum berjalan maksimal, plotting tokohnya belum full circle. Bahkan kota Derry gak benar-benar menjelma sempurna sebagai lokasi yang seharusnya berkembang seakan menjadi tokoh tersendiri oleh sejarah kelamnya. Aku suka gimana film ini memperkenalkan kita kepada tujuh anak tersebut dengan porsi yang sama besar, kita juga diperlihatkan apa bahan bakar ketakutan mereka, kelemahan mereka di mata Pennywise, tanpa menggunakan flashback – jika boleh kutambahkan sebagai perbandingan dengan versi miniseri tv. Namun adegan per adegan terasa berjalin dengan kurang mulus. Seperti tidak ada ritme, sebab sesungguhnya yang kita lihat memang setengah dari keseluruhan cerita. But then again, enggak banyak cara menghandle pembagian cerita It yang lebih baik dari yang dilakukan oleh film ini.

On the other hand tho, jika kalian baru pertama kali tahu cerita yang berjudul It, menonton ini akan terasa sama menyenangkan dan serunya dengan menonton horor slasher klasik semacam A Nightmare on Elm Street. Dan there’s nothing wrong with that, aku malah beranjak dari penonton film-film genre itu. Film ini  melakukan kerja yang sangat baik mengembalikan kita ke kejayaan genre monster pembunuh lewat tayangan yang juga kocak, penuh oleh penampilan akting yang meyakinkan.

 

 

 

This is one of the better Stephen King adaptation. Fokus cerita pada masa kanak-kanak para tokoh. Mereka madetin dan menghidupkan elemen-elemen paling mengerikan dari buku, dan wisely meninggalkan bagian yang kontroversial ataupun yang kurang bekerja dengan baik. Pennywisenya sangat menyeramkan, meski aku pikir tokoh ini bisa diberikan dialog creepy lebih banyak lagi kayak di buku ataupun mini seri tv. CGnya menyatu dengan mulus. Terang saja Chapter Keduanya akan sangat dinantikan karena kita bisa menagih janji cerita yang benar-benar berdaging saat film tersebut tiba di bioskop.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for IT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.